Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

EMANSIPASI IMPLEMENTASI KESETARAAN GENDER

Oleh

Kelompok 5

Muh Syahban

Sriwahyunengsih

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentu kami tidak akan
sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya
di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah tersebut.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi.

Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Majene, 10 Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................................

Daftar Isi ........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................


B. Rumusan Masalah ..............................................................................................
C. Tujuan ................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender ...............................................................................................


B. Perbedaan sex dengan gender ............................................................................
C. Pangkal Stereotip Gender ...................................................................................
D. Kesetaraan Gender Perspektif Islam ...................................................................
E. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan ....................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh
perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan
perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar
justru terbentuk melalu proses sosial dan kultural. Gender bisa dikategorikan sebagai perangkat
operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan
perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.
Istilah gender telah menjadi isu penting dan sering diperbincangkan akhir-akhir ini.
Banyak orang yang mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan dengan perempuan,
sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan gender
hanya dilakukan dan diikuti oleh perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki. Perempuan
merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup besar, bahkan di seluruh dunia melebihi jumlah
laki-laki. Namun perempuan yang yang berpartisipasi di sektor publik berada jauh di bawah
laki-laki, terutama di bidang politik.
Rendahnya partisipasi perempuan di sektor publik bukan hanya terjadi di Indonesia,
tetapi juga di seluruh dunia, termasuk juga di negara negara maju. Sebagai contoh dalam bidang
pendidikan kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Ketertinggalan
perempuan tersebut tercermin 2 dalam presentase perempuan buta huruf (14,47% tahun 2001)
yang lebih besar dibandingkan leki-laki (6,87%). Data tersebut menegaskan bahwa partisipasi
perempuan di sektor publik dalam bidang pendidikan masih rendah (Wirutomo, 2012:188-
189).
Contoh selanjutnya di India, di negara ini wanita dibagi menjadi tiga kelompok atau
kelas, yaitu kelas atas, menengah, dan bawah. Pandangan masyarakat India terhadap wanita
ditentukan pada kelas atau strata mana dia berada. Umumnya kelas atau strata tersebut dilihat
dari kasta atau keturunan, selain itu juga dari kelas ekonomi. Tuntutan agar wanita terjun di
dunia kerja mendorong mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Semakin
tinggi pendidikan seorang wanita, semakin terangkat kelas dan derajat dia dalam masyarakat.
Bagi kelas rendah, wanita dilahirkan, dirawat lalu tumbuh, harus tinggal dan bekerja di rumah.,
kemudian dikawinkan dalam usia belia. Artinya wanita yang tidak berpendidikan tidak
mempunyai alasan untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Pendidikan dan penegakan hak-
hak wanita mempunyai kaitan yang erat, semakin rendah pendidikan seorang wanita semakin
sedikit kesempatan dia untuk menuntuk hak-haknya. Kendala utama datang dari pihak
keluarga, wanita dianggap hanya pantas bekerja di dalam rumah saja.
Oleh karena itu, kesempatan bagi mereka untuk berkiprah di luar rumah sangat terbatas.
Keinginan untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan lainnya karena alasan untuk
berkarir di luar rumah sangat sedikit yang mendapat persetujuan dari pihak keluarga khususnya
orang tua (Bainar dan Halik,1999:37-38). 3 Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara
antara laki-laki dan perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi atau kualitas hidupnya
sama. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi setiap manusia.
Gender itulah yang pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran
reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Akan tetapi pada kenyataannya sampai saat ini,
perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi
adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus
keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya peran di luar itu menjadi tidak penting. Istilah
kesetaraan gender sering terkait dengan istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi,
penindasan, perilaku tidak adil dan semacamnya. Diskriminasi gender, menyebabkan
kerentanan terhadap perempuan dan/atau anak perempuan serta berpotensi pada terjadinya
kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Oleh karena itu, banyak bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh
beberapa LSM, untuk memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya berupa pelatihan
tentang isu-isu gender, pembangkitan kesadaran perempuan, dan pemberdayaan perempuan
dalam berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Namun, hal ini justru berbanding
terbalik dengan realita bahwa perempuan ternyata mempunyai peranan yang sangat besar
dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial, bahkan peranan
perempuan justru sangat dirasakan oleh masyarakat luas (Megawangi, 1999:19).
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses
dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki.
Di sisi lain Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama, tanpa ada
perbedaan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kodrat sebagai perempuan dan laki-laki.
Islam memandang kesetaraan gender sebagai keadilan antara lakilaki dan perempuan, bukan
kesetaraan laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip
keadilan, karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada
yang berhak menerimanya. Sementara kesamaan adalah menyetarakan antara 2 hal tanpa
adanya perbedaan (Joana:2013).
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil
dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan
untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan
terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya.
Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Hak untuk hidup secara
terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan 5 pilihan hidup tidak hanya
diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya
(buletin uny:2013).
Kesetaraan gender merupakan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan
nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan (Afif:2013).
Di dunia pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus
seimbang. Akan tetapi saat ini masih kerap terdapat adanya ketidakadilan gender. Banyak anak
perempuan usia sekolah yang tak bisa lagi mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini
disebabkan karena pengaruh cara pandang patriarkis dari orang tua mereka. Mereka
beranggapan hal tersebut hanya menghambur-hamburan uang sebab mereka akan segera
bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang tua dalam pekerjaan
rumah. Orang tua dari anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menganggap
anak perempuan mereka tidak pantas untuk melanjutkan sekolah. Lebih baik langsung
dinikahkan atau didorong bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.
Kurangnya pengetahuan dan asupan informasi membuat sebagian orang tua masih menganut
paham tersebut. Berbeda halnya dengan anak laki-laki yang mendapat tempat istimewa baik
segi pendidikan maupun kedudukan. Hal tersebut menyulut adanya ketimpangan antara budaya
dan realita yang ada.
Kesetaraan gender menjadi suatu program dan kegiatan yang diharapkan dapat
meningkatkan derajat dan martabat perempuan. Al-Qur’an yang menjadi 6 pegangan umat
Islam menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama di dunia,
baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Dengan tegas, Al-Qur’an menggunakan
ungkapan “laki-laki dan perempuan beriman” sebagai bukti pengakuannya terhadap kesetaraan
hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Dalam menjalankan ibadah atau kewajiban agama,
tidak pernah membeda-bedakan beban ibadah antara perempuan dan lakilaki. Selain itu dalam
Al Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah gender, namun jika yang
dimaksud gender menyangkut perbedaan laki-laki dan perempuan secara non-biologis,
meliputi perbedaan fungsi, peran dan relasi antara keduanya, maka dapat ditemukan sejumlah
istilah untuk itu.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan
kebersamaan dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an juga mengungkapkan perbedaan mendasar
antara laki-laki Kesetaraan gender sebagaimana sudah disinggung di atas mencakup pula
kesetaraan dalam pendidikan secara yuridis, dan kesetraan tersebut dapat dilihat dalam
ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa dan negara (ayat 1). Rumusan pasal
tersebut di atas menjelaskan adanya persamaan hak untuk memperoleh pendidikan baik bagi
penduduk laki-laki maupun perempuan, selain itu dalam UUD 45 terutama dalam pasal 31 ayat
1 juga dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Penjelasan
tersebut mengandung 7 makna bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sehingga tidak ada
diskriminasi antara laki-laki maupun perempuan agar terciptanya kesetaraan gender dalam
bidang pendidikan.
Pendidikan berspektif gender dapat diselipkan melalui kurikulum yang sensitif gender,
sehingga ada bentuk perhatian terhadap hak-hak perempuan. Di dalamnya tertuang kesetaraan
gender dalam aktivitas pembelajaran siswa seharihari, juga adanya kesetaraan perlakuan pada
semua peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas, termasuk memperlakukan secara
adil semua siswa dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Lebih dari itu pemerintah melalui
kebijakannya harus menyusun peraturan perundang-undangan dan norma hukum yang
berpihak pada kesetaraan gender, dalam bidang pendidikan.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gender?
2. Apa perbedaan antara sex dengan gender?
3. Bagaimana Pangkal Stereotip Gender?
4. Bagaimana Kesetaraan Gender Perspektif Islam?
5. Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu gender
2. Untuk mengetahui perbedaan antara sex dengan gender
3. Untuk mengetahui Pangkal Stereotip Gender
4. Untuk mengetahui Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam
5. Untuk mengetahui Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender
Istilah ‘gender’ sudah tidak asing lagi di telinga kita, tetapi masih banyak di antara kita
yang belum memahami dengan benar istilah tersebut. Gender sering diidentikkan dengan jenis
kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami
sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian.
Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’
(Echols dan Shadily, 1983: 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, Edisi 1984 ‘gender’
diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku’. Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current English Edisi
1990, kata ‘gender’ diartikan sebagai ‘penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan
kata-kata lain yang berkaitan 3 dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis
kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)’.
Secara terminologis, ‘gender’ oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai
harapanharapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson mengartikan ‘gender’
sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada
kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi lakilaki dan
perempuan. Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan ‘gender’ lebih dari sekedar
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan
gender sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin
Umar, 1999: 33-34).
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat
(social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
B. Perbedaan Sex dengan Gender
Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama, yaitu jenis
kelamin (Echols dan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek nonbiologis lainnya.
Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis, komposisi
kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta karakteristik biologis lainnya
dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan
kepada perkembangan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Jika studi sex lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam
tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness), maka studi gender lebih menekankan
pada aspek maskulinitas (masculinity) dan (femininity) femininitas seseorang.
Untuk melihat perbedaan pemahaman tentang sex dan gender dengan jelas dapat dilihat
ilustrasi berikut ini. Menurut tinjauan sex, seorang laki-laki bercirikan seperti memiliki penis,
memiliki jakala, dan memproduksi sperma; sedang seorang perempuan bercirikan seperti
memiliki vagina, memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran 4 untuk melahirkan,
memiliki payudara, dan memproduksi sel telur.
Ciri-ciri ini melekat pada laki-laki dan perempuan dan tidak dapat dipertukarkan satu
sama lain. Semua ciriciri tersebut diperoleh secara kodrati dari Tuhan. Sedang menurut tinjauan
gender, seorang perempuan memiliki ciri-ciri seperti cantik, lemah lembut, emosional, dan
keibuan, sedang seorang laki-laki memiliki ciri-ciri seperti kuat, rasional, gagah, perkasa,
jantan, dan masih banyak lagi yang lain. Ciri-ciri ini tidak selamanya tetap, tetapi dapat
berubah. Artinya tidak semua laki-laki atau perempuan memiliki ciri-ciri seperti tersebut. Ciri-
ciri itu bisa saling dipertukarkan. Bisa jadi ada seorang perempuan yang kuat dan rasional,
tetapi ada juga seorang laki-laki yang lemah lembut dan emosional. Tegasnya, dalam khazanah
ilmu-ilmu sosial, gender diperkenalkan untuk mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki tanpa konotasikonotasi yang sepenuhnya bersifat biologis, tetapi
lebih merujuk kepada perbedaanperbedaan akibat bentukan sosial. Karena itu, yang dinamakan
relasi gender adalah seperangkat aturan, tradisi, dan hubungan sosial timbal balik dalam
masyarakat dan dalam kebudayaan yang menentukan batas-batas feminin dan maskulin
(Macdonald dkk, 1999: xii).
Jadi, gender menjadi istilah kunci untuk menyebut femininitas dan maskulinitas yang
dibentuk secara sosial yang berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, dan
juga berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda dengan sex (jenis kelamin), perilaku gender
adalah perilakau yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan semata-mata berasal dari
pemberian (kodrat) Tuhan yang tidak dapat dipengaruhi oleh manusia.
Sejarah perbedaan gender antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial
budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini,
perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati
atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang
menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat
menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses
seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. 5 Gender juga
dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender
akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan
dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan
menjadi apa nantinya.
C. Pangkal Stereotip Gender
Asal-usul Kejadian Manusia Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan
asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di dalam kelompok
Abrahamic religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan Agama Islam menyatakan
bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari pada perempuan.
Di Dalam Bibel ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva) diciptakan dari tulang
rusuk Adam, seperti dapat dilihat pada Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi
Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah Kitab Kejadian
2:21-23: "21 Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22 Dan dari
rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu
dibawaNya kepada manusia itu". (Bibel Edisi Indonesia). Berbeda dengan Bibel, al-Qur'an
menerangkan asal-usul kejadian tersebut di dalam satu ayat pendek (QS. al-Nisa' (4): 1): “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari "diri" yang
satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Cerita tentang asal-usul kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits. Keterangan
dari Bibel dan hadits-hadits mengilhami para exegesist, mufassir, penyair, dan novelis
menerbitkan berbagai karya.
Karya-karya tersebut dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olah manusia,
terutama laki-laki, secara biologis adalah makhluk supernatural, terlepas sama sekali dengan
makhluk biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tidak heran kalau Darwin
dengan teori 6 evolusinya dianggap "murtad" di kalangan kaum agamawan, karena
mengembangkan faham yang bertentangan dengan teks Kitab Suci.
D. Kesetaraan Gender Perspektif Islam
Secara umum perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika
dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Sudah berabad-abad lamanya pandangan ini
mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari agama-
agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau mungkin juga agama-agama
lainnya. Ada baiknya di sini dipaparkan sekilas pandanagan historis mengenai posisi
perempuan.
Sebelum Islam datang, posisi perempuan berada pada strata sosial yang tidak imbang
dibandingkan dengan strata sosial laki-laki. Selama berabad-abad kaum perempuan terus
menerus berada di bawah dominasi kaumlaki-laki. Nasib perempuan begitu sengsara dan
memprihatinkan. Perempuan dijadikan boneka-boneka istana untuk memuaskan nafsu para raja
atau penguasa, bahkan perempuan juga dijadikan seperti barang yang dapat diperjualbelikan.
Dalam kehidupan rumah tangga, kedudukan perempuan sepenuhnya berada pada
kekuasaan suaminya. Perempuan tidak memiliki hak-hak yang semestinya. Kondisi perempuan
seperti ini hampir terjadi di semua bangsa terkenal di dunia pada waktu itu, seperti bangsa
Yunani, Romawi, Cina, India, Persia, dan lain sebagainya (al-Barik, 1997: 5-8 dan N.M.
Shaikh, 1991: 2-5).
Di kalangan bangsa Arab sendiri – sebelum Islam datang – kondisi perempuan sangat
memprihatinkan. Al-Kurdi menggambarkan kondisi perempuan pada masa Jahiliah dengan
panjang lebar seperti berikut: (1) perempuan terhalang dari hak mewarisi; (2) suami berhak
menceraikan isterinya seenaknya dan dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi
sebaliknya si isteri sama sekali pasif dalam masalah ini; (3) tidak ada batasan dalam masalah
jumlah isteri; (4) isteri merupakan bagian dari harta peninggalan suami; (5) menanam hidup-
hidup anak perempuan suadah menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat Arab Jahiliah;
(6) dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah menghalalkan perkawinan
istibda’ (maksudnya seorang suami mengizinkan isterinya yang telah bersih kandungannya
kepada salah seorang pemimpin kabilah yang terkenal keberaniannya, kekuatannya,
kemuliaannya, dan akhlaknya supaya isterinya bisa mengandung dari orang tersebut dan
setalah itu ia 7 kembali kepada suaminya lagi); dan (7) adanya kebiasaan perkawinan syighar
(yang berarti pertukaran anak perempuan, yaitu apabila dua orang mempunyai dua anak gadis
dewasa yang belum kawin, mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan itu sehingga
mahar bagi seorang anak perempuan dianggap telah terbayar dengan mahar bagi si anak
perempuan yang lain.
Jadi, anak perempuan dari seorang ayah berpindah tangan kepada ayah dari anak
perempuan yang lain, dan sebaliknya) di antara mereka (al-Kurdi, 1995: 23-24) Demikianlah,
selama berabad-abad perempuan terus-menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki.
Kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuatan laki-laki
demi kelancaran dan kelestarian keluarga. Datangnya agama Yahudi dan Nasrani yang
ajarannya kemudian banyak disimpangkan oleh para penganutnya belum bisa menjamin
kedudukan perempuan sebagaimana mestinya.
Kemudian datanglah Islam yang berusaha mengangkat kedudukan perempuan hingga
menjadi sejajar dengan kedudukan laki-laki. Islam datang untuk melepaskan perempuan dari
belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang
perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang memiliki berbagai hak
di samping kewajiban. Islam mengharamkan perbudakan dan berbuat aniaya terhadap
perempuan. Islam memandang sama antara laki-laki dan perempuan dalam aspek
kemanusiaannya (Q.S. al-Hujurât (49): 13).
Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (Q.S. al-Taubat (9): 71), memikul beban-beban
keimanan (Q.S. al-Burûj (85): 10), menerima balasan di akhirat (Q.S. al-Nisâ’ (4): 124), dan
pada masalah-masalah lainnya yang banyak disebutkan dalam al-Quran. Namun demikian,
dalam hal ini masih diakui adanya sedikit perbedaan antara perempuan dan laki-laki, misalnya
dalam hal status perempuan menjadi saksi, besarnya bagian perempuan dalam warisan, dan
kesempatan perempuan menjadi kepala negara. Yang pasti, secara kodrati perempuan berbeda
dengan laki-laki. Hanya perempuan yang bisa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada
perempuan setara dengan kedudukan yang diberikan kepada laki-laki.
Kesetaraan ini bukan berarti menjadikan perempuan sama persis dengan laki-laki dalam
8 segala hal. Tentunya ada batasan-batasan tertentu yang membedakan wanita dengan pria.
Pada perkembangan selanjutnya, lahirnya politik demokrasi serta munculnya sistem ekonomi
sosialis dan kapitalis di Barat memberikan kesadaran baru terhadap hak-hak perempuan. Kaum
perempuan tidak mau lagi ditindas sebagaimana yang mereka alami di tengah-tengah
masyarakat feodal. Mereka menolak dianggap rendah status sosialnya dibanding laki-laki.
Mereka menuntut hak-haknya untuk belajar dan mendapat penghormatan yang sama. Gerakan
mereka ini dikenal dengan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan dan kesadaran yang
berangkat dari asumsi bahwa kaum wanita mengalami diskriminasi dan ada usaha untuk
menghentikan diskriminasi tersebut (Nurul Agustina, Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi Khusus),
No. 5 dan 6, 1994: 63).
Munculnya kesadaran baru seperti itu banyak menggugah para pakar untuk lebih
menyuarakan hak-hak perempuan melalui tulisan-tulisan mereka. Mulai dekade 1980-an para
pakar Muslim pun mulai banyak berbicara mengenai hak-hak perempuan dengan
mempermasalahkan kembali pemahaman Islam (fikih) yang terkandung dalam kitabkitab fikih,
tafsir, dan syarah hadis yang menurut mereka masih mencerminkan bias dan dominasi
patriarkal yang cukup kental. Mereka ini kemudian dijuluki tokoh-tokoh feminis Muslim atau
sering juga dikenal sebagai kaum feminis Muslim. Di antara tokoh-tokoh feminis Muslim yang
tulisan-tulisannya dapat dibaca, baik dalam bentuk buku maupun artikel, adalah Fatima
Mernissi dari Maroko, Riffat Hassan dari Pakistan, Nawal el-Sadawi dari Mesir, Amina Wadud
Muhsin dari Malaysia, dan Asghar Ali Engineer dari Pakistan.
Dari tulisan-tulisan para feminis Muslim itu dapat dilihat bahwa Islam sebenarnya
sama sekali tidak menempatkan kedudukan perempuan berada di bawah kedudukan laki-laki.
Jadi Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender. Kalaulah selama
ini kita memahami adanya ketidakadilan dalam Islam ketika memposisikan perempuan dan
laki-laki dalam hukum, adalah karena warisan pemahaman Islam (fikih) dari para tokoh
Muslim tradisional yang diperkuat oleh justifikasi agama.
Oleh karena itu, kaum feminis itu bersepakat untuk mengadakan rekonstruksi terhadap
ajaran-ajaran tradisional agama untuk sejauh mungkin mengeliminasi perbedaan status yang
demikian tajam antara laki-laki dan perempuan yang telah dikukuhkan selama berabad-abad.
Rekonstruksi dilakukan dengan jalan 9 menafsirkan kembali teks-teks al-Quran yang berkaitan
dengan wanita yang selama ini sering ditafsirkan dengan nada misoginis (yang menunjukkan
kebencian kepada perempuan). Studi yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap al-Quran
menunjukkan adanya kesetaraan gender. Dia menemukan lima variabel yang mendukung
pendapatnya, yakni (1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba.
Hal ini bisa dilihat misalnya dalam surat al-Hujurat (49): 13 dan al-Nahl (16): 97; (2)
Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam surat al-Baqarah (2):
30 dan al-An’am (6): 165; (3) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti
terlihat dalam surat al-A’raf (7): 172; (4) Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama
kosmis. Kejelasan ini terlihat dalam surat al-Baqarah (2): 35 dan 187, al-A’raf (7): 20, 22, dan
23.; dan (5) Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat dalam
surat Ali ‘Imran (3): 195, al-Nisa’ (4): 124, al-Nahl (16): 97, dan Ghafir (40): 40 (Nasaruddin
Umar, 1999: 248-265). Kalaupun kemudian muncul pendapat yang bernada misoginis terhadap
perempuan, atau yang menunjukkan subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki,
dikarenakan adanya bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks al-Quran.
Adapun penyebab terjadinya bias gender ini menurut Nasaruddin bisa ditelusuri dalam
sepuluh faktor, yakni (1) Pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qiraat; (2) Pengertian kosa
kata (mufradat); (3) Penetapan rujukan kata ganti (dlamir); (4) Penetapan batas pengecualian
(istisna’); (5)Penetapan arti huruf ‘athaf; (6) Bias dalam struktur bahasa; (7) Bias dalam kamus
bahasa Arab; (8) Bias dalam metode tafsir; (9) Pengaruh riwayat Isra’iliyat; dan (10) Bias
dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fikih (Nasaruddin Umar, 1999: 268- 299).
Persoalan yang sama seperti itu juga terjadi dalam pemahaman terhadap teks-teks hadis.
Namun, dalam bidang hadis ini juga dipengaruhi oleh status atau kualitas hadis yang oleh para
ulama hadis dinilai berbeda-beda. Memang keberadaan hadis tidak seperti al-Quran yang sejak
turunnya hingga sekarang tidak diragukan keautentikannya. Hadis tidak seperti al-Quran,
karena sampainya hadis kepada kita sangat sarat dengan peristiwa-peristiwa historis yang
bermuatan sosio-kultural, terutama bagi para perawi atau sanad yang membawanya kepada
kita. Inilah yang kemudian mempengaruhi kualitas hadis, sehingga hadis ada yang shahih,
hasan, dan dla’if. Kualitas inilah yang 10 juga ikut mempengaruhi wacana pemikiran (fikih)
tentang perempuan dalam Islam. Dari sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman
hadis, yaitu usaha penyesuaian dengan dan dari hadis untuk mendapatkan pandangan yang
sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi. Ini berarti
bahwa kontekstualisasi tidak dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan dengan teks hadis
atau sebaliknya, tetapi dilakukan dengan dialog atau saling mengisi di antara keduanya (Hamim
Ilyas dalam Ema Marhumah (ed.), 2001: 180). Tujuan kontekstualisasi ini tidak lain untuk
melihat posisi perempuan yang sebenarnya dalam hadis atau sunnah Nabi.
E. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan
Selanjutnya kita akan mengkaji secara singkat kesetaraan gender dalam bidang
pendidikan. Keseteraan gender dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting mengingat
sektor pendidikan merupakan sektor yang sangat strategis untuk memperjuangkan kesetaraan
gender.
Di Indonesia kita bisa mengetahui sekarang bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan memberi arah pada terciptanya kesetaraan gender. Tidak ada bias
gender dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber
daya manusia (SDM) Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan. Upaya
pemerintah dalam mengembangkan SDM melalui pendidikan di Indonesia terus dilakukan,
tetapi mengalami hambatan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia.
Dampak krisis ekonomi ini tidak saja kepada daya beli masyarakat tetapi juga
berdampak kepada kemampuan orang tua untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dan
sekarang ini pemerintah lebih giat lagi untuk memajukan pendidikan di Indonesia, terutama
dengan dipenuhinya anggara pendidikan 20 % dari APBN. Dengan kebijakan sekolah
gratisnya, pemerintah cukup mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Peraturan perundang-undangan di negara kita tentang pendidikan tidak ada yang
mengarah kepada ketimpangan gender. Tidak ada kebijakan yang yang bias gender terkait
dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di Indonesia mulai dari jenjang Sekolah
Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Kalaupun terjadi perbedaan jumlah laki-laki dan
perempuan pada jurusan-juruan tertentu baik di SMA, SMK, maupun di PT, bukan karena
kebijakan yang dibuat menuntut demikian, tetapi hal ini 11 semata-mata adalah karena pilihan
para peserta didik yang dipengaruhi oleh asumsi perbedaan kemampuan mereka.
Seperti yang dikemukakan oleh Ace Suryadi, bahwa terjadinya ketimpangan menurut
gender yang tercermin dalam proporsi jumlah peserta didik yang tidak seimbang menurut
jurusan-jurusan atau program-program studi yang ada pada pendidikan menengah dan tinggi
disebabkan adanya asumsi perbedaan kemampuan intelektual dan ketrampilan antara laki-laki
dan perempuan (Ace Suryadi, 2004: 114). Kita pun juga sering menemukan adanya gejala
kesenjangan gender dalam sistem pendidikan, khususnya dalam pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, dalam hal proporsi laki-laki dan perempuan dalam jurusan-jurusan yang
dibuka. Penyebabnya, selain mungkin peserta didik itu sendiri kekurangan informasi untuk
menentukan pilihan jurusan atau program studi, juga adanya faktor keluarga dengan berbagai
persepsinya yang sudah bias gender.
Sering kali dalam memilih jurusan, mereka mendapat intervensi dari orang tua mereka,
padahal jurusan yang dipilih di sekolah akan berakibat lanjutan kepada kesempatan
meneruskan pendidikan atau memilih pekerjaan. Bisa ditegaskan di sini, bahwa di SMU sudah
terjadi kesetaraan gender dalam program penjurusan. Namun, yang terjadi di SMK masih
terjadi kesenjangan gender berdasarkan kepantasan untuk memilih jurusan yang pantas diikuti
laki-laki atau perempuan. Siswa perempuan masih mendominasi program studi Bisnis dan
Manajemen, Seni, dan Kerajinan. Sebaliknya, laki-laki lebih mendominasi program studi
Teknik. Hal ini juga terjadi di jurusan-jurusan atau program-program studi di perguruan tinggi
(PT)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa Islam sama sekali tidak menempatkan
perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, baik dari segi
substansi penciptaannya, tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya, maupun dalam rangka
meraih prestasi puncak yang diidam-idamkannya. Islam, melalui kedua sumbernya al-Quran
dan Sunnah, menetapkan posisi dan kedudukan perempuan setara dan seimbang dan setara
dengan posisi dan kedudukan laki-laki.
Dengan kata lain, Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan gender dan tidak
menghendaki ketidakadilan atau ketimpangan gender. 12 Dalam bidang pendidikan,
pemerintah Indonesia juga tidak menetapkan kebijakan yang bias gender. Dengan kata lain,
arah pendidikan di Indonesia adalah demi terciptanya kesetaraan gender dalam bidang
pendidikan. Kalaupun terjadi ketimpangan dalam proporsi jumlah laki-laki dan perempuan
dalam jurusan-jurusan atau programprogram studi tertentu di jenjang SMA maupun PT, hal ini
bukan karena kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, akan tetapi lebih ditentukan oleh cara
berpikir tradisional masyarakat Indonesia.
Di antara masyarakat kita masih ada yang berpandangan bahwa perempuan lebih pantas
untuk memerankan fungsi domistik, yaitu mengurus keluarga dan anak-anak, sedang laki-laki
diasumsikan lebih pantas memerankan fungsi publik, yakni di dunia luas untuk mencari nafkah
penopang keluarga. Karena itulah, sekarang banyak perempuan yang memasuki jurusan
pendidikan dan keguruan, meskipun banyak juga yang memasuki jurusan-jurusan yang lain.
B. Saran
Diharapkan generasi muda mampu membedakan dan mampu mengetahui kestaraan
gender. Dimana Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses
dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA

Ace Suryadi dan Ecep Idris. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: PT.
Genesindo.

Al-Bari, Haya Binti Mubarak. (1997). Mausu’at al-Mar’ah al-Muslimah. Alih bahasa: Amir Hamzah
Fachruddin. Jakarta: Darul Falah. Cet. I.

Al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. (1995). Ahkam al-Mar’ah fi al-Fiqh al-Islamiy. Alih bahasa: Moh. Zuhri dan
Ahmad Qorib. Semarang: Dina Utama. Cet. I.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII.

Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq (ed.). (2001). Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I.

Macdonald, Mandy dkk. (1999). Gender dan Perubahan Organisasi: Menjembatani Kesenjangan
antara Kebijakan dan Praktik. Alih bahsa: Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mansour Fakih. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.

13 Nasaruddin Umar. (1999). Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:

Paramadina. ----------. (2006). “Perspektif Jender dalam Islam”. dalam Jurnal Pemikiran Islam
PARAMADINA. Jakarta Selatan: Penerbit Yayasan Paramadina. http://media.isnet.
org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender2.html#r116 download 6 Januari 2006. N.M. Shaikh. (1991).
Woman in Muslim Society. New Delhi: Kitab Bhavan. Cet. I.

Nurul Agustina. (1994). “Tradisionalisme Islam dan Feminisme”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an. (Edisi
Khusus) No. 5 dan 6, Vol. V.

Anda mungkin juga menyukai