Anda di halaman 1dari 16

ISU-ISU PENCEGAHAN STUNTING

OLEH :

MUSDALIFAH MUHAJIRIN
219240027
6/AKK

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE


2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini.Semoga, dapat bermanfaat bagi kita semua,terutama bagi penulis terima kasih.

Barru, 26 Mei 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 2
C. Tujuan Masalah..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Stunting............................................................................................... 3
2. Penyebab Stunting................................................................................................. 4
3. Cara Mengatasi Masalah Stunting......................................................................... 6
4. Intervensi Pada Penanggulangan Stunting............................................................ 7
5. Gambaran Stunting Secara Global Dan Nasional................................................. 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 12
B. Saran...................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 13

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan Di Indonesia. Saat ini, Indonesia
merupakan peringkat ke lima kejadian stunting pada balita di dunia. Di Indonesia, stunting
disebut kerdil, artinya ada gangguan pertumbuhan fisik dan pertumbuhan otak pada anak.
Stunting yang bercirikan tinggi yang tidak sesuai dengan usia anak, merupakan gangguan kronis
masalah gizi. Anak stunting dapat terjadi dalam 1000 hari pertama kelahiran dan dipengaruhi
banyak faktor, di antaranya sosial ekonomi, asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit
menular, kekurangan mikro nutrien, dan lingkungan.

Stunting merupakan kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih pendek dibanding
dengan tinggi badan orang lain pada ummnya (Kementrian Desa Pembangunan, 2017). Kondisi
Stunting dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor gizi buruk, kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi, masih terbatasnya layanan kesehatan, masih
kurangnya akses kepada makanan begizi dan kurangnya akses air bersih dan sanitasi.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting diantaranya adalah Jangka pendek
adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalamtubuh, dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan
adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh
sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.

Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen,
meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Artinya, pertumbuhan tidak maksimal
diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi
stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti
Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Indonesia menduduki peringkat kelima
dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah
lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata.

1
Menurut WHO, batasan prevalensi stunting suatu wilayah sebesar 20%. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Litbangkes), angka stunting yang terjadi di Indonesia 2018 mencapai 30,8 persen.
Artinya satu dari tiga anak Indonesia mengalami stunting . Angka tersebut mengalami penurunan
dari tahun sebelumnya yaitu 37,2 persen pada tahun 2013. Meskipun sudah menurun, tetapi
masih jauh dari batasan WHO (Siti Haryani, 2021).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan Pengertian Stunting?
2. Jelaskan Penyebab Stunting?
3. Bagaimana Cara Mengatasi Masalah Stunting?
4. Jelaskan Intervensi Pada Penanggulangan Stunting?
5. Jelaskan Gambaran Stunting Secara Global Dan Nasional?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk Mengetahui Pengertian Stunting
2. Untuk Mengetahui Penyebab Stunting
3. Untuk Mengetahui Cara Mengatasi Masalah Stunting
4. Untuk Mengetahui Intervensi Pada Penanggulangan Stunting
5. Untuk Mengetahui Gambaran Stunting Secara Global Dan Nasional

2
BAB ll

PEMBAHASAN

1. Pengertian Stunting

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U
dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada
pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat
pendek / severely stunted). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru
nampak saat anak berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar)
mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan
pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan
catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai
pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan
berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak
terpenuhi dengan baik (Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,
2017; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua
tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak,
menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa.
Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi
jangka panjang bagi Indonesia.

3
Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) Indonesia pada 2015 sebesar
36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta balita mengalami masalah gizi di mana
tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya. Stunting tersebut berada di atas ambang yang
ditetapkan WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan
Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%.Namun, berdasarkan Pantauan Status Gizi
(PSG) 2017, balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka tersebut terdiri dari
9,8% masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori pendek. Dalam 1.000 hari pertama
sebenarnya merupakan usia emas bayi tetapi kenyataannya masih banyak balita usia 0- 59 bulan
pertama justru mengalami masalah gizi (Rahmadhita, 2020).

2. Penyebab Stunting

Stunting biasa disebut dengan anak berpostur tubuh pendek di usia pertumbuhan.
Stunting dikategorikan menjadi 4 klasifikasi berdasarkan nilai Z score yang telah ditentukan
yaitu ketegori tinggi dengan nilai sebesar >3 SD, normal sebesar -2 SD sampai dengan 3 SD,
stunted sebesar -3 SD sampai dengan -2 SD dan severely stunted sebesar <-3 SD. Angka
kejadian stunting di Indonesia masih cukup tergolong tinggi, sehingga Pemerintah
semakin terdorong dalam melakukan penanggulangan stunting untuk menekan
angka kejadian stunting di Indonesia(Ramadhanty, 2021).

Sampai saat ini, pemerintah masih berupaya dalam penurunan stunting. Dimulai
dari penetapan tujuan pembangunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikenal
dengan The Sustainable Development Goals(SDG’s) yang salah satu tujuannya berupa
penurunan stunting dan wasting pada balita di seluruh dunia, serta merupakan target
internasional tahun 2030. Sebagai bentuk realisasi, WHO dan UNICEF membuat kerangka
kerja yang mengelompokkan faktor-faktor risiko kedalam tiga kelompok yakni:

a. Faktor distal meliputi, politik dan ekonomi pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial
budaya, sistem pertanian dan makanan, serta air, sanitasi dan lingkungan
b. Intermediate factors yaitu, faktor rumah tangga yang meliputi, jumlah dan kualitas
makanan yang tidak adekuat, sumber daya yang rendah, ukuran dan struktur
keluarga, praktik yang tidak memadai, perawatan kesehatan yang tidak memadai,
layanan air dan sanitasi yang tidak memadai.

4
c. Faktor proksimal meliputi pemberian nutrisi, faktor ibu dan lingkungan, faktor
anak, dan faktor infeksi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dapat
dilakukan melalui faktor-faktor risiko langsung penyebab stunting. Namun untuk
itu, dibutuhkan intervensi yang terstruktur untuk merealisasikan upaya tersebut
(Anggryni et al., 2021).

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor
gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan
untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang
menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu


mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu
melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari
anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2
dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan.
Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP-ASI juga dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI,
serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak
terhadap makanan maupun minuman.
b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan
Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu
semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum
mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3
ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnyaakses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia
3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak UsiaDini).

5
c. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi diIndonesia masih tergolong mahal.Menurut
beberapa sumber, komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding
dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal
daripada di Singapura. Terbatasnya akses kemakanan bergizi di Indonesia juga dicatat
telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar
(BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum
bersih (Rinaldi Hitman, 2021).
3. Cara Mengatasi Masalah Stunting

Upaya untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan kerjasama lintas sektor melalui
intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik berkontribusi 30%
untuk mengatasi stunting, sedangkan intervensi sensitif berkontribusi 70% dalam mengatasi
stunting. Intervensi gizi spesifik yang dilakukan oleh sektor kesehatan, langsung pada sasaran
yaitu; bayi, balita, remaja dan ibu hamil, dengan bentuk kegiatan upaya kesehatan
bersumberdaya masyarakat (UKBM) seperti; posyandu yang didalamnya ada pelayanan
kesehatan ibu dan anak, imunisasi dan stimulasi dini tumbuh kembang (SDIDTK), bina keluarga
balita, kelas ibu hamil, pemberian tablet tambah darah untuk remaja putri, penanggulangan,
pencegahan infeksi dan kecacingan pada bayi dan balita. Pada intervensi gizi sensitif banyak
melibatkan lintas sektor melalui perbaikan sanitasi dan air bersih (kegiatan sanitasi berbasis
masyarakat yaitu pembuatan jamban komunal),pembuatan lubang biopori untuk mencegah
banjir, program pengentasan kemiskinan berupa bantuan tunai untuk masyarakat miskin,
pemberdayaan perempuan berupa pelatihan dan pemberian bibit tanaman, peningkatan
ketrampilan dan pengetahuan tentang pola asuh dan gizi untuk ibu hamil dan bayi.

Upaya pencegahan dan penanganan stunting terbagi menjadi intervensi spesifik dan
sensitif. Intervensi gizi spesifik lebih banyak dilakukan oleh sektor kesehatan. Perencanaan
kegiatan intervensi spesifik harus dilakukan sesuai dengan permasalahan yang ada dan hasil
capaian program tahun sebelumnya, agar tujuan percepatan penurunan stunting lebih efektif
tidak sekedar kegiatan atau program rutinitas. Keterbatasan anggaran yang terjadi, perlu di

6
upayakan advokasi yang didukung oleh regulasi. Namun upaya percepatan penurunan stunting
masih menjadi prioritas oleh pemerintah. Pada pelaksanaan intervensi gizi sensitif kerjasama dan
koordinasi perlu lebih diperkuat, di mulai sejak awal perencaaan kegiatan, pelaksanaan dan
monitoring atau evaluasi. Ketersediaan data yang akurat dan terintegrasi sangat diperlukan dalam
proses perencanaan penentuan suatu program kebijakan yang akan dilaksanakan. Semua sektor
harus saling mendukung agar tidak terjadi ego sektoral sehingga timbul sinergisme dan
pemahaman yang sama dalam upaya penanganan stunting. Upaya meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang pentinnya gizi juga menjadi tujuan dalam intervensi gizi. Kebijakan dan
regulasi upaya penanganan stunting yang dilkeluarkan pemerintah pusat seharusnya
ditindaklanjuti dengan regulasi oleh pemerintah daerah dan dapat dilaksanakan sampai ke tingkat
bawah yaitu desa. Keterpaduan upaya pencegahan dan penanganan stunting harus selaras dari
tingkat pusat, daerah sampai pada tingkat desa baik intervensi gizi spesifik maupun intervensi
gizi sensitive (Retno Dewi Anggraeni, 2021).

4. Intervensi Pada Penanggulangan Stunting

Intervensi efektif dibutuhkan untuk mengurangi stunting, defisiensi mikronutrien, dan


kematian anak . Jika diterapkan pada skala yang cukup maka akan mengurangi (semua kematian
anak) sekitar seperempat dalam jangka pendek. Dari intervensi yang tersedia, konseling tentang
pemberian ASI dan fortifikasi atau suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar
untuk mengurangi beban morbiditas dan mortalitas anak. Peningkatan makanan pendamping ASI
melalui strategi seperti penyuluhan tentang gizi dan konseling gizi, suplemen makanan di daerah
rawan pangan secara substansial dapat mengurangi stunting dan beban terkait penyakit.
Intervensi untuk gizi ibu (suplemen folat besi, beberapa mikronutrien, kalsium, dan energi dan
protein yang seimbang) dapat mengurangi risiko berat badan lahir rendah sebesar 16%.
Direkomendasikan pemberian mikronutrien untuk anak-anak seperti suplementasi vitamin A
(dalam periode neonatal dan akhir masa kanak-kanak), suplemen zinc, suplemen zat besi untuk
anak-anak di daerah malaria tidak endemik, dan promosi garam beryodium. Untuk intervensi
pengurangan stunting jangka panjang, harus dilengkapi dengan perbaikan dalam faktor-faktor
penentu gizi, seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, beban penyakit, dan kurangnya
pemberdayaan perempuan (Bhutta, 2008).

7
Intervensi penanggulangan stunting juga difokuskan pada masyarakat termiskin. Hal ini
penting dilakukan untuk mencapai target yang diusulkan WHO. Perhatian khusus diberikan
kepada 36 negara high burden (Cobham, 2013).Kebijakan gizi nasional dan organisasi
internasional harus memastikan bahwa kesenjangan yang terjadi ditangani dengan
mengutamakan gizi di daerah pedesaan dan kelompok- kelompok termiskin dalam masyarakat.
Kebijakan yang mendukung distribusi yang lebih adil dari pendapatan nasional, seperti kebijakan
perlindungan sosial, memainkan peranan penting dalam meningkatkan gizi (Cobham, 2013).
Intervensi lainnya dilakukan untuk penangulangan stunting ditekankan kepada pemberian
imunisasi, peningkatan pemberian ASI eksklusif dan akses makanan yang kaya gizi di kalangan
anak-anak yang diadopsi dan keluarga mereka melalui intervensi gizi berbasis masyarakat
(Bloss, 2004).

Penelitian di sembilan negara Sub Sahara Afrika menunjukkan diperlukan intervensi


multisektor dalam penanggulangan stunting. Strategi yang dilakukan adalah dengan
menggabungkan gizi spesifik, pendekatan berbasis kesehatan dengan sistem intervensi berbasis
mata pencaharian. Hasilnya menunjukkan dalam tiga tahun setelah dimulainya program ini pada
tahun 2005-2006 perbaikan yang konsisten dalam ketahanan pangan rumah tangga dan
keragaman diet (Remans, 2011).

Analisis terhadap pola pertumbuhan awal pada anak-anak dari 54 negara miskin di Afrika
dan Asia Tenggara menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan stunting selama 2 tahun pertama
kehidupan dan tidak ada pemulihan sampai dengan usia 5 tahun. Temuan ini memusatkan
perhatian pada periode 9-24 bulan sebagai “window of opportunity” untuk intervensi terhadap
stunting. Dukungan politik yang cukup besar dibutuhkan untuk investasi pada 1000 hari pertama
kehidupan. Data pertumbuhan longitudinal dari Gambia pedesaan menunjukkan bahwa
substansial catch-up terjadi antara 24 bulan dan pertengahan masa kanak-kanak, serta antara
pertengahan masa kanak- kanak dan dewasa. Data ini menggambarkan bahwa fase pertumbuhan
pubertas memungkinkan pemulihan tinggi badan sangat besar, terutama pada anak perempuan
selama masa remaja. Berdasarkan temuan tersebut, intervensi stunting dilakukan pada setiap
siklus kehidupan sehingga efek intergenerasi dapat dihindari (Remans, 2011). Para pembuat
kebijakan dan perencana program harus mempertimbangkan dan melipatgandakan upaya untuk

8
mencegah stunting danmeningkatkan pertumbuhan catch-up pada tahun pertama kehidupan dan
juga pada fase purbertas untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh stunting.

Intervensi yang dilakulan dalam rangka mempercepat pengurangan stunting di Asia


Tenggara adalah meningkatkan ketersediaan dan akses makanan bergizi dengan melakukan
kolaborasi antara swasta dan sektor publik. Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara ( ASEAN)
dapat memainkan peran sebagai fasilitator. Sektor swasta dapat memproduksi dan memasarkan
makanan bergizi, sedangkan sektor publik menetapkan standar, mempromosikan makanan sehat
dan bergizi, dan menjamin akses makanan bergizi untuk daerah termiskin, misalnya melalui
program- program jaring pengaman social (Mitra, 2015).

5. Gambaran Stunting Secara Global Dan Nasional


a. Situasi Global

Pencegahan stunting merupakan program nasional yang didasarkan pada


dikeluarkan Peraturan Presiden Republic Indonesia No. 42 tahun 2013 tentang
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Aturan ini kemudian diterjemahkan oleh
setiap instansi terkait sebagai penjabaran lebih lanjut tentang aturan terkait. Sehubungan
dengan hal tersebut, pemerintah mencanangkan program intervensi pencegahan stunting
terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga. Pada tahun 2018,
ditetapkan 100 kabupaten di 34 provinsi sebagai lokasi prioritas penurunan stunting. Jumlah
ini akan bertambah sebanyak 60 kabupaten pada tahun berikutnya. Dengan adanya
kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan angka stunting di Indonesia
sehingga dapat tercapai target Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2025
yaitu penurunan angka stunting hingga 40%.

Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting.
Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting
pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di
dunia, berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika.
Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan
(58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Berdasarkan data dari World
Health Organization (WHO) tahun 2017 tentang data stunting yang dikumpulkan

9
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional
Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting
di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

b. Situasi Nasional

Berdasarkan sumber yang sama menunjukkan bahwa kasus stunting


(pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data
Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir memiliki prevalensi
tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang,
kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun
2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Berdasarkan data tersebut,
pemerintah menggagas sebuah kebijakan percepatan penanganan stunting dengan
beberapa produk kebijakan antara lain dengan pemerintah 1.000 desa prioritas intervensi
stunting yang berada di 100 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Penetapan 100 kabupaten/kota
prioritas ditentukan dengan melihat indikator jumlah balita stunting(Riskesdas 2013),
prevalensi stunting (Riskesdas 2013), dan tingkat kemiskinan (Susenas 2013) hingga terpilih
minimal satu kabupaten/kota dari seluruh provinsi. Sedangkan untuk pemilihan desa,
ditentukan dengan melihat jumlah penduduk desa (data BPS dan Kemendagri tahun
2015), jumlah penduduk miskin desa (basis data terpadu BPS/TNP2K), tingkat kemiskinan
desa (hasil perhitungan tingkat kemiskinan tahun 2014), dan penderita gizi buruk di
desa selama 3 tahun terakhir.

Dengan demikian untuk bisa menganalisis kebijakan penanganan stunting sebagai


bagian dari program pemerintah untuk penanganan stunting, perlu dikaji berdasarkan pada
kriteria yang telah dipaparkan dalam kajian teoritis. Kriteria yang ada dispesifikkan lagi
menjadi beberapa aspek yang menjadi point kajian ini adalah dalam hal
kesinambungan kebijakan antara pemerintahan pusat dan daerah. Selanjutnya akan
diterjemahkan oleh pemerintahan desa sebagai bagian dari pemerintah dalam tingkat
terendah yang secara langsung berhubungan dengan masyrakat. Berdasarkan alternatif
yang ditemukan dalam penelitian bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi unsur
penting untuk melihat tingkat efektifitas implementasi dari kebijakan yang ada di desa
Donowarih antara lain berkaitan dengan porsi kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan

10
desa sebagai tindak lanjut dari program pemerintah pusat. Porsi kebijakan yang masih
timpang dilihat dari segi anggaran yang menjadi pendukung berjalan atau tidaknya program
dari desa. Kemudian, kebijakan tentang kesehatan di desa yang mencakup ketersediaan
fasilitas kesehatan dan juga fasilitator kesehatan seperti bidan desa serta faktor-faktor lain
yang berhubungan dengan kesehatan. Selain itu dilihat juga sumber daya manusia yang
menjadi garda terdepan dalam kaitannya dengan penanganan pencegahan stunting (Zainul
Rahman, 2021).

11
BAB lll

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Stunting adalah suatu kondisi dimana tinggi badan seseorang tidak sesuai dengan
umurnya. Stunting dapat terjadi akibat beberapa faktor, yaitu gizi buruk ibu hamil maupun
anak balita; rendahnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum hamil, saat
kehamilan dan setelah ibu melahirkan; Asi eksklusif tidak diberikan pada anak usia 0-6 bulan;
layanan kesehatan yang terbatas dan tidak memadai; kuranya cakupan imunisasi pada anak
usia 1-5 tahun; serta kurangnya akses terhadap makanan bergizi, air bersih dan sanitasi. Orang
tua khususnya ibu perlu mendapatkan pengetahuan khusus mengenai stunting dan cara
pencegahannya sehingga orang tua memiliki perubahan perilaku terhadap pola asuh anak sejak
kehamilan sampai 1000 hari pertama kelahiran. Selain itu, perlu dilakukan kerja sama multi
sektoral yang melibatkan pemerintah desa, petugas kesehatan, layanan kesehatan seperti
puskesmas dan masyarakat dalam mencegah meningkatnya prevalensi stunting.

Pemanfaatan dana untuk menyediakan akses air bersih bagi masyarakat, pemberian
makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita dan memberikan bantuan jambanyang sehat bagi
masyarakat yang belum memiliki jamban. Petugas kesehatan juga diharapakan
meningkatkan layanan kesehatan terhadap ibu hamil, bayi, dan balita dengan memberikan
dukungan kepada ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan secara teratur, mendorong
pemberian ASI eksulisif dan pemberian makanan tambahan serta memperluas cakupan
imunisasi. Masyarakat juga perlu berkontribusi dalam mencegah stunting dengan
menerapkan pola hidup bersih dan sehat untuk mencegah terjadinya diare

B. SARAN

Sebaiknya seluruh masyarakat turut serta umtuk menjaga kesehatan diri dan lingkungan
bukan karena sebatas patuh terhadap aturan dan kebijakan pemerintah, namun karena masyarakat
sudah sangat menyadari akan pentingnya kesehatan. Lalu bagaimana caranya? Salah satunya
dengan peduli terhadap gizi kesehatan demi menyongsong bonus demografi di Indonesia
mendatang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Mitra. (2015). Permasalahan Anak Pendek (Stunting) Dan Intervensi Untuk Mencegah
Terjadinya Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan) Stunting Problems And Interventions To
Prevent Stunting (A Literature Review). Jurnal Kesehatan Komunitas , 254-261.

Rahmadhita, K. (2020). Permasalahan Stunting Dan Pencegahannya. Jurnal Ilmu Kesehatan


Sandi Husada , 225-229.

Retno Dewi Anggraeni, A. M. (2021). Evaluasi Penanganan Stunting Melalui Dana Desa Di
Masa Pandemi Covid-19 Dengan Metode Sistematik Review. Junal Ilmiah Kesehatan , 139-151.

Rinaldi Hitman, S. R. (2021). Penyuluhan Pencegahan Stunting Pada Anak (Stunting Prevention
Expansion In Children). Jurnal Pengembangan Masyarakat , 624-628.

Siti Haryani, A. P. (2021). Pencegahan Stunting Melalui Pemberdayaan Masyarakat Dengan


Komunikasi Informasi Dan Edukasi Di Wilayah Desa Candirejo Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semaeang. Jurnal Pengabdian Kesehatan , 30-39.

Zainul Rahman, M. W. (2021). Analisis Kebijakan Pencegahan Stunting Dan Relevansi


Penerapan Di Masyarakat (Studi Kasus: Desa Donowarih). Jurnal Karta Rahardja , 27-33.

13

Anda mungkin juga menyukai