Anda di halaman 1dari 19

PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Isu-
Isu Aktual dalam Pendidikan

Disusun Oleh:

Sem. VII/PAI-1&2
Kelompok 11

Annisa Damayanti 0301183233


Hamidah Dalimunthe 0301183251
Pahmi Idiris H. 0301183206
Rini Juni Arni 0301181022
Rizka Indriani 0301183286
Zakir Hasibuan 0301183288
Dosen Pengampu:
Dr. Mohammad Al-Farabi, M.Ag

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang. Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan atas khadirat Allah swt.
dimana masih memberikan kita semua kesehatan terutama kepada penulis,
sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang “Pendidikan Islam dan
Kesetaraan Gender” guna untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah
Isu-Isu Aktual dalam Pendidikan.

Makalah ini kami buat dan kami susun dengan usaha yang maksimal.
Terlepas dari semua itu, kami mengucapkan terima kasih kepada beberapa
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada
rekan-rekan sekelompok yang sudah ikut andil dalam hal waktu, tenaga dan
fikiran sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Terlepas dari semua itu, kami juga menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Mungkin dari segi bahasa, susunan
kalimat atau hal yang lainnya. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif
kami harapkan guna untuk perbaikan makalah-makalah kami selanjutnya.
Dan semoga makalah ini dapat bermanfat bagi pembaca sekalian. Akhir kata
kami ucapkan terima kasih atas segala perhatiannya.

Simalungun, 28 Oktober 2021

Penulis,

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1


B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................2

BAB II PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER.............3

A. Ragam Problematika Pendidikan dalam Konteks Kesetaraan Gender. 3


B. Ragam Solusi Saat Ini terhadap Problematika Tersebut.......................9
C. Analisis terhadap Solusi Saat Ini dan Tawaran Solusi
Lain.................11

BAB III PENUTUP.........................................................................................13

A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran.....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peran gender merupakan salah satu isu yang terus berkembang
dalam wacana pendidikan, khususnya di Indonesia. Setidaknya ada dua
pandangan yang umum tentang gender. Pandangan pertama menganggap
gender adalah sesuatu yang alamiah dan merupakan kodrat Tuhan yang
tidak bisa berubah, sehingga ia harus diterima secara penuh. Pandangan
kedua menyatakan bahwa gender merupakan konstruk sosial dan tidak
ada hubungannya dengan jenis kelamin, maka bisa jadi ada pertukaran
peran akibat konstruk sosial yang melingkupinya, sehingga ada peran-
peran tertentu yang secara tradisi dan kultural merupakan ciri khas laki-
laki, namun karena konstruk sosial, peran tersebut dapat diperankan oleh
peempuan.
Berkenaan dengan pendidikan, pendidikan merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan
sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, pencerahan, bimbingan,
sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta
membentuk disiplin hidup. Hal demikian membawa pemikiran bahwa
bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia, ia akan
memerlukan adanya pendidikan. Dalam pengertian umum, kehidupan
dari komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di
dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan
manusia.
Di Indonesia asih ditemui stigma pada paradigma di masyarakat
yang cenderung masih rasis terhadap kaum perempuan, hal tersebut
bukan hanya datang dari golongan patriarkat, namun juga dari kaum
perempuan sendiri, bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan
yang tinggi, karena fitrah perempuan itu di rumah, mengurus rumah
tangga. Sehingga aktivitas mereka dalam dunia pendidikan dan
peningkatan kecerdasan intelektual dibatasi. Laki-laki boleh belajar

1
setinggi-tingginya, tetapi tidak bagi perempuan. Inferioritas dan
rendahnya tingkat intelektualitas perempuan ini akhirnya menjegal atau
menghalangi mereka untuk menduduki posisi-posisi kekuasaan publik.
Peran-peran publik perempuan dianggap menyalahi kodrat dan dengan
begitu menentang kehendak Tuhan. Dari masalah di atas, maka penulis
akan menjelaskan problematika dan ragam solusi untuk masalah
pendidikan dalam konteks kesetaran gender.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ragam problematika pendidikan dalam konteks kesetaraan
gender?
2. Bagaimana ragam solusi saat ini terhadap problematika tersebut?
3. Bagaimana analisis terhadap solusi saat ini dan tawaran solusi lain?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui ragam problematika pendidikan dalam konteks
kesetaraan gender.
2. Agar mengetahui ragam solusi saat ini terhadap problematika
tersebut.
3. Agar mengetahui analisis terhadap solusi saat ini dan tawaran solusi
lain.

2
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
A. Ragam Problematika Pendidikan dalam Konteks Kesetaraan
Gender
Sebelum membahas lebih jauh, disini penulis akan menjelaskan
mengenai pengertian kesetaraan gender. Gender secara bahasa berarti
jenis kelamin.1 Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan ditinjau dari segi nilai dan tingkah laku. Gender
juga diartikan sebagai konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
di masyarakat. gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
pengaruh sosial budaya.2
Konsep gender, bukanlah suatu siakp yang kodrati atau alami,
tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang berproses
sepanjang sejarah manusia. Misalnya, perempuan itu lembut, emosional,
hanya cocok mengambil peran domestik, seentara laki-laki itu kuat,
rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan
dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural
tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya
dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat
biologis dan kodrati yang tidak bisa diubah-ubah lagi, seolah sudah
merupakan sunnatullah.
Gender merupakan konsep yang menggambarkan relasi antara
laki-laki dan perempuan yang dianggap memiliki perbedaan menurut

1
Zaitunah Subhan, Al Qur’an dan Perempuan; Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 1.
2
Rilla Sovitriana, Kajian Gender dalam Tinjauan Psikologi, (Jawa Timur: Uwais Inspirasi
Indonesia, 2019), h. 8.

3
konstruksi sosial budaya yang meliputi perbedaan peran, fungsi, dan
tanggung jawab. Kemudian, gender merupakan suatu konstruksi sosial
bukan bawaan lahir, sehingga gender bisa berubah dan dibentuk sesuai
dengan tempat, waktu, kultur, status sosial, pemahaman kegamaan,
ideologi negara, politik, hukum dan ekonomi.3
Dari beberapa pengertian gender di atas, maka dapat disimpulkan
bahwasanya gender adalah konstruk sosial tentang peran laki-laki
araupun perempuan yang bisa berubah sesuai dengan tempat, waktu, dan
kondisi yang melingkupinya.
Kesamaan/kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional
dan kesamaan dalam hal menikmati hasil pembangunan.
Problematika Pendidikan dalam Konteks Kesetaraan Gender
Banyak sekali problematika yang terjadi dalam hal pendidikan
untuk perempuan. Masalah gender akhir-akhir ini semakin hangat
menjadi topik perbincangan khalayak ramai, karena pada dasarnya erat
kaitannya dengan segala aspek kehidupan atau mengacu pada konstruksi
sosial atas peran, perilaku, aktivitas serta atribut yang dibutuhkan
masyarakat dan diangap tepat untuk jenis kelamin tertentu.
Dalam hadist telah disebutkan bahwasanya:

‫َطَل اْلِعْلِم َفِر ْيَض ٌة َعَلى ُك ِّل ُمْس ِلٍم‬


‫ُب‬
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah
no. 224).4
Hadist ini menjelaskan bahwasanya pendidikan atau menuntut
ilmu itu wajib dilaksanakan oleh semua orang. Tidak ada perbedaan

3
Rusdiana, dkk, Bangkitnya Gender Equality di Pesantren, (Pamekasan: Duta Media
Publishing, 2020), h. 34.
4
Emmy Herlina, dkk, Keindahan yang Paling Berharga, (Jawa Timur: Nulis Bareng,
2018), h. 68.

4
antara perempuan dan laki-laki dalam hal menuntut ilmu atau menempuh
jalan pendidikan.
Banyak isu-isu yang terdengar pada saat ini pada pendidikan
dalam konteks kesetaraan gender. Problematika itu di antaranya adalah:
1. Penomorduaan (Subordinasi)5
Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya adalah
pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal
ini adalah terhadap perempuan. Dalam pendidikan laki-laki sebagai
tokoh sentral sedangkan perempuan hanya sebagai tokoh pelengkap
dan sering keberadaannya tidak dianggap.
Dalam hal pendidikan, perempuan masih sering
dinomorduakan, terutama pada lingkup keluarga di pedesaan atau di
kalangan masyarakat yang lemah dalam status ekonominya. Dengan
tingginya biaya pendidikan dan terbatasnya dana yang tersedia, anak
perempuan seringkali mendapat tempat kedua setelah anak lakilaki,
dalam hal melanjutkan pendidikan tinggi. Dengan anggapan bahwa
laki-laki akan menjadi penopang keluarga, pencari nafkah utama
maka dia harus mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dari
perempuan. Anggapan seperti ini bukan saja hanya merugikan
perempuan, tetapi juga memberikan tekanan dan tuntutan yang luar
biasa berat pada laki-laki. Laki-laki dituntut harus kuat, harus pandai,
harus mempunyai pekerjaan yang bagus dan sederet kata ‘harus’
lainnya, sebagai ‘konsekuensi’ dari pandangan masyarakat yang
menempatkan mereka pada kedudukan lebih tinggi daripada
perempuan.
Sementara itu, perempuan yang dianggap nomor dua dan tidak
begitu penting dalam peran sosialnya di masyarakat, perlahan-lahan
akan semakin tertinggal dan tidak bisa berkontribusi banyak terhadap
prosesproses pembangunan yang berkembang di lingkungannya.
Tidak heran, jika sampai saat sekarang ini, pembangunan di negara
kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju lainnya
5
Dede William, Gender Bukan Tabu; Catatan Perjalanan Fasilitas Kelompok Perempuan
di Jambi, (Bogor: Center for International Forestry Research, 2006), h. 14.

5
yang relatif lebih sedikit memiliki sumberdaya. Salah satu sebabnya
adalah sumberdaya manusia yang produktif dan dapat
menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan negara, masih
sangat terbatas jumlahnya.
Berkembangnya isu Gender di masyarakat dan maraknya
inisiatif-inisiatif yang memperjuangkan kesetaraan Gender juga
memicu sebagian orang menjadi berpikir dikotomis. Yang dimaksud
adalah cara berpikir yang menempatkan perempuan dan laki-laki
pada dua kubu yang berseberangan. Perempuan ditempatkan pada
kubu yang teraniaya dan lemah, sedangkan laki-laki dipandang
sebagai kubu penguasa yang menjajah perempuan. Hasil dari
pemikiran seperti ini tidak akan memunculkan perilaku sadar Gender
dan tidak akan mendukung ke arah terjadinya kesetaraan Gender.
Yang akan muncul justru ‘perang’ antara perempuan pada kubu
‘teraniaya’ yang merasa terjajah, ingin memberontak dan menguasai
laki-laki, sementara kaum laki-laki pada kubu ‘penguasa’ yang takut
kekuasaannya diambil dan selalu khawatir terhadap dominasi kaum
perempuan. Yang terjadi selanjutnya adalah terjadinya pertarungan
antara kubu perempuan dan laki-laki tanpa jelas apa yang sebenarnya
diperdebatkan.6
Bisa kita bayangkan seberapa besar sumber daya manusia
(perempuan) yang potensial untuk membangun negara ini telah disia-
siakan dengan sistem budaya tradisional-patriarkhi. Sumberdaya
manusia yang berpendidikan rendah cenderung mempunyai peluang
lebih sempit untuk dapat memanfaatkan kemampuannya secara
maksimal di bidang pekerjaan yang diminatinya. Jika saja semua
orang, baik laki-laki maupun perempuan diberikan peluang yang
sama untuk maju, untuk lebih produktif menyumbangkan
kemampuannya di berbagai sektor yang berbeda, dengan dukungan
sumberdaya alam yang kaya seperti ini bukan tidak mungkin kita
seharusnya sudah menjadi salah satu negara adidaya. Sayangnya,

6
Ibid., h. 15.

6
sampai saat ini masih terlalu banyak belenggu-belenggu yang
menghambat proses perubahan ke arah kemajuan tersebut. Budaya,
agama, suku, tradisi dan label-label lain seringkali dijadikan tameng
alasan untuk menghambat perempuan yang ingin mengembangkan
diri menjadi sosok manusia yang lebih bermanfaat.
2. Pelabelan
Pelabelan merupakan sesuatu bentuk ketidakadilan gender
yang mengakar kuat dalam masyarakat dan diwariskan secara turun
temurun. Jika dilihat dari salah satu instrumen dalam konstruksi
gender adalah laki-laki maskulin sementara perempuan feminin.
Laki-laki dengan kemaskulinannya memiliki ciri-ciri kuat, berani,
tegas. Sementara perempuan dengan kefemininnannya memiliki ciri-
ciri lembut, penyanyang, lemah, sabar dan teliti. Kemaskulinan
dimiliki oleh semua laki-laki, sementara kefemininan dimiliki oleh
semua perempuan. Padahal dalam kenyataannya ada juga lakilaki
yang feminin dan perempuan yang maskulin. Lantaran pelabelan ini,
maka laki-laki yang feminin, dan perempuan yang maskulin tidak
dianggap sebagai sebuah hal yang lumrah. Laki-laki yang feminin
dipandang sesuatu hal yang tabu dan satu hal yang memalukan.
Sementara perempuan yang maskulin, jauh lebih dapat diterima oleh
masyarakat. Perbedaan penerimaan masyarakat ini merupakan
indikator bahwa maskulin dan feminin bukan merupakan dua hal
yang sama dan setara.7
Contoh dalam pendidikan adalah pada jurusan teknik
pemesinan masih banyak terdapat pelabelan bahwasanya laki-laki
dianggap lebih kuat, dan lebih berani. Sementara perempuan lebih
teliti dan kurang berani. Maka dari itu sekolah-sekolah jurusan teknik
mesin banyak yang membatasi perempuan untuk masuk ke jurusan
itu.

7
Wilia Werdiningsih, “Analisis Kesetaraan Gender pada Pembelajaran Program Keahlian
Teknik di SMK PGRI 2 Ponorogo”, dalam Kodifikasia, Vol. 14 No 1, 2020, h. 87.

7
3. Perempuan dibatasi dalam hal pendidikan, karena peran perempuan
dianggap hanya berperan di dapur, memasak, mencuci, mengasuh
adik dan sejenisnya.
Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi
dirinya dan lingkungannya. Pemikiran seperti ini umumnya muncul
terutama pada kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi yang
masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk
melakukan pekerjaan di dapur. Bukan kodratnya perempuan untuk
masuk dapur, karena kegiatan memasak di dapur tidak ada kaitannya
dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan. Kegiatan
memasak di dapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah suatu
bentuk pilihan pekerjaan dari sekian banyak jenis pekerjaan yang
tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll),
yang tentu saja boleh dipilih oleh perempuan ataupun laki-laki.
Kesetaraan Gender memberikan pilihan, peluang dan kesempatan
tersebut sama besarnya pada perempuan dan laki-laki.8
4. Tradisi perempuan menikah di usia dini menyebabkan banyak anak
perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan.
Pendidikan tinggi dianggap tidak terlalu penting. Setelah lulus
SD kebanyakan anak dititipkan di pesantren salaf yang hanya
mempelajari kitab-kitab. Masyarakat beranggapan bahwa perempuan
sebagai istri sekaligus anak yang harus patuh kepada suami dan orang
tua. Sehingga pendidikan agama dianggap sudah cukup sebagai bekal
untuk menikah. Bahkan ada yang putus sekolah dengan alasan calon
suaminya memliki pendidikan yang lebih rendah. Masyarakat yang
beranggapan bahwa laki-laki tidak boleh berada dibawah perempuan,
sehingga alasan-alasan agar pihak perempuan tidak melanjutkan
sekolah pun banyak dilakukan oleh pihak laki-laki. Seperti cepat-
cepat dinikahi kemudian dibawa merantau, dll. Dalam ranah
pendidikan, jelas perempuan sudahtidak memiliki kesempatan lagi,
8
Maryam B. Gainau, Pengembangan Potensi Diri Anak dan Remaja, (Yogyakarta:
Kanisius, 2019), h. 162.

8
sebab masa kanak-kanaknya sudah direnggut dengan pernikahan
yang dipaksa keluarga.9
5. Beban kerja ganda telah disosialisasikan oleh orangtua kepada anak
perempuan dan laki-laki semenjak kecil, pengenalan pola pembagian
kerja ini membentuk persepsi yang keliru mengenai peran laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat.
Kesetaraan Gender bukan berarti memindahkan semua
pekerjaan laki-laki ke pundak perempuan, bukan pula mengambil alih
tugas dan kewajiban seorang suami oleh istrinya. Jika hal ini yang
terjadi, bukan ‘kesetaraan’ yang tercipta melainkan penambahan
beban dan penderitaan pada perempuan. Inti dari kesetaraan Gender
adalah menganggap semua orang pada kedudukan yang sama dan
sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan
mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai
hak-hak yang sama, menghargai fungsi dan tugas masing-masing,
sehingga tidak ada salah satu pihak yang mereka berkuasa, merasa
lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya dari pihak lainnya.10
Dengan adanya beban kerja yang berlebih pada perempuan, itu
bisa membuat pendidikan pada perempuan terhambat.
B. Ragam Solusi Saat Ini terhadap Problematika Tersebut
Di sisi lain, problematika ini bisa dipecahkan dengan berbagai
solusi. Solusi untuk problematika di atas adalah:
1. Pendekatan Pembelajaran yang Responsif Gender
Pendekatan ini dilakukan di sekolah. Murid laki-laki dan
perempuan dapat memiliki pengalaman yang berbeda pada saat
mereka belajar di kelas. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai faktor
seperti tingkat partisipasi di kelas dan pencapaian hasil belajar. Nilai
sosial dan budaya dan stereotip gender dapat dengan tidak sengaja
terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui interaksi antara guru dan
murid maupun diantara murid. Pendekatan mengajar dan metode
9
Anis Miswoni, “Stereotip Kesetaraan Gender terhadap Budaya Pernikahan Dini pada
Masyarakat Madura”, dalam Pamator, Vol. 9 No. 2, 2016, h. 17.
10
Dede William, Gender Bukan Tabu; Catatan Perjalanan Fasilitas Kelompok Perempuan
di Jambi, (Bogor: Center for International Forestry Research, 2006), h. 22.

9
yang digunakan dalam mengajar, menilai, dan berinteraksi dengan
murid bisa menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang
murid perempuan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan di
Indonesia di mana murid perempuan sering tidak didorong untuk
berbicara di depan umum untuk menyatakan opini mereka atau
mempertanyakan otoritas yang sebagian besar di bawah kendali laki-
laki.
Guru dapat menjadi agen perubahan untuk kesetaraan gender
dengan mendukung murid laki-laki maupun perempuan untuk ambil
bagian dalam kegiatan tertentu. Guru perlu memberikan mereka
tuntunan dan mulai bertindak-laku sebagai panutan. Sebaliknya, guru
juga dapat memperburuk disparitas dengan menyebarkan stereotip
sosial di dalam kelas dan tidak memberikan dukungan kepada murid
perempuan dan laki-laki pada saat mereka membutuhkan dukungan
tersebut. Banyak praktik yang baik yang dapat dilakukan dengan
menggabungkan kesetaraan gender dalam kegiatan belajar mengajar.
Hal-hal ini termasuk mengubah stereotip yang selama ini ada
misalnya bersikap baik terhadap kemampuan murid perempuan dan
laki-laki, memberikan perhatian yang setara kepada murid lakilaki
maupun perempuan dan mendorong murid perempuan untuk ambil
bagian aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler yang biasanya diikuti
oleh murid laki-laki.11
2. Berlaku Adil antara Laki-laki dan Perempuan dalam bidang
Pendidikan
a. Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, misalnya anak
pria dan wanita mendapat hak yang sama untuk dapat mengikuti
pendidikan sampai kejenjang pendidikan formal tetentu, tentu
tidaklah adil, jika dalam era global sekarang ini menomorduakan
pendidikan bagi wanita apalagi kalau anak wanita mempunyai
kemampuan. Pemikiran yang memandang bahwa wanita
merupakan tenaga kerja di sektor domestik (pekerjaan urusan
11
Nina Sardjunani, Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: ACDP
Indonesia, 2013).

10
rumah tangga) sehingga tidak perlu diberikan pendidikan formal
yang lebih tinggi merupakan pemikiran yang keliru.
b. Kewajiban yang sama, umpanya seorang laki-laki dan perempuan
sama-sama mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu. Sejalan
dengan hadist Nabi, “menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim laki-laki dan muslim perempuan”
c. Persamaan kedudukan dan peranan contohnya baik pria dan
wanita sama-sama kedudukan sebagai subjek atau pelaku
pembangunan. Kedudukan pria dan wanita sama-sama
berkedudukan sebagai subjek pembangunan mempunyai peranan
yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan
menikmati hasil pembangunan. Akhirnya berkaitan dengan
persamaan kesempatan.12
3. Membuka akses pendidikan yang lebih luas sebagai satu kunci untuk
meningkatkan pemberdayaan perempuan agar dapat berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan di segala bidang kehidupan masyarakat.
4. Mengubah pola pikir masyarakat terhadap peran perempuan dalam
pendidikan. Pola pikir harus dirubah agar tidak selalu menganggap
perempuan itu tidak membutuhkan pendidikan. Peran perempuan
bukan hanya pekerjaan feminitas seperti memasak, mencuci,
mengurus anak dan sejenisnya. Perempuan juga berhak untuk
menerima pendidikan agar bisa menjadi agen pembangunan bangsa.
5. Menghilangkan tradisi menikah di usia muda bagi perempuan bisa
menjadi solusi agar masalah kesetaraan gender dalam pendidikan
terpecahkan. Tidak hanya anak laki-laki yang mempunyai hak untuk
menjalani pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi, tetapi
perempuan juga berhak untuk mengenyam pendidikan sampai umur
berapapun.
C. Analisis terhadap Solusi Saat Ini dan Tawaran Lain
Kedudukan seorang laki-laki dan perempuan itu adalah sama.
Sebagai contoh ada dua orang guru yakni guru laki-laki dengan guru
12
Warni Tune Sumar, “Implementasi Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan”,
dalam Musawa, Vol. 7 No. 1, 2015, h. 170-171.

11
perempuan sama-sama memenuhi syarat menjadi kepala sekolah,
keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi lowongan
kepala sekolah. Wanita tidak dapat dinomorduakan semata-mata karena
dia seorang wanita. Pandangan pada zaman dahulu kala bahwa pemimpin
itu harus seorang laki-laki itu merupakan pandangan yang keliru dan
perlu ditinggalkan. Pendidikan berperspektif gender barulah akan
memberikan hasil secara lebih memuaskan, jika dilaksanakan oleh
seluruh kalangan masyarakat, mulai dari yang tergabung dalam lembaga
pendidikan formal maupun non formal, instansi pemerintan, swasta
seperti organisasi profesi, organisasi sosial, politik, organisasi keamanan
dan lain-lain sebagainya sampai pada unit yang terkecil yaitu keluarga
bahwa kedudukan perempuan itu adalah sama dengan laki-laki baik
dalam hal pengambilan keputusan maupun dalam menentapkan suatu
program sesuai hak dan kewajiban sebagai mahluk yang individual.
Pembangunan dibidang pendidikan misalnya kalau perencanaannya,
pelaksanaannya atau pelayanannya, pemantauanya serta evaluasinya
sudah berwawasan gender, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan
yang baik dapat dinikmati oleh laki-laki dengan perempuan.
Menurut pemakalah, solusi dan tawaran lain untuk memecahkan
problematika pada pendidikan dalam konteks kesetaraan gender ini
adalah dengan meninggalkan pemikiran-pemikiran yang dapat merugikan
kaum perempuan dalam hal pendidikan. Karena pada hakikatnya, tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang Pendidikan.
Kemudian, memberikan Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam
bidang pendidikan pada setiap jenis kelamin baik dari tingkat ekonomi,
sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam artian dalam
sistem pendidikan, tidak boleh melakukan tebang pilih terhadap kondisi
masyarakat tertentu, terutama dari segi jenis manusia, yaitu laki-laki dan
perempuan. Karena sejatinya, Siapapun mempunyai hak untuk
mendapatkan dan menikmati pendidikan dan mencapai prestasi. Selain
itu, lembaga pendidikan hendaknya menciptakan suatu model dan
pembelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki oleh

12
setiap peserta didik, baik laki-laki maupun perempuan, hal ini tentunya
bertujuan agar minat dan bakat peserta didik tersebut dapat terealisasikan
di masa yang akan datang, pendidikan yang diberikan kepada peserta
didik tentunya harus sesuai dengan kebutuhan di masa yang akan datang.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kesamaan/kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan
keamanan nasional dan kesamaan dalam hal menikmati hasil
pembangunan.
2. Ada beberapa Problematika pendidikan dalam konteks kesetaraan
gender yaitu:
a. Subordinasi
b. Pelabelan

13
c. Perempuan dibatasi dalam hal pendidikan, karena peran
perempuan dianggap hanya berperan di dapur, memasak,
mencuci, mengasuh adik dan sejenisnya.
d. Tradisi perempuan menikah di usia dini menyebabkan banyak
anak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan.
e. Beban kerja ganda telah disosialisasikan oleh orangtua kepada
anak perempuan dan laki-laki semenjak kecil, pengenalan pola
pembagian kerja ini membentuk persepsi yang keliru mengenai
peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
B. Saran
Dalam materi makalah ini, kami menyadari masih jauh dari kata
sempurna. Jadi kami berharap, bagi para pembaca agar memberikan
kritiknya. Agar kami dapat mengambil pelajaran, guna kedepannya
membuat makalah yang lebih baik lagi dan kedepannya dapat
memperbaikinya. Dan penulis berharap agar pembaca bisa memahami
persoalan terkait problematika pendidikan dalam konteks kesetaraan
gender.

DAFTAR PUSTAKA
Gainau, Maryam B. 2019. Pengembangan Potensi Diri Anak dan Remaja.
Yogyakarta: Kanisius.
Herlina, Emmy, dkk. 2018. Keindahan yang Paling Berharga. Jawa Timur: Nulis
Bareng.
Miswoni, Anis. 2016. Stereotip Kesetaraan Gender terhadap Budaya Pernikahan
Dini pada Masyarakat Madura. dalam Pamator. Vol. 9 No. 2.
Rusdiana, dkk. 2020. Bangkitnya Gender Equality di Pesantren. Pamekasan: Duta
Media Publishing.
Sardjunani, Nina. 2013. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: ACDP Indonesia.

14
Sovitriana, Rilla. 2019. Kajian Gender dalam Tinjauan Psikologi. Jawa Timur:
Uwais Inspirasi Indonesia.
Subhan, Zaitunah. 2015. Al Qur’an dan Perempuan; Menuju Kesetaraan Gender
dalam Penafsiran. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sumar, Warni Tune. 2015. Implementasi Kesetaraa Gender dalam Bidang
Pendidikan. dalam Musawa. Vol. 7 No. 1.
Werdiningsih, Wilia. 2020. Analisis Kesetaraan Gender pada Pembelajaran
Program Keahlian Teknik di SMK PGRI 2 Ponorogo. dalam Kodifikasia.
Vol. 14 No.1.
William, Dede. 2006. Gender Bukan Tabu; Catatan Perjalanan Fasilitas
Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for International Forestry
Research.

15

Anda mungkin juga menyukai