Anda di halaman 1dari 7

P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe

r 2015

Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota


Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

(Reviewof Pharmacy Services in The Pharmacy Area of Banjarbaru Based on


Government Pharmaceutical Services Standards)

Nani Kartinah 1*; Shofia Annisa1; Thaita Yuniarti1 & Hari Setyanto2

1Farmasi Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 37 Banjarbaru, Kalsel, Indonesia


2 Puskesmas Sungai Rangas, Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalsel, Indonesia

Corresponding email: nanikartinah@unlam.ac.id

ABSTRAK

Standar pelayanan kefarmasian merupakan acuan Apoteker untuk meningkatkan kualitas


pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran pelayanan kefarmasian di
apotek wilayah kota Banjarbaru berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian. Penelitian ini merupakan
penelitian survei analitik menggunakan kuisioner pada bulan januari hingga maret 2015. Sampel
penelitian adalah 21 orang apoteker dan 42 orang asisten apoteker di Apotek wilayah Banjarbaru Utara
dan Banjarbaru Selatan. Pengukuran yang dilakukan yaitu Frekuensi kehadiran Apoteker; Jumlah
apoteker pendamping ; Jumlah asisten apoteker; Sarana dan prasarana (ruang racik dan ruang PIO); dan
Penilaian pelayanan kefarmasian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Frekuensi kehadiran apoteker
Frekuensi kehadiran Apoteker selama apotek buka (14,29%), setiap hari pada jam tertentu (14,29%), 2-
3 kali seminggu (14,29%), 1 kali seminggu (28,57%), 1 kali sebulan (28,57%); Apoteker pendamping
berjumlah 1 orang (19,05%), 2 orang (0%), lebih dari 2 orang (0%), tidak memiliki (80,95%); Asisten
apoteker berjumlah 1 orang (0%), 2 orang (66,67%), lebih dari 2 orang (33,33%), tidak memiliki (0%);
Memiliki ruang racik (100%) dan ruang PIO (38,1%); Pelayanan kefarmasian kategori baik (33,33%),
cukup (47,62%), kurang (19,05%)

Kata Kunci: Pelayanan Kefarmasian, Apotek, Banjarbaru

PENDAHULUAN meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di


Menurut Peraturan Pemerintah apotek yang berorientasi pada keselamatan
Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009, pasien. Pengaturan standar pelayanan
pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan kefarmasian di apotek memiliki maksud dan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien tujuan, yaitu meningkatkan mutu pelayanan
yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi
maksud mencapai hasil yang pasti untuk tenaga kefarmasian, serta melindungi pasien dan
meningkatkan mutu kehidupan pasien (Anonim, masyarakat dari penggunaan obat yang tidak
2009). Pemerintah menetapkan Permenkes rasional dalam rangka keselamatan pasien
Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan (Anonim, 2014)
kefarmasian di apotek sebagai acuan untuk

245
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015

Hasil penelitian di kota Banjarmasin METODE PENELITIAN


menunjukkan pelaksanaan standar pelayanan Desain Penelitian
kefarmasian masih sangat kurang, dari total 30 Penelitian ini merupakan penelitian non
apotek yang diteliti hanya 1 apotek yang eksperimental dengan jenis penelitian survey
termasuk kategori baik, 9 apotek kategori cukup analitik
dan 20 apotek termasuk kategori kurang
(Mardiati, 2011). Penelitian di 4 kota wilayah DKI Waktu dan Tempat Penelitian
Jakarta menunjukkan hampir 90% pelayanan Penelitian dilakukan di wilayah
swamedikasi dilakukan oleh asisten apoteker Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan pada
dan hanya 10% apoteker pengelola apotek (APA) bulan Januari hingga Maret 2015
yang ikut aktif dalam pelayanan informasi obat.
Penelitian terhadap 19 APA di Jawa Tengah Populasi dan Sampel Penelitian
menyatakan bahwa sekitar 50% pengunjung Populasi penelitian adalah seluruh
belum pernah bertemu apoteker pengelola Apoteker (43 orang) dan Asisten Apoteker (86
apotek dan hanya 5,3% apoteker pengelola orang) yang bekerja di Apotek wilayah
apotek yang memberikan informasi (Sudibyo Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan.
et.al., 2011). Penelitian di kota Tegal Sampel penelitian yaitu 21 orang Apoteker dan
menunjukkan dari 7 apotek yang diteliti 3 apotek 42 orang Asisten Apoteker yang telah memenuhi
termasuk kategori baik dan 4 apotek termasuk kriteria inklusi yang telah ditetapkan.
kategori kurang (Bertawati, 2013). Penelitian di
kota Surabaya menunjukkan 60% pelayanan Instrumen Penelitian
kefarmasian masuk dalam kategori kurang Instrumen penelitian berupa kuesioner
(Darmasaputra, 2014). yang telah diuji validasi dan reliabilitas.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan
Republik Indonesia nomor pada 20 orang (Ferguson & Cox, 1993) yang
189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan memiliki kesamaan ciri dengan sampel
Obat Nasional (KONAS) pelayanan kefarmasian penelitian (Notoatmojo, 2010). Hasil uji
yang belum mengikuti pelayanan kefarmasian dikatakan valid jika r hitung > r tabel (Wasis, 2008)
yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem dan dikatakan reliable jika nilai koefisien alpha >
pengelolaan obat, ketersediaan obat, tetapi juga 0,6 (Aurelia, 2013).
ketersediaan, pemerataan, dan profesionalisme
tenaga farmasi yang masih kurang (Anonim, Penilaian Pelayanan Kefarmasian
20061). Untuk meningkatkan profesionalisme Penilaian dilakukan dengan
tenaga farmasi, pemerintah menetapkan menggunakan analisis korelasi, yaitu dilakukan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 dengan cara melihat skor atau nilai rata-rata dari
(Anonim, 2009), Permenkes Nomor variabel yang satu dengan skor rata-rata dari
889/MENKES/PER/V/2011 (Anonim, 2011), variabel yang lain (Notoatmojo, 2010). Analisis
dan Permenkes Nomor 35 tahun 2014 (Anonim, kualitas pelayanan kefarmasian dibagi menjadi 5
2014). aspek meliputi pelayana farmasi klinik,
pengelolaan sediaa farmasi, administrasi, sarana

246
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015

dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan sehingga jam bekerja apoteker tidak selama
kefarmasian di apotek. Masing-masing skor apotek buka (Ginting, 2009)
penilaian dibagi menjadi 3 kategori yaitu baik,
cukup, dan kurang yang mengacu pada Petunjuk B. Jumlah Apoteker Pendamping
Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Kefarmasian di Apotek (Anonim, 20062). Nomor 1332 tahun 2002 menyebutkan
apoteker pendamping merupakan apoteker
Tabel 1. Skor Penilaian Pelayanan Kefarmasian yang bekerja di apotek disamping Apoteker
Skor Nilai (%) Pengelola Apotek (APA) dan atau

Baik 81-100 menggantikannya pada jam-jam tertentu

Cukup 61-80 pada hari buka apotek. Apabila apoteker

Kurang 20-60 pengelola apotek berhalangan melakukan


tugasnya pada jam buka apotek, apoteker

HASIL DAN DISKUSI pengelola apotek harus menunjuk apoteker

A. Frekuensi Kehadiran Apoteker pendamping. Hasil penelitian tentang jumlah

Menurut Surat Keputusan Menteri kesehatan apoteker pendamping dapat dilihat pada

Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan bahwa Tabel 3.

waktu kerja apoteker pengelola apotek (APA) Hadirnya apoteker pendamping

adalah selama apotek memulai aktivitas membuat pelayanan kefarmasian di apotek

pelayanan sesuai dengan jam kerja setiap berjalan sesuai dengan standar yang

harinya (8 jam per hari) (Anonim, 2002). ditetapkan dan meningkatkan mutu

Hasil penelitian tentang frekuensi kehadiran pelayanan kefarmasian apotek. Sebagian

apoteker dapat dilihat pada Tabel 2. besar apotek tidak menunjuk apoteker

Frekuensi kehadiran apoteker yang pendamping karena pemilik sarana apotek

tinggi akan memberikan pelayanan (PSA) mempertimbangkan hasil pendapatan

kefarmasian yang lebih tinggi di apotek, dari apotek, jika keuangan apotek belum

tetapi pada kenyataan sehari-hari tidak stabil maka dengan penambahan apoteker

menunjukkan adanya hubungan yang pendamping akan membebani pendapatan

signifikan karena apoteker berhadir di apotek apotek, usaha perapotekan bukan hanya

tidak selalu memberikan pelayanan mempunyai fungsi pelayanan kepada

kefarmasian (Darmasaputra, 2014). masyarakat, melainkan juga mempunyai

Rendahnya frekuensi kehadiran apoteker fungsi bisnis untuk kelangsungan apotek

disebabkan hampir sebagian besar apoteker (Yuliastuti, 2012).

memiliki pekerjaan lain selain menjadi


Apoteker Pengelola Apotek (Kwando, 2014). C. Jumlah Asisten Apoteker

Kebanyakan apoteker pengelola apotek Asisten apoteker merupakan tenaga

(APA) hanya berperan sebagai prasyarat kefarmasian yang bekerja membantu

berdirinya suatu apotek dan bekerja di apoteker dalam melakukan kerja profesi

apotek hanya sebagai pekerjaan sambilan, farmasi, sehingga jumlah asisten apoteker
setiap apotek diatur oleh kebijakan masing-

247
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015

masing daerah (Anonim, 2002). Kebijakan Berdasarkan hasil diatas disimpulkan bahwa
daerah kota Banjarbaru menetapkan jumlah hanya sebagian apotek menyediakan ruang
asisten apoteker untuk mendirikan apotek konseling dan PIO. Hal ini juga terjadi di daerah
minimal 2 orang. (BPPTPM&PM, 2013). Hasil lain. Penelitian di kota Banjarmasin
penelitian tentang asisten apoteker dapat menunjukkan dari 30 apotek yang diteliti hanya
dilihat pada Tabel 4. 10% apotek yang memiliki ruang konseling dan
Berdasarkan data tersebut diatas dapat PIO (Mardiati, 2011). Penelitian di Apotek
disimpulkan apotek di wilayah Banjarbaru Kartens Manado menunjukkan belum memiliki
sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan. ruang khusus untuk konseling dan PIO (Pojoh
et.al., 2013). Penelitian di kota Medan
D. Sarana dan Prasarana menunjukkan hanya 29,41% yang memiliki
Pelayanan kefarmasian meliputi sarana ruang konseling dan PIO (Ginting, 2009).
dan prasarana, setiap apotek perlu
menyediakan ruang konseling sekurang- E. Penilaian Pelayanan Kefarmasian
kurangnya satu set meja dan kursi konseling Pemerintah pada tahun 2008 telah
untuk memudahkan apoteker untuk menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan
memberikan informasi kepada pasien. standar pelayanan kefarmasian, dimana dalam
(Anonim, 2014). Hasil penelitian tentang petunjuk teknis tersebut telah dijelaskan
sarana dan prasarana dapat dilihat pada penilaian kinerja apotek kedalam 3 (tiga)
Tabel 5. kategori yaitu kategori baik, cukup baik, dan
Pelayanan Informasi Obat (PIO) kurang baik. Peneliti masih mengacu pada
dilakukan pemberian informasi mengenai petunjuk teknis tersebut dalam melakukan
obat, baik obat resep, obat bebas seperti penilaian dengan menyesuaikan isi pada
swamedikasi dan herbal. Konseling Peraturan Menteri Kesehatan Republik
diperlukan terutama untuk pasien dengan Indonesia nomor 35 tahun 2014. Hasil penelitian
kondisi khusus seperti pediatrik, geriatrik, tentang penilaian pelayanan kefarmasian dapat
ibu hamil dan menyusui; pasien dengan dilihat pada Tabel 6.
terapi jangka panjang seperti DM, TBC, Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa
epilepsi; pasien dengan obat yang perlu sebagian besar pelaksanaan pelayanan
instruksi khusus seperti kortikosteroid; kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru masih
pasien dengan indeks terapi sempit seperti pada kategori cukup. Penelitian yang
digoksin, teofilin, fenitoin; pasien dengan dilaksanakan di kota Tegal juga menunjukkan
polifarmasi yaitu pasien menerima beberapa hasil yang tidak jauh berbeda. Dari 7 apotek yang
obat untuk indikasi penyakit yang sama; diteliti, ada 3 apotek masuk dalam kategori baik
serta pasien dengan tingkat kepatuhan yang dan 4 apotek dalam kategori sedang (Bertawati,
rendah (Anonim, 2014). Hal ini yang menjadi 2013).
dasar ditetapkannya kebijakan bahwa Pelayanan kefarmasian termasuk dalam
apotek harus memiliki ruang racik dan ruang kategori baik dilihat dari penilaian kegiatan
konseling. pelayanan farmasi klinik, kegiatan pengelolaan
sediaan farmasi, kegiatan administrasi, kegiatan

248
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015

sarana dan prasarana, dan kegiatan evaluasi tersedianya prosedur tetap dan tidak adanya
mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang mekanisme evaluasi seperti kotak saran.
telah dilaksanakan dengan baik. Apoteker Prosedur Tetap (Protap) merupakan proses-
pengelola apotek (APA) yang selalu berhadir di proses yang dilakukan di apotek secara spontan
apotek, memiliki apoteker pendamping dan 2 sedangkan evaluasi merupakan proses yang
orang asisten apoteker. dilakukan secara berkala terhadap semua
Pelayanan kefarmasian termasuk dalam komponen kegiatan yang dilakukan, sehingga
kategori cukup mayoritas masih kurang menjadi dasar perbaikan terhadap pelayanan
maksimal pada aspek administrasi, sarana dan kefarmasian selanjutnya. Penelitian di apotek
prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian termasuk besar apotek tidak memiliki protap dan sebagian
dalam kategori kurang mayoritas tidak lagi memiliki protap yang hanya tersimpan di
melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik komputer (Atmini et.al., 2011). Evaluasi
seperti monitoring efek samping obat, menggunakan kotak saran juga tidak banyak
pemantauan terapi obat, home care dan dilakukan karena masyarakat sendiri tidak
konseling. Kegiatan administrasi, evaluasi mutu mengisi kotak saran tersebut (Ihsan et.al, 2014)
pelayanan kefarmasian, dan sarana dan Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
prasarana juga belum dilakukan dengan standar pelayanan kefarmasian yaitu apoteker
maksimal, sehingga penilaian keseluruhan tidak setiap saat hadir saat apotek buka (Ginting,
menyebabkan apotek termasuk dalam kategori 2009) dan keterbatasan kemampuan Apoteker
kurang. Pengelola Apotek (APA) dalam farmasi klinik
Faktor yang menyebabkan sebagian besar maupun manajerial apotek (Supardi et.al, 2011).
apotek di wilayah Banjarbaru berada pada Jika seorang apoteker sedang tidak ada di apotek,
kategori cukup terletak pada aspek administrasi, maka pelayanan pun tidak akan berjalan. Tidak
seperti belum melaksanakan kegiatan adanya apoteker pendamping menyebabkan
dokumentasi hasil monitoring penggunaan obat tugas tersebut seringkali dilimpahkan pada
dan mendokumentasikan kegiatan pelayanan asisten apoteker. Hal ini yang menyebabkan
informasi obat (PIO) atau konseling. Faktor lain pelayanan kefarmasian belum berjalan sesuai
yaitu tidak tersedianya ruang pelayanan standarnya (Sukrasno, 2008).
informasi obat (PIO) atau konseling, tidak

Tabel 2. Frekuensi Kehadiran Apoteker


Frekuensi Kehadiran Jumlah Persentase (%)
(N=21)
a. Selama apotek buka 3 14.29
b. Setiap hari (kecuali hari libur) 3 14.29
pada jam tertentu
c. 2-3 kali seminggu 3 14.29
d. 1x seminggu 6 28.57
e. 1x sebulan 6 28.57

249
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015

Tabel 3. Jumlah Apoteker Pendamping


Jumlah Apoteker Pendamping Jumlah Persentase (%)
(N=21)
a. 1 orang 4 19.05
b. 2 orang 0 0
c. > 2 orang 0 0
d. Tidak ada 17 80.95

Tabel 4. Jumlah Asisten Apoteker


Jumlah Asisten Apoteker Jumlah Persentase (%)
(N=21)
a. 1 orang 0 0
b. 2 orang 14 66,67
c. > 2 orang 7 33,33
d. Tidak ada 0 0

Tabel 5. Sarana dan Prasarana


Sarana dan Prasarana Jumlah Persentase
(N=21) (%)
a. Terdapat ruang peracikan,
penyimpanan dan penyerahan obat
- Ya 21 100
- Tidak 0 0
b. Terdapat ruang konseling atau ruang
PIO
- Ya 8 38,1
- Tidak 13 61,9

Tabel 6. Penilaian Pelayanan Kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru


Penilaian Pelayanan Kefarmasian Jumlah Persentase (%)
(N=21)
a. Kategori Baik 7 33.33
b. Kategori Cukup 10 47,62
c. Kategori Kurang 4 19,05

KESIMPULAN apoteker sebesar 100%; Apoteker yang memiliki


Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ruang untuk melaksanakan konseling dan PIO
ini yaitu frekuensi kehadiran apoteker pada saat sebesar 38,1%; dan hasil penilaian pelaksanaan
apotek buka sebesar 14,29%; Apoteker yang pelayanan kefarmasian menunjukkan 47,62%
memiliki apoteker pendamping sebesar 19,05%; masuk pada kategori cukup.
Apoteker yang memiliki 2 atau lebih asisten

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Anonim. (20062). Surat keputusan Menteri Kesehatan
Indonesia nomor 1332 tahun 2002 tentang ketentuan Republik Indonesia nomor
dan tata cara pemberian izin apotek. Departemen 1027/MENKES/SK/IX/2004) tentang petunjuk teknis
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di
Anonim. (20061). Keputusan Menteri Kesehatan Republik apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Indonesia nomor 189 tahun 2006 tentang kebijakan Jakarta
obat nasional. Departemen Kesehatan Republik Anonim. (2009). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia. Jakarta Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan

250
P ro sid ing Sem ina r Na siona l & Wo rkshop “Pe rkemba ngan Te rki ni Sa in s Fa rma si & K l in i k 5” | Padang , 6 -7 No vembe r 2015

kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik berdasarkan standar pelayanan kefarmasian. Jurnal


Indonesia. Jakarta Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1, 30-35.
Anonim. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Kwando, R.R. (2014). Pemetaan peran apoteker dalam
Indonesia nomor 889 tahun 2011 tentang registrasi, pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran
izin praktek, dan izin tenaga kefarmasian. apoteker di apotek di Surabaya Timur. Calyptra:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.3, 1-
Anonim. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik 12.
Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang standar Mardiati, N. (2011). Gambaran pelaksanaan standar
pelayanan kefarmasian di apotek. Kementerian pelayanan kefarmasian apotek di kota Banjarmasin
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta periode Maret-April 2011. Skripsi. Program Studi
Aurelia, E. (2013). Harapan dan kepercayaan konsumen Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat.
apotek terhadap peran apoteker yang berada di Banjarbaru
wilayah Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Notoatmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan.
Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 1-20. Rineka Cipta. Jakarta
Bertawati. (2013). Profil pelayanan kefarmasian dan Pojoh, J.A., Ulaen, S.P.J., & Sael, Y. (2013). Penerapan
kepuasan konsumen apotek di kecamatan Adiwerna standar pelayanan kefarmasian di apotek kartens
kota Tegal. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Manado. Skripsi. Jurusan Farmasi Politeknik
Universitas Surabaya. 2, 2-4 Kesehatan Kemenkes, Manado.
Darmasaputra, E. (2014). Pemetaan peran apoteker Sudibyo, S.R., Handayani, Raharni, M., Herman, &
dalam pelayanan kefarmasian terkait frekuensi Susyanti, A.L. (2011). Pelaksanaan standar
kehadiran apoteker di Apotek di Surabaya Barat. pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas pelatihan bagi apotekernya. Review : 140-141
Surabaya. 3, 1-5. Sukrasno. (2008). Pengembangan pendidikan profesi
Ferguson, E., & Cox, T. (1993). Exploratory factor apoteker untuk mendukung eksistensi apoteker di
analysis: A user’s guide. International Journal of apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. V, 130-137.
Selection and Assessment. 1, 84–94. Supardi, S., Handayani, R.S., Raharni, Herman, M.I., &
Ginting, A.BR. (2009). Penerapan standar pelayanan Susyanty A.L. (2011). Pelaksanaan standar
kefarmasian di apotek di kota Medan tahun 2008. pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan
Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera pelatihan bagi apotekernya. Buletin Penelitian
Utara. Medan Kesehatan. 39, 138-144.
Ihsan, S., Rezkya, P., & Akib, N.I. (2014). Evaluasi mutu Wasis. (2008). Pedoman Riset Praktis untuk Profesi
pelayanan di apotek komunitas kota Kendari Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

251

Anda mungkin juga menyukai