Anda di halaman 1dari 104

HALAMAN SAMPUL

GENDER DALAM PENDIDIKAN


SOSIOLOGI ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 10

ANDI ST. ALIJA M. MANGGABRANI (210403501040)

ANNISA RAMADHANI (210403501035)

PRODI ADMINISTRASI PENDIDIKAN


FAKULITAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayh-Nya, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga
kami dapat menyelesaikan makalh ini yang berjudul “Gender Dalam Pendidikan”.

Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat lebih memahami secara mendalam
tentang Gender Dalam Pendidikan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah atau penyusunan makalah berikutnya menjadi lebih
baik.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca. Semoga Allah SWT.
Senantiasa meridhoi segala usaha kami. Aamiin.

Makassar, 18 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA...............................................................................................................................3
2.1 Pengertian Gender.......................................................................................................................3
2.2 Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan........................................................................................4
2.3 Tujuan Pendidikan Bespektif Gender...........................................................................................5
2.4 Problematika Gender Dalam Pendidkan......................................................................................6
BAB III PENUTUP..........................................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................................9
3.1 Saran............................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................10

iii
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan pembangunan.
Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan pembangunan di setiap lapisan masyarakat karena nilai
dan norma yang berada di tengah-tengah masyarakat itu telah dibangun kuat melalui budaya. Seperti yang
dikemukakan oleh Ace Suryadi dan Tilaar (1994: 192) bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan tiga
jenis pelaku budaya: 1) Manusia yang sadar budaya, 2) Manusia yang membudaya, 3) Manusia sebagai
budayawan dalam arti yang luas. Oleh sebab itu sangat diperlukan adanya pendidikan karena pendidikan
maka tujuan pembangunan untuk mencapai pemerataan dan kesetaraan akan tercapai.
Pendidikan yang tidak diskriminatif akan sangat bermanfaat bagi perempuan maupun laki-laki, terutama
untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan diantara keduanya sehingga dapat mencapai pertumbuhan,
perkembangan dan kedamaian abadi dalam kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya dianggap dan
dinyatakan sebagai unsur utama pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk dari konstruksi
sosial, dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Kesetaraan gender tidak terjadi secara ilmiah, terutama di daerah yang memiliki subkultur yang kuat
(Ariyanto Nugroho dalam Kompas, 2011: 10)
Pelaksanaan pembangunan nasional khususnya di bidang pendidikan selama ini masih terdapat
kesenjangan partisipasi antara perempuan dan laki-laki. Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan,
bahwa sampai dengan tahun 2009, rata-rata lama sekolah perempuan sekitar 6,5 tahun dan laki-laki 7,6
tahun. Hingga tahun 2010 perempuan buta aksara usia 15 tahun keatas mencapai 13,84% sedangkan laki-
laki 6,52%. Pengarusutamaan gender yang didalamnya terkandung pendidikan responsif gender
merupakan upaya untuk memperhatikan gender dalam sektor pendidikan yang tujuannya dapat
menurunkan kesenjangan partisipasi antara perempuan dan laki-laki terhadap akses, kontrol dan manfaat
pendidikan. Kesenjangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan banyak
terlihat di satuan tingkat pendidikan.
Salah satu tugas satuan tingkat pendidikan atau sekolah adalah tidak membiarkan berlangsungnya
ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang
dalam masyarakat. Selain itu juga bersikap kritis dan mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat
sekitarnya untuk mengubah budaya tersebut sekaligus mentransformasikannya menjadi praktik-praktik
yang lebih berpihak kepada keadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan. (Zainuddin
Maliki, 2006: 13) Saya mengambil topik ini karena masalah gender sering sekali ditemukan dalam dunia
pendidikan tentunya. Gender juga sangat menarik untuk di teliti. Dan permasalahan gender ini mudah
untuk kita dapatkan informasinya, karena masalah mengenai transgender sudah banyak kita temukan saat
ini.

1
2

1.2 Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan gender


2. Bagaimana kesataraan gender dalam pendidikan
3. Apa tujun pendidikan berspektif gender
4. Apa saja Problematika gender dalam pendidikan

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan gender


2. Untuk mengetahui Bagaimana kesataraan gender dalam pendidikan
3. Untuk mengetahui Apa tujun pendidikan berspektif gender
4. Untuk mengetahui apa sajaProblematika gender dalam pendidikan
BAB II KAJIAN PUSTAKA

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Gender

GENDER merupakan perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat
dari nilai dan tingkah laku. Gender itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau
tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang
dibentuk secara sosial maupun budaya.

Gender adalah pembedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah
masyarakat berdasarkan jenis kelamin (Simatauw, 2001:7), disebut pula hubungan sosial antara
laki-laki dan perempuan sehingga gender merujuk pada hubungan antara laki-laki dan
perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagaimana hubungan sosial ini
dikonstruksikan. Peran gender bersifat dinamis dan berubah antar waktu (Komnas HAM:2011).
Jadi gender merupakan suatu hubungan sosial antara laki-laki dan hanya dibedakan dengan
peran, status, serta pembagian kerja yang dibuat oleh masyarakat.
Adapun Pengertian gender menurut para ahli seperti berikut :
Oakley berpendapat bahwa gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksikan secara sosial. Sedangkan Caplan berpendapat bahwa gender adalah
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis namun melalui
proses sosial dan kultural. Mansour Faqih juga berpendapat gender adalah suatu sifat yang
melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
menurut Nasarudin Umar gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi
identifikasi perbedaan dalam hal peran,perilaku,dll antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial

Perlu diketahui, pengertian gender berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Gender


dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki
dan perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan
melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau
sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan. Lebih singkatnya, gender dapat diartikan
sebagai suatu konstruksi sosial atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial. Menurut Ilmu
Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-
laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada
masa waktu tertentu pula.

3
2.2 Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan

Kesetaraan gender (gender equality) merupakan konsep dikembangkan dengan mengacu


pada dua instrumen internasional yang mendasar dalam hal ini yakni Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan
sama. Dengan merujuk pada Deklarasi ini, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan mencantumkan istilah " hak yang sama untuk laki-laki dan
perempuan " dan " kesetaraan hak laki-laki dan perempuan "

Konsep kesetaraan gender merujuk pada kesetaraan penuh laki-laki dan perempuan untuk
menikmati rangkaian lengkap hak-hak politik , ekonomi , sipil , sosial dan budaya. Konsep ini
juga merujuk pada situasi di mana tidak ada individu yang ditolak aksesnya atas hak-hak
tersebut, atau hak-hak tersebut dirampas dari mereka, karena jenis kelamin mereka

Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia
untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah
dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai
kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan pertahanan
dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Undang-Undang
Dasar 1945 Bab X tentang warga negara, pasal 27 ayat (1) berbunyi. Setiap warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu tidak kecualinya. Pasal tersebut jelas menentukan semua orang
mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum dan pemerintah tanpa ada diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan
sebenarnya telah diakui, terbukti dalam ketentuan Undang-undang dasar 1945 tentang pengakuan
warga negara dan penduduk jelas tidak membedakan jenis kelamin.

Membangun Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Berbagai bentuk kesenjangan gender


yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terjadi pula dalam dunia pendidikan. Bahkan, institusi
pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan nilai-nilai dan
cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat.
Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam
beberapa dimensi, antara lain; (i) Kurangnya keterwakilan perempuan sebagai tenaga pengajar
ataupun pimpinan lembaga pendidikan formal menunjukkan kecenderungan bahwa dominasi
laki-laki dalam hal tersebut lebih tinggi daripada perempuan; (ii) Perlakukan tidak adil. Kegiatan
pembelajaran di dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak
sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian lebih besar kepada murid lakilaki daripada
murid perempuan. Para guru terkadang masih berpikiran perempuan tidak perlu mendapatkan
pendidikan tinggi.
5

Dalam memenuhi kesetaraan dan keadilan gender diatas, maka pendidikan perlu memenuhi dasar pendidikan
yakni menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut
pendidikan kerakyatan. Ciri-ciri kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut:

1. Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis
kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik.1
2. Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami bias gender.
3. Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap
individu.
4. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan
zaman.
5. Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas
sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.

2.3 Tujuan Pendidikan Bespektif Gender

Undang-Undang Republik Indonesia No 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam
Pasal 48 UU dikatakan bahwa wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh pasal 60 ayat (10) menyatakan setiap anak
berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya
sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekeraasan dalam
rumah tangga yakni Pasal 3 UU ini menyatakan mengenai asas dan tujuan untuk penghormatan
hak asasi manusia keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban.
Instruksi Presiden No Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender dalam pembangunan
Nasional. Instruksi presiden bertujuan melaksanakan pengarustamaan gender guna
terselenggarannya perencanaan, penyusunan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan program
pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta
kewenangan masing-masing. Pengarustamaan gender dilaksanakan antara lain melalui analisis
gender dan upaya komunikasi, infomasi, informasi dan edukasi dan lembaga pemerintah
ditingkat pusat dan daerah.
Kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat dalam hal ini perempuan masih dibawah
kekuasaan laki-laki. Hal ini disebabkan karena peranan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat

1
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), 30.
6

mensubordinasikan perempuan dibawah kekuasaannya. Melihat kedudukan dan peranan strategis


dari seorang ibu dalam proses pendidikan, sudah sewajarnyalah apabila peranan peempuan
dalam proses pendidikan dalam hidup bermasyarakat mendapatkan tempat yang sewajarnya.
Dimana kesetaraan gender merupakan salah satu dari hak asasi manusia.
Tujuan dari pendidikan berperspektif gender diantaranya adalah:
1. Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, misalnya anak pria dan wanita mendapat hak
yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai kejenjang pendidikan formal tetentu, tentu
tidaklah adil, jika dalam era global sekarang ini menomorduakan pendidikan bagi wanita apalagi
kalau anak wanita mempunyai kemampuan. Pemikiran yang memandang bahwa wanita
merupakan tenaga kerja di sektor domestik (pekerjaan urusan rumah tangga) sehingga tidak perlu
diberikan pendidikan formal yang lebih tinggi merupakan pemikiran yang keliru.
2. Kewajiban yang sama, umpanya seorang laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai
kewajiban untuk mencari ilmu.
3. Persamaan kedudukan dan peranan contohnya baik pria dan wanita sama-sama kedudukan
sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Kedudukan pria dan wanita sama-sama berkedudukan
sebagai subjek pembangunan mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan,
melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan. Akhirnya berkaitan dengan
persamaan kesempatan.

2.4 Problematika Gender Dalam Pendidkan

1.Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak
sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namununtuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA
tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya hingga banyak siswa
yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih
tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya kesekolah yang jauh karena
mengkhawatirkan kesejahteraan mereka.
Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang terpaksa tinggal dirumah. Belum lagi beban tugas rumah
tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan. Akumulasi dari fraktor-faktor ini membuat anak
perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.

2. Partisipasi
Aspek partisipasi dimana tercakup didalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam
masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai
budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, sereingkali anak
perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan
formal.
7

Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus
didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak
apabila sudah dewasa dan berumah tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan
pencari nafkah.

3. Manfaat dan Penguasaan


Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan. Pendidikan
tidak hanya sekedar proses pembelajaran. Tetapi merupakan salah satu “narasumber” bagi segala
pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu
gender dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal
termasuk disekolah. Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam sekolah interaksi guru-guru , murid-
murid, baik didalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan
menampakkkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid,
penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu
ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, dll.
Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembeloajaran disekolah.

4.Pendidikan memandang gender

Dalam deklarasi hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan

pengajaran, pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima,serta rasa

persahabatan antar semua bangsa. Terkait hal ini sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap

dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga

sebagai produk atau konstruksi sosial maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi

terbentuknya reasi gender di dalam masyarakat.

5. Membangun Pendidikan Berprespektif Gender di Sekolah

Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga nila-nilai, tetapi

penyeru pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan jaman, maka menjadi

salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsugnya ketidakadilan gender yang

selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam masyarakat.

Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat disekitarnya

untuk mengubah atau membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus

mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak kepada keadilan sesama,


8

terutama keadilan bagi kaum peremuan. Guru atau pendidik sebagai pilar harus diupayakan

mendapatkan akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu,

untuk membukakan pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut.

6. Menuju Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara

pemenuhan kebutuhan praktis gender. Adapun strategi utama menuju kesetaraan gender dalam

pendidikan yaitu penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara

merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun

pendidikan luar sekolah. Penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa

yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan. Peningkatan penyediaan pelayanan

pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama perempuan. Peningkatan koordinasi,

informasi dan eduksi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender dan

pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai

pendidikan berwawasan gender.

)
*&
 *+
+++
)*
9

++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*

10


"

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
11

 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
12

%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
13

++
*&
+
A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

14

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

15

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
16

 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
17

++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
18

A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
19

)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
20

-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
21

* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
22

/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

23

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
24

++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
-
+

25

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
26

.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
27

 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
28

)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*

29


"

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
30

 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
31

%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
32

++
*&
+
A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

33

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

34

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
35

 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
36

++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
37

A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
38

)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
39

-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
40

* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
41

/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

42

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
43

++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
-
+

44

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
45

.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
46

 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
47

)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*

48


"

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
49

 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
50

%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
51

++
*&
+
A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

52

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

53

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
54

 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
55

++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
56

A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
57

)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
58

-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
59

* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
60

/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

61

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
62

++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
-
+

63

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
64

.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
65

 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
66

)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*

67


"

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
68

 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
69

%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
70

++
*&
+
A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

71

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

72

)***
+
0
+
-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
73

 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
74

++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
75

A*
*)
*&+&

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
76

)0)0D
>++
)*&*
++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
77

-
+

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
78

* 
++ 
 
.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
79

/ 
&$  
 +  * 
 
 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

80

)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
81

++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
-
+

82

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
83

.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
84

 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

E. UPAYA
PENANGGULANGAN
DAMPAK NEGATIF DARI
BIAS GENDER
85

DALAM PENDIDIKAN
)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
86

++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
-
+

87

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
88

.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
89

 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

E. UPAYA
PENANGGULANGAN
DAMPAK NEGATIF DARI
BIAS GENDER
90

DALAM PENDIDIKAN
)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
91

++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
-
+

92

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
93

.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
94

 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

E. UPAYA
PENANGGULANGAN
DAMPAK NEGATIF DARI
BIAS GENDER
95

DALAM PENDIDIKAN
)
*&
 *+
+++
)*
++

&*&

7

C
)0)0D
>++
)*&*
96

++
,
+
+*


"

)***
+
0
+
-
+

97

+*&
&
-+
+ 
&*
 . 
+ 
  +*
 & 
+  *
+  )* 
+  + 
* 
++ 
 
98

.0. 
  
*2*
**
%
2&+)

+
++/

&
/ 
&$  
 +  * 
 
99

 
+ 
* 
&
++
*&
+
A*
*)
*&+&

BAB III PENUTUP

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesetaraan Gender adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dilandaskan kepada
pengakuan atas ketidaksetaraan gender yang disebabkan oleh diskriminasi struktural dan
kelembagaan (Fakih 1999, xii). Disebut pula sebagai ketiadaan diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin atas dasar kesempatan, alokasi sumber daya atau manfaat dan akses terhadap pelayanan
(Komnas HAM:2011). Budaya bias laki-laki membentuk perempuan cenderung nrimo, karenanya
upaya sistematis dan berkelanjutan tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan
menjadi semakin mendesak, akses pendidikan perempuan dan laki-laki harus mendapatkan
kesempatan yang sama. Anak perempuan sebagaimana anak laki-laki harus mempunyai hak atau
kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata
berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab, mendorong laki-laki dan perempuan untuk
merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasrkan pada akal,alam,manusia,agar diperoleh
persamaan kebebasan dan kemajua bersama,tanpa membedakan jenis kelamin.

3.1 Saran

Dari penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada setiap pembaca agar dalam pembuatan
karya ilmiah seperti makalah, skripsi dan lainnya, dapat lebih memperhatikan format penulisan
karya ilmiah pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Yulina Krismoni, 2017. Gender Dalam Pendidikan https://medium.com/@monibeltim/gender-dalam-


pendidikan-dd6ca967be24

Warni Tune Sumar, 2015. Implementasi Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan.
https://media.neliti.com/media/publications/113902-ID-implementasi-kesetaraan-gender-dalam-
bid.pdf

Kementrian lingkungan hidup dan kehutanan, 2015. Analisis Gender Dalam Pengelolaan Konflik
Sumberdaya Hutan.
https://elearning.menlhk.go.id/pluginfile.php/854/mod_resource/content/1/analisis
%20gender/index.html

Anda mungkin juga menyukai