Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kepada Allah SWT,atas berkat Rahmat dan
Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Makalah Stunting Pada Balita.
Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyampaikan informasi
mengenai stunting pada balita, sehingga dapat dijadikan acuan sebagai bahan ajar khusunya
program gizi yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja serta ketercapaian program dan
keberhasilan Puskesmas Cilembang.
Terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan tahunan ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu saran serta kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan
untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga penyusunan laporan tahunan ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan
untuk perencanaan, pengelolaan, dan penilaian program gizi.

Tasikmalaya, Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Stunting..........................................................................................................................3
B. Penyebab Stunting........................................................................................................4
C. Klasifikasi Stunting.......................................................................................................6
D. Tanda dan Gejala Stunting..........................................................................................8
E. Pencegahan Stunting.....................................................................................................9
BAB III PENUTUP................................................................................................................13
A. Kesimpulan..................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14

ii
DAFTAR TABEL

Table 1.Klasifikasi Stunting.......................................................................................................6

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat
dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi didalam tubuh. Masalah gizi
disamping merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan
pangan tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang
mendukung pola hidup sehat (Supariasa, 2011). Status gizi pendek merupakan gabungan dari
pendek dan sangat pendek (stunting) sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang
buruk, lamanya waktu pendidikan dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa
(UNICEF Indonesia, 2012).
World Health Organization (WHO) secara global memperkirakan prevalensi balita
stunting sebesar 161 juta dan 51 juta prevalensi balita wasting (Global Nurition Report,
2015). Hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi stunting sebesar 37,6% dan mengalami
penurunan pada tahun 2018 sebesar 30,8% (Kemenkes RI, 2018).
Stunting didefinisikan sebagai kondisi status gizi balita yang memiliki panjang atau
tinggi badan yang tergolong kurang jika dibandingkan dengan umur. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) mengestimasikan prevalensi balita stunting di seluruh dunia sebesar 22% atau
sebanyak 149,2 juta pada tahun 2020. Stunting masih menjadi masalah gizi utama yang
dihadapi Indonesia. Berdasarkan data hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022
menjelaskan bahwa kejadian stunting di Indonesia mencapai 21,6%. Angka ini masih
tergolong tinggi dibandingkan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) yaitu sebesar 19% di tahun 2024. Stunting memiliki prevalensi tertinggi
dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi stunting
cukup tinggi, berdasarkan data Study Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, Provinsi
Jawa Barat memiliki prevalensi stunting mencapai 20,2%. Guna meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan berkualitas, Gubernur Jawa Barat membuat
program Jabar Zero New Stunting dalam mendukung program nasional untuk menurunkan
prevalensi stunting. Permasalahan stunting ini di alami oleh berbagai daerah di Jawa Barat
termasuk Kota Tasikmalaya dengan prevalensi 22,4% (SSGI, 2022).

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan masalah
penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Stunting Pada Balita?”.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui mengenai Stunting
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Stunting
3. Untuk mengetahui klasifikasi Stunting
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala Stunting
5. Untuk mengetahui pencegahan Stunting

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Stunting
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat
kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi
badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan (PP Nomor 72 tahun 2021). Balita Pendek
(Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U dimana dalam
standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada
ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat
pendek / severely stunted). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan
baru nampak saat anak berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2016).
Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh
kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian
dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh
growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan
ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa
kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila
pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik (Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2017; Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016).
Stunting berkaitan erat dengan gizi anak, akan tetapi tidak semua anak pendek adalah
Stunting. Stunting dan pendek memang sama-sama menghasilkan tubuh yang tidak terlalu
tinggi. Namun, Stunting dan pendek adalah kondisi kesehatan berbeda, sehingga
membutuhkan penanganan yang tidak sama. Pendek kata, Stunting adalah pendek namun
pendek belum tentu Stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi
diseribu hari pertama kehidupan anak. Kondisi ini berefek jangka panjang hingga anak
dewasa dan lanjut usia. Kekurangan gizi sejak dalam kandungan mengakibatkan
pertumbuhan otak dan organ lain terganggu, yang mengakibatkan anak lebih berisiko terkena
diabetes, hipertensi dan gangguan jantung. Pertumbuhan otak yang tak maksimal juga
menyulitkan anak bertanggung jawab atas hidupnya sendiri kelak. Anak dengan tubuh yang
pendek belum tentu mengalami gagal tumbuh. Anak pendek, normal varian seperti gen
pendek, atau gangguan hormon pertumbuhan itu kategori pendek normal. Anak dengan

3
tubuh pendek biasanya terlahir dari orangtua yang tidak terlalu tinggi. Hal berbeda biasanya
dijumpai pada anak stunting yang terus mengalami keterlambatan tumbuh. Kalau Stunting
pendek patologis, bisa proporsional atau disproporsional.
Keterlambatan tumbuh kembang anak sangat membahayakan jika terjadi pada
periode emas atau golden periode, dimana pada masa tersebut anak sedang mengalami
pertumbuhan pesat yang menjadi bekal ketika remaja dan dewasa. Manggala et al (2018)
menyebutkan bahwa masa balita merupakan masa golden age, beberapa peneliti
menyebutnya pula sebagai masa critical periode, hal ini mengacu pada masa usia tersebut
pertumbuhan dan perkembangan seorang manusia sedang sangat pesat terutama pada
perkembangan otak. Perkembangan otak manusia pada masa balita sangat terbuka dengan
seluruh pembelajaran, penelitian Manggala (2018) menyebutkan bahwa stunting memiliki
pengaruh terhadap perkembangan otak anak. Hal ini menyebabkan tumbuh kembang anak
tidak optimal karena anak kekurangan gizi dan memiliki motorik yang rendah.
B. Penyebab Stunting
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut beberapa
penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan.
Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi dalam 2 tahun
pertama kehidupan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak.
Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi
sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan
pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (UNICEF, 2008;
Bappenas, 2013).
a. Faktor langsung
1) Asupan gizi balita
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami
tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi
sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat
melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun apabila
intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan
pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Balita yang normal kemungkinan
terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak mencukupi. Penelitian
yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita
berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah tangga
konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak
balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).

4
2) Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting,
Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan.
Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan
gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk
itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu
perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan
anak balita. Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran
pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan
status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup
dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang
hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan
salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak umur dibawah 5 tahun
(Suhandrawidi, 2018; Paudel et al, 2012).
b. Faktor tidak langsung
1) Ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan
asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak
balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat
mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata
tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan
WHO 2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya
melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas sektor lainnya.
Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan
pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga
yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih
rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Suhandrawidi,
2018; Sihadi dan Djaiman, 2011). Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan
bahwa pendapatan perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting
(Suhandrawidi, 2018; Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku
Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor salah
satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam keluarga
(Suhandrawidi, 2018; Paudel et al, 2012).
2) Status gizi ibu saat hamil
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut dapat
terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa indikator pengukuran
seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah
untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran

5
pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3) hasil
pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan selama hamil yang
dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil.
3) ASI Ekslusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33
tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa menambahkan
dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi
sejak baru dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes RI, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi
0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui Eksklusif juga
penting karena pada umur ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-
enzim yang ada di dalam usus selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum
bisa dilakukan dengan baik karena ginjal belum sempurna (Kemenkes RI, 2012).
Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan
tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat
meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak. Berarti dengan pemberian
ASI Eksklusif kepada bayi dapat 16 menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada
balita, hal ini juga tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah
Republik Indonesia.
C. Klasifikasi Stunting
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat
pendek adalah status gizi yang di dasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U)
atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunting (pendek)
dan severely. Untuk mengetahui balita stunting indeks yang digunakan adalah panjang
badan/tinggi badan menurut umur. Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan tulang. Tinggi badan menurut umur adalah ukuran
dari pertumbuhan linear yang dicapai, dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau
kesehatan masa lampau.
Table 1.Klasifikasi Stunting

Indikator Kategori Status Gizi Keterangan


Panjang Badan atau Tinggi Sangat pendek (severly <-3SD
Badan menurut Umur (PB/U stunted)
atau TB/U anak usia 0 – 60 Pendek (stunted) -3SD sd <-2SD
bulan) Normal > +3SD
Tinggi <-3SD

6
Cara mengukur stunting menurut Kemenkes RI pada balita dapat diketahui melalui
pengukuran panjang atau tinggi badan balita, hasil pengukuran tersebut kemudian
dibandingkan dengan ukuran standar.
Adapun langkah-langkah untuk pengukurannya yaitu:
1. Tinggi Badan
Pengukuran TB pada anak balita yg sudah bisa berdiri dgn menggunakan mikrotoa
(microtoise) yangg mempunyai ketelitian 0,1 cm. cara mengukur dengan mikrotoa:

Sumber:(Kompasiana.com)
 Tempelkan dengan paku mikrotoa tersebut pada dinding yang lurus datar setinggi
tepat 2 meter. Angka 0 pada lantai yang datar rata
 Lepaskan sepatu atau sandal
 Anak harus berdiri tegak seperti sikap siap sempurna dalam baris-berbaris, kaki
lurus, tumit, pantat, dan kepala bagian belakang harus menempel pada dinding dan
muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan
 Turunkan mikrotoa sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus
menempel pada dinding
 Baca angka pada skala yang nampak pada lubang dalam gulungan mikrotoa. Angka
tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur
2. Panjang Badan
Alat Pengukur Panjang Badan (APBB) digunakan untuk mengukur panjang badan bayi
dan anak usia dibawah 2 tahun (24 bulan). Cara mengkur dengan APBB:

7
Sumber:(Buku Penilaian Status Gizi)
 Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat yg datar
 Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengkur, kepala diletakkan hati-hati sampai
menyinggung bagian atas alat pengukur
 Bagian alat pengukur sebelah bawah kaki digeser sehingga tepat menyinggung
telapak kaki bayi, dan skala pada sisi alat pengukur dapat dibaca
D. Tanda dan Gejala Stunting
Situs Adoption Nutrition menyebutkan, stunting berkembang dalam jangka panjang
karena kombinasi dari beberapa atau semua faktor-faktor berikut:
1. Kurang gizi kronis dalam waktu lama
2. Retardasi pertumbuhan intrauterine
3. Tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori
4. Perubahan hormon yang dipicu oleh stres
5. Sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak.
Perkembangan stunting adalah proses yang lambat, kumulatif dan tidak berarti
bahwa asupan makanan saat ini tidak memadai. Kegagalan pertumbuhan mungkin telah
terjadi di masa lalu seorang.
Selain tubuh yang berperawakan pendek dari anak seusianya, ada juga tanda dan
gejala lainnya yakni:   
1. Pertumbuhan melambat.
2. Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya
3. Pertumbuhan gigi terlambat
4. Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya
5. Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata
terhadap orang di sekitarnya
6. Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun.

8
7. Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menarche (menstruasi pertama anak
perempuan).
8. Anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi.
9. Pertumbuhan tulang tertunda
E. Pencegahan Stunting
5 Pilar pencegahan stunting:
1. Komitmen dan visi kepemimpinan
2. Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku
3. Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa
4. Ketahanan pangan dan gizi
5. Pemantauan dan evaluasi
Pencegahan stunting menurut RPJMN tahun 2018-2024:
1. Memastikan pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat di semua
tingkatan.
- Kepemimpinan Presiden/Wakil Presiden untuk pencegahan stunting; dengan
memastikan bahwa visi, arahan, dan dukungan Presiden dan Wakil Presiden
tersosialisasi dengan baik dan diterjemahkan ke dalam kebijakan dan distribusi
sumber daya yang tepat sasaran dan memadai di semua tingkatan.
- Kepemimpinan Pemerintah Daerah untuk pencegahan stunting; dengan menciptakan
lingkungan kebihakan yang mendukung bagi penyelenggaraan kegiatan konvergensi
pencegahan stunting berbasis hasil.
- Kepemimpinan Pemerintah Desa untuk pencegahan stunting; dengan menciptakan
lingkungan kebijakan yang mendukung bagi penyelenggaraan pencegahan stunting
secara konvergen di tingkat desa.
- Pelibatan swasta, masyarakat madani, dan komunitas; dengan memastikan
keterlibatan mereka secara aktif dalam percepatan pencegahan stunting di masyarakat.
2. Meningkatkan kesadaran publik dan perubahan perilaku masyarakat untuk mencegah
stunting.
- Kampanye perubahan perilaku bagi masyarakat umum yang konsisten dan
berkelanjutan; dengan memastikan pengembangan pesan, pemilihan saluran
komunikasi, dan pengukuran dampak yang efektif, efisien, tepat sasaran, dan
berkelanjutan.
- Komunikasi antar pribadi sesuai konteks sasaran; dengan memastikan pengembangan
pesan sesuai kebutuhan kelompok sasaran.

9
- Advokasi berkelanjutan kepada pengambil kebutuhan; dengan memastikan
terselenggaranya penjangkauan yang sistematis.
- Pengembangan kapasitas penyelenggara; dengan memberikan pengetahuan dan
pelatihan bagi penyelenggara kampanye dan komunikasi perubahan perilaku yang
efektif dan efisien.
3. Memperkuat konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program dan kegiatan
pusat, daerah, dan desa.
- Memperkuat konvergensi dalam perencanaan dan penganggaran program dan
kegiatan; untuk meningkatkan cakupan dan kualitas intervensi gizi prioritas melalui
pengembangan kapasitas pemerintah kabupaten/kota.
- Memperbaiki disain dan pengelolaan program; untuk memastikan sasaran prioritas
(rumah tangga 1.000 HPK) memperoleh dan memanfaatkan paket intervensi yang
disediakan.
- Memperkuat koordinasi lintas sektor dan antar tingkatan pemerintah sampai desa;
untuk memastikan keselarasan penyediaan dan penyelenggaraan pelaksanaan
program.
4. Meningkatkan akses terhadap makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan.
- Akses pangan yang bergizi; dengan memastikan keterjangkauan dan keteresediaan
pangan bergizi, dan mendorong cakupa dan kualitas program fortifikasi pangan utama
yang sudah berjalan (garam, tepung terigu, minyak goreng).
- Perluasan program bantuan sosial dan bantuan pangan non tunai yang bergizi untuk
keluarga kurang mampu; agar dapat memenuhi kebutuhan gizi sasaran prioritas dari
keluarga kurang mampu.
- Pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga; dengan mempercepat diversifikasi
pangan berbasis sumber daya pangan lokal dan pengembangan Kawasan Ramah
Pangan Lestari (KRPL) berkelanjutan.
- Penguatan regulasi mengenai label dan iklan pangan; dengan memperkuat koordinasi
kelembagaan, penegakan hukum, dan mekanisme pelabelan dan penyampaiaan iklan
pangan untuk memastikan keamanan dan mutu pangan.
5. Meningkatkan pemantauan dan evaluasi sebagai dasar untuk memastikan pemberian
layanan yang bermutu, peningkatan akuntabilitas, dan percepatan pembelajaran.
- Peningkatan sistem pendataan; yang dapat memantau secara akurat dan berkala data
prevalensi stunting di tingkat nasional dan kabupaten/kota.

10
- Penggunaan data dalam perencanaan dan penganggaran berbasis hasil; data harus
mudah diakses, dipahami, dan digunakan pemerintah pusa dan daerah dalam
menyusun perencanaan dan penganggaran berbasis hasil pada tahun anggaran
berikutnya.
- Percepatan siklus pembelajaran; dengan meningkatkan mekanisme berbagi
pengetahuan, pembelajaran, dan inovasi.

Kendala dalam penyelenggaraan percepatan pencegahan stunting menurut RPJMN


1. Belum efektifnya program-program pencegahan stunting.
2. Belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif di
semua tingkatan terkait dengan perencanaan dan penganggaran, penyelenggaraan, dan
pemantauan serta evaluasi.
3. Belum efektif dan efisiennya pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya dan sumber
dana.
4. Keterbatasan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan program.
5. Masih minimnya advokasi, kampanye, dan diseminasi terkait stunting, dan berbagai upaya
pencegahannya.

Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam pencegahan stunting


salah satunya adalah dengan mengangkat tema “Protein Hewani Cegah Stunting” pada Hari
Gizi Nasional ke-63 pada tahun 2023. Protein hewani adalah instrumen gizi yang dibutuhkan
oleh ibu hamil guna mencegah stunting pada anak, hal ini dikarenakan pangan hewani
mempunyai kandungan zat gizi yang lengkap, kaya protein hewani dan vitamin yang sangat
penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan. Cara mencegah stunting pada
anak menurut (Kemenkes, 2023) :
1. Mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil, dengan rutin minum Tablet
Tambah Darah dan mengkonsumsi gizi seimbang kaya protein hewani selama
kehamilan.

2. Memberikan ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

3. Memberikan MPASI yang kaya protein hewani untuk bayi usia diatas 6 bulan
(pemberian telur satu butir satu hari pada anak setelah pemberian ASI eksklusif itu
menurunkan risiko stunting).

11
4. Terus memantau perkembangan anak dan membawa si Kecil ke Posyandu secara berkala

5. Menjaga kebersihan lingkungan

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat
kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau
tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, dimana status gizi
yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U dalam standar antropometri penilaian
status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2
SD sampai dengan -3 SD.
2. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak
langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya
penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan
kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi
faktor lainnya.
3. Berdasarkan PMK No 2 tahun 2020 bahwa klasifikasi stunting sesuai indicator PB/U
atau TB/U yaitu sangat pende, pendek, normal dan tinggi.
4. Selain tubuh yang berperawakan pendek dari anak seusianya, ada juga tanda dan
gejala lain diantaranya yakni: Pertumbuhan melambat;Wajah tampak lebih muda
dari anak seusianya;Pertumbuhan gigi terlambat;Performa buruk pada kemampuan
fokus dan memori belajarnya dan lainnya.
5. 5 Pilar pencegahan stunting yaitu: Komitmen dan visi kepemimpinan; Kampanye
nasional dan komunikasi perubahan perilaku; Konvergensi, koordinasi, dan
konsolidasi program pusat, daerah, dan desa; Ketahanan pangan dan gizi;
Pemantauan dan evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA
Bappenas R.I. (2013). Pedoman Perencanaan Program Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka Seribu
Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Bappenas Republik Indonesia, Jakarta.
13
Bappenas R.I. (2011). Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2011-2015. Bappenas Republik
Indonesia, Jakarta.
Kemenkes, 2023 Protein Hewani Cegah Stunting. https://promkes.kemkes.go.id/protein-hewani-
cegah-stunting Diakses pada tanggal 20 Maret 2023.
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. (2017). Buku saku desa
dalam penanganan stunting. Buku Saku Desa Dalam Penanganan Stunting, 42.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Situasi Balita Pendek. ACM SIGAPL APL
Quote Quad, 29(2), 63–76. https://doi.org/10.1145/379277.312726.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.
Manggala, A. K., Mitra, K., Kenwa, M., & Sakti, A. (2018). Risk Factors Of Stunting In
Children Aged 24-59 Months. Paediatrica Indonesia Vol 58 (5).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan
Stunting.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI
Eksklusif.
Permenkes RI. (2020). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak. Jakarta : Menteri Kesehatan RI.
Supariasa, I.(2011). Penilaian Status Gizi, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
SSGI. (2022). Hasil Survei Status Gizi Indonesia.
UNICEF. Ringkasan Kajian Gizi. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan - Kementerian Kesehatan
RI; 2012.
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1519/ciri-anak-stunting. Diakses pada tanggal 17
Maret 2023.

14

Anda mungkin juga menyukai