Anda di halaman 1dari 111

BAB II

KEPEMIMPINAN DAN JEJARING KUASA PEREMPUAN

DI PONDOK PESANTREN

A. Perempuan dan Tradisi Kepemimpinan

1. Pengertian dan Tipologi Pemimpin

Kepemimpinan dipahami sebagai segala daya dan upaya bersama

untuk menggerakkan semua sumber dan alat (resources) yang tersedia dalam

suatu organisasi. Resources tersebut dapat digolongkan menjadi dua golongan

besar, yaitu human resources dan non human resources. 1 Secara luas

kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan

organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,

mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya, mempengaruhi

interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian

dan aktivitas-aktvitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja

kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar

kelompok atau organisasi.2

Secara teoritik, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas

seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi

tertentu. Kepemimpinan merupakan aktifitas memotivasi agar kompetensi

individu-individu dalam suatu kelompok dapat melahirkan kinerja yang tinggi

untuk meraih produktivitas yang maksimal.

1
Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpnan Pendidikan Islam (Bandung:
Refika Aditama, 2008), 29.
2
Feithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Edisi Kedua (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), 2.

35

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Menurut Djanalis sebagaimana dikutip Arifin, 3 bahwa ada 3 teori

muncul atau terjadinya kepemimpinan yaitu:

1. Teori keturunan, bahwa pemimpin itu muncul karena sifat yang

dibawanya sejak lahir. Ini berarti seseorang akan jadi pemimpin karena

ia telah dilahirkan bersamaan dengan bakat kepemimpinannya.

2. Teori pengaruh lingkungan, menurut teori ini pemimpin itu dibentuk

karena lingkungan hidupnya bukan karena keturunannya. Ini berarti

bahwa setiap orang mampu menjadi pemimpin apabila diberi

kesempatan.

3. Teori kelompok campuran, menurut teori ini pemimpin itu memiliki

bakat yang dibawa sejak lahir, kemudian berkembang melalui

pendidikan dan pengalaman terutama dalam berinteraksi dengan orang

lain.

Demikian pula apa yang disampaikan Hidayat, 4 bahwa para pakar

kepemimpinan berbeda pendapat dalam menyikapi tentang asal usul

kepemimpinan. Pertama, mengatakan bahwa kepemimpinan itu bersifat given,

atau merupakan keturunan atau bawaan sejak lahir. Pendapat ini banyak

didukung dengan banyaknya pemimpin yang menjadi pewaris dari sistem

kepemimpinan yang telah ada sebelumnya. Menurut pendapat ini

kepemimpinan akan berlaku estafet dari seorang pemimpin kepada anak dan

keturunannya. Ini banyak terjadi pada kepemimpinan karismatik. Kedua,

bahwa kepemimpinan itu made atau dibentuk oleh intelektual, lingkungan dan

3
Arifin, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Yogyakarta: Teras, 2010), 4.
4
M. Humam Hidayat, Kepemimpinan dan Organization Development, dalam Kepemimpinan
Pengembangan Organisasi, Team Building & Perilaku Inovatif, Mas’ud Said (ed.), (Malang:
UIN-Malang Press, 2007), 203.

36

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga seseorang dapat menjadi

pimpinan tanpa harus memiliki garis keturunan kepemimpinan di atasnya. Hal

ini bahwa anak seorang pemimpin bukan jaminan akan menjadi pemimpin

pada masa datang. Yang menjadikan individu menjadi pemimpin bagi

komunitasnya adalah kemampuan intelektual, integritas sosial dan berbagai

kecakapan yang dimiliki seseorang, sehingga mengantarkan dia memiliki

pengaruh di tengah komunitasnya.

Organisasi akan berkembang jika seorang pemimpin mampu


5
mewujudkan tujuan organisasi menjadi kenyataan. Bahkan menurut

Kartono,6 pemimpin mempunyai kesempatan untuk mengubah jerami menjadi

emas atau justru sebaliknya, bisa mengubah tumpukan uang menjadi abu jika

dia salah langkah dan tidak bijaksana.

Meskipun peran seorang pemimpin sangat menentukan, pemimpin

tidak dapat bekerja sendiri tanpa dukungan dari bawahannya. Oleh karena itu

kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu

menumbuhkan dan mengembangkan usaha kerja sama serta memelihara iklim

yang kondusif dalam kehidupan organisasi. Kepemimpinan yang baik adalah

kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan orientasi tugas dan orientasi

hubungan manusia. Kedua orientasi itu perlu dipadukan dan keduanya perlu

ditingkatkan.7

Oleh karena itu dalam memimpin sebuah organisasi diperlukan

beberapa elemen yang dapat mengantarkan sebuah kepemimpinan yang

5
Muhaimin, Kepemimpinan dalam Pengembangan Organisasi, dalam Kepemimpinan
Pengembangan Organisasi, Team Building & Perilaku Inovatif, Mas’ud Said (ed.), (Malang:
UIN-Malang Press, 2007), 12.
6
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, v.
7
Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpnan, 30.

37

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


efektif. Menurut Blake dan Mouton sebagaimana dikutip Hidayat, 8 adalah

sebagai berikut:

a. Initiative. Pemimpin harus tanggap tentang keadaan dan kondisi

organisasi dan memiliki inisiatif yang tinggi dalam memutuskan dan

melakukan suatu kebijakan.

b. Inquiry. Dalam memimpin harus memiliki informasi yang

komprehensif, sehingga ia tahu tentang berbagai masalah dan

solusinya.

c. Advocacy. Dukungan dari berbagai pihak yang maksimal sangat

dibutuhkan agar memiliki rasa percaya diri dengan perbuatan dan

kebijakan yang diputuskan.

d. Conflict solving. Selain memiliki inisiatif dan kreatif seorang

pemimpin dituntut harus memiliki kemampuan untuk memecahkan

masalah dalam organisasi baik internal maupun eksternal.

e. Decision making. Pemimpin sebagai sorang yang memberikan kata

putus dalam suatu/segala hal. Pemimpin dituntut untuk memberikan

keputusan terbaik bagi jalannya organisasi.

f. Critique. Dengan jiwa yang kritis, seorang pemimpin harus jeli dan

cermat dalam mengevaluasi segala hal yang berkaitan dengan

organisasi, menentukan apa yang harus dipertahankan dan

dikembangkan, dan apa yang harus diberhentikan dengan menggati

kebijakan yang lebih baik.

8
M. Humam Hidayat, “Kepemimpinan dan Organization Development”, 206.

38

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Di samping itu dalam perilaku kepemimpinan dibutuhkan keluasan

pengetahuan dan keluwesan budi pekerti. Seorang pemimpin yang hanya

memiliki keluasan pengetahuan tanpa keluwesan budi pekerti bisa jadi dalam

proses kepemimpinannya menjadi otoriter, sentralistik. Sebaliknya pemimpin

yang hanya memiliki keluwesan budi pekerti tetapi tidak luas pandangan dan

pengetahuannya maka proses kepemimpinanya menjadi laizzes faire.

Kepemimpinan dibutuhkan behavioral science (ilmu perilaku) artinya

pemimpin harus memahami ilmu psikologi, sosiologi dan antropologi.

Diharapkan dengan ilmu-ilmu perilaku tersebut, pemimpin dapat memahami

keberagaman karakter seseorang yang berbeda-beda, dan pendekatan karakter

yang digunakan dapat menyentuh persoalan dan mampu meyelesaikan secara

cermat.

Menurut Kartono,9 konsepsi mengenai persyaratan kepemimpinan itu

harus selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu: a) Kekuasaan ialah

kekuatan, oteritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada

pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan atau berbuat

sesuatu. b) Kewibawaan ialah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga

orang mampu ‘membawahi’ atau mengatur orang lain, sehingga orang tersebut

patuh pada pemimpin, dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.

c) Kemampuan ialah segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan/

keterampilan teknis maupun sosial, yang dianggap melebihi dari kemampuan

anggota biasa.

9
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, 36.

39

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Sedangkan tipologi pemimpin adalah merupakan suatu pola perilaku

seorang pemimpin yang khas pada saat mempengaruhi anak buahnya.

Keberhasilan kepemimpinan itu sebagian besar ditentukan oleh sifat-sifat

kepribadian tertentu, misalnya, harga diri, prakarsa, kecerdasan, kelancaran

berbahasa, kreativitas, dan termasuk ciri-ciri yang dimiliki seseorang.

Pemimpin dikatakan efektif bila memiliki sifat kepribadian yang baik.10

Dalam hal kepemimpinan, Max Weber berpendapat, ada tiga tipe

kepemimpinan, yaitu Kepemimpinan Karismatik, Kapemimpinan Rasional

dan Kepemimpinan Tradisional.11

Kartono, 12 lebih rinci dalam mengelompokkan tipe kepemimpinan

menjadi delapan kelompok, yaitu:

1. Tipe kharismatik.

2. Tipe paternalistis dan maternalistis.

3. Tipe militeristis.

4. Tipe otokratis/otoritatif.

5. Tipe laisser faire.

6. Tipe populistis.

7. Tipe administrative.

10
Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam Konsep, strategi dan Aplikasi (Yogyakarta, Teras,
2009), 191.
11
Ralph Schroeder, Max Weber tentang Hegemoni Sistem kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius,
2002), 154-155. Kepemimpinan karismatik didasarkan pada kualitas luar biasa yang dimiliki oleh
seseorang sebagai pribadi. Pengertian ini sangat teologis, karena untuk mengidentifikasi daya tarik
pribadi yang melekat pada diri seseorang, harus dengan menggunakan asumsi bahwa kemantapan
dan kualitas kepribadian yang dimiliki adalah merupakan anugrah Tuhan. Penampilan seseorang
dianggap karismatik dapat diketahui dari ciri-ciri fisiknya, misalnya matanya yang bercahaya,
suaranya yang kuat, dagunya yang menonjol, atau tanda-tanda lain. Ciri-ciri tersebut menunjukkan
bahwa seseorang memiliki jiwa sebagai pemimpin karismatik, seperti kepemimpinan para Nabi
dan sahabatnya. Lihat Sukamto, Kepemimpinan Kiai, 25. Husein M. Haikal, Sejarah Hidup
Muhammad SAW., (Jakarta: Yudhistira, 1989), 80. Lihat: Bryan S. Turner, Sosiologi Islam, Suatu
Telaah Analisa Atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta Rajawali,1984), 168-169
12
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, 80-86.

40

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


8. Tipe demokratis (group developer).

Pemimpin tipe kharismatik adalah seorang pemimpin yang memiliki

kekuatan energi, daya tarik dan wibawa yang luar biasa untuk mempengaruhi

orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan

pengawal yang dapat dipercya. Hingga saat ini belum dapat diketahui benar,

apa yang menjadi penyebab, dan mengapa seseorang bisa memiliki kharisma

yang begitu besar. Pemimpin kharismatik biasanya banyak memiliki

insprirasi, memiliki keyakinan teguh pada pendirian sendiri, dan terkadang

dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) serta kemampuan-

kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang

Maha Kuasa. Totalitas kepribadan pemimpin yang seperti ini memancarkan

pengaruh dan daya tarik yang amat besar.

Pola kepemimpinan kharismatik seperti ini akan kehilangan kualitas


13
demokratisnya Pola kepemimpinan individual kharismatik merupakan

kepemimpinan yang menunjukkan dimana pemimpin memiliki posisi yang

serba menentukan kebijaksanaan di tengah masyarakat, sehingga cenderung

menumbuhkan otoritas mutlak dan tidak boleh digugat oleh siapapun.

Saat ini terdapat penawaran solusi terbaik mengurangi kelemahan yang

mungkin terjadi yaitu dengan kepemimpinan kolektif. Kepemimpinan kolektif

adalah suatu sistem yang saling memberikan pengaruh berupa kontribusi,

partisipasi, gagasan, pengalaman untuk tujuan sistemik, dalam suatu

kelompok tim secara bersama-sama, berdasarkan kedekatan dan kemampuan

13
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 102.

41

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


profesional sehingga tujuan kelompok tim dapat tercapai secara lebih efektif

dan partisipatif.14

Dalam kontek kepemimpinan kolektif ini misalnya juga terjadi di

pesantren. Menurut Qomar, 15 Kepemimpinan kolektif terutama merupakan

benteng pertahanan terhadap kematian pesantren. Kelangkaan pemimpin di

masa depan selalu dan dapat diantisipasi dengan menyiapkan kader-kader

yang dinilai potensial untuk memimpin, mengasuh dan mengembangkan


16
lembaga pendidikan pesantren. Musthofa Rahman menyatakan bahwa

penyelenggaraan manajemen pendidikan pesantren/yayasan memilki nilai

penting dalam menjaga estafet (pergantian) kepemimpinan. Pola

kepemimpinan kolektif berperan menjaga kontinyuitas keberadaan sebuah

pesantren.17

Konsekuensi kepemimpinan kolektif mengubah mekanisme manajerial

pesantren. Otoritas tidak lagi mutlak di tangan kiai, dan secara legal formal

kiai tidak lagi berkuasa mutlak, melainkan bersifat kolektif ditangani secara

bersama-sama menurut pembagian tugas masing-masing individu. Meskipun

peran kiai masih dominan, namun semua ketentuan yang menyangkut

kebijakan pesantren merupakan konsensus semua pihak.

Perubahan kepemimpinan pesantren dari kepemimpinan individual

menuju kepemimpinan kolektif berimplikasi pada hubungan pesantren dan

masyarakat, demikian juga kiai dan ustadz merupakan satu team work yang
14
Atiqullah, Manajemen & Kepemimpnan Pendidikan Islam Strategi Mengefektifkan Lembaga
Pendidikan Agama & Pendidikan Keagamaan ((Surabaya: Pena Salsabila, 2012), 246.
15
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, tt.), 46.
16
Muthofa Rahman, “Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren”, dalam Ismail SM.dkk., (ed.),
Dnamika Pesantren Dan Madrasah (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002), 116.
17
Mujamil Qomar, Pesantren Dari, 116.

42

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kompak, walaupun terkadang dalam kondisi tertentu otoritas kiai sebagai

pendiri atau pemilik pesantren masih muncul ke permukaan. Demikian pula

bagaimana posisi kepemimpinan perempuan di pesantren dalam

kepemimpinan kolektif, adalah dengan melihat seberapa kuat dominasi

perempuan dalam memimpin, maka ia tetap punya kuasa atas

kepemimpinannya.

2. Potensi Perempuan dan Feminis Kultural

Dalam kamus bahasa Indonesia, perempuan 18 mempunyai padan kata

dengan wanita, 19 Namun dalam penggunaan masing-masing mempunyai

konotasi yang berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh Subhan 20 bahwa kata

perempuan sering digunakan dalam gabungan kata-kata yang berkonotasi

negatif, misalnya ”perempuan geladak” yang berarti perempuan pelacur,

perempuan jahat; dengan kata lain perempuan yang buruk kelakuannya atau

perempuan nakal. Sedangkan kata ”wanita” dalam bahasa Sanskerta berasal

dari kata wan berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti ”yang

dinafsui” atau merupakan objek nafsu.

Jadi secara simbolik penggunaan kata wanita menjadi kata perempuan

adalah mengubah objek menjadi subjek. Kalangan feminis cenderung

menggunakan kata ”perempuan”, dan menurut Mernissi, kata wanita adalah

18
Menurut Hamka bahwa ’empu’ sebagai empu jari menjadi penguat dari jari; jari tidak bisa
menggenggam erat, memegang teguh, kalau empu jarinya tidak ada. Lihat: Hamka, Kedudukan
Perempuan Dalam Islam (Jakarta: Grafika, 1986), 82.
19
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 448.
20
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 19-21

43

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kata halus bahasa Indonesia, sedangkan kata perempuan merupakan kata halus

Melayu.21

Sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam, Al-Qur’an

menunjukkan bahwa pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan

adalah setara. Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak

sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat.22 Ajaran Islam

pada hakekatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan

terhormat kepada perempuan23

Konsep tentang asal penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat

penting dan mendasar, karena konsep kesetaraan dan ketidak-setaraan laki-laki

dan perempuan berakar dari konsep pencipataan ini. Al-Qur’an memang tidak

menyebutkan secara terperinci mengenai asal usul penciptaan perempuan.

Namun, Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki

dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis

yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan

mengembangbiakkan keturunannya, baik yang lelaki maupun yang

perempuan.24

21
Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam terj. Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), v.
22
Sebagaimana sering ditemukan dalam wacana sosial kemasyarakatan, ada semacam pelabelan
atau stereotipe yang berlaku dalam kelompok masyarakat berdasarkan pada jenis kelamin. Sosok
wanita dalam konteks budaya di Indonesia masih sering dikaitkan dengan segala urusan dengan
sektor domestik dalam sebuah rumah tangga sehingga peran wanita dalam sektor publik masih
dalam proses reinforcing. Wacana ini muncul sebagai akibat dari tercampuraduknya pemahaman
tentang konsep ’kodrat wanita’ dalam konteks kodrat yang dikonstruksi secara kultural dan kodrat
biologis. Secara biologis dan kodrati, antara pria dan wanita memiliki perbedaan yang jelas,
misalnya perbedaan organ kelamin dan fungsinya masing-masing, perbedaan bentuk fisik yang
disebabkan perbedaan harmonal, maupun perbedaan fungsi reproduksi. Namun ternyata perbedaan
genetis atau biologis ini seringkali dianggap memilki korelasi serta berkaitan erat dengan
perbedaan sikap dan perilaku antara pria dan wanita. Lihat Siti Sholihati, Wanita & Media Massa
(Yogyakarta: Teras, 2007), 59-60
23
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, 269.
24
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 1.

44

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Realitas yang ada masih sering dipertanyakan dan diragukan tentang

potensi perempuan. 25 Perempuan dianggap memiliki potensi yang berbeda,

tidak sebagaimana dimiliki oleh kaum lelaki. Anggapan seperti ini antara lain

adalah sebagai akibat dari kesalahpahaman masyarakat tentang seks dan

gender 26 . Perbedaan gender 27 melahirkan peran gender, yang kemudian

ْ ُ‫يرا َو ِن َسآءٗۚ َوٱتﱠق‬


‫وا ٱ ﱠ َ ٱلﱠ ِذي تَ َسآ َءلُونَ ِب ِه‬ ٗ ‫ث ِم ۡنھُ َما ِر َج ٗاال َك ِث‬
‫ق ِم ۡنھَا ز َۡو َجھَا َوبَ ﱠ‬ ۡ
ٖ ‫وا َربﱠ ُك ُم ٱلﱠ ِذي َخلَقَ ُكم ﱢمن نﱠف‬
َ َ‫س ٰ َو ِحد َٖة َو َخل‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيﱡھَا ٱلنﱠاسُ ٱتﱠق‬
‫َوٱ ۡألَ ۡر َحا ۚ َم إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َكانَ َعلَ ۡي ُكمۡ َرقِيبٗ ا‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Lihat:
Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 114.
Ketika Islam lahir di Arabia, perempuan menempati kedudukan amat rendah. Mereka diperlakukan
bukan hanya inferior secara sosial tetapi juga ibarat benda. Mempunyai anak perempuan
merupakan tanda kehinaan dan banyak orang tua yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya.
Di tengah-tengah kegelapan yang meliputi dunia, wahyu Ilahi bergema di padang pasir luas Arabia
dengan pesan mulia dan universal bagi kemanusiaan. Ayat Al-Qur’an itu mengajarkan doktrin
persamaan manusia, termasuk persamaan jenis kelamin dan menafikan semua perbedaan
diakibatkan oleh jenis kelamin, ras, warna, bangsa, kasta atau suku; karena semua manusia, ujung-
ujungnya, berasal dari satu sumber tunggal.
Al-Qur’an suci dalam lebih dari satu tempat mengemukakan dengan jelas, mengenai
perkembangan moral dan spiritual, bahwa laki-laki dan perempuan berada pada tingkat yang
sederajat. Dalam menyeru kepada orang mu’min, Al-Qur’an sering menggunakan ungkapan ”laki-
laki beriman dan perempuan beriman” untuk menekankan kesederajatan laki-laki dan perempuan
berkenaan dengan kewajiban, hak, kebajikan dan kesalehan mereka. Lihat Raga’ El-
Nimr, ”Perempuan Dalam Hukum Islam”, dalam Mai Yamani (ed.), Menyingkap Tabir
Perempuan Islam Perspektif Kaum Feminis (Bandung: Nuansa, 2007), 135.
25
Wanita memiliki potensi yang dalam kenyataannya, bilamana ada peluang yang tepat dan sesuai
dengan kemampuan, wanita dapat mengambil peran yang mantap. Bahkan dengan ciri-ciri khas
yang dimiliki wanita secara kodrati, seperti keluwesan, kepekaan terhadap keindahan, ketelitian
dan kemampuan untuk cepat menyesuaikan diri, para wanita ini mempunyai potensi besar dalam
bidang-bidang kerja khusus. Lembaga-lembaga pendidikan kkhususnya pendidikan kejuruan, yang
bertujuan mencetak tenaga kerja “siap pakai”, mempunyai peranan cukup besar dalam
memanfaatkan potensi yang ada, yakni sifat kodrati wanita. Oleh karena itu diperlukan kepekaan
suatu lembaga pendidikan dalam pengembangan potensi ini, untuk dijadikannya suatu bidang
profesi yang mempunyai nilai ekonomis. Lihat Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wanita Indonesia
Suatu Konsepsi Dan Obsesi (Yogyakarta: Liberty, 1992), 33. Lebih lanjut dipaparkan bahwa
tentang beberapa potensi wanita adalah, pertama, potensi wanita sebagai pengatur rumah tangga
yang meliputi potensi kesejajaran wanita dan pria dalam rumah tangga, dan potensi wanita sebagai
mitra pria dalam hidup rumah tangga; Kedua,potensi wanita sebagai tenaga kerja, yang meliputi
potensi wanita dari segi pendidikan dan potensi wanita dalam memperoleh peluang kerja; Ketiga,
potensi wanita dalam pengabdian masyarakat; Keempat, potensi wanita dalam pembangunan sosial
budaya; Kelima, potensi wanita pada masa mendatang. Hemas, Wanita Indonesia, 34-51.
26
Belakangan ini telah terjadi pemahaman yang keliru di masyarakat. Apa yang sesungguhnya
gender, karena pada hakekatnya adalah konstruksi sosial, dianggap sebagai kodrat yang berarti
ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap
sebagai ”kodrat wanita” adalah konstruks sosial dan kultural atau gender. Misalnya mendidik anak,
mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga dianggap sebagai kodrat wanita.

45

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


berujung pada ketimpangan gender baik bagi laki-laki maupun perempuan

yang pada umumnya berdampak sangat merugikan terutama bagi kaum

perempuan.
28
Selain itu menurut Susilaningsih ketimpangan gender dalam

masyarakat disebabkan oleh sikap bias gender yang terserap dari pengetahuan

yang mengandung nilai tidak adil gender dalam masyarakat tertentu. Pola

relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat muslim di Jawa misalnya,

merupakan sistem pengetahuan tentang relasi laki-laki dan perempuan yang

terserap dari budaya Jawa dan tafsir ajaran agama yang disosialisasikan

melalui sentral pendidikan, yaitu pesantren, madrasah dan sekolah.

Dalam Islam peluang untuk memperoleh prestasi maksimum tidak ada

pembeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini ditegaskan dalam ayat-ayat

Padahal ini hanyalah peran gender, karena bisa dilakukan oleh laki-laki. Lihat Mansour Faqih,
Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 11. Ahmad Taufiq,
Perspektif Gender Kyai Pesantren, Memahami Teks menurut Konteks Relasi Gender Dalam
Keluarga (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 41. Kesalahpahaman atau kekurangtahuan
masyarakat terhadap kedua istilah yang secara konseptual maupun implikasinya sangat berbeda ini,
bisa disebabkan oleh beberapa hal: pertama, istlah gender tergolong bahasa asing. Kata gender
bukanlah istilah baku yang muncul dalam kosa kata kamus bahasa Indonesia, namun dari kosa kata
bahasa Inggris, gender, yang berarti jenis kelamin. Kedua, fenomena dan problem gender
dianggap sebagai suatu problem yang tidak di sini tapi ”di sana”. Padahal sesungguhnya fenomena
gender ada di sekitar kita, baik fenomena keadilan, maupun ketidakadilan gender. Ketiga, kondisi
diatas mengakibatkan tidak adanya sensitivitas baik pada laki-laki maupun perempuan sendiri
terhadap fenomena ketidakadilan gender yang terjadi, baik ketidakadilan terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungan sekitarnya. Keempat, rendahnya daya asersitivitas terdap persoalan gender,
mengakibatkan kaum perempuan terutama , merasa ”kurang mampu” menyuarakan problemnya,
baik kepada sesama perempuan maupun kepada laki-laki. Lihat Umi Sumbulah, ”Problematika
Gender” dalam Umi Sumbulah, dkk., Spektrum Gender, Kilasan Inklusi Gender di Perguruan
Tinggi (Malang: UN-Malang Press, 2008 ), 4.
27
Perbedaan gender yang kemudian melahirkan peran gender sebenarnya tidak menimbulkan
masalah. Akan tepapi persoalannya adalah bahwa peran gender tradisional perempuan (perawat,
pengasuh, pendidik, dan lain sebagainya) dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki.
Selain itu, perbedaan peran ternyata juga menimbulkan masalah yang perlu digugat, yakni
ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran dan perbedaan-perbedaan gender tersebut. Lihat Sahal
Mahfudz, Pengantar dalam Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi kiai atas Wacana
Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2007), xii.
28
Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed.), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Baseline
and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN
Press, 2004), 3.

46

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


al-Qur’an, seperti dalam surat 16 (an-Nahl) : 9729, dan pada al-Qur’an surat

40 (al-Mu’min) :40.30

Ayat-ayat al-Qur’an tersebut mengisyaratkan konsep keseteraan

gender yang ideal. Prestasi individual dalam bidang spiritual maupun urusan

karier fungsional, tidak harus dimonopoli oleh laki-laki saja. Namun

kenyataan di masyarakat bahwa konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan

sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya

yang sulit diselesaikan dan pemahaman kesetaraan yang masih konservatif.

Kemajuan dan perkembangan masyarakat di masa yang akan datang

ditentukan oleh peranan bersama yang dimainkan oleh perempuan maupun

laki-laki. Disini tidak dipersoalkan pihak mana yang mempunyai peranan

tersebut untuk mencapai kemajuan dan perkembangan bangsa. Menurut

Subhan31 bahwa, kemampuan, kesempatan dan keberanian merupakan pemacu

dan menjadi pelepas ketergantungan kaum perempuan kepada laki-laki.

Sebagaimana kaum laki-laki, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama

dalam mengaktualisasikan diri dan pengembangan ilmu pengetahuan yang

dimiliki sehingga dapat berdedikasi.

29

ْ ُ‫ن فَلَنُ ۡح ِي َينﱠهۥُ َح َي ٰو ٗة طَيﱢبَ ٗ ۖة َولَن َۡج ِزيَنﱠھُمۡ أَ ۡج َرھُم ِبأَ ۡح َس ِن َما َكان‬ٞ ‫ص ِل ٗحا ﱢمن َذ َك ٍر أَ ۡو أُنثَ ٰى َوھ َُو ُم ۡؤ ِم‬
َ‫وا َي ۡع َملُون‬ َ ٰ ‫َم ۡن َع ِم َل‬
”Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebhi baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” Lihat: Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 417.
30
ٓ
‫اب‬ َ ِ‫ن فَأُوْ ٰلَئ‬ٞ ‫صلِ ٗحا ﱢمن َذ َك ٍر أَ ۡو أُنثَ ٰى َوھ َُو ُم ۡؤ ِم‬
ٖ ‫ك يَ ۡد ُخلُونَ ٱ ۡل َجنﱠةَ ي ُۡر َزقُونَ فِيھَا بِغ َۡي ِر ِح َس‬ َ ٰ ‫َى إِ ﱠال ِم ۡثلَھَ ۖا َو َم ۡن َع ِم َل‬
ٓ ٰ ‫َم ۡن َع ِم َل َسيﱢئ َٗة فَ َال ي ُۡجز‬

”Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding
dengan kejahatan itu. Dan barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh baik laki-laki maupun
perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk sorga, mereka diberi rizki
di dalamnya tanpa hisab.” Lihat: Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 765.
31
Zaitunah Subhan. Tafsir Kebencian, 157.

47

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Menurut Hidayatullah, 32 secara eksternal permasalahan perempuan

antara lain disebabkan oleh realitas sosial politik maupun ekonomi global

yang masih berpihak pada pelestarian budaya patriarki,33 dan secara internal

sebagian besar umat Islam masih belum terlepas dari pemahaman yang bias

gender dalam memahami doktrin dan ajaran Islam yang terkait dengan isu-isu

feminisme. 34 Bahkan menurut Saadawi 35 agama paling sering digunakan

sekarang sebagai alat di tangan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik

sebagai sebuah lembaga yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkuasa

untuk menundukkan orang-orang yang dikuasainya. Dalam hal ini, agama

melayani tujuan yang sama -seperti halnya sistem hukum, pendidikan, polisi

bahkan psikiater- yang sering mengabadikan keluarga patriarkat, dan secara

historis melahirkan, menegakkan, serta mempertahankan dengan menindas

kaum perempuan,36 anak-anak dan para budak.

32
Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 1.
33
Patriarki adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi suprioritas,
menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan
perspektif laki-laki. Lihat Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012), xvi. Bandingkan dengan dian Ferricha, Sosiologi Hukum &
Gender Interaksi Perempuan Dalam Dinamika Norma Dan Sosio-Ekonomi (Malang: Bayumedia,
2010), 96.
34
Feminism berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme
diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat.
Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk
mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala
bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being). Lihat Aida Fatilaya S.
Hubies, dalam Membincang Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, ed.
Dadang S. Anshori, dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 19.
35
Nawal El Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki Cet. II, Tarj. Zulhimiyasri
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 7.
36
Masalah kedudukan dan peran perempuan dalam agama telah menjadi wacana yang “ramai”
diperdebatkan. Hal ini dikarenakan ada sebagian orang melihat dan menilai bahwa banyak dalil
(doctrines) keagamaan yang menempatkan sosok perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Dalam agama Islam umpamanya, isu-isu penting yang menjadi wacana
tentang posisi perempuan, di antaranya menyangkut masalah penciptaan perempuan,
kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga, perkawinan, kesaksian, pencari nafkah, dan
pewarisan. Dalil yang membahas soal-soal tersebut pada umumnya dianggap menempatkan posisi
laki-laki dengan sangat strategis dan jauh lebih unggul daripada perempuan. Lihat Ratna Batara
Munti, dkk. Respon Islam Atas Pembakuan Peran Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 1.

48

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Keberadaan perempuan di ruang domestik, menjadikan anggapan

terhadap perempuan sebagai the second human khususnya dalam kehidupan

berumah tangga. Isu terhadap perempuan ini telah terkonsentrasi dengan peran

domestiknya. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa kemampuan dan

penalaran wanita kurang sempurna dibanding kaum pria dan ini diawali

dengan asal penciptaan.37 Padahal ruang domestik sebenarnya adalah hanya

peran, aktifitas rutin yang bisa dikerjakan atau digantikan oleh siapapun,

sehingga bukan merupakan kodrat wanita.38 Pada saat ini pekerjaan domestik

seperti memasak yang dulu hanya dapat dilakukan oleh perempuan, di tempat-

tempat tertentu seperti di rumah makan, di hotel, dan jajanan keliling telah

banyak dilakukan oleh laki-laki.

Sedangkan potensi secara etimologi dari bahasa Inggris potency yang

mempunyai beberapa pengertian, yaitu having great power; a potent and

dynamic force; having a strong effect; a potent drug/drink; likely to persuade


39
people; capable of having sex, dan mempunyai pengertian tentang

37
Konsep tentang asal kejadian perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar, baik
secara filosofis maupun teologis, karena ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari
konsep penciptaan. Asal penciptaan perempuan pertama (Hawa) yang terletak pada pemahaman
surat an-Nisa’ ayat 1:
ْ ُ‫ٰيَٓأَيﱡھَا ٱلنﱠاسُ ٱتﱠق‬
َ َ‫وا َربﱠ ُك ُم ٱلﱠ ِذي َخلَقَ ُكم ﱢمن نﱠ ۡفس ٰ َو ِحدَة َو َخل‬
… ‫ق ِم ۡنھَاز َۡو َجھَا‬
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya… Maksud kalimat nafs wahidah adalah Adam
dan zaujaha adalah (Hawa). Lihat Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al- Qur’an, 1971), 114. Dan hadith tentang
penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk, yatu:
ِ ْ‫ فَإِنﱠ ا ْل َم ْرأَةَ ُخلِقَتْ ِمن‬، ‫سا ِء‬
‫ضلَ ٍع‬ َ ‫صوا بِالنﱢ‬ ُ ‫ست َْو‬ ْ ‫ » ا‬- ‫ صلى ﷲ عليه وسلم‬- ‫ﷲ‬ ِ ‫سو ُل ﱠ‬ ُ ‫عَنْ أَبِى ھُ َر ْي َرةَ رضى ﷲ عنه قَا َل قَا َل َر‬
« ‫سا ِء‬ ‫ﱢ‬ ‫ن‬
َ ِ ُ ْ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫وا‬‫ص‬ ‫َو‬ ‫ت‬ ‫س‬
ْ ‫ا‬َ ‫ف‬ ، ‫ج‬ ‫ْو‬
‫ع‬ َ ‫أ‬ ‫ل‬ َ
‫ز‬ ‫ي‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫ه‬َ
َ َ ْ َ ْ ُ َ َِ ُ َْ ُ ُ ِ ‫ت‬ ْ
‫ك‬ ‫ر‬َ ‫ت‬ ْ‫ن‬ ‫إ‬ ‫و‬ ، ‫ه‬َ ‫ت‬ ‫ر‬‫س‬ َ
‫ك‬ ‫ه‬‫م‬ ‫ي‬ ‫ق‬ُ ‫ت‬ ‫ب‬
َ‫ْت‬ ‫ َوإِنﱠ أَع َْو َج ش َْى ٍءفِى ال ﱢ‬،
‫ فَإِنْ َذ َھ‬، ُ‫ضلَ ِع أَ ْعالَه‬
Lihat: Ahamd bin 'Ảli bin Hajar Al-'Asqalậnỉ, Fath al-Bậrỉ Sharh S}ahỉh al-Bukhậrỉ. Juz VI .
Editor Abd. 'Azỉz bin Bậz, (Bairut : Dậr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1989) 447.
Karena adanya anggapan tersebut, maka muncullah pemahaman bahwa perempuan diciptakan dari
laki-laki, dan merupakan makhluk kedua setelah laki-laki.
38
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS,
1999), 176.
39
A S Hornby. Ed. Jonathan Croether, Oxpord Advenced Leaner’s Dictionary (Oxpord New york:
Oxpord Unversity Press, 1995), 902. Lihat: John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris

49

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan;

kesanggupan, daya.40

Dalam membahas tentang potensi perempuan, adalah bahwa tidak ada

perbedaan diantara seseorang dengan lainnya dari segi kemanusiaan, baik

perempuan maupun laki-laki. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan

diciptakan Allah sebagai makhluk tertinggi, termulia, dan sebagai khalifah fi

al ardh (pemimpin di muka bumi), yang dilengkapi dengan berbagai

karakteristik potensi pertumbuhan pisik dan perkembangan psikologis, antara

lain perkembangan intelek, emosi, moral, sosial, dan spiritual.41

Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana telah

menganugerahkan kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup agar

masing-masing dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas yang bersifat umum

Indonesia An English-Indonesian Dictionary (Jakarta: PT Gramedia Pustaka,2003), 440. Widodo


Ahmad, dkk., Kamus lmiah Populer (Yogyakarta: Absolut, 2002), 584. M. Dahlan. Y. Al-Bary, L.
Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmah Seri ntelektual (Surabaya: Target Press, 2003), 625.
40
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 890.
41
Neviyarni, Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berorientasi Khalifah Fil Ardh (Bandung:
Alfabeta, 2009), 43. Lihat juga: al-Qur’an, 17 (al-Israa’) : 70.
ِ ‫ير ﱢم ﱠم ۡن َخلَ ۡقنَا ت َۡف‬
‫ض ٗيال‬ ٰۡ ِ َ‫َولَقَ ۡد َكرﱠمۡ نَا بَنِ ٓي َءا َد َم َو َح َم ۡل ٰنَھُمۡ فِي ۡٱلبَرﱢ َو ۡٱلبَ ۡح ِر َو َرز َۡق ٰنَھُم ﱢمنَ ٱلطﱠيﱢ ٰب‬
ٖ ِ‫ت َوفَضﱠلنَھُمۡ َعلَ ٰى َكث‬
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. Lihat: Departemen Agama
RI., Allah telah memberitahukan tentang pemuliaan dan penyempurnaan ciptaan-Nya terhadap
manusia dengan kondsi tubuh yang sangat baik dan sempurna, dan manusia sebagai makhluk
tertinggi dan termulia itu diciptakan sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi. Namun walaupun
manusia diberi kelebihan dan kemuliaan oleh Allah, tetap terbatas, tergantung dan sesuai dengan
potensi pemberian Allah dan upaya manusia dalam mengembangkan potensinya. Dalam al-Qu’an,
49 (al-Hujurật) : 13 Allah berfirman:
... ۚۡ‫… إِ ﱠن أَ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ٱ ﱠ ِ أَ ۡتقَ ٰٮ ُكم‬
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Lihat: Departemen Agama RI., al- Qur’an dan Terjemahnya, 847. Dan al-Qur’an,
95 (at-Tin) : 4
‫ٱإلن ٰ َسنَ فِ ٓي أَ ۡح َس ِن ت َۡق ِو ٖيم‬
ِ ۡ ‫لَقَ ۡد َخلَ ۡقنَا‬
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Lihat:
Departemen Agama RI., al- Qur’an dan Terjemahnya, 1076.

50

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


42
maupun khusus. Sesungguhnya tidak hanya laki-laki yang memiliki

kemampuan dan nalar kritis untuk membahas dan menilai berbagai macam

permasalahan, tetapi perempuan pun menerima karunia dari Allah

sebagaimana diberikan kepada laki-laki. Oleh karena itu diperlukan

keberanian untuk bersikap dan berperilaku berdasarkan keyakinan bahwa

perempuan juga makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dengan

tanpa merendahkan eksistensinya sebagai sesama manusia. Sikap seperti ini

sekaligus akan menggugurkan mitos inferioritas perempuan sebagai manusia

emosional dan superioritas laki-laki sebagai manusia rasional, baik oleh

kalangan laki-laki bahkan bisa jadi oleh kaum perempuan.43


44
Menurut Muhammad, dalam tubuh perempuan sesungguhnya

tersimpan seluruh potensi besar kemanusiaan, layaknya manusia berjenis

kelamin laki-laki. Perempuan memiliki otak dan hati nurani dengan tingkat

kecerdasan dan kepekaan yang relatif setara dengan laki-laki. Energi fisik

perempuan juga tidak lebih lemah dari energi fisik laki-laki. Fakta dalam

dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, dunia

spiritual, dan peradaban manusia sesungguhnya juga memperlihatkan realitas

ini. Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa seluruh potensi kemanusiaan

perempuan itu tenggelam atau ditenggelamkan atau dilupakan oleh dan dari

pusaran sejarah sosial yang didominasi oleh dunia maskulinisme.

42
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 280.
43
Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas? Kajian hadith-Hadith Misoginis (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2008), 10.
44
Husein Muhammad dalam Pengantar Ahli Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai
Perspektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012), xvi.

51

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Potensi pemberian Allah itu adalah fitrah yakni berupa wadah atau

bentuk yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan,45 dan

merupakan kekuatan (potensi) yang terpendam di dalam diri manusia yang

dibawa sejak lahir. Daulay,46 menyatakan bahwa potensi manusia terdiri dua

macam. Pertama, potensi fisik, yaitu seluruh potensi yang meliputi seluruh

organ tubuh manusia yang berwujud nyata, bersifat material. Kedua, potensi

rohaniyah manusia, yakni potensi yang tidak berwujud nyata bersifat abstrak.

Secara kongkrit potensi utama manusia menurut Makbuloh 47adalah potensi

jasad dan roh, potensi akal, potensi qalbu dan potensi nafs.
48
Sedangkan Tafsir dalam hal potensi ini menjelaskan bahwa

potensi/fitrah adalah kemampuan yakni pembawaan yang dibawa sejak

manusia lahir. Manusia mempunyai banyak kecenderungan –antara lain

kecenderungan beragama- yang secara garis besar ada dua kecenderungan

yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi

45
Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali Tradisi,
Mengukuhkan Eksistensi (Malang: UIN Press, 2007), 41.
46
Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan,16. Zaini, lebih rinci tentang jumah potensi
atau fitrah manusia amat banyak, antara lain adalah: Fitrah agama, fitrah intelek, fitrah sosial,
fitrah susila, fitrah seni, fitrah ekonomi (mempertahankan hidup), fitrah kawin(mempertahankan
jenis), fitrah kemajuan, fitrah keadilan, fitrah kemerdekaan, fitrah persamaan, fitrah politik (ingin
kuasa), fitrah cinta bangsa dan tanah air, fitrah ingin dihargai dan fitrah lain-lainnya. Lihat
Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
1986), 56. Selanjutnya Ramaliyus, membagi potensi manusia dalam tujuh dimensi, yaitu: dimensi
fisik (jasmani), dimensi akal, dimensi keberagamaan, dimensi akhlak, dimensi rohani (kejiwaan),
dimensi seni dan dimensi sosial.Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
2002), 82-95. Demikian pula Ghafur, tentang manusa laki-laki mempunyai cri-ciri kuat, rasional,
jantan, perkasa, ganteng, tdak cengeng dll. Sedangkan manusia perempuan mempunyai sifat lemah
lembut, cantik, emosional, keibuan, cerewet, suka ngrumpi dll. Lihat: Waryono Abdul Ghafur,
Tafsir Sosial mendialogkan Teks Dengan Konteks (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 103.
47
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di
Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), 49-57.
48
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
35.

52

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


orang jahat. Dimana perkembangan manusia karena dipengaruhi pembawaan

dan lingkungan.49

Namun karena pengaruh berbagai faktor, menurut50 Suniti telah terjadi

dominasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain, sehingga karenanya

menimbulkan bentuk-bentuk diskriminasi, penindasan dan pelanggaran-

pelanggaran hak lainnya.

Untuk itu menurut Wahyudi, 51 fitrah atau potensi harus dibina dan

dikembangkan melalui pendidikan secara seimbang, yaitu dengan

memperhatikan seluruh aspek yang ada pada manusia baik jasmani, rohani,

dan akal, ketiganya harus harmonis dan seimbang.

Menurut Parawansa, 52 bahwa bangsa yang maju mengakui perlunya

perbaikan kualitas, status, dan peran perempuan dalam pembangunan untuk

meningkatkan keadilan dan memenuhi hak-hak asasi manusia yang setara

antara perempuan dan laki-laki. Peningkatan kualitas perempuan menjadi

dasar untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan bagi suatu bangsa.

Analisis ekonomi memberikan bukti bahwa rendahnya pendidikan dan

keterampilan perempuan, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, serta

terbatasnya akses terhadap sumber daya pembangunan akan membatasi

produktivitas bangsa, membatasi pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi

49
Pengaruh pembawaan dan lingkungan itu dimulai sejak bayi berupa embrio, dan barulah
berakhir setelah kematian. Tingkat dan kadar pengaruh berbeda antara seseorang dengan orang
lain, sesuai dengan tingkat perbedaan pertumbuhan, perbedaan umur, perbedaan fase
perkembangan masing-masing individu. Faktor pembawaan lebih dominan pengaruhnya tatkala
orang masih bayi; faktor lingkungan (alam dan budaya) lebih dominan pengaruhnya tatkala orang
mulai dewasa. Lihat: Omar Mohammad al-Toumy al- Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,
terjemahan Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan bintang, 1979),136.
50
Suniti, “Gender Dan Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam Jurnal Pengkajian dan Penelitan
Gender Equalita, Pusat Studi Wanita (PSW) STAIN Cirebon Volume 4 Nomor 3 (Juli, 2004), 7.
51
M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan, 104.
52
Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma Menembus Tradisi, Pemikiran Tentang
Keserasian Gender (Jakarta: LP3ES, 2006), 1.

53

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


efisiensi pembangunan secara keseluruhan. Fenomena yang nampak bahwa

tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi lebih berat dan kompleks,

termasuk di dalamya adalah kualitas sumber daya manusia terutama yang

berkenaan kualitas perempuan yang belum begitu menggembirakan.

Upaya pemberdayaan potensi diri bisa meliputi bidang pendidikan,

kesehatan, ekonomi, maupun berperan di sektor publik, sehingga akan

melandasi kemampuannya meningkatkan kualitas hidup keluarga. Peran

perempuan dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga adalah bagaimana

perempuan memiliki keberdayaan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga

dan memberikan perlindungan kepada anak.

Fungsi-fungsi tersebut mulai dari fungsi keagamaan, sosial budaya,

cinta kasih, melindungi, reproduksi, pendidikan, ekonomi hingga lingkungan.

Peran perempuan dalam keluarga sangat dominan. Iklim rumah tangga yang

harmonis sangat mendukung integritas keluarga terutama dalam hal tumbuh

kembang anak-anak. Kehidupan keluarga merupakan wahana pertumbuhan

sumber daya manusia yang paling esensial bagi perkembangan bangsa. Oleh

karena tu, pembangunan bangsa bersumber dan dimulai dari rumah di dalam

keluarga.53

Menurut Ismail 54 bahwa pengembangan sumber daya manusia pada

hakekatnya adalah merupakan upaya untuk mengaktualisasikan dan

mengembangkan seluruh potensi yang dimiiki secara terpadu untuk mencapai

kompetensi sebagai subjek pembangunan sesuai dengan tuntutan zaman.

53
Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma, 75.
54
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta:
LKis, 2003), 5.

54

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Sesungguhnya Allah telah memberikan potensi yang sama kepada laki-laki

maupun perempuan, yang membedakan diantara keduanya adalah kesempatan

untuk mengembangkan masing-masing potensi itu. Yang sering terjadi apakah

dilatarbelakangi oleh kultur atau disebabkan oleh tingkat ekonomi yang masih

menjadi pertimbangan, maka lebih memprioritaskan laki-laki dari pada

perempuan untuk melanjutkan pendidikan setingkat lebih tinggi.

Pengembangan sumber daya manusia semacam ini menempatkan

manusia sebagai faktor produksi untuk memperoleh pertambahan nilai

ekonomi, yang menekankan manusia sebagai sumber utama dalam

peningkatan produktifitas ekonomi dan sebaliknya modal sebagai penunjang

terhadap kreatifitas sumber daya manusia. Perempuan dituntut untuk memiliki

dan menguasai ilmu dan teknologi serta keterampilan profesional agar bisa

memasuki dunia kerja, dan memiliki sikap mandiri, tegas, wawasan yang luas,

berorientasi pada niai-nilai moral serta bisa berpikir kreatif inovatif dalam

menghadapi masa depan.

Dalam pandangan feminis kultural yang teori analisisnya kurang

memfokuskan pada asal-usul perbedaaan tetapi lebih fokus kepada

penyelidikan dan merayakan nilai sosial memunculkan perempuan yang khas,

yaitu cara-cara yang membuat perempuan yang berbeda dari laki-laki. Hal ini

memungkinkan feminis kultural menyisihkan bukan mencegah pada persoalan

yang diajukan oleh tesis esensialis. 55 Feminis kultural memuji aspek-aspek

55
Goerge Ritzer, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2012) 786-787. Feminitas esensial
menyarankan bahwa perempuan dapat berperan sebagai perempuan atau bukan sesuai dengan
keinginannya. Lihat: Stevi Jackson dan Jackie Jones (ed.). Pengantar Teori-teori feminis
Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 294.

55

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


positif hal yang dilihat sebagai “karakter perempuan” atau “kepribadian

feminim”.

Menurut pendukung feminis kultural, antara lain Marilyn French 56

bahwa sifat tradisional perempuan adalah lebih baik dari pada sifat tradisional

laki-laki. Dalam mengatur pemerintahan, masyarakat membutuhkan

kebijakan-kebijakan perempuan seperti kerjasama, kepedulian, pasisme, dan

nonkekerasan di dalam penyelesaian berbagai konflik. French mengklaim

bahwa nilai-nilai feminisme harus diintegrasikan ke dalam masyarakat laki-

laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriarkal. Bahkan pada feminis

kultural mutakhir yang dikembangkan oleh Caroll Gilligan,57 bahwa Gilligan

telah memberikan sumbangan besar bagi berubahnya arah diskursus

feminisme pascatahun 1980-an. Era yang ditandai dengan penerimaan kembali

konsep perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran

Gilligan memberikan kontribusi terhadap adanya krisis identitas feminisme

yang terjadi, yang disebabkan oleh arus utama pemikiran feminisme adalah

menolak argumen nature tentang adanya peran stereotipe gender. Sedangkan

pada kenyataannya nature perempuan tidak pernah lepas dari peran feminine.

Istilah feminis kultural kalau dalam gerakan feminisme dikategorikan

pada feminisme radikal kultural yang termasuk dalam gelombang pertama

feminisme. 58 Dalam aliran feminisme radikal, terdapat dua kelompok yang

berbeda dalam melihat persoalan seksisme. Mereka adalah kalangan feminis

radikal-libertarian dan kalangan feminis-radikal kutural. Perbandingan kedua

56
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran
Utama Pemikiran Feminis (Yogyakarta; Jalasutra, 1998), 80-81.
57
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, 101.
58
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis,(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2003) 84-85.

56

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


pendapat antara kalangan feminis radikal libertarian dan feminis radikal

kultural adalah adanya ekstrimitas dalam melihat persoalan-persoalan

reproduksi. Pada pihak feminis radikal libertarian menganggap bahwa

reproduksi adalah sumber penindasan, sedangkan feminis radikal kultural

menganggap reproduksi justru menunjukkan “kekuasaan perempuan”.59

Secara pemikiran, feminis kultural (dalam konteks ini peneliti memilih

menggunakan feminis kultural), adalah penguatan kembali pada esensi

“keperempuanan”, bagi mereka lebih baik mempunyai ciri feminim di dalam

diri seseorang dari pada mempunyai ciri maskulin, sehingga perempuan tidak

perlu menjadi seperti laki-laki. Marilyn French 60 adalah salah seorang

penganut feminisme radikal-kutural yang mengatributkan perbedaan laki-laki

dan perempuan pada persoalan biologis (nature) ketimbang persoalan

sosialisasi (nurture). Ia menegaskan bahwa pada dasarnya ciri-ciri feminine

justru lebih unggul dari pada ciri-ciri maskulin.


61
Dalam membahas feminisme kultural, Megawangi memang

membagi dalam dua golongan, yaitu kelompok yang lebih halus yang

menginginkan terciptanya perdamaian (ekofeminisme), dan kelompok ekstrem

yang membenci makhluk pria (feminisme radikal). Ekofeminisme mengkritik

feminisme modern yang menyuruh perempuan melepaskan nature feminin-

nya untuk merebut dunia maskulin. Pendekatannya dianggap akan gagal

dalam meruntuhkan dunia patriarkhi pada dunia maskulin, dan hanya akan

mengubah komposisi para aktor-aktornya saja. Kalau sebelumnya dunia

publik yang androsentris banyak dikuasai laki-laki, setelah para perempuan


59
Ibid, 108.
60
Ibid, 109.
61
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 177.

57

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


menjadi empowered dengan sifat maskulinnya yang baru diadopsi, akan lebih

banyak manusia yang masuk ke dunia maskulin. Yang terjadi adalah para

perempuan telah menjadi male clone (tiruan pria) di dunia maskulin.

Ironisnya, struktur maskulin yang dibenci oleh kaum feminis, justru menjadi

struktur yang diinginkannya bahkan mereka turut melestarikan sistem ini.

Fokus feminisme kultural adalah pandangan bahwa feminitas

merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan. Untuk melihat

pandangan ideal melalui maskulinitas dan lebel-lebel yang diberikan pada

feminitas oleh dunia patriarkis, kaum feminis kultural mendefinisikan kembali

feminis dalam suatu kerangka positif. Menurut feminis kultural eksistensi

perempuan sebagai suatu realitas terpisah dan unik, yang memberikan (1)

suatu sistem terintegrasi yang sangat penting bagi pertahanan keluarga; (2)

cinta dan/atau etos tugas; dan (3) suatu loncatan budaya melalui kesadaran

yang nyata mengenai perilaku verbal/non-verbal atau melaui teknologi-

teknologi tersendiri.62

Kaum feminis kultural menganjurkan penciptaan suatu keragaman

struktur-struktur keluarga dengan meninjau kembali keluarga-keluarga

heteroseksual, memperbanyak keluarga yang berorangtua tunggal, dan

memasukkan keluarga-keluarga lesbian/gay. Mereka memfokuskan pada

proses-proses keluarga egalitarian, pengasuhan atau keluarga komunal.63

Sebenarnya feminisme kultural mempunyai tujuan sama dengan

kelompok feminisme lainnya, yaitu melakukan transformasi sosial melalui

perubahan yang evolusioner. Hanya kelompok ini percaya pada pemahaman


62
Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002),
31.
63
Ibid, 40.

58

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


deterministis biologi, yaitu yang menegaskan perbedaan alami antara laki-laki

dan perempuan, sehingga timbul apa yang disebut kualitas feminin dan

maskulin. Oleh karena itu kelompok ini berpendapat bahwa untuk

meruntuhkan sistem patriarkat, hanya dapat dilakukan dengan menonjolkan

kualitas feminin. 64 Para feminis kultural menginginkan para perempuan

melestarikan sifat femininnya, dan masuk ke dunia maskulin sehingga para

perempuan dapat mengubah struktur maskulin menjadi feminin.

Untuk menonjolkan kualitas feminin, maka tidak ada jalan dan bentuk

lain kecuali dengan menggali potensi dan meningkatkan kualitas sumber daya

manusia perempuan.

Pengembangan potensi sumber daya manusia –perempuan- hanya

dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk secara efektif melalui strategi

pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara

serasi dan seimbang dengan memerhatikan pengembangan potensi secara utuh

dan optimal. Pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dalam rumah tangga

menempati urutan yang utama dan pertama, karena lingkungan keluarga

adalah merupakan tempat di mana anak tumbuh dan berkembang sebelum

bertemu dan berkenalan dengan lingkungan yang lain. Dalam lingkungan

keluarga terutama dengan ibu, anak-anak paling banyak berinteraksi dan

berkomunikasi serta mendapatkan informasi dalam pergaulan dan kehidupan

sehari-hari. Oleh karena betapa penting peran dan eksistensi perempuan

dalam melaksanakan tugas dan peran sebagai isteri dan sebagai ibu di

lingkungan rumah tangga, maka Rasul saw. memberikan tuntunan yang tepat

64
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 176.

59

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


bagaimana kreteria untuk mencari dan menentukan pasangan hidup bagi

seseorang (yaitu calon istri sebagai calon ibu bagi anak-anak dalam

keluarga).65

Islam memberikan petunjuk bagaimana seorang laki-laki atau seorang

perempuan memilih dan menentukan pasangan hidup (suami/isteri) untuk

bersama-sama membangun sebuah mahligai rumah tangga. Untuk itu bahwa

kualitas keimanan dan kualitas kemanusiaan lainnya adalah merupakan unsur

utama secara integral dalam menentukan kreteria pasangan keluarga ideal,

disamping itu kualitas fisik juga mendapatkan perhatian, walaupun bukan

pada prioritas utama.66

Kalau laki-laki (pada umumnya) mempunyai hak untuk memilih, maka

perempuan memiliki hak menentukan dan mengambil keputusan, tentu

65

‫ال تُ ْن َك ُح ْال َمرْ أَةُ ِألَرْ بَ ٍع لِ َمالِھَا َولِ َح َسبِھَا َو َج َمالِھَا َولِ ِدينِھَا‬
َ َ‫ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم ق‬
‫صلﱠى ﱠ‬ ِ ‫ع َْن أَبِي ھُ َر ْي َرةَ َر‬
‫ض َي ﱠ‬
َ ‫ﷲُ َع ْنهُ ع َْن النﱠبِ ﱢي‬

(‫ك ) البخاري‬ ْ َ‫ﱢين تَ ِرب‬


َ ‫ت يَدَا‬ ِ ‫ت الد‬ ْ َ‫ف‬
ِ ‫اظفَرْ ِب َذا‬

Dari Abu Hurairah r.a., Rasuluah saw. Bersabda: “wanita dikawini karena empat hal: karena harta
bendanya, karena status sosialnya, karena keindahan wajahnya, dan karena ketaatannya kepada
agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu akan berbahagia”. Lihat: H.
Zainuddin Hamidy, dkk., Terjemah Hadith Shahih Bukhari jilid iv hadith ke 1588 (Klang Selangor
Maaysia: Klang Book Centre, 1990), 10.
Hadith tersebut dapat dipahami bahwa terdapat empat kreteria atau alasan bagi seseorang ketika
mencari, memilih dan menentukan calon isteri atau calon ibu bagi anak-anaknya. Kreteria pertama,
adalah memilih perempuan dikarenakan oleh harta benda yang dimiliki perempuan atau
keluarganya, kedua karena status sosial atau keturunannya, dan ketiga karena kecantikan yang
dimiliki perempuan, sedangkan kreteria keempat adalah ketaatan perempuan pada agama.
Memperhatikan hadith tersebut maka kreteria pertama, kedua dan ketiga adalah merupakan
pemberitahuan, dan kreteria tersebut merupakan keinginan dan mungkin kebanggaan bagi
siapapun yang memiliki isteri atau suami yang memliki kreteria tersebut sebagai sarana untuk
mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kreteria keempat adalah kreteria
ketaatan pada agama. Pada kreteria keempat bukan hanya pemberitahuan sebagaimana pada
kreteria yang lain, bahkan kemudian dilanjutkan dengan perintah (fiil amar) untuk (wajib) memilih
perempuan yang paham tentang agama, terampil melaksanakan ajaran agama dan berkepribadian
sesuai dengan tuntunan agama, untuk mencapai kesejahteraan dalam rumah tangga dan
bermasyarakat, serta untuk meraih kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat kelak.
66
Atho Mudzhar, “Peran Keluarga Dalam Pembentukan Moral Bangsa” dalam Edukasi Jurnal
Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Volume 3 Nomor 3. (Juli-
September 2005), 7.

60

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


sayogyanya dalam hal ini dapat mengikuti petunjuk Rasulullah yaitu

mengutamakan pada kreteria laki-laki yang taat kepada agama Allah. Pesan

dan petunjuk Rasul saw. yang dapat diambil antara lain adalah sebagai upaya

bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia generasi mendatang, melalui

beberapa faktor yang sangat menentukan.

3. Jaring Kuasa Perempuan dan Gender

Gender adalah peran-peran sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat.

Peran-peran tersebut berkaitan dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta

kesempatan bagi laki-laki dan perempuan yang dibentuk oeh ketentuan sosial,

nilai-nilai yang berlaku, dan budaya lokal.67

Pendapat Scott68, tentang gender adalah sebuah elemen konstitutif dari

hubungan-hubungan sosial yang didasarkan atas persepsi yang berbeda antara

dua jenis kelamin, dan merupakan suatu cara utama untuk memaknai

hubungan-hubungan kekuasaan. Gender adalah arena dimana dan dengan cara

seperti apa kekuasaan diartikulasikan. Gender dikonstruksikan secara sosial,

dimantapkan, dilanggengkan dan direproduksi secara kultural. Oleh karena

itu, gender tampil dalam berbagai cara dan dalam berbagai aspek kehidupan

sosial dan budaya.

Manusia yang terdiri dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan

adanya kenyataan perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan

tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap

67
Siti Musdah Mulia, (ed.), Keadian & kesetaraan Gender (Perspektif Islam) (Jakarta: Tim
Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001),123.
68Scott, J.W. “Gender as a Useful Category of Historical Analysis”, in Parker, R. and Aggleton, P.

(eds.) Culture, Society, and Sexuality, (London: UCL Press, 1999). 66

61

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


perilaku manusia, khususnya dalam perbedaan relasi gender, menimbulkan

banyak perdebatan.

Unger berpendapat sebagaimana dikutip Umar 69 bahwa perbedaan

anatomi biologis dan kompossi kimia dalam tubuh manusia oleh sejumlah

ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas

intelektual masing-masing laki-laki dan perempuan.

Dalam wacana kesetaraan perempuan dan laki-laki menurut

Nurhayati 70 masih menimbulkan kontroversi di kalangan para intetektual.

Demikian pula dalam fenomena sosio kultural, laki-laki masih dominan

memegang kendali kekuasaan, dimana kekuasaan dan kebijakan yang

diberlakukan hanya berdasarkan strandar laki-laki.

Konsep perbedaan jenis kelamin yang sering dirancukan dengan

konsep gender 71 sebagai konstruksi sosial oleh pemahaman masyarakat

69
Unger mengidentifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan
sebagai berikut: bagi laki-laki (masculine) sangat agresif, independent, independen, tidak
emosional, dapat menyembunyikan emosi, lebih obyektif, tidak mudah terpengaruh, tidak
submitif, sangat menyukai pengetahun eksakta, tidak mudah goyah terhadap krisis, lebih aktif,
lebih kompetitif, lebih logis, lebih mendunia, lebih terampil berbisnis, lebih terus terang,
memahami perkembangan seluk beluk dunia, berperasaan tidak mudah tersinggung, dan lebih suka
berpetualang. Sedangkan bagi perempuan tidak terlalu agresif, tidak terlalu independen, lebih
emosional, sulit menyembunyikan emosi, lebih subyektif, mudah terpengaruh, lebih submisif,
mudah terpengaruh, kurang menyenangi ilmu eksakta, mudah goyah menghadapi krisis, lebih
pasif, kurang kompetitif, kurang logis, berorientasi ke rumah, kurang terampil berbisnis, kurang
berterus terang, kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia, berperasaan mudah
tersinggung, tidak suka berpetualang, sulit mengatasi persoalan, lebih sering menangis, tidak
umum tampil sebagai pemimpin, kurang rasa percaya diri, kurang senang terhadap sikap agresif,
kurang ambisi, sulit membedakan antara rasa dan rasio, kurang merdeka, lebih canggung dalam
penampilan, pemikiran kurang unggul dan kurang bebas berbicara.Ibid, 38.
70
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), 1.
71
Jenis kelamin (sex) memang berbeda sejak lahir antara laki-laki dan perempuan, menjadi hak
penuh Tuhan dalam menentukan jenis kelamin manusia. Lain hanya dengan pembedaan gender,
terjadi melalui sebuah proses panjang yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) melalui
pencitraan, pemberian peran, cara memperlakukan dan penghargaan terhadap keduanya. Oleh
sebab konstruksi sosial merupakan bentukan masyarakat, maka sifatnya bisa berubah atau diubah
sesuai dengan perubahan social, perkembqngan ilmu pengetatahuan dan teknologi, terjadi
musibah, bencana alam, termasuk kebijakan dan pemahaman agama maupun adaptasi dengan

62

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


berimplikasi dan menyebabkan pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab

laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial. Sebenarnya perbedaan jenis

kelamin yang berimplikasi terhadap fungi dan peran terhadap laki-laki dan

perempuan ini pada dasarnya tidak dipermasalahkan kalau memang

merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar dan tidak ada unsur

keterpaksaan dan atau diskriminasi. Namun ketika dicermati lebih mendalam,

perbedaan dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini dapat menjadi

penyebab munculnya diskriminasi gender. Yakni salah satu jenis kelamin

terutama yang banyak terjadi pada perempuan terabaikan hak-hak dasarnya,

tertinggal dan mengalami masalah ketidakadilan.

Perbedaan gender prinsip dasarnya adalah sesuatu yang wajar dan


72
merupakan sunnatullah sebagai suatu fenomena. Tidak ada satupun

manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting atau lebih esensial dari

yang lain, sebab diantara yang satu dengan yang lain saling ada keterkaitan

dan saling mempengaruhi secara dialektis. Untuk memahami bagaimana

perbedaan gender itu menyebabkan ketidakadian gender dapat dilihat melalui

berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.

Bentuk ketidakadilan yang banyak menimpa perempuan adalah

meliputi stereotipe, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan (violence) dan beban

budaya yang tidak bias gender. Lihat Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender Pada Basis
Keagamaan, Pendekatan Islam, Strukturasi, & Konstruksi Sosial (Malang: UIN Malang Press,
2009), 6.
72
Ada beberapa pengertian sunnatullah; yatu hukum-hukum Allah yang disampaikan kepada umat
manusia melalui para rasulNya; hukum atau undang-undang keagamaan yang ditetapkan Allah
seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-qur’an; hukum alam, hukum yang berjalan secara
alami dan otomatis empirik. Lihat: M. Dahlan. Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk,
748.

63

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


ganda.73 Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena

antara satu dengan yang saling berkaitan dan berhubungan, saling

mempengaruhi secara dialektis.

Kuatnya hegemoni laki-laki berakar pada perspektif tentang kodrat,

tugas dan peran perempuan yang secara tradisional meniscayakan bahwa

peran dan fungsi perempuan diidentifikasikan sebagai pelaku peran-peran

reproduksi dan peran-peran domestik. Seperti peran bereproduksi, mengurus

rumah tangga, merawat dan mendidik anak adalah bukan sektor publik,

sehingga kenyataan yang demikian membuat perempuan semakin

terpinggirkan di sektor publik, dan mereka tidak diberi kesempatan untuk

berpartisipasi di dalamnya.74

Kalaupun ada keberperanan perempuan dalam pembangunan, tidak

lantas dapat melepaskan belenggu perempuan dari mitos-mitos patriarki.

Realitas yang ada bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah, malah

semakin memiliki beban ganda yang sangat berat. Pertama, ia akan menjadi

tulang punggung keluarga yang dibebani dengan pencarian nafkah keluarga,

dan bukan sekedar partisipasi membantu suami menambah income keluarga.

Padahal secara ekonomi, menurut Rusli Syarif sebagaimana dikutip Munir,75

bahwa jika semua aktivitas perempuan dinominasikan mulai dari urusan

rumah tangga sampai pada sektor publik akan mencapai nilai produktivitas

yang lebih tinggi dibanding aktifitas laki-laki. Kedua, fungsi-fungsi keluarga


73
Umi Sumbulah dkk., Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi (Malang:
UIN-Malang Press, 2008),14. Lihat: Ratna Batara Munti, dkk., Respon IIslam Atas Pembakuan
Peran Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 5.
74
Dadang S. Anshori, dkk. (ed.) Wacana Pengantar Dari Feminisme Hingga Feminim Potret
Perempuan Di Dunia Maskulin, dalam Membincang Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran
Sosial Kaum Wanita (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 4.
75
Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan Studi Analisis Produktivitas Perempuan dalam
konsep Ekonomi Islam (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 8.

64

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


harus tetap dijalankan sebagaimana layaknya seorang perempuan yang

memilih tugas domestik. Sehingga memang benar, tugas perempuan memang

menjadi lebih berat, dimulai semenjak terbit matahari sampai terbenamnya

mata suami.

Sebenarnya upaya pemecahan persoalan yang menyangkut relasi

sosial antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah domestik maupun

publik telah lama selalu menjadi bahan pokok perbincangan dan perdebatan;

dan setelah terbongkarnya persoalan perempuan baik secara kultural76 maupun


77
struktural yang dipandang menyudutkan posisi perempuan, ternyata

persoalan yang menyangkut perempuan belum terselesaikan, bahkan makin

bertambah kompleks. Walaupun pada era sekarang ini perempuan telah

mempunyai peluang untuk berkiprah dalam program pembangunan secara

lebih luas, namun pada dimensi-dimensi tertentu masih ditemukan persoalan-

persoalan baru.

Menurut Susilaningsih, 78 bahwa salah satu upaya untuk terwujudnya

keadilan gender dalam masyarakat adalah pendidikan yang merupakan kunci

utama. Disamping merupakan alat untuk mentransfer norma-norma

masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mereka, pendidikan juga sebagai

76
Adanya keyakinan/pandangan masyarakat yang diakibatkan oleh bias gender terutama terhadap
perempuan, seperti semua jenis pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, dianggap dan
dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan publik yang dianggap pekerjaan laki-laki,
dan dikategorikan sebagai pekerjaan yang bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam
statistik negara. Di lain pihak, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni
berbagai jenis pekerjaan domestik. Lihat: Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, 48.
77
Ketidakadilan gender terjadi di lingkungan rumah tangga, sampai pada tingkat pemerintahan
baik pada satu negara maupun organisasi antar Negara. Mulai dari proses pengambilan keputusan,
pembagian kerja, hingga interaksi antara anggota keluarga, di dalam banyak rumah tangga sehari-
hari asumsi bias gender masih digunakan. Manifestasi ketidakadilan gender ini tersosialisasi
kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap dan akhirnya baik laki-laki maupun
perempuan menjadi terbiasa dan diyakini bahwa peran gender itu merupakan suatu yang kodrat.
Lihat: Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, 49.
78
Susilaningsih, Agus M. Najib, (ed.), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi, 30.

65

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


alat untuk mengkaji, menyampaikan ide-ide dan nilai-nilai baru. Pendidikan

merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer niai-nilai dan

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma

gender, yang sejak awal perlu diupayakan terwujudnya keadilan gender. Nilai

dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun tersembunyi, baik melalui

buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses

pembelajaran.

Menurut Arifin,79 bahwa dalam perspektif global sesungguhnya telah

berkembang suatu kesadaran kolektif tentang kesetaraan gender. Ini bisa jadi

merupakan buah keberhasilan yang cukup signfikan dari gerakan feminis yang

dengan gigih berjuang menerobos perangkap maskulinisasi budaya (the

masculinization of culture) yang telah memberikan keleluasaan terhadap kaum

laki-laki memegang kendali sektor publik di satu pihak, dan pengebiran status

dan peran kaum perempuan di pihak lain. Namun realitas yang berkembang

masih banyak problem bias gender memenjarakan peran kaum perempuan,

yang disebabkan oleh banyak faktor sehingga terjadi fenomena yang dapat

dianalisis oleh para pakar maupun aktifis gerakan feminisme. Persoalan ini

secara sederhana dapat dibedakan menjadi faktor eksternal dan faktor

internal.80

79
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru, 174.
80
Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme, 1. Perbedaan anatomi tubuh dan genetika antara laki-
laki dan perempuan didramatisir dan dipolitisir terlalu jauh sehingga seolah-olah secara substansial
perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan seperti ini lebih diperkuat oleh berbagai
mitos dan pernyataan kitab suci (Alkitab) yang menyatakan perempuan sebagai ciptaan kedua.
Persepsi seperti ini mengendap di bawah sadar perempuan sehingga mereka “rela” untuk
menerima perbedaan peran gender yang dinilai kurang adil. Perbedaan peran tersebut bukan
karena kodrat atau faktor biologis (divine creation), tetapi karena faktor budaya (cultural
contructioan). Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan, 39.

66

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Secara eksternal, di antara penyebabnya adalah realitas sosial politik

maupun ekonomi global yang masih mewarisi dan berpihak pada pelestarian

budaya patriarki, yakni pandangan yang lebih mengistimewakan kaum laki-

laki daripada kaum perempuan yang dilakukan oleh baik laki-laki bahkan bisa

jadi para kaum perempuan.

Sedangkan secara internal antra lain umat Islam sendiri masih belum

terlepas dari pemahaman yang bias gender dalam memahami doktrin dan

ajaran Islam yang terkait dengan isu-isu feminisme. Padahal dalam acuan

normative Islam, di samping ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith misoginis

yang memang potensial menjadi penyebab berkembangnya penafsiran yang

patriarkhal, masih banyak nash-nash keagamaan yang memiliki spirit yang

mendukung kesetaraan gender.

Disamping itu fenomena pelanggengan dominasi maskulin nampak

dalam kehidupan relasi laki-laki dan perempuan, sebagaimana diungkap


81
Bourdieu bahwa kaum perempuan umumnya setuju dengan laki-laki

(misalnya dari pihak mereka menginginkan perempuan lebih muda) untuk

menerima tanda-tanda dari luar suatu yang terdominasi. Dalam representasi

yang mereka buat tentang hubungan mereka dengan laki-laki yang (akan)

mereka lekatkan dengan identitas sosial mereka, kaum perempuan

memperhitungkan representasi yang cenderung dibuat oleh semua laki-laki

dan perempuan tentang laki-laki, dengan mengaplikasikan skema-skema

persepsi dan apresiasi yang ada di semua orang secara universal.

81
Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, 52.

67

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Secara diam-diam dan secara tidak terbantahkan, prinsip-prinsip

bersama itu menuntut bahwa laki-laki menduduki posisi dominan di antara

mereka berdua. Posisi dominan itu harus untuk laki-laki, untuk kehormatan

yang diakui perempuan apriori dan diinginkan agar diakui secara universal.

Tetapi posisi dominan itu juga untuk perempuan itu sendiri, untuk kehormatan

mereka sendiri. Pada umumnya perempuan hanya bisa menginginkan,

menerima dan mencintai laki-laki yang kehormatannya jelas telah terafirmasi

dan dibuktikan lewat fakta bahwa secara jelas “laki-laki itu telah

melebihinya”.

Stratifikasi di antara dua jenis kelamin ini kemudian membagi

kehidupan menjadi dua dunia, yakni dunia domestik yang feminine dan tidak

esensial yang diperuntukkan bagi perempuan, dan duna publik yang maskulin

dan menentukan, yang menjadi dunia laki-laki. Produksi dan reproduksi

hubungan antara keduanya menimbulkan ketimpangan hubungan perempuan

dan laki-laki, yang makin membatasi sikap dan periaku perempuan sebagai

warga kelas dua.82

Implikasi-implikasi penting dalam relasi kuasa berbasis gender

dimana perempuan tersubordinasi di bawah laki-laki tidak hanya terkait

dengan dimensi-dimensi ekonomi dan politik namun lebih jauh pada

pengetahuan dan ilmu bahwa superioritas laki-laki dalam relasi kuasa

berimplikasi pada penguasaan dan kontrol wacana oleh laki-laki.83

82
Sri Harjanti Widyastuti, “Perempuan Menerjang Hambatan Budaya: Catatan Dari Lapangan”
dalam Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 8, No. 1 (Januari-Desember 2007), 17.
83
Rahmat Hidayat, Ilmu Yang Seksis Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin
(Yogyakarta: Jendela, 2004), 235.

68

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Namun menurut Foucault, 84 kenyatannya ilmu-imu kemanusiaan

diarahkan kepada manusia sepanjang dia hidup, berbicara dan memproduksi.

Sebagai makhluk hidup, manusia tumbuh memiliki fungsi dan kebutuhan, dan

menyaksikan terbukanya ruang yang koordinatnya bisa digerakkan dan

bertemu dalam dirinya. Manusia berhubungan dengan masa lalunya, dengan

benda dan manusia lainnya yang akhirnya bisa membangun pengetahuan,

khususnya pengetahuan tentang dirinya (body of knowledge).

Disamping itu tentang kekuasaan, Foucault85 meninggalkan anggapan

lama bahwa pengetahuan hanya mungkin berkembang di luar wilayah

kekuasaan. Menurutnya, antara pengetahuan dan kekuasaan justru terdapat

relasi yang saling memperkembangkan. Tidak ada praktek pelaksanaan kuasa

yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang di

dalamnya tidak mengandung relasi kuasa. Foucault menganalisis relasi kuasa

dan pengetahuan yang berpangkal bukan dari ‘subjek’ pengetahuan yang

bebas atau yang tidak bebas dari relasi sistem kuasa, tetapi sebaliknya,

memandang bahwa baik subjek yang mengetahui, objek yang diketahui

maupun cara pengetahuan terjadi merupakan akibat mendasar relasi kuasa dan

pengetahuan. Jadi bukan aktivitas yang menghasilkan tubuh pengetahuan,

melainkan relasi antara kuasa dan pengetahuan.

Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang maha hadir dalam

masyarakat, karena sama-sama terikat dengan kondisi-kondsi relasi sosial

secara umum. Dalam hubungannya dengan studi kekuasaan/pengetahuan

84
Michel Foucault, Order Of Thing Arkiologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan , B. Priambodo (penerj.)
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 402.
85
Michel Foucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern Penerj. Sunu Hardiyanta,
(Yongyakarta, LkiS, 1997), 27-28.

69

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Foucault memakai tiga konsep mengenai bentuk-bentuk umum rasionalitas,

yaitu strategi, teknologi dan program kekuasaan.86

Maka kepemimpinan dan kekuasaan perempuan tentu bisa dilihat


87
sebagai kekuasan dalam konsep Foucault, yaitu kekuasaan dipahami

sebagai:

a. Hubungan kekuatan yang imanen di bidang hubungan kekuatan itu

berlaku, dan yang merupakan unsur-unsur pembentuk dan organisasinya.

b. Permainan dengan jalan perjuangan dan pertarungan tanpa henti

mengubah, memperkokoh, memutarbalikkan.

c. Hubungan kekuatan yang saling mendukung sehingga membentuk

rangkaian atau sistem, atau sebaliknya, kesenjangan, dan kontradiksi yang

saling mengucilkan.

Karena hubungan kekuatan tidak merata, landasan labil dari berbagai

hubungan kekuatanlah yang terus menerus menghasilkan barbagai situasi

kekuasaan, yang terus bersifat lokal dan tidak stabil. Kekuasaan ada di mana-

mana, bukan karena mencakup segalanya, namun karena datang dari mana-

mana. Kekuasaan “itu” –yang permanen, terulang, beku, memproduksi

sendiri– hanyalah dampak menyeluruh, yang tampil berdasarkan semua

mobilitas. Kekuasaan adalah perangkaian yang bertopang pada setiap

mobilitas dan sebaliknya berusaha membekukan mereka. Kemungkinan besar

kita harus bersikap nominalis di sini: kekuasaan, bukan sebuah lembaga, dan

bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa

86
Colin Gordon, Michel Foucault Power/knowledge Wacana Kuasa/Pengetahuan terj. Yudi
Santoso (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), 304.
87
Foucault, Sejarah Seksualitas Seks dan Kekuasaan, trj. Rahayu S. hidayat , Peny, Jean Couteau,
(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997).113-114

70

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis

yang rumit dalam masyarakat tertentu.

Menurut Antony Synott 88 , bahwa Michel Foucault adalah salah

seorang pemikir poststruktural yang juga merumuskan teori tentang

kekuasaan, memperkenalkan sejumlah perangkat untuk menerangkan proses

bekerjanya kekuasaan melalui bahasa dalam menciptakan kategori, melakukan

berbagai proses pendisiplinan pemikiran. Ia menyebut semua aturan diskursif

yang merupakan bagian dari sistem pengetahuan, yang sedemikian mendasar

sehingga tidak lagi dipertanyakan orang itu sebagai “wacana”.

Kekuasaan mewujudkan diri melalui wacana dengan berbagai cara,

diantaranya adalah melalui prosedur menyeleksi atau memisahkan mana yang

dianggap layak dan tidak layak dengan memberlakukan pelarangan terhadap

berbagai jenis wacana, dengan membuat pembedaan terhadap apa yang

dianggap sehat dan yang tidak waras, yang benar dan yang salah.

Foucault melibatkan semua interaksi dan hubungan dalam kekuasaan,

dan di mana ada kekuasaan, di situ pun ada resistensi dalam bentuk lugas

maupun terselubung. Para pemikir feminis memberikan perhatian khusus

terhadap peran berbagai produk budaya lainnya dalam melakukan representasi

atau konstruksi imajinasi-imajinasi atau penyajian kembali kenyataan dalam

bentuk visual dan verbal yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu.

Representasi bisa dianggap suatu “medan perang” kepentingan atau kekuasaan

ideologi.

88
Antony Synnott, Tubuh Sosial Simbolisme, Diri dan Masyarakat. (Yogyakarta: Jalasutra, 2003)
419

71

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Teori kekuasaan Foucault 89 tidak netral dari gender. Kekuasaan di

dalam masyarakat patriarkhal berasal dari laki-laki; dengan kata lain, tema

‘bio-politik’ menyembunyikan realitas kekuasaan laki-laki atas tubuh

perempuan, atau yang lebih khusus, seksualitas perempuan. Frase ‘disiplin dan

penghukuman’ dengan demikian khas gender; disiplin dan tatapan laki-laki.

Bagi Foucault, kuasa tidaklah dimiliki, diberikan atau diperebutkan, lebih baik

ia jalankan dan eksis. Sebagai akibat dari posisi ini, Foucault menolak

menyamakan kuasa dengan struktrur sosial seperti patriarki. Pentingnya

negosiasi atau pergulatan di dalam masyarakat tidak semata-mata berkenaan

dengan pemilikan kuasa, tapi pada istilah penyebaran kuasa yang

diperebutkan. Kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada lintasan

tunggal.

Dalam hal ini tentu sangat penting menggunakan konsep hegemoni

Gramsci. 90 Hegemoni menurut Gramsci adalah bahan esensial filsafat yang

paling modern mengenai praksis (hubungan pemikiran dan tindakan) adalah

konsep filosofis-historis “hegemoni”. Hegemoni didefinisikan Gramsci

sebagai kepemimpinan budaya yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa.

Dia mengontraskan hegemoni dengan paksaan yang dilaksanakan oleh

kekuatan dan kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau diungkapkan melalui

campur tangan politisi. Gramsci menekankan hegemoni dan kepemimpinan

budaya.

89
Ann Brooks, PosFeminisme & Cultural Studies sebuah Pengantar Paling Konferhensif
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 84-85.
90
Goerge Ritzer, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2012), 476.

72

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Dari beberapa statemen tersebut, tentang kekuasan walaupun tidak

netral gender, ternyata kekuasaan bisa terjadi pada siapa saja laki-laki maupun

perempuan, dengan berbagai cara yang ia jalankan dan eksis, misalnya dengan

pengetahuan,kepercayaan atau kemampuan yang lain. Karena kekuasaan

bukanlah sebuah lembaga atau sebuah struktur, bukan semacam daya yang

terdapat pada beberapa orang. Bagaimana seseorang untuk mengadakan

negosiasi atau pergulatan di dalam masyarakat tidak semata-mata berkenaan

dengan pemilikan kuasa, tapi pada istilah penyebaran kuasa yang

diperebutkan. Kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada lintasan

tunggal.

Begitu banyak hal, fenomena sosial budaya yang muncul setiap hari,

bahkan setiap saat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (budaya)

yang bergerak begitu luar biasa dan cepat, telah mengubah banyak hal

termasuk aspek (dimensi) kesadaran manusia. 91 Disamping itu dunia terbuka,

dunia yang sudah menjadi kampung global (global village) menuntut

kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap

bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila

dia terus menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya.92

Untuk melihat pembentuakan realitas sosial, ekonomi dan politik


93
perempuan disamping perbedaan domestik dan publik, menurut Munir

adalah adanya proses sosial dalam pembentukan realitas perempuan yaitu

kontruksi, dekontruksi dan rekontruksi. Kontruksi merupakan susunan suatu

91
Toeti Heraty Noerhadi, Aku dalam Budaya Telaah Teori & Metodologi Filsafat Budaya
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 264.
92
Nur Ahid, “Pendidikan dan Otonomi Daerah” Akademika Jurnal Studi Keislaman Volume 12,
Nomor 2 (Pebruari, 2003), 65-66.
93
Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan, 69.

73

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


realitas obyektif yang telah diterima dan menjadi kesepakatan umum,

meskipun di dalam proses konstrusi itu tersirat dinamika sosial. Dekontruksi

terjadi pada saat keabsahan realitas (obyektif) kehidupan perempuan

dipertanyakan yang kemudian memperlihatkan praktik-praktik baru dalam

kehidupan perempuan. Pada dasarnya salah satu kecenderungan perempuan

meninggalkan rumah (bekerja di luar rumah) dapat dilihat sebagai suatu tanda

dari adanya proses dekonstrusi terhadap realitas sosial perempuan yang baku.

Ranah publik merupakan perluasan dari ranah domestik yang menjadi

dasar penilaian dan perlakuan yang dikenakan terhadap perempuan.

Dekontruksi ini kemudian menghasilkan proses rekonstruksi, yang merupakan

proses konseptualisasi dan redefinisi perempuan. Gejala keterlibatan

perempuan di luar rumah menandakan bahwa perempuan telah berusaha

merekonstruksi sejarah hidupnya dengan membangun identitas baru bagi

dirinya, tidak hanya sebagai ibu atau isteri, tetapi juga sebagai pekerja dan

perempuan karir.

Menurut Bourdieu, 94 perubahan besar yang terjadi adalah bahwa

dominasi maskulin tidak lagi dihadirkan dengan segala fakta yang terjadi

dengan sendirinya. Telah dilakukan kerja kritik yang sangat besar oleh

gerakan feminis. Sekurang-kurangnya pada wilayah tertentu ruang sosial,

gerakan feminis itu telah berhasil memutus lingkaran pemaksaan yang

digeneralkan.

Selain itu misalnya makin besarnya kesempatan bagi perempuan untuk

masuk ke dalam pendidikan sekunder atau pendidikan superior atau masuknya

94
Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 124.

74

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


perempuan ke dalam lapangan kerja bergaji tetap, semakin diperbolehkannya

perempuan untuk tidak harus bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah

tangga maka semakin besar pula kesempatan perempuan untuk masuk ke

ruang publik.

Menghadapi tantangan dan peluang dari proses globalisasi dan pasar

bebas, perempuan dituntut untuk melakukan upaya strategis dalam rangka

memanfaatkan positif demokratisasi semaksimal mungkin untuk mendapatkan

peluang dan meningkatkan kedudukan serta peran perempuan dalam

mengakses pembangunan dan mengeleminasi dampak negatif yang

ditimbulkan.

B. Tinjauan Tentang Pondok Pesantren

1. Memahami Tentang Pondok Pesantren

Berbicara tentang pesantren, beberapa hal yang ada keterkaitan dan

perlu diungkap adalah tentang pengertian, asal usul, tujuan, sistem pendidikan,

tipologi dan kepemimpinan di pesantren.

a. Pengertian Pondok Pesantren

Pesantren mempunyai arti tempat tinggal para santri. Istilah santri

berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, dan mempunyai arti

orang yang tahu buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang

ilmu pengetahuan. 95 Demikian juga menurut Ziemek 96 bahwa pesantren

mempunyai makna tempat santri.

Selain itu santri mempunyai arti seseorang yang selalu mengikuti

guru ke mana guru itu pergi menetap, untuk tetap dapat belajar suatu
95
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1994),18.
96
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta:LP3ES, 1985), 16.

75

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


keahlian. Pola hubungan “guru-santri” digunakan perkataan “kiai” untuk

laki-laki, dan “nyai” untuk perempuan.97

Istilah pesantren dalam pemakaian sehari-hari sering juga disebut

pondok pesantren, atau pondok saja. Menurut Qomar, 98 secara esensial,

semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit

perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dipandang

sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.

Pesantren merupakan sekolah tradisional Islam berasrama di

Indonesia. Institusi pengajaran ini memfokuskan pada pengajaran agama

dengan menggunakan metode pengajaran tradisional dan mempunyai

aturan-aturan, administrasi, dan kurikulum pengajaran yang khas.99

Pesantren biasanya dipimpin oleh seorang guru agama atau ulama


100
yang sekaligus sebagai pengajar para santri. Sedangkan Arifin

memberikan pengertian tentang pondok pesantren adalah suatu lembaga

pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar,

dengan sistem asrama (komplek) santri-santri menerima pendidikan agama

melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah

kedaulatan dan leadership seorang atau beberapa orang kiai101 dengan ciri-

ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.

97
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 21-22.
98
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi, 1-2.
99
Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern
(Jakarta: LP3ES, 1884), 13.
100
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara. 1991), 240.
101
Kata kiai bisa berarti: 1) sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam); 2) Alim
ulama; 3) Sebutan bagi guru ilmu ghaib (dukun dan sebagainya); 4) Kepala distrik (di Kalimantan
Selatan); 5) Sebutan yang mengawali nama benda yang dianggap bertuah (senjata, gamelan dan
sebagainya); 6)Sebutan samara untuk harimau (jika orang melewati hutan. Lihat: Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 499. Menurut asal usulnya,

76

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


b. Asal Usul Pesantren

Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di Nusantara sudah mulai

berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara pada abad ke 15. Tokoh

yang pertama kali mendirikan pesasntren adalah Syekh Maulana Malik

Ibrahim (1419), yang berasal dari Gujarat India. Maulana Malik Ibrahim

dalam mengembangkan dakwahnya menggunakan masjid dan pesantren

sebagai pusat transmisi keilmuan Islam. Pada gilirannya, transmisi yang

dikembangkan Maulana Malik Ibrahim ini melahirkan Walisongo dalam

jalur jaringan intelektual/ulama. Dari situlah kemudian Raden Rahmat

(Sunan Ampel) mendirikan pesantren pertama di Kembang Kuning,

Surabaya tahun 1619.102 Pada awal abad 15 M. pesantren telah didirikan

oleh penyebar agama Islam, diantaranya Walisongo.

Untuk menyebarkan agama Islam mereka mendirikan masjid dan

asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta Sunan Ampel telah

mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau ngaos

pemuda Islam. Sunan Giri setelah ngelmu kepada Sunan Ampel,

perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: 1. Sebutan
gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, Kiai Garuda Kencana
dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang berada di keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan
untuk orang-orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang
ahli agama Islam yang ,memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam
klasik kepada santrinya. Selain gelar kiai, ia juga disebut orang ‘alim (orang yang dalam
pengetahuan Islamnya). Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di
masyarakat juga mendapat gelar kiai, walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Lihat:
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 55. Gelar kiai tidak diusahakan melalui jalur-jalur formal
sebagai sarjana misalnya, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus memberikannya
tanpa intervensi pengaruh-pengaruh pihak luar. Kehadiran gelar ini akibat kelebihan-kelebihan
ilmu dan amal yang tidak dimiliki lazimnya orang, dan kebanyakan didukung pesantren yang
dipimpinnya. Lihat: Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 28. Lihat juga: Imam Bawani,
Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993), 90. Mukti Ali, “Pondok
Pesantren Dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini
(Jakarta: Rajawali, 1987), 15.
102
Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha, (ed.), Inteletualisme Pesantren Potret Tokoh dan
Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 8.

77

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


mendirikan lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya

pendidikan Islam pesantren, agama Islam semakin tersebar sehingga dapat

dikatakan lembaga-lembaga itu merupakan penyebar Islam di Jawa.103

Dalam sejarah perjalanan Islam, sistem pendidikan seperti sistem

pendidikan pesantren yang ada sekarang walaupun tidak sama persis sudah

dikenal di masa Rasulullah SAW. Waktu itu santrinya adalah sahabat yang

tinggal di serambi masjid, dikenal dengan sebutan Ashab Al-Shuffah yang

selalu siap siaga untuk menerima pelajaran dan bimbingan keagamaan

yang sewaktu-waktu diberikan oleh Rasululah. Mereka inilah yang dikader

khusus untuk menjadi fakih fi al-din.104

Ahlu Suffah mencurahkan banyak perhatian terhadap ilmu

pengetahuan dan terus menetap di dalam masjid untuk beribadah. Mereka

terbiasa dengan kesederhanaan dan asketisme. 105 Dalam khalwat itu,

mereka pergunakan untuk shalat, membaca al-Qur’an, mengkaji ayat demi

ayat secara bersama dan memusatkan untuk berdzikir, sebagian mereka

belajar menulis. Bahkan salah seorang dari mereka ada yang dikenal

karena pengetahuan dan. hafalannya tentang hadith-hadith Nabi, seperti

Abu Hurairah yang meriwayatkan banyak hadith.

Dengan melihat kehidupan Ahlu Shuffah yang diwarnai dengan

kesederhanaan dan aksitisme tersebut, maka sebagaimana disampaikan

103
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 145.
104
Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 101.
105
Paham yang mempraktekkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban, zuhud. Asketik
berarti zuhud, pertapa. Yaitu orang yang meninggalkan kenikmatan duniawi dan menyepi
(bertapa) untuk mendekatkan diri pada Tuhan atau untuk memperoleh pencerahan diri. Lihat M.
Dahlan Y. Al-Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk, 66.

78

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Nurhayati,106 pondok pesantren bisa jadi berakar pada tradisi Islam sendiri,

yaitu tradisi tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat

pendidikan yang khas bagi kaum sufi.107

Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia

pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat.108 Hal

ini ditandai oeh terbentuknya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang

melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid-wirid tertentu yang

dipimpin oleh seorang kiai.

Pesantren masuk ke Indonesia bersamaaan dengan masuk dan

berkembangnya agama Hindu, sebelum datangnya Islam. Sehingga jika

diperhatikan dari segi metode dan kurikulum di pesantren banyak diwarnai

ajaran non Islam. Setelah berkembangnya Islam, lembaga pesantren itu

mendapat isi ajaran Islam.109 Bahkan menurut Daulay,110 esensi pesantren

telah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia.

Demikian pula pendapat Steenbrink,111 tentang asal usul pesantren

ini bahwa pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren

106
Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi Telaah Terhadap Pengembangan Kurikuum Pendidkan
Pesantren (Yogyakarta: Teras, 2010), 49.
107
Sufi adalah ahli sufisme; ahli ilmu suluk. Sedangkan suluk mempunyai pengertian ilmu
kebatinan; sufisme; mistik; tasawuf; jalan menuju kesempurnaan batin. Pengasingan diri guna
mencapai pencerahan atau kesempurnaan batin atau mendekatkan diri pada Sang Pencipta;
khalwat. Lihat: Lihat M. Dahlan Y. Al-Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk, 746-748.
108
Tarekat dalam agama Islam berarti jalan; (tasawuf) jalan menuju kebenaran; persekutuan para
penuntut ilmu tasawuf. Ibid, 760.
109
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Departemen Agama Direktorat Genderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), 95.
110
Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren yang
diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki Ajar hidup dan tinggal
bersama dengan muridnya yang disebut dengan cantrik dan hubungan mereka amat akrab bagakan
orang tua dengan anaknya. Di sinilah terjadi proses pendidikan, di mana Ki Ajar mentransferkan
ilmunya, nilai-nilai kepada cantriknya. Sistem pendidikan pawiyatan ini mirip dengan sistem
pesantren sekarang. Dengan demikian boleh jadi sistem pesantren mengambil sistem pawiyatan.
Lihat: Haidar Putra Dulay, Pemberdayaan Pendidikan, 123.
111
Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, 21.

79

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


yang diadakan oleh orang-orang Hindu di nusantara. Hal ini didasarkan

pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga

pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu

dimaksudkan sebagai tempat pengajaran ajaran Hindu dan tempat pembina


112
kader-kader penyebar Hindu. Akan tetapi Bruinessen, barangkali

termasuk salah seorang yang meragukan tentang kemungkinan pesantren

berasal dari tradisi Hindu atau lokal, mengingat bentuk kelembagaan

seperti pesantren juga terdapat di bagian kawasan muslim lainnya seperti

India, Turki atau Pakistan.

Bruinessen, bahkan berpendapat bahwa pesantren yang merupakan

lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, besar kemungkinan berasal

dari Arab khususnya Mekah dan Madinah sebagai pusat orientasi bagi

umat Islam. Demikian pula menurutnya kitab kuning yang berbahasa arab

adalah merupakan salah satu bukti bahwa asal usul pesantren dari Arab.

Selain itu, pola pendidikan di pesantren menyerupai pola pendidikan

madrasah dan zawiyah di Timur tengah. Jika madrasah merupakan

pendidikan Islam di luar masjid, sedangkan zawiyah lembaga pendidikan

Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut

masjid.113

Lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para

calon ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat hampir

semua kiai besar menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat

pengajaran Islam prestisius di tanah Arab, maka pola pendidikan yang


112
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1999),70.
113
Ibid,, 22.

80

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


mereka kenal tersebut dikembangkan di Indonesia dalam bentuk

pesantren. Dengan demikian, mereka dianggap sebagai perantara antara

tradisi besar keilmuan Islam yang bersifat internasional dengan varian

tradisi Islam yang masih sederhana di Indonesia114

Disamping itu menurut Haidar,115 karena adanya perbedaan yang

mendasar antara pesantren Hindu dan lokal dengan pesantren Islam,

bahwa pesantren Islam tidak hanya mengajarkan pengetahuan tentang

kitab suci seperti halnya pesantren lama (pesantren umat Hindu). Muatan

pengetahuan yang diajarkan antara kedua pesantren bukan merupakan

ketidakniscayaan, mengingat konsep teologi keduanya berbeda.

Sejak abad 9 M. sejarah Islam telah berkenalan dengan ilmu

pengetahuan dan filsafat. Berbagai pengembangan ilmu pengetahun

dilakukan para sarjana muslim dalam berbagai disiplin, mulai dari flsafat,

kedokteran, sastra sampai matematika. Dengan demikian merupakan hal

yang wajar, kalau kemudian di tempat-tempat pusat pengajaran agama

Islam seperti pesantren juga dikembangkan pengetahuan lain selain

pengetahuan mengenai kitab suci yang seringkali hanya dipahami dalam

perspektif teologi dan moral atau etika. Meskipun aspek ini jauh dari ideal.

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang asal usul pesantren,

maka dilihat dari segi historisnya, memang di satu sisi penyebaran Islam di

Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosio-kultur di mana Islam itu datang,

kemudian tumbuh dan berkembang, sehingga kemudian istilah-istilah yang

muncul dan melekat dalam Islam adalah istilah-istilah (termasuk istilah


114
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 22.
115
M. Ali Haidar, “Akar Tradisi Pesantren Dalam Masyarakat Indonesia” dalam M. Nadim Zuhdi,
dkk. (ed.), Tarekat, Pesantren Dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press, 1999), 72.

81

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


pesantren) yang merupakan hasil dari asimilasi budaya setempat. Dalam

hal ini adalah budaya Hindu dan Budha, yang sebelumnya dianut oleh

kebanyakan masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain, juga tidak dapat

disalahkan jika pondok pesantren dianggap berasal dari Islam itu sendiri,

karena istilah pesantren identik dengan “kuttab”, yaitu istilah pendidikan

tradisional Islam yang diterapkan pada masa Bani Umayyah-Abbasiyah di

kawasan Timur Tengah.116

Haramain (Makkah dan Madinah) dalam sejarah Islam adalah

pusat intelektual dunia Islam. Kegiatan yang terjadi di Makkah dan

Madinah (Haramain) sebagai jaringan ulama (networks of the ulama). Di

situlah terjadi proses transmisi keilmuan Islam secara lebih intens dalam

bentuk halaqah-halaqah,117 madrasah-madrasah, kuttab, dan zawiyah yang

diselenggarakan oleh sejumlah ulama terkemuka di Haramain. Karena

itulah Haramain sebagai tempat lahirnya Islam tidak dapat dipisahkan dari

transmisi keilmuan Islam yang disebarkan ke kawasan-kawasan lain,

termasuk Nusantara.

c. Tujuan Pesantren

Tujuan pendidikan yang dimiliki pesantren sifatnya masih sangat

global dan abstrak. Sejak awal pertumbuhannya, disamping memiliki

116
Lihat: “Zaitun, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional Di Indonesia (Telaah
Filosofis Historis Kurikulum Pondok Pesantren Menuju Arah Baru Pendidikan Islam era
Globalisasi”, dalam Muhmidayeli, et al., Membangun Paradigma Pendidikan Islam (Pekanbaru:
Program Pascasarjana UIN Suska Riau, 2007), 190. Kuttab adalah nama tempat dmana pelajaran
disajikan kepada anak-anak. Lihat: Mansur dan Mahfud Junaidi, Rekonstrusi Sejarah, 33.
117
Sistem pendidikan dalam bentuk halaqah adalah seorang guru bisanya duduk di atas lantai
sambil menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya
pemikiran. Adapun murid-muridnya mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai
yang melingkari gurunya. Halaqah tidak mengenal sistem klasikal dan jenjang pendidikan.
Halaqah tingkat pendidikan tingkat lanjut, mengajar dan mendiskusikan ilmu agama, pengetahuan
umum dan filsafat. Lihat: ibid, 34.

82

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


tujuan pendidikan yang belum dirumuskan secara rinci dan kongkrit,

pesantren juga memiliki bentuk yang beragam di antara masing-masing

pesantren tidak sama sehingga tidak ada standarisasi yang berlaku bagi

semua pesantren.

Menurut Madjid,118 agaknya tidak banyak pesantren yang mampu

merumuskan tujuan pendidikan dan menuangkan dalam tahapan-tahapan

rencana kerja atau program. Tidak adanya perumusan tujuan itu

disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan

pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kiai atau

bersama-sama dengan pembantunya secara intuitif yang disesuaikan

dengan perkembangan pesantrennya. Malahan pada dasarnya pesantren itu

sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya.

Dalam hal ini, bisa jadi ada hubungannya dengan apa yang

dinyatakan Mastuhu, 119 bahwa mengapa pendidikan Islam di Indonesia

terutama perguruan-perguruannya kurang berdaya dalam mengembangkan

dirinya. Menurut pandangannya dapat dilihat antara lain sebagai berikut:

Pertama, umat Islam kurang rukun, kurang ideal sebagaimana dikehendaki

oleh ajaran Islam, khususnya dalam menyelenggarakan pendididikan.

Kedua, banyak diantara mereka yang lebih menghebatkan diri sendiri,

ketimbang menghebatkan umat. Ketiga, perguruan-perguruan Islam

umumnya berdiri sendiri-sendiri sebagai milik pribadi. Padahal institusi

pendidikan atau perguruan sayogyanya menjadi milik publik (umat).

118
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 6.
119
Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam Indonesia sebagai Subsistem Pendidikan Nasional” dalam
Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Puslitbang pendidikan Agama dan
Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, vol. 4 nomor 2,
(April-Juni 2006), 9-10.

83

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Keempat, hanya sedikit sekali perguruan-perguruan Islam yang sudah

terbingkai dalam suatu sistem dan bukan terbingkai dalam milik pribadi.

Kelima, pendidikan Islam di Indonesia, lengkap dengan perguruan-

perguruannya seperti madrasah dan pesantren hampir semuanya tampil

dalam corak eksklusif belum inklusif, padahal Islam adalah untuk

kemaslahatan seluruh manusia, bahkan semua makhluk. Keenam, telah

disadari sepenuhnya bahwa science and technology merupakan bagian

essensial dalam ajaran Islam. Namun demikian sistem pendidikan Islam

tampak kurang semangat memberikan pendidikan sains dan teknologi.


120
Menurut Nurhayati salah satu yang merupakan keunikan

pesantern adalah independensinya yang kuat. Kuatnya independen ini

menguatkan pesantren memiliki keleluasan dan kebebasan relatif yang

tidak harus memihak atau mengikuti model baku yang ditetapkan

pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan

model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum

yang ketat. Hal ini ditambah dengan kecenderungan sentralistik yang

berpusat di tangan kiai. Akibatnya model pendidikan yang berjalan di

pesantren menjadi sangat beragam sesuai dengan kecenderungan dan misi

yang ingin dikembangkan oleh kiai, pemilik pesantren.

Namun tentang tujuan pendidikan di pesantren ini menurut

Qomar 121 ternyata pokok persoalannya bukan terletak pada ketiadaan

tujuan, melainkan tidak tertulisnya tujuan. Ssebab seandainya pesantren

tidak memiliki tujuan, tentu aktivitas di lembaga pendidikan Islam yang

120
Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, 51.
121
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 3.

84

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


menimbulkan penilaian kontroversial ini tidak mempunyai bentuk yang

kongkret.

Demikian juga Mastuhu 122 sebenarnya mengakui bahwa dalam

proses pertumbuhan pesantren, ternyata tampak adanya unsur-unsur sistem

pendidikan pesantren, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Aktor atau pelaku, kiai, ustadh, Santri dan Pengurus.

b. Sarana perangkat keras; Masjid, rumah kiai, rumah dan asrama

ustadh, pondok atau asrama santri, gedung sekolah atau madrasah,

tanah untuk olah raga, pertanian atau peternakan, empang, makam

dan lain sebagainya.

c. Sarana perangkat lunak. Tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata

tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, cara

pengajaran (sorogan, bandongan dan halaqah), keterampilan, pusat

pengembangan masyarakat, dan alat-alat pendidikan lainnya.

Kelengkapan unsur-unsur tersebut berbeda di antara pesantren

yang satu dan pesantren yang lain. Ada pesantren yang secara lengkap dan

jumlah besar memiliki unsur-unsur tersebut, dan ada pesantren yang hanya

memiliki unsur-unsur tersebut dalam jumlah kecil dan tidak lengkap.

d. Sistem Pendidikan Pesantren

Pada awal berdirinya, pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran di

pesantren pada umumnya diberikan dengan cara non klasikal di mana

seorang kiai mengajar santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam

bahasa Arab oleh ulama-ulama besar dari abad pertengahan (abad ke 12

122
Mastuhu, Dinamika Sistem, 25.

85

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


s/d abad 16). Santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam

pesantren. Seiring perjalanan waktu dan perkembangan ilmu dan

teknologi, pesantren membuka diri dan dapat menerima perubahan-

perubahan dalam melaksanakan misinya terutama dalam hal kemajuan

proses pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.


123
Menurut Sarijo, Ciri khusus pesantren adalah adanya

kepemimpinan kharismatik dan suasana kegamaan yang mendalam, dan

lembaga pendidikan Islam yang memberikan pendidikan dan pengajaran

agama Islam dengan sistem bandongan,124 sorogan125 dan wetonan126.


127
Sedangkan A. mukti Ali, sebagaimana dikutip Soebahar

membedakan unsur-unsur pesantren menjadi dua segi, yaitu segi fisik dan

segi non-fisik. Segi fisik terdiri dari: (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik,

guru, dan panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa, (c) masjid

sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan,

dan (d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Adapun yang terkait

dengan komponen non-fisik, adalah pengajian (pengajaran) agama.

123 123
Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta;Dharma Bhakti, 1979), 9.
124
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan. Sanrti
mendengarkan guru yang membaca, menterjemahkan, menerangkan atau mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-
catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Zamakhsyari
Dhofir, Tradisi Pesantren, 28.
125
Sistem pembelajaran individual dalam pendidikan Islam tradisional disebut sistem sorogan yang
diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur’an.
Metode pembelajarn dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri membaca kitab di
hadapan kiai. Lihat: Ibid. Dalam metode ini santri yang pandai mengajukan sebuah kitab kepada
kiai untuk dibaca di hadapan kiai. Metode sorogan ini terutama dilakukan oleh santri-santri khusus
yang memilki kepandaian lebih. Lihat: Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren
Tebuireng (Malang: Kalimasahada, 1993), 38.
126
Metode pembelajaran wetonan, dilaksanakan dengan jalan kiai membaca suatu kitab dalam
waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan
kiai. Dalam metode semacam ini tidak mengenal absensi. Artinya, santri boleh datang boleh tidak,
dan tidak ada ujian. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 28.
127
Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan
Sistem Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2013), 37.

86

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


e. Tipologi Pesantren

Dalam perkembangannya sampai saat ini, tipologi pesantren

setidaknya terdapat dua kelompok. Pertama, tipologi pesantren

berdasarkan elemen yang dimiliki pesantren. Kedua, tipologi pesantren

berdasarkan pada lembaga pendidikan yang diselenggarakannya.128

Dengan mendasarkan kepada elemen yang dimiliki, menurut

Ziemek peasantren dapat dikategorikan menjadi lima tipelogi, yaitu: tipe

A, B, C, D, dan E.129

1) Pesantren bertipe A: adalah pesantren yang memiiki sarana sangat

terbatas., yaitu masjid, dan rumah kiai.130 Jenis atau tipe ini khusus

diperuntukkan bagi para santri yang ingin mengamalkan imu

tasawuf. Disini ilmu tasawuf tidak diletakkan pada posisi pada

bidang sebagai kajian (tasawwuf falsafi), melainkan diposisikan


131
sebagai bahan yang harus diamalkan (tasawwuf amali).

Pesantren tidak memiliki pondok atau asrama, para santri yang

belajar harus tinggal di rumah kiai atau menyebar di desa-desa

yang ada di sekitar pesantren. Para santri yang demikian ini disebut

santri kalong, yang mengikuti pengajaran di pesantren secara

wetonan, dimana mereka datang berduyun-duyun ke pesantren

pada waktu tertentu untuk mengikuti pengajaran.

128
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), 24.
129
Manfred Ziemek, Pesantren, 104.
130
Ibid.
131
Lihat: Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum” dalam Said Aqiel
Siradj, (ed.), Pesantren Masa depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 230.

87

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


2) Pesantren bertipe B: yaitu pesantren yang memiliki sarana lebih

lengkap dari tipe A, yaitu masjid, rumah kiai, dan pondok atau

asrama.132 Jika pada tipe A santri mukim menetap di rumah kiai,

maka pada tipe B santri mukim bertempat di asrama yang terpisah

dengan rumah kiai. Dan tipe ini telah memiliki 5 komponen utama,

yaitu masjid, asrama, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri

dan kiai.133

3) Pesantren bertipe C: memiiki 4 sarana penting untuk kegiatan

pendidikan, yaitu: masjid, rumah kiai, pondok dan madrasah.

Pesantren tipe ini dapat dikategorikan modern dengan adanya

lembaga madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu

sekuler. Pesantren pada tipe ini telah berkembang dan

menyelenggarakan sistem pendidikan klasikal baik pendidikan

umum maupun pendidikan agama yang lazim disebut madrasah.

4) Pesantren bertipe D: pesantren dengan tipe ini mempunyai 3 ciri,

yaitu: (1) memiliki 5 komponen utama pesantren, (2) memiliki

madrasah, dan (3) memiliki program keterampilan.134

5) Pesantren bertipe E: pesantren mempunyai 5 ciri, yaitu: (1)

memiliki 5 komponen utama pesantren, (2) memiliki madrasah, (3)

memiliki program keterampilan, (4) memiliki sekolah umum, dan

(5) memiliki perguruan tinggi.135 Tipe pesantren yang kelima ini

132
Manfred Ziemek, Pesantren, 104.
133
Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren Telaah Terhadap Kurikulum
Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 176.
134
Lihat: Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Aternatif Masa Depan (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), 87.
135
Manfred Ziemek, Pesantren, 107.

88

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


telah berkembang dan bisa disebut sebagai pondok pesantren

modern. Pesantren yang memiliki komponen pesantren klasik yang

dilengkapi dengan sekolah formal mulai tngkat SD sampai

Unversitas.

Sedangkan Dhofier,136 tentang tipologi pesantren dewasa ini secara

garis besar terbagi menjadi dua kelompok. Pertama. Pesantren Salafi yang

tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti

pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan

sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk

lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Masih cukup

besar jumlah pesantren yang mengikuti pola ini, yaitu pesantren Lirboyo

dan Ploso di Kediri, Pesantren Maslakul Huda di Pati, dan Pesantren

Tremas di Pacitan. Kedua, pesantren khalafi yang memasukkan pelajaran-

pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan, atau

membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Pondok

Pesantren Gontor tidak mengajarkan lagi kitab-kitab Islam klasik.

Pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng dan Rejoso di Jombang telah

membuka SMP dan SMA dan Universitas, dan sementara itu keduanya

tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.


137
Sedangkan Nasir, mengklasifikasikan pesantren atas dasar

tingkat keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen suatu

pesantren, maka terdapat lima tipologi pesantren, yaitu:

136
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 41-42.
137
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Di Tengah Arus
Perubahan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 87-88.

89

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


1. Pondok Pesantren Salaf/Klasik: yaitu pondok pesantren yang di

dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (wetonan dan sorogan),

dan sistem klasikal (madrasah) salaf.

2. Pondok Pesantren Semi Berkembang; yaitu pondok pesantren yang

terdapat sistem pendidkan salaf (wetonan dan sorogan), dan sistem

klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10%

umum.

3. Pondok Pesantren Berkembang; yaitu pondok pesantren seperti

semi berkembang, dan sudah lebih bervariasi dalam bidang

kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30% umum. Disamping itu

diselenggarakan madrasah SKB Tiga Menteri dengan penambahan

diniyah.

4. Pondok Pesantren Khalaf/Modern: yaitu seperti bentuk pondok

pesantren berkembang, dan sudah lebih lengkap lembaga

pendidikan yang ada di dalamnya, antara lain diselenggarakannya

sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah (praktek

membaca kitab salaf), perguruan tinggi (baik umum maupun

agama), bentuk koperasi dan dilengkapi dengan takhasus (bahasa

Arab dan Inggris).

5. Pondok Pesantren Ideal: yaitu sebagaimana bentuk pondok

pesantren modern, dengan lembaga pendidikan yang lebih lengkap,

terutama bidang keterampilan yang meliputi pertanian, teknik,

perikanan, perbankan dan benar-benar memperhatikan kualitasnya

dengan tidak menggeser ciri khusus kepesantrenannya yang masih

90

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


relevan dengan kebutuhan masyarakat/perkembangan zaman.

Dengan adanya bentuk tersebut diharapkan alumni pondok

pesantren benar-benar berpredikat khalifah fil ardli.

Memperhatikan berbagai corak dalam pengklasifikasian tentang

tipologi pesantren, sesungguhnya peran dan fungsi kiailah yang sangat

menentukan, karena dalam dunia pesantren kedudukan kiai sangat tinggi

dan strategis. Hal ini dapat dilihat dari kekuasaan dan kewenangan kiai

yang mutlak dalam kehidupan di lingkungan pesantren.

Dalam proses pendidikan di pesantren, kiai sebagai pimpinan

tertinggi memiliki otoritas atau kewenangan menentukan kebijakan yang

mewarnai dan menentukan tipologi sebuah pesantren. Sehingga menurut

Qomar,138 perbedaan pesantren tradisional dengan pesantren modern dapat

diidentifikasi dari perspektif manajerialnya. Pesantren modern sudah

dikelola secara rapi dan sistematis dengan mengikuti kaidah-kaidah

manajerial 139 yang umum. Sementara itu, pesantren tradisional berjalan

secara alami tanpa berupaya mengelola secara efektif.140

138
Mujamil Qomar, Strategi Baru, 58.
139
Kaidah-kaidah manajemen adalah proses tindakan yang meliputi perencanaan (planning),
mencakup penetapan tujuan, standar, penentuan aturan-prosedur, pembuatan rencana dan prediksi
yang akan terjadi. Pengorganisasian (organizing), yaitu pendelegasian, sistem komunikasi dan
koordnasi kerja yang solid dan terorgansir. Penggerakan (actuating), yakni pimpinan berusaha
menjadikan organisasi bergerak secara aktif dan dnamis. Dan pengawasan (controlling), yaitu
fungsi pengendalian atau evaluasi, agar jalan organisasi sesuai rencana baik arah dan metodenya.
Lihat: Moh. Ali Aziz “Makna Manajemen dan Komunikasi bagi Pengembangan Pesantren” dalam
A. Halim, dkk. (ed.), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 71-72.
140
Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan
tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill,
maupun technical skil secara terpadu. Akibatnya tidak ada perencanaan yang matang, distribusi
kekuasaan dan kewenangan yang baik, dan sebagainya. Tradisi ini merupakan salah satu
kelemahan peasantren meskipun dalam batas-batas tertentu dapat menumbuhkan kelebihan. Dalam
perspektif manajerial, landasan tradisi dalam mengelola suatu lembaga, termasuk pesantren
menyebabkan produk pengelolaan itu asal jadi, tidak memiliki fokus strategi yang terarah,
dominasi personal terlalu besar, dan cenderung eksklusif dalam pengembangannya. Lihat:
Mujamil Qomar, Strategi Baru, 59.

91

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Apapun tipologi yang mewarnai sebuah pesantren, menurut Nur

Syam,141 bahwa di dalam sejarahnya, pesantren telah memiliki peran yang

sangat besar di dalam pengembangan Sumber Daya Manusia. Pesantren

telah menjadi center of excellence bagi pengembangan SDM yang

memiliki basis moralitas di dalam kehidupan sosial. Tidak terhitung

jumlah alumni pesantren yang berhasil menjadi pemimpin baik lokal

maupun nasional.

f. Kepemimpinan Pesantren

Kekuasaan dan kewenangan kiai dalam pesantren menurut

Dhofier142 nyaris mutlak. Pada umumnya santri menganggap kiai adalah

pemilik, guru, pemimpin dan penguasa tunggal dalam pesantrennya.

Bahkan kekuasaan dan kewenangan kiai terhadap masyarakat sekitar

pesantren yang berwujud pengaruh dan peranan dalam mobilisasi

masyarakat. Ia memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman terhadap santri-

santri yang melanggar ketentuan-ketentuan titahnya menurut kaidah-

kaidah normatif yang mentradisi di kalangan pesantren143

Namun demikian menurut Effendi, 144 kekuasaan kiai tidak bisa

langsung dihubungkan dengan perilaku otoriter dengan kekuasaan,

kesewenang wenangan, penindasan dan pengerahan massa rakyat untuk

kepentingan diri dan keluarga seperti pola kepemimpinan dan

kebijaksanaan hampir setiap raja tempo dulu.

141
Nur Syam, Transisi Pembaruan Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan (Sidoarjo: LEPKISS,
2008), 196.
142
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 58.
143
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 31.
144
Bisri Efendi, An Nuqayah; Gerak Transformasi Soaial Di Madura (t.t. P3M Perhimpunan
Pengembangan Pesantren, 1990), 1.

92

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Para kiai besar maupun kecil, sepanjang dilihat dan diketahui para

ahli dan pengamat masalah-masalah sosial dari berbagai kalangan, tak

satupun dijumpai kiai yang memiliki kecenderungan apalagi perlakuan

otoriter dalam menggerakkan roda kekuasaan dan kewenangannya

terhadap santri dan atau masyarakat sekitar.

Melihat posisi kiai yang sangat berkuasa dan serba menentukan

kebijakan-kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan itu menurut

Dirdjosanjoto145 akhirnya justru cenderung menyumbangkan terbangunnya

otoritas mutlak.

Kiai memiliki kedudukan ganda yakni: sebagai pengasuh sekaligus

sebagai pemilik pesantren. Secara kultural kiai sama dengan kedudukan

bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau

Jawa.146 Maka tradisi feodalisme ini sebenarnya telah memasuki bahkan

tumbuh dan berkembang subur di pesantren, karena kenyataan yang terjadi

justru kiai sendiri yang mempraktekkannya, yang kemudian diikuti oleh

pada ustadz dan santrinya. Misalnya kebiasaan cium tangan dari santri

dengan jumlah harapan berkah kepada kiai, betapapun hal ini tidak bisa

begitu saja dipisahkan dari budaya feodalisme yang tumbuh subur

sebagaimana di kalangan istana kerajaan. Dengan demikian akhirnya

tradisi feodalisme terasa sulit untuk dihapus di dalam pesantren sendiri.147

145
Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa (Yogyakarta:
LKiS, 1999), 156.
146
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (t.tp.: CV. Dharma Bhakti, t.t), 20.
147
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 32.

93

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Berbeda dengan pendapat Dirdjosanjoto, dalam hal budaya yang

berlaku di pesantren menurut Bawani,148 kiai adalah seorang tokoh yang

berwibawa, baik di hadapan para ustadh yang menjadi pelaksana

kebijakannya, di hadapan santri, bahkan juga di hadapan isteri dan anak-

anaknya. Ketaatan mereka yang penuh dan tulus kepada kiai, sering bukan

karena paksaan, tetapi didasari oleh motivasi kesopanan, mengharapkan

barakah, dan tentu saja demi memenuhi ajaran Islam yang menyuruh

hormat terhadap guru dan orang tua pada umumnya.

Sebagaimana yang disampaikan Mas’ud,149 bahwa ciuman tangan

simbolik ini tentu sangat bias jika dipandang sebagai gejala feodalisme

dalam kacamata sarjana modern. Komunitas pesantren menganggap

ciuman terhadap tangan seorang ‘alim tersebut akan mendatangkan

barakah, dan sebagai bagian dari implementasi sunnah.

Bahkan Tafsir 150 menyatakan bahwa kekuatan kiai (dan ulama)

disamping karena kredibilitasnya juga karena kemampuannya menjaga

pranata sosial. Pranata di sini diartikan peraturan-peraturan, tradisi-tradisi

yang hidup di masyarakat. Misalnya tradisi mencium tangan, tradisi

karomah pada kiai.

Kekuatan kiai akan hilang bila pranata itu tidak dilestarikan.

Mungkin pranata-pranata itu dapat dipersoalkan (debatable), tetapi bila

pranata-pranata penting itu hilang kitapun harus memikul konsekuensinya.

Sebagian dari konsekuensi itu adalah menurunnya pengaruh kiai.

148
Imam Bawani, Tradisionalisme, 91.
149
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren
(Jakarta: Kencana, 2006). 15.
150
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 195.

94

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Menurunnya pengaruh kiai berarti akan mengurangi peran kiai dalam

menuntun masyarakatnya, dan ini pada gilirannya akan menurunkan peran

kiai dalam pembangunan bangsa. Agaknya keinginan untuk mengubah

beberapa pranata yang hidup di pesantren sebaiknya melalui pertimbangan

yang sangat hati-hati.

2. Pesantren dan Pengembangan Masyarakat

Menjamurnya pesantren sekarang ini membuktikan betapa

besarnya peranan pesantren dalam upaya menumbuhkembangkan sumber

daya manusia yang dilandasi iman dan taqwa, manusia yang jujur, adil,

percaya diri, bertanggung jawab, manusia yang memiliki dedikasi,

keikhlasan dalam perjuangan li i’lậi kalimậtillậh. Hal tersebut

mencerminkan bahwa ajaran Islam yang bersifat universal akan lebih

unggul dan mampu mengendalikan perubahan zaman bagi generasi

berikutnya. Ajaran yang bersumber pada hukum tertulis tertinggi Islam

(al-Qur’an dan Hadith) menjadi pedoman untuk mewujudkan masyarakat

yang maju, mandiri, dan diberkahi Allah.

Pesantren mempunyai peran dan fungsi yang cukup berat dalam

pengembangan masyarakat. Pesantren memiliki pola tersendiri, sebab

harus berhadapan dengan berbagai tantangan dengan masyarakat global

maupun tantangan zaman yang setiap saat mesti dapat berubah sebagai

tanda kehidupan yang dinamis.

Dinamika pesantren tidaklah sama dengan lembaga-lembaga lain.

Pesantren bukanlah sekedar sebuah lembaga pendidikan yang bertugas

mencerdaskan kehidupan bangsa saja, lebih dari itu adalah sebuah

95

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


lembaga tempat penggemblengan calon-calon pemimpin umat. Hal inilah
151
yang tidak dimiliki oleh lembaga selain pesantren. Azra dalam

merumuskan peran pesantren terhadap pengembangan masyarakat

setidaknya memainkan tiga peranan, yaitu Transmission of knowledge

(penyampaian ilmu-ilmu keislaman), maintenance of Islamic tradition

(memelihara tradisi Islam), reproduction of ulama (pembinaan calon-calon

ulama).

Mencermati rumusan ini, menurut Arifi 152 setidaknya ada tiga

karakteristik yang dikenali sebagai basis utama kultur pesantren. Pertama,

pesantren sebagai lembaga tradisionalisme. Tradisionalisme dalam

konteks pesantren harus dipahami sebagai upaya mencontoh tauladan yang

dilakukan oleh para ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan

ajaran Islam. Kedua, pesantren sebagai pertahanan budaya (cultural

resistance). Mempertahankan budaya dengan ciri tetap bersandar pada

ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang

berabad-abad, antara lain kitab klasik atau kitab kuning yang selalu diolah

dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi. Semangat ini

menjadikan pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dunia luar. 153

Ketiga, pesantren sebagai pendidikan keagamaan. Yaitu pendidikan

pesantren yang didasarkan atas dialog yang terus menerus antara

kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai

kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif.

151
Azyumardi Azra, Essai-essai Intelektual Muslim Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998), 89.
152
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam
di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras 2010), 80-84.
153
Lihat: Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994),26.

96

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Demikian pula sebagaimana disampaikan Ali154 bahwa daya tahan

pesantren disamping terletak pada komitmennya terhadap pendidikan

Islam dan moral yang berorientasi pada kitab kuning, juga terletak pada

kemauan pesantren untuk merespon tuntutan dan perkembangan

masyarakat.

Rahim, 155 menegaskan bahwa dewasa ini pesantren banyak andil

dalam mengisi pembangunan nasional baik formal maupun non-formal.

Hal ini dapat dilihat pada keterlibatan pesantren dalam menjalankan roda

pembangunan. Pesantren dapat dikategorikan disamping sebagai lembaga

alternatif tempat penggodogan kader-kader bangsa yang berpendirian dan

berbudi luhur, dan sebagai asset untuk menciptakan pemimpin-pemimpin

masa depan yang tangguh serta tahan uji, salah satu khazanah pendidikan

yang penting diapresiasi adalah bahwa budaya pendidikan pesantren

mampu melahirkan sistem pendidikan yang secara terus menerus mampu

bertahan di tengah masyarakat.

Pada era pembangunan yang menghadapi proses globalisasi yang

semakin deras, menurut Tafsir, 156 bukan mustahil para kiai itu dapat

memberikan andil yang amat berharga. Kekuatan kepemimpinan kiai

dapat mempercepat proses pembangunan terutama di pedesaan. Pesan-

pesan pemerintah sebagai perancang, pelaksana dan pengawas

pembangunan seringkali cukup efektif dipahami masyarakat bila pesan itu

dibantu oleh para kiai pesantren, dan kadang-kadang lebh efektif dari pada

154
Abdullah Ali, Pendidikan Islam Multikultural, 191.
155
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),
158.
156
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 195.

97

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


disampaikan oleh pimpinan formal. Hal yang demikian ini kemungkinan

karena pesantren lebih dekat sehingga dapat mengetahui seluk beluk

masyarakat yang berada di lapisan bawah.

Disamping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama,

pesantren melengkapi kurikulum yang menyentuh dan berkait erat dengan

persoalan dan kebutuhan kekinian umat.157 Dalam kenyataannya menurut

Fadjar,158 banyak pesantren yang telah melakukan perubahan baik secara

struktural maupun kultural.

Munculnya banyak pesantren dengan klaim pesantren modern,

yang bisa saja terkesan superfisial, bagaimanapun telah menjadi petunjuk

penting bahwa pesantren tidak selamanya memperlihatkan perkembangan

yang statis.

Kiai juga berperan sebagai penyaring berbagai budaya yang datang

dan kemudian menentukan yang mana yang bisa diakomodasi dan mana

yang tidak. Peran kiai sebagai mediator yaitu sebagai penghubung antara

kepentingan atasan dan bawahan, sehingga kiai hidup dalam dua kutub

yang menyambungkan kepentingan keduanya dalam institusi

kekiaiannya.159

Dengan melihat kelebihan yang dimilikinya menurut Madjid, 160

bukan berarti pesantren lepas dari kelemahan. Adanya pengaruh semangat

157
Wahid Khozin, “Pondok Pesantren Salafiyah Dan Penuntasan Wajib Belajar” dalam Edukasi
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama Dan
Keagamaan Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Volume 3,
Nomor 4 (Oktober-Desember 2005), 48-49.
158
Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi Dan Pesantren” dalam Mudjia Rahardjo, (ed.),
Quo Vadis Pendidikan Islam Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan
(Malang: UIN-Malang Press, 2006), xxi-xxii.
159
Lihat:Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 196.
160
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, 6-7.

98

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


pribadi para pendirinya terhadap pesantren itu memang tidak bisa

dihindarkan, dan ini bukanlah kesalahan mereka. Pendiri itu tidak salah

kalau saja hambatan pada perkembangan pesantren tidak timbul dari

dominasi pengaruh ini, sebab seorang pribadi tentu tidak lebih dari

kapasitas-kapasitas fisik maupun mentalnya.

Menurut Fadjar 161 terdapat beberapa analisa yang menyangkut

realitas yang ada di pesantren: Pertama, kepemimpinan pesantren masih

kukuh terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkis yang

berpusat pada satu orang kiai yang melahirkan implikasi manajemen

otoritarianistik. Pembaharuan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan, dan

biasanya berdampak kurang prospektif bagi kesinambungan pesantren,

terutama ketika kiai meninggal dunia. Kedua, adalah kelemahan di bidang

metodologi. Pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi

keilmuan klasik. Namun karena kurangnya improvisasi metodologi maka

proses transmisi itu hanya melahirkan penumpukan keilmuan. Ketiga,

pesantren kurang mampu merespon dan mengimbangi mendifinisikan dan

memposisikan dirinya di tengah realitas sosial yang saat ini sedang

mengalami perubahan yang demikian cepat. Dalam konteks perubahan ini,

pesantren menghadapi dilema antara keharusan mempertahankan jati

dirinya dengan kebutuhan menyerap budaya baru yang datang dari luar

pesantren.

Oleh karena itu langkah yang paling arif dalam hal ini adalah

bagaimana mengembangkan pesantren sesuai dengan dinamika dan

161
Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi, xxiii.

99

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kebutuhan masyarakat global. Yaitu sumber daya umat muslim yang tidak

gagap sains-teknologi, dengan tetap mempertahankan kekhasan pesantren

sebagai lembaga pendidikan Islam yang menitikberatkan pada pembinaan

akhlak masyarakat.162

Di sisi lain ternyata kehadiran pesantren (yang dahulu disebut

tradisional), kini semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk kelas

menengah atas. Hal ini membuktikan bahwa lembaga ini mampu

memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anak-anaknya.163

Oleh karena itu agaknya agar tetap selalu mendapatkan perhatian,

dan tetap diupayakan bagaimana pesantren tetap memiliki kharisma

tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat masih menganggap

bahwa pesantren mampu mencetak kader ulama dan dai-dai kondang,

maka para kiai sangat besar andilnya dalam mensukseskan pembangunan

nasional. Para kiai (pesantren) telah membuktikan tekad dan semangat

mencintai tanah air adalah sebagian dari iman yang dimanifestasikan

dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Dan tentu ini adalah merupakan tugas

umat Islam secara keseluruhan.

3. Pergeseran Tradisi Pesantren

Abdurrahman Wahid telah mempopulerkan pesantren sebagai sub-

kultur 164 bangsa Indonesia, yang oleh Martin Van Bruinessen 165 dinilai

sebagai salah satu tradisi agung (great tradition) maupun wahana

transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam. Pesantren berperan

162
Babun Suharto, Dari Pesantren, 31.
163
A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan, 125.
164
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai, 10.
165
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 17.

100

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


sebagai lembaga yang mengembangkan nilai-nilai moral spiritual,

informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat dan

tempat pemupukan solidaritas umat.

Pada masa sekarang secara umum masyarakat Indonesia cenderung

bergerak ke arah modernisasi, meskipun masih dalam proses atau masa

transisi. Fenomena ini ditandai oleh beberapa hal antara lain seperti setiap

pekerjaan membutuhkan tenaga-tenaga professional, pola kehidupan

konsumtif semakin tinggi, kompetisi di segala bidang semakin ketat dan

konsep individualistik semakin mencolok.166

Globalisasi dan modernisasi yang merambah pada setiap aspek

kehidupan telah mempengaruhi dinamika lokal. Dinamika lokal itu

menurut Muzakki, 167 minimal menyangkut dua aspek perubahan pada

ikatan sosial (social affinity) yang terkait sumber daya material dan aspek

keyakinan serta orientasi keagamaan (religious conviction and orientation)

yang terkait sumber daya intelektual (intellectusl resources).

Menghadapi modernisasi memerlukan pengarahan dan rekayasa,

karena kenyatannya modernisasi membawa dampak pada perubahan

sosial, baik dalam hubungannya dengan cara berpikir dan bersikap,

maupun dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang sebelumnya dianggap

mapan. Dalam kecenderungan demikian, agama sebagai sistem nilai yang

telah mapan, seringkali dianggap sebagai penghambat modernisasi.168

166
Sudjito S. Transformasi Sosal Menuju Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), 15.
167
Akh. Muzakki, “Pasar Pendidikan Islam:Tantangan PTAI di Era Global” dalam Perta Refleksi
Pemikiran Mutu Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Derektorat Jenderal
Penddikan Islam Departemen Agama RI, No. 1 (tahun 2006), 60.
168
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya, 76.

101

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Kenyataan yang ada bahwa pesantren-pesantren membuka diri

terhadap pengaruh luar semakin bertambah, seperti yang terjadi pada

banyak pesantren telah memasukkan sistem pendidikan umum ke dalam

pesantren, artinya pesantren juga mengalami proses modernisasi.

Tantangan bagi pesantren dewasa ini menurut para ahli semakin

lama semakin banyak, kompleks dan mendesak. Hal ini antara lain

disebabkan oleh semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi (iptek). Tantangan itu menyebabkan terjadinya pergeseran nilai

yang menyangkut pesantren, baik nilai sumber belajar maupun nilai yang

berkaitan dengan proses pengelolaan pendidikan (manajement).

Awal abad kedua puluh adalah awal masuknya ide-ide pembaruan

pemikiran Islam di Indonesia, termasuk pemikiran dalam bidang

kependidikan. Ide-ide pembaruan itu dibawa oleh pelajar Indonesia yang

pulang dari Timur Tengah (Makkah, Madinah, Kairo). Sejak masuknya

ide-ide pembaruan tersebut ke Indonesia, maka secara bertahap terjadi

perkembangan dalam dunia pendidikan, khususnya pesantren.169

Dalam situasi demikian, apakah pesantren telah mempersiapkan

diri untuk mengantisipasi persoalan-persoalan tersebut, dan apakah

eksistensi pesantren dapat fungsional dalam rangka transformasi nilai-nilai

kemajuan, sebab dalam kehidupan modern tidak cukup hanya dengan

berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian (skill)

atau keterampilan yang relevan dan sinergis dengan kebutuhan dunia

kerja.170

169
Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan, 125
170
Ibid, 128.

102

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Seperti apa yang digambarkan Arifi 171 bahwa dalam perjalanan

panjang sejarah pesantren mengalami pasang surut perkembangan, baik

dari sisi kualitas keilmuan maupun perkembangan pendidikan pesantren.

Hal ini sangat dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya adalah faktor

kepemimpinan kharismatik pesantren, disamping adanya tantangan dunia

luar pesantren yang terus berkembang dengan cepat, misalnya arus

modernisasi di berbagai sektor kehidupan yang semakin menantang.

Semangat demokratisasi saat ini telah mulai mewarnai jalannya

kepemimpinan di pesantren, dan sudah barang tentu membawa dampak

yang konstruktif. Terbukti, semakin banyak pesantren yang bersedia

membuka diri untuk merespon berbagai macam inovasi yang muncul dari

proses transformasi di dunia pendidikan. 172

Sebagaimana ditulis Kuntowijoyo,173 bahwa sejak awal abad dua

puluh pesantren memperlihatkan perubahan dengan menyerap sistem

madrasah. Perubahan ini merupakan salah satu bentuk jawaban pesantren

terhadap tuntutan zaman yang menghendaki agar alumninya tidak hanya

dibekali dengan ilmu agama, tetapi juga dengan illmu umum. Dengan dua

bekal ini mereka diharapkan dapat memainkan peran-peran sosial yang

lebih luas.

Seperti yang dituturkan Zulfikri174 bahwa sampai saat ini pesantren

telah mengalami perkembangan luar biasa dengan corak yang sangat

171
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan, 105.
172
Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 69.
173
Kuntowjoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 252.
174
Zulfikri, “Modernisasi Pesantren: Pergeseran Tradisi Dan Pudarnya Kyai” dalam Edukasi
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama dan

103

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


beragam, bahkan beberapa pesantren telah muncul semacam kampus yang

memiliki berbagai kelengkapan fasilitas yang bisa mewadahi minat, bakat

dan potensi santri, tidak hanya dari segi akhkak, nilai, intelek, emosional

dan spiritualitas, tetapi juga atribut-atribut fisik dan materiil –bahkan

diantaranya sudah bertaraf internasional-. Dalam melestarikan ciri khas

dan keaslian pesantren, tetap menggunakan metode klasik yang sudah ada

seperti sorogan dan bandongan, disamping itu kebanyakan pesantren

mengadopsi sistem yang lebih moderat yaitu sistem klasikal formal

dengan kurikulum terpadu (kurikulum nasional dan lokal).

Diversifikasi model pesantren meskipun tetap bertahan dalam

format aslinya sebagai lembaga pengajaran kitab kuning, ada beberapa

pesantren yang membuka sekolah umum, pelatihan keterampilan, bahkan

perguruan tinggi, seperti Ngabar dan Gontor. Hal ini sebagai pertanda

telah muncul dinamika internal untuk mengakselerasikan diri pada orbit

kebutuhan riil dunia modern.175

Namun bagi Arrayyah176 timbul kehawatiran terhadap penyerapan

sistem madrasah ke dalam pesantren yang ternyata membawa perubahan.

Karena menurutnya perubahan yang timbul bukan hanya terbatas pada

segi kurikulum dan metode pembelajaran, tetapi perubahan yang

menimbulkan masalah lain dalam kaitannya dengan pembentukan tata

Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI Volume 5,
Nomor 2 (April – Juni, 2005), 77.
175
Sugihanto, “Format Pendidikan Keterampilan Pada Beberapa Pondok Pesantren Di Kabupaten
Ponorogo” dalam Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam STAIN Ponorogo, Vol. 1 No. 1 (Januari,
2001), 12.
176
Hamdar Arrayyah, “Peran Pesantren Salafi dalam Melestarikan Paham Kagamaan (Pondok
Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap)” dalam Harmoni Jurnal Multkultural & Multireligius.
Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan Departemen agama
RI Volume IV Nomor13 (Januari-Maret 2005), 59.

104

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


nilai di lingkungan pesantren. Misalnya perubahan kurikulum, dengan

memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren akan

mengakibatkan jumlah jam mata pelajaran agama berkurang. Pengurangan

jam pelajaran ini, akan dapat berimplikasi pada pendangkalan ilmu agama.

Disamping itu manajemen madrasah yang bercorak kolektif,

mengharuskan adanya musyawarah dan rapat untuk mengambil suatu

keputusan, hal yang demikian ini menyebabkan berkurangnya peran kiai

sebagai figur sentral dalam pesantren.

Disamping itu beberapa pesantren sudah mulai berusaha merubah

gaya kepemimpinan pesantren dari karismatik ke rasionalistik, dari

otoriter-peternalistik ke corak yang diplomatik-partisipatif. Contoh kasus,

kedudukan Dewan Kiai di Pesantren Tebuireng menjadi bagian atau salah

satu unit kerja satuan administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren,

sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di kalangan elit perantren

dan tidak terlalu terpusat kepada kiai.177

Kepemimpinan kolektif sangat berbeda dengan kepemimpinan

kharismatik. Dalam kepemimpinan kolektif dengan mendelegasikan

kekuasaan dan kewenangan menyebar kepada beberapa orang figure

anggota keluarga kiai berdasarkan spesifikasi bidang-bidang tertentu.

Kepemimpinan dengan pola semacam ini tentu saja tampak lebih fleksibel

dan lebih demokratis apabila dibandingkan dengan pola kepemimpinan

yang bercorak kharismatik.178

177
Ahmad AlFajri, “Pesantren : Dari Peran Sejarah Hingga Tantangan Masa Depan” dalam Jurnal
Diklat Tenaga Teknis Keagamaan Pusdiklat Tenaga Teknis keagamaan, vol. V. No.2, (Mei, 2008),
61.
178
Lihat: Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 69.

105

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Dalam kepemimpinan kolektif, setiap anggota berada dalam derajat

yang relatif sama dalam mengajukan pendapat, usulan, dan saran serta

berwenang penuh di dalam mengelola bidangnya masing-masing,

walaupun terkadang kedua pola tersebut masih menampakkan atau

memperlihatkan watak otoriter-paternalistik.179

C. Kepemimpinan dan Kuasa Perempuan di Pesantren

1. Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Masalah kepemimpinan ternyata merupakan masalah yang sangat

krusial dan merupakan salah satu hal yang sangat penting, sehingga mendapat

perhatian yang sangat besar.

Kenyataan sejarah bahwa sepeninggal Rasulullah (wafat), yang

menjadi perdebatan dan konflik pertama adalah tentang kepemimpinan, yakni

siapa yang berhak memimpin untuk menggantikan kepemimpinan

Rasululah.180

179
Meskipun kepemimpinan di pesantren bergeser dari pola kepemimpinan yang sebelumnya
cenderung bercorak kharismatik, menuju kepemimpinan kolektif namun masih tetap cenderung
memperlihatkan watak otoriter-paternalistik, hal demikian ini menurut Pradjarta Dirdjosanjoto
sekurang-kurangnya disebabkan oleh lima hal sebagai berikut: (1) Karena sumber kewibawaan
moral yang muncul dari suprioritasnya di bidang keagamaan. Kiai bukanlah sekedar sumber
pengetahuan agama, melainkan juga pembimbing spiritual yang tanpa pertolongaannya para santri
akan hidup dalam kesesatan. (2) Kiai serngkali tidak hanya seorang guru atau pemimpin pesantren,
namun juga pemilik. Kedudukannya memberi otoritas yang sangat kuat di lingkungan
pesantrennya. (3) Jaringan antar kiai yang kebanyakan terbentuk oleh hubungan perkawinan yang
bersifat endogamus (perkawinan yang dibatasi oleh kelompok tertentu). (4) Relasinya dengan
pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan di luar juga merupakan basis kekuasaan sekelompok kiai
(5) Kualitas pribadinya seperti penguasaan terhadap hukum Islam dan kitab-kitab tertentu, garis
keturunan, kharisma, ataupun daya tarik yang bersifat pribadi (perawakan gagah dan tampan,
ramah dan sebagainya). Lihat: Pradjarta Dirdjosanjoto, Memihara umat, 155-156. Lihat juga:
Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi (Yogyakarta:
LKPSM, 1998), 44.
180
Sebagaimana yang ditulis Lings, bahwa sejumlah orang Muhajirin berkumpul mengelilngi Abu
Bakr, sedangkan mayoritas orang Anshar berkumpul di balai pertemua Bani Sa’idah yang diketuai
Sa’d ibn ‘Ubaydah, mereka sedang memperdebatkan pelimpahan kekuasaan setelah Rasulullah
wafat. Umar mengajak Abu Bakar untuk pergi bersamanya ke ruang pertemuan, dan Abu
‘Ubaydah mengiringi mereka. Terjadilah perdebatan antara orang Anshar dan orang Muhajirin.
Menurut orang Anshar mereka yang berhak meneruskan kepemimpinan setelah Nabi wafat, karena
mereka sebagai penolong Allah dan pembela Islam, mereka menunjuk Sa’d sebagai pemimpin.

106

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Islam sebagai agama universal 181 memberikan aturan dan petunjuk

dalam segala sektor kehidupan manusia.182 Misalnya ketika dalam perjalanan,

Rasulullah menganjurkan untuk mengangkat seorang pemimpin. Sebagaimana

disampaikan dalam salah satu sabda beliau yaitu:


١٨٣
(‫ال اِ َذا َخ َر َج ثَ َالثَةٌ فِى َسفَ ٍر فَ ْليُ َؤ ﱢمرُوْ ا اَ َح ُدھُ ْم )رواه ابواداود‬
َ َ‫ض َى ﷲُ َع ْنھُ َما ق‬
ِ ‫ع َِن اب ِْن َس ِعي ٍد َواَبِ ْي ھُ َر ْي َرةَ َر‬

Dari Abu Said dari Abu Hurairah bahwa keduanya berkata,


Rasulullah bersabda, “Apabila tiga orang keluar bepergian,
hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin.” (HR.
Abu Dawud).

Hadith Nabi tersebut mengisyaratkan bahwa, pentingnya pemimpin

dalam satu aktifitas. Begitu pentingnya seorang pemimpin, sehingga

digambarkan dalam jumlah relatif kecilpun (tiga orang dalam perjalanan),

harus tetap menunjuk salah seorang diantaranya sebagai pemimpin yang

bertanggung jawab dalam suatu aktifitas (perjalanan).

Sedang Abu Bakr wakil dari orang Muhajirin mengajukan Umar dan Abu ‘Ubaidah untuk dipilih
salah seorang diantara keduanya. Argumentasi mereka bahwa umat Islam sudah tersebar di seluruh
jazirah Arab, dan bangsa Arab secara keseluruhan tidak akan menerima kekuasaan dari yang
bukan orang Quraisy. Suku Quraisy memiliki posisi khusus dan utama di antara mereka.
Perdebatan semakin sengit ketika orang Anshar mengajukan usul agar supaya kekuasaan dibagi
menjadi dua. Maka umar secara lantang berbicara “Hai kaum Anshar, tidaklah kalian tahu bahwa
Rasulullah memerintahkan abu Bakr untuk mengimami shalat?” “Kami tahu itu” jawab mereka.
Dengan alasan itu maka orang Anshar dan orang Muhajirin berbai’at tentang kepemimpinan Abu
Bakr, kecuali Sa’d yang tidak pernah mengakuinya sebagai khalifah dan akhirnya ia pindah ke
Syria. Lihat: Martin Lings (Abu Bakar Siraj al-Din), Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan
Sumber Klasik (Jakarta: Serambi, 2002), 535-536. lihat: Philip K. Hitti, History Of The Arabs
(Jakarta: Serambi, 2010), 222. Bandingkan dengan Abdurrahman Asy Syarqawi, Abdul Syukur
(Tarj.) Abu bakar Ash Shiddiq The Successor (Bandung:Sygma Publishing, 2010), 97-98.
Abdurrahman Asy Syarqawi, Abdul Syukur (Tarj.) Umar Bin Al Khathab The Conqueror
(Bandung:Sygma Publishing, 2010), 62-67.
181
Universalisme Islam atau keberlakuan ajaran Islam untuk semua orang dan untuk seluruh dunia,
merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Universalisme
Islam yang tergambar pada prinsip dan nilai dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Sifat dan
ciri-ciri ajaran Islam yang ditarik dan dipahami dari berbagai argumentasi keagamaan cukup
banyak, antara lain: 1) Rabbaniyah; 2) al-Syumul (keumuman); 3) al-Waqi’iyyah (berpijak pada
kenyataan obyektif manusia); dan lain-lain. Lihat: Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 213.
182
Lihat: al-Qur’an 16 (al-Nahl) : 89, yaitu:
َ َ‫َونَ ﱠز ۡلنَا َعلَ ۡيكَ ۡٱل ِك ٰت‬
َ‫ب ِت ۡب ٰيَ ٗنا لﱢ ُكلﱢ ش َۡي ٖء َوھ ُٗدى َو َر ۡح َم ٗة َوب ُۡش َر ٰى لِ ۡل ُم ۡسلِ ِمين‬
Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
183
Abỉ al-Ťayyỉb Muhammad Shamsi al-Haq al-‘Az}ỉm Ảbậdỉ, ‘Uwnu al-Ma’bủd Sharh Abỉ
Dậwud Jilid iv (Bairut:Dậru al Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 191.

107

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam, berdasarkan pada

firman Allah tentang kepemimpinan secara umum, yaitu dalam surat al-

Baqarah ayat 30:


ٰٓ ۡ
ۡ َ ‫َوإِ ۡذ قَا َل َربﱡ‬
ِ ‫ك لِل َملَئِ َك ِة إِنﱢي َجا ِعل فِي ٱألَ ۡر‬
…‫ض َخلِيفَة‬
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi"...184

Kata khalifah, menurut Quraish Shihab185 pada mulanya berarti yang

menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Kata

khalifah dalam arti yang menggantikan Allah, artinya adalah dalam

menegakkan kehendak-Nya. Dalam hal ini bukan karena Allah tidak mampu

atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan. Namun, Allah

bermaksud menguji manusia dengan memberi penghormatan dan wewenang

kepada manusia. Kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diberi tugas

untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberi

tugas dan wewenang. Perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak-

Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahannya.


186
Demikian pula menurut Hamka, bahwa sebagian penafsir

mengartikan khalifah adalah sebagai pengganti dari jenis makhluk yang telah

musnah sebangsa manusia juga sebelum Adam as., dan ada pula yang

mengartikan sebagai pengganti Allah. Dalam hal ini tidak berarti manusia

berkuasa dan memiliki kedudukan sebagaimana Allah, sebagaimana Abu

Bakar diberi gelar Khalifah Rasulullah, bukan berarti kedudukan Abu Bakar

184
Departemaen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2 (al-Baqarah : 30)
185
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbậh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2012), 173.
186
Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 167.

108

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


sama dengan Rasulullah, tetapi pengganti Rasululah dalam urusan
187
pemerintahan. Sebagaimana dalam al-Marộghỉ yang dimaksud ke-

khalifahan Adam as. di bumi adalah kedudukannya sebagai khalifah atau

wakil Allah SWT untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan

memakmurkan bumi serta memanfaatkan segala apa yang ada di bumi.

Al-Zamakhshary188 dalam Hasyiyah al- Şộwỉ ‘Alậ Tafsỉri al-Jalậlaini,

bahwa yang dimaksud kata khalifah bukan hanya berarti Adam as, seperti

yang dikemukakan oleh para mufassir. Menurut Imam al-Qurţuby, pendapat di

atas berasal (bersandar) dari pendapat Ibnu ‘Abbậs, Ibnu Mas'ủd dan semua ahli

takwil, walaupun pendapat terbut perlu untuk dikritisi. Menurut Al-Razi memang

banyak terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini., namun pendapat yang lebih

kuat adalah secara spesifik bukan Adam. Kalau yang dimaksud secara spesifik itu

Adam, maka pernyataan Malaikat tidaklah berarti .189

Demikian juga pendapat Quraish Shihab,190 dalam Tafsir al-Mishbậh

yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam as. dan anak cucunya.

Maka konsep kekhalifahan dalam Islam, perempuan sebagai hamba

Allah dan sebagai anak cucu Adam sebagaimana laki-laki berhak untuk

menjadi khalifah di muka bumi dan berhak untuk menempati suatu kedudukan

yang paling tinggi. Al-Qur’an sebagai konsep yang menentukan

“pengangkatan manusia sebagai khalifah” tidak ada petunjuk bahwa khalifah

187
Ahmad Mus{ţafa al-Marộghỉ, Tafsỉr al-Marộghỉ Juz I (Bairut, Dậru al-DFikr,tt.),
80.
188
Lihat: Ahmad al- Şộwỉ al- Maliki, Hasyiyah al- Şộwỉ ‘Alậ Tafsỉri al-Jalậlaini (Bairut: Dậrul
Fikr, 2012), 71.
189
Artinya tidak relevan dengan pernyataan Malaikat “ Mereka berkata, mengapa engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang mebuat kerusakan dan menumpahkan darah,.. surat
al-Baqarah, 30.
190
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbậh, 173

109

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, maka dalam hal ini berarti

penunjukkan khalifah mencakup laki-laki dan perempuan.

Dalam hadith Rasulullah yang lain tentang kepemimpinan ini bahwa

setiap orang laki-laki maupun perempuan adalah pemimpin baik terhadap

dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya, dan mempunyai

pertanggung jawaban atas kepemimpinan masing-masing. Dalam salah satu

hadith Rasulullah diriwayatkan:

‫ض َي ﱠ‬
ُ‫ﷲ‬ ِ ‫ﷲ ع َْن َع ْب ِد ﱠ‬
ِ ‫ﷲ إب ِْن ُع َم َر َر‬ ِ ‫ي قَا َل أَ ْخبَ َر ِني َسا ِل ُم إبْنُ َع ْب ِد ﱠ‬ ‫ان أَ ْخ َب َرنَا ُش َعيْبٌ ع َْن ﱡ‬
‫الز ْھ ِر ﱢ‬ ِ ‫َح ﱠدثَنَا أَبُو ْاليَ َم‬

‫اع‬ ٍ ‫ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم يَقُو ُل ُكلﱡ ُك ْم َر‬


ِ ْ َ‫اع َو َم ْسئُو ٌل ع َْن َر ِعيﱠتِ ِه ف‬
ٍ ‫اإل َما ُم َر‬ ‫صلﱠى ﱠ‬ ‫َع ْنھُ َما أَنﱠهُ َس ِم َع َرسُو َل ﱠ‬
َ ِ‫ﷲ‬

ٌ‫ت َزوْ ِجھَا َرا ِعيَة‬


ِ ‫اع َوھُ َو َم ْسئُو ٌل ع َْن َر ِعيﱠتِ ِه َو ْال َمرْ أَةُ فِي بَ ْي‬
ٍ ‫َو َم ْسئُو ٌل ع َْن َر ِعيﱠتِ ِه َوال ﱠر ُج ُل فِي أَ ْھلِ ِه َر‬
١٩١
.‫َو ِھ َي َم ْسئُولَةٌ ع َْن َر ِعيﱠتِھَا‬

“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan


kepada kami Syu'aib dari Az-Zuhriy berkata, telah menceritakan
kepadaku Salim bin 'Abdullah dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu
'anhuma bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala
Negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas
rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.
Seorang isteri di dalam rumah tangga suaminya adalah pemimpin dia
akan diminta pertanggung jawaban atas siapa yang dipimpinnya.”

Oleh karena itu sebagaimana yang disampaikan oleh Ghafur192 bahwa

dalam ajaran Islam, ada empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam

191
Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 11 (Al-Riyad:
Dar Tayyibah, 2005), 559.
192
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, 125. Contoh keteladanan yang sangat baik ada pada diri
Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, apapun namanya raja atau presiden atau yang lain harus
bersifat dan bersikap: 1. Sidik (benar); sebagai pemimpin bangsa atau pemimpin umat haruslah
selalu benar dalam bertutur kata, bertingkah laku dan bersikap hidup terhadap apa dan siapa saja
yang telah menjadi tugasnya. 2. Amanah (terpercaya) harus tidak berhianat terhadap tugas dan
kewajiban yang telah dipercayakan (diamanatkan) kepadanya. 3. Tabligh, segala amanat harus
tersampaikan, dengan pengertian harus terbuka (ada keterbukaan). Seorang pemimpin harus tidak
menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya umat dan rakyat harus mengetahuinya. 4. Faţanah,
cerdik, pandai dan tidak lolak lolok, dan memiliki keahlian dalam memimpin bangsa dan dan

110

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


melaksanakan kepemimpinan: pertama, sidik, yakni jujur, benar-benar dan

sungguh-sungguh dalam bersikap dan berucap serta berjuang dalam

melaksanakan tugasnya, kedua, amanah, yakni kepercayaan dan keteguhan

dalam memelihara dan menjalankan tugasnya, ketiga faţanah, yakni cerdas

dan siap serta tanggap yang melahirkan kemampuan untuk mengatasi

persoalan-persoalan yang muncul seketika, dan keempat, tabligh, yakni

menginformasikan secara benar dan jujur apa yang didapatnya. Selain itu

menurut beliau seorang pemimpin harus memiliki: 1) penuh sifat kesabaran

dan ketabahan, 2) mengantarkan (masyarakatnya) kepada tujuan yang sesuai

dengan petunjuk Allah, 3) membudayakan kebajikan, 4) ‘abidin, (orang yang

taat beribadah), 5) penuh keyakinan atau optimisme, 6) orang yang kuat dan

terpercaya, artinya orang yang kuat secara fisik dan mental serta keahlian atau

professional.

Dengan memperhatikan beberapa kriteria tersebut, sebenarnya konsep

kepemimpinan dalam Islam dapat dilakukan oleh siapapun baik laki-laki

maupun perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabelitas memimpin.

Diantara mereka masing-masing laki-laki dan perempuan sangat tidak

menutup kemungkinan untuk memiliki kriteria yang dimaksud sehingga

dengan demikian dapat diangkat menjadi pemimpin di sektor domestik

maupun publik yang lebih luas.

negara. Lihat M. Amin Abdullah, Kepemimpinan Wanita Dalam Politik (Perspektif Teologis)
dalam Agus Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender Telaah Kepemimpinan Wanita Dalam
Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), 20.

111

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Muhammad,193 bahwa kita tidak

dapat menutup mata, dalam kurun waktu yang sangat panjang dirasakan benar

bahwa kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan hubungan laki-laki dan

perempuan yang timpang. Kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian

dari laki-laki (suborninasi), dimarjinalkan bahkan didiskriminasi.

Dan harus diakui bahwa ada ulama yang menjadikan firman Allah

dalam surat an-Nisa’ ayat 34, 194 lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-

perempuan, sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan

politik, karena –kata mereka- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga

hak-hak berpolitik perempuan pun berada di tangan mereka.195


196
Menurut Subhan penafsiran klasik secara skriptualis (tertulis)

terhadap ayat al-Qur’an sering dijadikan argumen penguatan supremasi laki-

laki atas perempuan, sehingga atas dasar ayat tersebut banyak ahli yang

memberikan komentar terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan, bahwa

laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi dari pada

perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini berpengaruh secara

universal dalam menentukan kebijakan dan aturan yang berlaku di tengah

kehidupan bermasyarakat.

Lebih lanjut Subhan, 197 menyatakan bahwa, pandangan ini senada

dengan pandangan 3 (tiga) mufassir Indonesia: Hamka,198 Mahmud Yunus199

193
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LKiS, 2009), 23.
194
.. ۚۡ‫وا ِم ۡن أَمۡ ٰ َولِ ِھم‬
ْ ُ‫ضھُمۡ َعلَ ٰى بَ ۡعض َوبِ َمآ أَنفَق‬
ٖ ‫ٱل ﱢر َجا ُل قَ ٰ ﱠو ُمونَ َعلَى ٱلنﱢ َسآ ِء بِ َما فَ ﱠ‬
َ ‫ض َل ٱ ﱠ ُ بَ ۡع‬
195
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 274.
196
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS,
1999), 177.
197
Ibid, 102.

112

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


dan Departemen Agama, 200 yang cenderung beranggapan bahwa laki-laki

punya nilai lebih dibanding perempuan.

Disamping stereotipe yang dikonstruk masyarakat tentang perempuan

yang bias gender, tentang ketidak bolehan kepemimpinan perempuan ini

sebagian ulama juga berlandaskan kepada Hadith Rasulullah saw., yaitu:

‫ﷲُ بِ َكلِ َم ٍة أَيﱠا َم ْال َج َم ِل لَ ﱠما بَلَ َغ‬


‫ف ع َْن ْال َح َس ِن ع َْن أَبِي بَ ْك َرةَ قَا َل لَقَ ْد نَفَ َعنِي ﱠ‬
ٌ ْ‫َح ﱠدثَنَا ع ُْث َمانُ ابْنُ ْالھَ ْيثَ ِم َح ﱠدثَنَا عَو‬
201 َ َ ‫ﱠ‬ ْ
◌ً ‫ارسًا َملكوا ا ْبنَةَ ِك ْس َرى قَا َل لَ ْن يُفلِ َح قَوْ ٌم َولوْ ا أ ْم َرھُ ْم ا ْم َرأة‬ُ ‫ﱠ‬ ِ َ‫ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم أَ ﱠن ف‬
‫صلﱠى ﱠ‬ َ ‫ي‬ ‫النﱠبِ ﱠ‬
“Telah menceritakan kepada kami Uthman bin Al Haitham telah
menceritakan kepada kami 'Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah
mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah
memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam tahu kerajaan Persia mengangkat anak
perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda: "Tak akan
baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin
urusan mereka”.

Menurut Mas’udi,202 hadith ini mempunyai pengertian bahwa apabila

suatu kaum dipimpin perempuan maka keadaannya akan menjadi tidak baik,

sehingga dengan alasan ini peluang perempuan untuk menjadi pemimpin

menjadi tertutup. Argumentasi yang dikemukakan bahwa: pertama, apa yang

disampaikan Nabi pada hadith tersebut berlaku umum untuk semua

perempuan; kedua, secara eksplisit al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34 tersebut di

atas menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Kalau

kepemimpinan dalam konteks rumah tangga saja harus diserahkan kepada

laki-laki, apalagi dalam konteks yang lebih luas seperti mengatur masyarakat

dan negara, sudah selayaknya kalau laki-laki juga tetap memimpin

198
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid V (Jakarta:Pustaka, 1986), 45-48.
199
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993),113.
200
Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 4 (an-Nisa’ : 34), 123.
201
Lihat dalam Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 9
(Al-Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 580.
202
Muhammad Mas’udi, “Pro Dan Kontra Tentang Kepemimpinan wanita Dalam Kajian
Hadith”dalam Agus Purwadi, (ed.) Islam & Problem Gender Telaah Kepemimpinan Wanita dalam
Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Aditya Media,2000), 83.

113

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


perempuan; ketiga, dalam konteks sejarah awal Islam menunjukkan bahwa

kepemimpnan al-Khulafa’ al-Rasyidun dan kepemimpinan dinasti-dinasti

sesudahnya selalu dipegang oleh laki-laki.

Para ulama memahami hadith tersebut sebagai ketentuan syariat yang

bersifat baku universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait, seperti

kapasitas diri Nabi tatkala mengucapkan hadith, suasana yang

melatarbelakangi munculnya hadith, setting sosial yang melingkupi sebuah

hadith. Padahal segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan suasana yang

melatarbelakangi atau menyebabkan lahirnya hadith mempunyai kedudukan

penting dalam pemahaman hadith secara utuh.203

Adapun tentang hadith Nabi yang bahwa perempuan (Hawwa)

diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Hadith tersebut adalah:

َ ‫ فَإِنْ َذ َھبْتَ تُقِي ُمهُ َك‬، ُ‫ضلَ ِع أَ ْعالَه‬


، ُ‫س ْرتَه‬ ‫ َوإِنﱠ أَ ْع َو َج ش َْى ٍءفِى ال ﱢ‬، ‫ضلَ ٍع‬ ِ ْ‫ فَإِنﱠھُنﱠ ُخلِ ْقنَ ِمن‬، ‫سا ِء َخ ْي ًرا‬ َ ‫صوا بِالنﱢ‬ ُ ‫ست َْو‬ ْ ‫َوا‬
‫َوإِنْ تَ َر ْكتَهُ لَ ْم يَ َز ْل أَ ْع َو َج فَا ْست َْو ُصوا ِبالنﱢ َسا ِء َخ ْي ًرا‬

Artinya: ajarilah perempuan itu dengan cara yang sebaik-baiknya,


Karena sesungguhnya perempuan itu dijadikan dari (serupa) tulang
rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang di atas sekali.
Jika engkau paksa meluruskannya, niscaya patah, dan jika engkau
biarkan, senantiasa ia bengkok. Sebab itu nasehatilah perempuan itu
dengan cara yang sebaik-baiknya. 204
205
Menurut Quraish Shihab, tulang rusuk yang bengkok harus

dipahami dalam pengertian kiasan (majazi), dalam arti bahwa hadith tersebut

memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan secara bijaksana.

Karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan

lelaki, apabila tidak disadari akan mengantar kaum laki-laki untuk bersikap
203
Ibid, 279.
204
H. Zainuddin Hamidy, dkk. Terjemah Hadith Shahih Bukhari jilid iii hadith ke 1467 (Klang
Selangor Malaysia: Klang Book Centre, 1990). 190.
205
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarkat (Bandunf: Mizan, 1992), 271.

114

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan

perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana

fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Di sisi lain sejumlah pemikir muslim kontemporer telah berusaha

menafsirkan kembali kalimat “al-rijậl” dan “qawwậmủn”. “Al-rijậl”

mempunyai pengertian laki-laki yang menjadi pelindung atau “pemimpin”

ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sesuai dengan asbậb al-nuzủl206

ayat ini, keutamaan laki-laki adalah tanggungjawabnya sebagai kepala rumah

tangga, sebagai pelindung, pengayom isteri dan keluarganya.207

Menurut Sayid Quthb208 kata “al-rijậl” lebih ditekankan kepada aspek

gender laki-laki, bukan kepada aspek biologisnya sebagai manusia yang

berjenis kelamin laki-laki, karena tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki

mempunyai kapasitas yang lebih tinggi dari pada perempuan.

Sedangkan “qawwậmủn” menurut Al-Zamakhsyari 209 berarti bahwa

laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan perempuan. Menurut pendapat

Engineer, bahwa memberi penafsiran tentang pernyataan al-Qur’an “kaum

laki-laki qawwậmủn terhadap kaum perempuan” tidak boleh dipahami lepas

dari konteks sosial pada waktu ayat ini turun. Struktur sosial pada waktu Nabi

206
asbậb al-nuzủl ayat ini adalah sebagai tanggapan atas kasus Sa’d ibn Abi Rabi’ yang memukul
isterinya bernama Habibah binti Zaid, kemudian kasus ini diadukan kepada Nabi, lalu Nabi
menjawab “Qishash!”. Sebelum qishash dilakukan turunlah ayat ini (an-Nisa’ 34) dan qishash
tidak dilaksanakan. Lihat: Abu al-Fidậ’ Ismail Ibn Kathỉr, Tafsir Ibn Kathỉr, Juz I (Beirut: Dậr al
Fikr, 1986),492.
207
Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an ( Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), 134.
208
Sayid Quthb, Fiqh al-Sunnah Jilid II, (Mesir: Maktabah Dậr al-Turậts, tt), 51. Dalam hal ini
beliau menjelaskan tentang kesaksian laki-laki. Tidak semua laki-laki mempunyai kapasitas
menjadi saksi karena ia sebagai yang berjenis kelamin laki-laki. Anak laki-laki di bawah umur,
laki-laki hamba, dan laki-laki tidak normal akalnya tidak termasuk di dalam kualifikasi memenuhi
syarat sebagai laki-laki yang menjadi saksi dalam hukum Islam.
209
Abu al-Qasim Mahmud Al-Zamakhsyari, al-Kasysyậf ‘an Haqậ’iq al-Tanzỉl wa ‘Uyủn al
‘Aqậwil fỉ Wujủd al Ta’wỉl Jilid 1 (Beirut: Dậr al-Ma’ậrif, tt.), 532.

115

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Muhammad SAW, belum mengakui adanya kemitrasejajaran antara laki-laki

dan perempuan. Diungkap dalam ayat tersebut keunggulan kaum laki-laki

bukanlah keunggulan jenis kelamin, tetapi keunggulan fungsional karena laki-

laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Fungsi

sosial yang diemban oleh kaum laki-laki itu seimbang dengan tugas sosial

yang diemban perempuan, yaitu melaksanakan tugas-tugas domestik dalam

rumah tangga.210

Disamping itu Engineer 211 mengutip ketegasan Maulana Uthmani,

bahwa seandainya Allah bermaksud menegaskan superioritas laki-laki atas

perempuan, Ia (Allah) akan menggunakan ungkapan “bimậ fadhdhalahum

‘alaihinna” (karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki atas mereka

perempuan) atau bahkan akan menggunakan kalimat yang lebih tegas “bimậ

fadldlala al-rijậl ‘ala al-nisậ’. (karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki

atas perempuan). Karena itu ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk

menekankan superioritas laki-laki atas perempuan. Demikian pula Muhammad

‘Abduh dalam Al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki

terhadap perempuan, karena surat al-Nisậ’ ayat 34 tidak menggunakan kata

mậ fadlalahum bi hinna atau bitafdỉlihim ‘alaihinna (oleh karena Allah telah

memberikan kelebihan kepada laki-laki dari pada perempuan, tetapi

menggunakan kata bimậ fadhdhala Allậhu ba’dlahum ‘alậ ba’dlin (oleh

karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian

yang lain).212

210
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam , terj. Farid Wajdi dan Cici Farcha
Assegaf (Jakarta: LSPPA, 1994), 62.
211
Ibid, 71.
212
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar Juz V (Kairo, Dậr al-Manậr, 1367 H), 68.

116

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Menurut Mulia,213 penafsiran tentang kepemimpinan yang didasarkan

pada al-Qur’an surat al-Nisa’ 34, dilihat dari asbậb nuzủl ayat tersebut bukan

bicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai domestic violence

atau kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam masyarakat Arab

sebelum Islam. Dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat tersebut

membincangkan masalah nusyủz atau konflik atau percekcokan dalam rumah

tangga. Oleh karena itu tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap

maksud ayat tersebut, yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi kapasitas

kepemimpinan perempuan. Laki-laki sebagai qawwậm perempuan (yang

dalam ayat itu diterjemahkan menjadi “pemimpin” dalam tafsir-tafsir agama

bias gender) telah dirasionalisasi sebagai suatu ketergantungan perempuan

dalam bidang ekonomi dan keamanan.

Sedangkan menurut Subhan,214 bahwa terdapat tiga kali kata qawwậm

di dalam al-Qur’an, (an-Nisa’: 34 dan 135, al-Ma’idah : 8), yang masing-

masing diterjemahkan “pemimpin, berdiri karena Allah dan lurus karena

Allah”. Peran domestik yang dijalani perempuan harus diberi nilai tersendiri,

bukan merupakan semata-mata suatu kewajiban, sehingga perlindungan dan

nafkah tidak lagi dapat dijadikan alasan normatif bagi kepentingan laki-laki

dalam kehidupan sosial dan politik secara luas. Karena peran domestik yang

dilakukan perempuan, laki-laki harus mengimbangi dengan melindungi dan

memberi nafkah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai qawwậm. Oleh karena

itu ayat tentang kepemimpinan tersebut bukan pernyataan normatif tapi

pernyataan kontekstual, dalam kategori ekonomis dan sosiologis. Konteks ayat

213
Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati, 114.
214
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 179.

117

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


ini, laki-laki menjadi qawwậm perempuan karena memberi nafkah; artinya

bila secara ekonomi isteri bisa menghidupi atau bisa memberikan

penghasilannya untuk kepentingan keluarga, maka keunggulan suami menjadi

berkurang karena ia tidak memiliki keunggulan di bidang ekonomi.

Bila diteliti secara seksama indikator superioritas seperti dinyatakan

bahwa umumnya laki-laki memiliki penalaran yang lebih kuat, tekad yang

bulat, matang dalam perencanaan dan lainnya adalah lebih bersifat sosiologis.

Indikator ini akan menjadi hal yang nisbi dan tidak lagi kodrati apabila

dihadapkan pada proses sosialisasi yang lebih setara dan akses pendidikan

yang sepadan antara laki-laki dan perempuan.

Aspek-aspek yang menghalangi perempuan menjadi pemimpin

menurut Mulia, 215 tampaknya amat dipengaruhi oleh faktor sosiologis. Dan

ketika pengaruh-pengaruh tersebut menghilang, konsekuensinya tidak ada lagi

halangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin.

Sedanjutnya tentang kepemimpinan perempuan ini sebagaimana

firman Allah dalam surat al-Taubah: 9 : 71 sebagai berkut:

šχθè?÷σãƒuρ nο4θn=¢Á9$# šχθßϑŠÉ)ãƒuρ Ìs3Ζßϑø9$# Ç⎯tã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρâßΔù'tƒ 4 <Ù÷èt/ â™!$uŠÏ9÷ρr& öΝßγàÒ÷èt/ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$#uρ tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ

ÒΟŠÅ3ym ͕tã ©!$# ¨βÎ) 3 ª!$# ãΝßγçΗxq÷zy™ y7Íׯ≈s9'ρé& 4 ÿ…ã&s!θß™u‘uρ ©!$# χ


š θãèŠÏÜãƒuρ nο4θx.¨“9$#

Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,


sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.216

215
Siti Musdah Mulia, Muslimh Reformis, Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan,
2005), 309.
216
Departemen Agama RI.,al-Qur’an dan Terjemahnya, 291.

118

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Secara umum ayat ini dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban

melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang

kehidupan. Pengertian kata auliya’ menurut Quraish Shihab, 217 mencakup

kerja sama, bantuan dan penguasaan. Sedangkan pengertian amar ma’rủf nahỉ

munkar (menyuruh mengerjakan yang ma’rủf dan mencegah hal-hal yang

munkar) dalam ayat yang sama, menyangkut segenap upaya kebaikan dan

perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada

penguasa. Dengan kata lain, setiap laki-laki dan perempuan Muslim

hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu

bersikap kritis, untuk selanjutnya memberi kontribusi positif dalam berbagai

bidang kehidupan. Ayat ini menunjukkan adanya saling kerja sama, bantu

membantu dan ada yang menjadi pemimpin di antara mereka, tentu saja sesuai

dengan kapasitas dan kapebilitas yang dimiliki untuk menjadi pemimpin

apakah laki-laki maupun perempuan.

Dalam al-Qur’an surat an-Naml: 27:23 Allah SWT berfirman sebagai

berkut:

ÒΟŠÏàtã î¸ötã $oλm;uρ &™ó©x« Èe≅à2 ⎯ÏΒ ôMuŠÏ?ρé&uρ öΝßγà6Î=ôϑs? Zοr&tøΒ$# ‘N‰y`uρ ’ÎoΤÎ)

Artinya: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang

memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai

singgasana yang besar.”218

Ayat ini menerangkan tentang penyampaian pengetahuan dan

pengalaman burung hud-hud yang diperoleh selama dalam perjalanan, ia telah

217
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbậh, 650.
218
Departemen Agama RI.,al-Qur’an dan Terjemahnya, 596.

119

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


menemukan suatu negeri besar, kaya raya dan diperintah oleh seorang ratu

yang cantik, yang mempunyai singgasana besar dan indah.

Ada tiga hal yang dapat dipahami tentang negeri Saba’ yang

disampaikan burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman as, yaitu:

1. Negeri Saba’ itu diperintah oleh seorang ratu cantik, yang memerintah

negerinya dengan baik dan bijaksana.

2. Ratu itu memerintah dengan perlengkapan yang cukup, yaitu segala

sesuatu yang diperlukan dalam pemerintahan, seperti harta dan kekayaan,

tentara yang kuat dan sebagainya.

3. Ratu mempunyai singgasana yang indah lagi besar, yang menunjukkan

kebesaran dan pengaruh kekuasaannya, baik terhadap rakyat maupun

terhadap terhadap negeri-negeri yang berada di sekitarnya.

Perempuan atau ratu yang memerintah kaum Saba’ yang disebutkan

dalam ayat tersebut dikenal dalam sejarah dengan nama “Balqis”.

Pemerintahannya semasa dengan pemerintahan Nabi Sulaiman as. Sekalipun

balqis seorang perempuan ia telah sanggup membawa rakyat Saba’ kepada

kemakmuran dan ketentraman.219

Ayat al-Qur.an tersebut memberikan gambaran dan pengertian bahwa

perempuan juga memiliki kemampuan untuk memimpin dan sukses dalam

kepemimpinannya.

Bahkan Qardlawi 220 menegaskan bahwa peran perempuan untuk

kejayaan Islam sedemikian besar. Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan

pertama yang mengimani Muhammad. Peran Khadijah dalam menegakkan

219
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbậh, 650.
220
Yusuf Qardlawi,dkk., Ketika Wanita Menggugat Islam (Jakarta: Teras, 2004), 81.

120

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


risalah Islam, dengan mempertaruhkan diri dan kehormatannya sebagai

aristrokat (bangsawan) Arab untuk Islam di saat orang-orang menjauhi dan

membenci Muhammad.
221
Menurut Djunaidi, Khadijah adalah perempuan yang mampu

bergeliat di antara serangan marginalisasi dari kalangan masyarakat Arab yang

sangat dominan, yaitu golongan kaum kafir yang selalu menghalangi upaya

Rasulullah saw dalam menyerukan Islam. Khadijah tidak pernah terhalang

untuk berurusan dengan wilayah sosial yang ia tempati dengan berbagai peran

yang ia jalankan.

Peran keperempuanan Khadijah mendapat dukungan dan simpati yang

luar biasa dari Rasulullah saw sehingga ia mendapat tempat tersendiri dalam

perjalanan sejarah kerasulan Muhammad saw. Keberhasilan Khadijah

mengawal perjalanan dakwah Rasul saw bukan hanya karena ia adalah

seorang konglomerat yang mampu membeli segala sesuatu, melainkan juga

karena ia adalah seorang perempuan yang mampu menempatkan diri,

membaca situasi, dan memanfaatkan celah-celah ruang sosial untuk diisi

dengan sesuatu yang baru.

Sebagaimana ditulis oleh Yamani,222 bahwa Khadijah adalah seorang

isteri yang memiliki kecerdasan, kebesaran hati, dan pemikiran yang tajam.

Demikian pula yang perlu dikemukakan adalah peran Aisyah dalam keilmuan

(periwayatan hadith), peran inipun tidak kalah penting dan berharga bagi

221
Ahmad Djunaidi & Thobib A-Asyhar, Khadijah Sosok Perempuan Karir Sukses Bedah wacana
Gerakan Feminisme dalam Islam (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), 111.
222
Muhammad Abduh Yamani, Khadijah, Drama Cinta Abadi Sang Nabi, Tarjm. Hadir & Fuad
(Depok: Pustaka IlMaN, 2007), 181-188.

121

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kejayaan Islam.223 Oleh karena itu suatu hal penting yang perlu dipertanyakan

menurut Djunaidi 224 adalah proses apa yang membuat keterputusan realitas

kesejarahan Khadijah sebagai perempuan yang memiliki peran publik tanpa

diskriminasi dengan kebanyakan konstruksi keagamaan yang justru sering

mendiskriminasikan perempuan.

Dari sejarah yang mengangkat peran-peran Khadijah menjadi sangat

jelas bahwa persoalan mendasar terjadinya ketimpangan hubungan gender

yang diskriminatif bukanah persoalan Islam sebagai agama wahyu, melainkan

karena kuatnya konstruksi dan penafsiran terhadap nilai-nilai yang terkandung

di dalam Islam itu sendiri.

Para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi perempuan

itu disamping karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak kepada

kaum laki-laki, keadaan timpang tersebut boleh jadi juga dijustifikasi oleh

pemikiran kaum agamawan. 225 Tidak jauh berbeda pendapat Nurjannah

Ismail226 bahwa apa yang menjadi kerisauan banyak orang terutama feminis

muslim yang sangat gigih melakukan kajian kritis terhadap penafsiran ayat-

ayat al-Qur’an yang membicarakan persoalan-persoalan perempuan, terutama

223
Yusuf Qardhawi dkk., Ketika Wanita, 81. Menggugat Islam , Heri Sucipto (ed.) (Jakarta: Teras,
2004), 81.
224
Ahmad Djunaidi & Thobib A-Asyhar, Khadijah Sosok Perempuan, 112.
225
Jika teks suci agama jatuh ke lingkungan masyarakat yang patriarkis, maka sulit diingkari untuk
tidak terjadi penafsiran yang bias pada kepentingan laki-laki. Lihat Hamim Ilyas dkk.. Perempuan
Tertindas Kajian Hadith-Hadith Misoginis (Yogyakarta: eLSAQ Press & PSW IAIN Sunan
kalijaga, 2008), 8. Menurut Mahjuddin, memang tidak pernah terdapat Nabi dan dan Rasul yang
berjenis kelamin perempuan, karena seorang Nabi dan Rasul harus juga memiliki fisik yang kuat,
disamping kemampuan yang diperoleh dari wahyu yang diterimanya. Namun hal ini bukan berarti
bahwa perempuan tidak boleh melebihi kedudukan laki-laki; baik di bidang politik, ekonomi
maupun sosial budaya. Siti Balkis, misalnya dapat menjadi ratu di Sabah; Siti Khodijah dapat
menjadi pedagang besar yang memimpin laki-laki. Lihat: Mahjuddin, “Gender Dalam Perspektif
Tasawuf” dalam Paramedia Jurnal Komunikasi Dan Informasi Keagamaan Vol. 6 Nomor 3 (Juli,
2005), 261. Bandingkan: Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 81.
226
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta:
LKis, 2003), 5.

122

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


dalam hubungannya dengan laki-laki, tampaknya yang mereka gugat bukanlah

teks-teks suci al-qur’an itu sendiri, melainkan penafsiran para mufassir

terhadap teks-teks tersebut yang sangat tekstual, dan kurang menekankan

pentingnya konteks sosial, bahkan dalam beberapa hal sangat dipengaruhi oleh

bias dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Bahkan menurut Hidayatullah, 227 bahwa sejarah awal Islam telah

memaparkan kenyataan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat

kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku

bangsa mana pun dan peradaban tua sebelum Islam. Namun sayangnya

kemudian Islam menjadi salah satu agama yang paling banyak mendapat

sorotan dalam kaitannya dalam status dan aturan yang diberikan agama

terhadap kaum perempuan.

Subordinasi perempuan terutama dalam hal kepemimpinan,

sesungguhnya ada beberapa yang menjadi akar masalah antara lain adalah:

1. Adanya satu ayat yang sering dijadikan rujukan tentang masalah

kepemimpinan, yaitu surat an-Nisa’ ayat 4, kata qawwậmủn sering

diartikan sebagai pemimpin.

2. Adanya anggapan bahwa sifat dan kualitas feminitas yang dianggap

sebagai suatu yang rendah.

3. Akibat dari dua hal tersebut, terjadi pembagian kerja berdasarkan pada

jenis kelamin. Pekerjaan pada sektor domestik dianggap pekerjaan

berjenis kelamin perempuan, hanya pantas untuk perempuan dan tidak

227
Syarif Hdayatullah, Teologi Feminisme Islam (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010), 11.

123

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


bernilai ekonomis. Sedangkan pekerjaan di di ranah publik lebih

pantas untuk laki-laki.

Dengan pemahaman qawwậmủn adalah pemimpin, maka

mengakibatkan menutup rapat-rapat perempuan menjadi pemimpin, sekalipun

di rumah sendiri perempuan tetap tersubordinatkan oleh laki-laki (suami).

Artinya perempuan bisa saja menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, akan

tetapi segala urusan dan semua kebijakan masih di bawah satu komando yaitu

laki-laki (suami).

Menurut Mas’udi, 228 menggunakan ayat ini sebagai landasan untuk

menolak hak kepemimpinan kaum perempuan khususnya, dan peranan publik

perempuan pada umumnya, maka ayat itu turun dan disajikan al-Qur’an dalam

konteks kehidupan keluarga, bukan dalam konteks kehidupan masyarakat atau

publik. Menyimpulkan ayat ini untuk menempatkan perempuan di bawah

dominasi laki-laki dalam segala urusan merupakan pendirian kelelakian yang

melampaui batas.

Memahami bahwa laki-laki adalah pemimpin dengan menafikan

perempuan untuk menjadi pemimpin walau di sektor domestik pun, tentu

memaknai perempuan menjadi makhluk yang dipimpin dan otomatis sebagai

ciptaan kedua setelah laki-laki, maka implikasinya adalah apa yang

228
Masdar F. Mas’udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan
(Bandung: Mizan, 1997), 61. Ayat tentang kepemimpinan tersebut bukan pernyataan normatif, tapi
pornyataan kontekstual dalam kategori ekonomis atau sosiologis. Konteks ayat ini laki-laki menjadi
qawwamun perempuan karena memberi nafkah; artinya kalau secara ekonomi istri bisa menghidupi
atau memberikan penghasilannya untuk kepentingan keluarga, maka keunggulan suami menjadi
berkurang karena tidak memiliki keunggulan bidang ekonomi. Karena itu keunggulan laki-laki
bidang ekonomi bersifat kontekstual sehingga tidak dapat dijadikan alasan normatif bagi
kepemimpinan laki-laki, apalagi dalam kehidupan sosial dan politik secara luas. Lihat: Zaitunah
subhan, Tafsir Kebencian, 179. Bandingkan dengan Husein Muhammad, Islam Agama Ramah
Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2009), 250.

124

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


berhubungan dengan perempuan seperti sifat dan kualitas feminim dianggap

suatu yang rendah bahkan dinilai negatif.

Sebenarnya yang harus disadari bahwa sifat dan kualitas feminim

bukan sesuatu yang rendah, justru sebaliknya. Tuhan menciptakan potensi

kewanitaan yang mesti dilestarikan dan sekaligus ditingkatkan kualitasnya.

Feminitas harus dimaknai yang positif-aktif, yaitu dengan pembentukan

kualitas peran yang ditandai dengan peningkatan pendidikan dan

pengembangan kreatifitas bagi perempuan, sehingga perempuan memiliki

kualitas yang dapat diandalkan dalam memenuhi dan melakukan perannya

baik di ruang manapun, terutama di lingkungan keluarga sebagai pencetak

generasi penerus.

Pada umumnya peran domestik dipahami dan diposisikan sebagai

milik perempuan -yang melekat dan memiliki stereotipe beda dengan laki-

laki- yang dianggap peran rendah dan tidak punya nilai.229 Oleh karena itu,

baik laki-laki maupun perempuan tidak atau kurang menghargai pekerjaan


230
domestik, dan kepemimpinan dalam keluarga yang dianggap kurang

perspektif.

229
Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga atau keluarga begitu banyak macam ragamnya, mulai
mengatur keuangan; memasak dengan kelincahan dan kepawaian belanja yang kadang-kadang
harus menyiapkan beberapa menu sesuai dengan masing-masing selera jumlah anggota keluarga;
merawat dan menjaga bebersihan, keasrian lingkungan rumah; merawat, menjaga dan merawat
serta mendidik anak-rawat; dan memenuhi keperluan keluarga yang lain. Begitu banyaknya
pekerjaan yang harus ditangani perempuan (ibu/isteri), tetapi ketika ditanyakan kepada kepada
laki-laki (suami tentang perjaan isterinya) atau perempuan (isteri), hampir pasti jawabannya adalah
bahwa dia tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Padahal, dengan begitu banyak dan
berat pekerjaan perempuan dikatakan tidak dinilai bekerja.
230
Pekerjaan domestik berkaitan dengan anggapan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh
perempuan, dan laki-laki hanya bersifat membantu saja. Jika perempuan bekerja di sektor publik,
hanya dilihat sebagai tambanahan saja dan tidak diakui sama seperti bila hal itu dilakukan oleh
laki-laki. Lihat: Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan Studi Analisis Produktivitas
Perempuan dalam Konsep Ekonomi Islam (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), 63.

125

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Perempuan dituntut untuk menyiapkan dan mempersembahkan

generasi yang berkualitas. Namun bagaimana kalau perempuan sendiri

kualitasnya masih diragukan? Sangat tepat apa yang telah disabdakan oleh

Rosulullah, bahwa, perempuan punya hak untuk memimpin dalam rumah

tangganya, dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.

Persoalannya adalah: pertama, siapa yang harus bertanggung jawab, kalau

amanah kepemimpinan dalam rumah tangga oleh perempuan tidak berkualitas,

yang disebabkan perempuan masih dalam kecenderungan posisi

tersubordinatkan; kedua, qowwậmủn yang menurut para ahli mempunyai

makna melindungi, memimpin, bertanggung jawab dan yang lainnya.

Kenapa pekerjaan domestik itu hampir seluruhnya milik perempuan,

padahal di sisi lain ayat itu digunakan sebagai legetimasi kokohnya kekuasaan

laki-laki memimpin dan bertanggung jawab dalam rumah tangga. Mestinya

tanggungjawab laki-laki meliputi seluruh aktifitas yang terjadi di dalam rumah

tangga, yang kenyataannya memang masih terlalu banyak dilakukan oleh

perempuan (baik ia sebagai anak, isteri atau sebagai ibu) padahal pada sisi lain

perempuan yang terlanjur dilabelkan sebagai makhluk yang memiliki kondisi

lemah secara pisik, tidak berdaya dan tidak dapat diajak berpikir kritis.

Sesungguhnya ketika berada di dalam lingkungan rumah tangga

perempuan memang lebih banyak menjalankan kekuasaan. Sebab ibu adalah

figur yang sangat berkuasa di dalam rumah tangga. Perempuan (isteri/ibu)

menggunakan kekuasaan yang nyata dalam peranannya sebagai pengatur

semua segi kehidupan dalam keluarga. Oleh karena itu sudah waktunya untuk

dikembangkan suatu konsep mengenai kekuasaan dan kepemimpinan

126

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


perempuan (women power) yang berbeda dengan kekuasaan laki-laki yang

selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan oleh laki-laki yang

sebenarnya tidak dipenuhi kelemahlembutan dan rasa kasih sayang yang

mendalam.

Tentang kepemimpinan perempuan ini menurut Mulia, 231 sangat

penting untuk mensosialisasikan pengertian baru tentang kekuasaan atau

kepemimpinan yang selamanya tidak selalu bernuansa maskulin. Sehingga

perempuan tidak harus mengeliminir unsur-unsur feminitas dalam dirinya

demi menggapai kekuasaan. Perempuan tidak harus menolak gaya feminis dan

berprilaku seperti laki-laki untuk berkuasa sehingga dianggap sebagai

pemimpin.

Lebih lanjut menurut Mulia 232 kekuasaan dalam konsep feminim

adalah kekuasaan yang dilimpahi sikap lemah lembut dan kasih sayang,

karena dalam kelembutan dan kasih sayang terpendam kekuatan yang dahsyat.

Pengalaman yang dialami di dalam kehidupan rumah tangga dapat dijadikan

sebagai refrensi untuk menjalankan kepemimpinan perempuan di lingkungan

yang lebih besar dan rumit, bisa jadi perempuan menjadi pimpinan di

lingkungan yang lebih luas di sekitarnya atau bahkan menjadi politisi yang

handal, sabar, ramah dan tidak menyakiti hati lawan politiknya. Politisi yang

tidak menggunakan kekerasan dan intrik politik sebagaimana dilakukan oleh

politisi laki-laki terhadap lawannya. Politisi perempuan yang dapat mengasah

naluri keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk

231
Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami Meraih Ridla Ilahi (Bandung:
Marja, 2011), 262.
232
Ibid, 263

127

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


menyelesaikan setiap agenda politiknya yakni kekuasaan yang dapat atau

mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah.233

Menurut Hasyim, 234 tentang laki-laki atau perempuan yang menjadi

pemimpin tidak disebutkan di dalam al-Qur’an kecuali dalam konteks

keluarga bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga, itupun dengan syarat

suami memiliki keunggulan dan memberi nafkah. Apabila ternyata terjadi

keunggulan berada di pihak isteri, dan isteri juga yang memberikan nafkah

dalam keluarga, maka apa salahnya jika isteri menjadi pimimpin rumah

tangga.

Di sisi lain kenyataan bahwa saat ini sudah terbuka kesempatan seluas-

luasnya bagi laki-laki maupun perempuan untuk dapat mengembangkan

potensi masing-masing sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka,

sehingga sangat memungkinkan perempuan meraih kesuksesan bahkan bisa

jadi melebihi prestasi yang diraih oleh kaum laki-laki.

Dengan demikian, tidak semua laki-laki otomatis memiliki kelebihan

atas perempuan. Kelebihan dan keunggulan tersebut tidak bersifat absolut,

tetapi bersifat relatif, sangat tergantung usaha pribadi laki-laki maupun

perempuan. Superioritas laki-laki tidak melekat secara otomatis kepada setiap

233
Tercatat dalam sejarah Islam bahwa shahabyah (sahabat perempuan) yang pertama menerima
dan meyakini Isam adalah Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi sendiri, Ummu habibah putri Abu
Sufyan (masuk Islam ketika ayahnya masih menjadi pemimpin kafir Quraisy), Fathimah binti al-
khaththab (adik Umar ibn al-Khaththab), Ummu Sulaim terlebih dahulu masuk Islam dan mahar
perkawinannya dengan Abu Thalhah, Aminah Khalaf, Asma’ binti Abu Bakar, Aisyah, Asma’
binti Umais, Fatimah binti al-Mujallil, Barakah binti Yasar, Ramlah binti Auf, Ummu Hamalah,
Fathimah binti Shafwan, Saudah binti Zam’ah, Aminah binti Qais, Sumaiyyah, dan hamamah.
Keputusan para perempuan itu masuk Islam sungguh sangat berisiko. Mereka rela disiksa, dibaikot,
dan dikucikan dari keluarga demi mempertahankan keputusan politik yang mereka ambil. Lihat
Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejat, 95-96.
234
Abdullah Hasyim, “Status Wanita” dalam Agus Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender, 32.

128

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


laki-laki, tetapi superioritas laki-laki hanya terjadi secara fungsional selama

yang bersangkutan memenuhi kreteria dapat memberi nafkah. 235

Al-Munawar236 dalam menganalisis tentang kepemimpinan perempuan

masih menggunakan dasar ayat al-qur’an dan hadith yang sama, hanya

menurut beliau harus dipahami secara sosiologis dan kontekstual. Posisi

perempuan yang ditempatkan sebagai subordinasi laki-laki sesungguhnya

muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau peradaban yang

dikuasai laki-laki. Ayat al-Qur’an surat al-nisa’ ayat 34 tidak lain merupakan

bentuk atau petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi riil yang

terjadi pada saat ayat itu diturunkan.

Sedangkan hadith tentang kepemimpinan perempuan yang terjadi di

Persia 237 harus dipahami dari sisi essensinya dan tidak bisa digeneralisasi,

tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu. Maka

yang esensial kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas, dua hal

yang dapat dimiliki oleh siapa saja, laki-laki dan perempuan.

Agak berbeda dengan beberapa pendapat diatas, Albar 238 bahwa

kepemimpinan adalah sesuatu yang penuh tanggung jawab dan resiko tinggi,

235
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 29.
236
Said Agil Husin al- Munawwar, Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Islam dalam Agus
Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender, 14-17.

َ ‫ﷲُ بِ َكلِ َم ٍة أَيﱠا َم ْال َج َم ِل لَ ﱠما بَلَ َغ النﱠبِ ﱠي‬


‫صلﱠى ﱠ‬
‫ﷲُ َعلَ ْي ِه‬ ‫ َح ﱠدثَنَا ع ُْث َمانُ ابْنُ ْالھَ ْيثَ ِم َح ﱠدثَنَا عَوْ فٌ ع َْن ْال َح َس ِن ع َْن أَبِي بَ ْك َرةَ قَا َل لَقَ ْد نَفَ َعنِي ﱠ‬٢٣٧
ً‫ال لَ ْن يُ ْف ِل َح قَوْ ٌم َولﱠوْ ا أَ ْم َرھُ ْم ا ْم َرأَة‬ ِ َ‫َو َسلﱠ َم أَ ﱠن ف‬
َ َ‫ارسًا َملﱠ ُكوا ا ْبنَةَ ِك ْس َرى ق‬

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami 'Auf
dari Al Hasandari Abu Bakrah mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah
memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda:
"Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka”.
Lihat dalam Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 9 (Al-
Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 580.
238
Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam, Kodrat Kewanitaan, Emansipasi
dan Pelecehan Seksual (Jakarta: Pustaka azzam, 1998), 51.

129

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


sehingga hanya dapat dilakukan oleh orang yang kuat baik fisik dan

mentalnya yaitu laki-laki. Maka untuk mencapai keadilan, justru tidak adil jika

perempuan harus mengemban sesuatu yang ia tidak mampu mengembannya,

dan tidak baik apabila memiliki dua orang (laki-laki dan perempuan) sebagai

pemimpin dalam waktu yang bersamaan.

Tentang kepemimpinan ini, yang menjadi salah satu isu sentral

perdebatan di kalangan feminis adalah kepemimpinan rumah tangga. Mereka

menggugat paham kepemimpinan suami terhadap isteri dalam rumah tangga

yang selama ini sudah mapan di kalangan muslimin. Bagi mereka paham yang

menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan bahkan

bertentangan dengan ide utama feminisme, yaitu kesetaraan laki-laki dan

perempuan.

Rumah tangga yang memposisikan suami sebagai pemimpin terhadap

isteri, sebagaimana yang telah diyakini umat Islam pada umumnya, menurut

kaum feminis adalah merupakan salah satu bentuk dominasi laki-laki terhadap

perempuan yang berimplikasi kesewenang-wenangan laki-laki berbuat

semaunya terhadap perempuan, yang sebenarnya ayat-ayat di dalam al-Qur’an

tidaklah bermaksud demikian. Menurut mereka hal itu wajar, karena para

mufassir adalah laki-laki yang tentunya memiliki kecenderungan tertentu demi

kepentingan pribadi atau secara umum demi kelangsungan sistem masyarakat

patriarki yang dominan dalam dunia Islam.239

Dari beberapa pernyataan di atas, persoalannya adalah tentang

kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga apakah secara normativitas atau

239
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran
(Yogyakarta:LKiS, 2003), 176.

130

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kontekstualitas. Secara normativitas kepemimpinan laki-laki dalam rumah

tangga dapat dipahami adanya kepastian siapa yang menjadi pemimpin,

sehingga tertutup peluang timbulnya perselisihan antara suami isteri dalam

menentukan siapa diantara mereka yang menjadi pemimpin. Namun

permasalahannya adalah bagaimana ketika secara faktual suami tidak

memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpin, baik yang menjadi integritas

pribadi maupun kemampuan finansial yang disyaratkan oleh al-Qur’an secara

eksplisit.

Kalau kepemimpinan dalam rumah tangga dimaknai secara

kontekstual, maka akan memberikan pemahaman bahwa kepemimpinan

rumah tangga memberi peluang untuk terpilihnya pemimpin yang memenuhi

persyaratan, dan lebih sesuai dengan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan. Dengan demikian nampaknya akan lebih adil antara laki-laki dan

perempuan bersama-sama dalam hal kepemimpinan, khususnya

kepemimpinan dalam lingkup rumah tangga. Namun permasalahannya adalah

bagaimana menentukan siapa yang lebih unggul secara fungsional, dan

bagaimana kalau keduanya secara obyektif keunggulan diantara keduanya

sama.

Dengan posisi yang keduanya secara fungsional memiliki keunggulan

yang sama, apakah dengan menggunakan kepemimpinan kolektif akan lebih

aman dan membawa kedamaian rumah tangga? Bagaimana pula antara suami

isteri yang masing-masing mempunyai keunggulan itu memiliki keputusan

yang berbeda, dan masing-masing memiliki alasan yang rasional, maka pada

saat itu dibutuhkan satu otoritas yang dapat mengambil keputusan akhir.

131

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Dengan memperhatikan masing-masing kepemimpinan fungsional dan

kepemimpinan kolektif dalam rumah tangga dengan kelemahan yang ada,

maka kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga sebagaimana dinyatakan

secara eksplisit dalam surat an-Nisa’ 34 yaitu bersifat normatif tekstual, bukan

kontekstual.

Andaikata memang Allah menentukan laki-laki sebagai pemimpin

rumah tangga, tidak berarti laki-laki dapat menguasai perempuan dengan

seenaknya dalam menentukan dan mengarahkan kehidupan rumah tangganya.

Hanya laki-laki yang secara fungsional memiliki kreteria pemimpin yang akan

sukses memimpin rumah tangga dengan mengakomodir kepentingan dan

kebutuhan yang dipimpinnya, yakni kepemimpinann yang berlandaskan pada

keadilan dan musyawarah mufakat, bukan kepemimpinan otoriter yang

semena-mana.240

Yang harus diperhatikan adalah, sekalipun laki-laki secara normatif

diberi hak memimpin isterinya, laki-laki harus memimpin rumah tangganya

dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan agama. Laki-laki tidak boleh

menegakkan kepemimpinannya dengan otoriter, yaitu dengan mengabaikan

kemauan dan pertimbangan isterinya.

Kesepakatan dalam urusan keluarga yang diambil melalui musyawarah

yang bebas dan jujur, inilah landasan esensial untuk apa yang disebut dengan

hubungan (relasi) yang berkeadilan. Dalam relasi yang berkeadilan, yang satu

tidak akan merendahkan apalagi menafikan keberadaan (eksistensi) pihak

lain241

240
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 204.
241
Masdar F. mas’udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi, 182.

132

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia, terdiri dari jenis

laki-laki dan perempuan secara umum diberikan potensi yang sama baik

jasmani maupun rohani, dan secara khusus di antara laki-laki dan perempuan

memiliki perbedaan, yang bertujuan untuk saling membutuhkan dan saling

melengkapi di antara laki-laki dan perempuan, dan itu merupakan hak

preogratif Allah yang tidak dapat diinterpensi oleh siapapun.

Laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki peran dalam

kehidupan yang bisa mempertemukan keduanya dalam tugas besar, yaitu

membangun sebuah masyarakat dan memikul beban pembangunan tanpa

meremehkan satu jenis atas jenis yang lain. Persamaan mutlak antara dua jenis

yang berbeda sebagaimana yang dikehendaki sebagian kelompok adalah

mendhalimi kedua belah pihak.242 Oleh karena itu, apakah tugas perempuan

sebagai pencari nafkah maupun sebagai pelaksana tugas domestik,

mendekatkannya dengan keadaan di mana kualitas adalah menjadi lebih

penting dibandingkan kuantitas.243

Untuk memecahkan masalah-masalah perempuan di masa depan, dan

untuk membangkitkan partisipasi mereka dalam pengembangkan masyarakat

dan peradaban, menurut Harahap, 244 tampaknya dibutuhkan usaha-usaha

antara lain: Pertama, usaha yang sistematis mengenai pendidikan perempuan.

Kedua, merekonstruksi pandangan mengenai perempuan (dari merendahkan

menjadi kemitraan). Ketiga, melakukan reinterpretasi ajaran agama mengenai

perempuan, yang selama ini dipandang cenderung diskriminatif, dan

242
Asyraf Muhammad Dawabah, Muslimah Karier (Sidoarjo: Mashun, 2009), 6-7.
243
Rahmat Hidayat, Ilmu yang Seksis Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin
(Yogyakarta: Jendela, 2004), 318.
244
Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nlai-Nlai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan
Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara wacana Yogja, 1997), 154.

133

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


mengembangkan pemahaman agama secara lebih mendasar, bukan sekedar

pada tingkat emosi keagamaan.

Al-Qur’an tidak berusaha untuk meniadakan perbedaan antara laki-

laki dan perempuan atau menghapus nilai fungsional dari perbedaan gender

yang membantu agar setiap masyarakat dapat berjalan dengan lancar dan

dapat memenuhi kebutuhannya.245 Sesungguhnya hubungan fungsional yang

harmonis dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan dapat

dipahami sebagai bagian dari tujuan al-Qur’an246 dalam masyarakat yaitu satu

sama lain saling melengkapi. Menurut Ivan Illich247, di mana-mana anak laki-

laki dan anak perempuan rasanya tumbuh dalam gender masing-masing sejak

dini. Saat disapih, mereka memakai bahasa tubuh yang tak sama.

Sehubungan dengan potensi yang dianugrahkan kepada laki-laki yang

merupakan hak bagi laki-laki, maupun potensi yang dianugrahkan kepada

perempuan dan menjadi hak perempuan, maka disamping hak laki-laki harus

dihormati, maka hak-hak perempuan juga harus diperjuangkan terutama oleh

para laki-laki. Justru dengan masing-masing potensi yang dianugerahkan

Allah kepada laki-laki maupun perempuan itu merupakan hak manusia yang

harus diperjuangkan untuk mencapai kualitas maksimal yang diridlai Allah

SWT.

245
Amina Wadud, Quar’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir
judul asli: Qur’an and Women: Rereading The Sacred Text Form a Woman’s Perspective (Terj.
Abdullah Ali) (PT. serambi Ilmu semesta, 2001), 43.
246
Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah), 187:
...‫اس لﱠھ ۗ ﱠُن‬
ٞ َ‫اس لﱠ ُكمۡ َوأَنتُمۡ ِلب‬
ٞ َ‫…ھ ﱠُن ِلب‬
…Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…
247
Ivan Illich, Matinya Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 87.

134

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


2. Kepemimpinan dan Peran Perempuan di Pesantren

Dalam jaringan ruang sosial yang banyak berpihak kepada kaum laki-

laki, agama melalui interpretasi yang cenderung gender bias dan memberikan

kontribusi atas kokohnya cengkraman kaum laki-laki terhadap kaum

perempuan, diantaranya dalam masalah kepemimpinan, baik dalam

lingkungan domestik maupun publik diantaranya sebagai pemimpin di

pesantren.

Sampai saat ini porsi kepemimpinan perempuan di ranah publik

termasuk kepemimpinan di pesantren masih sangat rendah. Salah satu

kegagalan proses pengkaderan umat adalah dalam memahami dan mendukung

peran produktif dan reproduktif perempuan, yang kemudian menimbulkan

beberapa masalah umat yang cukup serius. Mayoritas perempuan dalam dunia

pekerjaan, jalur kepemimpinan, struktur organisasi, posisi jabatan, pengambil

keputusan (disission maker), maupun peluang memperoleh kesempatan masih

terhempas ke pinggiran.248 Masyarakat masih ada yang berkeyakinan bahwa

perempuan dengan fisik lebih lemah dan pasif, tidak memungkinkan mereka

dapat memenuhi mobilitas dan aktifitas sebanyak dan sekuat laki-laki.

Menurut Qardlawi, 249 perbedaan struktur tubuh dan tabiat (kodrat)

mestinya tidak bisa dijadikan pijakan untuk melihat perbedaan perilaku dan

peranan sosial antara laki-laki dan perempuan.

Untuk menjadi pemimpin yang sukses, disamping faktor bakat dan

kemampuan yang dimiliki seseorang, kemampuan memimpin dapat dipelajari

dan dilatihkan. Semakin banyak seseorang belajar dan berlatih memimpin,

248
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 198
249
Yusuf Qardlawi,dkk., Ketika Wanita, 121.

135

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


maka semakin mudahlah baginya untuk menerapkan kepemimpinan dalam

kelompoknya. Menurut Neviyarni 250 sedikitnya ada lima hal yang menjadi

keyakinan dalam kepemimpinan, antara lain sebagai berikut: (1)

Kepemimpinan dapat dipelajari sama halnya dengan keahlian yang lain. (2)

Kepemimpinan merupakan proses memberikan bantuan atau bimbingan

kepada seseorang atau kelompok. (3) Keahlian kepemimpinan dapat dipecah-

pecah dalam unit-unit yang lebih kecil. (4) Kepemimpinan adalah hubungan

antar manusia. Keahlian ini merupakan cara seseorang berinteraksi dengan

orang lain. (5) Kepemimpinan harus ditampilkan dalam waktu dan tempat

yang tepat.

Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi

luhur yang telah menjadi karakterstik pada hampir seluruh perjalanannya. Satu

sisi secara potensial karakterstik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk

dijadikan dasar pijakan dalam rangka menyikapi globalisasi dan persoalan-

persoalan lain yang menghadang pesantren secara khusus, dan masyarakat


251
luas secara umum. Misalnya, kemandirian, keikhlasan dan

kesederhanaan, 252 ketiganya merupakan nilai-nilai yang dapat melepaskan

masyarakat dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk ketergantungan dan

pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi-

sendi kehidupan umat manusia.

250
Neviyarni, Pelayanan Bimbingan, 71.
251
Abd. A’la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 9.
252
Ketiganya adalah merupakan jiwa dan fisafat hidup pesantren. Adapun secara lengkap jiwa dan
filsafat hidup pesantren adalah: 1. Keikhlasan. 2. Kesederhanaan. 3. Berdikari. 4. Ukhuwah
Islamyah. 5. Bebas. Lihat: Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pengelolaan Pondok Pesantren” dalam M.
Nazim Zuhdi dkk., (ed.), Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press
Bekerjasama dengan Pusat Informasi dan Kajian Islam, 1999), 94

136

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Sekalipun pesantren sering dikategorikan sebagai lembaga pendidikan

tradisional, akan tetapi sesungguhnya pesantren terus tumbuh dengan

perubahan internal yang sangat berarti, walaupun bervariasi antara pesantren

satu dengan yang lain. 253

Tentang konsep gender dalam masyarakat ini Mufidah254 berpendapat

bahwa, masyarakat membentuk dua wajah ekspresi makna, yaitu: Pertama,

kelompok yang menolak konsep gender sebagai konstruksi sosial, kelompok

ini cenderung bias gender yang menggambarkan pandangan konservatif,

sehingga status, peran dan pola relasi laki-laki dan perempuan tidak berubah

atau tidak perlu diubah karena dapat mengganggu keharmonisan kehidupan.

Kedua, kelompok yang menerima konsep gender sebagai konstruksi sosial,

maka peran dan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat berubah

dan diubah bercirikan sensitif gender yang menggambarkan pandangan

progresif, sehingga ekspresi makna yang muncul adalah kehidupan egaliter

sebagai kebutuhan mendasar dalam membangun keharmonisan dalam

kehidupan. Dengan demikian gender dipahami sebagai konstruksi sosial yang

dapat diubah dan berubah sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, komitmen

dan beradaptasi dengan ruang dan waktu.

Ketika terjadi proses dialektika individu dengan masyarakatnya yang

terus menerus mengalami perubahan sosial sebagai dampak kemajuan ilmu

pengetahun dan teknologi pada era reformasi dan gobalisasi yang menjadikan

peran-peran mereka sebagai simbol dan identitas diri laki-laki atau perempuan

253
Imam Bawani, “Pola Modernisasi Pesantren Di Indonesia” dalam M. Nazim Zuhdi dkk., (ed.),
Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press Bekerjasama dengan Pusat
Informasi dan Kajian Islam, 1999), 87.
254
Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan Pendekatan Islam, Strukturasi
& Konstruksi Sosial ( Malang: UIN-Malang Press, 2009), 87.

137

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


terjadi pula pergeseran dan perubahan. Antara lain misalnya laki-laki akan

memahami bahwa identitas yang dulu dipertahankan bahwa laki-laki sebagai

pengambil keputusan dan pencari nafkah tunggal, maka merubah

pemahamannya untuk memberikan akses kepada perempuan bersama-sama

sebagai pengambil keputusan, pencari nafkah dan peran gender lainnya.

Demikian pula perempuan sebagai anggota masyarakat akan memahami

dirinya sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi. Perempuan akan siap

beraktivitas sosial di ranah publik dengan peran produktif sebagaimana laki-

laki dengan motivasi untuk merubah kondisi keluarga sebagai dampak dari

perubahan di masyarakat.255

Oleh karena itu modernisasi dalam rangka peningkatan aktualisasi

pengabdian di tengah masyarakat, khususnya polarisasi modernisasi pesantren

menurut Bawani,256 sayogyanya memenuhi kreteria sebagai berikut:

1. Modernisasi pesantren harus tetap bertumpu pada asas keislaman, dan

dalam batas tertentu juga tetap mempertahankan ciri khas tradsionalnya,

seperti nila-nilai keikhlasan, kesederhanaan dan kemandiran.

2. Modernisasi pesantren harus berorientasi pada keseimbangan antara iptek

dengan imtaq dalam arti yang seluas-luasnya. Gejala positif yang muncul,

ditandai antara lain dengan pengokohan imtaq disamping keterbukaan

konstruktif pesantren terhadap modernisasi, yakni kesediaan institusi

untuk pengembangan iptek tertentu untuk pengembangan bidang tersebut

kepada pesantren.

255
Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender, 86.
256
Imam Bawani, “Pola Modernisasi Pesantren Di Indonesia” dalam M. Nazim Zuhdi dkk., (ed.),
Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press Bekerjasama dengan Pusat
Informasi dan Kajian Islam, 1999), 91-92.

138

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


3. Modernisasi pesantren sayogyanya tetap memberikan peluang terjadinya

keberagaman masing-masing untuk mempertahankan ciri khas dan

program pendidikannya, dalam arti tidak cenderung menggiring ke arah

pola yang seragam bagi untuk seluruh pesantren.

4. Modernisasi pesantren sayogyanya dengan cara memanfaatkan

semaksimal mungkin corak aslinya sebagai pendidikan mandiri.

5. Modernisasi pesantren perlu dilakukan dalam keterkaitan eratnya dengan

realitas dan kebutuhan lingkungan.

Demikian juga Abd A’la257 bahwa sikap modernis yang menekankan

pada kesinambungan sejarah melalui penghargaan yang kritis terhadap turats

akan membuat umat Islam selalu dapat berdialog dengan masanya tanpa harus

kehilangan khazanah intelektual mereka, dan juga tanpa harus mengorbankan

islamisitasnya yang genuine. Dengan demikian mereka akan memiliki

kekayaan wawasan dan tidak kehilangan jati diri mereka.

Dalam konteks kepemimpinan perempuan di pesantren, ada beberapa

alasan yang sangat memungkinkan perempuan untuk menjadi pemimpin di

pesantren, antara lain:

1. Secara internal.

a. Pesantren yang dalam waktu lama dikenal sebagai masyarakat

patriarkhi kini mulai merespon secara positif perjuangan kesetaraan

gender. Misalnya kerapkali mengadakan khalaqah tentang gender

untuk kalangan pesantren. 258 Dengan demikian, antara lain akses

pendidikan bagi generasi penerus pesantren yang pada mulanya lebih


257
Abd A’la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), 228.
258
Ahmad Baidowi, Memandang Perempuan Bagaimana Al-Qur’an dan Penafsir Modern
Menghormati Kaum Hawa? (Bandung: Marja: 2011) 29.

139

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


mengistemewakan laki-laki, maka bagi perempuan sangat berpeluang

untuk mendapatkan pendidikan pada tingkat yang sama dengan laki-

laki.

b. Dengan semakin baiknya akses dan kesempatan yang diperoleh

generasi muda muslim laki-laki maupun perempuan –termasuk dari

komunitas di pesantren-, bagi mereka terbuka dan berpeluang

mengembangkan potensi dengan menuntut ilmu sampai tingkatan

akademik yang paling tinggi.259

c. Dengan kapabelitas dan pengetahuan yang dimiliki perempuan,

perempuan menyadari statusnya sebagai khalifah atau penguasa di

bumi. Terjadi kesadaran untuk mengemban tugas dan wewenangnya

pada batas-batas kekuasaan, terutama dalam kaitannya

mempertanggungjawabkan mengembangkan dan menyampaikan ilmu

yang dimiliki.

d. Keberanian perempuan mengambil kesempatan untuk melakukan

negosiasi dalam mengaktualisasikan diri bahwa ia mampu untuk

menjadi pemimpin, apakah dalam rangka melanjutkan estafet

kepemimpinan di pesantren atau secara pribadi ia berkemampuan

untuk memimpin pesantren.

259
Gejala menyolok yang penting ditandaskan adalah kecenderungan makin terbukanya akses bagi
santri pesantren dan siswa –laki-laki dan perempuan- madrasah pada sekolah unggulan dan
perguruan tinggi bergensi. Selama ini, segmen ini dikenal marjinal, tidak memiliki akses memadai
pada jalur pendidikan formal yang menuntut kompetisi ketat. Akses baru itu diakibatkan stimulus
kebijakan afirmatif negara lewat Departemen Agama yang memberi topangan akses. Baik berupa
dukungan beasiswa maupun penetapan kuota pada sekolah unggulan. Lihat: Asrori S. Karni, Etos
Studi Kaum Santri Wajah Baru Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan Media Utama,2009), xxxii,

140

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


2. Secara eksternal.

a. Berbagai upaya modernisasi Islam yang merembes dan muncul di

berbagai sektor yang krusial, antara lain dalam sektor, ekonomi,

politik, pendidikan dan sosial budaya.

b. Terjadi peningkatan kesadaran terhadap potensi dan eksistensi

perempuan secara berangsur-angsur pada sebagian kaum laki-laki dan

perempuan, yang memberi suasana kondusif bagi kaum perempuan

untuk dapat berkiprah secara lebih luas di masyarakat pada umumnya,

khususnya di pesantren.

c. Berkembangnya media masa yang mengekspos kemampuan dan

keberhasilan perempuan dalam pembangunan khsusunya dalam

memimpin, sehingga berdampak positif memotivasi perempuan untuk

mengembangkan kemampuan diri melalui pendidikan sekolah maupun

luar sekolah.

d. Terdapat sosok model ideal perempuan sukses dalam memimpin yang

memotivasi perempuan untuk mengikuti jejak kesuksesannya.

e. Kemajuan teknologi yang sangat berperan membantu meringankan

tugas-tugas domestik maupun tugas publik perempuan.

f. Pesantren dapat dikategorikan disamping sebagai lembaga alternatif

tempat penggodogan kader-kader bangsa yang berpendirian dan

berbudi luhur, juga sebagai asset untuk menciptakan pemimpin-

pemimpin masa depan yang tangguh serta tahan uji.260

260
Hal ini ditegaskankan oleh maftuh, bahawa tujuan pokok pesantren tidak boleh berubah, yakni
melahirkan alim ulama dan pemimpin agama yang mampu menerjemahkan nilai dan norma agama
dalam kehidupan bermasyarakat, dapat mendorong dan membimbing masyarakat dan umat ikut
serta dalam pembangunan, dan mampu menerjemahkan gagasan dalam bahasa yang dipahami

141

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Dengan demikian, bagi perempuan dengan potensi yang dimiliki dan

berbagai latar yang melingkupinya–terutama yang mempunyai latar belakang

keluarga pesantren- sangat dimungkinkan ia dapat memimpin pesantren

apabila dia diberi kesempatan dan kepercayaan untuk memimpin pesantren,

terutama dalam posisi kepemimpinan pesantren tidak ada yang mewarsi

sehingga kehawatiran punahnya pesantren dapat dikendalikan.

Perempuan dari kalangan pesantren, yang mendapatkan izin dan dan

restu kiai (orang tua), untuk menuntut ilmu –bisa jadi di pesantren- dimana

mendapatkan pendidikan dan latihan-latihan sebagaimana diharapkan pada

umumnya di pesantren untuk menjadi kader-kader penerus ulama, baik laki-

laki maupun perempuan. Hal ini juga sebagai respon dari tantangan

(modernisasi) tersebut ada geliat baru pada sejumah intelektual muslim yang

mencoba untuk melancarkan berbagai upaya modernisasi pada tubuh Islam -

dengan dialektika antara ajaran Islam dengan modernisasi- yang dimunculkan

dalam berbagai ragam (bentuk) dan karakteristiknya.261

Dari beberapa hal tersebut, mengindikasikan bahwa sosok perempuan

di masa-masa mendatang akan mendapat kesempatan yang sebelumnya tak

pernah bisa diakses. Saat ini banyak perempuan telah merintis jalan dalam

lapangan pekerjaan dan usaha bisnis yang terpisah khusus perempuan. 262

umat. Dalam pengembangan pesantren setidak-tidaknya ada tiga faktor yang perlu mendapatkan
perhatian: Pertama, ulama tetap berperan sebagai ulama, kedua, kadersasi ulama harus
ditumbuhkembangkan, ketiga, konsistensi sistem madrasah . Lihat: Departemen Agama,
Muhammad M. Basyuni Revitalisasi Spirit Pesantren Gagasan, Kiprah dan Refleksi (Jakarta:
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantrem Direktorat Jendral Pendidikan Islam
Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), 19.
261
Ninik Masruroh dan Umiarso, Modernisasi Pendidkan Islam Ala Azyumardi Azra (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), 105.
262
Mai Yamani, (ed.) Menyingkap Tabir Perempuan Islam Perspektif Kaum Feminis (Bandung:
Nuansa, 2007), 22.

142

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Marwah Daud Ibrahim, sebagaimana ditulis Ishomuddin 263 begitu

optimis bahwa perempuan adalah pemimpin di masa mendatang. Ia

menjelaskan strategi-strategi yang harus dijalankan untuk mencapainya,

diantaranya sebagai berikut:

Pertama, perlu perlu ditumbuhkan pandangan yang melihat tugas dan

peran perempuan dan laki-laki sebagai suatu yang komplementer, dan tidak

perlu dipertentangkan.

Kedua, harus ditumbuhkan pandangan multifungsi manusia untuk

menggantungkan pandangan peran ganda perempuan. Gambaran hitam putih

yang mempertentangkan antara peran perempuan dalam rumah dan luar rumah

sudah ketinggalan zaman. Peran-peran ini bisa saling mendukung. Boleh jadi

perempuan secara fisik berada di rumah, tetapi pikiran dan karya-karyanya

mengembara menembus dinding-dinding primordial apa saja.

Dengan pandangan dan sikap demikian, perempuan akan dapat secara

leluasa dan penuh rasa tanggung jawab dalam melaksanakan peran domestik

maupun peran publik secara maksimal dan berkualitas. Misalnya ketika

menekuni dan menghadapi peran pablik, dalam diri perempuan tanpa adanya

beban dan tertekan perasaan yang membayangi bahwa tugas domestik sedang

menunggu, sebab ia tahu dan sadar bahwa pekerjaan domestik juga tanggung

jawab suaminya.

Di pesantren, perempuan (nyai) mempunyai peran yang cukup berat,

sebab harus berhadapan dengan berbagai tantangan masyarakat global maupun

tantangan zaman yang setiap saat mesti dapat berubah sebagai tanda

263
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam Retrospeksi Visi dan Aksi (malang: umm press, 1996),
201.

143

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kehidupan yang dinamis. Peran nyai sebagaimana yang ditulis Faiqoh,264 nyai

adalah istri kiai yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang agama

dan melakukan dakwah. Nyai diharapkan dapat melakukan perubahan karena

kemampuannya, khususnya di pesantren perempuan.

Meminjam istilah Zamakhsyari Dhofier 265 bahwa kiai (baca:nyai)

umumnya berpandangan bahwa pesantren diibaratkan sebagai kerajaan kecil

nyai merupakan sumber mutlak dari suatu kekuasaan dan kewenangan (power

and authority) dalam lingkungan pesantren. Di pihak lain santri berkeyakinan

bahwa nyai yang diikutinya adalah orang yang percaya diri (self confidence)

baik dalam urusan agama Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan

manajemen pesantren.

Menurut Clifford Geertz 266 bahwa orang sering datang kepada kiai

(nyai) untuk meminta nasihat, disamping itu kiai juga sebagai juru obat. Nyai

mengobati dengan menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan dan berdoa. Para

nyai –tabib, penasehat, guru dan cendikiawan- adalah orang-orang yang paling

tinggi prestisenya di kalangan umat. Sebagaimana ditulis Sukamto,267 bahwa

corak kehidupan nyai dan santri membuat kedudukan pesantren menjadi multi

fungsi. Nyai dijadikan imam dalam bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan

sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang

menimpa masyarakat. Peran nyai semakin kuat di dalam masyarakat ketika

kehadirannya diyakini membawa berkah. Misalnya tidak jarang nyai diminta


264
Faiqoh, Nyai Sebagai Agen Perubahan, (Tesis: Universita Indonesia 1998), 10.
265
Zamakhsyari Dhafier. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta:
LP3ES, 1986), 56.
266
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya,
1983), 244-245.
267
Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), 13. Lihat
Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Sub Kultur, dalam Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan
Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1988), 40-45.

144

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama dan dimintai do’a untuk

melariskan barang dagangan. Kiai tidak hanya dikategorikan sebagai alite

agama, tetapi juga sebagai elite pesantren, yang memiliki otoritas tinggi dalam

menyimpan dan menyebarkan pengetahuan keagamaan serta berkompeten

mewarnai corak dan bentuk kepemimpinan yang ada di pondok pesantren.

Sebagai elite pesantren yang memiliki otoritas tinggi dalam

menyebarkan pengetahuan keagamaan serta berkompeten mewarnai corak dan

bentuk kepemimpinan yang ada di pondok pesantren, nyai juga

mendakwahkan untuk membebaskan manusia dari beban kehidupan dan

melepaskan dari belenggu yang memasung kebebasan mereka serta

melakukan kritik sosial, meliputi penyebaran ajaran Islam, menyebarkan

kesalehan dan ibadah ritual, menyuruh dan meningkatkan perhatian pada

keluarga, pendidikan anak dan menghindarkan masyarakat dari pengaruh-

pengaruh negatif yang merusak kualitas hidup secara materiil, spiritual,

emosional dan intelektual, individual dan sosial.

Salah satu tugas itu adalah sebagai Mubalighah menurut Marcous 268

adalah mediator di bidang agama yang tidak hanya mengkomunikasikan

ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, tetapi juga

mengkomunikasikan ajaran agama Islam yang berkaitan dengan kehidupan

sehari-hari seperti hubungan antar pribadi, kehidupan keluarga, kesehatan,

pendidikan, budaya, ekonomi dan politik dan masalah-masalah lain, untuk

dikomunikasikan dengan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya.

268
Lies Marcous, Women Mediation in Indonesia, (Leiden: KTLV, 1992), 205.

145

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Anda mungkin juga menyukai