Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MENGANALISIS HUBUNGAN KARAKTER


DAN KEPRIBADIAN MANUSIA

Dibuat untuk memenuhi tugas kelompok


mata kuliah Pendidikan Karakter

Disusun oleh :

Dicky Saputra Sinaga (201014283207050)


Maest Pyu Amar Dievan Qiusta (201014283207053)
Rubi Pratama (201014283207056)

Dosen :

Fauziah, S.Pd., M.Pd., T.


NIDN. 1020019301

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MUARA BUNGO


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI
INFORMASI TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga kelompok kami bisa menyelesaikan
tugas makalah “Menganalisis Hubungan Karakter dan Kepribadian Manusia”
sebagai mana mestinya. Tak lupa pula kami ucapkan banyak terima kasih terhadap
pihak-pihak yang turut ikut andil dalam menyelesaikan tugas ini.

Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekeliruan dan
kekurangan dalam segi penyusunan dan sistematika penulisan yang baik dan
benar oleh karena itu kami selaku penyusun sangat berharap banyak terhadap para
pembaca agar memberi saran dan masukkan sehingga kami bisa menyempurnakan
kekurangan tersebut. Semoga makalah yang kami susun ini bermanfaat bagi kita
semua terutama terhadap tim penyusun.

Muara Bungo, 13 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................

iii BAB 1. PENDAHULUAN

.................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................

3 1.3

Tujuan ................................................................................................. 3

BAB 2. PEMBAHASAN .......................................................................................

4 2.1 Karakter dan


Asesmennya .................................................................. 4 2.2

Kepribadian...................................................................................... 15

2.2.1 Konsep yang berhubungan dengan Kepribadian ....................... 16

2.3 Hubungan Karakter dan Kepribadian ............................................ 19

BAB 3. PENUTUP............................................................................................... 24

3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini dunia pendidikan semakin tertantang untuk menyiapkan siswa
maupun mahasiswa dalam menghadapi globalisasi yang semakin meningkat,
kemampuan penguasaan teknologi dan berbagai keterampilan sesuai
perkembangan jaman. Sebagai akibatnya, diperlukan perubahan kurikulum.
Pada saat yang sama, perhatian terhadap permasalahan-permasalahan karakter
juga harus dilakukan, mengingat berbagai suguhan berita yang membuat kita
terhenyak. Berbagai kasus seperti tindak kekerasan remaja kepada sesama
temannya, perkelahian antar siswa, menurunnya rasa hormat anak pada
orangtua dan gurunya, menurunnya rasa tanggung jawab, meningkatnya
ketidakjujuran, menurunnya moral, kasus bunuh diri, cyber bullying, dan
sebagainya. Sungguh menjadikan bahan pemikiran bagi dunia pendidikan kita
tidak lain hanya untuk menumbuhkan karakter yang baik namun diharapkan
juga agar hasil implementasi kepribadian yang tertuju pada lingkungan sosial
juga baik.
Karakter bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, tidak dapat
diharapkan diberikan oleh orangtua sebagai satu-satunya penyedia 'karakter
baik', juga tidak dapat 'diajarkan' dari buku teks. Karakter dapat terbentuk
oleh seseorang atau sesuatu yang dipengaruhi oleh jumlah waktu interaksi
dan konten interaksinya. Semakin banyak waktu yang dihabiskan seorang
anak dengan seseorang atau sesuatu, maka akan semakin banyak mereka akan
menyerap dan “dibentuk” oleh seseorang atau sesuatu tersebut. “Sesuatu”
tersebut dapat berupa TV, video game, ponsel, iPad, atau lainnya. Ada
banyak faktor penting yang terlibat dalam pengembangan karakter seseorang,
antara lain dari keluarga, komunitas dan sekolah, dan lainnya.
Pendidikan karakter telah lama diwacanakan dan dilaksanakan. Secara
eksplisit, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 1 ayat 1, disebutkan

1
2

bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan


suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Nampak bahwa ayat tersebut sarat dengan muatan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang
dapat menumbuhkan generasi muda yang etis, bertanggung jawab, dan peduli
dengan memberi contoh dan membelajarkan karakter.
Pendidikan karakter sesungguhnya tidak asing lagi bagi umat beragama.
Setiap agama mengutamakan penanaman nilai-nilai karakter yang baik. Umat
muslim, memiliki Sang Teladan karakter yaitu Rasulullah SAW. Rasulullah
tidak saja memberikan ilmu dalam hal ibadah dan ketaqwaan kepada Allah
SWT, namun juga menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi
umatnya. Allah bahkan menjamin hal tersebut dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah, suri teladan yang baik bagimu
yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (QS. Al Ahzab: 21). Ayat ini
merupakan landasan dalam meneladani Rasulullah dalam hal perkataan,
perbuatan, dan keadaan Beliau. Rasulullah juga bersabda: “innama bu’itstu
liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang baik). Tugas Rasulullah adalah
menyempurnakan karakter mulia dilandasi kasih sayang dengan empat pilar:
shidiq (benar), amanah (jujur, bisa dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan
fathonah (cerdas).
Banyak kisah yang menunjukkan agungnya budi pekerti Rasulullah yang
menjadi teladan bagi umatnya. Rasulullah SAW memiliki beberapa metode
dalam mengajarkan banyak hal kepada umatnya termasuk mengajarkan
akhlak, diantaranya dengan keteladanan, ceramah, berkisah, diskusi,
penugasan, dan metode lainnya. Metode yang pertama (keteladanan) menjadi
sangat bermakna karena perilaku orangtua atau guru dapat ditiru sang anak
3

dalam kehidupan sehari-hari. Upaya memperbaiki akhlak inilah yang pada


pendidikan zaman modern disebut dengan beberapa istilah, diantaranya
dengan istilah pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan nilai,
pendidikan karakter, atau istilah lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana karakter dan asesmennya
2. Bagaimana definisi kepribadian
3. Bagaimana hubungan karakter dan kepribadian

1.3 Tujuan
1. Mengetahui karakter dan asesmennya
2. Mengetahui definisi kepribadian
3. Mengetahui hubungan karakter dan kepribadian
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karakter dan Asesmennya


Karakter banyak didefiniskan dengan ragam pengertian yang sebenarnya
tidak jauh berbeda. Karakter berasal dari kata Yunani “charaktêr” yang
artinya “menandai” seperti “ukiran”. Karakter berarti tanda khas dimana satu
hal dibedakan dari yang lain, atau kumpulan kualitas yang membedakan satu
individu dari yang lain. Dengan kata lain, karakter adalah ciri khas seseorang
yang membedakan dari orang lain. Orang yang berkarakter baik adalah
individu yang mengetahui mana yang baik, mencintai kebaikan, dan
melakukan kebaikan (Pala, 2011).
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir, bersikap,
dan bertindak. Kebajikan bersumber dari sejumlah nilai, moral, dan norma,
yang diyakini kebenarannya yang terwujud dalam hubungan-hubungan yang
membangun interaksi antara manusia dengan Tuhannya, sesama manusia,
lingkungan hidupnya, bangsa dan negaranya, dan dengan dirinya sendiri.
Hubungan- hubungan itulah yang menimbulkan penilaian baik-buruknya
karakter seseorang (Akbar, 2011).
Karakter adalah "suatu kecenderungan dan minat aktif" yang membuat
seseorang "terbuka, siap dan senang terhadap tujuan tertentu atau
berperasaan, dingin, tidak mau tahu menahu terhadap orang lain". Karakter
terdiri dari seperangkat disposisi dan kebiasaan yang membentuk tindakan
dengan cara yang relatif tetap. Karakter adalah pendekatan umum seseoranag
terhadap masalah dan tanggung jawab kehidupan sosial, responsif terhadap
dunia yang didukung oleh reaksi emosional terhadap kesusahan orang lain,
perolehan keterampilan prososial, pengetahuan tentang konvensi sosial dan
pembangunan nilai-nilai pribadi; termasuk kapasitas untuk disiplin diri dan
empati (Lapsley, 2006).

4
5

Karakter mencakup semua hal tentang "sikap," "perilaku," "disposisi,"


"pola pikir," "kepribadian," "temperamen," "nilai-nilai" atau "keterampilan
sosial dan emosional”. Karakter dapat diartikan sebagai seperangkat sifat atau
watak pribadi yang menghasilkan emosi moral tertentu, menunjukkan
motivasi dan membimbing perilaku sedangkan pendidikan karakter mencakup
semua kegiatan pendidikan yang eksplisit dan implisit yang membantu siswa
mengembangkan kekuatan pribadi yang positif yang disebut kebajikan
(virtue).
Park dan Peterson (2009) mendefinisikan “karakter yang baik”sebagai
suatu kelompok multidimensi dari sifat-sifat moral positif yang dianggap
penting dalam kehidupan. Sifat-sifat tersebut tercermin dalam pemikiran,
emosi, dan perilaku seseorang. Secara spesifik, telah diidentifikasi enam inti
kebajikan-karakteristik moral yang dipegang teguh oleh para filsuf dan tokoh
tokoh relijius di dunia. Keenam inti kebajikan ini adalah kebijaksanaan,
keberanian, keadilan, kemanusiaan, kesederhanaan, dan transendensi.
Kekuatan karakter muncul dalam berbagai situasi dan konteks dan
berkontribusi terhadap kondisi dan fungsi psikologis seseorang. Karakter
karakter tersebut dianggap penting bagi anak-anak ataupun orang dewasa
untuk berkembang secara optimal. Perkembangan, praktik, dan penggunaan
kekuatan karakter memampukan individu melakukan yang terbaik, karena
kekuatan karakter merupakan manifestasi dari potensi individu. Hal ini telah
banyak dibuktikan oleh penelitian empiris, yang menunjukkan bahwa anak
anak ataupun orang dewasa yang memiliki kekuatan karakter menghadapi
lebih sedikit permasalahan psikologis dan lebih bahagia. Secara umum,
kekuatan karakter yang dimiliki oleh anak-anak dan remaja sering dikaitkan
dengan perilaku serta kondisi psikososial dan akademik yang baik. Terdapat
berbagai pendapat tentang nilai karakter. Kementerian Pendidikan Nasional
telah merumuskan 18 (delapan belas) nilai karakter yang perlu ditanamkan
dalam diri siswa sebagai upaya membangun karakter berikut ini:
(1) religius, (7) mandiri, (13) bersahabat/komunikatif,
6

(2) jujur, (8) demokratis, (14) cinta damai, (3) toleransi, (9) rasa
ingin tahu, (15) gemar membaca,
(4) disiplin, (10) semangat kebangsaan (16) peduli lingkungan,
(nasionalisme),

(5) kerja keras, (11) cinta tanah air, (17) peduli sosial, dan (6) kreatif,
(12) menghargai prestasi, (18) tanggung jawab.

Ruark (2018) menyatakan ada 36 nilai karakter yang dapat dilatihkan.


Nilai karakter tersebut adalah berikut ini:

(1) akuntabilitas, (13) antusiasme, (25) (bertindak dengan terencana),


(2) keberanian, (14) etika, (26) kegembiraan, (3) kepedulian, (15) keadilan,
(27) kebaikan hati, (4) kerja sama, (16) kesetiaan, (28) penuh rasa cinta,
(5) amanah, (17) keramahan, (29) ketekunan, (6) kasih saying (18)
kemurahan hati, (30) kesopanan, (7) kreativitas, (19) kemurnian hati, (31)
produktivitas, (8) dedikasi(pengabdian), (20) rasa bersyukur, (32)
tanggung jawab, (9) ketabahan, (21) kerja keras, (33) melayani orang lain,
(10) disiplin, (22) kejujuran, (34) ketulusan, (11) semangat, (23)
kehormatan diri, (35) dapat dipercaya, dan (12) empati, (24) integritas,
(36) kerelaan hati.

Asesmen atau pengukuran karakter seseorang atau dampak pendidikan


karakter cukup sulit karena sifat karakter yang kompleks. Oleh karena itu,
kebijaksanaan dan kehati-hatian diperlukan dalam setiap cara untuk
mengukur karakter secara holistik. Berikut adalah proses yang dapat
dilakukan untuk mengases karakter siswa.
Mengevaluasi bagaimana budaya dan etos sekolah berkontribusi pada
pendidikan karakter. Sekolah dapat merancang dan mengevaluasi seperangkat
7

kriteria karakter apa yang ingin diketahui. Evaluasi semacam itu berdasar pada
pengetahuan dan penilaian guru sehingga memberikan bukti tentang kekuatan
dan kelemahan sekolah, dengan demikian dapat menyoroti lebih banyak
upaya, sumber daya, dan waktu yang harus diarahkan.
Mengevaluasi efektivitas, strategi, aktivitas, atau pendekatan dari
pendidikan karakter yang dilakukan. Metode yang berbeda, termasuk survei
pra-intervensi dan pasca-intervensi, pengamatan dan wawancara dengan guru
dan siswa dapat diterapkan untuk mendapatkan bukti tentang dampak dari
strategi atau aktivitas pendidikan karakter yang ada. Disarankan untuk
mengukur hanya beberapa saja dari komponen karakter dan akan lebih baik
untuk melakukan triangulasi data dengan menggunakan lebih dari satu
sumber bukti.
Melakukan refleksi diri pada karakter dan kebajikan pribadi yang
dilakukan oleh siswa sendiri. Hal ini mungkin direkam secara berkala selama
perjalanan pendidikan siswa, misalnya dalam jurnal. Bukti yang diperoleh
dari teman sebaya, guru dan orang tua akan mendukung proses ini.

Karakter bukanlah sesuatu yang dapat dihitung atau kekal dan tidak bisa
berubah, oleh karena itu seringkali diistilahkan juga dengan “kualitas
karakter”. Berikut ini adalah enam (6) kualitas karakter yang diidentifikasi
oleh Bialik, Bogan, Fadel, & Horvathova (2015) sebagai kualitas karakter
yang paling tinggi (Tabel 1). Namun demikian, daftar dalam tabel tersebut
belum lengkap dan bukan konsep yang fixed, masih bisa berubah.

Tabel 1. Kualitas Karakter Tertinggi yang Terpilih


No Kualitas Karakter Konsep dan Kualitas Karakter Terkait
(Bisa Berubah)

8
1 Mindfullness Kebijaksanaan, kesadaran diri, aktualisasi diri
(penuh manajemen probadi, observasi, refleksi,
perhatian) kesadaran, kasih sayang, syukur, empati,
perhatian, pertumbuhan, visi, wawasan,
keseimbangan batin, kebahagiaan, kehadiran,
keaslian, mendengarkan, berbagi, keterkaitan,
saling ketergantungan, kesatuan, penerimaan,
keindahan, sensibilitas, kesabaran, ketenangan,
keseimbangan, kerohanian, eksistensialitas,
kesadaran sosial, kesadaran lintas budaya, dan
lain-lain.

2 Curiosity Keterbukaan pikiran, eksplorasi, hasrat,


(Keingintahuan) pengarahan diri sendiri, motivasi, inisiatif,
inovasi, antusiasme, keingintahuan,
penghargaan, spontanitas, dan lain-lain.

3 Courage Keberanian, tekad, ketabahan, kepercayaan diri,


(Keberanian) pengambilan risiko, kegigihan, ketangguhan,
semangat, optimisme, inspirasi, energi,
kekuatan, kegairahan, keceriaan, humor, dan
lain-lain.
4 Resilience Ketekunan, ketabahan, keuletan, inisiatif,
(Ketangguhan) keberanian, disiplin diri, upaya, ketekunan,
komitmen, kontrol diri, harga diri, kepercayaan
diri, stabilitas, kemampuan beradaptasi,
berurusan dengan ambiguitas, fleksibilitas,
umpan balik, dan lain-lain.

5 Ethics (Etika) Kemurahan hati, kemanusiaan, integritas, rasa


hormat, keadilan, kesetaraan, keadilan,
kebaikan, percaya diri, inklusif, toleransi,
penerimaan, kesetiaan, kejujuran, kebenaran,
kemurnian hati,

9
keaslian, dapat dipercaya, kesopanan,
pertimbangan, pengampunan, kebajikan, cinta,
membantu, kemurahan hati, amal, pengabdian,
rasa memiliki, kewarganegaraan, kesetaraan,
dan lain- lain.

6 Leadership Tanggung jawab, akuntabilitas, ketergantungan,

(Kepemimpinan) keandalan, kesadaran diri, tidak mementingkan


diri sendiri, kerendahan hati, kesederhanaan,
keterampilan hubungan, refleksi diri, inspirasi,
organisasi, delegasi, bimbingan, komitmen,
kepahlawanan, karisma, membimbing,
keterlibatan, keteladanan, orientasi-tujuan,
fokus, orientasi hasil, ketepatan, efisiensi,
negosiasi, konsistensi, sosialisasi, kecerdasan
sosial, keanekaragaman, kesopanan, dan lain-
lain.

Pada bagian berikut diberikann penjelasan sekilas tentang enam (6)


kualitas karakter tertinggi menurut Bialik dkk (2015), beserta ringkasan cara
mempelajari dan mengasesnya. Hal-hal berikut hanya contoh saja. Penilaian
setiap kualitas karakter dapat dikembangkan sesuai kebutuhan.
1. Mindfullness
Mindfulness (penuh pengertian) dapat diartikan sebagai kesadaran yang
muncul melalui perhatian pada tujuan, dan tanpa menghakimi terhadap
pengalaman dari waktu ke waktu. Hal yang penting untuk dipahami adalah
bahwa seseorang yang mengajarkan mindfullness juga mempraktikkannya
dalam kehidupannya sendiri, karena jika tidak melakukan demikian maka
keaslian dan keefektifannya kemungkinan akan berkurang.
Mindfullness dapat dimiliki oleh siswa ketika guru secara eksplisit
berdiskusi dengan siswa untuk mengatasi kesalahpahaman. Instrumen yang
dapat digunakan untuk mengases mindfullness adalah kuisioner laporan diri,
10

yang mempertimbangkan berbagai segi perhatian. Siswa dapat dipicu untuk


merefleksikan diri mereka dan pengalaman mereka sendiri.
2. Curiosity
Curiosity (keingintahuan) merupakan kesenangan bawaan terhadap
pembelajaran dan pengetahuan, tanpa mengharapkan keuntungan apa pun.
Curiosity juga dapat diartikan sebagai dorongan internal (homeostatis) serta
respons terhadap isyarat eksternal (stimulus yang ditimbulkan). Sebuah studi
telah menemukan bahwa semakin besar rasa ingin tahu, semakin banyak
sumber daya (waktu) yang rela dihabiskan siswa untuk mencari tahu, dan
semakin besar kemungkinan mereka akan mengingat informasi itu kelak.
Selain itu, rasa ingin tahu yang lebih tinggi juga berkorelasi dengan aktivasi
area otak yang lebih tinggi seperti kesalahan prediksi, dan memori.
Pembelajaran yang hanya memberikan informasi kepada siswa tidak akan
efektif dalam memunculkan curiosity. Oleh karena itu, teknik yang bisa
dilakukan guru adalah menyajikan hal-hal yang bersifat kontradiktif, dan atau
melalui pembelajaran berbasis penyelidikan dan pembelajaran berbasis
masalah. Selain itu, curiosity terkait erat dengan dorongan intrinsik siswa
untuk memahami dunia di sekitar mereka sehingga proses pembelajaran yang
terlalu terkendali oleh guru tidak menyisakan ruang bagi siswa dalam
mendorong curiosity. Teknik lain yang bisa dilakukan guru adalah
menumbuhkan kesadaran siswa bahwa proses belajar yang dilakukan ini
adalah penting bagi diri mereka.
Pengukuran curiosity secara langsung cukup sulit dilakukan karena
beberapa penelitian telah menunjukkan setiap tes yang dilakukan menjadi bias
terhadap pengukuran curiosity. Cara yang sesuai untuk mengases curiosity
adalah menggunakan kuesioner. Biasanya kuesioner berisi tentang keterlibatan
dalam pembelajaran. Misalnya sejauh mana siswa tampak termotivasi secara
intrinsik, dan seberapa jauh mereka mendorong diri mereka sendiri.
3. Courage
Courage (keberanian) merupakan kemampuan untuk bertindak terlepas
dari ketakutan atau ketidakpastian, dalam situasi berisiko atau ketika dirinya
11

merasa lemah. Keberanian diperlukan untuk semua individu baik dalam


kehidupan profesional dan pribadi. Pengambilan risiko lebih tinggi pada
remaja daripada anak-anak atau orang dewasa, dan lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita. Keberanian dapat dianggap sebagai pengalaman
subjektif, di mana seseorang mengatasi rasa takut dan memilih untuk
mengambil tindakan dalam menghadapi ketidakpastian. Ciri-ciri courage
termasuk keterbukaan terhadap pengalaman, kesadaran, dan ciri-ciri evaluasi
diri seperti self-efficacy.
Courage dapat dibelajarkan di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Courage dibutuhkan di kelas bagi guru dan siswa untuk mengatasi rasa takut,
mempelajari konsep dan keterampilan baru. Pengambilan risiko yang
signifikan terbukti meningkatkan kompetensi, imajinasi, kepercayaan diri, dan
kecerdikan siswa. Untuk mengembangkan courage, seorang guru dapat
menggunakan empat taktik: (1) berperan sebagai teladan pengambil risiko, (2)
mengambil pelajaran dari kesalahan sebagai peluang untuk belajar, (3)
memberi kebijakan penilaian yang memaafkan kesalahan dan mendorong
perbaikan, dan (4) berdiskusi tentang kesalahan yang membuahkan hasil yang
sukses.
Contoh membelajarkan courage di luar sekolah dengan program belajar
informal dalam waktu tertentu untuk membangun hubungan, tantangan fisik
dan perolehan keterampilan. Kualitas pengalaman belajar informal ini, bersama
dengan dukungan sosial dapat menumbuhkan keberanian, dengan memastikan
bahwa siswa “dilihat, didengar, dan dihargai.” Program-program semacam itu
dapat meningkatkan self-efficacy, dan mendorong siswa untuk membuat
pilihan yang baik dan terlepas dari ketakutan. Cara mengukur courage
berdasarkan tanggapan siswa terhadap studi kasus dan tugas penilaian
situasional.
4. Resilience
Resilience (ketangguhan) merupakan kemampuan atau serangkaian
kualitas yang memungkinkan seseorang untuk mengatasi rintangan.
Pengertian lain dari resilience adalah proses dinamis yang mencakup adaptasi
12

positif yang signifikan dalam menghadapi kesulitan. Tiga faktor utama yang
telah diidentifikasi di sekolah, masyarakat, dan sistem dukungan sosial yang
secara positif mempengaruhi ketangguhan remaja adalah: hubungan yang
terjaga, komunikasi yang baik, dan peluang untuk keterlibatan dan partisipasi
yang bermakna.
Situasi pembelajaran di kelas dapat menentukan resilience siswa. Oleh
karena itu, cara tepat mendorong resilience adalah dengan meningkatkan tujuh
sifat berikut: perhatian dan hubungan, pro-sosialitas dan dukungan,
keterlibatan, inklusivitas, kolaborasi, pemberdayaan, dan fokus pada
pembelajaran. Dengan mengajarkan resilience kepada semua siswa, guru tidak
hanya melindungi siswa yang diidentifikasi sebagai "berisiko" tetapi juga
membekali setiap siswa untuk menghadapi kesulitan yang harus mereka atasi
dalam kehidupan mereka. Kehidupan dalam keluarga dan keterlibatan
masyarakat telah diidentifikasi sebagai dua faktor lingkungan lain yang
memengaruhi resilience anak. Semakin banyak faktor protektif yang dimiliki
anak, semakin besar kemungkinan mereka untuk berhasil ketika dihadapkan
dengan tantangan.

Pengukuran resilience menggunakan berbagai metode dengan berfokus


pada enam domain yaitu keamanan, pendidikan, persahabatan, bakat dan
minat, nilai- nilai positif dan kompetensi sosial. Pengukuran resilience perlu
dilakukan secara berkelanjutan.
5. Ethics
Ethics (etika) adalah norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman
dalam berperilaku di masyarakat bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan
buruk. Etika dikaitkan dengan kesusilaan dan perilaku manusia di dalam
pergaulannya dengan sesama yang menyangkut prinsip dan aturan tentang
tingkah laku yang benar. Etika adalah kewajiban dan tanggungjawab moral
setiap orang dalam berperilaku di masyarakat.
Penelitian menunjukkan bahwa metode drill tidak terlalu efektif, namun
sebaiknya pembelajaran etika otonomi siswa jauh lebih efektif. Salah satu cara
13
untuk memberi siswa otonomi dengan keputusan etis adalah melalui
pembelajaran demokratis, yaitu siswa bertanggung jawab secara kolektif
dalam membuat keputusan. Tanggung jawab ini melibatkan mereka dalam
peran yang sesuai dengan usia namun yang lebih penting membutuhkan
perilaku etis. Pembelajaran etika juga dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan ethics ke dalam kurikulum, misalnya melalui serangkaian
studi kasus dilema etis.
Cara mengases ethics dengan mengkategorikan penalaran siswa terhadap
berbagai pertanyaan etis. Seseorang dapat ditempatkan pada suatu titik dalam
kerangka yang lebih besar dari pengembangan penalaran moralnya. 6.
Leadership
Leadership (kepemimpinan) tidak selalu diidentikkan dengan organisasi
yang di dalamnya terdapat bawahan yang dipandang sebagai pengikut dan
pemimpin yang dipandang sebagai ahli yang berusaha memaksimalkan kontrol
mereka dan memotivasi bawahan untuk bertindak dengan cara tertentu menuju
tujuan organisasi. Leadership bukan tentang satu individu, tetapi serangkaian
proses, praktik dan interaksi, serta kontrol penuh. Leadership dapat diartikan
sebagai proses relasional dan etis dari orang-orang yang bersama-sama
berusaha mencapai perubahan positif. Model leadership relasional ini
mencakup dimensi menjadi inklusif, memberdayakan, bertujuan, beretika, dan
berorientasi pada proses.
Leadership tidak boleh hanya ditujukan untuk siswa yang diidentifikasi
berbakat saja, tetapi harus menjadi bagian dari semua pendidikan karena
leadership sejati tumbuh dari proses kelompok. Dengan demikian, memberikan
contoh pemimpin yang sukses tidak akan membantu, namun fokusnya adalah
pada proses kepemimpinan dan menggunakan pengalaman kepemimpinan
bersama dengan diskusi seputar pengalaman-pengalaman yang memungkinkan
siswa untuk memahami bagaimana kelompok berfungsi dan membangun
kapasitas yang relevan dalam diri mereka sendiri. Siswa harus didorong untuk
mengambil peran kepemimpinan dan meningkatkan metakognitif tentang
pengalaman mereka bekerja dengan kelompok.
14

Pengukuran leadership dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner


dengan berdasarkan gagasan bahwa leadership yang efektif adalah menjadi diri
sendiri, dan menilai berbagai dimensi (intelektual, manajerial, dan sosial
emosional). Cara lain yang bisa digunakan untuk mengases kepemimpinan
melalui laporan diri, evaluasi guru, dan penilaian situasional.
15

2.2 Kepribadian
Istilah kepribadian dalam bahasa inggris dinyatakan dengan
personality. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu persona yang berarti
topeng dan personare yang artinya menembus.istilah topeng berkenaan
dengan salah satu atribut yang digunakan oleh para pemain sandiwara pada
zaman Yunani Kuno. Dengan topeng yang dikenakan dan diperkuat dengan
gerak-gerik dan yang diucapkan, karakter dari tokoh yang diperankan
tersebut dapat menembus keluar dalam arti dapat dipahami oleh para
penonton. Kata kepribadian dalam kehidupan sehari
hari di gunakan untuk menggambarkan: (1) identitas diri, contoh: “Saya
seorang yang terbuka” atau “Saya seorang pendiam”, (2) kesan umum
seseorang tentang diri anda atau orang lain, contoh “Dia agresif” atau “Dia
jujur”, dan fungsi-fungsi kepribadian sehat atau bermasalah, contoh: “Dia
baik” atau “Dia mendendam.”
Untuk memperoleh pemahaman tentang kepribadian ini, berikut di
kemukakan beberapa pengertian dari para ahli: Hall dan Lindzey
mengemukakan bahwa secara populer, kepribadian dapat di artikan sebagai:
(1) keterampilan atau kecakapan sosial (social skill), dan (2) kesan yang
paling menonjol, yang di tunjukkan seseorang kepada orang lain. Selain itu
Woodworth juga mengemukakan bahwa kepribadian merupakan “Kualitas
tingkah laku total individu”. Sementara Dashiell mengartikannya sebagai
“Gambaran total tentang tingkah laku individu yang terorganisasi”. Derlega,
Winstead dan Jones mengartikannya sebagai “Sistem yang relative stabil
mengenai karakteristik individu yang bersifat internal, yang berkontribusi
terhadap pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang konsisten.” (Suryabrata,
2006)
Pada mulanya Allport mendefinisikan kepribadian sebagai “What a
man really is”, tetapi definisi tersebut oleh Allport dipandang tidak
memadai, lalu ia merevisi definisi tersebut. Definisi yang dirumuskan oleh
Allport adalah: “Personality is the dynamic organization within the
individual of those psychophysical systems that determine his unique
adjustments to his environment.” (Kepribadian adalah organisasi
16
dinamis dalam individu sebagaai sistem psikofisis yang menentukan
caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan) (Singgih
& Dirgagunarsa, 1987).
David Krech dan Richard S. Crutchfield (1969) dalam bukunya yang
berjudul Elements of Psikologi mendefinisikan sebagai berikut, “Personality
is the integration of all of an individual’s characteristic into a unique
organization that determines, and is modified by, his attemps at adaption to
his continually changing environtment.” (Kepribadian adalah integrasi dari
semua karakteristik individu kedalam suatu kesatuan yang unik yang
menentukan, dan yang dimodifikasi oleh usaha-usahanya dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah terus menerus).
Sedangkan Adolf Heuken SJ menyatakan sebagai berikut: “Kepribadian
adalah pola menyeluruh semua kemampuan, perbuatan serta kebiasaan
seseorang, baik yang jasmani,
mental, rohani, emosional maupun yang sosial. Semuanya ini telah ditata
dalam caranya yang khas dibawah beraneka pengaruh dari luar. Pola ini
terwujud dalam tingkah lakunya, dalam usahanya menjadi manusia
sebagaimana dikehendakinya.”
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli dapat disimpulkan pokok-pokok
pengertian kepribadian sebagai berikut: pertama, kepribadian merupakan
kesatuan yang kompleks, yang terdiri atas aspek psikis, seperti intelegensi,
sifat, sikap, minat, cita-cita, dan sebagainya serta aspek fisik, seperti bentuk
tubuh, kesehatan jasmani, dan sebagainya. Kedua, kesatuan dari kedua
aspek tersebut berinteraksi dengan lingkungannya yang mengalami
perubahan secara terus-menerus, dan terwujudlah pola tingkah laku yang
khas atau unik. Ketiga, kepribadian bersifat dinamis, artinya selalu
mengalami perubahan, tetapi dalam perubahan tersebut terdapat pola pola
yang bersifat tetap. Keempat, kepribadian terwujud berkenaan
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh individu (Sujanto, 2001).
2.2.1 Konsep yang berhubungan dengan Kepribadian
Konsep-konsep kepribadian sebenarnya merupakan aspek-aspek atau
komponen- komponen kepribadian karena pembicaraan mengenai
17

kepribadian senantiasa mencakup apa saja yang ada di dalamnya, seperti


karakter, sifat-sifat, dan lainnya. Interaksi antara berbagai aspek tersebut
kemudian terwujud sebagai kepribadian. Ada beberapa konsep yang
berhubungan erat dengan kepribadian bahkan kadang-kadang disamakan
dengan kepribadian. Konsep-konsep yang berhubungan dengan kepribadian
diantaranya: 1) Character (Watak) ialah kepribadian yang dipengaruhi oleh
motivasi yang menggerakkan kemauan sehingga orang tersebut bertindak.
Yang dimaksudkan bahwa kepribadian seseorang menunjukkan tindakan
akibat kemauan yang teguh dan kukuh maka ia dinamakan seseorang yang
berwatak atau sebaliknya (Alwisol, 2005)
Menurut Sumadi (2006) watak adalah keseluruhan atau totalitas
kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional dan volisional
seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam
(dasar, keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar
(pendidikan dan pengalaman, serta faktor-faktor eksogen). Secara arti
normatif kata watak dipergunakan apabila orang bermaksud mengenakan
norma-norma kepada orang yang sedang dibicarakan, misalnya ungkapan
“Ia orang yang pandai, tetapi sayang tidak berwatak dan Ia orang yang
terdidik, tetapi tak punya watak”. Orang berwatak apabila sikap, tingkah
laku, dan perbuatannya dipandang dari segi norma-norma sosial adalah baik
dansebaliknya.
Secara arti deskriptif watak menurut Allport bahwa “Character is
personality evaluated, and personality is character devaluated”. Menurutnya
kepribadian dan watak adalah satu dan sama, tetapi dipandang dari segi yang
berlainan. Apabila orang akan mengenakan norma-norma, yang berarti
mengadakan penilaian lebih tepat dipergunakan istilah “watak”. Apabila
tidak mengadakan penilaian sehingga menggambarkan apa adanya, dipakai
istilah “kepribadian”. 2) Temperament (Tabiat) adalah kepribadian yang
lebih bergantung pada keadaan badaniah, atau kepribadian yang berkaitan
erat dengan determinan biologis atau fisiologis. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa tabiat adalah konstitusi kejiwaan.
18

Temperament memiliki aspek yang meliputi: Motalitas (kegestian atau


kelincahan) ditentukan oleh otot, tulang dan saraf perifer. Contoh: Orang
bekerja dan bereaksi dengan lincah dan gesit. Vitalitas (daya hidup) lebih
ditentukan keadaan hormonal dan saraf otonom. Contoh: Orang dengan
vitalitas tinggi: baru bangun pagi sudah penuh gairah hidup dan memiliki
berbagai rencana. Orang yang mudah bosan, kurang kreatif, dan kurang
inovatif. Emosionalitas (daya rasa) lebih ditentukan
keadaan neurohormonial dan saraf pusat. Contoh: Bila ada sesuatu yang
menakutkan, ada orang yang bereaksi segera dan spontan secara emosional.
3) Traits (Sifat) ini berfungsi untuk menguntegrasikan kebiasaan, sikap dan
ketrampilan kepada pola-pola pikir, merasa dan bertindak. Traits dapat
diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan
karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg)
dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Diartikan juga
kecenderungan yang dipelajari untuk mereksi rangsangan dari lingkungan.
Deskripsi di atas menggambarkan bahwa traits merupakan kecenderungan-
kecenderungan yang dipelajari untuk mengevaluasi situasi dan mereaksi
situasi dengan cara-cara tertentu.
Setiap traits mempunyai tiga karakteristik (a) uniquencess, kekhasan
dalam berperilaku), (b) likeableness, traits itu ada yang disenagi dan ada
yang tidak disenangi, sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan
atau ketidak harmonisan, kepuasan atau ketidak
kepuasan orang orang yang mempunyai traits tersebut.26 Traits yang disengai
seperti jujur, murah hati dan bertanggung jawab. Sementara yang tidak
disenagi seperti egois, tidak sopan dan kejam/bengis. Sikap sesorang
terhadap traits ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c)
consistency, artinya seseorang itu diharap dapat berperilaku atau bertindak
secara ajeg. Konsep yang keempat dari kepribadian adalah tipe. Perbedaan
antara sifat dan tipe menurut Allport adalah: Individu dapat memiliki
sesuatu sifat, tetapi tidak dapat memiliki suatu tipe, tipe adalah konstruksi
ideal si pengamat dengan mengabaikan sifat-sifat khas individualnya, tipe
menunjukkan
19

perbedaan buatan, sedangkan sifat refleksi sebenarnya dari individu. 5)


Sementara yang terakhir adalah Habit (Kebiasaan). Kebiasaan adalah bentuk
tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan
yang mengandung unsur afektif perasaan (Yusuf, 2012).
2.3 Hubungan Karakter dan Kepribadian
Karakter dan kepribadian memiliki serangkaian hubungan yang
kompleks atau saling terikat satu sama lain yang dapat diasumsikan dari
definisi dan asesmen dari karakter dan kepribadian. Hubungan-hubungan yang
terkadung didalamnya bersipat satu kesatuan yang didapatkan dari hasil
internalisasi berbagai nilai kebajikan yang digunakan sebagai landasan
berpikir dan bertindak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa karakter pada diri
manusia sebagai pembentuk atau pendamping dari kepribadian pada manusia.
Pada (Tabel 2) memperlihatkan bahwa karakter dan kepribadian bersipat satu
kesatuan;

Karakter
Karakter

Karakter

Karakter

Karakter
Kepribadian
Karakter Karakter

Karakter Karakter

Karakter

Karakter Karakter

Gambar 1. Karakter dan Kepribadian Satu Kesatuan


20

Terdapat banyak penjelasan dari para ahli mengenai karakter dan


kepribadian berikut Lickona menekankan pentingnya tiga komponen karakter
yang baik yang menjadi landasan hubungan antara karakter dan kepribadian
(components of good character) yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral
action.
1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral)
Moral knowing akan lebih mengisi pada ranah kognitif individu, yang
memiliki aspek yaitu:
∙ Kesadaran Moral (moral awareness)
Aspek dalam kesadaran moral ini adalah pertama, menggunakan
pemikirannya untuk melihat suatu situasi yang memerlukan penilaian moral.
Sehingga kemudian dapat memikirkan dengan cermat tentang apa yang
dimaksud dengan arah tindakan yang benar. Kedua, memahami informasi dari
permasalahan yang bersangkutan. Jadi, dalam pengetahuan moral ini, harus
mebngetahui fakta yang sebenarnya mengenai suat hal yang bersangkutan
sebelum mengambil suatu penilaian moral.
∙ Pengetauan Nilai Moral (knowing moral values)
Nilai-nilai moral diantaranya yaitu menghargai kehidupan dan
kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan,
toleransi, penghormatan, disiplin diri, integritas, kebaikan, belas kasihan, dan
dorongan atau dukungan. Jika seluruh nilai digabung, maka akan menjadi
warisan moral yang diturunkan dari satu generasi, ke generasi yang
berikutnya.
Mengetahui sebuah nilai berarti memahami bagaimana caranya
menerapkan nilai yang bersangkutan dalam berbagai macam situasi.
Pengetahuan moral ini membutuhkan “penerjemahan”, yang mana membantu
setiap individu menerjemahkan nilai-nilai abstrak dari seluruh nilai yang ada
ke dalam hubungan personal mereka.
∙ Penentuan Perspektif/ sudut pandang (perspective taking) Penentuan
perspektif atau penentuan sudut pandang ini merupakan kemampuan untuk
mengambil sudut pandang orang lain, melihat situasi sebagaimana adanya,
membayangkan bagaimana mereka akan berfikir,
21

bereaksi, dan merasakan masalah yang ada.


∙ Pemikiran/logika Moral (moral reasoning)
Pemikiran moral mengikutsertakan pemahaman atas prinsip moral klasik
yaitu, “hormatilah hak hakiki intrinsik setiap individu”, bertindaklah untuk
mencapai kebaikan yang terbaik demi jumlah yang paling besar”, dan
“bertindaklah seolah-olah Anda akan membuat semua orang lain akan
melakukan hal yang sama di bawah situasi yang serupa”.
∙ Pengambilan Keputusan (decision making)
Aspek komponen moral knowing ini lebih kepada individu itu mampu
memikirkan cara bertindak melalui permasalahan moral pada situasi tertentu. ∙
Pengtahuan Pribadi/ Pengenalan diri (self knowledge)
Pengetahuan tentang diri masing-masing sangat diperlukan dalam
pendidikan karakter. Menjadi orang yang bermoral memerlukan keahlian
untuk mengulas kelakuan dirinya sendiri dan mengevaluasi perilakunya
masing-masing secara kritis.
2. Moral Feeling (Perasaan Moral)
Komponen karakter ini merupakan komponen yang akan mengisi dan
menguatkan aspek afeksi individu agar menjadi manusia yang berkarakter baik.
Beberapa aspek komponen ini adalah:
∙ Hati Nurani/ kesadaran akan jati diri (conscience)
Hati nurani memiliki empat sisi yaitu sisi kognitif, mengetahui apa yang
benar, dan sisi emosional, serta merasa berkewajiban untuk melakukan apa
yang benar. Banyak orang tahu apa yang benar, namun merasakan sedikit
kewajiban untuk berbuat sesuai dengan hal tersebut.
∙ Harga Diri (self esteem)
Berdasarkan penelitian, anak-anak dengan harga diri yang tinggi lebih
tahan terhadap tekanan teman sebayanya dan lebih mampu untuk mengikuti
penilaian mereka sendiri daripada anak-anak yang memiliki harga diri yang
rendah (Lickona, 2013:93).
Harga diri yang tinggi tidak menjamin karakter yang baik karena lebih
kepada kepemkilikan, popularitas, atau kekuasaan. Seharusnya, mampu
mengembangkan harga diri berdasarkan nilai seperti tanggung jawab,
22

kejujuran, dan kebaikan serta berdasarkan pada keyakinan kemampuan diri


sendiri demi kebaikan.
∙ Empati (empathy)
Perlunya empati yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain
sehingga kita mampu keluar dari zona kita. Sebagai aspek dari komponen
karakter, empati harus dikembangkan secara generalisasi. Mempu melihat di
luar perbedaan dan menanggapi kemanusiaan bersama.
∙ Mencintai Hal yang Baik/ Mencintai kebenaran (loving the good) Ketika
setiap individu mencintai hal-hal yang baik atau mencintai kebenaran, maka
setiap individu akan melakukan hal-hal yang bermoral baik dan benar atas dasar
keinginan, bukan hanya karena tugas.
∙ Kendali Diri/ Pengendalian Diri (self control)
Kendali diri atau pengendalian diri sangat diperlukan dalam pendidikan
karakter. Emosi tinggi mampu membuat karakter baik menjadi buruk ketika
tidak ada pengendali diri. Dengan pengendalian diri, juga dapat menahan segala
hasrat dan keinginan negatif dalam diri.
∙ Kerendahan Hati (humility)
Kerendahan hati merupakan keterbukaan yang sejati terhadap kebenaran
dan keinginan untuk bertindak guna memperbaiki kegagalan kita. Kerendahan
hati adalah sisi afektif pengetahuan pribadi.
3. Moral Action (Tindakan Moral)
Komponen tindakan ini merupakan hasil dari kedua komponen karakter
lainnya yaitu moral knowing dan moral feeling. Aspek dari komponen tindakan
moral atau moral action ini yaitu:
∙ Kompetensi (competence)
Aspek ini mampu mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam
tindakan moral yang efektif. Untuk hal ini, kita harus mampu merasakan dan
melaksanakan rencana tindakan.
∙ Keinginan (will)
Keinginan berada pada inti dorongan moral. Menjadi orang yang baik
memerlukan tindakan keinginan yang baik, suatu penggerakkan energy moral
untuk melakukan apa yang kita pikir harus dilakukan.
23

∙ Kebiasaan (habit)
Kebiasaan yang baik melalui pengalaman yang diulangi dalam apa yang
dilakukan itu membantu, ramah, dan adil dapat menjadi kebiasaan baik yang
akan bermanfaat bagi dirinya ketika menghadapi situasi yang berat.
Komponen karakter di atas dengan aspek komponennya masing-masing
menjelaskan bahwa karakter dan kepribadian manusia saling berhubungan,
bekerjasama untuk saling mendukung sehingga dapat menciptakan kepribadian
yang baik (Lickona, 2013).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hubungan karakter dan kepribadian manusia didasari dari komponen
pembentuk yang eksplist dan implisit pada diri manusia. Aspek pada
komponen-komponen pembentuk karaker memiliki peran dalam
terbentuknya kepribadian yang baik dikarenakan karakter dan kepribadian
bersipat satu kesatuan yang saling bekerjasama dan saling mendukung.
Bentuk rincinya meliputi Moral Knowing, Moral Felling dan Moral Action.
Tiga komponen ini yang menjadi ujung pangkal dari komponen-komponen
karakter untuk bekerjasama dalam hubungan terbentuknya kepribadian yang
baik.
Karakter terbentuk akibat interaksi yang cukup lama dengan seuatu hal
atau konten interaksinya. Pada asesmen karakter cukup sulit dianalisis
dikarenakan sipatnya yang kompleks sehingga perlu keterlatihan dan kehati
hatian dalam mendidik seseorang yang akan menuju pengembangan
karakter yang baik. Kemajuan teknologi juga tidak luput dari proses
terbentuknya karakter. Dewasa ini sering kita lihat bagaimana kelakuan
remaja maupun siswa dan mahasiwa karena efek kemajuan teknologi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa majunya teknologi juga berakibat terbentuknya
karakter karena dengan mudahnya seseorang mengakses sesuatu hal, baik
dalam bentuk game, vidio dan lain sebagainya. Hal itu menimbulkan
karakter yang tidak baik jika digunakan dengan tidak cermat karena
interaksinya yang cukup lama dengan seseorang yang mengaksesnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. (2011). Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar. Pidato


Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Pendidikan Dasar 7 pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UM, Kamis 8
Juni 2019.

Alwisol. (2005). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM.

Bialik, M., Bogan, M., Fadel, C., & Horvathova. (2015). Character Education
for the 21st Century: What Should Students Learn? Boston,
Massachusetts: Center for Curriculum Redesign.

Lapsley, D. K. (2006). Character education. Handbook of child psychology ,


248-295.

Lickona, T. (2013). Educating for Character: ow Our Schools Can Teach


Respect and Responsibility. Jakarta: Bumi Aksara.

Pala, A. (2011). The Need for Character Education. International Journal of


Social Sciences and Humanity Studies , 3(2): 23-32.

Park, N., & Peterson, C. (2009). Strengths of character in schools. Handbook of


Positive Psychology in Schools , 65–76.

Singgih, & Dirgagunarsa, G. (1987). Pengantar Psikologi. Jakarta: Gunung


Mulia.

Sujanto, A. (2001). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Perkasa.

Sumadi. (2006). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Suryabrata, S. (2006). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Yusuf, S. (2012). Teori kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya.

25

Anda mungkin juga menyukai