Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENGARUH GENDER DALAM MASYARAKAT

DISUSUN OLEH :

ROSDIANA

NIM 0910581220002

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SIDENRENG RAPPANG

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PRODI ADMINISTRASI KESEHATAN

TAHUN AJARAN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kita dapat
menyelesaikan Makala yang berjudul kesehatan reproduksi dan keluarga
berencana ini sebatas kemampuan yang dimiliki.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Kesehatan
Reproduksi dan KB juga menyedari sepenuhnya bahwa dalam tugas ini
terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, saya
berharap adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.

Semoga Makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang-orang yang membacanya. Sebelunya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Rappang,13 Juni 2022

Rosdiana

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB 1........................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................6
C. Tujuan.....................................................................................................6
BAB II......................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................7
A. Kondisi yang mempengaruhi gender yang keliru..................................7
B. Persoalan seputar seks yang dipengaruhi persoalan gender dalam
masyarakat.......................................................................................................10
C. Keterkaitan gender dengan kerentangan terhadap HIV/AIDS......15
BAB III...................................................................................................................21
PENUTUP............................................................................................................21
A. Kesimpulan...............................................................................................21
B. Saran..........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................22

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan
oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya
yang panjang.Perbedaan perilaku antara lakilaki dan perempuan, selain
disebabkan oleh faktorbiologis sebagian besar justru terbentuk melalu
proses sosial dan kultural. Genderbisa dikategorikan sebagai perangkat
operasional dalam melakukan measure(pengukuran) terhadap persoalan
laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran
dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.Istilah
gender telah menjadi isu penting dan sering diperbincangkan akhir-akhir
ini.Banyak orang yang mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan
denganperempuan, sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan
menuju kesetaraandan keadilan gender hanya dilakukan dan diikuti oleh
perempuan tanpa harusmelibatkan laki-laki.Perempuan merupakan sumber
daya yang jumlahnya cukup besar, bahkan diseluruh dunia melebihi jumlah
laki-laki. Namun perempuan yang yang berpartisipasi di sektor publik
berada jauh di bawah laki-laki, terutama di bidang politik. Rendahnya
partisipasi perempuan di sektor publik bukan hanya terjadi di Indonesia,
tetapi juga di seluruh dunia, termasuk juga di negara negara maju.
Sebagai contoh dalam bidang pendidikan kaum perempuan masih
tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Ketertinggalan perempuan
tersebut tercermin dalam presentase perempuan buta huruf (14,47% tahun
2001) yang lebih besardibandingkan leki-laki (6,87%). Data tersebut
menegaskan bahwa partisipasi perempuan di sektor publik dalam bidang
pendidikan masih rendah (Wirutomo,2012:188-189). Contoh selanjutnya di
India, di negara ini wanita dibagi menjadi tiga kelompok atau kelas, yaitu
kelas atas, menengah, dan bawah. Pandangan masyarakat India terhadap
wanita ditentukan pada kelas atau strata mana diaberada. Umumnya kelas
atau strata tersebut dilihat dari kasta atau keturunan, selain itu juga dari

1
kelas ekonomi. Tuntutan agar wanita terjun di dunia kerja mendorong
mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Semakin
tinggi pendidikan seorang wanita, semakin terangkat kelas dan derajat dia
dalam masyarakat. Bagi kelas rendah, wanita dilahirkan, dirawat lalu
tumbuh, harus tinggal dan bekerja di rumah., kemudian dikawinkan dalam
usia belia. Artinya wanita yang tidak berpendidikan tidak mempunyai
alasan untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Pendidikan dan
penegakan hak-hak wanita mempunyai kaitan yang erat,semakin rendah
pendidikan seorang wanita semakin sedikit kesempatan dia untuk
menuntuk hak-haknya. Kendala utama datang dari pihak keluarga, wanita
dianggap hanya pantas bekerja di dalam rumah saja. Oleh karena itu,
kesempatan bagi mereka untuk berkiprah di luar rumah sangat terbatas.
Keinginan untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan lainnya karena
alasan untuk berkarir di luar rumah sangat sedikit yang mendapat
persetujuan dari pihak keluarga khususnya orang tua (Bainar dan
Halik,1999:37-38).Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara
antara laki-laki dan perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi atau
kualitas hidupnya sama.
Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi setiap
manusia. Gender itulah yang pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan
perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender
terbagi menjadi peran produktif,
peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Akan tetapi pada
kenyataannya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan
hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa
peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus
keluarga dan anak,sehingga pada akhirnya peran di luar itu menjadi tidak
penting.
Istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah diskriminasi terhadap
perempuan, subordinasi, penindasan, perilaku tidak adil dan semacamnya.
Diskriminasi gender, menyebabkan kerentanan terhadap perempuan
dan/atau anak perempuan serta berpotensi pada terjadinya kekerasan
terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu,
banyak bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh
beberapa LSM, untuk memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya

2
berupa pelatihan tentang isu-isu gender, pembangkitan kesadaran
perempuan, dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai segi
kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Namun, hal ini justru berbanding
terbalikdengan realita bahwa perempuan ternyata mempunyai peranan
yang sangat besardalam berbagai bidang, baik dalam bidang ekonomi,
politik, maupun sosial,bahkan peranan perempuan justru sangat dirasakan
oleh masyarakat luas(Megawangi, 1999:19).Kesetaraan gender juga
meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik
terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu
proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.Keadilan
gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi,marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun
laki-laki. Di sisi lainIslam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi
yang sama, tanpa adaperbedaan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah
kodrat sebagai perempuan dan laki-laki. Islam memandang kesetaraan
gender sebagai keadilan antara lakilaki dan perempuan, bukan kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan
prinsip keadilan, karena adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya, memberikan hak kepada yang berhakmenerimanya. Sementara
kesamaan adalah menyetarakan antara 2 hal tanpa adanya perbedaan
(Joana:2013).Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan
demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol
atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau
kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang
untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber
daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk
mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga
memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Hak untuk hidup
secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan
pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun
mempunyai hak yang sama pada hakikatnya (buletin uny:2013).Kesetaraan
gender merupakan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan

3
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan (Afif:2013). Di dunia pendidikan, antara
anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Akan
tetapi saat ini masih kerap terdapat adanya ketidakadilan gender. Banyak
anak perempuan usia sekolah yang tak bias lagi mendapatkan pendidikan
yang layak. Hal ini disebabkan karena pengaruh cara pandang patriarkis
dari orang tua mereka. Mereka beranggapan hal tersebut hanya
menghambur-hamburan uang sebab mereka akan segera bersuami,
peluangkerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang tua dalam
pekerjaan rumah.Orang tua dari anak-anak perempuan usia sekolah dari
keluarga miskin menganggap anak perempuan mereka tidak pantas untuk
melanjutkan sekolah.Lebih baik langsung dinikahkan atau didorong bekerja
sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal. Kurangnya
pengetahuan dan asupan informasi membuat sebagian orang tua masih
menganut paham tersebut. Berbeda halnya dengan anak laki-laki yang
mendapat tempat istimewa baik segi pendidikan maupun kedudukan. Hal
tersebut menyulut adanya ketimpangan antara budaya dan realita yang
ada. Kesetaraan gender menjadi suatu program dan kegiatan yang
diharapkan dapat meningkatkan derajat dan martabat perempuan. Al-
Qur’an yang menjadi pegangan umat Islam menegaskan bahwa
perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama di dunia, baik
kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Dengan tegas, Al-Qur’an
menggunakan ungkapan “laki-laki dan perempuan beriman” sebagai bukti
pengakuannya terhadap kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan. Dalam menjalankan ibadah atau kewajiban agama, tidak
pernah membeda-bedakan beban ibadah antara perempuan dan lakilaki.
Selain itu dalam Al Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan
dengan istilah gender, namun jika yang dimaksud gender menyangkut
perbedaan laki-laki dan perempuan secara non-biologis, meliputi
perbedaan fungsi, peran dan relasi antara keduanya, maka dapat
ditemukan sejumlah istilah untuk itu. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa saling menghargai dan kebersamaan dalam kehidupan
manusia. Al-Qur’an juga mengungkapkan perbedaan mendasarantara laki-
lakiKesetaraan gender sebagaimana sudah disinggung di atas mencakup

4
pula kesetaraan dalam pendidikan secara yuridis, dan kesetraan tersebut
dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya
masyarakat, bangsa dan negara (ayat 1).Rumusan pasal tersebut di atas
menjelaskan adanya persamaan hak untukmemperoleh pendidikan baik
bagi penduduk laki-laki maupun perempuan, selain itu dalam UUD 45
terutama dalam pasal 31 ayat 1 juga dinyatakan bahwa, “Setiapwarga
Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Penjelasan tersebut
mengandungmakna bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan sehingga tidak ada diskriminasi antara laki-laki maupun
perempuan agar terciptanya kesetaraan gender dalam bidang pendidikan.
Pendidikan berspektif gender dapat diselipkan melalui kurikulum yang
sensitif gender, sehingga ada bentuk perhatian terhadap hak-hak
perempuan. Di dalamnya tertuang kesetaraan gender dalam aktivitas
pembelajaran siswa seharihari, juga adanya kesetaraan perlakuan pada
semua peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas, termasuk
memperlakukan secara adil semua siswadalam proses pelaksanaan
pembelajaran. Lebih dari itu pemerintah melaluikebijakannya harus
menyusun peraturan perundang-undangan dan norma hokum yang
berpihak pada kesetaraan gender, dalam bidang pendidikan. Harapan di
atas belum sepenuhnya terwujud, masih cukup banyak kesenjangan antara
laki-laki dan perempuan dalam pendidikan. Kesetaraan dalam memperoleh
pendidikan bagi perempuan sebagaimana dicita-citakan Kartini, belum
sepenuhnya terealisasi. Perempuan belum sepenuhnya diberi keleluasaan
untuk mengaktualisasikandiri dalam mengembangkan bakat dan
potensinya melalui pendidikan. Perempuan masih terbelenggu dan gamang
dalam meningkatkan kedudukan dan perannya secara maksimal
sebagimana cita-cita yang diinginkan (Yusuf, 2000:49).Kemampuan
perempuan perlu dikembangakan melalui peningkatan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta keterampilan agar dapat memanfaatkan

5
kesempatan berperan aktif disegala bidang termasuk bidang pendidikan.
Melalui pendidikan kesetaraan gender ini diharapkan pemikiran perempuan
akan menjadi lebihberkualitas sehingga dapat berkontribusi dalam berbagai
bidang kehidupan di masadepan. Guna merealisasikan tersebut
memerlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, baik dari
masing-masing pribadi sendiri, orang tua murid, guru, kurikulum, dan
komponen sekolah, dan juga pemerintah.

B. Rumusan Masalah
1. Kondisi yang mempengaruhi penerapan gender yang keliru
2. Persoalan seputar seks yang di pengaharui persoalan gender
dalam masyarakat
3. Keterkaita gender dengan kerentangan terhadapHIV/AIDS

C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang mempengaruhi
penerapan gender yang keliru
2. Menjelaskan persoalan seputar seks yang dipengaruhi
persoalan gender dalam masyarakat
3. Menjelaskan keterkaitan gender dengan kerentangan terhadap
HIV/AIDS

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi yang mempengaruhi gender yang keliru


Ada hal yang perlu diluruskan, sebelum akhirnya berpindah ke-
ranah isu ‘kesetaraan gender’, yakni pemahaman tentang gender itu
sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pemahaman mengenai gender
seringnya salah kaprah di masyarakat. Gender, seringkali dikaitkan dengan
jenis kelamin. Padahal, gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang
berbeda. Jenis kelamin mengacu pada kondisi fisik yang secara lahiriah
dimiliki oleh seseorang. Sedangkan gender adalah pembedaan peran,
atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Dan peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran
reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Lalu, kondisi apa yang
menyebabkan ketidaksetaraan gender? Yakni adanya perbedaan
perlakuan yang diterima antara laki-laki dan perempuan di masyarakat
berdasarkan alasan gender.

Pada Film Laskar Pelangi yang mengambil latar waktu tahun 1970-
an, anda akan disuguhkan cerita 10 pelajar di SD Muhammadiyah Belitung,
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berjuang mengeyam pendidikan
di tengah kondisi ekonomi dan situasi sekolah yang tidak pasti. Namun
menarik diperhatikan bahwa hanya ada satu anak perempuan bernama
Sahara yang terdaftar sebagai siswa di sekolah tersebut, ke-9 lainnya
adalah anak laki-laki. Hal ini menunjukkan, terpuruknya kualitas hidup
perempuan saat itu yang ditandai dengan rendahnya akses pendidikan
mereka dibanding laki-laki. Alasannya, dalam budaya Indonesia,
perempuan lebih diarahkan untuk melakukan peran domestik dari pada
peran publik. Misalnya saja pelarangan perempuan untuk bersekolah
karena adanya pelabelan “sumur, dapur, kasur” sebagai tempat dimana
perempuan seharusnya berada. Hal ini mengakibatkan ketidaksetaraan
dan diskriminasi terhadap perempuan kerap terjadi sehingga akses dan
peran mereka dalam berbagai sektor terhambat. Disaat itu pula, belum ada

7
kebijakan pemerintah yang menangani khusus masalah kesetaraan
gender.

Identitas Gender, yang merujuk pada penghayatan seseorang


terhadap gendernya, termasuk pengetahuan, pemahaman, dan
penerimaan menjadi seorang laki-laki atau perempuan (Egan & Perry,
2001). Salah satu aspek identitas gender adalah mengetahui apakah anda
perempuan atau laki-laki, dimana sebagian besar anak-anak dapat
melakukannya pada usia sekitar 2,5tahun (Blakemore, Berenbaun, &
Liben, 2009) . Peran gender merupakan seperangkat ekspetasi yang
menentukan bagaimana wanita dan pria seharusnya berpikir, bertindak,
dan merasa. Selama masa prasekolah, kebanyakan anak-anak mulai
bertindak sesuai dengan peran gender yang ditetapkan oleh budaya yang
berlaku.Membicarakan tentang gender, terdapat tiga hal yang
mempengaruhi perkembangan gender, yaitu pengaruh biologis, sosial, dan
kognitif.belum tervalidasi. Segera lengkapi data diri pada bagian
"Pengaturan Profil" dan nikmati keuntungan yang bisa didapatkan oleh
akun yang telah tervalidasi.

Seperti pada umumnya, disekitar kita di lingkungan kita. Sudah


lumrahnya yaaa, seorang anak laki-laki bermain mobil-mobil an dan
seorang anak perempuan bermain masak masak an. Disini dapat kita Tarik
kesimpulan bahwa seorang anak laki-laki memiliki ciri yang maskulin dan
seorang anak perempuan memiliki ciri yang feminim. Maskulin atau
feminim ada hubungan nya dengan Gender. Lalu apasih yang namanya
Gender itu? Mengacu pada pendapat Mansour Faqih, Gender adalah suatu
sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu lemah
lembut, cantik, emosional, dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap
kuat, rasional, jantan, perkasa, dan tidak boleh menangis.

Identitas Gender, yang merujuk pada penghayatan seseorang


terhadap gendernya, termasuk pengetahuan, pemahaman, dan
penerimaan menjadi seorang laki-laki atau perempuan (Egan & Perry,
2001). Salah satu aspek identitas gender adalah mengetahui apakah anda
perempuan atau laki-laki, dimana sebagian besar anak-anak dapat

8
melakukannya pada usia sekitar 2,5tahun (Blakemore, Berenbaun, &
Liben, 2009).

Peran gender merupakan seperangkat ekspetasi yang menentukan


bagaimana wanita dan pria seharusnya berpikir, bertindak, dan merasa.
Selama masa prasekolah, kebanyakan anak-anak mulai bertindak sesuai
dengan peran gender yang ditetapkan oleh budaya yang
berlaku.Membicarakan tentang gender, terdapat tiga hal yang
mempengaruhi perkembangan gender, yaitu pengaruh biologis, sosial, dan
kognitif.

Pertama, pengaruh biologis jelas berperan dalam pengaruh


perkembangan gender. Sejumlah faktor biologis yang berpengaruh adalah
kromosom, hormone dan evolusi. Hormone berperan penting dalam
perkembangan perbedaan seks, kedua kelas hormon seks yakni esterogen
dan androgen. Esterogen mempengaruhi perkembangan karakteristik fisik
pada wanita, sedangkan androgen mempengaruhi perkembangan
karakteristik fisik pada pria. Hormone seks dapat mempengaruhi
perkembangan sosio-emosi anak anak (Auyeung dkk, 2009).

Kedua, pengaruh sosial. Ada dua bagian di pengaruh sosial:


pengaruh orang tua, melalui tindakan dan melalui contoh yang diberikan,
mempengaruhi perkembangan gender anak-anaknya (Gore, 2009). Baik
ibu maupun ayah penting secara psikologis terhadap perkembangan
gender anak-anak mereka. Ulasan penelitian terbaru memberikan konklusi
berikut (Bronstein, 2006) :Strategi ibu. Dibanyak budaya, ibu
mensosialisasikan anak perempuan nya agar lebih patuh dan bertanggung
jawab daripada anak laki-laki. Ibu juga memberikan lebih banyak batasan
terhadap otonomi anak perempuan.NStrategi ayah. Ayah menunjukkan
atensi lebih kepada anak laki-laki daripada kepada anak perempuan, lebih
banyak melakukan aktivitas dengan anak laki-laki, serta lebih mendukung
perkembangan intelektual anak laki-laki.Pengaruh kawan sebaya, dalam
konteks ini kita ambil contoh anak perempuan yang hidup di lingkungan
yang populasi kawan laki-lakinya lebih banyak daripada kawan perempuan.
Maka, istilah tomboy mengimplikasikan peran anak perempuan tersebut.
Gender membentuk aspek-aspek yang penting dalam relasi dengan kawan
sebaya (Best, 2010). Gender memengaruhi komposisi dari kelompok anak-

9
anak, ukuran kelompok, serta interaksi didalam kelompok (Maccoboy,
1998, 2002) :Komposisi gender dari kelompok anak-anak. Ketika
menginjak usia sekitar 3thn anak-anak sudah memperlihatkan preferensi
untuk menghabiskan waktu dengan teman bermain yang bergender sama.
Dari usia 4 hingga 12thn preferensi untuk bermain dengan kelompok
gender yang sama meningkat, dan selama tahun-tahun sekolah dasar
anak-anak melewatkan sebagian besar waktu luangnya dengan anak-anak
yang bergender sama.Ukuran kelompok. Usia 5thn keatas, anak laki-laki
cenderung bergabung dengan kelompok yang lebih besar dibandingkan
anak perempuan. Anak laki-laki juga cenderung berpartisipasi di dalam
berbagai permainan kelompok yang lebih terorganisasi dibandingkan anak
perempuan.Interaksi dalam kelompok yang bergender sama. Dibandingkan
anak perempuan, anak laki-laki lebih suka terlibat dalam permainan fisik.
Sebaliknya, anak-anak perempuan lebih suka terlibat dalam percakapan
kolaboratif, dimana mereka berbicara, bertindak secara timbal balik.

Ketiga, pengaruh kognitif. Sebuah teori kognitif yang berpengaruh


adalah teori skema gender yang menyatakan bahwa tipe-gender terjadi
ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender atas
sesuai gender dan tida sesuai gender dalam budaya mereka (Blakemore,
Berenbaum, & Liben, 2009; Zosuls, Lurye & Ruble, 2008). Teori skema
gender yaitu teori yang menyatakan bahwa perhatian dan tingkah laku
individu dibimbing oleh motivasi untuk menyesuaikan pada standar-standar
sosiobudaya dan stereotip yang didasarkan pada gender.

Memang akhir-akhir ini, pendapat bahwa orang tua adalah satu-


satunya agen sosial penting dalam perkembangan peran gender,
mengalami berbagai kritik. Kita tahu bahwa orang tua hanyalah salah dari
sekian banyak sumber dari mana individu belajar mengenai peran gender.
Budaya, lingkungan, dan media dalam mempengaruhi peran gender anak.
Mersikupun begitu, kita harus tetap menganggap peran orang tua sebagai
lingkungan terdekat sangat penting dalam perkembangan. Orang tua
menjadi pelaku awal dalam menanamkan doktrinasi identitas gender dari
anak mereka.

10
B. Persoalan seputar seks yang dipengaruhi persoalan
gender dalam masyarakat
Perbincangan mengenai seks dan seksualitas masih dianggap tabu
oleh sebagian masyarakat Indonesia, apalagi perbincangan mengenai
homoseksualitas. Hal tersebut menyebabkan kurangnya informasi dan
otomatis berdampak pula pada kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai pendidikan seksual, terutama yang berhubungan dengan
homoseksualitas. Tidak adanya pengetahuan yang memadai inilah yang
menyebabkan munculnya informasinformasi yang simpang siur dan tidak
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya berkenaan dengan
homoseksualitas di Indonesia.Hingga kemudian memberikan stigma negatif
mengenai homoseksualitas terutama lesbian. Mengangkat dan tentunya
mempertanyakan seksualitas dalam keseluruhan desaindemokrasi oleh
karenanya menjadi agenda penting di Indonesia. Hal tersebut diantaranya
juga disebabkan bahwa seksualitas mempunyai wilayah internal politiknya
sendiri, ketidakadilan dan modus penindasan sendiri. Tidak bisa hanya
didekati dengan konsep-konsep politik yang kontroversial, seperti
demokrasi liberal, marxis, feminisme, dan sebagainya. Letak masalahnya
adalah heteronormativitas, yaitu ideologi tentang keharusan untuk
menjadi heteroseksual, yang didasarkan pada penindasan orientasi
seksual lain yang tidak berorentasi reproduksi keturunan seperti onani,
masturbasi, atau homoseksualitas. Juga keharusan akan kesesuaian
antara identitas gender dan identitas seksual. Kalau beranatomi laki-laki,
maka harus maskulin, dan sebaliknya bila beranatomi perempuan maka
harus feminin. Alasan lain bagi keharusan ini adalah gagalnya feminisme,
model analisis hubungan tidak adil antara laki-laki dan perempuan yang
sudah berkembang dengan baik di Indonesia untuk memahami
ketidakadilan yang berdasarkan seksualitas. Feminisme terlalu banyak
berkonsentrasi pada gender dan menyepelekan seksualitas. Kalau
adaperbincangan mengenai seksualitas dalam feminisme biasanya adalah
persoalan seksualitas yang masih dalam bingkai heteroseksualitas. Hal
tersebut membuktikan apa yang telah dikemukakan Rubin tentang
feminisme. Meskipun sukses besar menjelaskan ketidakadilan sosial
berbasis gender, feminisme gagal memberikan penjelasan atas
ketidakadilan yang terjadi karena orientasi seksual. Heteronormativitas

11
adalah ideologi yang menyatakan bahwa heteroseksualitas adalah bentuk
hubungan yang sah, sama sekali tidak dipertanyakan. Oleh karena itu
sangat mendesak kebutuhan untuk membuka perdebatan panjang dan
mengembangkan perspektif yang radikal tentang seksualitas dalam
konteks Indonesia.

Membicarakan mengenai seksualitas dan homoseksulitas, tentu


tidak lepas dari adanya peran teori. Mewacana seksualitas akan
berhadapan dengan dua teori besar yang berkembang selama ini. Dua
teori tersebut adalah teori esensialisme (essensialism) yangberpatokan
pada kromosom, biological. Satu lagi teori social construction (teori
bentukan sosial). Keduanya memiliki penganut masing-masing dan dalam
tulisan ini saya tidak ingin membahas terlalu dalam mengenai teori mana
yang lebih baik. Definisi-definisi subyektif tidak terbatas pada benda-benda
dalam lingkungan eksternal. Salah satu masalah definisi yang paling
penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk
mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang
lain dimana mereka terlibat didalamnya. Definisi individu mengenai diri ini
akan melahirkan identitas diri. Individu tidak hanya memiliki identitas
tunggal melainkan setiap individu memiliki berbagai identitas yang harus
berjalan saling selaras, dengan identitas yang lainnya dan dengan peran
yang dimilikinya.Beberapa meyakini identitas seksual yang dimiliki
seseorang (untuk menjadi homoseksual, heteroseksual atau biseksual)
tersebut merupakan bawaan dari lahir (given),yang tidak dapat diubah-
ubah lagi, sehingga mereka tinggal menjalani saja apa yang menjadi.
Pandangan itu biasa disebut dengan teori esensialisme (essensialism),
bahwa hal yang menyebabkan munculnya perilaku seksual sejenis di
karenakan memang individu tersebut memiliki gen yang berbeda dengan
laki-laki lainnya, yang mempengaruhi orientasi seksualnya. Ditemukannya
teori ini sangat disukai oleh para aktivis advokasi, dan HAM, dan bagi kaum
homoseksual sendiri, serta keluarganya. Mereka merasa “ke-homo-an”
tersebut bukan salah mereka, atau orang tua yang tidak mendidiknya
dengan benar. Eksplorasi dari pemikiran Moh Yasir Alimi dalam bukunya
yang mengkonstruk gagasan bahwa menjadi heteroseksual atau
homoseksual bukanlah kodrat, melainkan bentukan sosial. Tentu saja
pandangan ini bila tidak dipahami secara menyeluruh, bias menjadi

12
ganjalan bagi para pejuang HAM yang mendasarkan argumennya pada
kealamiahan seksualitas. Seksualitas sebagai praktik diskursif
mengasumsikan bahwa seksualitas selalu direproduksi melalui institusi
sosial – seperti agama - sedemikian rupa sehingga seolah-olah
heteroseksualitas adalah praktik seksual yang alami, sehingga praktik
seksual lain dianggap sebagai penyimpangan. Pendekatan ini tentu saja
tidak mengasumsikan bahwa seksualitas bisa seperti kerudung yang bisa
dipilih, atau bias dipakai dan dilepas bila diinginkan. Dekonstruksi menjadi
keharusan karena kebekuan seksualitas telah mencapai titik yang hampir
tidak dapat ditembus. Dekonstruksi dapat berguna untuk mengaduk-aduk,
menembus dan menjungkirbalikkan kebekuan itu. Diyakini secara luas
dalam berbagai diskursus seperti medis, keagamaan, psikologi, dan ilmiah,
bahwa seksualitas adalah given dan alamiah (a natural force) yang
mendahului kehidupan sosial dan membentuk institusi. Esensialisme
seksual yang demikian itu menganggap seks itu tidak berubah, asosiasi
dan transhistoris dianggap sebagai salah satu penjelasan yang sah agamis
tentang seksualitas. Bahwa seksualitas merupakan sebuah konstruk sosial
(socially constructed), bukan fakta kromosomik biologis, merupakan
sebuah menifesto terbesar abad ini. Secara mendasar, sikap pemikiran ini,
tidak diragukan lagi, menggugat ortodoksi teoretik tentang seksualitas,
yang seluruh prinsip-prinsipnya didasarkan pada esensialisme seksual
(sexual essentialism), yaitu paham yang mengganggap seksualitas
merupakan fenomena biologis, kenyataan alamiah yang melampaui
kenyataan sosial. Seperti yang digambarkan Foucault sebagai akibat relasi
penguasa-pegetahuan-kenikmatan (power-knowledge-pleasure relation).
Heteroseksualitas bukan hanya didirikan atas naturalisasi dan pelipat
gandaan tingkah laku seksual yang prokreatif, melainkan juga patologisasi,
abnormalisasi, setiap bentuk praktik seksual yang non-prokreatif, seperti
onani, masturbasi, dan homoseksualitas.
Keberadaan kelompok Lesbian di Indonesia sampai saat ini belum
mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari masyarakat. Mereka kerap
mendapatkan beragam bentuk ketidakadilan, seperti kekerasan fisik, psikis,
seksual, maupun ekonomi, yang terjadi baik itu di dalam rumah, sekolah,
tempat bekerja, tempat ibadah dan masyarakat sekitar.3 Mereka juga
mendapatkan beragam stigma/label, se perti sebutan ”abnormal”, ”sakit”,

13
”dosa”, ”kotor”, dan lain-lain sebutan. Kondisi ini menjadikan sebagian
lesbian akhirnya lebih memilih menutup diri (in the closet) dan hidup de
ngan identitas yang bukan sesungguhnya dan hanya membuka jati diri di
kalangan mereka sendiri. Di dalam ketertutupan, bukan berarti tidak ada
reaksi dan aksi yang dilakukan baik oleh individu lesbian.
Bicara masalah seksualitas lesbian yang notabene adalah berbicara
seseorang yang berjenis kelamin perempuan, maka hal ini terkait dengan
konsep genderPeran gender merupakan seperangkat ekspetasi yang
menentukan bagaimana wanita dan pria seharusnya berpikir, bertindak,
dan merasa. Selama masa prasekolah, kebanyakan anak-anak mulai
bertindak sesuai dengan peran gender yang ditetapkan oleh budaya yang
berlaku.Membicarakan tentang gender, terdapat tiga hal yang
mempengaruhi perkembangan gender, yaitu pengaruh biologis, sosial, dan
kognitif.

Sifat tersebut merupakan kodrat yang diberikan oleh Tuhan kepada


setiap laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender menurut Mansour Fakih
adalah pemilahan peran, fungsi, kedudukan, tanggung jawab antara laki-
laki dan perempuan yang berfungsi untuk mengklasifikasikan perbedaan
peran yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat, dan
bersifat tidak tetap serta bisa dipertukarkan antar keduanya (Fakih, 2001.
Dalam kaitannya dengan ilmu sosial, gender adalah pembedaan antara
laki-laki dan perempuan dalam bentuk sosial yang tidak disebabkan oleh
perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin (Mc Donald, 1999).
Jadi menurut beberapa pendapat diatas dapat ditarik suatu pengertian
bahwa gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat yang didasarkan pada bentuk-bentuk sosial dan kultural
masyarakat (peran, fungsi, kedudukan, tanggung jawab) dan bukan atas
dasar perbedaan jenis kelamin (sex). Perbedaan gender sering
menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities), terutama
terhadap kaum perempuan baik di lingkungan rumah tangga, pekerjaan,
masyarakat, kultur, maupun negara. Ketidakadilan tersebut
termanifestasi dalam berbagai
macam bentuk antara lain :
1. Marginalisasi

14
Marginalisasi adalah proses peminggiran / penyingkiran terhadap
suatu kaumyang mengakibatkan terjadinya kemiskinan pelemahan
ekonomi kaum tertentu.Marginalisasi terjadi karena berbagai hal, seperti
kebijakan pemerintah, keyakinan,agama, tradisi, kebiasaan, bahkan karena
asumsi ilmu pengetahuan sekalipun.
2. Subordinasi
Subordinasi merupakan penempatan kaum tertentu (perempuan)
pada posisiyang tidak penting. Subordinasi berawal dari anggapan yang
menyatakan bahwa perempuan adalah kaum yang irrasional atau
emosional sehingga kaum perempuan tidak cakap dalam memimpin.
3. Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap kaum
tertentu. Akan tetapi pada permasalahan gender, stereotipe lebih
mengarah pada pelabelan yang bersifat negatif terhadap perempuan. Hal
ini terjadi karena pemahaman yang seringkali keliru terhadap posisi
perempuan.
4. Kekerasan (violence)
Kekerasan (violence) adalah serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan karena bias gender
disebut gender related violence. Kekerasan tersebut terjadi karena
disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Bentuk-bentuk kekerasan (violence) gender (terhadap perempuan) antara
lain : pemerkosaan, serangan fisik dalam rumah tangga, kekerasan dalam
pelacuran dan pornografi, pemaksaan dalam sterilisasi Keluarga
Berencana (KB), serta pelecehan seksual.
5. Beban kerja ganda (double burden)
Beban kerja ganda disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan
lebih cocok mengurusi dan bertanggung jawab atas pekerjaan domestik
(menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga, memasak, mencuci,
bahkan memelihara anak). Pekerjaan domestik dianggap tidak bernilai dan
lebih rendah bila dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki karena tidak
produktif. Konsekuensi tersebut harus diterima oleh perempuan yang
bekerja di satu sisi harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya,
di sisi lain harus bisa bertanggung jawab atas rumah tangganya. Hal inilah

15
yang menyebabkan bahwa bias gender menjadikan perempuan
menanggung beban kerja yang bersifat ganda

C. Keterkaitan gender dengan kerentangan terhadap


HIV/AIDS
Isu HIV terkait erat dengan dimensi gender. Secara definisi, gender
berbeda dari konsep seks biologis karena terdiri dari norma-norma
struktural dari hubungan sosial dan identitas yang dikonstruksi secara
sosial (Gruskin, Safreed-Harmon, Moore, Steiner, & Dworkin, 2014).
Pemahaman umum mengenai bagaimana konsep gender dipahami dan
dipraktikkan dalam masyarakat umum dibentuk oleh berbagai faktor seperti
hak, kewajiban, harapan, dan hubungan kekuasaan yang melibatkan
wanita dan pria (Bloom, Cannon, & Negroustoueva, 2014). Norma dan
perilaku yang berlaku ini memperkuat ketidaksetaraan gender di
masyarakat dan berkontribusi pada kerentanan perempuan dan anak
perempuan terhadap HIV (Bloom et al., 2014). Lusey, San Sebastian,
Christianson, Dahlgren, & Edin (2014) menambahkan bahwa, risiko dan
penularan HIV yang disebabkan oleh sikap dan keyakinan masyarakat
terhadap gender tidak hanya berdampak pada perempuan dan remaja
perempuan namun juga berimplikasi pada populasi kunci seperti pekerja
seks, waria, laki-laki-seks-dengan-laki-laki (LSL), dan pengguna napza
suntik (Penasun).
Tingkat kerentanan terhadap HIV yang dialami oleh populasi
tertentu, termasuk perempuan dan remaja perempuan tetap ada karena
berbagai faktor. Amin (2016) membagi jalur kerentanan HIV dalam tiga
kategori yaitu, norma gender yang memberikan hak istimewa bagi laki-laki
untuk mengendalikan perempuan, stabilitas ekonomi yang tidak memadai,
dan diskriminasi stigma terhadap perempuan. Pertama, norma-norma
gender yang menguntungkan laki-laki untuk mengontrol perempuan dan
kekerasan terhadap perempuan menghambat kemampuan perempuan
untuk mempraktikkan seks yang lebih aman, membuat keputusan
reproduksi berdasarkan preferensi kesuburan mereka sendiri, dan
mengungkapkan status HIV mereka (Amin, 2016; Heidari, Kippax, Sow, &
Wainberg, 2013). Selain itu, laki-laki dengan norma gender yang tidak
setara secara signifikan berkaitan dengan kepemilikan beberapa pasangan
seks pada saat yang sama, kekerasan pada pasangan intim dan

16
penyalahgunaan alkohol (Gottert et al., 2017). Kekerasan seksual yang
dialami oleh perempuan mengarah pada kerentanan penularan HIV
(Heidari et al., 2013). Terlepas dari situasi ini, perempuan merasa kesulitan
untuk meninggalkan pernikahan karena melanggar norma dan harapan
masyarakat mengenai perilaku seksual perempuan yang ditandai dengan
keterikatan seksual dan emosional mereka terhadap laki-laki terutama saat
perempuan memiliki ketidakberdayaan ekonomi (Nyamhanga & Frumence,
2014). Ketidakberdayaan ekonomi ini sering terjadi karena ketidakstabilan
ekonomi yang dialami perempuan.
Stabilitas ekonomi yang tidak memadai sebagai jalur kedua dapat
terjadi akibat berbagai alasan. Kurangnya hak milik dan warisan serta
terbatasnya akses terhadap pekerjaan formal membuat perempuan rentan
terhadap kerawanan pangan dan konsekuensinya. Ini termasuk
mengompromikan kepatuhan mereka terhadap terapi anti-retroviral (ARV)
dan meningkatkan kerentanan mereka untuk melakukan transaksi seks
(Amin, 2013).
pekerjaan dan domain sosial seperti pemecatan jika HIV-positif
(Derose et al., 2017). Ketiga, sehubungan dengan stigma dan diskriminasi,
perempuan lebih disalahkan bila membawa HIV ke dalam keluarga.
Menurut survei terbaru di India, 88% perempuan menikah yang HIV-positif
yang memiliki rentang usia berbeda dan status kemiskinan telah
mengalami stigma dan diskriminasi dari suami dan keluarganya, termasuk
teman dan tetangga (Halli et al ., 2016). Di negara dengan undang-undang
yang mengkriminalisasi penularan HIV, berdampak secara khusus pada
perempuan yang hidup dengan HIV akibat enggan mengungkapkan status
HIV karena khawatir akan mendapatkan kekerasan, stigma, dan
diskriminasi (Amin, 2016). Stigma yang diberlakukan dalam ranah sosial
termanifestasi dalam bentuk gosip dan ditolak oleh keluarga dan tetangga,
sehingga menjauhkan perempuan dari sumber dukungan ekonomi dan
pangan
Selain kerentanan penularan HIV, disparitas gender juga ditemukan
saat mengakses layanan pencegahan dan perawatan HIV. Menurut King,
Maksymenko, Almodovar-Diaz, & Johnson (2016) norma-norma gender
juga memengaruhi tingkat pengetahuan HIV dan penggunaan kondom.
Meskipun perempuan lebih mungkin didiagnosis dan terlibat dalam

17
perawatan HIV, tetapi lebih sedikit yang berhasil mencapai tahap virus
tidak terdeteksi akibat ARV (Meyer, Womack, & Gibson, 2016). Selain itu,
Lalanne et al., (2015) melaporkan efek samping yang berbeda dari ARV
yang dialami oleh perempuan seperti kualitas hidup terkait kesehatan yang
lebih buruk, dengan gejala kelelahan yang paling sering ditemukan yaitu
nyeri otot atau kesulitan tidur. Sekali lagi, remaja perempuan merupakan
populasi yang paling jarang terjangkau pengobatan HIV (Bloom et al.,
2014). Situasi ini menegaskan apa yang dinyatakan Orza et al., (2017)
bahwa perempuan masih menghadapi permasalahan kompleks dalam
mengakses pengobatan. Faktor kekerasan dari keluarga, anggota
masyarakat, dan petugas kesehatan menjadi salah satu hambatan untuk
mengakses ARV. Oleh karena itu, disparitas structural perlu
dipertimbangkan untuk memahami akses diferensial terhadap layanan
pencegahan dan perawatan di kalangan perempuan (Meyer et al., 2016).

18
Selain memengaruhi perempuan dan anak perempuan, perbedaan gender
dan norma gender juga memengaruhi populasi lain dalam hal risiko dan
mengakses layanan terkait HIV. Bagi waria, interaksi dan kebijakan terkait
gender akibat dari pengaruh struktur sosial telah meningkatkan risiko dan
kerentanan kesehatan mereka (Reisner et al., 2016). Laki-laki biseksual
memiliki risiko yang tinggi untuk terinfeksi penyakit menular seksual
dibandingkan dengan laki-laki heteroseksual karena stigma dan stres
terkait diskriminasi (Feinstein & Dyar, 2017). Laki-laki dengan riwayat
pelecehan seksual pada masa kanak-kanak secara signifikan terkait
dengan keputusan melakukan hubungan seks anal tanpa kondom,
sehingga meningkatkan risiko penularan HIV (Mattera et al., 2017). Laki-
laki cenderung untuk menghindari layanan terkait HIV sebagai norma
superioritas maskulinitas yang mengharuskan laki-laki untuk menghindari
menampilkan kelemahan sehingga menimbulkan keraguan untuk
mengunjungi klinik (Nyamhanga, Muhondwa, & Shayo, 2013). Contoh lain
dapat ditemukan di Malawi, ketika tes HIV hanya ditawarkan selama jam
layanan antenatal sehingga pria tidak direkrut sebagai bagian populasi
yang dapat menerima pendidikan dan layanan kesehatan (Dovel, 2016).
Tampaknya faktor risiko penentu penularan HIV dibentuk oleh norma-
norma gender dan distribusi kekuasaan yang tidak lepas dari isu gender.
Selain itu, Olinyk et al. (2014) menyatakan bahwa penerapan percepatan
kebijakan HIV tingkat negara bagi perempuan, remaja perempuan, dan
gender seringkali memiliki sumber daya keuangan dan nonkeuangan yang
terbatas, bersifat top-down, dan kurangnya partisipasi politik. Kebijakan
dan program yang menargetkan pemberdayaan perempuan yang hidup
dengan HIV juga terbatas (Narasimhan, Loutfy, & Khosla, 2015). Hal ini
mungkin terjadi karena berbagai alasan, seperti kurangnya pemahaman
pembuat kebijakan mengenai perspektif perempuan untuk
mempertahankan prognosis yang lebih baik; kurangnya suara untuk secara
efektif memengaruhi pembuat kebijakan; gender dan analisis kekuasaan
belum dimasukkan sebagai kerangka kerja sebelum pengembangan
perencanaan strategis nasional HIV; dan/atau ketiadaan panduan yang
interpretatif untuk menentukan kewajiban pemerintah untuk melindungi
hak-hak perempuan dari HIV (Orza et al., 2017; Loutfy, Khosla, &
Narasimhan, 2015; Nyamhanga & Frumence, 2014). Terdapat perbedaan

19
yang nyata dalam mengintegrasikan isu-isu HAM dan masalah
ketidaksetaraan gender . Jika kita melihat lebih jauh, tingkat kerentanan
HIV yang dialami oleh perempuan berbeda berdasarkan faktor risiko dan
tahap perkembangannya. Heidari et al., (2013) menyatakan bahwa pekerja
seks perempuan, pengguna narkoba, dan remaja usia 15-24 memiliki
kerentanan lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dari populasi
umum. Sebagai contoh, di Rwanda, beban HIV dimiliki perempuan di
semua kelompok usia, tetapi beban terbesar berada pada remaja
perempuan berusia 15-24 (Bloom et al., 2014). Alasan ekonomi juga dapat
memaksa remaja perempuan mencari banyak pasangan, baik tua dan
muda, melalui transaksi seks (Lusey et al., 2014). Menurut Butts et al.,
(2017) remaja perempuan lebih banyak kehilangan faktor protektif akibat
ketidaksetaraan gender dibandingkan perempuan dewasa. Situasi di atas
menyimpulkan bahwa meskipun memiliki kesamaan dalam jenis kelamin,
perempuan dengan status sosial dan ekonomi tertentu menghadapi risiko
kerentanan HIV yang lebih besar. Norma-norma gender yang ada
menempatkan posisi perempuan pada posisi yang lebih rendah dan
membatasi kesempatan mereka untuk meningkatkan stabilitas pendapatan.

20
dan profilaksis pasca pajanan HIV untuk korban perkosaan adalah
intervensi HIV yang efektif biaya. Transfer tunai untuk siswi dan dukungan
sekolah untuk anak perempuan yatim juga dapat efektif bagi negara
dengan epidemi umum. Bukti yang jelas yang diberikan oleh Baird, Garfein,
Mcintosh, & Özler (2012) menunjukkan bahwa dalam program pemberian
uang bersyarakat bagi remaja perempuan yang bersekolah lebih mungkin
untuk mengurangi HIV dan penularan herpes simpleks hingga 4 kali lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok non-intervensi.
Lebih lanjut, Meyer et al., (2016) menyatakan bahwa kombinasi
intervensi diperlukan untuk memfasilitasi akses dan keterlibatan perawatan
HIV yang bermakna. Secara khusus, Watts & Seeley, (2014) menyarankan
kerangka kerja untuk menerapkan kombinasi HIV dan gender. Pertama,
kegiatan yang responsif gender yang dapat ditambahkan ke program dasar
HIV untuk meningkatkan
Masalah-masalah mendasar ini kemungkinan besar akan berlanjut
karena sebagian besar kebijakan HIV telah dikembangkan dengan
mengesampingkan analisis gender. Determinan sosial dan hambatan
struktural yang terkait dengan gender menjadi terabaikan dalam konten
kebijakan HIV. Akibatnya, data terpilah berdasarkan jenis kelamin untuk
lebih memahami perbedaan gender dalam penanggulangan HIV jarang
tersedia. Untuk merubah situasi tersebut, Integrasi antara isu gender dan
intervensi HIV menjadi penting untuk dilakukan

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan
oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya
yang panjang.Perbedaan perilaku antara lakilaki dan perempuan, selain
disebabkan oleh faktorbiologis sebagian besar justru terbentuk melalu
proses sosial dan kultural. Genderbisa dikategorikan sebagai perangkat
operasional dalam melakukan measure(pengukuran) terhadap persoalan
laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran
dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.
Membicarakan tentang gender, terdapat tiga hal yang mempengaruhi
perkembangan gender, yaitu pengaruh biologis, sosial, dan kognitif.

Peran gender merupakan seperangkat ekspetasi yang menentukan


bagaimana wanita dan pria seharusnya berpikir, bertindak, dan merasa.
Selama masa prasekolah, kebanyakan anak-anak mulai bertindak sesuai
dengan peran gender yang ditetapkan oleh budaya yang
berlaku.Membicarakan tentang gender, terdapat tiga hal yang
mempengaruhi perkembangan gender, yaitu pengaruh biologis, sosial, dan
kognitif.

penularan HIV yang disebabkan oleh sikap dan keyakinan


masyarakat terhadap gender tidak hanya berdampak pada perempuan dan
remaja perempuan namun juga berimplikasi pada populasi kunci seperti
pekerja seks, waria, laki-laki-seks-dengan-laki-laki (LSL), dan pengguna
napza suntik (Penasun).

B. Saran
1. Baik Kabupaten/Kota yang masih jauh dari kesetaraan gender, baik
dibidang pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan agar lebih
peduli dan melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang masih bias
gender

22
2. Dengan permasalahan yang terkena HIV/AIDS dikalangan
masyarakat diakibatkan pergaulan bebas yang tidak dipantau ,maka
penulis berharap ada pengawasan dari orang yang bertanggung
jawab
3. Perlu diberikan sarana yang positif dalam memberikan penyaluran
dorongan biologis melalui ekspresi psikiologis dan penyaluran fisik
yang sehat seperti olaraga, kegiatan untuk mencintai alam, kegiatan
kreativitas dan pengembangan baka

23
DAFTAR PUSTAKA

Malolo, Y., Arof, A. M., & Rahmatullah, A. R. A. (2021). Berpikir gender,


bagaimana caranya?.
Rokhmansyah, A. (2016). Pengantar gender dan feminisme: Pemahaman
awal kritik sastra feminisme. Garudhawaca.
Syaputri, I. K., Thadi, R., & Adisel, A. (2020). Politik Seksualitas dan
Keberadaan LGBT di Indonesia Terhadap Kebijakan Negara. JOPPAS:
Journal of Public Policy and Administration Silampari, 2(1), 1-10.
Nevendorff, L., Puspoarum, T., Putri, S. F., Fitrina, E., & Praptoraharjo, I.
Laporan Penelitian.

24

Anda mungkin juga menyukai