Anda di halaman 1dari 18

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN HUMANISTIK DALAM

PERMASALAHAN PENDIDIKAN KARAKTER DI TINGKAT SEKOLAH


DASAR
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran
Dosen pengampu : Drs. Supriyo, M.P.d.

Disusun Oleh:
1. Intan Nadilah (21184202006)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS PEDAGOGI DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PGRI WIRANEGARA
Jl. Ki Hajar Dewantara 27-29 Kota Pasuruan Telp.(0343)421948
uniwara@gmail.com Website www.uniwara.ac.id
Tahun 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas kelimpahan nikmat dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Implementasi
Pembelajaran Humanistik dalam Permasalahan Pendidikan Karakter di Tingkat
Sekolah Dasar” dengan sebaik-baiknya.
Tak lupa pula ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak
yang telah membantu, memfasilitasi, memberi masukan, dan mendukung
penulisan ini sehingga selesai tepat pada waktunya. Semoga mendapat balasan
dari Allah tuhan semesta alam.
Saya selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk
menyempurnakan makalah ini, namun tidak menutup kemungkinan apabila
terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran yang konstruktif dari pembaca agar dapat di jadikan motivasi
untuk penyempurnaan penulisan makalah pada masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat menambah referensi
keilmuan masyarakat.

Pasuruan, 11 Mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 4
1.3 Tujuan Masalah..................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 7

2.1 PGRI sebagai Organisasi Profesi.......................................................... 7


2.2 Arti dan Ciri Peran Profesi Kependidikan............................................ 8
2.3 Konsep Pengembangan PGRI Sebagai Organisasi Profesi.................. 12
2.4 Pengembangan Profeionalisme............................................................. 15

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 20

3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 20


3.2 Saran..................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berbicara pendidikan di negeri ini memang tidak akan pernah ada


habisnya, ada banyak hal yang harus dibenahi dari kondisi pendidikan yang ada
saat ini, mulai dari masalah birokrasi pendidikan yang masih tumpang tindih,
simpang siur dan tidak terkoordinasi dengan baik, hingga masalah internal
pendidikan itu sendiri yakni mengenai konsep pendidikan dan aplikasi praktis
menciptakan pendidikan yang tepat dan akurat bagi kondisi bangsa. Apalagi jika
kita melihat output pendidikan itu sendiri yang faktanya saat ini menjadi sangat
menghawatirkan, banyak sekali anak didik yang memiliki tingkat intelektualitas
yang rendah dan juga kepribadian yang terbelah dan tidak lagi mampu melihat
mana yang benar dan salah.

Pada masa sekarang sistem pendidikan menjadikan peserta didik sebagai


manusia yang tercabut dari realitanya, karena guru telah mendidik mereka
menjadi orang lain bukan menjadi dirinya sendiri, artinya kebebasan dan
pengakuan dari guru kurang mendapat perhatian yang maksimal. Akhirnya
pendidikan bukan menjadi sarana untuk menumbuhkan potensi anak didik akan
tetapi malah menjadikan mereka manusia yang siap cetak untuk kepentingan
tertentu seperti halnya robot.

Paulo Friere, seorang pakar pendidikan dari Brazil yang disebut sebagai
tokoh mutikontinental, berhasil melihat fenomena pendidikan semacam ini
sebagai sasaran kritik pedasnya dalam karyanya yang terkenal Pendidikan Kaum
Tertindas. Menurutnya hubungan antara guru dan murid pada semua tingkatan
baik di dalam maupun luar sekolah mengungkapkan watak bercerita (narrative)
yang mendasar di dalamnya. Guru bercerita dan murid hanya patuh
mendengarkan, semua isi pelajaran disampaikan dengan cara bercerita, baik yang
menyangkut nilai-nilai maupun segi empiris dari realitas, sehingga pembelajaran
menjadi kaku dan mati.

1
Dalam kerangka operasionalnya pendidikan Islam dan pendidikan jenis
lain pada umumnya seringkali hanya menjadikan pendidikan suatu kegiatan
menabung, para murid menjadi celengan dan guru menjadi penabungnya. Namun
yang terjadi bukanlah proses komunikasi akan tetapi guru menyampaikan
pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima dan dituangkan
dengan penuh patuh oleh para muridnya. Inilah konsep pendidikan gaya Bank,
dimana ruang gerak yang di sediakan kepada murid hanya sebatas menerima,
mencatat kemudian menyimpan. Dalam praktik pendidikan yang demikian ini
sesungguhnya guru telah menjadi kaum penindas dan murid telah menjadi kaum
tertinda, gaya pendidikan semacam inilah yang akan mematikan daya kreatifitas
setiap murid.

Maka pada kondisi demikian pendidikan Islam ditantang untuk dapat


mengembalikan posisi distorsif nilai kemanusiaan yang telah terjadi. Pendidikan
Islam harus mampu berperan sebagai institusi pematangan humanisasi baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sehingga tidak
mengakibatkan hancurnya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religious,
serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan dan jati diri budaya bangsa.

Tatanan kehidupan manusia sudah mengalami perubahan yang mendasar,


generasi-generasi saat ini lebih bangga dengan budaya orang lain dari pada
budaya sendiri. Hal ini terjadi karena begitu dahsyatnya dan sistemastisnya
penjajahan budaya melanda mereka. Senjata paling berbahaya adalah sarana
informatika, sehingga setiap celah kehidupan kita yang sangat tertutup sekalipun
dapat dimasuki. Karena dalam setiap jiwa bangsa tidak memiliki karakter hidup
yang baik.

Dalam pembentukan kualitas manusia, peran karakter tidak dapat


disisihkan. Karakter inilah yang menempatkan baik tidaknya seseorang, posisi
karakter bukan jadi pendamping kompetensi melainkan menjadi dasar, ruh atau
jiwanya. Tanpa karakter peningkatan diri dari kompetensi akan menjadi liar,
seperti halnya berjalan tanpa rambu.6 Islam sebagai sistem ilahi yang paripurna
melihat manusia sebagai satu kesatuan antara jiwa dan raga, dengan demikian

2
manusia akan dikatakan manusia seutuhnya apabila dari kedua unsur tersebut
sama-sama ada.

Karakter merupakan hal sangat penting dan mendasar dalam kehidupan,


karakter merupakan sebuah mustika hidup yang dapat kita gunakan untuk
membedakan antara manusia dan binatang. Manusia tanpa karakter merupakan
manusia yang membinatang. Orang-orang yang memiliki karakter baik dan mulia
secara individu dan sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral dan budi
pekerti yang baik. Mengingat pentingnya karakter dalam diri maka pendidikan
memiliki tanggung jawab yang begitu besar untuk dapat menanamkannya melalui
proses pembelajaran.

Thomas Lickona, seorang professor Pendidikan dari Cortland University,


mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda yang harus diwaspadai karena
sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, tanda yang dimaksudkan ialah
meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata
yang memburuk, pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan,
meningkatnya perilaku merusak seperti narkoba, alkohol dan sek bebas, semakin
kaburnya pedoman moral, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada
orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
membudayanya ketidak jujuran dan adanya rasa saling curiga dan kebencian
diantara sesama, tanda-tanda tersebut sudah ada di Indonesia.

Perkembangan karakter anak berproses melalui interaksi sosial dalam


lingkungannya. Menurut Vigotsky, anak belajar melalui dua tahapan yaitu tahapan
interaksi dengan orang lain, orang tua, guru, saudara, teman sebaya dan tahapan
belajar secara individual dengan mengintegrasikan segala sesuatu yang telah
dipelajari dari orang lain dalam struktur kognitifnya.

Untuk itu penanaman karakter harus dimulai sejak dini, Bredecam dan
Copple mengkaji bahwa anak usia dini bersifat unik, mengekspresikan
perilakunya secara relatif spontan, bersifat aktif dan energik, egosentris dan
memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal. Anak usia
dini juga memiliki sifat eksploratif dan berjiwa petualang, kaya dengan fantasi,
masih mudah frustasi, kurang pertimbangan dalam bertindak, memiliki daya

3
perhatian yang pendek. Hal tersebut merupakan masa-masa belajar yang paling
potensial. Para ahli psikologi juga menyebut masa usia dini sebagai usia emas
(golden age) karena usia dini terbukti sangat menentukan terhadap kemampuan
anak dalam mengembangkan potensinya.

Maka dari penjelasan di atas penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji
secara mendalam tentang teori humanistik yang digunakan oleh lembaga
pendidikan ini dalam proses pembelajaran dan pengembangan potensi diri para
peserta didik serta dalam melahirkan generasi-gereasi muda yang berkarakter dan
siap untuk meghadapi tantangan-tantangan masa depan. Sehingga penulis
memberi judul penelitian tesis ini “Implementasi Pembelajaran Humanistik
dalam Permasalaham Pendidikan Karakter di Tingkat Sekolah Dasar”.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana implementasi pembelajaran humanistik di lingkungan Sekolah


Dasar?

1.2.2 Bagaimana proses penanaman karakter di tingkat Sekolah Dasar?

1.2.3 Apa kekurangan dalam pembelajaran humanistik terhadap penanaman


pendidikan karakter di Sekolah Dasar?

1.2.4 Apa faktor penghambat penanaman karakter di tingkat Sekolah Dasar?

1.3 Tujuan Masalah

Kemudian berdasarkan rumusan masalah sebagaimana di atas maka tujuan


penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1.3.1 Untuk mengetahui implementasi pembelajaran humanistik di lingkungan


Sekolah Dasar.

1.3.2 Untuk mengetahui dan mengungkap proses penanaman karakter di tingkat


Sekolah Dasar.

1.3.3 Untuk mendgetahui kekurangan dalam pembelajaran humanistik terhadap


pendidikan karakter di Sekolah Dasar.

4
1.3.4 Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat penanaman karakter di
tingkat Sekolah Dasar.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Implementasi Pembelajaran Humanistik dalam Pendidikan Karakter di


lingkungan Sekolah Dasar.

Dalam pelaksanaan pendidikan Sekolah Dasar biasanya selalu


memberikan apresiasi yang tinggi kepada setiap individu, karena pihak sekolah
menilai bahwa setiap siswa memiliki potensi-potensi berkembang dan aktual.
Sehingga guru menilai bahwa siswa memiliki kesadaran, kebebasan dan tanggung
jawab sebagai makhluk individual dan sosial. Artinya manusia tidak hanya
mementingkan dirinya sendiri namun memiliki kemauan untuk mengabdikan
dirinya pada masyarakat.

Kemudian dalam pelaksanaan pembelajaran di Sekolah Dasar biasanya


tidak hanya berpusat di dalam kelas saja, namun pembelajaran dilaksanakan di
teras, lapangan sekolah, gazebo, taman dan mushollah. Sekolah Dasar juga
terkadang memperhatikan betul terhadap lingkungan belajar, ruang kelas di
desain, itu semua dilakukan untuk merangsang kerja otak dan siswa tidak merasa
bosan atau jenuh dalam belajar.

Kurikulum yang digunakan di Sekolah Dasar kebanyakan mengacu pada


kurikulum nasional, namun kurikulum tersebut dikembangkan dalam berbagai
inovasi-inovasi pembelajaran yang menyenangkan. Maka agar pembelajaran
menjadi baik dan menyenangkan, sekolah mengkemas pembelajaran dengan
mengintergasikan setiap kompetensi ke dalam tema pembelajaran, yang mana

5
tema tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Selain dengan metode
Integrated learning, ada juga sekolah yang mengaplikasikan motode Joyfull
learning sebagai metode pembelajaran yang baik untuk pemahaman siswa.
Kemudian metode Contextual teaching, agar menghubungkan pengetahuan dan
terapannya dengan kehidupan sehari-hari. Dan menerapkan metode Cooperative
learning agar setiap problem pendidikan dapat diselesaikan dengan cara
berkelompok.

Keempat motode tersebut diterapkan dengan harapan dapat menumbuhkan


nilai-nilai agama, menanamkan nilai kejujuran, menanamkan nilai disipllin,
menanamkan peduli terhadap lingkungan dan menumbuhkan cinta kebhinekaan,
siswa tidak merasa terbebani saat belajar dan sekolah dapat mengasah berbagai
potensi dan keterampilan yang nantinya bisa diaplikasikan oleh para siswa di
tengah masyarakat.

Sebagai guru harus meyakini bahwa setiap individu siswa memiliki


potensi yang beraneka ragam, maka sekolah memberikan kebebasan kepada siswa
dalam mengembangan potensi yang dimiliki. Sehingga guru berusaha dengan
optimal mengembangkan potensi-potensi yang ada pada siswa melalui pembinaan
secara intensif. Kemudian untuk mempermudah pengembangan potensi tersebut
setiap Sekolah Dasar tentu memiliki cara tersendiri, seperti dengan
mengelompokkan anggota kelas dalam satu rombel sesuai dengan potensi dan
kecerdasan masing-masing. Siswa yang memiliki potensi di bidang bahasa di
kelompokkan bersama anak dengan potensi bahasa begitu pula yang lainnya.
Sehingga guru mudah melakukan pembelajaran dan pengembangan potensi siswa.

Selanjutnya, dalam penyampaian materi guru terlebih dahulu


memperkenalkan tujuan dan manfaat dari tema kompetensi yang akan diajarkan,
dengan tujuan siswa mempersiapkan diri dan mencari tahu hal-hal yang kurang
dimengerti tentang tema tersebut, kemudian megkonsultasikan kepada guru saat
pertemuan atau pembahasan tema tersebut. Karena di setiap Sekolah Dasar
kebanyakan menggunakan kurikulum 2013 yang menjadiakan siswa sebagai pusat
belajar (student centered). Dengan begitu proses pembelajaran menjadi menarik,
karena seluruh siswa aktif dalam pembelajaran.

6
2.2 Proses Penanaman Karakter di tingkat Sekolah Dasar

Dalam Sekolah Dasar biasanya menciptakan kegiatan-kegiatan yang


menarik dan bermutu sebagai prosesnya dalam menanamkan karakter pada setiap
siswa, khususnya pada proses penanaman karakter jujur, disiplin, peduli
lingkungan dan cinta tanah air.

2.2.1 Proses Penanaman Karakter Jujur

Adapun kegiatan-kegiatan yang diterapkan beberapa Sekolah Dasar untuk


menanamkan karakter kejujuran ialah sebagai berikut:

1. Jam kejujuran, yaitu miniatur jam yang dimiliki setiap siswa dan tertempel
di bagian depan ruang kelas. Siswa diajak untuk jujur, yakni dengan cara
merubah jarum jam pada miniatur jam kejujuran sesuai jam kedatangan
siswa ke dalam kelas.
2. Mengintegrasikan nilai-nilai kejujuran, yaitu guru dituntut untuk
memasukkan nilai kejujuran pada setiap kompetensia atau mata pelajaran,
sehingga para siswa dapat mencermati makna kejujuran dan mengetahui
pentingnya jujur, kemudian berkeinginan untuk selalu jujur.
3. Buku harian, yaitu buku yang berisi kolom tentang kegiatan sholat,
mengaji, belajar dan membantu orang tua. Buku ini diisi oleh siswa dan di
tanda tangani para orang tua. dengan kegiatan ini dapat mendorong siswa
untuk selalu jujura mengerjakan kewajiban di rumah dan jujur melaporkan
kepada wali kelas.

2.2.2 Proses Penanaman Karakter Disiplin

Adapun kegiatan-kegiatan yang diterapkan beberapa Sekolah Dasar untuk


menanamkan karakter disiplin ialah sebagai berikut:

1. Sholat dhuha berjamaah, yaitu kegiatan sekolah di pagi hari sebelum


kegiatan belajar mengajar dimulai. Dengan kegiatan ini siswa akan tiba di
sekolah lebih awal, dengan kegiatan ini siswa dilatih untuk disiplin
terhadap waktu dan menanamkan kepada siswa tentang nilai-nilai disiplin
pada saat ibadah, seperti disiplin pemasrahan diri secara total kepada Allah
dan disiplin kesucian lahir dan batin.

7
2. Lingkungan indah, dengan adanya lingkungan yang indah di sekolah siswa
akan merasa senang dan nyaman menjadi penghuni di dalamnya. Para
siswa akan bersemangat berangkat ke sekolah untuk menikmati keindahan
lingkungan dan bermain bersama binatang-binatang yang ada di sekolah.
Hal sehingga siswa akan disiplin untuk tidak terlambat dan tadang lebih
awal.

2.2.3 Proses Penanaman Karakter Peduli Lingkungan

Adapun kegiatan-kegiatan yang diterapkan Sekolah Dasar untuk


menanamkan karakter peduli lingkungan ialah sebagai berikut:

1. Pengetahuan lingkungan, yaitu siswa dibekali dengan pengetahuan tentang


lingkungan hudup, siswa akan memiliki pemahaman yang luas tentang
lingkungan hidup, bagaimana cara merawatnya dan apa saja manfaatnya.
Sehingga siswa termotivasi untuk selalu peduli dengan lingkungan hidup.
2. Piket sekolah, yaitu kegiatan membersihkan lingkungan sekolah sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan. Dengan harapan siswa terbiasa
membersihkan lingkungan yang kotor, membiasakan siswa menjaga
kebersihan dan menanamkan karakter peduli lingkungan pada setiap
individu siswa.
3. Cinta alam, yaitu kegiatan untuk mencintai alam sekitar dengan cara
melakukan kerja bakti membersihakn lingkungan masyarakat yang kotor
seperti selokan, sungai, tempat-tempat umum dan sebagainya. kegiatan
cinta alam dapat dijadikan stimulus bagi siswa dan masyarakat untuk
puduli terhadap lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang bersih akan
nyaman ditempati, udara menjadi sejuk. Tetapi sebaliknya, lingkungan
kotor akan menjadi sumber penyakit bagi masyarakat.

2.2.4 Proses Penanaman Karakter Cinta Tanah Air

8
Adapun kegiatan-kegiatan yang diterapkan di Sekolah Dasar untuk
menanamkan karakter cinta tanah air ialah sebagai berikut:

1. Upacara bendera, yaitu kegiatan upacara rutin di hari senin pagi, dengan
kegiatan ini siswa akan belajar tentang pendidikan kebangsaan,
mengenang jasa para pahlawan dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme
pada diri siswa. Sehingga para siswa sadar bahwa dirinya merupakan
generasi bangsa yang harus cinta tanah air dan berjuang memajukan
Indonesia.
2. Kenal Bangsa, yaitu kegiatan di luar sekolah dengan mengunjungi tempat-
tempat yang memiliki banyak nilai kebudayaan, seni dan sejarah, kegiatan
ini bertujuan untuk mengenalkan siswa pada negara. Maka siswa akan
mengetahui tradisi adat setempat, budaya, makan khas, pakaian adat, hasil
karya daerah, bahasa dan kekayaan lainnya yang dimiliki oleh setiap
daerah yang ada di Indonesia. Dan siswa memiliki kemauan untuk
melestarikannya sebagai bentuk cinta terhadap tanah air.
3. Hari Batik, yaitu hari dimana seluruh warga sekolah diwajibkan untuk
menggunakan pakaian batik, karena batik merupakan ciri khas seni
indonesia dan seni busana yang tidak dimiliki negara lain. Penerapan hari
batik merupakan langkah yang bagus untuk menanamkan rasa bangga dan
cinta akan seni Indonesia, keanekaragaman batik merupakan bentuk dari
falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda tapi tetap satu jua.
2.3 Kekurangan dalam Pembelajaran Humanistik terhadap Pendidikan
Karakter di Sekolah Dasar.

Meskipun pembelajaran Humanistik cenderung sangat terbuka dan sangat


bermanfaat untuk siswa di Sekolah Dasar selama studi mereka, ada beberapa
kelemahan dalam teori ini yang harus benar-benar kita sadari dan itu berdampak
dalam implementasi teoti pembelajaran Humanistik di Sekolah Dasar

2.3.1 Ketika menerapkan teori pembelajaran Humanistik ini, sulit bagi siswa
Sekolah Dasar untuk memahami potensi mereka. Ini karena pendidik
“meninggalkan” siswanya dengan penemuan diri, tanpa dituntun dan
diberi petunjuk untuk membentuk karakter siswa, sehingga siswa harus

9
menemukan karakternya sendiri. Dengan siswa menemukan karakter
sendiri itu bisa menyebabkan mereka salah langkah, serta dapat berdampak
negatif dalam pemeuan karakter diri mereka sendiri.

2.3.2 Siswa yang tidak berminat mengikuti proses pembelajaran diserahkan


kepada siswa lain yang siap serta mampu untuk meningkatkan kemampuan
dirinya.

2.3.3 Jika siswa tidak fokus pada proses pembelajaran, mereka mungkin masih
mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran selanjutnya dikarenakan
keterlambatan pada tahap awal yaitu pengenalan karakter dalam diri
mereka.

2.3.4 Jika siswa tidak memahami apa yang diajarkan dan tidak didukung
langsung oleh pendidik, dapat menghambat kemajuan siswa pada saat
belajar di rumah maupun di sekoah.

2.3.5 Siswa cenderung menyalahgunakan kebebasan yang diberikan.

2.3.6 Siswa yang tidak merasa bertanggung jawab cenderung sulit


berkonsentrasi.

2.4 Faktor Penghambat dalam Penanaman Karakter di tingkat Sekolah


Dasar.

Yang menjadi faktor penghambat dalam penanaman karakter di Sekolah


Dasar ialah:

2.4.1 Kurangnya perhatian wali murid terhadap siswa, karena sibuknya


pekerjaan.

2.4.2 Adanya media massa negatif, sehingga mengganggu proses belajar. Karna
melihat zaman sekarang yang sudah semakin modern. Seperti anak-anak
yang masih menduduki bangku Sekolah Dasar sudah di izinkan untuk
menggunakan telepon genggam, itu bahkan seringpula di salah gunakan.
Sehingga bisa berdampak negatif pada karakter siswa.

10
2.4.3 Kurangnya kesadaran siswa tentang pentingnya penanaman nilai, mereka
beranggapan pembelajaran nilai tidak meningkatkan aspek kognitif.

2.4.4 Ketidak harmonisnya keluarga, sehingga anak tidak mendapatkan


perhatian yang baik.

2.4.5 Krisisnya keteladanan dari lingkungan masyarakat.

https://www.kompasiana.com/zayyinhikamofficial/
60cc39689f7b9d15a70ac7a2/teori-belajar-humanistik-dan-dampaknya-terhadap-
pembelajaran-pendidikan-agama-islam

BAB III

UPAYA

Dalam menerapkan teori belajar humanistik dalam sekolah agar maksimal dan
berjalan dengan lancar maka diperlukan adanya suatu upaya dalam proses
membelajaran diantarnya :

1.Model Pendidikan Humanisme

Pada model pendidikan humanisme memerlukan siswa yang unik dan aktif,
sehingga mengusahakan siswa aktif berpatisipasi dalam kelas. Ada beberapa
model Pendidikan yang humanisme antara lain

1. Student Centered Learning


Konsep ini sesuai dengan konsep pembelajaran Carl Rogers

11
Yaitu:
a) Memfasilitasi orang lain tanpa mengajar.
b) Memmengajar diri dengan belajar secara signifikan.
c) Belajar tanpa tekanan, dan
d) Mendidik dan mengajarkan siswa secara signifikan tanpa tekanan, dan
Memfasilitasi perbedaan yang ada.
2. Humanizing of The Classroom
Model pendidikan ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter,
sehingga mengakibatkan siswa meninggalkan pendidikan. Model
pendidikan berpedoman pada tiga hal yaitu menyadari diri yang
merupakan proses pertumbuhan, perubahan, dan perkembangan yang terus
berubah, menggali konsep identitas diri, dan membuka jalan berfikir yang
luas. Perubahan yang dilakukan bukan hanya pada materi Tetapi pada
aspek metodologis yang dipandang manusiawi.
3. Active Learning
Model Pendidikan ini gagasan dari M. L. Siberman yang mana belajar
bukanlah konsekuensi otomatis dalam menyampaikan informasi pada
siswa, akan tetapi belajar melibatkan tindakan dan mental sekaligus.
Pendidikan active learning yaitu pendidikan yang dilakukan dengan cara
mendengar, melihat dan mendiskusikan maka akan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dalam menguasai pelajaran.

4. Quantum Teching

Model pendidikan yang mengajak siswa lebih aktif dalam proses


pembelajaran sehingga menciptakan suasana yang tidak membosankan,
dimana guru mampu berinteraksi dalam membawa potensi fisik, emosi,
dan psikis siswa menjadi sesuatu yang integral. Model pendidikan
quantum teaching yakni guru harus mampu melibatkan siswa baik itu dari
segi pikiran, bahasa tubuh dan perasaan dalam ranah pendidikan.

5. The Accelerated Learning

12
Guru mampu melakukan metode pendekatan pembelajaran Misalnya
belajar dengan metode animasi, belajar dengan cara visual, belajar dengan
cara menggambarkan dan mengamatinya, dan belajar dengan cara diskusi
memecahkan masalah yang ada dan melakukan refleksi seperti
mengajukan tanya jawab, sehingga membuat kelas aktif dan dapat
mengembangkan wawasan siswa.

2.Kelas

Prinsip pengelolaan kelas adalah pengendalian perilaku siswa, untuk


mendukung itu, maka perlu aturan dan panduan bagi siswa tentang
bagaimana mereka berperilaku, seperti kapan dan bagaimana mereka boleh
mengintrupsi guru, duduk dan bergerak, dan sebagainya. Prinsip dasar
humanisme adalah proses pembelajaran dengan mendekatkan pendidikan
humanis di kelas. Contoh dari penerapan teori belajar humanistik di dalam
kelas yaitu memberi kesempatan seluasnya agar siswa mengembangkan
diri secara potensi, pribadi, sikap, berkembang menuju taraf yang lebih
baik/sempurna. Sehingga dapat menciptakan suasana ruang kelas yang
humanisme.

3.Guru

Guru berusaha untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman, kassih sayang,
self steem dan aktualisasi diri (Sriyanti, 2011: 86). Perspektif Humanistik,
pendidik harus memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap
kebutuhan afektif siswa, kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan
dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral (Djiwandono, 2006:
181).

Dalam pendidikan humanisme guru berupaya melakukan segala sesuatu untuk


membangun siswa dalam self concept, dalam arti lainnya guru dapat melibatkan
siswa dalam proses belajar sehingga siswa merasa dihargai, dikagumi,
berpengalaman dan sebagainya. Menurut Zakiah Daradjat “guru yang sukses
adalah guru yang memilih bagi anak didiknya pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan tubuh dan mentalnya. Dalam proses mengajar, guru harus

13
memperhatikan keadaan murid, tingkat pertumbuhan dan perbedaan perorangan
yang terdapat di antara mereka” (Daradjat, 2005: 15). Guru yang humanis belajar
bukan hanya dari guru akantetapi dari siswa juga, memiliki hubungan yang baik
dengan siswa, memberi dorongan kepada siswa dengan saling percaya.

4.Siswa

Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai
proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami
potensi diri mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negative.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/zayyinhikamofficial/
60cc39689f7b9d15a70ac7a2/teori-belajar-humanistik-dan-dampaknya-
terhadap-pembelajaran-pendidikan-agama-islam

15

Anda mungkin juga menyukai