Anda di halaman 1dari 18

STUNTING

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Nuraena Ibrahim (0910581220012)
Mega Aprisna arif (0910981220006)
Ratri Pramudita Hafid (09100581220005)

Prodi Administrasi Kesehatan


Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Sidenreng
Rappang
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Berkat rahmat dan arahannya,
kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang stunting ini tepat pada waktunya. Makalah
ini ditulis sebagai tugas mata kuliah Pengendalian dan Manajemen Penyakit.

Kami ingin mendapatkan hasil maksimal dari kursus Pencegahan Infeksi Para
Eksekutif melalui makalah ini. Kami ingin mengambil kesempatan ini untuk mengucapkan
terima kasih kepada semua orang yang telah berkontribusi pada makalah ini.

Kami telah berupaya agar makalah ini dapat diterima, namun kami menyadari masih
banyak kekurangan. Kami mengantisipasi bahwa analisis dan konsep akan
mengembangkannya lebih lanjut sebagai hasilnya.

Rappang, 8 Mei 2023

Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 1

BAB I.............................................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 4

A. Kejadian penyakit Stunting secara nasional .................................................................. 4

B. Rumusan masalah .......................................................................................................... 5

C. Tujuan ............................................................................................................................. 5

BAB II ............................................................................................................................................ 6

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 6

A. Pengertian Stunting ........................................................................................................ 6

B. Faktor Kejadian Stunting .............................................................................................. 7

C. Upaya Pencegahan Stunting ......................................................................................... 14

BAB III ......................................................................................................................................... 15

PENUTUP ................................................................................................................................ 15

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 15

B. Saran ............................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN
A. Kejadian Penyakit Stunting Secara Nasional
Secara universal, sekitar 144 juta anak balita mengalami efek buruk dari
penghambatan (WHO, 2020). The World Wellbeing Association (WHO) telah
mengumpulkan informasi tentang kesamaan balita yang terhambat, dan beralasan bahwa
Indonesia adalah negara dengan prevalensi tertinggi ketiga di wilayah Asia Tenggara, dengan
prevalensi rata-rata 36,4% pada tahun 2005-2017 (Layanan Kesejahteraan, 2018). Pada tahun
2017, 9,8% balita usia 0 hingga 59 bulan di Indonesia sangat pendek, sedangkan balita usia 0
hingga 59 bulan sebesar 19,8% mengalami stunting (Ramdhani, Handayani and Setiawan,
2020).

Seperempat anak di seluruh dunia mengalami stunting, sejenis malnutrisi yang


ditandai dengan retardasi pertumbuhan linier dalam dua tahun pertama kehidupan. Ada bukti
bahwa faktor risiko lingkungan terkait dengan stunting, meskipun faktanya status gizi tetap
menjadi penyebab utama stunting (Vilcins, Sly and Jagals, 2018).

Pada 2017, Asia menjadi rumah bagi lebih dari separuh balita stunting di dunia (55
persen), sedangkan Afrika menjadi rumah bagi lebih dari sepertiga (39 persen). Dari 83,6 juta
balita cacat di Asia, persentase tertinggi berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan persentase
minimal dari Asia Tengah (0,9%). 1 Dari tahun 2005 hingga 2017, prevalensi rata-rata
stunting pada anak di bawah usia lima tahun di Asia Tenggara adalah 50,2%, diikuti oleh Leste
Timur dengan 50,2%, India di urutan kedua dengan 38,4%, india di urutan ketiga dengan
36,4% , Bangladesh di urutan keempat dengan 36,1%, Nepal di urutan kelima dengan 35,8%,
Butan di urutan keenam dengan 33,6%, Myanmar 2,2 persen, Korea Utara 27,9%, Maladewa
20,3 persen, Sri Lanka 17,3%,dan yang terakhir Negara Thailand dengan angka prevalensi
10,5% (Khatimah et al., 2020).

Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah kebijakan dan langkah untuk


mencegah stunting. Antara lain yang tergabung dalam Gerakan Global Scaling Up Nutrition
(SUN) tahun 2011, Peraturan Presiden No. 42/2013, yaitu tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG), menghimpun upaya pencegahan stunting yang
dituangkan dalam RPJMN tahun 2015 hingga 2019.
Rasio tinggi badan anak dengan umurnya (TB/U) merupakan salah satu cara untuk
menentukan apakah anak stunting atau normal. Jumlah balita umur 0 sampai dengan 59 bulan
yang diukur tinggi badannya di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2019 sebanyak 318.894
anak, dengan 53.421 anak pendek (16,75 persen). Risiko stunting di Provinsi Sulawesi Selatan
perlu diteliti untuk menentukan kabupaten atau kota mana yang memiliki risiko tinggi atau
rendah. (Nirmalasari, 2020). Terdapat sebanyak 318.894 balita usia 0 sampai 59 bulan pada
tahun 2019, dengan jumlah balita pendek sebanyak 53.421 (16,75 persen) Perlu dilakukan
penelitian tentang risiko stunting di Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengetahui daerah dan
kota dengan risiko terendah (Aswi, Sukarna and Nurhilaliyah, 2022).

B. Rumusan masalah
1. Pengertian Stunting
2. Penyebab terjadinya Stunting
3. Upaya Pencegahan Stunting

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Stunting.
2. Untuk mengetahui akar penyebab stunting.
3. Mempelajari bagaimana upaya pencegahan stunting
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Stunting
Stunting adalah Keterbelakangan pertumbuhan linier kurang dari -2 standar
deviasi panjang tubuh untuk usia disebut sebagai stunting. Di seluruh dunia, banyak
anak yang terkena masalah stunting. Pada 2013, diperkirakan 161 juta anak muda di
bawah lima tahun terhambat. Stunting berdampak pada pertumbuhan dan kesehatan.
dikaitkan dengan produktivitas rendah, pendidikan rendah, dan gangguan fungsi
kognitif dan kinerja. risiko mengembangkan penyakit jangka panjang sebagai orang
dewasa. efek moneter pada individu, rumah tangga, dan masyarakat (Rahmadhita,
2020)

Kondisi kekurangan gizi kronis yang dikenal dengan stunting terjadi pada
tahap krusial dalam pertumbuhan dan perkembangan janin. Di Indonesia, saat ini
diperkirakan 37,2% anak usia 0-59 bulan atau sekitar 9 juta anak menderita stunting
yang berlangsung hingga usia enam hingga delapan belas tahun. Stunting ditandai
dengan keadaan bayi berumur 0 - 59 bulan dimana kadar umurnya dibawah 2 Standar
deviasi (<-2SD) dari nilai tengah WHO. Stunting akan berpengaruh dan berkaitan
dengan proses kesehatan jiwa yang terganggu, yang secara sementara mempengaruhi
kemampuan jiwa. Dalam jangka panjang, semakin sulit untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih baik dan menghilangkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan
dengan gaji yang lebih baik. Cara seorang ibu membesarkan anaknya menjadi salah
satu faktor penyebab stunting. Tingkat pengetahuan ibu berhubungan erat dengan pola
asuh. Ketiadaan informasi dapat membuat pengasuhan ibu kurang sehingga
mempengaruhi terjadinya menghambat pada bayi (Ramdhani, Handayani and
Setiawan, 2020).
Stunting adalah jenis kekurangan gizi kronis yang terjadi ketika makanan yang
disediakan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam jangka waktu
yang lama. Ketidaksehatan pada usia dini menyebabkan kematian bayi dan anak,
membuat korban mudah sakit dan memiliki postur tubuh yang tidak ideal sebagai
orang dewasa.. Stunting tidak dimulai sampai anak berusia dua tahun melainkan saat
janin masih dalam kandungan. Menghambat bayi perlu perhatian khusus karena dapat
menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Stunting terkait dengan
perkembangan mental dan motorik yang terhambat serta peningkatan risiko kematian.
Selain itu, dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit degeneratif, penurunan
produktivitas, dan kemampuan intelektual. Akibat meningkatnya kerentanan terhadap
penyakit menular, anak stunting berisiko mengalami penurunan kualitas pendidikan
dan lebih sering tidak masuk sekolah, yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi
jangka panjang bagi Indonesia (Louis, Mirania and Yuniarti, 2022).

B. Faktor Kejadian Stunting


a. Pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI
Penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Khatimah
et al., (2020) menunjukkan semua kebutuhan bayi selama enam bulan pertama
kehidupannya dapat dipenuhi oleh ASI, sehingga ASI bagi balita bermanfaat
bagi kesehatan dan gizinya. Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan ASI
eksklusif sebagai ASI saja tanpa penambahan cairan lain seperti air, susu
formula, atau makanan pendamping. Menurut data Kabupaten Mariso, bayi
yang mendapat ASI eksklusif mendapat ASI hingga dua tahun.
Salah satu variabel terjadinya penghambatan adalah tidak diberikannya
ASI secara Eksklusif. Penelitian yang dilakukan oleh Louis.dkk (2022)
menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang tidak diberikan ASI eksklusif
berpeluang 61 kali lipat mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi
ASI eksklusif. ASI eksklusif dapat mengurai risiko terjadinya stunting Louis,
Mirania and Yuniarti, (2022). Balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dan
mengalami stunting sebanyak 66 (91.7%) responden. Usia bayi merupakan
masa dimana proses perkembangan dan peningkatan terjadi secara cepat.
Kriteria usia balita dan pra sekolah meliputi anak-anak yang berusia antara 24
hingga 60 bulan.
Jika dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI eksklusif, anak
usia 6 sampai 24 bulan memiliki risiko stunting 1,282 kali lebih tinggi pada
yang tidak, sehingga riwayat pemberian ASI eksklusif menjadi faktor kejadian
stunting. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di kota Pekanbaru
yang menunjukkan 41,8% balita yang tidak diberikan ASI saja mengalami
hambatan. Pada usia ini, perubahan kebiasaan makan yang semula eksklusif
menyusui mulai berinteraksi dengan makanan yang tidak sehat dan bergeser ke
makanan pendamping ASI. Balita akan lebih rentan terhadap beberapa
penyakit, terutama infeksi, jika pola asuh tidak diperhatikan. Menurut para
peneliti, pemberian ASI eksklusif dapat menyebabkan stunting. (RI, 2019).
Penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi, Hariansyah and Prasetya
(2019) menunjukkan bahwa bayi yang hanya diberi ASI mengalami hambatan
berat, tepatnya 57,9%, berbeda dengan anak kecil yang tidak hanya diberi ASI,
yang mengalami hambatan.
Yang dimaksud dengan “Makanan Pendamping ASI” (MP-ASI) adalah
makanan yang diberikan kepada bayi setelah berusia enam bulan yang
berfungsi sebagai pengganti ASI dalam hal zat gizi. Dengan bertambahnya usia
anak yang disertai dengan peningkatan berat dan tinggi badan, kebutuhan akan
energi dan nutrisi lainnya juga akan meningkat. ASI saja tidak dapat memenuhi
peningkatan kebutuhan gizi; makanan pendamping juga diperlukan. Makanan
bayi harus memiliki setidaknya 360 kilokalori per 100 gram bahan sebagai
energi (Hasan and Kadarusman, 2019).
Di Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya Desa Palalakkang promosi
kesehatan pencegahan stunting dan penyusunan menu MP-ASI dengan
menggunakan bahan lokal yang murah dan mudah didapat merupakan dua cara
untuk meningkatkan kesadaran pencegahan stunting dan strategi yang baik
dalam pemberian MP-ASI. Ibu hamil dan ibu yang memiliki anak di bawah
usia dua tahun diharapkan mendapat manfaat dari hal ini dengan belajar lebih
banyak tentang cara pencegahannya. Pustu di jantung kota merupakan fasilitas
kesehatan terdekat. Seperti dengan pengabdian Masyarakat yang dilakukan
oleh Maryam et al., (2021) di Desa Palalakkang yaitu membuat MP-ASI dari
ikan mairo, pangan lokal, dalam upaya meningkatkan gizi anak dan mencegah
stunting. Kelompok ibu memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
stunting dan makanan pendamping ASI seimbang melalui kegiatan ini.
Perubahan perilaku pasangan mengenai pemberian MPASI dapat diamati
setelah dilakukan penyuluhan dan pendampingan.
Studi lain menemukan bahwa 67,0% dari 94 balita yang diteliti tidak
mengkonsumsi MP ASI, sedangkan 33,0% balita yang diteliti mengkonsumsi
MP ASI. Hal ini dipengaruhi oleh pemberian MP-ASI yang terlalu cepat oleh
ibu balita karena berakhirnya ASI eksklusif dan pemahaman yang muncul dari
ibu bahwa ASI tidak cukup dan ASI tidak keluar dengan sempurna sehingga
anak-anak lebih muda. rewel. Terakhir, ibu memberi makan balita lebih banyak
sehingga berpengaruh pada anak. Misalnya memberikan bubur atau pisang
kepada anak kecil sebelum memasuki usia 6 bulan, sedangkan saluran cerna
anak belum dapat mencerna jenis makanan tersebut sehingga kesehatan anak
terganggu dan menimbulkan penyakit yang dapat menghambat
perkembangannya.. (Hamzah, Haniarti and Anggraeny, 2021)
Ketika seorang anak berusia antara 24 dan 30 bulan, biasanya mereka
sulit makan atau tidak mau makan. Nafsu makan mereka sering berubah, dan
mereka mungkin makan banyak pada suatu hari dan sedikit pada hari
berikutnya. Anak-anak biasanya menyukai jenis makanan tertentu, dan mereka
cepat bosan. dan tidak suka makan sambil duduk untuk waktu yang lama.
Anak-anak, sebaliknya, dianggap sebagai konsumen aktif pada usia prasekolah
(31 hingga 60 bulan), ketika mereka dapat memilih makanan yang mereka
sukai, tetapi mereka belum dapat memilih makanan sehat untuk diri mereka
sendiri. Karena aktivitas fisik biasanya cukup tinggi dan anak masih belajar,
balita dan anak prasekolah membutuhkan nutrisi yang cukup baik secara
kuantitas maupun kualitas.
Pemberian zat besi adalah faktor pertaruhan untuk menghalangi Anak-
anak di kelompok yang menghalangi memiliki penerimaan zat besi yang lebih
sedikit dibandingkan dengan kelompok yang tidak terhalang. Anak-anak muda
dengan kekurangan asupan zat besi memiliki risiko 3,08 kali lipat menjadi
terhambat. Pemeriksaan ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan yang
menyatakan bahwa ada faktor risiko antara asupan zat besi pada anak yang
terhambat dan tidak terhambat di wilayah ghetto metropolitan(Setiyo et al.,
2019).
Menurut penelitian tambahan, variabel yang paling erat hubungannya
dengan stunting pada bayi dan anak balita adalah kecukupan protein. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa anak di bawah usia lima tahun yang
mengonsumsi protein dalam jumlah yang tidak mencukupi berisiko mengalami
stunting sebanyak 6.495 kali(Siringoringo et al., 2020).
b. Gizi
Meski dikenal sebagai "lumbung pangan", Sulawesi Selatan tergolong
daerah yang rawan masalah gizi. Melihat hasil Jelajah Kesejahteraan 2013,
menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi Selatan berada pada posisi 10 besar
dengan balita yang mengalami kurang sehat, tepatnya 25% pada tahun 2010
menjadi sekitar 26% pada tahun 2013 (Layanan Kesejahteraan) . Menurut
Riskesdas 2018, Maluku dan Papua memiliki proporsi balita stunting tertinggi,
menempati urutan keempat (Kementerian Kesehatan).
Selama ini penanganan status gizi bayi gizi kurang dan gizi buruk telah
terbantu melalui pemberian Makanan Berharga (PMT) sebagai makanan
pendamping dan roti gulung yang diberikan oleh unit pelayanan kesehatan.
Program pengiriman PMT pembuat tidak menjamin kemajuan ( Nadimin,
Retno Sri Lestari. 2019)
c. Jenis Kelamin dan Berat Lahir
Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram memiliki
peluang 0,290 untuk mengalami stunting. (Pertiwi, Hariansyah and Prasetya,
2019). Bayi yang lahir dengan BBLR adalah bayi yang beratnya kurang dari
2500 gram. Anak dengan berat badan lahir rendah disertai dengan penggunaan
sumber makanan yang tidak bergizi, kurangnya pelayanan kesehatan, dan
infeksi yang sering terjadi pada masa remaja menyebabkan batas
perkembangan dan terhambatnya produksi anak. Berdasarkan temuan
penelitian, 94 balita mengalami BBLR, dan sembilan di antaranya mengalami
stunting (100 persen). Sementara itu, terdapat 85 balita yang tidak BBLR
(90,4%), dimana 61 balita pendek (87,1%) dan 24 balita tidak pendek. Akan
sulit bagi balita yang lahir dengan BBLR untuk mengejar ketertinggalan
pertumbuhan awal. Balita akan menjadi terhambat jika pertumbuhannya tidak
cukup. Apabila balita tidak diberi makan yang cukup, yang memperlambat
pertumbuhannya.(Hamzah, Haniarti and Anggraeny, 2021).
Berat lahir adalah bidang kekuatan untuk ukuran tubuh masa depan.
Sebagian besar bayi Intra-uterine Development Hindrance (IUGR) tidak bisa
mendapatkan masa perkembangannya untuk berkembang secara khas seperti
anak-anak biasa lainnya. Stunting dikaitkan dengan anak-anak di bawah usia
lima tahun, dengan anak-anak antara usia 12 dan 23 tahun memiliki
kemungkinan 2,7 kali lebih besar daripada anak-anak antara usia 6 dan 11
tahun yang mengalami stunting, risiko stunting anak yang dilahirkan de- ngan
berat bayi lahir rendah (BBLR) adalah 1,81 kali dibanding anak lahir dengan
BB normal (Hafid and Thaha, 2015).
Menurut penelitian lain, subjek laki-laki 1,32 kali lebih mungkin
mengalami stunting daripada subjek perempuan. Jika dibandingkan balita usia
0 hingga 11 bulan, risiko stunting pada anak usia 12 hingga 23 bulan lebih
tinggi 2,05 kali. Jika dibandingkan dengan balita yang panjang badannya
kurang dari 48 sentimeter, balita dengan panjang badan bayi memiliki
kemungkinan 1,5 kali lebih kecil untuk mengalami stunting. Anak kecil dengan
berat lahir di bawah 2500 gram memiliki risiko 1,78 kali lipat dibandingkan
dengan bayi dengan berat lahir (Sudikno et al., 2022).
Penelitian yang dilakukan di Desa Taro Ditemukan bahwa prevalensi
gangguan pada bayi di Kota Taro adalah 34,2% dengan jumlah anak pendek
(hambatan) sebesar 22% dan sangat pendek (hambatan serius) sebesar 12,2%.
Angka ini mendekati angka prevalensi stunting pendek dan sangat pendek di
Indonesia, yaitu 19,3% dan 11,5% jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya. (Kamayana, Ani and Weta, 2021).
Penelitian yang dilakukan di Gorontalo menunjukkan bahwa stunting
mempengaruhi lima puluh persen balita. Proporsi responden balita laki-laki
(50,8%) sedikit lebih tinggi dibandingkan proporsi responden perempuan
(49,2%). 54,2 persen lebih banyak balita berusia antara 42 dan 29 bulan
dibandingkan antara usia 24 dan 41 bulan. (Nurdin and Dwi Nur Octaviani
Katili, 2020).
d. Pendidikan Orang Tua, Pekerjaan Orang Tua dan Status Ekonomi Keluarga
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi status gizi keluarga. Orang tua dengan pendidikan yang lebih
tinggi lebih mungkin mengetahui bagaimana menjalani hidup sehat dan
menjaga tubuh mereka dalam kondisi yang baik. Sikap orang tua terhadap
penerapan gaya hidup sehat, termasuk membayar makan, mungkin
mencerminkan hal ini. Gaya hidup sehat dan pendapatan keluarga secara tidak
langsung berhubungan dengan tingkat pendidikan ayah dan ibu. Namun,
berbeda dengan ayah, tingkat pendidikan ibu lebih terkait dengan
kemungkinan menghambat. Keluarga dengan wali dengan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi lebih cenderung siap untuk memberi makan anak-anak
mereka dengan baik, menurunkan taruhan untuk anak-anak yang kurang
mampu. Demikian pula, lebih mudah bagi mereka untuk masuk ke kantor
layanan medis, menempatkan keluarga dan anak-anak mereka di atas mereka
yang tidak memiliki pendidikan yang solid (Pertiwi, Hariansyah and Prasetya,
2019).
Proporsi peluang: 2.000 menunjukkan bahwa bayi dengan ayah yang
tidak bekerja memiliki kemungkinan 2.000 mengalami hambatan
dibandingkan dengan anak kecil dengan ayah yang bekerja. Stunting
mempengaruhi 51,1% balita yang ibunya tidak bekerja, lebih tinggi dari
stunting mempengaruhi 50% balita yang ibunya bekerja. Proporsi peluang:
1,045 menunjukkan bahwa bayi dengan ibu tidak bekerja memiliki
kemungkinan 1,045 mengalami hambatan dibandingkan dengan bayi dengan
ibu bekerja. Proporsi balita stunting sebesar 51,2%, lebih tinggi dibandingkan
proporsi balita stunting yang memiliki pendapatan keluarga tinggi yaitu 50,0%.
Dmaka tidak terdapat hubungan yang bermakna antara prevalensi stunting
dengan pendapatan keluarga. Rasio odds 1,048 menunjukkan bahwa,
dibandingkan dengan balita dengan pendapatan keluarga tinggi, balita dengan
pendapatan rendah memiliki peluang 1,048 untuk mengalami stunting (Hadi,
Kumalasari and Kusumawati, 2019).
Salah satu faktor penyebab stunting adalah pendidikan ibu. Anak-anak
dari hampir 40% ibu yang tidak tamat SD mengalami stunting. Sekitar 20%
ibu bergelar sarjana adalah orang tua dari anak dengan kondisi stunting.
Memiliki anak yang pendek antara usia 24 dan 59 bulan memiliki
kemungkinan 1,44 kali lebih besar pada ibu yang tidak tamat SD (Aditianti et
al., 2021).
Ibu berperan penting dalam pengelolaan faktor risiko yang
berhubungan dengan stunting . Padahal, anak dan ibu berada dalam lapisan
sosial keluarga yang mempengaruhi pengasuhan anak. sebagai akibat dari
perlunya penelitian tambahan tentang faktor psikososial yang mempengaruhi
pola asuh ibu dalam rumah tangga (Sagita and Kemal N. Siregar, 2022)
Tubuh ibu yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada
anak. Hal ini bukan karena pengaruh gen pada kromosom melainkan karena
ibu bertubuh pendek selama hamil akibat malnutrisi atau kondisi patologis
yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan intrauterin janin
(Rosselo, Kandarina and Kumorowulan, 2019).
Untuk menjaga pola makan anak dengan benar, ibu sangat bergantung
pada pengetahuan dan peran mereka dalam mendorong makan sehat. Sejak
anak mengikuti pola makan keluarga, makanan ringan untuk anak perlu
dikenalkan. Tentu, pilih berdasarkan usia, seperti konsistensi dan ukuran porsi.
Kesejahteraan anak-anak adalah sesuatu yang harus benar-benar dicari oleh
orang tua. Oleh karena itu dilakukan upaya untuk menjaga kesehatan anak
dengan pengaturan pola makan yang seimbang. Upaya pemberian makanan
yang seimbang dan memenuhi kebutuhan gizi anak dapat meningkatkan
kesehatannya. Pengaturan makan, khususnya makan sesuai struktur bahan
makanan yang dibutuhkan tubuh pada bagian-bagian yang disesuaikan dengan
kebutuhan anak pada setiap usia (Umar, Nurhaeda and Juwita, 2021).
Penelitian lain yang dilakukan di Desa Bejiharjo menyatakan bahwa
status ekonomi orang tua dan ketahanan pangan keluarga merupakan faktor
risiko terjadinya stunting (Raharja, Waryana and Sitasari, 2019). Alasan yang
menyimpang dari masalah yang stunting adalah status keuangan keluarga yang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan para wali. Peluang mendapatkan uang
yang cukup untuk hidup di lingkungan yang sehat akan lebih besar jika orang
tua memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Padahal pada kenyataannya,
anak-anak ini sangat membutuhkan kasih sayang orang tua, orang tua dengan
pekerjaan yang lebih baik seringkali disibukkan dengan berbagai aktivitas dan
tidak memperhatikan masalah yang mereka hadapi dengan anak-anak mereka.
e. Praktik Kebersihan dan Sanitasi
Penelitian yang telah dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya
di Kecamatan Mariso Tingkat penghambatan yang paling tinggi adalah pada
usia 12 tiga tahun, hal ini mungkin karena anak-anak sedang memasuki masa-
masa sulit menyapih dan masa-masa yang sangat aktif dalam mengamati iklim
secara keseluruhan. Terlebih lagi, gerakan terkoordinasi kasar bayi juga
berkembang dan tumbuh dengan cepat. Beberapa balita akan mengalami
berbagai kekurangan gizi pada tahap ini, termasuk penurunan nafsu makan,
asupan makanan yang tidak memadai, jam tidur yang berkurang, dan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi ketika ibu atau pengasuh kurang
memperhatikan sanitasi dan kebersihan(Khatimah et al., 2020).

C. Upaya Pencegahan Stunting


Usia emas untuk tumbuh kembang anak adalah antara usia 0 dan 2 tahun, atau
saat mereka berusia kurang dari tiga tahun. Hal ini dikarenakan pertumbuhan yang
sangat pesat pada masa ini. Karena pada masa janin hingga usia dua tahun terjadi
proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat yang tidak terjadi pada
kelompok usia lainnya, maka 1000 hari pertama sering disebut sebagai “window of
opportunity” atau “jendela kesempatan” atau “ periode emas." Gizi dan kesehatan anak
akan terganggu jika ia tidak berkembang selama ini. tahun-tahun dewasa

Mengingat prevalensi stunting yang tinggi di Indonesia, upaya untuk


mencegah masalah tersebut harus dilakukan. Di Indonesia, kebijakan untuk mencegah
stunting telah ditetapkan oleh pemerintah. Melalui penerapan kebijakan pencegahan
stunting, pemerintah telah menetapkan, Berikut ketentuan Perpres No. 42 Tahun 2013
tentang Gerakan Nasional Peningkatan Percepatan Gizi Berfokus pada 1000 Hari
Pertama Kehidupan: Pelayanan Kesejahteraan RI, 2013)

1. Selama hamil, ibu hamil mendapat minimal 90 tablet TTD


2. Nutrisi Tambahan Khusus Kehamilan (PMT)
3. Kepuasan nutrisi
4. Menggunakan dokter atau bidan ahli untuk persalinan
5. Memberikan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) ASI eksklusif untuk bayi berusia 6
hingga 7 bulan.
6. Untuk bayi usia enam bulan sampai dua tahun, berikan MP-ASI (makanan
pendamping ASI)
7. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi diatas usia 6 bulan
hingga 2 tahun
8. Pemberian imunisasi dasar lengkap dengan vitamin A
9. Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu terdekat
10. Penetapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Pemerintah juga menggunakan PKGBM, atau Proyek Kesehatan dan Gizi


Berbasis Masyarakat, untuk menghentikan stunting. PKGBM adalah pendekatan
jangka panjang yang komprehensif untuk mencegah stunting di berbagai bidang.
mengejar tujuan program berikut::

a. mengurangi dan mencegah bayi stunting, malnutrisi, dan berat badan lahir
rendah;
b. meningkatkan pendapatan rumah tangga dan keluarga melalui pengurangan
biaya, peningkatan produktivitas, dan peningkatan pendapatan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stunting adalah jenis kekurangan gizi kronis yang terjadi ketika makanan yang
disediakan tidak mencakupi untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam jangka waktu yang
lama. Ketidaksehatan pada usia dini menyebabkan kematian bayi dan anak, membuat
korban mudah sakit dan memiliki poostur tubuh yang tidak ideal sebagai orang
dewasa. Stunting tidak dimulai sampai anak berusia dua tahun melainkan saat janin
masih dalam kandungan.

Banyaknya bayi yang berpendidikan ibu rendah yang mengalami hambatan


60,0% lebih besar dibandingkan yang kecil anak yang mengaalami hambatan dengan
pendidikan keibuan yang tinggi adalalah 25.0% sebenarnya berarti ada perbedaan yang
sangat besar antara pendidikan ibu dan frekuensi hambatan pada bayi. Ood radio 4.500
menunjukan bahwa anak kecil dengan pendidikan keibuan rendah memiliki
kemungkinan 4.500 mengalami hambatan dibandingkan dengan bayi yang ibunya
berpedidikan tinggi. Proporsi balita dengan proporsi ayahnya bekerja yaitu 50,0%,
tingkat signifikasi menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan ayah
dengan angka stunting pada balita.

Alasan mengapa 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak disebut sebagai
“window of opportunity” atau “masa emas” adalah karena sejak masa janin hingga
anak berusia dua tahun, terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat sehingga tidak terjadi pada usia lain. Ketidakmampuan untuk berkembang pada
periode ini akan mempengaruhi status gizi dan kesejahteraan. sebagai orang dewasa.
B. Saran
Dalam kasus penyakit stunting ini, perlu adanya pengetahuan tentang
bagaimana dan pentingnya mengomsumsi menu gizi seimbang bagi tubuh, sehingga
zat gizi dapat terpenuhi sesuai angka kecukupan gizi yang pada dasarnya sangat
dianjurkan, serta memperhatikan makanan yang akan diberikan anak dan yang akan
dikomsumsi agar terpenuhi kebutuhan energi dan protein setiap harinya.

DAFTAR PUSTAKA
Aditianti, A. et al. (2021) ‘Prevalensi Dan Faktor Risiko Stunting Pada Balita 24-59 Bulan Di
Indonesia: Analisis Data Riset Kesehatan Dasar 2018 [Prevalence and Stunting
Risk Factors in Children 24-59 Months in Indonesia: Analysis of Basic Health
Research Data 2018]’, Penelitian Gizi dan Makanan (The Journal of Nutrition
and Food Research), 43(2), pp. 51–64. Available at:
https://doi.org/10.22435/pgm.v43i2.3862.
Aswi, A., Sukarna, S. and Nurhilaliyah, N. (2022) 'Mapping the Relative Risk of Stunting
Cases in South Sulawesi Province', Sainsmat: Scientific Journal of Natural
Sciences, 11(1), p. 11. Available at:
https://doi.org/10.35580/sainsmat111325202022.
Hadi, M.I., Kumalasari, M.L.F. and Kusumawati, E. (2019) ‘Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan Kejadian Stunting di Indonesia: Studi Literatur’, Journal of Health
Science and Prevention, 3(2), pp. 86–93. Available at:
https://doi.org/10.29080/jhsp.v3i2.238.
Hafid, F. and Thaha, A.R. (2015) ‘FAKTOR RISIKO STUNTING USIA 6-23 BULAN DI
KECAMATAN BONTORAMBA KABUPATEN JENEPONTO Stunting Risk
Factors Ranging from 6-23 Months Old in Bontoramba Distric of Jeneponto
Regency’, (September), pp. 139–146.
Hamzah, W., Haniarti, H. and Anggraeny, R. (2021) 'Risk Factors of Stunting in Toddlers',
Surya Muda Journal, 3(1), pp. 33–45. Available at:
https://doi.org/10.38102/jsm.v3i1.77..
Hasan, A. and Kadarusman, H. (2019) 'Access to Basic Sanitation Facilities as a Risk Factor
for Stunting in Toddlers Age 6-59 Months', Journal of Health, 10(3), p. 413.
Available at: https://doi.org/10.26630/jk.v10i3.1451.
Kamayana, P.P.Y., Ani, L.S. and Weta, I.W. (2021) ‘Kejadian dan Faktor Risiko Stunting
pada Balita di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar’, Jurnal
Medika Udayana, 10(4), pp. 3–5. Available at:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum.

Khatimah, H. et al. (2020) ‘Karakteristik Kejadian Stunting di Wilayah Kecamatan Mariso


Kota Makassar’, Window of Public Health Journal, 01(02), pp. 141–147.
Louis, S.L., Mirania, A.N. and Yuniarti, E. (2022) ‘Hubungan Pemberian ASI Eksklusif
dengan Kejadian Stunting pada Anak Balita’, Maternal & Neonatal Health
Journal, 3(1), pp. 7–11. Available at: https://doi.org/10.37010/mnhj.v3i1.498.
Maryam, A. et al. (2021) ‘Peningkatan Gizi Anak Sebagai Upaya Pencegahan Stunting
Melalui Pembuatan Mp-Asi Berbahan Ikan Mairo’, Jurnal Masyarakat Mandiri
(JMM), 5(3), pp. 901–907. Available at:
http://journal.ummat.ac.id/index.php/jmm/article/view/4991%0Ahttp://journal.
ummat.ac.id/index.php/jmm/article/download/4991/2908.
Nirmalasari, N.O. (2020) ‘Stunting Pada Anak : Penyebab dan Faktor Risiko Stunting di
Indonesia’, Qawwam: Journal For Gender Mainstreming, 14(1), pp. 19–28.
Available at: https://doi.org/10.20414/Qawwam.v14i1.2372.
Nurdin, S.S.I. and Dwi Nur Octaviani Katili (2020) ‘Faktor Risiko Balita Pendek (Stunting)
di Kabupaten Gorontalo’, E-Jurnal Medika, 2(1), pp. 1–5. Available at:
http://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/PJKM/article/view/1371%0Ahttp://ju
rnal.iakmi.id/index.php/FITIAKMI.
Pertiwi, F.D., Hariansyah, M. and Prasetya, E.P. (2019) ‘Faktor Risiko Stunting Pada Balita
Dikelurahan Mulyaharja Tahun 2019’, Promotor, 2(5), p. 381. Available at:
https://doi.org/10.32832/pro.v2i5.2531.
Raharja, U.M.P., Waryana, W. and Sitasari, A. (2019) ‘Status ekonomi orang tua dan
ketahanan pangan keluarga sebagai faktor risiko stunting pada balita di Desa
Bejiharjo’, Ilmu Gizi Indonesia, 3(1), pp. 73–82.
Rahmadhita, K. (2020) ‘Permasalahan Stunting dan Pencegahannya’, Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 11(1), pp. 225–229. Available at:
https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.253.
Ramdhani, A., Handayani, H. and Setiawan, A. (2020) ‘Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan
Kejadian Stunting’, Semnas Lppm, ISBN: 978-, pp. 28–35.
RI, M.K. (2019) ‘Gambaran Kejadian Stunting pada Balita di Kota Makassar’, Αγαη, 8(5), p.
55.
Rosselo, J., Kandarina, I. and Kumorowulan, S. (2019) ‘Faktor Risiko Stunting Di Daerah
Endemik Gaki Kabupaten Timor Tengah Utara’, Media Gizi Mikro Indonesia,
10(2), pp. 125–136. Available at: https://doi.org/10.22435/mgmi.v10i2.598.
Sagita, S. and Kemal N. Siregar (2022) ‘Faktor-faktor Risiko Stunting pada Balita di
Indonesia: Suatu Scoping Review’, Media Publikasi Promosi Kesehatan
Indonesia (MPPKI), 5(6), pp. 654–661. Available at:
https://doi.org/10.56338/mppki.v5i6.2289.

Setiyo, T. et al. (2019) ‘Faktor Risiko Kejadian Stunting Anak Usia 1-2 Tahun Di Daerah Rob
Kota Pekalongan Risk Factor for Stunting Among 1-2 Years Children in Tidal
Area Pekalongan City’, Jurnal Riset Gizi, 7(2), pp. 83–90.
Siringoringo, E.T. et al. (2020) ‘Karakteristik Keluarga Dan Tingkat Kecukupan Asupan Zat
Gizi Sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Baduta’, Journal of Nutrition
College, 9(1), pp. 54–62. Available at: https://doi.org/10.14710/jnc.v9i1.26693.
Sudikno et al. (2022) ‘( The Journal of Nutrition and Food Research )’, The Journal of
Nutrition and Food Research, 45(2), pp. 101–110.
Umar, F., Nurhaeda and Juwita (2021) ‘Analisis Faktor-Faktor Risiko Stunting Anak Balita
pada Masa Pandemi Covid-19 di Puskesmas Tawaeli Kota Palu Tahun 2020’,
Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 4(3), pp. 413–418.
Available at: https://doi.org/10.56338/mppki.v4i3.1612.
Vilcins, D., Sly, P.D. and Jagals, P. (2018) ‘What it is and what it means | Concern Worldwide
U.S.’, Annals of Global Health, 84(4), pp. 551–562. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/328753452_Environmental_Risk_Fac
tors_Associated_with_Child_Stunting_A_Systematic_Review_of_the_Literatu
re/link/5be0eca1299bf1124fbe13fd/download.
‫( سعید سیادت‬2000) ‘No Title ‫’غالت زراعت‬, 8153(1645), pp. 1–76.

Anda mungkin juga menyukai