Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONSEP PENDIDIKAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu: Ira Fatmawati, S. S., M. Pd.

Di susun Oleh:
Kiki Fadila (220621100102)
Lailatun Nafisa (220621100132)
Monawaroh (220621100123)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Esa karena telah memberikan kesempatan pada penulis
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Pendidikan”.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas
Trunojoyo Madura. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang Konsep Pendidikan Menurut Tokoh Luar Negeri.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ira Fatmawati, S. S., M. Pd. selaku dosen
mata kuliah Filsafat Pendidikan. Semoga tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Bangkalan, 30 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 3

1.3Tujuan ................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4

2.1 Hakikat Pendidikan............................................................................4

2.1.1 Paulo Freire...............................................................................5


2.1.2 Ivan Illich..................................................................................9

BAB III PENUTUP...........................................................................................13

3.1 Simpulan ........................................................................................... 13

3.2 Saran ................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menjalankan kehidupan
manusia. Pendidikan memiliki peranan penting terlebih dalam lingkup kehidupan suatu bangsa
untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Dengan adanya
pendidikan ini seluruh aspek kehidupan manusia ini bisa terjamin, oleh karena itu generasi
muda harus berpendidikan demi masa depan yang cerah. Karena baik buruknya sumber daya
dan perilaku manusia bergantung dari pendidikan yang didapatkannya, maka proses
pendidikan yang dijalankan harus jelas dan terarah. Seharusnya pendidikan harus mampu untuk
menghasilkan pribadi diri yang manusiawi, berdaya guna, dan mempunyai pengaruh dalam
lingkungan masyarakat, serta dapat bertanggung jawab atas hidupnya dan orang lain. Jika
manusia tidak berpendidikan maka mereka tidak dapat menjadi manusia yang sebenarnya.
Dengan demikian pendidikan pada dasarnya dapat memberikan pengalaman belajar untuk
dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri melalui proses interaksi dengan lingkungan
sekitar.

Lembaga pendidikan dan pendidik sekarang ini dihadapkan dengan tuntunan yang
semakin berat terutama dalam menyiapkan anak didik agar mampu beradaptasi dengan
dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan sekitar
bukan hanya berkaitan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi saja, tapi terjadi
karena adanya pergeseran aspek nilai moral dalam kehidupan masyarakat. Krisis moral bangsa
terjadi karena dari diri sendiri dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan yang
berkarakter. Salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia yang menitikberatkan
pada perkembangan intelektual dan kurang memerhatikan aspek afektif, sehingga tercetak
generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Maka dari itu
dalam bidang pendidikan muncul filsafat pendidikan. Pada dasarnya konsep filsafat
menempatkan pada suatu kebenaran berdasarkan kemampuan nalar manusia yang menjadi
patokan mengenai suatu peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Filsafat dalam dunia

1
pendidikan berperan penting yaitu untuk memberikan sebuah kerangka acuan untuk mencapai
cita-cita pendidikan itu sendiri. Oleh karena ini filsafat dalam sebuah negara menjadi sebuah
panutan. Filsafat pendidikan yang lahir akan menjadi tumpuan konsep pendidikan sebagai ilmu
pengetahuan normatif yang merumuskan kaidah-kaidah nilai yang menjadi tolak ukur tingkah
laku manusia di masyarakat (Djamaluddin, 2014)

Pada hakikatnya pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia, namun sering


tidak terwujud karena adanya perbedaan antara konsep dan pelaksanaan dalam lembaga
pendidikan. Kesenjangan tersebut dapat mengakibatkan kegagalan pendidikan yang tujuannya
untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Secara umum tujuan pendidikan adalah untuk
memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sebuah upaya agar anak
didik bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap Tuhan, diri sendiri, keluarga,
bangsa, dan negaranya. Proses memanusiakan manusia tersebut membuktikan bahwa
pendidikan tidak hanya berperan dalam meningkatkan intelektual saja, tapi juga harus bisa
meningkatkan potensi dan kemampuan yang ada dalam diri manusia baik kemampuan
intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual (Saifullah Idris & Tabrani,
2017). Kegagalan suatu bangsa dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari gagalnya proses
pendidikan yang dilakukan. Segala sesuatu permasalahan suatu bangsa berakar dari kualitas
pendidikan yang ada di negara tersebut, bahkan Indonesia termasuk dalam negara dengan
angka korup tertinggi di dunia. Untuk membentuk peserta didik yang mempunyai karakter yang
baik, hendaknya sebagai tenaga pendidik perlu memberikan teladan dan contoh yang baik.
Dunia pendidikan saat ini banyak ditemukan berbagai penyimpangan perilaku dari seorang
pendidik sendiri yang tidak dapat diteladani. Karakter mampu menggambarkan kualitas moral
seseorang akan mencerminkan segala tingkah laku dan kebiasaannya.

Keberhasilan pendidikan bisa dilihat jika anak didik mampu memperoleh Intelektual
Quotion (IQ) yang tinggi. Hal tersebut menjadi ironi di dunia pendidikan sekarang ini
sementara aspek spiritualnya yang seharusnya menjadi penentu arah IQ tersebut malah sering
kali diabaikan. Dalam pembentukan potensi yang ada dalam anak didik hanya bisa tercapai jika
pendidikan benar-benar bisa untuk memanusiakan manusia. Maka dari itu muncul konsep-
konsep pendidikan yang dirumuskan oleh para filsuf pendidikan di dunia guna melancarkan
proses pendidikan, baik tokoh filsuf dalam negeri atau pun luar negeri. Sebagai pendidik
mempunyai peran dan andil yang cukup besar sebagai seorang penggerak dalam proses
pendidikan dilakukan. Karena pendidikan yang akan mampu menyukseskan atau malah
menggagalkan pendidikan itu sendiri. Konsep pendidikan perlu untuk dipahami oleh pendidik

2
untuk dapat membantu memahami bagaimana proses belajar anak didiknya, sehingga mampu
menjadikan pembelajaran yang dilakukan oleh guru menjadi lebih baik, efektif, dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hakikat pendidikan?
2. Bagaimana konsep pendidikan menurut Paulo Freire?
3. Bagaimana konsep pendidikan menurut Ivan Illich?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dijabarkan tujuannya adalah


sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan tentang hakikat pendidikan


2. Mengetahui pendapat Paulo Freire mengenai konsep pendidikan
3. Mengetahui pendapat Ivan Illich mengenai konsep pendidikan

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Pendidikan

Pendidikan mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan hidup manusia d masa


depan. Pendidikan juga dapat membantu mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Agar
potensi-potensi tersebut tidak hilang begitu saja, maka setiap manusia dapat memilih jalur
pendidikan yang diinginkan baik melalui jalur formal, informal, maupun non formal (Astuti,
2021). Ketika ingin mencari suatu hakikat, sebenarnya secara tidak langsung akan berhubungan
dengan ontologi dalam filsafat. Dalam membicarakan persoalan pendidikan, akan muncul
filsafat pendidikan yang membicarakan tentang filsafat tidak lepas juga hubungannya dengan
manusia. Pada hakikatnya dalam proses pendidikan pada manusia adalah sebagai suatu proses
kemanusiaan atau memanusiakan manusia. Pendidikan itu sendiri lebih berorientasi pada
terbentuknya karakter dan kepribadian seseorang. Setiap tahapan dalam pendidikan dievaluasi
dan dipantau secara saksama sehingga menjadi lebih jelas apa yang menjadi potensi positif
seseorang yang harus dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu
diperbaiki. Akar dari karakter ada dalam cara berpikir dan cara kesadaran seseorang.

Tinjauan dalam pendidikan dalam filsafat memiliki implikasi konseptual tersendiri, dan
hal itu bisa dilihat dari konsep pendidikannya. Perlu diketahui bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang telah diberikan tanggung jawab
untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita
pendidikan. Setiap pendidikan mempunyai strategi dan konsep tersendiri dalam menjalankan,
bahkan banyak tokoh filsuf yang merumuskan tentang filsafat luar negeri dan dalam negeri.
Oleh karena itu sebagai seorang pendidik diharapkan agar mampu untuk memenuhi tanggung
jawab dan tujuan pendidikan. Mengingat hal itu, dapat dikatakan pula bahwa mendidik adalah
membantu anak didik dengan sengaja dengan cara membimbing, membantu dan memberi
pertolongan agar mereka menjadi manusia dewasa, bersusila, bertanggungjawab dan mandiri
(Arfani, 2016). Pendidikan meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
memberikan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan keterampilannya kepada
generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmani maupun rohani.

4
2.1.1 PAULO FREIRE

A. Biografi Paulo Freire

Reglus Neves Freire atau lebih sering dipanggil Paulo Freire yang merupakan putra
Brazil yang lahir pada tanggal 19 September 1921 tepatnya di daerah Recife, sebuah kota kecil
di daratan Amerika Latin. Kota Recife merupakan salah satu pusat kemiskinan dan
keterbelakangan di daerah Brazil bagian Timur Laut. Freire berasal dari keluarga kalangan
menengah dari ibu bernama Edeltrus Neves Freire. Ayahnya merupakan seorang polisi
bernama Joaquim Tomis Tocles Freire, Freire sejak kecil sudah dididik orang tuanya dengan
sikap demokratis, terbuka, dan dialogis. Dari beberapa literatur tentang biografi Freire,
disebutkan bahwa ketika masa kecilnya ada pada situasi yang serba sulit, khususnya dari segi
ekonomi. Bahkan, ketika Freire memasuki usia delapan tahun mengharuskannya merasakan
kelaparan yang luar biasa. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap karakter Freire dalam
menanggapi setiap kenyataan yang muncul dalam kehidupan yang dijalaninya. Freire menjadi
sangat peka dan kritis dalam setiap kenyataan yang dihadapinya baik maupun buruk. Bahkan
ketika masih pada usia yang sama, Freire bertekad untuk memperjuangkan hak-hak orang-
orang yang masih merasakan kelaparan. Menurutnya, jangan sampai kelaparan yang dia dan
keluarganya rasakan menimpa anak lainnya yang sebaya dengannya karena dia tahu bagaimana
situasi tersebut.

Pada tahun 1931, ayah Freire meninggal dunia. Pada saat itu usia Freire baru saja
menginjak sepuluh tahun. Namun pada usia 13 tahun Freire baru dapat menginjakkan kakinya
di bangku sekolah, sehingga akhirnya mampu melanjutkan studinya di Universitas Recife dan
mengambil jurusan hukum. Pada jenjang studinya, Freire mengambil disiplin ilmu yang
berbeda dengan studi awalnya yang diambil, yaitu filsafat pendidikan. Pada tahun 1959
berhasil meraih gelar doktor di bidang sejarah dan filsafat pendidikan, yang juga saat itu adalah
pertama kalinya Freire mengemukakan pikirannya tentang filsafat pendidikan. Pada tahun
1944 ketika usianya tepat dua puluh tiga tahun, Freire menikahi seorang guru sekolah dasar
yang tinggal satu kota dengannya. Seorang gadis yang berhasil memikat hatinya itu bernama
Elza Maria. Bersamanya, Freire dikaruniai tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak
perempuan.

Freire sempat terlibat dalam gerakan sosial dan pendidikan orang dewasa, khususnya
gerakan yang berkaitan langsung dengan budaya rakyat dan “gerakan masyarakat bawah”
tepatnya di gereja Katolik. Bekerja sama dengan petani dan buruh terutama di wilayah miskin

5
Brazil Timur Laut, di sanalah pertama kali Freire mengembangkan metodenya yang
berpengaruh untuk menghadapi permasalahan buta huruf (illiteracy) di daerah tersebut.
Peranan pendidikan dalam perjuangan golongan tertindas dicirikan perpaduan yang langka,
komitmen politik dan perspektif radikalnya menyatu dengan kesederhanaan pribadi. Kemudian
tahun 1964 pikiran-pikiran yang dikemukakan Freire dianggap membahayakan eksistensi
pemerintah, bahkan Freire sampai dituduh oleh pemerintah Brazil telah melakukan tindakan
subversif. Sehingga pada akhirnya konflik tersebut mengakibatkan Freire di jebloskan ke
dalam penjara dengan hukuman selama tujuh puluh hari dan diinterogasi berulang-ulang.
Setelah keluar dari penjara Freire langsung diasingkan dari negerinya. Ia memutuskan untuk
pergi dan menetap di Chili. Selama lima tahun berada di Chili Freire terlibat dalam program
pemberantasan buta huruf yang diadakan oleh pemerintah Chili sampai akhirnya menarik
perhatian dunia internasional. UNESCO mengakui bahwa Chili merupakan salah satu bangsa
di dunia yang berhasil mengatasi masalah pendidikan dasar. Dan sampai akhirnya Freire ditarik
ke UNECSO untuk bekerja dalam bidang pendidikan (Rinaldi Datunsolang, 2017).

B. Konsep Pendidikan Menurut Paulo Freire

Menurut Freire pendidikan adalah jalan untuk mencapai pembebasan dan


humanisasi, yaitu hal yang harus diperjuangkan. Freire juga mengibaratkan pendidikan sebagai
sesuatu yang tidak manusiawi, di mana pendidikan hanya memandang anak didik sebagai objek
saja. Sedangkan pendidik diposisikan sebagai subjek pendidikan yang harus memainkan
objeknya. Paulo Freire juga menganggap bahwa pendidikan dahulu merupakan pendidikan
Bank. Di mana dalam pendidikan ini murid hanyalah celengan kosong dan hanya guru yang
dianggap memiliki pengetahuan. Maksudnya adalah guru hanya menjelaskan kepada murid
mengenai pengetahuan dan mengarahkan murid untuk mencatat, maka hal tersebut membuat
murid menjadi pasif dikarenakan tidak adanya komunikasi antara guru dan murid. Karena hal
tersebut Freire menciptakan sebuah sistem Pendidikan baru yang dinamakan Pendidikan
terhadap masalah atau problem-polsing education. Sistem Pendidikan ini merupakan sistem
Pendidikan yang dekat dengan realitas. Dalam sistem ini guru dan murid berpikir bersama-
sama, dan dialog merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan. Seperti saling
berdiskusi mengenai pelajaran dan saling memberikan pendapat.

➢ Makna Pembebasan dalam Perspektif Paulo Freire

Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik
bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum

6
dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu
memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan untuk
memilih. Manusia juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau
disimpulkan ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya
kepada Tuhan dan kebebasan horizontal yang arahnya kepada sesama makhluk. Sementara
pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan
manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan.

Pandangan klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat
dijalankan pada tiga fungsi sekaligus. Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang
peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua, mentransfer atau
memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga, mentransfer
nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi
kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban. Dalam perkembangan berikutnya,
ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut, sejalan dengan tuntutan masyarakat atau
“pasar”. Dari sini lalu pendidikan memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata
sosial dan tata nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan. Proses
ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan
timbal balik antara kepentingan pendidikan di satu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat
disisi lainnya. Kepentingan pendidikan sering kali menjadi terabaikan oleh tuntutan
masyarakat. Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi masa
depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik terhadap sistem
pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah mengalami stagnasi, yang
kemudian melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan.

Salah satu kritik cukup tajam mengenai pendidikan ini datang dari Paulo Freire.
Keprihatinan Freire terhadap kaum tertindas (oppressed) telah mendorong dirinya untuk
mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan kemanusian. Menurutnya, kaum tertindas
yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran
mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka, untuk
menolak citra diri tersebut harus menggantinya dengan perasaan bebas serta tanggung jawab.
Kebebasan hanya bisa “direbut” bukan “dihadiahkan,” kata Freire. Di dalam bukunya yang
lain, Freire menulis dengan mengutip pendapat Erich Fromm sebagai argumentasi terhadap
situasi yang mengungkung manusia modern. Manusia modern, kata Freire, telah dikuasai oleh
kekuatan mitos-mitos dan telah dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideologi,

7
dan lainnya tanpa disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilangkan
kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern,
kemudian tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya
menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau kaum “Elit”.

Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upaya yang ingin memperhadapkan pendidikan
dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang tampak hingga hari ini
justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu membaca
realitas secara kritis dan cerdas. Pendidikan kritis (sebuah gagasan yang memang banyak
dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada
dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis, individu-
individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi
mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan
sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang
melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada
dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.

Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis
menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga.
Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis
karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya,
pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka,
revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah
dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih
dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang
tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu
dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di
sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi,
terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya
pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan
subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam
buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan
terpisah dengan realitas kontekstual. Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki
batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut.

8
Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan
dengan hak-hak orang lain, yang pada akhirnya akan menimbulkan anarkisme.

Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa
kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin
pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk
membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan
langsung di kalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata
kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan
yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk
meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang
membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada
masyarakat terbuka (open society).

2.1.2 IVAN ILLICH

A. Biografi Ivan Illich


Ivan Illich lahir di Wina, Austria pada 4 September 1926. Sejak kecil ia sudah diberikan
kasih sayang dan pendidikan dari kedua orang tuanya, karena ia termasuk anak yang cerdas.
Illich sempat berpindah-pindah tempat tinggal selama empat tahun yaitu di Dalmatia, Wina,
dan Prancis, atau di mana pun orang tuanya berada. Saat masih anak-anak, perkembangan
intelektual Illich semakin berkembang bukan hanya karena belajar dari sejumlah guru privat
yang mengajarkan berbagai bahasa, tetapi karena komunikasinya dengan cendekiawan-
cendekiawan penting yang menjadi sahabat orang tuanya seperti Rudolf Steiner, Raine Maria
Rilke, Jackues Martin, dan dokter keluarganya Sigmund Freud (Firman Amir, 2021). Ayahnya
Ivan Illich bernama Ivan Peter, beliau adalah seorang insinyur sipil. Dalam segi ekonomi Ivan
Illich beserta keluarganya hidup dengan nyaman, dan mampu mengenyam pendidikan di
sekolah yang terbaik. Setelah lulus dari sekolah tingkat pertama, Ivan Illich melanjutkan
studinya di Universitas Gregoriana, Roma, Italia. Di universitas tersebut Ivan Illich belajar
mengenai teologi. Setelah memperoleh gelar sarjananya ia memutuskan untuk kuliah lagi di
Universitas Salzburg. Di Universitas ini ia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu sejarah,
dan tidak lama kemudian ia diangkat sebagai imam gereja Katolik Roma.
Pada tahun 1951 Freire berada di kota New York, Amerika Serikat. Karena waktu itu
kota New York penuh dengan imigran-imigran dari negara Irlandia dan Puerto Rico, maka

9
sehari-hari hidupnya ia habiskan dengan memberikan bimbingan pendidikan dan keagamaan
kepada kaum imigran, dan ia juga menciptakan karya di tengah-tengah kehidupan imigran
tersebut. Ivan Illich pergi ke Mexico, dan pada tahun 1956-1969 ia diangkat menjadi salah satu
pendiri Centre For Intercultural Documentation (CIDOC) di Cuernavara, Mexico, dan sejak
tahun 1964-1976 ia mendapat kehormatan untuk hadir dan memimpin seminar-seminar
penelitian tentang Institusional Alternative In a Technological Society yaitu dengan
memfokuskan studi- studi tentang Amerika Latin. Illich berpegangan pada humanisme radikal
yang menjadikan ia salah seorang pahlawan bagi kaum Katolik kiri. Sejak tahun 1981, Ivan
Illich menjadi profesor tamu di Gottingen dan Berlin di Jerman. Pada akhir tahun 1982 ia
mengajar di Berkeley, California, Amerika Serikat. Ivan Illich yang dilahirkan di Wina pada
tahun 1926 adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial dengan ide-ide pembebasannya
tentang persekolahan, sehingga dikelompokkan sebagai pemikir “humanis radikal”. Ia
termasuk dalam golongan orang yang mempunyai kepribadian yang langka, kegembiraan yang
besar, wawasan luas, dan daya cipta yang subur, seluruh pemikirannya didasari pada
perhatiannya pada penyempurnaan manusia secara fisik, secara rohani, dan secara intelektual.
Ivan Illich meninggal pada tanggal 2 Desember 2002 (Mu’ammar, 2016).

B. Konsep Pendidikan Menurut Ivan Illich

Ivan Illich adalah sosok pemikir humanis dan religius. Beliau mengkritik proses
pendidikan yang mapan di zamannya. Menurutnya, Kewajiban bersekolah secara tidak
terelakkan membagi suatu masyarakat dalam kutub-kutub saling bertentangan. Beliau juga
mengkritik komponen pendidikan yang ada di sekolah, seperti dalam hal tujuan, pendidik,
peserta didik, kurikulum, metode dan lingkungan (Kartikasari, 2018). Illich cenderung
mendefenisikan pendidikan dalam arti luas. Baginya pendidikan sama dengan hidup. Pedidikan
adalah segala sesuatu yang ada dalam kehidupan untuk mempengaruhi proses pertumbuhan
dan perkembangan. Jadi pendidikan dapat diartikan sebagai pengalaman belajar seseorang
sepanjang hidupnya. Illich juga menyadari bahwa hak setiap orang untuk belajar dipersempit
oleh kewajiban sekolah. Menurutnya, sekolah mengelompokan orang dari segi umur yang
didasarkan pada tiga bagian yang diterima begitu saja, anak hadir disekolah, anak belajar
disekolah, dan anak hanya bisa diajar di Sekolah (lllich, 1982: 39). Ivan Illich lahir di Wina
tahun 1926 dan meninggal tahun 2002. Selain filosofi beliau juga seorang pastor di gereja
Katolik Roma, namun kabarnya dikeluarkan karena terlalu banyak kritik. Tetapi Ivan tidak
berhenti begitu saja, dia memiliki beberapa lembaga untuk mendedikasikan gagasan-

10
gagasannya. Salah satu kritik Ivan Illich terhadap sekolah adalah: “Pendidikan itu penting,
tetapi apakah sistem yang kita sebut sekolah saat ini apa memang penting? Ketika ada kata
pendidikan, yang muncul di kepala kita selalu sekolah, kuliah. Sistem semacam itulah yang
dikritik oleh Ivan. Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem pendidikan yang baik harus
mempunyai tiga tujuan, yaitu:

a) Memberi kesempatan semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar
pada setiap saat
b) Memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada
orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin
mendapatkannya.

c) Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan (lllich,


1982: 99-100). Sistem semacam itu menuntut agar jaminan pendidikan menurut
konstitusi benar-benar ditegakkan. Para pelajar tidak boleh dipaksa untuk tunduk pada
suatu kurikulum wajib, atau tunduk pada diskriminasi yang didasarkan pada apakah
mereka memiliki sertifikat atau ijazah.

Nilai-nilai yang telah dilembagakan yang ditanamkan sekolah merupakan nilai yang
bisa dikuantifikasi. Sekolah memasukkan orang muda ke suatu dunia di mana segala sesuatu
dapat diukur, termasuk imajinasi mereka, dan juga manusia itu sendiri. Padahal perkembangan
pribadi bukan hal yang dapat diukur. Ini merupakan perkembangan dalam pembangkangan
yang penuh disiplin, yang tidak bisa diukur dengan ukuran apa pun. Berikut ini kritikan dunia
pendidikan menurut Ivan Illich.

1) Kritikan Illich terhadap dunia pendidikan

Lembaga institusi pendidikan pada hakikatnya menjadi agen perubahan sosial kultural
masyarakat modern saat ini. Pendidikan hendaknya mengambil garda terdepan dalam
menyikapi problem sosial dalam masyarakat, salah satunya lewat setiap sekolah. Kenyataan
banyak fungsi dan peranan lembaga pendidikan tidak berjalan dengan semestinya. Menurut
pandangan Illich Kesehatan, belajar, martabat, kemerdekaan, dan usaha kreatif diartikan tidak
lebih hasil kerja (performance) lembaga-lembaga yang mengaku mewujudkan tujuan-tujuan
tersebut (Illich, 1998: 1). secara sosial kaum miskin selalu mengantungkan hidupnya pada
bantuan suatu pelayanan lembaga, ketidakmampuan psikologis, ketidakmampuan mengurus
diri sendiri.

11
2) Kritik Illich terhadap sekolah

kewajiban bersekolah secara tidak terelakkan membagi suatu masyarakat dalam kutub-kutub
saling bertentangan. Keajaiban sekolah juga menentukan peringkat atau kasta-kasta
Internasional. Semua negara diurutkan seperti kasta di mana setiap posisi suatu negara dalam
pendidikan ditentukan dengan jumlah rata-rata masyarakat bersekolah tentu ini menyakitkan
(Illich, 1998: 12). Pernyataan yang sama pula yang diungkap Illich, bahwa lembaga sekolah
satu-satunya lembaga pendidikan (Maknum, 1998).

3) Kritik Illich pendidikan kontra produktif

Lembaga pendidikan yang baru harus menghancurkan piramida ini. Tujuannya untuk
memudahkan kesempatan bagi pelajar untuk memungkinkannya mengintip ruang kendali atau
parlemen melalui jendela, jika ia tidak bisa masuk melalui pintu. Lebih lagi, lembaga-lembaga
pendidikan yang baru itu harus menjadi saluran yang memungkinkan pelajar itu mempunyai
akses, tanpa harus mempunyai surat izin atau tanpa harus menyelesaikan lebih dulu tahap
pendidikan sebelumnya, Illich menawarkan empat saluran khusus atau pertukaran kegiatan
belajar yang bisa menampung semua unsur sumber daya yang dibutuhkan untuk kegiatan
belajar yang menurutnya benar. Untuk menyebut saluran khusus tersebut. Illich cenderung
menggunakan istilah jaringan kesempatan (opportunity web) untuk mengganti kata jaringan
(network). Yang dimaksud Illich dengan opportunity web adalah cara-cara khusus yang dipakai
untuk memberi akses pada setiap dari empat sumber daya ini. Opportunity web digunakan
Illich sebagai sinonim dari jaringan pendidikan (Maknum, 1998).

12
BAB III

PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya
pendidikan merupakan upaya untuk memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk tinggi
derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain. Hal ini dikarenakan Tuhan telah
menganugerahkan kemampuan berbahasa dan akal pikiran atau rasio. Karenanya pendidikan
merupakan usaha dengan sengaja dari orang dewasa memberikan bimbingan kepada anak
murid (peserta didik), dengan tujuan untuk membina mental dan spiritual hingga tercapainya
istilah insan kamil. Konsep pendidikan sebagai proses manusiawi yang terwujud dalam proses
pendewasaan, pembentukan diri sendiri, menuju kedewasaan yang susila, melalui internalisasi
(pembatinan, normasi) nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Paulo Freire pendidikan adalah jalan
untuk mencapai pembebasan dan humanisasi, yaitu hal yang harus diperjuangkan. Manusia itu
sendiri mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Sementara pendidikan adalah
media kultural untuk membentuk “manusia”. Jadi, kaitan antara pendidikan dan manusia sangat
erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Pendidikan haruslah membebaskan, dan untuk menemukan
jati diri manusia itu seutuhnya. Sementara konsep pendidikan Freire ini ditujukan untuk
membuka kesadaran kritis rakyat melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan
langsung di kalangan rakyat tertindas. Menurut Ivan Illich pendidikan yang baik harus
mempunyai tiga tujuan, yaitu: (1) Memberi kesempatan semua orang untuk bebas dan mudah
memperoleh sumber belajar pada setiap saat. (2)Memungkinkan semua orang yang ingin
memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya,
demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya. (3) Menjamin tersedianya masukan umum
yang berkenaan dengan pendidikan.

3.2 Saran
Kami berharap dari makalah ini, para pembaca dapat memanfaatkannya sebagai sumber
belajar untuk menambah pengetahuan. Serta semua manusia dapat menempuh pendidikan
dengan bebas sehingga semua orang dapat menemukan jati dirinya dan membuka kesadaran
kritis, serta memperoleh ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Dan kami menerima kritik dan saran
apapun itu bentuknya akan kami hargai, untuk memperbaiki penulisan makalah kami menjadi
lebih baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arfani, L. (2016). Mengurai hakikat pendidikan, belajar dan pembelajaran. Pelita Bangsa
Pelestari Pancasila, 11(2), 81–97.
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/view/5160, diakses pada tanggal 23
Maret 2023

Astuti, W. (2021). Hakikat Pendidikan. Al Urwatul Wutsqa: Kajian Pendidikan Islam, 1(1),
14–31. https://journal.unismuh.ac.id/index.php/alurwatul/article/view/5492, diakses pada
tanggal 20 Maret 2023

Djamaluddin, A. (2014). FILSAFAT PENDIDIKAN (Educational Phylosophy). Istiqra’,


1(2), 129–136.

Firman Amir. (2021). Pendidikan Kritis Menurut Ivan Illich. Jurnal Ilmiah Wahana
Pendidikan Https://Jurnal.Unibrah.Ac.Id/Index.Php/JIWP, 7(1), 391–402.
https://doi.org/10.5281/zenodo.7563432, diakses pada tanggal 26 Maret 2023

Kartikasari, D. (2018). Konsep Pemikiran Pendidikan Ivan Iliich. 131.

Maknum, D. (1998). Kritik Illich Terhadap Pendidikan. Rev Reprod, October, 226765.
https://osf.io/zw25a/download#:~:text=Tentang tujuan pendidikan Ivan Illich,mereka
kepada orang lain dapat, diakses pada tanggal 25 Maret 2023

Mu’ammar, M. A. (2016). Gagasan pendidikan Ivan Illich (sebuah analisis kristis). Islamuna:
Jurnal Studi Islam, 3(2), 152.
http://ejournal.iainmadura.ac.id/index.php/islamuna/article/view/947, diakses pada
tanggal 23 Maret 2023

Rinaldi Datunsolang. (2017). TADBIR : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. Jurnal


Manajemen Pendidikan Islam, 5(1), 132–146. http://kamus.cektkp.com/?s=tindas,
diakses pada tanggal 25 Maret 2023

Tunru, Idris & Mukmin Nabu. (2020). Konsep Pendidikan Paulo Freire,
https://www.academia.edu/35616579/makalah_konsep_pendidikan_paulo_freire,
diakses pada tanggal 25 Maret 2023

14
Illich, Ivan. (1984). Bebas Dari Sekolah, https://dimensipers.com/2021/10/22/menyelami-
gagasan-bebas-sekolahivanillich/#:~:text=Illichmengatakanbahwasekolahtelah,
menanggungkesalahandankesulitansendiri, Jakarta: Buku Obor

15

Anda mungkin juga menyukai