Anda di halaman 1dari 18

GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pengampu :

Dr. H. Ghafiqi Faroek Abadi, S.Pd.I, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Nur Hidayatullah (D91218151)

Nur Masita Rusydiana (D91218152)

Alawi Ramadhan (D01219010)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, hidayah serta
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul „‟Gender Dalam
Pendidikan Islam” ini dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang terlibat dalam pembuatan
makalah ini, terutama kepada Bapak Dr. H. Ghafiqi Faroek Abadi, S.Pd.I, M.Pd.I, selaku
Dosen Pengampu mata kuliah Sosiologi Pendidikan Islam yang telah memberikan banyak
ilmu serta arahan sehingga makalah dapat terselesaikan. Makalah ini kami buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan Islam, kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan banyak manfaat bagi para pembaca.
Kami sadar sepenuhnya jika dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan
baik dari segi susunan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami berharap kepada dosen
pengampu dapat memberikan masukan agar kami dapat memperbaiki pembuatan makalah
kami di masa mendatang, kami juga mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Surabaya, 7 Juni 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Definisi Gender dan Pandangannya Dalam Islam................................. 3
B. Problem-problem Sensitif Gender Dalam Pendidikan.......................... 6
C. Implikasi Gender Terhadap Pengembangan Pendidikan ..................... 7
D. Peran Pendidikan Dalam Gender ......................................................... 10
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan, Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang
munculnya disebabkan oleh adanya perbedaan proses sosial budaya, bukan dari kodrat
Tuhan ataupun perbedaan biologis. Gender dijadikan tolak ukur terhadap persoalan-
persoalan yang dialami oleh orang laki-laki dan perempuan terutama terkait dengan peran
yang diambil dalam masyarakat. Banyak sekali isu mengenai gender yang muncul pada
masa ini dan menjadi isu yang sering diperbincangkan oleh masyarakat, dan juga banyak
orang yang berpendapat bahwa gender selalu berkaitan dengan perempuan, sehingga
setiap kegiatan yang bersifat perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan gender hanya
dilakukan dan diikuti oleh perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki.
Perempuan merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup besar, bahkan di
seluruh dunia melebihi jumlah dari laki-laki. Namun perempuan yang yang berpartisipasi
di sektor publik berada jauh di bawah laki-laki, terutama di bidang politik. Tidak hanya di
bidang politik namun juga pada bidang pendidikan, pekerjaan, dan bidang sosial lainnya
perempuan juga seringkali dipandang rendah dan jauh dari laki-laki. Hingga saat ini
masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan tidak usah menuntut ilmu
ke jenjang yang terlalu tinggi, perempuan tidak usah bekerja terlalu sibuk lebih baik
dirumah saja, perempuan dipandang remeh ketika ingin mencalonkan diri sebagai
pemimpin di suatu organisasi. Permasalahan-permasalahan tersebut harus sebisa mungkin
segera ditanggulangi, dengan melalui bidang pendidikan , karena untuk memperjuangkan
hak-hak perempuan harus memiliki pendidikan yang tinggi dan berintelektual. Dengan
memperjuangkan hak-hak tersebut maka nantinya akan lahir kesetaraan gender.
Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara antara laki-laki dan
perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi atau kualitas hidupnya sama. Kesetaraan
gender merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Istilah kesetaraan gender sering
terkait dengan istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perilaku
tidak adil dan semacamnya. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi
dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan, hal ini dalam

1
2

artian bahwa laki-laki dan perempuan memilihi hak-hak yang sama. Dengan
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki, maka dengan demikian para perempuan akan memiliki
akses, kesempatan berpartisipasi, dan andil atas suatu hal yang dikehendaki serta
memperoleh manfaat yang setara dan adil dari hal tersebut, contohnya dalam menempuh
jenjang pendidikan dan memilih untuk bekerja.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Gender dan pandangannya dalam Islam?
2. Apa saja problem-problem sensitif Gender dalam Pendidikan?
3. Bagaimana implikasi Gender terhadap pengembangan Pendidikan?
4. Bagaimanakah peran Pendidikan dalam Gender?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Gender dan pandangannya dalam Islam
2. Untuk mengetahui problem-problem sensitif Gender dalam Pendidikan
3. Untuk mengetahui implikasi Gender terhadap pengembangan Pendidikan
4. Untuk mengetahui peran Pendidikan dalam Gender
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Gender dan Pandangannya Dalam Islam


Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Gender adalah
rangkaian karakteristik antara laki-laki dan perempuan yaitu maskulin dan feminism.
Gender merupakan Socially Different atau perbedaan dalam hal sosial antara laki-laki dan
perempuan, dimana perbedaan ini bukan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan
melainkan tercipta melalui proses sosial budaya dalam kehidupan.1 Sedangkan dalam
buku Women’s studies Encyclopedia, Gender adalah suatu konsep kultural yang
berkembang di masyarakat yang mana didalamnya berisi upaya untuk membuat
perbedaan peran, perilaku, mentalitas dan karakter emosional antara laki - laki dan
perempuan.2 Secara umum, pengertian gender yaitu perbedaan yang tampak antara laki-
laki dan perempuan jika dilihat dari nilai-nilai kehidupan dan tingkah laku. Sejauh ini
problematika Gender yang banyak terjadi yaitu lebih didominasi oleh perspektif tentang
perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas,
kemudian dalam menyelesaikan problem dari perspektif perempuan hingga saat ini masih
belum benar-benar menemukan jalan keluarnya dan problem tersebut berlanjut dari masa
ke masa.
Heddy Shri Ahimsha menegasakan bahwa istilah Gender dibagi menjadi beberapa
pengertian: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai
suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai
suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, dan Gender
sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan. Sedangkan Hilary M. Lips dan
S.A. Shield membagi 2 teori mengenai gender, yaitu teori strukturalis dan teori
fungsionalis. Teori strukturalis lebih condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis
lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam
teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian,

1
Dzuhayatin,Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Cet. I; Yogyakarta:
PSW IAIN SUNAN KALIJAGA, 2019), hal. 18.
2
Leonard Grob, Riffat Hasan dan Hain Gordon,”Jihad fi Sabilillah,, Wornan‟s Faith Journey From Struggle to
Struggle”, dalam buku Woman’s and Men’s Liberation (USA: Greenwood Press, 1993), hal. 11-13.

3
4

keharmonisan daripada bentuk persaingan. Kembali pada nilai-nilai kehidupan yang


senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat,
misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan
fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik, sedangkan laki-laki
memegang peran public, dan kenyatannya dalam masyarakat, stratifikasi peran gender
ditentukan oleh jenis kelamin.3
Sedangkan dalam perspektif islam, bahwasanya Allah telah menciptakan fisik dan
perilaku wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah baik
fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas
kaum wanita (sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟: 35),
sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum laki-laki. Asy syaikh
Ibnu Ba‟az berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki
kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah
bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah
dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan
kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya,
mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta
pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan
kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya.
Kita sebagai umat muslim tentu mengetahui bahwa semua makhluk yang telah
diciptakan Allah sudah memiliki kudratnya masing-masing. Para pemikir Islam
mengartikan qadar di dalam Al-Quran dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan
Allah swt bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan
perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing.
Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan
perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan
potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya
kepada laki-laki4, sebagaimana dalam al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 1 yang berbunyi:

3
Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 11.
4
Abuddin. Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), hal. 23.
5

۟ ُ‫ث ِي ُْهًُا ر َج ااً ََِِر ازا َوَِ ََآَٰ اً َوٱتَّق‬ ۟ َٰٓ


‫ٱّلَ ٱنَّ ِذي‬
َّ ‫ىا‬ ِ َ َّ َ‫ق ِي ُْهَا سَ وْ َجهَا َوب‬
َ َ‫س َٰ َو ِح َد ٍة َو َخه‬ٍ ‫َٰيَأَيُّهَا ٱنَُّاسُ ٱتَّقُىا َربَّ ُك ُى ٱنَّ ِذي َخهَقَ ُكى ِّيٍ ََّ ْف‬
َّ ٌَّ ِ‫تَ ََآَٰ ًَنُىٌَ بِِۦه َو ْٱْلَرْ َحا َو إ‬
‫ٱّلَ ََاٌَ َعهَ ْر ُك ْى َرقِرب اا‬

Terjemah Arti: Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan
dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam wujud yang sebaik-
baiknya makhluk yang dimana tentu terdapat perbedaan diantara keduanya, adanya
perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena telah sesuai
kudrat masing-masing. Allah telah mengingatkan dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 32:

۟ ُ‫َصربٌ ِّي ًَّا ٱ َْتَ ََ ْبٍَ َوسْـَه‬


َّ ‫ىا‬ ۟ ‫صربٌ ِّي ًَّا ٱ َْتَ ََب‬
ِ َ ًِ َٰٓ‫ُىا ۖ َونِهُِّ ََا‬ ِ ََ ‫ْض نِّه ِّز َجا ِل‬ َّ َ‫َو ًَ تَتَ ًََُّىْ ۟ا َيا ف‬
َّ ‫ض َم‬
ٍ‫ٱّلَ ِي‬ ٍ ‫ض ُك ْى َعهَ ًَٰ بَع‬ َ ‫ٱّلُ بِِۦه بَ ْع‬
َّ ٌَّ ِ‫فَضْ هِ َِٰٓۦه ۗ إ‬
ْ ‫ٱّلَ ََاٌَ بِ ُك ِّم ش‬
‫ًَ ًٍ َعهِر اًا‬

”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki
ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, dan masing-masing hal dari yang berbeda tentu memiliki keistimewaan.
Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu.
Namun dapat dipastikan bahwa dari perbedaan tersebut tentu terdapat fungsi utama yang
wajiib ada pada masing-masing, selain itu juga pula dipastikan tidak ada perbedaan
dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara laki-laki dan perempuan, Allah
berfirman dalam QS. Ali Imran: 195: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan
amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. Ini berarti
bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka
6

juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari
apa yang telah mereka usahakan.
B. Problem-problem Sensitif Gender Dalam Pendidikan
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender
dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:5
1. Akses
Maksud dari aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya,
banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan
selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki
sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh
perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih
tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah
yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak
anak perempuan yang „terpaksa‟ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah
tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit
meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan
banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
2. Partisipasi
Partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik
pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai
budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik,
seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas
untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-
sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah
adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila
sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah
tangga dan pencari nafkah.
3. Manfaat dan penguasaan

5
Yuliana Krismonni, Gender Dalam Pendidikan, https://medium.com/@monibeltim/gender-dalam-pendidikan-
dd6ca967be24 Diakses pada 06 Juni 2021 pukul 16.15.
7

Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum


perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara
usia 10 tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau
67,85% adalah perempuan.

Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi juga merupakan


sumber bagi segala pengetahuan karena sebagai instrumen efektif transfer nilai termasuk
nilai yang berkaitan dengan isu gender.6 Dengan demikian pendidikan juga sarana
sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-
guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran
berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun
selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan
upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi
yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi
kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat.
Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar kesenjangan gender dalam
pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan perbandingan upah laki-laki
adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender dalam pengupahan untuk
pendidikan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 % untuk perempuan.

C. Implikasi Gender Terhadap Pengembangan Pendidikan

Adanya kesenjangan yang terjadi antara kaum perempuan dan kaum laki- laki
khususnya dibidang pendidikan akan menimbulkan dampak yang sangat beragam.
Berkaitan dengan perempuan sebagai sekolah pertama bagi anak-anak generasi penerus
bangsa tentu menjadi sebuah warning bagi kita semua. Hal ini mengingatkan kembali
kepada filosofi bahwa jika wanita pada suatu tatanan sosial itu tidak baik maka tidak baik
pula anggota-anggota dari tatanan sosial tersebut. Berangkat dari filosofi ini perlu

6
Elfi Muawanah, Menuju Kesataraan Gender, (Malang: Kutub Minar, 2006), hal. 65.
8

diketahui dampak apa sajakah yang dapat terjadi ketika kaum perempuan tidak terpenuhi
kebutuhannya akan pendidikan.7
1. Bias Gender Dalam Pendidikan

Bias gender berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem


pembelajaran di sekolah dan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu
rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti
memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa
pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Lebih jauh, dalam dunia pembelajaran di sekolah seperti buku ajar misalnya,
banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan
kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan
sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang hanya dimiliki oleh laki-
laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan
karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya
siswa pun melihat bahwa meski guru- gurunya lebih banyak berjenis kelamin
perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam upacara bendera di sekolah bisa dipastikan bahwa pembawa bendera
adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal
demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional.
Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu
menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya.
Hal ini sesungguhnya menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat
pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi,
membawa baki atau pemukul gong dalam upacara resmi sudah selayaknya menjadi
tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak
dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan
oleh perempuan.

7
Harum Natasha, Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dam Pak, Dan Solusi, marwah
Vol. XII No. 1 Juni Th. 2013, hal. 59.
9

Tidak sedikit perempuan yang masih berusia sekolah terpaksa harus bekerja,
baik itu sebagai pelayan toko maupun buruh pabrik. Dengan alasan kondisi ekonomi
yang tidak memungkinkan, memaksa orang tua menyuruh anak prempuannya bekerja
untuk menambah ekonomi keluarga. Dalam keadaan demikian, pihak orang tua lebih
rela mengorbankan anak perempuannya untuk bekerja membantu orang tua,
sedangkan anak laki-lakinya tetap melanjutkan sekolah.
Laki-laki dipandang lebih penting dalam mencari ilmu, sebab kelak kaum
laki-laki yang akan menafkahi keluarga, sedangkan perempuan tetap akan menjadi
ibu rumah tangga. Dari anggapan ini, pendidikan tinggi dirasa kurang begitu perlu
bagi kaum perempuan.
Pandangan seperti inilah yang terlihat tidak adil bagi salah satu pihak,
khusunya pihak perempuan. Mereka mengalami diskriminasi dalam hal memperoleh
kesempatan pendidikan. Di samping itu mereka dieksploitasi untuk bekerja
membantu orang tua, padahal seumuran mereka seharusnya masih menikmati masa
anak-anak atau masa remaja mereka.

2. Diskriminasi dalam Kesempatan Memperoleh Pendidikan

Seringkali perempuan dinomorduakan dalam keluarga, misalnya dalam hal


pendidikan. Bagi keluarga yang ekonominya lemah, tentu akan berdampak pada
nasib perempuan. Ketika kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan, pihak
orang tua akan lebih mendahulukan anak laki-lakinya untuk melanjutkan sekolah
daripada anak perempuannya. Kaum laki-laki dianggap kelak akan menjadi kepala
rumah tangga dan bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya, sehingga
pendidikan lebih diutamakan untuk mendukung perannya. Sedangkan perempuan
dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dalam rumah untuk
mengurus anak, suami, dan rumahnya.

Dari pandangan ini, maka dinilai pendidikan tinggi tidak begitu penting bagi
kaum perempuan. Sebenarnya anggapan seperti itu tidak selalu benar. Bagaimana
seandainya kondisi menuntut dibutuhkannya sebuah peran perempuan untuk
mempimpin rumah tangga dan mencari nafkah bagi keluarganya ?. Jika perempuan
tidak memiliki kualitas pendikan yang memadai, maka dapat dipastikan perempuan
10

tidak dapat menjalankan perannya untuk menggantikan peran laki-laki dalam


keluarga. Dia akan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi
ekonomi keluarga. Oleh karena itu, perempuan juga memiliki hak yang sama dalam
memperoleh pendidikan guna mengantisipasi kondisi demikian.8

D. Peran Pendidikan Dalam Gender


Peran pendidikan di dalam gender yaitu dengan memberikan pendidikan yang
berprespektif dari pandangan laki-laki dan perempuan agar kesetaraan gender dapat
tercapai. Salah satunya yaitu dengan menerapkan pendidikan berprespektif gender.
Tujuan dari pendidikan berperspektif gender diantaranya adalah:
1. Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, misalnya anak pria dan wanita
mendapat hak yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai kejenjang
pendidikan formal tetentu, tentu tidaklah adil, jika dalam era global sekarang ini
menomorduakan pendidikan bagi wanita apalagi kalau anak wanita mempunyai
kemampuan. Pemikiran yang memandang bahwa wanita merupakan tenaga kerja di
sektor domestik (pekerjaan urusan rumah tangga) sehingga tidak perlu diberikan
pendidikan formal yang lebih tinggi merupakan pemikiran yang keliru.
2. Kewajiban yang sama, umpanya seorang laki-laki dan perempuan sama-sama
mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu. Sejalan dengan hadist nabi” menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan
3. Persamaan kedudukan dan peranan, contohnya baik pria dan wanita sama-sama
kedudukan sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Kedudukan pria dan wanita
sama-sama berkedudukan sebagai subjek pembangunan mempunyai peranan yang
sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil
pembangunan. Akhirnya berkaitan dengan persamaan kesempatan.

Kedudukan seorang laki-laki dan perempuan itu adalah sama sebagai contoh ada
dua orang guru yakni guru laki-laki dengan guru perempuan sama-sama memenuhi syarat
menjadi kepala sekolah, keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi
lowongan kepala sekolah. Wanita tidak dapat dinomorduakan semata-mata karena sia

8
Rustan Efendy, Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan, Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014,
hal.152-155.
11

seorang wanita. Pandangan pada zaman dahulu kala bahwa pemimpin itu harus seorang
laki-laki itu merupakan pandangan yang keliru dan perlu ditinggalkan. Pendidikan
berperspektif gender barulah akan memberikan hasil secara lebih memuaskan, jika
dilaksanakan oleh seluruh kalangan masyarakat, mulai dari yang tergabung dalam
lembaga pendidikan formal maupun non formal, instansi pemerintan, swasta seperti
organisasi profesi, organisasi sosial, politik, organisasi keamanan dan lain-lain
sebagainya sampai pada unit yang terkecil yaitu keluarga bahwa kedudukan perempuan
itu adalah sama dengan laki-laki baik dalam hal pengambilan keputusan maupun dalam
menentapkan suatu program sesuai hak dan kewajiban sebagai mahluk yang individual.
Pembangunan dibidang pendidikan misalnya kalau perencanaannya, pelaksanaannya
ayau pelayanannya, pemantauanya serta evaluasinya sudah berwawasan gender, maka
dapat dipastikan bahwa pendidikan yang baik dapat dinikmati oleh laki-laki dengan
perempuan.

Pendidikan baik pada tataran formal maupun nonformal secara konseptual adalah
instrumen sosial yang memungkinkan kemanusiaan manusia dimanusiakan. Artinya
manusia membutuhkan pendidikan sebagai sarana untuk memperdayakan potensi sumber
yang ada dalam dirinya untuk berkembang secara dinamis menuju suatu format
keperibadian yang cerdas, unggul, kreaktif, terampil dan bertanggungjawab berahlak
mulia.

Pendidikan dalam perspektif gender bahwa pendidikan diselenggarakan untuk


semua masyarakat tidak membedakan jenis kelamin, suku dan bangsa dan pendidikan
tidak diskriminatif tetapi akan mengutamakan baik pendidikan untuk laki-laki dan
perempuan yang akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan gender dalam
hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Tataran bias gender banyak terjadi dalam
berbagai bidang termasuk dalam bidang pendidikan.9

9
Warni Tune Sumar, Implementasi Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, MUSAWA, Vol. 7 No.1 Juni
2015, hal. 170-173.
12
BAB III

KESIMPULAN

Gender merupakan Socially Different atau perbedaan dalam hal sosial antara laki-
laki dan perempuan, dimana perbedaan ini bukan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan
melainkan tercipta melalui proses sosial budaya dalam kehidupan. Dalam buku Women’s
studies Encyclopedia, Gender adalah suatu konsep kultural yang berkembang di
masyarakat yang mana didalamnya berisi upaya untuk membuat perbedaan peran,
perilaku, mentalitas dan karakter emosional antara laki - laki dan perempuan.
Sedangkan dalam perspektif islam, bahwasanya Allah telah menciptakan fisik dan
perilaku wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah baik
fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas
kaum wanita (sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur‟an surat An Nisa‟: 35) Allah
SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam wujud yang sebaik-baiknya
makhluk yang dimana tentu terdapat perbedaan diantara keduanya.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena telah
sesuai kudrat masing-masing. Demikian juga dengan adanya perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, tentu memiliki keistimewaan. Kaum perempuan sejajar dengan laki-laki
dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian
mengamalkan apa yang mereka hayati dari apa yang telah mereka usahakan.
Terdapat 3 aspek yang menjadi problematika gender dalam pendidikan, yang
pertama yaitu aspek akses, kemudian aspek partisipasi, serta aspek manfaat dan
penguasaan.
Adanya kesenjangan yang terjadi antara kaum perempuan dan kaum laki- laki
khususnya dibidang pendidikan akan menimbulkan dampak yang sangat beragam.
Berkaitan dengan perempuan sebagai sekolah pertama bagi anak-anak generasi penerus
bangsa tentu menjadi sebuah warning bagi kita semua, seperti bias gender dalam
pendidikan dan diskriminasi dalam kesempatan memperoleh pendidikan.

Pendidikan dalam perspektif gender bahwa pendidikan diselenggarakan untuk


semua masyarakat tidak membedakan jenis kelamin, suku dan bangsa dan pendidikan
tidak diskriminatif tetapi akan mengutamakan baik pendidikan untuk laki-laki dan

12
13

perempuan yang akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan gender dalam


hubungan antara laki-laki dengan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA

Dzuhayatin. Ruhaini, Siti. 2019. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam . Cet. I; Yogyakarta: PSW IAIN SUNAN KALIJAGA.
Grob, Leonard . Riffat Hasan dan Hain Gordon. 1993. ”Jihad fi Sabilillah,, Wornan‟s Faith
Journey From Struggle to Struggle”, dalam buku Woman’s and Men’s Liberation (USA:
Greenwood Press.
Abdullah, Yatimin. 2011. Studi Islam Kontemporer. Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers.
Nata, Abuddin. 2006. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Krismonni, Yuliana. Gender Dalam Pendidikan. https://medium.com/@monibeltim/gender-
dalam-pendidikan-dd6ca967be24 Diakses pada 06 Juni 2021.
Muawanah, Elfi. 2006. Menuju Kesataraan Gender. Malang: Kutub Minar.
Natasha, Harum. 2013. Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dam
Pak, Dan Solusi, marwah Vol. XII No. 1.
Efendy, Rustan. 2014.Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan, Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07
No. 2.
Sumar, Warni Tune. 2015. Implementasi Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan,
MUSAWA, Vol. 7 No.1.

Anda mungkin juga menyukai