DI PONDOK PESANTREN
untuk menggerakkan semua sumber dan alat (resources) yang tersedia dalam
besar, yaitu human resources dan non human resources. 1 Secara luas
1
Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpnan Pendidikan Islam (Bandung:
Refika Aditama, 2008), 29.
2
Feithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Edisi Kedua (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), 2.
35
dibawanya sejak lahir. Ini berarti seseorang akan jadi pemimpin karena
kesempatan.
lain.
atau merupakan keturunan atau bawaan sejak lahir. Pendapat ini banyak
kepemimpinan akan berlaku estafet dari seorang pemimpin kepada anak dan
bahwa kepemimpinan itu made atau dibentuk oleh intelektual, lingkungan dan
3
Arifin, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja (Yogyakarta: Teras, 2010), 4.
4
M. Humam Hidayat, Kepemimpinan dan Organization Development, dalam Kepemimpinan
Pengembangan Organisasi, Team Building & Perilaku Inovatif, Mas’ud Said (ed.), (Malang:
UIN-Malang Press, 2007), 203.
36
ini bahwa anak seorang pemimpin bukan jaminan akan menjadi pemimpin
emas atau justru sebaliknya, bisa mengubah tumpukan uang menjadi abu jika
tidak dapat bekerja sendiri tanpa dukungan dari bawahannya. Oleh karena itu
hubungan manusia. Kedua orientasi itu perlu dipadukan dan keduanya perlu
ditingkatkan.7
5
Muhaimin, Kepemimpinan dalam Pengembangan Organisasi, dalam Kepemimpinan
Pengembangan Organisasi, Team Building & Perilaku Inovatif, Mas’ud Said (ed.), (Malang:
UIN-Malang Press, 2007), 12.
6
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, v.
7
Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpnan, 30.
37
sebagai berikut:
solusinya.
f. Critique. Dengan jiwa yang kritis, seorang pemimpin harus jeli dan
8
M. Humam Hidayat, “Kepemimpinan dan Organization Development”, 206.
38
memiliki keluasan pengetahuan tanpa keluwesan budi pekerti bisa jadi dalam
yang hanya memiliki keluwesan budi pekerti tetapi tidak luas pandangan dan
cermat.
harus selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu: a) Kekuasaan ialah
orang mampu ‘membawahi’ atau mengatur orang lain, sehingga orang tersebut
anggota biasa.
9
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, 36.
39
1. Tipe kharismatik.
3. Tipe militeristis.
4. Tipe otokratis/otoritatif.
6. Tipe populistis.
7. Tipe administrative.
10
Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam Konsep, strategi dan Aplikasi (Yogyakarta, Teras,
2009), 191.
11
Ralph Schroeder, Max Weber tentang Hegemoni Sistem kepercayaan (Yogyakarta: Kanisius,
2002), 154-155. Kepemimpinan karismatik didasarkan pada kualitas luar biasa yang dimiliki oleh
seseorang sebagai pribadi. Pengertian ini sangat teologis, karena untuk mengidentifikasi daya tarik
pribadi yang melekat pada diri seseorang, harus dengan menggunakan asumsi bahwa kemantapan
dan kualitas kepribadian yang dimiliki adalah merupakan anugrah Tuhan. Penampilan seseorang
dianggap karismatik dapat diketahui dari ciri-ciri fisiknya, misalnya matanya yang bercahaya,
suaranya yang kuat, dagunya yang menonjol, atau tanda-tanda lain. Ciri-ciri tersebut menunjukkan
bahwa seseorang memiliki jiwa sebagai pemimpin karismatik, seperti kepemimpinan para Nabi
dan sahabatnya. Lihat Sukamto, Kepemimpinan Kiai, 25. Husein M. Haikal, Sejarah Hidup
Muhammad SAW., (Jakarta: Yudhistira, 1989), 80. Lihat: Bryan S. Turner, Sosiologi Islam, Suatu
Telaah Analisa Atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta Rajawali,1984), 168-169
12
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, 80-86.
40
kekuatan energi, daya tarik dan wibawa yang luar biasa untuk mempengaruhi
orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan
pengawal yang dapat dipercya. Hingga saat ini belum dapat diketahui benar,
apa yang menjadi penyebab, dan mengapa seseorang bisa memiliki kharisma
13
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 102.
41
dan partisipatif.14
pesantren.17
pesantren. Otoritas tidak lagi mutlak di tangan kiai, dan secara legal formal
kiai tidak lagi berkuasa mutlak, melainkan bersifat kolektif ditangani secara
masyarakat, demikian juga kiai dan ustadz merupakan satu team work yang
14
Atiqullah, Manajemen & Kepemimpnan Pendidikan Islam Strategi Mengefektifkan Lembaga
Pendidikan Agama & Pendidikan Keagamaan ((Surabaya: Pena Salsabila, 2012), 246.
15
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, tt.), 46.
16
Muthofa Rahman, “Menggugat Manajemen Pendidikan Pesantren”, dalam Ismail SM.dkk., (ed.),
Dnamika Pesantren Dan Madrasah (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002), 116.
17
Mujamil Qomar, Pesantren Dari, 116.
42
kepemimpinannya.
perempuan jahat; dengan kata lain perempuan yang buruk kelakuannya atau
dari kata wan berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti ”yang
18
Menurut Hamka bahwa ’empu’ sebagai empu jari menjadi penguat dari jari; jari tidak bisa
menggenggam erat, memegang teguh, kalau empu jarinya tidak ada. Lihat: Hamka, Kedudukan
Perempuan Dalam Islam (Jakarta: Grafika, 1986), 82.
19
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 448.
20
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 19-21
43
Melayu.21
dan perempuan berakar dari konsep pencipataan ini. Al-Qur’an memang tidak
dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis
perempuan.24
21
Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam terj. Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), v.
22
Sebagaimana sering ditemukan dalam wacana sosial kemasyarakatan, ada semacam pelabelan
atau stereotipe yang berlaku dalam kelompok masyarakat berdasarkan pada jenis kelamin. Sosok
wanita dalam konteks budaya di Indonesia masih sering dikaitkan dengan segala urusan dengan
sektor domestik dalam sebuah rumah tangga sehingga peran wanita dalam sektor publik masih
dalam proses reinforcing. Wacana ini muncul sebagai akibat dari tercampuraduknya pemahaman
tentang konsep ’kodrat wanita’ dalam konteks kodrat yang dikonstruksi secara kultural dan kodrat
biologis. Secara biologis dan kodrati, antara pria dan wanita memiliki perbedaan yang jelas,
misalnya perbedaan organ kelamin dan fungsinya masing-masing, perbedaan bentuk fisik yang
disebabkan perbedaan harmonal, maupun perbedaan fungsi reproduksi. Namun ternyata perbedaan
genetis atau biologis ini seringkali dianggap memilki korelasi serta berkaitan erat dengan
perbedaan sikap dan perilaku antara pria dan wanita. Lihat Siti Sholihati, Wanita & Media Massa
(Yogyakarta: Teras, 2007), 59-60
23
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, 269.
24
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 1.
44
tidak sebagaimana dimiliki oleh kaum lelaki. Anggapan seperti ini antara lain
45
perempuan.
28
Selain itu menurut Susilaningsih ketimpangan gender dalam
masyarakat disebabkan oleh sikap bias gender yang terserap dari pengetahuan
yang mengandung nilai tidak adil gender dalam masyarakat tertentu. Pola
terserap dari budaya Jawa dan tafsir ajaran agama yang disosialisasikan
pembeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini ditegaskan dalam ayat-ayat
Padahal ini hanyalah peran gender, karena bisa dilakukan oleh laki-laki. Lihat Mansour Faqih,
Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 11. Ahmad Taufiq,
Perspektif Gender Kyai Pesantren, Memahami Teks menurut Konteks Relasi Gender Dalam
Keluarga (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 41. Kesalahpahaman atau kekurangtahuan
masyarakat terhadap kedua istilah yang secara konseptual maupun implikasinya sangat berbeda ini,
bisa disebabkan oleh beberapa hal: pertama, istlah gender tergolong bahasa asing. Kata gender
bukanlah istilah baku yang muncul dalam kosa kata kamus bahasa Indonesia, namun dari kosa kata
bahasa Inggris, gender, yang berarti jenis kelamin. Kedua, fenomena dan problem gender
dianggap sebagai suatu problem yang tidak di sini tapi ”di sana”. Padahal sesungguhnya fenomena
gender ada di sekitar kita, baik fenomena keadilan, maupun ketidakadilan gender. Ketiga, kondisi
diatas mengakibatkan tidak adanya sensitivitas baik pada laki-laki maupun perempuan sendiri
terhadap fenomena ketidakadilan gender yang terjadi, baik ketidakadilan terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungan sekitarnya. Keempat, rendahnya daya asersitivitas terdap persoalan gender,
mengakibatkan kaum perempuan terutama , merasa ”kurang mampu” menyuarakan problemnya,
baik kepada sesama perempuan maupun kepada laki-laki. Lihat Umi Sumbulah, ”Problematika
Gender” dalam Umi Sumbulah, dkk., Spektrum Gender, Kilasan Inklusi Gender di Perguruan
Tinggi (Malang: UN-Malang Press, 2008 ), 4.
27
Perbedaan gender yang kemudian melahirkan peran gender sebenarnya tidak menimbulkan
masalah. Akan tepapi persoalannya adalah bahwa peran gender tradisional perempuan (perawat,
pengasuh, pendidik, dan lain sebagainya) dinilai lebih rendah dibanding peran gender laki-laki.
Selain itu, perbedaan peran ternyata juga menimbulkan masalah yang perlu digugat, yakni
ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran dan perbedaan-perbedaan gender tersebut. Lihat Sahal
Mahfudz, Pengantar dalam Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi kiai atas Wacana
Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2007), xii.
28
Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed.), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Baseline
and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN
Press, 2004), 3.
46
40 (al-Mu’min) :40.30
gender yang ideal. Prestasi individual dalam bidang spiritual maupun urusan
29
ْ ُن فَلَنُ ۡح ِي َينﱠهۥُ َح َي ٰو ٗة طَيﱢبَ ٗ ۖة َولَن َۡج ِزيَنﱠھُمۡ أَ ۡج َرھُم ِبأَ ۡح َس ِن َما َكانٞ ص ِل ٗحا ﱢمن َذ َك ٍر أَ ۡو أُنثَ ٰى َوھ َُو ُم ۡؤ ِم
َوا َي ۡع َملُون َ ٰ َم ۡن َع ِم َل
”Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebhi baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” Lihat: Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 417.
30
ٓ
اب َ ِن فَأُوْ ٰلَئٞ صلِ ٗحا ﱢمن َذ َك ٍر أَ ۡو أُنثَ ٰى َوھ َُو ُم ۡؤ ِم
ٖ ك يَ ۡد ُخلُونَ ٱ ۡل َجنﱠةَ ي ُۡر َزقُونَ فِيھَا بِغ َۡي ِر ِح َس َ ٰ َى إِ ﱠال ِم ۡثلَھَ ۖا َو َم ۡن َع ِم َل
ٓ ٰ َم ۡن َع ِم َل َسيﱢئ َٗة فَ َال ي ُۡجز
”Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding
dengan kejahatan itu. Dan barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh baik laki-laki maupun
perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk sorga, mereka diberi rizki
di dalamnya tanpa hisab.” Lihat: Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 765.
31
Zaitunah Subhan. Tafsir Kebencian, 157.
47
antara lain disebabkan oleh realitas sosial politik maupun ekonomi global
yang masih berpihak pada pelestarian budaya patriarki,33 dan secara internal
sebagian besar umat Islam masih belum terlepas dari pemahaman yang bias
gender dalam memahami doktrin dan ajaran Islam yang terkait dengan isu-isu
melayani tujuan yang sama -seperti halnya sistem hukum, pendidikan, polisi
32
Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 1.
33
Patriarki adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi suprioritas,
menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan
perspektif laki-laki. Lihat Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012), xvi. Bandingkan dengan dian Ferricha, Sosiologi Hukum &
Gender Interaksi Perempuan Dalam Dinamika Norma Dan Sosio-Ekonomi (Malang: Bayumedia,
2010), 96.
34
Feminism berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme
diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat.
Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk
mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala
bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being). Lihat Aida Fatilaya S.
Hubies, dalam Membincang Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, ed.
Dadang S. Anshori, dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 19.
35
Nawal El Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki Cet. II, Tarj. Zulhimiyasri
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 7.
36
Masalah kedudukan dan peran perempuan dalam agama telah menjadi wacana yang “ramai”
diperdebatkan. Hal ini dikarenakan ada sebagian orang melihat dan menilai bahwa banyak dalil
(doctrines) keagamaan yang menempatkan sosok perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Dalam agama Islam umpamanya, isu-isu penting yang menjadi wacana
tentang posisi perempuan, di antaranya menyangkut masalah penciptaan perempuan,
kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga, perkawinan, kesaksian, pencari nafkah, dan
pewarisan. Dalil yang membahas soal-soal tersebut pada umumnya dianggap menempatkan posisi
laki-laki dengan sangat strategis dan jauh lebih unggul daripada perempuan. Lihat Ratna Batara
Munti, dkk. Respon Islam Atas Pembakuan Peran Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 1.
48
berumah tangga. Isu terhadap perempuan ini telah terkonsentrasi dengan peran
penalaran wanita kurang sempurna dibanding kaum pria dan ini diawali
peran, aktifitas rutin yang bisa dikerjakan atau digantikan oleh siapapun,
sehingga bukan merupakan kodrat wanita.38 Pada saat ini pekerjaan domestik
seperti memasak yang dulu hanya dapat dilakukan oleh perempuan, di tempat-
tempat tertentu seperti di rumah makan, di hotel, dan jajanan keliling telah
37
Konsep tentang asal kejadian perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar, baik
secara filosofis maupun teologis, karena ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari
konsep penciptaan. Asal penciptaan perempuan pertama (Hawa) yang terletak pada pemahaman
surat an-Nisa’ ayat 1:
ْ ُٰيَٓأَيﱡھَا ٱلنﱠاسُ ٱتﱠق
َ َوا َربﱠ ُك ُم ٱلﱠ ِذي َخلَقَ ُكم ﱢمن نﱠ ۡفس ٰ َو ِحدَة َو َخل
… ق ِم ۡنھَاز َۡو َجھَا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya… Maksud kalimat nafs wahidah adalah Adam
dan zaujaha adalah (Hawa). Lihat Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al- Qur’an, 1971), 114. Dan hadith tentang
penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk, yatu:
ِ ْ فَإِنﱠ ا ْل َم ْرأَةَ ُخلِقَتْ ِمن، سا ِء
ضلَ ٍع َ صوا بِالنﱢ ُ ست َْو ْ » ا- صلى ﷲ عليه وسلم- ﷲ ِ سو ُل ﱠ ُ عَنْ أَبِى ھُ َر ْي َرةَ رضى ﷲ عنه قَا َل قَا َل َر
« سا ِء ﱢ ن
َ ِ ُ ْ ال ب واص َو ت س
ْ اَ ف ، ج ْو
ع َ أ ل َ
ز ي م َ ل هَ
َ َ ْ َ ْ ُ َ َِ ُ َْ ُ ُ ِ ت ْ
ك رَ ت ْن إ و ، هَ ت رس َ
ك هم ي قُ ت ب
َْت َوإِنﱠ أَع َْو َج ش َْى ٍءفِى ال ﱢ،
فَإِنْ َذ َھ، ُضلَ ِع أَ ْعالَه
Lihat: Ahamd bin 'Ảli bin Hajar Al-'Asqalậnỉ, Fath al-Bậrỉ Sharh S}ahỉh al-Bukhậrỉ. Juz VI .
Editor Abd. 'Azỉz bin Bậz, (Bairut : Dậr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1989) 447.
Karena adanya anggapan tersebut, maka muncullah pemahaman bahwa perempuan diciptakan dari
laki-laki, dan merupakan makhluk kedua setelah laki-laki.
38
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS,
1999), 176.
39
A S Hornby. Ed. Jonathan Croether, Oxpord Advenced Leaner’s Dictionary (Oxpord New york:
Oxpord Unversity Press, 1995), 902. Lihat: John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
49
kesanggupan, daya.40
50
kemampuan dan nalar kritis untuk membahas dan menilai berbagai macam
kelamin laki-laki. Perempuan memiliki otak dan hati nurani dengan tingkat
kecerdasan dan kepekaan yang relatif setara dengan laki-laki. Energi fisik
perempuan juga tidak lebih lemah dari energi fisik laki-laki. Fakta dalam
perempuan itu tenggelam atau ditenggelamkan atau dilupakan oleh dan dari
42
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 280.
43
Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas? Kajian hadith-Hadith Misoginis (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2008), 10.
44
Husein Muhammad dalam Pengantar Ahli Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai
Perspektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012), xvi.
51
bentuk yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan,45 dan
dibawa sejak lahir. Daulay,46 menyatakan bahwa potensi manusia terdiri dua
macam. Pertama, potensi fisik, yaitu seluruh potensi yang meliputi seluruh
organ tubuh manusia yang berwujud nyata, bersifat material. Kedua, potensi
rohaniyah manusia, yakni potensi yang tidak berwujud nyata bersifat abstrak.
jasad dan roh, potensi akal, potensi qalbu dan potensi nafs.
48
Sedangkan Tafsir dalam hal potensi ini menjelaskan bahwa
45
Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali Tradisi,
Mengukuhkan Eksistensi (Malang: UIN Press, 2007), 41.
46
Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan,16. Zaini, lebih rinci tentang jumah potensi
atau fitrah manusia amat banyak, antara lain adalah: Fitrah agama, fitrah intelek, fitrah sosial,
fitrah susila, fitrah seni, fitrah ekonomi (mempertahankan hidup), fitrah kawin(mempertahankan
jenis), fitrah kemajuan, fitrah keadilan, fitrah kemerdekaan, fitrah persamaan, fitrah politik (ingin
kuasa), fitrah cinta bangsa dan tanah air, fitrah ingin dihargai dan fitrah lain-lainnya. Lihat
Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
1986), 56. Selanjutnya Ramaliyus, membagi potensi manusia dalam tujuh dimensi, yaitu: dimensi
fisik (jasmani), dimensi akal, dimensi keberagamaan, dimensi akhlak, dimensi rohani (kejiwaan),
dimensi seni dan dimensi sosial.Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
2002), 82-95. Demikian pula Ghafur, tentang manusa laki-laki mempunyai cri-ciri kuat, rasional,
jantan, perkasa, ganteng, tdak cengeng dll. Sedangkan manusia perempuan mempunyai sifat lemah
lembut, cantik, emosional, keibuan, cerewet, suka ngrumpi dll. Lihat: Waryono Abdul Ghafur,
Tafsir Sosial mendialogkan Teks Dengan Konteks (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 103.
47
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di
Perguruan Tinggi (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), 49-57.
48
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
35.
52
dan lingkungan.49
dominasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain, sehingga karenanya
Untuk itu menurut Wahyudi, 51 fitrah atau potensi harus dibina dan
memperhatikan seluruh aspek yang ada pada manusia baik jasmani, rohani,
49
Pengaruh pembawaan dan lingkungan itu dimulai sejak bayi berupa embrio, dan barulah
berakhir setelah kematian. Tingkat dan kadar pengaruh berbeda antara seseorang dengan orang
lain, sesuai dengan tingkat perbedaan pertumbuhan, perbedaan umur, perbedaan fase
perkembangan masing-masing individu. Faktor pembawaan lebih dominan pengaruhnya tatkala
orang masih bayi; faktor lingkungan (alam dan budaya) lebih dominan pengaruhnya tatkala orang
mulai dewasa. Lihat: Omar Mohammad al-Toumy al- Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,
terjemahan Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan bintang, 1979),136.
50
Suniti, “Gender Dan Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam Jurnal Pengkajian dan Penelitan
Gender Equalita, Pusat Studi Wanita (PSW) STAIN Cirebon Volume 4 Nomor 3 (Juli, 2004), 7.
51
M. Jindar Wahyudi, Nalar Pendidikan, 104.
52
Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma Menembus Tradisi, Pemikiran Tentang
Keserasian Gender (Jakarta: LP3ES, 2006), 1.
53
tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi lebih berat dan kompleks,
Peran perempuan dalam keluarga sangat dominan. Iklim rumah tangga yang
sumber daya manusia yang paling esensial bagi perkembangan bangsa. Oleh
karena tu, pembangunan bangsa bersumber dan dimulai dari rumah di dalam
keluarga.53
53
Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma, 75.
54
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta:
LKis, 2003), 5.
54
dilatarbelakangi oleh kultur atau disebabkan oleh tingkat ekonomi yang masih
dan menguasai ilmu dan teknologi serta keterampilan profesional agar bisa
memasuki dunia kerja, dan memiliki sikap mandiri, tegas, wawasan yang luas,
berorientasi pada niai-nilai moral serta bisa berpikir kreatif inovatif dalam
yaitu cara-cara yang membuat perempuan yang berbeda dari laki-laki. Hal ini
55
Goerge Ritzer, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2012) 786-787. Feminitas esensial
menyarankan bahwa perempuan dapat berperan sebagai perempuan atau bukan sesuai dengan
keinginannya. Lihat: Stevi Jackson dan Jackie Jones (ed.). Pengantar Teori-teori feminis
Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 1998), 294.
55
feminim”.
bahwa sifat tradisional perempuan adalah lebih baik dari pada sifat tradisional
laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriarkal. Bahkan pada feminis
yang terjadi, yang disebabkan oleh arus utama pemikiran feminisme adalah
pada kenyataannya nature perempuan tidak pernah lepas dari peran feminine.
56
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran
Utama Pemikiran Feminis (Yogyakarta; Jalasutra, 1998), 80-81.
57
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, 101.
58
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis,(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2003) 84-85.
56
diri seseorang dari pada mempunyai ciri maskulin, sehingga perempuan tidak
membagi dalam dua golongan, yaitu kelompok yang lebih halus yang
dalam meruntuhkan dunia patriarkhi pada dunia maskulin, dan hanya akan
57
banyak manusia yang masuk ke dunia maskulin. Yang terjadi adalah para
Ironisnya, struktur maskulin yang dibenci oleh kaum feminis, justru menjadi
perempuan sebagai suatu realitas terpisah dan unik, yang memberikan (1)
suatu sistem terintegrasi yang sangat penting bagi pertahanan keluarga; (2)
cinta dan/atau etos tugas; dan (3) suatu loncatan budaya melalui kesadaran
teknologi tersendiri.62
58
dan perempuan, sehingga timbul apa yang disebut kualitas feminin dan
Untuk menonjolkan kualitas feminin, maka tidak ada jalan dan bentuk
lain kecuali dengan menggali potensi dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia perempuan.
dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk secara efektif melalui strategi
pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara
dan optimal. Pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dalam rumah tangga
dalam melaksanakan tugas dan peran sebagai isteri dan sebagai ibu di
lingkungan rumah tangga, maka Rasul saw. memberikan tuntunan yang tepat
64
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 176.
59
seseorang (yaitu calon istri sebagai calon ibu bagi anak-anak dalam
keluarga).65
65
ال تُ ْن َك ُح ْال َمرْ أَةُ ِألَرْ بَ ٍع لِ َمالِھَا َولِ َح َسبِھَا َو َج َمالِھَا َولِ ِدينِھَا
َ َﷲُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم ق
صلﱠى ﱠ ِ ع َْن أَبِي ھُ َر ْي َرةَ َر
ض َي ﱠ
َ ﷲُ َع ْنهُ ع َْن النﱠبِ ﱢي
Dari Abu Hurairah r.a., Rasuluah saw. Bersabda: “wanita dikawini karena empat hal: karena harta
bendanya, karena status sosialnya, karena keindahan wajahnya, dan karena ketaatannya kepada
agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu akan berbahagia”. Lihat: H.
Zainuddin Hamidy, dkk., Terjemah Hadith Shahih Bukhari jilid iv hadith ke 1588 (Klang Selangor
Maaysia: Klang Book Centre, 1990), 10.
Hadith tersebut dapat dipahami bahwa terdapat empat kreteria atau alasan bagi seseorang ketika
mencari, memilih dan menentukan calon isteri atau calon ibu bagi anak-anaknya. Kreteria pertama,
adalah memilih perempuan dikarenakan oleh harta benda yang dimiliki perempuan atau
keluarganya, kedua karena status sosial atau keturunannya, dan ketiga karena kecantikan yang
dimiliki perempuan, sedangkan kreteria keempat adalah ketaatan perempuan pada agama.
Memperhatikan hadith tersebut maka kreteria pertama, kedua dan ketiga adalah merupakan
pemberitahuan, dan kreteria tersebut merupakan keinginan dan mungkin kebanggaan bagi
siapapun yang memiliki isteri atau suami yang memliki kreteria tersebut sebagai sarana untuk
mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kreteria keempat adalah kreteria
ketaatan pada agama. Pada kreteria keempat bukan hanya pemberitahuan sebagaimana pada
kreteria yang lain, bahkan kemudian dilanjutkan dengan perintah (fiil amar) untuk (wajib) memilih
perempuan yang paham tentang agama, terampil melaksanakan ajaran agama dan berkepribadian
sesuai dengan tuntunan agama, untuk mencapai kesejahteraan dalam rumah tangga dan
bermasyarakat, serta untuk meraih kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat kelak.
66
Atho Mudzhar, “Peran Keluarga Dalam Pembentukan Moral Bangsa” dalam Edukasi Jurnal
Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Volume 3 Nomor 3. (Juli-
September 2005), 7.
60
mengutamakan pada kreteria laki-laki yang taat kepada agama Allah. Pesan
dan petunjuk Rasul saw. yang dapat diambil antara lain adalah sebagai upaya
Peran-peran tersebut berkaitan dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta
kesempatan bagi laki-laki dan perempuan yang dibentuk oeh ketentuan sosial,
dua jenis kelamin, dan merupakan suatu cara utama untuk memaknai
itu, gender tampil dalam berbagai cara dan dalam berbagai aspek kehidupan
Manusia yang terdiri dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan
tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap
67
Siti Musdah Mulia, (ed.), Keadian & kesetaraan Gender (Perspektif Islam) (Jakarta: Tim
Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001),123.
68Scott, J.W. “Gender as a Useful Category of Historical Analysis”, in Parker, R. and Aggleton, P.
61
banyak perdebatan.
anatomi biologis dan kompossi kimia dalam tubuh manusia oleh sejumlah
69
Unger mengidentifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan
sebagai berikut: bagi laki-laki (masculine) sangat agresif, independent, independen, tidak
emosional, dapat menyembunyikan emosi, lebih obyektif, tidak mudah terpengaruh, tidak
submitif, sangat menyukai pengetahun eksakta, tidak mudah goyah terhadap krisis, lebih aktif,
lebih kompetitif, lebih logis, lebih mendunia, lebih terampil berbisnis, lebih terus terang,
memahami perkembangan seluk beluk dunia, berperasaan tidak mudah tersinggung, dan lebih suka
berpetualang. Sedangkan bagi perempuan tidak terlalu agresif, tidak terlalu independen, lebih
emosional, sulit menyembunyikan emosi, lebih subyektif, mudah terpengaruh, lebih submisif,
mudah terpengaruh, kurang menyenangi ilmu eksakta, mudah goyah menghadapi krisis, lebih
pasif, kurang kompetitif, kurang logis, berorientasi ke rumah, kurang terampil berbisnis, kurang
berterus terang, kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia, berperasaan mudah
tersinggung, tidak suka berpetualang, sulit mengatasi persoalan, lebih sering menangis, tidak
umum tampil sebagai pemimpin, kurang rasa percaya diri, kurang senang terhadap sikap agresif,
kurang ambisi, sulit membedakan antara rasa dan rasio, kurang merdeka, lebih canggung dalam
penampilan, pemikiran kurang unggul dan kurang bebas berbicara.Ibid, 38.
70
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), 1.
71
Jenis kelamin (sex) memang berbeda sejak lahir antara laki-laki dan perempuan, menjadi hak
penuh Tuhan dalam menentukan jenis kelamin manusia. Lain hanya dengan pembedaan gender,
terjadi melalui sebuah proses panjang yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) melalui
pencitraan, pemberian peran, cara memperlakukan dan penghargaan terhadap keduanya. Oleh
sebab konstruksi sosial merupakan bentukan masyarakat, maka sifatnya bisa berubah atau diubah
sesuai dengan perubahan social, perkembqngan ilmu pengetatahuan dan teknologi, terjadi
musibah, bencana alam, termasuk kebijakan dan pemahaman agama maupun adaptasi dengan
62
kelamin yang berimplikasi terhadap fungi dan peran terhadap laki-laki dan
merupakan pilihan yang dilakukan secara sadar dan tidak ada unsur
perbedaan dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini dapat menjadi
manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting atau lebih esensial dari
yang lain, sebab diantara yang satu dengan yang lain saling ada keterkaitan
budaya yang tidak bias gender. Lihat Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender Pada Basis
Keagamaan, Pendekatan Islam, Strukturasi, & Konstruksi Sosial (Malang: UIN Malang Press,
2009), 6.
72
Ada beberapa pengertian sunnatullah; yatu hukum-hukum Allah yang disampaikan kepada umat
manusia melalui para rasulNya; hukum atau undang-undang keagamaan yang ditetapkan Allah
seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-qur’an; hukum alam, hukum yang berjalan secara
alami dan otomatis empirik. Lihat: M. Dahlan. Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk,
748.
63
rumah tangga, merawat dan mendidik anak adalah bukan sektor publik,
berpartisipasi di dalamnya.74
Realitas yang ada bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah, malah
semakin memiliki beban ganda yang sangat berat. Pertama, ia akan menjadi
rumah tangga sampai pada sektor publik akan mencapai nilai produktivitas
64
mata suami.
sosial antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah domestik maupun
publik telah lama selalu menjadi bahan pokok perbincangan dan perdebatan;
persoalan baru.
76
Adanya keyakinan/pandangan masyarakat yang diakibatkan oleh bias gender terutama terhadap
perempuan, seperti semua jenis pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, dianggap dan
dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan publik yang dianggap pekerjaan laki-laki,
dan dikategorikan sebagai pekerjaan yang bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam
statistik negara. Di lain pihak, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni
berbagai jenis pekerjaan domestik. Lihat: Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, 48.
77
Ketidakadilan gender terjadi di lingkungan rumah tangga, sampai pada tingkat pemerintahan
baik pada satu negara maupun organisasi antar Negara. Mulai dari proses pengambilan keputusan,
pembagian kerja, hingga interaksi antara anggota keluarga, di dalam banyak rumah tangga sehari-
hari asumsi bias gender masih digunakan. Manifestasi ketidakadilan gender ini tersosialisasi
kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap dan akhirnya baik laki-laki maupun
perempuan menjadi terbiasa dan diyakini bahwa peran gender itu merupakan suatu yang kodrat.
Lihat: Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, 49.
78
Susilaningsih, Agus M. Najib, (ed.), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi, 30.
65
gender, yang sejak awal perlu diupayakan terwujudnya keadilan gender. Nilai
dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun tersembunyi, baik melalui
pembelajaran.
berkembang suatu kesadaran kolektif tentang kesetaraan gender. Ini bisa jadi
merupakan buah keberhasilan yang cukup signfikan dari gerakan feminis yang
laki-laki memegang kendali sektor publik di satu pihak, dan pengebiran status
dan peran kaum perempuan di pihak lain. Namun realitas yang berkembang
yang disebabkan oleh banyak faktor sehingga terjadi fenomena yang dapat
dianalisis oleh para pakar maupun aktifis gerakan feminisme. Persoalan ini
internal.80
79
Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru, 174.
80
Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme, 1. Perbedaan anatomi tubuh dan genetika antara laki-
laki dan perempuan didramatisir dan dipolitisir terlalu jauh sehingga seolah-olah secara substansial
perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan seperti ini lebih diperkuat oleh berbagai
mitos dan pernyataan kitab suci (Alkitab) yang menyatakan perempuan sebagai ciptaan kedua.
Persepsi seperti ini mengendap di bawah sadar perempuan sehingga mereka “rela” untuk
menerima perbedaan peran gender yang dinilai kurang adil. Perbedaan peran tersebut bukan
karena kodrat atau faktor biologis (divine creation), tetapi karena faktor budaya (cultural
contructioan). Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan, 39.
66
maupun ekonomi global yang masih mewarisi dan berpihak pada pelestarian
laki daripada kaum perempuan yang dilakukan oleh baik laki-laki bahkan bisa
Sedangkan secara internal antra lain umat Islam sendiri masih belum
terlepas dari pemahaman yang bias gender dalam memahami doktrin dan
ajaran Islam yang terkait dengan isu-isu feminisme. Padahal dalam acuan
yang mereka buat tentang hubungan mereka dengan laki-laki yang (akan)
81
Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, 52.
67
mereka berdua. Posisi dominan itu harus untuk laki-laki, untuk kehormatan
yang diakui perempuan apriori dan diinginkan agar diakui secara universal.
Tetapi posisi dominan itu juga untuk perempuan itu sendiri, untuk kehormatan
dan dibuktikan lewat fakta bahwa secara jelas “laki-laki itu telah
melebihinya”.
kehidupan menjadi dua dunia, yakni dunia domestik yang feminine dan tidak
esensial yang diperuntukkan bagi perempuan, dan duna publik yang maskulin
dan laki-laki, yang makin membatasi sikap dan periaku perempuan sebagai
82
Sri Harjanti Widyastuti, “Perempuan Menerjang Hambatan Budaya: Catatan Dari Lapangan”
dalam Jurnal Reformasi Ekonomi Vol. 8, No. 1 (Januari-Desember 2007), 17.
83
Rahmat Hidayat, Ilmu Yang Seksis Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin
(Yogyakarta: Jendela, 2004), 235.
68
Sebagai makhluk hidup, manusia tumbuh memiliki fungsi dan kebutuhan, dan
bebas atau yang tidak bebas dari relasi sistem kuasa, tetapi sebaliknya,
maupun cara pengetahuan terjadi merupakan akibat mendasar relasi kuasa dan
84
Michel Foucault, Order Of Thing Arkiologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan , B. Priambodo (penerj.)
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 402.
85
Michel Foucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern Penerj. Sunu Hardiyanta,
(Yongyakarta, LkiS, 1997), 27-28.
69
sebagai:
saling mengucilkan.
kekuasaan, yang terus bersifat lokal dan tidak stabil. Kekuasaan ada di mana-
mana, bukan karena mencakup segalanya, namun karena datang dari mana-
kita harus bersikap nominalis di sini: kekuasaan, bukan sebuah lembaga, dan
bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa
86
Colin Gordon, Michel Foucault Power/knowledge Wacana Kuasa/Pengetahuan terj. Yudi
Santoso (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), 304.
87
Foucault, Sejarah Seksualitas Seks dan Kekuasaan, trj. Rahayu S. hidayat , Peny, Jean Couteau,
(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997).113-114
70
dianggap sehat dan yang tidak waras, yang benar dan yang salah.
dan di mana ada kekuasaan, di situ pun ada resistensi dalam bentuk lugas
bentuk visual dan verbal yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu.
ideologi.
88
Antony Synnott, Tubuh Sosial Simbolisme, Diri dan Masyarakat. (Yogyakarta: Jalasutra, 2003)
419
71
dalam masyarakat patriarkhal berasal dari laki-laki; dengan kata lain, tema
perempuan, atau yang lebih khusus, seksualitas perempuan. Frase ‘disiplin dan
Bagi Foucault, kuasa tidaklah dimiliki, diberikan atau diperebutkan, lebih baik
ia jalankan dan eksis. Sebagai akibat dari posisi ini, Foucault menolak
tunggal.
budaya.
89
Ann Brooks, PosFeminisme & Cultural Studies sebuah Pengantar Paling Konferhensif
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 84-85.
90
Goerge Ritzer, Teori Sosiologi Dari sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2012), 476.
72
netral gender, ternyata kekuasaan bisa terjadi pada siapa saja laki-laki maupun
perempuan, dengan berbagai cara yang ia jalankan dan eksis, misalnya dengan
bukanlah sebuah lembaga atau sebuah struktur, bukan semacam daya yang
tunggal.
Begitu banyak hal, fenomena sosial budaya yang muncul setiap hari,
yang bergerak begitu luar biasa dan cepat, telah mengubah banyak hal
kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap
bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila
91
Toeti Heraty Noerhadi, Aku dalam Budaya Telaah Teori & Metodologi Filsafat Budaya
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 264.
92
Nur Ahid, “Pendidikan dan Otonomi Daerah” Akademika Jurnal Studi Keislaman Volume 12,
Nomor 2 (Pebruari, 2003), 65-66.
93
Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan, 69.
73
meninggalkan rumah (bekerja di luar rumah) dapat dilihat sebagai suatu tanda
dari adanya proses dekonstrusi terhadap realitas sosial perempuan yang baku.
dirinya, tidak hanya sebagai ibu atau isteri, tetapi juga sebagai pekerja dan
perempuan karir.
dominasi maskulin tidak lagi dihadirkan dengan segala fakta yang terjadi
dengan sendirinya. Telah dilakukan kerja kritik yang sangat besar oleh
digeneralkan.
94
Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 124.
74
ruang publik.
ditimbulkan.
perlu diungkap adalah tentang pengertian, asal usul, tujuan, sistem pendidikan,
berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, dan mempunyai arti
orang yang tahu buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang
guru ke mana guru itu pergi menetap, untuk tetap dapat belajar suatu
95
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1994),18.
96
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta:LP3ES, 1985), 16.
75
kedaulatan dan leadership seorang atau beberapa orang kiai101 dengan ciri-
ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.
97
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 21-22.
98
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi, 1-2.
99
Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern
(Jakarta: LP3ES, 1884), 13.
100
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara. 1991), 240.
101
Kata kiai bisa berarti: 1) sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam); 2) Alim
ulama; 3) Sebutan bagi guru ilmu ghaib (dukun dan sebagainya); 4) Kepala distrik (di Kalimantan
Selatan); 5) Sebutan yang mengawali nama benda yang dianggap bertuah (senjata, gamelan dan
sebagainya); 6)Sebutan samara untuk harimau (jika orang melewati hutan. Lihat: Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 499. Menurut asal usulnya,
76
Ibrahim (1419), yang berasal dari Gujarat India. Maulana Malik Ibrahim
perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: 1. Sebutan
gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, Kiai Garuda Kencana
dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang berada di keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan
untuk orang-orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang
ahli agama Islam yang ,memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam
klasik kepada santrinya. Selain gelar kiai, ia juga disebut orang ‘alim (orang yang dalam
pengetahuan Islamnya). Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di
masyarakat juga mendapat gelar kiai, walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Lihat:
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 55. Gelar kiai tidak diusahakan melalui jalur-jalur formal
sebagai sarjana misalnya, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus memberikannya
tanpa intervensi pengaruh-pengaruh pihak luar. Kehadiran gelar ini akibat kelebihan-kelebihan
ilmu dan amal yang tidak dimiliki lazimnya orang, dan kebanyakan didukung pesantren yang
dipimpinnya. Lihat: Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 28. Lihat juga: Imam Bawani,
Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993), 90. Mukti Ali, “Pondok
Pesantren Dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini
(Jakarta: Rajawali, 1987), 15.
102
Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha, (ed.), Inteletualisme Pesantren Potret Tokoh dan
Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 8.
77
pendidikan pesantren yang ada sekarang walaupun tidak sama persis sudah
dikenal di masa Rasulullah SAW. Waktu itu santrinya adalah sahabat yang
belajar menulis. Bahkan salah seorang dari mereka ada yang dikenal
103
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 145.
104
Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 101.
105
Paham yang mempraktekkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban, zuhud. Asketik
berarti zuhud, pertapa. Yaitu orang yang meninggalkan kenikmatan duniawi dan menyepi
(bertapa) untuk mendekatkan diri pada Tuhan atau untuk memperoleh pencerahan diri. Lihat M.
Dahlan Y. Al-Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk, 66.
78
yaitu tradisi tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat
pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat.108 Hal
106
Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi Telaah Terhadap Pengembangan Kurikuum Pendidkan
Pesantren (Yogyakarta: Teras, 2010), 49.
107
Sufi adalah ahli sufisme; ahli ilmu suluk. Sedangkan suluk mempunyai pengertian ilmu
kebatinan; sufisme; mistik; tasawuf; jalan menuju kesempurnaan batin. Pengasingan diri guna
mencapai pencerahan atau kesempurnaan batin atau mendekatkan diri pada Sang Pencipta;
khalwat. Lihat: Lihat M. Dahlan Y. Al-Bary dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk, 746-748.
108
Tarekat dalam agama Islam berarti jalan; (tasawuf) jalan menuju kebenaran; persekutuan para
penuntut ilmu tasawuf. Ibid, 760.
109
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Departemen Agama Direktorat Genderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), 95.
110
Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren yang
diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki Ajar hidup dan tinggal
bersama dengan muridnya yang disebut dengan cantrik dan hubungan mereka amat akrab bagakan
orang tua dengan anaknya. Di sinilah terjadi proses pendidikan, di mana Ki Ajar mentransferkan
ilmunya, nilai-nilai kepada cantriknya. Sistem pendidikan pawiyatan ini mirip dengan sistem
pesantren sekarang. Dengan demikian boleh jadi sistem pesantren mengambil sistem pawiyatan.
Lihat: Haidar Putra Dulay, Pemberdayaan Pendidikan, 123.
111
Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, 21.
79
pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu
dari Arab khususnya Mekah dan Madinah sebagai pusat orientasi bagi
umat Islam. Demikian pula menurutnya kitab kuning yang berbahasa arab
adalah merupakan salah satu bukti bahwa asal usul pesantren dari Arab.
masjid.113
80
kitab suci seperti halnya pesantren lama (pesantren umat Hindu). Muatan
dilakukan para sarjana muslim dalam berbagai disiplin, mulai dari flsafat,
perspektif teologi dan moral atau etika. Meskipun aspek ini jauh dari ideal.
maka dilihat dari segi historisnya, memang di satu sisi penyebaran Islam di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosio-kultur di mana Islam itu datang,
81
hal ini adalah budaya Hindu dan Budha, yang sebelumnya dianut oleh
disalahkan jika pondok pesantren dianggap berasal dari Islam itu sendiri,
situlah terjadi proses transmisi keilmuan Islam secara lebih intens dalam
itulah Haramain sebagai tempat lahirnya Islam tidak dapat dipisahkan dari
termasuk Nusantara.
c. Tujuan Pesantren
116
Lihat: “Zaitun, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional Di Indonesia (Telaah
Filosofis Historis Kurikulum Pondok Pesantren Menuju Arah Baru Pendidikan Islam era
Globalisasi”, dalam Muhmidayeli, et al., Membangun Paradigma Pendidikan Islam (Pekanbaru:
Program Pascasarjana UIN Suska Riau, 2007), 190. Kuttab adalah nama tempat dmana pelajaran
disajikan kepada anak-anak. Lihat: Mansur dan Mahfud Junaidi, Rekonstrusi Sejarah, 33.
117
Sistem pendidikan dalam bentuk halaqah adalah seorang guru bisanya duduk di atas lantai
sambil menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya
pemikiran. Adapun murid-muridnya mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai
yang melingkari gurunya. Halaqah tidak mengenal sistem klasikal dan jenjang pendidikan.
Halaqah tingkat pendidikan tingkat lanjut, mengajar dan mendiskusikan ilmu agama, pengetahuan
umum dan filsafat. Lihat: ibid, 34.
82
pesantren tidak sama sehingga tidak ada standarisasi yang berlaku bagi
semua pesantren.
pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kiai atau
Dalam hal ini, bisa jadi ada hubungannya dengan apa yang
118
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 6.
119
Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam Indonesia sebagai Subsistem Pendidikan Nasional” dalam
Edukasi Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Puslitbang pendidikan Agama dan
Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, vol. 4 nomor 2,
(April-Juni 2006), 9-10.
83
terbingkai dalam suatu sistem dan bukan terbingkai dalam milik pribadi.
120
Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, 51.
121
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 3.
84
kongkret.
yang satu dan pesantren yang lain. Ada pesantren yang secara lengkap dan
jumlah besar memiliki unsur-unsur tersebut, dan ada pesantren yang hanya
122
Mastuhu, Dinamika Sistem, 25.
85
membedakan unsur-unsur pesantren menjadi dua segi, yaitu segi fisik dan
segi non-fisik. Segi fisik terdiri dari: (a) kiai sebagai pemimpin, pendidik,
guru, dan panutan, (b) santri sebagai peserta didik atau siswa, (c) masjid
dan (d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Adapun yang terkait
123 123
Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta;Dharma Bhakti, 1979), 9.
124
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan. Sanrti
mendengarkan guru yang membaca, menterjemahkan, menerangkan atau mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-
catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Zamakhsyari
Dhofir, Tradisi Pesantren, 28.
125
Sistem pembelajaran individual dalam pendidikan Islam tradisional disebut sistem sorogan yang
diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur’an.
Metode pembelajarn dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri membaca kitab di
hadapan kiai. Lihat: Ibid. Dalam metode ini santri yang pandai mengajukan sebuah kitab kepada
kiai untuk dibaca di hadapan kiai. Metode sorogan ini terutama dilakukan oleh santri-santri khusus
yang memilki kepandaian lebih. Lihat: Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren
Tebuireng (Malang: Kalimasahada, 1993), 38.
126
Metode pembelajaran wetonan, dilaksanakan dengan jalan kiai membaca suatu kitab dalam
waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan
kiai. Dalam metode semacam ini tidak mengenal absensi. Artinya, santri boleh datang boleh tidak,
dan tidak ada ujian. Lihat: Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, 28.
127
Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan
Sistem Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2013), 37.
86
A, B, C, D, dan E.129
terbatas., yaitu masjid, dan rumah kiai.130 Jenis atau tipe ini khusus
yang ada di sekitar pesantren. Para santri yang demikian ini disebut
128
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan Di Pesantren Lirboyo Kediri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), 24.
129
Manfred Ziemek, Pesantren, 104.
130
Ibid.
131
Lihat: Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum” dalam Said Aqiel
Siradj, (ed.), Pesantren Masa depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 230.
87
lengkap dari tipe A, yaitu masjid, rumah kiai, dan pondok atau
dengan rumah kiai. Dan tipe ini telah memiliki 5 komponen utama,
dan kiai.133
132
Manfred Ziemek, Pesantren, 104.
133
Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren Telaah Terhadap Kurikulum
Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 176.
134
Lihat: Wahyoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Aternatif Masa Depan (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), 87.
135
Manfred Ziemek, Pesantren, 107.
88
Unversitas.
garis besar terbagi menjadi dua kelompok. Pertama. Pesantren Salafi yang
besar jumlah pesantren yang mengikuti pola ini, yaitu pesantren Lirboyo
membuka SMP dan SMA dan Universitas, dan sementara itu keduanya
136
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 41-42.
137
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren Di Tengah Arus
Perubahan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 87-88.
89
umum.
diniyah.
90
dan strategis. Hal ini dapat dilihat dari kekuasaan dan kewenangan kiai
138
Mujamil Qomar, Strategi Baru, 58.
139
Kaidah-kaidah manajemen adalah proses tindakan yang meliputi perencanaan (planning),
mencakup penetapan tujuan, standar, penentuan aturan-prosedur, pembuatan rencana dan prediksi
yang akan terjadi. Pengorganisasian (organizing), yaitu pendelegasian, sistem komunikasi dan
koordnasi kerja yang solid dan terorgansir. Penggerakan (actuating), yakni pimpinan berusaha
menjadikan organisasi bergerak secara aktif dan dnamis. Dan pengawasan (controlling), yaitu
fungsi pengendalian atau evaluasi, agar jalan organisasi sesuai rencana baik arah dan metodenya.
Lihat: Moh. Ali Aziz “Makna Manajemen dan Komunikasi bagi Pengembangan Pesantren” dalam
A. Halim, dkk. (ed.), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 71-72.
140
Kenyataan ini menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren tradisional dikelola berdasarkan
tradisi, bukan profesionalisme berdasarkan keahlian (skill), baik human skill, conceptual skill,
maupun technical skil secara terpadu. Akibatnya tidak ada perencanaan yang matang, distribusi
kekuasaan dan kewenangan yang baik, dan sebagainya. Tradisi ini merupakan salah satu
kelemahan peasantren meskipun dalam batas-batas tertentu dapat menumbuhkan kelebihan. Dalam
perspektif manajerial, landasan tradisi dalam mengelola suatu lembaga, termasuk pesantren
menyebabkan produk pengelolaan itu asal jadi, tidak memiliki fokus strategi yang terarah,
dominasi personal terlalu besar, dan cenderung eksklusif dalam pengembangannya. Lihat:
Mujamil Qomar, Strategi Baru, 59.
91
maupun nasional.
f. Kepemimpinan Pesantren
141
Nur Syam, Transisi Pembaruan Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan (Sidoarjo: LEPKISS,
2008), 196.
142
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 58.
143
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 31.
144
Bisri Efendi, An Nuqayah; Gerak Transformasi Soaial Di Madura (t.t. P3M Perhimpunan
Pengembangan Pesantren, 1990), 1.
92
otoritas mutlak.
pada ustadz dan santrinya. Misalnya kebiasaan cium tangan dari santri
dengan jumlah harapan berkah kepada kiai, betapapun hal ini tidak bisa
145
Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa (Yogyakarta:
LKiS, 1999), 156.
146
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (t.tp.: CV. Dharma Bhakti, t.t), 20.
147
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi, 32.
93
anaknya. Ketaatan mereka yang penuh dan tulus kepada kiai, sering bukan
barakah, dan tentu saja demi memenuhi ajaran Islam yang menyuruh
simbolik ini tentu sangat bias jika dipandang sebagai gejala feodalisme
148
Imam Bawani, Tradisionalisme, 91.
149
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren
(Jakarta: Kencana, 2006). 15.
150
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 195.
94
daya manusia yang dilandasi iman dan taqwa, manusia yang jujur, adil,
maupun tantangan zaman yang setiap saat mesti dapat berubah sebagai
95
ulama).
dilakukan oleh para ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan
berabad-abad, antara lain kitab klasik atau kitab kuning yang selalu diolah
kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif.
151
Azyumardi Azra, Essai-essai Intelektual Muslim Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998), 89.
152
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam
di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras 2010), 80-84.
153
Lihat: Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994),26.
96
Islam dan moral yang berorientasi pada kitab kuning, juga terletak pada
masyarakat.
Hal ini dapat dilihat pada keterlibatan pesantren dalam menjalankan roda
masa depan yang tangguh serta tahan uji, salah satu khazanah pendidikan
semakin deras, menurut Tafsir, 156 bukan mustahil para kiai itu dapat
dibantu oleh para kiai pesantren, dan kadang-kadang lebh efektif dari pada
154
Abdullah Ali, Pendidikan Islam Multikultural, 191.
155
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),
158.
156
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 195.
97
yang statis.
dan kemudian menentukan yang mana yang bisa diakomodasi dan mana
yang tidak. Peran kiai sebagai mediator yaitu sebagai penghubung antara
kepentingan atasan dan bawahan, sehingga kiai hidup dalam dua kutub
kekiaiannya.159
157
Wahid Khozin, “Pondok Pesantren Salafiyah Dan Penuntasan Wajib Belajar” dalam Edukasi
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama Dan
Keagamaan Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Volume 3,
Nomor 4 (Oktober-Desember 2005), 48-49.
158
Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi Dan Pesantren” dalam Mudjia Rahardjo, (ed.),
Quo Vadis Pendidikan Islam Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan
(Malang: UIN-Malang Press, 2006), xxi-xxii.
159
Lihat:Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, 196.
160
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, 6-7.
98
dihindarkan, dan ini bukanlah kesalahan mereka. Pendiri itu tidak salah
dominasi pengaruh ini, sebab seorang pribadi tentu tidak lebih dari
dirinya dengan kebutuhan menyerap budaya baru yang datang dari luar
pesantren.
Oleh karena itu langkah yang paling arif dalam hal ini adalah
161
Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi, xxiii.
99
akhlak masyarakat.162
dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Dan tentu ini adalah merupakan tugas
kultur 164 bangsa Indonesia, yang oleh Martin Van Bruinessen 165 dinilai
162
Babun Suharto, Dari Pesantren, 31.
163
A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan, 125.
164
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai, 10.
165
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, 17.
100
transisi. Fenomena ini ditandai oleh beberapa hal antara lain seperti setiap
ikatan sosial (social affinity) yang terkait sumber daya material dan aspek
166
Sudjito S. Transformasi Sosal Menuju Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), 15.
167
Akh. Muzakki, “Pasar Pendidikan Islam:Tantangan PTAI di Era Global” dalam Perta Refleksi
Pemikiran Mutu Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Derektorat Jenderal
Penddikan Islam Departemen Agama RI, No. 1 (tahun 2006), 60.
168
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya, 76.
101
lama semakin banyak, kompleks dan mendesak. Hal ini antara lain
yang menyangkut pesantren, baik nilai sumber belajar maupun nilai yang
berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian (skill)
kerja.170
169
Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan, 125
170
Ibid, 128.
102
membuka diri untuk merespon berbagai macam inovasi yang muncul dari
dibekali dengan ilmu agama, tetapi juga dengan illmu umum. Dengan dua
lebih luas.
171
Ahmad Arifi, Politik Pendidikan, 105.
172
Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 69.
173
Kuntowjoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 252.
174
Zulfikri, “Modernisasi Pesantren: Pergeseran Tradisi Dan Pudarnya Kyai” dalam Edukasi
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan Puslitbang Pendidikan Agama dan
103
dan potensi santri, tidak hanya dari segi akhkak, nilai, intelek, emosional
dan keaslian pesantren, tetap menggunakan metode klasik yang sudah ada
perguruan tinggi, seperti Ngabar dan Gontor. Hal ini sebagai pertanda
Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI Volume 5,
Nomor 2 (April – Juni, 2005), 77.
175
Sugihanto, “Format Pendidikan Keterampilan Pada Beberapa Pondok Pesantren Di Kabupaten
Ponorogo” dalam Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam STAIN Ponorogo, Vol. 1 No. 1 (Januari,
2001), 12.
176
Hamdar Arrayyah, “Peran Pesantren Salafi dalam Melestarikan Paham Kagamaan (Pondok
Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap)” dalam Harmoni Jurnal Multkultural & Multireligius.
Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan Departemen agama
RI Volume IV Nomor13 (Januari-Maret 2005), 59.
104
jam pelajaran ini, akan dapat berimplikasi pada pendangkalan ilmu agama.
Kepemimpinan dengan pola semacam ini tentu saja tampak lebih fleksibel
177
Ahmad AlFajri, “Pesantren : Dari Peran Sejarah Hingga Tantangan Masa Depan” dalam Jurnal
Diklat Tenaga Teknis Keagamaan Pusdiklat Tenaga Teknis keagamaan, vol. V. No.2, (Mei, 2008),
61.
178
Lihat: Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 69.
105
yang relatif sama dalam mengajukan pendapat, usulan, dan saran serta
krusial dan merupakan salah satu hal yang sangat penting, sehingga mendapat
Rasululah.180
179
Meskipun kepemimpinan di pesantren bergeser dari pola kepemimpinan yang sebelumnya
cenderung bercorak kharismatik, menuju kepemimpinan kolektif namun masih tetap cenderung
memperlihatkan watak otoriter-paternalistik, hal demikian ini menurut Pradjarta Dirdjosanjoto
sekurang-kurangnya disebabkan oleh lima hal sebagai berikut: (1) Karena sumber kewibawaan
moral yang muncul dari suprioritasnya di bidang keagamaan. Kiai bukanlah sekedar sumber
pengetahuan agama, melainkan juga pembimbing spiritual yang tanpa pertolongaannya para santri
akan hidup dalam kesesatan. (2) Kiai serngkali tidak hanya seorang guru atau pemimpin pesantren,
namun juga pemilik. Kedudukannya memberi otoritas yang sangat kuat di lingkungan
pesantrennya. (3) Jaringan antar kiai yang kebanyakan terbentuk oleh hubungan perkawinan yang
bersifat endogamus (perkawinan yang dibatasi oleh kelompok tertentu). (4) Relasinya dengan
pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan di luar juga merupakan basis kekuasaan sekelompok kiai
(5) Kualitas pribadinya seperti penguasaan terhadap hukum Islam dan kitab-kitab tertentu, garis
keturunan, kharisma, ataupun daya tarik yang bersifat pribadi (perawakan gagah dan tampan,
ramah dan sebagainya). Lihat: Pradjarta Dirdjosanjoto, Memihara umat, 155-156. Lihat juga:
Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi (Yogyakarta:
LKPSM, 1998), 44.
180
Sebagaimana yang ditulis Lings, bahwa sejumlah orang Muhajirin berkumpul mengelilngi Abu
Bakr, sedangkan mayoritas orang Anshar berkumpul di balai pertemua Bani Sa’idah yang diketuai
Sa’d ibn ‘Ubaydah, mereka sedang memperdebatkan pelimpahan kekuasaan setelah Rasulullah
wafat. Umar mengajak Abu Bakar untuk pergi bersamanya ke ruang pertemuan, dan Abu
‘Ubaydah mengiringi mereka. Terjadilah perdebatan antara orang Anshar dan orang Muhajirin.
Menurut orang Anshar mereka yang berhak meneruskan kepemimpinan setelah Nabi wafat, karena
mereka sebagai penolong Allah dan pembela Islam, mereka menunjuk Sa’d sebagai pemimpin.
106
Sedang Abu Bakr wakil dari orang Muhajirin mengajukan Umar dan Abu ‘Ubaidah untuk dipilih
salah seorang diantara keduanya. Argumentasi mereka bahwa umat Islam sudah tersebar di seluruh
jazirah Arab, dan bangsa Arab secara keseluruhan tidak akan menerima kekuasaan dari yang
bukan orang Quraisy. Suku Quraisy memiliki posisi khusus dan utama di antara mereka.
Perdebatan semakin sengit ketika orang Anshar mengajukan usul agar supaya kekuasaan dibagi
menjadi dua. Maka umar secara lantang berbicara “Hai kaum Anshar, tidaklah kalian tahu bahwa
Rasulullah memerintahkan abu Bakr untuk mengimami shalat?” “Kami tahu itu” jawab mereka.
Dengan alasan itu maka orang Anshar dan orang Muhajirin berbai’at tentang kepemimpinan Abu
Bakr, kecuali Sa’d yang tidak pernah mengakuinya sebagai khalifah dan akhirnya ia pindah ke
Syria. Lihat: Martin Lings (Abu Bakar Siraj al-Din), Muhammad Kisah Hidup Nabi Berdasarkan
Sumber Klasik (Jakarta: Serambi, 2002), 535-536. lihat: Philip K. Hitti, History Of The Arabs
(Jakarta: Serambi, 2010), 222. Bandingkan dengan Abdurrahman Asy Syarqawi, Abdul Syukur
(Tarj.) Abu bakar Ash Shiddiq The Successor (Bandung:Sygma Publishing, 2010), 97-98.
Abdurrahman Asy Syarqawi, Abdul Syukur (Tarj.) Umar Bin Al Khathab The Conqueror
(Bandung:Sygma Publishing, 2010), 62-67.
181
Universalisme Islam atau keberlakuan ajaran Islam untuk semua orang dan untuk seluruh dunia,
merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Universalisme
Islam yang tergambar pada prinsip dan nilai dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Sifat dan
ciri-ciri ajaran Islam yang ditarik dan dipahami dari berbagai argumentasi keagamaan cukup
banyak, antara lain: 1) Rabbaniyah; 2) al-Syumul (keumuman); 3) al-Waqi’iyyah (berpijak pada
kenyataan obyektif manusia); dan lain-lain. Lihat: Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 213.
182
Lihat: al-Qur’an 16 (al-Nahl) : 89, yaitu:
َ ََونَ ﱠز ۡلنَا َعلَ ۡيكَ ۡٱل ِك ٰت
َب ِت ۡب ٰيَ ٗنا لﱢ ُكلﱢ ش َۡي ٖء َوھ ُٗدى َو َر ۡح َم ٗة َوب ُۡش َر ٰى لِ ۡل ُم ۡسلِ ِمين
Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
183
Abỉ al-Ťayyỉb Muhammad Shamsi al-Haq al-‘Az}ỉm Ảbậdỉ, ‘Uwnu al-Ma’bủd Sharh Abỉ
Dậwud Jilid iv (Bairut:Dậru al Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 191.
107
firman Allah tentang kepemimpinan secara umum, yaitu dalam surat al-
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Kata
menegakkan kehendak-Nya. Dalam hal ini bukan karena Allah tidak mampu
tugas dan wewenang. Perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak-
mengartikan khalifah adalah sebagai pengganti dari jenis makhluk yang telah
musnah sebangsa manusia juga sebelum Adam as., dan ada pula yang
mengartikan sebagai pengganti Allah. Dalam hal ini tidak berarti manusia
Bakar diberi gelar Khalifah Rasulullah, bukan berarti kedudukan Abu Bakar
184
Departemaen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 2 (al-Baqarah : 30)
185
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbậh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2012), 173.
186
Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 167.
108
bahwa yang dimaksud kata khalifah bukan hanya berarti Adam as, seperti
atas berasal (bersandar) dari pendapat Ibnu ‘Abbậs, Ibnu Mas'ủd dan semua ahli
takwil, walaupun pendapat terbut perlu untuk dikritisi. Menurut Al-Razi memang
banyak terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini., namun pendapat yang lebih
kuat adalah secara spesifik bukan Adam. Kalau yang dimaksud secara spesifik itu
yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam as. dan anak cucunya.
Allah dan sebagai anak cucu Adam sebagaimana laki-laki berhak untuk
menjadi khalifah di muka bumi dan berhak untuk menempati suatu kedudukan
187
Ahmad Mus{ţafa al-Marộghỉ, Tafsỉr al-Marộghỉ Juz I (Bairut, Dậru al-DFikr,tt.),
80.
188
Lihat: Ahmad al- Şộwỉ al- Maliki, Hasyiyah al- Şộwỉ ‘Alậ Tafsỉri al-Jalậlaini (Bairut: Dậrul
Fikr, 2012), 71.
189
Artinya tidak relevan dengan pernyataan Malaikat “ Mereka berkata, mengapa engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang mebuat kerusakan dan menumpahkan darah,.. surat
al-Baqarah, 30.
190
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbậh, 173
109
ض َي ﱠ
ُﷲ ِ ﷲ ع َْن َع ْب ِد ﱠ
ِ ﷲ إب ِْن ُع َم َر َر ِ ي قَا َل أَ ْخبَ َر ِني َسا ِل ُم إبْنُ َع ْب ِد ﱠ ان أَ ْخ َب َرنَا ُش َعيْبٌ ع َْن ﱡ
الز ْھ ِر ﱢ ِ َح ﱠدثَنَا أَبُو ْاليَ َم
dalam ajaran Islam, ada empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam
191
Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 11 (Al-Riyad:
Dar Tayyibah, 2005), 559.
192
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, 125. Contoh keteladanan yang sangat baik ada pada diri
Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, apapun namanya raja atau presiden atau yang lain harus
bersifat dan bersikap: 1. Sidik (benar); sebagai pemimpin bangsa atau pemimpin umat haruslah
selalu benar dalam bertutur kata, bertingkah laku dan bersikap hidup terhadap apa dan siapa saja
yang telah menjadi tugasnya. 2. Amanah (terpercaya) harus tidak berhianat terhadap tugas dan
kewajiban yang telah dipercayakan (diamanatkan) kepadanya. 3. Tabligh, segala amanat harus
tersampaikan, dengan pengertian harus terbuka (ada keterbukaan). Seorang pemimpin harus tidak
menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya umat dan rakyat harus mengetahuinya. 4. Faţanah,
cerdik, pandai dan tidak lolak lolok, dan memiliki keahlian dalam memimpin bangsa dan dan
110
menginformasikan secara benar dan jujur apa yang didapatnya. Selain itu
taat beribadah), 5) penuh keyakinan atau optimisme, 6) orang yang kuat dan
terpercaya, artinya orang yang kuat secara fisik dan mental serta keahlian atau
professional.
negara. Lihat M. Amin Abdullah, Kepemimpinan Wanita Dalam Politik (Perspektif Teologis)
dalam Agus Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender Telaah Kepemimpinan Wanita Dalam
Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), 20.
111
dapat menutup mata, dalam kurun waktu yang sangat panjang dirasakan benar
Dan harus diakui bahwa ada ulama yang menjadikan firman Allah
dalam surat an-Nisa’ ayat 34, 194 lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-
laki atas perempuan, sehingga atas dasar ayat tersebut banyak ahli yang
laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi dari pada
kehidupan bermasyarakat.
193
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LKiS, 2009), 23.
194
.. ۚۡوا ِم ۡن أَمۡ ٰ َولِ ِھم
ْ ُضھُمۡ َعلَ ٰى بَ ۡعض َوبِ َمآ أَنفَق
ٖ ٱل ﱢر َجا ُل قَ ٰ ﱠو ُمونَ َعلَى ٱلنﱢ َسآ ِء بِ َما فَ ﱠ
َ ض َل ٱ ﱠ ُ بَ ۡع
195
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 274.
196
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS,
1999), 177.
197
Ibid, 102.
112
suatu kaum dipimpin perempuan maka keadaannya akan menjadi tidak baik,
laki-laki, apalagi dalam konteks yang lebih luas seperti mengatur masyarakat
198
Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid V (Jakarta:Pustaka, 1986), 45-48.
199
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993),113.
200
Departemaen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, 4 (an-Nisa’ : 34), 123.
201
Lihat dalam Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 9
(Al-Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 580.
202
Muhammad Mas’udi, “Pro Dan Kontra Tentang Kepemimpinan wanita Dalam Kajian
Hadith”dalam Agus Purwadi, (ed.) Islam & Problem Gender Telaah Kepemimpinan Wanita dalam
Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Aditya Media,2000), 83.
113
hadith. Padahal segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan suasana yang
diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Hadith tersebut adalah:
dipahami dalam pengertian kiasan (majazi), dalam arti bahwa hadith tersebut
Karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan
lelaki, apabila tidak disadari akan mengantar kaum laki-laki untuk bersikap
203
Ibid, 279.
204
H. Zainuddin Hamidy, dkk. Terjemah Hadith Shahih Bukhari jilid iii hadith ke 1467 (Klang
Selangor Malaysia: Klang Book Centre, 1990). 190.
205
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarkat (Bandunf: Mizan, 1992), 271.
114
berjenis kelamin laki-laki, karena tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki
dari konteks sosial pada waktu ayat ini turun. Struktur sosial pada waktu Nabi
206
asbậb al-nuzủl ayat ini adalah sebagai tanggapan atas kasus Sa’d ibn Abi Rabi’ yang memukul
isterinya bernama Habibah binti Zaid, kemudian kasus ini diadukan kepada Nabi, lalu Nabi
menjawab “Qishash!”. Sebelum qishash dilakukan turunlah ayat ini (an-Nisa’ 34) dan qishash
tidak dilaksanakan. Lihat: Abu al-Fidậ’ Ismail Ibn Kathỉr, Tafsir Ibn Kathỉr, Juz I (Beirut: Dậr al
Fikr, 1986),492.
207
Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an ( Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), 134.
208
Sayid Quthb, Fiqh al-Sunnah Jilid II, (Mesir: Maktabah Dậr al-Turậts, tt), 51. Dalam hal ini
beliau menjelaskan tentang kesaksian laki-laki. Tidak semua laki-laki mempunyai kapasitas
menjadi saksi karena ia sebagai yang berjenis kelamin laki-laki. Anak laki-laki di bawah umur,
laki-laki hamba, dan laki-laki tidak normal akalnya tidak termasuk di dalam kualifikasi memenuhi
syarat sebagai laki-laki yang menjadi saksi dalam hukum Islam.
209
Abu al-Qasim Mahmud Al-Zamakhsyari, al-Kasysyậf ‘an Haqậ’iq al-Tanzỉl wa ‘Uyủn al
‘Aqậwil fỉ Wujủd al Ta’wỉl Jilid 1 (Beirut: Dậr al-Ma’ậrif, tt.), 532.
115
sosial yang diemban oleh kaum laki-laki itu seimbang dengan tugas sosial
rumah tangga.210
perempuan) atau bahkan akan menggunakan kalimat yang lebih tegas “bimậ
fadldlala al-rijậl ‘ala al-nisậ’. (karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki
atas perempuan). Karena itu ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk
yang lain).212
210
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam , terj. Farid Wajdi dan Cici Farcha
Assegaf (Jakarta: LSPPA, 1994), 62.
211
Ibid, 71.
212
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar Juz V (Kairo, Dậr al-Manậr, 1367 H), 68.
116
pada al-Qur’an surat al-Nisa’ 34, dilihat dari asbậb nuzủl ayat tersebut bukan
atau kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam masyarakat Arab
tangga. Oleh karena itu tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap
Allah”. Peran domestik yang dijalani perempuan harus diberi nilai tersendiri,
nafkah tidak lagi dapat dijadikan alasan normatif bagi kepentingan laki-laki
dalam kehidupan sosial dan politik secara luas. Karena peran domestik yang
memberi nafkah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai qawwậm. Oleh karena
213
Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati, 114.
214
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 179.
117
bahwa umumnya laki-laki memiliki penalaran yang lebih kuat, tekad yang
bulat, matang dalam perencanaan dan lainnya adalah lebih bersifat sosiologis.
Indikator ini akan menjadi hal yang nisbi dan tidak lagi kodrati apabila
dihadapkan pada proses sosialisasi yang lebih setara dan akses pendidikan
menurut Mulia, 215 tampaknya amat dipengaruhi oleh faktor sosiologis. Dan
šχθè?÷σãƒuρ nο4θn=¢Á9$# šχθßϑŠÉ)ãƒuρ Ìs3Ζßϑø9$# Ç⎯tã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρâßΔù'tƒ 4 <Ù÷èt/ â™!$uŠÏ9÷ρr& öΝßγàÒ÷èt/ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$#uρ tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ
215
Siti Musdah Mulia, Muslimh Reformis, Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan,
2005), 309.
216
Departemen Agama RI.,al-Qur’an dan Terjemahnya, 291.
118
melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang
kerja sama, bantuan dan penguasaan. Sedangkan pengertian amar ma’rủf nahỉ
munkar) dalam ayat yang sama, menyangkut segenap upaya kebaikan dan
bidang kehidupan. Ayat ini menunjukkan adanya saling kerja sama, bantu
membantu dan ada yang menjadi pemimpin di antara mereka, tentu saja sesuai
berkut:
ÒΟŠÏàtã î¸ötã $oλm;uρ &™ó©x« Èe≅à2 ⎯ÏΒ ôMuŠÏ?ρé&uρ öΝßγà6Î=ôϑs? Zοr&tøΒ$# ‘N‰y`uρ ’ÎoΤÎ)
217
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbậh, 650.
218
Departemen Agama RI.,al-Qur’an dan Terjemahnya, 596.
119
Ada tiga hal yang dapat dipahami tentang negeri Saba’ yang
1. Negeri Saba’ itu diperintah oleh seorang ratu cantik, yang memerintah
kepemimpinannya.
219
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbậh, 650.
220
Yusuf Qardlawi,dkk., Ketika Wanita Menggugat Islam (Jakarta: Teras, 2004), 81.
120
membenci Muhammad.
221
Menurut Djunaidi, Khadijah adalah perempuan yang mampu
sangat dominan, yaitu golongan kaum kafir yang selalu menghalangi upaya
untuk berurusan dengan wilayah sosial yang ia tempati dengan berbagai peran
yang ia jalankan.
luar biasa dari Rasulullah saw sehingga ia mendapat tempat tersendiri dalam
isteri yang memiliki kecerdasan, kebesaran hati, dan pemikiran yang tajam.
Demikian pula yang perlu dikemukakan adalah peran Aisyah dalam keilmuan
(periwayatan hadith), peran inipun tidak kalah penting dan berharga bagi
221
Ahmad Djunaidi & Thobib A-Asyhar, Khadijah Sosok Perempuan Karir Sukses Bedah wacana
Gerakan Feminisme dalam Islam (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), 111.
222
Muhammad Abduh Yamani, Khadijah, Drama Cinta Abadi Sang Nabi, Tarjm. Hadir & Fuad
(Depok: Pustaka IlMaN, 2007), 181-188.
121
menurut Djunaidi 224 adalah proses apa yang membuat keterputusan realitas
mendiskriminasikan perempuan.
itu disamping karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak kepada
kaum laki-laki, keadaan timpang tersebut boleh jadi juga dijustifikasi oleh
Ismail226 bahwa apa yang menjadi kerisauan banyak orang terutama feminis
muslim yang sangat gigih melakukan kajian kritis terhadap penafsiran ayat-
223
Yusuf Qardhawi dkk., Ketika Wanita, 81. Menggugat Islam , Heri Sucipto (ed.) (Jakarta: Teras,
2004), 81.
224
Ahmad Djunaidi & Thobib A-Asyhar, Khadijah Sosok Perempuan, 112.
225
Jika teks suci agama jatuh ke lingkungan masyarakat yang patriarkis, maka sulit diingkari untuk
tidak terjadi penafsiran yang bias pada kepentingan laki-laki. Lihat Hamim Ilyas dkk.. Perempuan
Tertindas Kajian Hadith-Hadith Misoginis (Yogyakarta: eLSAQ Press & PSW IAIN Sunan
kalijaga, 2008), 8. Menurut Mahjuddin, memang tidak pernah terdapat Nabi dan dan Rasul yang
berjenis kelamin perempuan, karena seorang Nabi dan Rasul harus juga memiliki fisik yang kuat,
disamping kemampuan yang diperoleh dari wahyu yang diterimanya. Namun hal ini bukan berarti
bahwa perempuan tidak boleh melebihi kedudukan laki-laki; baik di bidang politik, ekonomi
maupun sosial budaya. Siti Balkis, misalnya dapat menjadi ratu di Sabah; Siti Khodijah dapat
menjadi pedagang besar yang memimpin laki-laki. Lihat: Mahjuddin, “Gender Dalam Perspektif
Tasawuf” dalam Paramedia Jurnal Komunikasi Dan Informasi Keagamaan Vol. 6 Nomor 3 (Juli,
2005), 261. Bandingkan: Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 81.
226
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta:
LKis, 2003), 5.
122
pentingnya konteks sosial, bahkan dalam beberapa hal sangat dipengaruhi oleh
bangsa mana pun dan peradaban tua sebelum Islam. Namun sayangnya
kemudian Islam menjadi salah satu agama yang paling banyak mendapat
sorotan dalam kaitannya dalam status dan aturan yang diberikan agama
sesungguhnya ada beberapa yang menjadi akar masalah antara lain adalah:
3. Akibat dari dua hal tersebut, terjadi pembagian kerja berdasarkan pada
227
Syarif Hdayatullah, Teologi Feminisme Islam (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2010), 11.
123
Artinya perempuan bisa saja menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, akan
tetapi segala urusan dan semua kebijakan masih di bawah satu komando yaitu
laki-laki (suami).
perempuan pada umumnya, maka ayat itu turun dan disajikan al-Qur’an dalam
melampaui batas.
228
Masdar F. Mas’udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan
(Bandung: Mizan, 1997), 61. Ayat tentang kepemimpinan tersebut bukan pernyataan normatif, tapi
pornyataan kontekstual dalam kategori ekonomis atau sosiologis. Konteks ayat ini laki-laki menjadi
qawwamun perempuan karena memberi nafkah; artinya kalau secara ekonomi istri bisa menghidupi
atau memberikan penghasilannya untuk kepentingan keluarga, maka keunggulan suami menjadi
berkurang karena tidak memiliki keunggulan bidang ekonomi. Karena itu keunggulan laki-laki
bidang ekonomi bersifat kontekstual sehingga tidak dapat dijadikan alasan normatif bagi
kepemimpinan laki-laki, apalagi dalam kehidupan sosial dan politik secara luas. Lihat: Zaitunah
subhan, Tafsir Kebencian, 179. Bandingkan dengan Husein Muhammad, Islam Agama Ramah
Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2009), 250.
124
generasi penerus.
milik perempuan -yang melekat dan memiliki stereotipe beda dengan laki-
laki- yang dianggap peran rendah dan tidak punya nilai.229 Oleh karena itu,
perspektif.
229
Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga atau keluarga begitu banyak macam ragamnya, mulai
mengatur keuangan; memasak dengan kelincahan dan kepawaian belanja yang kadang-kadang
harus menyiapkan beberapa menu sesuai dengan masing-masing selera jumlah anggota keluarga;
merawat dan menjaga bebersihan, keasrian lingkungan rumah; merawat, menjaga dan merawat
serta mendidik anak-rawat; dan memenuhi keperluan keluarga yang lain. Begitu banyaknya
pekerjaan yang harus ditangani perempuan (ibu/isteri), tetapi ketika ditanyakan kepada kepada
laki-laki (suami tentang perjaan isterinya) atau perempuan (isteri), hampir pasti jawabannya adalah
bahwa dia tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Padahal, dengan begitu banyak dan
berat pekerjaan perempuan dikatakan tidak dinilai bekerja.
230
Pekerjaan domestik berkaitan dengan anggapan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh
perempuan, dan laki-laki hanya bersifat membantu saja. Jika perempuan bekerja di sektor publik,
hanya dilihat sebagai tambanahan saja dan tidak diakui sama seperti bila hal itu dilakukan oleh
laki-laki. Lihat: Misbahul Munir, Produktivitas Perempuan Studi Analisis Produktivitas
Perempuan dalam Konsep Ekonomi Islam (Malang: UIN-MALIKI Press, 2010), 63.
125
kualitasnya masih diragukan? Sangat tepat apa yang telah disabdakan oleh
padahal di sisi lain ayat itu digunakan sebagai legetimasi kokohnya kekuasaan
perempuan (baik ia sebagai anak, isteri atau sebagai ibu) padahal pada sisi lain
lemah secara pisik, tidak berdaya dan tidak dapat diajak berpikir kritis.
semua segi kehidupan dalam keluarga. Oleh karena itu sudah waktunya untuk
126
selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan oleh laki-laki yang
mendalam.
demi menggapai kekuasaan. Perempuan tidak harus menolak gaya feminis dan
pemimpin.
adalah kekuasaan yang dilimpahi sikap lemah lembut dan kasih sayang,
karena dalam kelembutan dan kasih sayang terpendam kekuatan yang dahsyat.
yang lebih besar dan rumit, bisa jadi perempuan menjadi pimpinan di
lingkungan yang lebih luas di sekitarnya atau bahkan menjadi politisi yang
handal, sabar, ramah dan tidak menyakiti hati lawan politiknya. Politisi yang
naluri keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk
231
Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami Meraih Ridla Ilahi (Bandung:
Marja, 2011), 262.
232
Ibid, 263
127
keluarga bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga, itupun dengan syarat
keunggulan berada di pihak isteri, dan isteri juga yang memberikan nafkah
dalam keluarga, maka apa salahnya jika isteri menjadi pimimpin rumah
tangga.
Di sisi lain kenyataan bahwa saat ini sudah terbuka kesempatan seluas-
233
Tercatat dalam sejarah Islam bahwa shahabyah (sahabat perempuan) yang pertama menerima
dan meyakini Isam adalah Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi sendiri, Ummu habibah putri Abu
Sufyan (masuk Islam ketika ayahnya masih menjadi pemimpin kafir Quraisy), Fathimah binti al-
khaththab (adik Umar ibn al-Khaththab), Ummu Sulaim terlebih dahulu masuk Islam dan mahar
perkawinannya dengan Abu Thalhah, Aminah Khalaf, Asma’ binti Abu Bakar, Aisyah, Asma’
binti Umais, Fatimah binti al-Mujallil, Barakah binti Yasar, Ramlah binti Auf, Ummu Hamalah,
Fathimah binti Shafwan, Saudah binti Zam’ah, Aminah binti Qais, Sumaiyyah, dan hamamah.
Keputusan para perempuan itu masuk Islam sungguh sangat berisiko. Mereka rela disiksa, dibaikot,
dan dikucikan dari keluarga demi mempertahankan keputusan politik yang mereka ambil. Lihat
Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejat, 95-96.
234
Abdullah Hasyim, “Status Wanita” dalam Agus Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender, 32.
128
masih menggunakan dasar ayat al-qur’an dan hadith yang sama, hanya
muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau peradaban yang
dikuasai laki-laki. Ayat al-Qur’an surat al-nisa’ ayat 34 tidak lain merupakan
bentuk atau petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi riil yang
Persia 237 harus dipahami dari sisi essensinya dan tidak bisa digeneralisasi,
tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu. Maka
kepemimpinan adalah sesuatu yang penuh tanggung jawab dan resiko tinggi,
235
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 29.
236
Said Agil Husin al- Munawwar, Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Islam dalam Agus
Purwadi, (ed.), Islam & Problem Gender, 14-17.
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami 'Auf
dari Al Hasandari Abu Bakrah mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah
memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, beliau langsung bersabda:
"Tak akan baik keadaan sebuah kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka”.
Lihat dalam Ahmad Bin ‘Ali Bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Bi Syarh al-Bukhori, Juz 9 (Al-
Riyad: Dar Tayyibah, 2005), 580.
238
Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam, Kodrat Kewanitaan, Emansipasi
dan Pelecehan Seksual (Jakarta: Pustaka azzam, 1998), 51.
129
mentalnya yaitu laki-laki. Maka untuk mencapai keadilan, justru tidak adil jika
dan tidak baik apabila memiliki dua orang (laki-laki dan perempuan) sebagai
yang selama ini sudah mapan di kalangan muslimin. Bagi mereka paham yang
perempuan.
isteri, sebagaimana yang telah diyakini umat Islam pada umumnya, menurut
kaum feminis adalah merupakan salah satu bentuk dominasi laki-laki terhadap
tidaklah bermaksud demikian. Menurut mereka hal itu wajar, karena para
239
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran
(Yogyakarta:LKiS, 2003), 176.
130
eksplisit.
persyaratan, dan lebih sesuai dengan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian nampaknya akan lebih adil antara laki-laki dan
sama.
aman dan membawa kedamaian rumah tangga? Bagaimana pula antara suami
yang berbeda, dan masing-masing memiliki alasan yang rasional, maka pada
saat itu dibutuhkan satu otoritas yang dapat mengambil keputusan akhir.
131
secara eksplisit dalam surat an-Nisa’ 34 yaitu bersifat normatif tekstual, bukan
kontekstual.
Hanya laki-laki yang secara fungsional memiliki kreteria pemimpin yang akan
semena-mana.240
yang bebas dan jujur, inilah landasan esensial untuk apa yang disebut dengan
hubungan (relasi) yang berkeadilan. Dalam relasi yang berkeadilan, yang satu
lain241
240
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 204.
241
Masdar F. mas’udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi, 182.
132
laki-laki dan perempuan secara umum diberikan potensi yang sama baik
jasmani maupun rohani, dan secara khusus di antara laki-laki dan perempuan
meremehkan satu jenis atas jenis yang lain. Persamaan mutlak antara dua jenis
mendhalimi kedua belah pihak.242 Oleh karena itu, apakah tugas perempuan
242
Asyraf Muhammad Dawabah, Muslimah Karier (Sidoarjo: Mashun, 2009), 6-7.
243
Rahmat Hidayat, Ilmu yang Seksis Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin
(Yogyakarta: Jendela, 2004), 318.
244
Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nlai-Nlai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan
Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara wacana Yogja, 1997), 154.
133
laki dan perempuan atau menghapus nilai fungsional dari perbedaan gender
yang membantu agar setiap masyarakat dapat berjalan dengan lancar dan
dipahami sebagai bagian dari tujuan al-Qur’an246 dalam masyarakat yaitu satu
sama lain saling melengkapi. Menurut Ivan Illich247, di mana-mana anak laki-
laki dan anak perempuan rasanya tumbuh dalam gender masing-masing sejak
dini. Saat disapih, mereka memakai bahasa tubuh yang tak sama.
perempuan dan menjadi hak perempuan, maka disamping hak laki-laki harus
Allah kepada laki-laki maupun perempuan itu merupakan hak manusia yang
SWT.
245
Amina Wadud, Quar’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir
judul asli: Qur’an and Women: Rereading The Sacred Text Form a Woman’s Perspective (Terj.
Abdullah Ali) (PT. serambi Ilmu semesta, 2001), 43.
246
Al-Qur’an, 2 (al-Baqarah), 187:
...اس لﱠھ ۗ ﱠُن
ٞ َاس لﱠ ُكمۡ َوأَنتُمۡ ِلب
ٞ َ…ھ ﱠُن ِلب
…Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…
247
Ivan Illich, Matinya Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 87.
134
Dalam jaringan ruang sosial yang banyak berpihak kepada kaum laki-
laki, agama melalui interpretasi yang cenderung gender bias dan memberikan
pesantren.
beberapa masalah umat yang cukup serius. Mayoritas perempuan dalam dunia
perempuan dengan fisik lebih lemah dan pasif, tidak memungkinkan mereka
mestinya tidak bisa dijadikan pijakan untuk melihat perbedaan perilaku dan
248
Eti Nurhayati, Psikologi Perempuan, 198
249
Yusuf Qardlawi,dkk., Ketika Wanita, 121.
135
kelompoknya. Menurut Neviyarni 250 sedikitnya ada lima hal yang menjadi
Kepemimpinan dapat dipelajari sama halnya dengan keahlian yang lain. (2)
pecah dalam unit-unit yang lebih kecil. (4) Kepemimpinan adalah hubungan
orang lain. (5) Kepemimpinan harus ditampilkan dalam waktu dan tempat
yang tepat.
luhur yang telah menjadi karakterstik pada hampir seluruh perjalanannya. Satu
sisi secara potensial karakterstik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk
pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi-
250
Neviyarni, Pelayanan Bimbingan, 71.
251
Abd. A’la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 9.
252
Ketiganya adalah merupakan jiwa dan fisafat hidup pesantren. Adapun secara lengkap jiwa dan
filsafat hidup pesantren adalah: 1. Keikhlasan. 2. Kesederhanaan. 3. Berdikari. 4. Ukhuwah
Islamyah. 5. Bebas. Lihat: Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pengelolaan Pondok Pesantren” dalam M.
Nazim Zuhdi dkk., (ed.), Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press
Bekerjasama dengan Pusat Informasi dan Kajian Islam, 1999), 94
136
sehingga status, peran dan pola relasi laki-laki dan perempuan tidak berubah
maka peran dan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat berubah
pengetahun dan teknologi pada era reformasi dan gobalisasi yang menjadikan
peran-peran mereka sebagai simbol dan identitas diri laki-laki atau perempuan
253
Imam Bawani, “Pola Modernisasi Pesantren Di Indonesia” dalam M. Nazim Zuhdi dkk., (ed.),
Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press Bekerjasama dengan Pusat
Informasi dan Kajian Islam, 1999), 87.
254
Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan Pendekatan Islam, Strukturasi
& Konstruksi Sosial ( Malang: UIN-Malang Press, 2009), 87.
137
dirinya sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi. Perempuan akan siap
laki dengan motivasi untuk merubah kondisi keluarga sebagai dampak dari
perubahan di masyarakat.255
dengan imtaq dalam arti yang seluas-luasnya. Gejala positif yang muncul,
kepada pesantren.
255
Mufidah Ch., Pengarusutamaan Gender, 86.
256
Imam Bawani, “Pola Modernisasi Pesantren Di Indonesia” dalam M. Nazim Zuhdi dkk., (ed.),
Tarekat, Pesantren dan Budaya Lokal (Surabaya: Sunan Ampel Press Bekerjasama dengan Pusat
Informasi dan Kajian Islam, 1999), 91-92.
138
akan membuat umat Islam selalu dapat berdialog dengan masanya tanpa harus
1. Secara internal.
139
laki.
yang dimiliki.
259
Gejala menyolok yang penting ditandaskan adalah kecenderungan makin terbukanya akses bagi
santri pesantren dan siswa –laki-laki dan perempuan- madrasah pada sekolah unggulan dan
perguruan tinggi bergensi. Selama ini, segmen ini dikenal marjinal, tidak memiliki akses memadai
pada jalur pendidikan formal yang menuntut kompetisi ketat. Akses baru itu diakibatkan stimulus
kebijakan afirmatif negara lewat Departemen Agama yang memberi topangan akses. Baik berupa
dukungan beasiswa maupun penetapan kuota pada sekolah unggulan. Lihat: Asrori S. Karni, Etos
Studi Kaum Santri Wajah Baru Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan Media Utama,2009), xxxii,
140
khususnya di pesantren.
luar sekolah.
260
Hal ini ditegaskankan oleh maftuh, bahawa tujuan pokok pesantren tidak boleh berubah, yakni
melahirkan alim ulama dan pemimpin agama yang mampu menerjemahkan nilai dan norma agama
dalam kehidupan bermasyarakat, dapat mendorong dan membimbing masyarakat dan umat ikut
serta dalam pembangunan, dan mampu menerjemahkan gagasan dalam bahasa yang dipahami
141
restu kiai (orang tua), untuk menuntut ilmu –bisa jadi di pesantren- dimana
laki maupun perempuan. Hal ini juga sebagai respon dari tantangan
(modernisasi) tersebut ada geliat baru pada sejumah intelektual muslim yang
pernah bisa diakses. Saat ini banyak perempuan telah merintis jalan dalam
lapangan pekerjaan dan usaha bisnis yang terpisah khusus perempuan. 262
umat. Dalam pengembangan pesantren setidak-tidaknya ada tiga faktor yang perlu mendapatkan
perhatian: Pertama, ulama tetap berperan sebagai ulama, kedua, kadersasi ulama harus
ditumbuhkembangkan, ketiga, konsistensi sistem madrasah . Lihat: Departemen Agama,
Muhammad M. Basyuni Revitalisasi Spirit Pesantren Gagasan, Kiprah dan Refleksi (Jakarta:
Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantrem Direktorat Jendral Pendidikan Islam
Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), 19.
261
Ninik Masruroh dan Umiarso, Modernisasi Pendidkan Islam Ala Azyumardi Azra (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), 105.
262
Mai Yamani, (ed.) Menyingkap Tabir Perempuan Islam Perspektif Kaum Feminis (Bandung:
Nuansa, 2007), 22.
142
peran perempuan dan laki-laki sebagai suatu yang komplementer, dan tidak
perlu dipertentangkan.
yang mempertentangkan antara peran perempuan dalam rumah dan luar rumah
sudah ketinggalan zaman. Peran-peran ini bisa saling mendukung. Boleh jadi
leluasa dan penuh rasa tanggung jawab dalam melaksanakan peran domestik
menekuni dan menghadapi peran pablik, dalam diri perempuan tanpa adanya
beban dan tertekan perasaan yang membayangi bahwa tugas domestik sedang
menunggu, sebab ia tahu dan sadar bahwa pekerjaan domestik juga tanggung
jawab suaminya.
tantangan zaman yang setiap saat mesti dapat berubah sebagai tanda
263
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam Retrospeksi Visi dan Aksi (malang: umm press, 1996),
201.
143
adalah istri kiai yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang agama
nyai merupakan sumber mutlak dari suatu kekuasaan dan kewenangan (power
bahwa nyai yang diikutinya adalah orang yang percaya diri (self confidence)
baik dalam urusan agama Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan
manajemen pesantren.
Menurut Clifford Geertz 266 bahwa orang sering datang kepada kiai
(nyai) untuk meminta nasihat, disamping itu kiai juga sebagai juru obat. Nyai
nyai –tabib, penasehat, guru dan cendikiawan- adalah orang-orang yang paling
corak kehidupan nyai dan santri membuat kedudukan pesantren menjadi multi
fungsi. Nyai dijadikan imam dalam bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan
144
agama, tetapi juga sebagai elite pesantren, yang memiliki otoritas tinggi dalam
Salah satu tugas itu adalah sebagai Mubalighah menurut Marcous 268
ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, tetapi juga
268
Lies Marcous, Women Mediation in Indonesia, (Leiden: KTLV, 1992), 205.
145