Masyarakat dalam
pencarian Layanan
Kesehatan suku Bugis
daerah Amparita
Nuraena Ibrahim
0910581220012
Etnis Bugis memberikan penamaan tertentu pada
beberapa penyakit, tidak terkecuali penamaan penyakit
pada anak. Penamaan penyakit oleh etnis Bugis tersebut
biasanya menggunakan bahasa lokal (Bugis). Sesuai
dengan namanya, seringkali masyarakat memilih
memberikan pengobatan secara tradisional tanpa
ditolong oleh tenaga kesehatan.
Akibat penamaan tersebut pula, maka
seringkali tenaga medis tidak
mengetahui nama penyakit tersebut
secara medis sehingga sulit memberikan
diagnosa dan pengobatan secara tepat.
Padahal penanganan penyakit yang tida
tepat pada anak bisa berdampak pada
masalah kesehatan lebih lanjut, bahkan
berujung pada kecacatan ataupun
kematian.
Selain angka kematian, masalah kesehatan anak juga
menyangkut angka kesakitan atau morbiditas. Penyakit-
penyakit tertentu seperti ISPA, infeksi cacing, diare dan
tetanus yang sering diderita oleh bayi dan anak sering kali
berakhir dengan kematian
. Menurut Foster dan Anderson (1986) persepsi terhadap
penyebab penyakit akan menentukan cara pengobatannya.
Perbedaan pandangan terhadap penyebab penyakit inilah
yang menimbulkan perbedaan dalam pencarian
pengobatan.
Sebagai contoh, ada
masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa
bayi yang mengalami kejang-kejang disebabkan
kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat
menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang itu
mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau
adanya radang otak yang bila tidak disembuhkan
dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian
Perbedaan persepsi masyarakat dengan
petugas kesehatan tentang penyakit di
Desa Amparita suku Bugis, menyatakan
bahwa semua jenis penyakit kulit gatal
dikenal dengan istilah “puru-puru” oleh
masyarakat setempat yang disamakan
dengan skabies.
Padahal tidak semua penyakit kulit
termasuk dalam penyakit skabies.
Kehidupan masyarakat etnis Bugis Amparita, tidak bisa
terlepas dari sanro(dukun) karena terkait adat setempat
yang tidak bisa dilepaskan. Mereka percaya khasiat jampi-
jampi yang diberikan oleh sanro (dukun) jauh lebih baik
dari obat yang diberikan oleh para medis.
Dalam bidang kesehatan, teori yang sering menjadi acuan dalam
penelitian-penelitian kesehatan masyarakat adalah teori WHO
(1984). Teori