Anda di halaman 1dari 16

HAKIKAT PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan

Dosen Pengampu : Sari, M.Pd

Oleh :

Kelompok 1

Sekar Nisrina Salsabila NIM. 1202080050

Selinda Jauza NIM. 1202080051

Siti Eka Maemunah NIM. 1202080058

Yusup Hidayat NIM. 1202080071

KELAS 4B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu
tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Sari, M.Pd sebagai dosen
pengampu mata kuliah Ilmu Pendidikan yang telah membantu memberikan arahan
dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bandung, 19 Maret 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1 Pengertian Hakikat Pendidikan ................................................................ 3
2.2 Biografi Driyarkara .................................................................................. 4
2.3 Pendidikan menurut Driyarkara ............................................................... 4
2.4 Filsafat Pendidikan Driyarkara ................................................................. 7
2.5 Hakikat Pendidikan Berdasarkan Filsafat Pendidikan Driyarkara ........... 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11
3.1 Simpulan ................................................................................................. 11
3.2 Saran ....................................................................................................... 12
3.2.1 Bagi Guru BK ................................................................................. 12
3.2.2 Bagi Mahasiswa BK ........................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia di sisi penciptanya adalah makhluk yang sempurna,
karena dibekali dengan akal semenjak dilahirkan. Dengan akal itulah
manusia akan berfikir tentang kebutuhan dan kelangsungan hidupnya.
Akal jugalah yang akan membedakan eksistensi manusia dengan makhluk
lainnya. Ironisnya, akal bukanlah jaminan atau standar yang
menjadikannya manusiawi, melainkan terdapat aspek lain yang tidak kalah
penting untuk menjadikan manusia sebagai sosok yang manusiawi, yaitu
aspek pendidikan.
Begitu pentingnya pendidikan sehingga ada yang mengatakan
bahwa pendidikan dimulai sejak manusia dilahirkan. Pernyataan itu tidak
sepenuhnya bisa dibenarkan, mengingat adanya asumsi lain yang layak
dipertimbangkan bahwa pendidikan dimulai semenjak dalam kandungan.
Terlepas dari perbedaan waktu, kedua asumsi tersebut menunjukan bahwa
pendidikan merupakan bagian tidak terpisahkan dari manusia sepanjang
zaman (Supartono, 2008). Dalam arti paling mendasar, pendidikan
didefinisikan sebagai proses memanusiakan manusia, dalam artian
manusia yang didudukan sebagai makhluk hidup dengan segala
keunikannya serta tidak mereduksinya menjadi objek yang tidak memiliki
diri. Dengan kata lain, pendidikan sebagai proses pembentukan manusia
yang paripurna (Driyarkara, 2006).
Namun saat ini tak sedikit manusia yang belum memahami hakikat
pendidikan secara komprehensif, sehingga hanya memahami pendidikan
sebagai suatu formalitas dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Bahkan
tak sedikit pula yang berasumsi bahwa pendidikan hanya untuk orang-
orang cerdas dan memiliki finansial cukup. Hal inilah yang menjadi salah

1
satu penyebab masih rendahnya kuantitas insan akademik, sehingga dapat
berimplikasi pada penurunan kesadaran moral manusia itu sendiri.
Fenomena diatas dapat bertransformasi menjadi sebuah disaster
jika tidak diantisipasi dengan baik. Oleh karena itu, penulis mencoba
memberikan pemahaman mengenai hakikat pendidikan dari berbagai
perspektif. Adapun judul makalah ini yaitu “Hakikat Pendidikan dan
Pembelajaran” yang didalamnya berisi penjelasan-penjelasan tentang
makna dan hakikat pendidikan berdasarkan filsafat pendidikan Driyarkara,
serta integrasinya dengan konsep islam. Penulis berharap mudah-mudahan
makalah ini dapat menjadi perantara dalam mengubah perspektif manusia
terhadap pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan hakikat pendidikan?
b. Siapa itu Driyarkara?
c. Bagaimana konsep pendidikan menurut Driyarkara?
d. Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan Driyarkara?
e. Bagaimana hakikat pendidikan berdasarkan filsafat pendidikan
Driyarkara?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui hakikat pendidikan
b. Untuk mengetahui biografi Driyarkara
c. Untuk memahami konsep pendidikan menurut Driyarkara
d. Untuk mengetahui filsafat pendidikan Driyarkara
e. Untuk memahami hakikat pendidikan berdasarkan filsafat pendidikan
Driyarkara

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hakikat Pendidikan


Hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran sebagai upaya
untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dengan
interaksi yang menghasilkan pengalaman belajar. Di Indonesia
menginginkan pendidikan yang lebih baik, hal inilah yang melatar
belakangi terjadinya pergantian kurikulum secara terus-menerus.
Pergantian kurikulum merupakan salah satu usaha yang dilakukan negara
dalam mencetak lulusan yang berkualitas dalam negara kekuasaannya
maupun internasional agar sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003.

Pendidikan dapat dikatakan berhasil dan mencapai tujuan jika


terjadi perubahan. Perubahan tersebut ialah perubahan tingkah laku, yang
memiliki beberapa aspek yaitu: pengetahuan, pengertian, kebiasaan,
keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, budi pekerti,
dan sikap (Hamalik, 2008). Dalam pendidikan siswa dituntun untuk aktif,
inovatif dan kreatif dalam merespon materi. Kenyataannya guru dianggap
sebagai satu-satunya sumber belajar (teaching center) yang menyebabkan
siswa menjadi pasif sehingga dalam proses pembelajaran menjadi bosan.
Pembelajaran adalah sebuah usaha mempengaruhi emosi, intelektual dan
spiritual seseorang agar ingin belajar dengan kehendaknya sendiri,
sedangkan belajar yaitu suatu proses yang berakhir pada perubahan
(Fathurrohman, 2012).

3
2.2 Biografi Driyarkara
Driyarkara lahir di lereng Pegunungan Menoreh, Jawa Tengah,
pada 13 Juni 1913, dan meninggal pada 11 Februari 1967 di usia 53 tahun
8 bulan. Driyakarya lahir di desa Kedunggubah, sebelah Timur Puwerejo,
Kedu, Jawa Tengah, dengan nama Soehirman dan biasa dipanggil Djenthu,
yang berarti kekar dan gemuk. Soehirman berganti nama menjadi
Driyarkara pada tahun 1935 ketika masuk Girisonta dan mulai hidup baru
dalam Serikat Jesus, yang anggotanya biasa dipanggil Jesuit. Driyarkara
merupakan anak bungsu keluarga Atmasendjaja dari empat bersaudara.
Kakaknya terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki.

Driyarkara adalah seorang imam (pemuka agama) Katolik.


Driyarkara adalah lulusan teologi di Maastrict, kemudian melanjutkan
pendidikan di Gent Belgia (1949-1950). Setelah itu melanjutkan
pendidikan filsafat di Universitas Greroriana Roma (1950-1952).
Sekembalinya ke Indonesia, Driyarkara menjadi guru besar di sekolah
tinggi filsafat di Yogyakarta (1952-1960). Sejak tahun 1958 merangkap
menjadi pimpinan IKIP Katolik di Yogyakarta, dan sejak 1960 merangkap
menjadi guru besar luar biasa di Universitas Indonesia dan Hasanuddin,
serta menjadi anggota MPRS sejak tahun 1960. Perjalanan karir
Driyarkara tidak hanya di Indonesia saja. Driyarkara pernah mengajar di
St. louis University di Missouri USA (1963-1964).

2.3 Pendidikan menurut Driyarkara


Dalam pandangan Driyarkara, mendidik dan dididik merupakan
perbuatan yang fundamental, artinya perbuatan yang mengubah dan
menentukan hidup manusia. Hal ini terlihat baik dari pihak pendidik
maupun anak didik. Bagi anak didik, dengan menerima pendidikan dia
tumbuh menjadi manusia. Bagi pendidik, mendidik berarti menentukan
suatu sikap. Dalam buku Driyakara, isi dari perbuatan fundamental yang
disebut mendidik adalah pemanusiaan manusia muda, yang dimaksud
manusia muda adalah anak. Hal ini berarti humanisasi, yaitu pengangkatan

4
manusia muda sampai demikian tingginya sehingga dia bisa menjalankan
kehidupannya sebagai manusia dan membudayakan diri.

Perwujudan primer dan fundamental dari sebuah pendidikan


termuat dalam hidup bapak, ibu dan anak. Bagi manusia, memiliki
keturunan tidak hanya berarti melahirkan secara biologis, akan tetapi harus
dilanjutkan dengan melahirkan secara insani. Yaitu membawa anak ke
tingkat manusia, artinya pendidikan. Jadi, mendidik merupakan
pemanusiaan manusia muda oleh mereka yang melahirkannya dalam hal
ini berarti orangtua yang terdiri dari bapak dan ibu (Sudiarja, 2006).

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud mendidik adalah


pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak
supaya menjadi dewasa, dalam hal ini anak pun harus aktif. Orang yang
membantu adalah orang yang bertanggung jawab atas anak, yaitu
orangtua. Jika pendidikan tidak mampu dilakukan oleh orangtua
sepenuhnya, maka pendidikan harus dilaksanakan oleh orang lain. Adapun
tujuan pendidikan tersebut adalah agar anak menjadi dewasa. Pendidikan
berisi mendidik dan dididik, dimana pendidikan berarti pemanusiaan.
Orangtua memanusiakan anak, dan anak memanusiakan diri kemudian
keduanya mengadakan pemanusiaan.

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dirumuskan beberapa hal


mengenai hidup bersama antara orangtua dengan anak. Pertama,
pendidikan merupakan proses pemanusiaan anak, dan berproses untuk
akhirnya memanusiakan diri sendiri sebagai manusia dewasa. Kedua,
terjadi pembudayaan dimana anak berproses hingga memiliki budaya
sendiri menjadi manusia dewasa. Ketiga, terjadi pelaksanaan nilai-nilai
dimana anak berproses hingga dapat menjadi manusia dewasa. Dari tiga
rumusan tersebut, terdapat hubungan yang saling terkait antara
pemanusiaan, pembudayaan dan pelaksanaan nilai. Begitu juga sebaliknya,

5
ketika kita berbicara tentang nilai dan kebudayaan, hal tersebut pun
memuat pemanusiaan.

Disamping itu, pendidikan tidak boleh bersifat individualistis


dengan menuruti semua kehendak dan memanjakan anak, tidak boleh
bersifat stato-sentris dengan menempatkan anak di bawah kekuasaan
negara atau masyarakat sampai memusnahkan kepribadiannya. Dalam
proses pembelajaran, konstruksi pengajaran tidak boleh didasarkan pada
pandangan yang sekadar pragmatis, melainkan harus inkulturatif-progresif.
Hal ini karena pandangan pragmatis hanya mempertimbangkan manfaat
langsung dan konkret dari pengajaran, tanpa memperhatikan aspek nilai-
nilai yang dikandungnya.

Adapun Pengajaran harus menghasilkan manusia yang penuh


keberanian, tanggung jawab, dan cerdas. Dengan ini Driyarkara hendak
menegaskan bahwa “kecakapan manusia tidak boleh hanya berupa
kacakapan mekanis dan teknis, melainkan harus juga dijiwai dengan
keberanian dan tanggung jawab”.

Selain itu, pengajaran harus lebih memperhatikan segi praktis dan


berdiri di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari. Pokok pemikiran ini
mengandung beberapa gagasan. Pertama, pengajaran sekolah harus
dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, bisa melalui tugas melakukan
penyelidikan, observasi dan lain-lain. Kedua, pengajaran pada sekolah
dasar dan sekolah lanjutan harus bersifat informatif-formatif, yaitu
memberi pengetahuan dan pengertian (informatif) atau membangun
kecakapan serta mendidik dalam arti membentuk atau membangun
kepribadian (formatif).

6
2.4 Filsafat Pendidikan Driyarkara
Istilah hominisasi dan humanisasi atau memanusiakan manusia
muda merupakan rumusan filsafat pendidikan Driyarkara, yang
mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia.
Hominisasi adalah proses pemanusiaan pada umumnya. Manusia berbeda
dengan makhluk lainnya, seperti binatang ataupun tumbuhan, manusia
tidak akan sampai pada fase „ke-manusiawi-an-nya‟ tanpa pendidikan.
Lain halnya dengan binatang. Binatang tidak perlu pendidikan, karena
pada hakikatnya tidak memiliki akal budi.

Pemikiran Driyarkara diatas sesuai dengan konsep dalam islam,


yang mana secara substansial pendidikan merupakan kebutuhan asasi dan
secara khusus hanya dapat dilakukan terhadap manusia. Makhluk selain
manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dididik. Manusialah satu-
satunya mak hluk yang dapat dididik. Hal ini disebabkan karena pada diri
manusia terdapat potensi insaniah, yaitu suatu potensi yang menjadikan
manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Potensi yang dimaksud tiada
lain adalah potensi “fitrah” (Yusuf, 2018). Rasulullah SAW bersabda,
yang artinya : …Tidak ada yang terlahir, kecuali dalam keadaan fitrah.
Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani,
ataupun Majusi…”

Sedangkan humanisasi merupakan proses lanjutan setelah


hominisasi. Dalam proses ini manusia mampu mencapai perkembangan
lebih lanjut, realisasi diri dalam laju budaya dan ilmu pengetahuan
(Driyarkara, 2006). Menurut Driyarkara, untuk melacak ciri-ciri
pendidikan yang memiliki nuansa humanis dapat ditemukan dalam
gagasannya tentang manusia yang telah disinggung sebelumnya.
Singkatnya, pembentukan manusia-manusia yang memiliki keahlian saja
tidak cukup. Keahlian idealnya harus dibarengi dengan pendidikan pribadi.
Dalam istilah Driyarkara, “Pintar tanpa kesusilaan hanya akan menjadi
minteri (menyalahgunakan kepandaian)”.

7
2.5 Hakikat Pendidikan Berdasarkan Filsafat Pendidikan Driyarkara
Manusia harus mengangkat dirinya untuk hidup dan berada sesuai
dengan kodratnya (Driyarkara, 2006). Lain halnya dengan kucing yang
sudah „mengkucing‟ sejak kelahiranya, sudah kodratnya sebagai kucing
tanpa harus mengangkat dirinya menjadi kucing. Jadi, manusia harus
memanusiakan dirinya. Perhatikan orang gila, pada dasarnya ia memang
manusia secara umum (hominisasi), namun apakah dia punya hasrat untuk
memanusiakan dirinya (humanisasi). Jika manusia yang waras dengan
kemawasdiriannya, tatkala ia tidak punya hasrat untuk memanusiakan
dirinya dengan pendidikan, maka tidak ada bedanya dengan orang gila.

Pendidikan sebagai pemanusiaan manusia muda selalu menjadi


medium yang menemani pertumbuhan manusia dari bayi, bahkan
semenjak dalam kandungan, untuk menjadi manusia yang mencapai
integritasnya. Perlu digarisbawahi manusia bukanlah sebatas makhluk
biologis, melainkan seorang pribadi, seorang person, seorang subjek yang
mengerti diri, menempatkan diri dalam situasi, mengambil sikap, dan
menentukan arah hidupnya. Dengan kata lain, nasibnya ada pada
tangannya sendiri. Itulah yang disebut oleh Driyarkara sebagai puncak dari
proses yang selalu terjadi pada diri manusia (Driyarkara, 2006).

Dalam konteks Islam, setiap manusia pada dasarnya memiliki


potensi untuk berkembang. Potensi tersebut merupakan anugerah Ilahiah
yang telah ada sejak lahir. Karenanya, manusia mampu menyerap berbagai
nuansa pendidikan yang ada di sekelilingnya sejak ia masih kecil (bayi)
atau bahkan ketika masih berada dalam kandungan. Quraish Shihab
menyimpulkan bahwa manusia sejak awal kejadiannya membawa potensi
beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid
(Shihab, 1996).

Potensi manusia yang dimaksud tiada lain adalah fitrah yang


dibawa sejak lahir. Setiap manusia memiliki fitrah (nilai-nilai kesucian)

8
yang secara potensial berada pada diri setiap insan untuk selanjutnya
dibina dan dikembangkan dalam usaha-usaha pendidikan. Fitrah sebagai
potensi nilai-nilai kesucian, tidak akan memiliki makna apapun jika tidak
dikembangkan. Oleh karena itu, kehadiran pendidikan menjadi wahana
untuk mengembangkan potensi fitrah sehingga setiap potensi fitrah
insaniah dapat dimunculkan (diwujudkan) untuk kemudian dikembangkan.

Demikianlah “fitrah” yang ada pada diri manusia. Potensi yang


bersifat positif, dan sekaligus mengindikasikan bahwa nilai-nilai yang
dikembangkan di dalam pendidikan semata-mata hanyalah nilai-nilai
positif. Karena itu, Allah swt berfirman dalam QS. Ar-Rum/30: 30.

Artinya :

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Berbicara tentang hominisasi tidak bisa dilepaskan dari


humanisasi. Bahkan menurut Driyarkara, membicarakan humanisasi saja
sudah cukup. Namun tidak sesederhana itu, setiap istilah memiliki
konsekuensinya tersendiri. Hominisasi membicarakan manusia secara
umum sesuai dengan kodratnya. Humanisasi berbicara tentang
perkembangnya menuju tingkat yang niscaya, melalui proses yang
dinamis. Tidak ada perbincangan hominisasi tanpa humanisasi, tapi tidak
sebaliknya. Selanjutnya, Driyarkara menjelaskan bahwa tingkat
humanisasi merupakan tingkat kebudayaan yang lebih tinggi. Manusia
mampu mengangkat alam menjadi alam manusiawi, tanah menjadi ladang,
tumbuh-tumbuhan menjadi tanaman, barang materi menjadi alat, rumah

9
dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan manusia telah sampai pada taraf
humanisasinya (Driyarkara, 2006).

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran sebagai upaya
untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dengan
interaksi yang menghasilkan pengalaman belajar. Adapun pembelajaran
adalah sebuah usaha mempengaruhi emosi, intelektual dan spiritual
seseorang agar ingin belajar dengan kehendaknya sendiri, sedangkan
belajar yaitu suatu proses yang berakhir pada perubahan.
Dalam pandangan Driyarkara, mendidik dan dididik merupakan
perbuatan yang fundamental, artinya perbuatan yang mengubah dan
menentukan hidup manusia. Hal ini terlihat baik dari pihak pendidik
maupun anak didik. Bagi anak didik, dengan menerima pendidikan dia
tumbuh menjadi manusia. Bagi pendidik, mendidik berarti menentukan
suatu sikap.
Selain itu Driyarkara juga mengungkapkan bahwa pendidikan tidak
boleh bersifat individualistis dan stato-sentris. Sedangkan konstruksi
pengajaran tidak boleh didasarkan pada pandangan yang sekadar
pragmatis, melainkan harus inkulturatif-progresif. Dan yang terpenting
pengajaran harus lebih memperhatikan segi praktis dan berdiri di tengah
kehidupan masyarakat sehari-hari, serta harus mampu menghasilkan
manusia yang penuh keberanian, tanggung jawab, dan cerdas.
Istilah hominisasi dan humanisasi atau memanusiakan manusia
muda merupakan rumusan filsafat pendidikan Driyarkara, yang
mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia.
Hominisasi adalah proses pemanusiaan pada umumnya, sedangkan
humanisasi merupakan proses lanjutan setelah hominisasi.
Pendidikan sebagai pemanusiaan manusia muda selalu menjadi
medium yang menemani pertumbuhan manusia dari bayi, bahkan

11
semenjak dalam kandungan, untuk menjadi manusia yang mencapai
integritasnya. Hominisasi membicarakan manusia secara umum sesuai
dengan kodratnya. Humanisasi berbicara tentang perkembangnya menuju
tingkat yang niscaya, melalui proses yang dinamis.

3.2 Saran

3.2.1 Bagi Guru BK


a. Merancang dan mengusulkan metode belajar yang relevan
dan menyeluruh bagi siswa, tidak bersifat individualistis dan
stato-sentris, serta harus memperhatikan segi praktis dan
berdiri di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari.
b. Memberikan pemahaman terkait hakikat pendidikan pada
saat melakukan pembinaan ataupun pendampingan kepada
siswa, sehingga diharapkan siswa dapat termotivasi dan
mengetahui makna pendidikan yang sebenarnya.
c. Melakukan pendampingan terhadap siswa yang mempunyai
masalah, dan memberikan penjelasan tentang kewajiban
mendidik kepada orangtua. Sebagaimana konsep pendidikan
menurut Driyarkara, memiliki keturunan tidak hanya berarti
melahirkan secara biologis, akan tetapi harus dilanjutkan
dengan melahirkan secara insani. Yaitu membawa anak ke
tingkat manusia, artinya pendidikan.

3.2.2 Bagi Mahasiswa BK


a. Mengkaji dan menganalisis metode pendidikan yang
humanis, serta pengimplementasiannya dalam konteks
pendidikan modern

12
DAFTAR PUSTAKA

Driyarkara, d. (2006). Karya Lengkap Driyarkara; Esai-Esai Pemikiran yang


Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia.
Fathurrohman, M. d. (2012). Belajar Dan Pembelajaran Meningkatkan Mutu
Pembelajaran sesuai Standar Nasional. Yogyakarta: Teras.
Hamalik, O. (2008). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.
Jakarta: Bumi Aksara.
Shihab, Q. (1996). Wawasan al-Qur'an : Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Cet. III. Jakarta: Mizan.
Sudiarja, A. d. (2006). Karya lengkap Drikarya Esai-Esai Filsafat Pemikir yang
Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Supartono, S. (2008). Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Yusuf, M. (2018). Pengantar Ilmu Pendidikan. Palopo: Lembaga Penerbit
Kampus IAIN Palopo.

13

Anda mungkin juga menyukai