Anda di halaman 1dari 435

27-29

September
2015

PROSIDING
UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR
& ANNUAL CONFERENCE 2015

“PERAN PEMERINTAH DAERAH


DALAM PERSAINGAN GLOBAL”

Editor:
Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si
Dr. Marthinus Mandagi, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
2015
ISBN 978-602-73770-1-1
PROSIDING

“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN


GLOBAL”

KERJASAMA PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI


NEGARA FIS UNIMA DAN INDONESIAN ASSOCIATION FOR
PUBLIC ADMINISTRATION (IAPA)

Editor:
Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si
Dr. Marthinus Mandagi, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
2015
“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN
GLOBAL”

© Penulis

Reviewer:
Linna Miftahul Jannah
M. R. Khairul Muluk
Falih Suaedi
Sintaningrum

Perancang Sampul:
Jesica Karouw

Penata Letak:
Jeane Mantiri

Diterbitkan atas kerjasama:

Program Studi Ilmu Administrasi Negara FIS UNIMA dan Indonesian


Association For Public Administration (IAPA)

ISBN 978-602-73770-1-1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR

Administrasi Negara/Publik menjadi salah satu jurusan yang saat ini popular dan tersorot. Kami
yang berada di Program Studi Universitas Negeri Manado mempromosikan Program Studi kami
dengan membuat Seminar Internasional, kami juga menjadi tuan rumah dalam konfrensi tahunan
Indonesian Association for Public Administration (IAPA).

“Peran Pemerintah Dalam Persaingan Global” menjadi tema dari seminar ini, kami
menghadirkan Dr. James Cullin (Humber Bussinness School Canada), Mary Heather White
(Manager SEDS Field), Prof. Samrit Yossomsakdi, Ph.D (Vice President PAAT Thailand), and
Erica Larson (Boston University) serta Roberta dan Naomi (Napoli University Itali) sebagai
pembica utama dalam seminar ini.

Dari tema diatas, kami membuat pokok-pokok atau sub tema yang akan dibahas:
1. Enhancing Public Trust dan Ethics
2. Developing Local Competitiveness
3. Developing Innovative Public Service
4. Integration Of Public Policy

Kami juga menghadirkan beberapa pembahasan khusus oleh PSPA dan IAPA yaitu Comparative
Village Between Indonesian and the Philippines and Comparative Disaster Management
between Indonesia and the Philippines.

Seminar ini dipersiapkan atau kerjasama dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan
Anggota IAPA.

Hormat Kami,
Panitia UNIMA IAPA International
Seminar & Annual Conference 2015
PENGANTAR EDITOR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perkenan-Nya sehingga penyusunan
Prosiding Seminar International kerja sama Indonesian Association for Public Administration
(IAPA) dengan dengan tema: “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global.” dapat
diselesaikan dengan baik. Seminar International ini diselenggarakan pada tanggal 27 – 29
September 2015.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
paling dalam kepada para penulis/kontributor yang telah memberikan sumbangsih pikiran yang
dituangkan dalam artikel, sehingga memungkinkan prosiding ini dapat dirampungkan dengan
baik. Diucapkan terima kasih pula kepada jajaran Panitia UNIMA IAPA International Seminar &
Annual Conference 2015, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu
dan sumbangan pemikirannya.
Besar harapan kami, kiranya proceeding ini, terutama tulisan-tulisannya dapat memberikan
sumbangan pemikiran yang kreatif dan kritis ke depan bagi perkembangan Ilmu Administrasi
Publik, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang sama-sama kita
cintai.
Kami sangat menantikan sumbangan saran atau kritik yang membangun bagi
penyempurnaan prosiding ini, akhirnya, kami mengucapkan terima kasih atas segala saran dan
masukan yang diberikan.
Selamat membaca.

Tondano, September 2015


Editor,
Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si.
Dr. Marthinus Mandagi, M.Si.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………..... i

Pengantar Editor …………………………………………………………………………..... ii

Daftar Isi……………………………………………………………………………………... iii

Otonomi Daerah: Kajian Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan Penerapan Undang-Undang 1


Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Galih W. Pradana, Trenda Aktiva Oktariyanda……………………………………………..

Legislasi Desa: Tantangan dan Peluang Pembuatan Kebijakan Desa Pasca Undang-Undang 11
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Muhammad Yasin……………………………………………………………………………

Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. 21


Petrus Kase…………………………………………………………………………………..

Menentukan Pemimpin Daerah yang Berintegritas 35


Devie S. R. Siwij……………………………………………………………………………..

Developing Local Competitiveness through Developing City Branding (Case Study Binjai 44
City, North Sumatera).
Septiana Dwiputrianti………………………………………………………………………..

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan 63


Jalan Umum Dan Jalan Khusus Di Provinsi Riau.
Febri Yuliani……………………………………………………………………………….

Evaluasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) Di Kecamatan Bolaang 68


Timur Kabupaten Bolaang Mongondow
Abdul Rahman Dilapanga………………………………………………………………….

Kinerja Aparatur Pemerintah Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara 76


Jeane Mantiri………………………………………………………………………………..

Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Desa


Penfui Timur, Kabupaten Kupang.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” iii


Petrus Kase………………………………………………………………………………….. 86

Integrasi Kebijakan UMKM Guna Meningkatkan Daya Saing Lokal (Kemitraan UMKM
Provinsi Jawa Timur).
Noviyanti…………………………………………………………………………………… 99

Kebijakan Perspektif Gender Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia Unggul (Strategi
Pemerintah Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean)
Yuni Lestari………………………………………………………………………………….. 119

Efektivitas Hubungan Kerjasama Antar Pemerintahan (Studi Kasus Kebijakan Pendidikan


Gratis Pada Pendidikan dasar dan Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan).
Sangkala……………………………………………………………………………………... 134

Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Insiatif Publik: Antara Optimis dan Utopis.
Muhammad Ichsan Kabullah………………………………………………………………...
147
Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Studi Kebijakan Publik Pada
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Di Kota Kotamubagu Provinsi Sulawesi Utara)
Fitri Herawati Mamonto…………………………………………………………………….. 169

Lahir Procot Pulang Bawa Akta: Inovasi Layanan Publik sebagai Pemenuhan Hak Anak di
Kabupaten Banyuwangi.
Lina Miftahul Jannah……………………………………………………………………….. 179

Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.
Rizki Pratiwi, Endang Sutarti Mardiana, Arsid…………………………………………….. 189

Konstruksi Model Perilaku Pelayanan Street-Level Birokrasi Pada Puskesmas Di Kota


Makassar
Abdul Mahsyar…………………………………………………………………………........ 197

Mengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kualitas


Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Perkotaan: Studi di Puskesmas Kota Surabaya.
Falih Suaedi…………………………………………………………………………………. 215

Optimalisasi Outcome Anggaran untuk Menciptakan Trust dalam Pengalokasian Belanja


Pelayanan Publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Hendri Koeswara……………………………………………………………………………. 224

Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur.

iv “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan, Weni Rosdiana, Agung
Listiadi……………………………………………………………………………………… 242

Pembentukan City Branding Di Kota Tangerang Selatan


Izzatusholekha………………………………………………………………………………. 289

Inovasi Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Melalui Pengembangan Ekonomi


Kreatif Di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau
Mustiqowati Ummul Fithriyyah……………………………………………………………. 302

Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di


Provinsi Gorontalo.
Asna Aneta dan Yulianto Kadji……………………………………………………………. 313

Mewujudkan Governance Networks melalui Program The Sunan Giri Award di Kabupaten
Gresik.
Muhammad Farid Ma‟ruf, Tauran, Yuni Siti Aisah………………………………………... 324

Mewujudkan Administrator Publik Yang Beretika Dalam Perspektif Administrasi Islam


Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (Studi Kasus Di Kantor Badan Promosi dan
Pelayanan Terpadu)
Afrinaldy Rustam, Rodi Wahyudi………………………………………………………….. 336

Penerapan ‗Good Governance‘ dalam Penempatan Pekerja Migran Perempuan Antar


Bangsa.
Lely Indah Mindarti................................................................................................................ 352

E-Governance Sebagai Alternatif Solusi Menghilangkan Konflik Sengketa Tumpang


Tindih Lahan Pertambangan Batu Bara Di Provinsi Kalimantan Timur
Himawan Nuryahya dan Secilia Fammy Rukhamah………………………………………... 376

Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Perindustrian


Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penanaman Modal Kota
Gorontalo.
Zuchri Abdussamad………………………………………………………………………….. 406

Meningkatkan Kemampuan Kelembagaan Untuk Menyongsong Asean Economic


Community: Suatu Perspektif Administrasi Negara
Roza Liesmana………………………………………………………………………………. 411

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” v


Membangun Kepercayaan Publik Pada Birokrasi.
Desna Aromatica…………………………………………………………………………….. 418

vi “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Otonomi Daerah : Kajian Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan Penerapan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Galih W. Pradana, Trenda Aktiva Oktariyanda

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia

Telp : +62-31-8280009

E-Mail : galihpradana@unesa.ac.id

Abstrak: Otonomi daerah lahir dari sebuah gagasan yang menarik sebagai bentuk koreksi atas corak
pemerintahan dan hubungan antara pusat-daerah yang sentralistik dan jauh dari kata demokrasi. Salah satu
tujuan dari otonomi daerah adalah untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu
dalam menangani urusan daerah. Disamping itu, diharapkan terciptanya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat serta tercapainya suatu kehidupan berdemokrasi yang sehat. Diantara berbagai
kebijakan otonomi daerah di Indonesia, kebijakan desentralisasi khususnya desentralisasi fiskal cukup menarik
untuk diikuti perkembangannya. Desentralisasi fiskal mempunyai tujuan memberikan kesempatan bagi daerah
untuk menggali berbagai sumber dana yang mereka miliki. Dalam pembahasan kali ini penulis akan mengulas
tentang bagaimana otonomi daerah khususnya kebijakan desentralisasi fiskal dilaksanakan di Indonesia.
Pembahasan akan lebih mendalam pada perkembangan desentralisasi fiskal, dimulai dari awal mula kebijakan
ini diberlakukan, sampai dengan beberapa perubahan teraktual mengenai regulasi keuangan daerah pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kata Kunci : Otonomi, Desentralisasi, Fiskal, Pemerintahan Daerah

Pendahuluan

Seiring dengan perubahan Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, kebijakan mengenai
Pemerintah Daerah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan dikehendaki oleh keinginan untuk
menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah.

Kebijakan otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah
tangganya sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik yang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 1


dalam pelaksanaan pemerintahaannya dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas
kabupaten dan kota, dimana tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah untuk
saling mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintah daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Otonomi daerah lahir sebagai sebuah gagasan yang menarik
sebagai bentuk koreksi atas sistem pemerintahan pada masa Orde Baru yang lebih bersifat sentralistik. Konsep
awal otonomi daerah mucul pada tahun 1903 melalui undang-undang desentralisasi di bawah pemerintah
kolonial Belanda yang diperluas dengan Bestuursher Vormingswet 1922 yang mana otonomi dititik beratkan
pada dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan1.

Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 Tahun 1945 sampai dengan
UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan
pemerintahan di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari idealisme
konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan pun belum seringkas dan selugas otonomi daerah,
masih seputar bagaimana mengatur urusan rumah tangga2.

Tujuan utama diterapkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah untuk membebaskan
pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Dengan demikian
pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang
bersifat strategis.

Sedangkan tujuan yang lain dari diterapkannya kebijakan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik, pengembangan kehidupan berdemokrasi,
menciptakan keadilan dan pemerataan, mendorong pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pusat dengan daerah, serta menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, dan juga meningkatkan peran
masyarakat.

Dengan mulai diterapkannya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 1999 atau lebih tepatnya pada saat
terbit Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, berbagai
reaksi pro dan kontra ditunjukkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan dan kalangan. Selain reaksi pro dan
kontra, dampak dari penerapan kebijakan otonomi daerah perlahan juga bermunculan. Salah satunya adalah
penghapusan beberapa lembaga atau instansi pemerintah yang dirasa overlapping dan masih mempunyai
tupoksi yang hampir sama demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas. Hal ini secara langsung juga berdampak
terhadap kebijakan fiskal yang diterapkan di masing-masing daerah otonom.

1
BN Marbun, op. cit., 40-41
2
BN Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Perkembangan Realita Otda, Sejak Zaman Kolonial sampai Saat ini
(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005) : 43-45

2 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Perkembangan Otonomi Daerah (Desentralisasi Fiskal) Di Indonesia

Berbicara mengenai Otonomi Daerah tidak dapat dipisahkan dari kebijakan desentralisasi yang
memayunginya. Pada dasarnya ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan desentralisasi
yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan pemerintahan daerah
sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap
pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan
mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk menyediakan pelayanan publik untuk masyarakat lokal secara
efektif, efisien dan ekonomis.

Desentralisasi merupakan simbol atau tanda adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah yang
akan mengembalikan harga diri masyarakat dan pemerintah. Diberlakukannya UU No. 32 dan UU No. 33 tahun
2004, kewenangan Pemerintah didesentralisasikan ke daerah, ini mengandung makna, pemerintah pusat tidak
lagi mengurus kepentingan rumah tangga daerah.

Kewenangan mengurus, dan mengatur rumah tangga daerah diserahkan kepada masyarakat di daerah.
Pemerintah pusat hanya berperan sebagai supervisor, pemantau, pengawas dan penilai.

Kebijakan otonomi daerah yang salah satu bentuk konkritnya tercermin oleh desentralisasi, memang
baru digalakkan pasca reformasi. Namun pada kenyataannya, jika melihat pada perkembangan tata
pemerintahan mulai dari masa orde lama sampai orde baru benih-benih otonomi daerah sudah mulai terlihat,
hanya memang tidak terbungkus dalam suatu kebijakan yang lugas dan jelas. Berikut di bawah ini akan
dijelaskan mengenai perkembangan otonomi daerah khususnya desentralisasi fiskal yang terjadi di Indonesia.

1. Legislasi 1974 dan Menguatnya Kontrol Politik

Konsolidasi yang dilakukan oleh rezim baru dan kebijakan pemerintah untuk meliberalkan ekonomi
tidak selalu berjalan mulus tanpa tantangan. Berbagai bentuk persoalan berubah menjadi protes dan demonstrasi
jalanan. Peristiwa Malari, suatu kerusuhan masal di kawasan Ibu Kota Jakarta, merupakan salah satu ujian yang
berat bagi Pemerintah Orde Baru. Penolakan para pengusaha pribumi terhadap membanjirnya investasi asing,
perebutan kekuasaan di antara perwira tinggi militer, dan protes mahasiswa menentang depolitisasi adalah
faktor-faktor utama yang memicu peristiwa Malari. Namun demikian, setelah kerusuhan itu berhasil
dipadamkan, kontrol politik dan sentralistis justru menjadi lebih kentara. Inilah situasi yang melatarbelakangi
disahkannya undang-undang mengenai pemerintahan di daerah pada tahun 1974.

Pada mulanya pemerintah menyiapkan tiga rancangan undang-undang yang mencakup persoalan
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, otonomi daerah, dan perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan jenjang pemerintahan yang lebih rendah. Namun, belakangan pemerintah ternyata hanya mengusulkan
satu rancangan undang-undang tentang pemerintah daerah yang dinyatakan sebagai ―rancangan yang
terlengkap‖. Semangat otonomi seluas-luasnya seperti terdapat dalam perundangan sebelumnya diuabah
menjadi ―otonomi nyata dan bertanggung jawab,‖ yang mencerminkan orientasi kontrol pemerintah pusat
terhadap jenjang pemerintahan di bawahnya. Kontrol pemerintah pusat diperketat dengan mengutamakan asas
dekonsentrasi ketimbang asas desentralisasi. Ditetapkan bahwa DPRD harus melakukan konsultasi dengan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 3


Departemen Dalam Negeri dalam proses memilih 2 hingga 5 calon kepala daerah baik untuk tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota. Namun keputusan akhir tetap di tangan presiden dalam hal pemilihan gubernur dan di
tangan Menteri Dalam Negeri dalam hal pemilihan bupati atau walikota.

Setelah disahkannya UU No. 5 Tahun 1974, pemerintah mendesak lebih jauh dengan peraturan-
peraturan yang memuat kontrol politik dan depolitisasi. Doktrin monoloyalitas bagi pegawai negeri, konsep
massa mengambang, kontrol terhadap DPRD dan kontrol terhadap pemerintahan desa adalah di antara ketetapan
depolitisasi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto. Tampak jelas pula pendirian
pemerintah bahwa ketaatan rakyat akan dibeli dengan cara mewujudkan percepatan pembangunan ekonomi.

2. Sentralisasi Fiskal Dalam Pelaksanaan

Setelah memperkuat kontrol politik dan mengesahkan UU No. 5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistis,
pemerintah pusat harus menunjukkan kinerja dan membuktikan kemampuannya untuk menghasilkan
pembangunan ekonomi. Dari sisi pendapatan, ada dua faktor utama yang memungkinkan pemerintah pusat
mendanai pembangunan daerah : 1) rezeki minyak yang tiba-tiba menjadi sumber pendapatan utama, dan 2)
penyerapan utang luar negeri.

Secara umum, alokasi bantuan pemerintah pusat kepada daerah pada tahun 1970-an telah berhasil
merehabilitasi dan membangun prasarana di tanah air. Namun demikian, ketika rezeki minyak bagi ekonomi
Indonesia berakhir pada tahun 1982 dan muncul kekhawatiran akan beban utang luar negeri, pemerintah
berusaha untuk menggenjot ekspor nonminyak dan melakukan reformasi sistem perpajakan yang lama tertunda.
Barulah disadari bahwa ketergantungan yang berlebihan terhadap suatu komoditas tunggal akan mengakibatkan
resiko terhadap ekonomi nasional dan keberlanjutan pembangunan. Reformasi pajak dimulai pada tahun 1983
dengan disahkannya undang-undang baru tentang pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan pajak
pertambahan nilai. Akan tetapi, inisiatif pada tahun 1980-an itu kurang efektif karena implementasi yang tidak
fokus dan lemah. Pendapatan dalam negeri hanya sedikit dapat ditingkatkan.

Melalui pendekatan sentralistis, banyak masalah administrasi yang timbul atau bahkan lebih buruk,
terutama menyangkut program-program inpres, dan makin menguatkan pertanyaan mengenai efektivitas
pembangunan pemerintah Orde Baru. Masalah yang pokok adalah tetap rendahnya kemampuan daerah,
ketimpangan antar daerah, dana yang tidak dapat dibelanjakan atau tidak efektif, korupsi dan penyelewengan,
serta ketergantungan finansial daerah. Meskipun masalah-masalah ini sifatnya manajerial atau administratif,
kesemuanya jelas mengurangi manfaat pembangunan bagi rakyat dan karena itu menambah keluhan-keluhan
terhadap pendekatan sentralistis.

Di samping pemanfaatan program-program pembangunan, Soeharto senantiasa menggunakan


kekuatan militer dan represi politik untuk memelihara stabilitas serta menundukkan perlawanan terhadap rezim
yang sentralistis.

3. Legislasi 1999

Dengan ekonomi nasional yang nampak cukup memuaskan serta Soeharto yang masih pada puncak
kekuasaannya pada tahun 1990-an, tidak seorang pun yang dapat memprediksi bahwa Indonesia dapat
sekonyong-konyong berubah dalam keadaan ekonomi dan politik yang berantakan. Peristiwa yang merupakan

4 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


titik balik itu dipicu oleh krisis moneter di Asia pada tahun 1997. Namun demikian, akar penyebab dari krisis itu
sebenarnya telah sekian lama terpendam dalam struktur rezim serta pola pembuatan kebijakan ekonomi makro
yang ditetapkan.

Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru di bawah
Soeharto pada awal tahun 1998. Seruan akan reformasi, kerusuhan, unjuk rasa di banyak kota, serta mundurnya
empat belas menteri di dalam kabinet akhirnya memaksa Soeharto untuk mundur dan menyerahkan kekuasaan
kepada wakil B.J Habibie, yang selanjutnya dilantik menjadi Presiden baru. Dengan munculnya tuntutan
demokratisasi dan dihidupkannya kembali politik lokal, Habibie harus segera menanggapi dengan reformasi
nyata.

Sidang istimewa MPR pada tahun 1998 mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan desentralisasi
dan menanggapi tuntutan-tuntutan daerah. Gugus-gugus tugas di Depdagri dan Depkeu dibentuk untuk segera
merancang RUU mengenai pemerintahan daerah dan hubungan keuangan antarjenjang pemerintahan yang baru.
Tidak banyak terjadi pententangan mengenai RUU pemerintahan daerah karena sebagian besar pendapat
mengerucut pada kebutuhan untuk melakukan desentralisasi. Dalam tempo dua bulan, UU No. 22 Tahun 1999
disahkan dengan perubahan yang sangat sedikit dibanding rancangan asli dari Depdagri.

UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dibahas di tengah desakan bertubi-tubi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam. Ketentuan paling
penting dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah : 1) bahwa sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan dalam
negeri harus dialokasikan ke daerah, di mana dari seluruh totalnya 10% harus dialokasikan ke provinsi dan 90%
ke kabupaten/kota, 2) dihapusnya SDO dan bantuan inpres yang selanjutnya keduanya digabung menjadi dana
alokasi umum (DAU) yang didasarkan pada rumus transfer tertentu, 3) dana alokasi khusus (DAK) diberikan
kepada daerah berdasarkan kebutuhan pembangunan mereka, 4) peningkatan cukup besar dari bagian daerah
atas pendapatan dari minyak bumi (15%) dan gas alam (30%). Semua ketentuan dalam perundangan tahun 1999
ini akan berlaku efektif dalam waktu dua tahun setelah disahkan.

Undang-undang baru pada tahun 1999 itu menciptakan sosok baru mengenai hubungan fiskal
antarjenjang pemerintahan. Di dalamnya terkandung banyak terobosan, tetapi ternyata juga terdapat ketentuan-
ketentuan yang tidak jelas dan berbagai kelemahan. Tidak adanya ketentuan mengenai mekanisme akuntabilitas
dan pengembangan kapasitas administrasi di tingkat daerah juga merupakan kendala serius yang akhirnya tetap
menghambat pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di tanah air.

4. Pelaksanaan Desentralisasi Di Tengah Kemelut Politik

Ketika persiapan untuk sepenuhnya melaksanakan kebijakan desentralisasi tengah dilakukan, situasi
politik di Indonesia mengalami berbagai macam perkembangan. Timor Timur akhirnya terpisah dari Indonesia
setelah pemungutan suara yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyatnya memilih merdeka dan selanjutnya
terjadilah pengrusakan dan bentrok juga kekerasan di antara mereka yang diprovokasi oleh unsur-unsur dari
tentara yang kecewa. Namun demikian, pada bulan Juni 1999 Indonesia berhasil menyelenggarakan untuk
pertama kalinya pemilihan umum yang bebas, adil dan aman setelah sekian lama berada di bawah penindasan
pemerintahan Orde Baru. Setelah pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak, sidang MPR memilih

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 5


Abdurrahman Wahid sebagai presiden baru. Wahid hanya bisa memegang jabatannya selama Sembilan bulan
karena kemudian dia dimakzulkan oleh MPR dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Terpisahnya Timor Timur dan gelombang demokratisasi menciptakan sebuah tatanan politik baru bagi
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan kondisi ekonomi nasional yang masih
terpuruk dan keterbatasan dana bagi pembangunan di daerah, banyak elit politik yang daerah yang kemudian
mencoba merumuskan kembali hubungan mereka dengan pihak pemerintahan pusat. Sentiment semacam ini
terutama sangat kuat di daerah-daerah yang sering bergolak seperti Aceh dan Papua, yang kebetulan memiliki
sumber daya alam yang melimpah. Sebuah kesepakatan politik dengan Aceh dan Papua akhirnya akhirnya
dicapai ketika pemerintah di bawah Megawati mengesahkan dua undang-undang mengenai otonomi khusus, UU
No 18 Tahun 2001 mengenai Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 mengenai Papua, yang pada dasarnya memberi
konsesi-konsesi sangat besar dari pendapatan sumber daya alam.

Mula-mula ditengah menguatnya berbagai macam keluhan mengenai ketentuan yang kaku terhadap
perpajakan daerah, pemerintahan Wahid berusaha mempercepat pelaksanaan reformasi. UU No. 18 Tahun 1997
digantikan dengan UU No. 34 Tahun 2000 mengenai Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-undang itu diantara
lain mengatur tentang ketentuan pembagian pajak baru diantara jenjang pemerintahan yang berbeda. Provinsi
harus memberikan bagian pendapatan yang lebih besar atas pajak tertentu dan dapat merelokasi pendapatan
kepada pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. Pemerintah kabupaten/kota diperbolehkan membuat Perda
sendiri yang mengatur pajak-pajak baru sepanjang memenuhi kriteria tertentu.

Tetapi menyangkut bantuan antarjenjang pemerintahan nampaknya banyak aspek hubungan fiskal
pada masa-masa awal pelaksanaan perundangan tahun 1999 yang terpengaruh oleh sistem lama. Jika DAU dapat
diasosiasikan dengan alokasi SDO dalam sistem sebelumnya, DAK dapat dipandang sebagai metamorphosis
dari bantuan-bantuan inpres salama masa pemerintahan Orde Baru, karena pemerintah daerah tidak diberi
kewenangan untuk merencakan sumber daya manusianya sendiri, termasuk kemungkinan merampingkan staf
agar lebih efisien, maka porsi yang sangat besar dari DAU terserap untuk membayar gaji pegawai. Pada saat
yang sama, karena pemerintah pusat masih mengalami kendala anggaran karena krisis ekonomi dan karena
pendapatan minyak dan gas bumi yang telah ―didaerahkan‖, maka besarnya DAK bagi kebanyakan
kabupaten/kota di seluruh tanah air juga terbatas.

Kepentingan-kepentingan yang bercokol terus mempengaruhi proses implementasi dan perubahan


kebijakan. Disamping kepentingan yang berbeda-beda antara pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
masalah pelaksanaan kebijakan desentralisasi juga banyak yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan
tujuan di antara kementerian di pemerintah pusat. Karena Depdagri ketika itu ditugaskan untuk merancang UU
no. 22 Tahun 1999 sedangkan Depkeu ditugaskan merancang UU No. 25 Tahun 1999, banyak masalah muncul
karena tidak padu dan tidak jelasnya hubungan di antara kedua undang-undang tentang desentralisasi tersebut.
Konflik-konflik juga terjadi karena banyak pelaku di jajaran pemerintah pusat bermaksud mempertahankan
kepentingan mereka di tengah dorongan untuk mendevolusi kekuasaan finansial kepada jenjang pemerintahan
yang lebih rendah.

Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal disandera oleh para
elit politik sehingga tujuan utama dari kebijakan ini tidak dapat tercapai. Politik uang, birokrasi yang
membelanjakan dana publik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan finansial justru

6 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang terlembaga. Tetapi bagaimanapun juga, meskipun
desentralisasi fiskal dilaksanakan di tengah kemelut politik dan ekonomi dan menghadap berbagai persoalan
serius, tidak mungkin lagi untuk berbalik arah.

5. Penyesuaian Kebijakan Desentralisasi Legislasi 2004

Karena para pejabat di Depdagri ditugasi untuk merancang UU No. 22/1999 dan para pejabat di
Depkeu ditugasi merancang UU No. 25/1999 sedangkan mereka punya kepentingan yang berbeda menyangkut
kebijakan desentralisasi, banyak masalah muncul karena kurang padu dan kurang jelasnya keterkaitan di antara
kedua undang-undang desentralisasi ini. Itulah sebabnya, banyak pelaku kebijakan pemerintah pusat yang
bahkan sudah mempertimbangkan untuk melakukan revisi ketika undang-undang ini baru akan dilaksanakan.
Akan tetapi para pakar dan pejabat pemerintah kabupaten/kota sangat menentang gagasan tersebut. Mereka
berpendapat bahwa revisi itu hanya akan mengarah kepada resentralisasi.

Sebuah kompromi pada akhirnya tercapai setelah adanya amandemen yang sangat penting terhadap
UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan presiden secara langsung. Beberapa langkah penyesuaian terhadap
perundang-undangan tahun 1999 tidak dapat dihindari lagi. Para pejabat pemerintah pusat lalu menggunakan
wacana pemilihan kepala daerah secara langsung untuk meyakinkan para elit politik lokal mengenai perlunya
revisi undang-undang tahun 1999 tersebut.

Pemilihan umum legislatif tahun 2004 yang diikuti dengan suksesnya penyelenggaraan pemilihan
presiden secara langsung membawa seluruh rakyat Indonesia kearah yang lebih demokratis dan stabil. Tahun
2004 juga menandai sebuah kompromi di antara pejabat dalan jenjang pemerintahan yang berlainan dengan
disahkannya UU No. 32/2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang menggantikan perundang-undangan tahun 1999.
Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden dengan sebuah mandat yang jelas. Namun demikian ada
berbagai tugas penting yang harus segera ditangani. Bencana Tsunami di Aceh sekonyong-konyong justru
makin membuat semakin cerahnya prospek bagi terciptanya perdamaian yang lebih langgeng, tetapi bencana ini
juga membutuhkan komitmen finansial yang besar bagi pemerintah pusat untuk merekonstruksi dan
membangun kembali provinsi ini. Pada saat yang sama pemerintahan yang baru harus berhadapan dengan
meluasnya korupsi dan melanjutkan berbagai kebijakan pemulihan ekonomi.

Undang-undang tahun 2004 mengenai pemerintah daerah mengembalikan hubungan hierarkis antara
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta memuat ketentuan rinci mengenai pemilihan kepala
daerah. Akan tetapi, menyangkut hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan, hanya terdapat perubahan kecil.
UU No. 33/2004 sedikit menaikkan presentase pendapatan Negara yang akan dialokasikan kepada pemerintah
daerah melalui DAU serta presentase pembagian pendapatan dari minyak, serta menetapkan pembagian
pendapatan dari gas bumi yang lebih jelas. Sebuah sistem bantuan kerja sama (matching grants) ditetapkan
dengan ketentuan mengenai dana penyertaan untuk alokasi DAK. Namun secara keseluruhan penentuan
mengenai pembagian pajak antarjenjang pemerintahan masih tetap sama dengan undang-undang sebelumnya.
Kebijakan densentralisasi fiskal akan tetap dipengaruhi oleh negosiasi-negosiai politik di antara jenjang
pemerintahan yang berbeda.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 7


Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Dalam
Perspektif Desentralisasi Fiskal

Sejak pertama kali diterbitkan pada bulan Oktober 2014, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah sudah banyak menuai pro dan kontra. Sebagai salah satu Undang-undang
Pemerintah Daerah yang menyempurnakan Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, Undang-Undang ini
belum disertai dengan perangkat penjelas berupa Peraturan Pemerintah untuk menjelaskan secara detail
mengenai pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah yang banyak mengalami perubahan.

Salah satu implikasi dari terbitnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 adalah terjadinya
perpindahan kewenangan yang dimiliki susunan/tingkatan Pemerintahan, baik di level Pemerintahan Pusat
maupun pada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi. Hal ini bisa terlihat pada BAB XI Bagian Kelima
tentang Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Dalam salah satu paragraph yang menjelaskan tentang Evaluasi
Rancanngan Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat perpindahan yang cukup mendasar
tentang kewenangan daerah dalam mengevaluasi Perda. Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Gubernur,
dan Gubernur dengan Walikota atau Bupati belum secara gamblang dijelaskan dalam bagian ini.

Terkait penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, Kementerian Dalam Negeri telah


menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/Sj tanggal 16 Januari 2015 tentang
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Surat edaran dari Menteri Dalam Negeri ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah ditetapkannya Undang-undang nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah selama masa transisi sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah
mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan .

Dari segi desentralisasi fiskal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak terlalu mengalami banyak
perubahan dari Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Hanya saja Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 lebih menekankan pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar terhadap daerah untuk dapat menangani
urusan pemerintahan baik dari segi administratif maupun dari segi keuangan.

Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwa daerah boleh
melakukan pengaturan terhadap kebijakan fiskal asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah yang menaunginya. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah ingin memaksimalkan peranan
pemerintah daerah untuk mampu melaksanakan kewenangan dalam hal pelayanan dasar.

Kesimpulan

Seiring dengan perubahan Undang-undang Dasar 1945 dan pergantian kepemimpinan, upaya untuk
menciptakan suasana tata kepemerintahan yang demokratis terus diupayakan oleh Pemerintah RI. Salah satunya
adalah dengan mulai menggalakkan otonomi daerah yang pada masa Orde Baru sempat tenggelam karena
superioritas kepemimpinan Presiden Soeharto yang sentralistis.

Kebijakan otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya
sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan desentralisasi merupakan salah satu produk dari otonomi daerah, dengan keluarnya UU No. 32 dan

8 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


UU No. 34 Tahun 2004. Meskipun penerapan desentralisasi baru mulai difokuskan dan mendapat perhatian
pasca reformasi, beni-benih desentralisasi khususnya desentralisasi fiskal sudah ada sejak masa pemerintahan
Presiden Soekarno.

Berikut ringkasan perkembangan desentalisasi fiskal yang terjadi di Indonesia, sejak tahun 1974
sampai pada keberhasilan pemilu tahun 2004 :

Peristiwa Malari menjadi tonggak sejarah dari awal penerapan otonomi daerah di Indonesia. Penolakan
para pengusaha pribumi terhadap membanjirnya investasi asing, perebutan kekuasaan di antara di antara perwira
tinggi militer, dan protes mahasiswa menentang depolitisasi adalah factor-faktor utama yang memicu peristiwa
Malari. Inilah situasi yang melatarbelakangi disahkannya undang-undang mengenai pemerintahan di daerah
pada tahun 1974.

Setelah memperkuat kontrol politik dan mengesahkan UU No. 5/1974 yang bersifat sentralistis,
pemerintah pusat harus menunjukkan kinerja dan membuktikan kemampuannya untuk menghasilkan
pembangunan ekonomi. Dari sisi pendapatan, ada dua faktor utama yang memungkinkan pemerintah pusat
mendanai pembangunan daerah : 1) rezeki minyak yang tiba-tiba menjadi sumber pendapatan utama, dan 2)
penyerapan utang luar negeri.

Di samping pemanfaatan program-program pembangunan, Soeharto senantiasa menggunakan


kekuatan militer dan represi politik untuk memelihara stabilitas serta menundukkan perlawanan terhadap rezim
yang sentralistis.

Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru di bawah
Soeharto pada awal tahun 1998. Sidang istimewa MPR pada tahun 1998 mengamanatkan pemerintah untuk
melaksanakan desentralisasi dan menanggapi tuntutan-tuntutan daerah. Untuk menanggapi tuntutan-tuntutan
tersebut, UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dibahas di tengah desakan bertubi-tubi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam. Beberapa ketentuan
penting di dalam UU No. 25 tersebut adalah tentang pengaturan pendapatan asli daerah.

Ketika persiapan untuk sepenuhnya melaksanakan kebijakan desentralisasi tengah dilakukan, situasi
politik di Indonesia mengalami berbagai macam perkembangan. Timor Timur akhirnya terpisah dari Indonesia
setelah pemungutan suara yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyatnya memilih merdeka. Namun demikian,
pada bulan Juni 1999 Indonesia berhasil menyelenggarakan untuk pertama kalinya pemilihan umum yang bebas,
adil dan aman setelah sekian lama berada di bawah penindasan pemerintahan Orde Baru. Setelah pidato
pertanggungjawaban Habibie ditolak, sidang MPR memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden baru.

Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal disandera oleh para
elit politik sehingga tujuan utama dari kebijakan ini tidak dapat tercapai. Politik uang, birokrasi yang
membelanjakan dana publik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan finansial justru
semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang terlembaga.

Sebuah kompromi pada akhirnya tercapai setelah adanya amandemen yang sangat penting terhadap
UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan presiden secara langsung.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 9


Pemilihan umum legislatif tahun 2004 yang diikuti dengan suksesnya penyelenggaraan pemilihan
presiden secara langsung membawa seluruh rakyat Indonesia kearah yang lebih demokratis dan stabil. Tahun
2004 juga menandai sebuah kompromi di antara pejabat dalan jenjang pemerintahan yang berlainan dengan
disahkannya UU No. 32/2004 dan pemerintahan yang berlainan dengan dilaksanakannya UU No. 32/2004 dan
UU No. 33 Tahun 2004 yang menggantikan perundang-undangan tahun 1999.

Penerapan Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, bisa dikatakan menjadi suatu mainframe
yang sangat membantu pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemeririntahannya. Namun hal ini tidak
serta merta sempurna tanpa kekurangan. Masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, terutama dalam hal
kewenangan pemerintah daerah yang masih terbatas. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 memberikan harapan bagi pemerintah daerah untuk dapat secara penuh menyelenggarakan pemerintahan
daerah serta memanfaatkan potensi daerah dengan kebijakan desentralisasi fiskal pada Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 yang lebih menekankan pada upaya peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat.

Beberapa kekurangan juga tak luput dari penerbitan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, adalah
belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang lebih lanjut bisa dijadikan sebagai instrument penjelas
beberapa hal yang sudah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Sehingga sampai dengan
tulisan ini dibuat, masih banyak Pemerintah Daerah yang belum cukup memahami dan bisa menerapkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 secara komprehensif, intens dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

Sumber Buku :

BN Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Perkembangan Realita Otda, Sejak

Zaman Kolonial sampai Saat ini. 2005. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Kumorotomo, Wahyu. Desentralisasi Fiskal, Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004.

2008. Jakarta : Kencana

Gaffar, Afan., Rasyid, Ryaas., dan HR, Syaukani. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan.

2009. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Islamy, Irfan. 2007. Kebijakan Publik dan Desentralisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sumber Regulasi :

Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

10 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Legislasi Desa: Tantangan dan Peluang Pembuatan Kebijakan Desa

Pasca Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Muhammad Yasin

Jurnalis, Anotator UU Desa

Telp (021) 83701827 Faks (021) 83701826

Email: myasin72@yahoo.com

Abstrak: Pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa)
membawa perubahan mendasar pada kedudukan desa sebagai subjek dan objek pembangunan. Kini desa lebih
leluasa merancang berbagai kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Undang-Undang ini tak
hanya memberi hak kepada desa sebagai institusi, tetapi juga kepada masyarakat desa. Wadah untuk
mengembangkan kebijakan desa itu adalah legislasi desa. Legislasi desa bermakna proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan desa. Kajian ini bertujuan (i) menggambarkan legislasi desa yang diinginkan oleh UU
Desa; (ii) menganalisis tantangan yang mungkin muncul; dan (iii) memperkirakan peluang-peluang yang bisa
dimanfaatkan untuk memperkuat legislasi desa. Kajian ini menggunakan studi dokumen.

Kata kunci: peraturan desa, legislasi, materi muatan.

Pendahuluan

Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya UU No. 6/2014) telah
membawa perubahan penting dalam tata pemerintahan di Indonesia. Kebijakan baru ini telah menghapus
ketentuan mengenai desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sekaligus mengharuskan
kebijakan-kebijakan mengenai desa disesuaikan dengan UU No. 6/2014. Paling lambat 25 Januari 2016
mendatang, Pemerintah berkewajiban untuk menyusun seluruh kebijakan yang diamanatkan oleh UU No.
6/2014. Undang-Undang ini (Budiman Sudjatmiko, 2014: 10) telah mengubah secara mendasar beberapa hal:

 Skema, alokasi, dan besaran dana untuk desa sebagai usaha membagikan keadilan bagi rakyat terbanyak di
Indonesia.
 Jalur birokrasi perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan desa dengan memangkas jalur
birokrasi yang panjang dan penuh negosiasi, sektoral dan parsial menjadi pola satu pintu.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 11


 Penempatan rakyat desa sebagai subjek yang memiliki kedaulatan politik terhadap supra desa kedaulatan
dalam mengelola sumber daya desa, serta memulihkan kegotongroyongan rakyat desa dalam
pembangunan desa.
 Konsolidasi kelembagaan. Sebelumnya urusan desa ditagani 14 kementerian sektoral. UU ini
mengamanatkan pembentukan kementerian yang mengurusi masalah desa.

Sejalan dengan itu, salah satu perubahan penting yang dibawa adalah kedudukan desa dalam
hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Undang-Undang Pemerintahan Daerah,
baik tahun 1999 maupun 2004 memuat pengaturan desa dengan prinsip pemerintahan tidak langsung (indirect
rule), bukan pemerintahan langsung. Artinya, pemerintah pusat, melalui perangkat kebijakan hukumnya,
menetapkan sejumlah prinsip dasar tentang desa. Regulasi yang sama memberikan kewenangan kepada
pemerintahan daerah untuk melakukan pengaturan penuh terhadap desa. Desa berada di bawah hierarki dan
sekaligus di bawah subsistem pemerintahan daerah. Pengaturan semacam itulah yang disebut Sutoro Eko (2013:
311) sebagai ‗cek kosong‘ regulasi yang diberikan kepada bupati/walikota. Kepala daerah bisa mengisinya
sesuai dengan pilihan-pilihan politik lokal.

Melalui UU No. 6/2014, desa menjadi lebih mandiri untuk merancang berbagai kebijakan sesuai
dengan kebutuhan riil masyarakat dan pemerintahan desa tersebut. Undang-Undang ini tidak hanya memberikan
hak kepada desa sebagai institusi, tetapi juga kepada masyarakat desa sebagai sekumpulan warga yang punya
kepentingan bersama. Kepentingan bersama harus selalu berada di garda depan atau di atas kepentingan pribadi
anggota warga desa. Proses pengaturan kepentingan bersama melalui perangkat hukum yang tersedia untuk desa
itulah yang disebut legislasi desa. Legislasi desa, karena itu, adalah proses pembuatan peraturan-peraturan desa
untuk mengatur kepentingan bersama masyarakat desa. Sebagai sebuah proses, legislasi desa meliputi
perencanaan, pembuatan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi.

Pengaturan desa melalui Undang-Undang tersendiri, terpisah dari Undang-Undang Pemerintahan


Daerah, adalah cara untuk memperkuat basis pencapaian tujuan. Tujuan-tujuan pengaturan desa adalah: (a)
memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada selama lengkap dengan keberagamannya,
sesuai prinsip bhinnneka tunggal ika; (b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia; (c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya
masyarakat desa; (d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan
potensi dan aset desa agar bisa dipakai untuk kesejahteraan bersama; (e) membentuk pemerintahan desa yang
professional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; (f) meningkatkan pelayanan publik bagi
warga masyarakat desa; (g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa; (h) memajukan
perekonomian desa sekaligus mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan (i) memperkuat masyarakat
desa sebagai subjek pembangunan.

Selama puluhan tahun, desa tak bisa leluasa mengatur dirinya sendiri. Kebijakan pembangunan di desa
bersifat top down, ditentukan oleh kabupaten/kota. Inisiatif lokal kurang berkembang, bukan saja karena tak
mendapatkan apresiasi sebagaimana mestinya, tetapi juga sengaja dihambat karena alasan-alasan politik. Namun
dalam perkembangannya, pendekatan ‗atas-bawah‘ tak bisa lagi dipertahankan sepenuhnya, sebagian karena
pengakuan konstitusional atas hak masyarakat adat atas hutan, atau pengakuan hak pemerintahan desa
mempersoalkan regulasi yang dikeluarkan bupati/walikota.

12 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


UU No. 6/2014 telah mengakui asas rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi mengandung arti
pengakuan terhadap hak asal usul desa, yang berarti pula pengakuan terhadap modal sosial yang dimiliki desa
selama ini seperti nilai-nilai kegotongroyongan. Subsidiaritas mengandung arti penetapan kewenangan berskala
lokal dan pengambilan keputusan skala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Kedua asas ini tentunya
memperkuat desa dalam menjalankan kewenangannya.

Asumsinya, pengaturan yang basisnya lebih kuat akan membuat desa lebih mendiri dalam banyak hal.
Kemandirian itu bisa tampak antara lain dalam proses pembuatan kebijakan desa, yang dalam bahasa
perancangan peraturan disebut sebagai legislasi. Makalah ini dititikberatkan pada tiga hal: pertama, model
legislasi desa yang diinginkan oleh penyusun UU No. 6/2014; kedua, menganalisis tantangan yang mungkin
muncul; dan ketiga memperkirakan peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat legislasi desa.

Legislasi Desa

Kewenangan untuk menjalankan proses legislasi desa diberikan kepada Kepala Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Hasil akhir proses legislasi desa itu adalah peraturan desa. Dengan kata lain,
peraturan desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
diseakati bersama BPD.

Jika dibaca dalam teks historis pembahasan RUU Desa jelas bahwa pemberian kewenangan membuat
peraturan desa tak lepas dari pengakuan terhadap desa sebagai ‗kesatuan masyarakat hukum‘. Pengakuan itu
eksplisit disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 6/2014 berikut:

―Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia‖.

Pertanyaannya kemudian adalah dalam bentuk apa kesatuan masyarakat hukum itu mengatur dan
mengurus kepentingannya. UU No. 6/2014 mengenal tiga jenis kebijakan yang dikualifikasi sebagai peraturan di
desa, yaitu:

1. Peraturan Desa (Perdes)


2. Peraturan Bersama Kepala Desa; dan
3. Peraturan Kepala Desa.

Perdes adalah jenis peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama
BPD. Peraturan Bersama Kepala Desa adalah peraturan yang ditetapkan oleh minimal dua kepala desa dalam
rangka kerjasama antardesa. Peraturan Kepala Desa adalah regeling yang dibuat dan ditetapkan oleh Kepala
Desa.

Istilah Peraturan Desa sebenarnya bukan nomenklatur baru dalam UU No. 6/2014. Pasal 105 UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah mengenalnya saat menyinggung kewenangan Badan
Perwakilan Desa dan Kepala Desa menetapkan peraturan desa. Tetapi tidak dijelaskan apa yang dimaksud
peraturan desa, jenis-jenisnya, dan kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Penjelasan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 13


pasal itu hanya menyebutkan: ‗Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan
kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada camat”. Dalam UU
No. 5 Tahun 1979 tentang Desa disebut istilah lain yaitu Keputusan Desa.

Dalam rangka proses legislasi desa, ada empat aspek yang perlu dikaji lebih mendalam untuk
mengetahui tantangan dan peluang yang akan dihadapi. Pertama, aspek formalitas kebijakan, yakni bagaimana
kebijakan regulatif desa dibuat, lembaga mana yang punya wewenang untuk mengusulkan, membahas, dan
menetapkan. Beda jenis peraturan pasti berbeda pula mekanisme pembentukannya.

Panduan utama dalam proses pembentukan suatu regulasi adalah UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (UU P3). Salah satu asas pembentukan adalah kelembagaan atau
pejabat pembentuk yang tepat. Asas ini mengandung arti bahwa suatu peraturan desa harus dibuat oleh lembaga
yang berwenang. Pertanyaannya, apakah kepala desa dan BPD dalam konstruksi UU No. 6/2014 punya fungsi
regulatif atau kewenangan membuat peratuan. Jawabannya ada dalam rujukan berikut ini.

 Pasal 26 ayat (2) huruf d: ―Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
berwenang…(d) menetapkan Peraturan Desa”. Pasal 26 ayat (3) huruf b: ―Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak….(b) mengajukan rancangan dan menetapkan
Peraturan Desa”.
 Pasal 62 huruf a: ―Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak…(a) mengajukan usul rancangan
Peraturan Desa”. Pasal 55 juga menegaskan bahwa salah satu fungsi BPD adalah membahas dan
menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa.

Dengan demikian, secara formal, kepala desa punya hak mengajukan usul Rancangan Peraturan Desa
(Ranperdes), sekaligus memiliki kewenangan menetapkan bersama-sama dengan BPD. Jika suatu peraturan itu
diterbitkan sendiri oleh kepala desa, maka bentuknya adalah Peraturan Kepala Desa. Jika beberapa orang kepala
desa membuat suatu peraturan bersama mengenai kerjasama antar desa, maka bentuknya Peraturan Bersama
Kepala Desa.

Dalam proses pembentukan Perdes ada asas prinsipil yang tak boleh dilanggar, yaitu larangan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini berarti meskipun desa mempunyai
kemandirian dalam membentuk Perdes, tetapi ia tidak sepenuhnya bebas menentukan apa yang akan diatur.
Apalagi kalau sudah menyangkut materi muatannya.

Kedua, aspek substansial kebijakan, atau yang lazim disebut aspek materi muatan. Aspek ini berfokus
pada materi apa yang akan diatur oleh setiap jenis peraturan. Dalam konteks desa, ini berarti menekankan pada
apa saja yang boleh diatur dan diurus oleh desa. Parameter utama menentukannya adalah kewenangan desa.
Interprestasi tekstual UU No. 6 Tahun 2014 juga bisa digunakan. Lihat misalnya rumusan Pasal 69 ayat (4) yang
sudah menyebut eksplisit materi muatan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), pungutan,
tata ruang, dan organisasi pemerintah desa.

Jika ditelusuri proses pembahasan Undang-Undang ini tampak jelas bahwa penetapan peraturan desa
merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa. Kewenangan itu pada dasarnya meliputi:

a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul.

14 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


b. Kewenangan lokal berskala desa.
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota; dan
d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menariknya, batas-batas kewenangan yang bisa dituangkan desa ke dalam bentuk regulasi telah
menjadi perdebatan dalam sidang-sidang pembahasan RUU Desa. Praktikno, seorang ahli yang dihadirkan
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), misalnya, mengkhawatirkan kewenangan-kewenangan yang
pembagiannya tidak jelas. Seorang ahli ilmu administrasi negara, Hanif Nurkholis, yang juga diundang,
memberi contoh lain tentang batasan kewenangan untuk bidang-bidang yang sudah diatur sektoral melalui
peraturan pusat.

Tabel 1 – Materi Muatan Peraturan Tingkat Desa

Jenis Peraturan Materi Muatan

Peraturan Desa Pelaksanaan kewenangan desa dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi

Peraturan Bersama Kepala Materi kerjasama desa


Desa

Peraturan Kepala Desa Materi pelaksanaan peraturan desa, peraturan bersama Kepala Desa dan
tindak lanut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sumber: Diolah dari Permendagri No. 111 Tahun 2014.

Ketiga, aspek partisipasi, dalam arti bagaimana masyarakat desa dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan. Normanya sudah jelas: masyarakat desa berhak memberikan masukan terhadap Ranperdes. Ini adalah
keterlibatan warga desa secara langsung dalam pembuatan kebijakan. Sebenarnya, ada keterlibatan tidak
langsung warga desa, yaitu memberikan masukan melalui wakil-wakil mereka di BPD. UU No. 6/2014 telah
mengatur siapa saja yang menjadi representasi warga desa.

Sebuah Ranperdes wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa, terlepas dari soal siapa yang
mengajukan usulan Ranperdes. Jika tidak dikonsultasikan sebelumnya maka pengesahan suatu Ranperdes akan
mengalami cacat formal. Sebaliknya, masyarakat desa berhak menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan
atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Partisipasi warga
desa tak hanya dalam pembuatan/penyusunan. Pelaksanaan kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan desa berskala lokal diawasi oleh masyarakat desa dan Badan Permusyawaratan Desa.

Secara sederhana, proses pembahasan Ranperdes yang melibatkan partisipasi publik dapat digambarkan
sebagai berikut:

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 15


1.
Identifikasi
6. Masalah 2.
Sosialisasi/ Identidikasi
Pengesahan Landasan
Hukum
Rancangan
Perdes

5.
Pembahasan/ 3. Penulisan
Ranperdes
Revisi
4.
Konsultasi
Publik

Gambar 1-Proses Pembahasan Raperdes

Aspek keempat menyangkut publikasi atau transparansi kebijakan yang dibuat. Suatu kebijakan publik
yang bersifat regulasi (baca: peraturan perundang-undangan) wajib disebarluaskan. Di satu sisi pemerintah
punya kewajiban itu, di sisi lain masyarakat berhak mendapatkan informasi mengenai peraturan perundang-
undangan sesuai amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (LAN, 2010: 71). Suatu
kebijakan haruslah disahkan agar ada penerimaan bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-
ukuran yang diterima (M. Irfan Islamy, 1992: 101).

UU No. 6/2014 telah memperkenalkan apa yang disebut sebagai Lembaran Desa dan Berita Desa, yang
bisa dipastikan merujuk pada Lembaran Negara/Berita Daerah dan Berita Negara/Berita Daerah. Lembaran
Desa adalah tempat pengundangan Peraturan Desa, sedangkan Berita Desa adalah tempat pengundangan
Peraturan Kepala Desa. Proses pengundangan dilakukan oleh Sekretaris Desa. Proses pengundangan itu
bertujuan agar semua warga desa mengetahui adanya regulasi yang diterbitkan. Atas dasar itu pula warga berhak
tahu atas materi peraturan desa. Jika warga merasa keberatan, harus ada mekanisme evaluasi atau review bagi
warga.

Tantangan dan Peluang

Bagian di atas sudah mendeskripsikan sekaligus menjawab pertanyaan tentang model atau jenis
peraturan yang dibuat di desa. Bagian berikutnya berusaha mendeskripsikan apa saja tantangan yang muncul
dalam proses legislasi desa tersebut, dan peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan agar regulasi yang dibuat
lebih kuat dan bermanfaat.

Pada saat RUU Desa dibahas di DPR, informasi yang diperoleh anggota Dewan menyebutkan sudah
ada 73 ribu desa dan 8 ribu kelurahan di seluruh Indonesia. Dalam buku Indeks Kode dan Data Wilayah
Administrasi per provinsi, kabupaten/kota tahun 2013 tercatat jumlah desa adalah 72.944 dan jumlah kelurahan
adalah 8.309. Totalnya, 81.253 desa/kelurahan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik, jumlah
desa pada 2013 adalah 80.714. Data manapun yang dipakai, yang jelas jumlah desa terus berkembang. Jika
digunakan pendekatan penggenapan seperti yang dilakukan DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU

16 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Desa, maka jumlah regulasi yang dihasilkan di seluruh Indonesia akan sangat banyak. Hitungan kasar saja jika
setiap desa membuat dua Perdes (APBDes dan struktur organisasi desa), maka akan ada 81.000 x 2 = 162.000
Perdes. Artinya, akan ada pembuatan Perdes secara massif jika desa ingin benar-benar memanfaatkan Perdes
sebagai sarana mengatur dirinya sendiri.

Banyaknya Perdes yang mungkin dihasilkan membuat para perumus kebijakan UU No. 6/2014
mengubah mekanisme review terhadap Perdes. Jika berangkat dari konsep konstitusi, maka setiap peraturan
perundang-undangan yang levelnya di bawah Undang-Undang bisa diuji ke Mahkamah Agung (MA). Masalah
ini ada kaitannya dengan kedudukan Perdes dalam hierarki kebijakan yang berlaku di Indonesia saat ini.
Sebenarnya, sejak 2011, Perdes tak lagi masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, tetapi
kemudian oleh UU No. 6/2014 kedudukannya sebagai regeling diperkuat lagi. Kalau dikualifikasi sebagai
peraturan perundang-undangan, maka Perdes bisa diuji ke MA. Padahal, konsepsi ini justru akan membuat MA
kerepotan mengingat jumlah Perdes yang dihasilkan dan kemungkinan pengajuan reviewnya oleh anggota
masyarakat. Memasukkan Perdes ke dalam tata urutan perundang-undangan dinilai Jimly ‗sudah sangat
berlebihan‘. Solusi atas persoalan ini adalah executive preview (Jimly Asshiddiqie, 2006: 105-106).

Gagasan executive preview itu kemudian tercermin dalam Pasal 69 ayat (4) sampai ayat (8) UU No.
6/2014, berupa evaluasi oleh bupati/walikota, tetapi terbatas pada rancangan Peraturan Desa mengenai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintahan desa. Dalam hal ini,
yang melakukan review adalah bupati/walikota. Bupati/walikota sudah harus menyerahkan hasil review paling
lambat 20 hari setelah diterimanya rancangan Perdes dimaksud. Jika ada catatan dari bupati/walikota, Kepala
Desa wajib memperbaikinya. Kepala Desa memiliki waktu 20 hari untuk melakukan koreksi. Jika tidak ada
catatan bupati/walikota, maka Perdes itu berlaku dengan sendirinya dan harus diundangkan oleh Sekretaris
Desa.

Masuknya dana desa yang diperkenalkan lewat UU No. 6/2014 mendorong desa untuk membuat tata
kelola keuangan. Minimal desa membuat APBDes. Jika tidak, ancaman terjerat kasus korupsi akan selalu
menghantui kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa. Apalagi jika di desa terjadi pertarungan politik
antara kekuatan kepala desa dengan anggota BPD.

Pemberian kewenangan kepada desa membuat regulasi sebenarnya tak sekadar berimplikasi pada
jumlah Perdes yang akan dihasilkan, tetapi juga pada kapasitas. Dalam diskusi-diskusi penyusunan Anotasi UU
Desa, isu ini juga mencuat. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas kepala desa dan perangkat
desa lainnya, serta BPD untuk membuat Perdes yang memenuhi syarat baik formal maupun substansial. Selama
ini, pemerintahan desa bukanlah orang yang dilatih dan terlatih untuk menjadi penyusun dan perancangan
peraturan perundang-undangan (legal drafter). Menjadi drafter membutuhkan keahlian khusus tentang
mekanisme, substansi, dan bahasa yang dipakai. Tantangannya semakin besar karena Sekretaris Desa tak lagi
diwajibkan berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setidaknya, PNS punya pengalaman birokrasi dan tata
kelola persuratan, sehingga memahami bagaimana mengundangkan suatu peraturan desa dalam Lembaran Desa
atau Berita Desa.

Tantangan ini sebenarnya menjadi peluang juga bagi Kementerian Dalam Negeri untuk memperkuat
biro hukum, Kementerian Desa dan Transmigrasi untuk membuat direktorat khusus advokasi kebijakan desa,
atau Kementerian Hukum dan HAM untuk menguatkan kemampuan drafting perangkat pemerintahan desa.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 17


Namun jika dibaca Naskah Akademik RUU Desa, peningkatan kapasitas legislasi desa lebih ditekankan pada
kabupaten/kota.

―Fasilitasi pemerintahan kabupaten terhadap penyusunan peraturan desa sangat diperlukan untuk
mempermudah dan membangun kapasitas pemerintah desa untuk menyusun Perdes baik. Pengawasan
(supervise) kabupaten terhadap peraturan desa sangat diperlukan agar perdes tetap berjalan sesuai
norma-norma hukum”.

Peningkatan kapasitas itu juga disinggung dalam Pasal 112 ayat (3) yang mewajibkan pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota untuk ‗meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan‘. Peningkatan kapasitas memudahkan pemerintahan desa menyusun
program legislasi desa, terutama yang menyangkut hal-hal yang bersifat strategis. Ada tujuh hal yang
dianggap strategis dan harus dimusyawarahkan oleh masyarakat desa. Semakin strategis suatu urusan semakin
penting pilar regulasinya diperkuat. Ketujuh hal strategis tersebut adalah:

1. Penataan desa.
2. Perencanaan desa.
3. Kerjasama desa
4. Rencana investasi yang masuk ke desa.
5. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa.
6. Penambahan dan pelepasan aset desa, dan
7. Kejadian luar biasa.

Peningkatan kapasitas bukan hanya berkaitan dengan aspek formal pembentukan Perdes, tetapi juga
kemampuan memilah-milah substansi yang menjadi prioritas. Menurut Sutoro Eko (2013) setidaknya ada lima
bentuk kapasitas desa (termasuk di dalamnya Kepala Desa) yang perlu dikembangkan dalam rangka
membangun otonomi desa. Pertama, kapasitas regulasi (mengatur), yaitu kemampuan pemerintah desa
mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan Perdes berdasarkan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapasitas ekstraksi, yaitu kemampuan mengumpulkan,
mengerahkan, dan mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan
warga masyarakat desa. Ketiga, kapasitas distributif, yaitu kemampuan pemerintah desa membagi sumberdaya
desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Keempat, kapasitas
responsif, yaitu kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga
masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan. Kelima, kapasitas
jaringan dan kerjasama, yaitu kemampuan mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam
rangka mendukung kapasitas ekstraktif.

Desa haruslah membuat prioritas-prioritas untuk diatur dan disepakati bersama antara kepala desa dan
BPD. Seperti disebutkan di awal, substansi apa yang boleh diatur desa belum sepenuhnya tuntas meskipun ada
jawaban ‗kewenangan bersifat lokal‘. Misalkan, ada eksplorasi tambang yang meliputi wilayah suatu desa.
Perusahaan tambang ‗datang‘ melalui bupati sehingga mendapat lampu hijau melakukan eksplorasi. Bisakah
desa membuat Perdes tentang tata ruang yang ‗melarang‘ eksplorasi tambang di wilayah desanya? Pertanyaan
ini masih berlanjut, bagaimana kalau kepala desa setuju bupati tetapi warga desa dan BPD menolak? Penting
untuk diingat bahwa kepala desa bukan hanya kepala pemerintahan, tetapi juga melakukan pemberdayaan

18 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


masyarakat. UU Desa bukan menempatkan kepala desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah, melainkan
sebagai pemimpin masyarakat (Bito Wikantosa, 2015).

Mekanisme pengambilan keputusan dan mekanisme penyelesaian sengketa adalah dua tantangan
lain dalam proses legislasi desa. Selalu ada kemungkinan masalah dalam pengambilan keputusan, sehingga
perlu ada mekanisme penyelesaian sengketa administratif. Pengambilan keputusan yang dimaksud dalam
konteks ini adalah pengambilan keputusan dalam penyusunan Perdes yang ditetapkan Kepala Desa bekerjasama
dengan BPD. Menurut UU No. 6/2014, Perdes dibahas dan disepakati bersama Kepala Desa dan BPD.
Artinya, jika ada pihak yang tidak mau membahas atau tidak menyepakati, maka Perdes itu tak jadi. Inilah yang
disebut sebagai basis demokrasi penyusunan peraturan desa. Sebagai sebuah produk politik, peraturan desa
harus diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni mengikutsertakan partisipasi masyarakat.

Namun bukan berarti tidak ada peluang sengketa atau keberatan dari warga yang merasa tidak
terwakili. Dalam pengambilan keputusan bisa saja muncul sengketa antara Kepala Desa dengan BPD, bahkan
mungkin berakar dari ketidaksukaan Kepala Desa terhadap anggota BPD. Penelitian Tri Ratnawati (2006: 211)
di Desa Rejosari Kabupaten Bantul Yogyakarta membuktikan adanya potensi konflik antara Kepala Desa
dengan BPD meskipun sudah diatur mekanismenya dalam Perda. Konflik ini malah berimas lebih jauh pada
perpecahan perangkat (pamong) desa.

Peluang lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat desa dari UU No. 6/2014 adalah mengangkat
kembali keberagaman desa. Keanekaragaman desa di Indonesia adalah sebuah anugerah dan kekayaan yang
perlu dikelola dengan baik. Konflik-konflik perkebunan dengan masyarakat desa tak lepas dari pemutusan akses
masyarakat desa terhadap pengelolaan kekayaan mereka sendiri. Pengakuan UU No. 6/2014 tentang desa adat
adalah peluang mengangkat kembali kekayaan cultural masyarakat desa yang selama puluhan tahun coba
diseragamkan. Tetapi, penting diingat, bahwa ini juga menjadi tantangan karena akan ada mekanisme
penyelesaian secara adat yang belum tentu kompatibel dengan penyelesaian kebijakan yang berlaku saat ini.

Penutup

Proses pembahasan UU No. 6 Tahun 2014 telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk
mengundang sejumlah ilmuan administrasi negara. Para ahli yang diundang hanya sekadar memberikan
masukan, karena sesuai karakternya suatu Undang-Undang disetujui bersama oleh Pemerintah (Presiden) dan
DPR. Eksekutif dan legislatif inilah yang menentukan rumusan akhir Undang-Undang berisi 122 pasal itu.
Tetapi pengakuan terhadap legislasi desa memberikan ruang bagi ilmuan administrasi negara untuk lebih banyak
terlibat. Bagaimanapun masih ada bolong-bolong yang harus ditambal pada penyusunan teknis pelaksanaan, dan
masih ada ruang yang harus diisi agar proses legislasi desa tetap berada pada koridor yang benar secara
administratif dan hukum.

Ilmuwan administrasi negara dan sarjana hukum administrasi negara perlu memastikan bahwa semua
jenis peraturan desa yang dikeluarkan tidak menabrak larangan-larangan dalam pembuatan sebuah kebijakan.
Pertama, legislasi desa tidak boleh menyebabkan terganggungnya kerukunan antarwarga masyarakat desa.
Apalagi menyebabkan konflik dengan desa lain di sekitarnya. Kedua, legislasi desa tidak boleh menyebabkan
terganggunya akses terhadap pelayanan publik. Ketiga, legislasi desa harus diusahakan untuk tidak mengganggu
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Keempat, legislasi desa tidak boleh menyebabkan terganggunya

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 19


kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat desa. Kelima, legislasi desa tidak boleh
mengatur hal-hal yang berbau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta
gender.

Referensi

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Sekretaris Jenderal

MKRI, Jakarta.

Eko, Sutoro. 2013. Daerah Inklusif: Pembangunan, Demokrasi Lokal dan Kesejahteraan.

IRE Yogyakarta.

Lembaga Administrasi Negara. 2010. Pedoman Perumusan Kebijakan. Pusat Pengkajian

Manajemen Kebijakan Deputi II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan

LAN, Jakarta.

Islamy, M. Irfan, 2006. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara,

Jakarta.

Ratnawati, Tri. 2006. Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Wikantosa, Bito. 2015. ‗Catatan Terhadap Dokumen Naskah Anotasi Hukum UU Desa

tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa‘, dalam FGD Pattiro Jakarta.

20 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat

Petrus Kase

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Nusa Cendana, Kupang – Indonesia

Telp : +62-82146486969

E-mail : kasepetrus@yahoo.co.id

Abstrak: Sejalan dengan prinsip desentralisasi yaitu otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, maka
pemerintah daerah berperan strategis untuk mensejahterakan masyarakat melalui upaya pemenuhan kebutuhan
dan kepentingan masyarakat di daerahnya. Untuk mencapai prinsip ini, maka pemerintah daerah harus
profesional dalam menerapkan pendekatan berbasis tugas dan fungsi yaitu pelayanan publik, pembangunan
fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat. Meskipun pemerintah daerah telah berupaya untuk
mensejahterakan masyarakat di daerahnya, faktor lingkungan strategis seperti politik, ekonomi, sosial budaya,
keamanan dan ketertiban sosial masih berpengaruh secara signifikan yang mendukung maupun menghambat.

Kategori : Ilmu Sosial

Kata kunci: desentralisasi, peranan, pemerintah daerah, kesejahteraan, masyarakat

Pendahuluan

Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti tercantum di dalam Pembukaan
UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Tujuan negara ini merupakan mandat konstitusi yang harus
dilaksanakan sehingga dapat tercipta kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia. Tentu saja
penanggung jawab dan penggerak utama untuk mencapai tujuan negara ini terletak pada pemerintah, sedangkan
komponen bangsa dan Negara lainnya termasuk masyarakat merupakan komponen pendukung. Pemerintah
seharusnya memainkan peranan sentral dalam upaya mencapai tujuan negara tersebut dengan mengfasilitasi
berbagai kegiatan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejashteraan umum.

Kesejahteraan di sini dapat diartikan sebagai kondisi sejahtera yaitu suatu keadaan di mana segala
bentuk kebutuhan hidup, khususnya kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan
kesehatan dapat terpenuhi. Selain pengertian ini, analisis lainya mengartikan kesejahteraan sebagai sesuatu yang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 21


berhubungan langsung dengan pendapatan dan konsumsi rumah tangga. Inti persoalannya terletak pada siapa
yang menyediakan dan siapa yang tidak menyediakan pendapatan dan seberapa besar jumlah pendapatan yang
harus diberikan. Jadi fokusnya terletak pada level konsumsi, suatu pendekatan yang lebih dikenal di Eropa
dibandingkan dengan di Amerika (Mayer dan Jencks, 1989; dalam Sherraden, 2006). Di sini, kesejahteraan
berkaitan dengan jaminan kesehatan, perumahan, bantuan keuangan langsung, pendidikan dan bidang
kesejahteraan sosial lainnya yang penekanannya terletak pada tingkat barang yang dikonsumsi dan jasa yang
disediakan. Dalam konsep ini, kemiskinan dan kesulitan diartikan sebagai tidak mencukupinya konsumsi dan
solusinya adalah dengan menemukan satu atau dua cara yang bisa membuat konsumsi cukup (Miller dan Roby,
1970; dalam Sherraden, 2006).

Berbeda dengan konsep kesejahteraan yang menekankan pada tingkat pendapatan dan konsumsi rumah
tangga, asumsi lainnya menyatakan bahwa kesejahteraan manusia terdiri dari akses manusia terhadap aset. Teori
kesejahteraan yang berbasis aset ini setidaknya memiliki dua prinsip utama. Pertama, teori ini harus dapat
melihat kesejahteraan finansial keluarga sebagai proses jangka panjang dan dinamis, dan bukan sebagai posisi
finansial selintas saja. Dinamika kualitas aset jangka panjang akan lebih baik dari pendapatan karena aset
merefleksi akumulasi finansial sepanjang hidup. Kedua, teori ini akan menjadikan lebih banyak konsumsi
masyarakat dan bahkan mungkin memakmurkan keluarga (Sherraden, 2006). Contohnya, menabung dan
mengakumulasi jumlah kekayaan (Modigliani dan Brumberg, 1954; dalam Sherraden, 2006) akan sangat
bermanfaat di masa depan. Kessler dan Masson (1987; dalam Sherraden, 2006) juga menggambarkan dua tipe
aset finansial. Pertama, S-wealth, termasuk aset untuk konsumsi di masa depan dan biaya tak terduga. Keluarga
kelas bawah dan menengah hampir secara eksklusif menganut tipe ini. Kedua, K-wealth, adalah jenis aset untuk
keuntungan ekonomi, kekuasaan sosial, dan untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. K-wealth umumnya
dikuasai oleh kelompok kelas atas.

Masih terkait dengan konsep kesejahteraan, Nurcholis (2007) menjelaskan bahwa dalam rumusan
umum, masyarakat sejahtera digambarkan sebagai masyarakat adil, makmur, sejahtera lahir dan bathin.
Rumusan ini tentu sangat abstrak. Karena itu, beberapa ahli mencoba membuat ukuran kesejahteraan
masyarakat dengan indikator-indikator yang dapat diukur secara obyektif. Indikator-indikator dimaksud
misalnya, tingkat konsumsi rata-rata per tahun, tingkat kecukupan kebutuhan dasar (basic needs), dan tingkat
pendapatan per tahun. Sayogyo dan Esmara (dalam Nurcholis, 2007) membuat klasifikasi golongan miskin di
pedesaan berdasarkan jumlah beras yang dapat dibeli oleh satu orang per tahun. Jika pendapatan seseorang per
tahun hanya dapat dipakai untuk membeli beras kurang dari 230 kilo gram maka orang tersebut tergolong
miskin atau tidak sejahtera. Bank Dunia (dalam Nurcholis, 2007) menetapkan bahwa orang yang tinggal di
perkotaan dengan pendapatan kurang dari US$125 (kurang lebih Rp. 1.250.000,00) dan yang tinggal di
pedesaan dengan pendapatan kurang dari US$95 (kurang lebih Rp. 950.000,00) dinyatakan sebagai orang
miskin atau tidak sejahtera.

Berbeda dari kedua konsep di atas, Lastardjo (dalam Nurcholis, 2007) membuat ukuran tingkat
kesejahteraan berdasarkan nilai atau rata-rata kebutuhan hidup minimum per kapita. Suatu daerah dinyatakan
sejahtera jika pendapatan per kapitanya 200% lebih besar dari kebutuhan hidup minimum. Moris (dalam
Nurcholis, 2007) menggunakan indeks kualitas fisik (physical quality of life index-PQLI). PQLI didasarkan pada
indikator-indikator seperti harapan hidup pada umur 1 tahun, tingkat kematian bayi, dan tingkat melek huruf.

22 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Badan Koordinasi Kelurga Berencana Nasional (BKKBN) (dalam Nurcholis, 2007) juga membuat klasifikasi
tingkat kesejahteraan menjadi pra sejahtera, sejahtera satu dan sejahtera dua.

Uraian di atas menunjukan bahwa kesejahteraan ditentukan oleh besarnya aset yang dimiliki untuk
modal masa depan, tingkat pendapatan dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Berdasarkan konsep ini,
seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila ia memiliki sejumlah aset yang dapat dijadikan modal masa depan,
memiliki tingkat pendapatan di atas garis kemiskinan dan terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Sebaliknya,
seseorang dapat dikatakan tidak/kurang sejahtera apabila ia tidak/kurang memiliki sejumlah aset untuk modal
masa depan, tingkat pendapatan yang rendah dan tidak/kurang terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Tercapainya
kesejahteraan seseorang dapat menyebabkan orang itu hidup dalam kondisi layak. Sebaliknya, tidak/kurang
tercapainya kesejahteraan seseorang dapat menyebabkan orang itu hidup dalam kondisi tidak/kurang layak.

Kemiskinan jelasnya menjadi suatu hambatan besar bagi tercapainya kesejahteraan karena kemiskinan
mengakibatkan banyak kebutuhan dasar manusia tidak/kurang terpenuhi. Angka kemiskinan yang tinggi di suatu
negara menunjukan bahwa sebagian besar orang atau warga di Negara tersebut tidak/kurang sejahtera. Dengan
demikian, agar kesejahteraan masyarakat tercapai maka kemiskinan harus terlebih dahulu ditanggulangi. Akan
tetapi, dari titik mana harus dimulai dan siapa yang bertanggung jawab dalam penanggulangan kemiskinan
merupakan suatu persoalan tersendiri. Kiranya dapat dikatakan bahwa penaggulangan kemiskinan harus dimulai
dari daerah karena kebanyakan masyarakat daerah hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Di
titik inilah, pemerintah daerah berkewajiban untuk berperan aktif menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Menurunnya angka kemiskinan dan meningkatnya kesejahteraan
masyarakat daerah merupakan tolok ukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Di dalam prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah, secara jelas terlihat bahwa kesejahteraan
masyarakat merupakan suatu tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prinsip-prinsip itu seperti tertulis di
dalam penjelasan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah, pertama,
prinsip otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan di luar urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Berdasarkan prinsip ini,
daerah berwenang membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, meningkatkan peran serta dan prakarasa, dan
memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sejalan dengan prinsip pertama,
dilaksanakan pula prinsip kedua yaitu prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi yang
nyata bermakna bahwa pemerintah daerah berwenang untuk menangani urusan pemerintahan berdasarkan tugas,
wewenang dan kewajiban yang nyata telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan, prinsip otonomi yang betanggung jawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yaitu untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah pun harus
selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Berdasarkan prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah tersebut, jelaslah bahwa tujuan utama
pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini tidak hanya
merupakan suatu harapan yang ingin dicapai tetapi juga menjadi suatu tuntutan yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mencapai harapan dan tuntutan tersebut, maka pemerintah daerah harus

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 23


bersikap dan bertindak profesional dan responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat melalui : (1)
upaya-upaya pelayanan prima yang secara langsung dapat memenuhi kebutuhan masyarakat; dan (2) upaya-
upaya yang bersifat mengfasilitasi, dalam arti menyediakan berbagai macam fasilitas publik yang dapat diakses
oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Akan tetapi, betapapun besarnya upaya pemerintah
daerah untuk merespons, menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, faktor lingkungan
strategis juga sering berpengaruh secara signifikan.

Metode Analisis

Makalah ini menggunakan metode studi/analisis kepustakaan, di mana bahan deskripsi dan analisis
bersumber dari buku, majalah dan dokumen lainnya yang relevan. Secara khusus, deskripsi dan analisis
kepustakaan dalam makalah ini terfokus pada dua hal pokok yaitu :

1. Bentuk-bentuk pendekatan yang digunakan pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan


masyarakat.

2. Pengaruh lingkungan strategis terhadap pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Deskripsi dan analisis kepustakaan dalam makalah ini dilakukan melalui prosedur yaitu mengumpulkan
dan mengorganisasi bahan bacaan yang relevan, membaca bahan bacaan tersebut dan membuat catatan yang
relevan, mendeskripsikan dan menganalisis data dan informasi yang relevan, dan akhirnya membuat interpretasi
untuk menemukan makna dari data dan informasi yang relevan dengan kedua aspek kajian tersebut di atas.

Pembahasan
1. Pendekatan Berbasis Tugas dan Fungsi

Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan yang harus dicapai dan tuntutan yang harus dipenuhi
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pencapaian tujuan dan tuntutan ini sepenuhnya menjadi tugas,
fungsi, wewenang dan tanggung jawab utama pemerintah daerah. Perwujudan tugas, fungsi, wewenang dan
tanggung jawab tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk bersikap
dan bertindak profesional dalam arti tidak hanya ahli, trampil dan disiplin tetapi juga proaktif, kreatif dan
responsif dalam mengelola perubahan, potensi dan sumberdaya yang dimiliki daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Sikap dan tindakan pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dapat dilakukan melalui tiga pendekatan utama sesuai dengan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan daerah yaitu pelayanan terhadap individu warga maupun publik, pembangunan fasilitas ekonomi
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan perlindungan masyarakat.

Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan salah satu tugas dan fungsi utama pemerintah daerah, yang dilaksanakan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat tentu berharap bahwa pemerintah daerah akan selalu
bersikap dan bertindak profesional dalam memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas kepada mereka
sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, pada gilirannya, mereka akan memperoleh
atau menikmati kesejahteraan karena kebutuhan mereka dapat terpenuhi melalui pelayanan pemerintah daerah.

24 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pemerintah daerah yang baik adalah pemerintah daerah yang profesional dalam merespons pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Istilah pelayanan publik memiliki beberapa arti. Menurut Sinambela et. al (2006) pelayanan publik
adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia dalam suatu kumpulan atau
kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Kurniawan
(2005) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat
yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah
ditetapkan.

Nurcholis (2007) mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh Negara
dan perusahaan milik Negara (BUMN) kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Lembaga Administrasi Negara (LAN, 1998) mengartikan pelayanan
umum sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintahan di pusat, daerah dan
di lingkungan badan usaha milik Negara/daerah (BUMN/D) dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam
rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang
diberikan oleh pelaksana pelayanan publik (Negara/pemerintah dan BUMN/D) untuk memenuhi kebutuhan
dasar dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. John Wilson (1993; dalam Nurcholis, 2007)
mengemukakan bahwa pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk dalam sektor publik,
bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/D.
Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan pelayanan publik seperti kesehatan,
pendidikan, keamanan dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran.

Nurcholis (2007) menjelaskan bahwa sektor publik jelas berbeda dengan sektor privat. Karena itu,
barang dan jasa publik jelasnya berbeda dengan barang dan jasa privat. Barang dan jasa publik adalah barang
dan jasa yang dapat digunakan secara bersama oleh semua orang tanpa seorang pun dikecualikan dalam
menggunakannya (non excluidable). Yang termasuk dalam barang-barang dan jasa publik adalah jalan raya,
lampu penerangan jalan, jasa pendidikan, penyuluhan dan penjagaan kesehatan, imunisasi, penyuluhan
pertanian, jasa pemadam kebakaran, jasa pertahanan Negara dan jasa keamanan. Barang dan jasa ini disediakan
oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sebaliknya, barang dan jasa privat adalah barang dan jasa kebutuhan
perorangan seperti pakaian, sepatu, arloji, rumah, sepeda motor, televisi, dan mobil pribadi. Barang-barang
tersebut disediakan oleh badan privat atau lembaga milik swasta. Misalnya, Perseroan Terbatas (PT) Sony
memproduksi televisi Sony, PT. Bata memproduksi sepatu Bata dan sebagainya. Selain itu, ada juga barang dan
jasa yang posisinya di tengah-tengah antara sektor publik dan sektor privat seperti air minum, listrik, angkutan
umum, telepon, bahan bakar, jasa siaran berita, dan jasa pengiriman pos. Barang-barang dan jasa ini disediakan
oleh lembaga semi privat atau semi publik yaitu lembaga ekonomi milik Negara atau daerah yang disebut
BUMN/D. Misalnya, PT Telkom, PT Kereta Api Indonesia, PT Pos Indonesia, perusahaan daerah air minum
(PDAM), Bank Pembangunan Daerah, televisi daerah atau radio pemerintah daerah dan sebagainya. BUMN/D
adalah lembaga ekonomi yang bekerja atas prinsip-prinsip perusahaan swasta namun sahamnya sebagian
dikuasai oleh Negara. Lembaga ini tidak semata-mata didirikan untuk mencari untung sebanyak-banyaknya
tetapi utamanya untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan publik secara berkesinambungan dan wajar.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 25


Sebenarnya lembaga ini menjalankan dua misi yaitu memenuhi kebutuhan publik secara terus menerus dalam
kondisi apapun, baru setelah itu mencari untung.

Lebih jauh, Nurcholis (2007) menjelaskan perbedaan ciri-ciri barang dan jasa yang termasuk sektor
publik, sektor privat dan semi publik atau semi privat yaitu :

1. Barang dan jasa yang termasuk dalam sektor privat :

a. Disediakan oleh lembaga privat/swasta;

b. Perusahaan yang memproduksi bertujuan untuk mencari untung;

c. Hanya orang yang bisa membayar yang mendapatkannya.

2. Barang dan jasa yang termasuk dalam sektor publik :

a. Disediakan oleh Negara;

b. Negara harus menyediakan barang tersebut tanpa dikaitkan dengan kondisi dan atau latar belakang
publik seperti aspirasi, politik, agama, suku, sosial budaya dan etnisitas;

c. Semua orang harus dapat memanfaatkan barang tersebut tanpa kecuali dan tanpa membayar secara
langsung.

3. Barang dan jasa yang termasuk antara sektor privat dan sektor publik :

a. Disediakan oleh BUMN/D dengan penugasan oleh Negara;

b. Barang tersebut merupakan kebutuhan dasar, kebutuhan hayat hidup orang banyak;

c. Orang yang memanfaatkan harus membeli dengan harga terjangkau;

d. Disediakan secara terus menerus dalam kondisi apapun.

Dalam rangka memberikan pelayanan publik yang baik dan berkualitas, pemerintah daerah harus
menyediakan barang dan jasa publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penyediaan barang dan jasa publik tentu
harus berpijak pada prinsip pelayanan prima yaitu pelayanan yang sesuai dengan nilai-nilai, standar, harapan
dan kepentingan masyarakat. Apabila kriteria-kriteria ini dapat dipenuhi dengan baik, maka pelayanan publik
akan selalu memuaskan masyarakat yang bersangkutan.

Jenis barang dan jasa publik yang dibutuhkan masyarakat dan harus disediakan oleh pemerintah daerah
tentu berbeda-beda sesuai dengan potensi, kondisi, aspirasi dan kebutuhan dari daerah masing-masing. Akan
tetapi, secara umum, jenis barang dan jasa publik yang dibutuhkan dan harus disediakan oleh pemerintah daerah
antara lain : lampu penerangan jalan, lampu suar, lampu pengatur lalulintas, jalan raya, taman kota, trotoar,
patroli keamanan, siaran berita oleh Radio republik Indonesia/Televisi Republik Indonesia (RRI/TVRI),
imunisasi, bendungan, pintu air, saluran irigasi, pemadam kebakaran, penjagaan serangan dari luar, dan
perlindungan dari kejahatan dan lapangan umum, serta pelayanan umum seperti pemberian kartu tanda
penduduk (KTP), ijin mendirikan bangunan (IMB), surat ijin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, surat
keterangan, izin dan surat-surat keterangan lainnya.

26 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Terdapat pula jasa publik, di mana masyarakat yang memanfaatkanya harus membayar dengan biaya
tertentu dengan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah. Jasa-jasa publik tersebut adalah layanan pembuatan
KTP/SIM, sertifikat tanah, pencatatan perkawinan, surat keterangan jalan, pembuatan paspor, pemeriksaan
kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit umum, mengikuti pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai
dengan pendidikan tinggi, penggunaan taman parkir, penggunaan terminal/pelabuhan dan Bandar udara/pasar,
pelayanan pos, pemberian izin, penyediaan air bersih, aliran listrik, sambungan telepon, angkutan umum dan
bahan bakar.

Barang dan jasa publik dapat pula dikelompokan atas bidang-bidang. Nurcholis (2007)
menggambarkan pengelompokan tersebut sebagai berikut : (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) keagamaan; (4)
lingkungan yang terdiri atas : penataan lingkungan kumuh (mandi cuci kakus, hydrant umum, jalan-jalan
setapak, gang-gang sempit), tata kota/tata bangunan, taman, kebersihan, kesehatan lingkungan (polusi, penyakit
menular, penyakit yang ditularkan melalui binatang flu burung, malaria, pes), saluran limbah, persampahan,
penerangan jalan, kanal pengendali banjir, pemeliharaan sungai; (5) rekreasi yang terdiri atas : sport centre /
gelanggang remaja, teater, museum, galeri, camp sites, cagar budaya, pengembangan potensi wisata kota,
turisme; (6) sosial/pengurusan orang-orang yang menyandang masalah sosial seperti : orang terlantar, anak
yatim/piatu, orang jompo, orang cacat (daksa, rungu dan mental), anak jalanan dan atau korban narkoba; (7)
perumahan; (8) pemakaman/crematorium; (9) registrasi penduduk (kelahiran, kematian dan perkawinan); (10)
air minum; (11) legalitas hukum (KTP, paspor, sertifikat tanah, IMB, surat kepemilikan, surat keterangan, surat
izin, surat kelakuan baik).

Pelayanan publik tersebut dapat diberikan kepada masyarakat secara perorangan maupun
khalayak/publik. Pelayanan untuk perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB, sertifikat tanah, paspor,
surat izin, dan surat keterangan. Dalam pelayanan ini, pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dengan
biaya murah, cepat, baik dan adil. Pelayanan untuk khalayak/publik mencakup pembuatan lapangan sepakbola,
taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, penerangan jalan, rambu lalulintas, panti yatim
piatu/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.

Pembangunan Fasilitas Ekonomi

Membangun fasilitas ekonomi daerah juga merupakan salah satu tugas dan fungsi utama pemerintah
daerah. Membangun fasilitas ekonomi sebagai sarana publik untuk menumbuhkan perekonomian daerah
merupakan suatu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sama halnya dengan aspek pelayanan
publik, masyarakat tentu berharap agar pemerintah daerah selalu bersikap dan bertindak professional dalam
menyediakan fasilitas ekonomi sehingga mereka dapat memanfaatkan fasilitas tersebut untuk melaksanakan
berbagai macam aktivitas perekonomian. Pemerintah daerah yang baik adalah pemerintah daerah yang
profesional dalam merespons kebutuhan dan kepentingan masyarakat akan tersedianya fasilitas perekonomian
daerah.

Terdapat berbagai jenis fasilitas perekonomian daerah yang dapat disediakan oleh pemerintah daerah.
Fasilitas ekonomi yang dimaksud adalah pasar, taman parkir, jalan raya, jembatan, pelabuhan, pergudangan,
bendungan, irigasi teknis, pintu-pintu air, waduk, pembangkit listrik tenaga air/gas/uap (PLTA/G/U), bursa
tenaga kerja, bursa komoditi, informasi pasar, kredit usaha, fasilitas ekspor dan lain-lain. Selain

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 27


ketersediaannya, masyarakat biasanya berharap bahwa fasilitas-fasilitas itu memiliki kondisi yang berkualitas
baik sehingga memudahkan masyarakat dalam memanfaatkannya dan mengembangkan usaha dan
meningkatkan pendapatannya. Untuk itu, pemerintah daerah selain membangun, juga harus memelihara
fasilitas-fasilitas itu agar kondisinya baik, bersih, lengkap, terawat dan strategis, memberi prospek
pengembangan dan harganya terjangkau sesuai dengan tuntutan perkembangan.

Fasilitas ekonomi daerah dapat pula dikelompokan atas bidang-bidang kegiatan. Nurcholis (2007)
menggambarkan pengelompokan tersebut sebagai berikut :

1. Menyiapkan prasarana yang mendukung kegiatan perekonomian seperti pasar, gudang, jalan, komunikasi,
trotoar, road safety, marka jalan, terminal, pelabuhan dan atau dermaga, parkir, sistem transportasi
(perencanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan transportasi umum), waduk dan atau pintu-pintu air/saluran
irigasi.

2. Mengatur urusan-urusan perizinan, menentukan peruntukan lahan, membantu perkreditan, pengadaan dan
penyiapan lahan untuk kepentingan prasarana umum, perlindungan konsumen dan peningkatan mutu
produksi.

3. Mengatur pedagang kaki lima, pengaturan dan peningkatan sektor informal dan indusri kecil, pemberian
dan pengembangan ketrampilan, dan membentuk job centre sebagai bursa tenaga kerja.

4. Menggalakkan gerakan swadaya masyarakat dalam pembangunan melalui lembaga swadaya masyarakat
(LSM), koperasi, dan sukarelawan.

Pembangunan fasilitas perekonomian daerah akan memberikan sejumlah manfaat kepada masyarakat
dan pemerintah daerah itu sendiri. Secara umum, pembangunan fasilitas ekonomi daerah akan memperlancar
kegiatan ekonomi masyarakat di daerah. Pada gilirannya, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah yang
bersangkutan akan meningkat. Misalnya, dengan adanya pasar, pemasaran hasil-hasil produk masyarakat akan
lebih mudah sehingga pendapatan masyarakat juga akan meningkat. Dengan pembangunan jalan raya, lalulintas
barang dan jasa dari desa ke kota atau sebaliknya menjadi lancar sehingga transaksi perdagangan meningkat.
Dengan pembangunan pelabuhan, lalulintas barang baik ekspor impor maupun antar pulau menjadi lancar.
Dengan pembangunan waduk, pintu air dan irigasi maka sawah tadah hujan bisa digarap sepanjang musim
karena pengairannya dapat diatur secara teknis. Semua ini berdampak pada peningkatan kegiatan ekonomi
masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Jika masyarakat
sejahtera maka pendapatan pemerintah daerah juga meningkat karena pemerintah daerah akan mendapatkan
pemasukan dari pajak, retribusi, sumbangan dan jasa lainnya dari masyarakat yang makin luas dan meningkat.
Karena itu, pemerintah daerah harus aktif melakukan pembangunan sarana dan fasilitas ekonomi ini.

Perlindungan Masyarakat

Memberikan perlindungan kepada masyarakat juga merupakan salah satu tugas dan fungsi utama
pemerintah daerah. Perlindungan kepada masyarakat adalah upaya untuk menciptakan ketertiban, ketentraman
dan keamanan pada masyarakat. Fungsi ini adalah fungsi yang paling dasar dari pemerintahan karena ia
merupakan prasyarat bagi jalannya kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Sama halnya
dengan aspek pelayanan publik dan pembangunan fasilitas ekonomi daerah, masyarakat tentu berharap agar

28 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pemerintah daerah selalu bersikap dan bertindak responsif dan profesional dalam memberikan perlindungan
kepada masyarakat. Pemerintah daerah yang baik adalah pemerintah daerah yang profesional dalam merespons
kebutuhan masyarakat akan ketertiban, ketentraman dan keamanan.

Nurcholis (2007) membuat perincian mengenai fungsi perlindungan masyarakat atas bidang-bidang
kegiatan antara lain :

1. Menciptakan keamanan, ketertiban dan ketentraman yang dilaksanakan oleh aparat kepolisian, polisi
pamong praja dan tentara;

2. Memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari tindak kejahatan;

3. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bencana alam seperti banjir, tanah longsor, badai, gempa
bumi dan lain-lain;

4. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bahaya kebakaran.

Pemerintah daerah wajib menciptakan rasa aman, tentram dan tertib di daerahnya. Hal ini penting
karena masyarakat sangat membutuhkan suasana kehidupan yang tertib, aman dan tentram dalam melakukan
berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara normal. Kerusuhan, pembunuhan, pencurian,
perampokan, pembakaran rumah dan pengrusakan membuat kehidupan masyarakat tidak normal, yang pada
gilirannya membuat mereka makin sengsara. Masyarakat juga membutuhkan aparat yang benar-benar trampil
dan mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat. Karena itu, aparat keamanan dituntut untuk
profesional, bermental melayani, membantu dan mendidik masyarakat. Selain dibutuhkan sarana dan teknologi
yang memadai untuk melaksanakan tugas dan fungsi perlindungan masyarakat, aparat keamanan juga dituntut
untuk bersikap dan bertindak responsif terhadap masalah ketentraman dan ketertiban sehingga suasana
ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat di daerah benar-benar terwujud secara handal dan
tidak semu. Suasana ketentraman dan ketertiban yang handal dan tidak semu pada gilirannya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengaruh Lingkungan Strategis

Penyelenggaraan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab pemerintahan, pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah selama ini tidak pernah vakum dari pengaruh lingkungan
strategisnya. Lingkungan strategis yang dimaksud terdiri dari faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
dan pertahanan dan keamanan. Dalam tulisan ini, lingkungan strategis yang dianggap berpengaruh secara
signifikan terhadap pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibatasi pada faktor politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan
sosial. Faktor-faktor lingkungan strategis tersebut dibahas secara berturut-turut di bawah ini.

Lingkungan Politik

Lingkungan politik mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan dan kegagalan pemerintah
daerah melalui peluang dan ancaman politik yang ditimbulkannya. Dalam menjalankan tugas dan fungsi
utamanya yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat, pemerintah
daerah tidak akan pernah terlepas dari pengaruh lingkungan politik. Aspek-aspek politik yang dapat

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 29


menimbulkan peluang dan ancaman bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya
dapat berupa situasi politik, peran lembaga politik dan peran pemerintah pusat.

Situasi politik dalam negeri merupakan suatu aspek penting yang berpengaruh terhadap jalannya
kegiatan pemerintah daerah. Situasi politik yang stabil dapat memberi rasa aman, tentram sekaligus peluang,
namun sebaliknya, ketidakstabilan politik jelasnya dapat menimbulkan ancaman bagi pemerintah daerah untuk
melaksanakan tugas dan fungsi utamanya. Kerusuhan, konflik suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)
yang terjadi di beberapa daerah, demonstrasi yang disertai dengan kekacauan dan pengrusakan fasilitas umum,
ancaman teror dan tuntutan politik terkait pergantian rezim pemerintahan dapat menimbulkan ketidakstabilan
politik dan ancaman riil yang dapat menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam rangka
menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain situasi politik dalam negeri, peran lembaga-lembaga politik juga merupakan suatu aspek penting
yang berpengaruh terhadap jalannya berbagai kegiatan dan program pemerintah daerah. Pada umumnya,
lembaga-lembaga politik di Negara sedang berkembang seperti partai politik, serikat buruh, serikat petani,
organisasi profesi, organisasi keagamaan, asosiasi bisnis, lembaga konsumen dan sebagainya belum
berkembang dan mandiri, kecuali lembaga pers, LSM dan lembaga kemahasiswaan. Hal ini berakibat adanya
kecendrungan bertindak kurang profesional dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya. Seringkali mereka
tidak mengindahkan kepentingan ekonomis tetapi sepenuhnya dilandasi oleh kepentingan politik. Apabila hal ini
berlangsung secara terus menerus maka akan mengancam dan menghambat perencanaan dan pelaksanaan
program pemerintahan dan pembangunan di daerah.

Peranan pemerintah pusat juga merupakan suatu aspek penting yang berpengaruh terhadap jalannya
berbagai kegiatan dan program pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki kedudukan yang kuat secara
ekonomis dan politik. Selain memiliki sumber dana terbesar bagi pembangunan daerah, khususnya daerah-
daerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) kecil, pemerintah pusat juga memiliki kewenangan untuk
menentukan tinggi rendahnya Dana Alokasi Umum (DAU) untuk setiap daerah dan menetapkan skala prioritas
pembangunan. Pemerintah pusat memiliki keabsahan untuk melakukan intervensi kebijakan dan program
pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah pusat muncul sebagai suatu kekuatan yang besar.

Pemerintah daerah seharusnya menjalin komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan pemerintah
pusat. Pemerintah daerah harus menumbuhkan pengertian dan tidak menempatkan diri pada posisi yang
berlawanan. Kekuatan pemerintah pusat terlalu besar untuk ditandingi. Kebanyakan daerah memiliki
ketergantungan ekonomi dan politik yang besar pada pemerintah pusat. Karena itu, walaupun pemerintah daerah
memiliki kebijakan dan program yang bagus, seringkali mereka mengalami kekurangan dana dan dukungan
politik dalam pelayanan publik dan pembangunan fasilitas ekonomi di daerahnya.

Lingkungan Ekonomi

Selain lingkungan politik, lingkungan ekonomi juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
keberhasilan dan kegagalan pemerintah daerah melalui peluang dan ancaman finansial yang ditimbulkannya.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas ekonomi dan
perlindungan masyarakat, pemerintah daerah tidak akan pernah terlepas dari pengaruh lingkungan ekonomi.

30 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Aspek-aspek ekonomi yang dapat menimbulkan peluang dan ancaman bagi pemerintah daerah dalam
menjalankan tugas dan fungsi utamanya dapat berupa resesi ekonomi nasional, lembaga keuangan dan inflasi.

Ekonomi nasional dapat mengalami resesi. Apabila pemerintah pusat mengalami resesi ekonomi,
kemungkinan sumber dana yang tersedia berkurang. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap alokasi dana bagi
kegiatan pemerintahan dan pembangunan baik dalam skala nasional maupun daerah. Bahkan kegiatan-kegiatan
ini akan dikurangi volumenya atau sebagiannya tidak dapat dilaksanakan. Resesi ekonomi ini juga akan
berpengaruh terhadap kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah tidak akan dapat
melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di daerah karena alokasi dana dari pemerintah pusat
untuk daerah terbatas.

Lemahnya lembaga keuangan juga dapat menyebabkan sulitnya melakukan mobilisasi dana. Kalau
dapat dilakukan, itupun harus dibayar dengan tingkat biaya modal yang tinggi. Hal ini akan lebih parah lagi
kalau inflasi tinggi maka biaya transaksi juga tinggi. Kondisi lembaga keuangan seperti ini jelasnya tidak
mungkin dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam bentuk pinjaman pembangunan. Apabila dilakukan,
beban keuangan pemerintah daerah akan meningkat, yang pada gilirannya akan merugikan daerah yang
bersangkutan. Apabila tidak dilakukan, maka beban keuangan pemerintah daerah berkurang tetapi pembangunan
daerah tidak dapat dilaksanakan. Sulitnya mobilisasi dana dari lembaga keuangan untuk pemerintah daerah akan
menyebabkan terbatasnya keuangan daerah. Terbatasnya keuangan daerah, pada gilirannya, akan menghambat
kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Tingginya inflasi akan berakibat pada meningkatnya harga barang dan jasa. Akibatnya biaya
pembangunan sarana dan prasarana ekonomi dan lainnya di daerah juga meningkat. Pemerintah daerah dapat
melakukan pembangunan jika ia berani melakukan spekulasi harga barang dan jasa tetapi hal ini akan mengarah
pada tindakan korupsi dan rendahnya kualitas pembangunan. Sementara itu, korupsi dan kualitas pembangunan
yang rendah biasanya bertentangan dengan harapan masyarakat. Hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah agar terhindar dari tindakan korupsi dan rendahnya kualitas pembangunan adalah melakukan
pembangunan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan keuangan.

Lingkungan Sosial Budaya

Selain lingkungan politik dan ekonomi, lingkungan sosial budaya juga mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap keberhasilan dan kegagalan pemerintah daerah melalui peluang dan ancaman sosial budaya yang
ditimbulkannya. Dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya yaitu pelayanan publik, pembangunan fasilitas
ekonomi dan perlindungan masyarakat, pemerintah daerah tidak akan pernah terlepas dari pengaruh lingkungan
sosial budaya. Lingkungan sosial budaya berkaitan erat dengan unsur keunikan dan kelokalan yang ada dalam
masyarakat daerah yang bersangkutan. Keunikan dan kelokalan sosial budaya yang dimiliki masyarakat daerah
yang dapat menimbulkan peluang dan ancaman bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi
utamanya dapat berupa struktur dan dinamika sosial, dan agama.

Struktur sosial di kebanyakan daerah bersifat vertikal dan berjenjang. Interaksi sosial bersifat otoriter.
Hubungan yang vertikal ini juga ditandai oleh adanya hubungan paternalistik, sangat formal dan terkesan kurang
luwes. Akibatnya proses pengambilan keputusan berjalan searah, otokratik dan tertutup. Kolektivisme dan
loyalitas menjadi amat penting. Di samping itu, peran keluarga, etnis, ras, agama dan wilayah keasalan juga

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 31


menjadi faktor penentu pembentukan status dan struktur sosial. Struktur sosial yang vertikal, kaku dan tertutup
yang banyak ditemui di banyak daerah dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan, perencanaan dan
pembangunan daerah. Pemerintah daerah hendaknya mengindahkan faktor-faktor pembentuk struktur sosial
sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman interaksi sosial dalam proses pengambilan keputusan,
perencanaan dan pembangunan daerah.

Agama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan perilaku pemeluknya. Agama juga
membantu membentuk persepsi manusia tentang struktur dan dinamika sosial, serta pandangan tentang manusia
dan kealaman. Agama mengatur soal makan dan minum sampai pada soal hubungan pemimpin dan yang
dipimpin. Akibatnya agama juga berfungsi sebagai salah satu determinan keabsahan politik, khususnya
legitimasi kekuasaan. Lembaga agama berperan sebagai salah satu aktor politik penting di daerah-daerah
tertentu. Agama dapat menjadi pendorong terbinanya moral, keteladanan dan kejujuran. Sebaliknya, agama bisa
menjadi sumber konflik apabila perbedaan agama ditonjolkan. Karena itu, birokrasi pemerintah daerah
hendaknya menjadikan agama sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang masalah
pemerintahan dan pembangunan daerah.

Keamanan dan Ketertiban Sosial

Keamanan dan ketertiban sosial merupakan sesuatu yang esensil dalam kehidupan masyarakat. Dengan
meningkatnya budaya, adanya milik pribadi dan keluarga, masalah keamanan dan ketertiban semakin diperlukan
untuk memelihara hubungan antar warga dan antara kelompok, dan mengatasi setiap gangguan penggunaan
sumberdaya yang dimiliki oleh setiap warga atau kelompok. Gangguan terhadap keamanan sosial menyangkut
gangguan terhadap kepentingan warga baik secara individu maupun kelompok. Gangguan terhadap keamanan
tidak hanya bersifat material tetapi juga immaterial dan kerohanian, baik datang dari dalam maupun dari luar.

Keamanan dan ketertiban masyarakat dapat tercipta apabila setiap anggota masyarakat hidup mengikuti
dan berbuat sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk
dan terjadinya kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sifat-sifat hubungan antar warga dan
antar kelompok mulai menyimpang dari norma dan nilai-nilai yang ada. Penyimpangan ini tentunya akan
mengancam hubungan yang harmonis antar warga dan antar kelompok dalam masyarakat. Karena itu, perlu
adanya pengawasan agar orang berperilaku sesuai dengan atau tidak menyimpang dari norma dan nilai yang
berlaku. Pengawasan itu tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat sebagai
bagian penting dalam budaya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat tentu
selalu terjadi. Kerusuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, konflik SARA dan lain-lain merupakan
contoh-contoh kasus yang selalu muncul di daerah. Dalam menghadapi masalah-masalah ini, tanggung jawab
sepenuhnya ada pada pemerintah daerah melalui aparat keamanan.

Penutup

Penyelenggaraan otonomi daerah pada prinsipnya bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, kesejahteraan merupakan suatu kondisi di mana segala bentuk
kebutuhan hidup manusia termasuk kebutuhan dasar dapat terpenuhi. Dalam pelaksanaan otonomi daerah,

32 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kesejahteraan masyarakat tidak hanya merupakan tujuan yang ingin dicapai tetapi juga menjadi tuntutan yang
harus dipenuhi melalui pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah.

Dalam rangka merespons tujuan dan tuntutan akan penciptaan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan tiga pendekatan yaitu pelayanan publik, pembangunan
fasilitas ekonomi dan perlindungan masyarakat. Perwujudan dari ketiga pendekatan ini bukanlah hal yang
mudah karena faktor lingkungan strategis eksternal seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan sering
sangat kuat berpengaruh. Karena itu, pemerintah daerah perlu bersikap dan bertindak profesional dan responsif
agar mampu memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman yang timbul dari lingkungan strategisnya sehingga
pelaksanaan tugas dan fungsi utamanya dapat berjalan secara efisien dan efektif. Pada gilirannya, pemerintah
daerah akan mampu menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

REFERENSI

Bratakusumah, D. S., & Solihin, D. (2001). Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Kaho, J. R. (2005). Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia : Identifikasi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta :

Penerbit PT Raja Grafindo Persada.

Kuncoro, M. (). Otonommi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi

dan Peluang. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kurniawan, A. (2005). Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta : Pembaruan.

Mubyarto. (2001). Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia. Yogyakarta :

BPFE – Yogyakarta.

Muhamad, S. (2004). Manajemen Strategik : Konsep dan Kasus. Yogyakarta : Akademi

Manajemen Perusahaan YKPN.

Nurcholis, H. (2007). Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta :

Penerbit PT Grasindo.

Pamudji, S. (1989). Ekologi Administrasi Negara. Jakarta : Penerbit Bina Aksara.

Sherraden, M. (2006). Aset Untuk Orang Miskin : Perspektif Baru Usaha Pengentasan

Kemiskinan. Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada.

Sinambela, L. P., et al. (2006). Reformasi Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan dan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 33


Implementasi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Sitanggang, H. (1997). Ekologi Pemerintahan. Jakarta : Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Suradinata, E. (1998). Administrasi Lingkungan dan Ekologi Pemerintahan dalam

Pembangunan. Bandung: Penerbit Ramadhan Citra Grafika.

Syafrudin, A. (2006). Kapita Selekta : Hakekat Otonomi dan Desentralisasi Dalam

Pembangunan Daerah. Yogyakarta : Penerbit Citra Media.

Triputro, R.W., & Supardal. (2005). Pembaharuan Otonomi Daerah. Yogyakarta : APMD

Press.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

34 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Menentukan Pemimpin Daerah yang Berintegritas

Devie S. R. Siwij

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado

A. Pendahuluan

Menjelang digulirkanya Pilkada serentak di Seluruh Indonesia, segenap bangsa ini dibuat terperangah
dengan munculnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang membolehkan narapidana
untuk bisa mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah dengan demikian Pasal 7 huruf g UU 8 tahun 2015
menentukan bahwa calon kepala daerah adalah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Namun menurut MK ketentuan tersebut merupakan bentuk
pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.

Ketika Pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 menentukan bahwa calon kepala daerah harus
memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dicabut haknya untuk
dipilih dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini, menurut MK, sebangun dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1)
angka 3 KUHP yang menyebut bahwa terpidana dapat dicabut hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

Perbedaannya adalah, jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g
UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan hak-hak dipilih yang dicabut dari terpidana
berdasarkan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim.

Menurut MK, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai
hukuman tambahan. Undang-Undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi
pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Sementara dalam pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan
Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia.
Pembukaan UUD 1945 tersebut tidaklah membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk
melindungi hak mantan narapidana.

Keputusan ini menujukan bahwa adalah kewajiban Negara untuk mejunjung tiggi Hak asasi Manusia.
Namun di sisi lain demi hak asasi manusia pula, PNS dan anggota TNI Polri dilarang mencalonkan diri

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 35


mencalonkan diri mejadi kepala daerah, kecuali memumdurkan diri dari statusnya, hal ini final dan tanpa syarat
yang lebih manusiawi, sesuai dengan kemungkinan-kemungkina yang bias saja terjadi pasca Pilkada.

Dispensasi bagi narapidana untuk dapat ikut Pilkada bukanlah putusan yang kebablasan dalam
persepektif hukum. Dari amar putusan tersebut dapat dijelaskan bahwa Mahkama Konstitusi telah
mempertimbangkan aspek sosiologisnya. Hal ini tercermin dari penjelasan keputusan yang menyatakan bahwa
mantan nara pidana tersebut harus mengumumkan secara terbuka bahwa pernah menjadi terpidana. Setelah
mengumumkan pernah menjadi terpidana, maka berpulang ke masyarakat untuk memilih dia atau tidak. Boleh
dikatakan baghwa masyarakat diharuskan untuk bertanggung jawab atas keputusan yang diambil MK ini.
Dengan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana yang telah diketahui oleh masyarakat umum (not
oir feiten) tersebut maka terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya
kepada calon yang merupakan seorang mantan narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon
tersebut

Keputusan MK tersebut telah membangun sistem kepemimpinan yang benar-benar lahir dari rakyat.
Rakyat tidak hanya memilih kepala daerah dengan memberikan suaranya di bilik suara, tetapi masyarakat juga
harus melahirkan pemimpin yang dikandung dari masyarakat yang memiliki integritas pribadi sebagai
pemimpin. Dilepasnya tanggung jawab kepada masyarakat untuk memilih pemimpin seharusnya berbanding
lurus dengan kedewasaan masyarakat sebagai warga Negara yang menjadi bagian integral dari politik negara.
Dengan kata lain bahwa keputusan MK mewajibkan masyarakat harus dewasa sekarang.

Dengan demikian Pilkada akan menjadi wadah untuk menentukan pemimpin yang berintergritas secara
periodik guna membawa daerah untuk mampu eksis di era globaisasi.

B. Konsep Kepemimpinan

Kepemimpinan berkaitan dengan penanganan perubahan, menetapkan arah dengan menyusun satu visi
masa depan kemudian menyatukan, mengkomunikasikan dan mengilhami orang dalam organisasi untuk
mencapai tujuan. Kemampuan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat
dilakukan dengan mudah, apabila seseorang itu tidak memiliki bakat lahir, keahlian maupun referensi dari
tindakan di masa lalunya di bidang kepemimpinan.

Menurut Pavlop Kepemimpinan memainkan peran penting dalam pelaksanaan perubahan yang
melibatkan dua aspek penting, yaitu perubahan dan orang “change and people”. Mengubah organisasi
sesusungguhnya adalah berkenaan dengan merubah perilaku orang, sehingga organisasi dalam melaksanakan
perubahan membutuhkan Pemimpin, yang dapat membantu menyebar dan mempertahankan nilai-nilai baru
yang diperlukan untuk reformasi sektor publik. Tetapi mengelola dan memimpin adalah dua fungsi yang
berbeda yang memerlukan sejumlah keterampilan yang berbeda, yang saling melengkapi, tidak dapat
dipisahkan (Pavlop et all, 2001). Oleh karena itu tentu diperlukan pencermatan bagi seorang pemimpin dalam
menyikapi perubahan, lebih-lebih pada era gloablisasi dan dimensi perubahan lingkungan saat ini, yang tidak
mudah diprediksi. Berbagai teori dan gaya kepemimpinan dapat dipilih disesuaikan dengan kondisi dan situasi,
serta bakat yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

Bambale (2011) menyampaikan dalam tulisannya, bahwa paradigma kepemimpinan modern ditelesuri
dari ―Organizational Citizenship Behaviors” (OCBS), kepemimpinan terbagi dalam 8 teori kepemimpinan yaitu

36 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


1) Kepemimpinan adaptif melibatkan para pemimpin untuk menyusun visi masa depan dan mengilhami orang
lain untuk menerima perubahan dan menjadi peserta dalam perjalanan ke depan, dengan ciri; kompeten di
bidangnya, objektif dalam menangani keputusan dan masalah; reflektif dalam melihat sikap dan perilaku
sendiri; dapat dipercaya dalam menangani kepentingan lain; inovatif dalam mengejar kinerja yang lebih baik;
kegiatan yang efisien; berpikiran terbuka dalam mempertimbangkan informasi yang relevan dan perspektif. 2)
Model Kepemimpinan Tersebar. Model baru kepemimpinan tersebar mempromosikan pembagian kekuasaan
antara pemimpin dan pengikut (Gordon, 2002). Kepemimpinan ini memiliki ciri intuitif dalam
mempertimbangkan tacit pengetahuan dan pengalaman; memiliki karakter dengan menunjukkan teladan moral
dan nilai-nilai; memiliki inisiatif dan bersedia untuk mengambil tindakan; dan memiliki keberanian untuk
mengambil sikap prinsip.

Kepemimpinan otentik (sejati), merupakan model yang ketiga, pemimpin sejati adalah individu yang
sangat menyadari bagaimana mereka berpikir, berperilaku dan dirasakan oleh orang lain sebagaimana
menyadari diri mereka sendiri dan moral perspektif orang lain, pengetahuan dan kekuatan (Avolio, Luthans, &
Walumbwa, 2004). Model keempat Kepemimpinan Hormat. Dalam usaha mereka untuk menempatkan
kepemimpinan hormat dalam perspektif yang jelas, pelopor penulis van Quaquebeke dan Eckloff, (2010)
mendefinisikan kepemimpinan hormat dengan mengidentifikasi aspek perilaku atau sikap dari responden
penelitian mereka. Kategori perilaku atau sikap adalah: percaya, menganugerahkan tanggung jawab,
mempertimbangkan kebutuhan, menjaga jarak, menghargai, pemberian otonomi, mengakui kesetaraan,
mempromosikan pengembangan kritik secara terbuka, menerima kritik, menggali potensi, mencari partisipasi,
dapat diandalkan, menjadi perhatian, mendukung, dan berinteraksi ramah. Kelima, Kepemimpinan Rohani,
organisasi peneliti telah mulai mengeksplorasi spiritualitas di tempat kerja dan kepemimpinan rohani setelah
beberapa dekade mengisolasi spiritualitas sebagai wilayah ide esoteris tidak berwujud dan emosi (merampok,
2005), seseorang dalam posisi kepemimpinan mewujudkan nilai-nilai spiritual seperti integritas, kejujuran, dan
kerendahan hati, menciptakan diri sebagai contoh seseorang yang dapat dipercaya, diandalkan, dan dikagumi.

Selanjutnya teori Kepemimpinan transenden, Kepemimpinan tingkat 5 dan kepemimpinan terbuka


adalah paradigama ke enam, tujuh dan delapan. Kepemimpinan Transenden adalah berngkat dari analisis
kepemimpinan tradisional yang sebagian besar difokuskan pada hubungan individu secara dyadik, dari teori
kepemimpinan yang sebagian besar terlihat pada kepemimpinan sebagai domain perilaku organisasi yang
penekannanya pada perspektif yang berorientasi mikro (Waldman, Javidan, & Varella, 2004). Seorang
pemimpin transenden adalah pemimimpin yang strategis memimpin dalam dan antara tingkat diri sendiri, orang
lain, dan organisasi. Pemimpin memiliki ciri kemampuan pemimpin untuk mengantisipasi, memimpikan,
mempertahankan fleksibilitas, berpikir strategis, dan bekerja dengan orang lain untuk memulai perubahan yang
akan menciptakan masa depan yang baik bagi organisasi. Kepemimpinan 5 tingkat adalah sebuah paradigma
kepemimpinan yang didasarkan pada gagasan bahwa penghormatan terhadap orang, tidak mementingkan diri
oleh pemimpin dan komitmen yang kuat untuk mencapai hasil yang membantu untuk menghasilkan kinerja
terbaik dari bawahan (Collins, 2001), mereka menggabungkan kualitas termasuk, keras kepala, kekejaman dan
kerendahan hati, yang didorong sebagai pemicu kemajuan organisasi. Dan konsep terakhir adalah
kepemimpinan yang sudah umum yaitu Kepemimpinan Terbuka. Kepemimpinan terbuka merupakan pendekatan
karyawan terkemuka dan pelanggan yang menggunakan teknologi sosial untuk memungkinkan pembelajaran
yang konstan. Kepemimpinan terbuka adalah cara baru untuk membangun hubungan dengan pelanggan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 37


organisasi yang paling terlibat, berpotensi paling berharga dan karyawan, terutama ketika mendengarkan dan
belajar untuk membentuk elemen dasar kepemimpinan yang terbuka serta mudah untuk mengadopsi (Li, kk
2010). Pemimpin terbuka penasaran tentang pelanggan, tentang karyawan mereka, tentang pemasok, tentang
trend industri, dan tentang dunia yang lebih luas (Li, dkk 2010). Pendekatan kepemimpinan yang baru, tidak
hanya menjadi otentik, transparan, atau nyata, itu lebih merupakan campuran dari pola pikir, temperamen,
perilaku yang dipelajari, dan keterampilan yang membangun dan memperkuat keterampilan kepemimpinan yang
baik (Li, 2010). Kepemimpinan terbuka menjadi salah satu konstruk kepemimpinan baru saat ini merupakan
aspek lain yang menantang mempengaruhi perilaku organisasi.

B. Kepemimpinan Berintegritas

Tugas utama yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin adalah bagaimana dia menjadi
pemimpin yang berintegritas. Masyarakat sungguh berharap pemimpin akan menjadi sumber dari nilai-nilai
yang dapa dipercaya. Mereka berharap agar pemimpin dapat memberikan jaminan dan keyakinan tentang visi
dan misi dari mereka pemimpin) dalam mensejahterakan rakyatnya melalui pembangunan yang adil dan merata.
Hal yang terpenting adalah selalu bersikap tegas dan pasti pada sesuatu yang diyakini benar bagi kepentingan
rakyat.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh kepemimpinan adalah memimpin dengan integritas. Orang-
orang sungguh ingin melihat para pemimpin mereka menjadi sumber dari nilai-nilai yang dapat dipercaya dan
juga integritas. Mereka melihat kepada para pemimpin untuk jaminan dan keyakinan, untuk kejelasan, visi dan
tujuan khususnya pada masa-masa yang penuh dengan ketidakpastian. Seperti dikatakan oleh W. Clement
Stone, “Have the courage to say no. Have the courage to face the truth. Do the right thing because it is right.
These are the magic keys to living your life with integrity.” (Milikilah keberanian untuk mengatakan ―tidak‖.
Milikilah keberanian untuk menghadapi kebenaran. Lakukanlah hal yang benar karena hal itu memang benar).(
Indrapradja 2013)

Mengutip apa yang diungkapkan oleh Charles Handy (Kompasania 12 April 2012)), seorang mahaguru
bisnis pernah mengungkapkan sebuah statement demikian: Seorang pemimpin haruslah menjalani kehidupan
yang memperlihatkan visinya. Sebuah kalimat pendek dan sederhana, tetapi dengan makna yang tidak
sesederhana mengungkapkannya. Dengan kata lain, bagi Charles Handy, seorang pemimpin yang berintegritas
tidak hanya harus bisa merancang pernyataan visi atau misinya, melainkan ia juga harus bisa menjalaninya. Ini
memperlihatkan betapa integritas itu sangat penting dan diperlukan dalam sebuah kepemimpinan. Karena, tanpa
integritas, maka seorang pemimpin sebenarnya tidak ada bedanya dengan iklan yang dipajang di tepi-tepi jalan
atau di tikungan-tikungan jalan.

Integritas dalam diri para pemimpin bisnis maupun politik adalah suatu keharusan. Mengapa? Karena
kepada mereka telah dipercayakan kuasa yang begitu besar atas diri orang-orang lain. Begitu banyak yang
diharapkan dari para pemimpin. Jadi, tidak mengherankanlah jika orang-orang yang dipimpin oleh mereka akan
merasa sangat dikecewakan apabila integritas para pemimpin mereka itu menjadi menghilang, sirna entah ke
mana. Yang terlihat dan terasa hanyalah pembohongan secara susul-menyusul. ( Indrapradja 2013)

38 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


“One of the crucial qualities that a leader must have in order to be highly effective is being a person of
integrity and honesty and have values” (Satu dari kualitas-kualitas genting/crucial yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin agar supaya sangat efektif adalah menjadi seorang pribadi yang berintegritas, memiliki
kejujuran dan memiliki nilai nilai‖, demikianlah dikatakan oleh Cornelius & Associates.dalam Indrapradja
(2013).

C. Kepemimpinan Kepala Daerah yang Berintegritas

Pilkada merupakan wujud dari dukungan Negara terhadap kebebasan masyarakat didaerah untuk dapat
menentukan pemimpinnya sendiri adalah suatu nilai positif bagi terselenggaranya demokrasi di daerah di
Indonesia. Namun demikian kebebasan masyarakat untuk memilih pemimpinnya sendiri didaerah tidak serta
merta akan menjamin terpilihnya suatu pemimpin yang benar-benar ideal sebagai pemimpin sejati yang sangat
menyadari bagaimana mereka berpikir, berperilaku dan dirasakan oleh orang lain sebagaimana menyadari diri
mereka sendiri dan moral perspektif orang lain, pengetahuan dan kekuatan (Avolio, Luthans, & Walumbwa,
2004). Bahkan dapat dipercaya, menganugerahkan tanggung jawab, mempertimbangkan kebutuhan, menjaga
jarak, menghargai, pemberian otonomi, mengakui kesetaraan, mempromosikan pengembangan kritik secara
terbuka, menerima kritik, menggali potensi, mencari partisipasi, dapat diandalkan, menjadi perhatian,
mendukung, dan berinteraksi ramah. Quaquebeke dan Eckloff, (2010).

Keputusan MK yang memperbolehkan bekas narapidana mencalonkan diri menjadi calon pemimpin
daerah juga telah mempertegas betapa pentingnya peran rakyat untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas.
Rakyat diajak untuk menjadi seorang negarawan dalam menentukan sikap politiknya. Ketika nila dari norma-
norma yang universal terabaikan oleh Negara, maka rakyat sendirilah yang berkewajiban menjaganya.

Secara umum hampir di semua daerah proses pilkada belum melahirkan pemimpin yang bisa
melakukan perubahan mendasar untuk mempercepat kemajuan daerah, bahkan ada kecenderungan dengan
pilkada justru menimbulkan sejumlah persoalan antara lain, Pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih
(konstituensi) dengan kompetensi (Makhya: 2010). Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan
perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam
realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas,
kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas
politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian
pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan. Kualifikasi dan kemampuan seseorang
akan dikalahkan ketidakmampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik.

Demikian pula dengan, proses pengusungan calon dalam satu paket menimbulkan konflik karena
formasinya bisa dilakukan secara beragam (Makhya: 2010). Misalnya, kepala daerah diusung dari PDIP dan
wakilnya dari kader Golkar. Bisa juga, calon kepala daerah dari parpol dan calon wakilnya dari birokrat. Jadi,
dalam sistem satu paket, variasi pasangan bisa dari latar belakang yang berbeda. Saat proses pencalonan sampai
pada pemilihan tidak ada masalah, namun ketika pasangan itu terpilih dan kemudian memimpin pemerintahan
terjadi konflik kepentingan karena berbagai faktor seperti: kewenangan tidak bisa diimplementasikan secara
efektif, kepala daerah/wakil kepala daerah bisa dikendalikan kepentingan partai politik, rebutan pengaruh
kekuasaan dan kepentingan rebutan proyek.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 39


Hal lainnya adalah, legitimasi calon terpilih rendah. Aturan main calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah terpilih dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal 107 ayat 1 dan pasal 109 ayat 1 menyatakan bahwa
pasangan calon terpilih adalah yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan yang diselenggrakan (9 Desmeber
2015). Ketentuan ini telah menyebabkan terjadinya proses delegitimasi terhadap kepemimpinan kepala daerah
apabila suatu daerah diikuti dengan banyak pasangan calon dan suaranya hamper merata. Misalnya saja ada 5
pasangan calon kemudian pemenangnya hanya diraih dengan kemenangan yang sangat ketat terhadap 4 calon
lainnya. Yang pasti legitimasi suara pasangan calon terpilih kurang dari 30 persen. Dengan kata lain ada lebih
dari 70 persen tidak mendukung pasangan calon terpilih.

Ketimpangan dukungan politik dari DPRD menjadi persoalan serius pula. Calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Apa
akibatnya? Jika seni leadership dan kemampuan komunikasi politiknya lemah, berpeluang untuk ―dimain-
mainkan‖ bahkan sangat mungkin dicari-cari kesalahan oleh DPRD untuk dijatuhkan kepemimpinanya. Juga,
sangat berpeluang terjadi disharmonisasi antara kepala daerah dengan DPRD; yang terjadi bukan bagaimana
mengefektifkan penggunaan kekuasaan, tapi adalah bagaimana memperebutkan kekuasaan untuk kepentingan
politik sesaat (the politics of opportunities).

Kalangan anggota DPRD merasa sebagai penguasa politik tunggal di daerah yang mengendalikan
eksekutif. Saat sama, pemilik atau pengelola uang daerah, sebagaimana fungsinya, adalah pemerintah daerah
(pemda). Parahnya, sebagian besar (untuk tidak dikatakan semua) anggota DPRD kondisi sosial ekonominya
rentan, sementara mereka mengendalikan pihak yang memiliki atau mengelola uang (pemda). Maka, tidak heran
bila perasaan berkuasa diekspresikan dengan melakukan berbagai tekanan terhadap gubernur/bupati/wali kota
atau jajaran pejabat pemda lain sehingga bisa memperoleh uang atau bentuk-bentuk kompensasi materi lain bagi
kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam kondisi seperti itu, bila pihak pemda bersifat kooperatif dalam arti
memahami kehendak terselubung para anggota DPRD, maka gubernur/bupati/wali kota akan selamat dari
ancaman impeachment. Tetapi, saat itu pula konspirasi yang menyalahgunakan uang negara/rakyat terjadi,
karena untuk saling menyelamatkan dan memuaskan tiada lain kompensasinya adalah uang. Proses-proses
konspirasi dan penyalahgunaan uang itu berlangsung amat tertutup atau tak bisa secara langsung dipantau
masyarakat luas. Sebaliknya, bagi gubernur/wali kota/bupati yang tak bisa memuaskan atau memenuhi
kepentingan materi anggota DPRD, maka akan selalu dibayang-bayangi upaya impeachment. (Laode Ida, 2002)

Demikian pula dengan batas-batas kewenangan pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak jelas,
sehingga kekuasaan menjadi terpusat di kepala daerah. Akibatnya, urusan penyelenggaraan pemerintahan yang
lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh kepentingan pejabat politik. Fenomena
rolling pejabat struktural di pemda dan distribusi alokasi anggaran dalam APBD sangat ditentukan oleh otoritas
kepala daerah. Suasana pemerintahan menjadi tidak kondusif dan tidak efektif karena dikalangan pegawai
pemda dihantui penuh ketidakpastian jenjang karier. (Makhya: 2010)

Model kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah tidak hanya terbentuk dari sistem pilkada
langsung, tetapi juga akibat sistem demokratisasi pemerintahan dan konsekuensi tuntutan good governance.
Proses demokratisasi pemerintahan dan penerapan good governance menggeser model kepemimpinan
pemerintahan yang semula kental dengan konsep memerintah, memberi perintah dalam arti to give orders. Di

40 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


dalam perkembangan sekarang kepemimpinan pemerintahan lebih menekankan pada kiat mengajak,
menggalang, memberdayakan, dan menggairahkan. (Makhya: 2010)

Pergeseran model kepemimpinan tersebut, seharusnya didukung sebuah kesadaran masyarakat sebagai
pemilih untuk menempatkan dan memposisikan proses pemilihan kepala daerah bukan sekadar persaingan
memperebutkan kekuasaan. Tapi secara subtantif harus memunculkan kepala daerah yang memiliki integritas
dengan kemampuan memerintah dan bisa melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik bagi kemajuan
daerah dan masyarakatnya.

Jika pilkada berhasil digelar tapi gagal dalam memunculkan kepala daerah yang memilki Integritas
dalam mengelola pemerintahan ke arah perubahan yang lebih baik, maka kita jangan berharap banyak terhadap
kemajuan masyarakat dan daerahnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya ada pembelajaran politik bagi masyarakat
agar bisa secara cerdas mendorong terjadinya proses seleksi calon kepala daerah yang mengedepankan aspek
Integritas untuk memajukan masyarakat dan daerahnya.

Dengan demikian. pemimpin Daerah secara mutlak memang membutuhkan integritas agar mampu
melaksanakan fungsi mereka sebagai pemimpin secara efektif yang mampu mengenyampingkan persoalan
diluar substansi kepemipinan yang cenderung merusak keikhlasan mengabdi. Integritas dilihat sebagai suatu
karakteristik pribadi yang positif. Apabila dikatakan bahwa seseorang itu ―memiliki integritas‖ maka hal itu
merupakan suatu pujian, berarti orang itu adalah pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat. Integritas itu
sendiri berasal dari kata Latin integer, yang berarti utuh atau lengkap. Jack Welsh, dalam bukunya yang berjudul
Winning mengatakan, ―integritas adalah sepatah kata yang kabur (tidak jelas) (Makhya: 2010). Orang-orang
yang memiliki integritas mengatakan kebenaran, dan orang-orang itu memegang kata-kata mereka. Mereka
bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan mereka di masa lalu, mengakui kesalahan mereka dan
mengoreksinya. Mereka bermain untuk menang secara benar (bersih), seturut peraturan yang berlaku.‖Berbagai
survai dan studi kasus telah mengidentifikasikan integritas atau kejujuran sebagai suatu karakteristik pribadi
yang paling dihasrati dalam diri seorang pemimpin. Orang-orang menginginkan jaminan bahwa pemimpin
mereka dapat dipercaya jika mereka harus menjadi pengikut-pengikutnya. Mereka ingin mengetahui bahwa
pemimpin mereka akan menepati janji-janjinya dan tidak pernah luntur dalam komitmennya.

Integritas merupakan sebuah tolok ukur fundamental untuk kepemimpinan. Dengan demikian seorang
pemimpin harus memimpin dengan integritas, kejujuran dan berpegang pada nilai-nilai di mana dia memimpin.
Para pengikutnya (masyarakat) ingin mengetahui apakah pemimpin mereka dapat dipercaya. Mereka harus
merasa yakin bahwa sang pemimpin memperhatikan kepentingan setiap pengikutnya (masyarakat) dan sang
pemimpin harus menaruh kepercayaan bahwa para pengikutnya (masyarakat) melakukan tugas tanggung-jawab
mereka. Cara terbaik untuk membangun kepercayaan para anggota timnya adalah dengan terus mempertahankan
integritas. Dari integritas pemimpin inilah maka masyarakat mejadi maju, daerah menjadi kuat dalam segala
dimensinya. Dengan begitu eksistensi daerah menjadi nata dalam kompetsisi global.

D. Penutup

Kepemimpinan Daerah yang memiliki integritas harus terbangun dari masyarakat yang memiliki
integritas. Sebagai konsekwensi logis dari model pemerintahan demokrasi yang menjadi komitmen bangsa ini,

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 41


maka kepemimpinan pemerintahan harus bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian
hadirnya pemimpin rakyat di daerah yang berintegritas adalah ditentukan oleh rakyat yang berintegritas pula.

Integritas masyarakat lahir melalui proses yang membutuhkan waktu dengan pengkondisian yang
disengaja melalui suatu system politik yang mengandung nilai-nilai intergritas. Dan system ini hanya bisa
dilakkan oleh pemerintah dengan cara pertama, mereduksi dan menganulir semua peraturan yang memberi cela
tercipatanya disintegritas di tengah masyarakat yang behubungan dengan penentuan kepemimpinan daerah
termasuk keputusan yang membolehkan bekas narapidana dapat mencalonkan diri menjadi Pemimpin daerah.
Kedua, membuat regulasi pemilihan kepala daerah yang secara tegas memberi sanksi pidana terhadap
pelanggaran pemilukada, baik kepada calon maupun kepada masyarakat.

Daftar Pustaka

Avolio, B. J., Gardner, W. L., Walumbwa, F. O., Luthans, F., & May, D. R. (2004). Unlocking the mask: A look
at the process by which authentic leaders impact follower attitudes and behaviors. The
Leadership Quarterly, 15, 801-823.

Bambale, Abdu Ja‘afaru, et all, 2011. Stimulating Organizational Citizenship ehavior (OCB) Research For
Theory Development: Exploration of Leadership Paradigms. International Journal of
Academic Research in Business and Social Sciences August (2011), Vol. 1, Special Issue

Collins, Jim, 2001, Good to Great, Why Some Companies Make The Leap and Other Don‘t, Harper Collins
Publisher Inc. New York.

Gordon, B.Davis, 2002, Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen, PPM, Jakarta.

Laode Ida Bambale, Abdu Ja‘afaru, et all, 2011. Stimulating Organizational Citizenship ehavior OCB)
Research For Theory Development: Exploration of Leadership Paradigms. International
Journal of Academic Research in Business and Social Sciences August (2011), Vol. 1, Special
Issue

Li, Anni & Sofie Winront (2010), A Story of Why Some Companies Can Creat Competitive Advantage from
Using Technology-Based Self-Service, Stockhom School of Economics, Bachelor Thesis in
Management.

Makhya, Syarief, 2010. Problem Kepemimpinan Kepala Daerah. Indonesia Voters Alliance

Pavlov, Pavel, & Polya Katsamunska, 2001. The Relationship of Leadership and New Public Management in
Central Government: Bulgarian Specifics. Globalization and the State, United Nations, 2001

Van Quaquebeke, Niels ; Zenker, Sebastian ; Eckloff, Tilman. 2009. Find Out How Much It Means to Me! The
Importance of Interpersonal Respect in Work Values

42 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Waldman, D. A., Javidan, M., & Varella, P. (2004). Charismatic leadership at the strategic level: A new
application of upper echelons theory. The Leadership Quarterly, 15, 355–380.

Artikel:

Laode Ida: 2002. Disentralisai dan Demokrasi, Jurnal Demokrasi & HAM, vol 2 nomor 2

Indrapradja, Tiardja. 2013. Kepemimpinan dan Integritas. Artikel. Kompasania (29 Desmeber 2013)

Charles Handy, 2012 Artikel (Kompasania 12 April 2012))

Undang-undang:

- Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015


- UU Nomor 8 Tahun 2015

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 43


Developing Local Competitiveness through Developing City Branding

(Case Study Binjai City, North Sumatera)

Septiana Dwiputrianti, M. Com (Hons), Ph.D

Abstract: This study seeks to analyze empirically the openness on „economic culture‟ through Branding of
Binjai City, North Sumatera, in accordance with the local community characteristic in supporting local
competitiveness. This paper have two main purposes as follows: (1) to obtain expectations of the community as
a basis for positioning City Branding at Binjai; (2) to get an idea of Branding Binjai City in accordance with
the characteristics of the market town of Binjai City in support of local competitiveness. Using descriptive
qualitative approach, unique dataset collections is modelled. The analysis finds support for City Brand
contributes positive local competitiveness of the city region able to attract investors, tourists, or residents for
visiting Binjai. This study illustrates investors‟ friendly of Binjai City with strategic investment, beautiful and
unique environment, a mix of city and village with a safe and comfortable atmospheres. There are some slogans
for Binjau City, namely: "Beautiful Binjai, Beautiful Moment"; "Beautiful Binjai, Be Healthy", or "Delicious
Rambutan, only in Binjai".

Keywords: City Branding, local competitiveness, Binjai City, economic development.

A. Introduction

City Brand secara eksternal mampu membangkitkan rasa penasaran untuk mengenal lebih jauh dari
wilayah terkait. Dengan memunculkan kesadaran dari sisi internal, janji yang dikemas dalam brand akan
mendekati kenyataan dan menjadi acuan dalam berinteraksi dengan pihak eksternal. Adanya city brand lebih
mempermudah memperkenalkan daerahnya kepada investor.

Binjai merupakan salah satu kota yang ada di Indonesia, terletak di Provinsi Sumatera Utara dimana
letaknya sangat berdekatan dengan Ibukota Provinsi Sumatera Utara yaitu Kota Medan. Tapi sampai saat ini
Kota Binjai belum memiliki City Branding yang dapat menjadi pembeda dari kota-kota lainnya di Indonesia.
Dari website resmi Pemerintah Kota Binjai (http://www.binjaikota.go.id) diperoleh keterangan mengenai Kota
Binjai. Kota Binjai sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang hanya berjarak ± 22 Km dari Kota
Medan (± 30 menit perjalan), bahkan batas terluar Kota Binjai dengan batas terluar Kota Medan hanya berjarak
± 8 Km. Dan berikut beberapa berita mengenai Kota Binjai yang menggambarkan potensi yang dimiliki Kota
Binjai :

1. Harian Analisa Medan memberitakan Malaysia tertarik dengan hasil kerajinan bambu Kota Binjai, Sumatera
Utara, karena dinilai lebih berseni dan berkualitas. Banyak produk perajin Sumut yang sudah pernah

44 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


menembus pasar ekspor. Namun, karena standart kualitas dan produksi yang tidak terjaga secara terus
menerus, export semakin menurun.

2. Kota Binjai adalah pemasok ikan lele terbesar di Sumatera Utara dengan produksi ikan lele mencapai 15 ton
perhari.

3. DPR Negeri Perak Malaysia beserta Camat dan Lurah sebanyak empat puluh tujuh orang ingin melakukan
studi tentang pembangunan keagamaan di Sumatera Utara dan ternyata Kota Binjai yang dijadikan
barometernya.

4. Kota Binjai menjadi Kota Rambutan dan berpotensi menghasilkan berbagai macam buah, seperti durian,
mangga, jambu madu Deli Hijau dan jambu kesuma merah, menjadi salah satu komoditi unggulan nasional
di Binjai.

5. Ada beberapa tempat wisata alam yang mempunyai potensi yang sangat besar, walaupun tempat wisata
tersebut tidak berada di Kota Binjai namun untuk menuju kesana harus melewati Kota Binjai.

2. Theoretical Framework and Previous Research

City Branding merupakan bagian dari pemasaran daerah (place marketing). Untuk mengetahui tentang
bagaimana memasarkan Kota Binjai, tentu harus diketahui mengenai definisi mengenai place marketing. ―Place
marketing means designing a place to satisfy the needs of its target markets. It succeeds when citizens and
businesses are pleased with their community, and the expectations of visitors and investors are met”.

According to Philo & Kearns (Braun, 2008) City marketing is defined as “..process of manipulation
whereby urban bourgeoisies are seeking to mobilise segments of culture, history and locality in the competitive
selling of places both to outsiders (to attract capital) and to insiders (to legitimate redevelopment)‖. While city
marketing is the coordinated use of marketing tools supported by a shared customer-oriented philosophy, for
creating, communicating, delivering, and exchanging urban offerings that have value for the city‟s customers
and the city‟s community at large

Menurut Eurocities (Rahmadyani, 2011) berikut beberapa keuntungan yang didapatkan bagi kota yang
mengembangkan City Branding yang optimal dan terintegrasi dengan perencanaan dan pengelolaan kota :

1) Mampu menstimulasi dan meningkatkan daya saing kompetitif : berdampak positif terhadap arus invesatasi,
lapangan pekerjaan, penduduk, pengunjung, event yang diadakan di kota.

2) Higher returns on investment dalam properti, infrastruktur, dan events.

3) Arah pengembangan kota yang harmonis antara aspek-aspek fisik, sosio ekonomi, dan kultural.

4) Kebanggaan bagi penduduk, bisnis, dan institusi yang merasakan tujuan dan arah yang baru.

5) Mampu untuk highlight visi kota dimasa depan (seperti apa karakteristik yang dimiliki, apa yang akan
dicapai kota di masa depan, dan bagaimana kota dapat mencapai tujuan tersebut), mempertahankan citra
yang baik dan mengeliminasi publikasi buruk yang dimiliki kota. City Branding membantu kota untuk fokus

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 45


pada visi yang ingin dicapai dan mendorong kota untuk berfikir jangka panjang sehingga mampu
menghasilkan peluang-peluang baru serta lingkungan yang dinamis dan menarik bagi target pasar.

Dari beberapa uraian diatas mengenai keuntungan suatu produk ataupun daerah memiliki brand. Maka
Kota Binjai yang memiliki begitu banyak potensi dan peluang dalam mengembangkan daerahnya harus
memiliki city brand yang kuat dalam menghadapi pesaingnya menarik target pasar.

Tujuan utama dari pembangunan City Branding adalah menciptakan citra (image) yang baik dimata
empat target pasar (pengunjung, investor & pebisnis, pekerja dan residents, dan export markaet. Dan tentu saja
tentulah memiliki suatu proses komunikasi mulai dari apa identitas (karakteristik) yang dimiliki oleh suatu
daerah dan brand yang merupakan simbol ekspresi dari identitas tersebut yang akhirnya menciptakan citra
(image) dimata orang. Seperti pada gambar 1 (Matlovičová, 2008), menjelaskan :

Place identity results from planned activities ... It is also considered as a sum of characteristics that
differentiate one place from other ones. (Identitas tempat merupakan hasil dari kegiatan perencanaan ... sebagai
keseluruhan karakteristik yang membedakan satu tempat dari yang lain).

Place image unlike identity “... image is more than a simple belief... it is a personal perception of a place and
can vary from one person to another―(Kotler et al. 1999, pp. 160,161, Kotler et al. 2002, p. 229). Yang dapat
diartikan Image suatu tempat (place image) tidak seperti identitas "... image lebih dari keyakinan yang
sederhana ... itu adalah persepsi pribadi terhadap suatu tempat dan dapat bervariasi dari satu orang ke orang lain.

The model presents place as a transmitter of information via marketing communications (in the figure
represented by means of arrows) The final image is intentionally, but also unintetionally, affected by factors that
in the figure are illustrated as the surroundings of the place. (model ini (gambar diatas) menyajikan tempat
sebagai penyampai informasi melalui komunikasi pemasaran (pada gambar diwakili dengan panah) Gambar
terakhir tidak intens, dipengaruhi oleh faktor-faktor yang pada gambar digambarkan sebagai lingkungan suatu
tempat).

Selanjutnya gambar 2 (Rainisto, 2003), menjelaskan :

Brand identity is the state of will of the organisation, and the active part of the image building process
(also Kapferer 1992). Identitas merek adalah keadaan kehendak organisasi, dan bagian aktif dari proses
membangun citra

The brand identity is how the brand is wanted to be perceived. The brand identity is a unique set of brand
associations that the management wants to create or maintain (Aaker 1996). Identitas merek adalah bagaimana
merek ini ingin dianggap. Identitas merek adalah seperangkat unik asosiasi merek bahwa manajemen ingin
menciptakan atau mempertahankan.

Brand identity creates a relationship between the brand and the customers with a value proposition that consists
of functional, emotional and self-expressive benefits (Kapferer 1992). Identitas merek menciptakan hubungan
antara merek dan pelanggan dengan proposisi nilai yang terdiri dari manfaat fungsional, emosional dan self-
ekspresif

Brand image is the perception of a brand in the minds of people. The brand image is a mirror reflection
(though perhaps inaccurate) of the brand personality or product being. It is what people believe about a brand

46 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


– their thoughts, feelings, expectations. (Bennett: 1995. AMA Dictionary of Marketing Terms: 28). Brand image
is perceptions about a brand as reflected by the brand associations held in consumers´ memory (Keller 1998).
Brand image adalah persepsi merek di benak orang. Brand image adalah refleksi cermin (meskipun mungkin
tidak akurat) dari kepribadian merek atau produk. Ini adalah apa yang orang percaya tentang merek - pikiran,
perasaan, harapan. Brand image adalah persepsi tentang merek yang tercermin oleh asosiasi merek diadakan di
memori konsumen.

Sedangkan positioning brand menurut Kotler dan Pfoertsch (2006) :

―adalah tentang mengidentifikasikan tempat brand relatif terhadap pesaingnya di benak consumer, dan
memaksimalkan manfaat potensial perusahaan. Tujuan akhir positioning brand adalah menciptakan posisi
terkuat yang dapat dimiliki dan membuat bersemangat dan untuk mengarahkan semangat tersebut pada target
customer yang paling menguntungkan‖.

Selanjutnya menurut Al Ries dan Trout (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006) :

―Positioning tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan terhadap produk (barang atau jasa) tetapi apa yang
kita (pemasar) lakukan terhadap pikiran atau benak konsumen. Tujuan dilakukan positioning adalah
membedakan persepsi perusahaan berikut produk dan jasanya dari pesaing. Positioning merupakan konsep
psikologis yang terkait dengan begaimana konsumen yang ada ataupun calon konsumen dapat menerima
perusahaan tersebut dan produknya dibandingkan dengan perusahaan lain.

Menurut, Kotler (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006) untuk melakukan positioning diperlukan beberapa
langkah-langkah, yaitu:

1) Mengenali keunggulan-keunggulan yang mungkin dapat ditampilkan dalam hubungan dengan pesaing.

2) Memilih keunggulan-keunggulan yang paling kuat atau menonjol

3) Menyampaikan keunggulan itu secara efektif kepada target pasar

Tidak semua keunggulan merupakan indikator yang bisa ditampilkan ke pasar, tetapi harus diseleksi.
Menurut Kotler (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006), sebuah keunggulan yang patut ditampilkan harus memenuhi
kriteria :

1) Penting. Keunggulan harus merupakan kemampuan yang dianggap sangat penting oleh cukup banyak
pembeli

2) Berbeda. Belum ada pesaing yang menawarkan atau memosisikan keunggulan itu atau mereka sudah ada
yang menawarkannya namun masih dengan cara yang lebih umum

3) Superior (unggul). Keunggulan itu dapat dikomunikasikan dan menjadi perhatian pembeli atau calon
pembeli

4) Pelopor. Pesaing sulit meniru keunggulan yang dimiliki tersebut

5) Dapat dikomunikasikan. Keunggulan dapat dikomunikasikan dan menjadi perhatian pembeli atau calon
pembeli

6) Harga terjangkau. Pembeli mampu membayar biaya keunggulan yang ditambahkan dalam produk tersebut

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 47


7) Menguntungkan. Perusahaan dapat memperoleh laba dari pemberian keunggulan tersebut.

Newman, Damien. The Designer‟s Guide to Brand Strategy (Siregar, 2012) menyebutkan :

Brand identity terwujud dalam bentuk icon atau simbol yang merepresentasikan sebuah organisasi secara
keseluruhan, apakah itu produknya ataupun jasa yang ditawarkan oleh organisasi itu. Brand identity terdiri dari
tiga elemen dasar, yaitu :

1) Visual system, merupakan logo, sistem tipografi, palet warna dan sebagainya

2) Personality, sebuah brand memiliki kepribadian seperti halnya manusia. Kepribadian ini memiliki fungsi
untuk memposisikan diri di benak konsumen dan juga berfungsi untuk memperkuat hubungan emosional
dengan konsumen.

3) Functionality and behaviour, yaitu mengintegrasikan brand ke dalam bisnis, strategi brand dan juga
aktivitas-aktivitas lain yang mendukung brand.

Kotler dan Pfoertsch (2006) menyatakan :

―Elemen brand adalah upaya visual dan bahkan kadang kala fisik yang bertindak mengidentifikasi dan
mendiferensiasi suatu produk atau jasa perusahaan‖.

3. Data
Data diperoleh dari para informan yang terdiri dari:

1. Kepala Hubungan Masyarakat Kota Binjai dan staf


2. Sekretaris dan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Bapeda Kota Binjai
3. Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Olahraga Kota Binjai
4. Kepala Dinas Tata Ruang, Perumahan dan Permukiman Kota Binjai
5. Sekretaris dan Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Binjai
6. Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Kepala Seksi Pembina dan Pengembangan
Industri Kecil Menengah Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian Perdagangan Kota
Binjai.
7. Masyarakat (penduduk) Kota Binjai berjumlah dua belas orang
8. Masyarakat yang pernah mengunjungi Kota Binjai berjumlah dua belas orang.
9. Pelaku usaha produk mebel bambu berjumlah satu orang
10. Pelaku usaha pembuat ulos berjumlah satu orang
11. Pelaku usaha Jambu deli hijau yang diwakili anggota
12. Pelaku usaha pemasok lele berjumlah satu orang.
13. Pelaku seni (pelatih sanggar seni musik tradisional) Kota Binjai.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi dokumentasi, wawancara, dan
observasi. Analisis data yang digunakan mempedomani mekanisme analisis interactive model yaitu
pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan conclusion
drawing/verification.

48 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Binjai 2011-
2015, visi Kota Binjai adalah ―Terwujudnya Kota Binjai sebagai Kota Idaman yang Dinamis, Berdaya Saing
dan Nyaman dalam Kebersamaan‖. Penjelasan Visi:

1. IDAMAN artinya Kota Binjai memiliki trademark/image sesuai perkembangan kota dengan pembangunan
yang berkelanjutan;

2. DINAMIS artinya Kota Binjai mampu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman;

3. BERDAYA SAING artinya Kota Binjai memiliki daya saing (Pemerintahan, Pendidikan, Kesehatan,
Industri, Jasa);

4. NYAMAN artinya Kota Binjai sebagai kota yang nyaman bagi semua stakeholder untuk melaksanakan
aktivitas kehidupan (bertempat-tinggal, bekerja, dan beribadah);

5. KEBERSAMAAN artinya Menghidupkan suasana kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan dengan semangat ―Binjai Kotaku, kotamu dan kota kita semua‖.

Untuk mencapai visi tersebut diatas maka disusun misi pemerintahan Kota Binjai :

1. Membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana dalam menunjang perekonomian

2. Membangun masyarakat sehat, cerdas, dan berbudaya

3. Peningkatan pelayanan publik yang berkualitas

4. Membangun tata kelola pemerintahan yang baik

5. Membangun dan membina kerukunan hidup beragama

6. Meningkatkan perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan.

Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005 – 2025 adalah mewujudkan visi :

“Kota Binjai Sebagai Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa, Perdagangan, dan Industri yang Berwawasan
Lingkungan” Sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju Kota Binjai yang sejahtera, adil
dan makmur dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Sedangkan yang dimaksud dengan ―Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa, Perdagangan, dan Industri‖,
ialah Kota Binjai sebagai sektor pemukiman, jasa dan perdagangan harus dibangun lebih maju dibanding
Pemerintahan Kota dan Pemerintahan Kabupaten di Sumatera Utara setelah Kota Medan. Peningkatan kegiatan
pelayanan jasa dan perdagangan dilakukan dengan memperkuat perekonomian kota pada sektor andalan sistem
produksi, distribusi dan pelayanan, dengan tetap mengembangkan industri menengah dan besar yang
mempunyai sinergi dengan industri kecil dan menengah (UKM). ―Pembangunan Berwawasan Lingkungan‖,
yang dimaksud ialah: adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumberdaya alam ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 49


Brand image (citra) Kota Binjai dari persepsi masyarakat Kota Binjai adalah identik dengan rambutan,
ini dapat dilihat ketika ditanyakan apa yang terlintas di benak penduduk saat mendengar kata Kota Binjai dan
apa yang potensial untuk dikembangkan sebagai ikon City Branding Kota Binjai hampir semua informan
menyebutkan kata rambutan dengan persentase 75%, 17% menyebutkan sebagai kota mandiri, dan 8%
menyebutkan binjai sebagai kota kuliner. Ketika ditanyakan perasaan yang timbul selama tinggal di Kota Binjai,
apa yang disukai dari Kota Binjai dan apa yang membuat mereka tertarik untuk tinggal di Kota Binjai, maka
jawaban yang paling muncul adalah kata asri, tenang, nyaman, belum banyak polusi dengan persentase 61%,
dan selebihnya mengatakan medan, tidak macet, ramah penduduknya, indah, pendidikan baik, banyak pohon,
kuliner, dan aman dengan persentase 39%. Ketika ditanyakan mengenai karakter yang dimiliki Kota Binjai
jawaban yang paling banyak muncul adalah kata ramah, baik, dan cantik dengan persentase 66%, dan
selebihnya mengatakan Kota Binjai itu tenang, masih menata, bersahabat, dan unik sebesar 34%. Sedangkan
harapan kedepan yang diinginkan penduduk terhadap Kota Binjai, jawaban yang paling banyak muncul adalah
kata aman, memiliki fasilitas (sarana dan prasarana) yang lengkap, biaya hidup yang murah dan nyaman dengan
persentase 90% dan selebihnya 10% untuk sarana prasarana.

Brand image (citra) Kota Binjai dari persepsi pengunjung bahwa Kota Binjai itu identik dengan
rambutan, ini dapat dilihat ketika ditanyakan apa yang terlintas di benak penduduk ketika mendengar kata Kota
Binjai dan apa yang potential untuk dikembangkan sebagai ikon City Branding Kota Binjai hampir semua
informan menyebutkan kata rambutan dengan persentase 75%, 8% mengatakan Kota Binjai sebagai kota
singgah, 8% mengatakan sebagai kota kuliner, dan 9% mengatakan Kota Binjai sebagai kota wisata alam.
Ketika ditanyakan perasaan yang timbul selama mengunjungi Kota Binjai jawaban yang paling banyak muncul
adalah tidak merasakan kesan apa-apa (biasa saja) sebesar 50%, dan sebagian lagi merasakan keramahan
penduduknya 17%, senang dan nyaman 17%, tempat belanja dan kuliner 8%, dan sebesar 8% mengatakan Kota
Binjai sebagai kota yang masih harus berbenah. Mengenai yang disukai Kota Binjai dari persepsi pengunjung
selama di Kota Binjai adalah rambutan dan kuliner yang ada di Kota Binjai sebesar 80%, selebihnya menyukai
rasa kekeluargaannya dan pasar kaget sebesar 20%. Sedangkan yang membuat pengunjung tertarik untuk datang
di Kota Binjai jawaban yang paling banyak muncul adalah mereka datang ke Kota Binjai karena ada sesuatu hal
seperti mengunjungi saudara, teman, kerabat ataupun karena ada urusan di Kota Binjai sebesar 40%, menurut
mereka tidak ada sesuatu yang menarik di Kota Binjai untuk dikunjungi. Dan apabila telah datang di Binjai hal
yang paling menarik untuk di cari adalah makanan (kulinernya) sebesar 27%, karena rasanya enak dan masih
murah. Selebihnya memberikan alasan untuk belanja, kerja, dan hal lain sebesar 33%. Dan ketika ditanyakan
mengenai karakter yang dimiliki Kota Binjai jawaban yang paling banyak muncul adalah kata ramah dan
bersahabat sebesar 37%, biasa saja (7%), rapi (7%), kurang supel (7%), kekeluargaan (7%), mengasyikan (7%),
sederhana (7%), unpredictable (7%), dan kecil (7%). Harapan kedepan (ekspektasi) yang diinginkan penduduk
terhadap Kota Binjai, jawaban yang paling banyak muncul adalah kata kota yang bersih dan memiliki keunikan/
ciri khas tersendiri dengan persentase 50%. Dalam hal ini, dari pengamatan penulis Kota Binjai saat ini sudah
cukup bersih ditambah berita bahwa Kota Binjai merupakan salah satu kota yang menerima piala adipura.
Selebihnya mengharapkan Kota Binjai menjadi kota hijau (15%), ramai (10%), nyaman (10%), rapi (10%), dan
aman (5%).

Kota Binjai sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang hanya berjarak ± 22 Km dari Kota
Medan ( ± 30 menit perjalan), bahkan batas terluar Kota Binjai dengan batas terluar Kota Medan hanya berjarak

50 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


± 8 Km. Selain itu Binjai merupakan gerbang pintu masuk dari Aceh yang akan menuju ke Medan, ditambah
Kota Binjai merupakan kota yang harus dilintasi wisatawan yang akan menuju 2 daerah unggulan wisata yaitu
Bukit Lawang dan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) Tangkahan. Ini merupakan potensi yang sangat
besar untuk Kota Binjai, untuk merencanakan kedepan bagaimana agar Kota Binjai bukan hanya menjadi tempat
persinggahan tapi juga sebagai daerah tujuan wisata. Kota Binjai memiliki letak yang sangat dekat dengan Kota
Medan yang saat ini sangat pesat perkembanganya. Pusat pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara berpusat di
Kota Medan. Lahan semakin sempit untuk pengembangan pembangunan baik untuk perumahan maupun
industri. Dan Kota Binjai memiliki itu, Kota Binjai memilki lahan untuk pengembangan perumahan maupun
industri. Karena jaraknya yang cukup dengan Kota Medan maka Kota Binjai memiliki keunggulan yang paling
unggul (positioning) adalah Lokasi Kota Binjai itu sendiri, disamping itu kedepannya akan dibangun jalan tol
yang menghubungkan Kota Binjai – Kota Medan – Kuala Namu. Dengan dibangunnya jalan tol tersebut maka
akan semakin mempermudah transportasi untuk akses ke Binjai. Dan berdasarkan data yang ada bahwa Kota
Binjai juga termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) Mebidangro (Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo)
Seperti juga yang dikatakan oleh Sekretaris dan Kabid Sarana dan Prasarana Bapeda Kota Binjai, PLH KaDis
Dinas Tata Ruang Perumahan dan Permukiman Kota Binjai.

Kekuatan merk Kota Binjai saat ini adalah dar segi presence, Kota Binjai digambarkan sebagai kota
yang nyaman dan aman untuk ditinggali. Dari segi place, Kota Binjai adalah kota yang nyaman dan memiliki
lokasi yang strategis yaitu dekat dengan kota Medan. Dari segi people atau sifat penduduk Kota Binjai dikenal
ramah, bersahabat dan memiliki rasa kekeluargan yang tinggi. Dari segi pre-requisites Kota Binjai memiliki
sarana dan prasarana yang cukup lengkap meliputi sarana air bersih, kelistrikan, pendidikan, kesehatan, dan
sarana pendukung lainnya. Dari segi pulse Kota Binjai merupakan kota yang unik dimana kota ini merupakan
perpaduan antara perkotaan dan pedesaan. Dari segi potential keunggulan Kota Binjai dari segi ekonomi terletak
pada pertumbuhan industri pengolahan yang cukup baik.

1. Analisis Brand Image dan Ekspektasi terhadap Kota Binjai saat ini di mata
pengunjung dan penduduk Kota Binjai dikaitkan dengan perencanaan City Branding
Kota Binjai

Rambutan selama ini memang menjadi andalan Kota Binjai, namun sampai saat ini belum pernah
diketahui berapa sebenarnya hasil rambutan yang ada di Kota Binjai. Untuk rasa rambutan binjai memang
unggul, rambutan memiliki rasa yang lebih manis, banyak air dan lekang. Rasa rambutan Kota Binjai memiliki
rasa yang lebih unggul bila dibandingkan dengan rambutan dari kota lainnya, hal ini dikarenakan kondisi iklim
dan unsur tanah yang ada di Kota Binjai, namun rasa yang unggul ini tidak terlalu ekstreem rasanya bila
dibandingkan dengan rambutan yang berasal dari Langkat misalnya, hal ini seperti yang dikatakan Bapak
Sekretaris Dinas Pertanian Kota Binjai. Untuk hasil produksi hilir saat ini sedang dikenalkan sirup rambutan
binjai, namun belum di pasarkan sehingga belum begitu dikenal (diketahui) orang, baik yang tinggal di Kota
Binjai ataupun di luar Kota Binjai. Ada juga pembuatan kue bika ambon, bolu gulung ataupun kue bolu
rambutan, kalau untuk produk kue ini sudah mulai dikenal penduduk Binjai, tapi belum sampai keluar daerah.

Rambutan memang sudah identik dengan Kota Binjai, namun karena belum pernah adanya pemetaan
mengenai produksi rambutan yang ada sehingga tidak diketahui secara pasti hasil produksi rambutan dari Kota

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 51


Binjai. Dari hasil wawancara terhadap beberapa penduduk yang ada di Kota Binjai mengenai hasil rambutan
yang ada, sepertinya produksi rambutan dari Kota Binjai semakin lama semakin menipis, hal ini dikarenakan
adanya pembukaan lahan untuk perumahan, perubahan lahan kebun rambutan menjadi kebun sawit, dikarenakan
kebun rambutan yang ada tidak banyak menghasilkan keuntungan bagi yang punya kebun. Pohon rambutan
yang ada di Kota Binjai hanya berbuah dua kali selama setahun, tentu ini kuranglah ekonomis bila dibandingkan
dengan pohon sawit yang bisa panen dua kali sebulan.

Untuk dijadikan ikon City Branding rambutan mungkin bisa, tapi untuk dijadikan City Branding Kota
Binjai menurut analisa penulis tentulah kurang tepat, hal ini dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki Kota
Binjai untuk mengembangkan perkebunan rambutan di Kota Binjai tidak memungkinkan. Apalagi kedepannya
dikatakan bahwa Kota Binjai akan dijadikan Sebagai Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa, Perdagangan, dan
Industri yang Berwawasan Lingkungan (Visi RPJP-D Kota Binjai 2005-2025). Jadi kesimpulannya, bila mau
dipasarkan jumlah produksi rambutan pun tidak bisa memenuhi kuota permintaan secara nasional, apalagi
internasional. Untuk dikembangkan pun, nilai jual dari rambutan itu sendiri tidak begitu besar, apalagi bila mau
dikirimkan untuk jarak yang cukup jauh rambutan yang ada tidak memiliki daya tahan yang cukup lama. Kata-
kata Binjai Kota Rambutan memang sudah melekat erat sejak dahulu, namun untuk memasarkan daerah Kota
Binjai tidak akan menggambarkan Kota Binjai secara keseluruhan, karena masih banyak potensi-potensi lain
yang dapat dikembangkan di Kota Binjai. Bagaimana agar rambutan Kota Binjai memiliki nilai tambah (value)
dimata orang banyak, maka rambutan itu selain dijadikan sebagai santapan juga harus diciptakan suatu kegiatan
yang dapat menambah nilai rambutan itu sendiri seperti menciptakan agrowisata rambutan, dan ini dapat
dilakukan dengan menciptakan image baru Kota Binjai yang dapat menarik wisatawan datang ke Kota Binjai
dengan City Branding Kota Binjai.

Kesan yang penduduk alami selama tinggal di Kota Binjai adalah mereka merasa aman, nyaman dan
indah. Kesan ini juga penulis rasakan ketika melakukan observasi selama melakukan penelitian. Berdasarkan
Florida (Rahmadyani, 2011:27) mengatakan dalam analisis mengenai elemen pembentuk City Branding
berdasarkan persepsi masyarakat (target pasar), City Branding dibentuk oleh lima faktor, yaitu :

a. Keamanan fisik dan perekonomian.

Kota Binjai adalah kota yang cukup aman. Namun keamanan ini sedikit berkurang dirasakan bila malam hari
dan berada jauh dari pusat Kota Binjai, hal ini dikarenakan kurangnya penerangan di malam hari dan sistem
keamanan lingkungan yang tidak berjalan di masing-masing lingkungan Kota Binjai. Untuk penyediaan
lapangan kerja di Kota Binjai memang tidak terlalu cukup banyak, sehingga banyak dijumpai penduduk
Kota Binjai yang bekerja di luar Kota Binjai seperti Kota Medan Deli Serdang.

b. Penyediaan jasa.

Penyediaan jasa dasar di Kota Binjai yang dirasakan penduduk Kota Binjai sudah cukup lengkap, demikian
juga berdasarkan data yang ada, seperti sekolah, pelayanan kesehatan, permukiman yang terjangkau, jalan
dan transportasi publik. Namun khusus untuk transportasi publik, penyediaan jasa angkutan umum yang ada
di Kota Binjai hanya beroperasi di seputaran kota saja, tidak sampai ke pelosok Kota Binjai. Hal ini
mengakibatkan orang yang berada di ujung Kota Binjai tidak bisa mengakses angkutan kota tersebut.
Sehingga mereka harus menggunakan kendaraan umum lain seperti becak bermotor. Untuk angkutan massal

52 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


yang menghubungkan Kota Medan dan Kota Binjai juga terdapat Kereta Api yang cukup nyaman. Dulu (tiga
tahun yang lalu) kereta api ini juga menghubungkan Kota Binjai dan Langkat, namun sekarang sudah tidak
ada lagi. Sarana permukiman penduduk, jalan-jalan (gang-gang) yang ada di Kota Binjai sudah cukup baik,
namun untuk penyaluran air kotor (drainase) masih banyak dijumpai perumahan penduduk yang tidak
memiliki saluran darainase sehingga apabila hujan akan menyebabkan banjir (walau sementara) di
sekitarnya.

c. Keterbukaan.

Di Kota Binjai terdiri dari beberapa suku yang masing-masing suku tidak mendominasi suku yang lainnya.
Kehidupan beragama ataupun sukuisme memiliki toleransi yang cukup besar, tidak pernah dijumpai
pertikaian karena kesukuan ataupun agama. Kota Binjai memiliki karakter ramah. Baik, dan bersahabat. Hal
ini sesuai dengan observasi terhadap penduduk Kota Binjai yang juga memiliki sifat yang ramah, bersahabat,
kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi, dan menerima pendatang dengan tangan terbuka.

d. Kepemimpinan.

Untuk membangun City Branding yang kuat diperlukan komitmen pemimpin yang kuat pula. Dari Kota
Binjai diperoleh gambaran bahwa yang selama ini terjadi adalah kebijakan yang ada akan terus berganti
seiring dengan pergantian pimpinan (kepala daerah). Sementara dari studi literatur yang ada diketahui bahwa
pembentukan City Branding ini harus dilakukan untuk jangka waktu yang cukup lama, harus dilakukan dan
dievaluasi terus menerus, apakah City Branding yang direncanakan sudah berhasil atau belum, dalam artian
City Branding yang sudah direncanakan sudah mengakar kuat dan berhasil menarik target market
(penduduk, pengunjung, pebisnis, eksport market) terhadap Kota Binjai atau belum. Memang City Branding
ini agar berhasil memerlukan keterlibatan semua pihak bukan hanya semata dilakukan pemimpin (kepala
daerah). Namun pemegang kunci utamanya adalah pemimpin itu sendiri, apakah City Branding ini mau
dijalankan atau tidak.

e. Estetika.

Kota Binjai tidak memiliki panorama alam yang indah saat ini, demikian juga desain kota yang ada saat ini,
tidak ada ciri khas tersendiri dari bangunan yang ada di Kota Binjai, biasa saja. Namun Kota Binjai memiliki
bangunan tua yang mempunyai nilai sejarah, dan tentunya perlu peranan pemerintah untuk tetap menjaga
bangunan sejarah yang ada. Fasilitas pendukung (amenitas) untuk pengunjung yang datang ke Kota Binjai
seperti hotel memang sudah tersedia di Kota Binjai namun masih bertaraf daerah saja. Kota Binjai
berpeluang untuk menjadi daerah tujuan wisata, namun tidak untuk jangka waktu yang cukup lama, hanya
berpeluang untuk wisatawan yang hanya memerlukan satu hari saja mengunjungi Kota Binjai apakah itu
pengunjung dari Kota Medan ataupun dari daerah lain, dan untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke
daerah wisata lain seperti Bukit Lawang ataupun TNGL Tangkahan. Aktivitas kultural (budaya) di Kota
Binjai juga tidak terlalu kental, hanya ada festival pagelaran budaya yang diadakan setahun sekali dan
gaungnya tidak begitu bergema. Untuk mendukung City Branding yang akan direncanakan, tentunya hal ini
kedepannya harus lebih ditingkatkan lagi, apakah itu dari kuantitasnya ataupun kualitasnya dan juga
promosinya.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 53


Dari pengunjung yang pernah datang ke Kota Binjai diperoleh gambaran bahwa kesan yang mereka
rasakan selama di Kota Binjai hanyalah biasa saja dan ini memang sesuai dengan observasi yang penulis
lakukan selama penelitian. Hal ini karena pemerintah Kota Binjai belum membidik kelebihan yang dimiliki
Kota Binjai. Padahal Kota Binjai merupakan kota yang unik, dalam artian Kota Binjai itu memiliki ciri
perpaduan antara kota dan desa. Kota Binjai memiliki sarana perkotaan seperti Mall namun juga masih memiliki
suasana pedesaan, dan masih banyaknya penghijauan di pinggiran kotanya. Kalau ini dikelola dengan baik, tentu
akan menarik minat pengunjung yang sudah gerah dengan suasana perkotaan dengan mencari ketenangan
suasana pedesaan, dan juga pengunjung dari pedesaan (seperti Langkat) yang ingin mencari suasana perkotaan
dengan mengunjungi Mall Kota Binjai. Yang diinginkan pengunjung agar mau mengunjungi suatu daerah
adalah daerah tersebut memiliki suatu ciri khas tersendiri, apakah dari budayanya, kulinernya, obyek wisatanya
dan lain sebagainya. Untuk saat ini Kota Binjai belum memiliki kekhasan budaya, ataupun obyek wisata yang
menarik, namun mempunyai potensi untuk itu hanya perlu pengelolaan dan pembenahan saja dari pemerintah
Kota Binjai. Saat ini yang dimiliki Kota Binjai adalah kulinernya, kuliner yang ada di Kota Binjai dengan rasa
yang enak juga harga yang tidak begitu mahal, cuma saat ini perlu dikemas lagi bagaimana aga kuliner yang ada
di Kota Binjai ini bisa menimbulkan kesan tersendiri di mata pengunjung.

2. Analisis Visi dan Misi Kota Binjai Jangka Pendek dan Jangka Panjang dikaitkan
dengan perencanaan City Branding Kota Binjai

Berdasarkan Visi Kota Binjai saat ini yang akan menjadikan Kota Binjai sebagai kota Kota Binjai
Sebagai Kota Binjai sebagai Kota Idaman yang Dinamis, Berdaya Saing dan Nyaman dalam Kebersamaan. Dari
visi dan misi yang ada saat ini dimaksdukan bahwa Kota Binjai akan image sesuai perkembangan kota dengan
pembangunan yang berkelanjutan, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, daya saing (Pemerintahan,
Pendidikan, Kesehatan, Industri, Jasa), nyaman bagi semua (bertempat-tinggal, bekerja, dan beribadah), suasana
kebersamaan dengan semangat ―Binjai Kotaku, kotamu dan kota kita semua‖. Bila dibandingkan antara persepsi
penduduk dan visi dan misi Kota Binjai ada terlihat persamaan yaitu perasaan nyaman, dan aman demikian juga
kebersamaan, namun untuk berdaya saing tentunya pemerintah Kota Binjai harus melakukan ekstra kerja keras
lagi, karena selama penelitian dilakukan masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah Kota Binjai dalam
membina masyarakatnya.

Selama pelaksanaan penelitian diperoleh gambaran adanya pesimisme mereka terhadap keunggulan
Kota Binjai, hal ini terlihat dari ketika penulis menanyakan keunggulan dari Kota Binjai, dan jawaban yang
timbul adalah ―apa sih keunggulan Kota Binjai ini? kamu kan sudah tau dengan keadaan Kota Binjai yang
sebenarnya‖. Padahal ketika penulis melakukan penelusuran ke usaha kerajinan unggulan yang ada Kota Binjai
mereka sangat optimis mengenai usaha yang mereka jalankan, namun yang hanya mereka butuhkan adalah
bantuan dan peran serta pemerintah untuk membantu membina dan memajukan usaha mereka, mulai dari
bantuan permodalan dimana mereke malas berurusan dengan pihak bank karena kurang mengerti, maupun
pembinaan bagaimana agar produk yang ada menjadi lebih baik, dan akhirnya pemasaran produk mereka ke
pasar.

Dari strategi dan arah kebijakan Kota Binjai ada terdapat salah satu agenda membangun perekonomian
daerah termasuk kemiskinan dan untuk mencapai sasaran tersebut ditetapkan prioritas utamanya pembangunan
industri berbasis pertanian, pembangunan kepariwisataan, dan untuk meningkatkan investasi yaitu dengan

54 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


menyederhanakan prosedur perizinan melalui sistem satu atap. Bila dikaitkan dengan perencanaan City
Branding tentu ini sangat mendukung, namun kondisi saat ini masih perlu banyak pembenahan baik dibidang
pariwisata maupun dalam hal perizinan.

Untuk visi dan misi jangka panjang (2005-2025) menjadi Pusat Permukiman, Pelayanan Jasa,
Perdagangan, dan Industri yang Berwawasan Lingkungan namun dalam visi antara yang dipaparkan tidak ada
satupun yang memaparkan mengenai menjadi pusat permukiman, kesemuanya menyatakan pusat pelayanan
jasa, perdagangan, dan industri. Untuk perencanaan City Branding Kota Binjai tentu harus melihat visi dan misi
jangka panjang ini, bagaimana agar City Branding yang direncanakan dapat mendukung visi dan misi Kota
Binjai ini.

3. Analisis Positioning Kota Binjai dikaitkan dengan perencanaan City Branding Kota
Binjai

Bila dilihat dari positioning yang dimiliki Kota Binjai saat ini adalah Lokasi yang strategis itu sendiri
karena dekat dengan Kota Medan, akan dibangun jalan Kota Binjai-Medan-Kuala Namu, dikelilingi Kabupaten
Langkat dan Deli Serdang, masuk dalam KSN Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo). Selain itu juga
Kota Binjai memiliki agroclimate yang baik yang membuat tanaman buah ataupun bunga sangat cocok untuk
ditanam di Kota Binjai sehingga Kota Binjai menurut keterangan beberapa informan dari pemerintah Kota
Binjai kedepannya akan dicanangkan sebagai ―kota buah‖ dan pengembangan hortikultura. Dari positioning
tersebut, sebagai landasan untuk perencanaan City Branding Kota Binjai, image apa yang mau diciptakan
kedepannya untuk Kota Binjai dengan postioning Kota Binjai saat ini.

Kebutuhan akan perumahan sangat dibutuhkan oleh warga Kota Medan, dengan lahan yang sempit dan
mahal penduduk Kota Medan mulai mencari lahan perumahan yang nyaman. Kota Binjai adalah salah satu
penyangga kebutuhan itu. Di Binjai lahan perumahan masih cukup banyak dan tidak terlalu mahal dengan
kenyamanan yang dimiliki Kota Binjai tentu akan menarik orang untuk dapat tinggal di Kota Binjai. Demikian
juga untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kota Binjai dalam hal rekreasi. Penduduk Kota Medan yang sudah
padat membutuhkan ruang untuk melakukan rekreasi ke suatu tempat yang menjanjikan kenyamanan, maka
Kota Binjai adalah tempat yang paling dekat untuk memenuhi kebutuhan itu. Bagaimana agar ini dapat terwujud
tentu harus diciptakan image yang baik terhadap Kota Binjai itu sendiri dengan City Branding Kota Binjai.

Lokasi Kota Binjai yang dikelilingi oleh Kabupaten Langkat dan Deli Serdang juga berpotensi untuk
menampung hasil pertanian, peternakan, ataupun perikanan dari kedua kabupaten tersebut dan menyalurkannya
ke Kota Medan. Seperti produksi lele Kota Binjai yang katanya salah satu pemasok terbesar di Sumatera Utara,
ternyata diketahui dari hasil penelitian bahwa salah satu penyumbang terbesarnya adalah dari Kabupaten
Langkat.

Bagaimana agar menarik investor dengan kondisi strategis yang dimiliki Kota Binjai ini, agar mau
melakukan investasi di Kota Binjai ini. Dari sekian banyak Kota yang ada di Indonesia pada umumnya dan
Sumatera Utara pada khususnya bagaimana agar para investor tertarik terhadap Kota Binjai, tentu mereka harus
mengetahui keadaan Kota Binjai itu sendiri, dan langkah pertamanya adalah mengenalkan Kota Binjai itu
sendiri dengan City Branding Kota Binjai.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 55


4. Analisis Kekuatan Merk Kota Binjai saat ini dikaitkan dengan City Branding Kota
Binjai

Kekuatan merk Kota Binjai saat ini meliputi Presence menggambarkan kota yang nyaman dan aman,
Place memiliki aspek fisik yang nyaman, dekat Kota Medan (lokasi strategis), People dengan sifat penduduk
kekeluargaan, bersahabat, dan ramah, Pre-requisites memiliki sarana dan prasaran cukup lengkap, Pulse kota
yang unik (perpaduan kota dan desa), dan Potential memiliki industri pengolahan yang sedang berkembang.
Hal-hal tersebut sangat mendukung untuk perencanaan City Branding Kota Binjai.

Mulai dari gambaran Kota yang memiliki kesamaan dengan visi dan misi Kota Binjai yaitu
kenyamanan dan keamanan Kota Binjai itu sendiri. Demikian juga sifat penduduk Kota Binjai yang masih
memiliki rasa kekeluargaan, persahabatan dan keramahan yang masih cukup tinggi. Bagaimana kesemua
kekeuatan merk yang dimiliki Kota Binjai saat ini dapat dikenalkan kepada target market maka dirangkumlah
dalam City Branding Kota Binjai.

Produk unggulan industri yang ada di Kota Binjai terdiri dari anyaman bambu, sulaman bordir, meubel
bambu, barang-barang tekstil, kerupuk/ opak dan lain-lain. Upaya yang telah diambil untuk meningkatkan
produksi unggulan industri Kota Binjai, yaitu melaksanakan kegiatan pameran produk unggulan di dalam
maupun di luar, melakukan penyuluhan dan bimbingan yang berkaitan dengan peningkatan produk industri
antara lain meningkatkan kemasan sesuai dengan standar yang ditentukan (makanan) dan memberikan label
kemasan termasuk kadaluwarsa pada makanan. Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan produksi
unggulan industri Kota Binjai, adalah kurangnya kesadaran dan kemauan pelaku usaha untuk meningkatkan
mutu produksi. Dan solusi yang telah diambil dalam mengatasi masalah peningkatan produksi unggulan industri
Kota Binjai adalah memberikan penyuluhan kepada pelaku industri yang berkaitan dengan peningkatan
produksi.

Namun berdasarkan informasi dari pengusaha pengrajin meubel bambu diperoleh gambaran bahwa
mereka membutuhkan bantuan pemasaran dan pembinaan dari Pemerintah Kota Binjai, agar hasil kerajinan
bambu yang mereka hasilkan dapat dipasarkan dengan cara profesional, sehingga dapat menambah daya jual
meubel yang mereka hasilkan. Demikian juga dengan pengrajin ulos yang ada di Kota Binjai, mereka
membutuhkan uluran tangan dari Pemko Binjai, bukan hanya dana tapi juga bimbingan dan arahan bagaimana
memasarkan produk yang mereka buat, yang selama ini mereka hanya membuat dan mengirimkannya ke Kota
Siantar, tidak memasarkan secara langsung sehingga yang punya nama adalah Kota Siantar bukan Kota Binjai.
Produk unggulan ini tentu sangat mendukung dalam hal perencanaan City Branding Kota Binjai.

5. Analisis Brand Image dan Ekspektasi, Visi dan Misi, Positioning, Kekuatan Merk
Kota saat ini menjadi City Branding Kota Binjai

Bagaimana meningkatkan daya saing daerah Kota Binjai, salah satunya adalah dengan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang ada di Kota Binjai dengan mengelola potensi yang ada di Kota Binjai.
Berdasarkan data dari RPJP-D Kota Binjai Tahun 205-2025, salah satu sektor yang menjadi basis aktivitas

56 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


ekonomi adalah industri, yang bila dikelola secara efisien akan menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas,
sehingga sektor yang terkait akan ikut meningkat dan turut sebagai motor penggerak perekonomian Kota Binjai.

Dengan banyaknya potensi yang ada di Kota Binjai, Pemerintah Kota Binjai harus mampu
mengembangkan potensi yang ada. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan image (citra) baru Kota
Binjai dengan menciptakan City Branding Kota Binjai yang selama ini dikenal dengan Kota Rambutan sehingga
memiliki image yang menggambarkan keunggulan Kota Binjai sehingga dapat memasarkan Kota Binjai dan
potensi yang ada didalamnya yang akhirnya dapat mendukung peningkatan daya saing daerah Kota Binjai. Agar
potensi unggulan yang ada di Kota Binjai bisa dikenal oleh orang banyak maka yang harus dilakukan adalah
dengan memperkenalkan Kota Binjai itu sendiri kepada khalayak banyak, seperti kata pepatah tak kenal maka
tak sayang. Untuk itu Kota Binjai harus memperkenalkan kotanya tersebut, kota yang memiliki banyak potensi
didalamnya dengan City Branding Kota Binjai. Dalam memasarkan Kota Binjai terdapat beberapa konsumen
yang menjadi target utamanya yaitu pengunjung (wisatawan nasional dan internasional), pebisnis ataupun
investor, penduduk (ahli/ orang-orang berbakat), dan export markets.

Saat ini Binjai memiliki banyak potensi, namun masih banyak yang belum dikembangkan dengan
optimal. Dari RTRW Kota Binjai terlihat bahwa Kota Binjai menyediakan lahan untuk kawasan industri dan
kawasan untuk perdagangan jasa. Maka citra yang harus diciptakan oleh Kota Binjai adalah menciptakan citra
yang ramah terhadap investor, dengan memberikan informasi dan pelayanan yang prima kepada para investor.

Berdasarkan data RPJPD Kota Binjai 2005-2025 diketahui bahwa yang paling memberikan kontribusi
paling besar terhadap Kota Binjai adalah industri pengolahan. Perencanaan City Branding Kota Binjai dalam
mendukung daya saing daerah diperlukan untuk bagaimana memasarkan produk industri yang ada di Kota
Binjai. Dengan pasar yang semakin terbuka dengan pengajuan teknologi dan adanya internet sehingga dapat
mempermudah Kota Binjai dalam memasarkan produk hasil olahan yang ada di Kota Binjai.

Saat ini Kota Binjai belum memiliki objek wisata yang dapat menarik banyak pengunjung, namun
selama penelitian dilakukan Kota Binjai memiliki potensi untuk itu. Dan target market pertamanya adalah
penduduk Kota Medan yang membutuhkan sarana rekreasi keluarga yang jaraknya cukup dekat namun dapat
menjalin keakraban keluarga seperti agrowisata ataupun eduvacation. Kota Binjai memenuhi syarat itu, namun
sampai dengan saat ini kegiatan tersebut belum tersedia di Kota Binjai. Untuk itu perlu dilakukan pencitraan
yang baru terhadap Kota Binjai untuk menarik minat investor dalam mengembangkan usaha tersebut.

Positioning yang dimiliki Kota Binjai yaitu letak Kota Binjai itu sendiri yang sangat strategis, tidak
jauh berada dari Kota Medan dan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Dimana kedepannya akan dibangun
jalan tol yang menghubungkan Kota Binjai-Medan-Bandara Kuala Namu. Bandara Kuala Namu merupakan
salah satu Bandara Internasional yang ada di Indonesia. Sebagai bandara internasional yang merupakan pintu
masuk wisatawan, baik nasional maupun internasional. Dengan positioning yang dimiliki Kota Binjai ini, maka
untuk menarik investor maka harus diciptakan image (citra) bahwa menanamkan investasi di Kota Binjai sangat
menguntungkan.

Setelah target market pertama (investor) maka target market Kota Binjai selanjutnya adalah
pengunjung, karena dengan banyaknya wisatawan yang datang ke Kota Binjai, maka produk unggul yang ada di
Kota Binjai dapat dipasarkan, seperti yang dikatakan Anholt (2010:15) bahwa salah satu cara kegiatan dalam

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 57


menciptakan citra suatu kota adalah melalui promosi pariwisata mereka, serta pengalaman orang mengunjungi
negara sebagai turis atau pelancong bisnis. Untuk menarik wisatawan agar mau datang ke Kota Binjai, maka
Kota Binjai harus menerapkan sapta pesona yang merupakan kebijakan dalam dunia pariwisata tanah air, yaitu
Kemanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan. Tujuan diselenggarakan
program Sapta Pesona adalah untuk meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab segenap lapisan masyarakat,
baik pemerintah, swasta maupun masyarakat luas untuk mampu bertindak dan mewujudkannya dalam
kehidupan sehari-hari.

Kota Binjai saat terkenal biasa saja, kota kecil yang tidak memiliki keistimewaan tersendiri, Kota
Binjai yang memang tidak dikarunian panorama alam yang indah. City Branding Kota Binjai yang direncanakan
harus mampu merubah image itu, yaitu menjadi kota yang indah, kesan indah ini dapat diciptakan dengan
peranan dari pemerintah Kota Binjai dalam menata pembangunannya, baik dari segi arsitekturnya maupun dari
penataan landskapnya. City Branding ini dimaksudkan agar merubah image Kota Binjai yang hanya terkesan
Kota yang kecil, kota yang biasa saja menjadi kota yang menggambarkan bahwa Kota Binjai itu kota yang
indah, dengan keunikan yang dimilikinya yaitu perpaduan antara suasana kota dan pedesaan.

Karena tidak memiliki keunikan dan keistimewaan di mata pengunjung, City Branding Kota Binjai
yang akan direncanakan juga harus menggambarkan bagaimana terkesannya wisatawan selama berada di Kota
Binjai, merasakan bahwa momen-momen yang selama ini dianggap biasa saja menjadi momen yang indah
selama di Kota Binjai untuk dikenang. Kesan ini akan menarik pengunjung agar mau datang kembali ke Kota
Binjai, bukan karena ada urusan ataupun keluarga tapi memang khusus datang mengunjungi Kota Binjai.
Dengan terciptanya kesan bahwa Kota Binjai itu kota yang indah, dan setiap momen yang dialami selama
berada di Kota Binjai menimbulkan kesan yang mendalam akan menarik minat para pengunjung yang belum
pernah ataupun yang selama ini tidak berminat datang ke Kota Binjai mau mengunjungi dan berwisata ke Kota
Binjai. Untuk menciptakan kesan yang indah juga dapat dilakukan dengan mengadakan event atau festival yang
dapat mengundang wisatawan datang ke Kota Binjai, seperti wisata jajanan kuliner, yang selama ini untuk
berwisata kuliner di Kota Binjai bagi yang belum pernah akan bingung mencari karena tempatnya yang terpisah,
pada event atau festival tersebut ditempatkan pada suatu tempat sehngga akan mempermudah orang yang
berwisata kuliner. Setelah Kota Binjai dikenal orang maka target market selanjutnya adalah penduduk
(ahli/orang-orang berbakat) agar tertarik untuk mengembangkan Kota Binjai dan potensi yang ada di dalamnya,
dan akhirnya export markets sehingga potensi unggulan yang ada di Kota Binjai akhirnya dapat di eksport ke
luar negeri.

Bagaimana agar City Branding Kota Binjai ini terbentuk tentunya perlu dukungan dari semua pihak,
baik dari pemerintah dan pejabat yang berwenang dengan kebijakan-kebijakannya, penduduknya dengan tetap
menjaga sifat kekeluargaan dan keramahannya dan juga mendukung program pemerintah, dan juga para pelaku
usaha di Kota Binjai ikut mendukung pembangunan City Branding Kota Binjai. Kebijakan-kebijakan
pembangunan diharapkan dapat membentuk image Kota Binjai yang akan dibentuk, seperti penataan ruang yang
betul-betul menciptakan suasana yang indah di Kota Binjai contohnya seperti menciptakan ruang terbuka publik
atau dengan tetap menjaga ruang terbuka hijau di Kota Binjai. Kota Binjai saat ini memang belum memiliki
pemandangan alam yang indah saat ini, namun kedepannya dapat direncanakan dan diciptakan suasana kota
yang tertata dengan rapi sehingga menciptakan suasana yang indah, baik dari desain (rancangan arsitektur)

58 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


bangunannya maupun dari struktur penataan kota yang akhirnya menciptakan kenyamanan bagi masyarakat
yang berada di Kota Binjai. Demikian juga kebijakan-kebijakan pelayanan publik bagaimana agar tercipta kesan
bahwa selama melakukan pengurusan baik perizinan maupun hal-hal yang terkait administrasi para investor
menerima pelayanan yang paling baik. Bagaimana agar kesan yang baik ini dapat disampaikan kepada publik,
tentunya hal ini dengan City Branding Kota Binjai. City Branding Kota Binjai harus menggambarkan kesan ini,
bahwa selama melakukan bisnis di Kota Binjai mereka mendapatkan kesan bahwa mereka mendapatkan
perlakuan yang istimewa dari pemerintah Kota Binjai. sehingga dengan tertariknya investor, maka potensi
unggulan yang ada di Kota Binjai dapat dikembangkan.

Kota Binjai saat ini sedang berkembang, kedepannya akan dibangun pusat perkotaan baru yang berada
di Kecamatan Binjai Timur dimana saat ini lahan yang ada masih dalam proses pengurusan lahan, karena saat
ini lahan yang ada masih berstatus HGU yang dikuasai perkebunan PTPN II. Untuk itu kedepannya perencanaan
Kota Binjai yang akan dibangun ini harus direncanakan sedemikian rupa sehingga akan menciptakan suasana
yang indah sehingga mendukung City Branding Kota Binjai.

Potensi-potensi sumber daya alam seperti rambutan, jambu madu, jambu delima merah, ikan lele, dan
lain sebagainya dapat diciptakan suatu agrowisata ataupun eduvacation yang dapat menarik minat pengunjung
untuk datang ke Kota Binjai. Seperti misi Kota Binjai dan perkataan dari Bapak Kepala Humas Pemko Binjai
bahwa Kota Binjai ini mau dijadikan sebagai kota yang layak anak. Agrowisata dan eduvacation yang diadakan
mengandung unsur wisata sambil anak-anak mendapat ilmu pengetahuan dari sana, wisata yang bermanfaat
untuk anak. Begitu juga dengan UMKM yang ada di Kota Binjai, harus ada pembinaan bagaimana menciptakan
suatu produk yang dapat menarik minat pembeli. Seperti contohnya ulos, orang tidak perlu jauh-jauh lagi
membeli produk ulos ke Siantar (tempat yang banyak menghasilkan ulos) tapi cukup datang ke pengrajin ulos
langsung di Kota Binjai, dan tentunya harga yang yang harus dibayar tidak terlalu mahal. Dan tentu saja produk
ulos yang dihasilkan juga harus bisa menghasilkan inovasi-inovasi baru. Agar ulos yang selama ini hanya
dipakai untuk adat suku Batak, maka suku lain bisa menggunakan ulos, yaitu dengan menciptakan produk
(souvenir) yang terbuat dari ulos. Kerajinan ulos ini juga bisa dikembangkan menjadi eduvacation, seperti
belajar menenun ulos, memberi pengetahuan kepada wisatawan yang datang mengenai segala sesuatu mengenai
ulos, mulai dari sejarah, jenis, cara membuatnya, yang akhirnya dapat menambah nilai tambah bagi nilai ulos itu
sendiri di mata masyarakat. Seni budaya dan heritage yang ada di Kota Binjai juga dijadikan suatu event yang
menarik, bagaimana agar pengunjung merasa bahwa heritage yang ada di Kota Binjai benar-benar dijaga
kelestariannya. Festival-festival seni budaya yang diadakan, penduduk dan pengunjung dapat juga berperan
serta disana, apakah sebagai penonton ataupun sambil belajar, contohnya memainkan alat musik ataupun belajar
menari tradisional.

Untuk melakukan pemasaran daerah perlu dilakukan komunikasi pemasaran agar dapat menyampaikan
informasi mengenai kondisi daerah yang ada, yang kemudian berusah mempengaruhi target market (Investor,
pengunjung, ahli, export market) agar mau menanamkan investasi di daerah, tinggal di daerah tersebut ataupun
ikut mengembangkan daerah. Untuk itu dalam merencanakan City Branding Kota Binjai maka city brand yang
akan direncakan harus mampu mengkomunikasikan itu semua. Brand itu adalah janji yang diberikan Kota
Binjai kepada target marketnya (dalam hal ini wisatawan) mengenai keadaan Kota Binjai, brand (merek) bukan
hanya sebuah logo ataupun nama. Namun lebih dari itu, dimana brand dapat menjadi suatu identitas bagi Kota

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 59


Binjai. Untuk meningkatkan nilai tambah (added value) Kota Binjai dimata target marketnya maka Kota Binjai
harus menciptakan brand yang mampu mempengaruhi emosional target market tersebut. Brand yang ada harus
menciptakan kesan yang mendalam terhadap target market. brand harus memiliki kriteria ketersediaan, berarti,
mudah diingat, dapat dilindungi, orientasi kedepan, positif, dan dapat dialihkan (Kotler dan Pfoertsch, 2006).
City Branding adalah proses membentuk suatu merek dalam hal membangun suatu komunikasi kepada target
pasar dengan memberikan nama, simbol tanda, logo, dan lain sebagainya agar menciptakan citra yang baik bagi
kota tersebut sehingga dapat menciptakan dan memperkaya kualitas kota.

Dari uraian diatas, maka City Branding Kota Binjai yang harus dibentuk untuk menarik investor harus
menggambarkan kesan bahwa Kota Binjai adalah kota yang ramah investor dengan memberikan pelayanan yang
prima dan juga menggambarkan bahwa Kota Binjai adalah kota yang strategis untuk menananamkan investasi.
Sedangkan brand untuk menarik wisatawan ataupun penduduk (ahli) harus menggambarkan suasana Kota
Binjai saat ini yang indah dan unik, merupakan perpaduan Kota dan Desa dengan suasana yang aman dan
nyaman.

5. KESIMPULAN

City Branding di Kota Binjai dalam mendukung daya saing daerah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Saat ini Brand image Kota Binjai di mata penduduk dan pengunjung Kota Binjai adalah buah rambutan;
perasaan yang nyaman, aman, indah; ditambah dengan keramahan penduduk; kenyamanan dan keamanan
kota.

b. Persepsi pengunjung yang datang ke Kota Binjai, kota ini identik dengan rambutan. Kota Binjai dianggap
sebagai kota yang ramah dan bersahabat.

c. Masyarakat berharap fasilitas yang lebih lengkap, dengan perlu menonjolkan keunikan dari kota ini,
terutama dari produk rambutannya yang sangat terkenal enak dan unggul.

2. Lokasi Kota Binjai yang strategis karena dekat dengan ibukota provinsi Sumatera Utara, Kota Medan. Jalan
tol yang menghubungkan Kota Binjai-Kota Medan-Bandara Kualanamu, masuk dalam Kawasan Strategis
Nasional (KSN) Mebidangro (Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo).

3. City brand di Kota Binjai dapat meningkatkan daya saing daerah dan secara tidak langsung mampu
meningkatkan taraf hidup masyarakat Kota Binjai serta menarik investor, wisatawan, ataupun penduduk
asli. Kota Binjai strategis bagi investor untuk menananamkan modalnya merupakan perpaduan Kota dan
Desa dengan suasana yang aman dan nyaman.

Perencanaan City Branding ini merupakan awal dari membangun City Branding Kota Binjai. Agar City
Branding Kota Binjai dapat berhasil tentunya diperlukan waktu dan proses yang cukup lama dan membutuhkan
keterlibatan dari semua pihak. Untuk itu penulis merekomendasikan hal-hal berikut :

1. City brand Kota Binjai memiliki elemen brand dengan beberapa Slogan di bawah ini :

―Beautiful Binjai, Beautiful Moment‖ .

―Beutiful Binjai, Be Healthy‖

―Delicious Rambutan, only in Binjai‖

60 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


2. Untuk Logo perlu direncanakan, tentunya diperlukan jasa ahli desain bagaimana agar logo yang dihasilkan
dapat menarik mampu menggambarkan slogan yang ada.

3. Ikon untuk city brand Kota Binjai sebaiknya adalah Rambutannya yang sudah terkenal dan sesuai dengan
keinginan dari penduduk dan pengungjung Kota Binjai.

4. Sedangkan untuk Kisah brand itu sendiri yang dapat memperkuat brand Kota Binjai dapat diciptakan
dengan mengangkat kisah asal muasal Kota Binjai yang berasal dari sebuah pohon binjai dengan menanam
kembali pohon binjai tersebut, sehingga orang mengetahui seperti apa pohon binjai itu sendiri sebagai asal
muasal pemberian nama Kota Binjai.

5. Diperlukan kerjasama yang baik dan rasa optimisme yang tinggi antara pemerintah, masyarakat, dan
pengusaha ntuk mewujudkan city brand Kota Binjai dengan sosialisasi yang menggambarkan manfaat yang
diperoleh pemerintah, masyarakat dan pengusaha bila city brand Kota berhasil dibentuk. Juga dapat
membentuk kerjasama dengan universitas terkemuka bagaimana mengembangkan produk yang ada di Kota
Binjai ataupun kerja sama dengan daerah yang ada di sekitar Kota Binjai.

6. Saat ini website yang dimiliki Kota Binjai masih menunjukkan informasi dan berita yang bentuknya hampir
sama dengan kota ataupun kabupaten lainnya. Untuk membangun City Branding yang kuat maka penulis
menyarankan perlu website yang lebih menarik lagi, yang mampu menggambarkan potensi dan kemenarikan
Kota Binjai.

7. City Branding harus diperkenalkan kepada publik baik dalam negeri maupun luar negeri antara lain melalui
hubungan masyarakat (humas), pameran perdagangan, periklanan, dan promosi penjualan.

8. Untuk mendukung terciptanya brand image Kota Binjai yang baru maka fasilitas yang ada di Kota Binjai
saat ini harus lebih ditingkatkan dan dilengkapi lagi

REFERENSI

Anholt, S. 2007. Competitive Identity. The New Brand Management for Nations, Cities and Regions. Britain :
Palgrave Macmillan. Ebook.

Binjai Bukan Lagi Sebatas Kota Persinggahan. 2012. www.analisadaily.com 18 Desember.

Binjai Menuju Kota Buah. 2013. http://www.waspada.co.id 20 Januari.

Braun, Erik. 2008. City Marketing Towards an Integrated Approach. Rotterdam : Erasmus Research Institute of
Management.

Coyne, Christopher J., 2012. Trade Openness and Cultural Creative Destruction, Vol 1., No. 1, 2012, P.

Djunaedi, Achmad. 2002. Pemasaran Kota dalam kaitannya dengan Perencanaan Kota. Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Nasional ―Peranan Pendidikan Perencanaan di Indonesia: Menjawab
Tantangan Perubahan‖, kerjasama antara MPKD UGM dengan Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia
(ASPI), Yogyakarta, 27 Juli 2002.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 61


Fadallah, A. Akbar. 2012. Identifikasi Proses Penerapan Konsep City Branding Kota Pekalongan. Tugas Akhir.
Bandung : Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan. Institut Teknologi Bandung.

Kartajaya, Hermawan. 2006. Marketing Klasik Indonesia. Anniversary Edition. Bandung : Mizan dan MarkPlus
& Co.

Kota Binjai Menjadi Barometer Pembangunan Keagamaan di Sumut. 2013. Sumut.kemenag.go.id. 15 Februari.

Kota Binjai Pemasok Ikan Lele Terbesar di Sumut. 2013. www.binjainews.net

Kotler dan Armstrong. 2001. Prinsip-Prsinsip Pemasaran Jilid 2 Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga.

Kotler, Philip dan Pfoertsch, Waldemar. 2006. B2B Brand Management Dengan Membranding Membangun
Keunggulan dan memenangi kompetisi. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

KPPOD, USAID, dan The Asia Foundation. 2005. Daya Saing Investasi Kabupaten/ Kota di Indonesia,
Persepsi Dunia Usaha.

Lupiyoadi, Rambat dan Hamdani, A. 2006. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Salemba empat.

Magnadi, R. Hari dan Indriani, Faridia. 2011. Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun “City Branding”
yang Berkelanjutan : Sebuah Upaya untuk Mendorong Pertumbuhan Perekonomian Daerah. Prosiding
Seminar Nasional Penelitian dan PKM : Sosial, Ekonomi, dan Daerah. Unisba. p.281-290.

Matlovičová, Kvetoslava. 2008. Place Marketing Process – Theoretical Aspects of Realizaton. Acta Facultis
Studiorum Humanitatis et Nature Universitatis Psesoviensis, Priodne vedy, Folia Geographica, 12, PU, p.
195-224.

Malaysia Minati Kerajinan Bambu Binjai Sumut. 2013. www.analisadaily.com (21 Februari 2014).

Nam, Taewoo, 2013. Citizen Participation in Visioning A Progressive City: A Case Study of Albany 2030,
International Review of Public Administration, Vol. 18, No. 3, 2013.

PPSK Bank Indonesia – LP3E FE-Unpad. 2008. Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/
Kota di Indonesia. Jakarta : RajaGrafido Persada.

Rahmadyani, I. 2011. Identifiasi Elemen Pembentuk City Branding Kota Bandung. Tugas Akhir. Bandung :
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan
Kebijakan. Institut Teknologi Bandung.

Rainisto, Seppo K. 2003. Success Factors Of Place Marketing: A Study Of Place Marketing Practices In
Northern Europe And The United States. Doctoral Dissertations Helsinki University of Technology,
Institute of Strategy and International Business. Disertasi

Riyadi. 2009. Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 5,
No. 1 (Maret)..

Sadat, Andi M. 2009. Brand Belief Strategi Membangun Merk Berbasis Keyakinan. Jakarta : Salemba Emp
Siregar, A. Sadat. 2012. Strategi Regional Branding Kabupaten Padang Lawas Utara. Tesis. Universitas
Sumatera Utara.

62 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang
Pengaturan Penggunaan Jalan Umum Dan Jalan Khusus Di Provinsi Riau

Febri Yuliani

FISIP Universitas Riau

Telp : + 62 – 0813 – 6595- 2525

e-mail : febby_sasha@yahoo.co.id

Abstrack: Prasarana jalan semakin diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan
hasil-hasil pembangunan di Provinsi Riau. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi
dan pengembangan wilayah.

Panjang Jalan Provinsi Riau mencapai 23.733 Km, dari panjang tersebut sekitar 8.069,22 Km atau 34
persen di antaranya mengalami kerusakan ringan, sedang, dan berat dengan kondisi memprihatinkan.
Berdasarkan data Direktorat Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan pada 2010 dari 23.733 kilometer
total panjang jalan di Riau, tercatat 34 persen dalam keadaan rusak sedang, ringan dan berat. Dari total
panjang jalan itu sebesar 82 persen merupakan jalan kabupaten dan kota, sedangkan 13 persen jalan provinsi,
dan sisanya jalan negara. Sementara itu jalan negara yang baik mencapai 28 persen dan jalan kabupaten/ kota
yang dalam keadaan baik 32 persen. Mencermati fakta demikian, pembangunan infrastruktur yang ada selama
ini belum maksimal dalam menjawab kebutuhan masyarakat.

Kerusakan jalan tersebut penyebabnya antara lain akibat dilalui kendaraan bermuatan berat atau
melebihi batas tonase yang ditentukan. Selain dilalui oleh kendaraan bertonase berat dan volume kendaraan
melebihi kapasitas jalan, kerusakan tersebut juga akibat dimakan usia dan minimnya pemeliharaan. Kini
kondisi sebagian badan jalan tersebut dalam keadaan memprihatinkan, termasuk yang menghubungkan antar
daerah sehingga diperlukan peningkatan perawatan jalan setiap tahun disamping melakukan pengawasan agar
tidak dilalui oleh kendaraan bertonase tinggi.

Kata Kunci : Kebijakan, Jalan umum, jalan khusus

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 63


Latar Belakang Penelitian :

Sebagai salah satu upaya Pemerintah Provinsi Riau dalam mengatasi masalah penggunaan jalan di Riau
pemerintah telah disusunnya Peraturan Daerah Provinsi (Perda) Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan
Penggunaan Jalan Umum Dan Jalan Khusus. Beberapa hal yang digariskan dalam Peraturan Daerah tersebut
digariskan bahwa pengaturan Jalan Umum dan Jalan Khusus ini bertujuan untuk mewujudkan keamanan,
ketertiban dan keselamatan dalam penggunaan jalan, mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan
berhasil guna untuk mendukung penyelenggaraan sistem transportasi yang terpadu, mewujudkan pelayanan
jalan yang andal dan prima serta berpihak kepada kepentingan masyarakat, mewujudkan Sistem informasi
teknologi yang mampu menyederhanakan pengawasan dan mencegah perbuatan aparatur pemerintah yang
melanggar hukum.

Untuk mengkaji lebih jauh suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variabel dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan
pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk
menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang saya bagikan adalah model implementasi
yang dikemukakan oleh George Edward III.

Menurut Edward III dalam bukunya " Implementing Public Policy ", studi implementasi kebijakan adalah
krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan
kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang
dipengaruhinya.

Studi ini termasuk ruang lingkup penelitian kebijakan di bidang perhubungan dan IT untuk tujuan
mengevaluasi kebijakan yang ada dan menghasilkan konsep kebijakan operasional pemerintah dalam
pelaksanaan pengaturan Jalan Umum dan Jalan Khusus, terutama untuk penyelenggaraan pengembangan
Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu-lintas.

Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam melakukan studi implementasi adalah metode kualitatif.
Dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif maupun Yuridis Empiris dengan menggunakan data sekunder
maupun data primer.

1. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder,
baik yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi
lainnya.

2. Sedangkan pendekatan Yuridis Empiris dapat dilakukan dengan menelaah data primer yang
diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer dapat diperoleh dengan cara:
pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, mendengar pendapat
narasumber atau para ahli, menyebarkan kuestioner dan sebagainya.

Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan cara wawancara kepada informan. Dalam pendekatan

64 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kualitatif ini menekankan metode efistemologik untuk melahirkan reformulasi dan rekonseptualisasi teori kebijakan
dari perspektif yang diteliti dan peneliti melalui integrasi pendekatan kualitatif . Dari penelitian ini diharapkan
akan menghasilkan proposisi hipotetik baru melalui interpretasi interaksi antara atribut dan propertise yang
selanjutnya digunakan untuk membangun katagori dan memberikan ekplanasi terhadap fenomena yang diteliti.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 sebagai derivasi kebijakan diatas
menjelaskan tentang pemanfaatan penggunaan jalan umum dan jalan khusus yang pada akhirnya adalah

1. Menjamin kenderaan laik jalan selama beroperasi, melindunggi jalan /jembatan dari kerusakan akibat
pembebanan kenderaan bermotor

2. Untuk kelancaran, keselamatan dan kenyamanan dalam berlalu lintas dijalan umum, mengurangi angka
kecelakaan lalu lintas sebagai akibat overdimensi/overload

3. Pengumpulan data/informasi sebagai bahan evaluasi pergerakan kenderaan angkutan orang dan barang
dalam rangka perencanaan transportasi di Provinsi Riau khususnya, nasional pada umumnya.

Hasil penelitian menunjukkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 menunujukkan bahwa
pengaturan jalan umum dan jalan khusus sangat cocok sekali mengingat tingkat kerusakan jalan yang
diakibatkan kelebihan Tonase muatan yang mempercepat umur jalan (Life Time) dalam tahap pemeliharan
ataupun Rekonstruksi membuat pemborosan terhadap keuangan daerah.

Disamping dapat meminimalkan biaya operasional pemeliharaan, dengan adanya perda jalan ini,
pemerintah daerah (Pemda) dapat memperoleh manfaat, sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar
pengguna jalan khusus adalah perusahaa-perusahaan besar di Riau ini seperti PTPN 5, PT.RAPP, CPI dan
beberapa perusahaan perkebunan lainnya, mereka-mereka ini pada umumnya membuat sendiri jalan untuk
operasional kenderaan mereka. Hal ini dapat merupakan keuntungan dari segi ekonomis baik untuk Pemda
sendiri atau bagi masyarakat sekitar jalan yang dibuka mereka, bagi Pemda dapat menghemat biaya, dalam
artian Pemda tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membuka jalan baru, dan bagi masyarakat sekitarnya
dapat membuka akses baru dan memudahkan masyarakat dalam beraktivitas dengan dibukanya jalan ini.

Untuk menerapkan Perda No. 5 tahun 2013 hendaklah diiringi dengan menyiapkan teknis operasional
dalam pengaturan jalan. Pengaturan jalan untuk kendaraan yang memiliki muatan lebih selama ini dilakukan
dengan melakukan pengecekan melalui jembatan timbang. Pada pengecekan melalui jembatan ini masih
dirasakan banyaknya kelemahan-kelemahan seperti proses penimbangan yang manual dan jumlah petugas yang
terbatas yang pada akhirnya membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyelesaikan pengecekan pada satu-
satu kendaraan. Hal ini akan berakibat terjadinya antrian kendaraan yang cukup panjang untuk memasuki
jembatan timbang dan apabila antrian ini panjangnya sampai memakan jalan umum sebelum memasuki
jembatan timbang tentunya akan menggangu kelancaran arus lalu lintas yang dilalui oleh masyarakat umum.
Disamping itu, misi untuk menjaga perawatan jalan terhadap kendaraan yang memiliki beban lebih tidak dapat
dijalankan melalui pengecekan pada jembatan timbang karena kendaraan yang memiliki beban yang melebihi
ketentuan hanya diharuskan untuk membayar denda. Oleh karena itu agar penerapan Perda No.5 tahun 2013
dapat berjalan dengan baik maka diperlukan suatu sistem pengaturan. Pengaturan ini meliputi pengaturan yang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 65


melibatkan kendaraan antar propinsi yang memasuki Propinsi Riau dan juga pengaturan kendaraan yang
terdaftar pada kota/kabupaten di Propinsi Riau. Secara umum baik itu kendaraan luar Propinsi Riau maupun
kendaraan yang terdaftar pada Propinsi Riau didalam pengaturannya akan melewati proses yang ada pada
komponen-komponen berikut ini:

1. Pengelompokan Kendaraan menurut jenis tonase sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2. Pengecekan kendaraan menurut jenis tonase sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Peringatan terhadap pengemudi mengenai kelebihan muatan pada kendaraan yang dikendarainya.
4. Pusat informasi untuk pergudangan yang mencakup kapasitas dan lokasi secara real time.

Komponen-komponen diatas bekerja pada jaringan infrastruktur sistem informasi dengan melibatkan
database untuk mendukung kinerjanya.

Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat penyediaan jasa pelayanan sarana dan
prasarana menghadapi tiga dimensi permasalahan. Pertama, pembangunan sarana dan prasarana tidak mudah
karena mencakup penggunaan kapital yang sangat besar, waktu pengembalian modal yang panjang, penggunaan
lahan yang cukup luas, pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan implementasi perlu waktu panjang untuk
mencapai skala ekonomi yang tertentu. Di lain pihak kemampuan ekonomi nasional pada saat ini sangat
terbatas, baik dana yang berasal dari pemerintah maupun swasta. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana
merupakan prakondisi bagi berkembangnya kesempatan dan peluang baru di berbagai bidang. Peningkatan
jumlah penduduk mendorong perlunya tambahan pelayanan sarana dan prasarana. Ketiga, menghadapi
persaingan global dan sekaligus memenuhi permintaan masyarakat akan jasa pelayanan sarana dan prasarana
memerlukan restrukturisasi dalam penyelenggaraan usaha pelayanan jasa sarana dan prasarana.

Tingkat kerusakan jalan akibat over loading dan sistem penanganan yang belum memadai, berakibat
pada hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai, sehingga diperlukan biaya tambahan untuk
mempertahankan fungsi suatu jalan. Hal tersebut akan berpengaruh pada berkurangnya alokasi untuk jalan yang
lain sehingga pada akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu. Selain itu, kerugian paling besar
secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan, yaitu bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga biaya
operasional kendaraan akan semakin tinggi, serta akibat tak langsung komponen biaya transport pada proses
distribusi barang semakin bertambah. Kerusakan prasarana jalan telah menyebabkan terjadinya kemacetan masif
(bottlenecks) di berbagai ruas jalan yang merupakan lintas ekonomi serta telah meningkatkan secara dramatis
biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan.

Kesimpulan :

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah (1) Implentasi kebijakan akan terlaksana dengan baik apa bila
seluruh komponen kebijakan (aktor kebijakan , private sector dan masyarakat ) memahami isi kebijakan tersebut
(2) Perda Nomor 5 Tahun 2013 tetap dapat dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa poin penting, seperti
Komunikasi, Sumber daya, sikap pelaksana kebijakan dan struktur birokrasi

66 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Rekomendasi yang diberikan :

(1) Secepatnya perlu dilakukan sosialisasi oleh instansi terkait seperti Dishub, kepolisian dan lembaga
terkait lainnya. (2) Perda No. 5 Tahun 2013 perlu konsekuensi logis dalam pelaksanaannya seperti
penyediaan sarana dan prasarana serta para pelaksana di lapangan. (3) Penyusunan standar operasional
prosedur yang jelas sebagai jabaran dari perda No. 5 tahun 2013 tersebut.

Daftar Pustaka

Dunn, William N. 2011. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi II. Penyunting Muhadjir Darwin.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lilik Ekowati, Mas Roro, 2004 Perencanaan. Implememasi dan Evaluasi Kebijakan Atau Program, Pustaka
Cakra, Surakarta.

Mikkelsen, Britha. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Terjemahan
Matheos Nalle. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tietenberg, Tom, 2001. Environtmental Economics and Policy, Addison Wesley, Boston

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan Jalan Umum Dan Jalan Khusus

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 67


Evaluasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) Di
Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow

Abdul Rahman Dilapanga

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado

Abstrak: Setiap kebijakan publik yang telah ditetapkan dan diimplementasikan, harus diawasi, dan salah satu
mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai “evaluasi kebijakan”. Evaluasi kebijakan biasanya ditujukan
untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada publik, sejauh
mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dengan “kenyataan”.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk memperoleh temuan lapangan, menganalisis dan
menginterpretasikan data lapangan sehingga diperoleh gambaran tentang evaluasi kebijakan PPIP di
Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow. Metode atau pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang
bertujuan untuk mengungkap, menganalisis dan menginterpretasikan data lapangan, oleh karena itu digunakan
pendekatan kualitatif. Analisis data yang digunakan adalah analisis model interaktif dari Miles dan Huberman.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:1. Secara keseluruhan ketiga desa sasaran (Bolaang I,
Bantik, dan Lolan I) PPIP di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow, telah mengikuti
tahapan-tahapan pelaksanaan pembangunan infrastruktur perdesaan. 2. Masyarakat telah desa diberdayakan
dalam pelaksanaan pembangunan melalui OMS, KPP dan KD artinya keseluruhan proses pelaksanaan
kegiatan (tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan melibatkan peran aktif masyarakat. 3.
Fasilitator Masyarakat (FM) yang ditempatkan di Kecamatan Bolaang Timur, telah berperan dalam
membimbing dan mengarahkan OMS, KD dan KPP mulai dari tahapan penyiapan dan sosialisasi hingga
pelaporan dan penyerahan infrastruktur yang dibangun kepada KPP dan pemerintah desa.4. Kelompok
masyarakat miskin dan kaum perempuan benar-benar diberdayakan dan diberikan kesempatan untuk terlibat
secara aktif berpartisipasi mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan dan
pemeliharaan dalam pelaksanaan PPIP pada ketiga desa sasaran. 5. Infrastruktur yang dibangun pada ketiga
sasaran dapat diterima oleh masyarakat, karena masyarakat telah dilibatkan mulai dari tahapan survey,
perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan sehingga tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat desa. 6.
Masyarakat pada ketiga desa sasaran merasakan manfaat dengan dibangunnya infrastruktur pada masing-
masing desa.7. Secara keseluruhan proses perencanaan oleh masyarakat melalui OMS dan pelaksanaan
pembangunan infrastruktur pada ketiga desa sasaran telah dilaksanakan berdasarkan standar dan kriteria yang
telah ditentukan. 8.

68 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Telah dilakukan penguatan dalam pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi secara terus menerus serta
adanya mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara efektif.

Kata-kata kunci: Evaluasi, Kebijakan, Pembangunan, Infrastruktur

Pendahuluan

Kebijakan Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) merupakan upaya penanggulangan


kemiskinan melalui peningkatan akses masyarakat miskin terhadap infrastruktur dasar perdesaan. Program
tersebut berbasis masyarakat dengan konsep pemberdayaan masyarakat yang berupaya menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan kualitas kehidupan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan PPIP adalah menciptakan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, baik secara
individu maupun kelompok sehingga mampu memecahkan berbagai permasalahan terkait kemiskinan dan
ketertinggalan yang ada di desanya. Kebijakan PPIP merupakan program berbasis pemberdayaan masyarakat
di bawah payung PNPM Mandiri, yang komponen kegiatannya meliputi fasilitasi dan mobilisasi masyarakat
sehingga mampu melakukan identifikasi permasalahan ketersediaan dan akses ke infrastruktur dasar, menyusun
perencanaan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur dasar.

Kecamatan Bolaang Timur sebagai wilayah pemekaran dari Kecamatan Bolaang Kabupaten Bolaang
Mongondow, yang meliputi Sembilan desa yaitu: Ambang I, Ambang II, Desa Tadoy, dan Tadoy I, Bolaang dan
Bolaang I, Desa Bantik, Lolan dan Lolan I, juga ditetapkan sebagai lokasi PPIP. Sesuai penetapan Kementerian
PU, maka pada tahun 2012 PPIP di Kecamatan Bolaang Timur meliputi empat desa yaitu: Tadoy, Tadoy I,
Bolaang dan Ambang I, sedangkan untuk tahun anggaran 2013 mencakup tiga desa yaitu: Lolan, Bantik dan
Bolaang I.

PPIP sebagai suatu kebijakan mencakup tiga proses kegiatan yaitu formulasi, implementasi dan
evaluasi. Program pembangunan infrastruktur yang diusulkan dan dibangun di desa dirumuskan dan ditetapkan
melalui musyawarah desa, selanjutnya diimplementasikan sesuai anggaran yang disediakan oleh pemerintah,
yaitu masing-masing desa memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp. 250.000.000,-.

Dengan tersedianya anggaran, maka proposal yang telah dimusyawarahkan melalui musayawarah desa,
dilaksanakan dengan memberdayakan masyarakat yang terdiri dari Organisasi Masyarakat Setempat (OMS),
Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) dan Kader Desa (KD). Sesuai ketentuan pengurus tidak melibatkan
perangkat desa dan PNS pada posisi ketua, sekretaris dan bendahara Organisasi Masyarakat Setempat (OMS).

Metode Penelitian

Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap, menganalisis dan
menginterpretasikan data lapangan, oleh karena itu digunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini
memfokuskan pada proses deskripsi dan pemberian makna atas berbagai faktor yang berhubungan dengan
evaluasi program pembangunan infrastruktur perdesaan (PPIP) oleh karena itu penelitian ini menggunakan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 69


pendekatan kualitatif. Fokus dalam penelitian kualitatif berkaitan erat dengan masalah yang dirumuskan dan
dijadikan acuan dalam penentuan fokus penelitian. Dalam penelitian ini focus utama adalah ―Evaluasi Program
Pembvangunan Infrastruktur Perdesaan‖

Dengan mengacu pada fokus utama tersebut di atas, maka fokus penelitian teraebut selanjutnya
dijabarkan dalam dua pertanyaan peneloitian berikut: 1. Bagaimana evaluasi program pembangunan
infrastruktur perdesaan (PPIP)di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow?,

Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Bolaang Timur Kabupaten Bolaang Mongondow
Provinsi Sulawesi Utara, dengan situs desa Bolaang I, Bantik dan Lolan I. Dipilihnya lokasi ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa ketiga desa tersebut adalah desa yang ditetapkan sebagai penerima dan pelaksana PPIP
tahun 2013.

Dalam penelitian naturalistik yang dijadikan sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan
informasi. Sampel dapat berupa hal, peristiwa, manusia, situasi yang diobservasi (Nasution, 1988:32).
Selanjutnya Lofland and Lofland, dalam Moleong (1994:112) mengemukakan ―sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-
lain‖. Sesuai dengan masalah dan fokus dalam penelitian ini, maka sumber data adalah: Key informan,
informan awal atau kunci dalam penelitian ini dipilih secara purposif (Stratified Purposive Sampling). Hal ini
dilakukan untuk memilih informan yang benar-benar relevan dan benar-benar memahami permasalahan yang
diteliti. Sedangkan informan selanjutnya diminta kepada informan awal untuk menunjuk orang lain yang
banar-benar dapat memberikan informasi dan kemudian informan ini diminta pula untuk menunjuk informan
lain dan seterusnya. Cara ini lazim disebut “snowball sampling” yang dilakukan secara berurutan atau serial.
Dalam penelitian ini yang dipandang sebagai informan awal atau key informan adalah Ketua-ketua organisasi
masyarakat setempat (OMS), Kader Desa (KD) dan Kelompok Pemanfaat dan Penelihara (KPP) pada ketiga
desa sasaran

Dalam penelitian kualitatif, instrument utama adalah peneliti sendiri. Nasution (1988:34)
mengemukakan ―pada awal penelitian penelitilah alat satu-satunya‖. Untuk memudahkan dalam pengumpulan
data, maka peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, field notes, tape recorder, camera
foto dan sebagainya.

Teknik pengumpulan data:Wawancara mendalam (In- Depth Interview), teknik ini digunakan untuk
menjaring data yang berhubungan dengan : evaluasi program pembangunan infrastruktur (PPIP). Observasi,
teknik ini digunakan untuk mengamati kondisi sosial terutama interaksi dan kerja sama antara ketua dan
anggota maupun sesama anggota OMS, KD dan KPP maupun hubungan kemitraan dengan pemerintah desa.
Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk menghimpun berbagai informasi tertulis yang berhubungan kegiatan
OMS, KD dan KPP.

Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data bergerak dari lapangan empiris dalam upaya
membangun teori dari data. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sepanjang bulan Agustus
sampai dengan Oktober 2014, yang meliputi tiga tahapan yaitu: a) Proses Memasuki Lokasi Penelitian (Getting
In). Sebelum memasuki lokasi penelitian terlebih dahulu dilakukan persiapan berupa penyiapan pedoman
wawancara, surat ijin penelitian dan alat-alat bantu lainnya. Selanjutnya ketika memasuki lokasi penelitian,

70 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


peneliti melapor dengan menunjukkan surat ijin penelitian sekaligus memohon ijin untuk melakukan
penelitian. b). Ketika Berada di Lokasi Penelitian (Getting Along), ketika dan selama berada di lokasi
penelitian, maka sebagai peneliti berupaya memperkenalkan diri, mambaur dan menjalin hubungan yang baik
dengan semua pihak di lokasi penelitian,sehingga terjalin hubungan yang harmonis dengan mereka. Mencari
informasi/data yang lengkap dan berupaya menangkap makna intisari dari berbagai informasi dan pengamatan
yang diperoleh.c). Mengumpulkan Data (Logging the data), selama proses pengumpulan data peneliti telah
berupaya mendengar, mengamati serta mencatat semua hal yang didengar dan dilihat, selanjutnya
dikategorikan menurut pola, tema dan fokus penelitian. Membuat catatan lapangan, memo (aganda penelitian
selanjutnya) dan member check, sertra mengembangkan dan menelusuri kasus-kasus negatif. Pada tahap ini
peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi.

Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal dan sepenjang proses penelitian
berlangsung. Analisis data digunakan model analisis interaktif dari Miles dan Huberman (1992:15-20) yaitu:
Reduksi Data, Penyajian Data dan Verifikasi. Komponen-komponen analisis data model interaktif.

Pengumpulan Penyajian
Data Data

Reduksi
Data
Kesimpulan-
kesimpulan
Penarikan/Verifikasi

Untuk keabsahan data digunakan empat uji kriteria yang dikemukakan oleh Moleong (1994:173) dan
Nasution (1998:105) yaitu: a) derajat kepercayaan, b) keteralihan, c) ketergantungan, d) kepastian.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Berdasarkan deskripsi data penelitian yang telah disajikan di atas, maka berikut ini dikemukakan hasil
penelitian dan pembahasan yang merupakan hasil interpretasi data penelitian sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan ketiga desa sasaran (Bolaang I, Bantik, dan Lolan I) PPIP di Kecamatan Bolaang
Timur Kabupaten Bolaang Mongondow, telah mngikuti tahapan-tahapan pelaksanaan pembangunan
infrastruktur perdesaan.
Sesuai Pedoman pelaksanaan PPIP tahun 2013, bahwa tahapan kegiatan yang dilakukan di itngkat
desa secara umum adalah:
a. Tahap penyiapan dan mobilisasi masyarakat, melalui rembug warga, sosialisasi dan Musyawarah
Desa I yang dilaksanakan dalam rangka pembentukan OMS, KPP serta pemilihan KD.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 71


b. Tahap Perencanaan Partisipatif dengan kegiatan survey kampong sendiri, Musyawarah Desa II, usul,
verifikasi dan finlisasi RKM, serta penyusunan Rencana Tehnis dan Rencana Anggaran Belanja
(RAB).
c. Tahap Pelaksanaan Fisik, tahapan ini sesuai pedoman meliputi kegiatan; Musdes III merumuskan
rencana pelakanaan pembangunan infrastruktur, pelaksanaan pembangunan infrastuktur dan
pengawasannya, serta rembug warga yang membicarakan laporan kegiatan.
d. Tahap Pasca Pelaksanaan Fisik adalah laporan pertanggungjawaban tentang hasil pelaksanaan
kegiatan yang disampaikan oleh OMS melalui Musdes IV, serah terima infrastruktur terbangun
kepada Pemerintah Desa dan KPP, selanjutnya operasi (pemanfaatan) dan pemeliharaan oleh KPP.
2. Masyarakat desa diberdayakan dalam pelaksanaan pembangunan melalui OMS, KPP dan KD artinya
keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan (tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pemeliharaan melibatkan peran aktif masyarakat. Sehingga terjadi peningkatan kapasitas
perencanaan dari masyarakat (bottom-up), serta terjadi pula peningkatan kemampuan dalam
melaksanakan dan mengendalikan program.
Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
secara partisipatif pada ketiga desa sasaran yang diteliti ditandai dengan telah berfungsinya
organisasi masyarakat setempat dengan keterwakilan perempuan. Di samping itu pula telah
terlembaga rembug-rembug warga sebagai wujud demokratisasi perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan.
3. Fasilitator Masyarakat (FM) yang ditempatkan di Kecamatan Bolaang Timur, sangat berperan
dalam membimbing dan mengarahkan OMS, KD dan KPP mulai dari tahapan penyiapan dan
sosialisasi hingga pelaporan dan penyerahan infrastruktur yang dibangun kepada KPP dan
pemerintah desa. Pendampingan oleh FM dalam rangka konsultasi manajemen dan memberikan
bimbingan kepada OMS, KPP dan KD pada setiap tahapan kegiatan merupakn suatu keharusan.
Setiap tahap kegiatan harus didampingi, dibimbing dan diarahkan oleh FM.
Fasilitator masyarakat, merupakan pendamping masyarakat dalam melaksanakan kegiatan
PPIP secara langsung di tingkat desa. FM bertugas bertugas memberikan motivasi, bimbingan dan
pembinaan kepada OMS, KD dan KPP. Sesuai pedomaan PPIP ditegaskan bahwa setiap tim FM
terdiri dari dua orang yaitu; satu orang fasilitator pemberdayaan dan satu orang fasilitator teknik,
yang ditugaskan untuk melakukan pendampingan di tiga desa sasaran.
4. Kelompok masyarakat miskin dan kaum perempuan benar-benar diberdayakan dan diberikan
kesempatan untuk terlibat secara aktif berpartisipasi mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pemanfaatan dan pemeliharaan dalam pelaksanaan PPIP pada ketiga desa sasaran.
Sesuai pedoman yang ada PPIP harus berpihak pada orang miskin dan kaum perempuan.
Keberpihakan kepada orang miskin memiliki makna bahwa setiap orientasi kegiatan baik dalam
proses maupun pemanfaatan hasil pembangunan diupayakan dapat berdampak langsung bagi
penduduk miskin dan kaum perempuan.
5. Infrastruktur yang dibangun pada ketiga sasaran dapat diterima oleh masyarakat, karena masyarakat
telah dilibatkan mulai dari tahapan survey dan perencanaan, sehingga tepat sasaran sesuai kebutuhan
masyarakat desa.

72 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pendekatan dari bawah (bottom up) yang diterapkan dalam dalam pelaksaanaan PPIP yang
melibatkan masyarakat sejak dari awal telah menghasilkan rencna kegiatan masyarakat yang berisi
rencana kegiatan pembangunan infrastruktur sesuai kebutuhan masyarakat. Keterlibtan masyarakat
sejak awal hingga akhir pelaksanaan kegiatan fisik dan pada akhirnya pemberian tanggung jawab
mengoperasikan dan memelihara serta melestarikan infrastruktur terbangun telah menumbuhkan
tanggung jawab dan rasa memiliki. Masyarakat menerima PPIP pada ketiga desa sasaran dan tidak
ada resistensi (penolakan), karena masyarakat sendiri yang merencanakan, menentukan,
melaksanakan, mengawasi dan memanfaatkan infrastruktur yang terbangun.
6. Masyarakat pada ketiga desa sasaran merasakan manfaat dengan dibangunnya infrastruktur pada
masing-masing desa.
a. Desa Bolaang I, nelayan di desa tersebut sangat terbantu dengan dibangunnya jalan dan kolam
serta tanggul tempat tambatan perahu nelayan sehingga aman dari terjangan ombak, dan
memudahkan dalam membongkar/menurunkan hasil tangkapan.
b. Desa Bantik, dengan dibangunnya jalan kebun telah mempermudah akses kendaraan roda dua
hingga roda empat (mobil) sampai ke lokasi perkebunan untuk mengangkut hasil-hasil
pertanian hingga ke kampong (rumah) hingga siap untuk dipasarkan.
c. Desa Lolan I, dengan dibangunnya jalan penunjang ke lokasi Wisata Pantai Lolan telah
memberikan manfaat bagi pemerintah desa, masyarakat desa Lolan I, dan pengunjung ke
lolaksi wisata Pantai Lolan yang biasanya selalu mengalami kemacetan terutama pada hari-hari
libur (minggu dan hari raya).
Penerima manfaat pembangunan infrastruktur perdesaan adalah masyarakat desa yang
namanya termasuk dalam daftar desa sasaran PPIP tahun 2013 yang ditetapkan oleh Menteri
Pekerjaan Umum.
7. Secara keseluruhan proses perencanaan oleh masyarakat melalui OMS dan pelaksanaan
pembangunan infrastruktur pada ketiga desa sasaran telah dilaksanakan berdasarkan standard an
kriteria yang telah ditentukan. Hal ini tercipta karena adanya penguatan dan pelaksanaan sistem
monitoring dan evaluasi secara terus menerus serta adanya mekanisme penanganan pengaduan
masyarakat secara efektif.
Setiap pegaduan terkait pelaksanaan PPIP dicatat, diregistrasi dan didokumentasikan,
kemudian didistribusikan sesuai dengan jenjang kewenangan masing-masing subyek, isu dan status
pengaduan. Sesuai pedoman PPIP (2013:125) disebutkan bahwa secara umum, inti keluhan
masyarakat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:
a. Kategori ringan, berupa pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan
pelanggaran/penyimpangan administrasi dan prosedur;
b. Kategori sedang, berupa pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan
pelanggaran/penyimpangan yang salah sasaran (penerima manfaat) dalam pelaksanaan
program;
c. Kategori berat, berupa pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan
pelanggaran/penyimpangan/penyelewengan dana.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 73


Berdasarkan hasil penelitian pada ketiga desa sasaran yang diteliti ternyata pengadun
masyarakat pada umumnya berkisar pada kategori ringan yang dapat segera diselesaikan oleh OMS
dan KD yang terus-menerus berkoordinasi dengan fasilitator pemberdayaan maupun fasilitator
tehnis.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan ketiga desa sasaran (Bolaang I, Bantik, dan Lolan I) PPIP di Kecamatan Bolaang Timur
Kabupaten Bolaang Mongondow, telah mengikuti tahapan-tahapan pelaksanaan pembangunan
infrastruktur perdesaan.

2. Masyarakat telah desa diberdayakan dalam pelaksanaan pembangunan melalui OMS, KPP dan KD artinya
keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan (tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan
melibatkan peran aktif masyarakat.

3. Fasilitator Masyarakat (FM) yang ditempatkan di Kecamatan Bolaang Timur, telah berperan dalam
membimbing dan mengarahkan OMS, KD dan KPP mulai dari tahapan penyiapan dan sosialisasi hingga
pelaporan dan penyerahan infrastruktur yang dibangun kepada KPP dan pemerintah desa.

4. Kelompok masyarakat miskin dan kaum perempuan benar-benar diberdayakan dan diberikan kesempatan
untuk terlibat secara aktif berpartisipasi mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pemanfaatan dan pemeliharaan dalam pelaksanaan PPIP pada ketiga desa sasaran.

5. Infrastruktur yang dibangun pada ketiga sasaran dapat diterima oleh masyarakat, karena masyarakat telah
dilibatkan mulai dari tahapan survey, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan sehingga tepat sasaran
sesuai kebutuhan masyarakat desa.

6. Masyarakat pada ketiga desa sasaran merasakan manfaat dengan dibangunnya infrastruktur pada masing-
masing desa.

7. Secara keseluruhan proses perencanaan oleh masyarakat melalui OMS dan pelaksanaan pembangunan
infrastruktur pada ketiga desa sasaran telah dilaksanakan berdasarkan standar dan kriteria yang telah
ditentukan.

8. Telah dilakukan penguatan dalam pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi secara terus menerus serta
adanya mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin, 1980, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Rineka Cipta, Jakarta.

----------,1991, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi


Aksara, Jakarta.

---------,1997, Evaluasi Kebijakan Publik, FIA Unibraw kerja sama dengan Penerbit IKIP Malang.

74 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


---------, 1998, Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya,FIA Unibraw, Malang.

Abidin, Said Zainal, 2006, Kebijakan Publik, Suara Bebas, Jakarta.

Agustino, Leo, 2006, Politik & Kebijakan Publik,AIPI Bandung-Puslit KP2W Lemlit Unpad, Bandung.

Anderson, James E., Public Policy Making, Holt, Rinehart and Winstoa, USA, 1979

Dunn, William.N, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Penyunting Muhadjir Darwin), Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

FIA Unibraw, 1996, Kebijakan Publik dan Pembangunan, IKIP Malang.

Jones, Charles O. 1991. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy). Alih Bahasa Nasir Budiman.
Jakarta : Penerbit Rajawali.

Miles M, Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta.

Moleong, L.J., 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Edisi Revisi), PT Remaja Rosda Karya, Bandung.
Nasution, S., 1998, Penelitian Kualitatif Naturalistik Inquiry,Tarsito, Bandung.

Nugroho, Riant, 2008, Public Policy, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.

Parsons, Wayne,2005, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,(Alih Bahasa Tri
Wibawo Budi Santoso),Prenada Media, Jakarta.

Patton, Carl V, dan Sawicki, David.S.1986. Basic Methods of Policy Analysis and Planning. New York:
Prentice Hall: Englewood Cliffs.

Patton, Michael Quinn., 2006. Metode Evaluasi Kualitatif (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Rossi, Peter H., Howard E.Freeman, Sonia R. Wright,1979, Evaluation A Systematic Approach,Sage
Publications, Beverly Hills, London

Rusli, Budiman, 2013, Kebijakan Publik Membangun Pelayanan Publik Yang Responsif, Hakim
Publishing, Bandung.

Rutman, Leonard, 1980, Planning Useful Evaluations: Evaluability Assessment (Volume 96),Sage
Publications, Beverly Hills, London.

Soeprapto, HR. Riayadi,2000, Evaluasi Kebijakan Publik: Suatu Pendekatan, Universitas Negeri Malang
(UM Press), Malang.

Sudarwan, Danim,1997, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan,Bumi Aksara, Jakarta.

Tangkilisan, Hesel Nogi S.,2003, Evaluasi Kebijakan Publik, Balairung & Co, Yogyakarta.

Wibawa, Samodra, dkk, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Winarno, Budi,2002, Teori dan Proses; , Kebijakan Publik,Media Pressindo, Yogyakarta.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 75


Kinerja Aparatur Pemerintah Pada Sekretariat Daerah Kabupaten

Minahasa Tenggara

Jeane Mantiri

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado

(email: lithajeane19@gmail.com)

Abstract: As the new relative regency, so many adaption efforts toward bureaucracy reformation has done by
South East Minahasa Regency Government realisticly. The purpose of this research are to analize and describe
(1) Apparatus Government Work on Secretary Region South East Minahasa Regency, according to the Work
Plan on 2013/2014 and (2) influenced factors toward apparatus work Government on South East Minahasa
Secretariat Regency. The file association technique including deep-dyed interviewand documentation.

On this research found that the government on South East Minahasa Secretariat regency has done work
increasing efforts appropriate toward the Work Planning and orientate on Tuposki managed by on the South
East Minahasa Regent Rule No.36 on 2011 about The Main Work Elaboration and The Function of South East
Minahasa Secretariat Regency. The conclusion is that apparatus work government on the South East Minahasa
Secretariat Regency going on well and done by 4 programs that are : Education Program Department,
Development Apparatus Program, Increasing Bachelor Program, Increasing Tools and Infrastructure
Supporting Work Program, and Increasing Dicipline Apparatus Program.

The effected factors toward apparatus work on South East Regency Secretariat are : science, skill, ability,
attitude also habitual and behavior. Beside that increasing education factor, development apparatus factor
trough giving award and position promote, increasing tools and infrastructure, and discipline on doing the job
and responsibility, also being the effected things on apparatus work on South East Minahasa Regency
Secretariat. The government apparatus on South East Minahasa Regency Secretariat is suggested to increase
and keep doing the systematic development system apparatus, constructive and continuous as the choice priority
strategy for quality increasing of serving toward society so that positively impacted on government apparatus
work on South East Minahasa Regency Secretariat.

Key Words : Apparatus, Work, Work Planning, and Regency Secretariat.

76 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pendahuluan

Pada era demokrasi saat ini penyelenggaraan pelayanan publik o leh aparatur pemerintah
menjadi perhatian banyak pihak dan mendapat sorotan yang tajam, terutama aspek keterbukaan /
transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Semangat reformasi telah membawa bangsa
Indonesia pada suasana kehidupan yang penuh dengan harapan. Seiring berjalannya waktu ketika era
reformasi dan demokrasi dijalankan di Indonesia daerah-daerah mulai diberi kesempatan untuk mengurus,
pembangunan daerah demi kemajuan daerah yang secara garis besar dapat disebut dengan otonomi daerah yang
memiliki prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Otonomi daerah memberikan
kesempatan kepada pemerintah dan masyarakat di daerah untuk mengambil tanggung jawab yang
besar dalam pelayanan umum dan mengurus rumah tangganya sendiri. Proses mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri inilah yang disebut Pemerintah Daerah yang Otonom.

Suatu organisasi didirikan sebagai wadah untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Organisasi tersebut
harus mengelolah berbagai dan rangkaian kegiatan yang diarahkan menuju tercapainya tujuan organisasi.
Pelaksanaan rangkaian kegiatan dalam organisasi dilakukan oleh manusia yang bertindak sebagai aktor atau
peserta dalam organisasi bersangkutan maka dengan sendirinya kinerja (performance) organisasi yang
bersangkutan banyak tergantung pada perilaku manusia yang terdapat dalam organisasi tersebut.

Penilaian kinerja bagi aparatur berguna untuk menila i kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan,
motivasi dan juga termasuk penyesuaian anggaran organisasi. Persoalan saat ini adalah, apakah penilaian
yang dilakukan telah menggambarkan kinerja yang sebenarnya?. Analisis terhadap kinerja birokrasi
publik menjadi sangat penting, oleh karena itu evaluasi kinerja merupakan analisis interpretasi
keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian kinerja.

Druker berpendapat dalam buku ‖Re-Inventing Goverment‖ (karya: David Osborne dan Ted
Gaeblar (1992), bahwa dalam suatu organisasi perlu adanya pemisahan antara manajemen puncak dan
operasional, sehingga memungkinkan manajemen puncak memfokuskan konsentrasi pada pengambilan
keputusan dan pengarahan. Sedangkan kegiatan operasional sebaiknya dijalankan oleh staf sendir i,
dimana masing-masing memiliki misi, sasaran, ruang lingkup, tindakan serta otonominya sendiri. Upaya
mengarahkan, membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan peluang serta mampu
menyeimbangkan antar berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Hal
tersebut membutuhkan personil-personil yang sungguh-sungguh fokus pada Visi, Misi dan melaksanakan
hal tersebut dengan baik.

Kecenderungan rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat, terjadi hampir di semua
organisasi atau birokrasi pemerintah. Masalah yang terjadi antara birokrasi pemerintah dan masyarakat
memberi gambaran bahwa keberadaan birokrasi secara eksplisit (gamblang) menjadi salah satu penyebab rendah
dan kurangnya kualitas pelayanan.

D a l a m p e l a k s a n a a n u r u s a n p e m e r i n t a h a n , p e m e r i n t a h d a p a t menyelenggarakan sendiri,
atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintah kepada perangkat pemerintah atau wakil
Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintah desa. Urusan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 77


pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, t e r d i r i a t a s u r u s a n w a j i b d a n
u r u s a n p i l i h a n . U r u s a n w a j i b a r t i n y a penyelenggaraan pemerintahan yang berpedoman pada standar
pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan
pemerintah yang bersifat pilihan, baik untuk pemerintah daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris, mempunyai
tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas
daerah dan lembaga teknis daerah. Dinas daerah merupakan unsur pelaksanaan Otonomi Daerah.
Adapun lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam menyusun dan
melaksanakan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau dinas-dinas
daerah, misalnya Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Berdasarkan Keputusan Menteri
PAN RI Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik diartikan "segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan
maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Upaya peningkatan kinerja aparatur di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara,


yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan dapat memberi umpan balik yang penting,
artinya bagi upaya perbaikan guna mencapai keberhasilan daerah di masa yang akan datang. Adanya
suatu upaya peningkatan efektivitas kerja yang dilakukan di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara
bagi apartur pemerintah merupakan sesuatu yang dapat memberi keuntungan bagi cara kerja yang
diterapkan pada insatansi pemerintahan, yang merupakan pusat pelayanan publik di daerah.

Tantangan paling fundamental yang dihadapi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dalam
era globalisasi adalah bagaimana setiap aparatur menyesuaikan budaya kerja dalam organisasi pemerintahan,
dengan sumberdaya yang strategis dan stuktur yang terkontrol. Tantangan Sekretariat Daerah
Kabupaten Minahasa Tenggara untuk mencapai kepuasan pelayanan melalui mutu yang prima atas
pelayanan publik dan pelestarian kepercayaan publik yang multi dimensional dihadapkan pada
fakta yang tergambar melalui cara kerja dan pengetahuan individu, dan sumber daya manuasia dalam
hal ini aparatur pemerintah yang dalam instansi pemerintahan Kabupaten Minahasa Tenggara.

Kemampuan aparatur pemerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara untuk


melaksanakan tugas pembangunan tidak mungkin ditingkatkan tanpa peningkatan kualitas manusia. Oleh karena
itu kualitas yang diperlukan oleh aparat pemerintah terhadap pembangunan mencakup ketaatan pada
prinsip moral dan agama yang tinggi, jasa kesetiakawanan sosial dalam hubungan bagi sesama pejabat baik
pimpinan maupun bawahan secara rasionalitas sebagai ap arat yang merup akan ind ivid u organisasi
d an institusi yang mementingkan tujuan pembangunan berita kemandirian yang tinggi dalam
mencapai efektivitas pelaksanaan pemerintahan yang baik dan proporsional.

Oleh sebab itu sumber daya manusia (aparat/pegawai) harus dikelola sedemikian rupa sehingga
berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasi. Sumber daya manusia di
Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara harus dikelola sedemikian rupa sehingga berhasil guna dalam
mencapai visi, misi dan tujuannya. Memperhatikan peranan unsur manusia dalam organisasi, bukan berarti

78 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


unsur-unsur lainnya tidak menetukan. Berbagai unsur yang ada dalam suatu organisasi harus saling
menunjang dan melengkapi antara satu dengan yang lainnya.

Sebagai Kabupaten yang relatif baru (pelaksanaan roda pemerintahan baru diselenggarakan
dalam 2 (dua) periode kepemimpinan Bupati pilihan masyarakat) berbagai . upaya penyesuaian
terhadap reformasi birokrasi telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara secara realistik.
Fakta dilapangan ditemukan bahwa upaya pengembangan sumber daya manusia/ aparat pemerintah
semakin digalakan pada pembangunan periode kedua ini, dikarenakan pada periode pemerintahan
sebelumnya, pembangunan masih di fokuskan pada pengembangan infrastruktur fisik kabupaten Minahasa
Tenggara. Permasalahan yang sering terjadi dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya manusia antara
lain adalah pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan, rendahnya etos kerja, loyalitas, dedikasi dan
kinerja aparatur, sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang
belum memadai, rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja, rendahnya kualitas pelayanan umum, dan
rendahnya kesejahteraan aparat/pegawai negeri sipil.

Adapun data Rencana kerja tahun 2013/2014 Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dibawah
Kepemimpinan Bupati yang baru, maka program prioritas peningkatan kinerja pegawai daerah diantaranya
ialah: (1) Program Pendidikan Kedinasan, (2) Program Pembangunan dan Pengembangan Aparatur, (3) Program
Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur, dan (4) Program Peningkatan Disiplin Aparatur.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka aparatur pemerintah sebagai bagian dari sarana penunjang
pembangunan daerah diharapkan untuk senantiasa mengupayakan peningkatan kemampuan aparat dalam
melaksanakan tugasnya sehingga efektivitas dan efesiensi kerja dapat dicapai.

Suatu kajian perlu didukung oleh suatu landasan teori yang dipilih dari literatur-literatur maupun
berbagai referensi sebagai kerangka dasar teoritik yang menghubungkan konsep, proposisi definisi variabel yang
hendak diteliti, sehingga dapat meramalkan, menerangkan dan memecahkan gejala sosial yang sementara
dihadapi. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini konsep-konsep yang digunakan menyangkut variabel-
variabel yang diteliti dalam penelitian ini :

1. Konsep Administrasi Publik


2. Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia
3. Konsep Kinerja
4. Konsep Aparatur Pemerintah
5. Konsep Efektivitas Kerja
6. Konsep Pendidikan dan Pelatihan
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Bryman (2001:264)
berpendapat penelitian kualitatif adalah suatu strategi penelitian yang biasanya menekankan pada kata-kata,
daripada kuantifikasi dalam pengumpulan dan analisis data.
Peneliti menetapkan Situs penelitian di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara,
sedangkan fokus penelitian ialah Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa
Tenggara. Alasan peneliti memilih tempat ini yaitu karena saat ini adanya program peningkatan kinerja aparatur

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 79


permerintah di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.
Adapun sumber data primer dalam penelitian ini, adalah:
a. Key Informan

Key Informan terdiri dari : Kabag Organisasi dan Tata Laksana, Kasubbag Kelembagaan dan Analisis Jabatan
serta para staff pelaksana organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.

b. Situasi Peristiwa

Situasi/peristiwa dalam penelitian ini peningkatan Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekretariat Daerah
Kabupaten Minahasa Tenggara.

c. Dokumen yang relevan

Dokumen yang relevan dengan penelitian ini yaitu, Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2008, dan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara Nomor: 036
Tahun 2011, tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.

Hasil Wawancara.

a. Berdasarkan data Rencana kerja tahun 2013/2014 Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara
dibawah Kepemimpinan Bupati yang baru, periode pemerintahan ke-dua tahun 2013-2018, maka program
prioritas peningkatan kinerja aparat daerah yang akan dilaksanakan diantaranya ialah: Program Pendidikan
Kedinasan, Program Pengembangan Aparatur, Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang
Kinerja, dan Program Peningkatan Disiplin Aparatur. Demikian hasil wawancara dengan para informan
didapat beberapa point sebagai berikut :
1. Program Pendidikan dan Pelatihan untuk pengembangan karir tetap dilakukan.
2. Perlu adanya program Evaluasi terhadap pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan.
3. Program Pendidikan dan Pelatihan lebih di giatkan dilaksanakan pada periode pemerintahan yang baru,
berhubung pada periode pemerintahan yang lama lebih mementingkan pembangunan di bidang fisik
tata daerah.
4. Proses perekrutan berjalan sesuai dengan petunjuk teknis yang berlaku.
5. Proses perekrutan tidak berlangsung secara maksimal karena masih ada posisi jabatan yang belum
terisi.
6. Sarana dan prasarana telah diupayakan pengadaannya pada setiap bagian/ unit kerja.
7. Masih ada aparat yang belum memiliki keterampilan yang memadai untuk penggunaan sarana dan
prasarana tersebut.
8. Telah diadakannya teknologi absensi Sidik Jari sebagai suatu upaya peningkatan disiplin aparat.
9. Pimpinan, dalam hal ini Bapak Bupati telah memberikan contoh disiplin kerja dan selalu mengingatkan
aparat agar senantiasa disiplin dalam bekerja.

Lewat beberapa informan, didapat data mengenai Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Kinerja Aparatur di

80 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara yaitu:

1. Dampak yang dirasakan aparat pemerintah lewat keikutsertaan dalam program pendidikan
dan pelatihan ada lah mereka siap dan layak untuk meningkatkan karier melalui jabatan-jabatan
atau posisi struktural, baik dari sisi prosedural maupun dari sisi kemampuan.
2. Jika ada aparat yang berprestasi baginya diberikan penghargaan tetapi kalaupun ada yang melakukan
pelanggaran maka tentunya juga berlaku sangsi atas pelanggarannya.
3. Penghargaan yang diberikan berupa promosi jabatan adalah untuk merangsang atau memotivasi para aparat
agar lebih giat lagi dalam melaksanakan tugas.
4. Peningkatan fasilitas akan secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan kualitas aparat.
5. Peningkatan disiplin kerja diharapkan dapat meningkatkan efektivitas kerja aparat.

Hasil Pembahasan.

Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekertariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.

a. Program Pendidikan dan Pelatihan Kedinasan Melalui Pendidikan untuk Penjenjangan Struktural.

Pengembangan aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara pada hakekatnya adalah suatu
upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja secara kualitatif sesuai dengan persyaratan peker jaan yang
ditentukan dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan individu aparat untuk dapat
mengembangkan kompetensinya seoptimal mungkin mencapai karier setinggi-tingginya di dalam organisasi.
Menurut Mansfield dan Lindsay (1996:31) Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan
pengetahuan, produk, dan keterampilan untuk bertindak secara efektif untuk mencapai suatu tujuan.

Kompetensi aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara merujuk pada


pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang ditunjukkan oleh individu dan dinilai dengan standar
spesifik. Kompetensi terdiri atas kombinasi KSAs (Knowledge, Skill, Ability) pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan) yang diperlukan untuk menjalankan tugas atau fungsi utama.

b. Program Pengembangan Aparatur Pemerintahan.

Pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan
suatu pemerintahan yang baik dalam upaya penyelenggaraan manajemen keaparatan Pegawai Negeri Sipil.
Pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil dimulai dari menyusun perencanaan, pengadaan, penempatan,
pengangkatan dalam jabatan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, sampai pada pemberhentian.

Selanjutnya penempatan aparat adalah salah satu tahap pengembangan aparat, karena penempatan
yang tepat sesuai dengan kompetensinya akan mengoptimalkan kinerja aparat juga akan mendorong gairah
kerja dan motivasi. Penempatan aparat harus didasarkan atas tingkat keserasian antara persyaratan jabatan
dengan kinerja aparat di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.

c. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang Kinerja

Sebagai sebuah lembaga pemerintahan yang di dalamnya melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada
masyarakat, dituntut untuk dapat memenfaatkan sarana dan prasarana, untuk meningkatkan daya kerja

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 81


yang efektif dan efisien, sehingga akan tercipta keserasian, kenyamanan yang dapat berdampak pada
peningkatan kinerja aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Ind ikato r kinerja yang
d imaksud oleh LAN -RI (19 99:7), ad alah "Ukuran kuantitatif dan kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan indikator masukan (inputs) keluaran (outpus), hasil (outcomes), manfaat
(benefits) dan dampak (impacts)."

Sarana berarti alat langsung untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan sedangkan
prasarana berarti alat tidak langsung untuk mencapai tujuan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan
demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sarana dan prasarana penyelenggaraan pemerintahan itu
adalah semua komponen yang sacara langsung maupun tidak langsung menunjang jalannya proses
penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai tujuan dalam lembaga pemerintahan itu sendiri dalam hal ini di
Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.

d. Program Peningkatan Disiplin Aparatur

Memang jika dilihat secara riil terhadap aparat, faktor kedisiplinan memegang peranan yang
amat penting dalam pelaksanaan tugas sehari-hari para aparat. Seorang aparat yang mempunyai tingkat
kedisiplinan yang tinggi akan tetap bekerja dengan baik walaupun tanpa diawasi oleh atasan. Seorang aparat
yang disiplin tidak akan mencuri waktu kerja untuk melakukan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan
pekerjaan. Misalnya, keluyuran pada saat jam kerja, duduk ngerumpi, dan banyak perbuatan tak terpuji lainnya.

Demikian juga aparat Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara yang mempunyai
kedisiplinan akan menaati peraturan yang ada dalam lingkungan kerja dengan kesadaran yang tinggi
tanpa ada rasa paksaan. Pada akhirnya aparat yang mempunyai kedisiplinan kerja yang tinggi akan
mempunyai kinerja yang baik bila dibanding dengan para aparat yang bermalas-m a l a s a n k a r e n a wa k t u
k e r j a d i ma n f a a t k a n n ya s e b a i k mu n g k i n u n t u k melaksanakan pekerjaan sesuai dengan target yang
telah ditetapkan.

Faktor – faktor yang mempengaruhi Kinerja Aparatur Pemerintah di Sekretariat Daerah


Kabupaten Minahasa Tenggara.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas, seperti kecakapan, pengetahuan, keahlian dan karakter
aparat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada aparat
harus sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan, sehingga peningkatan kualitas aparat akan benar-benar
terpenuhi dan tepat saat memegang jabatan struktural pemerintahan.

Selain Faktor pendidikan, Faktor pengembangan aparat juga memegang peranan penting. Dalam
proses pengembangan aparatur, selain pendidikan maka diperlukan pelatihan. Melalui pendidikan dan latihan,
dapat meningkatkan kualitas profesionalisme aparatur agar memiliki keunggulan kompetitif dan memegang
teguh etika birokrasi dalam memberi pelayanan. Dalam konteks Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa
Tenggara, informan mengatakan kegiatan pendidikan dan latihan (diklat) selalu dilakukan. Hal ini merupakan
bentuk pembinaan dan pengembangan aparat professional. Ini adalah upaya menuju profesionalisme aparat
negeri sipil di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.

82 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Tenaga professional dapat digambarkan dengan beberapa ciri/kriteria dari satu profesionalisme, yaitu
sebagai berikut,

1. Memiliki keahlian khusus

2. Merupakan panggilan hidup

3. Memiliki teori baku secara universal.

4. Pengabdian diri terhadap masyarakat dan bukan untuk diri sendiri.

5. Dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan kompetisi yang aplikatif.

6. Memiliki otonomi dalam pelaksanaan pekerjaannya.

7. Mempunyai kode etik.

8. Mempunyai klien yang jelas.

9. Mempunyai organisasi profesi pada bidang-bidang lain.

10. Mempunyai hubungan denagn profesi pada bidang lain.

Dengan beberapa kriteria tersebut dapat dicermati bagaimana seorang professional di Sekretariat
Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tenaga professional di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara hendaknya merupakan
tenaga yang terus menerus berkembang, dan pengembangan tenaga professional akan lebih mudah apabila
mereka mempunyai dasar ilmu yang kuat.

Dalam rangka pembinaan aparat tentunya ada langkah-langkah pembinaan terhadap aparat. Biasanya,
pembinaan aparat dilalukan melalui sistem karier. Sistem pembinaan karier aparat harus disusun sedemikian
rupa, sehingga menjamin terciptanya kondisi objektif yang dapat mendorong peningkatan prestasi aparat.
Hal tersebut dapat dimungkinkan apabila penempatan aparat negeri sipil didasarkan atas tingkat keserasian
antara persyaratan jabatan dengan kinerja aparat yang bersangkutan.

Selanjutnya, bahwa sistem pembinan karier aparat pada hakekatnya adalah suatu upaya sistematik,
terencana yang mencakup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan kompetensi aparat dengan
kebutuhan organisasi dalam hal ini kebutuhan di lingkungan di Sekretariat Daerah Kabupaten
Minahasa Tenggara. Kompetensi aparat tidak dapat ditawar -tawar lagi karena hal ini sangat
menopang upaya pemerintah dan seluruh perangkatnya dalam meningkatkan kinerja para aparat yang melayani
masyarakat.

Dari penjelasan diatas, hal yang harus mendapat perhatian juga adalah dalam bidang pengadaan sarana
dan prasarana mempunyai peran penting dalam melaksanakan sesuatu tugas pekerjaan. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, tentunya juga harus ditunjang dengan sarana maupun prasarana yang memadai. Oleh karena itu
merupakan langkah yang bijak apabilah dalam mengusahakan atau mengupayakan peningkatan kinerja aparaturur,
peningkatan sarana dan prasarana diletakkan sebagai salah satu indikator untuk menunjang kerja aparatur
pemerintah yang ditempatkan di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara. Upaya peningkatan sarana

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 83


dan prasarana penunjang kinerja di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara dilakukan dengan
baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan informan, dimana semua informan
mengatakan upaya ini sementara dan akan terus dilakukan. Hanya saja yang perlu menjadi catatan penting
adalah peruntukan dari sarana dan prasarana itu harus tepat sasaran. Artinya bahwa semua fasilitas yang
dimiliki harus digunakan untuk kebutuhan kantor, bukan untuk kebutuhan pribadi aparat.

Hal yang terakhir yang menjadi konsentrasi peneliti adalah dalam hal peningkatkan kedisiplinan Aparat
Negeri Sipil di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara tersebut. Sebenarnya Pemerintah Pusat telah
memberikan suatu kebijaksanaan dengan di keluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 43
Tahun 1999 tentang Peraturan Disiplin Aparat Negeri Sipil. Aparat Negeri Sipil sebagai aparatur
pemerintah dan abdi masyarakat diharapkan selalu siap sedia menjalankan tugas yang telah menjadi
tanggung jawabnya dengan baik, akan tetapi sering terjadi di dalam-suatu instansi pemerintah aparatnya
melakukan pelanggaran disiplin seperti datang terlambat, pulang sebelum waktunya, bekerja sambii
ngobrol dan penyimpangan – penyimpangan lainnya yang menimbulkan kurang efektifnya aparat yang
bersangkutan.

Gibson (1955) mengemukakan beberapa pandangan dala m kaitanya dengan kriteria


pengukuran efektivitas yang berkaitan dengan efektivitas organisasi yaitu:

a. Mengatakan bahwa pada tingkat dasar efektivitas, terletak pada efektivitas individu,yang menekankan pada
pelaksanaan tugas pekerjaan serta hasil kerja anggota organisasi atau aparat.

b. Efektivitas dapat dilihat dari efektivitas kelompok. Dalam kenyataannya, bahwa individu biasanya
bekerja bersama-sama dalam kelompok kerja. Disini, kinerja dilihat, dan jumlah kontribusinya dari semua
anggota.

c. Efektivitas organisasi secara keseluruhan yakni organisasi terdiri dari individu dan kelompok.
Pelaksanaan tugas atau cara kerja di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara sering ditemui
dua kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama yakni efisiensi dan efektivitas dan merupakan
rangkaian kata yang menjadi primadona dan idola serta tujuan dalam aplikasi pada paradigma manajemen
organisasi pemerintahan.

Dengan adanya pelanggaran-pelanggaran disiplin sebagaimana tersebut di atas, yang kesemuanya


menunjukkan adanya pelanggaran terhadap disiplin kerja aparat di Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa
Tenggara yang menimbulkan suatu pertanyaan yaitu apakah pelanggaran -pelanggaran tersebut
sudah sedemikian membudaya sehingga sulit untuk di adakan pembinaaan atau penertiban. Perlu
ada langkah-langkah ketegasan yang konkrit dalam penerapan disiplin aparat seperti yang dikemukakan
ke-sepuluh Informan. Seperti salah satu kebijakan yang sudah dan sementara di galakkan yaitu Sistem Absensi
aparat yang sudah menggunakan teknologi Sidik Jari. Kebijakan lain yang dapat dilakukan adalah:

1) Meningkatkan sosialisasi tentang aturan disiplin Aparat Negeri Sipil.

2) Memberikan keteladanan kepemimpinan yang baik dalam pelaksanaan tugas sehari-hari;

3) Melakukan penegakan disiplin yaitu penertiban aparat di tempat umum secara rutin dan

84 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


terprogram serta,

4) Melanjutkan kegiatan sidak keinstansi untuk melihat dan memantau pelaksanaan tugas sehari-hari oleh
Aparat Negeri Sipil yang dilakukan secara terprogram.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran peningkatan kinerja organisasi maka memerlukan strategi dan
persepsi yang dilandasi kebijakan dengan berpedoman pada program ataupun aturan serta memperhatikan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Kinerja aparatur pemerintah berdasarkan rencana kerja dan Tupoksi yang ada di Sekretariat Daerah Kabupaten
Minahasa Tenggara berlangsung dengan baik dan dilakukan dengan 4 program yakni: Program Pendidikan
Kedinasan, Program Pengembangan Aparatur, Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Penunjang
Kinerja, dan Program Peningkatan Disiplin Aparatur. Kabupaten Minahasa Tenggara yang pada saat ini
baru memasuki periode ke-2 masa pemerintahan kebupatian, untuk periode ini sudah lebih memperhatikan
pembangunan di bidang sumber daya manusia, karena pada periode sebelumnya pembangunan kabupaten
Minahasa Tenggara lebih di fokuskan untuk pembangunan fisik dan infrastruktur.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja aparatur pemerintah pada Sekretariat Daerah Kabupaten
Minahasa Tenggara diantaranya: pengetahuan. Keterampilan, kemampuan, sikap serta kebiaasaan dan
perilaku. Selain itu faktor peningkatan pendidikan, faktor pengembangan aparatur lewat pemberian
penghargaan dan promosi jabatan, faktor peningkatan sarana dan prasarana dan disiplin dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab, juga menjadi hal-hal yang mempengaruhi kinera aparatur pada
Sekretariat Kabupaten Minahasa Tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2003. Keputusan Menteri, Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor:
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

…………..., 2011. Peraturan Bupati Minahasa Tenggara No. 36 Tahun 2011 tentang Pejabaran Tugas Pokok
dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara.

Gibson, J. L. 1990. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia 1999. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara
Nomor: 589/IX/6/Y/99. Tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah. Jakarta.

Osborne,D., dan Gaebler,T.2003. Mewirausahakan Birokrasi Mentransformasi


S e m a n g a t Wi r a u s a h a k e d a l a m S e k t o r P u b l i k (terjemahan). Jakarta: Penerbit PPM.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 85


Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Pedesaan Di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang

Petrus Kase

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Nusa Cendana, Kupang – Indonesia

Telp : +62-82146486969

E-mail : kasepetrus@yahoo.co.id

Abstrak: Dengan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam dan penelaahan dokumen, serta teknik
analisis kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui
Timur terdiri dari 3 kegiatan pokok yaitu : (1) pembangunan sarana dan prasarana fisik yang meliputi
pengerasan jalan, perpipaan, deker dan gedung PAUD; (2) simpan pinjam perempuan; dan (3) beasiswa
sekolah dasar. Masyarakat desa belum optimal memberi kontribusi sumber daya seperti tenaga, bahan, dan
peralatan dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik. Sebaliknya, kontribusi perempuan berupa dana
swadaya dalam kegiatan simpan pinjam cukup optimal. Walaupun belum semua kebutuhan masyarakat desa
tersentuh, program ini telah mencapai hasil dan manfaat. Untuk mengatasi kemiskinan melalui program
pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan, maka pemerintah pusat dan daereah, sektor swasta dan
lembaga swadaya masyarakat perlu bersinergi merumuskan dan mengimplementasikan program-program yang
komprehensif yang didukung oleh anggaran, sumber daya manusia dan fasilitas.

Kategori : Ilmu Sosial

Kata kunci : evaluasi, program, pemberdayaan, PNPM Mandiri, desa.

Pendahuluan

Salah satu kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia adalah kebijakan atau
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Meskipun kebijakan atau program ini telah
dilaksanakan sejak 2006, hasil yang dicapai belum optimal. Keberhasilan dan kegagalan kebijakan ini
mendorong pemerintah untuk lebih proaktif lagi mempercepat proses penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Dalam proses ini, pemerintah mendesain agenda kegiatan yang lebih komprehensif dan mengefektifkan
keterlibatan masyarakat miskin dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hingga evaluasi hasil

86 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pembangunan. Kebijakan ini menghendaki agar masyarakat miskin lebih berdaya dan mandiri sehingga mereka
bukan hanya obyek, tetapi juga subyek pembangunan.

Dengan berbasis konsep pemberdayaan, maka kebijakan atau program ini memberi peluang kepada
masyarakat miskin untuk mengusulkan beragam kegiatan penanggulangan kemiskinan secara bersama.
Pedoman PNPM Mandiri tahun 2007 telah menggariskan ruang lingkup contoh kegiatan, namun penetapannya
tentu harus berdasarkan kesepakatan bersama antara masyarakat miskin. Ruang lingkup kegiatan dimaksud
mencakup: (1) penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pemukiman, sosial dan ekonomi; (2) penyediaan
dana bergulir dan kredit mikro untuk memacu kegiatan ekonomi produktif masyarakat miskin; (3) peningkatan
kualitas sumber daya manusia untuk mempercepat pencapaian target MDGs; dan (4) peningkatan kapasitas
masyarakat dan pemerintahan lokal.

Kebijakan atau program ini menghendaki agar segera tercipta perbaikan dan peningkatan kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat miskin, namun proses pelaksanaan dan hasil yang dicapai belum sesuai harapan.
Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan program cenderung mengejar target fisik dan mengabaikan aspek
pemberdayaan atau keterlibatan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat yang tercantum dalam pedoman
pelaksanaan program ternyata kurang mendapat perhatian. Elite desa (kepala desa dan aparatnya, serta tokoh-
tokoh masyarakat desa) masih cukup dominan dalam perencanaan dan pembuatan keputusan program.
Keterlibatan masyarakat miskin dalam perencanaan dan pembuatan keputusan program masih berifat semu dan
hanya untuk memenuhi prosedur dan formalisasi program. Mereka pun cenderung kurang bertanggung jawab
dalam pengelolaan, pemeliharaan dan pemanfaatan sarana/prasarana yang telah dibangun.

Seorang tokoh masyarakat memberikan informasi bahwa pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Kupang masih kurang tepat waktu dan kurang berhasil. Pengambilan keputusan program kurang
memperhatikan hak-hak masyarakat miskin, termasuk kaum perempuan. Pedoman pelaksanaan program telah
menegaskan bahwa masyarakat paling miskin adalah sasaran utama program, namun tidak semuanya ditetapkan
sebagai penerima utama. Beberapa anggota masyarakat yang bukan sasaran program telah berkali-kali
menerima bantuan, sedangkan masyarakat yang benar-benar miskin belum pernah tersentuh. Hal ini berarti
bahwa pelaksanaan program ini salah sasaran, kurang berpihak, dan masih mengabaikan asas kesamaan dan
keadilan dalam alokasi dan distribusi bantuan.

Beberapa kasus menunjukkan bahwa hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program pemberdayaan
masyarakat kurang menyentuh masalah pengentasan kemiskinan. Misalnya, pembangunan proyek air bersih di
Desa Topejawa, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, ternyata tidak bisa
dimanfaatkan oleh penduduk setempat karena debit air sangat kecil. Kalangan pelaksana pun tidak memiliki
kesamaan persepsi tentang konsep keberdayaan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh program. Penguatan
kelembagaan sosial lokal di desa juga belum optimal karena mereka berperan tidak lebih sebagai pelaksana,
bukan sebagai pengambil keputusan (Hasran, 2010).

Dahurandi (2011) juga mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan
keputusan melalui Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) dalam implementasi PNPM Pedesaan di Desa Penfui
Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, khususnya dalam kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana masih kurang optimal. Proses pengambilan keputusan program belum dilakukan melalui mekanisme
yang telah ditetapkan. Hal ini ditandai oleh tidak hanya tingkat kehadiran masyarakat dalam rapat MMD yang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 87


sangat rendah, tetapi masyarakat juga kurang aktif dalam menyampaikan pendapat. Begitu pula, meskipun calon
penerima beasiswa dilakukan melalui sidang komite sekolah, namun hasil akhir ditentukan oleh guru sekolah
yang terkadang mengabaikan aspirasi masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja PNPM Mandiri Pedesaan di desa Penfui Timur,
dalam rangka mewujudkan prinsip pembangunan partisipatif dan kemandirian masyarakat. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan : (1) pengetahuan akademik tentang kinerja PNPM Mandiri Pedesaan; dan (2)
informasi yang valid bagi para stakeholdres dalam mengatasi kemiskinan di pedesaan melalui pendekatan
pemberdayaan masyarakat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Moleong (2002), metode kualitatif
mencakup teknik-teknik dan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya, kriteria-kriteria yang digunakan untuk
melakukan evaluasi kinerja PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah,
Kabupaten Kupang adalah:

1. Inputs yaitu ketersediaan sumber daya baik jumlah maupun kualitas secara partisipatif oleh masyarakat desa
melalui perencanaan dan pengelolaannya berupa uang, tenaga manusia, peralatan, bahan material dan lain-
lain, serta realisasi perolehannya dalam mendukung pelaksanaan dan keberhasilan program.

2. Proses berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat desa secara partisipatif dalam
mengolah inputs program menjadi outputs yang mencakup keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan, pelaksanaan kegiatan-
kegiatan yang telah direncanakan itu, pengawasan dan evaluasi kegiatan-kegiatan yang sedang dan telah
dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran program.

3. Outputs yaitu keluaran atau hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program yang mencakup jenis dan
jumlah bantuan yang diberikan kepada warga miskin dalam rangka peningkatan kualitas SDM (misalnya
beasiswa, pelatihan ketrampilan usaha, pelatihan manajemen organisasi dan keuangan), jumlah individu
warga miskin yang mendapatkan bantuan tersebut, jenis, jumlah dan mutu sarana/prasarana yang berhasil
dibangun oleh masyarakat secara partisipatif dan mandiri (misalnya pemukiman, sosial dan ekonomi).

4. Dampak yaitu manfaat yang didapatkan oleh masyarakat miskin atau perubahan-perubahan yang terjadi
sebagai akibat dari outputs program yang mencakup: peningkatan prestasi belajar siswa, peningkatan
ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan warga, dan peningkatan manfaat sosial dan
ekonomi, serta perubahan sikap dan perilaku masyarakat miskin menuju pola hidup yang semakin mandiri
dalam pengelolaan sumber daya sosial dan ekonomi di lingkungannya, peningkatan pemerataan akses
dalam alokasi dan distribusi bantuan program kepada setiap individu warga miskin, peningkatan
akseptabilitas terhadap keberadaan program oleh pemerintah pusat dan daerah, pelaksana program, individu
warga miskin itu sendiri dan masyarakat secara luas.

Informan penelitian ini adalah petugas pelaksana program, individu warga dan tokoh masyarakat desa.
Informan penelitian ditentukan dengan teknik snowballing. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan

88 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


data yaitu : (1) observasi untuk memperoleh data tentang ketersediaan, jumlah dan kondisi sumber daya, suasana
pelaksanan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program; (2) wawancara mendalam dilakukan
dengan pelaksana program, individu warga miskin; dan (3) penelahaan dokumen dengan cara mengumpulkan
dan mempelajari dokumen-dokumen yang relevan seperti jurnal, makalah ilmiah, berita media massa, aturan
lembaga dan laporan pelaksanaan program.

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis berdasarkan perspektif emik dan etik guna menghasilkan
gambaran yang mendalam (thick description) dan menemukan makna (verstehen). Proses analisis data penelitian
ini adalah : (1) membaca data untuk mengetahui apakah data sesuai dengan yang diinginkan dan untuk
mengetahui kualitas dan pola data; (2) membuat kode untuk mengetahui ide yang muncul; (3) mendisplai data
untuk mengetahui perbedaan nuansa dari suatu topik; (4) membuang informasi yang tidak perlu sehingga data
lebih mudah dimengerti; dan (5) melakukan interpretasi untuk menjelaskan maknanya. Teori yang relevan
digunakan untuk analisis hasil penelitian.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Penfui Timur adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang.
Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Kota Kupang. Dari sisi geografis, letak desa ini sangat strategis
karena jaraknya tidak jauh dari kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Karena itu, akses
masyarakat dari desa ini baik secara sosial, ekonomi, politik dan keamanan, terhadap ibu kota Provinsi NTT
yaitu Kota Kupang jauh lebih mudah dibandingkan desa-desa lainnya di Kabupaten Kupang.

Desa Penfui Timur memiliki wilayah seluas 10 km². Wilayah desa ini dibagi atas 5 Dusun dan 31 RT.
Dusun I memiliki 10 RT, Dusun II memiliki 6 RT, Dusun III memiliki 4 RT, Dusun IV memiliki 6 RT dan
Dusun V memiliki 5 RT. Sedangkan, batas wilayahnya adalah: sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan
Liliba, Kota Kupang dan jalan Eltari; sebelah Timur berbatasan dengan Desa Oelnasi; sebelah Selatan
berbatasan dengan Desa Baumata Utara; dan sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tarus dan Desa Mata
Air.

Menurut data statistik tahun 2010, jumlah penduduk di desa ini adalah 5.065 jiwa dengan rincian laki-
laki berjumlah 2.483 jiwa dan perempuan berjumlah 2.582 jiwa. Dari data ini terlihat bahwa jumlah perempuan
jauh lebih besar dari pada laki-laki. Begitu pula, dilihat dari mata pencaharian penduduk, data menunjukan
bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, dan hanya sebagian kecil penduduk yang
bermata pencaharian, misalnya pegawai swasta berjumlah 153 orang dan pegawai negeri sipil (PNS) berjumlah
250 orang. Sebaran tempat tinggal para pegawai paling banyak terdapat di Dusun I dan Dusun II, sedangkan
sebaran yang paling sedikit terdapat di Dusun IV yaitu 5 orang.

Desa Penfui Timur adalah sebuah Desa yang menjadi sasaran pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan
sejak tahun 2008. Desa ini melaksanakan PNPM Mandiri Pedesaan dengan prioritas pada tiga aktivitas yaitu
pembangunan sarana dan prasaran fisik, simpan pinjam perempuan (SPP) dan beasiswa sekolah dasar. Sesuai
dengan pengertiannya, PNPM Mandiri Pedesaan adalah program nasional yang berorientasi pada
penanggulangan kemiskinan di pedesaan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan itu, untuk

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 89


mengetahui secara lebih mendalam tentang hasil pelaksanaan ketiga kegiatan tersebut di desa Penfui Timur,
Kecamatan Kupang Tengah, maka berikut ini diuraikan sejumlah data dan informasi tentang keberhasilan
program tersebut dalam mencapai tujuannya. Uraian mencakup evaluasi terhadap ketersediaan sumber daya,
proses pelaksanaan program, hasil yang dicapai dan dampak program bagi masyarakat desa di Desa Penfui
Timur.

1. Ketersediaan Sumber Daya

PNPM Mandiri Pedesaan merupakan suatu program penanggulangan kemiskinan di pedesaan yang
membutuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaannya dan karena itu dapat menciptakan masyarakat
mandiri dalam menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan pedoman pelaksanaannya, program ini didukung
dengan finansial 70 per sen dari pemerintah pusat, sedangkan partisipasi masyarakat adalah 30 per sen. Jadi,
program ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam program ini dapat berupa kontribusi sumber daya yang terdiri dari uang,
tenaga, peralatan, bahan material dan lain-lain. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pembangunan jalan,
jembatan dan perpipaan di desa Penfui Timur hanya terdapat sejumlah kecil masyarakat yang ikut memberikan
sumbangan tenaga karena hampir semua kegiatan program dikerjakan oleh supplier. Kontribusi masyarakat
berupa tenaga sangat kecil karena mereka beranggapan bahwa pembangunan jalan desa adalah proyek dan
tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah dan pengelola program. Selain kurang paham tentang cara
kerja PNPM, fenomena ini menghilangkan esensi PNPM mandiri pedesaan yang mengandalkan partisipasi
murni masyarakat.

Selain kontribusi berupa tenaga, masyarakat juga diharapkan menyumbangkan bahan material dan
dana. Hal ini berdasarkan petunjuk teknis PNPM yang menyebutkan bahwa alokasi dana dari setiap kegiatan
sedapatnya melibatkan swadaya murni masyarakat sebesar 5-10 per sen. Meskipun telah ada petunjuk teknis,
masyarakat umumnya beranggapan bahwa selama ini pemerintahlah yang memberikan sumbangan kepada
masyarakat, bukan sebaliknya masyarakat harus memberikan sumbangan kepada pemerintah. Kesediaan
masyarakat untuk memberikan sumbangan dana sangat rendah karena masyarakat kurang memiliki pemahaman
yang utuh tentang esensi PNPM Mandiri Pedesaan.

Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian warga masyarakat bersedia menyumbangkan
lahan, bahan-bahan material lokal, peralatan dan waktu untuk mendukung kegiatan pembangunan fisik di desa.
Peralatan-peralatan yang disumbangkan misalnya skop, pacul, linggis dan parang. Meskipun demikian,
sumbangan bahan material dan peralatan untuk pelaksanaan program belum memadai karena masyarakat merasa
bahwa mereka hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai pemeran utama. Supplier dianggap sebagai penanggung
jawab utama dalam pelaksanaan program sehingga ia harus memikul tanggung jawab yang lebih besar dalam
menyediakan bahan material dan peralatan.

Penelitian ini juga menemukan bahwa dalam kegiatan simpan pinjam perempuan (SPP), setiap
kelompok usaha telah menyediakan dana talangan sebesar Rp. 2.000.000,- yang dilakukan dengan membuka
rekening usaha kelompok. Dana ini merupakan modal awal dan suatu syarat agar usulan kelompok untuk
mendapatkan bantuan dana dari PNPM bisa lolos verifikasi. Kelompok usaha yang lolos verifikasi selanjutnya
mendapatkan bantuan dana dari PNPM Mandiri Pedesaan dan dana tersebut ditambahkan pada rekening

90 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kelompok. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kegiatan SPP, partisipasi masyarakat cukup tinggi karena
(1) manfaat ekonominya sangat besar yaitu dapat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan
mendesak seperti pangan, biaya kesehatan dan pendidikan anak, serta peluang usaha; (2) kemudahan untuk
mendapatkan bantuan pinjaman; dan (3) keringangan dalam proses pengembalian dengan suku bunga yang
terjangkau.

2. Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan Program

Kegiatan-kegiatan pelaksanaan program merupakan suatu tahapan sangat penting dalam proses
kebijakan atau program. Tahapan ini sangat menentukan berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan. Bahkan tahapan ini jauh lebih penting dari tahapan pembuatan program. Kebijakan atau
program akan sekedar berupa impian atau rencana yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
dilaksanakan.

Dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan, diharapkan kegiatan-kegiatan program dilaksanakan


oleh masyarakat secara partisipatif, yang mencakup tahap pengambilan keputusan mengenai kegiatan yang akan
dilaksanakan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran
program. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pengambilan keputusan mengenai pembangunan fisik, setiap
Dusun di Desa Penfui Timur diberi kesempatan untuk menghimpun aspirasi masyarakat mulai dari tingkat RT,
tingkat Dusun, tingkat Desa dan pada akhirnya di tingkat Musyawarah Antar Desa (MAD) di Kecamatan.
Dalam kenyataannya, setiap kelompok masyarakat di setiap RT diberi kesempatan untuk mengusulkan kegiatan-
kegiatan pembangunan fisik tertentu, namun pada saat rapat penetapan usulan di tingkat Dusun banyak
kelompok yang tidak tahu tentang rapat itu. Karena itu, kesempatan bagi setiap kelompok untuk
memperjuangkan usulannya hanya ada di tingkat RT, sedangkan di tingkat Dusun kesempatan itu tidak ada lagi.
Akhirnya, seleksi usulan tergantung kehendak baik Kepala Dusun.

Akibatnya bahwa kebanyakan kelompok masyarakat merasa kecewa karena aspirasi mereka tentang
usulan kebutuhan atau kepentingannya kandas di tingkat Dusun. Cara-cara ini juga mengindikasikan bahwa
otoritas masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa hanya otoritas semu atau
setengah hati. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan lebih banyak diwarnai oleh pertimbangan
formalitas, bukan atas dasar kesediaan secara sukarela.

Dalam kegiatan simpan pinjam perempuan (SPP) dan beasiswa sekolah dasar, proses pengambilan
keputusan berlangsung dalam suasana yang berbeda dengan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana fisik.
Perbedaannya bahwa rapat-rapat pengambilan keputusan untuk kedua kegiatan ini sering dilakukan secara
reguler dan terus menerus setiap bulan. Meskipun demikian, terkadang rapar-rapat tersebut juga lebih banyak
menampakan nuansa formalitas. Fakta menunjukkan bahwa anggota kelompok sulit hadir secara sukarela dalam
pertemuan sehingga tak heran partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan keputusan untuk kedua kegiatan
ini masih diwarnai oleh sikap apatis.

Menurut Dahurandi (2011), sikap apatis masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan dalam
pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan disebabkan karena (1) adanya anggapan bahwa rapat pengambilan
keputusan adalah kegiatan yang hanya membuang-buang waktu dan tidak menguntungkan bagi dirinya; (2)
pengelola dan fasilitator program terkadang kurang jelas menentukan standar kualifikasi kegiatan yang harus

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 91


dibuat oleh masyarakat, pemerintah desa dan supplier; (3) rapat perencanaan lebih banyak menguntungkan
pengelola program dan kontraktor; dan (4) kebanyakan masyarakat kurang paham tentang tujuan, sasaran dan
manfaat program karena kurangnya kegiatan sosialisasi program.

Dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik, misalnya jalan atau penimbunan sertu, deker, gedung
pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perpipaan, sebagian masyarakat telah menyumbangkan tenaga dalam
mengerjakan beberapa kegiatan ini dengan harapan akan mendapatkan upah yang tinggi, namun sebagian
mereka mengeluh karena upah yang diterima di bawah standar UMR. Kenyataan menunjukkan bahwa pelibatan
masyarakat desa dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik merupakan pelibatan sebagai pekerja upahan,
bukan pelibatan secara sukarela. Tampaknya, mereka belum sadar bahwa pembangunan fisik ini adalah kegiatan
mereka sendiri dan hasilnya akan dinikmati oleh mereka sendiri pula.

Selain pembangunan sarana dan prasarana fisik, masyarakat terutama kaum perempuan juga
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan simpan pinjam perempuan (SPP). Kegiatan ini sangat menjanjikan
manfaat yang lebih baik di masa depan karena dapat membantu masyarakat terutama kaum perempuan dalam
mengakses dana pinjaman sebagai modal usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Antusiasme yang tinggi dari kaum perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini ditunjukan dengan
semangat berlomba-lomba untuk mendaftarkan diri menjadi anggota kelompok usaha dan upaya untuk
memenuhi persyaratan agar bisa lolos verifikasi. Meskipun demikian, penyebaran kelompok sasaran tidak
merata dan kelompok yang lolos verifikasi masih didominasi oleh kelompok yang memiliki modal usaha dan
kemampuan pengembalian pinjaman yang cukup tinggi. Di desa Penfui Timur, terdapat lima kelompok yang
memenuhi persyaratan administasi yaitu kelompok Kasih, kelompok Fajar Baru, kelompok Setia, Kelompok
Peduli Sesama, dan kelompok Matani (Dahurandi, 2011).

4.4. Hasil Pelaksanaan Program

Hasil PNPM Mandiri Pedesaan adalah berbagai capaian yang mesti diukur agar dapat diketahui sejauh
mana program itu telah mencapai target. Hasil PNPM Mandiri Pedesaan mencakup : (1) jenis, jumlah dan mutu
sarana dan prasarana fisik yang dibangun secara partisipatif; (2) jenis dan jumlah bantuan kepada masyarakat
untuk peningkatan kualitas SDM; dan (3) jumlah individu atau kelompok penerima beasiswa, dana bergulir,
pelatihan ketrampilan usaha, pelatihan manajemen organisasi dan keuangan.

Tabel 4.1 dan 4.2. memperlihatkan hasil pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur,
Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Table 4.1

Jenis, capaian, mutu bangunan sarana dan prasarana fisik

Melalui PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang

No Bangunan sarana dan prasarana Lokasi

Jenis bangunan Capaian/ Mutu

Hasil

92 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


1 Perpipaan air bersih :

a. Tahun
2008
a. 500 meter Cukup baik a. Dusun III
b. Tahun 2011
b. 1000 meter Cukup baik b. Dusun III

2 Pengerasan jalan :

a. Tahun 2009

b. Tahun 2010 a. 1525 meter Cukup baik a. Dusun I

b. 925 meter Cukup baik b. Dusun V

3 Pembuatan deker :

Tahun 2010 1 buah Baik Dusun I

4 Gedung PAUD :

Tahun 2011 1 unit Baik Dusun I

Sumber data: hasil olahan

Data dalam table 4.1 menggambarkan bahwa PNPM Mandiri pedesaan di Desa Penfui Timur telah
mencapai hasil nyata berupa pembangunan sarana dan prasaran fisik khususnya pengerasan jalan desa,
perpipaan air bersih, pembuatan deker dan Gedung PAUD. Meskipun demikian, kualitas bangunan sarana dan
prasaran fisik tersebut masih dikategorikan baik dan cukup baik. Data tersebut juga menggambarkan bahwa
Dusun II dan IV belum mendapatkan sentuhan program dibandingkan dengan Dusun I, III dan V. Pembangunan
sarana dan prasarana fisik di Dusun I, III dan V mendapat prioritas karena mereka lebih tertinggal dalam hal
ketersediaan sarana dan prasarana fisik dibandingkan dengan Dusun II dan IV. Dengan demikian, isolasi
geografis di ketiga dusun tersebut dapat dikurangi.

Selanjutnya, jenis kegiatan, capaian, jumlah individu/kelompok penerima bantuan dari PNPM Mandiri
Pedesaan di Desa Penfui Timur dipaparkan dalam table 4.2 beriktu ini.

Table 4.2

Jenis kegiatan, capaian, jumlah individu/kelompok sasaran

Dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang

No. Bantuan PNPM Mandiri Pedesaan Lokasi

Jenis kegiatan Capaian/hasil Individu/

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 93


kelompok sasaran

1 Simpan Pinjam Perempuan Dana swadaya Rp. a. 2 kelompo a. Du-sun I


(SPP): 3.220.000 per kelompok; b. 1 kelompok b. Du-sun III

Tahun 2008 terbentuknya kelompok


usaha simpan pinjam;
semangat usaha anggota
tinggi, kekompakan
anggota tinggi

Tahun 2009 Dana swadaya Rp. a. 4 kelompok a. Du-sun I


6.842.100 per kelompok;
b. 1 kelompok b. Du-sun II
Terbentuknya kelompok
c. 2 kelompok c. Du-sun III
usaha simpan pinjam;
semangat usaha anggota
tinggi, kekompakan
anggota tinggi

Tahun 2010 Dana swadaya Rp. a. 1 kelompok a. Du-sun I


3.520.000 per kelompok;
b. 1 kelompok b. Du-sun II
terbentuknya kelompok
usaha simpan pinjam,
semangat usaha anggota
tinggi, kekompakan
anggota tinggi

2 Beasiswa sekolah dasar a. Pakaian seragam 1 100 orang anak SD SDI Balfai dan
pasang SDN Kaniti
b. Balpoin 2 buah
c. Buku tulis 2 buah

Sumber data: hasil olahan

Data tabel 4.2 menggambarkan bahwa PNPM Mandiri pedesaan di Desa Penfui Timur telah mencapai
hasil nyata khususnya kegiatan SPP dan bantuan beasiswa. Data table 4.2 juga menggambarkan bahwa usaha
SPP memiliki jumlah kelompok yang berfluktuasi misalnya, tahun 2008 berjumlah 3 kelompok, kemudian tahun
2009 meningkat menjadi 7 kelompok dan tahun 2012 menurun menjadi 2 kelompok. Kapasitas dana swadaya
dalam arti kepemilikan modal awal, kemampuan dan prospek usaha, semangat usaha anggota kelompok, dan
kekompakan usaha anggota kelompok merupakan faktor penentu dalam penerimaan dana bantuan SPP tersebut.
Karena faktor-faktor inilah maka terlihat dalam table 4.2. bahwa tidak semua Dusun memiliki kelompok usaha
SPP misalnya Dusun IV dan V.

94 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Data table 4.2. di atas juga memperlihatkan bahwa jenis bantuan beasiswa yang dberikan kepada 100
orang siswa di SDI Balfai dan SDI Kaniti adalah ballpoint, buku tulis dan pakaian seragam. Bantuan ini
diberikan terutama bagi siswa SD yang berasal dari keluarga kurang mampu. Meskipun bantuan itu sangat kecil,
namun nilai kemanusiaannya sangat tinggi karena orang tua dan siswa dari keluarga kurang mampu merasa
diperhatikan.

4.5. Dampak Program Bagi Masyarakat

Setiap kebijakan/program tentu memiliki tujuan dan sasaran tertentu yang ingin dicapai. Apabila suatu
kebijakan/program mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, maka kebijakan/ program itu
sesungguhnya berhasil. Sebaliknya, Apabila suatu kebijakan/program tidak mencapai tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan, maka kebijakan/program itu sesungguhnya tidak berhasil. Keberhasilan suatu
kebijakan/program dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan menunjukkan bahwa kebijakan/program
tersebut memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.

Dampak adalah perubahan-perubahan positif maupun negatif yang terjadi sebagai akibat dari
pelaksanaan program. Dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik seperti pembukaan dan pengerasan jalan,
pemasangan pipa dan pembangunan gedung PAUD, maka dampak yang diinginkan adalah kemudahan arus
transportasi, peningkatan kelancaran arus transportasi, peningkatan pemenuhan air bersih dan peningkatan akses
pendidikan bagi anak-anak usia dini. Begitu pula, dana bergulir, dampak yang diinginkan adalah peningkatan
jenis dan jumlah usaha, dan pendapatan penerima bantuan. Akhirnya, dalam pemberian beasiswa, dampak yang
diinginkan adalah adanya kemudahan dalam mengikuti proses belajar mengajar, dan adanya peningkatan
prestasi belajar siswa penerima bantuan.

Manfaat yang diperoleh masyarakat desa dari pembangunan sarana dan prasarana fisik khususnya
pengerasan jalan adalah bahwa kegiatan transportasi sehari-hari masyarakat desa semakin mudah. Namun,
masyarakat desa belum merasa cukup nyaman dan lancar dalam melakukan kegiatan transportasi apabila
dibandingkan dengan jalan raya beraspal. Pada musim panas, ketika jalan tersebut dilalui oleh kendaraan baik
roda dua dan roda empat, maka banyak debu bertebaran di sekitar rumah penduduk dan menimbulkan gangguan
pernapasan bagi masyarakat desa sendiri maupun pengguna jalan lainnya. Begitu pula pada musim hujan, jalan
tersebut berlumpur sehingga kurang nyaman untuk dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.

Secara sosial, pembangunan sarana dan prasarana fisik khususnya pengerasan jalan telah dapat
mengurangi isolasi geografis masyarakat desa dengan pusat pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan
maupun daerah Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Di sisi lain interaksi sosial antara masyarakat desa
dengan wilayah lain, terutama akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan semakin lebih mudah. Manfaat
sosial ini semakin terbuka bagi setiap warga masyarakat desa, namun secara umum masyarakat desa belum
menikmati manfaat tersebut secara optimal karena cara berpikir mereka masih didominasi oleh kebiasaaan-
kebiasaan dan pola pikir tradisional seperti kurang menghargai pentingnya waktu, pelayanan pendidikan dan
kesehatan bagi anak dan keluarga.

Dilihat dari manfaat ekonomi, dengan semakin baiknya jalan raya, seharusnya semakin baik kehidupan
ekonomi masyarakat, semakin meningkat pula pendapatan masyarakat serta semakin meningkat ketersediaan
dan pemenuhan kebutuhan pokok karena pemasaran hasil produk pertanian, arus perdagangan barang dan jasa,

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 95


serta akses pasar semakin mudah. Namun, dalam kenyataan, ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan pokok, dan
peningkatan pendapatan masyarakat belum banyak dipengaruhi oleh ketersediaan jalan. Memang ketersediaan
jalan merupakan faktor penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun hal ini bukan satu-satunya
faktor. Masih ada faktor lainnya seperti volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat desa,
persaingan pasar, kapasitas manajemen dan organisasi/ kelembagaan desa.

Demikian pula, kegiatan perpipaan air bersih, justru memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat desa
karena kegiatan ini dapat menjamin ketersediaan dan pemenuhan air bersih, namun sumber air dan debit air
masih belum cukup terutama pada musim kemarau. Karena itu, kegiatan perpipaan yang telah dilaksanakan
masih kurang efektif karena belum mampu mensuplai air bersih yang cukup bagi masyarakat desa.

Dalam kegiatan SPP, tidak semua kelompok mengalami perubahan yang signifikan. Ternyata, hanya
kelompok Tunas Harapan telah mengalami perubahan dalam pengelolaan dana simpan pinjam. Kelompok ini
telah berhasil meningkatkan pendapatan anggotanya. Pembuatan “smock”, jahit menjahit dan kerajinan telah
berhasil meningkatkan pendapatan anggota antara 1 hingga 2 juta rupiah. Aset yang dimiliki sejak tahun 2008
telah mencapai Rp. 20-an juta (Dahurandi, 2011).

Dalam kegiatan beasiswa terlihat bahwa meskipun dari sisi peningkatan prestasi belajar siswa di SDI
Balfai dan SDN Kaniti sulit diukur, namun kegiatan ini sangat bermanfaat bagi siswa-siswa dari orang tua yang
kurang mampu. Kenyataan menunjukkan bahwa beban ekonomi keluarga dari siswa yang orang tuanya kurang
mampu dapat diminimalisir, meskipun tidak terlalu signifikan. Di sisi lain, meskipun bantuan ini tidak seberapa
besar nilainya, namun orang tua siswa dan siswa itu sendiri telah merasakan bahwa masih ada pihak lain yang
peduli terhadap nasib mereka. Dalam hal ini, bukan nilai uang dan materi tetapi nilai kemanusiaan yang
sungguh-sungguh diperhatikan oleh program ini.

Penutup

Penyediaan sumber daya lokal berupa tenaga, bahan material lokal, dan peralatan baik jumlah maupun
kualitas secara partisipatif oleh masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik di Desa Penfui
Timur belum optimal. Sebaliknya, dalam kegiatan SPP, kontribusi perempuan berupa dana swadaya cukup
optimal. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana fisik, kegiatan SPP dan beasiswa SD
telah dilaksanakan, namun pengelola program belum mampu mengakomodir kepentingan setiap Dusun dan
kelompok usaha. Karena itu, tidak semua Dusun dan kelompok usaha tersentuh oleh PNPM Mandiri Pedesaan.
Pembangunan sarana dan prasarana fisik, kegiatan SPP dan beasiswa SD dalam rangka pelaksanaan PNPM
Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur telah mencapai hasil dan manfaat bagi masyarakat desa, namun kualitas
hasil belum cukup memuaskan. Meskipun demikian, kegiatan SPP khususnya, kelompok Tunas Harapan telah
berhasil meningkatkan pendapatan kelompok dan anggota.

Dalam rangka mendukung keberhasilan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur, khususnya
pembangunan sarana dan prasarana fisik, kegiatan SPP, beasiswa sekolah dasar dan kegiatan lainnya di masa
yang akan datang, maka masyarakat desa perlu memberikan kontribusi secara partisipatif baik tenaga, bahan
material, peralatan dan uang. Dalam rangka pemerataan pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui
Timur, maka pengelola program perlu memprioritaskan kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh
program. Pengelola program perlu memperluas rencana dan pelaksanaan kegiatan PNPM dan memperhatikan

96 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


asas kebutuhan dan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan di
pedesaan secara berkelanjutan melalui pendekatan pemberdayaan, maka pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten, sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu bersinergi menyediakan anggaran
yang lebih besar lagi. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengkaji faktor organisasi dan manajemen,
SDM pengelola program, kolaborasi antar lembaga terkait yang mungkin berpengaruh terhadap pelaksanaan dan
pencapaian tujuan PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Penfui Timur.

Referensi

Anderson, J. E. (1994). Public Policy Making : An Introduction. New York : Houghton

Mifflin Company.

Berg, B. L. (2004). Qualitative Research Methods for the Social Sciences. New York :

Pearson Education.

Bungin, B. (2007). Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Cole, M., & Parston, G. 2006. Unlocking Public Value: a New Model for Achieving High

Performance in Public Serive Organizations. John Wiley And Sons, Inc

Creswell, J. W. (1994). Research Design : Qualitative and Quantitative Approach.

California : Sage Publication.

Dunn, W. N. (2000). Public Policy Analysis : An Introduction. USA : Prentice Hall.

Dye, T. R. (2002). Understanding Public Policy. New Jersey : Prentice Hall.

Goggin, M. L., et al. (1990). Implementation Theory and Practice : Toward a Third Generation. London :
Foresman and Company, Glenview Illinois.

Lester, J. P., & Stewart, Y. J. R. (2000). Public Policy : An Evolutionary Approach.

Australia: Wadsworth Thomson Learning.

Osborne, D., & Ted, G. (1992). Reinventing Government : How the Entrpreneurial Spirit is

Transforming the Public Sector. New York : Addison Wesley Publishing Company.

Pollit, C., & Harisson, S. (). Hand Book of Public Service Management. UK : Blackwell

Publisher.

Posavac, E. J., & Carey, R. G. (2003). Program Evaluation Methods and Case Studies. New

Jersey : Prentice Hall.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 97


Sajogyo. (1994). Kemiskinan dan Pembangunan di NTT. Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia.

Shafritz, J. M., Russel E.W., & Borick, C. P. (2007). Introducing Public Administration,

New York : Pearson Longman.

Sherraden, M. (2006). Aset Untuk Orang Miskin : Perspektif Baru Usaha Pengentasan

Kemiskinan. Penerjemah Sirojudin Abbas (et al). Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo

Persada.

Silverman, D. (1994). Interpreting Qualitative Data. London: Sage Publication.

Stewart, A. M. (1994). Empowering People. London : Pitman Publishing.

Suharto, E. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat : Kajian Strategis

Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung : PT. Refika

Aditama,

Supriatna, T. (1997). Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung :

Humaniora Utama Press.

Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E., (1975). “The Policy Implementation Process : A

Conceptual Framework”, Department of Political Science, Ohio State University,

Administration and Society, Vol. 6. No. 4.

98 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Integrasi Kebijakan UMKM Guna Meningkatkan Daya Saing Lokal

(Kemitraan UMKM Provinsi Jawa Timur)

Noviyanti, S.AP., M.AP.

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Surabaya

Tel: +62-813-5740-6552

Email: noviyanti.purba@gmail.com

Abstrak: Globalisasi adalah sebuah kondisi dimana setiap negara akan masuk ke dalam pusaran dinamika
dunia global yang meliputi ekonomi, politik, keamanan, dan budaya. Salah satu euforia globalisasi di lingkup
regional ASEAN adalah pembentukan integrasi ekonomi, yang lebih dikenal dengan Asean Economic
Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Penerapan MEA pada akhir 2015 adalah gerbang Indonesia dalam menghadapi global competition yang
sesungguhnya dari lingkup yang terkecil di tatanan global, yang ditandai dengan adanya aliran bebas barang,
jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil antar negara-negara Asean. Sehingga ketidaksiapan
Indonesia menghadapi MEA akan berdampak negatif bagi seluruh aspek bangsa Indonesia. Salah satu dampak
negatif yang kasat mata adalah dengan melihat kondisi perekonomian suatu bangsa, dimana kondisi
terburuknya adalah Indonesia hanya akan menjadi negara konsumer dan pasar impor.

Salah satu strategi Indonesia dalam menjawab tantangan tersebut adalah memperkuat perekonomian
bangsa dengan menitikberatkan pada perekonomian rakyat. Sejauh ini perekonomian rakyat baik nasional
maupun daerah bertumpu pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Penguatan perekonomian daerah,
khususnya Jawa Timur, dilakukan dengan meningkatkan daya saing daerah. Apalagi Jawa Timur adalah
provinsi yang pertumbuhan UMKM nya paling banyak kedua di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu
mengintegrasikan kebijakan UMKM sebagai salah satu penggerak sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Integrasi kebijakan UMKM sangat diperlukan karena perannya yang penting pada ekonomi kerakyatan dan
peningkatan daya saing produk lokal, yang meliputi penguatan modal, pengembangan produk unggulan,
standarisasi kualitas mutu produk UMKM, dan sumber daya manusia yang terampil, sehingga dapat bersaing
dengan produk impor yang akan membanjiri tanah air.

Keyword: MEA, Integrasi Kebijakan, UMKM, Daya Saing Lokal.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 99


Pendahuluan

Globalisasi adalah sebuah kondisi bahwa setiap negara akan masuk ke dalam pusaran dinamika dunia
global yang meliputi ekonomi, politik, keamanan, dan budaya sehingga globalisasi itu sendiri tidak dapat
terelakkan oleh negara manapun juga. Di lingkup regional Asean, globalisasi dimaknai dengan pembentukan
integrasi ekonomi, yang lebih dikenal dengan Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA).

Dengan adanya MEA pada akhir tahun 2015, memaksa Indonesia harus siap dalam menghadapi global
competition, yang ditandai dengan terjadinya aliran bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja
terampil antar negara-negara Asean. Salah satu dampak negatif arus globalisasi adalah dengan melihat kondisi
perekonomian suatu bangsa, dimana kondisi terburuknya adalah Indonesia hanya akan menjadi negara
konsumer dan pasar impor. Jika tidak ingin tergerus oleh berbagai dampak negatif dari arus globalisasi yang
melanda, maka Indonesia harus memperkuat perekonomian bangsa dengan menitikberatkan pada perekonomian
rakyat melalui peningkatan daya saing bangsa.

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang terbesar di
banyak negara berkembang sehingga seringkali menjadi bagian terpenting dari perekonomian suatu bangsa.
Bagi Indonesia, UMKM memiliki sumbangsih yang besar terhadap pertumbuhan perekonomian dalam beberapa
tahun terakhir, Sehingga UMKM merupakan salah satu langkah mengembangkan dan mengoptimalkan potensi
perekonomian Indonesia hingga saat ini. Hal ini terlihat bahwa UMKM dijadikan sebagai agenda utama
pembangunan ekonomi Indonesia.

UMKM memiliki peran penting dan sangat stategis, yang dapat ditinjau dari berbagai aspek. Salah satu
peran UMKM adalah sebagai pilar ekonomi kerakyatan, yakni sebagai perwujudan pemerataan kesempatan bagi
seluruh masyarakat untuk berusaha secara mandiri dalam rangka meningkatkan taraf hidup sehingga dapat
mengurangi kesenjangan pendapatan, dan pendapatan perkapita dapat betul-betul mencerminkan kesejahteraan
nasional.

Menurut UU No. 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki. Sebagai pilar ekonomi kerakyatan, UMKM adalah sektor usaha yang dijalankan
dalam tataran bawah yang mampu mengurangi angka pengangguran dengan menyerap angkatan kerja yang
tidak terserap dalam dunia kerja. Tercatat pada tahun 2011, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar
101.722.458 orang atau 97,24 persen dari total penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Jumlah ini meningkat
sebesar 2,33 persen atau 2.320.683 orang dibandingkan tahun 2010 [ i]. Selain itu, para pekerja yang menjadi
korban PHK, dan pensiunan PNS ataupun perusahaan-perusahaan saat ini banyak yang beralih melirik sektor
UMKM.

Peran penting UMKM juga terlihat dari kontribusi yang cukup besar kepada perekonomian nasional
dalam Produk Domestik Bruto (PDB) melalui pembayaran pajak. Kontribusi UMKM melalui pembayaran pajak
terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, UMKM menyumbang 56,18 persen, dan 56.22 pada
tahun 2010 [ ii ]. Selanjutnya, pada tahun 2011 UMKM telah menyumbang 61,9 persen melalui pembayaran

100 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pajak, yaitu: sektor usaha mikro menyumbang 36,28 persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor
usaha menengah 14,7 persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya menyumbang
38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011) [iii].

Kestrategisan UMKM dalam mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia terlihat
dari karakternya yang tahan banting dan fleksibel, sehingga UMKM dijadikan sebagai salah satu bantalan yang
menjaga pertumbuhan ekonomi nasional ketika terjadi guncangan atau tekanan eksternal. Dikatakan tahan
banting karena UMKM memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap krisis ekonomi/krisis mata uang, dan
bahkan menjadi penyelamat perekonomian di masa krisis. Kemampuan bertahan ini dikarenakan umumnya para
pelaku UMKM menggunakan modal sendiri, dan memanfaatkan bahan baku di sekitarnya sehingga UMKM
tetap survive dan mampu membantu menggerakkan ekonomi bangsa. Sedangkan dengan karakter fleksibel,
UMKM mampu menyesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi. Daya lentur usaha kecil ini yang
membuatnya mampu bertahan dalam persaingan usaha.

Berbagai peran penting yang dimiliki oleh UMKM, menjadikan pemberdayaan UMKM sebagai salah
satu agenda utama pemerintah dalam menghadapi tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan
jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area pemasaran. Dengan
pemberdayaan UMKM melalui peningkatan daya saing produk, pemerintah perlu menfokuskan pada 2 masalah
yang paling mendasar, yaitu pembiayaan dan pendampingan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari
kebangkrutan UMKM yang pada awalnya disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting, dan juga dapat
menambah nilai jual UMKM itu sendiri. Sehingga dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian
membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Penguatan terhadap ekonomi
skala kecil dan menengah melalui pengembangan dan pemasaran produk lokal diharapkan dapat menjadi
prioritas menuju terciptanya fundamental ekonomi yang kokoh dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) 2015.

Potret UMKM 10 tahun terakhir

1. Kebijakan UMKM 10 tahun terakhir dan dampaknya

Pada masa orde baru, pelaksanaan kebijakan UMKM yang dicanangkan oleh pemerintah, kebanyakan
justru hanya menjadi semboyan saja sehingga hasilnya sangat tidak memuaskan. Pemerintah lebih berpihak
pada pengusaha besar hampir di semua sektor, antara lain perdagangan, perbankan, kehutanan, pertanian dan
industri. Sekalipun implementasi dari kebijakan koperasi dan UMKM telah memperoleh prioritas utama dan
menjadi bagian penting dari perekonomian Indonesia, kebijakan UMKM pada saat itu hanya berorientasi pada
gejala bukan pada akar masalah. Kebijakannnya bersifat top-down yang sangat kental, yang terdiri dari 3
tahapan yaitu: officialization (besarnya peran pemerintah), de-officialization (peran pemerintah berkurang), dan
masa otonomi. Kemudian, rentang dari setiap tahapan tersebut kurang jelas dan tegas dalam implementasinya.

Meskipun implementasi kebijakan yang tidak jelas, UMKM telah membuktikan eksistensinya dengan
karakter yang tahan banting dan fleksibel. Tercatat bahwa pasca krisis ekonomi 1998, UMKM tidak tergerus di
masa-masa krisis ekonomi. Sedangkan usaha besar lainnya justru mengalami keterpurukan hingga banyak yang
gulung tikar dan banyak terjadi PHK massal.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 101


Adapun alasan UMKM mampu bertahan di tengah krisis, yaitu: pertama, UMKM tidak memiliki utang
luar negeri. Pada saat itu, kebanyakan UMKM memproduksi barang konsumsi dan jasa dengan elastitas
permintaan terhadap pendapatan yang rendah, sehingga tingkat pendapatan rata-rata masyarakat baik sebelum
terjadinya krisis maupun pada saat krisis tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan.
Kedua, sebagain besar UMKM tidak mendapat modal dari bank karena pada saat itu UMKM dianggap belum
bankable. Sehingga krisis ekonomi terjadi, yang menyebabkan terpuruknya sector perbankan dan naiknya suku
bunga, itu semua justru tidak banyak mempengaruhi UMKM. Ketiga, karena sebagian besar UMKM tidak
mendapat modal dari bank, maka mereka menggunakan modal sendiri (input lokal) dari tabungan sehingga
aksesnya terhadap perbankan sangat rendah.

Berbeda halnya pada masa reformasi, berdasarkan Kajian Evaluasi dan Revitalisasi Kebijakan
Pemerintah di Bidang KUKM (2007: 319-321)[iv], ada banyak kebijakan pemberdayaan UMKM, yaitu:

1) Program skim kredit (era BJ Habibie), yaitu memberikan pinjaman lanjutan kepada UMKM sesuai dengan
tahapan kemajuan usaha. Namun pada pelaksanaannya menyebabkan banyak moral hazard yang berkaitan
dengan kredit program.
2) Pengembangan klaster bisnis UMKM (era Abdurahman Wachid), yaitu mengembangan sentra-sentra
UMKM menjadi klastr bisnis UMKM yang dinamis. Namun, pada pelaksanaannya pemerintah mulai
kehilangan orientasi pendekatan klaster karena terjebak pada uaya pencapain target jumlah sentra UMKM
yang dapat difasilitasi.
3) Program dana bergulir (era Megawati), yaitu program dana perkuatan dari berbagi nama dan berbagai
instansi pemerintah. Karena banyaknya nama dan pengelola dana bergulir tersebut sehingga menyulitkan
pengendaliannya.
4) Program perkuatan (era Susilo Bambang Yudhoyono), yaitu pemberian dana program perkuatan kepada
UMKM pada berbagai sektor ekonomi. Akan tetapi, sebagian besar penilalian kebutuhan UMKM masih bias
pada kebutuhan usaha mikro.
Dengan kemampuan bertahannya dari berbagai penerapan kebijakan UMKM, kehadiran UMKM tetap
dijadikan sebagai solusi dari sistem perekonomian yang sehat pada masa-masa tersebut. UMKM juga dijadikan
sebagai sektor yang dapat diperhitungkan dalam meningkatkan kekompetitifan pasar dan stabilisasi sistem
ekonomi yang ada.

2. Perkembangan UMKM di Indonesia

Perkembangan UMKM di Indonesia patut diperhitungkan. Tercatat jumlah UMKM di Indonesia kian
bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1998 di Indonesia masih terdapat 36,8 juta unit pelaku usaha di mana
99% lebih adalah pelaku UMKM. Kemudian, pada tahun 2003 dari sekitar 40 juta pelaku usaha yang ada di
Indonesia, sebanyak 39,8 juta atau 99,5% adalah pelaku UMKM [ v].

Tidak hanya itu, pertumbuhan sektor UKM dari tahun 2005 hingga 2009 sebesar 24,01%. Berdasarkan
data dari Bada Pusat Statistik, UMKM mengalami pertumbuhan unit usaha dari tahun 2012-2013 sebanyak
1.361.129 unit atau 12,68 persen, dengan rincian pada usaha mikro mencapai 2,39 persen, usaha kecil sebesar
3,94 persen, dan usaha menengah mencapai 6,35 persen [vi]. Sedangkan pada usaha besar, pertumbuhan unit

102 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


usahanya hanya mencapai 1,97 persen. Begitu pula dari total unit usaha UMKM pada tahun 2013 sebesar 57,8
juta unit, pangsa pasar yang dicapai sebesar 99,99 persen, sedangkan usaha besar hanya 0,01 persen [ vii]. Hal ini
menunjukkan pertumbuhan unit usaha dan pangsa pasar UMKM lebih cepat dibandingkan dengan usaha besar.
Sehingga UMKM memiliki prospek untuk terus bertumbuh kedepannya seiring meningkatnya permintaan
barang dan jasa dalam negeri. Data ini juga memperlihatkan bahwa UMKM memang memiliki peran besar bagi
pertumbuhan serta pembangunan ekonomi Indonesia.

Disamping itu, pertumbuhan unit usaha menengah sangat dominan dibanding dengan usaha mikro dan
kecil. Hal ini menunjukan bahwa adanya perkembangan usaha mikro menjadi usaha kecil, dan usaha kecil
menjadi usaha menengah. Berikut adalah data pertumbuhan unit usaha UMKM pada tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan Unit Usaha UMKM 2009-2013

Pertumbuhan (dalam persen)


Unit Usaha
2009- 2010- 2011- 2012-
UMKM
2010 2011 2012 2013

Usaha Mikro 2,54 1,97 2,38 2,39

Usaha Kecil 3,98 5,95 4,52 3,94

Usaha Menengah 1,63 5,41 10,65 6,35

Total 8,51 13,33 17,55 12,68

Sumber: Data diolah Penulis dari Badan Pusat Statistik 2005-2012.

Perkembangan UMKM di Indonesia terbilang sangat kompleks karena bergerak dalam berbagai bidang
seperti kuliner, tekstil, perkebunan, pertanian, perikanan, retail dan lainnya. Apabila ditinjau dari 9 jenis unit
usaha UMKM pada tahun 2011, yang memiliki proporsi terbesar pada jenis unit usaha adalah sektor (1)
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sebesar 48,85 persen; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran
sebesar 28,83 persen; (3) Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 6,88 persen; (4) Industri Pengolahan sebesar
6,41 persen; serta (5) Jasa-jasa sebesar 4,52 persen. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi terkecil
dari jenis unit usaha secara berturut-turut adalah sektor (1) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; (2)
Bangunan; (3) Pertambangan dan Penggalian; serta (4) Listrik, Gas dan Air Bersih. Berikut adalah proporsi jenis
unit usaha UMKM pada Grafik 1.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 103


Grafik 1. Proporsi Sektor Ekonomi UMKM Berdasarkan Jenis Usaha Tahun 2011

Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM (2011:8).

Berdasarkan grafik 1, sektor ekonomi UMKM pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
merupakan jenis usaha UMKM yang paling banyak jumlahnya. Hal ini menggambarkan bahwa memang dalam
10 tahun terakhir UMKM kebanyakan digerakkan oleh masyarakat kecil, karena memang sector ini
membutuhkan tenaga terlatih dan tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Akan tetapi, baik sector ini maupun
sektor lainnya, tidak menutup kemungkinan membutuhkan tenaga terdidik dengan kualifikasi pendidikan yang
tinggi.

Selain itu, perkembangan UMKM di Indonesia terpusat di pulau Jawa, dan hanya sebagian kecil yang
UMKM yang berada di luar pulau jawa. Terdapat 3 provinsi di Indonesia dengan jumlah UMKM terbanyak
pada tahun 2014 yaitu: provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Usaha mikro dan usaha kecil
terbanyak terletak di Jawa Tengah dengan masing-masing jumlahnya sebesar 766.782 dan 65.690 unit. Urutan
kedua dan ketiga untuk usaha mikro terletak di Jawa Timur dan Jawa Barat. Sebaliknya urutan kedua dan ketiga
untuk usaha kecil terletak di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Tingginya pertumbuhan dan perkembangan UMKM di Indonesia ternyata tidak serta merta diikuti oleh
tingginya jumlah UMKM yang mampu menembus pasar global atau melakukan kegiatan ekspor hasil dari
kegiatan usaha UMKM. Pada tahun 2011, Sidabutar (2014:18) [ viii ] mengemukakan bahwa jumlah UMKM
produsen ekspor (yang menghasilkan produk ekspor dan menjualnya secara langsung kepada pembeli dari luar
negeri atau importir) hanya 0,19 persen dari total UMKM di Indonesia. Sedangkan 99,81 persen UMKM
lainnya melakukan ekspor secara tidak langsung dan/atau hanya melakukan penjualan di pasar domestik. Pada
kelompok UMKM produsen ekspor, jumlah UMKM yang melakukan ekspor sendiri hanya 8,7 persen,
sedangkan 91,3 persen UMKM lainnya kegiatan ekspor dilakukan oleh importir.

104 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Kecilnya angka UMKM produsen ekspor juga berimplikasi pada rendahnya kontribusi UMKM
terhadap nilai ekspor non migas. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UMKM, kontribusi UMKM
terhadap pembentukan total nilai ekspor non migas pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp 182,1 triliun atau 15,68
persen, yaitu terdiri dari usaha mikro yang menyumbang sebesar Rp 15,9 triliun atau 1,38 persen, usaha kecil
menyumbang Rp 32 triliun atau 2,76 persen, dan usaha menengah menyumbang Rp 134 triliun atau 11,54
persen. Bila dibandingkan pada tahun 2012 hanya usaha mikro dan usaha menengah yang nilai ekspornya
meningkat, sedangkan usaha kecil mengalami penurunan sebesar 1,41 persen [ ix].

Sekalipun usaha kecil mengalami penurunan dalam kontribusinya pada nilai ekspor non migas, namun
justru usaha kecil yang mempunyai peranan besar dalam ekspor, khususnya usaha kecil yang mengandalkan
keahlian tangan (handmade), seperti: kerajinan perhiasan, fashion, dan ukiran kayu. Karena lebih mengandalkan
keahlian atau keterampilan tangan, maka usaha kecil cenderung bersifat padat karya sehingga menjadi
keunggulan usaha kecil terutama pada saat krisis ekonomi.

Disamping itu, kebanyakan struktur ekspor produk UMKM Indonesia pada dewasa ini berasal dari
industri pengolahan seperti furniture, makanan dan minuman, pakaian jadi atau garmen, industri kayu dan rotan,
hasil pertanian terutama perkebunan dan perikanan, sedangkan di sektor pertambangan masih sangat kecil
(hanya yang berhubungan dengan yang batu-batuan, tanah liat dan pasir). Secara rinci barang ekspor UMKM
antara lain: alat-alat rumah tangga, pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya dari kulit, kerajinan dari
kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang dari rotan, pengolahan ikan, mebel, sepatu atau
alas kaki kulit, arang kayu/tempurung, makanan ringan dan produk bordir. Sedangkan bahan baku produksi
UMKM yang digunakan adalah bahan baku lokal, dan sisanya dari impor seperti plastik, kulit dan beberapa zat
kimia.

3. Perkembangan UMKM di Provinsi Jawa Timur

Jawa Timur merupakan provinsi yang pertumbuhan UMKM nya paling banyak kedua di Indonesia,
setelah Jawa Tengah. Pertumbuhannya mencapai 8 persen hingga 10 persen [x], dan jumlah UMKM Jawa
Timur hingga akhir tahun 2012 mencapai 6,8 juta usaha atau sekitar 16,5 persen dari jumlah penduduk Jatim
yaitu 42 juta orang, yang terkonsentrasi di Jember, Malang dan Banyuwangi. Sedangkan secara nasional, jumlah
UMKM mencapai 56 juta. Dengan jumlah UMKM sebanyak itu, tenaga kerja yang terserap mencapai 11 juta
lebih [xi].

Berdasarkan data dari Dinas Koperasi dan UMKM provinsi Jawa Timur, jumlah UMKM di Jawa
Timur pada tahun 2014 mencapai 6,8 juta usaha yang tersebar di 38 kabupaten/kota dan mampu berkontribusi
pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 54,48 persen per tahun. Banyaknya UMKM di Jawa
Timur menunjukan bahwa UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Jawa Timur. Hal ini juga
menunjukkan bahwa sektor ini mampu menjadi model kegiatan untuk mengurangi angka kemiskinan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Timur.

UMKM Jawa Timur didominasi oleh usaha mikro dan usaha kecil. Sehingga UMKM di Jawa Timur
memiliki pola usaha yang bersifat unik, karena lebih banyak dikerjakan dalam lingkup sektor informal, yakni
lebih mengandalkan keahlian atau keterampilan tangan (handmade) seperti: kerajinan perhiasan, fashion, dan
ukiran kayu. Usaha mikro dan usaha kecil juga cenderung bersifat padat karya, dimana 30% usaha UMKM

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 105


memenuhi kriteria layak (feasible) dan bankable, sedangkan 70% sisanya hanya memenuhi kriteria layak
(feasible) akan tetapi belum bankable[xii].

Sekalipun usaha mikro dan usaha kecil mempunyai peranan besar dalam ekspor, namun jumlah
UMKM yang terlibat dalam kegiatan ekspor tidak banyak bila dibandingkan dengan total UMKM di Jawa
Timur. Dari sekian banyak UMKM yang ada di Jawa Timur, jumlah UMKM produsen ekspor hanya sebesar
1.388 unit yang tersebar di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, dan yang terbanyak terdapat di kota Blitar,
Lumajang, Mojokerto. Sedangkan jumlah UMKM pelaku ekspor (UMKM yang melakukan ekspor secara tidak
langsung) hanya berjumlah 283 unit di 23 kabupaten/kota, dan yag terbanyak terdapat di kota Surabaya,
Malang, Bangkalan. Dari total UMKM Jawa Timur, pada tahun 2014 terdapat 597 pusat sentra UMKM dan 41
UMKM yang menjadi sentra binaan, dengan kebanyakan jenis komoditas unggulannya adalah batik tulis dan
kerajinan daun (Bangkalan), tas (Sidoarjo), serta susu dan jamur (kota Batu) [ xiii].

Masalah-masalah yang dihadapi para pelaku UMKM di Jawa Timur

Dalam pembangunan dan penguatan perekonomian Indonesia, UMKM selalu digambarkan sebagai
sektor yang mempunyai peranan penting. Hal ini karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan
rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. Peranan usaha kecil
tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh
dua departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Departemen Koperasi dan UKM baik
secara nasional maupun daerah. Namun, usaha pengembangan yang telah dilaksanakan masih belum
memuaskan hasilnya karena pada kenyataannya kemajuan UMKM sangat kecil dibandingkan dengan kemajuan
yang sudah dicapai usaha besar.

Sekalipun Indonesia khususnya Jawa Timur memiliki banyak UMKM dan sangat berkontribusi bagi
perekonomian bangsa dan daerah, akan tetapi hingga saat ini antara kuantitas UMKM dengan kualitas UMKM
masih belum seimbang. Hal ini dikarenakan banyaknya UMKM Jawa Timur yang belum didukung oleh
perkembangan yang memadai dari segi kualitasnya, yakni: kekurangmampuan UMKM dalam bidang
manajemen, penguasaan teknologi, dan pemasaran, serta rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM.
Sehingga berdampak pada lemahnya kemampuan dan posisi tawar untuk mengelola dan mengakses ke berbagai
sumber daya produktif yang meliputi sumber permodalan, teknologi dan informasi, pasar, dan faktor produksi.

Mudrajad Kuncoro[xiv], dalam bukunya Ekonomi Pembangunan, mengemukakan beberapa tantangan


dan masalah yang selama ini dihadapi UMKM. Hal ini disebabkan karena beberapa kelemahan UMKM yaitu
sebagai berikut.

1. Kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Hal ini juga terkait dengan
kualitas produk, daya saing, dan teknologi.

2. Kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia maupun manajemen usaha.

3. Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur untuk sumber-sumber
permodalan.

4. Keterbatasan jaringan usaha kerja sama antar pengusaha kecil (sistem nformasi pemasaran)

5. Iklim usaha yang kurang kondusif karena iklim usaha yang mematikan.

106 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


6. Pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat
terhadap usaha kecil.

Inilah berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi oleh para pelaku UMKM baik di Indonesia
maupun di Jawa Timur. Untuk mengatasi kelemahan internal masing-masing UMKM terkait pengusaan
teknologi, manajemen, informasi, dan pasar, UMKM membutuhkan biaya yang relatif besar. Sehingga hal ini
pula yang berkaitan masalah permodalan. Permodalan menjadi maslaah utama bagi usaha mikro dan kecil
terutama bagi usaha yang tidak berbadan hukum dan masih menerapkan manajemen yang sangat sederhana
sehingga mereka sangat sulit memperoleh akses dari lembaga keuangan perbankan.

Selain itu, permasalahan terkait iklim usaha yang kurang kondusif disebabkan beberapa hal, yaitu: 1)
ketidakpastian dan ketidakjelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya
proses perizinan, dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi, 2) proses bisnis dan persaingan usaha yang tidak
sehat, 3) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM, dan 4) masih
munculnya peraturan-peraturan daerah yang menghambat termasuk pengenaan pungutan-pungutan baru kepada
UMKM sebagai sumber pendapatan asli daerah.

Berdasarkan hasil pemetaan, ada 2 permasalahan yang fundamental yang dihadapi oleh UMKM Jawa
Timur, yaitu: permodalan dan pendampingan. Permodalan berkaitan dengan akses memperoleh sumbe-sumber
permodalan dan pembiayaan, sedangkan pendampingan berkaitan dengan SDM, kualitas produk dan pasar.

1. Permodalan

Akses pembiayaan kepada UMKM sudah menjadi tantangan lama khususnya di Jawa Timur. Hal ini
dipicu oleh keterbatasan kapasitas, kapabilitas, dan eligibilitas UMKM. Terkait dengan keterbatasan
kapasitas, ternyata masih banyak UMKM yang belum memisahkan sistem administrasi keuangan dan
manajemennya, baik dari segi kepemilikan maupun pengelolaan perusahaan.

Sementara, contoh dari tantangan yang berkaitan dengan kapabilitas dan eligibilitas adalah masalah
prosedur administrasi yang berbelit-belit. Ini menjadi penghalang UMKM baik pengusaha lama maupun
pengusaha baru untuk mendapatkan akses kredit perbankan, seperti: kelayakan usaha, rekening 3 bulan harus
bagus, keberadaan agunan, dan lamanya berbisnis. Padahal banyak pengusaha UMKM yang bisnisnya
sangat layak (feasible), namun dinilai tidak bankable hanya karena masalah agunan atau lamanya berbisnis.
Tercatat bahwa jumlah UMKM yang ada di Jatim, baru 40% yang bankable.

Meskipun terdapat Kredit Usaha Ringan (KUR), akan tetapi hanya sebagian kecil UMKM yang
terbantu. Hal ini dikarenakan KUR mematok bunga yang masih sangat tinggi bagi pengusaha UMKM,
terutama yang baru merintis usaha. Tercatat bahwa struktur industri UMKM yang menggunakan modal dari
bank hanya sebesar 30-40%. Selain itu, berdasarkan data Bank Indonesia wilayah IV Surabaya[ xv ],
pertumbuhan kredit ke pelaku UMKM di Jawa Timur sepanjang triwulan I tahun 2013 sebesar 11 persen.
Apabila dibandingkan dengan kredit umum yang mengalami peningkatan sebesar 27 persen, maka
pertumbuhan kredit ke UMKM sangat kecil. Disamping itu, realisasi penyaluran kredit kepada UMKM di
Jatim di pertengahan 2014 sebesar Rp 92,28 triliun atau 15,93 persen dari total kredit yang disalurkan[ xvi].
Selain itu, tidak semua lembaga keuangan berfokus pada pembiayaan UMKM. Hal ini menunjukkan bahwa
masih rendahnya aksesibilitas UMKM ke sumber-sumber pembiayaan secara luas.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 107


2. Pendampingan

Eksistensi UMKM di dalam dunia usaha sangat membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak
khususnya pemerintah daerah. Kurangnya pendampingan UMKM khususnya usaha mikro dan kecil akan
berdampak pada ketidakmampuan mereka bersaing dan bertahan di era MEA 2015. Adapun masalah
pendampingan yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah berkaitan dengan rendahnya kualitas SDM,
kualitas produk dan pasar.

a. Rendahnya kualitas SDM

Kualitas SDM yang rendah terlihat dari masih terbatasnya tenaga kerja terampil dan
berpendidikan. Umumnya mereka yang bekerja di sektor informal adalah masyarakat yang
berpendidikan rendah, yang hanya mengandalkan keterampilan. Disamping itu, umumnya tenaga kerja
UMKM masih banyak yang belum melek teknologi, sehingga tidak mampu memanfaatkan teknologi
yang ada untuk meningkatkan produktivitas hasil produksi UMKM.

b. Kualitas produk yang rendah

Rendahnya kualitas suatu produk dikarenakan kesulitan memperoleh bahan baku, terutama karena
adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku. Sehingga bahan baku yang digunakan
adalah bahan baku dengan kualitas rendah. Disamping itu, penggunaan bahan baku impor juga akan
berdampak pada tingginya harga bahan baku. Rendahnya kualitas produk UMKM menunjukkan
ketidaksiapan UMKM untuk berkontribusi pada pasar ekspor dan menghadapi pasar bebas, yakni
produknya tidak bisa menembus pasar global. Hal ini dikarenakan belum adanya standarisasi produk
UMKM dalam negeri untuk dapat menembus pasar ekspor, begitu pula dengan standarisasi produk luar
yang akan masuk ke dalam negeri. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah UMKM yang terlibat
dalam kegiatan ekspor hanya mencapai 1.671 unit dari total UMKM Jawa Timur, yang terdiri dari
1.388 UMKM produsen ekspor, dan 283 UMKM pelaku ekspor [ xvii].

c. Kurangnya kemampuan penguasaan pasar

Selama ini, kemampuan penguasaan pasar oleh para pelaku UMKM dinilai masih kurang, yang
disebabkan oleh minimnya pengetahuan para pelaku usaha dalam menyusun perencanaan bisnis
sehingga berdampak pada kurangnya pemahaman mereka akan apa yang dibutuhkan pasar apalagi
persaingan dalam merebut pasar semakin ketat. Selain itu, pada umumnya kegiatan usahanya tidak
didukung oleh riset pasar yang memadai terkait model promosi, peluang pasar, pesaing, barang
substitusi dan komplementer atas produk-produk pengusaha muda, selera konsumen, tren pasar, dan
faktor-faktor eksternal lainnya. Sehingga ekspansi bisnis UMKM di pasar menjadi sangat terbatas.

Tanpa dukungan riset pasar, sulit bagi para pelaku UMKM khususnya bagi pemula untuk bisa
mengetahui apa yang dibutuhkan pasar. Hal ini juga menyebabkan kebingungan pada para pelaku usaha
ketika berhadapan dengan ekspansi produk dari pabrik-pabrik yang lebih besar dan mapan, dimana
perusahaan besar dengan teknologi yang lebih memadai mampu memenuhi selera konsumen yang cepat
berubah di era globalisasi ini.

108 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Begitu pula akses pasar ekspor yang masih terbatas. Mayoritas koperasi dan UMKM yang
menghasilkan produk ekspor tidak melakukan ekspor secara langsung, tetapi melalui perantara sehingga
benefit yang diperoleh lebih rendah. Hal ini dikarenakan proses yang rumit dan resiko kegiatan ekspor
yang tinggi, yaitu resiko pembayaran, resiko pengiriman produk, time lag pembayaran, dan biaya ekspor
yang tinggi. Selain itu, masih terbatasnya dukungan pembiayaan dan penjaminan ekspor.

Teori Kemitraan

Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha
menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha
besar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan juga dapat
didefinisikan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu
untuk meraih keuntungan bersama (mutual benefit) dengan prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan azas manfaat
bersama. Adapun manfaat kemitraan adalah meningkatnya pendapatan usaah kecil dan masyarakat,
meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan
masyarakat dan usaha kecil, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja.

Menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan,
terdiri atas 5 pola, yaitu : inti plasma, subkontrak, dagang umum, keagenan, dan waralaba.

1. Inti plasma
Pola hubungan inti plasma adalah hubungan kemitraan antara kelompok UMKM sebagai plasma dan
usaha besar sebagai inti yang membina dan mengembangan UMKM dalam jangka panjang. Usaha besar
berperan dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen
usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan
efisiensi dan produktivitas usaha.

2. Subkontrak
Adalah pola hubungan kemitraan UMKM dan usaha besar, dimana UMKM memproduksi komponen
yang diperlukan oleh UB sebagai bagian dari produksinya. Selain itu, dalam pola ini UB memberikan
bantuan berupa kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan
teknologi, dan pembiayaan.

3. Dagang umum
Adalah pola hubungan kemitraan UMKM dan usaha besar, dimana usaha besar memasarkan hasil
produksi UMKM dan menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh UB.

4. Keagenan
Pada pola ini, usaha kecil diberi hak khusus dari usaha menengah maupun usaha besar sebagai mitranya
untuk untuk memasarkan barang dan jasa mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, di mana
pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak
yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak
ketiga. Contohnya adalah UMKM pelaku ekspor yaitu UMKM yang melakukan ekspor secara tidak
langsung atau produk yang diekspor bukan hasil produksinya.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 109


5. Waralaba
Waralaba adalah pola hubungan kemitraan dimana suatu perusahaan memberikan hak lisensi atau merek
dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada kepada kelompok mitra usaha sebagai waralaba,
dengan disertai bantuan berupa bimbingan manajemen.

Disamping itu, dalam rangka pembentukan integrasi kebijakan dalam tata kelola pemerintah daerah,
maka diperlukan konsep dan model kerjasama kemitraan terpadu (KKT). Kerjasama Kemitraan Terpadu (KKT)
adalah suatu program kerjasama kemitraan terpadu yang melibatkan beberapa unsur, yaitu: pengusaha besar
(inti), usaha kecil yang ada di masyarakat (plasma), perbankan, pemerintah daerah, yang dituangkan dalam nota
kesepakatan bersama sehingga mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Adapun tujuan KKT adalah
untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara inti dan plasma, membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien,
serta membantu pemerintah daerah untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup dan perekonomian daerah.

Integrasi Kebijakan UMKM Sebagai Peningkatan Daya Saing Lokal

Implementasi free trade di kawasan regional Asia Tenggara melalui MEA akan dilaksanakan pada
akhir tahun 2015. Implementasi MEA 2015 akan berfokus pada 12 sektor prioritas, yang terdiri atas 7 sektor
barang (industri pertanian, peralatan elektonik, otomotif, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis
kayu, dan tekstil) dan 5 sektor jasa (transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, dan industri
teknologi informasi atau e-ASEAN). Hal ini mengharuskan Indonesia siap dengan produk-produk luar dari 12
sektor prioritas yang akan membanjiri tanah air. Sehingga perlu adanya peningkatan daya saing produk lokal
agar tidak kalah saing dengan produk luar. Ketertinggalan UMKM yang tidak segera diatasi, lambat laun akan
menyebabkan banyak UMKM yang gulung tikar atau mengalami kebangkrutan.

Untuk itu, pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, khususnya Jawa Timur, harus
memberdayakan UMKMnya dengan membekali para pelaku UMKM dalam berbagai bidang untuk
mendapatkan kualitas yang memadai. Hal ini dapat dilakukan dengan mensinergikan pemerintah, pelaku usaha,
sektor swasta, dan berbagai pihak yang terkait dengan peningkatan daya saing lokal. Berikut adalah integrasi
kebijakan yang meliputi penguatan modal, pengembangan produk unggulan, standarisasi kualitas mutu produk
UMKM, dan sumber daya manusia yang terampil sehingga dapat meningkatkan daya saing lokal di era MEA
2015.

1. Integrasi kebijakan terkait dengan penguatan modal

Pembiayaan atau permodalan adalah hal yang paling penting dan mendasar apabila pelaku usaha akan
memulai suatu usaha dalam memproduksi barang maupun jasa. Pembiayaan menjadi salah satu upaya
peningkatan dan pengembangan UMKM dalam perekonomian nasional melalui pemberian kredit modal usaha
kepada UMKM. Salah satu arah kebijakan prioritas di bidang pembiayaan adalah peningkatan akses kepada
sumber daya produktif. Arah kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan akses UMKM kepada sumber daya
produktif yang berkaitan dengan jangkauan dan jenis sumber pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan usaha UMKM khususnya melalui KUR.

110 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Di lingkup nasional, pemerintah telah menerapkan berbagai skim kredit/pembiayaan UMKM sebagai
program pembangunan ekonomi nasional pada sektor-sektor usaha tertentu, seperti ketahanan pangan,
peternakan, dan perkebunan. Begitu pula dengan kegiatan UMKM Jawa Timur yang tidak terlepas dari
dukungan dan peran pemerintah daerah di dunia perbankan untuk mendorong penyaluran kredit sebagai
penguatan modal dan pembiayaan kepada UMKM. Kebijakan pemerintah terkait penguatan modal UMKM
perlu dilakukan dengan menggandeng koperasi, perusahaan swasta, investor asing, dan eksportir dalam bentuk
kemitraan.

Skim kredit yang sangat familiar di masyarakat adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang khusus
diperuntukkan bagi UMKM dengan kategori usaha produktif yang layak (feasible), namun mempunyai
keterbatasan dalam pemenuhan persyaratan yang ditetapkan oleh perbankan (belum bankable). KUR adalah
kredit/pembiayaan kepada UMKM yang tidak sedang menerima kredit/pembiayaan dari perbankan dan/atau
yang tidak sedang menerima kredit program dari pemerintah pada saat permohonan kredit/pembiayaan diajukan.
KUR diberikan dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi sehingga tercapai percepatan pengembangan
sektor riil (terutama sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan serta industri).

Kemitraan yang dibentuk pemerintah dalam melaksanakan integrasi kebijakan penguatan modal melalui
KUR yang terdiri dari beberapa aktor penting, yaitu:

1. Pemerintah
Pemerintah yang diwakili oleh Bank Indonesia (BI) dan Departemen Teknis (Departemen Keuangan,
Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen
Perindustrian, serta Kementerian Koperasi dan UKM). Peran pemerintah dalam pemberian skim kredit
UMKM adalah penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga skim kredit. Hal ini ditujukan untuk mengatasi
permasalahan tingginya suku bunga KUR yang dinilai masih sangat tinggi bagi pengusaha UMKM, terutama
yang baru merintis usaha. Padahal kredit yang diberikan dengan nilai dibawah Rp 5 juta.

2. Lembaga penjamin
Lembaga penjamin atas kredit/pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan adalah PT. (Persero)
Asuransi Kredit Indonesia (PT. Askrindo) dan Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum
Jamkrindo). Pola penjaminan dilakukan oleh lembaga penjamin dengan besarnya coverage penjaminan
maksimal 70% dari plafon kredit.

3. Perbankan
Aktor ini diwakili oleh bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai bank pelaksana. Perbankan
sebagai penerima jaminan berfungsi menyalurkan kredit/pembiayaan KUR seluruhnya (100%) kepada
UMKM. Perbankan yang dintujuk sebagai bank penyalur terdiri dari 6 Bank Umum dan 13 Bank
Pembangunan Daerah (BPD). Keenam Bank Umum penyalur KUR sampai saat ini adalah Bank BRI, Bank
Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri dan Bank Bukopin. Adapun 13 BPD penyalur KUR
diantaranya adalah: Bank Nagari, Bank DKI, Bank Jatim, Bank Jateng, BPD DIY, Bank Jabar Banten, Bank
NTB, Bank Kalbar, Bank Kalteng, Bank Kalsel, Bank Sulut, Bank Maluku dan Bank Papua. Sementara itu,

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 111


perbankan yang ditunjuk oleh Lembaga Penyaluran Dana Pinjaman yang dikelola oleh Kantor Kementrian
Koperasi dan UKM adalah Mandiri, Bank BNI, Bank Danamon.

Disamping itu, pemberian kredit kepada UMKM menguntungkan bagi bank yang bersangkutan.
Adapun keuntungannya adalah sebagai berikut.

a. Tingkat kemacetannya relatif kecil. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat kepatuhan nasabah usaha
kecil yang lebih tinggi dibandingkan nasabah usaha besar.
b. Pemberian kredit kepada UMKM mendorong penyebaran risiko, karena penyaluran kredit kepada
usaha kecil dengan nilai nominal kredit yang kecil memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah
nasabahnya, sehingga pemberian kredit tidak terkonsentrasi pada satu kelompok atau sektor usaha
tertentu.
c. Kredit UMKM dengan jumlah nasabah yang relatif lebih banyak akan dapat mendiversifikasi
portofolio kredit dan menyebarkan risiko penyaluran kredit.
d. Suku bunga kredit pada tingkat bunga pasar bagi usaha kecil bukan merupakan masalah utama,
sehingga memungkinkan lembaga pemberi kredit memperoleh pendapatan bunga yang memadai.

Berdasarkan fakta di lapangan ternyata ketersediaan dana pada saat yang tepat, dalam jumlah yang tepat,
sasaran yang tepat, dan dengan prosedur yang sederhana lebih penting dari pada bunga murah maupun
subsidi.

Keaktifan perbankan dalam skenario pemberdayaan UMKM dilakukan dengan mengucurkan kredit
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) minimal 20% secara bertahap. Kewajiban itu tertuang dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 pada 21 Desember 2012 yang efektif pada tanggal
tersebut. Intinya, bank nasional wajib menyalurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit
modal kerja dan kredit investasi) secara bertahap mulai 2013 hingga 2018.

4. Kementerian Teknis
Ada beberapa peran kementerian teknis dalam mengembangkan UMKM, yaitu:

a. mempersiapkan UMKM yang melakukan usaha produktif, yang bersifat individu, kelompok, kemitraan
dan/atau cluster yang dapat dibiayai dengan KUR,
b. menetapkan kebijakan dan prioritas bidang usaha yang akan menerima penjaminan KUR,
c. melakukan pembinaan dan pendampingan UMKMK selama masa kredit/pembiayaan atau ketika
usulan kredit/ pembiayaan UMKM ditolak oleh bank pelaksana,
d. memfasilitasi hubungan antara UMKM dengan pihak lainnya seperti perusahaan inti/offtaker yang
memberikan kontribusi dan dukungan untuk kelancaran usaha.

Di samping KUR, integrasi kebijakan penguatan modal UMKM ini juga dapat dilaksanakan melalui
kemitraan dengan BUMN dan perusahaan swasta, serta usaha besar. Adanya kemitraan dengan BUMN melalui
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), yakni dengan menyalurkan laba sebesar 2,5 persen yang
digunakan untuk pemberdayaan UMKM. Pada tahun 2011, pemanfaatan dana PKBL BUMN yang dialokasikan
ke Jatim senilai Rp800 miliar [xviii].

112 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Sementara itu, kemitraan dengan perusahaan swasta dilakukan melalui Corporate Social
Responsibility (CSR) yang mereka miliki, antara lain melalui ‗bapak angkat‘, plasma, pembinaan manajemen,
dan berbagai kegiatan untuk pemasaran produk UMKM. Kemitraan UMKM dengan usaha besar merupakan
sebuah potensi bagi penguatan modal usaha UMKM. Hal itu diperoleh dari modal ventura yang diberikan oleh
usaha besar, bahan baku yang lebih murah, kerjasama hulu hilir atau hilir hulu. Akan tetapi, dari berbagai
program pembiayaan, dibutuhkan sinergitas antara program pemerintah, perbankan, dan program kemitraan dari
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga pengembangan UMKM bisa berjalan baik, tidak sporadis, dan
tidak tumpang-tindih antar program yang ada.

Para pelaku usaha UMKM juga menjadi aktor untuk mencapai integrasi kebijakan penguatan modal.
Melalui penerimaan kredit/pembiayaan, diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pembelian bahan baku yang
berkualitas sehingga menghasilkan produk unggulan sehingga mampu bersaing dengan produk luar. Agar siap
bersaing di pasar internasional, dibutuhkan pula pembiayaan yang memadai. Untuk itu perlu dukungan lewat
kerjasama Kementerian Koperasi dan UMKM bersama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan
Kementerian Perdagangan. LPEI mempunyai alokasi khusus dari APBN setiap tahun yang disinergikan untuk
membiayai pelaku UMKM, memfasilitasi daerah yang mempunyai potensi pelaku usaha berorientasi ekspor,
serta pemberian suku bunga bagi pemberdayaan UMKM ekspor lebih rendah 1% dari bunga pasar. Kemitraan
dengan LPEI dapat membuka akses ekspor khususnya bagi pelaku usaha kecil dan menengah sehingga kegiatan
usaha mereka berorientasi ekspor. Hal ini juga diharapkan dapat mendorong dan menciptakan iklim usaha yang
kondusif bagi peningkatan kinerja UMKM pelaku ekspor, agar lebih mampu berperan sebagai pelaku ekspor
yang kuat dan profesional.

Disamping itu, integrasi kebijakan penguatan modal UMKM juga harus didukung oleh pengembangan
sistem database UMKM yang dapat memudahkan pihak penyedia dana (lembaga keuangan) dalam melakukan
penilaian (credit appraisal). Selain itu, pemerintah perlu melakukan pembentukan lembaga rating UMKM,
sebagaimana yang telah dilakukan di sejumlah negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh, Singapura telah
memiliki lembaga pemeringkat dengan nama SME Credit Bureau.

2. Integrasi kebijakan terkait dengan pengembangan produk unggulan

Peningkatan daya saing daerah salah satunya dilakukan dengan pengembangan potensi unggulan.
Haraoannya adalah setiap daerah di Indonesia akan memiliki spesialisasi produk karena produk daerah memiliki
kekhasannya masing-masing. Spesialisasi produk dilakukan dengan mengembangkan produk usaha dari hulu ke
hilir berdasarkan keunggulan komparatif, terutama pertanian, kehutanan, pertambangan, pariwisata serta
kerajinan rakyat. Hal ini menjadi kunci agar Indonesia dapat bersaing dengan produk-produk dari negara
tetangga dan dapat mengatasi persaingan yang semakin tajam dalam menghadapi MEA 2015.

Sejauh ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan terkait dengan pengembangan potensi
unggulan daerah, seperti: peluncuran road map pengembangan kompentensi inti daerah dan kebijakan One
Village One Product (OVOP). Kebijakan OVOP merupakan kebijakan untuk mengembangkan industri kecil dan
menengah, dimana satu daerah memiliki satu produk unggulan baik itu produk pangan, sandang, maupun
kerajinan.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 113


OVOP merupakan salah satu langkah menuju klasterisasi industri berdasarkan keunggulan lokal, rantai
supply bahan baku dan pasar, serta keterkaitan dengan industri. Ini bertujuan untuk mengangkat produk-produk
unggulan dan mendorong diversifikasi produk-produk usaha UMKM bernilai tambah tinggi sehingga
meningkatkan pendapatan masyarakat. Adapun produk unggulan dari Jawa Timur adalah kerajinan batik tulis,
bordir, kerajinan perak, perhiasan, kaligrafi, produk kulit, dan makanan ringan.

Peningkatan keunggulan komparatif dapat dilakukan melalui integrasi kebijakan OVOP. Salah satu
bentuknya adalah adanya pendampingan tenaga ahli desain sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang
diminati masyarakat luas dan diharapkan produk unggulan tersebut dapat berkembang dan masuk ke pasar yang
lebih luas, terutama pasar internasional. Keunggulan komparatif juga akan menciptakan persaingan yang sehat
bagi UMKM sehingga menciptakan daya kreasi yang baik dan dapat menghasilkan produk dalam negeri yang
berkualitas namun terjangkau.

Integrasi kebijakan ini juga dapat dilihat dari pelaksanaan sosialisasi dan pendampingan untuk
para pelaku UMKM. Pendampingan ini dimaksudkan agar lebih bersemangat bekerja keras dan lebih kreatif
dalam meningkatkan daya saing produk lokal. Ini akan memaksimalkan potensi usaha kecil dan menengah di
berbagai daerah yang selama ini jarang dimiliki oleh negara lain. Kebudayaan lokal yang dimiliki Indonesia
dapat dimanfaatkan sebagai keunggulan melalui kreativitas dan inovatif dari para pelaku usaha. Sebagai contoh,
pemanfaatan kekhasan yang dimiliki batik Indonesia dalam proses pembuatan yang masih tradisional serta
mengandung nilai-nilai tradisi dapat menjadi daya tarik tersendiri dibandingkan tekstil batik dari luar. Apalagi
tiap daerah di Indonesia memiliki filosofi tersendiri yang terkandung dalam setiap motif dan corak batik yang
tidak dapat ditemui pada batik luar negeri. Oleh karena itu, kreativitas dan nilai seni yang terkandung dalam
batik Indonesia dapat dijadikan sebagai alat untuk menarik minat pembeli untuk tetap memilih produk
Indonesia.

3. Integrasi kebijakan terkait dengan standarisasi kualitas mutu produk UMKM

Selain peningkatan daya saing daerah, standarisasi kualitas mutu produk juga diperlukan sehingga daya
saing yang kuat. Standarisasi produk ini bertujuan memberi batasan standar bagi produk-produk yang tergolong
unggul dan komparatif di berbagai sektor, seperti: sektor pertanian, perkebunan, perikanan, tekstil dan kerajinan.
Dengan adanya standarisasi produk diharapkan dapat mendorong UMKM untuk meningkatkan standar, desain
dan kualitas produk yang berkualitas SNI/ISO. Sehingga tercipta optimalisasi kerja sama perdagangan
internasional (regional, bilateral, dan multilateral) yang bisa mendorong perluasan pasar produk-produk
UMKM.

UMKM dengan produk yang berkualitas sesuai dengan standar ISO memiliki dampak positif bagi
UMKM tersebut. Adapun dampak positif dari produk yang berstandar ISO adalah sebagai berikut.

a. Membantu berkompetisi dengan perusahaan yang lebih besar.


b. Membantu dalam akses pasar ekspor.
c. Membantu memberikan praktek bisnis terbaik.
d. Membantu operasi perusahaan menjadi lebih efisien dan berkembang.
e. Memberikan kredibilitas dan kepercayaan serta pengakuan konsumen.
f. Memberikan bahasa tunggal dalam industri untuk mutu.

114 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Penerapan standarisasi kualitas mutu produk UMKM harus disinergikan dengan kebijakan OVOP,
sehingga akan tercipta integrasi kebijakan sebagai peningkatan daya saing lokal/daerah. Integrasi kebijakan
terkait standarisasi kualitas mutu produk UMKM dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama/kemitraan dengan
Badan Standar Nasional (BSN). Kemitraan dengan BSN merupakan bentuk kepedulian pemerintah baik pusat
maupun daerah dalam memfasilitasi pelaku usaha mikro dan kecil untuk mendapatkan sertifikasi yang sesuai
dengan standar produk SNI/ISO dan sertifikat halal atas produk mereka dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sementara itu, kemitraan juga dilakukan dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait penerbitan hak
cipta atau hak paten. Pendaftaran hak cipta hasil karya produk sangat penting, karena dapat berguna untuk
peningkatan mutu dan pengembangan desain sehingga memberikan nilai tambah, menguatkan daya saing
produk yang dihasilkan, menghindari pemalsuan yang dilakukan oleh negara lain, serta menghindari adanya
klaim dari pihak lain.

Penerapan standarisasi produk juga harus diimbangi dengan kesiapan pelaku usahanya. Untuk itu, perlu
adanya pembinaan dan pengembangan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah, yang dilakukan melalui
Pengendalian Mutu Terpadu-Gugus Kendali Mutu (PMT-GKM) usaha kecil dan menengah.

Apabila standarisasi kualitas mutu produk UMKM terbentuk, maka makin terbukalah kesempatan bagi
UMKM untuk dapat bersaing di pasar global melalui kegiatan ekspor. Menurut Direktur Pengembangan Pasar
dan Informasi Ekspor Kementerian Perdagangan, terdapat 4 langkah yang harus ditempuh pelaku usaha UMKM
hingga produknya bisa diekspor, yakni persiapan administrasi, legalitas sebagai eksportir, persiapan produk
ekspor, dan persiapan operasional.

a. Persiapan administrasi

Pelaku UMKM harus mempunyai kantor yang bersifat permanen atau memiliki kontrak dalam jangka
waktu panjang, beserta perlengkapan dan peralatan pendukung lainnya. Selain itu, pelaku usaha juga harus
mempunyai jaringan komunikasi dan tenaga operasional yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris,
serta menyiapkan company profile sebagai bahan informasi dan promosi kepada calon pembeli.

b. Legalitas sebagai eksportir

Calon eksportir juga harus mempersiapkan legalitas seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),
Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pokok (NPWP), serta dokumen lain yang
dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Persiapan produk ekspor

Pelaku usaha harus dapat mengetahui ketentuan persyaratan internasional atau ketentuan permintaan
pasar luar negeri, misalnya kuantitas, kualitas, pengemasan, pelabelan, pendanaan (biaya-biaya yang
diperlukan mulai dari ongkos produksi hingga pemasaran, sehingga bisa menetapkan harga jual produk)
dan waktu pengiriman. Sementara itu, yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha adalah pelaku usaha
harus bisa memastikan produksi yang berkelanjutan, sehingga tidak akan kelimpungan saat mendapatkan
pesanan dalam jumlah yang besar.

d. Persiapan operasional

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 115


Persiapan operasional berkaitan dengan proses ekspor, prosedur dan dokumen ekspor, kebijakan dan
peraturan ekspor-impor, serta strategi ekspor. Persiapan operasional ini dapat dilakukan dengan mengikuti
pelatihan yang diselenggarakan di Pusat Pelatihan Ekspor Daerah, salah satunya berada di Surabaya.
Selain itu, pelaku usaha UMKM juga dapat mengikuti berbagai program dan memanfaatkan fasilitas yang
disediakan Kementerian Perdagangan, seperti layanan satu pintu Customer Service Center dan Designer
Dispatch Service (DDS). Hal ini dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk melakukan promosi,
mendapatkan hasil riset pasar, dan permintaan hubungan dagang yang dikirimkan oleh para perwakilan
perdagangan indonesia di luar negeri maupun KBRI.

4. Integrasi kebijakan terkait dengan sumber daya manusia yang terampil.

Dalam rangka meningkatkan daya saing UMKM di pasar internasional pada era MEA 2015, faktor
utama yang perlu diperhatikan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di skala
global. Kualitas SDM ini meliputi kemampuan dalam hal knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), ability
(kemampuan), dan attitude (perilaku) dalam berwirausaha, baik sebagai pemilik usaha, maupun sebagai pekerja.

Upaya peningkatan kualitas SDM ini tidak lepas dari campur tangan pemerintah. Keterlibatan
pemerintah bisa diwujudkan dengan beberapa cara, yang salah satu di antaranya adalah melalui pendidikan
formal dan akses kesehatan. Peningkatan kualitas SDM dalam hal knowledge dicapai melalui pendidikan
formal. Adapun integrasi kebijakan terkait pendidikan formal yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur adalah program SMK Mini.

Program SMK Mini bertujuan untuk menghasilkan lulusan SMK yang siap memenuhi kebutuhan
industri dan berwirausaha. Pembentukan SMK Mini ini melibatkan integrasi antara Dinas Pendidikan dan Dinas
Tenaga Kerja. Program SMK Mini sebagian juga melibatkan kerjasama dengan Pondok Pesantren yang
jumlahnya di Jawa Timur sangatlah banyak. Hingga April 2015, Pemprov Jawa Timur telah mengembangkan
sebanyak 70 SMK Mini, dengan targetnya sebanyak 400 SMK Mini dengan 80 ribu lulusan hingga akhir tahun
2017 [ xix ]. Selain dipersiapkan untuk menghasilkan kualitas lulusan SMK yang siap memenuhi kebutuhan
industri, program SMK Mini juga dilakukan untuk membangun mental wirausaha di kalangan pelajar SMK.

Langkah selanjutnya adalah mendorong kemampuan SDM dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi (iptek). Ini penting untuk dilakukan mengingat di era saat ini, produksi barang dan
pemasarannya telah banyak memanfaatkan teknologi baru, salah satunya internet. Di program SMK Mini, upaya
ini sudah dilakukan pula dengan membangun website yang bisa dimanfaatkan sebagai etalase virtual untuk
memamerkan dan memasarkan produk buatan para anak didik di SMK Mini.

Selain menggerakan SMK Mini, pemerintah daerah juga perlu mendorong para lulusan perguruan
tinggi yang identik dengan generasi melek teknologi untuk menjadi wirausahawan muda melalui kerjasama
dengan Pendidikan Tinggi. Upaya ini sekaligus untuk meningkatkan jumlah usaha yang berbasis iptek di
berbagai daerah. UMKM berbasis iptek dapat menjadi motor peningkatan produktivitas dan daya saing UMKM,
serta mudah beradaptasi dengan perkembangan tuntutan pasar global.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga dapat dicapai dengan memberikan pelatihan kepada
tenaga kerja UMKM, khususnya usaha kecil dan menengah. Pemberian pelatihan ini dapat melibatkan
kemitraan/kerjasama dengan perusahaan besar dan eksportir yang mengekspor produk UMKM ke pasar

116 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


internasional, yaitu mendatangkan tenaga ahli di bidangnya sebagai pelatih para tenaga kerja tersebut. Sehingga
ke depannya, UMKM tidak perlu bergantung kepada tenaga kerja asing dalam menghasilkan produk berkualitas.
Hal ini pula yang akan menekan biaya produksi dan produk yang dihasilkan dapat dipasarkan dengan harga
yang terjangkau.

Disamping itu, ragam kualitas SDM yang dibutuhkan untuk pengembangan UMKM tidak hanya
berupa kualitas yang dipenuhi melalui pengembangan soft skills dan hard skills. Yang tidak kalah penting
lainnya adalah kualitas moral ataupun kualitas attitude (perilaku). Peningkatan kualitas moral ini menjadi
penting karena di era global tidak akan bisa dihindari terjadinya interaksi langsung dengan pelaku usaha dari
negara-negara lain. Sementara kualitas moral yang salah satunya berupa kejujuran dalam berbisnis, akan sangat
diperhitungkan oleh pelaku usaha lain.

Kesimpulan

UMKM adalah elemen penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. UMKM terbukti telah
mampu bertahan saat Indonesia diterpa krisis ekonomi dan banyak berkontribusi pada PDB. Sampai saat ini,
pemberdayaan UMKM masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, masyarakat, dan para pemegang
kepentingan, agar dapat bersaing di era global, khususnya di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang
dimulai pada akhir 2015.

Pemberdayaan UMKM tidak bisa dilakukan secara instan. Sebaliknya, upaya ini membutuhkan proses
yang cukup panjang dan melibatkan integrasi kebijakan yang terkait dengan penguatan modal, pengembangan
produk unggulan, standar kualitas produk, serta peningkatan kualitas dan keterampilan sumber daya manusia.

Melalui semua itu, UMKM diharapkan dapat menjadi pendukung kekuatan ekonomi daerah dan nasional, yaitu
dengan meningkatkan pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja, dan memakmurkan masyarakat
secara keseluruhan sehingga terciptanya kekompetitifan dan stabilitas perekonomian Indonesia yang baik.
Selain itu, UMKM juga diharapkan dapat bersaing dengan para pelaku usaha lain di tingkatan global, khususnya
di negara-negara ASEAN yang saat pelaksanaan MEA, akan semakin banyak berinteraksi. Sehingga UMKM
mampu menjadi tuan di negeri sendiri dan menjadi tamu terhormat di negeri orang.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)
2010-2011. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM.
Badan Pusat Statistik. 2010. Sandingan Data UMKM 2009-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Sudaryanto, Ragimun, dan Rahma Rina Wijayanti. 2014. Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar
Bebas Asean. Jakarta: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Kementerian Keuangan.
PT. Arah Cipta Guna. 2007. Laporan Akhir: Kajian Evaluasi dan Revitalisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang
KUKM. Jakarta: Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM.
Prasetyo, P. Eko. 2008. Peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Kebijakan Penanggulangan
Kemiskinan dan Pengangguran. Yogyakarta: Akmenika UPY (2: 4-6).

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 117


Badan Pusat Statistik. 2009. Sandingan Data UMKM 2005-2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)
2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 1.
Sidabutar, Victor Tulus Pangapoi. 2014. Peluang dan Permasalahan yang Dihadapi UMKM Berorientasi Ekspor.
Jakarta: Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional.
Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB)
2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 2.
Rahayu, Ayu Citra Sukma. 2012. Pertumbuhan UKM Jatim 10 Persen Tahun 2012. Diakses pada 21 Agustus
2015, dari http://www.antarajatim.com/ lihat/berita/79725/pertumbuhan-ukm-jatim-10-persen-tahun-2012
Aziz. 2014. UMKM Jawa Timur serap 11 juta tenaga kerja. Diakses pada 21 Agustus 2015, dari
http://www.antaranews.com/berita/461929/umkm-jawa-timur-serap-11-juta-tenaga-kerja

Wahyudiono. 2015. Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Sebagai Kekuatan Ekonomi Di Provinsi Jawa
Timur. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://ukmjatim.net/umkm-sebagai-kekuatan-ekonomi-di-
propinsi-jawa-timur/.

inas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014. Keragaan UMKM. Diakses
pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia.
php?pages=content&id=9&bidang=
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, Dan Kebijakan. Jakarta. Erlangga.
Sumedi, Diananta P. 2013. BI: Pertumbuhan Kredit UMKM di Jawa Timur Rendah. Diakses pada 21 Agustus
2015, dari http://bisnis.tempo.co/ read/news/2013/05/17/090481133/bi-pertumbuhan-kredit-umkm-di-
jawa-timur-rendah
Bank Indonesia. 2014. Kajian Ekonomi Regional Jawa Timur. Triwulan II 2014. Surabaya: Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Wilayah IV. (2014:52).
Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014. Keragaan UMKM. Diakses
pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia.
php?pages=content&id=9&bidang=
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2011. Minta Dilibatkan Dalam Pemberdayaan
UMKM. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari http://bappeda.jatimprov.go.id/ 2011/06/09/minta-
dilibatkan-dalam-pemberdayaan-umkm/

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2015. SMK Mini Jatim Dilirik Program AKAD
Pemerintah Pusat. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015

118 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Kebijakan Perspektif Gender Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia
Unggul (Strategi Pemerintah Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN)

Yuni Lestari

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia

Telp. +62856-347-1611

email: lestari_yuni13@ymail.com

Abstrak: Globalisasi sering dijadikan tonggak awal perkembangan peradaban oleh suatu negara, era ini juga
akan membawa dampak pada suatu pilihan untuk mengikuti suatu perubahan atau stagnan dan tertinggal. Arus
globalisasi membawa suatu kecenderungan yang tidak dapat dihindari sebagian besar negara, termasuk
Indonesia. Berbagai kesepakatan dan kerjasama regional dibentuk sebagai salah satu bentuk eksistensi
Indonesia dalam mengikuti perkembangan.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyongsong persaingan yang
semakin global ini adalah dengan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul, yakni SDM yang
berkualitas dan berdaya saing. Dimana SDM yang berkualitas dan berdaya saing ini ditandai dengan SDM
yang tidak hanya memiliki ketrampilan dan keahlian namun juga SDM yang memiliki pola pemikiran tentang
kesetaraan gender. Sebagai bentuk upaya pemerintah dalam mewujudkan sumber daya yang unggul, maka
diperlukan sebuah kebijakan yang mengarah pada kesetaraan gender sebagai modal dalam menghadapi
menghadapi kompetisi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC).

Dalam rangka mewujudkan kerja sama yang mengarah pada pembangunan global yang berprespektif gender,
maka sangat dibutuhkan suatu pemahaman tentang kebijakan prespektif gender bagi seluruh negara-negara
ASEAN atau negara-negara yang tergabung dalam MEA. Kebijakan perspektif gender merupakan sebuah
pondasi yang menjadi dasar dalam menjalankan seluruh kesepakatan kerjasama MEA baik di bidang ideologi,
politik ekonomi, sosial budaya, maupun keamanan dan pertahanan.

Kebijakan Publik

Kata kunci: kebijakan perspektif gender, sumber daya manusia, kompetisi global, MEA

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 119


Pendahuluan

Kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) berawal
dari visi ASEAN 2020 yang dideklarasikan pada Desember 1997 di Kuala Lumpur. Adanya Visi ASEAN 2020
diharapkan dapat membawa Asia Tenggara memasuki babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi. Deklasari
tersebut membuahkan sebuah kesepakatan para pemimpin ASEAN untuk mentransformasikan kawasan Asia
Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera, dan kompetitif yang didukung oleh pembangunan
ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan, dan kesenjangan sosio_ekonomi di negara-negara
ASEAN [1].

Visi ASEAN 2020 semakin menguatkan komitmen untuk segera mewujudkan gagasan tentang MEA
[2]. Hal tersebut sebagaimana telah dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali
pada Oktober 2003 atau lebih dikenal dengan sebutan Bali Concorg II. Begitu kuatnya komitmen para
pemimpin negara-negara ASEAN terhadap pembentukan MEA ini tercermin dari disepakatinya upaya
percepatan terwujudnya MEA pada tahun 2015. Terbentuknya MEA diharapkan akan membawa perubahan
pada ASEAN akan menjadi kawasan dimana barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan arus modal dapat
bergerak dengan bebas.

Dengan disepakati percepatan MEA pada 2015 akan berdampak pada negara-negara ASEAN termasuk
Indonesia yang mau tidak mau, siap tidak siap harus turut serta dalam peningkatan kualitas ekonomi di Asia
Tenggara sebagaimana tertuang dalam cetak biru MEA (AEC blueprint) [3]. MEA merupakan ASEAN
community yang dibentuk untuk lebih mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi perkembangan
konstelasi internasional baik dalam bidang ideologi, politik ekonomi, sosial budaya, maupun keamanan dan
pertahanan.

Terbentuknya MEA yang akan dilaksanakan pada tahun 2015 telah disepakati dalam KTT (Konferensi
Tingkat Tinggi) ASEAN ke-19 yang diselenggarakan di Bali pada 2011. Dimana wilayah kerjasama MEA
meliputi: pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas, pengakuan kualifikasi profesional,
konsultasi lebih dekat pada kebijakan makro ekonomi dan keuangan, langkah-langkah pembiayaan
perdagangan, peningkatan infrastruktur dan konektivitas komunikasi, pengembangan transaksi elektronik
melalui e_ASEAN, mengintegrasi industri diseluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daya daerah, dan
meningkatkan keterlibatan sektor swasta untuk membangun AEC atau MEA [4].

Pemberlakuan MEA pada tahun 2015 akan melahirkan sebuah kompetisi kawasan ASEAN yang
terlisensi (lisence to competition) [5]. Dalam rangka mendorong lahirnya kawasan yang memiliki daya saing
global, ASEAN telah menyiapkan kerangka bagaimana mekanisme pasar bebas ASEAN dirancang. Oleh karena
itu, negara-negara ASEAN segera menyiapkan diri untuk menyambut kehadiran MEA.

Kesepakatan MEA telah disambut oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai opini. Secara optimis,
muncul opini masyarakat yang begitu antusias menyambut MEA. Sebuah opini positif dimana MEA akan dapat
membawa Indonesia pada kompetisi global yang tentunya akan membawa dampak positif. Melalui MEA
diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang disegani khususnya di kawasan Asia Tenggara. Namun
kehadiran MEA ini juga disambut dengan pesimisme masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat beranggapan
bahwa MEA akan menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia. Berbagai opini lahir menanggapi ketidaksiapan

120 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Indonesia dalam menghadapi MEA patut untuk dipertimbangkan. Jika anggapan tersebut diabaikan, pesimisme
masyarakat tersebut sangat dikhawatirkan akan mempengaruhi pandangan dunia khususnya negara-negara
ASEAN terhadap Indonesia [6]. Dibutuhkan sikap pemerintah yang lebih berhati-hati dalam menanggapi
kekhawatiran tersebut.

Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya dimana tujuan dibentuknya MEA adalah menciptakan
sebuah kawasan berdaya saing global. Sebagai salah satu upaya untuk dapat berkompetisi secara global maka
salah satu modalnya adalah adanya tenaga terampil. Tenaga terampil yang dimaksudkan adalah sumber daya
manusia yang berdaya saing global dengan berprespektif gender. SDM perpsektif gender merupakan modal
utama dalam mewujudkan pembangunan yang sangat kompetitif.

Untuk dapat mewujudkan SDM prespektif gender yang berdaya saing global, maka diperlukan strategi-
strategi pemerintah. Salah satu sikap pemerintah dalam mewujudkan tujuan tersebut, maka dibutuhkan lahirnya
kebijakan-kebijakan yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Tentunya kebijakan-kebijakan tersebut adalah
kebijakan-kebijakan perspektif gender. Dengan adanya kebijakan perspektif gender diharapkan diharapkan
dapat menciptakan SDM perspektif gender yang mampu bersaing secara global. Hal ini mengingat
pemberlakuan MEA 2015 tentunya akan menjadi tantangan global bagi bangsa Indonesia. Kesepakatan MEA
pun hendaknya juga dibarengi dengan kesepakatan tentang kesetaraan gender. Oleh karena itu sangat
diharapkan adanya kebijakan perspektif gender sebagai pengontrol jalannya kompetisi global yang berasas pada
kesetaraan (spesifik) gender.

Kebijakan Perspektif Gender

Konsepsi pembangunan mempunyai keterkaitan yang erat dengan kebijakan. Dimana kedua memili
andil yang besar dalam proses peningkatan kualitas hidup manusia. Sebagai kerangka kerja pembangunan,
kebijakan merupakan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan yang tercermin dalam
berbagai macam program dan proyek pembangunan.

Kebijakan yang dalam bahasa inggris disebut ―policy‖ mnrupakan cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan diartikan sebagai suatu ketetapan
yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun
mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) [7]. Dalam bahasa yang sederhana kebijakan adalah suatu ketetapan
yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. .

Setelah berbicara tentang kebijakan secara umum, maka kebijakan pun akan masuk dalam ranah publik.
Kebijakan publik merupakan sarana yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah dicita-citakan.
Secara lebih gamblang Thomas R. Dye menjabarkan definisi kebijakan negara adalah ―whatever governments
choose to do or not to do‖ (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan) [8].
Lebih lanjut Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada
tujuannya (objektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua ‗tindakan‘ pemerintahan, jadi bukan
semata-mata merupakan penyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping itu sesuatu
yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara, karena sesuatu yang tidak dilakukan
oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 121


pemerintah. Dari apa yang dituturkan oleh Dye ini, Abdul Wahab berpendapat walaupun definisi Dye mengenai
kebijakan negara tersebut cukup akurat, namun sebenarnya tidak cukup memadai untuk mendeskripsikan
kebijakan negara, sebab kemungkinan terdapat perbedaan yang cukup besar antara apa yang senyatanya mereka
lakukan [9].

Dengan mengingat kembali dimana kebijakan merupakan prasarana penting dalam mewujudkan suatu
pembangunan, dimana dewasa ini pemerintah begitu gencar mengomposisikan gender dalam pembangunan.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pembangunan yang
berasaskan gender, maka melalui adopsi gender dalam setiap Gambar 2. Model Review Kebijakan dari
Naila Kabeer
kebijakan pemerintah menjadi sebuah solusi yang sangat menarik.

Sebelum masuk dalam pembahasan kebijakan berasas Gender blind Polices


(often implicity male biased)
atau perspektif gender (demikian penulis menyebutnya), maka
terlebih dahulu akan diperkenalkan istilah gender secara
Rethinking Assumtions
sederhana. Pada tataran awal. istilah Gender digunakan untuk Rethinking Practices

menjelaskan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang


bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan. Gender adalah perbedaan Gender Sensitive Policies

peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara


laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat Gender-Neutral Gender-Specific
(interventions intended (interventions intended to
berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas to distributions of meet needs of one of other
resourches and gender within existing
menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan responbilities intact) distribution of resources
and responbilities)
masyarakat.
Gender-redistributive policies
Perlu sebuah penekanan dimana konsep gender tidak (interventions intended to transform existing
distributions in a more egalitarian direction)
sama dengan konsep kodrat. Kodrat adalah sesuatu yang
ditetapkan oleh Tuhan YME, sehingga manusia tidak mampu
untuk mengubah atau menolak. Sementara itu, kodrat bersifat universal, misalnya melahirkan, menstruasi dan
menyusui adalah kodrat bagi perempuan, sementara mempunyai sperma adalah kodrat bagi laki-laki.

Oleh karena itu, pemahaman tentang gender haruslah dipahami dengan benar. Pemahaman yang salah
atau tidak tepat tentang gender berdampak pada kemungkinan munculnya ketidakadilan gender. Ketidakadilan
gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial, sehingga perempuan maupun laki-
laki menjadi korban dari pada sistem tersebut. Laki-laki dan perempuan berbeda hanya karena kodrat antara
laki-laki dan perempuan yang terbentuk karena kehendak Sang Pencipta, bukan karena konstruksi budaya.
Keadilan gender akan dapat terjadi jika tercipta suatu kondisi di mana porsi dan siklus sosial perempuan dan
laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis.

Ketidakadilan gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial, sehingga
perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari pada sistem tersebut. Laki-laki dan perempuan berbeda hanya
karena kodrat antara laki-laki dan perempuan berbeda. Keadilan gender akan dapat terjadi jika tercipta suatu
kondisi di mana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis [10].

122 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang perspektif gender, maka dibutuhkan konsep kebijakan
yang perspektif gender. Kebijakan-kebijakan yang mengarahkan pembangunan pada pembangunan yang adil
gender. Berikut ini (lihat gambar 2) merupakan kerangka pemikiran kebijakan yang sensitif gender menurut
Naila Kabeer dan secara sederhana digambarkan oleh Nugroho dalam Model dan Tranformasi Kebijakan (lihat
gambar 3) [11].

Gambar 3. Model dan Transformasi Kebijakan

Kebijakan Bias Gender


Dicirikan dari adanya
diskriminasi sumber daya
produksi melalui diskriminasi
akses, kontrol, partisipasi, 1
dan penikmatan
Kebijakan Netral
Gender
Dicirikan dari adanya
2 kesetaraan gender dalam
akses, kontrol, partisipasi,
dan penikmatan sumber
Kebijakan Spesifik daya produktif
Gender
Dicirikan dari adanya
diskriminasi positif sumber
daya produktif melalui 3 5
diskriminasi akses, kontrol,
partisipasi, dan penikmatan
pada salah satu gender yang
berada dalam posisi Kebijakan
subordinasi, baik melalui 4 Pengontrol
kebijakan yang bersifat (Kesetaraan gender)
distributif maupun Dicirikan dengan adanya
redistributif kebijakan pengontrol
agar kebijakan yang
netral gender tidak bias
dalam praktik

Dari gambar 3 dapat diceritakan dimana pada kondisi awal, kesetaraan gender belum tercapai karena
masih adanya kebijakan-kebijakan yang masih bias gender. Secara bertahap kebijakan tersebut dapat
ditransformasikan secara langsung menjadi kebijakan yang netral gender (langkah 1) atau melalui kebijakan
spesifik gender (langkah 2) untuk menstransformasikan kebijakan yang ada menjadi netral gender (langkah 3).
Namun demikian, pada akhirnya harus ada kebijakan pengontrol kebijakan yang netral gender tersebut untuk
meminimalisir bias implementasi dari kebijakan yang netral gender tersebut (langkah 5) yang secara efektif
dilakukan dengan mempertahankan maupun menyempurnakann kebijakan spesifik gender (langkah 4). Pada
akhirnya adalah tercapainya tujuan akhir dalam mewujudkan kebijakan yang netral gender yang dicirikan
dengan adanya kesetaraan gender.

Dalam sebuah penelitian, Nugroho [12] menyimpulkan bahwa variabel kebijakan, peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia sebagian besar dalam tataran netral gender. Namun masih saja
ditemukan beberapa kebijakan yang masih bias gender. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang
bersifat spesifik kesetaraan gender yang berfungsi sebagai kebijakan pengontrol atas kebijakan pengontrol atas
kebijakan-kebijakan yang sudah bersifat netral gender, selain dapat berfungsi menetralkan juga berfungsi untuk
menyetarakan kebijakan yang sebelumnya bias gender. Kebijakan perspektif gender diharapkan dapat menjadi
modal utama dalam mewujudkan sumber daya manusia yang unggul dalam menghadapi tantangan global.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 123


Sumber Daya Manusia Berprespektif Gender sebagai Modal Pembangunan

Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam seluruh (hampir) aspek kehidupan manusia
membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap pola relasi gender, terutama kaitannya dengan posisi kaum
perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan. Prosentase jumlah penduduk
Indonesia berdasarkan jenis kelamin, secara rata-rata memiliki besaran yang hampir sama. Perhatikan tabel 1
yang memberikan gambaran tentang prosentase penduduk Indonesia berdasarkan jenis kelamin pada tahun
2009-2013 [13]. Dengan jumlah penduduk yang rata-rata sama berdasarkan jumlah penduduk, pada
kenyataannya pada saat ini perempuan belum dapat optimal menyumbangkan kemampuan dan potensinya. Hal
tersebut dikarenakan adanya ketimpangan-ketimpangan gender sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya.
Perhatikan tabel 2, yang memberi gambaran tentang tingkat penggangguran terbuka bagi penduduk usia 15
tahun keatas berdasarkan jenis kelamin [14].

Tabel 1

Persentase Penduduk menurut Provinsi dan Jenis


Kelamin, Tahun 2009 – 2013

Laki-Laki Perempuan

2009 49.53 50.47

2010 50.17 49.83

2011 50.37 49.63

2012 50.35 49.65

2013 50.25 49.75

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Tabel 2

Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk


Berumur 15 Tahun Ke Atas menurut Jenis
Kelamin, 2009-2012

Jenis Kelamin
Tahun
Laki-Laki Perempuan

2009 7.51 8.47

124 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


2010 6.15 8.74

2011 5.90 7.62

2012 5.75 6.77

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat pengangguran terbuka penduduk Indonesia lebih didominasi
oleh kaum perempuan. Selanjutkan perhatikan tabel 3 yang memberikan gambaran tentang persentase kepala
rumah tangga yang bekerja menurut jenis kelamin untuk rentang tahun 2009-2012 [15]. Dari tabel 2 dan 3 dapat
diperoleh gambaran dimana tidak sedikit kaum perempuan Indonesia yang masih menggantungkan hidupnya
pada laki-laki. Kecilnya persentase kaum perempuan yang bekerja dalam ranah publik memberikan penguatan
pembangunan yang perspektif gender.

Tabel 3

Persentase Kepala Rumah Tangga yang Bekerja


menurut Jenis Kelamin, 2009-2012

Jenis Kelamin
Tahun
Laki-Laki Perempuan

2009 92.23 60.54

2010 92.56 60.92

2011 92.80 61.72

2012 93.19 60.67

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Pembangunan perspektif gender dapat dilihat dari keterlibatan kaum perempuan pada ranah organisasi
publik. Sejauh mana seharusnya keterlibatan kaum perempuan Indonesia dalam organisasi publik dapat
tergambar dalam tabel 4. Pada tabel variabel organisasi tersebut dapat dijadikan indikator pengukuran
representasi perempuan pada lembaga lembaga negara.

Tabel 4

Indikator Evaluasi Variabel Organisasi Publik: Representasi

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 125


Ranking Legislatif Eksekutif Yudikatif Konsultatif Akuntatif Birokratif

Tinggi 22%-50% 22%-50% 22%-50% 22%-50% 22%-50% 22%-50%

Memadai 17%-32% 17%-32% 17%-32% 17%-32% 17%-32% 17%-32%

Rendah <17% <17% <17% <17% <17% <17%

Dari 6 (enam) organisasi publik yang meliputi: legislatif, eksekutif, yudikatif, konsultatif, akuntatif, dan
birokratif menunjukkan bahwa representasi perempuan dalam organisasi publik ndalam kategori yang rendah
[16]. Hal ini ditunjukkan dengan presentase representasi perempuan yang rata-rata masih kurang dari 17%.
Berikut ini datanya, lihat tabel 5.

Tabel 5

Pengukuran Evaluasi Variabel Organisasi

Representasi
Lembaga Rangking
Perempuan

Legislatif 8.95% Rendah

Eksekutif 28.12% Memadai

Yudikatif 26.20% Memadai

Konsultatif 2.70% Rendah

Akuntatif 0.00% Rendah

Birokratif 15.80% Rendah

Tabel diatas memberikan sebuah gambaran dimana masih memprihatikannya representasi perempuan
dalam organisasi publik. Hal ini tentunya akan semakin mendorong pemerintah untuk segera mengambil sikap.
Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan perspektif gender diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas
sumber daya manusia Indonesia, khususnya para kaum perempuan. Dengan mengacu pada anggapan atau
pendapat sebelumnya yang megatakan bahwa ketika semua sektor masuk dalam pasar terbuka, maka setiap laki-
laki maupun perempuan bebas berkompetisi dalam pekerjaan dan mendapatkan pelayanan yang baik dari orang
lain maupun dari negara lain. Andhata [17] beranggapan bahwa perempuan yang tak berdaya (tidak dapat
berkompetisi), maka perempuan itu pun tidak akan memiliki kesempatan untuk keluar dari kemiskinan ataupun
meraih pendidikan. Dengan berangkat dari anggapan tersebut, maka dirasakan perlu bagi semua elemen bangsa
yang masuk dalam MEA untuk memahami dengan jelas tentang konsep kesetaraan gender yang diperlukan
dalam era MEA.

126 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Strategi Pemerintah dalam Menghadapi Kompetisi Global: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Globalisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengurangan atau peniadaan sekat-
sekat bagi kelancaran arus barang, uang, dan sumber daya manusia (SDM). Dalam artian yang lebih teoritis
globalisasi merupakan pengitegrasian internasional individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta
institusi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi secara cepat dan mendalam pada takaran yang belum pernah
dialami selama sejarah dunia sebelumnya [18].

Fenomena globalisasi memunculkan berbagai pro dan kontra dimasyarakat. Istilah globalisasi
memunculkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat luas. Akankan globalisasi menjadi suatu peluang bagi
suatu bangsa atau malah sebaliknya, globalisasi akan menjadi penghambat bagi perekonomian suatu bangsa.
Secara positif, globalisasi ditanggapi sebagai arena terbuka bagi semua negara dimana liberalisasi pasar dunia
akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam pemahaman ini globalisasi diibaratkan sebagai
cawan yang berisi air kemakmuran yang besar dimana setiap negara di dunia berpeluang terus membuat pipa
saluran sebanyak mungkin untuk kepentingan ekonomi nasionalnya. Sebaliknya penilaian yang lebih skeptis
menilai globalisasi sebagai arena ketimpangan ekonomi antar negara di dunia dimana negara maju dan
industrialis kaya yang menguasai cawan tersebut dan hanya menyisakan setetes-dua tetes air kemakmuran bagi
negara dunia ketiga [19]. Perdebatan antar dua kutub ini pun tidak berhenti dalam ranah akademik saja, namun
sudah berkembang menjadi konsumsi publik dunia dalam menjabarkan subtansi globalisasi.

Dengan mengadopsi dari pendapat Swasono yang menganggap bahwa terdapat 3 (tiga) kelompok
pandangan tentang globalisasi [20]. Kelompok pertama adalah pengagum dan pemuja globalisasi. Kelompok ini
didukung oleh akademisi yang berorientasi pada fundamentalisme (Smithian) yang mengganggap globalisasi
(liberalisme dan kapitalisme) sebagai suatu kemajuan dan peluang. Kelompok kedua merupakan kelompok yang
lebih kritis dan objektif, dimana melihat kebaikan dan keburukan globalisasi secara objektif. Kelompok ini
secara kritis mengungkapkan globalisasi sebagain fenomena yang mengecewakan. Pemikiran yang digawangi
oleh Stiglizt ini berusaha untuk memperbaiki dan mengkritisi, namun tidak menentang. Selanjutnya adalah
kelompok ketiga yang menolak adanya globalisasi. Kelompok ini beranggapan bahwa globalisasi tidak ubahnya
sebagai imperalisme gaya baru. Menciptakan lahirnya proyek-proyek politik imperalis-kapitalis global, dengan
pemerintah globalnya, secara terang-terangan melakukan ―rampokisasi‖ dengan dalih menegakkan ―pasarisasi‖
di negara-negara sedang berkembang.

Terlepas dari perbedaan opini yang pro dan kontra, arus globalisasi dipengaruhi besar oleh 2 (dua)
faktor utama [21]. Pertama, pergeseran dari pembangunan yang dipimpin oleh pemerintah ke pembangunan
yang dipimpin oleh pasar. Kedua, kemajuan di bidang teknologi yang memudahkan koordinasi produksi dan
pemasaran pada tingkat global. Besarnya pengaruh kemajuan teknologi dalam mempercepat proses globalisasi
menyebabkan semakin mudah dan murahnya aliran barang, jasa, modal, pengetahuan, dan SDM dari suatu
negara ke negara lain dan semakin terintegrasinya negara-negara dan penduduk dunia.

Kesepakatan globalisasi melahirkan janji-janji globalisasi yang seakan-akan membawa banyak dampak
positif, antara lain: pertama, globalisasi membantu negara-negara berkembang meningkatkan ekspor dan
menyediakan barang dan jasa dengan harga lebih murah. Namun pada kenyataannya perekonomian global
negara-negara sedang berkembang memasuki babak kompetisi baru dari negara-negara maju yang lebih mampu
menghasilkan produk baru dengan harga lebih murah, sedangkan negara-negara berkembang sulit untuk

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 127


menembus pasar negara-negara maju yang dengan berbagai cara mengahambat masuknya produk-produk dari
negara-negara berkembang. Kedua, globalisasi diduga dapat meningkatkan standar hidup dan mengurangi
kemiskinan. Dalam kenyataannya hanya mereka yang semakin tinngi standar hidupnya ialah mereka yang
mendapatkan akses, sedangkan sebagian besar kelompok marjinal semakin terjepit. Ketiga, lahirnya globalisasi
akan menciptakan lapangan kerja. Namun pada kenyataannya banyak perusahaan-perusahaan besar yang lebih
menggunakan kapital insentif yang sedikit sekali menyerap tenaga kerja dan menyebabkan tingkat
pengangguran semakin tinggi. Keempat, globalisasi akan membantu tiap negara mengurangi ekploitasi terhadap
tenaga kerja wanita dan anak. Namun pada kenyataannya menunjukkan bahwa telah terjadi ―feminisasi‖ tenaga
kerja, yakni semakin banyaknya pekerja perempuan dalam sektor industri dengan upah rendah. Kelima,
globalisasi dikatakan akan dapat mengurangi kepincangan dan kesenjangan antara negara maju dengan negara
miskin. Namun pada kenyataannya globalisasi dipandang tidak adil terhadap yang lemah atau menimbulkan
kepincangan baik pendapatan maupun kesejahteraan, sehingga jurang antara negara-negara kaya dan negara
miskin menjadi semakin dalam. Keenam, globalisasi akan mendorong stabilitas, baik dibidang ekonomi maupun
perbankan. Namun kenyataannya banyak pihak yang memandang sistem ini sangat tidak stabil, berpotensi
bergejolak atau fluktuasi, serta menimbulkan fluktuasi tinggi dan pengangguran semakin meluas [22].

Pendapat yang lebih netral mengatakan bahwa globalisasi dapat berdampak secara positif maupun
negatif. Bagi negara-negara Asia Timur yang menggunakan cara lebih mandiri, globalisasi telah memberikan
manfaat yang luar biasa besar, walaupun pernah dihantam krisis tahun 1997/1998. Namun bagi negara-negara
Barat, globalisasi tidak memberikan manfaat yang sebanding dengan kerugian yang muncul. Terdapat 2 (dua)
hipotesis yang muncul terkait dengan dampak globalisasi ekonomi pada negara, yang pertama, ―hipotesis
dramatis‖ yang digagas oleh Kenichi Ohmae menyebutkan bahwa globalisasi akan melenyapkan negara
kebangsaan. Kedua, ―Silent Take_over and the Death of Democracy‖ yang digagas oleh Noreena Hertz
menyebutkan bahwa globalisasi ekonomi akan mengakibatkan matinya demokrasi [23]. Kondisi lapangan lebih
menunjukkan pendapat Hertz yang lebih mendekati pada kenyataan. Dimana pada kondisi tersebut pemimpin
bukannya mengabdi pada pendukung dan konstituennya dalam pemilu, tetapi justru lebih tunduk pada kapitalis
global. Globalisasi tidak hanya menentukan arah demokrasi suatu negara, namun lebih dari itu. Globalisasi
bahkan mampu mendikte apa yang harus dilakukan oleh pemenang dalam suatu pemilihan demokratis.

Dalam menanggapi dampak globalisasi yang begitu komplek, maka yang dibutuhkan adalah pola
perimbangan yang tepat antara politik dan pasar, antara membuat aturan dan berperilaku menurut aturan. Pada
akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan baru. Apa artinya jika dunia memiliki perekonomian global tanpa
pemerintahan global. Ketika perekonomian global tidak memiliki aturan dan hukum yang disepakati bersama,
maka siapakah yang akan dimintai bantuan ketika ada pihak yang merasa telah diperlakukan secara tidak adil.
Menurut Stiglitz [24] yang menyerukan bahwa sudah saatnya untuk mengubah aturan tata ekonomi internasional
sehingga kepentingan negara-negara berkembang lebih terwakili.

Swasono [25] memiliki beberapa solusi menghadapi dominasi ekonomi negara-negara maju, antara lain
(a) melalui usaha masing-masing negara untuk membenahi diri sendiri demi meningkatkan kemampuan
domestik dan kinerja nasionalnya, (b) menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan
kemandirian ASEAN, (c) meningkatkan keterlibatan Indonesia dalam gerakan-gerakan di forum internasional
yang menentang ketidakadilan globalisasi, dan (d) memanfaatkan semangat kerjasama dan kesadaran global

128 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia. Dalam rangka mewujudnyatakan kerangka solusi diatas
maka perlu dikobarkannya kembali semangat nasionalisme pada jiwa bangsa Indonesia.

Pentingnya semangat nasionalisme bangsa Indonesia menjadi salah satu modal dalam menghadapi
tantangan globalisasi. Dalam catatan Suroso [26] mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara inisiator pembentukan MEA pada tahun 2015. Komunitas ASEAN tersebut dibentuk dalam sebuah acara
bertajuk Deklarasi ASEAN Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003. Pembentukan komunitas MEA sebagai
upaya evolutif ASEAN untuk menyesuaikan cara pandang untuk dapat lebih terbuka dalam membahas
permasalahan domestik yang berdampak pada kawasan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama ASEAN,
yaitu: saling menghormati (mutual respect), tidak mencampuri urusan dalam negeri (non-interfence), konsensus,
dialog, dan konsultasi. Selain itu, terdapat tiga pilar yang termasuk dalam kerjasama ASEAN, yaitu: Komonitas
Keamanan ASEAN (ASEAN Security Comunity/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community/AEC), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Cultural Community/ASCC). Salah
satu pilar tersebutlah, yakni AEC yang mendasari terbentuknya MEA. Adapun tujuan MEA adalah untuk
meningkatkan stabilitas perekonomian dikawasan ASEAN, sehingga diharapkan mampu mengatasi masalah-
masalah dibidang ekonomi antar negara ASEAN.

Masih terkait dengan gagasan terbentuknya MEA, dalam sebuah Jurnal Kajian Lemhamnas [27]
ditegaskan bahwa sesungguhnya pada saat Indonesia menduduki jabatan sebagai Ketua ASEAN pada tahun
2011 telah memberikan sebuah gagasan yang dituangkan pada pilar ASEAN Economy Community yaitu
mewujudkan ASEAN Framework on Equitable Economic Development (EED). Dalam kerangka kerja tersebut
menegaskan tentang bagaimana komitmen yang harus diwujudkan oleh ASEAN dalam mencapai kesetaraan
dalam pembangunan ekonomi, dengan mengedepankan upaya-upaya seperti menjembatani kesenjangan
pembangunan, penguatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan kesejahteraan sosial, serta membuka
ruang partisipasi yang lebih lebar dalam proses integrasi ASEAN.

Kesepakatan MEA memunculkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Menurut Suroso [28] berbagai dampak tercipta sebagai akibat lahirnya MEA antara lain: terciptanya pasar bebas
di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Selain itu, kesepakatan MEA memunculkan
konsekuensi-konsekuensi terhadap aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, arus bebas jasa, arus bebas
investasi, arus tenaga kerja terampil, dan arus bebas modal.

Kerjasama MEA ini semakin mendorong setiap sumber daya manusia untuk lebih kompetitif. Menurut
Rashidah Shuib [29], seorang peneliti senior dari Centre for Research on Women and Gender (KANITA)
Universiti Sains Malaysia mengatakan dimana ketika semua sektor masuk dalam pasar terbuka, maka setiap
laki-laki maupun perempuan bebas melakukan pekerjaan dan mendapat pelayanan yang baik dari orang lain
maupun dari negara lain. Dalam memasuki situasi tersebut, Shuib juga mengusulkan semua elemen bangsa yang
masuk dalam MEA perlu memahami dengan jelas tentang konsep kesetaraan gender yang diperlukan dalam era
MEA.

Dalam rangka mewujudkan suatu kondisi sebagaimana disampaikan oleh Shuib maka diperlukan
strategi pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam segala lini pembangunan yang tidak langsung
akan berdampak pada penciptaan kompetisi global yang perspektif gender.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 129


Menurut Nugroho [30] konsep strategis dalam pengarusutamaan gender nasional Indonesia disusun
oleh Kantor Meneg PP bekerjasama dengan UNDP. Strategi tersebut terkait dengan tiga sektor pokok yang
mengacu pada indikator pembangunan manusia (human development index), yang meliputi: pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi. Konsep strategis yang mengedepankan beberapa prinsip pokok yang menjadi acuan
pembangunan, yakni (1) adanya kemitraan antara negara dan masyarakat, khususnya dengan tujuan membangun
masyarakat yang madani (civil society); (2) mengedepankan pemberdayaan sebagai inti pendekatan; (3)
melakukan intervensi terhadap institusi-institusi yang paling strategis untuk mencapai pembangunan yang
berkesetaraan gender; dan (4) menengarai faktor-faktor faktual sebagai batas-batas tujuan ideal yang hendak
dicapai.

Strategi-strategi yang diperlukan oleh pemerintah dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
perspektif gender adalah melalui kebijakan. Kebijakan merupakan sebuah komitmen politik. Dimana kebijakan
yang dimaksudkan adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh lembaga negara yang bersifat mengatur warga
negaranya [31]. Disamping itu, kebijakan juga berfungsi sebagai pengontrol jalannya sebuah proses perubahan.
Kontrol pun harus dilakukan mulai dari tingkat pusat (nasional) sampai dengan tingkat daerah. Secara
hierarkhis, kebijakan-kebijakan di Indonesia dapat ditata sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar (UUD 1945)


2. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
3. Peraturan Pemerintah
4. Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden
5. Keputusan Menteri
6. Keputusan pejabat di bawah menteri

Sedangkan di tingkat daerah (UU 22/1999), secara hierarkis dapat ditata sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar (UUD 1945)


2. Undang-Undang atau PERPU
3. Peraturan Daerah Propinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten atau Peraturan Daerah Kota
4. Keputusan Gubernur atau Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota
5. Keputusan pejabat dibawah gubernur, atau dibawah bupati, atau dibawah walikota.

Perlunya penguatan kebijakan yang berfungsi sebagai sistem kontrol terhadap program-program
pemerintah dalam menjalankan pembangunan perspektif gender. Pembangunan sumber daya manusia yang
prespektif gender membutuhkan campur tangan pemerintah melalui konsistensi kebijakan. Kebijakan-kebijakan
prespektif gender diharapakan akan membawa bangsa Indonesia pada pembangunan sumber daya manusia
unggul yang siap terjun dalam kompetisi global.

Kesimpulan

Dalam suatu konsep dasar, perkembangan akan berdampak pada suatu perubahan. Sebuah
perkembangan dunia yang sangat global, mau tidak mau, suka tidak suka, kehidupan suatu bangsa akan turut
berubah. Demikian hal dengan bangsa Indonesia, dalam kondisi apapun diharapkan mampu mengikuti
perkembangan tersebut. Salah satu tantangan global bagi bangsa Indonesia adalah pelaksanaan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diresmikan pada penghujung 2015 ini. MEA sebagai salah satu bentuk

130 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


komunitas yang tidak hanya menekankan pembentukan pasar tunggal dari segi ekonomi saja, tetapi juga sebuah
komunitas yang dibentuk dengan memperhatikan penyatuan berbagai aspek sosial budaya bagi negara-negara
ASEAN.

Kesepakatan pembentukan MEA ini memunculkan berbagai tantangan global bagi bangsa-bangsa
ASEAN, khususnya Indonesia. Salah satu tantangan bagi Indonesia adalah kesiapan bangsa Indonesia dalam
menyediakan sumber daya manusia unggul yang ditandai dengan tingkat kesiapan dan kemampuan dalam
berkompetisi secara global. Sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka mewujudkan kebijakan
perspektif genderlah jawabannya. Kebijakan yang tidak hanya menjadi dasar konseptual namun juga sebagai
pengontrol terhadap kebijakan-kebijakan turunannya.

Sumber daya manusia unggul, tidak hanya SDM yang siap berkompetisi saja, namun SDM yang juga
berkarakter peka dan adil gender. Dengan terbentuknya SDM yang perspektif gender, maka diharapkan dapat
membentuk cara pandang dimana setiap kesempatan berkompetisi terbuka bebas bagi setiap individu tanpa
membedakan jenis kelamin (sex), khususnya diwilayah di negara-negara ASEAN. Dengan bermodal SDM
dengan karakter dan cara pandang yang perspektif gender akan menjadi nilai tersendiri yang diharapkan dapat
mewujudkan SDM berkualitas unggul yang mampu bersaing secara global.

Daftar Pustaka

ASEAN Vision 2020. http://www.aseansec.org/1814.htm. Diakses tanggal 10 Agustus 2015

ASEAN Concord II. http://www.aseansec.org/15159.htm. Diakses tanggal 10 Agustus 2015

ASEAN Economic Community Blueprint. http://www.aseansec.org/21083.pdf. Diakses

tanggal 10 Agustus 2015

Malau, Masnur Tiurmaida. 2014. ―Aspek Hukum Peraturan dan Kebijakan Pemerintah

Indonesia Menghadapi Liberalisasi Ekonomi Regional: Masyarakat Ekonomi ASEAN

2015‖.

Jurnal Rechts Vinding (Media Pembinaan Hukum Indonesia) Vol. 3 No. 2 Agustus 2014

Hassan, Mohamed Jahwar. 2007. ―The Resurgence of China and India, Major Power Rivalry

and The Response of ASEAN dalam Soesastro, Hadi dan Joewono, Clara (eds). The

Inklusif Regionalist. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies Indonesia.

Halwani, Hendra dan Tjiptoherijamto, Prijono. 1993. ―Perdagangan Internasional:

Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro.‖ Jakarta. Ghalia Indonesia

Suharto, Edi. 2010. ―Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan

Kebijakan Sosial)‖. Alfabeta. Bandung. Hal 7

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 131


Islamy, Irfan M. Dr. MPA. 2004. ―Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara‖. Bumi

Aksara. Malang. Hal 18

Abdul Wahab, Solichin. Prof. Drs. M.A. Ph.D. 2005. ―Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijakan Negara)‖ Edisi Kedua. Bumi Aksara. Jakarta. Hal 4

Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/ Subjek/view/id/40#subjekViewTab1|accordion- daftar-subjek1.


Diakses 15 Agustus 2015

Nugroho, Riant. 2008. ―Gender dan Administrasi Publik‖ Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal

240-243

Nugroho, Riant. 2008. ―Gender dan Administrasi Publik‖ Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal

233

Badan Pusat Statistik. ―Persentase Penduduk menurut Provinsi dan Jenis Kelamin, Tahun

2009-2013‖. http://www.bps.go.id/linkTabel Statis/view/id/1601. Diakses tanggal 20

Agustus 2015

Badan Pusat Statistik. ―Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk Berumur 15 Tahun Ke

Atas menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2009-2012‖.

http://www.bps.go.id/ linkTabelStatis/view/id/1607. Diakses tanggal 20 Agustus 2015

Badan Pusat Statistik. ―Persentase Rumah Tangga menurut Provinsi, Jenis Kelamin KRT

yang Bekerja, dan Daerah Tempat Tinggal, 2009-2012‖.

http://www.bps.go.id /linkTabelStatis/view/id/1606. Diakses tanggal 20 Agustus 2015

Nugroho, Riant. 2008. ―Gender dan Administrasi Publik‖ Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal

243-250

Adhanta dalam Jurnal Perempuan. Edisi 50. 2006. “Pengarusutamaan Gender”. Yayasan

Jurnal Perempuan. Jakarta. Hal.157

Deliarnov. 2006. ―Ekonomi Politik‖. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 201

Jati, Wasisto Raharjo. 2013. ―Pengantar Kajian Globalisasi: Analisa Teori dan Dampaknya di

Dunia Ketiga‖. Mitra Wacana Media. Jakarta. Hal 1

Deliarnov. 2006. ―Ekonomi Politik‖. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 202-203

Badan Pusat Statistik. ―Jumlah dan Distribusi Penduduk‖. http://sp2010.bps.go.id. Diakses 15

Agustus 2015

Deliarnov. 2006. ―Ekonomi Politik‖. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 203-206

132 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Deliarnov. ibid. Hal 206-208

Deliarnov. ibid. Hal 206-211

Deliarnov. ibid. Hal 214-220

Suroso. 2015. ―Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia‖. Diupload

pada tanggal 12 Februari 2012. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2015. Alamat Website:

http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20545- masyarakat-ekonomi-
asean-mea-dan-perekonomian-indonesia

Jurnal Kajian Lemhannas RI. Edisi 16 November 2013. ―Peningkatan Peran Indonesia

dalam ASEAN Framework On Equitable Economic Development (EED) dalam

rangka Ketahanan Nasional‖. Hal.57

Suroso. 2015. ―Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia‖. Diupload

pada tanggal 12 Februari 2012. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2015. Alamat Website:
http://www.bppk.depkeu.go.id/ publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20545-masyarakat-ekonomi-
asean-mea-dan-perekonomian-indonesia

Shuib, Rashidah dalam Mukhijab. 2015. ―Kesetaraan Gender Penting dalam Zona MEA‖.

Diupload pada tanggal 16 Februari 2015. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2015. Alamat Website:
http://www.pikiran-rakyat.com/serial-konten/28114v

Nugroho, Riant. 2011. ―Gender dan Strategi Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Pustaka

Pelajar. Yogyakarta. Hal 183-185

Nugroho, Riant. 2011. ―Gender dan Strategi Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Pustaka

Pelajar. Yogyakarta. Hal 185-186

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 133


Efektivitas Hubungan Kerjasama Antar Pemerintahan

(Studi Kasus Kebijakan Pendidikan Gratis Pada Pendidikan dasar dan


Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan)

Sangkala

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap mengapa efektivitas hubungan kerjasama antar
pemerintahan dalam sektor pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Sulawesi Selatan khususnya dalam
kebijakan pendidikan gratis belum otpimal. Untuk mencapai tujuan tulisan ini maka dilakukan serangkaian
penelitian dengan fokus pada upaya mengungkap terlebih dahulu apa latar belakang dilakukannya (arti
pentingnya) kerjasama antara pemerintahan khususnya dalam penerapan kebijakan pendidikan gratis pada
jejang pendidikan dasar dan menengah, kemudian dilanjutkan dengan upaya mengungkap faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan efektivitas hubungan kerjasama antar pemerintahan tersebut belum optimal. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe
penelitian studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama mengapa dilakukan kerjasama antar
pemerintahan melalui kebijakan pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Provinsi
Sulawesi Selatan karena didasari oleh keinginan untuk memperbaiki mutu pendidikan di wilayah Sulawesi
Selatan. Dengan kebijakan penyelanggaraan pendidikan gratis diharapkan tidak ada lagi anak usia sekolah
yang tidak mengenyam pendidikan. Alasan lainnya adalah karena pertimbangan politik terutama bagi daya
tarik pemimpin daerah baik di tingkatan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota terutama di saat-saat
Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada). Sementara faktor-faktor yang menjadi penyebab yang mempengaruhi
efektivitas hubungan kerjasama antar pemerintahan dalam kebijakan pendidikan gratis belum optimal karena
faktor ketersediaan keuangan, kepemimpinan politik, dan struktur organisasi dan manajemen, belum
terbentuknya standar mutyu serta mekanisme akauntabilitas dan transparansi disetiap tingkatan pemerintahan
yang belum berjalan dengan baik

Kata Kunci: Hubungan kerjasama antar pemerintahan

A. Latar Belakang

Potensi untuk mendorong percepatan keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di


sebuah wilayah, salah satunya sangat tergantung keunggulan sumberdaya manusia. Kesadaran untuk
mengembangkan potensi tersebut disetiap wailayah saat sudah sangat tinggi bukan karena didorong oleh
lembaga-lembaga internasional untuk mewujudkan target-target yang ada di dalam Millenium Development
Gold (MDG) tetapi juga kesadaran bersama disetiap daerah di Indonesia. Tidak terkecuali di wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan. Melalui program pendidikan gratis yang sudah dicanangkan sejak awal pemerintahan

134 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Gubernur Provinsi Sulawesi pada tahun 2008 sampai sekarang. Jika dikaji secara saksama, program pendidikan
gratis sesungguhnya bukan cuma membuka akses yang luas kepada anak tidak mampu untuk dapat mengenyam
bangku sekolah tanpa dipungut biaya. Lebih dari itu, program ini secara gradual akan memutus mata rantai
kemiskinan, mengembalikan hak-hak anak sekaligus memanusiakan mereka yang selama ini ditindas oleh kuasa
modal.
―Pendidikan Gratis‖ di sini adalah komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tanpa
mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam hal pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional
sekolah. Pengertian diatas mengandung konsekuensi bahwa kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada
akurasi perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa
sebenarnya rata-rata biaya (average rill cost) yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid. Besarnya
biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan dana BOS (bantuan operasional sekolah) selisihnya di tutupi
oleh pemerintah daerah melalui regulasi anggaran yang telah di tetapkan dalam APBD provinsi, kabupaten dan
kota. inilah yang kita maksud dengan sebutan dana sharing antara pemerintah pusat dan daerah.
Keberhasilan sebuah program pembangunan tersebut tidak selalu berhasil manakala pemerintah
sebagai penanggungjawab keberhasilan pembangunan di wilayahnya tidak mampu mendesain kebijakan
sekaligus mengimplementasikannnya dengan efektif. Kebijakan pendidikan gratis yang dimaksud adalah dalam
rangka mengatasi rendahnya mutu pendidikan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari indikator indeks
pembangunan manusia (IPM). Sebelum kebijakan pendidikan gratis dilaksanakan, provinsi Sulawesi Selatan
IPM-nya masih berada di urutan 21 secara nasional, termasuk bidang pendidikan. Karena itu pemerintah
provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota berupaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan tersebut melalui sebuah Memorandum of Understanding (MOU) yang ditindaklanjuti
melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2009 yang memuat tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis
di Provinsi Sulawesi Selatan. Perda No. 4 Tahun 2009 ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur
(Pergub) No. 9 tahun 2010 yang berisi tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Gratis Provinsi Sulawesi
Selatan. Anggaran untuk ujicoba pendidikan gratis di 11 daerah tersebut berkisar Rp 644 miliar yang bersumber
dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 405 miliar, APBD provinsi Rp 125 miliar, dan sisanya dari pos
APBN. Program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan diharapkan berimplikasi pada penurunan angka buta
aksara di kalangan usia sekolah.
Bila mengacu pada Perda No 4 Tahun 2009, maka tujuan daripada pendidikan gratis adalah; 1)
meningkatkan pemerataan kesempatan belajar bagi semua anak usia sekolah; 2) meningkatkan mutu
penyelenggaraan lulusan; 3) meningkatkan relevansi pendidikan yang berbasis kompetensi agar dapat mengikuti
perkembangan global; 4) meningkatkan efsiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan gratis untuk
memenuhi mutu dan produktivitas sumberdaya manusia yang unggul. Di dalam Perda pasal 2 dan 3 tersebut
juga dikemukakan ruang lingkup pendidikan gratis. Adapun ruang lingkup tersebut yaitu bahwa pendidikan
gratis; 1) diperuntukkan bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang menyekolahkan anaknya pada sekolah dasar
dan menengah yang ada di Sulawesi Selatan; dan 2) bagi peserta didik yang berasal dari luar Sulawesi Selatan
namun dikenakan biaya pendidikan sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan asas yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan gratis yaitu bertumpu pada pemerataan, jaminan kualitas, partisipatif, transparansi,
akuntabilitas, edukasi, dan kompetensi.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 135


Di atas kertas tentu kebijakan ini sangat baik apalagi bila dilihat dari tujuan dan sasaran dari kebijakan
tersebut, namun dalam pelaksanaan (implementasi) sebuah kebijakan terkadang tidak selalu sama persis dengan
apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Inspirasi Jemari tahun 2009
menemukan bahwa peringkat kabupaten/kota terkait pengetahuan program pendidikan gratis dan sosialisasi
yang baik ternyata masih banyak kabupaten/kota yang memiliki nilai rendah, di antaranya Kota Makassar
(14,7%); Jeneponto (12,7%); Toraja Utara (9,7%); Luwu (8,3%); dan Kabupaten Pinrang (3,3%) dibandingkan
dengan Kabupaten Gowa yang memiliki nilai 92,3% dan Maros 85,7%, berturut-turut Kabupaten Bantaeng
(83,9%), dan Takalar (71,7%). Ini menunjukkan bahwa efektivitas atau hasil digunakan yang ingin dicapai dari
kebjakan tersebut mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Padahal hingga tahun 2010 Provinsi Sulawesi
Selatan telah mencanangkan akan menjadi provinsi yang bebas dari buta aksara yang dimulai di 6 (enam)
kabupaten dan kini telah menerapkan pendidikan gratis sejak tahun 2009 yakni kabupaten Gowa, Sinjai,
Pangkep, Luwu Timur, Luwu Utara dan Kota Pare-pare. Hasil survey menemukan bahwa ke enam kabupaten
tersebut sudah tidak lagi melakukan pemungutan yang seringkali dilakukan oleh sekolah maupun komite
sekolah. Namun demikian, hasil survei ini juga bermakna bahwa selain enam kabupaten tersebut masih terjadi
pungutan-pungutan terhadap murid sekolah. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari kebijakan ini yang
berupaya menciptakan pemerataan pendidikan, apalagi bila hal tersebut dikenakan bagi keluarga yang tidak
mampu.
Pada tahun 2001 saja, anggaran pendidikan telah meningkat secara signifikan 8 kali lipat dari 42,3
milyar (2001) menjadi 200 triliun di tahun 2009. Kebijakan Program Sekolah Gratis bagi SD dan SMP yang
dicanangkan pemerintah pada tahun 2009 telah meningkatkan alokasi BOS per siswa per tahun yang di tahun
2012 mencapai Rp. 580.000,– per siswa SD dan Rp. 710.000,– per siswa SMP. Sayangnya, lonjakan anggaran
pendidikan ini belum mampu menjawab masih ditemukannya warga yang tidak dapat menikmati pendidikan,
terutama mereka yang berasal dari rumah tangga miskin (Kopel dan Yayasan Tifa, 2012).
Dalam temuan Kopel dan Yayasan Tifa tersebut, terungkap 4 (empat) masalah utama yang kerap
ditemukan dalam pelaksanaan Dana Pendidikan. Pertama, regulasi yang dibutuhkan untuk memperkuat
perlindungan hak warga sekaligus akuntabilitas pelaksanaannya. Kedua, akuntabilitas anggaran yang masih
rendah terutama karena ketiadaan sanksi dan penindakan yang tegas. Ketiga, tumpang tindih kewenangan, dan
keempat, rendahnya pengawasan dari DPRD dan media. Secara khusus, isu pendidikan dipandang masih minim
perhatian media. Alokasi anggaran juga menunjukkan indikasi kurang efisien, menyebabkan pendidikan gratis
tidak kunjung tercapai. Di banyak daerah misalnya, kenaikan anggaran pendidikan lebih banyak diserap oleh
belanja tidak langsung (terutama komponen gaji), dimana postur belanja langsung pendidikan (belanja program)
relatif tetap atau bahkan menurun. Karenanya, bertolak belakang dari lonjakan anggaran, urgensi pendidikan
Indonesia nyatanya justru masih saja berkutat pada masalah peningkatan dan pemerataan akses ketimbang
kualitas bahkan tata kelolanya. Standar dengan perangkat kebijakan yang telah tersedia belum efektif, perbaikan
skema pendanaan daerah yang belum mendukung kebijakan pendidikan gratis, sistem pendataan (terutama data
sekolah terhadap data siswa dari rumah tangga miskin) masih tidak akurat, belum efektifnya sistem pengawasan
berjenjang yang sistemik, terintegrasi sehingga implementasi program tidak efektif.
Selain berbagai persoalan tersebut diatas, Kopel beserta Kemitraan juga menemukan beberapa
persoalan di dalam pelaksanaan DAK Pendidikan, diantaranya; Pertama, mekanisme pengelolaan anggaran
yang tidak transparan dan akuntabel telah membawa peluang maraknya praktik korupsi. Kedua, pencairan

136 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


anggaran yang tidak tepat waktu telah membuat pelaksanaan program terlambat dari jadwal dan berimplikasi
pada kualitas pekerjaan. Ketiga, penentuan lokasi sasaran yang cenderung tertutup dan tidak partisipatif telah
mengundang potensi ketidaktepatan sasaran. Keempat, kapasitas DPRD yang lemah dalam melakukan
pengawasan. Di kebanyakan daerah, DPRD bahkan tidak mengenal riwayat DAK Pendidikan yang akhirnya
menyulitkan pengawasan.
Secara konseptual persoalan yang muncul dalam proses kerjasama antara pemerintah daerah dalam
kebijakan pendidikan gratis yang dimotori oleh pemerintah Provoinsi Sulawesi Selatan tidak lepas dari belum
efektifnya kerjasama antara pemerintah daerah tersebut. Jika pemerintah provinsi Sulawesi Selatan beserta
pemerintah daerah kabupaten/kota menggunakan model kerjasama antar pemerintah (intergovernmental
cooperation), maka dapat diasumsikan bahwa persoalan-persoalan yang muncul seperti telah diuraikan
sebelumnya tidak akan muncul dan bahkan dapat di atasi. Karena menurut Agranof (1986); dan Conlan dan
Posner (2008), kebijakan hubungan kerjasama antar pemerintah daerah dapat menjadi solusi terhadap berbagai
permasalahan kesenjangan antara daerah terutama dalam pemberdayaan peran serta masyarakat dalam
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya sehingga tercipta pembangunan yang serasi,
selaras dan seimbang, sesuai kedudukan, peran, dan fungsinya dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip
demokrasi, keanekaragaman potensi masing-masing dalam suatu manajemen terpadu (Arganoff, 1986; Laffin,
2007; Tasmaya, 2007). Agar model kerjasama antar pemerintahan daerah berhasil, diperlukan kebijakan yang
mengkoodinasikan aktivitas antar satu atau lebih pemerintah daerah (Post, 2002). Kerjasama antar pemerintahan
di tingkat daerah juga sekaligus merupakan aransemen dua atau lebih pemerintahan untuk mencapai tujuan
bersama, menyediakan layanan atau menyelesaikan masalah secara bersama-sama (Patterson, 2008; Domai,
2009; Warsono, 2009; Coon, 2011). Kerjasama antara pemerintahan tingkat atas dengan tingkatan dibawah
secara konseptual dinamakan sebagai bentuk intergovernmental relationship (IGR). Atas dasar pertimbangan
tersebut sehingga penelitian ini dilakukan.
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1)
mengungkapkan apa latar belakang arti pentingnya kerjasama antar pemerintah daerah dalam program
pendidikan gratisi di Provinsi Sulawesi Selatan; 2) apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerjasama
antar pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan pemerintah Kabupaten/Kota dalam program pendidikan
gratis?

B. Metode Penelitian

Lokasi penelitian adalah wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan tempat pelaksanaan
pendidikan gratis. Adapun lokasi yang menjadi obyek penelitian sebagai representasi wilayah yang
melaksanakan kebijakan pendidikan gratis dipilih tiga kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi Sulawesi
Selatan yakni Kota Pare-Pare (mewakili wilayah perkotaan), Kabupaten Gowa (mewakili wilayah Kabupaten
yang lebih dekat dari ibu kota provinsi), dan kabupaten Luwu Utara (mewakili wilayah kabupaten yang jauh
dari ibu kota provinsi). Desain penelitian ini adalah kualitatif. Penggunaan desain penelitian demikian ini untuk
mengungkap dan menjawab mengapa kerjasama antara tingkatan pemerintahan khususnya dalam pendidikan
gratis belum efektif.

Penentuan informan dalam penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu mereka yang dianggap
mempunyai informasi atau terlibat baik langsung maupun tidak langsung terhadap program pendidikan gratis di

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 137


Provinsi Sulawesi Selatan. Penetapan yang seperti ini didasarkan pada penilaian dari ahli (atau peneliti sendiri)
untuk tujuan tertentu atau situasi tertentu (Neuman, 1997). Adapun informan dalam penelitian ini adalah : a)
Bupati/para pejabat dan pegawai Dinas Pendidikan; b) tim sembilan program pendidikan gratis provinsi
Sulawesi Selatan; c) anggota Komisi di DPRD yang membidani sektor pendidikan; d) Dewan Pendidikan
Provinsi dan Kabupaten.

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan, wawancara
mendalam, dan telaah dokumen. Pengamatan dilakukan terutama yang berkaitan dengan obyek penelitian,
seperti sekolah, dan berbagai sarana dan prasarana bantuan pendidikan gratis. Wawancara mendalam dilakukan
pada para informan yang tersebut di atas, sedangkan teknik dokumentasi adalah mengumpulkan dokumen
berupa peraturan-peraturan, jurnal-jurnal, dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk
memperjelas teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel-2 di bawah
ini.

Pengolahan dan analisis data dilakukan melalui tahap-tahap analisis data kualitatif yang dikemukakan
oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
Penelitian ini menggunakan strategi analisis studi kasus, di mana analisis yang dilakukan berbeda antara satu
tahap dengan tahap lainnya

C. Hasil dan Pembahasan

Otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan yang berada di bawahnya sejak
dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 dan telah diperbaharui hingga UU No 23 Tahun 2014 menjadi dasar bagi
pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahannya dalam
rangka memajukan kesejahteraan masyarakat dan pembangunannya. Atas dasar kewenangan inilah, pemerintah
daerah dapat melaksanakan kerjasama antar tingkatan di dalam pemerintahan daerah baik kerjasama antar
pemerintahan provinsi dengan provinsi, provinsi dengan kabupaten/kota, dan kerjasama antar kabupaten/kota.
Di Indonesia dasar penyelenggaran hubungan kerjasama antar pemerintah daerah (intergovernmental
cooperation) merupakan pengembangan konsep hubungan antar pemerintahan (intergovernmental relation) dan
manajemen antar pemerintahan (intergovernmental management) yang berkembang dalam studi desentralisasi
(otonomi daerah) yang yang berfokus pada setiap aktivitas atau interaksi antar unit-unit pemerintahan,
pengalokasian pengambilan keputusan yang didasarkan atas apa, siapa yang terlibat dan konsekuensi dari
tindakan-tindakan tersebut (Smith, 1985; Anderson‘s, 1960; Edner, 1976, Arganof, 1986; Conlan dan Posner,
2008). Pengintegrasian ketiga konsep tersebut menjadi acuan dasar dalam menyusun model hubungan kerjasama
antara daerah yang memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam pencapaian tujuan kerjasama.
Secara konseptual hubungan kerjasama antar daerah menjelaskan bagaimana penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat lebih efektif, dan efisien dalam melakukan tindakan-tindakan kolektif. Efektif dalam
menghilangkan fragmentasi manajerial dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga dapat menciptakan
pemerataan pembangunan. Proses pencapaian melalui kerjasama yang dilakukan sejak awal proses manajemen
dan melakukan tindakan secara bersama-sama (Anderson, 1960; Edner, 1976; Agranof, 1986). Dengan
demikian manajemen antar pemerintahan merupakan manajemen terpadu yang dikendalikan secara bersama-
sama dalam menghadapi kompleksitas yang terjadi (Agranof, 2003). Agar pendidikan gratis dapat berkelanjutan

138 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


maka diperlukan dukungan kebijakan hubungan kerjasama antar daerah. Kerjasama antar pemerintahan
dimaksudkan agar dapat mengurangi kesenjangan antar daerah, mengurangi konflik, meningkatkan pelayanan,
pemberdayaan peran serta masyarakat dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya,
sehingga terwujud pembangunan yang serasi, selaras, dan seimbang, sesuai kedudukan, peran, dan fungsinya
dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keanekaragaman potensi masing-masing dalam suatu
manajemen terpadu (Tasmaya, 2007).

Penelitian tentang hubungan kerjasama antar pemerintahan daerah dalam kebijakan pendidikan gratis
di Provinsi Sulawesi Selatan ini didesain dalam rangka menemukan jawaban mengapa hubungan kerjasama
antara pemerintahan dalam bidang pendidikan gratis di Provinsi Sulawesi Selatan belum optimal, pada hal
sejumlah kebijakan dan pemanfaatan sumberdaya yang cukup banyak belum mampu secara signifikan merubah
kualitas pendidikan di provinsi Sulawesi ke tingkatan sepuluh besar terbaik di Indonesia. Target sepuluh besar
merupakan target yang sudah dicanankan oleh pimpinan (gubernur) provinsi Sulawesi Selatan sejak menjabat
2009 – sekarang (sekarang memasuki periode kedua sampai dengan 2018). Untuk itu memahami hal tersebut
penelitian ini diarahkan upaya untuk menggali informasi melalui sejumlah informan kunci yang disertai dengan
telaah data dan dokumen yang ada serta pengamatan langsung ke lapangan.

1. Alasan Pentingnya Dilakukan Kerjasama Antar Pemerintah Dalam Bentuk


Kebijakan Pendidikan Gratis

Kebijakan pendidikan gratis merupakan sebuah skema yang dirancang khusus oleh pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan setelah melihat kenyataan pada ssat itu (2008) kualitas pendidikan gratis khususnya dalam
pendidikan dasar dan menengah berada pada tingkat 23 secara nasional (Data BPS Pusat, 2013). Sehingga
Gubernur sekarang yang kala itu sedang mencalonkan diri menjadi gubernur menjadikan pendidikan gratis
sebagai jualan politik dan berkomitmen untuk membawa provinsi Sulawesi Selatan keluar dari kondisi tersebut.

Ketika Gubernur Syahrul Yasin Limpo terpilih menjadi gubernur periode 2009-2014 beliau segera
merealisasikan janji politiknya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 4 tahun 2009. Agar
pelaksanaan kebijakan tersebut dapat terimplementasi dengan baik maka segera ditindaklanjuti dengan
Peraturan Gubernur dengan Nomor 6 Tahun 2011. Dalam Perda No 4 tahun 2009 tersebut dengan jelas
dikemukakan bahwa tujuan dari pada diselenggarakannya pendidikan gratis a) meningkatkan pemerataan
kesempatan belajar bagi semua anak usia sekolah; b) meningkatkan mutu penyelenggaraan dan lulusan; c)
meningkatkan relevansi pendidikan yang berbasis kompetensi agar dapat mengikuti perkembangan global; d)
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan gratis untuk memenuhi mutu dan
produktivitas sumber daya manusia yang unggul.

Menurut Perda No 4 Tahun 2009 tersebut (Pasal 4) disebutkan bahwa prinsip dasar dalam
penyelenggaraan pendidikan gratis ini adalah semua anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan dasar
dan menengah dalam rangka pembentukan watak dan budi pekerti yang luhur sesuai norma-norma kesusilaan
atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa. Biaya pendidikan dasar dan menengah bagi anak usia sekolah dari
keluarga tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah daerah (pasal 6). Program dari pendidikan gratis ini terdiri
dari 3 macam yaitu; 1) program bebas biaya pendidikan bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh
bantuan penuh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; 2) program subsidi pendidikan bagi peserta didik yang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 139


sekolahnya memperoleh bantuan tidak penuh atau sebagian pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; 3)
program beasiswa pendidikan bagi peseta didik berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu.

Sasaran penyelenggaraan pendidikan gratis ini mencakup pendidikan formal pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah yang terdiri dari: 1) sekolah dasar yang meliputi sekolah dasar negeri dan swasta, madrasah
ibtidaiyah negeri dan swasta, dan sekolah dasar luar biasa; 2) sekolah menengah pertama yang meliputi: sekolah
menengah pertama negeri dan swasta, madrasah tsanawiyah negeri danswasta, serta sekolah menengah pertama
luar biasa; 3) sekolah menengah atas yang meliputi: sekolah menengah atas negeri dan swasta, sekolah
menengah kejuruan negeri dan swasta, sekolah menengah luar biasa, dan sekolah aliah negeri danswasta.

Berdasarkan penelusuran baik melalui informan kunci maupun dari dokumen yang ada, pelaksanaan
pendidikan gratis yang diinisiasi oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dibiayai dengan sumber pendanaan
dari Anaggaran Pendapatan Belanja Daerah. Dimana pembiayaannya tidak semuanya berasal dari dana APBD
provinsi namun dilakukan dana sharing antara dana dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Dana sharing tersebut 40% bersumber dari APBD provinsi dan 60% berasal dari dana APBD Kabupaten Kota.
Pengalokasian pembiayaan pendidikan didasarkan pada profil sekolah masing-masing satuan pendidikan.
Dimana sebelum diberikan dana pendidikan kepada setiap satuan pendidikan pemerintah provinsi terlebih
dahulu melakukan verifikasi terhadap profil setiap sekolah. Adapun komponen pembiayaan mencakup kegiatan
proses belajar mengajar yang mencakup biaya operasional, pemeliharaan, ekstrakurikuler, insentif pendidik dan
tenaga kependidikan. Agar pemberian pembiayaan dan pengawasan dari pelaksanaan pendidikan gratis disetiap
sekolah berlangsung sesuai dengan peruntukannya maka Gubernur mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 6
Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan.

Pelaksanaan pendidikan gratis dilaksanakan denga didasari Nota Kesepahaman Bersama


(Memorandum of Understanding/MOU) antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Dengan
dasar MOU tersebut diharapkan agar pelaksanaan pendidikan gratis di satuan pendidikan masing-masing
mampu mencapai target seperti yang diharapkan di dalam Perda No. 4tahun 2009. Di dalam MOU setiap
kabupaten/kota terdapat rincian dan pembagian komponen-komponen apa saja yang mendapatkan pendanaan
baik dari sisi pemerintah provinsi maupun dari sisi pemerinath kabupaten/kota. Dengan demikian setiap MOU
yang ditandatangani antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota terdaoat perbedaan
peruntukannya. Hal ini didasarkan pada kebutuhan nyata serta profil sekolah masing-masing satuan pendidikan
yang akan mendapatkan bantuan dana pendidikan gratis. Agar efektivitas pelaksanaan dari pendidikan gratis
tersebut selanjutnya dibentuk Tim Pengawas baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota. Di dalam Perda
No 4 Tahun 2009. Selain itu pemerintah kabupaten/kota bahkan mengeluarkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan
dan Petanggungjawaban Pendidikan Gratis. Kesemuanya dimaksudkan agar pelaksanaan pendidikan gratis
disetiap wilayah dan satuan pendidikan mencapai target yang sudah ditentukan.

Berangkat dari berbagai instrument yang sudah sedemikian banyak untuk mengawal kebijakan
pendidikan gratis tersebut, maka seyogyanya di tingkat pelaksanaan apa yang menjadi tujuan dan sasaran yang
sudah ditentukam sebelumnya dapat dicapai. Namun dari data yang dapat dikumpulkan menunjukan
perubahannya tidak terlalu signifikan. Provinsi Sulawesi Selatan bila diukur dari peringkat Indeks Pembangunan
Manusia dimana di dalamnya juga terdapat indicator kualitas pendidikan sampai tahun 2013 masih menduduki
peringkat 18 dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia. Hal ini berarti dalam jangka waktu pelaksanaan pendidikan

140 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


gratis ini digulirkan tahun 2009 – 2013 saja hanya mampu bergeser 4 point ( peringkat 22 pada tahun 2009).
Perubahan yang kurang signifikan tersebut sudah menghabiskan anggaran sejak 2009-2104 yang rata-rata
sebesar 190 milyar.

Dari sisi pendidikan, fakta yang menunjukkan bahwa apa yang menjadi tujuan dari penyelenggaraan
pendidikan gratis nampaknya sampai saat ini masih mengalami berbagai macam kendala. Hal ini berujung pada
tingkat kualitas mutu pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menurut versi Indek Pembangunan Manusia (IPM)
khususnya dalam pendidikan yang masih berada di tingkatan 20 (BPS Pusat, 2014). Hal ini dapat dilihat
misalnya dari aspek pemerataan pendidikan yang belum mencapai angka optimal. Penduduk berusia 15 tahun ke
atas yang melek huruf (komplemen dari buta huruf) dalam kurun waktu tahun 2007 – 2012 ini walaupun terus
mengalami peningkatan namun masih terdapat sekitar 13,76% (86,24%) yang belum mampu melek huruf. Pada
tahun 2009 (87.00), 2010 (87,75), 2011 (88,07), dan pada tahun 2012 masih terdapat 11,61persen penduduk
yang berumur 15 tahun ke atas belum melek huruf. Artinya sampai dengan tahun 2012 masih terdapat 26,52
belum melek huruf (Data BPS Pusat, 2013). Demikian juga bila dilihat dari rata-rata lama sekolah selama
periode 2008 sampai dengan 2012, juga kenaikannya belum menunjukkan hasil yang optimal. Selama periode
2008 – 2012, angka rata-rata lama sekolah menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2008, rata-rata lama sekolah
7,23 tahun dan meningkat menjadi 7, 95 tahun pada tahun 2012. Angka ini masih berada di bawah angka rata-
rata nasional, yang saat ini (2012) sudah mencapai 7,9 7 tahun. Ini berarti bahwa secara rata-rata, penduduk
Sulawesi Selatan hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I-II SMP dan putus sekolah pada saat
memasuki semester lima di kelas III SMP. Kesenjangan (gap) antara capaian Sulawesi Selatan dan Nasional
berangsur-angsur semakin membaik dari tahun ke tahun akibat rata lama sekolah Nasional bergerak lebih
lambat dibandingkan dengan capaian rata lama sekolah Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008, rata lama sekolah
Sulawesi Selatan dibandingkan dengan rata lama nasional terdapat selisih 0, 27 point dan naik menjadi 0, 31
point pada tahun 2009 namun demikian selama tiga tahun kemudian mengalami penurunan yang cukup
signifikan menjadi 0,02. Jika situasi ini terus berlanjut, maka capaian angka rata lama sekolah di Sulawesi
Selatan akan melampaui angka rata-rata lama sekolah Nasional.

Demikian pula dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) juga mengalami hal yang sama. APK ini
merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-
masing jenjang pendidikan dan menggambarkan keikutsertaan penduduk pada setiap jenjang pendidikan.
Berdasarkan data statistik menunjukkan APK SD/MI selama periode 2008-2012memperlihatkan kecenderungan
menurun. Pada tahun 2008, APK tingkat SD/MI sebesar 111.51persen yang berarti bahwa jumlah murid yang
bersekolah di tingkat SD/MI lebih besar dari total populasi penduduk yang berusia 7 sampai dengan 12 tahun.
Sedangkan APK SD/MI pada tahun 2012 menurun menjadi 103.05 persen. Besaran APK yang lebih dari 100%
ini disebabkan jumlah siswa, yang ada di SD/MI terdiri dari berbagai kelompok usia. Hal tersebut mengindikasi
banyaknya anak-anak usia SD/MI masih ada yang tinggal kelas, namun lebih dominan adalah anak-anak yang
masuk SD/MI banyak yang usianya kurang dari 7 tahun.

Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di
tingkat pendidikan tertentu. Seperti APK, APM juga merupakan indicator daya serap penduduk usia sekolah di
setiap jenjang pendidikan. Jika dibandingkan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik
karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 141


standar tersebut. APM SD/MI di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami penurunan dari 92,17 persen pada tahun
2008 menjadi 97.90 persen pada tahun 2012. Sementara APM pada jenjang SMP/MTs pada tahun yang sama
mengalami peningkatan, yaitu dari 61,06 persen di tahun 2008 mencapai 68,27 persen pada tahun 2012.
Demikian pula APM SMA/MA mengalami peningkatan dari 41,99 persen pada tahun 2007 mencapai 47,92
persen pada tahun 2011.

2. Faktor-faktor yang Menjadi Penyebab Kurang Efektifnya Kerjasama Antar


Pemerintah Dalam Kebijakan Pendidiaj Gratis

Belum efektifnya pelaksanaan pendidikan gratis jika dilihat dari tujuan dan sasaran yang diinginkan
seperti telah ditetapkan di dalam Perda No 4 Tahun 2009 dengan data capaian yang sudah dikemukakan dalam
uraain sebelumnya. Berdasarkan hasil penelusuran melalui informan kunci, pengamatan langsung ke satuan
pendidikan dan telaahan data sekunder dapat dikemukakan factor-faktor apa saja yang menyebabkan masih
belum optimalnya capaian pelaksanaan pendidikan gratis ini.

a. Faktor Kemampuan Keuangan dan Sumberdaya Lainnya

Bila mengacu pada Perda No 4 tahun 2009, sumber pembiayaan pendidikan gratis bersumber dari 40%
dari APBD Provinsi sedangkan 60% berasal dari dana APBD Kabupaten/Kota. Berdasarakan informasi di
lapangan dana sharing tersebut dirasakan oleh pihak pemerintah Kabupaten/Kota terlalu berat. Menurut pihak
daerah Kabupaten/Kota mereka masih memiliki banyak item-item pembiayaan yang harus mereka keluarkan di
luar item-item pembiayaan yang sudah disepakati di dalam MOU yang mereka sepakati dengan pihak Pemprov,
sementara mereka juga tidak dibenarkan menarik dana pihak Komite Sekolah dan para murid.

Selain faktor sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia juga menjadi masalah tersendiri terutama
terkair dengan kualitasnya. Walaupun di dalam MOu yang ditandatangani terdapat pemberian beasiswa bagi
tenaga pendidik yang dirasakan masih kurang tingkat pengetahuan dan keterampilannya, namun alokasi
anggaran tersebut belum mampu secara merata kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh para tenaga pendidik.

Petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan merupakan sesuatu yang lumrah di dalam setiap birokrasi
agar program yang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Namun dalam konteks
pelaksanaan pendidikan gratis justru bagi pelaksana di lapangan bukannya berfungsi mempermudah
pelaksanaan di lapangan tetapi justri dirasakan mempersulit. Dirasakan mempersulit karena Juklak dan Juknis
yang dikeluarkan pemerintah provinsi terlalu kaku sehingga mempersulit pelaku di lapangan untuk berkereasi
dan melakukan penyesuaian terhadap kondisi di setiap daerah masing-masing.

Faktor lain yang dirasakan menghambat pelaksanaan pendidikan gratis adalah mekanisme penyaluran
ke sekolah-sekolah. Terlalu banyak prosedur yang harus dilewati sementara pencairan anggarannya seringkalo
terlambat sehingga menyebabkan kesulitan untuk digunakan sesuai rencana yang sudah ditentukan oleh pihak
sekolah. Akibatnya banyak program yang telah diagendakan dengan baik tertunda. Apalagi jika sudah
menyangkut pemberian insentif bagi tenaga pendidikan yang sudah menjalankan kewajibannya dapat
menurunkan motivasi kerja mereka. Demikian pula dengan proporsi jenis pendanaan yang dipandang tidak
proporsional oleh pihak pemerintah daerah, sehingga mereka kesulitan dalam pembagiannya. Kondisi ini salah

142 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


satu menjadi penyebab terhambatnya pencapaian sasaran dari pelaksanaan pendidikan gratis ditingkat satuan
pendidikan.

b. Faktor Kepemimpinan dan Kepentingan Politik

Karena ide pentingnya kebijakan pendidikan gratis bersumber dari Gubernur Provinsi Sulawesi dimana
diinisiasi sejak kampanye pencalonannya selaku Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan periode 2009-2014 kala itu
dan berlanjut ke periode kedua 2014-2018 sehingga banyak actor-aktor eiit politik di daerah kabupaten/kota
merasa kebijakan ini adalah kebijakan yang dipaksakan. Pemerintah daerah kabupaten/kota dipaksa untuk harus
selalu menyediakan anggaran sebesar 60% dari total pembiayaan pendidikan gratis demi mendukung kebijakan
pemerintah provinsi. Kondisi ini ditengari menjadi penyebab kurang optimalnya keseriusan elit kabupaten/kota
untuk mensukseskan pendidikan gratis ini.

Selain itu, kebijakan pendidikan gratis ini menjadi jualan bagi calon-calon bupati/walikota setiap kali
dilakukan pemelihan kepala daerah pada hal semestinya program pendidikan gratis bukan semata-mata
persoalan politik tetapi tugas dan kewajiban pemerintah sebagai bagian dari pelayanan public.

c. Faktor Struktur Organisasi dan Manajemen

Secara struktural ditingkat provinsi terdapat Tim Pengendali demikian pula di tingkat Kabupaten/kota
juga terdapat Tim pengendali. Tim Pengendali ditingkat Kabupaten/Kota berfungsi melakukan rekapitulasi data
sekolah berdasarkan profil sekolah, kemudian dikirim ke Tim Pengendali Provinsi. Atas dasar perivikasi ersebut
Gubernur menetapkan anggaran melalui Kepala Dinas Pendidikan Provinsi untuk diserahkan ke Tingkat
Kabupaten/Kota. Penyaluran dana dari Kabupaten kepada pihak satuan pendidikan sebagai bagian dari
komitmen pemerintah Kabupaten/Kota kepada kebijakan pendidikan gratis sebesar 60% diserahkan ke masing-
masing pemerintah kabupaten/kota yang diatur dalam Keputusan Bupati/Walikota. Kedua model penyaluran
alokasi anggaran ini ditingkat satuan pendidikan menjadi masalah tersendiri karena seringkali terambat. Dari
pihak kabupaten/kota seringkali mengeluh karena terlambat pencairannya dari pihak pemerintah provinsi.

Demikian pula dari aspek pengawasan seringkali tidak efektif karena cara pengawasan yang dilakukan
oleh pihak pemerintah provinsi bersifat sampel pada hal jumlah satuan pendidikan yang harus diawasi sangat
banyak, akibatnya pengawasan yangh dilakukan belum optimal. Hal ini diperparah karena belum adanya standar
pengawasan yang baku yang dapat menjadi acuan oleh setiap pengawas baik untuk tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota.

d. Belum Terciptanya Standar Mutu

Belum adanya penataan standar baik segi dari standar mutu, sarana, prasarana dan lainnya tidak hanya
di dinas provinsi dan kabupaten/ kota namun juga sampai di tingkat sekolah menjadi salah satu penyebab belum
optimalnya capaian pendidikan gratis yang sudah ditetapkan. Standar mutu yang dimaksudkan tidak hanya
dalam kaitan proses penyelenggaraanmnya, namun juga out/luaran dari setiap aktivitas sehingga dapat
diperbandingkan antara input, proses dan output yang dicapai.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 143


e. Akuntabilitas dan Transparansi Penggunaan Anggaran

Masih belum adanya standar penggunaan anggaran baik ditingkat provinsi, kabupaten/kota sampai
ditingkat satuan pendidikan dinilai sebagai tingkat akuntabilitas dan transparansi anggaran masih rendah.
Termasuk penggunaan anggaran yang digunakan oleh pihak pelaksana kegiatan/program. Demikian peruntukan
dana untuk setiap item pembiayaan juga belum juga tersusun mekanisme pertanggungjawaban kepada
masyarakat walaupun saat ini masih bersifat administrative ke pemerintah daerah atau ke pemerintah provinsi.
Hal ini diperparah karena masih lemahnya pengawasan dari pihak legislative dan juga media.
Di banyak daerah misalnya, kenaikan anggaran pendidikan lebih banyak diserap oleh belanja tidak
langsung (terutama komponen gaji), dimana postur belanja langsung pendidikan (belanja program) relatif tetap
atau bahkan menurun. Karenanya, bertolak belakang dari lonjakan anggaran, urgensi pendidikan gratis yang
dicanankan dan ternyata masih saja berkutat pada masalah peningkatan dan pemerataan akses ketimbang
kualitas bahkan tata kelolanya. Selain itu ditemukan bahwa persoalan skema pendanaan yang disusun tidak
berdasarkan data siswa berdasarkan rumah tangga miskin. Sehingga penentuan lokasi sasaran penyaluran
anggaran cenderung tidak tepat sasaran. Akibatnya profil sekolah yang akan menerima alokasi anggaran tidak
tepat sasaran. Hal ini tentu berdampak kepada pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan seperti yang
sudah menjadi tujuan dari kebijakan pendidikan gratis.

D. Kesimpulan

1. Kebijakan pendidikan gratis memiliki arti penting di Provinsi Sulawesi Selatan karena dilandasi oleh
kenyataan bahwa selama ini belum adanya meratanya kesempatan untuk belajar bagi semua anak sekolah,
kualitas pendidikan secara signifikan. Akibatnya angka partisipasi sekolah dikalangan usia sekolah masih
rendah dan tentu memberi dampakluas terutama pada kesiapan sumberdaya manusia Sulawesi Selatan di
masa depan terutama berhadapan perkembangan global. Selain itu kebijakan ini diharapkan mampu
meningkatkan mutu penyelenggaraan proses belajar baik dari segi efisiensi maupun aktivitas yang
diharaplan berdampak kepada kompetensi luaran yang semakin baik sehingga mampu memenuhi mutu
produktvitas sumberdaya manusia yang unggul.
Walaupun awalnya gagasan pentingnya diimplementasikan pendidikan gratis di provinsi Sulawesi
Selatan adalah calon Gubernur yang ikut dalam pencalonan pada saat itu (2008) dan saat ini masih menjabat
selaku Gubernur (2014-2018), namun kebijakan ini sudah merupakan gerakan bersama tidak hanya dari
pihak pemerintah tetapi juga masyarakat.
2. Dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan gratis ini tidak terlepas berbagai factor yang sringkali
menghambat. Factor penghambat yang dimaksud yaitu a) keterbatasan sumberdaya keuangan dan
sumberdaya lainnya; b) kepemimpinan; c) struktur organisasi dan manajemen; d) belum terciptanya standar
mutu yang sama baik proses maupun output disetiap aktivitas pelaksanaan pendidikan gratis; e)
akuntabilitas dan transparansi yang belum optimal dalam penggunaan anggaran.

Terutama Dalam diskusi tersebut, terungkap 4 (empat) masalah utama yang kerap ditemukan dalam
pelaksanaan Dana Pendidikan. Pertama, regulasi yang dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan hak
warga sekaligus akuntabilitas pelaksanaannya. Kedua, akuntabilitas anggaran yang masih rendah terutama
karena ketiadaan sanksi dan penindakan yang tegas. Ketiga, tumpang tindih kewenangan, dan keempat,

144 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


rendahnya pengawasan dari DPR/D dan media. Secara khusus, isu pendidikan dipandang masih minim
perhatian media.

E. Saran

1. Penting untuk segera dibangun kebijakan yang memberi ruang bagi pelaku ditingkat sekolah untuk berkreasi
mensiasati kondisi lapangan sehingga sasaran yang diharapkan dapat dicapai tanpa harus menyimpang dari
ketentuan umum.

2. Manajemen pengalokasian alokasi anggaran untuk setiap item pembiayaan perlu ditingkatkan karena masih
ada kecenderungan kurang efisien, menyebabkan pendidikan gratis tidak kunjung tercapai.

3. Kenaikan anggaran pendidikan yang terjadi setiap tahun di tingkatan kabupaten/kota perlu dibarengi
kebijakan pencapaian pemerataan, bukan lebih banyak diserap oleh belanja tidak langsung (terutama
komponen gaji), dimana postur belanja langsung pendidikan (belanja program) relatif tetap atau bahkan
menurun.

4. Pentingnya dilakukan pembaharuan standar dengan perangkat kebijakan yang telah tersedia sebelumnya.

5. Perbaikan skema pendanaan daerah terutama terkait dengan perbaikan sistem pendataan (terutama data
sekolah terhadap data siswa dari rumah tangga miskin) dan kebijakan afirmatif bagi siswa miskin (misalnya
beasiswa maupun subsidi).

6. Pentingnya pelibatan masyarakat dalam sistem pengawasan tidak hanya dalam proses penyelenggaraan
pendidikan yang dibiayai dari dana pendidikan gratis tetapi juga penggunaan anggaran dan hasilnya.
Demikian pula pentingnya mengoptimalkan peran pengawasan DPRD, dan pengawasan oleh Komite
Sekolah.

7. Struktur kewenangan terutama dalam kaitan pengelolaan keuangan disederhanakan sehingga tidak
berdampak kepada keterlambatan pencarian anggaran. Tumpang tindih kewenangan antar isntansi baik dari
segi vertical maupun horisontal harus bisa diatasi.

F. Daftar Pustaka

Agranoff, Robert. 1986. Intergovernmental Management: Human Service Problem-Solving in Six Metropolitan
Areas. Albany, N.Y : State University of New York Press.

Anderson JE. 2003. Public Finance: Principles and Policy. Houghton Mifflin: Boston.

Cohen, J.M & Peterson, S.B. 1999. Administrative Decentralization: Strategies for Developing Countries.
Connecticut: Kumahan Press.

Conlan, Timothy J. & Paul L. Posner (ed.). 2008. Intergovernmental Management for the Twenty-First Century.
Brookings Institution Press. Washington D.C.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 145


Dauda, Carol L. 2004. The Importance of De Facto Decentralization in Primary Education in Sub-Saharan
Africa PTAs and Local Accountability in Uganda. Journal of Planning Education and Research
2004 24:28.

Diskusi Publik, yang diselenggarakan oleh KOPEL, Yayasan Tifa pada tanggal 29 Februari 2012 di Makassar.

Domai, Tjahjunalin. 2009. Implementasi Kebijakan Kerjasama Antar Daerah Dalam Pemanfaatan Sumberdaya
Daerah (Studi Kerjasama Antar Daerah dalam Perspektif Sound Governance). Disertasi. FIA-
Universitas Brawajiya. Malang.

Edner, Sheldon. 1976. Intergovernmental Policy Development. The Importance of Problem Definition. In Public
Policy Making in a Federal System, ed. Charles O. Jones and Robert D. Thomas. Beverly Hilss,
Cal. Sage.

Henry, Nicholas. 2004. Public Administration and Public Affairs. Ninth Edition. Prentice Hall. New Jersey.

Lafflin, Martin. 2007. Comparative British Central-Local Relations : Regional Centralism, Governance and
Intergovernmental Relations. Public Policy and Administration. SAGE Publications Ltd London.
Thousand Oaks. CA and New Delhi.

Miller, William L. Et, all. 2000. Models of Local Governance: Public Opinion and Political Theory in Britain.
Palgrave. Macmilan.

Miles, Matthew B. & A Michael Huberman.An Expanded Sourcebook. Qualitatitve Data Analysis (Ed 2th).
Singapore: SAGE Publication

Dokumen-Dokumen

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi
Selatan

Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 6 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis Di Provinsi
Sulawesi Selatan

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara.

Databased Badan Pusat Statistik Indonesia ―Indeks Pembangunan Manusia Per Provinsi di Indonesia (2014).

146 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru melalui
Insiatif Publik: Antara Optimis dan Utopis

Muhammad Ichsan Kabullah

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik/ Institute Management Research

Universitas Andalas, Padang, Indonesia/ Radboud University, Nijmegen, Belanda

Tel: +62-812-73-11398

E-mail: ichsan.kabullah@gmail.com/ m.kabullah@fm.ru.nl

Abstrak: Banyak pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk administrasi publik telah berhasil
mengembangkan studi mengenai trust kedalam berbagai varian seperti social capital, makro ekonomi,
organisasi, governance, integritas dan lain-lain. Perkembangan varian tersebut diimbangi dengan peningkatan
jumlah publikasi mengenai trust pada berbagai jurnal internasional dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Tidak pelak, perdebatan teoritis yang dinamis dari pakar mengenai trust selayaknya diimbangi dengan
implikasi positif ditataran praktis.

Pada kasus sebagian besar pemerintah daerah (pemda) di Indonesia, kemajuan pesat studi mengenai
trust tidak memiliki korelasi terhadap peningkatan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Hal tersebut
dibuktikan dengan berbagai survei independen yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII)
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan kepercayaan publik terhadap pemerintah termasuk
pemda berada pada skor yang rendah. Pada beberapa sampel pemerintah daerah yang dilakukan survei
tersebut justru menunjukan kemunduran dari tahun ketahun. Salah satu pemerintah daerah yang dipersepsikan
rendah dan mengalami kemunduran dalam mendapatkan kepercayaan publik adalah Pemerintah Kota (Pemko)
Pekanbaru dengan skor 4.43 (2006), 3.55 (2008), dan 3.61 (2010) berdasarkan indeks persepsi korupsi TII dan
ranking 20 dari 52 (2008), 26 dari 60 (2011) dan 57 dari 60 (2013) berdasarkan indeks integritas KPK.
Beberapa penyebab yang membuat skor Pemko Pekanbaru rendah adalah tingginya intensitas suap,
ketidakpastian biaya dalam mengakses pelayanan publik, dan tidak transparannya aparatur pemerintah. Atas
dasar itulah opini publik yang berkembang seringkali menjatuhkan kesalahan kepada Pemko Pekanbaru.

Artikel ini mencoba untuk mengingatkan para pakar dan stakeholder bahwasannya diskusi dalam
mengidentifikasi paradoksnya teori dan praktis mengenai trust, tidak harus selalu meletakan pemerintah
sebagai objek studi. Pada kasus pemda yang tingkat kepercayaan publiknya rendah seperti Pekanbaru, patut
diakui berbagai kebijakan yang dilakukan Pemko Pekanbaru untuk mengembalikan kepercayaan publik
cenderung berjalan secara lamban dan minim terobosan. Hal tersebut bukanlah isapan jempol mengingat apa
yang telah dilakukan selama ini menunjukan tidak ada perubahan yang signifikan terhadap berkurangnya
korupsi di Pemko Pekanbaru. Disisi yang lain, rendahnya kepercayaan publik terhadap Pemko Pekanbaru turut

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 147


disebabkan dari minimnya kapasitas publik itu sendiri untuk menjadi solusi alternatif. Temuan yang ada
menunjukan inisiatif publik untuk mendorong pemerintahan daerah transparan dan akuntabel cenderung
dilakukan melalui aksi spontanitas, tidak terorganisir, sporadis dan temporer. Publik justru terjebak untuk
permisif terhadap perilaku korup yang dilakukan pada birokrasi pemerintahan dan bahkan pada beberapa
kasus turut bekerjasama dengan pemerintah untuk bertindak korup.

Studi ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus terhadap tujuh organisasi yang menjadi representasi
publik yakni berasal dari unsur media massa, lembaga swadaya masyarakat, universitas, organisasi
mahasasiwa, organisasi keagamaan, dan masyarakat adat. Studi ini turut menjadi salah satu variabel
penelitian yang menjadi bagian disertasi yang dilakukan penulis saat ini.

Kategori: Enhancing Public Trust and Ethics

Kata kunci: Trust, Korupsi, Publik

PENDAHULUAN

Diskursus akademik dalam administrasi publik mensepekati trust adalah fondasi utama untuk
membangun relasi positif bagi setiap individu dalam upaya peningkatan kinerja suatu organisasi [1]. Tidak
terkecuali dengan pemerintah sebagai organisasi publik, trust diantara stake holder dipemerintahan dan
masyarakat dapat memberikan implikasi berupa mencegah ketidakpastian dalam penyelenggaraan
pemerintahan, meningkatkan efektifitas koordinasi dan pertukaran informasi ditengah kompleksnya organisasi,
memperkuat otoritas pemimpin diseluruh lapisan tatanan masyarakat dalam pengambilan kebijakan [2].
Disamping itu, terwujudnya trust dapat mendorong pemimpin berani mengambil tindakan yang berisiko [3].
Berbagai implikasi tersebut seharusnya membangun kesadaran kolektif bagi setiap stake holder dipemerintahan
akan arti pentingnya trust dalam setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya trust, kecurigaan
dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah akan mereduksi kinerja pemerintahan sendiri. Disamping itu,
kehadiran pemerintah tidak akan dirasakan dengan kuat ditengah kehidupan masyarakat.

Terciptanya trust ditengah masyarakat luas kepada pemerintah merupakan bagian dari mendorong proses
penyelenggaran negara yang akuntabel. Trust dapat dibangun dengan mendorong mekanisme
pertanggungjawaban pemerintah secara akuntabel dan transparan kepada masyarakat luas. Hal tersebut penting
mengingat aktivitas perilaku stake holder dipemerintahan tidak dapat dikontrol publik secara menyeluruh.

Pada kasus di Pekanbaru, upaya Pemko Pekanbaru dalam membangun trust kepada masyarakat
dilakukan melalui berbagai inisiatif kebijakan seperti membentuk Kantor Pelayanan Terpadu ditahun 2005
dalam rangka memudahkan pelayanan perizinan masyarakat. Disamping itu, Pemko Pekanbaru juga
membangun sistem e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa sejak tahun 2012. Hanya saja, upaya
tersebut menghadapi kendala berupa tingginya korupsi.

148 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Massifnya korupsi di Pemko Pekanbaru dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir dibuktikan dengan
rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari TII yakni 4.43 (2006), 3.55 (2008), dan 3.61 (2010). Jika diamati
dengan cermat, angka IPK yang diperoleh Pekanbaru mengalami kemunduran secara bertahap. Kemunduran
dalam pemberantasan korupsi yang ada di Pekanbaru sejalan dengan survey integritas sektor publik pada
pemerintah daerah oleh KPK. Berdasarkan survey integritas sektor publik KPK, Pemko Pekanbaru hanya
mendapat ranking 20 dari 52 (2008), 26 dari 60 (2011) dan 57 dari 60 (2013). Berbagai studi tersebut
memberikan pesan kuat bahwa Pemko Pekanbaru telah gagal membangun trust ditengah masyarakat karena
tingginya korupsi. Hal ini diperparah dengan fenomena banyaknya kasus korupsi yang dibawa Pengadilan
dimana dalam kurun waktu 2011-2012 saja terdapat 19 orang terdakwa [4]. Pejabat terakhir di Pemko
Pekanbaru yang terkena kasus korupsi adalah kepala dinas perhubungan informasi komunikasi Kota Pekanbaru
yang terkena kasus dalam pengadaan barang dan jasa sarana angkuta Trans Metro Pekanbaru [5].

Kegagalan Pemko Pekanbaru dalam membangun trust menandakan tidak berjalannya mekanisme
kontrol formal. Banyaknya lembaga yang dapat melakukan kontrol baik inspektorat kota, DPRD, Gubernur,
kejaksaan, kepolisian, KPK, BPK, BPKP, dan ombudsman, tidak menjamin berkurangnya korupsi di Pemko
Pekanbaru. Menyadari kondisi tersebut, seharusnya peran serta publik dapat menjadi alternatif permasalahan.

Menitikberatkan berbagai kelompok masyarakat sebagai objek studi mengenai trust dalam paper ini
dirasakan tepat karena masyarakatlah yang bisa mengukur tingkat trust terhadap pemerintah. Hanya saja
kegagalan Pemko Pekanbaru untuk menciptakan trust justru tidak dikritisi secara maksimal oleh sebagian besar
masyarakat di Kota Pekanbaru. Berbagai kelompok masyarakat baik media massa, lembaga swadaya
masyarakat, universitas, organisasi mahasasiwa, organisasi keagamaan, dan masyarakat adat tidak mampu
memaksa pemerintah menjadi akuntabel dan transparan. Sebaliknya, banyak diantara kelompok masyarakat
yang terjebak untuk melakukan korupsi bersama-sama pemerintah.

Berangkat dari penjelasan yang telah dipaparkan, paper ini menjelaskan bagaimana esksistensi
berbagai kelompok masyarakat yang ada di Kota Pekanbaru sebagai representasi publik, dalam membangun
trust di Pemko Pekanbaru.

METODE

2.1 Data

Paper ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus cocok
untuk menguraikan fenomena pada konteks yang spesfik [6]. Selain itu, studi kasus dapat menguraikan secara
mendalam isu-isu sensitif. Sebagai unit analisis, terdapat tujuh organisasi yang dipilih untuk merepresentasikan
masyarakat di Kota Pekanbaru. Tujuh organisasi tersebut adalah Riau Pos (media massa), Lembaga Adat
Melayu (LAM) Kota Pekanbaru (masyarakat adat), Muhammadiyah (organisasi masyarakat sipil), Sekretariat
Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Setnas Fitra) (lembaga swadaya masyarakat/ LSM),
Majelis Ulama Indonesia Kota Pekanbaru (organisasi keagamaan), Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Riau (universitas), Himpunan Mahasiswa Islam Kota Pekanbaru (organisasi mahasiswa). Ketujuh
organisasi ini juga menjadi unit analisis dalam salah satu variabel yang sedang penulis kerjakan dalam penulisan
disertasi mengenai pemberantasan korupsi melalui akuntabilitas formal dan informal di pemerintah daerah di
Indonesia.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 149


Pengambilan data dilakukan selama empat bulan dari Januari 2015 sampai dengan April 2015. Dalam
kurun waktu tersebut, data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber yakni wawancara mendalam,
dokumentasi, dan observasi. Secara terperinci, wawancara mendalam sebagai sumber data utama, dilakukan
sebanyak 49 kali terhadap 41 orang yang berasal dari berbagai pihak. Sebagian besar informan dipilih melalui
purposive sampling dimana informan adalah orang-orang yang sedang atau pernah menjabat dalam struktur elite
di organisasi. Wawancara difokuskan terkait opini dan pengalaman langsung informan terhadap trust organisasi
mereka kepada Pemko Pekanbaru. Adapun wawancara dilakukan secara semi struktur dalam upaya fleksibilitas
terhadap informan dan menggali informasi lebih mendalam. Adapun dokumentasi difokuskan kepada
pengumpulan kliping koran terkait berita korupsi di Kota Pekanbaru, rekapitulasi kasus korupsi yang dibawa
pengadilan dan data bantuan sosial serta bantuan hibah Pemko Pekanbaru terhadap organisasi masyarakat dalam
kurun waktu 2012 sampai 2014. Sedangkan observasi difokuskan untuk melihat interaksi tokoh-tokoh di
organisasi tersebut dengan elite yang ada di Pemko Pekanbaru.

2.2.Definisi Konseptual

Pada umunya, studi mengenai trust dalam organisasi dapat dianalisis dua tingkatan yakni
interorganizational trust dan interpersonal trust. Interorganizational trust adalah sejauh mana seseorang dalam
suatu organisasi memiliki orientasi kepercayaan secara kolektif terhadap organisasi lain [7]. Adapun
interpersonal trust dapat diartikan sejauh mana seseorang percaya diri dalam, dan bersedia untuk bertindak atas
dasar, kata-kata, tindakan, dan keputusan lain [8]. Kedua tingkatan trust ini digunakan dalam melihat proses
interaksi Pemko Pekanbaru sebagai trustee organization dengan tujuh organisasi yang dijadikan unit analisis
sebagai trustor organization sebagaimana gambar berikut 1.

Gambar 1

Indikator-indikator dalam Definisi Konseptual

Pemko Organisas
Pekanbar i Publik
u

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

150 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pada gambar 1 dijelaskan analisis proses interaksi organsiasi publik terhadap Pemko Pekanbaru dalam
mengukur trust menggunakan lima indikator yakni (1) keterikatan hukum (tertulis/tidak tertulis), (2) sumber
otoritas (legal/sosial), (3) mekanisme pertanggungjawaban (hierarkis/suka rela), (4) kontrol (langsung/ tidak
langsung), dan (5) reward sanction (formal/informal). Kelima indicator ini mengadopsi Vu dan Defains yang
turut menggunakan trust sebagai parameter menganalis mekanisme pertanggungjawaban pemerintah lokal di
Vietnam [9].

2.3.Validitas dan Reliabilitas

Untuk meningkatkan validitas terhadap pengolahan data wawancara, maka penelitian ini
memanfaatkan pengunaan software ATLAS TI dalam kodifikasi hasil wawancara. Pemanfaatan ATLAS TI
diyakini efektif untuk memodifikasi kode kata dan segmen, mendapatkan kembali kapanpun data yang
diinginkan, mencari kata, melakukan perubahan kebentuk dokumen yang berbeda, membangun jaringan pikiran,
dan lain-lain [10]. Pengkodean wawancara, berdasarkan indikator-indikator yang telah dibuat pada gambar 1.
Hal tersebut dilakukan dalam upaya membangun analisis secara absah.

Adapun dalam upaya meningkatkan akurasi observasi, penulis telah membuat panduan pengamatan
terlebih dahulu yang berisi catatan setiap aspek secara sistematis. Panduan dalam observasi terhadap informan
mencakup perilaku terhadap bawahan, perilaku terhadap masyarakat, sikap dalam rapat, inisiatif dalam
pengambilan kebijakan, dan reaksi dalam menerima pertanyaan yang kritis. Melakukan observasi melalui
gesture pada informan
tidak jarang memberikan manfaat lebih bagi data tambahan penelitian.

Dalam upaya menjaga validitas dan reliabilitas, semua sumber data yang diverifikasi dilakukan
triangulasi sumber data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan hal-hal lain
di luar data untuk memeriksa atau sebagai pembanding terhadap data. Triangulasi sumber data mencoba untuk
membandingkan dan memeriksa tingkat kepercayaan untuk informasi yang diperoleh dengan alat dan waktu
yang berbeda. Menurut Moleong, ini bisa dicapai dengan: (1) membandingkan data yang diamati dengan data
dari wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang mereka
katakan secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa
yang ia katakan semua kali; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat
dan pandangan orang seperti orang biasa, orang-orang dengan pendidikan menengah atau lebih tinggi, yang
memiliki orang-orang, orang-orang pemerintah; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen
terkait [11].

HASIL DAN DISKUSI

Peran serta publik dalam mewujudkan trust di Pemko Pekanbaru dapat dilakukan melalui pendekatan
non formal. Pendekatan non formal dapat mengambil peran strategis ketika pendekatan formal yang
mengedepankan eksistensi lembaga Negara gagal untuk mengawasi praktik korupsi di Pemko Pekanbaru. Citra
Pemko Pekanbaru sebagai lembaga korup selayaknya melahirkan kesadaran kolektif ditengah masyarakat untuk
turut serta memaksa Walikota dan seluruh jajarannya bersikap transparan, akuntabel dan tidak terjebak untuk
melakukan korupsi. Suara publik melalui LSM, masyarakat adat, ormas, organisasi keagamaan media massa,

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 151


organisasi mahasiswa dan universitas merupakan elemen penting dalam memperkuat peran masyarakat sipil
dimata pemerintah daerah.

Berdasarkan data Pemko Pekanbaru, tercatat sebanyak 187 LSM yang bergerak diberbagai bidang
sosial kemasyarakatan ditahun 2012 [12]. Angka ini terus mengalami pertambahan dari tahun ketahun
mengingat banyak LSM baru yang didirikan. Sebagian besar LSM yang tercatat oleh Pemko Pekanbaru
bergerak dibidang sosial dan pendidikan.

Menarik untuk disimak bahwasannya berdasarkan tabel, tidak banyak LSM yang memiliki konsen
dibidang hukum dan politik. LSM justru lebih banyak memusatkan kegiatannya dibidang sosial atas dasar
kesamaan daerah asal, suku, dan lain-lain. Akibatnya upaya peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata
dalam mengawasi pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi sulit
mengingat minimnya LSM yang bergerak di kegiatan terkait. Tidak pelak, keberadaan berbagai LSM tidak
menjamin terciptanya iklim kontrol publik yang kuat terhadap kinerja birokrasi Pemko Pekanbaru.

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Pemko Pekanbaru, beberapa LSM di Pekanbaru turut serta
untuk melakukan pengawasan seperti Sekretariat Nasional Forum Transparansi Anggaran (Setnas FITRA),
Indonesia Monitoring Development (IMD), dan lain-lain. Berbagai LSM ini terlibat aktif dalam melakukan
pemantauan dan advokasi terkait transparansi anggaran di Pemko Pekanbaru. Meskipun demikian, ada juga
LSM-LSM lain yang turut serta melakukan pengawasan terhadap Pemko Pekanbaru tetapi bertujuan untuk
motif-motif tertentu. Salah seorang informan memaparkan:

―Saya lihat, kadang-kadang, LSM secara institusi bagus, tapi ada individunya ini yang mencederai.
Datang membawa data, data itu bohong semua. Digertak-gertak akibatnya terjadi negosiasi, ketika
terjadi negosiasi uangnya dari mana itu? Dari saya kan tidak mungkin, akhirnya melibatkan ini.
Kalau ini diberi akibatnya menambah cost, padahal di sini tidak ada cost, darimana diambil, maka
terjadilah itu (korupsi). (Wawancara MUI Kota Pekanbaru & UIN Sutan Syarif Kasim Riau, 25
Maret 2015).

Keberadaan berbagai LSM yang memanfaatkan lembaganya untuk mendapatkan uang telah dikenal
sejak lama di kalangan masyarakat di Kota Pekanbaru. Seakan telah menjadi momok, LSM yang menerima
uang dari pejabat dan kontraktor secara tidak resmi disebut sebagai LSM pelat merah. Fenomena LSM pelat
merah di Pekanbaru terus tumbuh mengingat LSM dibenarkan untuk menerima bantuan hibah setiap tahunnya
dari Pemko Pekanbaru. Berdasarkan laporan rincian dokumen pelaksanaan perubahan anggaran belanja tidak
langsung Pemko Pekanbaru, total hibah yang diberikan Pemko Pekanbaru kepada berbagai LSM yang ada di
Pekanbaru sebesar Rp. 41.775.500.000 (2013) dan Rp. 32,228,794,200 (2014).

Besarnya anggaran bantuan Pemko Pekanbaru kepada LSM dan berbagai organisasi kemasyarakatn
sebenarnya lebih diarahkan sebagai upaya meredam kritik terhadap Walikota dan pejabat birokrasi yang ada
dibawahnya. Hanya saja, apabila bantuan diterima oleh LSM maka conflict of interest tidak akan terhindarkan.

152 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Kondisi inilah yang banyak terjadi pada LSM di Pekanbaru mengingat minimnya pendanaan yang dimiliki.
Akibatnya banyak LSM tergoda untuk menerima bantuan dari APBD Pemko Pekanbaru sehingga dengan
sendirinya independensi LSM menjadi luntur.

LSM tidak berada diposisi sejajar dengan Walikota dalam melakukan pengawasannya. Sebaliknya
LSM membiarkan praktik korupsi terjadi. LSM terjebak dalam kegiatan berorientasikan uang. Mereka sering
mengajukan proposal bantuan kepada Pemko Pekanbaru daripada melakukan advokasi dan monitoring. Jika
tidak mendapatkan bantuan resmi, LSM lebih memilih melakukan pemerasan kepada individu tertentu
dipemerintahan yang diindikasikan korup. Salah seorang informan dari Kejaksaan memaparkan:

―Banyak yang seperti itu. LSM yang tidak jelas, selalu memberikan laporan tidak tahu nya mereka
minta proyek. Dan itu banyak terjadi di Pekanbaru <LSM minta proyek kepada siapa?> Biasanya
mereka takut-takuti suatu dinas pemerintahan, setiap hari dimuat di koran, tapi setelah mendapat
proyek dari dinas tersebut diam lah dia‖ (Wawancara Kejaksaan Negeri Pekanbaru, 16 Februari
2015).

Praktik pemerasan ini disampaikan terang-terangan dengan mendatangi kantor dan menelpon pejabat
yang diduga korup tadi. Hal tersebut mengindikasikan Pengawasan oleh LSM belum berjalan sebagaimana
mestinya. Padahal LSM adalah aktor non formal yang diharapkan ketika masyarakat belum memiliki
kemampuan dan kekuatan yang mencukupi untuk melakukan pengawasan kepada Pemko Pekanbaru. Berkaca
dari hal tersebut, salah seorang informan menguraikan:

―LSM kalau yang memang serius ada faktanya segala macam, dikupas habis. Kenapa ini kadang-
kadang 86 (dihentikan) juga sama saja LSM. Kadang-kadang LSM yang tidak ada dicari-carinya.
Harusnya kita ini, bagaimana semua lembaga yang ada, kalau pengawasan objektif, pelaksana juga
seperti itu. Kalau memang itu bisa diperbaiki kedua belah pihak saya kira tidak ada masalah. Tetapi
sepanjang LSM, aparat-aparat semua ikut bermain di dalam lingkaran itu semua, LSM dikasih
proyek sama Pemko mungkin dia diam. Jadi kata kuncinya, sepanjang pemerintah bisa menjinakan
orang-orang seperti itu, semakin parah demokrasi, itu kata kuncinya‖ (Wawancara Wakil Walikota
Pekanbaru & Partai Golkar Kota Pekanbaru, 1 April 2015).

Kemitraan LSM dan pemerintah dalam suasana transaksional menegaskan LSM tidak dapat
mempengaruhi dalam pencegahan korupsi yang ada di Pemko Pekanbaru. Sebaliknya LSM melakukan
pembiaran dan meminta proyek dari pemerintah setiap tahunnya untuk bersama-sama menikmati korupsi.
Akibatnya fungsi kontrol yang seharusnya dapat dilakukan secara kritis oleh LSM tidak mampu melahirkan
kepekaan dikalangan masyarakat akan parahnya praktik korupsi yang ada di Pemko Pekanbaru.

Disamping LSM, kehadiran ormas seperti NU dan Muhammadiyah seharusnya dapat berperan penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut dikarekanakan ormas merupakan bagian dari gerakan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 153


masyarakat sipil. Sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil, ormas berperan penting sebagai jembatan antara
pemerintah dan masyarakat. Sebagai jembatan yang terletak diantara pemerintah dan masyarakat, ormas dapat
melahirkan gerakan kolektif ditengah masyarakat dalam mengawal semangat antikorupsi dalam kehidupan
keseharian.

Salah satu ormas besar yang ada di Pekanbaru adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan
ormas Islam terbesar di Pekanbaru sehingga dipilih menjadi sampel yang representative untuk mewakiliki ormas
dalam riset ini. Sebagai ormas, Muhammadiyah bergerak pada tiga bidang utama yakni pendidikan, kesehatan,
dan kesejahteraan social. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah Pekanbaru mengelola berbagai jengang
pendidikan formal dan non formal yakni Paud, TK, SD, SMP, SMU dan Universitas. Disamping itu,
Muhammadiyah juga memiliki beberapa perkumpulan mahasiswa diantaranya Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah. Dibidang kesehatan, Muhammadiyah Pekanbaru memiliki rumah sakit yang berdiri sejak 15
Maret 2014. Dibidang kesejahteraan sosial, Muhammadiyah memiliki koperasi yang memberikan pinjaman
kredit dan panti sosial yang menampung anak-anak miskin yang tidak memiliki orang tua. Tidak pelak,
banyaknya lembaga yang dimiliki Muhammadiyah menjadi modal politik yang kuat mengingat banyaknya
massa yang terlibat.

Dalam praktiklnya, Organisasi Muhammadiyah Pekanbaru mengakui memiliki kedekatan dengan lima
orang anggota DPRD Kota Pekanbaru dari Partai Amanat Nasional (PAN). Afliasi politik antara
Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional bukanlah hal yang tabu dan baru karena berdirinya PAN
sendiri sebagai partai pada awal reformasi 1998 di Indonesia tidak lepas dari peran Muhammadiyah. Dalam
konteks di Pekanbaru, dukungan kepada PAN juga terjadi dalam Pemilu. Salah seorang informan yang berasal
dari pengurus Muhammadiyah Pekanbaru mengutarakan pengalamannya terkait intensitas dan suasana
pertemuan yang dilakukan oleh pengurus Muhammadiyah dengan anggota terpilih DPRD Kota Pekanbaru dari
PAN menjelang Pemilu 2014 yang lalu:

―Kalau sebelum jadi anggota dewan itu sering. Dalam rangka sosialisasi kita butuh mereka, mereka
butuh kita. Yang kedua setelah jadi anggota dewan mereka masih tetap karena mereka itu ada yang
warga muhammadiyah maupun simpatisan. Itu mereka masih tetap baik secara formal maupun non
formal artinya kegiatan yang disengaja atau diundang, itu sering pertemuan itu. Kita mengajak ketika
itu, cukup sering, dan malahan dalam pertemuan terakhir kemarin khusus kota Pekanbaru, mereka
itu katakanlah yang berafiliasi secara moral kepada Muhammadiyah itu dari PAN ada 5 orang. Itu
malahan sudah disepakai pertemuan sekali tiga bulan. Katakanlah check and balance dalam rangka
memberikan masukan-masukan kepada mereka‖ (Wawancara Muhammadiyah Kota Pekanbaru, 30
Maret 2015).

Menarik disimak, statemen informan tadi yang mengatakan ―kita butuh mereka, mereka butuh kita‖
dapat dimaknai sebagai tukar menukar dukungan dalam proses politik yang terkesan pragmatis. Pemaknaan kita
butuh mereka adalah adanya kesadaran dari internal pengurus Muhammadiyah di Pekanbaru untuk
mengarahkan massanya agar memilih calon tertentu dalam upaya mencari dukungan politik dalam pengambilan

154 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kebijakan dipemerintahan. Dukungan politik pemerintah kota Pekanbaru terhadap Muhammadiyah merupakan
hal penting mengingat setiap tahunnya Muhammadiyah Kota Pekanbaru menerima bantuan baik bantuan sosial
maupun hibah kepada berbagai kegiatannya. Pada tabel 1, terlihat Muhammadiyah mendapat bantuan keuangan
secara kontinyu dari APBD Kota Pekanbaru sejak 2011 sampai 2013.

Tabel 1

Realisasi Anggaran Hibah dan Bantuan Sosial Pemko Pekanbaru kepada Muhammadiyah periode 2011-2013

Aktivitas Anggaran

2011

Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 1 38,800,000

Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 4 108,000,000

Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 6 47,200,000

Belanja Hibah BOS SD Muhammadiyah 3 169,200,000

2012

Belanja Bansos kepada Persatuan Mahasiswa Muhammadiyah 10,000,000


Kota Pekanbaru

Belanja Bansos kepada Teknik Mesin Produksi SMK 30,000,000


Muhammadiyah 1

Belanja Bansos kepada SMK 2 Muhammadiyah Sukajadi 30,000,000

2013

Belanja Hibah kepada KKN angkatan 3 Fak. Ilmu Komunikasi 10,000,000


Universitas Muhammadiyah Riau

Belanja Hibah kepada SMP Muhammadiyah 3 25,000,000

Belanja Hibah kepada PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) 25,000,000


Kec. Rumbai

Belanja Hibah kepada Tapak Suci Putera Muhammadiyah Kota 15,000,000


Pekanbaru

Belanja Hibah kepada Kolaborasi Musik Melayu SMA 10,000,000


Muhammadiyah 1

Belanja Hibah kepada Madrasah Aliyah Muhammadiyah untuk 20,000,000

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 155


pembuatan labor IPA

Belanja Hibah kepada SMP Muhammadiyah 2 10,000,000

Belanja Hibah kepada SMA Muhammadiyah 1 10,000,00

Belanja Hibah kepada Mesjid Nurul Yakin Muhammadiyah 15,000,000

SMA Muhammadiyah Pekanbaru 150,000,000

SMK Muhammadiyah 2 Pekanbaru 63,864,250

Bantuan Beasiswa S2 an. Jhony Ardan Mardan Universitas 5,000,000


Muhammadiyah Jakarta

Bantuan Pendidikan S1 an. Evri Yanis Ilmu Komputer Universitas 7,000,000


Muhammadiyah Riau

Bantuan Pendidikan S2 an. Darmawan Ilmu Komunikasi 10,000,000


Universitas Muhammadiyah Jakarta

Bantuan Pendidikan S1 an. Melly Safitri Ilmu Komputer 7,000,000


Universitas Muhammadiyah Riau

Bantuan Pendidikan S1 an. Mellisa Fitri Ilmu Komputer 7,000,000


Universitas Muhammadiyah Riau

Bantuan Pendidikan S1 an. Isnaini Agustin Ekonomi Universitas 7,000,000


Muhammadiyah Riau

Bantuan Pendidikan S1 an. Abdul Azis Ilmu Komputer 7,000,000


Universitas Muhammadiyah Riau

Bantuan Pendidikan S2 an. Zulfahri Universitas Muhammadiyah 10,000,000

Bantuan Pendidikan S3 an. Yundri Akhyar Psikologi Universitas 15,000,000


Muhammadiyah Yogyakarta

Bantuan Pendidikan S1 an. Aris Mandalito Universitas 7,000,000


Muhammadiyah Riau

Total 869,064,250

Sumber: Laporan Realisasi Anggaran BPKAD Kota Pekanbaru, 2015

Tabel 1 menjelaskan Muhammadiyah menerima bantuan sebesar Rp. 869.064.250 pada berbagai
kegiatan baik organisasi maupun individu dalam kurun waktu 2011 sampai 2013. Dukungan anggaran oleh

156 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pemko Pekanbaru memiliki arti yang besar bagi Muhammadiyah karena banyaknya kegiatan organisasi yang
harus dibiayai. Hanya saja bantuan besar juga diikuti dengan kepentingan yang politis.

Sebagai organisasi massa keagamaan terbesar di Kota Pekanbaru saat ini, Muhammadiyah kerap
diminta dukungan suara dari kandidat yang mengikuti Pemilu atau Pemilukada. Dukungan suara tersebut
sangatlah penting mengingat basis suara Muhammadiyah adalah masa yang solid. Solidnya masa
Muhammadiyah dapat dilihat dari salah satu ciri gerakannya pada organisasi mahasiswanya diseluruh Indonesia
yang menganut sistem komando [13]. Meskipun demikian, dukungan yang disampaikan Muhammadiyah
bukanlah dukungan secara organisasi tetapi lebih dukungan secara implisit oleh pengurus dengan
menyampaikan himbauan dalam pengajian, dakwah, dan rapat organisasi. Dicontohkan oleh salah seorang
informan bagaimana himbauan tersebut disampailkan ke masa muhammadiyah:

―Secara moral kita mengajak warga kita. Ini ada warga kita mau jadi anggota dewan, alangkah
eloknya kita pilih. Yang kedua kita juga butuh mereka itu sebagai penyembung lidah kita.
Penyambung tangan, penyambung kaki, penyambung lidah, penyambung fikiran, aspirasi dan
sebagainya, baik untuk kepentingan publik maupun untuk kepentingan Muhammadiyah‖
(Wawancara Muhammadiyah Kota Pekanbaru, 30 Maret 2015).

Tukar menukar dukungan yang ditampilkan Muhammadiyah bukanlah kontrak politik yang mengikat
secara formal. Tidak adanya pakta integritas, dsbnya membuat hubungan yang dibangun hanya berdasarkan
trust yang tinggi. Trust tersebut diyakini karena adanya ―kesamaan nilai yakni amar maruf nahi mungkar, suatu
nilai dalam ajaran agama Islam yang bermakna menegakan yang baik dan menjauhkan yang buruk‖
(Wawancara Muhammadiyah Kota Pekanbaru, 30 Maret 2015). Meskipun demikian, trust tidak menjamin setiap
orang yang duduk dipemerintahan baik di eksekutif maupun legislative tidak melakukan korupsi. Tidak adanya
sanksi membuat muhammadiyah tidak memiliki mekanisme control yang jelas kepada pemerintah. Oleh
karenanya, berbagai aktivitas di Muhammadiyah terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Pemko
Pekanbaru lebih cenderung dilakukan secara temporer seperti pertemuan dengan anggota DPRD yang berafliasi
dengan Muhammadiyah dan himbauan dalam berbagai aktivitas keagamaan untuk tidak melakukan korupsi.

Tidak teroganisirnya organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dalam membangun gerakan social
untuk mencegah korupsi di pemko Pekanbaru juga disebabkan tidak adanya koordinasi antara organisasi
keagamaan itu sendiri. Dicontohkan, MUI sebagai lembaga yang menaungi organisasi-organisasi Islam
termasuk Muhammadiyah tidak pernah duduk bersama untuk membangun gerakan perlawanan terhadap
korupsi. Hal tersebut sangatlah miris mengingat mayoritas penduduk Kota Pekanbaru merupakan Bergama
Islam yang dapat dijangkau oleh ormas Islam. Akibatnya, visi organisasi masyarakat sipil baik berdasarkan
keagamaan dan lain-lain yang bertujuan membangun gerakan berbasis pemberdayaan masyarakat secara mandiri
tidak terjadi.

Disamping Muhammadiyah, organisasi publik yang dapat berperan sentral dalam membangun trust
ditengah masyarakat terhadap Pemko Pekanbaru adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru.
Pertimbangan utama dimasukannya MUI sebagai aktor sentral yang merepresentasikan publik di Kota

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 157


Pekanbaru disebabkan beberapa alasan. Pertama, MUI merupakan wadah agama yang mengakomodir mayoritas
penduduk di Kota Pekanbaru. Islam, sebagai agama yang dominan di Kota Pekanbaru sebesar 90%, diikuti
Kristen 7,5% dan Budha 3,1% [14] mengindikasikan seharusnya suara MUI dapat berpengaruh besar ke publik.
MUI seyogyanya dapat memberikan fatwa dan lain-lain kepada umat muslim untuk menjauhi praktik korupsi.
Kedua, keberadaan Islam di Kota Pekanbaru merupakan elemen yang melekat dalam kultur keseharian
masyarakat. Kultur melayu yang menjadi identitas masyarakat Kota Pekanbaru, sejalan dengan pelaksanaan
prinsip-prinsip Islam. Adigium dalam adat melayu yakni ―adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah‖,
menandakan Islam adalah panduan utama dalam kehidupan keseharian. Oleh karenanya keberadaan MUI dapat
menjadi lembaga yang memiiki legitimasi untuk memberikan otoritas secara sosial kepada setiap orang
khususnya yang beragama Islam untuk menjalankan prinsip Islam (termasuk tidak melakukan korupsi) sekaligus
tidak menanggalkan kultur melayu dalam keseharian. Dengan kata lain, fatwa-fatwa MUI dapat menjadi aturan
tidak tertulis yang harus dipatuhi masyarakat.

Pada faktanya, MUI Kota Pekanbaru tidak mampu menjadi corong perlawanan korupsi masyarakat
terhadap pemerintah. Fatwa-fatwa MUI mengenai larangan bagi setiap individu untuk korupsi jarang disuarakan
dalam berbagai kegiatan keagamaan seperti khutbah, ceramah, dan lain-lain. Jikapun ada, larangan tersebut
tidak begitu diindahkan. Norma dan nilai untuk tidak melakukan rasuah seperti yang diajarkan dalam Islam dan
budaya melayu, hanyalah menjadi himbauan-himbauan formalitas belaka. Salah seorang informan menguraikan
dilema tersebut:

―Kalau dari segi institusi agama, ini ada MUI, MUI adalah organisasi lembaga fatwa, organisasi fatwa,
fatwa itu secara agama mengikat, tapi secara sosial kultural ini tidak mengikat… Kalau agama kan ada
ajaran agama halal dan haram. Kalau yang halal dikerjakan dapat pahala, kalau yang haram dikerjakan
tanggung dosa. Tapi secara sosial kultural ini yang mengikat adalah aturan hukum. Jadi kalau ada kita
menyampaikan tausiah pemberantasan korupsi kepada lapisan masyarakat melalui diskusi-diskusi,
melalui pertemuan-pertemuan, maka yang melaksanakan tentu pihak eksekutif dan yudikatif, kita tentu
hanya menyampaikan itu‖ (Wawancara MUI Kota Pekanbaru & UIN Sutan Syarif Kasim Riau, 25
Maret 2015).

Minimnya peran MUI dalam melakukan pendekatan informal masyarakat dalam membangun trust
terhadap pemerintah juga tidak terlepas dari kendala ketidakmandirian MUI Kota Pekanbaru dalam aktivitas
organisasinya. MUI Kota Pekanbaru diketahui menerima bantuan sosial dari Pemko Pekanbaru setiap tahunnya
yakni sebesar Rp. 250.000.000 (2011), Rp. 300.000.000 (2012), dan Rp. 300.000.000 (2013). Besarnya bantuan
yang diterima MUI berpengaruh terhadap independensi MUI untuk mengkritik Walikota dan jajarannya.
Sebaliknya, MUI berkepentingan untuk mendukung Walikota secara implisit dalam kebijakan-kebijakan
pemerintah termasuk dalam sukses Pemilukada kedepan. Meskipun dukungan MUI kepada Walikota
diterjemahkan sebagai upaya pengamanan kepentingan Islam, tidak pelak kondisi tersebut menegaskan MUI
Kota Pekanbaru terjebak untuk melakukan politik praktis.

158 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Berbeda dengan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan MUI, Kota Pekanbaru juga memiliki
organisasi yang merepresentasikan kultur melayu yang disebut Lembaga Adat Melayu (LAM). LAM Kota
Pekanbaru berdiri ditahun 1970-an akhir sebagai wadah untuk melestarikan budaya melayu yang menjadi
identitas Kota Pekanbaru. Oleh karenanya, kehadiran LAM secara sosio-kultural seharusnya dapat memberikan
pengaruh yang kuat dalam kehidupan keseharian masyarakat luas termasuk didalam pemerintahan.

Dalam aktivitas kesehariannya, kegiatan LAM lebih banyak berafliasi dengan pemerintahan. Hal ini
dapat dijumpai pada salah satu tugas LAM yakni memberikan gelar adat Datuk Bandar Setia Amanah kepada
Walikota Pekanbaru dan Datuk Muda Bandar kepada Wakil Walikota Pekanbaru. Pengunaan kata amanah
dalam setiap gelar memiliki makna yang dalam yakni setiap pemimpin harus dapat dipercayai dan menjadi
tauladan bagi masyarakat. Bagi pengurus LAM sendiri, pemberian gelar kepada Walikota dan Wakil Walikota
dapat pula mendorong pelaksanaan nilai-nilai positif ditengah masyarakat sebagaimana penjelasan berikut:

―Pimpinan ini panutan kita, kita berikan (gelar adat). Dialah salah satu corong kita dari LAM itu
untuk menyampaikan adat etika, tata krama, dan setiap pidatonya pasti dia mengajak kearah
kebaikan, tidak pernah dia menjerumuskan rakyatnya untuk membuat sesuatu di luar adat, etika
dan budaya yang berlaku pada masyarakat‖ (Wawancara LAM Kota Pekanbaru, 5 Maret 2015).

Meskipun pemberian gelar ini menunjukan ekspektasi yang besar kepada Walikota dan Wakil Walikota
sebagai pemangku adat melayu, pemberian gelar ini hanya diberikan ketika sedang menjabat dan tidak berlaku
lagi ketika tidak menjabat sebagai Walikota dan Wakil Walikota. Tidak pelak, pemberian gelar adat sarat
dengan kepentingan politik semata.

Argumen pemberian gelar yang sarat kepentingan politis dapat dengan mudah dijustifikasi karena gelar
bisa diberikan kepada seseorang yang beretnis non-melayu. Pada konteks Kota Pekanbaru hari ini, Wakil
Walikota yang berasal dari etnis non-melayu turut diberikan gelar adat oleh LAM Kota Pekanbaru. Tidak pelak,
pemberian gelar oleh LAM berlaku bias karena seharusnya syarat seseorang mendapatkan gelar adalah memiliki
ikatan darah sebagai etnis Melayu. Hal tersebut menegaskan adat tunduk kepada kekuasaan Walikota dan Wakil
Walikota. Tunduknya adat membuat kekuasaan terpusat pada sosok Walikota dan tidak ada pihak yang
melakukan kontrol. Oleh karenanya budaya paternalistik yang telah ada dibirokrasi pemerintahan meluas
kedalam kehidupan sosial kultural masyarakat.

Afliasi LAM kepada pemerintah semakin kuat mengingat sebagian besar pengurus LAM merupakan
pejabat yang ada dibirokrasi Pemko Pekanbaru. Struktur pengurus LAM yang terdiri dari Majelis Kerapatan
Adat (MKA), Majelis Kehormatan (MKH) dan Dewan Pengurus Harian (DPH) banyak diisi oleh mantan
birokrat maupun birokrat aktif yang ada di Pemko Pekanbaru. Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Kota
Pekanbaru saat ini adalah figur yang pernah memegang jabatan strategis di Pemprov Riau dan pensiun diawal
tahun 2000. Majelis Kehormatan LAM adalah jabatan yang otomatis diisi oleh Walikota dan Wakil Walikota.
Sedangkan Ketua Dewan Pengurus Harian dipimpn oleh seorang birokrat senior yang saat ini menjabat sebagai
Asisten Administrasi Keuangan Pemko Pekanbaru. Pola pengisian pengurus LAM ini tidak terlepas dari
kepentingan Walikota yang melakukan politisasi kepada LAM. Kesemua jabatan sentral yang ada di LAM

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 159


merupakan orang yang memiliki patron kepada Walikota. Sebaliknya, tokoh-tokoh dari batin yang merupakan
tingkatan terendah dalam struktur masyarakat melayu tidak diakomodir dalam kepengurusan. Hal tersebut
menunjukan LAM tidak lebih sebagai alat penguasa lokal untuk mendapatkan legitimasi masyarakat yang lebih
besar.

Terkooptasinya LAM dalam kepentingan politik Walikota dan Wakil Walikota membuat LAM tidak
pernah menjalankan kontrol dalam pencegahan korupsi di Pemko Pekanbaru. Mekanisme pemberian warkah
(semacam himbauan) yang telah dikenal dalam adat, tidak pernah dilakukan LAM kepada Walikota meskipun
fenomena korupsi yang ada di Pemko Pekanbaru telah menjadi rahasia umum. Ketidakmampuan LAM
menyampaikan keresahan masyarakat membuat aktivitas LAM hanya menjalankan seremonial adat ketika
dimintai pemerintah seperti pemberian gelar adat kepada Walikota dan Wakil Walikota.

Menarik disimak bahwasannya pemberian gelar adat dan perlakuan istimewa LAM kepada Walikota
dan Wakil Walikota tidak diberikan secara cuma-cuma. Atas nama pelestarian budaya melayu, LAM Kota
Pekanbaru menerima bantuan anggaran yang cukup besar dari Pemko Pekanbaru yakni Rp. 150.000.000
(2011), Rp. 175.000.000 (2012), Rp. 175.000.0000 (2013) dan Rp. Rp. 175.000.0000 (2014). Tidak hanya itu,
Pemko Pekanbaru turut menghibahkan tanah dan membangun gedung megah tiga lantai dipusat kota untuk
LAM Kota Pekanbaru seperti digambar 2.

Gambar 2

Kantor LAM Kota Pekanbaru

Sumber: Pribadi

Dengan berbagai bantuan yang didapat LAM, LAM telah menjadi bagian rezim penguasa lokal.
Terkadang LAM juga bersikap kontraproduktif dengan melindungi kepala daerah yang melakukan korupsi.
Salah seorang informan menguraikan:

―Di masing-masing LAM, mereka (Gubernur dan Walikota) mendapat gelar namanya setia amanat.
Datuk setia amanat, itu untuk kepala daerah oleh LAM. Biasanya mahasiswa selalu mendesak cabut
gelar setia amanat. Apa yang muncul saat kasus yang di Riau kemarin, waktu Pak Safrizal yang
tertangkap di Siak, di Pelalawan, di Kampar, mereka mengatakan ini kan tokoh kita, tokoh melayu,

160 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kenapa kita harus menghujat tokoh-tokoh kita. Justru kita harus berikan dorongan moril, gunakan
azas praduga tak bersalah. Rata-rata seperti itu semua standarnya dan itu sudah terprogram. Selalu
tidak pernah kritis.‖ (Wawancara Riau Pos, 1 Februari 2015).

Ketidakkmampuan LAM untuk mencabut gelar adat Gubernur maupun Walikota yang terlibat korupsi
menegaskan tidak ada sanksi informal yang berlaku dimasyarakat kepada pejabat yang melakukan korupsi.
Sebaliknya, LAM sebagai institusi informal yang ada didalam masyarakat berlaku permisif dan melindungi
praktik korup yang terjadi di pemerintahan. Minimnya independensi kelembagaan dan ketidakmandirian dalam
pendanaan membuat LAM memiliki ketergantungan yang kuat kepada penguasa. LAM sebagai representasi
kultural masyarakat hanya tampil secara simbolis semata.

Berbeda dengan LSM dan organsisasi kemasyarakatan lainnya, media massa lokal memiliki akses yang
lebih kuat ke publik dalam mensuarakan praktik korupsi yang ada di pemerintahan. Daris sisi historis,
Perkembangan media di Pekanbaru diawali dengan berdirinya media pemerintah yakni RRI (Radio Republik
Indonesia) and TVRI (Televisi Republik Indonesia), Berdirinya kedua media tsb menjadi agenda politik yang
strategis bagi rezim orde baru dibawah kendali Soeharto untuk menjaga kesatuan Negara dan mencegah
ancaman disintegrasi didaerah [15]. Peluang disintegrasi tsb sangatlah besar mengingat Negara Indonesia adalah
Negara yang plural dengan terdiri dari ratusan etnis. Oleh karenanya, menyadari keberadaan media didaerah
sebagai instrumen politik penguasa ketika itu membuat media berada pada posisi tidak independen.

Adapun media swasta pertama yang berdiri dan mendapat atensi yang kuat oleh masyarakat di
Pekanbaru adalah Koran Riau Pos. Berdirinya Riau Pos tidak terlepas dari sumbangan besar Pemprov Riau
dimana pada awal 1990-an, Pemprov Riau memberikan satu buah mesin cetak yang merupakan sumbangan dari
PT Chevron (dulu PT Caltex Pacific) kepada Riau Pos. Keberadaan mesin cetak tersebut menjadi awal
berdirinya Riau Pos dengan mencetak koran harian lokal pertama sejak 17 Januari 1991.

Dibawah kepemimpinan Rida K Liamsi, Riau Pos menjadi koran lokal pertama di Pekanbaru, Riau
yang terbit harian sehingga diklaim sebagai koran orang riau pertama. Menurut salah seorang informan:

Memang di Riau ini agak sedikit khusus ya, orang menganggap Korannya orang Riau itu ya Riau
Pos, memang itu sampai sekarang sudah terstigma oleh orang, karena Riau ini berbeda dengan
Sumbar dengan Medan, Sumbar itu punya Koran bertradisi sudah puluhan tahun yang lalu ya,
bahkan sebelum merdeka sumbar tu sudah punya Koran, medan punya Koran, Riau itu ada Riau Pos
tahun 1991, betul-betul korannya orang Riau yang dibuat oleh orang Riau. Jadi ketika Koran Riau
Pos muncul terus terang Riau Pos tidak hanya membawa ikon bisnis saja, tetapi juga membawa ikon
Riau. (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).

Klaim dengan tendensi primordial tersebut mengalahkan dominasi koran-koran dari luar Pekanbaru
seperti Haluan dan Singgalang dari Padang dan Analisa dari Medan yang telah hadir sebelumnya. Apalagi
dominasi Riau Pos turut didukung oleh dua faktor. Pertama, dukungan pemerintah daerah setempat kepada Riau

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 161


Pos sebagai satu-satunya media lokal yang digunakan sebagai penyampai berita kepada rakyat mengenai
keberhasilan pembangunan oleh pemda. Salah seorang informan menguraikan

―Pada waktu itu, pemda berkeyakinan melalui publikasi mengenai keberhasilan pembangunan
didaerah oleh pemda melalui media lokal dapat memperkuat semangat membangun di daerah.
Apalagi berita-berita mengenai pembangunan merupakan berita yang paling banyak diminati
pembaca berdasarkan survey pelanggan Riau Pos‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).

Kedua, terwujudnya kerjasama antara Riau Pos dengan jaringan koran nasional, Jawa Pos. Kerjasama
tersebut meliputi bantuan liputan berita nasional dan internasional terhadap media lokal dan menginisasi
percetakan jarak jauh yang memungkinkan koran Riau Pos dapat dicetak tidak hanya di Pekanbaru tapi juga bisa
didaerah-daerah lain yang memiliki akses transportasi yang sulit tetapi memiliki pasar pembaca yang besar.
Terobosan ini sukses dilakukan karena berhasil memangkas distribusi koran yang panjang sehingga pembaca
dapat menerima koran lebih awal yakni dipagi hari.

Tidak pelak, dua faktor ini membuat Riau Pos berhasil melakukan ekspansi bisnis secara besar-besaran
diawal 1997. Ekspansi bisnis besar-besaran Riau Pos telah menjadi konglemerasi bisnis media lokal yang kuat
di Pekanbaru khususnya dan Riau pada umumnya. Riau Pos mendirikan anak perusahaan koran baru lainnya
disebagian besar kabupaten di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Beberapa koran lokal tersebut
diantaranya Pekanbaru Pos, Batam Pos,Dumai Pos, Pos Metro Mandau, Pos Metro Rohil, Pos Metro Indragiri,
Meranti Ekspress dan Tanjung Pinang. Pemecahan koran lokal tersebut dicermati oleh salah seorang informan
sebagai berikut:

―Kalau saya positifnya satu, ya pengembangan bisnis. Menjangkau pembaca sampai ke bawah. Tapi
dari segi negatifnya untuk menampung dana-dana. Ketika anak group misalnya Dumai Pos, otomatis
nanti akan menyusui ke Pemdanya. Pos Metro Rohil tentu ke Pemkab Rohil. Pos Metro Inhu tentu
ke Pemkab Inhu. Meranti Express tentu ke Pemda Merantinya‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret
2015).

Untuk konteks Pekanbaru, Riau Pos menerima anggaran pemko sebesar Rp. 170.000.000 ditahun 2013
dan Rp. 285.000.0000 pada 2014 untuk mengontrak halaman yang berisi advetorial mengenai kebijakan-
kebijakan Walikota (Humas Pemko Pekanbaru, 2013-2014). Disamping itu, beberapa wartawan dari Riau Pos
sering diikutsertakan dengan menggunakan anggaran pemda oleh Walikota Pekanbaru ketika melakukan
perjalanan dinas keluar kota Pekanbaru baik dalam negeri maupun luar negeri

(Wawancara Bagian Umum dan Perlengkapan Pemko Pekanbaru, 27 January 2015). Berbagai gambaran
tersebut menegaskan bisnis Riau Pos ditopang oleh jaringan yang kuat kedalam pemerintahan lokal. Kondisi
tersebut adalah lumrah mengingat besaran anggaran untuk sosialisasi dan publikasi yang dimiliki Pemko
Pekanbaru berjumlah besar yakni Rp. 3.294.000.000 (2013) dan Rp. 4.657.500.000 (2014).

162 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Jaringan bisnis yang dibangun Rida K Liamsi selaku pemilik Riau Pos juga berkembang ke sektor
lainnya yang berdekatan dengan kekuasaan elite lokal. Pada sektor pendidikan, Rida K Liamsi memiliki Sekolah
Tinggi Seni Riau yang diketahui menerima hibah berupa tanah oleh Pemprov Riau. Pada sektor kebudayaan,
Rida K Liamsi turut mendirikan Yayasan Sagang yang salah satu kegiatannya adalah melaksanakan event
bernama anugerah sagang, yakni pemberian penghargaan kepada budayawan yang memiliki kontribusi terhadap
kemajuan budaya melayu. Anugerah Sagang diselenggarakan dengan dukungan berbagai pihak yang salah
satunya dukungan finansial dari pemda. Dalam perkembanganya, salah seorang informan menjelaskan

―penyelenggaraan Anugrah Sagang lebih banyak menghasilkan keuntungan karena biaya event
tersebut lebih kecil dari penerimaan yang didapat sehingga acapkali laporan pertanggungjawaban
keuangan yang disampaikan tidak transparan‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).

Sektor bisnis lainnya yang turut dilakukan Rida K Liamsi adalah perusahaan jasa penjualan tiket dan
travel, perusahaan gas, dan lain-lain. Tidak pelak keberhasilan Rida K Liamsi dalam membangun konglemerasi
bisnisnya sampai saat ini juga didorong dengan dukungan jaringan dan relasi yang baik dengan penguasa di
pemda.

Berbagai gambaran media lokal mulai dari radio, televisi dan koran yang ada di Pekanbaru,
menunjukan kesuksesan media lokal tidak terlepas dari simboisis mutualisme antara pemilik media dengan
kepala daerah. Di satu sisi, secara historis, lahirnya media lokal tidak terlepas dari kontribusi pemerintah
sehingga publik beranggapan media lokal menjadi media Pemda. Anggapan tersebut tidaklah salah mengingat
beberapa media seperti Riau Pos menerima bantuan anggaran dari Pemko Pekanbaru untuk publikasi setiap
tahunnya seperti yang telah diuraikan tadi. Tidak hanya kepada pemilik media, Pemko Pekanbaru juga selalu
memberikan bantuan kepada berbagai kegiatan wartawan seperti studi banding jurnalistik sebesar Rp.
20.000.000 (2013), hibah kepada komite nasional wartawan Indonesia sebesar Rp. 50.000.000 (2013), hibah
kepada komite perlindungan wartawan Indonesia sebesar Rp. 50.000.000 (2013), hibah kepada DPD Gabungan
wartawan Indonesia sebesar Rp. 60.000.000 (2013), hibah kepada panitia natal Okumene wartawan Indonesia
sebesar Rp. 10.000.000 (2013).

Di sisi yang lain, kepala daerah dapat memanfaatkan media untuk memberitakan keberhasilan-
keberhasilannya sebagai bagian pencitraan politik semata. Hal tersebut membuat media lokal acapkali dianggap
tidak kritis dalam pemberitaan karena sejalan dengan kepentingan penguasa didaerah. Hal tersebut diakui salah
seorang informan yang mengemukakannya redaksi sering diintervensi oleh pemilik koran ketika hendak
memberitakan seorang pejabat daerah yang tersangkut kasus korupsi. Akibatnya pemberitaan mengenai korupsi
sering disensor oleh pemilik perusahaan. Tidak kritisnya pemilik koran ini tidak terlepas dari kepentingan bisnis
yang dimiliki bersama-sama dengan kepala daerah.

Minimnya daya kritis dan tidak independennya media lokal di Pekanbaru dalam pemberitaan terhadap
pemda diperparah dengan tidak berjalannya kontrol dari pihak netral seperti asosiasi wartawan dan serikat
pekerja wartawan. Meskipun kepengurusan asosiasi wartawan bersifat independen, kolektif dan dipilih dalam

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 163


periode tertentu oleh wartawan-wartawan yang tergabung didalamnya, mayoritas ketua asosiasi wartawan di
Pekanbaru seperti PWI dipimpin pemilik media lokal. Apalagi PWI Riau juga menerima tanah dan bangunan
megah dari Pemprov Riau untuk kantor tetap sebagaimana yang terlihat digambar 3.

Gambar 3

Kantor PWI Riau

Sumber: http://www.riau.go.id/home/content/2014/06/19/1803-gubri-resmikan-gedung-pwi-riau

Gambar 3 menampilkan gedung hasil bantuan Pemprov Riau terhadap PWI Riau yang diresmikan pada
tahun 2014. Bantuan tersebut tidak pelak melahirkan conflict of interest terhadap independensi media.
Pemberian berbagai bantuan setiap tahunnya oleh Gubernur dan Walikota dapat mempengaruhi objektifitas
pemberitaan di media. Diuraikan oleh salah seorang informan bagaimana respon PWI Riau terkait pemberitaan
Anas Mamun, Gubernur Provinsi Riau yang terkena kasus korupsi ditahun 2015:

―Pak Anas belum sebulan jadi Gubernur, Februari atau Maret, langsung meresmikan gedung PWI
ini. Nah ketika gedung PWI ini diresmikan oleh Pak Anas dan dikasih mobiler dan lain sebagainya,
Pak Anas tersangkut korupsi. kawan-kawan PWI inilah salah satunya ketika ada kritikan media soal
kasus-kasus Pak Anas, langsung membuat semacam. Pernah kami komplain dulu, lalu mereka
mencoba mengklarifikasi, bukan kasus korupsi ya, kasus pelecehan seksualnya duluan. Lalu mereka
mantan-mantan ketua PWI, ketua PWI sekarang, serikat pekerja surat kabarnya mengadakan jumpa
pers. Press release, jangan menghujat tokoh melayu, media ini sudah kebablasan, menghujat-hujat
saja‖ (Wawancara Riau Pos, 25 Maret 2015).

Respon asosiasi wartawan yang permisif terhadap pemberitaan korupsi salah seorang kepala daerah ini
menegaskan tumpulnya media dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di pemda. Media, yang pada
hakikatnya pilar kelima demokrasi menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan pemda. Sebaliknya media
turut bersama-sama melanggengkan praktik korupsi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya media2
yang ada di Pekanbaru baik Televisi, Radio dan Koran merupakan media yang memiliki afliasi dengan

164 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pemerintah daerah. Akibatnya, pemberitaan media cenderung samar ketika memberitakan perkara2 korupsi
khususnya yang melibatkan pejabat di pemda.

Aktor non-formal lainnya yang dapat memainkan fungsi pengawasan kepada Pemko Pekanbaru adalah
mahasiswa. Posisi mahasiswa sebagai katalisator dalam isu pemberantasan korupsi menunjukan rekam jejak
yang baik mengingat mahasiswa berperan penting dalam melahirkan reformasi di Indonesia ditahun 1998. Atas
dasar hal tersebut maka mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kampus baik internal maupun eksternal
seharusnya dapat memainkan peran dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Pemko Pekanbaru.

Di Pekanbaru, pergerakan mahasiswa banyak dijalankan oleh organisasi mahasiswa yang telah mapan
seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan lain-lain. Banyaknya organisasi mahasiswa tidak
menjamin gerakan anti korupsi tumbuh dengan baik mengingat aksi terhadap isu mengenai korupsi hanya
dilakukan pada momen-momen tertentu saja. Mahasiswa cenderung melakukan gerakan konvensional berupa
aksi demonstrasi dari pada aksi yang lebih mengakar seperti pelatihan pencegahan bahaya korupsi, kampanye di
media sosial, audiensi dengan DPRD dan pejabat di Pemko Pekanbaru.

Kecenderungan organisasi mahasiswa di Pekanbaru untuk menyuarakan aspirasi melalui demonstrasi


adalah bentuk show off mereka akan eksistensi mahasiswa diluar kampus. Hanya saja, aksi yang mengandalkan
demonstrasi rawan dari agenda titipan pihak tertentu. Salah seorang informan menjelaskan:

―Memang gerakan-gerakan pragmatis seperti ini sudah sering terjadi. Artinya perbedaan pandangan,
perbedaan kepentingan melibatkan kita punya misi lain. Contohnya seperti dalam gerakan itu
ternyata kita tidak ikut, tidak full membantu UKP (organisasi mahasiswa) lain karena kita tahu
bahwa gerakan itu gerakan yang ditunggangi karena memang biasanya beberapa teman-teman
kemahasiswaan banyak gerakan kearah pragmatis.... Biasanya perkepala, satu orang 50, 100 ribu. Yg
lebih tinggi itu korlapnya, bisa 500 ribu sampai 1 juta. Biasanya langsung banyak, berapa 10 juta
atau 20 juta untuk berapa masa. Jadi yang membagi-bagi itu koordinator lapangan‖ (Wawancara
HMI Kota Pekanbaru, 18 Maret 2015).

Tidak pelak, dorongan untuk mendapatkan uang secara mudah melalui demonstrasi membuat gerakan
mahasiswa cenderung pragmatis. Pragmatisme yang tumbuh dikalangan mahasiswa tidak terlepas dari hilangnya
ideologi gerakan mahasiswa yang tumbuh dalam organisasi mahasiswa itu sendiri. Beberapa organisasi
mahasiswa seperti HMI tidak lagi memperjuangkan Islam sebagai falsafah organisasi sebaliknya mereka
terjebak untuk berafliasi dengan kepentingan alumni HMI yang telah banyak berada diposisi strategis di
pemerintahan baik di DPRD maupun eksekutif.

Meskipun secara tidak kasat mata terlihat, HMI Kota Pekanbaru dan beberapa organisasi mahasiswa
lainnya selalu mendapatkan bantuan anggaran dari Pemko Pekanbaru. Pada Laporan Realisasi Anggaran Pemko
Pekanbaru, HMI Kota Pekanbaru turut menerima hibah sebesar Rp. 20.000.000 (2012) dan Rp. 15.000.000
(2013). Pemberian bantuan ini tidak terlepas dari kesamaan emosional bagi banyak pejabat politik lokal yang
dulunya pernah terlibat sebagai aktivis diberbagai organisasi mahasiswa. Kesamaan emosional ini terus dipupuk

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 165


oleh alumni organisasi sebagai bentuk intervensi tidak langsung kepada organisasi mahasiswa mengingat
hampir seluruh organisasi mahasiswa tidak memiliki pendanaan yang mandiri. Hal inilah yang menyebabkan
independensi organisasi mahasiswa dihari ini cenderung terdegradasi.

Di beberapa universitas lainnya yang ada di Kota Pekanbaru, organisasi mahasiswa justru pernah
dilarang untuk didirikan. Salah satu contohnya adalah Universitas Abdurab yang berdiri sejak 1983 baru
memiliki organisasi eksekutif mahasiswa (BEM) ditahun 2013. Hal tersebut disinyalir dilakukan pemilik
universitas untuk meminimalisir ancaman dari gerakan-gerakan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa dipisahkan
dari realitas sosial politik yang berkembang disekitar sehingga mereka tidak peka dan tidak mampu berbuat
sebagai agent of control, yakni peran sebagai pihak yang seharusnya mengontrol penguasa termasuk pemda.
Akibatnya mereka terjebak melakukan gerakan seremonial semata.

Organisasi mahasiswa juga diatur sedemikian rupa oleh pihak kampus untuk tidak kritis termasuk
dengan mengintervensi pemilihan presiden mahasiswa. Rektor kampus cenderung mendukung calon-calon
mahasiswa tertentu yang dianggap dapat dikendalikan. Salah seorang informan menjelaskan sebagaimana
berikut:

<Apa yang dilakukan kampus untuk mengintervensi pemilihan?> ―Di DO (drop out). Satu hari
jelang pemilihan, saya dan tim saya dipanggil ke rektor diintervensi untuk diberhentikan dari kampus
karena kebetulan terjadi kekisruhan dimana proses pemungutan suara itu tidak selesai
penghitungannya. Sehingga turun langsung Wakil Rektor 3 (bidang kemahasiswaan), memimpin
rapat untuk diadakan pemilihan ulang‖ (Wawancara HMI Kota Pekanbaru, 18 Maret 2015).

Tidak pelak intervensi yang berlebihan kepada mahasiswa membuat gerakan anti korupsi yang
disuarakan mahasiswa tidak akan sampai ketengah masyarakat. Harapan kepada mahasiswa untuk memainkan
peran dalam pengawasan di Pemko Pekanbaru menjadi semakin sulit mengingat persepsi publik terhadap
fenomena organisasi mahasiswa yang melakukan demontsrasi bayaran. Akibatnya isu yang disuarakan
organisasi mahasiswa tidak mendapatkan dukungan masyarakat dalam aksinya, sebaliknya menimbulkan
apatisme. Ada semacam kejenuhan dimata masyarakat kepada aksi yang dilakukan mahasiswa karena tidak
jarang beberapa diantaranya berakhir anarkis.

KESIMPULAN

Memahami rendahnya trust dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kota Pekanbaru tidak terlepas
dari massifnya korupsi dipemerintahan yang dianggap sebagai salah satu pemerintahan daerah yang terkorup di
Indonesia. Korupnya pemerintahan tidak terlepas dari hegemoni kekuasaan dimana jabatan politik seperti
Walikota memiliki otoritas yang kuat baik formal dan informal. Walikota adalah patron bagi birokrasi dan
struktur sosial masyarakat. Dominasi yang berlebihan inilah yang menyebabkan korupsi begitu mudah terjadi.

Kgagalan publik untuk membangun trust kepada Pemko Pekanbaru untuk berlaku transparan dan
akuntabel sejalan dengan permasalahan kultur permisif masyarakat terhadap korupsi. Kultur melayu yang
menghindari konflik antar individu membuat lemahnya kontrol publik kepada pemerintah. Menyampaikan kritik
adalah tindakan yang tabu dan sebaliknya akan mendatangkan perlawanan sosial.

166 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Permasalahan yang begitu pelik dalam membangun trust kepada pemerintah juga tidak terlepas dari
minimnya keterlibatan organisasi publik. Beberapa organisasi publik seperti media massa, LSM, organisasi
keagamaan, masyarakat adat, organisasi mahasiswa, dan universitas tidak intens membangun kesadaran kritis
ditengah masyarakat. Minimnya dukungan keuangan bagi organisasi publik membuat banyak diantara mereka
yang menggantungkan kepada bantuan Pemko Pekanbaru. Setiap bantuan yang diberikan pemerintah membuat
independensi organisasi publik menjadi lemah. Jikapun ada gerakan sosial oleh organisasi publik yang
mengagendakan kritik kepada pemerintah justru menjadi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi
sesaat.

Berangkat dari permasalahan pelik yang ada, selayaknya kita memahami rendahnya trust kepada
pemerintah yang dicap korup dan lain-lain disebabkan kegagalan pemerintah untuk akuntabel dan rendahnya
kepedulian masyarakat sendiri. Menggantungkan perjuangan masyarakat luas kepada berbagai organisasi publik
untuk membangun trust terhadap pemerintah tidak menjadi jaminan yang akan membawa perubahan yang lebih
baik. Masyarakat selayaknya memahami, membangun trust tidak terlepas dari persepsi individual dan
lingkungan. Oleh karenanya, setiap orang selayaknya membangun kondisi kondusif untuk membangun trust
dengan tidak terjebak melakukan korupsi baik secara pribadi dan bersama-sama. Dengan terbangunnya kondisi
yang kondusif maka tuntutan hadirnya trust terhadap pemerintah akan menjadi agenda yang realistis untuk
direalisasikan. Hal inilah yang harus dipelihara terus menerus sehingga masyarakat Kota Pekanbaru akan selalu
optimis untuk turut serta membangun trust terhadap pemerintah.

REFERENSI

Dirks, Kurt T. and Ferrin, Donald L. 2001. The Role of Trust in Organizational Settings. Organization Sciences,
12,4: 450-467.

Ouchi, William G. 1980. Market, Bureaucracies, and Clans. Administrative Science Quarterly, 25,1: 129-141.

Mayer, R.C., Davis, J.H. and Schoorman, F.D. 1995. An Integrative Model of Organizational Trust. The
Academy of Management Review, 20,3: 709-734.

http://monitorkorupsi.feb.ugm.ac.id/index.php/2014-12-23-06-28-43/data-kabkota

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=64016

Cresswel, John W. 2007. Qualitative inquiry and research design. Thousand Oaks, Sage Publications Inc.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 167


Zaheer, A., and Harris, J. 2006. Interorganizational trust. In O. Shenkar, & J. Reuer, Handbook of Strategic
Alliances., Sage Publications.

McAllister, D. 2003. Affect- and cognitive-based trust as foundation for interpersonal cooperation in
organisations. In L. Thompson, The social Psychology of organisational behaviour. Great Britain: Psychology
Press.

Vu, Thanh Tuy., and Deffains, Bruno. 2013. Formal and Informal Mechanism of Accountability in Local
Governance: Towards a New Authoritarian Governance Model. Business System Review, 2,2: 330-367.
doi:10.7350/BSR.V17.2013-URL:http://dx.medra.org/10.7350/BSR.V17.2013

Frieses, S. 2012. Qualitative data analysis with Atlas.ti. London, Sage Publications.

Moleong, Lexy J. 2000. Metode penelitian kualitatif. Bandung, Remaja Rosdakarya.

Kesbangpolinmas Kota Pekanbaru. 2015. Data LSM/ Ormas/ Forum/ Yayasan/ Organisasi Kota Pekanbaru.,
Pekanbaru.

Zenzie, Chales U. 1999. Indonesia‘s new political spectrum. Asian Survey, 39,2: 243-264.

Badan Pusat Statistik. 2009 Pekanbaru dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Pekanbaru, Indonesia.

Suryadi. 2005. Identity, media, and the margins: radio in Pekanbaru, Riau (Indonesia). Journal of Southeast
Asian Studies, 36,1, 131-151. doi: 10.1017/S0022463405000068,

168 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Studi Kebijakan Publik
Pada Penyelenggaraan Pumilihan Umum di Kota Kotamobagu

Provinsi Sulawesi Utara)

Fitri Herawati Mamonto

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis; dan menginterpretasikan


Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan
umum daerah di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara.

Penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan menganalisis profesionalitas


penyelenggara pemilukada yang dilakukan sejak proses rekruitmen, pelaksanaan tugas, hingga pertanggung
jawaban. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik analisis
data meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan sementara dan verifikasi, pengumpulan data
serta penarikan kesimpulan akhir, merupakan suatu proses siklus atau proses interaktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola rekruitmen untuk memilih anggota komisioner KPUD
maupun anggota legislatif belum professional. Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh
KPUD Kota Kotamubagu belum menghasilkan anggota legislatif yang kredibel karena tidak didukung oleh pola
rekruitmen pada partai politik untuk menghasilkan kualitas anggota legislatif

Prinsip profesionalitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum dan pemilukada yang dilaksanakan
oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Kotamobagu belum berjalan sebagaimana mestinya..
Profesionalitas KPUD Kota Kotamubagu belum optimal, diakibatkan karena kurang didukung penerapan
mekanisme yang sesuai peraturan. Disamping itu pola rekruitmen yang belum professional dan independensi
kelembagaan KPUD Kota Kotamubagu belum sesuai dengan harapan publik.

Kata kunci: Implementasi kebijakan, profesionalitas.

Pendahuluan

Institusi penyelenggara pemilu merupakan pihak yang bertanggungjawab atas terlaksananya pemilu
secara adil dan lancar. Secara umum tanggungjawab penyelenggara pemilu adalah implementasi proses

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 169


pemilihan (electoral process) yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Proses pemilihan itu
meliputi tahap sebelum pemungutan suara, tahap pemungutan suara dan tahap setelah berlangsungnya
pemunguatan suara.

Berkaitan dengan lembaga penyelenggara pemilu, standard internasional pemilu demokratis


menegaskan perlu adanya jaminan hukum, bahwa lembaga tersebut bisa bekerja independen. Independensi
lembaga penyelenggara pemilu merupakan persoalan penting, karena mesin-mesin penyelenggara pemilihan
umum membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil pemilihan umum.

Salah satu kajian tentang kebijakan publik adalah terkait dengan implementasi kebijakan yang
mengarah pada proses pelaksanaan kebijakan. Dalam praktik implementasi kebijakan merupakan proses yang
sangat kompleks, sering bernuansa politis dan memuat adanya intervensi kepentingan. Kebijakan publik adalah
segala sesuatu yang menjadi pilihan untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan pemerintahannya sehubungan dengan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaanya.

Nawawi (2009:131), implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya
dalam bentuk Undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan
eksekutif yang penting. Dengan pemahaman lain bahwa implementasi kebijakanmerupakan tindakan yang
dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. [1]

Kebijakan publik sering dipahami sebagai instrument yang dipakai pemerintah untuk memecahkan
masalah publik secara teknokratis. Dalam arti pemerintah menggunakan pendekatan rational choice untuk
memilih alternatif terbaik guna memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Kebijakan publik oleh Dye
(1982:12) adalah whatever governments choose to do or not to do, bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang
eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan.[2] Interpretasi kebijakan harus dimaknai dengan dua hal
penting : pertama, bahwa kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut
mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah (Indiahono, 2009:17). [3]

Implementasi kebijakan dipahami juga sebagai suatu proses, ouput, dan outcome. Implementasi dapat
dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi beberapa rangkaian aktivitas yang berkelanjutan.
Sebagai contohnya, pada tahap awal setelah statute kebijakan ditetapkan, para legislator melakukan hearing
dengan lembaga-lembaga terkait dengan kebijakan yang dibuat. Setelah itu aparat birokrasi menetapkan
serangkaian keputusan administratif dan menetapkan rutinitas administrasi untuk melaksanakan aturan yang
telah dibuat. Berikutnya dipersiapkan resources seperti uang dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan negara
untuk menjalankan kebijakan. Setelah aktivitas ini dilakukan, para legislator menjalankan pengawasan dan
mempersiapkan langkah untuk mendesain kembali kebijakan sebagi respon terhadap kelemahan-kelemahan
yang ditemukan pada saat implementasi (Kusumanegara,2010:98-99). [4]

Kebijakan yang telah direkomendasikan pada oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan
tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh para implementor
mempertimbangkan dampak dari beberapa fase proses kebijakan, yaitu : (a) Permasalahan dan tuntutan secara
tetap didefenisikan kembali dalam proses kebijakan, (b) Para pembuat kebijakan sering mendefenisikan masalah
untuk mereka yang belum mendefenisikan sendiri, (c) Program-program yang membutuhkan partisipasi

170 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


masyarakat dan antar pemerintahan bila mengandung berbagai penafsiran tentang maksud program itu sendiri.
Penafsiran yang tidak konsisten tentang tujuan program sering kali tidak terpecahkan, (d) Program mungkin
dapat dilaksanakan tanpa perlu mempelajari kegagalan, (e) Program sering mencerminkan kesepakatan yang
dapat mudah dicapai ketimbang kepastian yang sesungguhnya, (f) Banyak program dikembangkan dan
dilaksanakan tanpa mendefenisikan masalahnya secara jelas (Lane, 1993::133). [5]

Dalam rangka untuk mewujudkan penyelenggaran pemerintahan yang baik dan bersih, harus pula di
dukung salah satu unsur mendasar yakni profesional pegawai dalam menjalankan tugas. Osborne dan Gaebler,
(1992:32) menyatakan bahwa profesionalitas ditujukan kepada kemampuan aparatur dalam memberikan
pelayanan yang baik, bersih, adil, dan tepat sasaran dan tidak hanya sekedar kecocokan keahlian dengan tempat
penugasan. [6]

Profesionalitas merupakan suatu pekerjaan atau jabatan yang membutuhkan pelatihan yang mendalam
baik di bidang seni atau ilmu pengetahuan dan biasanya lebih mengutamakan kemampuan mental daripada
kemampuan fisik, seperti mengajar, ilmu mesin, penulisan, dll). Dari kata profesional tersebut melahirkan arti
profesional quality, status, yang secara komprehensif memilki arti lapangan kerja tertentu yang diduduki oleh
orang orang yang memilki kemampuan tertentu pula (Baxter, Joe. 1997:12). [7]

Ton Bührs (2012) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan profesionalitas adalah kemampuan untuk
menjalankan tugas dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan prosedur yang
sederhana. Kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas dan fungsinya itu harus di ikuti dengan
perkembangan lingkungan dimana dia bekerja. [8]

Siagian (2000:163) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalitas adalah ―Keandalan
dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan
prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan‖. Kemampuan seorang aparatur tidak saja jadi secara
instan, tetapi perlu di bentuk melalui pendidikan dan pelatihan. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki oleh aparatur maka memungkinkan akan kecocokan kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas yang
diembannya. [9]

Zomar, Jern Claude Garcia & Rew Khator. (1994:321).yang dimaksud dengan profesionalitas adalah:
‖kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang cepat berubah dan menjalankan tugas dan fungsinya
dengan mengacu kepada visi dan nilai-nilai organisasi (control by vision dan values)‖. Dalam hal mengenai
kemampuan seseorang dalam beradaptasi adalah bagaimana seseorang mampu memahami perkembangan dan
menjadi kebutuhan yang terjadi secara cepat. [10]

Oleh karena itu profesionalitas diukur dari segi kecepatannya dalam menjalankan fungsi dan mengacu
kepada prosedur yang telah disederhanakan.

Untuk mewujudkan aparatur yang profesional diperlukan political will dari pemerintah untuk melakukan
perubahan besar dalam organisasi birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap
aspirasi dan kebutuhan publik seperti halnya pada komisi pemilihan umum daerah. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya maka dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimanakah Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota Kotamobagu
Provinsi Sulawesi Utara?

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 171


Researh Methods

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menganalisis profesionalitas Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota
Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara. Fokus penelitian ini yakni Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraa Pemilihan Umum daerah di Kota Kotamobagu
Provinsi Sulawesi Utara dilihat dari indikator: pola dan sistem rekruitmen, prinsip profesionalitas dan
independensi kelembagaan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Informan terdiri dari Ketua
Komisi Pemilihan Umum Daerah, Sekretaris KPUD, Wartawan, Ketua Partai, Kepala Biro Pemerintahan dan
Tokoh masyarakat. Teknik analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan sementara
dan verifikasi, pengumpulan data serta penarikan kesimpulan akhir, merupakan suatu proses siklus atau proses
interaktif

Result And Discussion

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa implementasi Kebijakan Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota Kotamobagu.
Bahwa Profesionalitas dengan indikator: pola dan sistem rekruitmen, prinsip profesionalitas dan independensi
kelembagaan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa adanya masyarakat yang meragukan soal independensi
tim seleksi karena informan memiliki pemahaman berbeda-beda tentang independensi tim seleksi dan adanya
kecenderungan diskriminasi dan intervensi yang terjadi pada tahapan seleksi angggota KPU.

Tim seleksi yang tidak independen menghasilkan komisioner yang tidak independen dikarenakan
adanya tim seleksi yang berpihak pada satu calon anggota komisioner, sehingga tim seleksi belum
mengedepankan kualitas dan kapasitas serta kapabilitas yang ada. Demikian pula ditemukan bahwa
independensi kelembagaan belum memiliki kesesuaian dengan peraturan yang berlaku.

Independensi dari tim seleksi ini tidak independen karena ternyata hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tim seleksi yang ada merupakan titipan dari partai penguasa, bupati serta tokoh-tokoh masyarakat dan
agama.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pola rekruitmen sangat menentukan dalam rangka
menciptakan profesionalitas dan independensinya KPUD KK dalam memilih anggota komisioner KPUD
maupun anggota legislatif. Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPUD yang profesional
akan menghasilkan anggota legislatif yang kredibel, namun hal itu pula perlu ditunjang dengan pola rekruitmen
pada partai politik yang menentukan kualitas dari anggota legislatif yang ada.

Hasi penelitian ini ditemukan pula bahwa ternyata anggota- legislatif kurang profesional dalam
mengemban tugas dan fungsinya. Faktor kualitas dan kompetensi melahirkan profesionalitas dalam menjalankan
tugasnya. Namun demikian masih terdapatnya kualitas anggota legislatif belum berkualitas, hal ini disebabkan
partai politik lebih mengedepankan kepentingan partainya, dengan cara memperoleh suara sebanyak-banyaknya
tanpa seleksi yang ketat pula.

172 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pola rekruitmen tim seleksi seperti yang diungkapkan informan bahwa tim seleksi dalam rekruitmen
yang baik akan menghasilkan komisioner yang baik pula. Hal ini berarti kalau tim seleksi itu independen maka
akan menghasilkan komisioner yang independen pula.

Prinsip profesionalitas pada penyelenggaraan pemilihan umum oleh KPUD Kota Kotamobagu
menunjukkan bahwa profesionalitas KPUD KK belum optimal, Hal ini diakibatkan pola rekruitmen yang
dilaksanakan belum sesuai harapan publik. Buki empirik ditemukan adanya dua gugatan yang dialamatkan
kepada KPUD Kota Kotamobagu yakni gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang formulir C-6 dan
money politic dan yang kedua gugatan ke DKPP tentang penetapan Daftar Calon Tetap calon anggota legislatif
yang inkonstitusional.

Berdasarkan konsep Pemilukada bahwa Pemilukada tiga fungsi penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pertama, memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah
sehingga ia diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui
pemilukada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada misi, visi, program serta kualitas dan
integritas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Ketiga, pemilukada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara
politik terhadap kepala daerah dan kekuatan politik yang menopangnya.

Pemilukada harus dilaksanakan secara demokratis sehingga betul-betul dapat memenuhi peran dan
fungsi tersebut. Pelanggaran dan kelemahan yang dapat rnenyesatkan atau merribiaskan esensi demokrasi dalarn
pemilukada harus diperbaiki dan dicegah.

Melihat permasalahan sengketa Pemilukada Sejak menerima pengalihan wewenang memutus


perselisihan hasil pemilukada dan MA pada Oktober 2008 hingga awal 2013, tercatat melalui fenomena yang
ada, sebanyak 392 perkara diregistrasi di MK. Dan angka tersebut, MK memutuskan sebanyak 45 perkana
dikabulkan, 256 ditolak, 78 tidak dapat diterima, 6 perkara ditarik kembali, sedangkan 7 perkara sedang dalam
proses persidangan.

Putusan-putusan tersebut diambil berdasarkan persidangan yang bersifat terbuka untuk umum.
Persidangan itu juga tidak hanya membuktikan penghitungan basil mana yang benar saja, tetapi selalu ada dali
dan pembuktian pelanggaran-pelanggaran yang tenjadi dalam penyelenggaraan pemilukada. Sekalipun dalam
derajat yang berbeda-beda, semua persidangan perkara perselisihan hasil pemilukada tersebut menunjukkan
adanya pelanggaran dan kelemahan dalam penyelenggaraan pemilukada. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
dalam proses penyelenggaraan pemilukada tentu memengaruhi kualitas demokrasi, dan pada akhirnya
berpengaruh terhadap kualitas calon terpiiih dan penyelenggaraan pemenintahan daerah.

Bentuk Pelanggaran dilihat fenomena yang berkembang pada setiap tahapan penyelenggaraan
pemilukada tersebut, Data menunjukkan bahwa terdapat tujuh bentuk pelanggaran dan kecurangan yang pada
umumnya terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilukada.

Pertama, pada tahap pendaftaran pemilih acapkali data pernilih tetap tidak valid. Ada sebagian warga
yang memiliki hak pilih tidak terdaftar, ada nama yang terdaftar sebagal pemilih tetapi tidak ada orangnya, ada
juga pemiiih yang terdaftar lebih dan satu. Kasus itu dapat terjadi, baik karena kelemahan sistem administrasi
kependudukan dan sistem pendaftaran pemilih, maupun karena unsur kesengajaan. Jika terjadi karena unsur

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 173


kesengajaan, pelanggaran itu dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengurangi potensi perolehan suara calon
tertentu yang pada umumnya menguasai wilayah tertentu. Pelanggaran jenis ini, di samping dapat memengaruhi
hasil, juga jelas merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk memilih.

Kedua, pada tahap awal juga terjadi pelanggaran dalam tahap verifikasi pasangan bakal calon yang
menentukan pasangan mana yang lolos menjadi pasangan calon peserta pemilukada. Termasuk dalam
pelanggaran jenis ini adalah memanipulasi data persyaratan bakal cabon, balk berupa syarat administratif
maupun syarat dukungan, termasuk meloloskanpasangan bakal calon tertentu yang sesungguhnya tidak
memenuhi syarat, atau sebaliknya tidak meloloskan pasangan bakal calon tertentu yang sesungguhnya telah
memenuhi semua persyaratan.

Ketiga, adalah bentuk pelanggaran paling banyak didalilkan dan menjadi materi pemeriksaan
persidangan di MK yaitu politik uang. Pelanggaran ini dapat terjadi di semua tahap, bahkan sebelum dimulai
tahap pendaftaran pasangan bakal calon. Politik uang terjadi setidaknya dengan memanfaatkan program-
program yang dihiayai oleh anggaran negara (APBD) untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa
keberhasilan program itu adalah atas jasa orang tertentu yang akan mencalonkan din sebagai kepala daerah.
Program hibah atau bantuan direkayasa sedemikian rupa agar masyarakat melihat bahwa hibah atau bantuan
tersebut adalah kemurahan hati dan bakal calon tertentu. Di samping itu, pasangan cabon membenikan bantuan
kepada organisasi atau kelompok masyarakat, termasuk memberikan sejumlah uang atau barang dengan
permintaan untuk memilih pasangan calon tertentu.

Keempat pelanggaran berupa pengerahan atau mobilisasi organisasi pemerintahan untuk memenangkan
pasangan calon tertentu. Mobilisasi dalam hal mi dapat terjadi terhadap pegawai pemerintahan, baik mulai dan
tingkat atas bingga tingkat bawah di kelurahan atau desa, maupun mobilisasi sarana dan prasarana untuk
kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu. Tentu saja pelanggaran bentuk mi hanya dapat dilakukan
oleb pasangan calon yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap organisasi pemerintahan di daerah.

Kelima, pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi untuk memaksa warga masyarakat memilih
pasangan calon tertentu. Intirnidasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan dilakukan oleh berbagai pihak.
Intimidasi dapat dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah dalam bentuk ancaman tidak akan mendapatkan
layanan pemerintahan. Intimidasi juga dapat dilakukan oleh kelompok tertentu berupa ancaman kekerasan.

Keenam, pelanggaran berupa pemberian hak suara oleh orang yang tidak berhak, balk di tempat
pemungutan suara maupun di luar tempat pemungutan suara. Hal ini sesungguhnya sudah sulit dilakukan
dengan ketatnya pengawasan baik dan pengawas, antar pasangan calon, maupun oleh masyarakat. Namun
demikian untuk daerah-daerah tertentu masih terjadi meskipun dengan mudah dapat diketahui.

Ketujuh, pelanggaran berupa manipulasi penghitungan hasil perolehan suara. Penghitungan suara
secara bertingkat memungkinkan terjadinya manipulasi dengan mengurangi atau menambah perolehan suara
calon tertentu. Model pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai model klasik yang saat ini sudah jarang terjadi
karena tuntutan ketenbukaan dan saling kontrol antar pasangan calon.

Solusi alternatif pada penelitian ini setelah di intepretatif bahwa harus ada Perbaikan Sistem dalam
penyelenggaraan Pemilu/Pemilukada. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut pasti mempengaruhi kualitas
demokrasi di daerah pada penyelenggaraan Pemilu. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih sesungguhnya bukan

174 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


merupakan kehendak rakyat. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan berintegnitas, yang
diperoleh justru kepala daerah yang hanya haus kekuasaan dan akan menyalahgunakan kekuasaan. Hal mi pasti
berdampak pada penyelenggaraan pemenintahan daerah. Onientasi pemenintahan daerah dalam melaksanakan
otonomi daerah bukan untuk rakyat di daerah tetapi untuk kekuasaan belaka.

Kendati demikian, fakta tersebut tentu tidak perlu menjadi alasan untuk bersurut langkah,
meninggalkan demokrasi dan otonomi kembali kepada otokrasi dan sentralisasi. Tindakan yang perlu diambil
adalah melakukan perbaikan di masa mendatang, baik dan sisi electoral sistem maupun electoral process. Selain
itu juga diperlukan penataan kelembagaan penyelenggara serta peningkatan kesadaran penyelenggara
Pemilukada, peserta pemilukada dan warga negara agar tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme
kekuasaan yang merugikan bangsa.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari permasalahan tersebut prinsip profesionalitas
pada penyelenggaraan pemilihan umum oleh KPUD Kota Kotamobagu dapat disimpulkan bahwa profesionalitas
KPUD KK belum maksimal, begitupun dengan indepnedensinya diakibatkan kurang mendukungnya sistem
yang ada dan pola rekruitmen yang perlu dibenahi, termasuk pada rekruitmen tim seleksi untuk menyeleksi
anggota KPUD, hal ini berdasarkan pada temuan dua gugatan yang dialamatkan kepada KPUD Kota
Kotamobagu yakni pertama gugatan MK tentang formulir C-6 dan money politic dan yang ke dua gugatan ke
DKPP tentang penetapan DCT calon anggota legislatif yang inkonstitusional. hasil penelitian menemukan
bahwa independensi kelembagaan belum memiliki kesesuaian dengan peraturan yang berlaku sehingga dari
beberapa data perlu dilakukan pemecahan terhadap masalah yang ada pada KPU Kota Kotamobagu untuk
menciptakan profesionalitas.

Untuk memperjelas uraian dalam penelitian ini, maka dapat digambarkan kerangka konsep untuk
memberikan solusi dalam membangun profesionalisme komisi pemilihan umum,

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 175


ADMINISTRASI PUBLIK

KEBIJAKAN PUBLIK

IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN

KOMISI PEMILIHAN
UMUM DAERAH

PROFESIONALITAS

PRINSIP
POLA DAN
PROFESIONALITAS
SISTEM
DAN INDEPENDENSI
REKRUITMEN
KELEMBAGAAN

ASAS JUJUR, ADIL DAN


DEMOKRATIS

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Pada penelitian ini terbukti bahwa pola rekruitmen sangat menentukan dalam rangka menciptakan
profesionalitas dan independensinya KPUD KK. Baik pola rekruitmen untuk memilih anggota komisioner
KPUD maupun anggota legislatif. Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPUD yang
profesional otomatis akan menghasilkan anggota legislatif yang kredibel, namun hal itu pula perlu ditunjang
dengan pola rekruitmen pada partai politik yang menentukan kualitas anggota legislatif.

Hasil penelitian menemukan bahwa anggota legislatif, kurang profesional dan karena kompetensinya
masih rendah. sehingga tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Adanya partai politik hanya melihat
kepentingannya semata tanpa memperhatikan aspek pendidikan dan kompetensi anggota partai politik. Pola
rekruitmen tidak dibarengi dengan pendidikan dan kompetensi yang memadai. tim seleksi seperti ungkapan
informan bahwa awal yang baik akan menghasilkan akhir yang baik dan tim seleksi dalam rekruitmen yang

176 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


baik dia akan menghasilkan komisioner yang baik berarti kalau tim seleksi independen akan menghasilkan
komisioner yang independen atau tim seleksi yang profesional akan menghasilkan komisioner yang
professional. Prinsip profesionalitas pada penyelenggaraan pemilihan umum oleh KPUD Kota Kotamobagu
dapat disimpulkan bahwa profesionalitas KPUD KK belum maksimal, diakibatkan kurang mendukungnya
sistem yang ada dan pola rekruitmen yang perlu dibenahi, hal ini berdasarkan pada temuan dua gugatan yang
dialamatkan kepada KPUD Kota Kotamobagu yakni pertama gugatan MK tentang formulir C-6 dan money
politic dan yang ke dua gugatan ke DKPP tentang penetapan DCT calon anggota legislatif yang
inkonstitusional.

Conclusion

Profesionalitas KPUD Kota Kotamobagu pada penyelenggaraan pemilihan umum daerah di Kota
Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa :

1. Pola rekruitmen untuk memilih anggota komisioner KPUD maupun anggota legislatif belum professional.
Penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh KPUD Kota Kotamubagu belum menghasilkan
anggota legislatif yang kredibel karena tidak idukung oleh pola rekruitmen pada partai politik untuk
menghasilkan kualitas anggota legislatif
2. Prinsip profesionalitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum dan pemilukada yang dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Kotamobagu belum berjalan sebagaimana mestinya.. Pelaksanaan
pemilukada terdapat konflik yang diuji lewat polemik Pilwako atau Pemilihan Walikota Kota Kotamobagu
dan Penetapan DCT (daftar Calon Tetap) anggota Legislatif. Profesionalitas KPUD KK belum maksimal,
diakibatkan karena kurang didukung penerapan mekanisme sesuai peraturan yang ditetapkan. Disamping itu
pola rekruitmen yang belum professional.
3. Independensi kelembagaan KPUD Kota Kotamubagu belum sesuai dengan harapan publik. Adanya
diskriminasi dan intervensi menunjukkan bahwa Independensi kelembagaan belum mampu menghasilkan
komisioner yang kredibel dan tidak memihak.

Reference

Nawawi, H.Ismail.2009. Public Policy; Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek, Putra

Media Nusantara: Surabaya.

Dye, Thomas R., 1982.Understanding Public Policy, Sevent edition.Englewood Cliffs,

Prentice Hall, Inc.

Indiahono, 2009. Monitoring dan Evaluasi. Alfabeta:Bandung.

Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam proses Kebijakan Publik.Gava

Media, Yogyakarta

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 177


Lane, 1993. Pendekatan Implementasi Kebijakan. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung

Osborne & Gaebler,1992. Reinventing Government Prentice Hall. New York.

Baxter, Joe. 1997. Techniques For Effective Election Management In Elections; Perspectives

on Estabilishing Democratic Practices, Geneva and New York: united Nations

Departement for Development Support and Management Services.

Ton Bührs (2012): Democracy's Myopia: The Search for Correction Aids, Australian Journal

of Political Science, 47:3, 413-425 To link to this article:

http://dx.doi.org/10.1080/10361146.2012.704349

Siagian, 2003. Filsafat Administrasi Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta

Zomar, Jern Claude Garcia & Rew Khator. 1994. Public Administration in the Global

Village. An Imprint – Greenwood Publishing Group, Inc., USA, h. 55.

178 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Lahir Procot Pulang Bawa Akta: Inovasi Layanan Publik sebagai
Pemenuhan Hak Anak di Kabupaten Banyuwangi

Lina Miftahul Jannah

Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

miftahul@ui.ac.id

Telepon +6285370833170

Abstrak: Akta kelahiran adalah sebuah dokumen yang penting bagi seorang anak karena termasuk hak dasar
anak. Selama ini, proses pengurusan Akta Kelahiran dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di
Kabupaten/Kota dan dianggap sulit dan mahal. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah mewujudkan inovasi
layanan publik dalam pemenuhan hak dasar anak melalui Program Lahir Procot Pulang Bawa Akta. Melalui
inovasi ini, layanan pengurusan akta kelahiran menjadi cepat, mudah, dan efisien karena melibatkan seluruh
Puskesmas, rumah sakit pemerintah, dan rumah sakit swasta yang telah bekerjasama dengan Pemerintah
Kabupaten. Metode kajian ini menggunakan studi dokumen, wawancara mendalam, dan pengamatan.

Kata kunci: inovasi, akta kelahiran, layanan publik, hak anak

Pendahuluan

“Baru 50% dari 83 juta anak Indonesia memiliki Akta Kelahiran” (kompas.com, 6 Juli 2015). UNICEF (United
Nations Children's Fund) menyatakan bahwa “Indonesia termasuk salah satu dari 20 negara yang cakupan
pencatatan kelahirannya paling rendah, dan keadaan di daerah pedesaan lebih buruk daripada di perkotaan.
Kesenjangan ini termasuk yang tertinggi di dunia.” (unicef.org, 18 Desember 2008)

Pernyataan ini membuat banyak pertanyaan muncul. Apa penyebabnya? Keluhan akan lamanya waktu
pengurusan seperti yang terjadi di Kota Depok (republika.co.id, 26 Juni 2015) hingga keluhan biaya
(lampung.tribunnews, 17 Oktober 2012) acapkali membuat orangtua menomorduakan pengurusannya. UNICEF
mencatat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi untuk pencatatan,
prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan pencatatan yang biasanya berada di tingkat
kabupaten/kota. (unicef.org, 18 Desember 2008)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 179


Padahal, pencatatan kelahiran, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk akta kelahiran, menurut
UNICEF merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Fungsinya yang utama adalah untuk melindungi hak
anak menyangkut identitasnya.

Sejak otonomi daerah digulirkan pada tahun 1999, setiap daerah memiliki tanggapan dan reaksi yang
berbeda. Ada yang berjalan perlahan dan hanya menjalankan kebijakan yang sudah berjalan saja, namun ada
pula yang mencoba berkreasi dengan melakukan inovasi di seputar pelayanan publik. Pemerintah daerah
berusaha memberikan respon atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya.

Pemerintah Daerah cenderung fokus untuk melakukan banyak inovasi pada bidang yang mendatangkan
investasi atau penanaman modal dengan cara menyederhanakan proses perizinan atau membuat pelayanan
terpadu satu pintu. Dengan tujuan agar investor tertarik karena proses perizinan nya lebih mudah, murah, dan
cepat. Pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan –termasuk pencatatan kelahiran- seringkali dianggap
tidak menguntungkan karena tidak dipungut biaya.

Hanya sedikit kabupaten/kota yang memberikan perhatian lebih pada inovasi pelayanan dokumen
kependudukan. Sejak tahun 2008, 129 Desa dan 9 Kelurahan di Kabupaten Kudus telah mampu memberikan
pelayanan cepat. Prosesnya hanya 4–5 menit, mudah, dan gratis. Pada tahun 2010, penduduk yang memiliki
KTP mencapai 99 persen (menpan.go.id, 7 April 2014) Dari Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Indonesia pada
2014 misalnya, hanya satu daerah yaitu Kota Surakarta yang melakukan inovasi terkait dokumen kependudukan.
Kota ini mengusung Kartu Insentif Anak dan Sistem Relasi Pencatatan Kelahiran sebagai Langkah Cerdas
Meningkatkan Manfaat Kepemilikan Akta Kelahiran.

Pada 2015, Kabupaten Banyuwangi memperoleh Penghargaan Inovasi Pelayanan Publik 2015 untuk
Program Lahir Procot Pulang Bawa Akta (LPPBA). Program ini mampu membawa perubahan yang signifikan
terhadap kepemilikan akta kelahiran.

Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
dalam melaksanakan inovasi layanan akta kelahiran anak yang terintegrasi dengan layanan kependudukan
lainnya, kendala yang dihadapinya, dan peluang program ini kedepannya.

Akta Kelahiran dan Inovasi Pelayanan Publik

2.1. Dasar Hukum

Penandatanganan Magna Charta pada tahun 1215 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tanggal 10 Desember 1948 tentang pernyataan umum hak-hak asasi manusia menggambarkan bahwa hak
asasi manusia bukan hanya ada di atas kertas.

Penggunaan istilah hak asasi, human rights (dalam bahasa Inggris), atau Droit L'Homme (dalam bahasa
Prancis) jelas memberi keyakinan bahwa ini adalah tidak dapat ditawar dan bersifat mendasar. Levin (1987: 3)
menyebutkan bahwa konsep hak asasi manusia memiliki dua pengertian dasar, yaitu :

 Hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dan dicabut dari setiap manusia dan hak-hak itu bertujuan untuk
menjamin martabat setiap manusia (Natural Rights), dan

 Hak asasi manusia adalah hak-hak menurut hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum dari

180 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun secara internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah
persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga negara, yang tunduk kepada hak-hak itu
dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama.

Anak adalah unsur yang cukup rentan dalam perlindungan atas haknya dibandingkan dengan orang
dewasa karena selain fisiknya lebih lemah, juga belum memiliki kecakapan hukum

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Pasal 6 ayat (1) Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa ―… tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupannya‖ dan
dalam Pasal 7 ayat (1) dinyatakan dengan tegas bahwa ‖anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan
harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan…‖ artinya identitas
diri seseorang dimulai ketika dilahirkan dan dengan adanya akta kelahiran maka hak-hak kewarganegaraannya
dilindungi.

Di Indonesia, hak anak dalam kaitannya dengan akta kelahiran diatur dalam beberapa kebijakan. Pasal
28B ayat (2) menyatakan bahwa ―Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.‖ Kewajiban untuk mencatatkan kelahiran telah
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pengaturan tentang identitas anak diatur juga dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak (UU PA).

Pasal 27 ayat (1) UU Adminduk menyebutkan bahwa setiap kehadiran wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Pasal 27 UU PA
menyebutkan bahwa (1) Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya, dan (2) Identitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

Walaupun membicarakan masalah hukum yang sama, namun kedua Undang-Undang ini dianggap
bertentangan. UU Adminduk memberlakukan stelsel aktif bagi penduduk sedangkan UU PA memberlakukan
stelsel pasif bagi penduduk.

Peraturan lainnya yang tidak menyatakan secara khusus tentang hak anak, namun terkait dengan akta
kelahiran adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanyang menyatakan dalam Pasal 55
ayat (1) bahwa ―Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.‖

2.2. Mengapa Akta kelahiran

Beberapa tahun yang lalu publik Amerika Serikat (AS) dihebohkan dengan pernyataan kontroversi dari
lawan politik Barack Obama yang meragukan keamerikaannya karena kemungkinan Obama lahir di kampung
halaman ayahnya. Padahal konstitusi AS mewajibkan seorang presiden harus dilahirkan sebagai warga negara
Amerika. Untuk meredam isu ini, pihak Obama merilis sebuah dokumen resmi negara bagian Hawaii yang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 181


disebut ―sertifikat kelahiran. (Corsi, 2011)

Birth certificate atau akta kelahiran menurut UNICEF adalah pencatatan resmi kelahiran anak dengan
beberapa tingkat administrasi negara dan dikoordinasikan oleh suatu cabang khusus dari pemerintah. Ini adalah
catatan permanen dan resmi keberadaan seorang anak.

Akta kelahiran merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang yang telah
ditugaskan berdasarkan peraturan yang berlaku berupa pernyataan atau pengakuan resmi orang tua akan
anaknya terhadap negara Akta kelahiran berlaku seumur hidup bagi pemiliknya (Fulthoni dkk, 2009:13). Ini
jelas berbeda dengan Bukti Lahir yang berlaku hanya pada periode tertentu.

Selembar kertas penting ini selain memiliki fungsi utama sebagai bukti awal kewarganegaraan dan
identitas diri pertama yang dimiliki seorang anak (Srinurbayanti, et. All, 2002: 20) juga memiliki fungsi lain.
UNICEF (2002: 4-6) menyebutkan bahwa Akta Kelahiran menjadi sesuatu yang penting bagi seorang anak
karena:

 Hak atas pendidikan dan kesehatan

Akta Kelahiran digunakan untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan.

 Hak untuk sebuah lingkungan keluarga

Akta kelahiran sebagai sistem pendaftaran kelahiran yang komprehensif dapat melindungi anak-anak terhadap
perubahan identitas mereka, seperti perubahan nama atau pemalsuan ikatan keluarga. Ini terkait dengan
hubungan hukum antara anak dan orangtua.

 Perlindungan terhadap eksploitasi dan pelecehan

Akta kelahiran juga dapat memberikan perlindungan terhadap bentuk-bentuk lain kekerasan terhadap anak dan
eksploitasi seperti perkawinan dini, perekrutan militer dan partisipasi dalam konflik bersenjata

 Keadilan juvenile

Akta kelahiran dapat melindungi mereka dari penuntutan sebagai orang dewasa dan memastikan bahwa mereka
menerima perlindungan hukum khusus bagi remaja

 Manfaat partisipasi negara dan partisipasi dalam masyarakat

Akta kelahiran juga diperlukan untuk mendapatkan paspor, pernikahan atau Surat Izin Mengemudi,
untuk membuka rekening bank, untuk mengajukan permohonan dan lapangan kerja formal dan untuk warisan.
Akta kelahiran juga diperlukan untuk mendapatkan tunjangan keluarga, jaminan sosial, asuransi kredit dan
pensiun

Selain bagi individu, pencatatan kelahiran merupakan hal yang juga bagi negara. Dengan tertibnya
administrasi kelahiran maka dapat diketahui dengan pasti persentase pertambahan penduduk setiap tahunnya.
Tentu, hal ini akan membantu pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan masalah
kependudukan.

182 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Hasil dan Pembahasan

Sebenarnya konsep inovasi bukanlah konsep yang baru. Pada tahun 1969, Caiden telah menuliskan
bahwa inovasi adalah bagian dari reformasi administrasi (Caiden, 1969) Akan tetapi, jika dikaitkan dengan
pelayanan publik, agaknya konsep ini masih kurang populer. untuk melaksanakan pelayanan publik, birokrasi
menjalankan aturan yang telah ditetapkan (rule driven dan ini sejalan dengan pemikiran Weber, bahwa birokrasi
memerlukan aturan yang jelas, hirarki, spesialisasi dan lingkungan yang relatif stabil. Dalam konteks ini, inovasi
dipandang tidak banyak diperlukan bagi aparatur birokrasi pemerintah (Kelman, 2005).

Konsep inovasi dalam pelayanan publik baru muncul ke permukaan pada saat era New Public
Management yang mengedepankan hasil, partisipasi, berorientasi pelanggan, digerakan oleh misi, dan
desentralisasi. Konsep inovasi bahkan kemudian dapat disebut sebagai jantungnya pelayanan publik karena
tanpa inovasi pelayanan publik cenderung jalan di tempat dan akan ditinggalkan para pelanggannya.

Bagaimana kabupaten dengan luas wilayah tidak lebih dari 6 ribu kilometer persegi melakukan inovasi?

3.1. Program LPPBA

Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa melakukan banyak inovasi yang pada
akhirnya melahirkan banyak penghargaan-penghargaan. Selama tahun 2014 hingga 2015, kabupaten ini
minimal telah memperoleh 20 penghargaan, salah satunya adalah Inovasi Pelayanan Publik 2015 untuk Program
LPBBA dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB). LPBBA
merupakan pelaksanaan Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 42 Tahun 2013 tentang Pelayanan Pengurusan
Akta Kelahiran Secara Online di Kabupaten Banyuwangi yang ditetapkan tanggal 14 Nopember 2013.

Istilah lahir procot artinya sesaat setelah meninggalkan sarana kesehatan paska persalinan, orang tua
bayi dapat membawa pulang akta kelahiran sang bayi saat keluar dari lokasi persalinan. Seluruh Puskesmas di
Banyuwangi yang berjumlah 45 unit, dua rumah sakit pemerintah, dan lima RS swasta yang telah bekerja sama
dengan pemerintah kabupaten telah terlibat dari LPPBA. Program ini dikhususkan untuk usia bayi 1-2 hari,
sedangkan untuk bayi usia 3-60 hari pengurusan dilakukan melalui kecamatan. Semua pelayanan berbasis
daring (online).

Menurut Bupati Banyuwangi, Program LPPBA nantinya akan diteruskan dan perluas sampai ke bidan-
bidan dengan sistem teknologi informasi dalam kerangka Banyuwangi Digital Society. Pelaksanaan program ini
juga bekerjasama dengan PT Pos Indonesia cabang Banyuwangi. Akte Kelahiran yang telah selesai dibuat
diantarkan petugas PT Pos Banyuwangi ke alamat yang dituju.

Prosesnya cukup mudah yaitu masyarakat mengajukan berkas persyaratan kepada petugas verifikasi
dan operator di sarana kesehatan. Berkas ini kemudian akan diverifikasi oleh petugas tersebut. Setelah
dinyatakan lengkap dan sahih kemudian dipindai dan diunggah pada aplikasi Sistem Informasi Akta Online
http://dispenduk.banyuwangikab.go.id/akta. Selasai pada tahap ini kemudian salinan dijital dari berkas ini
dikirim ke petugas operator pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dengan sistem daring.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 183


Masyarakat Petugas
Petugas
membawa memindai dan
Disdukcapil
berkas kepada mengunggah
Petugas bagian Akta
petugas verifikasi berkas lengkap
melakukan Kelahiran akan
dan operator di dan sahih melalui
verifikasi melakukan prose
sarana persalinan aplikasi Sistem
hingga mencetak
(puskesmas atau Informasi Akta
akta kelahiran
rumah sakit) Online

Petugas
Disdukcapil
Pengiriman Akta bagian Kartu
Kelahiran dan KK Keluarga (KK)
via PT Pos akan melakukan
proses hingga
mencetak KK

Gambar 1 - Proses Pembuatan Akta Kelahiran melalui LPPBA

Sumber: diolah sendiri

Penerapan program LPPBA ini pun cukup murah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak
menyediakan alokasi anggaran khusus dalam mendukung inovasi. Program hanya menggunakan sarana
prasarana yang sudah ada di Puskesmas, kecamatan, rumah sakit maupun Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil. Yang disiapkan hanyalah aplikasi sistem

Sejak diluncurkannya program LPPBA ini terdapat kenaikan signifikan. Dari 14.517 akta yang
diterbitkan pada tahun 2013 menjadi 21.331 akta pada tahun 2014 atau terjadi kenaikan sebesar 46,9 %. Sampai
April 2015, layanan LPPBA ini sudah menerbitkan 15,675 lembar akta kelahiran.

Gambar 1 – Sistem Informasi Akta Online Kabupaten Banyuwangi

Sumber: koleksi pribadi, 2015

Target program LPPBA ini tidak sekedar memperbaiki prosedur pelayanan, mempermudah,
mempercepat dan gratis, mengurangi calo, dan menertibkan administrasi kependudukan, namun lebih dari itu
yaitu menjamin hak dasar kependudukan warga negara, dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya akta kelahiran.

Selama ini, di banyak daerah pengurusan dokumen kependudukan masih dipusatkan di Disdukcapil

184 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


yang notabene ada di pusat kota/kabupaten. Hal ini menyebabkan penduduk yang tinggal di desa-desa terpencil
dan pulau-pulau yang jauh akan mengeluarkan biaya transportasi yang besar jika mau mengurus. Inilah yang
menjadi salah satu penyebab mengapa masyarakat enggan mengurus dokumen ini. Ditambah lagi, karena
ketidaklengkapan informasi yang diperoleh, masyarakat harus bolak-balik ke Disdukcapil karena
ketidaklengkapan syarat yang dimiliki.

Inovasi yang dilakukan di Kabupaten Banyuwangi telah menyederhanakan proses yang ada karena
masyarakat hanya perlu berurusan dengan operator yang ada di sarana kesehatan. Selain Akta Kelahiran,
dokumen kependudukan lainnya yaitu Kartu Keluarga baru pun akan didapatkan masyarakat karena sistem
pencatatan kependudukan dilakukan secara terpadu. Layanan ini disebut two in one. Tidak ada biaya yang
dikenakan untuk pengurusan Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga ini. Syaratnya pun sederhana, yaitu Kartu
Tanda Penduduk kedua orang tua, surat nikah, dan calon nama bayi.

3.2. Kendala dalam Pelaksanaan Program LPPBA

Pelaksanaan program LPPBA bukan tidak tanpa kendala. Dari hasil wawancara yang dilakukan di
Disdukcapil Kabupaten Banyuwangi diperoleh beberapa kendala.

Pertama, pemberkasan yang sudah sederhana seringkali terhalang latar budaya masyarakat Jawa.
Penamaan anak biasanya dilakukan pada hari ketujuh setelah anak dilahirkan. Padahal, salah satu syarat untuk
mengikuti LPPBA adalah adanya nama anak. Bagi orangtua yang belum mengetahui jenis kelamin anak
sebelumnya, maka harus menyediakan dua nama yaitu untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan. Bagi
sebagian masyarakat Jawa yang patuh, program LPBBA tidak sesuai dengan adat Jawa.

Kedua, masyarakat masih memilih untuk melakukan persalinan secara tradisional, yaitu dengan
bantuan dukun bayi. Saat ini, program LPBBA baru bekerjasama dengan sarana kesehatan formal yaitu
puskesmas dan rumah sakit. Sementara ini, jika masyarakat memilih untuk melakukan persalinan di bidan, maka
petugas yang membantu persalinan dapat membawa berkas pengurusan akta kelahiran ke puskesmas terdekat.
Tentu saja, ini memerlukan biaya tambahan untuk transportasi petugas. Terkait hal ini, maka harus dilakukan
sosialisasi dan penyuluhan agar persalinan dilakukan di sarana kesehatan formal agar mencegah terjadinya
risiko tinggi saat persalinan..

Ketiga, kurang lancarnya jaringan internet. Program LPPBA ini berbasis daring, sehingga
membutuhkan sarana jaringan internet yang baik. Tidak lancarnya akses internet akan mengakibatkan proses
penyelesaian akta kelahiran (dan Kartu Keluarga) secara tepat waktu akan terhambat. Selain itu, kondisi listrik
yang tidak stabil juga akan memberikan dampak yang sama. Saat ini, belum semua daerah di Kabupaten
Banyuwangi mendapatkan akses internet yang baik dan listrik yang stabil.

Keempat, selain jaringan internet, program ini juga memerlukan petugas yang memiliki kepiawaian
menggunakan komputer dan internet. Petugas yang piawai ini bukan hanya pada tataran Disdukcapil, namun
juga pada tingkat sarana kesehatan. Salah satu masalah terbesar adalah saat ini Disdukcapil memiliki pegawai
yang terbatas jumlahnya. Pegawai ini dituntut ketelitian yang tinggi karena terkait dengan dokumen
kependudukan. Tidak boleh ada kesalahan tulis sama sekali. Padahal, program two in one Akta Kelahiran dan
Kartu Keluarga harus dilakukan secara serial. Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Baru tidak dapat

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 185


dilakukan karena adanya moratorium penerimaan CPNS. Saat ini,jika ada pegawai sakit dan yang bersangkutan
tidak dapat bekerja, maka proses penyelesaian akta kelahiran menjadi terhambat.

Kelima, penyediaan blangko akta kelahiran dan mesin cetak yang memiliki kualitas baik. Blangko
harus selalu tersedia dan penyediaan ini terkait dengan pengadaan barang. Untuk itu perencanaan kebutuhan
blangko akta kelahiran harus dilakukan dengan baik. Mesin cetak juga harus menggunakan tinta yang baik
karena dokumen ini berlaku untuk seumur hidup, sehingga tidak boleh luntur.

Terakhir, sistem pengarsipan belum berjalan dengan baik. Walaupun sistem daring telah digunakan
untuk proses penyelesaian akta kelahiran, namun pemerintah tetap menyimpan salinan cetaknya. Padahal,
tempat penyimpanan belum tersedia memadai, belum sesuai dengan standar penyimpanan arsip. Petugas
penyimpanan data atau arsiparis pun belum ada. Saat dilakukan pengamatan, hanya ada beberapa tenaga-tenaga
honorer dari sarjana baru lulus dan dibayar jauh dibawah Upah Minimum Kabupaten (hanya tiga ratus ribu
perbulan).

3.3.Peluang LPPBA

Tentu saja, program inovatif ini menjanjikan untuk pengembangan di kemudian hari. Pertama,
program ini dapat direplikasi oleh wilayah lain terutama daerah-daerah yang sulit jauh dari jangkauan. Menurut
Tjiptono (1997: 125) salah satu kunci untuk memberikan pelayanan pelang- gan yang unggul adalah pemerintah
sebagai subyek pelayanan 
publik harus dapat memprioritaskan pada kepuasan masyarakat sebagai obyek pela-
yanan, sehingga dapat memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. Akta Kelahiran (dan Kartu Keluarga)
adalah kebutuhan masyarakat akan dokumen kependudukan selain Kartu Tanda Penduduk. Bahkan Akta
Kelahiran adalah identitas awal setiap penduduk.

Yang perlu disiapkan di antaranya adalah aplikasi sistem, sarana komputer dan perlengkapan
pendukungnya, jaringan internet, dan sumber daya manusia yang akan menjadi operator. Terkait dengan hal ini,
sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2010 telah membuat Pusat Layanan Internet
Kecamatan (PLIK) dan Mobile Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK). Program yang pembiayaannya
bersumber pada dana Universal Service Obligation.3 Hanya saja saat ini program PLIK dan MPLIK sedang
dievaluasi pelaksanaannya.

Kedua, sistem daring yang saat ini digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi nantinya
diharapkan dapat terkoneksi dengan sistem administrasi kependudukan yang dikelola oleh Kementerian Dalam
Negeri (Kemdagri). Saat ini sistem yang ada masih belum terkoneksi dengan baik. Sistem yang ada di Kemdagri
tidak dapat memfasilitasi kebutuhan daerah untuk program LPPBA. Jika semua sistem sudah terkoneksi, maka
basis data kependudukan akan lebih baik dan pemerintah dapat melakukan perencanaan nasional dengan lebih

3
Universal Service Obligation adalah dana kontribusi dari para penyelenggara layanan
telekomunikasi (operator) sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor penyelenggaraan
telekomunikasi

186 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


holistik.

Ketiga, Pemerintah telah mendorong inovasi dilakukan oleh daerah. Dalam Penjelasan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa majunya suatu bangsa sangat
ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan
terhadap kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di daerah dalam memajukan
daerahnya. Perlu diperhatikan, bahwa inovasi yang dilakukan oleh daerah harus memperhatikan kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan sistem pemillihan kepala daerah langsung, masyarakat
didorong untuk memilih kepala daerah yang mendukung program pro kebutuhan rakyat.

Penutup

Dokumen kependudukan adalah hal penting. Untuk itu harus dikelola secara profesional Perlunya
sinkronisasi kebijakan tentang siapa yang harus bertanggungjawab atas pencataan kelahiran. Tidak perlu
mempertentangkan stelsel aktif atau stelsel pasif terkait akta kelahiran. Kedua belah pihak, baik orangtua
maupun pemerintah, memiliki tanggungjawab yang sama. Inovasi pelayanan akta kelahiran di Kabupaten
Bayuwangi dapat diadopsi juga oleh Pemerintah Daerah yang lainnya. yang penting adalah adanya komitmen
dan konsistensi dari Kepala Daerah, koordinasi antarinstansi, pelayanan prima, kerja sama dan kemitraan dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Daftar Rujukan

Caiden. G. 1969. Administrative Reform. Chicago: Aldine Publishing Co.

Corsi, J.R. 2011. Where's The Birth Certificate?: The Case That Barack Obama Is Not Eligible To Be President,
Washington DC: WND Books,.

Fulthoni dkk. 2009. Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama: Memahami Kebijakan Administrasi
Kependudukan. Jakarta: The Indonesian Legal Resources Center (ILRC).

Kelman, S. 2005. Unleashing Change: A Study of Organizational Renewal in Government. Washington DC:
Brookings Institution.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 2014. Top 99 Inovasi Pelayanan Publik
di Indonesia. Jakarta.

Levin, L. (Terj. NY. Nartomo). 1987. Hak-hak Asasi manusia, Tanya Jawab. Jakarta : Penerbit Pradnya
Paramita.

UNICEF. 2002. Birth Registration Right From The Start. Italy: United Nations Children‘s Fund The Innocenti
Research Center.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 187


Tjiptono, Fandy. 1997. Prinsip-prinsip Total Quality Service. Yogyakarta, Andi Offset

http://www.menpan.go.id/cerita-sukses-rb/2394-inovasi-pelayanan-ktp-di-kabupaten-kudus.

http://nasional.kompas.com/read/2015/07/06/0652345/Baru.40.Juta.Anak.Punya.Akta.Kelahiran.Kemensos.Aka
n.Bantu.Panti.Asuhan.

http://www.unicef.org/indonesia/id/Renstra_pencatatan_Kelahiran_2011_(bhs_Indonesia).pdf.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/15/06/26/nqj7fl-dukcapil-depok-diminta-
tak-bohongi-warga-soal-akta-kelahiran

http://lampung.tribunnews.com/2012/10/17/kenapa-buat-akte-kelahiran-anak-susah-sekali

188 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Rizki Pratiwi, Endang Sutarti Mardiana, Arsid

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran, Bandung

Email : rpratiwi17@gmail.com, endangsm21@gmail.com, arsid.tgr88@gmail.com

Abstrak: Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 banyak hal yang harus dipersiapkan
oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif. Berdasarkan Laporan
Doing Bussiness yang dibuat IFC Tahun 2014 Sejauh ini Jakarta yang merupakan representasi Indonesia
dimata internasional masih berada di peringkat 120 dari 189 negara dalam aspek kemudahan berusaha (doing
bussiness). Sedangkan dalam aspek kemudahan memulai usaha (starting a bussiness) Indonesia berada pada
peringkat 175 atau menurun 9 peringkat dari tahun 2013 dimana pada tahun tersebut Indonesia menduduki
peringkat 166. Menurunnya peringkat dalam aspek kemudahan berusaha, menunjukkan masih rumitnya
birokrasi perizinan di Provinsi DKI Jakarta. Maka reformasi birokrasi dalam hal perizinan adalah hal mutlak
yang harus segera dilakukan guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Penelitian ini menganalisis usaha-
usaha apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upaya melakukan Reformasi
Birokrasi pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif.

Kategori : Ilmu Administrasi Publik

Kata kunci : Reformasi Birokrasi, Pelayanan Publik.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Masyarakat Ekonomi ASEAN (Selanjutnya disebut MEA) akan segera diluncurkan akhir tahun 2015
ini. Menghadapi MEA 2015 banyak hal yang harus dipersiapkan. Salah satu diantaranya adalah peningkatan
kualitas pelayanan publik. Hal ini menjadi penting mengingat persaingan yang akan dihadapi dalam MEA nanti
bukan lagi dalam skala nasional tapi skala ASEAN. Itu artinya baik buruknya kualitas pelayanan publik akan
menjadi salah satu faktor yang menentukan apakah negara tersebut akan menang atau kalah dalam persaingan
MEA dengan negara-negara ASEAN lainnya.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 189


Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus representasi Indonesia di mata internasional bisa dikatakan
memiliki beban yang cukup berat dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sejauh ini, iklim
investasi di Jakarta dinilai masih belum kondusif. Laporan Doing Business yang dibuat IFC tahun 2014
menyatakan dalam aspek kemudahan berusaha (Doing a Business) Indonesia berada di peringkat 120 dari 189
negara. Sedangkan dalam aspek kemudahan berusaha (starting a business) Indonesia mengalami penurunan
peringkat dari tahun sebelumnya. Yaitu dari peringkat 166 menjadi peringkat 175. Rendahnya perolehan
peringkat tersebut dikarenakan masih rumitnya birokrasi perijinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah DKI
Jakarta.
Pemerintah DKI Jakarta pun terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik terutama dalam hal pelayanan perizinan. Mulai dari pembentukan BPTSP hingga melakukan berbagai
macam terobosan baru demi terwujudnya reformasi birokrasi pada BPTSP. Penelitian ini akan mencoba
membahas upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalahnya adalah :
Upaya – upaya apa saja yang telah dilakukan BPTSP Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan
reformasi birokrasi perizinan?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang telah
dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan reformasi birokrasi pada BPTSP DKI Jakarta.

METODE PENELITIAN

1.4. Desain Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penelitian tidak ditujukan untuk
mengukur kekuatan dan arah hubungan antar variable, namun lebih ditujukan untuk mendeskripsikan situasi,
fenomena (fenomenologi), keadaan, dan proses. Pendekatan dalam penelitian kualitatif ini juga disebut
pendekatan investigasi karena peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan
berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (McMillan & Schumacher, 2003). Penelitian kualitatif
juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Analisisnya bersifat kualitatif yang lebih
mengutamakan makna dari pada generalisasi atas suatu obyek yang diteliti.

1.5. Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam studi ini meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder berupa
jenis-jenis izin yang menjadi kewenangan PTSP tingkat provinsi dan PTSP tingkat kota administrasi di DKI
Jakarta diperoleh dari Unit PTSP tingkat Provinsi dan Satuan Pelaksana PTSP tingkat Kota Administrasi. Selain
data sekunder, studi ini terutama menggunakan data primer untuk keperluan analisis studi. Data primer tersebut
meliputi berbagai informasi mengenai PTSP di Jakarta yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan
berbagai narasumber (in-depth interview).

190 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


1.6. Metode Pengumpulan Data
Data-data sekunder berupa dokumen, data statistik, dan sebagainya dihimpun dari berbagai instansi
yang berwenang. Melalui pendekatan kualitatif instrumennya adalah orang atau peneliti itu sendiri (human
instrument).
Selanjutnya data-data primer diperoleh dari hasil wawancara secara mendalam (in-depth-Interview).
Metode ini dipilih karena paling sesuai untuk menggali informasi dari masing-masing narasumber secara lebih
mendalam serta fleksibel dalam pelaksanaannya.

1.7. Teknik Analisis Data


Setiap penelitian memerlukan kriteria untuk melihat derajat kepercayaan terhadap hasil
penelitian.Dalam penelitian ini, pengujian keabsahan data metode penelitian dilakukan dengan triangulasi.
Wersma dalam Sugiyono (2009:125) menyatakan bahwa triangulation is qualitative cross validation. It assesses
the suffiency of the data recording to the convergences of multiple data sources or multiple data collection
procedures. Artinya bahwa dalam triangulasi pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dengan
berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat; pertama, triangulasi sumber untuk menguji
kredibilitas data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Kedua, triangulasi
teknik untuk menguji kredibilitas data dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik
yang berbeda. Ketiga,triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan pengecekan wawancara atau teknik
laindalam waktu atau situasi yang berbeda.

TINJAUAN PUSTAKA

1.8. Evaluasi Reformasi Birokrasi


Pada dasarnya reformasi birokrasi adalah suatu perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik
terhadap elemen-elemen kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketetalaksanaan, akuntabilitas aparatur,
pengawasan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi
secara tepat, cepat dan konsisiten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi.
Untuk mengevaluasi proses keberhasilan reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan melihat
keberhasilan proses perubahan pada aspek Penataan Kelembagaan, Penataan Ketatalaksanaan/Manajemen,
Penataan Sumber Daya Manusia/Aparatur, Akuntabilitas (Pertanggungjawaban), dan Pelayanan Umum.
Penetapan lima variabel diatas sesuai dengan pendapat Sedarmayanti (2009) dan sejalan dengan bagian dari
delapan area perubahan reformasi birokrasi yang ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi. Tiga area lain diluar lima variabel tersebut adalah tentang pola pikir dan budaya kerja,
penataan peraturan perundangan, dan penguatan pengawasan. Ke tiga area diatas tadi sebenarnya sudah masuk
dalam lima variabel diatas.

1.9. Pelayanan Terpadu Satu Pintu di DKI Jakarta

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaran
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut Perda PTSP DKI Jakarta) yang dimaksud dengan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut PTSP) adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 191


yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan secara
terpadu dengan sistem satu pintu di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Dalam pasal 4 Perda PTSP DKI Jakarta disebutkan ada tiga tujuan penyelenggaraan PTSP yaitu :

1) Meningkatkan kualitas perizinan dan non perizinan

2) Memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan perizinan dan non perizinan; dan

3) Meningkatkan kepastian pelayanan perizinan dan non perizinan.

Komitmen yang tinggi dari pemerintah dalam mewujudkan pelayanan yang prima tercermin dengan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20
Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, maka
sejalan dengan komitmen tersebut dan sebagai upaya menghilangkan penyalahgunaan wewenang dalam
penyelenggaraan kebijakan dan pelaksanaan teknis pelayanan perizinan dan non perizinan yang ada pada
masing-masing SKPD/UPKD Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta akan terintegrasi dalam satu manajemen,
Maka dibentuk Badan pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut BPTSP). Pembentukan BPTSP
diharapkan mampu menjawab tuntutan masyarakat sekaligus mewujudkan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai kota jasa (Service City) dan sekaligus tolak ukur dalam kemudahan berusaha.

BPTSP adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Tugas BPTSP antara lain; melaksanakan pembinaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
PTSP oleh kantor PTSP, satuan pelaksana PTSP Kecamatan, satuan pelaksana PTSP kelurahan serta pelayanan
dan penandatanganan perizinan dan non perizinan serta dokumen administrasi yang menjadi kewenangannya.

BPTSP merupakan wujud nyata tekad dari Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk
meningkatkan kualitas, efektifitas, efisiensi, akuntabilitas dan transparansi pelayanan publik sebagaimana juga
diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik. Badan ini selain menjadi badan
pelaksana proses pelayanan perizinan dan non perizinan yang dilimpahkan, juga akan melaksanakan fungsi
koordinasi dengan satuan perangkat kerja Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah dalam hal pelayanan perizinan
dan non perizinan, serta pelayanan dokumen administrasi yang dilimpahkan. Ada sedikitnya 318 PTSP DKI
Jakarta yang tersebar di seluruh kota/kabupaten, kecamatan dan kelurahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.10. Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta

Sejak disahkannya Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaran Pelayanan
Terpadu Satu Pintu, kemudian disusul dengan Peraturan-peraturan Gubernur yang mendukung penyelenggaraan
PTSP hingga akhirnya dibentuklah Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Selanjutnya disebut BPTSP),
Pemerintah DKI Jakarta terus berusaha meningkatkan kualitas layanan nya. Terhitung mulai 2 januari 2015
lebih dari 2 juta perizinan yang masuk ke PTSP se-DKI Jakarta, tepatnya 2.186.546 per akhir Juli 2015. Berikut
beberapa data perizinan yang ditangani BPTSP dalam bentuk grafik :

192 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


DATA IZIN BPTSP

Izin
Dalam
Proses Izin
Terbit/
Selesai

Izin
Tolak

dan diikuti dengan Beberapa Upaya Reformasi Birokrasi Perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut :

1.10.1. Pembentukan Peraturan-Peraturan Terkait Penyelenggaraan PTSP

Pemerintah DKI Jakarta telah membuat beberapa peraturan sebagai payung hukum pelaksanaan
penyelenggraan PTSP DKI Jakarta. Dasar hukum penyelenggaraan PTSP DKI Jakarta secara umum diatur
dalam Regulasi Pokok yaitu Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013. Yang kemudian diatur secara lebih rinci
lagi dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta (Selanjutnya disingkat Pergub DKI Jakarta). Beberapa Pergub DKI
Jakarta yang mengatur tentang teknis pelaksanaan PTSP tersebut antara lain :

1. Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu;

2. Peraturan Gubernur Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan pelayanan Terpadu Satu Pintu;

3. Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2014 tentang Masa Transisi Pelaksanaan Pelimpahan
Kewenangan Perizinan dan Non Perizinan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah / Unit Kerja Perangkat
Daerah Teknis ke Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

1.10.2. Peluncuran Program Pelayanan Kilat atau One Day Service di BPTSP DKI Jakarta
One Day Service (selanjutnya disingkat ODS) merupakan layanan kilat pengurusan perizinan yang
dapat diselesaikan dalam satu hari. Melalui layanan ODS ini, waktu pengurusan izin dari yang semula 4-20 hari
menjadi satu hari. . Ada 66 jenis perizinan yang bisa diurus dengan layananODSini.ODS diluncurkan pada
tanggal 18 Agustus 2015 oleh Gubernur DKI Jakarta di Kantor PTSP Kecamatan Pasar Minggu dan berlaku di
seluruh Kantor Pelayanan Terpadu yang ada di Jakarta. Mulai dari yang ada di Balai Kota hingga kantor
kelurahan.
Perizinan yang dapat dilayani secara kilat di Kantor PTSP Balai Kota mencakup delapan perizinan.
Perizinan – perizinan itu meliputi Izin Usaha Jasa Pengurusan Transportasi; Izin Penyelenggaraan Kendaraan
Bermotor Umum, Izin Operasional Angkutan Umum; Izin Usaha Jasa Konstruksi; Legalisasi Izin Pelaku Teknis

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 193


Bangunan; Izin Rekomendasi Penelitian; Izin Mempekerjakan Tenaga Asing; dan Izin Rencana Penggunaan
Tenaga Asing.
Sementara Perizinan –Perizinan yang diurus secara kilat oleh layanan PTSP yang ada di Kantor Wali
Kota, diantaranya Pengurusan Surat izin Usaha Perdagangan; Tanda Daftar Perusahaan; dan Izin Rekomendasi
Penelitian.
Untuk PTSP tingkat kecamatan perizinan yang dapat dilayani secara kilat meliputi Surat Izin Usaha
Perdagangan Mikro; Surat Izin Kerja Apoteker, Surat Izin Praktek Apoteker; Izin Mendirikan Bangunan
Kategori Rumah Tinggal.
Adapun untuk tingkat kelurahan, Perizinan yang dapat dilayani secara kilat, yakni izin penggunaan
tanah makam; Surat Izin Praktek Dokter Gigi; dan kartu pencari kerja.

1.10.3. Tiga Prioritas Pelayanan BPTSP DKI Jakarta (Zero Delay, Zero Complaint, dan 100 % Service
Excellent)
Dalam melaksanakan Pelayanan Perizinan, BPTSP memiliki tiga prioritas pelayanan, yaitu Zero Delay,
Zero Complaint, dan 100 % Service Excellence. Zero Delay merupakan upaya agar tidak ada berkas perizinan
yang batas waktu penyelesaiannya melewati batas waktu yang ditetapkan. Sedangkan maksud dari Zero
Complaint adalah pihaknya berusaha agar jangan sampai ada keluhan dari masyarakat terkait proses dan kualitas
layanan. Dan 100 % Service Excellence itu berarti PTSP bekerja keras untuk mewujudkan Service Excellence
pada 318 gerai layanan PTSP.

1.10.4. Pemberian Reward untuk Petugas Pelayanan Terbaik


Sebagai motivasi dan bentuk apresiasi terhadap kinerja petugas pelayanan di Badan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (Selanjutnya disingkat BPTSP) DKI Jakarta, Kepala BPTSP DKI Jakarta memberikan reward berupa
penghargaan The Best Service Officer Of The Month setiap bulannya kepada petugas yang dinilai mampu
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Kriteria nya diambil berdasarkan hasil penilaian dari
masyarakat. Karena masyarakat dapat menilai langsung pelayanan yang diberikan kepada petugas. Masyarakat
cukup menyampaikan kepuasannya pada kotak penilaian. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi
setiap petugas agar dapat memberikan pelayanan terbaik dan melayani dengan sepenuh hati.

1.10.5. Membuka Gerai Pelayanan Terpadu di Pusat Perbelanjaan Modern


Jakarta dengan segala dinamika kehidupannya yang dinamis, memiliki banyak pusat perbelanjaan dan
diwarnai dengan kemacetan yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi masyarakatnya memunculkan
ide kreatif bagi BPTSP DKI Jakarta untuk siap sedia melayani masyarakat dimanapun dan kapanpun. Pada akhir
Mei 2015, Wakil Gubernur DKI Jakarta membuka gerai PTSP di Pusat Perbelanjaan Blok M Square. Adanya
gerai PTSP di pusat perbelanjaan modern tersebut dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat yang ingin
mengurus perizinan namun memiliki keterbatasan waktu di hari kerja untuk datang ke kantor PTSP. Meskipun
belum dapat diterapkan merata diseluruh pusat perbelanjaan modern di Jakarta dan pelayanan perizinan nya
masih dibatasi untuk beberapa kategori pelayanan saja, akan tetapi kehadiran Gerai PTSP di pusat perbelanjaan
ini merupakan terobosan yang cukup baik dari Pemerintah DKI Jakarta untuk terus melakukan upaya
mewujudkan reformasi birokrasipada BPTSP DKI Jakarta.

194 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


KESIMPULAN

Ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk mewujudkan reformasi
birokrasi pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta. Yaitu membuat peraturan-peraturan
terkait penyelenggaraan PTSP, Peluncuran Pelayanan Kilat atau One Day Service, Penetapan Tiga Prioritas
Pelayanan (Zero Delay, Zero Complain, 100 % Service Excellent), Pemberian Reward The Best Service Officer
Of The Month bagi petugas pelayanan terbaik hingga membuka gerai pelayanan di Pusat Berbelanjaan Modern.
Meskipun dalam realisasinya masih ada beberapa kendala seperti kurangnya SDM Aparatur, sarana dan
prasarana, hingga belum tersebarnya gerai PTSP di pusat perbelanjaan modern di Ibu Kota secara merata, akan
tetapi upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut menunjukkan adanya keseriusan dari pemerintah DKI Jakarta
untuk mewujudkan reformasi birokrasi pada BPTSP mengingat semua terobosan tersebut dilaksanakan masih
dalam hitungan bulan sejak BPTSP beroperasi secara optimal pada awal januari tahun 2015 yang lalu.

Selanjutnya untuk meningkatkan kualitas layanan dan dalam rangka mewujudkan reformasi birokrasi
pada BPTSP DKI Jakarta, perlu adanya dukungan dari segala pihak yang terkait untuk kelancaran proses
penyelenggaraan PTSP. Selain itu peningkatan sarana dan prasarana, serta penambahan SDM Aparatur guna
memperlancar proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

Referensi

Buku-Buku

McMillan, James H., & Sally Schumacher. 2003. Research in Education. New Jersey: Pearson.

Sedarmayanti, 2009, Reformasi Administrasi Publik, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan
Prima dan Kepemrintahan Yang Baik). Bandung : PT.Refika Aditaman.

Strauss, A. & Corbin, J. 2003, Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques.
California : Sage.

Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta : Bandung.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 195


Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Peraturan Gubernur Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2014 tentang Masa Transisi Pelaksanaan Pelimpahan Kewenangan
Perizinan dan Non Perizinan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah / Unit Kerja Perangkat Daerah Teknis
ke Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Lain-lain

www.bptsp.jakarta.go.id

196 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Konstruksi Model Perilaku Pelayanan Street-Level Birokrasi Pada
Puskesmas Di Kota Makassar

Abdul Mahsyar

Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik

Universitas Muhammadiyah Makassar, Indonesia

Tel: +62-815-24264500

E-mail: abdul_mahsyar@yahoo.co.id

Abstract: Penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi bentuk-bentuk coping behaviors yang dilakukan oleh
birokrasi penyelenggara pelayanan publik pada Puskesmas, efek yang ditimbulkan dan respon masyarakat
terhadap perilaku birokrasi pelayanan tersebut. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode naturalistik yang mengambil data dari informan terdiri atas masyarakat yang memperoleh pelayanan
dan petugas penyelenggara pelayanan. Data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara langsung dan
dokumentasi dengan menganalisis standar operasional prosedur pelayanan. Data penelitian dianalis melalui
tahapan reduksi data, penyajian data, penyimpulan, dan verifikasi data Hasil penelitian menunjukkan model
coping behaviors dalam birokrasi pelayanan dalam melayani masyarakat meliputi perilaku memodifikasi
pekerjaan sesuai dengan kemampuan, perilaku pemanfaatan sumber daya secara maksimal, perilaku
mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa program kegiatan, perilaku menyederhanakan kegiatan, dan
perilaku memaksakan kepatuhan pelanggan. Efek yang ditimbulkan dari perilaku birokrasi ada yang positif dan
negatif tergantung pada situasi pelaksanaan program yang dilaksanakan, sedangkan respon warga yang
memperoleh pelayanan terhadap perilaku birokrasi pelayanan pada umumnya positif asalkan mereka dapat
terlayani sesuai dengan kebutuhannya, hal ini juga disebabkan karena pada umumnya warga yang dilayani
minim informasi dan kurang memahami hak-haknya dari berbagai macam pelayanan yang harus diberikan oleh
petugas Puskesmas.

Category: Administrasi Publik

Keywords: Coping behaviors, birokrasi, pelayanan publik

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 197


PENDAHULUAN

Birokrasi sebagai mesin organisasi negara melaksanakan berbagai kebijakan negara atau pemerintah.
Salah satu diantara banyak fungsi birokrasi adalah melaksanakan pelayanan kepada segenap warga masyarakat
sesuai dengan tugasnya masing-masing dan melayani masyarakat secara adil merata atau non diskriminatif.
Upaya untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pelayanan publik berbagai kebijakan telah diterbitkan oleh
pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Mulai dari keputusan
menteri, peraturan pemerintah, sampai kebijakan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pelayanan publik yang mendasar diberikan kepada warga masyarakat oleh institusi birokrasi di
Indonesia adalah pelayanan pada bidang kesehatan, selain pelayanan bidang pendidikan. Begitu pentingnya
pelayanan kesehatan ini, sebagian besar dari negara-negara yang ada di dunia ini mencantumkan pelaksanaan
pelayanan kesehatan dalam konstitusinya. Problem yang sering dihadapi oleh birokrasi dalam pelayanan
kesehatan adalah terbatasnya sumber daya manusia, dana, prasarana dan waktu. Keterbatasan-keterbatasan
sumber daya tersebut seringkali menjadi kendala dan juga menjadi alasan bagi aparat pelaksana layanan untuk t
idak melaksanakan beberapa program-program yang menjadi kebijakan pemerintah. Kalaupun terlaksana
seringkali dilakukan secara apa adanya atau tidak optimal.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan khususnya pada Puskesmas sebagai lembaga birokrasi terdepan
dalam melayani masyarakat terkait dengan kesehatannya terkadang kurang optimal. Beban kerja Puskesmas
sangat berat dan cakupan pelayanan sangat luas seperti melaksanakan tugas-tugas lapangan yang bersifat
promotif juga melakukan tugas kuratif seperti perawatan dan pengobatan pasien. Adanya beban tugas seperti itu
membuat petugas Puskesmas harus pandai-pandai mensiasati supaya seluruh tugas yang menjadi
tanggungjawabnya dapat terlaksana.

Kelihaian petugas (birokrat) pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mensiasati pelaksanaan tugasnya
tidak terlepas dari penilaian kinerja dan pencapaian target-target tugas yang menjadi bebannya sehingga dengan
keadaaan ini beberapa pekerjaan hanya dilaksanakan secara formalitas belaka. Cara yang dilakukan oleh
birokrat pelayananan dalam mensiasati pekerjaan yang dianggap sulit atau untuk mengatasi keterbatasan sumber
daya adalah dengan cara melakukan coping behaviors yakni coping adalah mekanisme atau cara yang
digunakan individu dalam menanggulangi, mengatasi, menyelesaikan atau meng-alihkan masalah, menguasai
atau mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima dan situasi yang mengancam baik secara
kognitif maupun perilaku. Terdapat macam-macam mekanisme coping yang sering digunakan oleh individu
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Topik kajian yang dibahas meliputi identifikasi terhadap bentuk
perilaku pelayanan berupa coping behaviors yang dilakukan oleh petugas layanan kesehatan, efek yang
ditimbukan, dan respon masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas Puskesmas. Sementara
tujuan kajian ini adalah menemukenali dan mengkonstruksi bentuk coping behaviors petugas pelayanan
kesehatan.

198 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


METODE PENELITIAN

Lokus penelitian ini pada institusi pelayanan kesehatan masyarakat terdepan yakni Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas), di Kota Makassar terdapat 43 Puskesmas (data 2014) yang tersebar pada seluruh
kecamatan. Karena pola organisasi, kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh Puskesmas pada umumnya
sama, maka unit-unit Puskesmas yang dijadikan objek kajian dipilih secara purposive berdasarkan wilayah
tempat Puskesmas dan karakteristik masyarakat yang dilayani. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan tipe naturalistik yakni melihat fenomena pelayanan secara apa adanya, mencatat seluruh kejadian sesuai
dengan fokus, dan menganalisis serta menginterpretasikan data. Sumber data meliputi dua informan inti yaitu
petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat yang langsung terlibat atau menerima perlakuan pelayanan dari
petugas Puskesmas. Data diperoleh dari observasi partisipatif dan non partisipatif, wawancara, dan dokumentasi
dari data tertulis maupun dari berbagai catatan dokumen berupa peraturan-peraturan, kegiatan atau program
kerja Puskesmas. Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip-prinsip analisis data kualitatif, sedangkan
untuk keabsahan data dilakukan dengan cara treangulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijakan pemerintah terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya bagi kalangan masyarakat
yang memperoleh layanan kesehatan didanai dari APBN seperti Jamkesmas, Jamkesda, Askes atau BPJS
sekarang ini, maka tindakan pelayanannya dimulai dari institusi pelayanan kesehatan tingkat dasar yaitu
Puskesmas.

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan mempunyai berbagai program pelayanan yaitu
menyeleng-garakan program-program pokok meliputi upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan,
upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, dan upaya pengobatan. Sedangkan program pengembangan meliputi upaya
kesehatan sekolah, upaya kesehatan olah raga, upaya perawatan kesehatan masyarakat, upaya kesehatan kerja,
upaya kesehatan gigi dan mulut, upaya kesehatan jiwa, upaya kesehatan mata, upaya kesehatan usia lanjut, dan
upaya pembinaan pengobatan tradisional.

Cakupan pelayanan kesehatan masyarakat pada Puskesmas sangat luas, namun untuk melaksanakan
tugas tersebut secara kasat mata terlihat perangkat organisasi Puskesmas tidak ditunjang oleh ketersediaan
sarana dan prasarana pelayanan yang memadai. Dengan kondisi seperti itu, maka manakala para petugas
Puskesmas dituntut untuk melaksanakan program pelayanan Puskesmas secara minimal saja, mereka tidak akan
mampu menjalankan program yang ada secara keseluruhan. Sementara disatu sisi tuntutan tugas yang
dibebankan kepadanya mewajibkan para aparat untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada situasi seperti ini birokrat pada tataran street-level (terdepan) melakukan upaya-upaya yang disebut coping
behaviors, yakni perilaku yang dilakukan untuk mengatasi atau mengendalikan situasi atau menguasai keadaan
pada saat mana mereka berada pada posisi yang terbatas untuk melaksanakan pelayanan.

Bagi masyarakat harapan untuk memperoleh pelayanan yang memadai sesuai dengan kebutuhannya
dari instansi pemerintah sangat tinggi, sehingga kadang-kadang dengan ekspektansi yang sangat tinggi tersebut
dapat menimbulkan kekecewaan jika mereka tidak mendapat pelayanan sesuai harapannya, dan alamat kesan
kinerja buruk bagi aparat birokrat sebagai pelaksana layanan. Pada situasi demikian itulah banyak birokrat pada

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 199


tataran street-level melakukan upaya dalam mengatasi situasi dimana mereka tidak mampu melaksanakan
pelayanan secara optimal dengan melakukan coping behaviors yakni perilaku yang dilakukan untuk mengatasi
keadaan atau situasi yang mendesak dari ketidakmampuan yang dialami.

Perilaku coping ini kadangkala efektif dalam pelayanan kesehatan pada khususnya dan selalu terjadi
setiap saat ketika interaksi antara birokrat penyelenggara layanan dengan warga yang dilayani. Coping
behaviors kadangkala menguntungkan birokrat karena warga masyarakat yang dilayani sebagiannya tidak
mengetahui standar dan prosedur pelayanan yang semestinya.

Keadaan demikian dilakukan karena warga masyarakat yang mengharapkan pelayanan dari para
petugas pelayanan kesehatan di Puskesmas ini kadangkala mereka tidak mau tahu bahwa para petugas untuk
memberikan pelayanan yang optimal memiliki keterbatasan, bukan hanya keterbatasan itu diakibatkan oleh
individu tetapi juga faktor organisasi sendiri, misalnya sarana parasarana pelayanan yang terbatas, jumlah
personil yang terbatas dan keterbatasan ruang dan tempat pelayanan. Dalam mengatasi hal tersebut ada beberapa
bentuk perilaku coping yang dilakukan oleh birokrasi penyelenggara pelayanan publik yang disebut perilaku
memodifikasi konsep tentang pekerjaan.

Adapun bentuk perilaku tersebut meliputi (1) perilaku memodifikasi pekerjaan sesuai kemampuan; (2)
perilaku memanfaatkan sumber daya manusia secara maksimal; (3) perilaku mengurangi atau tidak
melaksanakan beberapa program atau kegiatan; (4) perilaku menyederhanakan pekerjaan; (5) perilaku
memaksakan kepatuhan pelanggan.

Perilaku memodifikasi pekerjaan sesuai kemampuan

Bentuk perilaku street-level bureaucrats dalam memodifikasi pelaksanaan program Puskesmas


menurut pandangan pihak petugas Puskesmas bisa saja dilaksanakan tanpa mengurangi mutu pelayanan yang
dilaksanakan. Salah satu contoh adalah pelayanan pengobatan atau pemeriksaan pasien khususnya pasien rawat
jalan.

Usaha kesehatan pokok yang dijalankan oleh Puskesmas seperti penyelenggaraan pelayanan
pengobatan, pemeriksaan dan perawatan pasien. Ada beberapa bentuk pelayanan yang dilakukan disini yaitu
pemeriksaan langsung dan pengobatan atau perawatan, selain itu ada juga pelayanan dalam bentuk konsultasi,
permintaan surat keterangan sehat, dan pelayanan rujukan. Bentuk-bentuk perilaku petugas Puskesmas dapat
berbeda antara satu dengan yang lain dalam melayani pasien. Sebagaimana informasi yang diperoleh dari
pengamatan yang dilakukan khususnya terhadap pelayanan pemeriksaan pasien, terlihat pelayanan yang
diberikan oleh petugas medis kepada pasien dalam pemeriksaan yaitu pasien yang memiliki keluhan penyakit
yang sama (penyakit ringan atau umum) biasanya mereka diperiksa secara bersamaan di ruang pemeriksaan,
dari kasus ini ditanyakan kepada dokter yang menangani si pasien tersebut dijelaskan bahwa:

―Dalam melakukan pemeriksaan pasien, kita disini kadang melakukan tindakan-tindakan dimana pasien
merasa cepat dilayani, tidak dibiarkan menunggu lama apalagi kalau pada waktu tertentu jumlah pasien
sangat banyak, salah satu cara yang dilakukan seperti mengumpul pasien yang memiliki keluhan penyakit
yang sama dan jenis kelamin yang sama, tapi ini hanya untuk keluhan penyakit ringan seperti penyakit
yang umum misalnya demam, batuk-batuk atau ISPA. Ini kami lakukan karena biasanya pasien tersebut
bisa juga mengatasi sendiri penyakitnya tanpa harus ke dokter, tapi itu sifatnya kondisional, misalnya ada

200 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


juga pasien yang harus diperiksa secara mendetail sampai memerlukan tes laboratorium sebelum diberikan
resep obat‖.

Penjelasan yang dikemukakan informan di atas memperlihatkan bahwa street-level bureaucrats pada
Puskesmas melakukan modifikasi pekerjaannya karena merekalah yang paling mengetahui pekerjaannya dan
menguasai tugasnya, bagi klien atau pasien yang dilayani harus patuh pada konsekuensi modifikasi pekerjaan
tersebut. Pelayanan pemeriksaan atau pengobatan sebenarnya harus dilakukan sendiri-sendiri dimana pasien
ditangani secara perseorangan, tidak dilakukan pemeriksaan secara bersama-sama dengan pasien lainnya. Akan
tetapi karena seringkali jumlah pasien sangat banyak, maka inilah salah satu cara yang dilalukan oleh petugas
medis dalam mengendalikan pelayanannya supaya warga tetap merasa dirinya terlayani sekalipun ada tindakan-
tindakan di luar prosedur proses pelayanan yang semestinya dilaksanakan.

Seperti halnya pemberian tindakan pelayanan oleh dokter secara cepat. Dijelaskan oleh salah seorang
dokter sebagai berikut.

―Hal seperti itu kami lakukan, tidak lain memenuhi kewajiban kami dalam memberikan pelayanan. Perlu
juga saya informasikan bahwa, sekarang ini masyarakat sudah sangat sadar dalam menggunakan hak-
haknya, seperti dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan gratis. Mereka sudah tahu bahwa berobat di
Puskesmas itu tidak dibayar. Namun persoalannya perilaku warga untuk mandiri dalam merawat keluhan
penyakitnya atau menjaga kesehatannya menjadi berkurang semenjak berlakunya program kesehatan gratis
ini. Karena seperti yang kita lihat, mereka sakit-sakit sedikit ke Puskesmas lagi, yang lebih parah lagi biasa
ada pasien belum habis obatnya yang dikasi sebelumnya…, eh dua hari kemudian datang lagi berobat
dengan keluhan yang sama, ―belum sembuh sakitku dokter‖ ……, itulah sebabnya mengapa ada pasien
yang diperiksa lebih cepat seperti yang dilihat tadi, karena disini kewajiban kami melayani pasien, seperti
kasus tadi tidak bisa kami menolak mereka. Kalau menolak mereka bisa ngomong kemana-mana dan kalau
ini terjadi pasti kami petugas yang selalu disalahkan. Jadi kewajiban kami disini adalah melayani saja
siapapun mereka tanpa melihat kondisi pasien sesungguhnya‖.

Fakta lain yang ditemukan bentuk coping behavior yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam
mengatasi keterbatasan sumber daya manusia dan dana yang dimiliki terkait dengan pelaksanaan beberapa
program kesehatan seperti kegiatan promosi kesehatan dan program pengembangan pelayanan kesehatan.
Sebagai contoh dapat dilihat kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas yang dapat mencakup beberapa
program dalam satu kegiatan yang dilakukan, sebagaimana hasil pengamatan yang digambarkan sebagai berikut:

―Pada salah satu kegiatan penyuluhan atau promosi kesehatan yang dilaksanakan pada salah satu
Puskesmas terlihat dari satu kegiatan yang berlangsung didalamnya dapat dilaksanakan beberapa program,
seperti kegiatan penyuluhan tentang kesehatan lingkungan, pencegahan demam berdarah, dan penyakit-
penyakit lainnya seperti flu burung. Dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan juga dilakukan
kegiatan pemberian asupan gizi bagi balita‖.

Berdasarkan kegiatan yang berlangsung sebagaimana hasil pengamatan di atas, hal itu tidak lain
merupakan cara petugas Puskesmas untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan mereka dalam melaksanakan
beberapa program, sehingga dilakukan modifikasi pekerjaan. Cara memodifikasi seperti ini pihak Puskesmas
dapat melaksanakan program-program yang dapat terlaksana secara minimal. Apalagi program yang sifatnya

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 201


penyuluhan atau promosi kesehatan tidak menjadi sorotan atau perhatian utama masyarakat sehingga jarang ada
komplain yang diterima petugas jika kegiatan ini tidak terlaksana. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang
staf Puskesmas dikatakan sebagai berikut:

―Kegiatan yang kami laksanakan seperti itu sebenarnya untuk melaksanakan beberapa program yang tidak
dapat terlaksana jika dilakukan secara sendiri-sendiri, karena jumlah petugas yang terbatas karena kalau itu
dilaksanakan di luar Puskesmas, maka konsekuensinya pelayanan dalam Puskesmas bisa juga tertunda atau
tidak maksimal karena petugasnya sebagian ke lapangan, selain itu kegiatan seperti ini merupakan salah
satu cara untuk mengatasi keterbatasan dana atau anggaran yang ada, karena kalau turun ke lapangan pasti
butuh biaya lagi‖.

Fakta di atas memperlihatkan bahwa kreatifitas pimpinan Puskesmas sangat berperan dan menentukan
keberhasilan Puskesmas melaksanakan berbagai program yang menjadi tugas dan fungsinya dalam pelayanan
kesehatan. Karena selain itu, beberapa Puskesmas praktis tidak dapat melaksanakan program-programnya secara
keseluruhan jika tidak mampu membuat jaringan dengan instansi-instansi lain baik perusahaan, organisasi
kemasyarakatan, maupun kelompok-kelompok atau komunitas warga. Khusus dalam kerjasama dengan warga
masyarakat dalam melaksanakan programnya, pihak Puskesmas membentuk kelompok kader Puskesmas
bersama-sama dengan tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) di kecamatan atau kelurahan
dalam wilayah kerja Puskesmas.

Perilaku pemanfaatan sumber daya manusia secara maksimal

Kendala utama yang dihadapi oleh Puskesmas dalam melaksanakan tugas pelayanan kepada warga
masyarakat adalah kurangnya tenaga sumber daya manusia yang dimiliki baik aspek kuantitas maupun kualitas.
Persoalan ini menjadi faktor penghambat dalam mengoptimalkan pelayanan, sehubungan dengan itu upaya
untuk mengatasi hambatan tersebut pihak pimpinan Puskesmas berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan
potensi tenaga yang tersedia. Ketenagaan di Puskesmas meliputi tenaga medis, paramedis, dan staf administrasi.
Karena kurangnya jumlah tenaga yang ada maka dilakukan perekrutan tenaga kontrak sekalipun belum
mencukupi, dengan demikian pada Puskesmas juga banyak ditempati siswa dan mahasiswa keperawatan untuk
magang (praktek kerja lapang) sehubungan dengan itu tenaga-tenaga magang tersebut yang dinilai sudah cakap
diberi ruang untuk membantu tenaga organik yang ada sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.

Pemanfaatan sumber daya manusia secara maksimal dilakukan juga oleh pimpinan Puskesmas dalam
mengatasi kendala pelaksanaan beberapa pekerjaan yang bersifat promotif atau penyuluhan kesehatan,
kadangkala beberapa tenaga yang tidak sesuai dengan latar belakang keahlian namun memiliki pengalaman
diterjunkan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. Selain itu juga dimanfaatkan tenaga-tenaga dari masyarakat
yang disebut sebagai kader Puskesmas, mereka ini adalah tenaga yang dididik dan dilatih untuk dapat
melaksanakan beberapa program-program Puskesmas terutama yang berkait langsung dengan kepentingan dan
kebutuhan. Misalnya mereka dapat dimanfaatkan sebagai tenaga penyuluh bidang gizi, pengasuhan anak
(balita), kesehatan lingkungan dan keluarga berencana.

Aktivitas para kader Puskesmas ini sangat membantu pelaksanaan tugas-tugas Puskesmas.
Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang staf Puskesmas sebagai berikut:

202 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


―para kader Puskesmas tidak lain adalah warga yang sudah terlatih sehingga dapat membantu untuk
melaksanakan beberapa program Puskesmas khususnya kegiatan di luar gedung Puskesmas. Mereka
bekerja secara sukarela, pengetahuannya tentang pelayanan kesehatan diperoleh dari pelatihan-pelatihan
yang dilakukan oleh petugas Puskesmas. Dengan adanya tenaga kader ini diharapkan warga masyarakat
dapat mengelola atau membudayakan hidup sehat pada dirinya dan lingkungannya dan selanjutnya dapat
menjadi contoh bagi warga sekitarnya‖.

Tenaga sukarela dari kalangan kader ini bekerja di lingkungannya dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan
promosi kesehatan, penyuluhan, dan kegiatan survai antisipasi terjangkitnya penyakit seperti pemantauan jentik
nyamuk, pelayanan Posyandu, dan beberapa kegiatan lain yang membutuhkan tenaganya. Keberadaan kader ini
memang dirasakan sangat membantu hanya saja persoalannya mereka kurang diberikan pembinaan secara
berkelanjutan.

Perilaku mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa program

Bentuk perilaku ini dapat ditemukan pada beberapa Puskesmas yang tidak atau mengurangi volume
atau frekuensi pelaksanaan suatu program dan hanya memprioritaskan pelaksanaan program tertentu, kalau
seperti pelayanan pada Puskesmas terlihat program dominan yang dilaksanakan adalah pelayanan pengobatan,
pemeriksaan dan perawatan pasien. Sedangkan program lainnya jarang dilaksanakan.

Jika diperhatikan kegiatan-kegiatan yang menjadi tugas Puskesmas secara garis besar meliputi dua
kegiatan yakni public care dan privat care. Public care tidak lain merupakan kegiatan-kegiatan pelayanan
kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk melakukan pencegahan timbulnya berbagai penyakit atau sifatnya
merupakan tindakan preventif. Sedangkan kegiatan yang bersifat privat care adalah kegiatan-kegiatan berupa
pemberian tindakan pengobatan atau perawatan kepada pasien secara perseorangan, hal ini sifatnya tindakan
individual yang diberikan kepada pasien, namun pelayanan yang dominan pada Puskesmas.

Berdasarkan kedua kegiatan tersebut berbagai program yang dapat dilaksanakan oleh Puskesmas dalam
rangka pelayanan kepada masyarakat. Pada kegiatan public care, program yang menjadi tugas pokok Puskesmas
meliputi program promosi kesehatan, pencegahan penyakit menular, kesehatan ibu dan anak, kesehatan
reproduksi dan keluarga berencana, upaya kesehatan gizi masyarakat, sanitasi dan kesehatan lingkungan, dan
program-program pengembangan Puskesmas antara lain meliputi proghram pelayanan kesehatan mata,
kesehatan jiwa, kesehatan lansia, kesehatan olahraga, kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan sekolah.
Program pengembangan ini merupakan program tambahan yang dapat diprogramkan Puskesmas sepanjang
sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat sekitar dan kemampuan sumber daya yang dimiliki Puskesmas.

Beberapa program pengembangan puskesmas sengaja tidak dilaksanakan oleh petugas Puskesmas
dengan alasan bahwa tidak ada yang termuat dalam program tersebut yang menjadi kebutuhan masyarakat,
dengan kata lain tidak kasus-kasus penyakit yang spesifik sehingga perlu dibuat adanya program
pengembangan. Sebagaimana terlihat program pengembangan Puskesmas memang disebutkan dalam tugas
pokok Puskesmas, tetapi dalam kenyataannya dalam masyarakat banyak kasus-kasus masalah kesehatan
masyarakat yang sebenarnya bisa diangkat menjadi program pengembangan, tetapi hal seperti ini agak jarang
dilakukan oleh Puskesmas.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 203


Banyaknya program-program pelayanan kesehatan yang menjadi tanggungjawab Puskesmas, jika
dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh Puskesmas, maka program tersebut menjadi
mustahil untuk dapat dilaksanakan secara efektif dalam satu periode tahun anggaran tertentu.

Sebagaimana dituturkan oleh salah seorang petugas Puskesmas memberikan informasi sebagai berikut:

―Memang di Puskesmas banyak sekali program yang harus dilaksanakan terutama program-program yang
bersifat pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk pelaksanaan program ini otomotis kami harus turun
lapangan seperti kegiatan survailans harus diterjunkan beberapa petugas sesuai dengan trend penyakit yang
ada, misalnya kalau ada kasus penemuan balita gizi buruk, pasti kita semua harus turun secara terpadu,
begitu juga kalau ada kasus demam berdarah. Dan kalau itu terjadi pasti pelayanan di dalam Puskesmas
menjadi agak terganggu, karena kekurangan petugas. Itulah sebabnya kami disini memilih-milih program
seperti pelayanan kesehatan masyarakat yang dapat dilaksanakan, dalam penentuan program pelayanan itu
kami juga memperhitungkan berbagai aspek terutama yang terkait dengan ketersediaan sumber daya yang
dimiliki oleh Puskesmas‖.

Pendapat lain dari salah seorang informan petugas yang diwawancarai yang bertugas pada Puskesmas
yang berbeda terkait dengan pengurangan beberapa program yang menjadi kewajiban Puskesmas dalam
menyeleng-garakan pelayanan kesehatan untuk dilaksanakan, dari hasil wawancara diperoleh informasi:

―Cara lain yang dilakukan untuk mengurangi beban kerja adalah dengan melaksanakan semua program
yang menjadi beban tanggungjawab Puskesmas dengan cara mengurangi frekuensi kegiatan. Misalnya saja
pelaksanaan program upaya kesehatan sekolah (UKS) dimana program ini dilaksanakan dengan
mengunjungi sekolah-sekolah yang ada dalam wilayah kerja Puskesmas, tetapi karena tidak mungkin
semua sekolah dikunjungi apalagi kalau jumlahnya sudah banyak, maka yang dilakukan adalah cukup
mengunjungi satu unit sekolah dalam satu tahun anggaran. Biasa juga untuk kegiatan penyuluhan kami
mengundang warga datang ke Puskesmas. Kalau warga yang datang ke Puskesmas, maka akan banyak
kegiatan penyuluhan yang dapat dilaksanakan‖.

Memperhatikan informasi yang diberikan oleh informan di atas dapat dikatakan bahwa coping
behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats ini sifatnya sangat situasional. Karena perilaku
mengurangi beberapa program yang menjadi program pokok sifatnya juga tidak tetap, artinya bisa saja pada
tahun anggaran sekarang ada program yang tidak dilaksanakan atau tidak diprogramkan namun pada waktu lain
dilaksanakan. Dan hal seperti ini sering membuat petugas berusaha berkelit jika misalnya ada program yang
tidak terlaksana dengan mengatakan bahwa ―tidak ditemukan kasus-kasus penyakit sehingga tidak
diprogramkan‖. Dengan cara seperti ini sangat riskan untuk dilakukan pencegahan penyakit.

Perilaku menyederhanakan pekerjaan

Bentuk perilaku ini hampir sama dengan perilaku pertama di atas, perbedaannya terletak pada aspek
tindakan yang diberikan oleh petugas pelayanan kepada pengguna layanan. Penyederhanaan kegiatan
merupakan salah satu bentuk coping yang banyak ditemukan dilaksanakan oleh petugas Puskesmas.
Penyederhanaan kegiatan dilakukan untuk mengurangi dan menangani tekanan kerja yang muncul setiap saat.

204 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Cara penyederhaan juga memberikan kesan bahwa pekerjaan bisa terlaksana. Berikut penilaian informan salah
seorang staf Puskesmas, terkait dengan berbagai bentuk penyederhaan pekerjaan yang dilakukan.

―Terus terang pak, kalau mau diikuti semua program-program Puskesmas yang ada, maka bisa-bisa kita
bekerja disini 1 x 24 jam itupun mungkin tidak selesai. Pekerjaan di Puskesmas inikan banyak sekali, tidak
hanya pengobatan dan perawatan. Sepengetahuan masyarakat hanya itulah pekerjaan Puskesmas, padahal
yang pokok sebenarnya adalah pelaksanaan program kesehatan masyarakat, pekerjaan ini sebenarnya yang
menguras banyak waktu dan tenaga karena kami harus turun lapangan secara tim. Itulah sebabnya
pimpinan juga harus pandai-pandai mengatasi tuntutan pekerjaan itu melalui berbagai cara seperti
menyederhanakan pekerjaan. Misalnya saja kalau ada program turun lapangan, tidak hanya satu kegiatan
yang dilaksanakan tetapi banyak kegiatan yang bisa jalan. Dengan cara seperti ini kita juga bisa
menghemat penggunaan anggaran‖.

Berdasarkan informasi yang disampaikan di atas juga dibenarkan oleh salah seorang warga masyarakat,
tepatnya kader Puskesmas yang sering mengikuti kegiatan-kegiatan lapangan Puskesmas, seperti penuturannya
berikut ini:

―Pelaksanaan kegiatan Puskesmas khususnya pada beberapa program yang dapat dilaksanakan secara
serentak bisanya pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama. Biasanya petugas kalau turun lapangan
seperti kunjungan pada Posyandu dengan kegiatan penimbangan balita biasanya dirangkaian dengan
beberapa kegiatan yang sejenis termasuk pemeriksaan ibu-ibu hamil dan pemberian asupan gizi. Selain itu
juga secara bersamaan dilakukan survai lingkungan warga, kunjungan ke rumah-rumah warga untuk
melihat perilaku hidup sehat warga. Jadi dengan cara seperti itu pak, petugas Puskesmas bisa
melaksanakan beberapa kegiatan dalam waktu yang sama‖.

Kegiatan penyederhanaan pekerjaan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas seperti yang diutarakan di
atas mensiratkan bahwa beberapa program Puskesmas yang menjadi tanggungjawabnya sebagaimana tujuan
yang harus dicapai oleh UPTD Puskesmas ini yaitu supaya terlihat bahwa program-program yang ada sudah
terlaksana. Apalagi jika sudah dibuktikan dengan adanya laporan kegiatan dan kunjungan lapangan, maka
dianggap kegiatan atau program tersebut sudah terlaksana. Dengan demikian program tersebut dianggap jalan
karena ada progresnya.

Biasanya petugas Puskesmas sangat antusias dan secara serius menangani suatu program jika hal itu
menjadi sorotan publik. Misalnya pada beberapa kasus yang pernah mendapat pemberitaan media massa (surat
kabar dan televisi) yaitu gizi buruk yang diderita oleh balita, dengan adanya kasus seperti itu karena mendapat
sorotan maka biasanya dijadikan sebagai titik perhatian yang harus mendapat penanganan atau tindakan secara
serius. Padahal sebenarnya kalau petugas rajin turun lapangan, maka kasus seperti itu tidak akan terjadi.

Perilaku memaksakan kepatuhan pelanggan (biaya psikologis)

Birokrat street-level memiliki kekuasaan terhadap pekerjaannya. Lipsky (1980) mengatakan bahwa
birokrat street-level bekerja pada suatu rutinitas, sehingga kadang-kadang menghindari pekerjaan-pekerjaan
yang memerlukan pemikiran-pemikiran baru. Oleh sebab itu, jika diperhadap-kan pada suatu pekerjaan yang
diluar kebiasaan yang rutin dilaksanakan, maka pada situasi seperti ini birokrat street-level berupaya
mengendalikan pekerjaannya dengan menuntut adanya kepatuhan klien sesuai dengan keinginannya.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 205


Salah satu bentuk kepatuhan klien yang sangat tegas diterapkan oleh petugas Puskesmas adalah
kepatuhan terhadap jam pelayanan (jam buka loket). Pelayanan administrasi pasien dimulai pada saat registrasi
di loket pelayanan yang mulai dibuka sekitar jam 08.00 Wita sampai dengan jam 11.00 Wita. Apabila pasien
tidak memanfaatkan waktu pelayanan registrasi tersebut maka mereka akan diabaikan atau tidak akan dilayani.

Berdasarkan observasi partisipatif yang dilakukan diperoleh informasi bahwa petugas Puskesmas
memiliki kekuasaan dalam pekerjaannya dan memaksa kepatuhan para klien (warga) yang mau dilayani untuk
mentaati peraturan-peraturan yang berlaku di instansinya. Kalaupun terdapat pelanggan yang ―ngotot‖ biasanya
petugas bersikap tidak peduli (cuek) dan mengalihkan alasan penolakannya kepada pimpinannya, biasanya
dengan perkataan ―ini sudah aturan dari atas, ketemuki sama Kapus‖. Dengan perilaku seperti itu, warga (pasien)
yang berada pada posisi lemah tidak bisa berbuat apa-apa dan menyerah pada keadaan dengan mengikuti
peraturan-peraturan yang sudah dibuat oleh Puskesmas dan hal ini dikaitkan dengan SOP (Standar Operasional
Prosedur).

Sesuai dengan perilaku yang ditunjukkan oleh petugas Puskesmas dalam melakukan pelayanan dan
menghadapi klien yang tidak patuh pada aturan pelayanan sebagaimana ketentuan yang dibuat oleh Puskesmas.
Dari hasil wawancara dengan petugas loket diperoleh informasi:

―Sebenarnya mereka tidak ditolak pak, saya menganjurkan supaya datang besok saja, karena ketentuan
Puskesmas disini jam tutup loket itu jam 11.00. sehingga kami juga disini akan ditegur pimpinan kalau
tidak melaksanakan peraturan itu. Selain itu, setelah pelayanan pasien selesai, kami petugas loket juga
mengerjakan pekerjaan lain jadi bukan berarti tidak ada lagi pekerjaan yang kita laksanakan disini, karena
pekerjaan selanjutnya adalah memeriksa kembali data pasien, buku daftar pasien, mencocokkan kembali
data pasien yang berobat dengan pencatatan pada buku pendaftaran, menyimpan dan merapikan buku
berobat pasien pada lemari/rak kartu. Dan semua pekerjaan tadi harus selesai dan dilaporkan ke Kepala
Puskesmas pada hari ini juga. Disini pencatatan pak, haruski hati-hati dan tidak boleh salah, karena kalau
terjadi kesalahan akibatnya dana asuransi dan bantuan kesehatan bisa tidak dibayarkan, begitu juga dana
jasa medis tidak akan terbayar‖.

Penjelasan yang dikemukakan petugas Puskesmas tersebut menunjukkan bahwa loket registrasi pasien
pada Puskesmas adalah pintu pertama yang digunakan oleh birokrat pelayanan untuk mengendalikan jumlah
warga yang akan dilayani dalam satu hari kerja. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh petugas yaitu
bahwa apabila jumlah pasien tidak dikendalikan dalam arti loket terus dibuka sesuai jam kerja, maka bisa
menyebabkan jumlah pasien sangat banyak yang harus dilayani dan berdampak pada ketidakmampuan petugas
menyelesaikan pekerjaannya dalam satu hari kerja, karena pasien yang sudah teregister harus dilayani pada hari
itu juga yang bisa saja waktu pelayanan melewati jam kerja dalam satu hari.

Alasan lain yang mengemuka dalam pembatasan pasien ini untuk pengobatan dan perawatan adalah
karena tugas Puskesmas tidak hanya urusan medis tetapi juga berbagai tugas lain seperti halnya dokter sebagai
kepala Puskesmas tidak hanya melaksanakan tugas sebagai dokter tetapi juga sebagai pimpinan yang kadang-
kadang juga menjalankan tugas sebagai pejabat dengan menghadiri rapat dengan Kepala Dinas Kesehatan atau
tugas seremoni lain di luar kantor. Begitu juga dengan staf Puskesmas yang lain memiliki tugas-tugas ganda
baik yang bersifat indoor maupun outdoor. Penjelasan petugas Puskesmas terkait dengan tugas ganda tersebut
dijelaskan sebagai berikut:

206 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


―Jika kami konsentrasi terus pada pelayanan dalam Puskesmas untuk pengobatan dan pemeriksaan, maka
pelayanan lain di luar Puskesmas akan terabaikan, padahal pelayanan di luar Puskesmas itu tidak kalah
pentingnya sesuai dengan tugas Puskesmas. Misalnya kalau kami kurang melakukan penyuluhan tentang
hidup sehat, atau penataan lingkungan sehat, penyuluhan dan pemeriksaan status gizi anak, maka pasti
jumlah pasien yang datang ke Puskesmas akan bertambah banyak. Padahal kita semua berharap kunjungan
ke Puskesmas bagi orang sakit semakin berkurang yang datang cukup kunjungan sehat saja‖.

Semua petugas Puskesmas memiliki peran sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, apakah
dia petugas medis, paramedis, petugas administrasi, laboran, tenaga farmasi, dan lainnya. Pada semua peran
yang dilaksanakan oleh petugas Puskesmas tersebut, pada umumnya mereka menghendaki adanya kepatuhan
klien (pasien) terhadap segala ketentuan yang sudah diatur oleh Puskesmas.

Respon warga pengguna layanan terhadap model coping behaviors birokrat Puskesmas

Model coping behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats dalam pelayanan kesehatan di
Puskesmas pada prinsipnya tidak diketahui oleh semua warga masyarakat yang menggunakan jasa pelayanan
pada unit pelayanan tersebut termasuk motiv yang ada dibalik perilaku tersebut. Bentuk coping behaviors oleh
petugas Puskesmas sifatnya sangat dinamis, karena tidak ada mekanisme tertentu yang selalu sama dengan
mekanisme coping lainnya yang dilakukan pada Puskesmas yang berbeda atau Puskesmas lainnya atau pada
Puskesmas yang sama pada situasi yang berbeda misalnya pada hari dan waktu yang berbeda. Sekalipun dalam
Puskesmas yang sama tetapi waktu yang berbeda atau orang (petugas) yang berbeda bisa juga mekanisme
coping yang ditampilkan memiliki perbedaan atau dinamika tersendiri.

Perilaku yang terlihat oleh birokrat street-level dalam mengendalikan dan mengatasi keterbatasan akan
sumber daya yang dimiliki terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada warga masyarakat yakni memodifikasi
pekerjaan sesuai dengan kemampuannya, ada beberapa bentuk modifikasi pekerjaan disini antara lain,
mengurangi waktu pelayanan, mengurangi frekuensi kegiatan, menggabungkan kegiatan, dan sengaja tidak
membuat program atau kegiatan yang seharusnya dibuat dan dilaksanakan.

Dari berbagai bentuk modifikasi tersebut, dari penilaian warga masyarakat yang mendapatkan
pelayanan dari Puskesmas ditanggapi beragam. Tetapi pada umumnya respon warga masyarakat ditanggapi
negatif atau tidak menguntungkan dari sisi pelayanan yang diperoleh oleh warga masyarakat yang
membutuhkan. Sebagaimana informasi yang diperoleh dari salah seorang informan warga masyarakat dijelaskan
sebagai berikut:

―kadang-kadang petugas Puskesmas disini membuka loket pendaftaran agak lambat tetapi tutupnya
cepat…., saya kira kalau begitu merugikan kami warga masyarakat. Biasa juga kita datang mau periksa
tetapi petugas (perawat) bilang ―tidak ada dokter‖, dan kita disuruh lagi datang besok dengan alasan
dokternya pergi pertemuan di dinas‖.

Penjelasan informan di atas terlihat bahwa kadangkala petugas melakukan kegiatan luar Puskesmas
seperti promosi kesehatan, sehingga kalau bertepatan pada saat adanya kegiatan promosi kesehatan maupun
kunjungan lapangan yang dilakukan, maka pelayanan rawat jalan pada Puskesmas dikurangi waktunya.
Sebagaimana terlihat kadang-kadang dokter (petugas medis) dan perawat serta tenaga paramedis lainnya
mengurangi waktu pelayanan rawat jalan pada poliklinik di Puskesmas karena ada kegiatan lain yang akan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 207


dilaksanakan, dimana mereka harus turun lapangan melakukan peninjauan (survey) maupun melakukan
kegiatan penyuluhan terkait dengan program promosi kesehatan. Pada situasi seperti ini pasti ada kegiatan lain
yang dikurangi waktu pelayanannya, karena hal tersebut tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena
terbatasnya jumlah petugas.

Salah satu penyebab birokrat street-level melakukan perilaku coping adalah karena terbatasnya sumber
daya yang dimiliki organisasi dalam melaksanakan tugas pelayanan yang menjadi fungsinya. Kekurangan
sumber daya seperti halnya yang terjadi pada Puskesmas di Kota Makassar tidak hanya sarana dan prasarana
tetapi juga sumber daya manusia. Untuk menutupi kekurangan yang ada sekarang ini di Puskesmas dilakukan
berbagai cara seperti memanfaatkan tenaga sukarela, tenaga kontrak, dan tenaga siswa dan mahasiswa yang
magang. Supaya program-program Puskesmas dapat terlaksana secara minimal, maka terjadinya kekurangan
tenaga tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan program, seperti yang dijelaskan oleh
salah seorang Kepala Puskesmas dikatakan sebagai berikut:

―Memang dirasakan hambatan utama dalam melaksanakan program-program pelayanan kesehatan di


Puskesmas adalah kurangnya sumber daya manusia, oleh sebab itu supaya semua kegiatan yang sudah
diprogramkan, maka kami disini memanfaatkan secara optimal semua tenaga yang ada sesuai dengan
kecakapan mereka masing-masing, dan para pegawai disini diharapkan saling mendukung dan membantu
setiap rekan kerja yang membutuhkan sekalipun tidak dalam unit kerja yang sama, termasuk tenaga-tenaga
seperti siswa dan mahasiswa magang (kerja praktek) disini juga dimanfaatkan tenaganya, memang tidak
semua tapi kita pilih-pilih diantara mereka yang dianggap punya skill yang bagus‖.

Hasil observasi lapangan memperlihatkan, bahwa Kepala Puskesmas memang secara optimal
memanfaatkan tenaga yang ada dalam Puskesmas. Namun hal ini tidak berarti bahwa petugas medis dapat
digantikan perannya dengan tenaga lain yang tidak memiliki kecakapan sesuai bidangnya. Namun dalam hal
untuk mensupport tugas tenaga medis beberapa tenaga sukarela maupun siswa/mahasiswa magang juga
diperbantukan pada pelayanan khususnya pelayanan rawat jalan. Jadi tugas tenaga sukarela tersebut tetap tidak
menggantikan posisi tenaga medis yang ada tetapi hanya sebagai tenaga yang memberikan bantuan untuk
pekerjaan-pekerjaan yang memang bisa ditangani oleh tenaga yang bersangkutan.

Menyikapi perilaku birokrasi yang dilakukan oleh pimpinan instansi dalam mengoptimalkan fungsi
sumber daya manusia yang ada pada Puskesmas direspon positif oleh warga masyarakat terutama dalam
pelayanan rawat jalan maupun perawatan inap yang ada pada Puskesmas yang menyediakan pelayanan ini.
Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang informan berikut:

―bahwa keberadaan tenaga-tenaga magang ini cukup membantu dan memperlancar pekerjaan dokter dan
perawat karena adanya mereka ini kita tidak terlalu lama menunggu jika akan diperiksa dokter. Seperti
yang kita lihat itu, sebelum masuk ruang periksa terlebih dahulu diperiksa tekanan darahta, dan berat badan
oleh adik-adik perawat itu (tenaga magang), jadi kalau sudah didalam (ruang periksa dokter) dokter
langsung lihat kartuta (buku berobat) kemudian diperiksa lalu diberikan resep‖.

Penjelasan informan di atas menunjukkan bahwa keberadaan tenaga sukarela (siswa/mahasiswa


magang) pada Puskesmas memang dirasakan sangat membantu dan memperlancar tugas pekerjaan tenaga medis
maupun paramedis yang ada. Tugas-tugas yang tadinya semua dilaksanakan oleh dokter sebagiannya bisa

208 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


ditangani oleh tenaga lain sehingga dapat mempercepat proses pelayanan pasien. Dengan cara seperti ini antrian
pasien tidak terlalu panjang dan tidak terlalu lama menunggu untuk dilayani.

Coping behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats pada Puskesmas, untuk perilaku
mengurangi pelaksanaan beberapa program dapat berwujud seperti frekuensi kegiatan yang dikurangi, misalnya
kegiatan promosi kesehatan (penyuluhan) semestinya dilakukan sekali sebulan, kadang-kadang pelaksanaannya
per triwulan. Sedangkan perilaku tidak melaksanakan beberapa program yaitu program yang ada dianggap tidak
penting atau petugas menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang perlu dilakukan pada program yang ada,
apalagi jika misalnya tidak ada kasus-kasus yang spesifik yang muncul.

Sebagaimana diketahui program-program yang dilaksanakan di Puskesmas sangat banyak. Secara


umum terdapat dua program yang menjadi tugas utama Puskesmas yaitu program pokok yang meliputi beberapa
kegiatan seperti program promosi kesehatan, program P2M, program pengobatan dan perawatan, program
kesehatan ibu dan anak, program KB, program upaya peningkatan gizi masyarakat, program sanitasi dan
kesehatan lingkungan.

Sedangkan program pengembangan atau biasa disebut program pelayanan kesehatan komunitas adalah
kegiatan yang merupakan pengembangan program Puskesmas yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan Puskesmas. Program ini dilaksanakan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di
masyarakat, misalnya program ini dapat meliputi pelayanan.

Berdasarkan pada banyaknya program dengan beberapa subprogram didalamnya, maka dapat dikatakan
bahwa petugas Puskesmas tidak mampu melaksanakan semua program tersebut secara simultan, sebagaimana
dikatakan oleh salah seorang petugas Puskesmas sebagai berikut:

―…memang banyak sekali program yang ada pada Puskesmas, dan program yang paling mudah
dilaksanakan adalah pelayanan pengobatan dan perawatan pasien, ini saya katakan mudah karena pasien
yang datang ke Puskesmas. Sementara program lain agak sulit dilaksanakan karena kadang-kadang kita
harus turun lapangan melakukan survai, pemeriksaan, penyuluhan, dan pengambilan sampel di lapangan.
Untuk kegiatan seperti itu kadang-kadang kita laksanakan tergantung pada munculnya kasus. Tetapi
sebagai antisipasi biasa sekali-sekali kita turun yang penting dari semua program yang ada terlihat ada
yang terlaksana‖.

Berdasarkan informasi di atas, dari hasil pengamatan memang terlihat kegiatan utama yang
dilaksanakan oleh Puskesmas adalah kegiatan pelayanan rawat jalan (pemeriksaan dan pengobatan) dan
perawatan inap jika Puskesmas memiliki layanan perawatan. Sehingga warga masyarakat juga memiliki
penilaian bahwa Puskesmas itu hanya tempat orang berobat atau memeriksakan keluhan penyakitnya.
Sedangkan fungsi Puskesmas lainnya seperti pelaksanaan program pengembangan kurang diketahui oleh
masyarakat, sehingga jika tidak terlaksana juga tidak akan mendapat sorotan dari warga masyarakat.

Terkait dengan pelaksanaan program pengembangan ini, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang
warga masyarakat (informan) yang ditanya terkait dengan kegiatan program ini yang dilaksanakan dikatakan
sebagai berikut:

―saya tidak tahu kalau ada program-program seperti itu yang dilaksanakan oleh Puskesmas, setahu saya
kegiatan Puskesmas..ya, seperti yang kita lihat ini, mengobati atau memeriksa pasien yang sakit kalau kita

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 209


datang disini (Puskesmas)…., sakit apapun kita kalau kesini pasti diperiksa dokter sepanjang mampu
ditangani Puskesmas kita dilayani, tetapi kalau tidak bisa ditangani disini, kita disuruh ke rumah sakit
dengan membawa surat rujukan‖.

Informasi di atas memberikan penjelasan bahwa memang program pengembangan ini tidak diketahui
oleh warga masyarakat. Adanya situasi ini membuat petugas Puskesmas tidak terlalu antusias melaksanakan
program-program pengembangan maupun program lainnya yang merupakan program pokok sehingga pihak
Puskesmas juga kadang mengabaikan atau tidak melaksanakan beberapa program yang sebenarnya tidak kalah
pentingnya dengan program lainnya. Sebagai contoh bisa dikemukakan disini yaitu munculnya kasus gizi buruk
balita, kasus seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika petugas Puskesmas sering melakukan penyuluhan atau
pelacakan balita gizi buruk, begitu pula dengan munculnya penyakit-penyakit menular lainnya. Kalau hal seperti
itu dilaksanakan oleh petugas Puskesmas, maka jumlah orang yang berkunjung ke Puskesmas dapat berkurang.

Respon warga masyarakat terkait dengan perilaku mengurangi atau tidak melaksanakan beberapa
program Puskesmas yang menjadi tugas pokoknya, sebagaimana informasi yang diperoleh pada umumnya
warga tidak berpendapat merespon negatif atau positif, namun warga hanya mendukung jika memang ada
program-program lainnya yang semestinya dilaksanakan oleh petugas Puskesmas bisa dilaksanakan. Tetapi
yang terpenting oleh warga masyarakat adalah pelaksanaan pelayanan rawat jalan maupun rawat inap kalau ada,
itulah yang harus selalu ditingkatkan pelayanannya.

Menyederhanakan kegiatan dapat dimaknai sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh petugas
Puskesmas yang menjalankan beberapa kegiatan dari beberapa program Puskesmas yang berbeda secara
simultan, sebagaimana pepatah mengatakan ―sekali dayung dua tiga pulau terlampaui‖. Perilaku birokrasi
penyelenggara pelayanan dalam menyederhanakan kegiatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
penyebab, seperti karena terbatasnya waktu, kurang memadainya anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan
kegiatan, kurang tersedianya tenaga pelaksana kegiatan, dan masih rendahnya partisipasi warga masyarakat
dalam mendukung program-program Puskesmas.

Beberapa program yang dilaksanakan sebagai bentuk penyederhanaan kegiatan terlihat pada program
promosi kesehatan. Pada program ini dapat dilaksanakan beberapa kegiatan secara bersamaan oleh petugas
Puskesmas misalnya pada kegiatan penyuluhan ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan bersama-sama
seperti penyuluhan tentang gizi dan sanitasi lingkungan. Juga kegiatan lain bisa dilaksanakan seperti survai
tentang berbagai sumber-sumber penyakit menular. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang informan
dikatakan sebagai berikut:

―saya sering mengikuti beberapa program yang dilaksanakan oleh Puskesmas, misalnya kegiatan
penyuluhan. Untuk pelaksanaan program ini memang dalam satu acara biasa dilakukan beberapa kegiatan,
hal ini dilakukan karena agak sulit mengumpulkan warga untuk memperoleh informasi dari petugas
Puskesmas, sementara kalau mau dikunjungi rumah warga satu persatu, saya kira hal itu sulit dilakukan
karena petugas Puskesmas saya lihat sangat terbatas‖.

Berdasarkan informasi di atas yang disampaikan oleh salah seorang warga yang menjadi kader
Puskesmas, bahwa pelaksanaan beberapa program seringkali melibatkan warga untuk terlaksananya kegiatan

210 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


tersebut, sehingga petugas Puskesmas memanfaatkan betul jika ada kegiatan pengumpulan warga, maka pada
saat itu bisa dilaksanakan beberapa program.

Sementara dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien rawat jalan, sering juga dijumpai perilaku
penyederhanaan kegiatan. Misalnya jika kebetulan jumlah pasien cukup banyak pada waktu tertentu biasanya
dokter yang memeriksa tidak terlalu lama dan seringkali pasien dengan keluhan penyakit tertentu mereka
langsung dirujuk ke rumah sakit. Padahal ada beberapa pasien yang sebenarnya tidak perlu dirujuk, tetapi masih
dapat ditangani oleh petugas Puskesmas.

Bentuk penyederhanaan kegiatan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas pada dasarnya merupakan
bentuk coping behaviors yang berusaha mengatasi dan mengendalikan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
institusinya. Terkait dengan itu, respon warga masyarakat terhadap perilaku penyederhanaan kegiatan
Puskesmas beberapa warga menanggapi positif dalam arti mereka menerima saja, dan tidak mempersoalkan.
Sebagaimana dijelaskan oleh warga sebagai berikut:

―Sebenarnya kita tidak terlalu mempersoalkan kalau ada cara untuk melaksanakan program yang dilakukan
oleh petugas Puskesmas dalam melaksanakan beberapa programnya secara b ersamaan, yang penting bagi
kami ini warga masyarakat adalah bagaimana upaya yang dilakukan oleh petugas agar kami yang datang
berobat kesini dapat dilayani dengan baik dan cepat, itu saja harapan warga‖.

Penjelasan informan di atas menegaskan bahwa persepsi mereka tentang pelayanan Puskesmas adalah
hanya pada pelayanan pengobatan saja, sementara jenis pelayanan lainnya yang sebenarnya tidak kalah
pentingnya namun kurang diketahui oleh warga masyarakat. Oleh sebab itu cara yang dilakukan oleh petugas
dalam menyederhanakan pekerjaannya kurang ditanggapi sebagai salah satu bentuk cara pengendalian atau
mengatasi banyaknya tugas pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh petugas Puskesmas. Bagi warga masyarakat
sendiri yang terpenting adalah pelayanan pengobatan dan pemeriksaan yang tidak boleh terabaikan.

Bentuk coping behaviors yang dilakukan oleh street-level bureaucrats dengan cara memaksakan
kepatuhan klien bertujuan supaya petugas Puskesmas tidak terlalu direpotkan oleh berbagai urusan-urusan
terkait dengan pelayanan warga. Oleh sebab itu dengan cara seperti ini suka atau tidak suka warga harus patuh
terhadap peraturan yang sudah dibuat oleh Puskesmas.

Ada beberapa bentuk coping behaviors yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam memaksakan
kepatuhan kepada klien, diantaranya adalah menuntut kepatuhan klien terhadap waktu pelaksanaan pelayanan,
mentaati prosedur yang telah ditetapkan melalui SOP jika ada, menerima keputusan yang telah dibuat oleh
petugas medis atau petugas Puskesmas lainnya, dan menentukan sendiri program yang akan dilaksanakan.

Dari berbagai hal terkait dengan kemauan petugas Puskesmas supaya warga masyarakat mematuhi
segala ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan peraturan yang dibuat oleh Puskesmas hal ini
menimbulkan respon yang kadangkala kurang diterima baik oleh warga masyarakat. Sebagaimana dipaparkan
oleh salah seorang warga yang diwawancarai sebagai berikut:

―kami ini warga yang datang berobat ke Puskesmas, mendengar dan mentaati saja apa yang menjadi
peraturan Puskesmas karena kalau tidak diikuti biasa kita tidak dilayani. Misalnya saja kalau datangki
berobat disini tidak membawa kartu berobat atau KTP/KK, apalagi kalau pertama kalinya kita datang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 211


kesini mau berobat biasa kita disuruh pulang dulu ambil surat-surat, atau kalau tidak mau repot, ya harus
kita membayar, katanya itu sesuai dengan aturan walikota‖.

Sesuai dengan informasi di atas dapat dimaknai bahwa pihak petugas menghendaki adanya kepatuhan
warga terhadap aturan pelayanan yang telah dibuat oleh pihak penyelenggaran layanan (Puskesmas). Dalam
kaitan ini, pihak klien (warga) berada pada posisi lemah dimana mereka tidak memiliki kekuatan atau daya
tawar untuk menolak apa yang menjadi aturan pihak penyelenggara layanan, karena pihak klien berada pada
posisi yang membutuhkan.

Kepatuhan warga masyarakat dalam mengikuti prosedur pelayanan yang telah ditentukan oleh pihak
Puskesmas memberikan keuntungan bagi Puskesmas sendiri karena petugas Puskesmas dapat melaksanakan
tugasnya dengan lancar, tertib, dan tepat waktu. Sebagaimana dituturkan salah seorang responden sebagai
berikut:

―Kami sudah membuat standar operasional prosedur dalam pelayanan seperti yang kita lihat itu,
sebenarnya kalau warga mengikuti semua prosedur yang ada sesuai ketentuan, kami dapat mengerjakan
tugas pelayanan dengan lancar dan pelayanan bisa cepat, hanya saja persoalannya masih banyak warga
yang kurang mentaati prosedur yang sudah dibuat itu. Misalnya sudah ditentukan jam pelayanan loket
hanya sampai jam 11.00 tetapi ada saja warga yang datang lewat dari jam tersebut dan kadang-kadang
mereka tidak mau tahu bahwa loket sudah tutup dan biasanya memaksa untuk dilayani. Tidak hanya itu,
pelayanan kesehatan gratis disini mutlak dibutuhkan adanya persyaratan administrasi seperti warga yang
mau dilayani harus memperlihatkan kartu Jamkesmas, atau KTP/KK sebagai bukti bahwa mereka memang
warga yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas, namun seringkali ada warga yang datang tidak
membawa kartu berobat atau KTP/KK atau mereka berdomisili diluar wilayah kerja Puskesmas, kalau
kejadiannya seperti ini sebenarnya tidak boleh dilayani tetapi disarankan untuk ke Puskesmas tempat
mereka berdomisili. Hanya saja masalahnya warga bersangkutan tidak mau mengerti, yang penting dia
harus dilayani. ….jadi dengan situasi seperti ini seolah-olah tidak ada gunanya standar prosedur pelayanan
itu dibuat karena semau-maunya saja warga. Dan celakanya kalau kami tidak melayani kamilah yang
disoroti‖.

Informasi yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa pada setiap Puskesmas sudah ditentukan
standar pelayanan masing-masing. Supaya pelayanan berjalan dengan lancar dan tepat waktu, petugas
Puskesmas menghendaki adanya kepatuhan pasien terhadap seluruh proses dan prosedur pelayanan terutama
pelayanan rawat jalan. Petugas beranggapan bahwa jika kepatuhan pasien rendah, maka pasti dampaknya pada
kerugian bagi petugas Puskesmas karena mereka tidak dapat mengerjakan pekerjaan lainnya yang juga
merupakan program Puskesmas yang harus diselesaikan. Oleh sebab itu dengan memaksakan kepatuhan pasien
terhadap aturan Puskesmas, maka cara seperti itu merupakan salah satu solusi bagi Puskesmas dalam
menghadapi banyaknya jumlah pasien yang harus dilayani setiap hari.

Perilaku memaksakan kepatuhan klien (warga masyarakat) terhadap peraturan Puskesmas kadangkala
hal ini tidak dapat dilaksanakan secara konsisten oleh petugas, sebagaimana yang terlihat dari hasil pengamatan
terhadap sikap petugas dalam memberikan pelayanan terutama bagi pasien yang dianggap tidak mematuhi
aturan yang sudah ditetapkan oleh pihak Puskesmas bisa menjadi berbeda pelaksanaannya, misalnya ada pasien

212 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


yang menerima penolakan jika mereka dianggap tidak mematuhi aturan, dan ada juga pasien sekalipun dianggap
tidak mematuhi aturan prosedur pelayanan yang ada namun tetap mendapatkan pelayanan.

Perbedaan perlakuan dari petugas dalam menghadapi klien seperti itu dapat disebabkan berbagai faktor.
Misalnya jika ada pasien yang ―ngotot‖ atau memaksakan keinginan, biasanya petugas juga berkeras untuk tetap
tidak melayani kecuali jika mereka benar-benar memiliki penyakit serius yang perlu ditangani segera, kalaupun
hal ini mendesak biasanya mereka dirujuk ke rumah sakit. Namun jika menghadapi pasien yang agak sabar
biasanya petugas cukup merespon dengan baik. Begitu juga jika kebetulan pasien yang datang cukup dikenal
atau memiliki keluarga pegawai Puskesmas mereka biasanya direspon baik, dan dilayani sepanjang masih ada
dokter yang bertugas.

Pada beberapa Puskesmas yang ada di Kota Makassar yang menyediakan pelayanan perawatan dan
pelayanan unit gawat darurat, jika ada pasien yang datang pada saat loket registrasi pelayanan sudah tutup
biasanya mereka diarahkan pada pelayanan unit gawat darurat yang buka selama 24 jam. Tetapi kondisi ini
kadangkala ada pasien yang tidak mau ditangani di pelayanan UGD kalau mereka lihat Puskesmas masih buka
(masih dalam jam kerja), kecuali jika jam kerja sudah selesai pada umumnya pasien menerima.

Terkait dengan perilaku memaksakan kepatuhan kepada klien oleh petugas Puskesmas ini sebagian
besar warga masyarakat merespon secara negatif dalam arti mereka tidak dapat menolak apa yang sudah
menjadi aturan Puskesmas, dalam hal ini warga masyarakat berada pada posisi subordinasi yakni mereka
khususnya warga kurang mampu yang mendominasi pengguna layanan Puskesmas sangat tergantung pada
pelayanan Puskesmas ini karena tidak adanya pilihan bagi mereka untuk berobat ketempat lain, sebab hanya
Puskesmas beserta rumah sakit rujukan yang memberikan pelayanan kesehatan yang tidak berbayar.
Sehubungan dengan itu warga masyarakat pengguna layanan Puskesmas akan tunduk pada peraturan
Puskesmas, sekalipun diantara mereka ada juga yang mengeluh.

KESIMPULAN

Pembahasan mengenai konstruksi model perilaku birokrasi penyelenggara pelayanan kesehatan pada
Puskesmas memperlihatkan bahwa program-program pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya tidak
dapat dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan secara simultan pada Puskesmas yang ada di Kota Makassar
karena keterbatasan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Akibat dari keterbatasan tersebut pada
akhirnya birokrat penyelenggara pelayanan melakukan coping behaviors yang meliputi perilaku-perilaku seperti
perilaku memodifikasi konsep tentang pekerjaan. Perilaku ini terlihat pada perilaku memodifikasi pekerjaan
sesuai kemampuan, perilaku memanfaatkan sumber daya manusia secara maksimal, perilaku mengurangi atau
tidak melaksanakan beberapa program atau kegiatan, perilaku menyederhanakan pekerjaan, dan perilaku
memaksakan kepatuhan pelanggan.

Respon warga masyarakat sebagai pihak yang dilayani oleh para birokrat penyelenggara pelayanan
kesehatan pada Puskesmas menunjukkan respon yang cukup beragam, dari beberapa bentuk coping behaviors
tersebut pada umumnya direspon positif diterima sebagai konsekuensi dari segala keterbataasan pelayanan atau
tidak secara ekstrim ditolak, hanya perilaku memaksakan kepatuhan klien yang direspon negatif khususnya
kepatuhan pada jam pelayanan registrasi pasien.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 213


DAFTAR PUSTAKA

Cooper, Terry L., 2001. Handbook of Administrative Ethics. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Davidow H., William, dan Uttal, Bro, 1989. Total Customers Service The Ultimate Weapon. The Free Press,
New York.

Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B., 2003. The New Public Service: Serving, Not Stering. M.E. Sharpe,
New York.

Frederickson, G. H., and Smith, Kevin B., 2002. The Public Administration Theory Primer. Westview Press.
United States of America.

Gibson,J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, J.H., 1996. Organisasi Perilaku Struktur dan Proses. Erlangga,
Jakarta.

Keban, Yeremias T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu. Edisi-2. Gava
Media, Yogyakarta.

Lipsky, Michael, 1980. Street-Level Bureaucracy Dilemmas of the Individual in Public Services. Russel Sage
Foundation, New York.

Riggs, Fred W., 1998. Administrasi Negara-Negara Berkembang: Teori Masyarakat Prismatik. (Terjemahan
Yasogama). CV Rajawali, Jakarta.

Robbins, Stephen P., 2008. Perilaku Organisasi. Edisi ke-10. Terjemahan. PT Indeks, Jakarta.

Rochadi, Sigit, 2008. ―Perubahan Paradigma Pelayanan Publik‖. Dalam Sinambela, Lijan Poltak, et.al.,
Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Bumi Aksara, Jakarta.

Roth, Gabriel. 1987. The Private Provision of Public Service in Developing Countries, EDI Series in Economic
Development, Published for the World Bank, Oxford University Press.

214 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Mengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan
Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Perkotaan: Studi di
Puskesmas Kota Surabaya

Falih Suaedi

Departemen Ilmu Administrasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

suaedifalih@yahoo.com

Abstrak: Kelompok miskin pada umumnya mempunyai status kesehatan yang lebih rendah
dibandingkan dengan status kesehatan rata-rata penduduk. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin
terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan
kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (48,7 %) masalah
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak, dan transportasi. Selain
mengenai masalah kendala, masyarakat miskin biasanya lebih rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi
penularan penyakit karena berbagai kondisi, seperti kurangnya kebersihan lingkungan dan perumahan yang
saling berhimpitan, perilaku hidup bersih masyarakat yang belum membudaya, pengetahuan terhadap
kesehatan dan pendidikan yang umumnya masih rendah.

Kondisi di atas bertambah parah karena bagi warga miskin, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang memuaskan adalah hal yang sangat sulit. Penelitian yang dilakukan mengenai pelayanan rumah sakit bagi
masyarakat miskin memperlihatkan bahwa pasien miskin di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit
swasta serta Puskesmas, umumnya memiliki tingkat kepuasan yang kurang memadai, diantaranya pada
pelayanan administrasi yang dinilai rumit, berbelit, kurang informasi, petugas yang kurang ramah, tidak
diberikan resep obat generik, dan pelayanan yang memakan waktu cukup lama. Puskesmas merupakan salah
satu unit pelayanan kesehatan dasar yang paling sering digunakan, paling luas penyebarannya dan dapat
langsung dijangkau oleh masyarakat. Dari fungsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa puskesmas
merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin. Namun demikian,
pelayanan yang diberikan oleh puskesmas kepada masyarakat miskin belum maksimal. Salah satunya, kurang
ramahnya respon yang diberikan petugas di Puskesmas ketika memberikan layanan, membuat warga jera untuk
berobat ke Puskesmas.

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif diskriptif. Teknik penarikan
informan menggunakan Purposive Sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik indepth-interview
dan data dokumen.

Hasil kajian menunjukkan bahwa yang paling sering terjadinya insiden pelayanan adalah menyangkut
soft-skill atau soft competence SDM Puskesmas dan sekaligus yang paling dibutuhkan oleh masyarakat miskin

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 215


dalam pelayanan puskesmas. Pelayanan pada masyarakat miskin diperlukan prakondisi yang “menghargai
martabat mereka” karena mereka tak punya bargaining position yang kuat, dan hal demikian bisa tumbuh pada
SDM yang mempunyai soft-competence yang tinggi.

Kata kunci: Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kualitas Pelayanan, Puskesmas,

Masyarakat miskin

Pendahuluan

Kelompok miskin pada umumnya mempunyai status kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan
status kesehatan rata-rata penduduk. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh
terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data
SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (48,7 %) masalah untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak, dan transportasi. Selain mengenai masalah kendala, masyarakat
miskin biasanya lebih rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit karena berbagai kondisi,
seperti kurangnya kebersihan lingkungan dan perumahan yang saling berhimpitan, perilaku hidup bersih
masyarakat yang belum membudaya, pengetahuan terhadap kesehatan dan pendidikan yang umumnya masih
rendah.

Kondisi di atas bertambah parah karena bagi warga miskin, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang memuaskan adalah hal yang sangat sulit. Penelitian yang dilakukan mengenai pelayanan rumah sakit bagi
masyarakat miskin memperlihatkan bahwa pasien miskin di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit
swasta, umumnya memiliki tingkat kepuasan yang kurang memadai, diantaranya pada pelayanan administrasi
yang dinilai rumit, berbelit, kurang informasi, petugas yang kurang ramah, tidak diberikan resep obat generik,
dan pelayanan yang memakan waktu cukup lama. Selain itu, keharusan membayar uang muka juga menjadi
penghalang bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Selain rumah sakit, salah satu upaya pemerintah dalam peningkatan kesehatan masyarakat adalah
dengan mendirikan puskesmas. Puskesmas merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan dasar yang paling
sering digunakan, paling luas penyebarannya dan dapat langsung dijangkau oleh masyarakat. Menurut
Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004, puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan
Kab/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sehingga
puskesmas bertugas untuk menyelenggarakan pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan
masyarakat, dan bertindak sebagai pusat pelayanan kesehatan strata I, meliputi pelayanan kesehatan perorangan
dan masyarakat. Dari fungsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa puskesmas merupakan ujung tombak
dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi puskesmas untuk
dapat memberikan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut, mutu pelayanan
puskesmas dan tingkat pemanfaatan layanan puskesmas sangat terkait dengan kompetensi sumber daya manusia
yang memberi pelayanan bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan bermutu adalah tingkat pelayanan yang dapat

216 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


memberi kepuasan kepada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta tata cara
penyelenggaraannya sesuai standar dan etika profesi yang telah ditetapkan.

Namun demikian, pelayanan yang diberikan oleh puskesmas kepada masyarakat miskin pada
kenyataannya belum maksimal. Bahkan, kondisi tersebut masih ditemui di kota besar, salah satunya adalah di
Surabaya. Menurut Sekretaris Komisi D Bidang Kesra dan Pendidikan DPRD Surabaya, Muhammad Alyas,
keluhan yang dirasakan warga selama ini adalah mahalnya biaya karcis untuk sekali layanan. Selain itu, kurang
ramahnya respon yang diberikan petugas paramedis di Puskesmas ketika memberikan layanan, membuat warga
jera untuk berobat ke Puskesmas.

Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono, juga menyatakan bahwa pihaknya sering menerima
laporan dari masyarakat mengenai jam operasional puskesmas yang lebih pendek. Jadwal tutup puskesmas
semestinya adalah pukul 14.30, justru dilakukan lebih awal. Lebih lanjut, Baktiono mengatakan bahwa banyak
juga yang melaporkan adanya penolakan dari puskesmas untuk memberikan rujukan ke rumah sakit. Hal ini
rata-rata dikeluhkan oleh pasien dari keluarga miskin.

Selain itu, kasus terbaru terjadi di Puskesmas Sememi, dimana pelayanan yang buruk merupakan imbas
dari kepemimpinan yang buruk. Seorang pegawai mengatakan bahwa pihaknya sering ditekan secara sewenang-
wenang oleh Kepala Puskesmas, terutama masalah rujukan mengantar pasien. Semua pegawai harus siap dan
mau menjadi sopir ambulance apabila diperlukan. Padahal Dinas Kesehatan Kota Surabaya sudah menyiapkan
sopir ambulance, tapi semua itu dipergunakan untuk kepentingan pribadi kepala puskesmas, karena dia merasa
berwenang, terlebih lagi sopir tersebut adalah adik kandungnya sendiri. Berbagai macam permasalahan terkait
pelayanan puskesmas di Surabaya tersebut sebagian besar berangkat dari kualitas SDM yang buruk. Oleh karena
itu, penelitian ini mencoba untuk mengembangkan kompetensi sumber daya manusia untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin perkotaan: studi di Puskesmas Wilayah Kota Surabaya.

Perumusan Masalah

Dengan mempertimbangkan pentingnya pelayanan kesehatan yang berkualitas, maka keberadaan


sumber daya manusia yang kompeten merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh puskesmas. Oleh sebab
itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah pengembangan kompetensi sumber daya
manusia untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin perkotaan: studi di
puskesmas wilayah Kota Surabaya?

Landasan konseptual

Pengembangan Kompetensi

Dalam Human Resources Champions (1997), Ulrich menguraikan beberapa hal dalam pengembangan
kompetensi sumber daya manusia, yaitu:

1. Menciptakan manajemen SDM yang ideal agar efektif dalam mencapai tujuan-tujuan perusahaan.
Fungsi SDM yang ideal tercapai jika berhasil mengelola SDM perusahaan sehingga menghasilkan
kinerja optimum. Untuk itu, fungsi SDM perlu diperankan sebagai strategic partner bagi elemen-
elemen lain dalam perusahaan.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 217


2. Meningkatkan kompetensi karyawan dalam perusahaan secara berkesinambungan sehingga dihasilkan
kompetensi yang mampu bertahan lama.

3. Mengembangkan selection tools agar menemukan SDM berkualitas bagi perusahaan. Selection tools
yang umum digunakan adalah behavior interview, assessment, knowledge test, dan motivational fit
inventories. Organisasi yang berbasis-kompetensi perilaku juga mencakup juga penekanan atas
integritas sebagai perilaku, yang diterjemahkan dalam perilaku nyata berupa keselarasan antara pikiran,
perkataan, dan perbuatan yang mengacu pada kode etik perusahaan. Perusahaan dapat mengembangkan
keterampilan ini dengan menekankan kejujuran (honesty), komitmen, dan konsistensi dari karyawan
dalam seleksi dan pengembangan karyawan.

Pengembangan kompetensi karyawan juga dapat dilakukan melalui iklim organisasi yang kondusif,
yaitu adanya hubungan yang baik di antara perusahaan dan karyawan. Beberapa hal yang dapat ditempuh
adalah sebagai berikut :

1. Perusahaan menunjukkan pengakuan dan penghargaan atas peranan SDM sebagai sumber daya
penting bagi kemajuan perusahaan. Perusahaan dapat mewujudkannya dengan memahami dan
memenuhi hak-hak karyawan.

2. Mengembangkan komunikasi yang lancar di antara perusahaan dan karyawan sehingga karyawan
memahami pemenuhan hak-hak mereka dan pentingnya pengembangan kompetensi mereka sebagai
kewajiban mereka terhadap perusahaan.

Selain itu, perihal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip kemitraan di antara
perusahaan dan karyawan: Partners in production, partners profit, dan partners in responsibility. Jika prinsip
kemitraan ini dikembangkan dengan baik, maka perusahaan akan memenuhi hak-hak karyawan sebagai bagian
dari pertukaran nilai dengan para karyawan. Beberapa bukti konkrit tentang pengembangan suasana yang
kondusif bagi kemitraan berkelanjutan adalah pengupahan yang memadai dan adil (minimal setara dengan
UMR), tersedianya jaminan kesehatan dan keamanan kerja, terdapat kemerdekaan berserikat, praktik
manajemen SDM yang tidak diskriminatif, hubungan-hubungan yang anti kekerasan mental dan fisik, maupun
penerapan jam kerja yang adil dan manusiawi.

Dalam meningkatkan kompetensi, terdapat dua tantangan utama yang harus diperhatikan: pertama,
kompetensi harus berjalan dengan strategi bisnis. Kedua, kompetensi perlu diciptakan melalui lebih dari satu
mekanisme. Dalam hal ini, ada lima cara untuk meningkatkan kompetensi: buy, build, borrow, bounce, dan bind
(Ulrich, 1998).

1. Buy

Cara ini dilakukan dengan mengganti karyawan yang lama dengan yang baru, yang memiliki kualitas lebih
baik. Stratgei buy disini mencakup seleksi dan staffing mulai dari entry level sampai officer level. Metode ini
akan berjalan baik bila bakatnya tersedia dan dapat diakses, selain itu metode ini memiliki resiko kegagalan
yang besar. Perusahaan kemungkinan tidak menemukan bakat di luar perusahaan lebih baik atau lebih qualified
dari bakat di dalam perusahaan. Dan jika bakat eksternal tidak dapat berintegrasi dengan perusahaan, kegagalan
akan terjadi.

218 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


2. Build

Investai dilakukan terhadap para karyawan untuk meningkatkan kualitas mereka menjadi lebih baik.
Sebagaimana pembelajaran dalam bantuk program latihan formal, namun sebagian besar dalam bentuk on-the-
job experience. Strategi build ini akan berjalan baik jika manajer senior manjamin bahwa pengembangan lebih
dari sekedar pelatihan akademik, jika pelatihan didasarkan pada hasil dan bukan pada teori, jika pembelajaran
sistmatik dari pengalaman kerja terjadi. Resiko dari penerapan strategi ini adalah menghabiskan dana sangat
besar dan waktu untuk kepentingan pelatihan.

3. Borrow

Dalam strategi ini, perusahaan mencari keluar sumber daya manusia yang mampu memberikan ide/gagasan,
kerangka kerja, dan alat untuk menjadikan perusahaan lebih kuat. Penggunaan konsultan maupun partner yang
efektif dimungkinkan untuk membagi pengetahuan, menciptakan pengetahuan baru, dan desain kerja. Banyak
perusahaan sedang belajar bagaimana menggunakan konsultan dan bukan tergantung pada mereka. Strategi ini
mensyaratkan adaptasi model dari konsultan dan bukan adopsi, karena setiap perusahaan memiliki cara yang
berbeda untuk mengaplikasikan gagasan tersebut. Cara borrow ini juga memiliki resiko, yaitu adanya
kemungkinan investasi yang sangat besar namun dengan return yang kecil. Selain itu, adanya kemungkinan
perusahaan akan menjadi tergantung pada konsultan tanpa adanya transfer pengetahuan, serta penerapan metode
dan gagasan tanpa adaptasi.

4. Bounce

Perusahaan harus mengeluarkan karyawannya yang gagal melakukan tugas standar. Karyawan yang tetap
bekerja maupun yang dikeluarkan harus memahami mengapa dan apa yang diharapkan dari mereka. Proses yang
fair harus memenuhi persyaratan hukum. Resiko cara ini adalah jika dalam pengambilan keputusan lebih
didasarkan pada persepsi dan bukan fakta, maka ada kemungkinan perusahaan mengalami kerugian dengan
hilangnya karyawannya yang terbaik, selain itu kredibilitas manajemen akan turun sebagai akibatnya.

5. Bind

Mengikat karyawan merupakan tindakan yang kritikal pada semua tingkat. Menjaga manajer senior
yang memiliki visi, arahan, dan kompetensi sangat penting, dan menahan para teknikal, operasional, dan pekerja
paruh wkatu juga merupakan hal yang penting karena investasi untuk membangun mereka memakan waktu
yang lama. Perusahaan yang tidak menerapkan metode ini, meskipun telah menerapkan metode buy dan build,
akan menciptakan intellectual capital bagi pesaing.

Metode Analisis Kompetensi

Tidak seperti pendekatan tradisional untuk menganalisas pekerjaan, yang mengidentifikasikan tugas,
pengetahuan, keterampilan yang berhubungan dengan suatu pekerjan, pendekatan kompetensi
mempertimbangakan bagaimana pengetahuan dan keterampilan tersebut digunakan. Pendekatan kompetensi
juga mencoba mengidentifikasikan faktor tersembunyi yang sering kali sangat penting untuk kinerja superior.
Pendekatan kompetensi menggunakan beberapa metodologi untuk membantu supervisor mengidentifikasikan
contoh-contoh dari apa yang mereka maksudkan dengan sikap dan bagaimana faktor-faktor tersebut
mempengaruhi efektivitas kerja. Menurut Mathis & Jackson, beberapa metodologi tersedia dan digunakan untuk

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 219


menentukan kompetensi, pada umumnya dengan ―behavioral event interviews‖ yaitu terdiri dari proses sebagai
berikut:

1. Suatu sistem senior manajer mengidentifikasikan bidang-bidang hasil kinerja masa depan yang penting
untuk rencana strategis dan bisnis dari organisasi. konsep ini dapat lebih luas dari pada yang digunakan
dimasa lampau.

2. Grup panel dibentuk, terdiri dari orang-orang yang berpengatahuan tentang pekerjaan-pekerjaan di
organisasi tersebut. Grup ini dapat beranggotakan baik pegawai yang berkinerja rendah maupun tinggi,
supervisor, manajer, trainer, dan lainnya.

3. Seorang fasilitator dari sumber daya manusia atau seorang konsultan luar mewawancarai anggota panel
tersebut untuk mendapatkan contoh-contoh spesifik dari kelakuan pekerjaan dan kehadiran sebenarnya
dalam pekerjaan. Selama wawancara orang-orang tersebut juga ditanyai tentang pikiran dan
perasaannya selama setiap kejadian yang digambarkan.

4. Menggunakan kejadian-kejadian tersebut, sang fasilitator membuat uraian rinci dari setiap kompetensi.
Fase deskriptif ini harus jelas dan spesifik, sehingga pegawai, supervisor, manajer dan lainnya dalam
organsiasi mempunyai pengertian yang lebih jelas mengenai kompetensi yang berhubungan dengan
pekerjaan.

5. Kompetensi-kompetensi tersebut diurutkan dan level yang dibutuhkan untuk mencapainya


diidentifikasikan. Kemudian kompetensi dirincikan untuk setiap pekerjaan.

6. Akhirnya standar kinerja diidentifikasikan dan dihubungkan dengan pekerjaan. Proses seleksi,
pelatihan, pendidikan dan kompetensi yang sesuai terfokus pada kompetensi ahrus dibuat dan
diimplementasikan.

Penerapan Kompetensi Berdasarkan Fungsi Sumber Daya Manusia

Setiap oragansisi memiliki kompetensi yang berbeda, karena belum adanya peryaratan standar untuk
menempati suatu posisi, serta penentuan pelatihan bagi sumber daya manusia belum sistematis maka aplikasi
kompetensi diprioritaskan berdasarkan fungsi sumber daya manusia di organisasi.

Menurut Mitrani, Dalziel, Fitt (1992); Spencer & Spencer (1993), dari pemikiran para ahli dapat
diidentifikasikan beberapa pokok pikiran tentang kualitas yang perlu dimiliki orang pada eksekutif (executives),
manajer (managers), dan karyawan (employees) dalam penelitian ini yang dibahas adalah mengenai kompetensi
tingkat personil (dosen). Kompetensi karyawan/dosen diperlukan untuk mengidentifikasi pekerjaan yang sesuai
dengan prestasi yang diharapkan. Kompetensi tingkat karyawan meliputi:

1. Flexibility, yaitu kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang
menggembirakan ketimbang sebagai ancaman.

2. Information seeking, motivation, and ability to learn, yaitu kemampuan mencari kesempatan belajar
tentang keahlian teknis dan interpersonal.

3. Achievment motivation, yaitu kemampuan berinovasi sebagai peningkatan kualitas, produktivitas.

220 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


4. Work motivation under time pressure, yaitu kemampuan menahan stres dalam organisasi, dan
komitmen dalam menyelesaikan pekerjan.

5. Collaborativeness, yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja secara kooperatif di dalam kelompok.

6. Customer service orientation, yaitu kemampuan melayani konsumen, mengambil inisiatif dalam
mengatasi masalah yang dihadapi konsumen.

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus
terbatas kasuistik sifatnya namun mendalam (in depth) dan menyeluruh (holistic), dalam arti tak mengenal
pemilihan-pemilihan gejala secara konsepsional ke dalam aspek-aspeknya yang ekslusif yang kita kenal dengan
variable. Penelitian kualitatif ini juga sangat sesuai untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik
fenomena yang baru sedikit diketahui (Straus & Corbin, 2003).

Penelitian kualitatif juga diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan temuan yang tidak berasal dari
cata statistik atau dengan cara kualifikasi yang lain. Hal ini juga bisa mengacu pada penelitian tentang
kemasyarakatan, sejarah, tingkah laku dan juga fungsi organisasi, perubahan sosial atau hubungan interaksional.

Selain itu, penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk pemecahan masalah ataupun menguji teori
melainkan membangun dan mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif. Khususnya berkaitan dengan
penelitian yang ingin menjelaskan perilaku manusia dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya, Ambert dan
kawan-kawan (1995) menyatakan sebagai berikut : ―the aim of qualitative research is to learn how and why
people behave, think, and make meaning as they do, rather than focusing on what people do or believe on a
large scale‖

Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian sebagai latar kajian selain didasari oleh beberapa fenomena yang ditemui
secara empiris juga dibingkai dengan wawasan konseptual tentang fenomena tersebut. Penelitian ini akan
dilaksanakan di tiga puskesmas yang berada di kelurahan termiskin di Surabaya, yaitu Kelurahan Sidotopo,
Pegirian, dan Ujung.

Informan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, penarikan sample tidak hanya meliputi keputusan-keputusan tentang orang-
orang mana yang akan diamati atau diwawancarai, tetapi juga mengenai latar-latar, peristiwa-peristiwa dan
proses-proses sosial (Miles & Huberman, 1992). Kerangka konseptual dan permasalahan penelitian menentukan
fokus dan batas-batas dimana sample akan dipilih. Dalam penelitian ini informan penelitian dapat dijelaskan
sebagai berikut: 6 unsur masyarakat yang sering berkunjung ke puskesmas, 6 unsur medis dan para medis
puskesmas, 2 birokrat dinas kesehatan Kota Surabaya. Metode penentuan informan dilakukan secara Purposive.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 221


Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menyebutkan bahwa dominasi dalam dimensi kualitas pelayanan yang paling sering ditemukan
dalam pelayanan puskesmas di wilayah miskin adalah masalah ‖responsivitas‖, perlakuan dan sikap melayani
yang dilakukan oleh petugas puskesmas. Secara umum, kualitas pelayanan di puskesmas sudah baik dengan
mendasarkan diri pada perspektif Parasuraman dan Zeithmal, namun keluhan yang paling menonjol dan
sekaligus menjadi pusat perhatian dan sekaligus yang paling sensitif adalah menyangkut sikap dan perlakuan
petugas pada saat melayani. Sebenarnya, banyak hal telah dilakukan oleh Petugas Puskesmas cukup baik namun
‖sensitifitas‖ pasien miskin terhadap pelayanan yang diterima sangat tinggi. Artinya standar pelayanan –dalam
konteks ini yang menyangkut sikap dan perilaku serta responsivitas petugas puskesmas—sudah dijalankan
sesuai dengan normanya. Namun hal tersebut belum cukup. Hal demikian menunjukkan bahwa standar baku,
SOP pelayanan, standar kualifikasi baku, kualitas baku petugas puskesmas belum cukup. Kompetensi petugas
yang lebih didasarkan pada pendekatan hard-skill atau hard competency, dimana proses perekrutannya hingga
pengembangannya lebih banyak nuansa hard skill ternyata berhadapan dengan kaum miskin yang
‖sensitif‖ternyata belum cukup terutama terhadap sikap dan perlakuan petugas. Tidak ada yang dipersalahkan
dalam kondisi demikian. Perekrutan aparat birokrasi yang cenderung seragam tanpa memperhatikan kharakter
pekerjaan dan yang dilayaninya (pasien/masyarakat), tentu harus membayar mahal dalam kasus ini. Masyarakat
miskin yang termarjinalkan ternyata lebih ‖rumit‖ ditangani karena sensitifitasnya tinggi sebagai manifestasi
dari rasa keterpinggirannya tersebut. Lalu, bidang kesehatan –kharakter pekerjaan—merupakan ekspresi dari
pekerjaan yang berhadapan orang susah, orang sakit, bau dan kotor, lalu miskin lagi sehingga diperlukan
kompetensi yang tidak biasa. Apa yang dimaksudkan dengan kompetensi tidak biasa adalah perlunya
membangun kompetensi petugas pada bidang-bidang tertentu misalnya kesehatan dan pada tempat-tempat
tertentu, misalnya masyarakat miskin. Lebih konkrit lagi adalah perlunya membangun soft-competence pada
SDM yang menangani bidang kesehatan untuk masyarakat miskin.

Kesimpulan

Pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin harus ditangani dengan sensitifitas yang tinggi, yaitu sensistifitas
pada kondisi tanpa bergaining position mereka (kotor, bodoh, tak punya uang, miskin) dan sensitifitas pada
aspek pelayanan kesehatan (orang sakit yang lenah, bau dan kotor). Hal demikian harus ditangni dengan
pendekatan berbeda, perlakuan berbeda. Sayangnya, aparat birokrasi yang menangani di dua kondisi tersebut
tidak ‖ dicetak secara khusus untuk memangani kondisi tersebut‖, namun dicetak secara massal sebagaimana
umumnya, yaitu dengan pendekatan Hard-competence. Sayangnya hal tersebut belum cukup. Perlu pembekalan
yang signifikan bagi petugas puskesmas di wilayah miskin agar meningkatkan kemampuan soft-
skill/competence secara signifikan.

222 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Daftar Pustaka

Aldrich,Paul and Whetten.2009, Analysing and managing policy processes in complex network, Administration
& Society, May .28:90-119.

Ambert, A. M., Adler, P. A., Adler, P., & Detzner, D. F. (1995). Understanding and evaluating qualitative
research. Journal of Marriage and the Family, 57, 879-893.

Goggin,M.,2005, Implementation Theory and Practice, Glenview,IL:Scott Foresman/Little,Brown.

Miles, MB. & Huberman, AM. (1994). Qualitative Data Analysis (2nd edition). Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.

McGuire, Michael, 2006, Collaborative Public Management, Public Administration Review, 66 (s1) 33-43.

O‘Toole, Laurence J., 2004, The Theory-Practice Issues in Policy Implementation Research, Public
Administration, Vo.82, Issue 2, p.309-329

Palan, R. 2007. Competency Management. PPM Indonesia : Jakarta

Rhodes,RAW.,1990, Core executive studies in Britain, Public Administration, vol.68, Issue1 page 3-28, March.

Sabatier, Paul, Jenkins-Smith, 1993, Policy Change and Learning:An advocacy coalition approach, Westview
Press (Boulder,Colorado).

Sabel, Charles F., 1994, Beyond Principal-Agent Governance, WRR.

Strauss,A.,& Corbin,J., 1990, Basic of Qualitative Research:Grounded theory procedures and Techniques,
Newbury Park,CA:Sage-Publications,Inc.

Weinchhart, Georg, Kurt Fessl, 2002, Organitational network models and the implications for decision support
systems, Preprints of 16th IFAC World Conggress,Praha.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 223


Optimalisasi Outcome Anggaran untuk Menciptakan Trust dalam Pengalokasian
Belanja Pelayanan Publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Hendri Koeswara

Faculty of Social and Political Sciences

University Andalas, Indonesia

Tel: +62-813-7492-2408

E-mail: bancretpiliang@gmail.com

Abstract: Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya telah menunjukkan betapa pentingnya
variabel trust dalam menunjukkan kinerja organisasi dalam pelbagai level. Makalah ini disusun berdasarkan
hasil penelitian lanjutan tentang manajemen belanja publik dalam APBD di Kota Solok Provinsi Sumatera
Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ditemukan patologi anggaran yang mencerminkan
inefisiensi alokasi sebagai kegagalan mengaitkan antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran karena
sistem yang terfragmentasi. Salah satunya dapat dilihat dengan masih tingginya persentase belanja pegawai
terhadap belanja tidak langsung yaitu sebesar 94% pada Tahun 2012, yang sangat jauh dari persentase ideal
sebesar 60%. Di sisi lain, harus diakui sudah terdapat itikad baik pemerintah Kota Solok pada tahun anggaran
berikutnya dengan meningkatnya proporsi untuk belanja langsung. Kondisi ini apakah merupakan konsekuensi
logis upaya peningkatan “trust” di antara aktor perumus kebijakan anggaran dalam pengalokasian belanja
publik dalam memainkan perannya dalam kebijakan APBD atau ada hal lain. Sebuah interprestasi yang jelas
dan tegas pada outcome anggaran yaitu disiplin fiskal agregat, efisiensi alokasi, dan efisiensi operasional di
Kota Solok akan dipaparkan dalam makalah ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
mendeskripsikan semua fakta dan fenomena dalam penyusunan anggaran, yang kemudian dilakukan analisis
etik dan emik terhadap data yang ditemukan. Dengan mendeskripsikan data yang diperoleh, lalu menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data yang banyak tersebut juga direduksi dengan
jalan membuat abstraksi sebagai sebuah rangkuman inti. Sehingga dihasilkan kesimpulan yang bisa
memberikan gambaran tentang optimalisasi outcome anggaran untuk menciptakan trust dalam kebijakan
pengalokasian belanja pelayanan publik pada APBD.

Category: Enhancing public trust and ethics

Keywords: Outcome Anggaran, Public Trust, Manajemen Belanja Publik, Patologi

Anggaran.

224 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


PENDAHULUAN

Organisasi sektor publik seperti organisasi pemerintah daerah, anggaran memainkan peranan penting
dalam pengelolaan aktivitas pelayanan publik. Kebijakan penganggaran pada pemerintah daerah saat ini diatur
oleh empat UU; yaitu perencanaan pembangunan daerah diatur yang diatur dalam UU No 25/2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No.33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan UU No.17/2004 yang mengatur tentang Pengelolaan
Keuangan Negara. Konsekuensi logisnya adalah proses perencanaan dan penganggaran harus mengacu kepada
keempat UU tersebut, walaupun tidak tertutup kemungkinan terdapat multitafsir dan multiinterpretasi terhadap
kebijakan yang dikeluarkan itu.

Proses perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah karena terkait dengan tujuan pemerintah daerah yang bercita-cita menyejahterakan rakyat di
daerahnya. Output dari proses perencanaan yang terintegrasi dalam konteks pemerintah daerah adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran menurut Wildavsky dalam Prawoto (2011)
merupakan (i) catatan masa lalu; (ii) rencana masa depan (iii) mekanisme pengalokasian sumber daya; (iv)
metode untuk pertumbuhan; (v) alat penyaluran pendapatan; (vi) harapan-aspirasi-strategi organisasi; (vii) satu
bentuk kekuatan kontrol; dan (viii) alat atau jaringan komunikasi. Sedangkan APBD menurut Adisasmita
(2011) suatu rencana operasional keuangan daerah, di satu pihak menggambarkan penerimaan daerah dan di lain
pihak merupakan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dalam satu tahun anggaran.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa, total APBD Kota Solok dari Tahun 2009-2012 fluktuatif
walau cenderung menunjukkan trend meningkat. Sempat turun sebesar 1,19% pada Tahun 2010 atau dari Rp
640.999.859.889,- menjadi Rp. 633.402.913.708,-. APBD Kota Solok kembali naik sebesar 9,47% pada Tahun
2011, dan tercatat kembali naik sebesar 13,1% pada Tahun 2012. Trend positif kenaikan APBD dari sisi
perencanaan juga terjadi pada 2013, dimana APBD Kota Solok menjadi Rp. 841.807.682.296 atau naik sebesar
7,39%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat trend APBD Kota Solok pada grafik di bawah ini:

Grafik 1 Trend APBD Kota Solok 2008-2013

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 225


Jika dilihat dari belanja pelayanan publik, peningkatan total APBD tersebut tidak diiringi dengan
kemampuan manajemen belanja Pemerintah Kota Solok. Belanja pelayanan publik selalu fluktuatif. Padahal
dari sisi anggaran, idealnya belanja pelayanan publik tidak sepatutnya terjadi fluktuatif, trend yang ditunjukkan
semestinya selalu meningkat sehingga amanat UU desentralisasi tidak terciderai dan aktor anggaran tidak
melanggar komitmennya untuk selalu mengemban amanah dan membela kepentingan publik, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Halim (2001:19) bahwa proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah
dengan DPRD merupakan amanat rakyat.

Trend total belanja APBD Kota Solok, belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung,
alokasi sebesar 42% pada Tahun 2008, 51% pada 2009 dan mencapai puncak tertinggi 55% pada 2010, lalu
turun 53% pada 2011, kembali turun menjadi 50% di 2012, dan naik kembali pada 2013 menjadi 53%.
Sementara belanja langsung trendnya selalu menurun, padahal di Tahun 2008 persentasenya cukup baik yaitu
sebesar 58%, tapi prestasi ini tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun anggaran selanjutnya. Seperti pada
Tahun Anggaran 2009 hanya 49%, di Tahun Anggaran 2010 sebesar 45%, lalu meningkat sedikit menjadi 47%
di 2011, naik lagi sebesar 50% di 2012, tapi kembali turun menjadi 47% di Tahun Anggaran 2013 ini.
Sedangkan jumlah belanja pegawai dari belanja langsung dan tidak langsung trendnya selalu meningkat; yaitu
41 % di tahun 2008 51% pada tahun 2009, tetap di 51% pada 2010, turun menjadi 48% di 2011, lalu kembali
naik di 2012 dan 2013 masing-masing sebesar 51% dan 53%. Lebih jelasnya trend belanja pelayanan publik
dapat dilihat dari grafik berikut ini:

Grafik 2 Perbandingan Trend Belanja Langsung, Tidak Langsung, dan Belanja Pegawai 2008-2013

Outcome yang sangat urgen dalam manajemen belanja publik adalah disiplin fiskal agregat yang sangat
menentukan kedua outcome yang lain yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi operasional. Disiplin fiskal agregat
lemah di Kota Solok dicirikan dengan masih terdapatnya patologi anggaran. Schick menjelaskan ada enam
patologi anggaran yang dapat melemahkan disiplin fiskal, yang terdiri dari: (1) unrealistic budgeting; (2) hidden
budgeting; (3) escapist budgeting; (4) deferred budgeting; (5) repetitive budgeting; dan (6) cashbox budgeting.
Patologi anggaran yang paling menonjol di Kota Solok adalah unrealistic budgeting.

Unrealistic budgeting merupakan sebuah situasi anggaran yang telah disetujui tidak bisa dilaksanakan.
Hal tersebut terlihat dari tingginya angka defisit dan tingginya angka SILPA. Pada APBD Kota Solok tren

226 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


SILPA dari Tahun Anggaran 2008-2014, persentase terbaik yang pernah dicapai adalah sebesar 6%, tertinggi
10%, dan Tahun Anggaran SILPA di Kota Solok sebesar 8%. Tingginya angka SILPA disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu pelampauan target pendapatan, efisiensi dari proses pengadaan barang dan jasa serta
kegiatan yang tidak terealisasi. Faktor penyebab pertama dan kedua bisa diabaikan keberadaannya, tetapi faktor
yang ketiga harus diberikan perhatian yang lebih.

Terdapatnya outcome anggaran yang tidak optimal ini tentunya memicu rendahnya trust terhadap
pemerintah Kota Solok. McEviliy, Perrone, and Zaheer (2003) mengungkapkan bahwa trust influences
organizational outcome. Atau kerangka pikir yang dikemukan oleh Dirks and Ferrin (2001) bahwa trust affects
organizational oucome. Sehingga bisa ditentukan pada level mana trust yang dimiliki oleh organisasi publik
tersebut. Dan hal inilah yang akan dibincangkan dalam makalah ini tentang optimalisasi outcome anggaran
untuk lebih meningkat trust dalam pengalokasian belanja pelayanan publik pada APBD di Kota Solok Sumatera
Barat.

GAMBARAN APBD KOTA SOLOK

APBD merupakan rencana operasional keuangan pemerintah daerah yang didalamnya terdapat banyak
unsur. Diantaranya adalah; 1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara terperinci, 2. Adanya
sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya
biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran yang dilaksanakan, 3. Jenis kegiatan dan proyek yang
dituangkan dalam bentuk angkat, 4. Periode anggaran, biasanya satu tahun (Anggarini, Yunita dan Puranto, B.
Hendra, 2010). Terkait dengan hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa APBD juga merupakan alat
akuntabilitas, manajemen dan kebijakan sehingga berfungsi sebagai untuk mewujudkan tujuan pembangunan di
daerah yang termaktub di dalam RPJMD dibuat oleh pemerintah daerah. RPJMD tersebut merupakan referensi
utama pemerintah daerah dalam memformulasikan APBD dan mengimplementasikannya.

Dalam kajian ini, hal tersebutlah yang menjadi domain utama peneliti. Banyak pemerintah daerah
yang tidak optimal dalam mengelola APBD-nya, seperti terkendala oleh implementasi APBD yang kurang
efisien dan efektif karena kurangnya sinergi antara Kebijakan Umum APBD (KUA) dengan prioritas
pembangunan. Ironisnya lagi, outcome anggaran yang menjadi tujuan akhir dari pengalokasian belanja yang
mengakomodir segenap layanan yang dibutuhkan oleh publik menjadi tidak optimal. Disinilah letak relevansi
pentingnya kajian ini untuk mengidentifikasi model penganggaran yang efektif untuk lebih memerhatikan
belanja untuk publik. Reformasi yang dilakukan oleh Manajemen Belanja Publik diarahkan untuk mencapai
tiga tingkatan outcome penganggaran, yaitu: (1) disiplin fiskal agregat; (2) efisiensi alokasi; dan (3) efisiensi
operasional, dimana satu tingkatan outcome menjadi landasan bagi tercapainya tingkatan outcome berikutnya.

Berdasarkan temuan data lapangan penelitian di Kota Solok, dapat dilihat trend dan perbandingan
APBD bahwa total APBD Kota Solok dari Tahun 2011-2014 menunjukkan trend meningkat. Pada Tahun 2010
APBD Kota Solok sebesar Rp. 633.402.913.708,-, dan meningkat sebesar 9,5% pada Tahun Anggaran 2011 atau
sebesar Rp. 693.381.734.053. Peningkatan terbesar APBD Kota Solok adalah sebesar 14,3% pada Tahun
Anggaran 2014 ini yaitu sebesar Rp. 962.232.723.511. Padahal pada Tahun Anggaran 2013, APBD Kota Solok
mengalami peningkatan paling kecil yaitu hanya sebesar 7,9% atau sebesar Rp. 841.807.682.296. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat trend APBD Kota Solok pada grafik di bawah ini:

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 227


Gambar 3 Trend APBD Kota Solok 2010-2014

Dilihat dari sisi Pendapatan Kota Solok yang terdiri dari PAD, Dana Perimbangan dan lain-lain
Pendapatan Daerah yang sah selama kurun waktu 2011-2014, tren yang ada selalu menunjukkan peningkatan.
Jika dibandingkan dengan data pendapatan nasional, rata-rata pendapatan provinsi dan kab/kota di Indonesia
sejumlah Rp. 23,437 Milyar Tahun 2014, sedangkan pendapatan Kota Solok pada Tahun Anggaran sekitar Rp.
469 Milyar. Jika ditelaah lebih jauh pendapatan daerah Kota Solok didapat dari, sebagai berikut:

1. Pajak Daerah naik sebesar Rp. 3.481.123.800 atau 32,14%


2. Retribusi Daerah naik sebesar Rp. 8.574.482.272 atau 49,34%
3. Hasil Pengelolalan Kekayaan Daerah yang dipisahkan naik, walau tidak signifikan yaitu hanya sebesar
Rp. 6.720.015.125,64
4. Sedangkan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah naik sebesar Rp. 11.413.139.789 atau 6%.

Pada Tahun Anggaran dari sisi perencanaan hal tersebut tidak dapat dipertahankan, dimana PAD
Tahun 2014 yang turun sebesar 15,96%. Tapi dalam kajian ini belum diketahui penyebab penurunan target
PAD Kota Solok tersebut. Padahal di sisi yang lain pajak daerah, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan meningkat. Untuk lebih jelasnya dari sisi penerimaan dapat diketahui sebagai berikut:

1. Pajak Daerah naik sebesar Rp. 4.878.400.000 atau 40,14%


2. Retribusi Daerah naik sebesar Rp. 9.753.979.126 atau 13,76%
3. Hasil Pengelolalan Kekayaan Daerah yang dipisahkan naik, sebesar Rp. 7.173.634.380 atau 6,75%
4. Sedangkan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah turun drastis hanya sebesar Rp. 3.564.380.000
atau -68,77%.

Jika dibandingkan PAD Kota Solok dengan rata-rata PAD nasional (provinsi dan kab/kota), dapat
dilihat dari grafik berikut ini:

228 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Grafik 4 Rasio Nasional Jumlah PAD Provinsi dan Kab/Kota 2014

Berdasarkan grafik di atas, PAD Kota Solok pada Tahun Anggaran 2014 menunjukkan rata-rata di atas
Provinsi Sumatera Barat dan Nasional. Tetapi, jika dilihat kontribusi PAD terhadap pendapatan di bawah rata-
rata nasional yang sudah mencapai 17,3%. Hal ini berarti bahwa Kota Solok harus meningkatkan kontribusi
PADnya terhadap pendapatan daerahnya. Di sisi lain, idealnya PAD semestinya tidak memberatkan masyarakat
miskin dan tidak menyulitkan iklim usaha. Tapi masih dibutuhkan kajian lebih lanjut apakah penurunan PAD di
Kota Solok ini dalam rangka hal tersebut atau penyesuaian target yang lebih realistis yang dapat dicapai oleh
pemerintah kota. Trend kontribusi PAD terhadap sumber pendapatan pada APBD Kota Solok selalu di kisaran
6-7% dalam lima tahun terakhir (2009-2013), tetapi pada Tahun Anggaran 2014 kontribusi PAD Kota Solok
terhadap APBD hanya di kisaran 5%. Walaupun begitu, PAD yang selalu diatas 15 Milyar yang didapat oleh
Kota Solok, menjadikan daerah ini pada Tahun Anggaran 2014 kembali menjadi daerah yang tidak termasuk
daerah yang rawan kehancuran ekonomi di era otonomi daerah.

Grafik 5 Perbandingan Pendapatan dan PAD Kota Solok 2010-2014

Dana perimbangan Kota Solok dari data tren dana perimbangan Tahun Anggaran 2010-2014 selalu
meningkat. Peningkatan paling kecil hanya dicapai pada Tahun Anggaran 2013 yang hanya sebesar 4% atau
dengan nominalnya sebanyak Rp. 335.886.010.373, malahan pada Tahun Anggaran 2010 mengalami penurunan
-7% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu hanya sejumlah Rp. 240.541.846.940. sedangkan pada Tahun
Anggaran 2012 dan 2014 kembali naik masing-masing sebesar 19 dan 18% atau sebesar Rp. 321.683.298.373
dan Rp. 397.130.500.711. Sedangkan Dana Alokasi Umum trend 2010 dan 2014 selalu mengalami

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 229


peningkatan. Peningkatan paling tinggi dicapai pada Tahun Anggaran 2012 yaitu sebesar 18% atau dengan
nominal Rp. 280.495.627.000, sedangkan peningkatan paling rendah terjadi pada Tahun Anggaran 2010 yang
hanya sebesar 2% atau dengan nominal sebesar Rp. 210.134.688.000. sementara dari data perencanaan APBD
untuk Tahun Anggaran 2014 penerimaan dari dana DAU meningkat sebesar 11% atau sebanyak Rp.
354.372.682.000. Peningkatan ini tentunya terkait dengan intensitas perjalanan daerah pejabat daerah
Pemerintah Kota Solok ke Jakarta untuk meningkatkan DAU dan DAK. Dan, Pemerintah Kota Solok tidak mau
mengulangi DAK pada Tahun Anggaran 2013 yang tidak didapatkan sama sekali, sehingga pada Tahun
Anggaran 2014 DAK Kota Solok direncanakan sebesar Rp. 32.287.100.000.

Di sisi yang lain, DAU yang dan DAK yang besar ini, kembali membuktikan bahwa ketergantungan
pemerintah daerah terhadap dana perimbangan. Pemerintah Kota Solok dari trend alokasi dana perimbangan
terhadap pendapatan selalu di atas 70% seperti rata-rata nasional pada Tahun Anggaran 2010. Seperti pada
Tahun Anggaran 2010 merupakan persentase tertingga yang dicapai oleh Kota Solok dimana 91% pendapatan
Kota Solok berasal dari dana perimbangan. Lalu turun pada Tahun Anggaran 2011 menjadi 86%, dan turun
kembali menjadi 85% pada Tahun Anggaran 2012. Persentase terbaik yang pernah dicapai oleh Pemerintah
Kota Solok dari trend anggaran 2010-2014 adalah sebesar 83% pada Tahun Anggaran 2013. Sedangkan pada
Tahun Anggaran 2014 kembali meningkat menjadi 85%.

Sedangkan trend Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) cenderung fluktuatif. Setelah stabil pada Tahun
Anggaran 2010 dan 2011 dengan anggaran sebanyak Rp. 7.757.703.240, meningkat pada Tahun Anggaran 2012
menjadi Rp. 11.671.080.795, dan dengan jumlah yang sama pada Tahun Anggaran 2013, tetapi pada Tahun
Anggaran 2014 menurun menjadi Rp. 6.788.980.836. Sementara pendapatan APBD dari alokasi anggaran
Bukan DBHP trend yang ditunjukkan juga fluktuatif. Tidak terdapat penerimaan pada Tahun Anggaran 2010,
tapi pada Tahun Anggaran 2011 dialokasikan sebesar Rp. 5.372.225.000. kembali tidak terdapat penerimaan
pada Tahun Anggaran 2012, tetapi mengalami kenaikan yang signifikan pada Tahun Anggaran 2013 dan 2014
yaitu masing-masing sebesar Rp. 27.874.286.000 dan Rp.39.887.069.040. Hal ini berkebalikan dengan
penerimaan dalam APBD Kota Solok untuk alokasi penerimaan Bantuan Keuangan dari Provinis atau
pemerintah daerah lainnya. Dari trend anggaran 2010-204, Pemerintah Kota Solok hanya sekali menerima
pendapatan dari mata anggaran ini yaitu pada Tahun Anggaran 2010 yaitu sebesar Rp. 300.000.000.

Secara umum, komposisi pendapatan pada APBD Kota Solok dapat dilihat dari grafik yang
menggambarkan persentasi kontribusi PAD, Dana Perimbang dan lain-lain PAD yang sah dapat dilihat dari
grafik berikut ini:

Grafik 6 Tren Perbandingan Pendapatan Kota Solok 2010-2014

230 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa anggaran merupakan alat perencanaan manajemen untuk
mencapai tujuan organisasi sehingga organisasi akan tahu apa yang harus dilakukan dan ke arah mana kebijakan
akan dibuat. Dalam konteks ini, APBD haruslah berupaya untuk mencapai tujuan pemerintah daerah itu sendiri.
Pada level pemerintah daerah banyak sekali dokumen yang mesti disiapkan oleh pemerintah daerah dalam
menjalankan roda pemerintahannya. Kelengkapan dokumen kebijakan anggaran belanja daerah dituangkan
dalam dokumen perencanaan daerah, yaitu pada Kebijakan Umum APBD, Prioritas dan Plafon Anggaran,
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Menguatkan temuan penelitian sebelumnya, pada kajian kali ini berdasarkan data penelitian yang didapatkan di
lapangan, Kota Solok sudah memiliki kelengkapan dokumen perencanaan tersebut. Artinya, dari kelengkapan
dari sisi kebijakan belanja Kota Solok telah dipenuhi dengan baik. Sehingga modal dasar agar APBD yang
disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) bisa melaksanakan fungsi-fungsi APBD
itu sendiri; yaitu fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi dan stabilisasi (Bastian, 2009). Dan,
menurut ahli ini, arah kebijakan anggaran banyak dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk
pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, dan stabilitas ekonomi. Sehingga kebijakan belanja daerah itu
memerlukan manajemen belanja yang akan menyesuaikan arah kebijakan anggaran yang merupakan alat untuk
mengimplementasikan kebijakan ekonomi (Mahmudi, 2010).

Pada era reformasi keuangan daerah bentuk APBD mengalami perubahan yang cukup mendasar, yaitu
didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman,
Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan Anggaran
dan Pendapatan Belanja Daerah. Saat ini APBD digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Pengelolaan Keuangan Daerah jo.
Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 jo. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Bentuk APBD terdiri atas tiga
bagian utama yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan (katergori baru). Pos pembiayaan merupakan usaha
agar APBD semakin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dan pendapatan daerah.

Selain itu pos pembiayaan juga merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran.
Sehingga nomenklatur belanja pelayanan publik pasca reformasi kebijakan penganggaran dalam era
desentralisasi di Indonesia mengalami perubahan dalam APBD yang disusun oleh pemerintah daerah. Belanja
pelayanan publik dalam kebijakan sebelumnya terdiri dari belanja; Administrasi Umum, Operasi dan
Pemeliharaan, Modal, Bantuan Keuangan dan Tidak Tersangka. Menjadi belanja yang dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu, sebagai berikut: (1) Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan
program dan kegiatan pemerintah daerah. Belanja tidak langsung diklasifikasikan menjadi belanja pegawai
yang berisi gaji dan tunjangan pejabat dan PNS daerah, belanja subsidi, belanja bunga, belanja hibah, belanja
bagi hasil, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; (2) Belanja langsung,
yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan pemerintah daerah. Belanja langsung
dikelompokkan menjadi belanja pegawai yang berisi honorarium, dan penghasilan terkait langsung dengan
pelaksanaan kegiatan belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Berdasarkan data penelitian yang didapatkan di lapangan didapatkan perbandingan antara belanja langsung
dan tidak langsung sebagai berikut:

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 231


Tabel 1 Perbandingan Belanja Langsung dan Tidak Langsung APBD Kota Solok 2011-2014

Jenis Belanja Persentase


Tahun
Tidak Langsung Perbandingan
Anggaran
Langsung

2010 Rp. Rp. 55:45


202,187,535,270 165,631,587,457

2011 Rp. Rp. 53:47


214,339,984,056 188,301,171,123

2012 Rp. Rp. 49:51


217,106,308,604 218,809,121,135

2013 Rp. Rp. 53:47


251,027,935,056 224,704,975,816

2014 Rp. Rp. 51:49


270.660.060.724 269.071.768.620

Persentase perbandingan antara belanja tidak langsung dengan belanja langsung APBD Kota Solok
pada trend anggaran 2010-2014, selalu mengalami perubahan. Tetapi, alokasi belanja tidak langsung tidak
seekstrim pada Tahun Anggaran 2010 yang mencapai 55% dari total anggaran. Pada Tahun Anggaran 2012
merupakan satu-satunya tahun anggaran yang mengalokasikan belanja langsung lebih besar daripada belanja
tidak langsung. Sementara Tahun Anggaran 2014 perbedaan perbandingan antara belanja tidak langsung dan
langsung sangat tipis sekali dan cenderung berimbang. Hal ini paling tidak menunjukkan ada itikad baik
pemerintah Kota Solok untuk lebih memprioritaskan belanja untuk rakyat dengan memberikan prioritas yang
lebih besar kepada belanja langsung dengan meredam belanja tidak langsung dengan perbandingan 51:49. Hal
ini berbanding terbalik dengan data nasional untuk perbandingan belanja tidak langsung dan langsung, seperti
yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini:

Grafik 7 Komposisi Nasional Belanja Tidak Langsung dan Langsung Tahun Anggaran 2014

232 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Dengan begitu maka anggaran sebagai instrument pengendalian yang digunakan untuk menghindari
adanya pengeluaran yang terlalu besar (overspending), terlalu rendah (underspending), salah sasaran
(misappropriation), atau adanya penggunaan yang tidak semestinya (misspending) bekerja dengan baik
(Indrayeni dkk, 2013). Pada pemerintah daerah, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk
komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.
Anggaran digunakan untuk memusutusakan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas
tertentu. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD memuat
rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik
yang langsung dilakukan oleh pemerintah daerah maupun yang mendorong partisipasi rakyat. Dalam konteks
ini, DPRD mempunyai peranan penting untuk memperhatikan arah belanja baik pada Belanja Langsung maupun
Belanja Tidak Langsung ini dengan memperhatikan azas manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat.
Sehingga dalam proses penganggaran harus benar-benar terlihat komposisi anggaran yang lebih berpihak
kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat. Komposisi belanja tidak langsung dalam tren APBD Kota Solok,
misalnya saja untuk belanja pegawai masih jauh dari porsi ideal sebesar 60% dari total Belanja Tidak
Langsung.

Tabel 2 Perbandingan Belanja Pegawai dan Total Belanja Tidak Langsung

Perbandingan Belanja Pegawai dengan


Tahun Persentase (%)
Total Belanja Tidak Langsung
Anggaran Belanja Pegawai
Tidak Langsung Belanja Pegawai

2010 Rp. Rp. 83


202,187,535,270 168,111,920,270

2011 Rp. Rp. 82


214,339,984,056 175,518,184,056

2012 Rp. Rp. 94


217,106,308,604 218,809,121,135

2013 Rp. Rp. 92


251,027,935,056 203,719,961,719

2014 Rp. Rp. 95


270.660.060.724 258,174,431,339

Trend belanja pegawai pada APBD Kota Solok makin menunjukkan semakin besarnya alokasi untuk
belanja pegawai, malahan pada Tahun Anggaran 2014 mencapai 95%. Atau sebesar Rp. 258.174.431.339 dari
total belanja tidak langsung yang dianggarakan sebesar Rp. 270.660.060.724. Sedangkan komposisi terbaik
yang pernah diraih oleh Kota Solok dalam APBD-nya adalah pada Tahun Anggaran 2011 dengan alokasi

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 233


belanja pegawai sebesar Rp. 175.518.184.056 dari alokasi pada pos belanja tidak langsung yang dianggarkan Rp
214.339.984.056 atau sebesar sebesar 82% dari belanja tidak langsung. Makin besarnya alokasi belanja
pegawai tersebut dari belanja tidak langsung artinya belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial,
belanja bantuang keuangan, dan belanja tidak terduga akan semakin sedikit pengalokasiannya.

Jika diambil perbandingan dengan data nasional, rasio DAU terhadap belanja pegawai pada belanja
tidak langsung Tahun Anggaran 2014, alokasi DAU untuk belanja pegawai pada belanja tidak langsung
mencapai 83,26%. Sementara di Kota Solok berdasarkan data di lapangan persentase DAU terhadap belanja
pegawai pada belanja tidak langsung hanya 72,85%. Hal ini menunjukkan walaupun belanja pegawai pada
belanja tidak langsung tidak ideal tetapi lebih baik dibandingkan dengan rasio rata-rata nasional DAU terhadap
belanja pegawai pada belanja tidak langsung. Seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini:

Grafik 8 Rasio DAU terhadap belanja Pegawai pada Belanja Tidak Langsung Tahun Anggaran 2014

Sementara itu alokasi belanja pegawai dari belanja langsung idealnya selalu di bawah 10%. Hasil
kajian yang peneliti lakukan di lapangan menunjukukkan data sebagai berikut:

Tabel 3 Perbandingan Belanja Pegawai dengan Total Belanja Langsung

Perbandingan Belanja Pegawai dengan Persentase

Tahun Total Belanja Langsung (%)

Anggaran Tidak Langsung Belanja Pegawai Belanja


Pegawai

2010 Rp. Rp. 13


165,631,587,457 21,113,409,500

2011 Rp. Rp. 9


188,301,171,123 16,800,345,500

2012 Rp. 8
Rp.218,809,121,135 17,570,007,750

2013 Rp.24,594,212,840 11
Rp.

234 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


224,704,975,816

2014 Rp. Rp. 6


269.071.768.620 15,351,650,000

Dari data trend belanja pegawai atas belanja langsung pada APBD Kota Solok pada Tahun Anggaran
2010-2014 angka ideal mayoritas selalu dicapai oleh Pemerintah Kota Solok dalam mengalokasikan anggaran.
Walaupun pada Tahun Anggaran 2010 mencapai 13% atau sebesar Rp. 21.113.409.500 dan 2013 mencapai 11%
atau sebesar Rp. 24.594.212.840. Alokasi terbaik yang dicapai oleh Kota Solok yang patut diapresiasi adalah
pada Tahun Anggaran 2014 yang hanya sebesar 6% atau sebesar Rp. 15.351.650.000. Hal tersebut jika
dibandingkan dengan rata-rata nasional dan Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok dalam belanja pegawai
terhadap belanja langsung malah lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini:

Grafik 9 Rasio Nasional Belanja Pegawai terhadap Belanja Langsung Tahun Anggaran 2014

Sedangkan persentase belanja barang dan jasa idealnya sebesar 70% dari total belanja langsung,
berdasarkan penelusuran data yang dilakukan oleh peneliti terhadap APBD Kota Solok ditemukan data sebagai
berikut:

Tabel 3 Perbandingan Belanja Barang dan Jasa terhadap Total Belanja Langsung

Perbandingan Barang dan Jasa dengan Total Persentase (%)


Tahun
Belanja Langsung
Belanja Barang
Anggaran
Tidak Langsung Belanja Pegawai dan Jasa

2010 Rp. 165,631,587,457 Rp. 82,178,212,079 50

2011 Rp. 188,301,171,123 Rp. 103,946,081,856 55

2012 Rp.218,809,121,135 Rp. 84,266,937,105 39

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 235


2013 Rp. 224,704,975,816 Rp.117,373,092,876 52

2014 Rp. 269.071.768.620 Rp. 153,504,496,284 57

Dari tabel di atas, alokasi belanja barang dan jasa belum pernah mendekati persentase ideal ini. Pada
Tahun Anggaran 2010 Pemerintah Kota Solok mengalokasikan sebesar Rp. 82,178,212,079 atau hanya sebesar
50%. Pada Tahun Anggaran berikutnya, yaitu Tahun Anggaran 2012 naik menjadi 55% atau sebesar Rp.
103,946,081,856. Tetapi kenaikan ini tidak dapat dipertahankan, malah turun menjadi 39% atau sebesar Rp.
84,266,937,105. Dan Tahun Anggaran 2012 ini merupakan tahun terburuk untuk alokasi belanja barang dan jasa
yang pernah dialokasikan oleh Pemerintah Kota Solok selama periodeisasi 2010-2014. Tapi hal tersebut
diperbaiki oleh Kota Solok dengan kenaikan yang sangat signifikan menjadi 52% pada Tahun Anggaran 2013
atau sebesar Rp. 117,373,092,876. Trend positif kenaikan tersebut masih bisa dipertahankan oleh Pemerintah
Kota Solok pada Tahun Anggaran 2014 sebesar 57% walau tidak di atas angka ideal atau sebesar Rp.
153,504,496,284. Tetapi, jika dibandingkan dengan rata-rata nasional dan Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok
dalam belanja modal lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini:

Grafik 10 RasioNasional Belanja Barang dan Jasa terhadap Belanja Langsung Tahun Anggaran 2014

Sedangkan belanja modal idealnya dialokasikan sebesar 20% dari total belanja langsung, berdasarkan
data yang peneliti dapatkan dilapangan dapat diketahui komposisi belanja modal pada APBD Kota Solok
sebagai berikut:

Tabel 4 Perbandingan Belanja Modal dengan Total Belanja Langsung

Perbandingan Barang dan Jasa dengan Persentase

Tahun Total Belanja Langsung (%)

Anggaran Tidak Langsung Belanja Modal Belanja


Modal

2010 Rp. Rp. 38

236 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


165,631,587,457 62,339,965,878

2011 Rp. Rp. 36


188,301,171,123 67,554,743,767

2012 Rp. 53
Rp.218,809,121,135 116,972,176,280

2013 Rp. 37
224,704,975,816 Rp.82,737,670,100

2014 Rp. Rp. 37


269.071.768.620 100,216,622,336

Tabel di atas menunjukkan bahwa Kota Solok dalam belanja modal tidak pernah mendekati angka ideal
dalam mengalokasikan belanja modal. Masih terjebak pada pengadaan untuk memperoleh keuntungan tertentu
dari belanja modal tersebut. Dari trend anggaran 2010-2014 komposisi terbaik adalah pada Tahun Anggaran
2013 dan 2014. Dan persentase terburuk yang pernah dialokasikan untuk belanja modal yang sangat besar
adalah pada Tahun Anggaran 2012 yang mencapai 53% atau sebesar Rp. 116,972,176,280. Tetapi, jika
dibandingkan dengan rata-rata nasional dan Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok dalam belanja modal lebih
baik. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini:

Grafik 11 Rasio Nasional Belanja Modal terhadap Belanja Langsung Tahun Anggaran 2014

Proporsi ideal dalam alokasi anggaran mestilah diwujudkan berdasarkan prioritas pembangunan yang
wujud dalam APBD sehingga hasil pembangunan akan sesuai dengan target yang akan dicapai secara bertahap
dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Tetapi jika setiap tahun semua ingin dibangun dan setiap aktor yang
terlibat dalam pengambilan kebijakan anggaran tentunya alokasi anggaran yang terbatas yang dikendalikan oleh
keinginan yang tidak terbatas tersebut hanya akan melahirkan pembangunan yang berdampak pada jangka
pendek tapi tidak memikirkan keberlangsungan dan kebaikan di masa yang akan datang. Terjadinya
fragmentasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Lee, Joyce& Johnson (2013) bahwa organizational units

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 237


within line agencies tend to be concerned primarily with their own promgrams and frequently fail to take a
broad perspective, merupakan keniscayaan bahwa organisasi publik terlalu larut untuk memperjuangkan apa
yang menjadi kepentingannya dalam anggaran sehingga mereka lupa bahwa yang utama itu adalah bagaimana
kepentingan publik dapat terakomodir dengan baik. Jika memang proporsi ini secara kuantitas menjadi sebuah
keidealan dan kebutuhan bagi Kota Solok maka perlu dikaji lebih jauh bagaimana secara kualitas alokasi
anggaran yang sedemikian. Sehingga pembahasan RAPBD pada forum paripurna DPRD menjadi sangat
penting untuk menjaga kesesuaian antara Kebijakan Umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran
sementara dengan program dan kegiatan yang diusulkan dalam Ranperda APBD.

OPTIMALISASI OUTCOME UNTUK MENINGKATKAN TRUST DALAM


PENGALOKASIA BELANJA PELAYANAN PUBLIK PADA APBD KOTA SOLOK

Berdasarkan praktik proses penganggaran di Kota Solok maka dapat diidentifikasi bahwa implementasi
Manajemen Belanja Publik di Kota Solok belum berjalan dengan baik. Hal tersebut ditandai dengan lemahnya
disiplin fiskal agregat dan terjadinya inefisiensi alokasi, yang merupakan dua dari tiga output penting dalam
Manajemen Belanja Publik menurut Shick (1998). Disiplin fiskal agregat adalah istilah untuk norma yang
sering diterima sebagai kebenaran bahwa anggaran semestinya berisi pernyataan belanja aktual yang akan
terjadi selama tahun fiskal atas dasar kehati-hatian (prudent) dan bukan wish list (daftar keinginan). Disiplin
fiskal agregat lemah di Kota Solok dicirikan dengan masih terdapatnya patologi anggaran. Schick menjelaskan
ada enam patologi anggaran yang dapat melemahkan disiplin fiskal, yang terdiri dari: (1) unrealistic budgeting;
(2) hidden budgeting; (3) escapist budgeting; (4) deferred budgeting; (5) repetitive budgeting; dan (6) cashbox
budgeting. Sedangkan patologi anggaran yang paling menonjol di Kota Solok adalah unrealistic budgeting dan
repetitive budgeting.

Unrealistic budgeting merupakan sebuah situasi anggaran yang telah disetujui tidak bisa dilaksanakan.
Hal tersebut terlihat dari tingginya angka defisit dan tingginya angka SILPA. Tingginya angka SILPA
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pelampauan target pendapatan, efisiensi dari proses pengadaan barang
dan jasa serta kegiatan yang tidak terealisasi. Faktor penyebab pertama dan kedua bisa diabaikan
keberadaannya, tetapi factor yang ketiga harus diberikan perhatian yang lebih. Sementara, penentuan nilai
defisit dalam jumlah besar yang dilakukan secara sengaja menunjukkan tidak adanya sikap prudent, meski
diajukan argumen bahwa hal tersebut dilakukan untuk menyiasati informasi besaran dana transfer yang belum
akurat diawal tahun. Unrealistic budgeting berawal dari tidak adanya hard budget constraint yang ditetapkan
sejak awal dan kemudian konsisten untuk ditaati. Unrealistic budgeting dalam bentuk angka defisit yang tinggi
menyebabkan perlu kerja keras di tahapan pembahasan DPRD untuk merasionalisasi anggaran agar nilai defisit
bisa ditekan dan ini membutuhkan waktu lama yang berkontribusi menjadi salah satu faktor keterlambatan
penetapan APBD dan membawa efek negatif adanya pemotongan anggaran di last minute.

Repetitive budgeting adalah situasi dimana anggaran sering dibuat kembali dalam tahun anggaran
berjalan untuk merespons kondisi ekonomi dan politik yang berakibat pada menurunnya integritas anggaran
sebagai sebagai pernyataan resmi dari kebijakan keuangan pemerintah. Repetitive budgeting tercermin dari
adanya praktik APBD Perubahan di Kota Solok. Perubahan anggaran merupakan praktik yang biasa dilakukan
oleh Kota Solok dan justru jika tidak dilakukan perubahan anggaran dianggap menjadi kejadian yang luar biasa
karena di luar faktor kebiasaan. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya repetitive budgeting adalah

238 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kurang akuratnya informasi yang digunakan ketika menyusun anggaran, dan hal ini selalu terjadi di Kota Solok.
Padahal, yang perlu dimiliki pada saat mengalokasikan anggaran adalah memiliki informasi yang memadai.
Praktik revisi anggaran yang secara rutin dilakukan di Kota Solok menunjukkan lemahnya implementasi
Manajemen Belanja Publik karena salah satu tujuan dari tidak ada revisi anggaran di tahun berjalan adalah
meningkatkan meningkatkan kepastian dana bagi pelaksana sehingga pelaksana berkonsentrasi pada pencapaian
target kinerja program/kegiatan. Serta tingginya angka SILPA merupakan dampak nyata dari lingkungan yang
tidak berorientasi kinerja sebagai efek dari penyakit unrealistic budgeting dan repetitive budgeting yang
menunjukkan lemahnya implementasi Manajemen Belanja Publik.

Efisiensi Alokasi adalah outcome penganggaran tingkat kedua yang ingin dicapai setelah disiplin fiskal
agregat. Efisiensi alokasi terkait dengan kapasitas pemerintah untuk mendistribusikan sumber daya berdasarkan
pada efektivitas program publik untuk mencapai tujuan strategisnya. Efisiensi alokasi akan terlihat dari
komposisi belanja pemerintah yang sesuai dengan arah tujuan strategis yang hendak dicapai. Tujuan strategis
termuat dalam RPJMD sebagai dokumen perencanaan lima tahunan yang berisi visi dan misi yang hendak
dicapai oleh Kota Solok. Efisiensi alokasi akan terjadi jika alokasi anggaran mengarah pada upaya mencapaian
visi dan misi yang akan terlihat dari komposisi anggarannya.

Studi terhadap dokumen RPJMD dan APBD di Kota Solok menemukan bahwa efisiensi alokasi belum
tercapai (terjadi inefisiensi alokasi). Inefisiensi alokasi disebabkan adanya patologi anggaran. Schick
menyebutkan ada empat penyakit anggaran yang menyerang efisiensi alokasi, mencakup: (1) short-term
budgeting; (2) escapist budgeting; (3) distorted budgeting; dan (4) enclave budgeting. Short-term budgeting dan
distorted budgeting merupakan dua penyakit anggaran yang terjadi di Kota Solok. Short-term budgeting adalah
satu kondisi dimana anggaran pemerintah dibuat tahunan dan tidak memperhitungkan implikasinya dalam
jangka menengah yang terjadi karena gagal mengaitkan antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran
karena sistem yang terfragmentasi yang disebabkan pembuatan kebijakan, perencanaan dan penganggaran
bersifat independen satu dengan yang lainnya. Terjadinya fragmentasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Lee,
Joyce& Johnson (2013) bahwa organizational units within line agencies tend to be concerned primarily with
their own promgrams and frequently fail to take a broad perspective, merupakan keniscayaan bahwa organisasi
publik terlalu larut untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya dalam anggaran sehingga mereka
lupa bahwa yang utama itu adalah bagaimana kepentingan publik dapat terakomodir dengan baik. Jika memang
proporsi ini secara kuantitas menjadi sebuah keidealan dan kebutuhan bagi Kota Solok maka perlu dikaji lebih
jauh bagaimana secara kualitas alokasi anggaran yang sedemikian. Sehingga pembahasan RAPBD pada forum
paripurna DPRD menjadi sangat penting untuk menjaga kesesuaian antara Kebijakan Umum APBD serta
prioritas dan plafon anggaran sementara dengan program dan kegiatan yang diusulkan dalam Ranperda APBD.
Penganggaran dimaknai sebagai ritual anggaran tahunan, bukan praktek yang berdasarkan kebijakan sehingga
terjadi kegagalan dalam mengaitkan secara langsung sumber daya dengan prioritas kebijakan yang mengarah
pada mismatch massif antara apa yang dijanjikan melalui kebijakan pemerintah dan apa yang dapat disediakan.

Short-term budgeting berawal dari tidak digunakannya RPJMD sebagai acuan dalam penyusunan program
dan kegiatan tahunan yang berawal dari tidak adanya kontrol dari Bappeda terkait penyusunan Renstra SKPD.
Inkonsistensi antara dokumen perencanaan lima tahunan dengan anggaran tahunan menjadikan visi misi yang
tercantum dalam RPJMD menjadi sulit untuk dicapai yang semakin diperparah praktik dana aspirasi DPRD

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 239


yang substansinya murni dari konstituen tanpa pernah melihat dokumen perencanaan pembangunan sehingga
pada akhirnya terjadi miss-match yang massif antara dokumen perencanaan lima tahunan dan anggaran tahunan
dan sekaligus menunjukkan tidak adanya efisiensi alokasi dalam anggaran Kota Solok.

Penyakit anggaran kedua yang dialami oleh Kota Solok yang mengakibatkan inefisiensi alokasi adalah
distorted budgeting. Distorted budgeting adalah satu kondisi dimana sumber daya yang terbatas dibelanjakan
dalam proyek mercusuar sedangkan proyek terkait human capital tidak prioritas (terjadi misalokasi). Dalam
konteks Kota Solok, distorted budgeting dapat terlihat dari besarnya alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan
yang tidak terlalu penting, kegiatan yang dianggarkan terlampau besar (melebihi kebutuhan) dan tidak sesuai
dengan prinsip ekonomis, efisiensi dan efektivitas (3E) sebagaimana yang dikemukakan oleh Bastian (2010)
mengatakan bahwa prinsip penganggaran yang sangat terkenal adalah the Three Es yaitu ekonomis, efisien, dan
efektif. Ekonomis hanya berkaitan dengan input; efektivitas hanya berkaitan dengan output; sedangkan efisiensi
adalah kaitan antara input dan output.

Patologi anggaran yang diderita oleh Pemerintah Kota Solok dalam APBDnya ini memperlemah trust
terhadap organisasi pemerintahan kota sebagai akibat dari outcome anggaran yang tidak optimal. Sebagaimana
yang dikemukan oleh pendapat para ahli bahwa organisational trust is thus defined as the positive expectations
individuals have about the competence, reliability and benevolence of organisational members, as well as the
institutional trust within the organisation (Mayer dkk., 1995; McKnight dkk., 1998, Ellonen dkk., 2008).

Kajian ini menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya agar pengalokasian belanja pelayanan publik agar
efektif untuk menyeimbangkan pelbagai permintaan dalam organisasi, baik organisasi publik maupun privat dan
strategi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dalam konteks pemerintah daerah tentunya adalah RPJMD
daerah menjadi basis kebijakan pengalokasian belanja pelayanan publik agar outcome menjadi optimal dan trust
semakin tinggi.

KESIMPULAN

Berdasarkan proses penganggaran dan mekanisme pengalokasian anggaran di Kota Solok maka dapat
diambil kesimpulan bahwa pengalokasian Belanja Publik di Kota Solok belum optimal sehingga trust belum
tinggi. Hal ini ditandai dengan lemahnya disiplin fiskal agregat dan inefisiensi alokasi. Lemahnya disiplin fiskal
agregat ditandai dengan adanya penyakit unrealistic budgeting dan repetitive budgeting. Inefisiensi alokasi
ditandai dengan adanya penyakit short-term budgeting dan distorted budgeting. Dan organisasi publik masih
terjebak pada fragmentasi yang menyebabkan satu sama lain hanya berjuang untuk mempertahankan anggaran
yang dibuatnya. Reformasi penganggaran perlu dilakukan dengan menata ulang aturan main yang
mencakup:Praktik penganggaran di Kota Solok baik yang bersifat formal maupun informal sesuai dengan ciri-
ciri sistem penganggaran yang membutuhkan reformasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Bank Dunia (1998),
mencakup: (1) penggunaan pendekatan jangka pendek sebagai akibat fokus dalam pembuatan keputusan
anggaran; (2) last minute dalam pemotongan anggaran; (3) pendanaan tidak bisa diprediksi sebagai akibat last
minute pemotongan anggaran; (4) kebijakan saat ini (dibandingkan dengan dananya) jarang dicermati dengan
teliti dari tahun ke tahun berikutnya.

Pengalokasian Belanja Pelayanan Publik melalui Manajemen Belanja Publik menawarkan


pembenahan berdasarkan kerangka konseptual tatanan kelembagaan dan peran masing-masing institusi yang

240 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


dapat dioptimalkan dan menciptakan keseimbangan kekuasaan antar insitusi. Upaya reformasi penganggaran di
Kota Solok dapat diarahkan untuk melaksanakan apa yang disebut dengan Getting The Basics Right oleh
Schick, meliputi: (1) mendorong lingkungan yang mendorong dan membutuhkan kinerja sebelum
memperkenalkan penganggaran kinerja; (2) mengontrol masukan (input) sebelum upaya untuk mengontrol
output; (3) membentuk pengawasan eksternal sebelum memperkenalkan pengawasan internal; (4) )
melaksanakan sistem akuntansi yang dapat diandalkan sebelum menggunakan sistem manajemen finansial yang
terintegrasi; (5) menyusun anggaran sebagai suatu rencana yang akan dilakukan (realistis) sebelum
menggunakan anggaran yang berorientasi kinerja; dan (6) melaksanakan anggaran yang dapat diprediksi
sebelum menuntut pelaksana efisien dalam menggunakan dana yang dipercayakan kepadanya. Pembenahan
penganggaran di Kota Solok dan bias jadi kota/kabupaten lain yang kondisinya serupa dapat dilakukan dengan
menata ulang aturan main, peran aktor dan informasi yang tersedia.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Raharjo, 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Anggarini, Yunita dan Puranto, B. Hendra, 2010. Anggaran Berbasis Kinerja: Penyusunan APBD Secara
Komprehensi. Yogyakarta, UPP STIM YKPN.

Bastian, Indra, 2009. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Salemba Empat,
Jakarta.

Dirks, Kurt T. and Ferrin, Donald L, 2001. The Role of Trust in Organizational Setting. Organization Science,
12,4:450- 467.

Ellonen, R., Blomqvist, K. and Puumalainen, K, 2008, The role of trust in organizational innovativeness,
European Journal of Innovation Management, 11,2:160-181.

Halim, Abdul, 2007, Akuntansi sektor publik Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta, Salemba Empat.

Mahmudi, 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Erlangga: Jakarta.

Mardiasmo, 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta, ANDI.

Mayer, R.C., Davis, J.H. and Schoorman, D.F., 1995. An integrative model of organizational trust. Academy of
Management Review, 20,3:709-34.

McEvily, B., Perrone, V and Zaheer, A., 2003. Trust as Organizing Principle. Organization Science, 14,1:91-
103.

McKnight, D.H., Cummings, L.I. and Chervany, N.I., 1998. Initial trust formation in new organisational
relationships. Academy of Management Review, 23, 3:473-90.

Lee, JR, Robert D., Johnson, Ronald W. dan Joyce, Philip G., 2013Public Budgeting System. Burlington MA,
Jones & Bartlett Learning.
Prawota, Agus, 2011. Pengantar Keuangan Publik.BPFE, Yogyakarta.
Schick, Allen, 1998. Contemporary Approach to Public Expenditure Management. Washington, DC, World
Bank Institute.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 241


Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal

Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur

Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan,

Weni Rosdiana, Agung Listiadi

Universitas Negeri Surabaya

dian_unesa@yahoo.com

HP.081330109556

Abstrak: Dalam rangka mewujudakan good governance yang terkait dengan pelayanan publik, maka
pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang pelayanan
publik. Pelaksanaan pelayanan publik tentunya tak lepas dari keluhan-keluhan dan pengaduan masyarakat
yang merasa tidak/belum puas atas pelayanan pemerintah. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi
Pelayanan Publik ( KPP ).

Setelah melakukan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa,KPP berperan dalam penanganan
pengaduan sekaligus sebagai tugas utama KPP dimana dari tahun ketahun peran ini berjalan dengan baik.
KPP berupaya melakukan kerjasama dengan 34 lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota menjadi langkah
strategis dalam optimalisasi peran KPP dalam menjalankan tugasnya.

Beberapa rekomendasi dari Tim Peneliti yaitu, supaya Gubernur menghimbau Bupati/Walikota
membuat Perda tentang lembaga pengaduan ( bagi yang belum ada ), perlu pembaharuan MoU yang pernah
dibuat tahun 2006, keberadaan KPP perlu dipublikasikan lebih luas, perlu MIS ( Manajemen Informasi Sistem )
dalam pengelolaan pengaduan,dan yang tidak kalah penting adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa
Timur untuk mengoptimalkan peran KPP.

Kategori :Public Administration Sciences

Kata Kunci: lembaga pengawas, pelayaan publik

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi perkembangan yang luar biasa di bidang pelayanan
publik, baik perkembangan yang terjadi pada tataran perumusan kebijakan atau peraturan perundangan tentang

242 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pelayanan publik, implementasi kebijakan tentang pelayanan publik dan/atau penyelenggaraan pelayanan
publik, kualitas dan kuantitas yang menjadi substansi pelayanan publik, kelembagaan pelayanan publik, tuntutan
atau harapan publik akan pelayanan publik yang dapat memenuhi kebutuhannya, standar pelayanan publik,
sampai dengan pengawasan pelayanan publik bahkan sengketa pelayanan publik.

Pada saat yang sama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diikuti dengan kian
ketatnya kompetisi di segala bidang membawa konsekuensi terjadinya perubahan di berbagai bidang. Kondisi
ini selanjutnya diikuti dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Imbasnya, peran
organisasi terutama organisasi pemerintah dituntut untuk dapat mewujudkan kehidupan masa depan yang lebih
baik, maka reformasi tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi wacana yang menarik.

Sebagai langkah konkrit pemerintah untuk mewujudkan good gavernance yang terkait dengan
pelayanan publik di daerah, maka pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang
mengatur tentang pelayanan publik diantaranya dengan ditetapkannya : (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, (2) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Keterbukaan
Informasi Pulik, (3) Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara,
dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal maupun terhadap sejumlah Pedoman Teknis lainnya.
Bahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah sebagai tindak lanjut
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, maka Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia mengeluarkan instruksi kepada semua Gubernur, Ketua
DPRD dan Bupati/Wali Kota di seluruh Indonesia untuk segera membentuk Peraturan Daerah yang mengatur
tentang Pelayanan Publik di daerah dengan surat Nomor : B/988/M-PAN/5/2005 tanggal 25 Mei 2005 perihal
Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik.
Sebagai respon atas Inpres tersebut, Jawa Timur selanjutnya membuat Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Hadirnya Perda 11 Tahun 2005 ini
merupakan babakan baru bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur. Menariknya lagi,
hadirnya Perda 11 Tahun 2005 mendahului langkah pemerintah pusat yang saat itu belum memiliki Undang
Undang yang mengatur tentang pelayanan publik. Kehadiran perda 11 tahun 2005 ini terbukti ampuh dalam ikut
serta mendorong semua pihak untuk melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik
masing-masing. Keberadaan Komisi Pelayanan Publik yang merupakan amanah dari Perda 11 Tahun 2005
seolah telah menjadi ikon baru bagi Jawa Timur dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, suatu lembaga yang mempunyai kewenangan
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, maka menjadi konsekuensi logis dan yuridis untuk dilakukannya perubahan Perda Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pelayanan Publik. Maka pada tahun 2001 lahirlah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang merupakan revisi terhadap Peraturan Daerah Nonor 11 Tahun
2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 243


Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentunya
masih membutuhkan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang terkait dengan teknis maupun pedoman
pelaksanaannya. Apalagi penyelenggaraan tata pemerintahan yang terkait dengan pelayanan publik.

Kebutuhan pengaturan tersebut pada tingkat pemerintah daerah dapat diwujudkan dengan pembentukan
Perda. Pembentukan Perda Nonor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur ini,
kemudian menjadi sangat penting karena salah satu indikator kesiapan daerah dalam merespon otonomi daerah,
adalah ketika daerah mampu merumuskan dan membentuk kebijakan dan atau Perda. Dalam konteks ini,
keterlibatan dan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan fungsi legislasinya sangat
dibutuhkan. Karena DPRD sebagai representative fungtion, diharapkan dapat lebih aspiratif dan berpihak pada
kepentingan rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan mencerminkan komitmen keberpihakan kepada
kepentingan orang banyak melalui proses yang partisipatif dengan melibatkan stakeholder yang terkait.

Keluhan muncul karena sesuatu yang alami, semata-mata adalah sintestis dari masalah pelayanan.
Beberapa hal yang menyebabkan keluhan antara lain: (1) organisasi pelayanan gagal mewujudkan kinerja yang
dijanjikan, (2) pelayanan yang tidak efisien, (3) pelayanan yang diberikan secara kasar atau tidak membantu, (4)
gagal menyampaikan info perubahan kepada pelanggan, (5) banyaknya pelayanan yang tertunda, (6) ketidak-
sopanan/ketidak-ramahan aparat pelayanan, (7) pelayanan yang tidak layak/tidak wajar, (8) aparat pelayanan
yang tidak kompeten, (9) aparat pelayanan yang apatis/tidak adanya atensi, (10) Organisasi pelayanan tidak
responsif terhadap kebutuhan dan keinginan serta harapan pelanggan.

Dalam rangka merespon pengaduan atau keluhan inilah kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2011 (dulu
Perda Nomor 11 Tahun 2005) tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya
lembaga baru yang bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP).

Komisi Pelayanan Publik yang selanjutnya disingkat KPP adalah lembaga yang dibentuk
berdasarkan peraturan daerah yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal atas
penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, baik yang
dilakukan pemerintah daerah, korporasi dan pihak-pihak lain yang mendapat dukungan dana
sebagian atau seluruhnya dari APBD (Pasal 1 Ayat 13 Perda 8/2011).

Kebijakan awal yang membidani lahirnya KPP adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2008 lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI), baru pada tahun 2009 disahkan Undang-Undang Nomor 25
tentang Pelayanan Publik.

Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi


penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).

244 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Meskipun keluhan yang diungkapkan masyarakat sering dijumpai, namun pada Laporan Tahunan
Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur yang disampaikan oleh Ketua KPP Jatim M.M. Khoirul Anwar,
menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timur masih takut mengadu pada saat dilayani secara tidak baik oleh
sebuah instansi pemerintah. Hal ini terbukti dari kecilnya jumlah pengaduan ke KPP Jatim. Selama tahun
2010 jumlah pengaduan ke KPP Jatim hanya 176 laporan, dengan rincian sebagai berikut; laporan pelayanan
di bidang pertanahan 53 aduan (30%), laporan Pelayanan Kependudukan 33 aduan (18%), laporan
Administrasi Pemerintahan 14 aduan (14%), laporan Pelayanan lain-lain rata-rata 3-7 aduan. Berdasarkan
wilayah tempat pelapor; Surabaya sebanyak 81 pelapor (46%), Sidoarjo 9 pelapor (5%), Bondowoso 8
pelapor (5%), dan daerah lain 2-4 pelapor (Laporan SCBD Provinsi Jawa Timur, 2011).

Ada dugaan bahwa belum terjadi keseimbangan antara jumlah anggota masyarakat yang memiliki
keluhan akan pelayanan publik, dengan jumlan anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan kepada KPP.
Akibatnya KPP tidak mengetahui bahwa ada keluhan dan atau KPP tidak menjalankan peran sebagai mediator
penyelesaian keluhan publik. Hal ini berimplikasi pada tidak/belum optimalnya peran KPP dalam menjalankan
tugas sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur.
Sementara itu dapat diketahui bahwa KPP relatif memiliki semangat untuk berkinerja terbaik, berusaha
merangkul sejumlah pemangku kepentingan, serta berusaha untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian atas
pengaduan yang ada. Semangat KPP yang demikian belum cukup menjadi faktor katalis terjadinya optimalisasi
pelaksanaan tugas KPP jika masyarakat tidak memberikan dukungan maksimal. Semangat KPP yang demikian
dapat dilihat dari kutipan pemberitaan berikut ini.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di penghujung 2013 ini Komisi Pelayanan Publik


(KPP) Jawa Timur, Kembali melaksanakan kegiatan Sosialisasi dan Laporan Kinerja
akhir Tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan kinerja lembaga yang
dibentuk berdasarkan Perda Jatim No. 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik ini,
mendesain acara yang bersifat tematik. “Membangun Sinergi Mewujudkan Pelayanan
Publik Prima di Jawa Timur” merupakan tema yang diimplementasikan dalam berbagai
bentuk kegiatan yang dihelat sejak selasa (16/12/2013) hingga Jumat ini (20/12/2013).

Beberapa acara yang dihelat selain laporan akhir tahun adalah Focus Disscusion Group
(FGD) yang melibatkan unsur penyelenggara dan pemangku kepentingan lain dalam
pelayanan publik, audiensi ke Gubernur dan DPRD Jawa Timur serta Publikasi laporan
kepada masyarakat melalui beberapa media dan instrumen.

Yang menarik, dalam rangka kebersamaan dan jejaring dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan publik di Jawa Timur, acara FGD tersebut juga disertai dengan
penandatanganan “Komitmen bersama dalam mewujudkan pelayanan publik prima di
Jawa Timur. Penanda tanganan ini sendiri dilakukan di kertas berpigura. Secara terpisah
peserta kedua FGD akan menanda tangani dokumen yang telah disediakan panitia.

“Tujuan dari diselenggarakannya ketiga rangkaian acara tersebut adalah untuk


memperoleh gambaran tentang kondisi pelayanan publik di Jatim dari berbagai perspektif,
untuk melakukan pemetaan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
pelayanan publik di Jatim dan untuk mengetahui best practice dan inovasi yang telah

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 245


dilakukan sebagai bahan rujukan dan replikasi pelaksaan pelayanan publik di Jatim,”
papar Hardly Stefano Ketua KPP Jatim kepada Brainmetro.com, Selasa (17/12/2013).

Selain itu, Hardly menambahkan tujuan dari diselenggarakannya acara tersebut adalah
untuk merumuskan rencana aksi mendorong peningkatan kualitas penyelenggaraan
pelayanan publik di Jatim sekaligus sebagai momentum awal adanya pembangunan
sinergitas berkelanjutan antar pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkaitan
dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang diharapkan
masyarakat (Brainmetro.com, 2013).

Pada saat yang sama dalam pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), ada kecenderungan
anggota masyarakat selaku konsumen kurang diberi ruang untuk memberikan masukan program yang
seharusnya disusun untuk meningkatkan pelayanan publik. Pelibatan masyarakat dapat dilakukan dengan
berbagai hal, salah satunya adalah melalui survey kepuasan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Disebutkan bahwa untuk membandingkan indeks kinerja unit pelayanan secara berkala diperlukan survei
secara periodik dan berkesinambungan. Dengan demikian dapat diketahui perubahan tingkat kepuasan
masyarakat dalam menerima pelayanan publik. Jangka waktu survei antara periode yang satu ke periode
berikutnya dapat dilakukan 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan atau sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
sekali.

Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam mengevaluasi pelayanan yang diberikan pemerintah, jelas akan
mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara pelayanan yang diterima dan harapan masyarakat. Akibatnya
stigma pelayanan yang buruk masih akan tetap melekat karena ketidaktanggapan pemerintah.

Maksud dan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut adalah untuk mengetahui tingkat kinerja unit
pelayanan secara berkala sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas
pelayanan publik selanjutnya. Bagi masyarakat, Indeks Kepuasan Masyarakat dapat digunakan sebagai
gambaran tentang kinerja pelayanan unit yang bersangkutan.

Namun jika mempelajari hasil pengukuran sejumlah lembaga penyelenggara pelayanan publik terhadap
IKM-nya, maka hampir pasti hasil pengukuran mencapai nilai yang relatif tinggi, artinya kepuasan masyarakat
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik juga rekatif tinggi. Ironinya, keluhan publik juga masih
mengemuka. Pada kasus demikian dapat diduga bahwa pengukuran IKM tidak dapat menjadi instrument andal
untuk menjadi alat pengawasan pelayanan publik, sebab bisa jadi proses pengukurannya mengalami kekeliruan
dan/atau ketidaktepatan.

Ketika IKM tidak dapat menjadi instrument pengukuran yang efektif, dan ketika KPP relatif belum
dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga engawas eksternal, maka masa depan penyelenggaraan pelayanan
publik sungguh mencemaskan. Dalam kerangka inilah dipandang perlu melakukan penelitian dengan judul :
Kajian Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Komisi Pelayanan Publik (KPP) sebagai Lembaga Pengawas Eksternal
Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Jawa Timur.

246 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


1.2 Rumusan Masalah

Suatu penelitian hendaknya menfokuskan perhatian pada upaya menjawab pertanyaan penelitian yang
diajukan. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian atau permasalahan
penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal ?
2. Apa faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi KPP dalam pelaksanaan tugas dalam hal :

a. menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik;

b. membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat
non litigasi;

c. melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik;
dan

d. menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.

3. Apa saran publik dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur? Meliputi :
a. Pengguna pelayanan publik
b. Penyelenggara pelayanan publik
c. Anggota KPP
d. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur
e. Pengamat Pelayanan Publik
4. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam rangka
melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur?

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Penelitian Terdahulu

Berikut ini disajikan tentang hasil sejumlah penelitian terdahulu yang menjadi pijakan atau referensi
atas dilaksanakannya penelitian ini, yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk topik yang relevan.

a. Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-


Complaint) (SCBD Jawa Timur, 2011)

Setidaknya terdapat tiga langkah penyelesaian complain yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yaitu: (1) semua complain yang masuk dicatat, dikelompokkan, dan dianalisis menurut frekuensi
dan keseriusannya, (2) kepada pelanggan ditanyakan tentang komplan yang dapat memberi dampak terbesar
bagi mereka, (3) dapat ditemukan complain yang paling penting dan solusi yang tepat untuk mengatasinya.

Manajamen complain yang efektif memiliki arti strategis bagi organisasi dalam upaya membangun
hubungan yang memuaskan dan menguntungkan dengan komsumen. Namun demikian, manajemen tidak selalu

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 247


dengan mudah dapat mengetahui tanggapan pelanggan atas pelayanannya. Organisasi tidak bisa mengukur
respons pelanggannya hanya dari data-data formal. Pelanggan juga bisa enggan untuk melakukan pengaduan
secara resmi ke organisasi. Keengganan pelanggan untuk melakukan complain dipengaruhi oleh berbagai factor
baik yang bersifat personal maupun yang berasal dari system organisasi.

Organisasi dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan berbagai cara antara lain dengan:

1. Menetapkan dan mengimplementaskan standar kinerja yang dikomunikasikan kepada pelanggan.


2. Mengkomunikasikan betapa pentingnya pemulihan layanan ini kepada seluruh jajaran organisasi mulai
dari CEO sampai karyawan lini depan.
3. Melatih pelanggan mengenai cara menyampaikan complain baik melalui brosur, pamphlet maupun
semacam buku petunjuk khusus berisi informasi lengkap mengenai prosedur penyampaian dan penanganan
complain.
4. Memanfaatkan dukungan teknologi seperti customer call centers dan internet untuk memberikan
kemudahan dan akses 24 jam yang cepat serta relative murah bagi setiap pelanggan.

Mengukur Efektivitas Manajemen Komplain. Penilaian atas suatu manajemen komplain yang efektif
didasarkan pada karakteristik karakteristik utama berikut:

1. Komitmen: pihak manajemen dan semua anggota organisasi lainnya memiliki komitmen yang tinggi untuk
m endengarkan dan menyelesaikan masalah komplain dalam rangka peningkatan kualitas produk dan jasa.

2. Visible: manajemen menginformasikan secara jelas dan akurat kepada pelanggan dan karyawan tentang
cara penyampaian komplain dan pihak-pihak yang dapat dihubungi.

3. Accessible: perusahaan menjamin bahwa pelanggan secara bebas, mudah, dan murah dapat menyampaikan
komplain, misalnya dengan menyediakan saluran telepon bebas pulsa atau amplop berperangko.

4. Kesederhanaan: prosedur komplain sederhana dan mudah dipahami pelanggan.

5. Kecepatan: setiap komplain ditangani secepat mungkin. Rentang waktu penyelesaian yang realistis
diinformasikan kepada pelanggan. Selain itu, setiap perkembangan atau kemajuan dalam penanganan
komplain yang sedang diselesaikan senantiasa dikomunikasikan kepada pelanggan yang bersangkutan.

6. Fairness: setiap komplain mendapatkan perlakuan sama atau adil, tanpa membeda-bedakan pelanggan.

7. Konfidensial: keinginan pelanggan akan privasi dan kerahasiaan dihargai dan dijaga.

8. Records: data mengenai komplain disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan setiap upaya perbaikan
berkesinambungan.

9. Sumber daya: perusahaan mengalokasikan sumber daya dan infrastruktur yang memadai untuk
pengembangan dan penyempurnaan sistem penanganan komplain, termasuk di dalamnya adalah pelatihan
karyawan.

10. Remedy: pemecahan dan penyelesaian yang tepat (seperti permohonan maaf, hadiah, ganti rugi, refund)
untuk setiap komplain ditetapkan dan diimplementasikan secara konsekuen.

248 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pada akhirnya penelitian research-action ini merekomendasikan diberlakukannya SIM Keluhan
Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini mempunyai kelebihan:

1. Masyarakat dapat mengajukan keluhan secara online


2. Data keluhan dapat dikelola secara lebih terintegrasi dan lintas sektoral
3. Data dan laporan yang disediakan telah memenuhi kebutuhan tentang informasi pelayanan publik, dalam
hal ini pelayanan terhadap keluhan masyarakat.

Untuk dapat menjalankan SIM Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini secara lebih
baik, maka diperlukan pembenahan dalam hal komitmen serta payung hukum untuk memperlancar pelaksanaan
sistem informasi ini.

b. Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Terpadu di Provinsi Jawa Timur (LPPM Universitas Negeri
Surabaya, 2011)

Penelitian ini adalah penelitian institusional yang dilakukan di empat (4) tempat atau institusi, yakni di
UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan.
Permasalahan yang dicarikan jawabannya dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah ―Aspek-aspek apakah
yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota
Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan dalam kaitannya dengan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan
Perizinan Terpadu?‖.

Berdasarkan hasil analisis data sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan, bahwa:

1. Ke empat sampel dan/atau tempat daerah penelitian ini sudah membentuk Unit Pelayanan Perizinan
Terpadu, dengan nama (nomenklatur lembaga) yang berbeda-beda, dimana Provinsi Jawa Timur
membentuk Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu (UPT-P2T) berdasarkan Peraturan
Gubernur; Kota Malang membentuk Badan Pelayanan Perizinan terpadu (BP2T) berdasarkan
Peraturan Daerah; serta Kota Madiun dan Kabupaten Pemekasan membentuk Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu (KP2T) berdasarkan Peraturan Daerah.
2. Ke empat sampel dan/atau daerah tempat penelitian ini sudah memiliki komitmen yang kuat untuk
memberikan Pelayanan Perizinan Terpadu. Ini terbukti dari jumlah jenis izin yang sudah dilayani
penerbitannya oleh sampel dan/atau tempat penelitian ini, yakni sebagai berikut: UPT-P2T Provinsi
Jawa Timur melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 205 jenis izin; BP2T Kota Malang melakukan
pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin; KP2T Kota Madiun melakukan pelayanan Perizinan
sebanyak 18 jenis izin dan 5 izin diantaranya penerbitan izinnya harus mendapat rekomendasi
Walikota; dan KP2T Kabupaten Pamekasan melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin.
Dinamika atau perbedaan jumlah perizinan yang dilayani oleh masing-masing daerah ini dipengaruhi
oleh kebutuhan publik akan perizinan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain,
disamping oleh kewenangan yang ada sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3. Tugas, Fungsi, dan kewenangan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota
Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah disesuaikan dengan PERMENDAGRI Nomor 20

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 249


Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di
Daerah.
4. Struktur Oragnisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan
KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan Lampiran PERMENDAGRI Nomor 20
Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).
5. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T
Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan PERMENPAN Nomor:
PER/21/M.PAN/11/2008 Pedoman Penyusunan Standar Operational Prosedur (SOP) Administrasi
Pemerintahan (lihat Lampiran 3-2).
6. Ketersediaan sumber daya (Sarana & Prasarana, SDM, dan Dana) di UPT-P2T Provinsi Jawa Timur,
BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah cukup memadai
dan/atau tidak pernah sampai mengganggu proses pelaksanaan tugas dan fungsi instansi yang
dimaksud.
7. Keberadaan keberadaan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan
KP2T Kabupaten Pamekasan adalah sangat mempermudah dan/atau memperpendek waktu proses
penerbitan izin, karena menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan,
dan kepastian secara optimal, serta mendapat dukungan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
terkait.
8. Strategi dan kebijakan pelayanan yang diterapkan pada UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota
Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan adalah masih diorientasikan pada
upaya meningkatkan kualitas pelayanan prima, sebagaimana yang dimaksud dalam PERDA Provnsi
Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 dan Peraturan Pelaksanaannya.

Sejalan dengan kesimpulan di depan, Tim Peneliti merekomendasikan bahwa UPT-P2T Provinsi Jawa
Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan perlu melakukan tindakan
penguatan kelembagaan, yakni sebagai berikut:

1. Provinsi Jawa Timur perlu meninjau ulang Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2010 tertanggal
27 September 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Penanaman
Modal Provinsi Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu (lihat Lampiran 3-3 dan Lampiran 3-4). Dalam
arti, menurut PERMENDAGRI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata
Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu Di Daerah, lembaga penyelenggara pelayanan perizinan
terpadu semestinya berbentuk Badan dan atau Kantor, bukan UPT yang berada di bawah suatu
SKPD (Lihat Lampiran 3-1. Status kelembagaan ini memiliki implikasi pada status atau
eselonering kepemimpinan dan posisi koordinatif di lingkungan Pemerintah Daerah. Dalam
peninjauan ulang ini juga dipandang perlu untuk meningkatkan status hukum Peraturan
Gubernur yang memayungi keberadaan lembaga P2T tersebut menjadi Peraturan Daerah.

250 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


2. Struktur Organisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun,
dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau disempurkan atau disesuaikan
dengan Lampiran PERMENDAG RI Nomor 20 Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).
3. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang,
KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau
disempurnakan atau disesuaikan dengan Permenpan Nomor : PER/21/M.PAN/11/2008 (lihat
Lampiran 3-2).
4. Adalah sangat bijak, bilamana Pemerintah: Provinsi Jawa Timur, Kota Malang, Kota Madiun,
dan Kebupaten Pamekasan tidak memaknai Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 dan Permenpan
No: PER/21/M.PAN/11/2008 sebagai himbauan, tetapi memaknainya sebagai peraturan
perundangan yang harus ditaati.
5. Adalah sangat bijak, bilamana: Pemerintah dan/atau UPT-P2T Provinsi Jawa Timur; Pemerintah
Daerah dan/atau BP2T Kota Malang; Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kota Madiun; dan
Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kebupaten Pamekasan juga menerapkan alternatif strategi
dan kebijakan.

Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan dan pengaturan dari rakyat bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Posisi negara adalah
sebagai pelayan rakyat (publik servant) atau pemberi layanan, sedangkan rakyat memiliki hak-hak atas
pelayanan negara pemerintah.

Pengejawantahan hal tersebut dapat dilihat dengan pemberian otonomi kepada daerah. Hakikat
penyelenggaraan otonomi daerah, bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Implementasi
hal tersebut, termanifestasikan dengan perubahan paradigma tata pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi
dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada DPRD sebagai lembaga perwakilan dan penerima mandat
kedaulatan rakyat untuk mewakili dan memperjuangkan segala kepentingan rakyat.

2.2. Pengertian Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial
yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan
harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar
dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. (
Friedman, M, 1998 : 286 ) Pengertian

2.3. Institutional and Attitudinal Reform

Abad 21 ditandai dengan globalisasi yang merambah hampir semua aspek kehidupan manusia.
Revolusi dalam bidang teknologi informasi semakin mempercepat kecenderungan ini. Dunia kita menjadi begitu
kecil. Manusia menjadi terkoneksi secara global, melintasi batas ruang dan waktu. Namun globalisasi itu tidak
berlangsung begitu saja. Dia membawa perubahan besar dalam pola kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 251


manajemen pemerintahan. Globalisasi tak lepas dari kompetisi dunia global yang makin keras, yang
mensyaratkan peningkatan daya saing.

Di tengah kondisi demikian, birokrasi kita bukannya menutup mata dan tak bergeming dari realita itu.
Beragam inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan guna meningkatkan kinerja pelayanan mereka. Anehnya,
meskipun reformasi telah bergulir selama tiga belas tahun, citra tentang birokrasi ambtenaar masih belum juga
berubah. Alhasil, carut marut birokrasi yang terus berkembang mengantarkan kita pada satu kesimpulan ada
yang kurang pas dengan reformasi birokrasi.

Salah satu kelemahan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara (Caiden, 1982) adalah ketika
pembaharuan itu hanya bersifat institusional, misalnya pembaharuan undang-undang dan peraturan,
pembaharuan struktur kelembagaan, pembaharuan sarana dan prasarana, pembaharuan sistem dan prosedur
kerja; sementara pada saat yang sama tidak dilakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari para pelaksana.
Menurut Caiden, keadaan demikian akan mengarah pada ketidakefektifan tujuan pembaharuan; dan secara
ekstrim ia menyebutnya sebagai malapraktik pembaharuan. Kasus demikian, menurut hasil kajiannya terutama
terjadi pada organisasi-organisasi di sejumlah negara berkembang.

Lebih lanjut Caiden menegaskan bahwa tujuan utama pembaharuan adalah melakukan perubahan
secara terencana menuju keadaan yang lebih baik dari semula. Karenanya, pembaharuan disebut efektif jika
pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan yang lebih baik benar-benar terjadi. Sebaliknya, pembaharuan
disebut mengalami kegagalan apabila pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan tetap seperti sedia kala dan
atau bahkan keadaan menjadi lebih buruk dari sebelum diselenggarakannya pembaharuan.

Pada tataran ini, lahirnya peraturan perundangan yang baru, dalam perspektif pembaharuan relevan
disebut sebagai pembaharuan kelembagaan (institutional reform), yang perlu diikuti dengan pembaharuan
sikap/perilaku (attitudinal reform) jika pembaharuan dikehendaki dapat mencapai efektifitasnya. Salah satu
persoalan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah di berbagai belahan dunia dalam mengelola organisasi
birokrasinya seiring upaya menjalankan perannya sebagai penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara
pelayanan publik adalah persoalan krisis sumber daya. Persoalan tersebut, dapat dilihat (diantaranya) dari
munculnya sejumlah istilah berikut : kelangkaan sumber daya, menipisnya sumber daya, keterbatasan sumber
daya, dan sebagainya. Persoalan ini pada akhir tahun 1980-an sempat menjadi bahan diskusi hangat di kalangan
para akademisi maupun pembuat kebijakan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya memegang peran
vital bagi perjalanan suatu negara, bahkan bagi keberlanjutan kehidupan manusia di planet bumi ini.

Dalam kerangka ini pada tahun 1992 Osborne & Gaebler (melalui karya besarnya : Reinventing
Government), menawarkan konsepnya yang revolusioner, tentang mewirausahakan birokrasi, sebagai upaya
melakukan transformasi semangat wirausaha ke dalam organisasi publik. Tidak lain dan tidak bukan konsep
tersebut ditujukan untuk mencapai dua hal sekaligus : (1) meningkatkan kinerja birokrasi dalam menjalankan
peran pelayanan publik (publik service), (2) menciptakan efisiensi birokrasi, yang ditujukan (diantaranya) untuk
mengatasi krisis sumber daya yang sedang dihadapi pemerintah.

Gagasan Osborne & Gaebler tersebut menjadi tonggak sejarah terjadinya perubahan paradigma
pemerintahan sekaligus perubahan paradigma kebijakan publik yang dilahirkannya. Implikasinya, wajah baru
kebijakan publik pun bermunculan, adalah kebijakan publik yang berbasis kewirausahaan, adalah kebijakan

252 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


publik yang tidak semata-mata melahirkan konsekuensi pemerintah untuk berperilaku ―membelanjakan‖, namun
juga ―menghasilkan‖.

Tidak dapat dipungkiri bahwa secara konvensional-ortodoks, kebijakan publik lebih terformat ke dalam
konvensi kegiatan yang menghabiskan sumber daya ketimbang menghasilkan atau memproduk sumber daya.
Konvensi inilah nampaknya yang menjadi pemicu fenomena kelangkaan atau menipisnya atau krisis sumber
daya yang terjadi pada organisasi pemerintah.

Kesepakatan terhadap ajakan Osborne & Gaebler kini menjadi fenomena baru kebijakan publik yang
dibuat oleh pemerintahan negara-negara di berbagai belahan dunia. Hakekatnya : pembuat kebijakan dituntut
untuk berparadigma ganda dalam membuat kebijakan publik. Artinya kebijakan yang dibuat sejauh mungkin
diusahakan untuk memiliki dua perspektif secara bersamaan, yaitu perspektif sosial (social heavy) dan ekonomi
(economic heavy).

Perspektif sosial diarahkan agar pemerintah tetap dapat menjalankan peran sosialnya, misalnya sebagai
penyedia pelayanan publik, pencipta kesejahteraan dan pemerataan, agen perubahan, dan fungsi-fungsi sosial
lainnya. Pada saat yang sama peran pemerintah dalam perspektif ekonomi juga berjalan, ditunjukkan oleh
kemampuan pemerintah untuk menciptakan unit-unit kegiatan ekonomi produktif yang menghasilkan, sebagai
―nafas‖ yang dapat menghidupi berjalannya peran sosial yang harus dimainkan. Berjalannya peran pemerintah
dalam perspektif ganda ini bersifat solutif terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan keterbatasan
sumber daya. Inilah tantangan baru bagi para pembuat kebijakan publik di abad ini.

Mengadopsi dua gagasan, yakni gagasan Osborne & Gaebler tentang perlunya mewirausahakan
birokrasi, dan gagasan Caiden akan perlunya dua pilar simultan dalam pembaharuan administrasi publik; dapat
disimpulkan bahwa jika pelayanan publik (sesuai standar pelayanan prima) oleh birokrasi pemerintah memang
dikehendaki tercipta, maka tidak ada pilihan lain kecuali : ada pembaharuan sikap/perilaku para pelaksana
pelayanan, dengan menggunakan sejumlah konsep pelayanan (misalnya) konsep pelayanan yang selama ini
telah diimplementasikan oleh kalangan pelaksana pelayanan pada organisasi privat.

Pengalaman Caiden menunjukkan bahwa salah satu penyebab kegagalan gerakan pembaharuan
terhadap kinerja organisasi pemerintah di berbagai negara terutama disebabkan oleh gagalnya pemerintah di
negara tersebut untuk melakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari segenap sumber daya manusia (SDM)
yang terlibat dalam institusi pemerintah tersebut.

Salah satu penyebab lemahnya kinerja pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita tenggelam dalam
paradigma pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru cenderung mengabaikan aspirasi publik sebagai
obyek pelayanan itu sendiri. Padahal, belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang
paripurna berakibat pada minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Selain itu, kemiskinan yang
terus melembaga juga tak dapat dilepaskan dari terhambatnya akses pelayanan yang seharusnya ikut dinikmati
dan dimanfaatkan oleh warga yang berdiam di kantong-kantong kemiskinan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama, masalah kelembagaan dan
manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta
kriterianya. Akibatnya, terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi pemerintah. Inefisiensi,

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 253


kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang tinggi, serta ketidakpastian
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi fenomena umum.

Kedua, masalah profesionalisme dalam sikap, manajerial, teknis dan administratif. Masalah-masalah ini
berdampak pada perilaku aparat yang lambat, terutama dalam mengikuti perkembangan teknologi, e-
governement, paperless, efisiensi kerja, serta pola kerja yang kompetitif. Pemerintah pun cenderung sulit untuk
menggerakkan partisipasi masyarakat serta menciptakan iklim yang kondusif guna merangsang peran swasta
dalam penyediaan pelayanan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh pemerintah.

Ketiga, masalah keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan sumber pendapatan dalam
membiayai pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh. Pemerintah pun dipaksa untuk mencari solusi
alternatif. Salah satunya melalui peningkatan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengadaan
pelayanan. Untuk itu dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif dan bukannya reaktif, yang masih merupakan
kecenderungan perilaku birokrasi saat ini.

Keempat, masalah radius pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan, terutama di kota/daerah yang sulit
dibatasi secara administrasi pemerintahan, pada akhirnya menyulitkan administrasi pelayanan dan koordinasi
pembangunan. Untuk itu diperlukan kerjasama antar daerah dalam rangka pengelolaan berbagai pelayanan yang
ada sehingga manfaatnya bisa dirasakan bersama.

Dalam praktiknya, empat masalah di atas dapat diantisipasi melalui reaktualisasi pemerintahan,
utamanya di tingkat daerah, dengan strategi penguatan pemerintah daerah yang tepat. Strategi penguatan
tersebut bermanfaat dalam mempercepat proses sustainabilitas pemerintah daerah itu sendiri, yang mengurangi
ketergantungan daerah pada bantuan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Strategi ini dijalankan melalui
reaktualisasi kewenangan daerah, restrukturisasi kelembagaan pemerintah, reposisi dan relokasi personil yang
cermat, penataan manajemen keuangan, pemberdayaan DPRD sebagai fungsi kontrol eksekutif, dan perbaikan
manajemen pelayanan. Dalam kerangka demikian, perampingan kelembagaan pemerintah menjadi keniscayaan,
meskipun reformasi kelembagaan itu bukan pekerjaan mudah. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu
melakukan evaluasi kelembagaan berdasarkan tugas-tugas yang diemban oleh dinas-dinas terkait. Evaluasi ini
diarahkan untuk melihat permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugas kelembagaan tersebut.

Beberapa permasalahan itu di antaranya: pertama, adanya beberapa penugasan yang tumpang tindih,
baik antar organisasi, maupun antara satuan tugas organisasi. Kedua, terdapat ketimpangan antara volume kerja
dengan besaran struktur organisasi; ketiga, terdapat beberapa satuan organisasi yang kurang didukung oleh
sumber daya (aparat, anggaran dan sarana) yang sesuai kebutuhan; dan keempat, koordinasi pelaksanaan tugas
kurang optimal karena belum adanya mekanisme kerja yang baku.

Berangkat dari empat permasalahan tersebut, penataan kelembagaan yang dikembangkan oleh
pemerintah daerah harus diletakkan dalam kerangka peran pemerintah, yang terdiri atas fungsi pengaturan,
pelayanan publik, dan pemberdayaan, guna meningkatkan profesionalitas lembaga dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model subsidiarity, di mana masyarkat
dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, penataan kelembagaan dilaksanakan
juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan
kemampuan potensi daerah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap penataan

254 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur semata, melainkan juga sebagai pelembagaan
jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam persoalan demokrasi. Model pemerintahan yang birokratis
dan kaku disingkirkan. Di samping mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif
terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Tindak lanjut dari keseluruhan hal di atas adalah penataan lembaga itu sendiri. Perhatian utama
diletakkan pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut ketimpangan antara volume kerja dengan
besaran struktur organisasi. Karenanya, perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau
sedikit adalah sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi seksi. Namun, tidak menutup
kemungkinan adanya pengembangan organisasi, misalnya dari kantor menjadi badan. Selain itu, satuan
organisasi yang lebih efisien berdiri sendiri dapat dikembangkan menjadi organisasi perangkat daerah, seperti
dari sub dinas menjadi kantor. Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika memang
terdapat tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah.

Pada akhirnya, keseluruhan penataan kelembagaan tersebut ditujukan untuk membangun organisasi
pemerintah daerah yang fleksibel, tahan banting dan adjustable atas setiap perubahan situasi yang berkembang
di masyarakat. Organisasi itu nantinya diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai tantangan
dan permasalahan yang muncul kemudian, sekaligus mampu melakukan lompatan ke depan untuk menjawab
berbagai dinamika tersebut dan mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, aspiratif dan efisien.

Di sisi lain, reformasi kelembagaan tersebut berjalan beriringan dengan keharusan untuk membangun
ukuran kinerja birokrasi itu sendiri. Komitmen serta dukungan yang tinggi dari para pengambil keputusan serta
pembuat kebijakan di tubuh birokrasi menjadi prasyarat mutlak. Dedikasi ini dilaksanakan secara bertahap, yang
dimulai dari institusi yang sudah cukup stabil, dalam arti tidak sedang dalam proses perubahan ataupun
pergantian personil. Transparansi pun diperlukan sebagai jembatan informasi kepada seluruh stakeholder
birokrasi, baik internal, apalagi khalayak eksternal.

Partisipasi masyarakat tak boleh dikesampingkan. Setelah penguatan internal dilakukan, birokrat perlu
berdialog dengan masyarakat guna menyusun indikator masing masing jenis layanan. Indikator ini tidak lepas
dari faktor pembiayaan yang dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah ini ditindaklanjuti dengan sosialisasi
indikator secara mendetail hingga dipahami oleh publik. Tentu aja tolok ukur penilaian kinerja itu harus yang
tepat dan mudah dioperasionalkan. Semakin sederhana alat ukurnya, semakin mudah pula implementasi dan
evaluasinya. Pemerintah pun secara transparan dan berkala harus menginformasikan hasil implementasinya
kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menyampaikan komplainnya dengan terarah dan tepat
sasaran.

2.4.Reformasi Birokrasi dan Good Governance

Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang
selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang
bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim
terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa.
Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah, serta era anti institusi.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 255


Implikasi nyata dari fenomena semakin rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah ini, berujung pada
posisi administrasi publik yang sulit serta tidak menguntungkan. (Edelman dalam Wibowo 2004:5).

Good governance sudah lama menjadi mimpi bagi banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman
mereka mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian besar dari mereka setidaknya
membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih
baik. Banyak diantara mereka yang membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance maka
kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semkin rendah, dan pemerintahan
semakin peduli dengan kepentingan warga.

Mengingat pengembangan good governance memiliki kompleksitas yang tinggi dan kendala yang
besar maka diperlukan sebuah langkah yang strategis untuk memulai praktik good governance. Agus Dwiyanto
menyarankan praktik governance sebaiknya dimulai dari sektor pelayanan publik (Dwiyanto 2005:3). Pelayanan
publik dipilih sebagai penggerak utama karna upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik
governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan lebih nyata dan mudah. Nilai-nilai seperti
efesiensi, partisipasi dan akuntabilitas dapat diterjemahkan secara relatif lebih mudah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.

Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good
governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki
kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi
bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia.

Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah ,
warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan
interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance
diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik.

Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya
prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi
sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi
pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan
melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping
permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan
martabatnya sebagai warga negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat
birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi
karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah
kepada budaya kekuasaan. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima
sebab pelayanan publik merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh pejabat
publik.

Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip Good Governance,
yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik

256 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


yang berkualitas merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara diharapkan
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien. Diharapkan dengan penerapan Good
Governance dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu


penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan
menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat
dari segi fungsional, aspek governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan
efesien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau justru sebaliknya dimana pemerintahan tidak
berfungsi secara efektif dan efesien. Penekanan baru dari konsep governance adalah pemaknaannya yang tidak
lagi menunjuk penggunaan kekuasan secara eksklusif pada pemerintahan, tetapi juga merujuk pada penggunaan
kekuasaan pada institusi atau organisasi yang berada diluar pemerintahan. Selain itu defenisi governance juga
memberikan penekanan pada fungsi yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga aktor-aktor lain
yaitu civil society, dan pasar atau sektor privat. Governance merupakan sebuah bentuk mekanisme, proses,
hubungan dan jaringan institusi yang kompleks, dimana warga negara dan kelompok-kelompok yang ada
mengartikulasikan kepentingannya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa hampir semua organisasi, asosiasi, atau
lembaga dalam masyarakat mempunyai pengaruh dan juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi governance.

Governance menurut defenisi dari World Bank adalah ―the way state power is used in managing
economic and social resources for devolepment and society”. Suatu cara digunakan didalam mengatur sumber
daya sosial dan ekonomi untuk pembangunan dan masyarakat". Sementara UNDP (United Nation Development
Program) mendefenisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to
manage a nation‟s affair at all levels”. Latihan dari politis, ekonomi, dan otoritas administratif untuk mengatur
suatu urusan bangsa pada semua tingkat". Berdasarkan defenisi terakhir, governance mempunyai tiga kaki,
yaitu:

1. Economic governance (Penguasaan ekonomi) meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi
terhadap equity (Kekayaan), proverty (properti), dan quality of live ( Kualitas hidup).

2. Political governance (Penguasaan politik) adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan.

3. Administrative governance (Penguasaan administrasi) adalah sistem implementasi proses kebijakan


(Sedarmayanti 2003:4-5).

Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah),
private sector (sektor swasta), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya
masing-masing. State berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector
menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi,
politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial,
dan politik.

Selain itu, OECD (Organization for Economic Coorporated Development) yaitu organisasi untuk
kerjasama ekonomi pembangunan dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang
efesien, penghindaran korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 257


penciptaan legal and political frameworks (undang-undang dan kerangka politik) bagi tumbuhnya aktivitas
kewiraswastaan (Sedarmayanti 2003:7).

Good governance menurut UNDP didefenisikan sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di
antara Negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan defenisi tersebut, UNDP kemudian
mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Adapun
prinsip-prinsip tersebut adalah partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun
konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggung jawab dan visi yang strategik (Suhady 2005).

Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:

1. Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan
memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing

2. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat
madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada
stakeholders.

3. Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan,
ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.

4. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi.
Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

5. Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani
berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).

6. Berorientasi konsensus (Consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah
bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi
kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan
masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

7. Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki
maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

8. Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan
untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-
baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.

9. Visi strategis (Strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka
panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

2.5.Pelayanan Publik, Kepentingan Publik, Kualitas Pelayanan Publik

Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar
seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Sampara dalam

258 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Sinambela 2006). Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara atau
hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman;
menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan).

Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
publik.

Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa inggris publik yang berarti umum, masyarakat, negara.
Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum,
orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat
sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat. Oleh
karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah
manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Inu dalam Sinambela
2006).

Ijan Poltak Sinambela (2006) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok
yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada
penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi
berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.

Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau
pelayanan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62 tahun
2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :

1. Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-
belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan yang mencakup : Rincian biaya atau tarif pelayanan publik. Prosedur/tata cara umum, baik
teknis maupun administratif.

3. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan.

4. Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau
oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.

5. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan
santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 259


6. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk
penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.

Kualitas pelayanan berhasil dibangun apabila yang diberikan kepada masyarakat atau pelanggan
mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan ini bukan dari aparatur tetapi dari
masyarakat/pelanggan. Dengan adanya tata cara pelayanan yang jelas dan terbuka, maka masyarakat dalam
pengurusan kepentingan dapat dengan mudah mengetahui prosedur ataupun tata cara pelayanan yang harus
dilalui. Sehingga pelayanan itu sendiri akan dapat memuaskan masyarakat.

Pelayanan yang dapat memberikan kepuasan pada para pelanggan sekurang-kurangnya mengandung
tiga unsur pokok yaitu :

1. Terdapatnya pelayanan yang merata dan sama, yaitu dalam pelaksanaannya tidak ada diskriminasi yang
diberikan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat. Pelayanan tidak menganaktirikan dan
menganakemaskan keluarga, pangkat, suku, agama dan tanpa memandang status ekonomi. Hal ini
membutuhkan kejujuran dan tenggang rasa para pemberi pelayanan tersebut.

2. Pelayanan yang diberikan harus tepat pada waktunya Pelayanan oleh aparat pemerintah dengan mengulur
waktu dengan berbagai alasan merupakan tindakan yang dapat mengecewakan masyarakat. Mereka yang
membutuhkan secepat mungkin diselesaikan akan mengeluh kalau tidak segera dilayani. Lagipula jika
mereka mengulur waktu tentunya merupakan beban untuk tahap selanjutnya karena berbarengan dengan
semakin banyaknya tugas yang harus diselesaikan.

3. Pelayanan harus merupakan pelayanan yang berkesinambungan

Dalam hal ini aparat pemerintah harus selalu siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang membutuhkan bantuan pelayanan. Meminjam model dari Valerie A. Zeithaml dkk (2000:45) maka ada
beberapa dimensi yang sangat penting diperhatikan dalam mengukur pelayanan yang bekualitas yaitu:

1. Tangibility : dapat berupa tampilan fisik, peralatan, dan penggunaan alat Bantu yang
dimiliki pemberi pelayanan. Hal ini sangat penting sekali mengingat masyarakat akan
merasa lebih nyaman berada dalam sarana fisik yang bersih, rapi dan nyaman serta mudah
dalam mengidentifikasikan antara pembeli pelayanan dengan orang lain.

2. Reability : kesesuaian antara kenyataan layanan yang diberikan dengan pelayanan yang
dijanjikan. Hal ini penting karena akan mempengaruhi perencanaan usaha dan kepastian dari
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan.

3. Responsiveness : kemampuan dalam pemberian pelayanan secara tepat dan cepat. Pemberi
pelayanan harus bertanggung jawab dalam memberikan penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat atau pelanggan.

4. Assurance : keahlian yang diperlukan dalam memberikan pelayanan sehingga pelanggan


atau masyarakat merasa terbebas dari resiko atau kerugian karena gagalnya pelayanan.

260 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


5. Empathy : adanya kedekatan dan pemahaman baik antara pemberi pelayanan dengan
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memuat akses komunikasi yang dapat
memudahkan komunikasi antara pemberi pelayanan dapat mengenal
masyarakat/pelanggannya dengan baik dan keinginan masyarakat dalam proses pelayanan
dapat dimengerti.

Komitmen dan semangat untuk melakukan penataan terhadap sistem governance di bidang
pemerintahan terus meningkat. Penyebabnya, selain karena masih banyaknya organisasi yang memiliki kinerja
yang kurang baik, juga disebabkan tidak efektifnya perangkat hukum dan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan organisasi berdampak pada tidak terciptanya kinerja pelayanan publik yang baik, hal tersebut tidak
hanya berdampak pada profit organisasi akan tetapi juga berdampak pada non-profit organisasi termasuk
institusi pemerintah. Kesalahan-kesalahan inilah yang menjadi titik perhatian akademisi, pemerintah dan praktisi
untuk melakukan penataan terhadap system governance.

Penyelenggaraan tata pemerintahan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan


pelayananan publik, selama ini dianggap kurang memenuhi harapan dalam penerapannya karena tidak
memenuhi prinsip, norma, efisiensi, partisipasi, transparasi dan akuntabilitas. Sementara pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, berkeadilan dan persamaan perlakuan
di muka hukum menjadi kebutuhan masyarakat yang amat mendesak.

Pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat merupakan salah
satu fungsi penting pemerintah, selain fungsi distribusi, regulasi maupun proteksi. Fungsi pelayanan publik
tersebut merupakan aktualisasi riil kontrak sosial yang diberikan masyarakat kepada pemerintah, dalam konteks
hubungan principal-agent. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, pemerintah selanjutnya melakukan proses
pengaturan alokasi sumber daya publik dengan cara menyeimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran untuk
memaksimalkan penyediaan kebutuhan pelayanan kolektif.

Pelaksana kontrak sosial yang digariskan sebelumnya oleh pemerintah seringkali menimbulkan banyak
masalah bagi publik, sehingga pemerintah kemudian mendapatkan berbagai stigma negatif dan salah satu di
antaranya adalah stigma jauh dari ―menjadi bagian dari solusi‖ (a part of solution), pemerintah justru menjadi
―bagian dari masalah‖ (a part of problem) bahkan menjadi masalah utama dalam proses penyelenggaraan
pelayanan publik.

Indikator hal tersebut dapat kita lihat pada fenomena malpraktik pelayanan publik yang sudah menjadi
bagian integral dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka bukan hal yang tidak mungkin jika stigma
negatif itu dilontarkan, hal ini dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik yang kurang memenuhi harapan
masyarakat, misalnya bertele-tele, cenderung birokratis, tidak transparan, banyak pungutan tambahan, perilaku
aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat dan pelayanan yang diskriminatif.

Indikasi lain yang terkait dengan pelayanan publik adalah teridentifikasinya ―budaya negatif‖ di dalam
lingkungan organisasi pemerintah yang merugikan kepentingan publik seperti mendahulukan kepentingan
pribadi, golongan, kelompok, termasuk kepentingan atasannya. Adanya perilaku malas dalam mengambil
inisiatif di luar peraturan (lebih banyak sembunyi di balik aturan atau petunjuk atasan), sikap acuh terhadap

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 261


keluhan masyarakat, lamban dalam memberikan pelayanan serta sederetan persoalan-persoalan lainnya yang
merupakan gambaran perilaku lainnya yang tidak simpatik dan kurang mengenakkan.

Untuk mewujudkan Good Governance, maka penyelenggaraan pemerintahan harus mencakup prinsip –
prinsip, sebagaimana yang digunakan oleh berbagai lembaga international seperti UNDP, World Bank, dan
meliputi : (1) partisipasi, (2) Efisiensi dan efektivitas, (3) Keadilan, (4) Akuntabilitas, (5) Transparasi, (6)
responsivitas, (7) Kesamaan dan (8) kepastian hukum (Dwiyanto, 2003). Selain itu, konsep pelayanan prima
juga menjadi model yang harus diterapkan guna meningkatkan kualitas pelayanan

Strategi pelayanan prima yang dikemas dalam bentuk layanan terpadu, adalah pola pelayanan publik
yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi yang bersangkutan sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Penerapan layanan terpadu pada dasarnya ditujukan antar fungsi terkait, maka
dengan demikian pelayanan terpadu bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau
(Sedarmayanti, 2004).

Suatu sistem pelayanan publik dalam merespons dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara
tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan Kemampuan dijadikan
sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Birokrasi publik diIndonesia sering
kali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi-fungsi dan aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi itu
cenderung semakin meluas, bahkan mungkin menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk
birokrasi itu. Perluasan misi birokrasi ini sering kali tidak didorong oleh keinginan birokrasi itu agar dapat
membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya, tetapi didorong oleh keinginan
birorasi untuk memperluas aksesnya terhadap kekuasaandan anggaran.
Dalam situasi yang fragmentasi birokrasi amat tinggi, maka kecenderungan semacam ini tidak hanya
akan membengkakkan birokrasi publik, tetapi juga menghasilkan duplikasi dan konflik kegiatan dan kebijakan
antar kementrian dan berbagai non kementrian. Dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik, konflik
kebijakan antar departemen dan lembaga non departemen bukan hanya melahirkan inefisiaensi, tetapi juga
membingungkan masyarakat pengguna jasa birokrasi.
Ketidakpastian misi juga membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan peraturan
menjadi amat tinggi. Apalagi dalam birokrasi publik di Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan
peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong para pejabat birokrasi publik
menggunakan prosedur dan peraturan sebagai kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan. Para pejabat
birokrasi sering mengabaikan perubahan yang terjadidalam lingkungan dan alternatif cara pelayanan yang
mungkin bisa mempermudah para pengguna layanan untuk bisa mengakses pelayanan secara lebih mudah dan
murah. Ketaatan dan kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan menjadi indikator kinerja yang dominan
sehingga keberanian untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitas dalam merespon perubahan
yang terjadi dalam masyarakat menjadi amat rendah.
Rutinitas dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan benar dalam penyelengaraan pelayanan publik.
Birorasi yang seperti ini tentu amat sulit menghadapi dinamika yang amat tinggi, yang muncul sebagai akibat
dari krisis ekonomi dan politik yang sekarang ini terjadi di Indonesia. Krisis ini mengajarkan kepada kita betapa
rapuhnya sistem birokrasi publik diIndonesia dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam
lingkungannya. Tentunya kegagalan birokrasi dalam merespons krisis ekonomi dan politik secara baik juga

262 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


amat ditentukan oleh bagaimana sistem kekuasaan, akuntabilitas, intensif dan budaya yang berkembang dalam
birokrasi selama ini.
Uraian diatas menjelaskan bahwa kemampuan pemerintah dan birokrasinya dalam menyelenggarakan
pelayanan publik amat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk
memahami kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik, tentu tidak cukup hanya dengan
menganalisisnya dari satu aspek yang sempit, tetapi harus bersifat menyeluruh dengan memperhatikan semua
dimensi persoalan yang dihadapi oleh birorasi serta keterkaitan sati dengan yang lainnya. Dengan cara pandang
seperti ini, maka informasi tepat dan lengkap mengenai kinerja birokrasi dapat diperoleh dan kebijakan
reformasi birokrasi yang holistik dan efektif bisa dirumuskan dengan mudah. Dengan melaksanakan kebijakan
seperti ini, maka diharapkan perbaikan kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik akan bisa
segera dinikmati oleh masyarakat luas.

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis/Pendekatan Penelitian

Jenis/pendekatan penelitian yang digunakan dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah kombinasi
antara penjajagan (exploratory) dan deskriptif (descriptive). Penelitian eksploratori (exploratory–dalam istilah
―lama‖ disebut penelitian eksploratif), merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian (kadang disebut pula
dengan desain penelitian. Penyebutan penelitian eksploratori sebagai salah satu pendekatan penelitian antara
lain ditemukan dalam blog KnowThis.com (blog tentang pemasaran) yang menjelaskan penelitian eksploratori
(dalam pemasaran, tentunya) sebagai berikut.

Pendekatan eksploratori berupaya menemukan informasi umum mengenai sesuatu


topik/masalah yang belum dipahami sepenuhnya oleh seseorang petugas pemasaran (bisa
kita ganti sebutannya dengan yang lebih umum : peneliti). Sebagai contoh, seorang
petugas pemasaran (peneliti) telah mendengar berita tentang adanya teknologi internet
baru yang bisa membantu pihak-pihak yang berkompetisi di dunia pemasaran, tetapi si
petugas pemasaran tersebut belum akrab (kenal, paham) benar dengan peralatan
teknologi tersebut dan berkeinginan untuk melakukan penelitian guna mengenal lebih
jauh mengenainya (Tatang, 2009).

Penelitian ini, oleh karena obyeknya adalah implementasi kebjakan, maka secara substantif juga bisa
disebut sebagai penelitian kebijakan. Dalam pandangan Rahayu (2010), penelitian kebijakan (policy research)
secara spesifik ditujukan untuk membantu pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun rencana
kebijakan, dengan jalan memberikan pendapat atau informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan
masalah yang kita hadapi sehari-hari. Dengan demikian, penelitian kebijakan merupakan rangkaian aktifitas
yang diawali dengan persiapan peneliti untuk mengadakan penelitian atau kajian, pelaksanaan penelitian, dan
diakhiri dengan penyusunan rekomendasi.

Penelitian kebijakan memiliki sifat yang sangat khas. Kekhasan penelitian ini terletak pada fokusnya.
Danim (2005) menjelaskan fokus penelitian kebijakan secara umum adalah: berorientasi kepada tindakan untuk
memecahkan masalah sosial yang unik, yang jika tidak dipecahkan akan memberi efek negatif yang sangat luas.
Tidak ada ukuran pasti mengenai luas atau sempitnya suatu masalah sosial. Setiap jenis penelitian tentu

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 263


memiliki karakteristik masing-masing. Demikian juga dengan penelitian kebijakan. Kekhususan karakteristik
penelitian kebijakan terutama pada proses kerjanya. Menurut Ann Majchrzak sebagaimana yang dikutip Danim
(2005), karakteristik penelitian kebijakan adalah: (1) Fokus penelitian bersifat multidimensional atau banyak
dimensi, (2) Orientasi penelitian bersifat empiris-induktif, (3) Menggabungkan dimensi masa depan dan masa
kini, (4) Merespon kebutuhan pemakai hasil studi, (5) Menonjolkan dimensi kerja sama secara eksplisit.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa nilai spesial karakteristik penelitian kebijakan adalah pada
penekanan-penekanan khusus dari masing-masing karakteristik tersebut serta kepaduannya dalam melihat
masalah secara multi dimensi dan dikedepankannya hasil penelitian yang dapat memberikan kontribusi bagi
upaya memperbaiki kebijakan public, baik dalam tataran formulasi, implementasi maupun evaluasi.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga
disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka
langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (Mc Millan & Schumacher, 2003). Penelitian
kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Sekalipun demikian, data yang
dikumpulkan dari penelitian kualitatif memungkinkan untuk dianalisis melalui suatu penghitungan. Penelitian
kualitatif (Qualitative research) bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu
berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial (a shared social eperience) yang
diinterpretasikan oleh individu-individu.

Sementara itu, menurut (Sugiono, 2009:15), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositifsime, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sample sumber dan
data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi
(gabungan) analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada
makna daripada generalisasi.

Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek yang alamiah maksudnya, objek yang
berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi
dinamika pada objek tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang
atau peneliti itu sendiri (humane instrument). Untuk dapat menjadi instrumen maka peneliti harus memiliki
bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi situasi sosial
yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna. Berikut ini karakteristiknya:

1. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data :

2. Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik : data yang diperoleh seperti hasil pengamatan,
hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di
lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka.

3. Tekanan penelitian kualitatif ada pada proses bukan pada hasil. Data dan informasi yang
diperlukan berkenaan dengan pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana untuk mengungkap
proses bukan hasil suatu kegiatan.

264 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


4. Penelitian kualitatif sifatnya induktif. Penelitian kualitatif tidak dimulai dari deduksi teori, tetapi
dimulai dari lapangan yakni fakta empiris. Peneliti terjun ke lapangan, mempelajari suatu proses
atau penemuan yang tenjadi secara alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan dan melaporkan
serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari proses tersebut.

5. Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap berkisar pada persepsi orang
mengenai suatu peristiwa. (Apipah, 2012)

3.2.Lokasi Penelitian

Secara teritori populasi penelitian ini adalah Provinsi Jawa Timur, dan secara substantif populasi
penelitian ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan obyek maupun subyek pelayanan publik,
khususnya tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, Namun
dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu, biaya dan kapasitas untuk melakukan penelitian ini, maka
secara teritori penelitian ini memilih 5 kabupaten sebagai sampel penelitian ini dengan pertimbangan lima
daerah tersebut dalam catatan Komisi Pelayanan Publik terdapat jumlah pengaduan dalam ranking tertinggi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ditentukan 5 daerah yang menjadi sampel penelitian ini, meliputi :

1. Kabupaten Sidoarjo
2. Kabupaten Banyuwangi
3. Kabupaten Lamongan
4. Kota Blitar
5. Kabupaten Kediri

3.3.Teknik Pengambilan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualiatas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi,
populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam lainnya. Populasi juga bukan sekedar
banyaknya objek/subjek yang diteliti, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek atau
objek tersebut.

Sampel adalah perwakilan dari kelompok yang telah diseleksi dari populasi target sehingga peneliti dapat
mengeneralisasikan hasil penelitian yang diperoleh ke dalam populasi target. Sampel adalah bagian dari jumlah
dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Jadi, sampel merupakan perwakilan/bagian dari jumlah kelompok
dengan karakteristik tertentu yang dimiliki oleh populasi.

Populasi dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial (objek yang ingin dipahami secara mendalam).
Sampel dalam penelitian ini berupa partisipan, atau narasumber atau informan. Sampel dalam penelitian kualitatif
didasarkan atas informasi yang maksimum (bukan statistik). Teknik pengambilan sampel yang dipilih dalah
purposive dan snowball. Kegiatan eksplorasi penelitian diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan telaah
dokumen. Dilakukan saat mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung (emergent sampling
design). Peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data yang lebih
lengkap. Apabila penentuan unit sampel (partisipan/informan) dianggap telah memadai (redundansi), data telah
jenuh maka tidak perlu lagi menambahkan sampel sebagai informasi yang baru.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 265


Teknik sampling yang dipilih adalah teknik sampling penelitian kualitatif purposive sampling. Prosedur
dimana peneliti mengidentifikasi informan kunci: orang-orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang topik
yang sedang diselidiki. Misalnya, Penelitian tentang fenomena penyampaian gugatan atau keluhan pelanggan.

3.4.Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk
pengumpulan data. Teknik dalam menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi
hanya dapat dilihat penggunaannya melalui : angket, wawancara, pengamatan, ujian (tes), dokumentasi, dan
lain-lain. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan teknik tergantung dari masalah yang dihadapi
atau yang diteliti.

Dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan
data kualitatif, yaitu; 1) wawancara, 2) observasi, 3) dokumentasi, dan 4) diskusi terfokus (Focus Group
Discussion). Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan
terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data mana
yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat data yang valid dan reliable, meliputi:

1. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, karena peneliti
telah mengetahui informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara,
peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan wawancara
terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya. Dalam
melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka
pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur dan material lain
yang dapat membantu pelaksanaan wawancara berjalan lancar.
2. Observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini.
Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan,
penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah
penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan
perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau
kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian (Guba dan Lincoln, 1981). Bungin (2007) mengemukakan
beberapa bentuk observasi, yaitu: 1) Observasi partisipasi, 2) observasi tidak terstruktur, dan 3) observasi
kelompok. Berikut penjelasannya:

a. Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti
terlibat dalam keseharian informan.

b. Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi,
sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di
lapangan.

266 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


c. Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah
isu yang diangkat menjadi objek penelitian.

3. Studi Dokumen : selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang
tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan
sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa
silam.

3.5.Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama
dilapangan, dan setelah selesai dilapangan. Dalam hal ini Nasution (1988) menyatakan ‖Analisis telah mulai
sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan berlangsung terus sampai
penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin,
teori grounded”. Namun dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses dilapangan
bersamaan dengan pengumpulan data.

1. Analisis Sebelum di Lapangan : penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti
memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data skunder, yang
akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat
sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama dilapangan.
2. Analisis Selama di Lapangan: analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara
peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai
setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaannya lagi sampai
tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles and Huberman (2984) mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display dan conclusion
drawing/ferification.
3. Data reduction (reduksi data) : data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu
dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan makin lama peneliti di lapangan, maka jumlah
data akan makinbanyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segers dilakuakan analissi data melalui
reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum , memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-
hal yang penting, dicari tema dan polanya dan memebuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memepermudah peneliti untuk
melakuakan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinyan bila diperlukan. dan pengembangan teori
yang segnifikan.
4. Data display (penyajian data): setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya adalh mendisplaykan data.
Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakuakan dalam bentuk table, grafik,
pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersususn dalam
pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 267


Miles and Huberman (1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data maka akan
memedahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang
telah dipahami tersebut. Miles and Huberman (1984). Selanjutkan disarangkan, dalam melakukan dispalay
data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network dan chart. Untuk mengecek
apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, maka perlu dijawab pertayaan berikut, apakah
anda tahu apa isi yang didisplaykan.
5. Conclusion Drawing/verification : kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya. Tetapi apabila data kesimpulan data yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh
kembali bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian kesimpulan dalam
penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi
mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada dilapangan.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya
belum pernah ada. Temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih
remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.

Sebagai penyempurna penelitian ini juga digunakan confirming finding analysis (analisis memastikan
temuan) yang akan dipakai untuk memastikan apakah temuan dalam penelitian ini memiliki kebenaran. Teknik
confirming finding analysis akan dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi dengan bantuan wawancara
terstruktur dengan informan kunci serta dengan observasi pada obyek-obyek yang spesifik dan relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Gambaran Umum Komisi Pelayanan Publik (KPP)

a.Kelembagaan KPP

Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga yang dibentuk pertama kalinya
pada tahun 2006. KPP hadir sebagai bentuk implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) Jatim No. 11 Tahun
2005 Tentang Pelayanan Publik.

Dalam peraturan daerah yang merupakan amanat bagi pelaksanaan pelayanan publik prima di Jawa
Timur tersebut, diamanatkan tentang berdirinya KPP selaku lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan
pelayanan publik. Lembaga ini memiki fungsi sebagai pengawas eksternal pelayanan publik dengan tugas utama
menangani pengaduan masyarakat.

Seiring dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan publik, dimana pemerintah pusat mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, Tentang Pelayanan Publik, Jawa Timur melalui DPRD melakukan
penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan oleh Komisi A DPRD Jawa Timur tersebut menghadirkan Perda

268 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Jatim Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik. Perda ni sendiri sebenarnya merupakan revisi dari Perda
No. 11 Tahun 2005 sebagai akibat dari terbitnya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Ada perbedaan yang signifikan antara Perda No. 11/2005 dengan Perda No. 8 Tahun 2011 yang
berkaitan dengan KPP. Perbedaan itu diantaranya masa jabatan yang sebelumnya 5 Tahun menjadi 4 tahun.
Selain itu jumlah anggota yang sebelumnya berjumlah 5 orang kini menjadi 7 orang Sebagaimana Perda No. 11
Tahun 2005, Dalam Perda No. 8 Tahun 2012 inipun juga mengamanatkan tentang keberadaan Komisi
Pelayanan Publik (KPP). Dalam Perda ini secara rinci diatur bagian mengenai Komisi Pelayanan Publik. Hal ini
terdapat dalam pasal 44 hingga pasal 53 Perda tersebut.

Sebagaimana diamanatkan Perda No. 8 Tahun 2011, KPP dihadirkan dengan serangkaian tugas pokok,
fungsi dan tanggung jawab dalam hal pengawasan pelaksanaan pelayanan publik. Tugas tersebut terutama
berkaitan dengan penanganan pengaduan seputar pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi di wilayah Jawa
Timur. Tugas ini akan menjadi hal yang harus dilaksanakan oleh Tugas tersebut haruslah menjadi hal mendasar
yang harus dikerjakan oleh ketujuh anggota KPP yang diperoleh melalui proses penjaringan dan penyaringan
yang cukup ketat oleh panitia dan Komisi A DPRD Jawa Timur dan telah dilantik pada tanggal 9 April 2012.
(Sumber KPP Jatim)

b. Kedudukan KPP :

KPP berkedudukan di Ibukota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi
penyelenggara pelayanan publik di lingkungan Pemerintah Provinsi.
KPP merupakan lembaga pengawas eksternal yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bersifat
independen bebas dari pengaruh siapapun.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dapat menjalin kerjasama kemitraan dengan
Ombusdman maupun dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan instansi lainnya.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dibantu oleh staf Sekretariat.
Staf Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pegawai negeri sipil yang kompeten berdasarkan
penugasan dari Pemerintah Provinsi.

c.Struktur KPP

Sebagaimana telah dipaparkan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur terdiri dari 7
orang anggota (Perda No. 8/2011 Pasal Ayat). Ketujuh anggota ini sesuai dengan pasal XX ayat XX secara
struktural terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu orang wakil ketua merangkap anggota dan lima
orang anggota. Adapun susunan organisasi KPP sebagai berikut :

Ketua merangkap anggota : Deni wicaksono, S.Sos

Wakil Ketua merangkap anggota : Dr.wahidahwati, SE,M.Si, AK

Anggota :

1. Suprapto, SH, MH,M.Psi

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 269


2. Nuning Rodiyah,S.Pd.I, M.Pd.I

3. Immanuel Yosua T, S.Th, MACE

4. Hardly Fenelon S,SE

5. Assistriadi W, ST.MM

d.Rekruitmen KPP (Normatif dan Empirik)

Persyaratan Keanggotaan KPP

Syarat-syarat untuk menjadi anggota KPP adalah sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Jawa Timur;

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun dan maksimal 60 (enam puluh) tahun serta sehat jasmani dan
rohani;

d. Berpengalaman dibidang pelayanan publik, komunikasi dan informatika, kebijakan publik, politik, hukum
dan advokasi masyarakat;

e. Independen dan bukan anggota atau pengurus partai politik maupun organisasi yang berafiliasi pada partai
politik;

f. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan

g. Tidak sedang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Jumlah dan Masa Keanggotaan

1. KPP beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua merangkap
anggota serta 5 (lima) orang anggota;

2. Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat
dari dan oleh anggota;

3. Ketua, Wakil Ketua dan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sanggup bekerjasama;

Masa keanggotaan KPP selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa keanggotaan 1 (satu)
periode berikutnya.

Penetapan dan Pelantikan Anggota KPP

1. Anggota KPP ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas usulan dari DPRD setelah melalui proses
penjaringan, penyaringan serta uji kemampuan dan kelayakan bersama dengan Tim Independen;
2. Anggota KPP yang diusulkan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan
DPRD;

270 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


3. Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 12 (dua belas)
hari kerja sejak diterimanya usulan dari DPRD;
4. Pelantikan anggota KPP dilakukan oleh Gubernur setelah diterbitkannya Keputusan Gubernur.

Pemberhentian, Pemberhentian Sementara dan Penggantian Antar Waktu

1. Masa Keanggotaan KPP berakhir, karena: berhenti dari jabatannya, dan/atau diberhentikan dari jabatannya;
2. Anggota KPP yang berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, karena: masa
jabatannya berakhir; mengundurkan diri secara sukarela; dan/atau meninggal dunia;
Anggota KPP yang diberhentikan dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena:
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; tidak lagi
memenuhi persyaratan.
3. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; dan berhalangan secara kumulatif lebih dari 46 (empat puluh
enam) hari dalam 1 (satu) tahun;
4. Anggota KPP yang sedang menjalani proses hukum dan telah ditetapkan sebagai terdakwa dengan
ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberhentikan sementara sampai ada putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. Pemberhentian dan Pemberhentian sementara Anggota KPP dari jabatannya berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur;
6. Pada saat pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), anggota KPP hanya menerima
50% (lima puluh perseratus) dari honorarium yang seharusnya diterima.

e.Tugas dan Kewajiban KPP

Tugas KPP

Sebagai pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik KPP bertugas :

a. Menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik;

b. Membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non
litigasi;

c. Melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik;

d. Menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung oleh masyarakat.

Kewajiban KPP

Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada tugas KPP berkewajiban:

a. Meminta informasi dari penyelenggara dan/atau pelaksana pelayanan publik;


b. Melakukan konfirmasi kepada pengadu dan/atau instansi terkait bahwa persoalan yang disampaikan
belum diadukan atau tidak sedang diproses Ombudsman maupun oleh Pengadilan;
c. Menghadirkan pihak-pihak untuk kepentingan konsultasi maupun mediasi;

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 271


d. Meminta informasi pada organisasi penyelenggara dan/atau pelaksana tentang pengajuan keberatan
dari masyarakat dan tindak lanjut yang telah dilakukan;

e. Memberi saran atau masukan baik diminta ataupun tidak kepada Gubernur melalui DPRD dalam
rangka memperbaiki kinerja pelayanan.

4.2 Hasil dan Pembahasan

A.Peran dan Pelaksanaan Tugas KPP

Merujuk pasal 45 Peraturan Daerah Nomor Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Publik, bahwa Komisi Pelayanan Publik (KPP) bertugas sebagai 1.Pengawas eksternal terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik.
Tugas tersebut meliputi: (a) menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan
publik; (b) membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non
litigasi; (c) melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik; dan
(d) menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung oleh masyarakat.
Secara kelembagaan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga independen
yang berfungsi untuk menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa pelayanan publik. Salah satu daerah
yang membentuk suatu lembaga/komisi yang memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dari
penyelenggara pelayanan publik yang kurang baik dan propesional dalam memberikan pelayanan publik
terhadap masyarakat adalah daerah Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur membentuk suatu komisi yang
memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal pelayanan publik pada tahun 2005
melalui Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang
dinamakan Komisi Pelayanan Publik (KPP), yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur
Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 11 tahun 2005 tersebut, serta
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2007 tentang Sekretariat Komisi Pelayanan Publik (KPP)
Provinsi Jawa Timur; dan pada akhirya lahir Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 20011
tentang Pelayanan Publik, sebagai bentuk adaptasi Perda 11/2005 terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, disamping karena adaptasi terhadap perubahan kebutuhan publik akan kualitas
pelayanan.

KPP berkedudukan di Ibu kota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi
penyelenggara pelayanan publik di lingkungan pemerintah provinsi (pasal 44 Perda Nomor 8 Tahun 2011).
Namun melalui Kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten/Kota maka
KPP direkomendasikan untuk juga menjadi lembaga pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan
publik di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.

Sejumlah sub bab berikut ini menyajikan data tentang pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga
pengawasan eksternal atas penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur (tidak hanya di lingkungan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

272 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


a.Penanganan Pengaduan

Deputi Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menegaskan, tidak adanya
pengaduan jangan dipahami bahwa pelayanan publik baik-baik saja. Justru semakin banyaknya pengaduan,
semakin bagus pelayanan publik dan partisipasi masyarakat ―Pengaduan itu tanda cinta dari masyarakat yang
peduli terhadap pelayanan publik‖. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pelayanan publik sangat
penting bagi pelaksanaan program pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Bentuk
partisipasi tersebut berupa pengawasan standar pelayanan, apabila pelayanan tidak sesuai dengan standar.
Masyarakat dihimbau agar dapat melapor kalau pelayanan tidak sesuai prosedur, kemudian didiskusikan dengan
penyelenggara layanan untuk perbaikan dan menemukan solusinya. Sistem pengaduan memang belum berjalan
dengan baik. Selain menerapkan sesuai standar, masyarakat juga harus diberi pemahaman bagaimana cara
melapor sesuai Pasal 19 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Masyarakat harus
berpartisispasi aktif dengan mematuhi dan memenuhi ketentuan dalam standar, dan menjaga sarana dan
prasarana layanan publik.

Berdasar data ini dapat diketahui bahwa Kota Surabaya menduduki jumlah tertinggi (38,89%).

Pada tahun 2013 jumlah pengaduan meningkat secara tajam, dari 207 di tahun 2012 menjadi 802 di tahun
di tahun 2013 (meningkat 288,89%). Ini menjadi salah satu indikasi akan meningkatnya popularitas KPP
sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

2.Pengembangan Kelembagaan Internal

Secara internal terdapat sejumlah langkah strategis yang telah dilakukan oleh KPP dalam rangka
melakukan optimalisasi pelaksanaan tugasnya, diantaranya adalah dengan melakukan pengembangan
kelembagaan secara internal. Strategi itu diantaranya adalah :

Pembagian Wilayah Koordinasi

Dilandasi keberadaan Jawa Timur yang cukup luas, Rapat Pleno KPP memutuskan untuk membagi
wilayah kerja menjadi 7 wilayah koordinasi untuk 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Ketujuh wilayah yang
telah terbagi ini dikoordinir oleh ketujuh anggota/Komisioner KPP. Adapun wilayah tersebut adalah:

1) Korwil I meliputi wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sampang,


Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan dengan koordinator wilayah Deni Wicaksono,
S.Sos
2) Korwil II meliputi wilayah Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan,
Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bangkalan dengan koordinator wilayah Suprapto, SH,
MH, M.Si
3) Korwil III meliputi wilayah Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Malang, Kabupaten
Malang, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo dengan koordinator wilayah Dr.
Wahidahwati, SE, M.Si.Ak
4) Korwil IV meliputi wilayah Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang,
Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kota Madiun dengan koordinator wilayah

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 273


Assistriadi Widjiseno, ST
5) Korwil V meliputi wilayah Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Blitar, Kota Blitar,
Kabupaten Tulungagung, Kota Batu dengan koordinator wilayah Immanuel Yosua, S.Th,
MACE.
6) Korwil VI meliputi wilayah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten
Situbondo, Kabupaten Jember, Kota Jember, Kabupaten Banyuwangi dengan koordinator
wilayah Hardly Stefano Fenelon Palela, SE
7) Korwil VII meliputi Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan,
Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo dengan koordinator wilayah Nuning Rodiyah,
S.Pd.I, M.Pd.I

Dalam perspektif institutional arrangement, pembagian korwil sebagaimana tersebut di atas menjadi
bagian penting dari upaya untuk melakukan peningkatan efektifitas pelaksanaan kerja komisioner. Sebab
sekurang-kurangnya pembagian korwil itu berimplikasi pada :

1) Pelaksanaan tugas yang makin terfokus


2) Peningkatan tanggungjawab pada korwil masing-masing
3) Peningkatan hubungan psiologisantara coordinator wilayah dengan lembaga penyelenggara
pelayanan publik dan masyarakat yang ada di wilayah itu lengkap dengan segala permasalahan
pelayanan publik yang ada; serta sejumlah manfaat lain.
1. Pembagian Konsentrasi Divisi

Dalam rangka optimalisasi kinerja, ketujuh anggota KPP membagi diri menjadi 5 (lima) divisi dengan
rincian sebagai berikut:

1. Divisi Penanganan Pengaduan yang berkonsentrasi pada proses manajerial pengaduan yang masuk ke
KPP. Divisi ini dibawah koordinasi Nuning Rodiyah, S.Pd.I, M.Pd

2. Divisi Hubungan Antar Lembaga yang berkonsentrasi pada jejaring dan interaksi KPP dengan masyarakat
dan lembaga non pemerintah yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan pelayanan publik di Jawa Timur.
Divisi ini di bawah koordinasi Deni Wicaksono, S.Sos

3. Divisi Sistem Informasi yang berkonsentrasi pada pengembangan sistem informasi pelayanan publik
terutama yang dikelola KPP. Divisi ini di bawah koordinasi Assistriadi Widjiseno, ST., M.MT

4. Divisi Sosialisasi dan Publikasi yang berkonsentrasi pada sosialisasi dan publikasi KPP dalam rangka
optimalisasi peran KPP. Divisi ini dibawah Koordinasi Immanuel Yosua, S.Th, MACE

5. Divisi Penelitian dan Pengembangan yang berkonsentrasi pada penelitian dan pengembangan kelembagaan
serta inovasi berkaitan dengan optimalisasi pelayanan publik. Divisi ini dibawah koordinasi Dr.
Wahidahwati, SE, M.Si.Ak

274 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pembagian divisi tersebut menjadi bagian dari inovasi KPP dalam melakukan pengembangan
kelembagaan ke dalam, yang karenanya (idealnya) memang berimplikasi pada peningkatan volume kegiatan
dan/atau program, sesuai dengan divisi yang dibentuk. Dalam kerangka inilah dukungan sumberdaya amat
diperlukan; dan oleh karena KPP menjadi bagian dari Pemerintah provinsi Jawa Timur, maka penyediaan
sumberdaya pendukung (oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur) sebagai konsekuensi atas dilakukannya
pengembangan kelembagaan dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP menjadi amat diperlukan.

3.Pengembangan Kelembagaan Eksternal

Pos Pelayanan Pengaduan KPP di Kabupaten/Kota


Salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh KPP dalam melakukan optimalisasi pelaksanaan
tugasnya adalah dengan membangun kerjasama dengan sejumlah lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota di
wilayah Provinsi Jawa Timur. Lembaga yang bekerjasama tersebut berperan sebagai Pos Pengaduan Komisi
Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.
Konsep yang dikembangkan dalam program ini adalah mendekatkan secara fisik letak Pos Pengaduan
dengan masyarakat. Selain itu kerjasama yang dibangun dengan 34 lembaga (sebagaimana terdapat pada tabel di
bawah ini) dapat dimaknai sebagai langkah terobosan dalam rangka pengembangan kelembagaan/organisasi
yang

KPP melakukan pengembangan kelembagaan/organisasi dalam rangka dalam rangka optimalisasi


pelaksanaan tugasnya. Pengembangan Organisasi/PO (Organizational Development/OD) pada prinsipnya
merupakan suatu proses di mana pengetahuan, konsep-konsep, dan praktek-praktek yang berkaitan dengan
(perilaku) organisasi digunakan secara efektif untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Proses ini
juga termasuk bagaimana meningkatkan kualitas kinerja organisasi dan sekaligus meningkatkan produktivitas
(anggota) organisasi. Pengembangan organisasi pada dasarnya berbeda dengan berbagai upaya perubahan
organisasi yang dilakukan secara terencana, seperti upaya perubahan dengan melakukan pembelian peralatan
baru, atau merancang ulang sebuah desain, ataupun menyusun ulang suatu kerjasama. Ini berpeluang punya
pengaruh positif dalam rangka peningkatan kemampuan organisasi untuk dapat mengetahui dan memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi.

Dengan demikian, pengembangan organisasi pada kenyataannya berorientasi pada peningkatan atau
kemajuan (kinerja) sistem; di mana organisasi sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang terdapat di
dalamnya, dapat mempengaruhi atau memberi dampak (positif) dalam interaksinya dengan lingkungan yang
lebih luas lagi, yaitu lingkungan di luar organisasi.

Pengembangan organisasi memang merujuk kepada konsep pengembangan yang prosesnya terjadi
secara perlahan dan memerlukan waktu yang (sangat) panjang. Jadi dapat, dikatakan bersifat evolutif. Hal ini
terjadi karena kegiatan pengembangan organisasi itu sangat bervariasi dan menyangkut aspek-aspek organisasi.
Aspek lain, dapat juga mengenai hal-hal yang menyangkut perubahan structural, dapat juga tentang peningkatan
kualifikasi anggota suatu organisasi melalui berbagaimlangkah.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 275


Studi mengenai pengembangan organisasi juga sebenarnya merupakan upaya untuk mengatasi berbagai
isu yang timbul, atau berbagai masalah yang muncul, termasuk masalah-masalah yang muncul sebagai dampak
dari berbagai perubahan yang dilakukan.

Meskipun banyak sekali konsep-konsep mengenai pengembangan organisasi sekarang ini, yang
mungkin akan saling tumpang tindih, barangkali definisi yang dikemukakan oleh Cummings (1996) akan
membantu kita untuk dapat lebih memahami konsep pengembangan organisasi yang dilakukan oleh KPP.
Menurut Cummings (1989), pengembangan organisasi adalah suatu aplikasi konsep atau teori dengan
menggunakan suatu sistem di mana konsep-konsep ilmu pengetahuan digunakan untuk mengembangkan
organisasi secara terencana dan dengan menggunakan semua strategi yang dimiliki organisasi untuk
meningkatkan efektivitas kinerja organisasi. Selanjutnya, Cummings (1989) juga menyatakan bahwa konsep
(ilmu pengetahuan) di dalam pengembangan organisasi itu pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang
membedakan pengembangan organisasi dengan pendekatan lain dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja
organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:

1) Pengembangan organisasi dapat diaplikasikan pada semua sistem, seperti pada


perusahaan, atau pada satu bidang usaha saja dari perusahaan yang memiliki banyak
bidang usaha. Ia juga dapat diterpkan pada satu bagian dari sebuah kelompok usaha.
Hal ini berbeda dengan berbagai pendekatan yang umumnya memfokuskan pada satu
atau sebagian kecil aspek saja dari sebuah sistem, seperti sistem informasi
manajemen/MIS (Management Information SystemSIM) atau bagian konsultasi
pegawai misalnya. Terobosan KPP mengembangkan sayap dengan menambah jumlah
titik pengaduan sungguh merupakan langkah strategis.

2) Pengembangan organisasi juga didasarkan pada praktek-praktek dan ilmu pengetahuan


(mengenai perilaku) seperti kepemimpinan, dinamika kelompok, desain pekerjaan,
serta berkaitan juga dengan berbagai pendekatan yang sifatnya makro seperti strategi
organisasi, struktur organisasi, dan hubungan lingkungan dengan organisasi.

3) Meskipun pengembangan organisasi itu terfokus pada perubahan yang direncanakan,


namun sebenarnya pengembangan organisasi bukanlah sesuatu yang sifatnya kaku
(rigid), formal, yang biasanya dikaitkan dengan perencanaan bisnis. Di sini, strategi
pengembangan organisasi cenderung lebih adaptif dalam hal perencanaan dan dalam
hal aplikasinya. Oleh karenanya, pengembangan organisasi bukanlah sekedar sebuah
rancang bangun (blue-print) belaka yang menyangkut mengenai bagaimana agar
sesuatu itu dapat dikerjakan. Jadi pengembangan organisasi pada dasarnya melibatkan
perencanaan mengenai bagaimana mendiagnosa masalah-masalah yang dihadapi
organisasi dan bagaimana memberikan solusinya. Hanya saja, di dalam pengembangan
organisasi, perencanaan semacam itu sifatnya fleksibel dan mudah direvisi, diubah
sesuai kebutuhan, berkaitan dengan informasi baru yang berisi mengenai bagaimana
program-program perubahan dilaksanakan.

4) Pengembangan organisasi juga diawali dari implementasi program-program perubahan


untuk jangka panjang yang fokusnya menyangkut stabilisasi dan pelembagaan

276 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


perubahan di dalam organisasi. Fokus berikutnya dapat saja mengenai faktor-faktor
yang dapat menjamin bahwa organisasi itu tetap dapat memberikan kebebasan kepada
pemangku kepentingan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja organisasi.

5) Pengembangan organisasi sangat memperhatikan mengenai strategi, struktur, dan


proses perubahan. Program perubahan bertujuan untuk memodifikasi strategi
organisasi. Contohnya, program perubahan yang difokuskan pada bagaimana
organisasi itu berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas; bagaimana hubungan
itu dapat dipelihara dan ditingkatkan. Hal ini juga termasuk perubahan baik pada
kelompok orang di dalam mengerjakan tugas-tugas (aspek struktur); juga dalam
metode-metode komunikasi dan cara-cara memecahkan masalah (aspek proses), yang
kesemuanya diterapkan untuk mendukung perubahan strategi secara keseluruhan.
Sejalan dengan tersebut, program-program pengembangan organisasi juga ditujukan
untuk membantu tim manajemen agar kinerjanya menjadi lebih efektif dalam
memfokuskan pada berbagai interaksi dan proses-proses pemecahan masalah di dalam
kelompok. Harapannya adalah bahwa dengan upaya tersebut kemampuan tim
manajemen untuk memecahkan masalah-masalah atau kendala-kendala yang muncul di
dalam organisasi dapat ditingkatkan secara optimal.

6) Pengembangan organisasi juga berorientasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi.


Atas hal ini ada dua asumsi dasar yang dikemukakan, pertama, organisasi yang efektif
akan mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Jadi
pengembangan organisasi sebenarnya menolong (para) anggota organisasi untuk
mendapatkan kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam memecahkan
masalah-masalah dimaksud. Kedua, organisasi yang efektif memiliki kualitas kerja dan
produktivitas yang sangat tinggi. Hal ini akan menarik minat sekaligus akan
memotivasi para pegawai untuk bekerja secara efektif. Tambahan lagi, organisasi akan
sangat responsif, akan lebih tanggap, atas berbagai kebutuhan dari kelompok-kelompok
eksternal (para pemegang saham, para pelanggan, para pemasok, dan jawatan
pemerintah) yang menyediakan berbagai kemudahan atau fasilitas serta sumber daya
bagi organisasi.

7) Tanpa melihat itu semua, suatu perubahan pada dasrnya memang memberikan
pengaruh terhadap orang-orang dan terhadap hubungan mereka di dalam organisasi.
Oleh karena itu, perubahan tersebut akan membawa konsekuensi sosial yang
signifikan. Dapat saja, misalnya, perubahan itu ditolak, atau diimplementasikan dengan
semaunya, atau bahkan disabotase oleh para anggota organisasi. Di balik itu semua,
sesungguhnya, berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku (organisasi)
telah mengembangkan konsep-konsep dan metode-metode yang sangat berguna untuk
membantu organisasi dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, seperti yang
telah disebutkan di atas. Pos Pengaduan Pelayanan yang Dibentuk Pemerintah
Kabupaten/Kota

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 277


Hasil studi lapangan menunjukkan bahwa sejumlah Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk lembaga
atau Unit Pelayanan Pengaduan atas penyelenggaraan pelayanan publik:

1) Di Kabupaten Sidoarja lembaga ini bernama P3M : Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat. Lembaga
tersebut kurang diketahui oleh masyarakat, meskipun ada masyarakat yang menyampaikan pengaduan
kepada lembaga tersebut. Pengaduan masyarakat kabupaten Sidoarjo lebih menyampaikan pengaduan
kepada lembaga penyelenggara playanan (Studi di : Dinas Catatan Kependudukan dan Catatan Sipil,
Rumah Sakit umum, dan Dinas Pertanahan).
Profil Penyelenggara Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo. Pusat Pelayanan
Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo beralamat di Jl. Sultan Agung No. 1 Sidoarjo, Telepon
031-8957004 Fax 031-8957009.

Latar Belakang

Misi Kabupaten Sidoarjo : memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional. Tujuan
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo : meningkatkan kualitas layanan masyarakat. Adanya perintisan
manajemen pelayanan berstandar ISO 9001 - 2000 di Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kabupaten
Sidoarjo. Standar Internasional (ISO 9001 - 9004) tentang pelayanan yang baik menyatakan bahwa untuk
mengukur keberhasilan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat adalah senantiasa mendengar keluhan-
keluhan / pengaduan dari masyrakat (feedback from the customer).

Kebutuhan terhadap wadah komunikasi dua arah antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan
masyarakat guna menghindari terjadinya kebuntuan informasi dan komunikasi masyarakat membutuhkan
wadah yang tepat sebagai tempat mengadukan berbagai permasalahan yang timbul sekaligus memperoleh
jawaban yang dibutuhkan.

Tujuan

a. Terciptanya wadah Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) yang terpadu, yang dapat
menampung semua aspirasi dan keinginan seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Sidoarjo.
b. Merubah kultur birokrasi

Target

a. Tersedianya sarana komunikasi yang memadai antara Pemerintah dengan masyarakat, antar Dinas
dan Instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dengan dukungan Teknologi
Informasi.
b. Sosialisasi fungsi dan peranan Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) melalui Radio, media
cetak dan elektronik serta penyuluhan ke 18 Kecamatan se Kabupaten Sidoarjo dengan menghadirkan
Stakeholders (LSM) di tingkat kecamatan.

278 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


c. Penyebaran brosur, pamflet tentang keberadaan P3M kepada sekolah setingkat SLTA, Universitas,
Pondok Pesantren, serta Instansi Pemerintah yang berkaitan langsung dengan pelayanan masyarakat.
d. Pelatihan komputerisasi dan pengenalan perangkat lunak P3M bagi para Bako Humas, dan para
operator di lingkungan Dinas, Badan, Kantor.
e. Sosialisasi teknis sistim prosedur P3M untuk Bako Humas, dan para operator di lingkungan Dinas,
Badan, Kantor.
f. Expose transparansi permasalahan disertai solusi kepada masyarakat melalui Radio, buku dan internet
yang sangat mudah diakses masyarakat luas.

Tolok Ukur Keberhasilan

a. Terpasangnya jalur komunikasi antar dinas/kantor dengan P3M yang berbasis Teknologi Informasi.
b. Terbangunnya sistem yang berbasis Teknologi Informasi dalam ruangan P3M
c. Terciptanya Pusat Pengaduan Masyarakat yang terpadu
d. Meningkatnya koordinasi antar dinas, kantor dan instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo
e. Meningkatnya manajemen pelayanan Pemerintah kepada masyarakat
f. Terciptanya tranparansi Pemerintahan
g. Meningkatnya kinerja aparat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
h. Meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia dilingkungan Dinas Informasi dan Komunikasi, Dinas/
Kantor khususnya dibidang Teknologi Informasi
i. Adanya standar sistem kualitas yang telah terdokumentasi secara baku.

Komponen P3M

Sumber Daya Manusia, terdiri dari :

a. Managemet, terdiri dari Manager dan Wakil Manager P3M, Kepala Sub Dinas di Lingkungan
Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Sidoarjo.
b. Operator. Petugas P3M yang berfungsi untuk menerima, mengolah dan mendistribusikan data
pengaduan masyarakat ke semua dinas serta memberikan respon keluhan yang diperoleh dari
instansi teknis kepada masyarakat.
c. Bakohumas. Merupakan agen di setiap instansi yang betugas memberikan respon, baik berupa
jawaban lisan/tertulis dan tindakan nyata atas permasalahan yang timbul.
d. Administrator. Berperan dalam pengendalian sistem P3M secara keseluruhan agar P3M dapat
tetap menjalankan fungsinya dengan baik. Disamping itu juga berperan sebagai system backup
guna menjaga keberlangsungan P3M. Fungsi ini dijalankan KPDE Kabupaten Sidoarjo selaku
pengendali Teknologi Informasi di Kabupaten Sidoarjo.

Perangkat Keras Komputer, terdiri dari


a. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di Sekretariat P3M
b. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di setiap Dinas/Kantor/Badan
c. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di KPDE dan Sekretariat Kabupaten Sidoarjo
d. Intranet yang menghubungkan Sekretariat P3M dan seluruh instans

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 279


e. Komunikasi intranet dilakukan dengan mengkombinasikan media kabel dan saluran telepon

Perangkat Lunak. Perangkat lunak P3M diwujudkan dalam bentuk Sistem Informasi Berbasis Computer /
Computer Based Information System (CBIS) yang bersifat semi tertutup. Sistem ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari Sistem Informasi Manajemen Daerah Kabupaten Sidoarjo yang dibangun secara bertahap.
Sistem ini dibagi menjadi beberapa aplikasi, antara lain :
a. Aplikasi induk yang berada di Sekretariat P3M. Aplikasi ini menjadi pusat Sistem Informasi P3M
karena disinilah data pengaduan masyarakat direkam, diolah, didistribusikan dan dipublikasikan.
b. Aplikasi Agen P3M. Aplikasi ini merupakan aplikasi berbasis web ( Web Based Application ) yang
digunakan oleh Bakohumas untuk memberikan respon atas keluhan masyarakat.
c. Pengaduan On Line. Aplikasi ini merupakan bagian dari situs www.sidoarjo.go.id, dan dapat diakses
secara luas oleh masyarakat. Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat menyampaikan keluhannya
sekaligus melihat respon Pemerintah Daerah atas keluhan yang disampaikan

Perangkat Pendukung. Perangkat pendukung yang dimaksudkan disini adalah

Perda atau SK Bupati Sidoarjo yang melegalisikan keberadaan lembaga P3M

a. Dukungan dana
b. Ketersediaan peralatan dan mesin kantor
c. Media Pengaduan
d. Masyarakat dapat meyampaikan keluhannya melalui beberapa media, antara lain
e. Formulir Pengaduan, disediakan di Kantor Sekretariat P3M
f. Surat
g. Email
h. Telepon / Fax
i. Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dll)
j. Media Elektronik ( Radio dan Televisi )
k. Form pengaduan pada aplikasi pengaduan masyarakat pada situs www.sidoarjo.go.id

Media Respon

Sedangkan untuk melihat jawaban atas keluhan yang disampaikan, dapat dilihat di : Papan pengumuman
yang tersedia di Kantor Sekretariat P3M dan Kantor instansi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dan tempat
lainnya

a. Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid)


b. Radio
c. Aplikasi pengaduan masyarakat di situs www.sidoarjokab.go.id

Perbedaan Jumlah Pengaduan dan Jumlah Pengaduan Didistribusikan (diterima) terjadi karena tidak
semua pengaduan mencantumkan identitas pengirim pengaduan secara jelas sehingga tidak dapat didistribusikan

280 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


ke satuan kerja yang bertangggungjawab. Jumlah Publikasi Respon dihitung berdasarkan jumlah respon
pengaduan yang dipublikasikan pada bulan bersangkutan, bukan tanggal pengaduan diterima.

2) Di Kabupaten Banyuwangi Layanan Pengaduan Masyarakat relatif dipercaya masyarakat, ini dapat
diketahui dari jumlah pengaduan yang masuk tiap tahunnya relatif tinggi.
3) Di Kota Blitar terdapat lembaga yang secara khusus menangani pengaduan, bernama ULPIM : Unit
Layanan Pengaduan dan Informasi Masyarakat. Lembagaini eksis dan memiliki sejumlah agenda,
tidak saja menerima pengaduan tetapi juga peningkatan kapasitas pelayanan publik. Jumlah
pengaduan yang masuk memng relative tkidak tinggi, namun eksistensinya dan/atau citranya di mata
masyarakat sangat baik dan dikenal luas.
4) Di Kabupaten Lamongan layanan pengaduan dikelola oleh Bagian Organisasi. Dan masing-masing
SKPD dan/atau penyelenggara pelayanan publik.
5) Di Kabupaten Kediri serta di sejumlah kabupaten lain yang yang menjadi lokasi kajian ini,
penyelenggara pelayanan publik otomatis merangkap sebagai tempat penyampaian pengaduan
masyarakat. Kotak saran, menjadi media utama yang dikembangkan sebagai media apenyampaian
pengaduan.
B. Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Tugas KPP
Pertimbangan yang digunakan untuk memperbaiki menajemen pengaduan masyarakat untuk pelayanan
publik adalah masih lemahnya kondisi aktual elemen manajemen komplain yang dimiliki oleh instansi
penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Hal-hal yang dianggap lemah adalah: masih banyak instansi
belum memiliki SOP penanganan komplain; tim atau bagian penanganan komplain belum tercantum dalam
struktur organisasi ; koordinasi dan sinergi belum kuat sdm menangani kegiatan penanganan pengaduan juga
menangani kegiatan lain; belum ada fasilitasi merit system; sebagaian besar sarana dan infrastruktur yang
dimiliki masih terbatas pada kotak saran dan hotline; pencatatan data pengaduan yang masuk sudah dilakukan
tapi pelaporan penanganan keluhan masih belum dicatat; pendanaan operasional masih terbatas; dan kesadaran
masyarakat akan hak mengadu masih kurang. Secara umum masyarakat memahami bahwa keberadaan
pelayanan pengaduan atas layanan, diindikasikan dengan adanya kotak saran. Secara umum masyarakat Belem
banyak memahami saluran pengaduan baik internal maupun eksternal. Disamping itu sebagian besar masyarakat
maih a priori bahwa pengaduan tidak akan ditindak lanjuti.
Pengelolaan keluhan di sektor publik sendiri sebenarnya bukan merupakan isu baru. Negara-negara
skandinvia selama ratusan tahun telah memiliki lembaga yang dibentuk sebagai sarana untuk menyalurkan
keluhan bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan pelayanan pemerintah.
Mekanisme tersebut telah dilembagakan melalui ombudsman. Lembaga Ombudsman ini pada awalnya
lahir di Swedia pada tahun 1809. Kata ―ombudsman‖ itu sendiri berasal dari bahasa Swedia yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris berarti ―keluhan orang‖. Dalam terminologi lain, ombudsman biasa disebut
ombudsperson, ombudservice, yang berarti seorang pegawai yang bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Tujuannya adalah membantu orang secara memuaskan untuk memecahkan masalah.
Munculnya kesadaran institusi pemerintah untuk mengelola keluhan dengan baik juga tidak terlepas dari
pergeseran cara pandang dalam melihat keluhan itu sendiri. Keluhan yang selama ini dilihat sebagai sesuatu
yang negatif saat ini justru dipandang sebagai sesuatu yang positif karena dianggap mampu memberikan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 281


kontribusi terhadap perbaikan terhadap kinerja birokrasi pelayanan publik. Pengaduan yang dikelola dengan
baik akan mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi organisasi yang dikomplain, antara lain:
1. Organisasi semakin tahu akan kelemahan atau kekurangannya dalam memberikan pelayanan kepada
pelanggan;
2. Sebagai alat introspeksi diri organisasi untuk senantiasa responsif dan mau memperhatikan „suara‟ dan
„pilihan‟ pelanggan;
3. Mempermudah organisasi mencari jalan keluar untuk meningkatkan mutu pelayanannya;
4. Bila segera ditangani, pelanggan merasa kepentingan dan harapannya diperhatikan;
5. Dapat mempertebal rasa percaya dan kesetiaan pelanggan kepada organisasi pelayanan;
6. Penanganan komplain yang benar dan berhasil bisa meningkatkan kepuasan pelanggan.

Berdasarkan catatan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Hingga saat ini, di Indonesia
paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang perintah pembentukannya berikut kewenangannya
berdasarkan UU yakni : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), Komisi Kepolisian Nasional,
Komisi Kejaksaan, Dewan Pers dan dewan Pendidikan. Jumlah ini tentu saja bersifat sementara karena ada
kemungkinan terus bertambah di masa mendatang.

Sedangkan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewenangannya diberikan oleh
Keputusan Presiden setidaknya berjumlah sepuluh lembaga, yaitu: Komisi Ombudsman Nasional (KON),
Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan),
Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN),Dewan Pengembangan Usaha Nasional
(DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional
(DBN), dan lembaga-lembaga non-departemen. Menyusul pembentukan komisi-komisi negara di tingkat pusat,
maka seiring dengan penerapan otonomi daerah, di berbagai daerah telah dibentuk komisi-komisi independen.
Salah satu komisi tersebut adalah Komisi Pelayanan Publik (KPP).

KPP diharapkan menjadi aktor utama yang dapat memastikan bahwa pelayanan publik di Jawa Timur
berjalan sebagaimana mestinya. Komisi dituntut dapat merubah kerangka pikir birokrat bahwa mereka
merupakan pelayan publik dan pelayanan publik yang baik merupakan Hak asasi manusia. Namun kehadiran
lembaga ini disikapi dengan ragu dan sikap pesimistis masyarakat akibat buruknya kinerja komisi-komisi yang
ada di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya. Kelahiran KPP yang dibidani Komisi A Jawa
Timur membuat masyarakat tidak yakin KPP bisa bergerak sebagai lembaga Independen. Berdasarkan
wawancara dengan KPP, berbagai elemen masyarakat, akademisi dan Pers maka terdapat kendala/hambatan
KPP dalam mewujudkan pelayanan publik yang berbasis tata pemerintahan yang baik. Hambatan-hambatan
yang dihadapi KPP dalam melakukan Pengawasan eksternal, serta faktor pendukung pelaksanaaan tugas KPP,
dirangkum melalui berbagai sumber pendapat; dan secara khusus disajikan pada baab VI laporan ini

282 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


C. Saran Publik dalam rangka Optimalisasi Peran KPP
Berangkat dari dua landasan konstitusional tentang pelayanan publik, dapat kita kemukakan beberapa
wacana solutif atas kompleksitas problematika dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pertama, Masiffitas
sosialisasi peraturan tentang pelayanan publik, baik bagi penyelenggara pelayanan publik (Dinas, Kecamatan,
Desa, Kepolisian, dan instansi publik lainnya), maupun terhadap masyarakat itu sendiri. Disatu sisi hal ini agar
penyelenggara pelayanan publik mampu secara optimal mengimplementasikan aturan yang ada, disisi lain
masyarakat bisa melakukan evaluasi, dan juga memberikan saran perbaikkan untuk selanjutnya. Kedua, Adanya
pendidikan dan pelatihan mengenai pelayanan publik bagi petugas pelayanan publik. Ini bukan sebatas
ditekankan pada aspek intelektualitas, profesionalitas, apalagi formalitas teknis standar pelayanan publik
semata, melainkan lebih substansial adalah mengenai perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik
di era reformasi saat ini sangat beda jauh dengan era Orde Baru (dari dilayani menjadi pelayan). Apalagi jika
ditambah dengan pendekatan emosional dan spiritual, sebagaimana yang trend saat ini (ESQ). Sehingga
melayani publik bukan semata untuk mencari rezki, yang bersifat materiil, tuntutan jabatan/tugas, yang lebih
berorientasi duniawi, tapi lebih bermakna adalah bagaimana berbagai tugas tersebut merupakan ibadah mulia
(aspek transcendental), yang juga berorientasi ukhrawi, melalui kepuasan publik. Selain dalam rangka
―mensukseskan‖ tugas, ada kemungkinan terjadinya produktifitas kinerja. Ketiga, Sistem evaluasi yang
sistemik. Hal ini bisa dengan pendekatan fungsional, maupun struktural. Pendekatan fungsional menekankan
pada fungsi system evaluasi yang dalam tata kerjanya bisa secara langsung ditangani oleh instansi yang telah
ada (tugas suplementatif). Dalam hal pelayanan publik ini, misal pengaduan langsung kepada DPRD (salah satu
komisi yang berkaitan). Kelebihan pendekatan ini tidak harus membentuk institusi baru, tapi kelemahannya
terletak konsentrasi yang terbagi-bagi. Sedang pendekatan structural adalah dengan cara membuat regulasi
aturan dan membentuk institusi baru yang memang keberadaannya untuk mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik (Perda tentang Pelayanan Publik). Kelebihan pendekatan ini terletak pada konsentrasi dan
tugas, serta tanggungjawab yang jelas (spesifik), sehingga memudahkan masyarakat untuk melakukan
pengaduan. Tapi kelemahannya pada penambahan personil dan anggaran. Pendekatan structural ini sebagaimana
telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan dibentuknnya Komisi Pelayaanan Publik (KPP)
yang dilantik tahun lalu. Keempat, Partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat dituntut partisipasi aktifnya
terhadap prosesi penyelenggaraan pelayanan publik. Agar kekurangan yang terjadi dalam pelayanan publik
sesegera mungkin untuk dibenahi, dan berbagai aspirasinya menyangkut perbaikkan system dan budaya
pelayanan publik dapat diakomodir. Disinilah kelompok-kelompok masyarakat (Asosiasi, LSM, Forum,
Lembaga Profesi, Perguruan Tinggi, Mahasiswa, Pelajar, dst) menemukan relevansinya untuk menjadi
katalisator, maupun pelopor, khususnya dalam hal partisipasi peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena
penyelenggara pelayanan publik bukanlah ‖Dewa‖, yang ‖maksum‖ atas kesalahan dan kekurangan. Bukan pula
pemakan ‖gaji buta‖, yang berlindung kehidupan di bawah absensi dan SK!. Disinilah perintah agama untuk
saling memperingatkan dalam kebaikkan menemukan urgensi dan relevansinya.
Sejumlah saran dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP dari berbagai kalangan
diidentifikasi dan dirangkum, meliputi :
1. Pengguna Pelayanan Publik
2. Penyelenggara Pelayanan Publik
3. Komisioner KPP

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 283


4. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur
5. Pengamat Pelayanan Publik

KESIMPULAN

A.Peran,Pelaksanaan Tugas KPP

1.Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal

Tugas Utama (Penanganan Pengaduan), yang terdiri atas : menerima pengaduan, membuat pengaturan
prosedur pelayanan sengketa, melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa, dan
menindaklanjuti keluhan, baik yang diminta maupun tidak diminta; dari tahun ke tahun berjalan dengan baik,
meliputi :
a. Jumlah pengaduan dari tahun mengalami peningkatan
b. Keterlibatan KPP dalam sejuamlah even yang berintikan peningkatan kualitas pelayanan public
makin bertambah, misalnya keterlibatan dalam melakukan pengawasan pada seleksi Calon Pegawai
Negeri Sipil dan seleksi anggota POLRI.
c. Penyelesaian pengaduan yang diterima kpp memang tidak bisa 100%, karena memenagterdapat
sejumlah masalah yang berkaitan dengan keadaan dan sikap pihak pemyelenggara pelayanan public
dan pihak pengadu
2. Pengembangan Kelembagaan secara Internal
Secara internal KPP berupaya melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas dengan melakukan
pengembangan kelembagaan secara internal. Dua program utama yang memiliki peran penting dalam
melakukan optimalisasi plaksanaan tugas KPP adalah dengan melakukan pembagian divisi menjadi 5
divisi dengan focus tugas pokok yang berbeda dan pembagian korwil menjadi 7 korwil.
3. Pengembangan Kelembagaan secara Eksternal
Kerjasama dengan 34 lembaga yang kemudian dijadikan Pos Pelayanan Pangaduan KPP yang terletak di
Kabupaten/Kota menjadu langkah strategis dalam optimalisasi pelaksanaan tugas, meskipun disadari
sepenuhnya bahwa kordinasi antara KPP dengan sejumlah Pois/Unit Pelayanan Peengaduan yang
dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota abelum dapat dilakukan secara optimum. Namun prinsipnya
keberadaan dua jenis lembaga tersebut diharapkan dapat saling melengkapi.

B. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran KPP

Faktor Pendukung :

a. Menerima pengaduan;masyarakat semakin kritis,ketersediaan IT

b. SOP yang ada mempermudah penyelesian sengketa

c. Keterbukaan menerima pengaduan dan komitmen meningkatkan kualitas layanan

d. Keberadaan lembaga maupun media massa yang memotret keluhan publik

284 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Faktor Penghambat :

a. Sikap pesimis masyarakat dan proporsi masyarakat masih kecil yg mengetahui KPP serta respon balik
KPP tidak dapat diketahui secara cepat

b. Masih ada penyelenggara pelayanan publik yang belum memiliki SOP.

c. Tidak mudah menata waktu bertemu pihak yang bersengketa, stigma negatif lembaga apabila banyak
pengaduan, Beberapa penyeleseian sengketa

d. Ketidakcukupan data dlm menindaklanjuti pengaduan, keterbatsan SDM dan sumberdaya pendukung

C.Saran Rekomendasi

Rekomendasi yang dituangkan pada sub bab ini difokuskan pada sejumlah hal yang merupakan upaya
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penelitian nomor 3-4, yaitu : apa saran publik dalam rangka
optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik di Jawa Timur? Dan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur
dalam rangka melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur. Sejumlah hal tersebut meliputi :

1. Gubenur perlu menghimbau Bupati/Wali Kota untuk mengajukan rancangan peraturan perundangan
(Peraturan Daerah) tentang Pelayanan Publik (bagi Kabupaten/Kota yang belum memiliki). Dalam
Peraturan Daerah tersebut juga mengatur tentang keberadaan lembaga pengaduan (apapun namanya, baik
lembaga independen maupun lembaga yang menjadi bagian dari Pemerintah Daerah) yang bertugas
sebagai Unit Pengaduan Pelayanan Publik, yang selanjutnya lembaga tersebut memiiki hugungan kerja
fungsional-koordinatif dengan Komisi Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.
2. Perlu dilakukan pembaharuan Memorandum of Understanding (MoU) antara Gubernur Jawa Timur
dengan Bupati/Wali Kota se Jawa Timur tentang pengelolaan pengaduan pelayanan publik yang pernah
dibuat pada tahun 2006, agar MoU baru dapat mengakomodasi sejumlah perubahan yang terjadi terkait
dengan penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk perubahan kepentingan publik dan juga perubahan
dan/atau lahirnya sejumlah kebijakan publik yang baru.
3. Publikasi tentang keberadaan dan peran KPP perlu ditingkatkan dan dilakukan secara terus-menerus,
disamping menggunakan media publikasi yang telah digunakan selama ini, juga perlu melakukan
penambahan penggunaan jenis media publikasi, terutama media yang memiliki daya jangkau luas
dan/atau dapat menjangkau masyarakat umum yang luas, misalnya iklan layanan sosial stasiun televisi,
media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain.
4. Perlu penggunaan sistem manajemen pengaduan yang berbasis teknologi (e-Complain) sehingga
penyampaian pengaduan oleh masyarakat dapat dilakukan dengan mudah, murah, efektif dan
bertanggungjawab; serta dapat diverifikasi dan ditindaklanjuti oleh KPP dengan sistematis, cepat dan
tepat. Catatan : Pemerintah Provinsi Jawa Timur (dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah) pada tahun 2011 pernah memproduksi software e-Complain yang didukung oleh Direktorat
Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dan disponsori oleh Asian Development Bank.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 285


Berdasarkan berbagai pertimbangan, produk itu saat ini belum digunakan (dioperasikan). Jika saja
program e-Complain ini dioperasikan, berpeluang dapat mengoptimumkan pelaksanaan tugas KPP.
5. Pembentukan tim pengendali mutu di tiap unit penyelenggara pelayanan publik, yang bekerjanya
berbasis teknologi, yang setiap saat dapat saling berkoordinasi dengan KPP, sekaligus menjadi mitra KPP
dalam penggunaan e-Complain perlu dilakukan. Untuk itu pengadaan sarana-prasarana yang mendukung
dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang sesuai kebutuhan, perlu menjadi agenda.
6. Semua komisioner KPP, perlu berupaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja
mereka, termasuk meningkatkan daya kreatifitas sehingga melahirkan sejumlah inovasi dalam rangka
mengoptimalkan pelaksanaan tugas KPP, seiring dengan perubahan kebutuhan publik akan pelayanan
publik yang terus terjadi secara konsisten.
7. Pemeliharaan dan peningkatan kiordinasi antara KPP dengan lembaga pengawas pelayanan publik yang
lain perlu dilakukan, misalnya : dengan Ombudsman Republik .
8. Jika kuantitas pengaduan yang disampaikan kepada KPP mengalami lonjakan tajam akibat penggunaan
teknologi (e-Compalin) dan akibat meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi
mereka dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, maka diperlukan tenaga
fungsional dalam tubuh KPP, yang terdiri dari sejumlah ahli, misalnya : ahli pelayanan kesehatan, ahli
pelayanan perizinan, ahli pelayanan kependudukan, ahli pelayanan pendidikan, ahli pelayanan
perhubungan, dan sebagainya. Untuk merealisirnya perlu diawali oleh diterbitkannya Peraturan Gubernur
tentang Tenaga Fungsional dalam kelembagaan KPP.
9. Menambah jumlah lembaga yang bermitra dengan KPP yang selama ini berperan sebagai Pos Pengaduan
KPP yang terletak di Kabupaten/Kota (saat ini berjumlah = 34 lembaga), perlu menjadi agenda di tahun-
tahun mendatang.
10. Keberadaan SOP dari tiap-tiap produk pelayanan menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan, tidak saja
bagi optimalisasi pelaksanaan tugas KPP, tetapi juga bagi upaya meningkatan kualitas pelayanan public,
terlebih peningkatan kualitas penanganan pengaduan dan/atau penyelesaian jika terdapat sengketa
pelayanan publik.
11. Semua pihak perlu memahami bahwa tingginya angka pengaduan tidak selalu menjadi cermin atas
buruknya playanan publik yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penyelenggara pelayanan publik.
Akan tetapi bisa jadi merupakan tingginya angka partisipasi publik dalam upaya memperbaiki kualitas
pelayanan. Dengan modal asumsi ini maka diharapkan semua pihak dapat menjadikan pengaduan sebagai
―mutiara‘ yang dapat menjadi media terjadinya peningkatan kualitas pelayanan publik secara terus-
menerus serta media untuk mengurangi kesenjangan antara jenis dan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh penyelenggara pelayanan publik dengan jenis dan kualitas pelayanan publik yang senyatanya
diperlukan dan/atau menjadi kepentingan pengguna pelayanan publik.
12. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk
mengoptimalkan peran KPP, yang diukur dari diakomodasintya sejumlah pengajuan program, inovasi,
pengembangan kelembagaan, dan lain-lain, yang sudah barang tentu hal tersebut memiliki ilmplikasi
pada diperlukannya daya dukung; misalnya penambahan SDM pendukung, sarana-prasarana, anggaran,
dan sumberdaya lain sesuai kebutuhan riil.

286 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


REFERENSI

Apipah, 2012, Pengertian Penelitian Kualitatif, dalam http://www.diaryapipah.com/2012/05/pengertian-


penelitian-kualitatif.html

Arikunto, Suharsimi , 2009, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta.

Brainmetro.com, (2013), Komisi Pelayanan Publik Laporkan Kinerja,

Caiden,Gerald,2000. The Essence of Public Service Professionalism; On Promoting Ethics in the Public
Service, United Nations, New York.

Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B., 2007. The New Public Service, Serving Not Steering, Expanded
Edition, Armonk, New York, London, England: M.E.Sharpe.

Department of Economic and Social Affairs,2000. Promoting Ethics in the Public Service, United Nations, New
York.

Dwiyanto,Agus,2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

--------------------,2011. Manajemen Pelayanan Publik, Peduli, Inklusif dan Kolaboratif, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, Edisi kedua,.

Gaventa,John, 2002. Making Rights Real: Exploring Citizenship, Participation and accounta-bility, Brighton,
Inggris: Institute of Development Studies Bulletin Volume 33 No.2.

Hyasintus. 2012, Kontekstualisasi Paradigma New Public Service Dalam Implementasi Pelayanan Publik Di
Indonesia, dalam http://hyasintus.blogspot.com/2012/11/kontekstualisasi-paradigma-new-
public_15.html, (Diakses 6 Februari 2014)

Meyer, Robert. R, dkk (1980), Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Pustekom Dikbud & CV Rajawali,
Jakarta.

Miles B. Mathew dan A. Michall Huberman. (1992), Analisa Data Kualitatif, Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta.

Ratminto.(1999). ―Otonomi Daerah dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik‖. Makalah Seminar Nasional
Otonomi Daerah Antara Harapan dan Kenyataan yang diselenggarakan oleh Yayasan PERCIK
dan The Ford Foundation, Salatiga, 3 November 1999.

Ratminto dan Winarsih. (2005). Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen‟
s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robbins, Stephen P., R. Bergman & I. Stagg. (1997). Management. Sydney: Prentice Hall of Australia.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 287


Tatang M. Amirin; (2009), Penelitian Eksploratori (Eksploratif),

http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/05/04/penelitian-eksploratorieksploratif/

SCBD Jawa Timur, (2011), Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik
(e-Complaint), kerjasama Asian Developmen Bank, Kementerian dalam Negeri dan Pemerintah
Provinsi Jawa Timur

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia nomor 63/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan.

Surat Gubernur Jawa Timur Nomor : 065/4670/041/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Pelayanan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844);

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on

Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil

and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4558);

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4899);

Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur sebagai perubahan
dari Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005.

288 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pembentukan City Branding Di Kota Tangerang Selatan

Izzatusholekha
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Telp : +62811 816 4491
Email : izzatusholekha@yahoo.com

Abstrak: Dalam era globalisasi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan kota-kota yang ada
semakin ketat. Kota-kota yang ada saling berkompetisi untuk menunjukkan eksistensinya sehingga
memperoleh daya saing di banding dengan kota-kota lain. Kompetitor-kompetitor yang ada bahkan berasal
dari belahan dunia yang lain. Untuk dapat menghadapi globalisasi tersebut, penting bagi sebuah kota untuk
memiliki brand sebagai arah gerak pembangunan kota tersebut dalam konteks global, bukan hanya konteks
lokal. Kota Tangerang Selatan dengan statusnya sebagai d a e r a h p e n y a n g g a i b u k o t a y a n g d i
d a l a m n y a t e r d a p a t b a n y a k p e m u k i m a n , belum memiliki brand yang diusung untuk dapat
memunculkan ciri khas dan keunikan yang dimilikinya. Mengingat Kota Tangerang Selatan memiliki banyak
potensi yang dapat dikembangkan, pemahaman mengenai bagaimana konsep city branding diaplikasikan di
kota Tangerang Selatan sangat menarik untuk d ika ji . Penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk
mengetahui potensi apa saja yang dimiliki oleh Kota Tangerang Selatan yang dapat mendukung
pembentukan city branding. Selain itu, kebudayaan yang dimiliki Kota Tangerang Selatan juga unik karena
merupakan perpaduan antara budaya Arab, Cina, Jawa, dan Sunda.

Kata kunci: potensi daerah, city branding

Pendahuluan

Dalam era globalisasi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa persaingan kota-kota yang ada semakin
ketat. Untuk dapat menghadapi globalisasi tersebut, penting bagi sebuah kota untuk memiliki branding
(pencitraan) sebagai arah gerak pembangunan kota tersebut dalam konteks global, bukan hanya konteks lokal.
Kota-kota yang ada di dunia butuh untuk mengekpresikan karakteristik unik yang dimilikinya, menetapkan
tujuan ekonomi, kultur, dan politik dalam kaitannya untuk membedakan dirinya dari wilayah lain dan dapat
berkompetisi dengan baik untuk menarik sumberdaya, wisatawan, dan penduduk (Kavaratzis & Ashwort,
2006).

Kegiatan city branding bukan sebatas membuat slogan atau logo, tetapi merupakan ruh dari kota
tersebut. Ruh yang menjiwai segala aktivitas kota, baik itu jiwa warganya, watak birokrasinya, maupun
ketersediaan infrastruktur penunjangnya. Sementara slogan,logo, desain interior, arsitektur bangunan, ruang
publik, serta unsur penataan visual kota lainnya merupakan penyempurnaan dari keseluruhan ruh kota. City

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 289


branding juga menuntut sinergi dari keseluruhan unsur pembentuk kota, baik dari aspek sumber daya manusia,
fasilitas umum, fasilitas sosial maupun sistem transportasi. Tanpa sinergi yang baik, upaya citybranding akan
sia-sia. Fungsinya tidak hanya mencakup komunikasi pemasaran kota secara umum tetapi dapat juga
mendukung strategi pengembangan seni- budaya dan pariwisata, sentra industri dan perdagangan,
pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan lain sebagainya. Dampak akumulasi dari semuanya akan turut
memutar roda perekonomian dari masyarakat di kota tersebut

Kota-kota di dunia berupaya untuk menjadi menarik dan unik salah satunya dengan menerapkan
konsep city branding. Namun, untuk membuat kota menarik merupakan pekerjaan sulit bagi banyak
pemerintah, termasuk pemerintah daerah di Indonesia. Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun
1997, banyak daerah yang tidak mampu membiayai kebutuhannya sendiri sehingga disubsidi oleh pemerintah
pusat. Semenjak Undang-Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah (yang kemudian direvisi menjadi
Undang-Undang No. 32/2004) diberlakukan, setiap daerah diharuskan untuk aktif dan kreatif dalam
memperoleh pendapatan daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah kemudian
mencoba untuk membuat banyak program untuk menarik investor dengan banyak cara seperti membuka area
industri, membangun banyak pusat bisnis, dan membuat hiburan/pertunjukkan atau sektor jasa lainnya. Dengan
demikian, pemerintah bekerja keras untuk membuat kota mereka bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi
(Nur‘aini, 2010).

1. Konsep City Branding

Sebelum membahas mengenai definisi city branding, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai
definisi kota, brand dan branding secara terpisah. Pontoh dan Kustiwan (2009) menyatakan bahwa
sebuah kota memiliki karakteristik jumlah penduduk yang besar, pemusatan kegiatan nonpertanian, pusat
kegiatan ekonomi (industri dan perdagangan), konsentrasi kawasan terbangun (built up area), masyarakat
yang heterogen, memiliki pola hidup yang khusus, pusat penyebaran pengetahuan dan memiliki gaya hidup
kota, terdapat berbagai lembaga sosial, ekonomi, dan politik; terdapat berbagai fasilitas umum dan fasilitas
sosial, struktur dicirikan dengan adanya ruang dan jalan kota, merupakan pusat jasa pelayanan bagi
lingkungan perumahan, adanya sejumlah fungsi kegiatan kota, minimal seperti pasar, dan sebagainya.

Dalam penelitian mengenai city branding, peneliti tentu saja memperhatikan mengenai bagaimana
cara merealisasikan city brand, yang mana mengikutsertakan analisis dan diskusi dalam proses pembuatan
city brand. Peneliti luar negeri biasanya menggunakan istilah city branding untuk menunjukkan proses ini
dan mendefinisikannya dari perspektif mereka masing-masing (Minghui, 2009). Berikut merupakan konsep-
konsep yang dijelaskan oleh para peneliti mengenai city branding.

Branding kota merupakan citra yang muncul pada detik pertama di otak seseorang ketika nama kota itu
disebut. Melihat contoh diatas, misalnya seseorang mendengar nama Paris, maka saat itu juga muncul di
benaknya sebuah kota yang bercahaya, mewah, sarat fashion, aman, indah dan tentu saja modis.

2. Manfaat Branding

Branding kota meliputi dua sisi, yakni branding ke dalam (inward) dan branding ke luar (outward).
Branding ke dalam adalah untuk memunculkan kesadaran dan rasa memiliki yang tumbuh di diri aparat

290 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pemerintah dan masyarakat di kota itu. Sementara branding ke luar adalah untuk membangkitkan minat dan
rasa penasaran masyarakat luar daerah untuk mengenal, mengunjungi serta bekerjasama dengan kota tersebut.

Dapat terlihat bagaimana manfaat branding bagi sebuah kota. Manfaat tersebut antara lain;Pertama,
menanamkan pengaruh di dalam mindset target market (investor atau wisatawan); Kedua, memunculkan
kesadaran dan rasa memiliki secara internal; Ketiga, menjadi pembeda dengan kota atau daerah lain; Keempat,
mengeksplore sisi unik (unique selling point) kota; Kelima, menanamkan identitas yang kuat atas sebuah kota;
danKeenam, mengajak atau menawarkan keunggulan kota kepada target market.

3. Teknik Branding

Untuk membangun sebuah brand, pemerintah daerah tidak bisa asal jadi. Jika perlu pemerintah
bekerjasama dengan pelaku professional di bidang branding. Namun pada umumnya langkah-langkah teknis
dalam melakukan branding kota adalah sebagai berikut:

Differentiation. Membedakan branding atau merk sebuah kota dan menonjolkan keunggulan kota.
Branding dan keunggulan kota itu harus berbeda dengan branding yang sudah ada dan juga menunjukan
perbedaan kualitas kota dibanding kota lain.

Relevance. Kota sebagai sebuah produk harus dibranding sesuai dengan kualitasnya. Maksudnya
adalah, jika sebuah kota tidak memiliki kualitas teknologi, jangan melakukan branding kota itu sebagai kota
teknologi.

Esteem. Dihargai oleh target market karena memiliki konsistensi antara branding dengan kenyataan
kualitas kota yang sebenarnya.

Awareness. Memunculkan kesadaran target market akan sebuah kota. Langkah ini penting. Jika branding
tidak memunculkan kesadaran di dalam diri calon investor atau wisatawan, maka branding ini dapat dikatakan
gagal.

Mind. Branding memiliki kemampuan masuk ke dalam alam pikiran dan kesadaran target market,
sehingga sebuah kota selalu diingat, dibayangkan dan dirindukan.

Langkah-langkah branding ini dirumuskan setelah melakukan kajian yang mendalam mengenai SWOT
(strengths, weaknesess, opportunities dan threats) kota; bagaimana posisi kota tersebut di hadapan kota lain;
apa keunggulan dan kekurangannya; bagaimana kesempatannya; apa tantangannya; bagaimana
kepribadiannya; bagaimana orang mempersepsikan kota itu.

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian merupakan metode pengumpuln data sekunder yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen penting dari sumber dari berbagai literatur
seperti buku, tugas akhir, tesis, disertasi, jurnal, dan publikasi ilmiah lainnya. Selain itu dokumen-

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 291


dokumen perencanaan seperti RPJPD, RPJMD, dan RTRW Kota Tangerang Selatan juga dibutuhkan dalam
melakukan penelitian ini.

Metode Analisis Data

Merode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis isi. Analisis ini digunakan untuk
mengetahui potensi yan dimiliki oleh Kota Tangerang Selatan dalam mendukung pembentukan brand Kota
Tangerang Selatan.

PEMBAHASAN

Kota Tangerang Selatan merupakan daerah pemekaran Kabupaten Tangerang. Oleh karena daerah
pemekaran tersebut terletak di daerah selatan Kabupaten Tangerang, maka dinamakan Kota Tangerang
Selatan.Menurut tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tangerang dulu
dikenal dengan sebutan Tanggeran (dengan satu g maupun dobel g) yang berasal dari kata tengger dan perang.
Kata ―tengger‖ dalam bahasa Sunda memiliki arti ―tanda‖ yaitu berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas
wilayah kekuasaan Banten dan VOC, sekitar pertengahan abad 17. Tugu dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah
satu putra Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek
Banten.

Sedangkan istilah ―perang‖ menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan sejarah
menjadi medan perang antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC. Hal ini makin dibuktikan dengan
adanya keberadaan benteng pertahanan Kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng pertahanan
VOC di sebelah timur Cisadane. Hingga masa pemerintahan kolonial, Tangerang lebih lazim disebut dengan
istilah ―Benteng‖.

Perubahan sebutan Tangeran menjadi Tangerang terjadi pada masa daerah Tangeran mulai dikuasai
oleh VOC yaitu sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684.
Daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari
bangsa asli Belanda (kaukasian) tetapi juga merekrut warga pribumi. Tentara kompeni yang berasal dari
Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut ―Tangeran‖ dengan ―Tangerang‖. Kesalahan ejaan
dan dialek inilah yang diwariskan hingga kini. Sebutan ―Tangerang‖ menjadi resmi pada masa pendudukan
Jepang tahun 1942-1945.

Selanjutnya pada tanggal 26 November 2008 bagian selatan Kabupaten Tangerang mengalami
pemekaran dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan serta agar dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah, maka
terbentuklah daerah otonom baru di wilayah tersebut yang diberi nama Kota Tangerang Selatan. Hal ini telah
ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan
di Propinsi Banten tertanggal 26 November 2008 dengan 7 kecamatan dan luas wilayah 147,19 Km2. Dengan
terbentuknya Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom baru, diharapkan pelayanan publik dapat
ditingkatkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di wilayah Kota Tangerang Selatan.

292 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Letak Geografis dan Luas Wilayah

Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106˚38‘ -
106˚47‘ Bujur Timur dan 06˚13‘30‖ - 06˚22‘30‖ Lintang Selatan dan secara administratif terdiri dari 7 (tujuh)
kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau
14.719 Ha.
Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang
- Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
Wilayah Kota Tangerang Selatan diantaranya dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pesanggrahan dan Sungai
Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang
berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota
Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarata, selain itu juga sebagai daerah
yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, Kota Tangerang Selatan juga
menjadi salah satu daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat.

Tabel 2.1. Potensi Fisik Dasar Kota Tangerang Selatan

No Potensi Fisik Dasar Keterangan


1 Letak geografis Di sebelah timur Propinsi Banten
2 Luas Wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha
3 Batas-batas
- Sebelah Utara Kota Tangerang
- Sebelah Timur Provinsi DKI Jakarta
- Sebelah Selatan Kota Depok dan Kabupaten Bogor
- Sebelah Barat Kabupaten Tangerang
4 Wilayah Pemerintahan
- Kecamatan 7 Kecamatan
- Kelurahan 54 Kelurahan

Sumber: Bagian Pemerintahan Setda Kota Tangerang Selatan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 293


Tabel 2.2
Luas Wilayah Menurut Kecamatan Kota Tangerang Selatan
Persentase terhadap
No Kecamatan Luas Wilayah (Ha)
luas kota (%)
1 Serpong 2,404 16.33%
2 Serpong Utara 1,784 12.12%
3 Ciputat 1,838 12.49%
4 Ciputat Timur 1,543 10.48%
5 Pamulang 2,682 18.22%
6 Pondok Aren 2,988 20.30%
7 Setu 1,480 10.06%
Kota Tangerang Selatan 14,719 100.00%
Sumber : RTRW Kota Tangerang Selatan 2011-2031, 2012

Luas wilayah masing-masing kecamatan tertera dalam Tabel 2.2. Kecamatan dengan wilayah paling
besar adalah Pondok Aren dengan luas 2.988 Ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang
Selatan, sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Setu dengan luas 1.480 Ha atau 10,06%.

294 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Potensi Daerah Yang Mendukung City Branding

Investasi daerah dapat ditingkatkan jika daerah memiliki potensi, baik itu berupa potensi sumber daya
alam maupun potensi sumber daya manusia. Hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuan daerah
menjual potensi yang dimilikinya dan menciptakan iklim yang kondusif dan mendukung investasi.

Salah satu potensi Kota Tangerang Selatan adalah letak geografisnya yang strategis. Letak geografis
Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur
memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarata,
selain itu juga sebagai daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta. Selain itu,
Kota Tangerang Selatan juga menjadi salah satu daerah yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi
Jawa Barat. Dengan posisi sedemikian, Tangerang Selatan memiliki akses yang bagus baik dari udara, karena
berbatasan dengan Kabupaten dan Kota Tangerang yang memiliki Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta,
maupun dari laut, karena berbatasan dengan DKI Jakarta yang memiliki Pelabuhan Tanjung Priok. Demikian
juga akses melalui daratan, Kota Tangerang Selatan dilalui oleh Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer
Ring Road/ JORR).

Selain infrastruktur jalan tol yang sudah eksis, juga direncanakan akan dibangun beberapa ruas jalan
tol. Salah satunya yang sudah terealisasi adalah ruas jalan tol Kunciran - Serpong. Ruas jalan tol ini akan
melintasi wilayah-wilayah yang berada di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.

Wilayah-wilayah yang dilewati oleh ruas tol ini adalah Kunciran, Kunciran Indah, Paku Jaya, Pondok
Jagung Timur, Jelupang, Parigi Baru, Parigi, dan Jombang. Ruas tol ini nantinya akan menjadi satu dengan ruas-
ruas tol lainnya yang sedang direncanakan yaitu ruas Kunciran – Bandara, Jakarta - Tangerang, Jakarta –
Serpong, Serpong – Cinere, dan Cinere – JAGORAWI yang termasuk ke dalam jaringan JORR 2.

Prasarana dan sarana penunjang lain yang menjadi potensi investasi yang dikembangkan di Kota
Tangerang Selatan, antara lain:

Kereta Api. Sebagai sarana transportasi massal, kereta api merupakan andalan masyarakat Kota
Tangerang Selatan yang menghubungkan Kota Rangkasbitung - Kota Tangerang Selatan - Kota Jakarta dan
sudah dengan jalur rel ganda (double track). Stasiun kereta rel listrik (KRL) berjumlah 5 buah dan tersebar di
tiga kecamatan yaitu Serpong, Ciputat dan Ciputat Timur. Wilayah Kota Tangerang Selatan yang dilalui oleh
lintasan rel KRL antara lain wilayah Serpong (Stasiun Pasar Serpong), Stasiun Rawa Buntu (BSD), Stasiun
Jurang Mangu (Pondok Aren), Ciputat (Stasiun Jombang) dan Ciputat Timur (Stasiun Pondok Ranji). Kereta rel
listrik yang melintas adalah KRL penumpang dan kereta api barang. Dalam rancangan RTRW, direncanakan
pengembangan fasilitas “park and ride” yaitu lahan parkir kendaraan yang terletak pada fasilitas transportasi
publik seperti stasiun kereta dan terminal. Fasilitas tersebut memudahkan para penglaju (commuter) yang
memiliki kendaraan pribadi untuk berpindah ke transportasi publik.

Bis Antar Kota – Antar Propinsi. Sarana Transportasi ini juga merupakan penggerak mobilitas
masyarakat Kota Tangerang Selatan sebagai sarana utama dalam kegiatan yang menghubungkan Kota
Tangerang Selatan dengan Kota Jakarta dan kota-kota lainnya. Saat ini juga sudah beroperasi feeder Bus
Transjakarta dengan trayek BSD – Jakarta, Pondok Aren (Bintaro Jaya) – Jakarta dan BSD – Balaraja.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 295


Angkutan Dalam Kota. Sarana Transportasi Dalam Kota merupakan salah satu transportasi yang
dijadikan andalan untuk aktivitas sehari-hari Masyarakat Kota Tangerang Selatan.

Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Bersih/ Air Minum. Masyarakat Kota Tangerang Selatan
memakail air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, industri dan kegiatan lainnya. Saat ini kebutuhan air bersih
masyarakat Tangerang Selatan bersumber dari dua sumber utama, yaitu dari PDAM Kabupaten Tangerang serta
instalasi air bersih yang dikelola oleh pihak pengembang atau yang berasal dari air bawah tanah. Di Kota
Tangerang Selatan, cukup banyak sumber air baku yang bisa diolah menjadi sumber air bersih bagi berbagai
kebutuhan. Wilayah Kota Tangerang Selatan setidaknya dialiri oleh tiga sungai yang airnya cukup melimpah
yaitu Sungai Cisadane, Sungai Pesanggrahan, dan Sungai Kali Angke. Selain itu, masih terdapat sembilan situ
dan danau yang memiliki kadar dan kapasitas air yang layak diolah. Untuk itu, Pemerintah Kota Tangerang
Selatan harus memiliki instalasi pengolahan air bersih secara mandiri yang langsung dikelola dan dibawah
pengawasan pemerintah daerah.

Pembangunan Permukiman Vertikal. Dengan kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan yang
mencapai 9.212 jiwa/km2, maka akan semakin sulit untuk membangun permukiman yang memakai lahan luas.
Sehingga dimungkinkan kawasan permukiman super blok seperti apartemen, kondominium, rusunawa, flat dan
sejenisnya untuk dikembangkan karena letak Kota Tangerang Selatan yang berdekatan dengan DKI Jakarta dan
dengan akses mudah dari berbagai arah. Pengembangan permukiman vertikal menjadi salah satu alternatif yang
dapat membangun kawasan permukiman modern dengan infrastruktur yang memadai dan fasilitas pendukung
masyarakat perkotaan modern.

Kawasan Jasa dan Perdagangan Terpadu. Di sepanjang koridor Jl Pahlawan Seribu, BSD City
Serpong mulai banyak bermunculan gedung-gedung baru yang megah. Pusat perbelanjaan, apartemen, hotel,
pusat hiburan dan kuliner, pusat perkantoran, rumah sakit, pusat pendidikan telah dibangun. Lahan untuk
pembangunan Office Tower dan sarana penunjang lain juga tersedia. Oleh karena itu, sangatlah prospektif
apabila para investor dapat menanamkan modalnya dalam rangka pengembangan kawasan ini.

Kawasan Bintaro juga telah berkembang dan menjadi salah satu kawasan yang diperhitungkan oleh
para investor. Berbagai infrastruktur berupa gedung perkantoran, pusat belanja, rumah sakit, pusat pendidikan
telah berdiri di kawasan ini. Untuk memperlancar arus lalu lintas, di bundaran Bintaro Sektor IX telah dibangun
fly over yang menghubungkan simpul-simpul bisnis dan jasa, termasuk jasa pendidikan, dengan dibangunnya
Universitas pembangunan Jaya.

Bidang Jasa dan perdagangan juga terus dikembangkan dikawasan Ciputat-Pamulang. Sebagai kawasan
Pusat Pendidikan skala nasional dengan adanya UIN Syarif Hidayatulloh dan Universitas Terbuka, maka daerah
Ciputat dan Pamulang dapat dikembangkan sebagai kawasan jasa pendidikan.

Pembangunan Convention Center. Sebagai kota perdagangan dan jasa, maka salah satu sarana
perkotaan dan dapat dijadikan icon kota Tangerang Selatan adalah pembangunan Convention Center, atau
Trade Exibition Center atau Gedung Konser. Sesuai dengan motto cerdas, modern dan religius, maka Kota
Tangerang Selatan mencari para investor untuk membangun suatu gedung yang memiliki ciri khas daerah Kota
Tangerang Selatan tetapi juga modern. Dimana dapat menjadi pusat kesenian Kota Tangerang Selatan dan dapat
digunakan juga untuk berbagai kegiatan pameran, rapat atau forum pertemuan resmi skala nasional dan

296 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


internasional. Pembangunannya dapat dibangun secara terpadu dengan dilengkapi fasilitas office tower atau
hotel bintang lima yang dapat dimanfaatkan juga sebagai tempat penyewaan ruang kantor.

Sektor Industri dan Pergudangan. Melihat luas lahan yang tersedia, Pemerintah Kota Tangerang
Selatan dalam arah dan tujuan pembangunan, tidak menempatkan sektor industri dan pergudangan sebagai
andalan. Saat ini peruntukan lahan untuk industri hanya 1,14 % saja dari luas lahan Kota Tangerang Selatan,
atau sekitar 16,67 hektar. Industri yang dikembangkan pun ditujukan kepada green industry dan ramah
lingkungan. Pemilihan industri yang cocok untuk itu adalah industri yang tidak mempunyai banyak limbah
kimia. Industri pembuatan produk dari bahan setengah jadi seperti pembuatan bola di Pondok Cabe, atau
industri garmen serta industri perakitan lainnya yang ramah lingkungan adalah salah satu contoh yang bisa
dikembangkan. Selain itu, dengan adanya fasilitas pergudangan di Taman Tekno BSD dan kawasan Multiguna
Serpong Utara, melengkapi sarana investasi penanaman modal pada sektor industri maupun pergudangan yang
ramah lingkungan.

Pelayanan Perizinan

Terkait dengan penanaman modal, Kota Tangerang Selatan melakukan pengaturan dan pengendalian
dengan menyelenggarakan pelayanan perizinan yang dipusatkan pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BP2T). Jenis-jenis pelayanan tersebut terangkum dalam tabel berikut.

Potensi Wisata

Di Tangerang Selatan terdapat beberapa lokasi kunjungan wisata. Jenis wisata yang tawarkan beraneka
ragam di antaranya wisata alam, wisata budaya, wisata belanja dan wisata kuliner.

Wisata Alam dan Air.

Beberapa lokasi wisata alam yang bisa dikunjungi di antaranya Wisata Tanah Tingal, Kandank
Jurank Doank, dan Kampung Dongeng merupakan lokasi wisata alam yang terletak di Ciputat. Ada berbagai
kegiatan yang bisa dilakukan terutama oleh anak-anak, mulai dari membuat keramik, mengenal jenis binatang,
memberi makan binatang, panen padi, flying fox, bermain kano dan pengamatan burung (birdwatching) hingga
pertunjukan dongeng. Terdapat juga penginapan lengkap dengan kafe dan kolam renang. Wisata Kampung
Maen merupakan wisata di Family Park Alam Sutera Serpong Utara perpaduan antara dunia pendidikan dan
hiburan anak, dimana proses edukasi disajikan dalam bentuk permainan/ games yang interaktif.

Selain itu, juga terdapat taman/hutan kota di Serpong yang juga dimanfaatkan sebagai lokasi rekreasi,
seperti hutan kota di wilayah BSD, taman kota yang terdapat di Jl. Letnan Sutopo dekat Sekolah Al-Azhar BSD
dan taman kota yang terletak di Taman Tekno, Buaran dekat MAN Insan Cendekia.

Wisata air, seperti kolam renang, pemancingan, taman air tersebar di berbagai wilayah, seperti Family
Park Kampung Aer di Alam Sutera Serpong Utara, Ocean Park di BSD Serpong, Wisata Air Pulau situ Gintung
Ciputat Timur, serta kolam renang dan pemancingan yang terdapat di banyak kecamatan. Hampir di semua
kecamatan juga terdapat situ-situ yang dapat dijadikan tempat rekreasi namun sebagian besar masih harus ditata
ulang.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 297


Wisata Belanja, Kuliner dan Hiburan

Sebagian besar wilayah Kota Tangerang Selatan adalah wilayah urban dan salah satu fenomena yang
menyertai kehidupan urban adalah belanja dan kuliner.

Kuliner. Mulai dari Pamulang, Pondok Aren, Bintaro hingga Alam Sutera dan BSD, jajaran restoran
dan kafe bisa ditemukan di sepanjang jalan. Jenis kuliner yang bisa ditemukan sangat beragam dari makanan
tradisional berbagai daerah, makanan cepat saji, hingga fine dining. Masih banyak peluang investasi yang dapat
dikembangkan di bidang rumah makan dan restoran di Kota Tangerang Selatan. Setiap hari terutama hari libur,
banyak warga yang berburu kuliner baik dari kelas kaki lima sampai kelas hotel, dari yang tradisional sampai
internasional. Setiap hari deretan mobil mewah selalu memenuhi setiap rumah makan dan restoran tersebut. Hal
ini menunjukan bahwa potensi investasi di bidang kuliner sangat besar.

Mal dan pusat perbelanjaan banyak terdapat di Kota Tangerang Selatan. Beberapa pusat
perbelanjaan besar di antaranya Pamulang Square dan Karisma Pamulang di Pamulang, WTC Matahari BSD,
Plaza BSD, BSD Junction, ITC BSD dan Pasar Modern di Serpong. Selain itu juga ada Pasar Pagi yang hanya
ada pada hari Sabtu & Minggu pagi di Giant Supermarket Pamulang. Pusat belanja khusus berupa sentra
penjualan art furniture dan barang antik terdapat di Jalan Ciputat Raya, Rempoa dan juga ada Bursa Tanaman
Hias di Jl. Raya Buaran – Rawabuntu, Serpong.

Hotel dan penginapan yang dapat digunakan di antaranya Hotel Bintaro di Pondok Aren, Hotel BSD,
Hotel Santika dan Hotel Melati di Serpong dan Serpong Utara, Wisma Tamu Puspiptek di Setu, Hotel Ciputat
dan Pondok Wisata Situ Gintung di Ciputat dan Ciputat Timur. Akan tetapi, laju perkembangan pembangunan
hotel masih dirasa kurang untuk sebuah kota besar seperti Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan sangat
mudah diakses dari berbagai daerah dan kawasan. Bandara Soekarno-Hatta, jaringan jalan tol yang saling
terkoneksi antar kawasan, jalur kereta api yang memiliki akses sampai di pusat-pusat bisnis dan perkantoran di
Jakarta, seperti Kawasan JL Thamrin-Sudirman, Manggarai, Tanah Abang, serta sarana transportasi yang
menunjang seperti Taxi, bus antar kota maupun kendaraan umum lainnya. Dengan mobilitas warga yang tinggi
dan dukungan infrastrukur yang ada, maka prospek investasi Hotel sangat menjanjikan di Kota Tangerang
Selatan.

Wisata Budaya

Budaya. Masyarakat Kota Tangerang Selatan memiliki budaya campuran Betawi dan Sunda. Dalam
keseharian, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Betawi atau bahasa Sunda. Oleh karena itu,
kesenian masyarakat Kota Tangerang Selatan pun beraneka ragam sesuai dengan latar belakang budaya.
Karakter kesenian yang ada di Kota Tangerang Selatan adalah perpaduan antara seni budaya Betawi dan Sunda.
Beberapa kesenian yang berkembang sampai saat ini adalah Seni Musik Gambang Keromong dan Tari Krecek
yang merupakan tarian pergaulan yang banyak berkembang. Pada beberapa wilayah banyak yang masih dihuni
oleh pelaku kesenian seperti Lenong dan Topeng, seperti Bapak Bolot.

Acara kesenian modern seperti pergelaran musik juga kerap diselenggarakan terutama di pusat
perbelanjaan, sebagai contoh di Taman Jajan BSD kerap diadakan pergelaran musik jazz yang dikenal sebagai
Jajan Jazz.

298 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Cagar Budaya. Kota Tangerang Selatan memiliki banyak potensi obyek wisata yang menarik. Mulai
dari situs budaya yang mempunyai nilai sejarah di antaranya adalah Keramat Serpong, Makam Raden Pakpak,
Abah Saleh Cipeucang, Keramat Pamulang, Makam Ki Rebo dan Raden Mas Ulung, Jombang Keramat, Taman
Bahagia Abri, Makam Ki Buyut Raden Sostro Wijoyo, Sumur Tujuh, Situs Daan Mogot, Makam Pahlawan
Seribu Serpong, Tugu Peringatan Cilenggang, Buyut Kejaren, Keramat Tajug, dan Keramat Asem. Bangunan
lain yang mempunyai nilai budaya adalah rumah-rumah adat perpaduan budaya Cina dan Betawi seperti di
daerah Maruga Ciputat dan rumah adat betawi yang banyak dijumpai di daerah Parigi dan Jombang.

City Branding Kota Tangerang Selatan

Melihat kondisi faktual dan pemberitaan di berbagai media, Kota Tangerang Selatan belum cukup
berhasil melakukan pembangunan yang tepat sasaran. Masih dapat dimaklumi, mengingat usia kota Tangerang
Selatan yang belum lama terjadi pemekaran . Namun di tangan seorang pemimpin yang tepat, maka
pembenahan dapat terjadi, yang mampu merubah kota ini menjadi kota yang nyaman, makmur, perduli dengan
warganya, dan tentu saja kota yang bagus di mata stakeholders. Beberapa fakta hasil observasi dan persepsi
public tentang Kota Tangerang Selatan adalah;

Pertama, sementara ini Kota Tangerang Selatan dipersepsikan lebih banyak sebagai kota yang kotor
dengan timbunan sampahnya, macet, semrawut dengan berbagai angkutan umum yang tidak memiliki terminal
dan pedagang yang berjualan secara sembarangan, ketimpangan kondisi sosio-ekonomi antara warganya, dan
konon masih sangat birokratis.

Kedua, Kota Tangerang Selatan memiliki SDM yang sepertinya memiliki daya saing tinggi dengan
daerah lain. Ini sebuah modalitas yang sangat fundamental dan penting. Hanya sayangnya SDM yang bagus itu
belum mendapatkan kesempatan untuk turut andil. Di samping SDM yang bagus, Kota Tangerang Selatan juga
memiliki akses yang bagus karena berdekatan dengan Jakarta.

Ketiga, dalam konteks branding kota, Kota Tangerang Selatan belum memiliki image dan persepsi
yang kuat di mata stakeholders. Satu-satunya image dan persepsi yang kuat hanya soal perumahan yang tersebar
di Pamulang, Serpong, Ciputat dan Pondok Aren. Tangerang Selatan belum memiliki image dan persepsi yang
kuat di sektor pendidikan, bisnis, pariwisata, birokrasi pemerintahan, perekonomian rakyat atau pelayanan
publik. Tangerang Selatan juga tidak dipersepsikan sebagai kota yang indah, bersih, religius atau modern.

Fakta-fakta kunci itu merupakan hal-hal yang melekat di Tangerang Selatan dan dengan sendirinya juga
melekat di benak stakeholders. Jika dikatakan lebih banyak negatifnya, memang begitulah faktanya. Dan jika
demikian, image atau persepsi itu perlu segera diubah, atau dengan kata lain Kota Tangerang Selatan perlu
melakukan rebranding.

Rebranding kota untuk Kota Tangerang Selatan mencakup pembenahan infra dan suprastruktur politik,
infrastruktur kota, membangun kepercayaan kepada investor dan wisatawan, memajukan tingkat pendidikan dan
ekonomi masyarakat, melakukan reformasi birokasi, mengkomunikasi diri kepada daerah lain, dan merubah
citra negatif kota yang selama ini sudah terlanjur melekat.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 299


Rebranding Kota Tangerang Selatan bisa saja diarahkan menjadi ―Kota Pendidikan‖ atau apapun,
sepanjang hal-hal di atas dilakukan dan dilakukan dalam garis branding yang jelas. Karena Kota Tangerang
Selatan merupakan kota penyangga Jakarta, maka memang lebih baik jika branding kota ini dirumuskan ke
dalam branding yang terbuka, seperti menjadi kota pendidikan. Atau bisa pula diarahkan menjadi ―kota musik,‖
―kota perpustakaan,‖ ―kota hot-spot,‖ dan lain-lain yang unik, menjual dan relevan.

Kesimpulan

Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu kota Penyangga DKI Jakarta belum optimal dalam mengembangkan
potensi daerahnya sehingga belum terbentuk branding yang kuat dan menjadi daya saing daerah. Perlu ada
upaya rebranding dengan pengoptimalan potensi daerah secara maksimal sehingga daerah tersebut mempunyai
daya saing yang dapat diunggulkan.

Daftar Pustaka

KAVARATZIS, M (2008) From City Marketing to City Branding : An

Interdisciplinary Analysis with Reference to Amsterdam, Budapest, and Athens.

Dissertation. Groningen: Rijksuniversiteit Groningen

DINNIE, K (2011) City Branding : Theory and Cases. London: Palgrave Macmillan

ANHOLT, S (2010) Places: Identity, Image, and Reputation. London: Palgrave

Macmillan

VAN GELDER, S (2008) An Introduction to City Branding. Amsterdam: Placebrands

Limited KAVARATZIS, ASHWORTH (2005) City Branding : An

Effective Assertion of Identity or A Transitory Marketing Trick? Oxford :

Blackwell Publishing Ltd.

RAHMADYANI, I (2010) Identifikasi Elemen Pembentuk City Branding Kota

Bandung.Tugas Akhir. Bandung: Institut Teknologi Bandung

NUR‘AINI, Y (2010) An Analysis of The Preparedness of Bandung Towards City

Branding. Master Thesis. Bandung

Groningen : Double Master Degree Programme Development Planning and

Infrastructure Management School of Architecture, Planning and Policy

Development Institut Teknologi Bandung and Environmental and

Infrastructure Planning Faculty of Spatial Sciences University of Groningen

RAUBO, A (2010) City Branding and its Impact on City‘s Attractiveness for Extern

300 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Audiences. Master Thesis. Rotterdam : Erasmus University

NURSINGGIH, H (2001) Kajian Komponen Penawaran dan Permintaan Wisata

Sebagai Penunjang Kepariwisataan Budaya Kota Tangerang Selatan. Tesis.

Semarang: Universitas Diponegoro

PONTOH, KUSTIWAN (2009) Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung:

Penerbit ITB.

SUSILO, W. H. 2011. Observasi di Kota Tangerang Selatan: Suatu Potensi Pariwista

dengan Meningkatkan Keberadaan Heritage. Artikel. DIKTI.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 301


Inovasi Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Melalui
Pengembangan Ekonomi Kreatif Di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

Mustiqowati Ummul Fithriyyah

Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial,

Jurusan Administrasi Negara

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia

Tel: +62-852 2626 0380

E-mail: mustiqoumulfitria@gmail.com

Abstract: The purpose of writing this article to dissect about government innovation in the development of
tourism in Pelalawan. The real innovation has filled space changes and give another meaning in the culture of
government organizations.

Pelalawan have the opportunity to serve as one of the flow of tourist visits so as to increase tourist
arrivals. This study aims to determine how the program innovations made by the Department of Culture,
Tourism, Youth and Sports Pelalawan in the development of the tourism sector through the development of
creative economic.

Inhibitors and supporters of course occur in the implementation of the innovation program. Factors
that support in the program is the support of other SKPD to participate implement tourism development and
active participation of stakeholders.

Kategori: Inovasi Pemerintah

Keywords: innovation, tourism, creative economic.

PENDAHULUAN

Salah satu tulang punggung penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada era otonomi daerah
adalah sektor kepariwisataan, mengingat sektor inilah yang sangat potensial menghasilkan pendapatan yang
besar karena sifatnya yang multisektoral dan multi-effects. Dengan berkembangnya sektor kepariwisataan akan
mendukung income generating dari pelbagai sisi mulai dari retribusi masuk obyek wisata, pajak hotel dan

302 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


restoran, perijinan usaha pariwisata, di samping juga menyerap tenaga kerja baik dari sektor formal maupun
informal. Mengingat demikian strategisnya posisi pengembangan sektor pariwisata maka developmental-
planning-nya penting untuk dipikirkan.

Pada hakekatnya pembangunan kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip


kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga
keseimbangan kepentingan dan kesatuan Nasional. Pembangunan dan pengembangan kepariwisataan di
Kabupaten Pelalawan diharapkan dapat menjadi kekuatan ekonomi strategis yang dapat meningkatkan ekonomi
kerakyatan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan menambah pendapatan asli daerah (PAD) dengan tetap
memperhatikan dan memelihara kelestarian kekayaan budaya daerah serta mengoptimalisasikan peran serta
masyarakat.

Dalam pelaksanaan pembangunan supaya dapat mencapai tujuan yang berdaya guna dan berhasil guna
diperlukan pedoman pelaksanaan yang dituangkan dalam suatu perencanaan yang memuat apa yang akan
dikerjakan pada waktu tertentu. Rencana pembangunan dari jangka waktu tertentu dapat dibedakan dengan
rencana jangka menengah lima tahun (RPJM) dan rencana jangka panjang dua puluh lima tahun (RPJP).

Untuk mewujudkan pembangunan daerah yang terarah dan berkelanjutan, maka dengan kewenangan
yang telah ada, termasuk dalam sektor peningkatan dibidang pariwisata. Bagi Pemerintah Daerah dalam rangka
pelaksanaan pembangunan-pembangunan di daerah agar tercapai dan berkesinambungan sumber-sumber
pembiayan merupakan salah satu faktor penentu dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Dengan kewenangan
yang telah ada Pemerintah Daerah harus jeli dalam menggali potensi-potensi kekayan daerah yang dimilikinya,
guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sehingga dapat membiayai pembangunan daerah tersebut.

Pelalawan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang memiliki potensi wisata cukup berlimpah
dan bervariasi. Obyek wisata di Pelalawan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu wisata alam serta
wisata budaya.

Kebijakan pengembangan pariwisata merupakan langkah strategis bagi Pemerintah Kabupaten


Pelalawan, khususnya dalam mengelola potensi kepariwisataan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan
formulasi kebijakan yang akan ditempuh nantinya, serta peluang dan tantangan apa yang menghadang. Untuk
menempuh kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan tentunya sangat penting untuk mengetahui
peta kondisi kepariwisataan Pelalawan yang ada saat ini. Oleh sebab itu perlu dibahas beberapa faktor eksternal,
internal, peluang dan hambatan, sehingga memudahkan policy makers memformulasikan kebijakannya. Tahap
evaluasi ini adalah yang pertama perlu dilakukan untuk memetakan problematika yang dihadapi Pelalawan
dalam bidang kepariwisataan dari lingkungan internal.

Pengamatan dari perspektif publik menunjukkan bahwa ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu
dipecahkan berkaitan dengan kondisi internal pengembangan kepariwisataan di Pelalawan, yaitu: Pertama,
Implementasi kebijakan pengembangan obyek wisata yang belum optimal dilakukan kendati potensi cukup
tersedia, termasuk kebijakan linkage antara pengembangan wisata dengan pengembangan potensi ekonomi
kreatif. Kedua, strategi promosi wisata yang cenderung masih konvensional. Ketiga, pelayanan dalam arti luas
kepada wisatawan yang masih kurang dari stake holders di bidang pariwisata khususnya. Keempat, masih relatif
lemahnya koordinasi antara pelaku pariwisata, Pemerintah Daerah dan pihak terkait.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 303


Pengamatan berikutnya adalah evaluasi faktor eksternal yang menunjukkan bahwa seiring belum
pulihnya citra negatif negara kita di mata dunia internasional, khususnya dalam aspek keamanan dan
kenyamanan, dunia pariwisata nasional mengalami penurunan wisatawan internasional yang cukup substantif,
meskipun pada tataran wisatawan domestik cenderung tak terpengaruh. Kemudian wacana obyek wisata kumuh
merupakan hambatan potensial kedatangan wisatawan. Setelah mengetahui peta kelemahan dari faktor eksternal
dan internal tersebut, maka perlu pula dirumuskan tentang peluang dan hambatan yang potensial muncul.

Objek dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Pelalawan berdasarkan jenis wisatanya yaitu :
wisata alam, wisata sejarah/budaya. Untuk wisata alam Kabupaten Pelalawan memanfaatkan potensi pantai
misalnya Pantai Ogis, dan Bono, wisata alam lainnya adalah Danau Tanjung Putus, Danau Tajuwid, Taman
Nasional Teso Nilo, Air Panas. Sedangkan objek wisata sejarah/budaya adalah Istanah Sayap, Makam Raja-Raja
Pelalawan, Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan, Tugu Equator. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini

Tabel 1.1 :

Objek Wisata dan Daya Tarik Wisata

Kabupaten Pelalawan

Objek/Daya Tarik Wisata


No Jenis Wisata Keterangan
Kabupaten Pelalawan

I Kec. Teluk Meranti

1. Pantai Ogis Alam Rekreasi Pantai


2. Bono
Alam Rekreasi Pantai

II Kec. Pangkalan Kerinci

3. Danau Tanjung Putus Alam Wisata hutan dan danau


4. Danau Tawid
Alam Wisata hutan dan danau

III Kec. Pelalawan

5. Istana Sayap Sejarah/budaya Peninggalan Sejarah Sultan


Syarif kasim II
6. Makam Raja-Raja Pelalawan
Komplek makan Raja dan
Sejarah/budaya
kelurga kerajaan Pelalawan

Peninggalan kerajaan Pelalawan


7. Merupakan Penggalan
Kerajaan Pelalawan Sejarah/budaya

304 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Sumber : Kantor Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kabupaten Pelalawan 2014

Tabel 1.1 menjelaskan bahwa potensi pariwisata Kabupaten Pelalawan cukup beragam, salah satu
wisata yang sangat berpotensi di Kabupaten Pelalawan adalah Wisata Alam Bono. Bono merupakan
gelombang atau ombak yang terjadi di muara Sungai Kampar Riau Indonesia yang merupakan suatu
fenomena alam akibat adanya pertemuan arus sungai menuju laut dan arus laut yang masuk ke sungai akibat
pasang.

Desa Teluk Meranti memang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata Kabupaten Pelalawan.
Ini sesuai dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan yang menjadikan daerah Bono
sebagai pengembangan wisata bahari. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan terhadap Objek Wisata
Unggulan Kabupaten Pelalawan menempatkan Bono sebagai Kawasan Wisata Uggulan I (KWU I)
disamping, objek wisata Istana Sayap dan Taman Nasional Teso Nilo.

Untuk itu perlu usaha pengembangan yang terencana dan serius dari Pemerintah Kabupaten yang
diharapkan semua pihak. Dalam hal ini peranan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga
Kabupaten Pelalawan yang pada awalnya bernama Dinas Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten
Pelalawan dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Dinas Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Pelalawan yang merupakan unsur
pelaksana pemerintah daerah di bidang kepariwisataan, kesenian dan kebudayaan.

PERSOALAN PENELITIAN

Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian serta menginterprestasikan hasil dari penelitian, maka
terlebih dahulu dirumuskan pertanyaan penelitian yang akan dijadikan sebagai arahan dan pedoman penelitian.
Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian
secara lebih mendalam, dengan judul : inovasi pemerintah dalam pengembangan pariwisata melalui
pengembangan ekonomi kreatif di kabupaten pelalawan provinsi riau.

Dan dengan melihat permasalahan diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai
berikut : bagaimana inovasi pemerintah dalam pengembangan pariwisata melalui pengembangan ekonomi
kreatif di Kabupaten Pelalawan ?

INOVASI PEMERINTAH

Kata inovasi memiliki sejuta arti dan definisi. Ancok dalam bukunya Psikologi Kepemimpinan dan
Inovasi memberikan definisi inovasi sebagai ―suatu proses memikirkan dan mengimplementasikan pemikiran
tersebut, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, proses bisnis, carabaru, kebijakan, dan lain
sebagainya.‖O‘Sullivan dan Dooley menyebutkan inovasi adalah ―proses membuat perubahan terhadap sesuatu
yang telah mapan melalui introduksi suatu hal baru yang memberikan nilai tambah bagi konsumen. Sementara
itu, Anthony memahami inovasi dalam pengertian yang lebih sederhana, yakni sebagai ―sesuatu yang berbeda

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 305


yang berdampak. Dari berbagai pengertian dan definisi ini dapat ditarik makna bahwa inovasi adalah proses
memikirkan dan mengimplementasikan sesuatu yang original, penting, dan berdampak.
Dari pemahaman ini, maka kemudian inovasi administrasi negara dapat diartikan sebagai proses
memikirkan dan mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan kepentingan publik yang original, penting,
dan berdampak. Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut. Untuk itu
maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur
sipil negara di Daerah dalam memajukan Daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah untuk
meningkatkan daya saing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang obyektif yang dapat dijadikan pegangan
bagi pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu
dan berkembang tanpa ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.
Di dalam Undang – Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (pasal 386); daerah dapat
melakukan inovasi daerah yang mengacu pada prinsip – prinsip : peningkatan efisiensi; perbaikan efektivitas;
perbaikan kualitas pelayanan; tidak ada konflik kepentingan; berorientasi kepada kepentingan umum; dilakukan
secara terbuka; memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya serta tidak untuk
kepentingan diri sendiri. Inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, aparatur sipil negara,
Perangkat Daerah, dan anggota masyarakat sebagai aktor – aktor perumus kebijakan publik.
Inovasi pemerintah daerah, khususnya dalam hal pelayanan publik menjadi sangat penting dan
mendesak apabila dikaitkan dengan daya saing daerah, daya saing sumberdaya manusia serta memantapkan
eksistensi dalam tatanan pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia, saat ini memiliki lebih dari 500 daerah otonom baik provinsi dan atau kabupaten/kota.
Sejalan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat atau masyarakat di wilayah Kabupaten/Kota
atau Provinsi dengan mudah dapat mengenal dan atau menentukan pilihan untuk kemajuan daerah atau
kesejahteraan masyarakat. Inovasi penyelenggaraan pemerintahan bagi kepala daerah, diawali dengan
penyampaian visi misi atau janji pada saat kampanye, dituangkan dalam dokumen perencanaan pembangunan
daerah baik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berjangka waktu 5 tahunan atau
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berjangka waktu tahunan sebagai penjabaran pelaksanaan
perencanaan dalam bentuk penganggaran dan kebijakan lainnya.
Dalam inovasi dalam sektor publik, beberapa sarjana mengelompokan ke dalam beberapa jenis sebagai
berikut. Teori pertama dikemukakan oleh Djamaludin Ancok dalam bukunya Psikologi Kepemimpinan &
Inovasi. Menurutnya, inovasi terdiri atas 8 jenis sebagai berikut: Inovasi proses; Inovasi metode; Inovasi
struktur organisasi; Inovasi dalam hubungan; Inovasi strategi; Inovasi pola pikir (mindset); Inovasi produk; dan
Inovasi pelayanan. Selanjutnya, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam
laporannya tahun 2005 The Measurement of Scientific and Technological Activities sebagaimana dikutip Doran
menyebutkan mengenai 3 jenis inovasi: Inovasi produk, Inovasi proses, dan Inovasi organisasi. Teori jenis-jenis
inovasi ketiga dikemukakan oleh Windrum (2008). Berbeda dengan teori Ancok dan OECD yang membuat
kategori inovasi secara umum, namun yang bagaimana pun jenis-jenis tersebut terlihat mampu untuk
dipraktikkan oleh sektor publik. Teori yang dibuat Windrum secara khusus menegaskan bahwa inovasi-inovasi
yang diidentifikasinya hanya berlaku untuk sektor publik. Windrum mengelompokkan inovasi ke dalam enam
kategori: Inovasi pelayanan; Inovasi penyediaan pelayanan; Inovasi administratif atau organisasional; Inovasi
konseptual; Inovasi kebijakan; dan Inovasi sistemik. Teori terakhir dikemukakan oleh Bekkers, Edelenbos, dan

306 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Steijn. Sama dengan Windrum, jenis-jenis inovasi yang diidentifikasi oleh ketiganya juga ditegaskan sebagai
jenis yang hanya berlaku untuk sektor publik. Mereka mengklasifikasikan inovasi sektor publik ke dalam 7
kategori: Inovasi produk atau jasa; Inovasi teknologi; Inovasi proses; Inovasi organisasi dan manajemen; Inovasi
konseptual; Inovasi tata kelola; dan inovasi institusi.(SeptianaDwiputrianti dkk 2014).
EKONOMI KREATIF DAN PENGEMBANGAN WISATA

Pariwisata didefinisikan sebagai aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari
tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan
hanya untuk bersenang senang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau waktu libur serta
tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009).

Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah tujuan wisata setidaknya harus memiliki komponen-
komponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) :

1. Obyek/atraksi dan daya tarik wisata

2. Transportasi dan infrastruktur

3. Akomodasi (tempat menginap)

4. Usaha makanan dan minuman

5. Jasa pendukung lainnya (hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro perjalanan yang
mengatur perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa pemandu, kantor pos, bank,
sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat penjualan pulsa, salon, dll).

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia sebelumnya telah menetapkan program yang
disebut dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona mencakup 7 aspek yang harus diterapkan untuk memberikan
pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di daerah kita. Program Sapta
Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang menyatakan bahwa setidaknya 6 aspek dari tujuh
Sapta Pesona harus dimiliki oleh sebuah daerah tujuan wisata untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus
kembali ke tempat wisata, yaitu: Aman; Tertib; Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan

Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling
bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006). Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor,
yaitu harus ada something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1985). Something to see terkait
dengan atraksi di daerah tujuan wisata,something to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata,
sementara something to buy terkait dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia
pribadi\ wisatawan. Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy
dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah.

Pada era tradisional, souvenir yang berupa memorabilia hanya terbatas pada foto polaroid yang
menampilkan foto sang wisatawan di suatu obyek wisata tertentu. Seiring dengan kemajuan tekonologi dan
perubahan paradigma wisata dari sekedar melihat menjadi merasakan pengalaman baru, maka produk-produk
kreatif melalui sektor wisata mempunyai potensi yang lebih besar untuk dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak
hanya masuk melalui something to buy tetapi juga mulai merambah something to do dan something to
see melalui paket-paket wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan kebudayaan lokal.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 307


Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan lebih lanjut oleh Yozcu
(2010), kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan
memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi
wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas
untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut secara tidak
langsung akan melibatkan individual dan pengusaha enterprise bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan
tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta
estetika lokasi wisata.

Contoh bentuk pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat dilihat pada
tebel berikut ini:

Tabel 4.1. Bentuk Pengembangan Ekonomi Kreatif

sebagai Penggerak Sektor Wisata

Wisata Ekonomi Kreatif

1.Something to see Proses kebudayaan (contoh : pembuatan kerajinan tenun


songketatau tenun sulaman)

2.Something to do Wisatawan berlaku sebagai konsumen aktif, tidak hanya


melihat atraksi dan membeli souvenir tapi ikut serta dalam
atraksi

3.Something to buy Souvenir.

Sumber: Yoeti, 1996 dan diolah

Potensi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata di Indonesia masih belum
dapat diimplementasikan secara optimal. Salah satu yang dikembangkan di Indonesia adalah mengadopsi bentuk
paket wisata tersebut ke dalam desa wisata. Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan
namun hanya sebagian kecil yang berhasil (dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala dan
meningkatkan ekonomi warganya). Fenomena banyaknya desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan
sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya
tidak siap untuk dikunjungi wisatawan. Kelemahan terbesar dari konsep desa wisata selanjutnya adalah
minimnya upaya promosi dan tidak adanya link dengan industri kreatif untuk produksi souvenir. Wisatawan
hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa sesuatu untuk dikenang (memorabilia) atau untuk
dipromosikan pada calon wisatawan lainnya.

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ekonomi kreatif dan sektor wisata pada sebagian besar kota-
kota di Indonesia berjalan secara terpisah. Masih kurangnya linkage antara ekonomi kreatif dan sektor wisata
dapat terlihat dari tiadanya tempat penjualan souvenir khas daerah. Kalaupun ada, tempat penjualan souvenir
dan souvenir yang dijual terkesan biasa saja, dan dapat dengan mudah ditemukan di daerah lain. Atau, pada
beberapa kasus, tempat penjualan souvenir berlokasi terlalu jauh sehingga menjadi sebuah proyek yang gagal
mendatangkan lebih banyak wisatawan.

308 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Pada hakikatnya, hampir sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia memiliki potensi untuk
mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata. Kota/kabupaten di Indonesia memiliki daya
tarik wisata yang berbeda untuk dapat diolah menjadi ekonomi kreatif. Termasuk juga di Kabupaten Pelalawan.

Potensi wisata yang ada dapat dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak
hanya melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya yang berkualitas, tetapi juga melibatkan
unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship (kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi
kreatif adalah bahwa birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating) dalam
arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992).

Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dirumuskan sebagai berikut:

1. Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata


2. Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif
3. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif
4. Melakukan pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi kreatif.
5. Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar kluster-kluster industri kreatif.
6. Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) untuk menjaga keberlangsungan dari ekonomi kreatif,
termasuk dengan melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian darileadership danfacilitator.
7. Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor
8. Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan kebijakan terkait
dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata kepada pengrajin. Pengrajin harus
mengetahui apakah ada insentif bagi pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika
diperlukan.

PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF SEBAGAI PENGGERAK SEKTOR


WISATA DI KABUPATEN PELALAWAN

Dalam Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata memerlukan sinergi antar
stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu pemerintah, cendekiawan, dan sektor swasta (bisnis).

Sedangkan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat diadaptasi
dari model-model kota kreatif. Kota kreatif bertumpu pada kualitas sumber daya manusia untuk membentuk
(bisa dalam bentuk design atau redesign) ruang-ruang kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan ruang kreatif
diperlukan untuk dapat merangsang munculnya ide-ide kreatif, karena manusia yang ditempatkan dalam
lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan produk-produk kreatif bernilai ekonomi. Festival budaya,
merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang kreatif yang sukses mendatangkan wisatawan.

Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk dapat
menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah satu tempat yang paling
penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja
atau studio sebagai ruang kreatif harus dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau
konektivitas. Konektivitas tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi
ekonomi kreatif, produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara dari sektor wisata, wisatawan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 309


memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah wisata tersebut. Konektivitas atau linkage antara ekonomi
kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata. Dengan kata lain, wisata
menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi, didtribusi, sekaligus pemasaran.

Untuk mendukung pengembangan tenun songket atau sulaman Pelalawan misalnya sebagai bagian dari
industri kreatif sekaligus penggerak wisata, perlu diciptakan linkage antara industri batik dan atraksi wisata Seni
Kota Sukabumi. Outlet kerajinan tenun sebaiknya diposisikan dekat dengan objek wisata, sehingga tercipta
suatu sistem wisata; wisatawan berkunjung melihat atraksi wisata di objek wisata, makan di sekitar objek
wisata, membeli oleh-oleh makanan khas, dilanjutkan dengan melihat sekaligus membeli tenun songket atau
sulaman Pelalawan sebagai souvenir.

Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata Pengembangan ekonomi
kreatif sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah
tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan keberlanjutan industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan
sektor wisata. Trend wisata cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan
produk-produk kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar karena
dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram 2000). Ooi (2006), mengindentifikasi sejumlah
tantangan pengembangan sebagai berikut :

1. Kualitas poduk.

Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan lebih berorientasi
pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak sebagai souvenir. Hal ini dapat
mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun nilai khas dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut.

2. Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.

Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali mengkomersialisasikan ruang-ruang sosial


dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan sebagai atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan
melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas
teradapat ruang-ruang sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan.

3. Manajemen ekonomi kreatif.

Dibutuhkan manajemen ekonomi kreatif yang baik, dengan salah satu fungsinya
menentukan guideline ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya tidak
dikembangkan

KESIMPULAN

Dalam pengembangan wisata di Kabupaten Pelalan, diperlukan sinergi antara ekonomi kreatif dengan
sektor wisata yang merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk
dikembangkan.

Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dibutuhkan konektivitas,
yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi yang strategsi dan dekat dengan lokasi
wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter atau sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata.

310 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Outlet kerajinan berupa counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata yang sudah
popular. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses
pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut.

Setelah akses cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek ketrampilan SDM
perajin, akases teknologi dan financial atau permodalan. Sehingga peran pemerintah, perguruan tinggi dan dana
bergulir dari BUMN sangat dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anas , Sudijono, 2008, Pengantar Statistik Pendidikan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ancok, Djamaludin. 2007. Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Fritz, Morstein, Marx, 2007, Birokrasi & Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Imam, Soeharto, 1991, Keterampilan dan Kemampuan, Penerbit Citra NiagaRajawali Pers,

Jakarta.

J. Spillance, James, 2001, Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan RekayasaKebudayaan,

Kanisus, Yogyakarta.

Kaho. Joseph Riwo, 2002, Prospek Otonami Daerah Di Negara Republik

Indonesia,CV.Rajawali, Jakarta.

Kansil, CST dan Chiristine, 2003, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.

Kunarjo, 1996, Manajemen Usaha Pariwisata Di Indonesia, PT. Toko Gunung Agung,

Jakarta.

Marpaung. Happy et al, 2002 Pengantar Pariwisata, Alfabeta, bandung.

Moekijat, 1995, Analisis Kebijakan Publik, CV Manda Maju, Bandung.

Ngapena, Chafid, 2003, Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam, Liberty,

Yogyakarta.

Nugroho, Riant . Public Policy Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Kovergensi dan

Kimia Kebijakan. Edisi revisi kelima 2014, PT Gramedia. Jakarta.

Nyoman. S. Pandit,2004, Ilmu Pariwisata, PT. Pradya Paramita, PT. Angkasa, Bandung.

Ooi, Can-Seng (2006). Tourism and the Creative Economy in Singapore.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 311


Riduan,2009, Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Alfabeta, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta.

Sugiono, 2007, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, bandung.

Suwantoro, Gamal, 2007, Dasar-Dasar Pariwisata, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Tim Pusat Inovasi Tata Pemerintahan. Handbook Inovasi Administrasi Negara. Lembaga

Administrasi Negara, 2014

Poerwadarminta, W.J.S, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Wahab, Salah, 1988, Pemasaran Pariwisata, Pradya Paramita, Bandung.

Winarno, Budi. Kebijakan Publik Teori dan Proses, cetakan pertama 2007, Media Pressindo

Yogyakarta.

Yoeti. Oka. A, 1996, Pengantar Ilmu Pariwisata, PT. Penerbit Angkasa, Bandung.

UU No. 9 Tahun 1990 Penyelenggaraan Kepariwisataan

Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas

Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pelalawan

Undang-Undangan Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 33Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Daerah.

312 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Provinsi Gorontalo

Asna Aneta dan Yulianto Kadji

Universitas Negeri Gorontalo

Abstrak: Tujuan pelaksanaan penelitian adalah untuk merekonstruksi model penilaian kinerja aparatur yang
kondisional, rasional dan praktis agar dapat menunjang penyelenggaraan pemerintahan di wilayah Provinsi
Gorontalo. Penelitianini didesain dalam penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk menganalisis secara
mendalam tentang model penilaian kinerja aparat pemerintah daerah diwilayah Provinsi Gorontalo serta
mengidentifikasi model alternatif penilaian kinerja aparat yang dapat menunjang penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi Gorontalo. Hasil penelitian menunjukkan:(a) Model penilaiankinerja
pemerintahdaerah diwilayah Provinsi Gorontalo selama ini belum memiliki keseragaman terutama dalam hal:
dasar hukum atau acuan pelaksanaan, waktu pelaksanaan, aspek atau indikator penilaian, dan pelaksana
penilaian. Oleh karenanya diperlukan rekonstruksimodelpenilaian kinerja aparatur yang dapat menunjang
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan pada masing-masing Pemkab/Pemkot/ Pemprov diwilayah
Provinsi Gorontalo. (b) Hasil rekostruksi model penilaian kinerja aparatur di wilayah Provinsi Gorontalo
meliputi tahap- tahap: (1) Penetapan Rencana Kerja Tahunan(RKT) oleh instansi sebagai penjabaran dari
sasaran dan program instansi berdasarkan visi dan misi. Tahapan ini dapat melibatkan pihak eksternal seperti
Perguruan Tinggi ; (2) Penyusunan dan penetapan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) oleh setiap pegawai dan
disetujui oleh atasan atau pejabat penilai; (3) Pelaksanaan tugas olehsetiapindividu pegawai berdasarkan
Sasaran Kinerja Pegawai(SKP) yang telah ditetapkan; dan (4) Pelaksanaan penilaian yang terdiri dari
monitoring pelaksanaan kegiatan/ pekerjaan, penilaian diakhir tahun berdasarkan capaian Sasaran Kinerja
Pegawai (SKP) dan pengamatan perilaku kerja oleh pejabat penilai, dan pemberian insentif/tunjangan kinerja
berdasarkan hasil penilaian. Oleh karenanya periode pelaksanaan penilaian adalah sekali dalam setahun.

Kata Kunci :Rekonstruksi Model dan Penilaian Kinerja paratur

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas
membutuhkan peran dan tanggungjawab aparatur yang berkinerja tinggi. Kinerja aparatur pemerintahan
mewujud pada eksistensi seorang aparatur yang memiliki kompetensi dan prestasi kerja yang dapat
memacu peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, yang pada akhirnya
juga akan meningkatan kepuasan publik terhadap hasil-hasil pembangunan.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 313


Berkenaan dengan kinerja aparatur, pemerintah dengan berbagai regulasinya senantiasa
mendorong agar kinerja yang baik selalu dioptimalkan, dan bahkan selalu dilakukan penilaian kinerja
aparatur secara periodik agar tugas-tugas pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan yang diemban
oleh aparatur akan terlaksana dengan sebaik-baiknya. Untuk itulah, maka upaya penilaian kinerja aparatur
dilakukan juga untuk memperoleh umpan balik terhadap apa yang perlu diperbaiki, dan oleh karena itu
dipandang perlu melakukan rekonstruksi model penilaian kinerja aparatur, yang tentunya melalui riset
yang dilaksanakan sesuai dengan kaidah metodologi dan keilmuan yang relevan.

Penelitian terhadap Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan di Provinsi Gorontalo dilakukan selama tiga tahun. Tahun pertama (2013) dalam perspektif
investigasi model penilaian kinerja yang dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah se Provinsi
Gorontalo, Tahun Kedua (2014) dalam perspektif melakukan rekonstruksi Model penilaian kinerja yang
dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah se Provinsi Gorontalo, dan Tahun Ketiga (2015) Penerapan
model penilaian kinerja aparatur dalan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Gorontalo.

b. Rumusan Masalah

Bagaimana implementasi / penerapan model penilaian kinerjaa paratur pemerintah dalam


penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Gorontalo.

c. Tujuan Penelitian

Menganalis dan mendeskripsikan tentang :

Implementasi / penerapan model penilaian kinerjaa paratur pemerintah dalam penyelenggaraan


pemerintahan di Provinsi Gorontalo.

d. Metode Penelitian

Penelitian ini didisain dengan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.

2. Kajian Pustaka
a. Konsep Kinerja

Menurut Prawirosentono (2002:2 ) kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh
seseorang atau kelompok orangdalam organisasi,sesuai denganwewenang dan tanggungjawab masing-
masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal,tidak melanggar hokum
dan sesuai dengan moral dan etika.

Pemahaman konsep dasar kinerja (the basic conception sof performance) dapat dilakukan
melalui pendekatan the engineering approach defines performance dan the economic market place
approach. Kinerja menurut pendekatan engineering approach diartikan sebagai rasio antara

314 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


sumberdaya yang digunakan (input) dengan standar unit-unit kerja yang dihasilkan (output).
Sedangkan pendekatan the economic market place approach berkaitan dengan tingkat produksi yang
dihasilkan,disesuaikan dengan penggunaan sumber daya tertentu (Widodo,2005:207).

Analisis kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur sejauhmana kemajuan yang
dicapai disbanding dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Melalui analisis kinerja dapat
dilihat tingkat keberhasilan ataupun tingkat kegagalan implementasi kebijakan, program dan kegiatan
sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan guna mewujudkan visi dan misi suatu
organisasi. Untuk melakukan analisis kinerja organisasi publik, diperlukan indikator-indikator
kinerja yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang ditetapkan.
Oleh karenanya, indicator kinerja seharusnya dapat dihitung dan diukur untuk digunakan sebagai
dasar penilaian atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan,implementasi,maupun
tahap setelah penyelesaian kegiatan.

Lenvine,dkk(1990) mengemukakan tiga indicator yang dapat dipergunakanuntukmengukur


kinerjabirokrasi publik,yaitu:

a) Responsiveness,ialah kemampuan individu atau organisasi untuk mengenali kebutuhan


masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program
pelayanan public sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Singkatnya,responsiveness
menunjukan keselarasan antara program/kegiatan pelayanan dan kebutuhan/aspirasi masyarakat.
Karena secara langsung dapat menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan
misi dan tujuannya,terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maka responsivitas dapat
ditetapkan sebagai salah satu indikator kinerja. Ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan
masyarakat akan menunjukkan tingkat responsivitas yang rendah demikian pula sebaliknya.
b) Responsibility, menjelaskan apakah implementasi kegiatan organisasi publik telah dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar, serta sesuai dengan kebijakan organisasi.
c) Accountability, menunjukkan seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi public konsisten
dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi public tidak hanya dilihat dari ukuran
internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian
target, akan tetapi kinerja sebaiknya dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai, norma dan
etika yang berlaku dimasyarakat. Kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi
jikalau kegiatannya dipandang benar serta sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai, norma dan
etika yang berkembang di masyarakat.

Selanjutnya, Dwiyanto(2003:60) menambahkan beberapa indicator yang biasanya digunakan


untuk mengukur kinerja birokrasi publik,selain yang dikemukakan oleh Lenvine dkk(1990) yakni:

a) Produktivitas, konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas dipandang sebagai rasio antara input dan output. Konsep ini
dirasa masih terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mengembangkan
satu ukuranproduktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapabesar
pelayananpublikitumemiliki hasilyang diharapkan sebagai salahsatuindikator kinerjayang
penting.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 315


b) Kualitas Layanan. Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Munculnya berbagai pandangan negatif
mengenai organisasi publik diakibatkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas
layanan yang diterima dari organisasi publik. Oleh karenanya, kepuasan masyarakat terhadap
layanan yang diberikan dapat dijadikan indicator untuk mengukur kinerja organisasi publik.
Kelebihan dalam menggunakan aspek kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah
informasi mengenai kepuasan masyarakat tergolong mudah dan murah untuk diperoleh.

Sebagai suatu proses perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi yang
diharapkan menghasilkan sesuatu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka kinerja antar
individu dengan individu lainnya dalam situasi kerja sangat dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik
dari individu. Di samping itu individu yang sama dapat menghasilkan performance kerja yang
berbeda didalam situasi yang berbeda. Oleh karenanya, secara umum, kinerja dapat dipengaruhi oleh
dua hal,yaitu faktor-faktor individu dan faktor-faktor situasi.

Pengukuran terhadap jobperformance atau kinerja, tergantung pada jenis pekerjaan dan
tujuan dari suatu organisasi. Johson dan Levin (dalam Widodo; 2005, 207) menyatakan bahwa faktor-
faktor yang bisa digunakan dalam menilai kinerja adalah kualitas dan kuantitas pekerjaan,
kerjasama, kepemimpinan, kehati-hatian, pengetahuan mengenai jabatan, kerajinan, kesetiaan, dapat
tidaknya diandalkan dan inisiatif. Selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja dapat dilihat berdasarkan
kualitas kerja,kuantitas kerja, sampel dari suatu tugas yang merupakan bagian dari pekerjaan, waktu
yang dibutuhkan untuk mempelajari tugas, jumlah promosi yang pernah dilampaui, rating kelompok
serta rating atasan, sehingga pengukuran/penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur
pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mision accomplishment) melalui hasil-
hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa,ataupun suatu proses.

b. Penilaian Kinerja

Penilaian terhadap performance atau disebut juga kinerja merupakan suatu kegiatan yang
sangat penting. Penilaian dimaksud bias dibuat sebagai masukan guna mengadakan perbaikan untuk
peningkatan kinerja organisasi pada waktu berikutnya.

Untuk mengukur kinerja sebuah organisasi banyak pendapat pakar mengenai berbagai indikator dan
konsep yang dapat digunakan, seperti efektivitas, efisiensi dan juga produktivitas guna menentukan
sejauh mana kemampuan sebuah organisasi dalam mencapaitujuan. Namun konsep dan indicator yang
dikemukakan selalu saja hanya tepat digunakan bagi organisasi swasta yang berorientasi keuntungan
belaka, hal ini tentunya berbeda dengan organisasi publik yang berorientasi pada pelayanan kepada
masyarakat banyak tanpa mengejar keuntungan materi.

Levine,dkk(1990) mengusulkan tiga konsep yang bisa dipergunakan untuk mengukur kinerja
birokrasi publik,yaitu: responsiveness, responsibility dan accountability (Dwiyanto,2003). Menurut
Keban (2001), pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur kinerja pemerintah daerah,yaitu

316 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pendekatan manajerial dan pendekatan kebijakan, dengan asumsi bahwa efektivitas dari tujuan
pemerintah daerah sangat tergantung dari dua kegiatan pokok tersebut ―Publik Management and
Policy‖. Pendekatan manajemen mempersoalkan hingga seberapa jauh fungsi-fungsi manajerial
pemerintah daerah telah dijalankan seefisien dan seefektif mungkin. Sasarannya adalah semua yang
bertugas mengimplementasikan kebijakan publik. Selanjutnya Keban(2001) menggabungkan kedua
pendekatan tersebut yang disebutnya dengan pendekatan moral/etika, dalam konteks ini, Keban
melihat sejauhmana pemerintah daerah menaruh perhatian terhadap aspek moralitas,yakni apakah
pemerintah daerah memperlakukan pegawainya dan masyarakat umum atau golongan tertentu
secara adil? Atau apakah pemda memperhatikan internal dan eksternal ethik?.Apakah pemda cukup
responsif atau tanggap terhadap perubahan yang datang dari masyarakat. Adapun sasaran dari
pendekatan ini adalah gabungan dari dua pendekatan di atas.

Selanjutnya fungsi manajerial dapat ditinjau dari manajerial yang bertugas, berupa adanya
peningkatan dalam pemakaian manajerial skill, pemakaian sistem, dan prosedur kerja yang lebih baik,
peningkatan motivasi serta kepuasan kerja diantara pegawai atau aparat pemda. Apakah peningkatan
ini telah memberikan sumbangan terhadap tercapainya tujuan secara efisien dan efektif. Selain itu
kinerja pemerintah dapat dinilai sampai sejauhmana masing-masing instansi telah melaksanakan
fungsi, tugas dan tanggung jawab tersebut yang merupakan manifestasi dari kegiatan manajemen dan
policy.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


3.1. Hasil Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur

Hasil rekonstruksi model penilaian kinerja aparat diwilayah Provinsi Gorontalo yang ditawarkan
kepada Pemerintah daerah seperti pada gambar berikut ini.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 317


Tahapan-tahapan penilaian kinerja aparatur pemerintah daerah berdasarkan model yang
direkonstruksi di atas adalah sebagai berikut:

1) Model Penilaian Kinerja Aparatur dapat dilakukan oleh Tim Internal Pemda ataupun Tim
Eksternal Pemda baik secara parsial maupun secara terpadu untuk memperoleh hasil penilaian
kinerja yang maksimal dan terstandarkan.
2) Penetapan Rencana KerjaTahunan (RKT), Rencana Kerja dan Anggaran, serta Rencana
Operasional Kegiatan instansi sebagai penjabaran dari sasaran dan program instansi
berdasarkan visi dan misi.
3) Penyusunan dan penetapan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) oleh setiap pegawai dan disetujui
oleh atasan atau pejabat penilai.
4) Pelaksanaan tugas oleh setiap individu pegawai berdasarkan Sasaran Kinerja Pegawai(SKP)
yang telah ditetapkan.
5) Pengawasan Kepegawaian,oleh atasan langsung pada masing- masing SKPD
6) Pelaksanaan penilaian akhir tahun yang terdiri dari monitoring pelaksanaan
kegiatan/pekerjaan, penilaian di akhir tahun berdasarkan capaian Sasaran Kinerja
Pegawai(SKP) dan pengamatan perilaku kerja oleh pejabat penilai, dan pemberian
insentif/tunjangan kinerja berdasarkan hasil penilaian. Oleh karenanya periodepelaksanaan
penilaian adalah sekali dalam setahun.
7) PenegasanatasRewardandPunishmentbagiaparaturpada masing-masingSKPD
8) Evaluasi Terpadu dan Terintegrasi, setelah melalui tahapan penilaian pada masing-masing
SKPD,maka ditingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi dilakukan evaluasi secara terpadu dan
terintegrasidenganharapanakan melihatkomitmendan konsistensisecara
makroterhadappelaksanaanevaluasikinerja aparatur dan organisasi pemerintahdaerah.
9) Feed-back atauumpan balik terhadap pelaksanaan penilaian kinerjaaparatur atas apayang
perludiperbaiki atausystemyang dilanjutkanpada tahun-tahunberikutnya.

Hasil rekonstruksi modelpenilaiankinerja diatas merupakan pengembangandari model


Torrington, Hall and Taylor, 2005 yang disesuaikan dengan aturan yang berlaku sekarang yakni
PP No. 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKN No. 1 Tahun 2013
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun2011, serta disesuaikan dengan kondisi empiris
yang ada di lapangan.

Model penilaian kinerja aparat pemerintah ini jika diterapkan pada seluruh
pemerintahyang ada diwilayah Provinsi Gorontalo diharapkan akan menjamin keseragaman
penilaian, baik dalam hal acuan/ dasar hokum pelaksanaan, waktu pelaksanaan, aspek/indicator
penilaian, maupunpelaksana penilaian. Disamping itu, model ini diharapkan dapat menjamin
obyektivitas pelaksanaan penilaian kinerja aparatur pemerintah daerah, yang pada gilirannya
akan memotivasi pegawai untuk senantiasa mengembangkan potensi kinerjanya dan akan
memberikan kontribusi yang tinggi bagi upaya peningkatan kinerja instansi pemerintah daerah.

318 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


3.2. Implementasi penerapan model penilaian kinerjaa paratur pemerintah dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Gorontalo

Hasil penjaringan data melalui FGD yang dilakukan pada pemerintah kabupaten/kota se
Provinsi Gorontalo, termasuk Pemerintah Provinsi Gorontalo menunjukkan semuanya telah
menerapkan sistem penilaian kinerja aparat berdasarkan ketentuan PP No 46 Tahun 2011 Tentang
Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKN No1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP No 46 Tahun 2011. Sesuai ketentuan PP tersebut, maka penilaian kinerja aparat di semua
wilayah pemda dilakukan sekali dalam setahun.

Untuk kepentingan penambahan penghasilan pegawai, di samping ketentuan PP No 46


Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKN No 1 Tahun 2013 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun2011, pemerintah daerah di wilayah Provinsi Gorontalo
menetapkan sistem penilaian kinerja sesuai kebijakan daerah masing-masing sebagai dasar
pemberian tambahan penghasilan pegawai.

Bobot penilaian kinerja untuk tiap-tiap daerah bervariasi. Misalnya untuk Kota Gorontalo,
sesuai Peraturan Walikota Gorontalo Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Tambahan Penghasilan
Pegawai, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa pegawai ASN berhak menerima tambahan
penghasilan dengan penuh apabila memenuhi komponen disiplin dengan bobot sebesar 60% (enam
puluh persen) dan komponen kinerja dengan bobot sebesar 40% (empat puluh persen). Komponen
disiplin diukur berdasarkan kehadiran sesuai dengan jam kerja yang telah ditetapkan serta
kehadiran pada kegiatan-kegiatan pemerintah daerah. Sedangkan komponen kinerja diukur
berdasarkan laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan kepada atasan langsung pada setiap
bulan.

Berbeda dengan Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo Utara sesuai Peraturan Bupati
Gorontalo Utara Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Tunjangan Kinerja Daerah Kabupaten Gorontalo
Utara Tahun Anggaran 2015, pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa kinerja dinilai berdasarkan atas
prestasi aksi dan prestasi hasil. Prestasi aksi diberi bobot 40% sedangkan prestasi hasil memiliki
bobot 60%.Komponen prestasi aksi terdiri atas: disiplin, ketaatan terhadap peraturan kepegawaian,
tanggung jawab, dan kerja sama. Komponen prestasi hasil terdiri dari: produktifitas, efektivitas,
efisiensi, inovasi, manfaat kinerja, dan kecepatan.

Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Gorontalo, pemberian tambahan penghasilan


pegawai didasarkan pada Peraturan Bupati Gorontalo Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Tambahan
Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Gorontalo.Dalam
pasal 8 ayat (1) peraturan bupati tersebut dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang berhak
menerima tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja dan berdasarkan tempat bertugas adalah
pegawai yang ikut hadir dalam apel dan hadir untuk melaksanakan tugas. Pada pasal 14 Perturan
Bupati tersebut diemukakan pula bahwa pembayaran tambahan penghasilan mulai berlaku 1
Januari 2015 dengan menggunakan Rekapitulasi Kehadiran Pegawai bulan Desember 2014. Ini
menunjukkan bahwa dasar pemberian tunjangan tambahan penghasilan PNS di wilayah ini
semata-mata didasarkan pada kehadiran, yakni pada apel dan pelaksanaan tugas. Peraturan ini

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 319


sepertinya mengabaikan kriteria hasil kerja atau tingkat prestasi kerja pegawai dalam pemberian
tambahan penghasilan bagi para pegawai.

Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Bone Bolango, penambahan penghasilan Pegawai


ditetapkan melalui Keputusan Bupati Bone Bolango Nomor 10/KEP/BUP.BB/17/2015 Tentang
Penetapan Tambahan Penghasilan Berdasarkan Beban Kerja Bagi Aparatur Sipil Negara di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango Tahun Anggaran 2015. Dalam lampiran II
Keputusan Bupati Bone Bolango tersebut dikemukakan bahwa unsur-unsur yang dinilai antara
lain: Loyalitas, Kepemimpinan (leadership), Inovasi, Pelayanan Publik, Kerjasama, dan Disiplin
Kehadiran Kerja. Sama halnya dengan Pemerintah Kabupaten Gorontalo, unsur-unsur penilain
kinerja di lingkungan Pemerintah Kabubaten Bone Bolango belum menggunakan kriteria hasil
atau prduktivitas kerja pegawainya.

Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Boalemo, penambahan penghasilan Pegawai


ditetapkan melalui Peraturan Bupati Boalemo Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Standar Satuan
Harga Tahun Anggaran 2015.Dalam peraturan bupati tersebut kriteria penentuan besaran
tambahan penghasilan pegawai ditetapkan berdasarkan struktur jabatan dan eselonisasi jabatan
yang ada dan belum didasarkan pada prestasi kerja pegawai.

Untuk wilayah Pemerintah Kabupaten Pohuwato, penambahan penghasilan Pegawai


ditetapkan melalui Peraturan Bupati Pohuwato Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pemberian
Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil Tahun 2015.Pada pasal 9 ayaut (2) Peraturan
Bupati Pohuwato tersebut dikemukakan bahwa unsur-unsur yang digunakan untuk menilai
preastasi kerja pegawai adalah: (a) Mempunyai kecakapan dan menguasai bidang tugasnya dan
bidang lain yang berhubungan dengan tugasnya; (b) Mempunyai keterampilan dalam
melaksanakan tugasnya; (c) Bersungguh-sungguh dan tidak mengenal waktu dalam melaksanakan
tugasnya; (d) Mempunyai kesegaran dan kesehatan jasmanai dan rohani yang baik; (e)
Melaksanakan tugas secara efektif dan efisien; dan (f) Mencapai tingkat sasaran kerja atau tingkat
capaian hasil kerja yang disepakati bersama antara PNS dengan pejabat penilai. Berbeda dengan
daerah-daerah lainnya, penilaian kinerja pegawai di wilayah Kabupaten Pohuwato sudah
memperhatikan hasil atau prestasi kerja pegawainya, bahkan sangat sesuai dengan ketentuan PP
No 46Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKNNo1 Tahun 2013 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun2011.

Untuk wilayah Pemerintah Provinsi Gorontalo, penambahan penghasilan Pegawai


ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Gorontalo Nomor 01 Tahun 2015 Tentang Tunjangan
Kinerja Daerah Provinsi Gorontalo Tahun Anggaran 2015.Dalam pasal 4 Peraturan Gubernur
Gorontalo dikemukakan bahwa penilaian kinerja Pegawai menggunakan 5 indikator yakni:
Disiplin, Produktivitas, Tanggungjawab, kerjasama, dan inovasi. Sama halnya denga Kabuoaten
Pohuwato, indikator penilaian kinerja di wilayah pemerintah Provinsi Gorontalo telah
menggunakan kriteria hasil kerja/ produktivitas pegawainya meskipun tidak sedetail Kabupaten
Pohuwato.

320 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Meskipun bervariasi dalam kebijakan dan pelaksanaannya, penilaian kinerja aparatur di
wilayah Provinsi Gorontalo umumnya memiliki kesamaan terutama dalam jangka waktu penilaian
yakni setiap bulan sekali. Hal ini dapat dipahami karena kebijakan penilaian kinerja ini berkenaan
langsung dengan pemberian tunjangan yang perhitungannya dilakukan setiap bulan, meskipun
pembayarannya mungkin pertriwulan atau lebih.

Kesamaan lainnya adalah jika mengacu pada model penilaian kierja aparatur yang
direkomendasikan pada penelitian tahap kedua, pada umumnya pemerintah daerah di wilayah
Provinsi Gorontalo melalui Badan Kepegawaian di masing-masing telah melakukan model
penilaian tersebut akan tetapi pada umumnya belum sampai pada siklus atau tahapan terakhir
model tersebut yakni tahapan 'feedback'.

Tidak terlaksananya tahapan ini memberi implikasi pada minimnya pengetahuan dan
kesadaran pegawai terhadap kekurangan atau kesalahan yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
Dalam jangka panjang sistem yang demikian akan menimbulkan sikap apatis di kalangan pegawai
karena mereka tidak mengetahui apa yang harus diperbaiki dan ditingkatkan dalam kinerja
masing-masing pegawai. Kelak akan timbul kecurigaan di kalangan pegawai bahwa penilaian
tidak dilakukan secara adil dan obyektif. Pada gilirannya kondisi yang demikian itu akan
mengakibatkan merosotnya kinerja pegawai secara umum.

4. Penutup

4.1. Simpulan

Berdasarkan hasilpenelitian dan pembahasan sebagaimana telah dideskripsikan pada bab


sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan tentang model penilaian kinerja aparatur pemerintah di
wilayah Provinsi Gorontalo sebagai berikut ini.

a. Model penilaian kinerja pemerintah daerah diwilayah Provinsi Gorontalo telah dilakukan sesuai
ketentuan PPNo46Tahun2011TentangPenilaian Prestasi Kerja PNS dan Perka BKNNo 1 Tahun 2013
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 46 Tahun 2011, yang dilakukan sekali dalam setahun.
b. Untuk kepentingan pemberian tambahan penghasilan pegawai, masing-masing pemerintah daerah di
wilayah Provinsi Gorontalo menetapkan kebijakan penilaian kinerja yang dilakukan setiap bulan
sekali.
c. Jika mengacu pada konstruksi/model penilaiankinerja aparatur yang dapat menunjang
penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana yang direkomendasikan dalam penelitian ini, semua
pemda pada umumnya belum melaksanakan seluruh tahapan yang ada terutama tahapan 'feed back'.

4.2. Rekomendai

Berdasarkan simpulan-simpulan penelitian di atas, peneliti merekomendasikan agar seluruh


tahapan dalam model penilaian kinerja y a n g direkomendasikan kepada seluruh pemda di wilayah

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 321


Provinsi Gorontalo hendaknya dapat dilaksanakan secara keseluruhan, guna menunjang efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan.

Referensi

Abdul Wahab,Solichin(1997) Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke implementasi

Kebijaksanaan Negara.PenerbitPT Bumi Aksara Jakarta.

…………… (1998) Analisis Kebijakan Publik : Teori dan Aplikasinya. Penerbit Fakultas

Ilmu Administrasi Univ. Brawijaya. Arep,Ishak&Tanjung,Hendri,(2003), Manajemen

Motivasi, Grasindo, Jakarta.

Dwiyanto, Agus, (2002), Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Univesitas

Gajah Mada.Yogyakarta.

Keban, Yeremias T.1995. Indikator Kinerja Pemda: Pendekatan Manajemen dan

Kebijakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Lenvine,Charles H.,(1990), Public Administration: Challenges, Choices, Consequences,

ScottForeman/Litle Brown Higher Education: Glenview,Illianos.

Marbun,B.B,1996,Kamus Politik,Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, hal.469

Moleong,J.Lexy.(2007).Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. XIV. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Prawirosentono, Suyadi, (2002), Kebijakan Kinerja Karyawan : Kiat Membangun Organisasi

Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas Dunia,BPFE,Yogyakarta.

Prawirosentomo, Suryadi. MBA.1999, Kebijakan Kinerja Karyawan. Penerbit BPFE,

Yogyakarta.

Riyadi dan Deddy S.Bratakusumah(2004) Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi

Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Saefuddin,Asep, dkk Tim Crescent (2003) Menuju Masyarakat Mandiri. Penerbit PT.

Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Supriatna, Tjahya(1997) Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Penerbit

Humaniora Utama Press

322 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Widodo, Joko(2001) Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol

Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Penerbit

Insan Cendekia Surabaya.

Wasistiono, Sadu (2003) Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah.Penerbit CV.

Fokusmedia Bandung.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 323


Mewujudkan Governance Networks melalui Program The Sunan Giri
Award di Kabupaten Gresik

Muhammad Farid Ma‟ruf, Tauran, Yuni Siti Aisah

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia

Tel: +62-8113400513

E-mail: tauran_unesa@yahoo.com

Abstrak: Governance networks merupakan salah satu pendekatan untuk memahami kerjasama antara lembaga
pemerintah dengan lembaga di luar dirinya dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan dan pelayanan
publik. Tujuan kajian ini adalah untuk menjelaskan relasi yang terjalin antar para pelaku network dalam
praktek governance pada kegiatan The Sunan Giri Awards (SGA), di kabupaten Gresik. SGA merupakan sebuah
kegiatan kolaboratif antara pemkab Gresik dengan LSM lokal untuk meningkatkan kualitas pelayanan desa.
Dalam konsep governance networks, untuk memastikan apakah sebuah network berfungsi dengan baik,
beberapa variabel perlu menjadi perhatian yaitu modal, model ikatan, perangkat kebijakan, strategi
administratif, struktur akuntablitas dan sistem manajemen kinerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Data diperoleh dari sumber primer yaitu Pemkab Gresik, Staf Sunan Gresik Foundation, dan
aparatur desa penerima award melalui wawancara dan observasi. Sumber sekunder diperoleh dari studi
literatur dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek governance dalam The Sunan Giri Award (SGA) di kabupaten
Gresik cukup berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik di tingkat desa. Keberhasilan tersebut
ditentukan oleh network yang berfungsi dengan baik, yang ditunjukkan pada 1) variabel modal, para aktor yang
terlibat memiliki modal yang memadai untuk berkontribusi network. 2) variabel model ikatan, formasi relasi
diantara kedua belah pihak adalah partnership, 3) variabel perangkat kebijakan, peraturan yang mendasari
kedua pihak melakukan aktivitas bersama cukup kuat. 4) variabel sistem manajemen kinerja, terdapat
mekanisme monitoring terhadap kinerja kedua belah pihak.

Category: local governance

Keywords: governance, networks, relasi

PENDAHULUAN

Dalam dua dekade terkahir, kajian manajemen pemerintahan telah mengalami banyak pergeseran.
Kajian manajemen pemerintahan tidak lagi berorientasi pada aspek pemerintah (government) akan tetapi telah

324 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


beralih pada aspek tata kepemerintahan (governance). Konsep governance memberikan prospek bahwa rakyat
akan dapat lebih proaktif terhadap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini pendekatan Government
melihat pada struktur formal pemerintahan yang hierarkis, sedangkan governance melihat dinamika politik dan
pemerintahan pada arena yang luas dan berkarakter horizontal (Sorensen, 2002 dalam Lay dan Masudi,
2005:227).

Meskipun model organisasi pemerintah yang hierarkis masih terus berlanjut, namun telah muncul
kecenderungan tata kelola pemerintahan yang lebih fleksibel dengan melibatkan aktor-aktor di luar pemerintah
dalam menyeleaikan permasalahan publik. Situasi ini secara berangsur mendorong munculnya model-model
pemerintahan baru dimana tanggung jawab utama eksekutif tidak lagi berpusat pada mengelola masyarakat dan
program-program tetapi pada pengorganisasian sumber daya, menyertakan orang lain untuk menghasilkan nilai
publik. Goldsmith dan Eggers (2004) mengutip pendapat Salamon bahwa:

"Apa yang ada dalam sebagian besar ranah kebijakan adalah padatnya mosaik alat kebijakan,
banyak dari mereka menempatkan lembaga-lembaga publik pada hubungan yang kompleks,
saling tergantung dengan sejumlah mitra pihak ketiga‖.

Dalam konteks ini, isntitusi pemerintah diposisikan sebagai generator nilai publik dalam jaringan hubungan
multiorganizational, multigovernmental, dan multisektoral. Situasi ini menunjukkan bagaimana administrasi
publik bekerja di era network. Situasi ini dapat digambarkan sebagai model jejaring atau governing by network
atau governance networks.

Network dapat melayani berbagai tujuan, seperti membuat pasar ide-ide baru dalam birokrasi atau
membina kerja sama diantara aktor sektor publik. Inisiatif sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai
tujuan umum, dengan tujuan kinerja yang terukur, tanggung jawab barada pada masing-masing mitra, dan arus
informasi yang terstruktur. Tujuan utama dari upaya ini adalah untuk menghasilkan nilai publik maksimum yang
memungkinkan lebih besar daripada jumlah yang dapat dicapai oleh masing-masing pemain tunggal tanpa
kolaborasi (Goldsmith and Eggers, 2004:8).

Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa berbagai model-model governance mampu


memberikan kontribusi positif pada peningkatan nilai-nilai publik. Pemerintahan lokal memiliki peluang untuk
bermitra dengan aktor diluar pemerintah. Beberapa kajian terhadap praktek governance diantaranya kajian
terhadap Kartika Soekarno Foundation (KSF) yang merupakan sebuah organisasi non pemerintahan yang
pernah melakukan program kerjanya di Kabupaten Gresik. KSF memberikan bantuan merevitalisasi posyandu di
beberapa desa di Kabupaten Gresik. KSF berhasil merevitalisasi 18 posyandu di Kabupaten Gresik. KSF juga
melakukan binaan terhadap posyandu-posyandu mengenai kesehatan anak dan ibu hamil. Kajian lain dilakukan
oleh Andrianus Resi (2009) yaitu tentang Interaksi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat
dalam Pembangunan pada pemberdayaan masyarakat pesisir di Muncar, Banyuwangi mengungkapkan bahwa
LPIP sebagai NGO dapat menangani beberapa konflik dengan menawarkan pendekatan yang berbeda, yaitu
memakai strategi pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan melibatkan tokoh
masyarakat, birokrasi, pengusaha sebagai mediator. Hubungan kerjasama antara Pemerintah Daerah
Banyuwangi dengan LPIP telah berjalan dengan mencapai hasil yang relatif memuaskan dalam memberdayakan
masyarakat pesisir.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 325


Kekuatan model governance juga ditunjukkan oleh Nike Qisthiarini (2012) dalam kajiannya tentang
NGO dan Suatainable Development: Peran Wetlands International – Indonesia Programme dalam merehabilitasi
ekosistem pesisir dan mengembangkan mata pencaharian di Aceh – Nias. Qisthiarini mendeskripsikan peran
NGO dalam upaya rehabilitasi ekosistem pesisir dengan menggabungkan upaya pemberdayaan ekonomi melalui
proyek Green Coast. Proyek tersebut diimplementasikan melalui kerjasama dengan pemerintah daerah setempat.
Dan setelah beberapa tahun, trend positif terus berlanjut, rehabilitasi ekosistem pesisir telah memperoleh hasil
yang memuaskan.

Beberapa kajian diatas, mengindikasikan bahwa kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dan
mitranya memberikan hasil positif terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Keterlibatan aktor diluar
pemerintah, dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah dalam menanggulangi permasalahan publik.
Praktek governance juga dikembangkan di Kabupaten Gresik. Bersama dengan organisasi nonpemerintah/
NGO, Pemerintah Kabupaten Gresik mengembangkan sebuah program inovatif perihal pelayanan adminsitratif
tingkat desa. Program tersebut adalah ―The Sunan Giri Awards‖ (SGA). Tujuan dari program tersebut adalah
untuk meningkatkan pelayanan publik tingkat desa. Didesain berbentuk ajang penghargaan bagi desa atau
kelurahan yang memiliki tingkat kualitas pelayanan publik terbaik. Desa atau kelurahan yang memiliki inisiatif,
kreatifitas, dan mempraktekkan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang
pelayanan publik dikompetisikan. Bagi mereka yang memenangkan kompetisi akan diberikan penghargaan
yakni, ―The Sunan giri Awards‖. Aktor yang terlibat dalam kegiatan SGA ini adalah pemkab Gresik, NGO
Sunan Giri Foundation (SAGAF), dan pemerintah desa.

Program SGA telah berlangsung empat tahun dan membawa tren positif bagi peningkatan kualitas
layanan publik di tingkat desa. Pemerintah desa yang berhasil menjadi nominasi menunjukkan tren positif dalam
inovasi dan kualitas pelayanan. Pembinaan yang dilakukan juga membawa pengaruh positif terhadap kualitas
sumber daya aparatur desa. Berdasarkan uraian tersebut diatas, kajian ini akan menganalisis relasi antara para
aktor yang terlibat dalam kegiatan The Sunan giri Awards (SGA) di Kabupaten Gresik. Kajian ini dainggap
penting karena praktek governance yang dikembangkan dalam SGA dianggap mampu membawa perbaikan
pada kualitas pelayanan desa. Tujuan dari kajian ini adalah ingin menganalisis beberapa variabel governance
yang dikembangkan dalam SGA berdasarkan perspektif governance network.

GOVERNANCE NETWORK

Salah satu perkembangan terpopuler belakangan ini adalah beralihnya orientasi pemerintahan dari
government menuju governance. Hal penting dalam terminologi governance adalah keterlibatan sektor lain
diluar pemerintahan untuk ikut menanggulangi permasalahan publik dan mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik serta meningkatkan nilai publik atau di kenal dengan Konsep Governance Networks. Governance
Networks merupakan model pemerintahan yang merujuk pada sifat horizontal dan keseteraan dalam negosiasi
regulasi yang mengatur hubungan bersama oleh lebih dari satu aktor yang berinterdependensi satu sama lain dan
berkemampuan untuk self-organizing atau self governing dalam mewujudkan tujuan publik bersama. Ketika
relasi antarpartisipan network yang terjalin berjalan dengan baik dapat membuat governance networks berjalan
dengan baik pula. Lebih lanjut, (Pollit, 2011:23), menyatakan bahwa beberapa variasi governance bertahan pada
pendekatan network dan cenderung menekankan tatanan horizontal daripada vertikal, dengan mekanisme
koordinasi adalah networks of, dan kerjasama antara para stakeholder. Selanjutnya, Pollit juga memaparkan

326 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


bahwa network adalah model diluar hierarki atau pasar yang memungkinkan pemerintah menjadi lebih baik dan
fleksibel dengan “self organizing” sebagai konsepsi governance networks.

Senada dengan Pollit, Rhodes (1996) dalam Osborne (2010:97) mengemukakan bahwa pada akhirnya
governance merujuk pada mengorganisir diri, inter-organizational networks. Pemerintahan dalam definisi
network dapat menangkap semua perilaku yang melibatkan apa yang sebelumnya dikenal sebagai pemerintahan.
Merupakan sebuah bentuk baru organisasi, jalan ketiga diluar pasar dan hierarki. Osborne juga menjelaskan
bahwa kemungkinan melibatkan aktor lain diluar pemerintahan.

“In networked government, the public‟s work is paid for by the government even thought it is
performed by people who do not work for the government (Kamarck, 2002 dalam Osborne,
2010:98). Despite the view of some who persist in seeing networks as a weakening of the state,
networked government can also be looked at as a different way of implementing the goals of the
state” (Kamarck, 2002 dalam Osborne, 2010:99).

Berdasarkan paparan tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa governance dapat menitikberatkan networks
sebagai obyek analisis.

Karakteristik Networks sebagai governance atau sebaliknya menurut Rhodes (dalam Osborne, 2010:98
dan dalam Koliba, 2011:54) memiliki beberapa penanda, antar lain:

1. Kesalingtergantungan antarorganisasi yang mencakup aktor bukan negara seperti privat dan voluntary.

2. Interaksi yang kontinyu antaranggota networks yang disebabkan oleh kebutuhan akan sumber daya atau
pertukaran sumber daya serta negosiasi dalam menyusun tujuan bersama.

3. Interaksi diantara para aktor layaknya game, yang berakar dari kepercayaan dan diatur oleh aturan main
yang dinegosiasi, disepakati, dan disetujui para partisipan dalam network tersebut.

4. networks sebagai institusional setting relatif otonom (self organizing) karena tidak bertanggung jawab
kepada negara. Namun, negara secara tak langsung dapat saja mengendalikan networks

Martinez (2011:5-6) mengungkapkan karakteristik yang berbeda. Ia mengemukakan karakteristik


Governnace Networks dalam tujuh poin.

1. Interdependency of actors (interdependensi antar aktor)

Aktor yang terlibat dalam sebuah network terkait satu dengan yang lainnya membentuk suatu pola relasi
yang disepakati demi tujuan bersama. Keterkaitan yang terjadi diantara para aktor tidak berarti kekuasaan
yang sama dapat dimiliki oleh seluruh aktor. Para aktor dalam governance networks bergantung pada
sumber daya dan kapasitasnya, akan tetapi mereka dapat beroperasi secara independen.
2. The necessity of exchange for resources (pertukaran sumber daya)

Keperluan pertukaran sumber daya organisasi adalah penggerak utama pada interaksi diantara para aktor.
Networks diciptakan oleh organisasi yang ingin dan membutuhkan pertukaran sumber daya (contohnya
uang, informasi, dan perusahaan) untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan menghindari
ketergantungan terhadap aktor lain.
3. The interactions (interaksi)

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 327


Para aktor yang betpartisipasi dalam network seringkali bernegosiasi untuk berbagi tujuan layaknya game.
Interaksi tersebut berdasarkan atas kepercayaan dan peraturan yang disetujui para partisipan yang terlibat.
Hal tersebut krusial bahwa proses perundingan disahkan pada proses yang sangat hati-hati agar tercipta
pemahaman dan kepercayaan.
4. Degree of autonomy (tingkat keleluasaan/mandiri).

Governance Networks memiliki tingkat keleluasaan dari negara dan tidak secara langsung
bertangungjawab terhadap negara karena Governance Networks mengacu pada self-organizing dan self-
regulating. Networks dapat mengambil keputusan sendiri berdasarkan peraturan yang telah disepakati.
5. Production of a public purpose (menentukan tujuan publik)

Governance Network berkontribusi untuk menentukan tujuan publik diantaranya mengatur visi misi, nilai,
perencanaan, kebijakan, dan tindakan.
6. Relatively institutionalized framework (framework yang dilembagakan secara relatif)

Terjadinya interaksi adalah framework dari Governance Networks. Kerangka kerja institusional dibangun
oleh pola interaksi para aktor dan kondisi serta pemandu bagi interaksi dimasa depan.
7. Diversity of the actors (variasi para aktor)

Melibatkan lebih dari satu aktor. Aktor tersebut bisa termasuk sektor publik, swasta, atau masyarakat.

Dalam hal ini relasi yang terjadi antara Pemkab Gresik dan SAGAF dalam penyelenggaraan SGA
cukup merepresentasikan karakteristik governance networks. Kedua belah pihak merupakan organisasi yang
mampu berdiri sendiri dan mengorganisir diri, kemudian bekerja bersama dalam kerangka kerja yang telah
dinegosiasikan secara lebih horizontal dan setara. Terjadi interdependensi diantara kedua belah pihak akan
kelangsungan program SGA. Dimana kedua belah pihak bernegosiasi menentukan tujuan publik bersama serta
regulasi yang menjadi acuan dalam bertindak, yang mana pembagian kekuasaan dan kerangka kerja juga
ditentukan secara bersama. Interaksi secara kontinyu dalam keseluruhan pelaksanaan program serta bertukar
sumber daya sesuai kebutuhan dalam penyelenggaraan program. Karakteristik yang diungkapkan menerangkan
bahwa relasi yang terjadi antara Pemerintah kabupaten Gresik dan SAGAF dalam SGA merupakan representasi
sebuah governance network. Seperti yang dinyatakan Martinez (2011:1) bahwa dalam perspektif Governance
Networks, Governance Networks merupakan pijakan yang tepat untuk (kolaborasi) program-program inonatif
atau bersifat invensi dalam sektor publik. Maka SGA merupakan upaya inovatif dalam menanggulangi
permasalahan publik yang terjadi. Merangsang pemerintahan desa untuk melakukan perbaikan dan peningkatan
kualitas pelayanan publik melalui kompetisi.

Selanjutnya, untuk memastikan apakah sebuah network berfungsi dengan baik. Koliba (2011:289)
mengungkapkan beberapa variabel yang perlu menjadi perhatian yaitu modal / sumber daya, model ikatan,
perangkat kebijakan, strategi administratif, struktur akuntablitas dan sistem manajemen kinerja.

METODE KAJIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif merujuk pada obyek alamiah dengan tidak membuat
perlakuan dan menumpulkan data berdasarkan pandangan sumber data sesuai dengan metode naturalistik.

328 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Mengacu pada tujuan dan tingkat kealamiahan, sasaran kajian adalah gejala-gejala sebagai saling terkait satu
sama lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional dan yang keseluruhannya merupakan sebuah satuan yang
bulat dan menyeluruh, dan holistik atau sistemik (Patilima, dalam Sugiyono 2011:5). Penyajian analisis
penelitian ini mendeskripsikan relasi antara para pelaku governance dalam perspektif network berdasarkan
variabel yang dikemukakan oleh Koliba (2011:289). Beberapa variabel yang menjadi perhatian yang meliputi
modal, model ikatan, perangkat kebijakan, strategi administratif, struktur akuntabilitas, dan sistem manajemen
kinerja. Sumber data penelitian diperoleh dari sumber primer yaitu Pemkab Gresik, Staf Sunan Gresik
Foundation, dan aparatur desa penerima award melalui wawancara dan observasi. Sumber data sekunder
diperoleh dari studi literatur dan dokumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penyelenggaannya Sunan Giri Award (SGA) merujuk apa yang dinyatakan Koliba (2011:60)
bahwa governance networks didefinisikan sebagai pola yang relatif stabil atas tindakan terkoordinasi dan
pertukaran sumber daya; melibatkan aktor kebijakan lintas skala sosial yang berbeda, yang diambil dari publik,
swasta, atau sektor nirlaba; yang berinteraksi melalui berbagai kompetisi, komando dan kontrol, kooperatif, dan
aturan yang dinegosiasikan; untuk tujuan berlabuh dalam satu atau lebih aspek dari aliran kebijakan. Maka SGA
merupakan salah satu potret fenomena yang dapat dilihat dari perspektif Governance Networks. Koliba
(2011:289) memaparkan pengetahuan struktural untuk membantu memahami Governance Networks melalui
beberapa variabel yang dapat menjelaskan relasi antaraktor untuk membuat sebuah network. Variabel tersebut
adalah (1) modal, (2) model ikatan, (3) perangkat kebijakan, (4) strategi administratif, (5) struktur akuntabilitas,
(6) sistem manajemen kinerja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel governance networks mampu mereperentasikan relasi
yang terjalin antara Pemerintah Kabupaten Gresik dan The Sunan Giri Foundation (SAGAF) dalam
penyelenggaraan the Sunan Giri Awards (SGA).

Variabel modal menjelaskan kemampuan kedua belah pihak untuk dapat berkontribusi menyertakan
partisipasinya dalam network. modal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan aktor untuk dapat
berkontribusi menyertakan partisipasinya dalam sebuah network SAGAF sebagai foundation yang berbasis
research memiliki kapasitas yang mumpuni dalam bidang intelektual dan ilmu pengetahuan. Dalam
menyampaikan gagasan, mereka menyertakan desain dan gambaran pelaksanaannya kepada Pemerintah
Kabupaten Gresik. Pemerintah Kabupaten Gresik berkontribusi pada aspek modal materi, dimana Pemkab
Gresik menanggung pendanaan SGA sepenuhnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kabupaten Gresik. Selain itu Pemerintah Kabupaten Gresik memiliki kewenangan legalitas yang dapat membuat
penyelenggaraan SGA terstruktur melembaga, serta tepat sasaran. Masing-masing aktor dalam network memiliki
modal mereka sendiri, dimana modal tersebut merupakan landasan bagi kemampuan mereka untuk
berpartisipasi (Koliba, 2011:84). Setiap anggota/partisipan dari sebuah relasi Governance Network, baik dalam
level organisasi, kelompok, maupun individu membawa modal untuk keterlibatannya. Network membuat ikatan
sosial yang terbentuk antara dua nodes (pastisipan) atau lebih bertukar sumber daya dan terlibat dalam aksi
kolektif. Misalnya, dalam perjanjian hibah dan kontrak, pemerintah sebagai lead organization akan membawa
modal financial ke dalam network. Agen yang mendapatkan kotrak akan membawa beberapa kombinasi modal
seperti modal human, knowledge, physical, social, dan culture capital ke dalam network (Koliba, 2011:84).

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 329


Variabel model ikatan menjelaskan relasi yang terjalin melalui sebuah negosiasi untuk berjejaring
dalam sebuah program yaitu SGA dimana kedua belah pihak akan bekerja bersama. Governance networks
memiliki kedudukan fungsi dalam masing-masing bentuknya. Kedudukan fungsi tersebut merupakan kedudukan
fungsi governance network dalam fase proses kebijakan. Berikut adalah macam kedudukan fungsi governance
networks dalam fase proses kebijakan yang diadaptasi dari Bovaird, International Review of Administrative
Science, 71, 217-228, 2005 (Koliba, 2011:122). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diidentifikasi
bahwa formasi relasi diantara kedua belah pihak adalah formasi partnership dimana kedua belah pihak
merupakan mitra kerja. Dalam pelaksanaan kegiatan, dalam hal ini penilaian SGA tidak ada intervensi antara
SAGAF sebagai lembaga swasta dengan pemerintah Kabupaten Gresik. Baik Pemerintah Kabupaten Gresik
maupun SAGAF, memiliki kebebasan dalam melakukan penilaian sesuai dengan mekanisme penilaian masing-
masing. Penentuan nilai juga tergantung pada penilaian yang dilakukan masing-masing pihak tanpa adanya
intervensi dari pihak lain.

Variabel perangkat kebijakan menjelaskan peraturan yang mendasari kedua belah pihak melakukan
aktivitas kerja sesuai dengan fungsi kedudukan tertentu dalam kebijakan yang bersangkutan. Pemilihan
perangkat kebijakan dapat menjadi outcome governance network. Network yang memiliki kedudukan fungsi
pada fase pra kebijakan, berfungsi untuk mempengaruhi penentuan rancangan dari perangkat kebijakan, yang
berkontribusi pada struktur politik sebagai relasi intersektoral (Koliba, 2011:132). Kegiatan yang dilakukan
SAGAF merujuk pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang: Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 7 Tahun 2010 tentang: Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik, Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012 tentang: Pedoman Penilaian Kinerja Unit
Pelayanan Publik. Dasar kebijakan tersebut kemudian dikembangkan menjadi instrumen penilaian mengenai
indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik desa dengan berbagai indicator yang bersangkutan.
Pemerintah Kabupaten Gresik melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan Keputusan Bupati Gresik nomor 065
tahun 2014 tentang penyelenggaraan The Sunan Giri Award.

Variabel Strategi Administratif, Yang dimaksud dengan strategi administratif dalam penelitian ini
adalah koordinasi para aktor untuk dapat mengakses berbagai alat administratif dan strategi yang terdapat pada
network. Dalam perkembangannya, baik paradigma PA maupun NPM serta collaborative public management
berkontribusi untuk penentuan strategi administratif koordinasi governance networks. Paradigma sebelumnya,
berkombinasi membentuk sebuah kerangka baru dalam governance network management (Koliba, 2011:190).
Koliba merancang gagasan strategi koordinasi tersebut dalam konteks pengelolahan jaringan pemerintahan
melalui paradigma dan teori yang terdapat dalam administrasi publik yang menitikberatkan interdependensi.
Melalui interdependensi, network mengkoordinasikan strategi para aktor dengan tujuan dan preferensi yang
berbeda berkaitan dengan masalah atau ukuran kebijakan tertentu yang ada dalam relasi antaorganisasi network
(Klijn, dan Koppenjan 1997 dalam Koliba, 2011:196). Strategi Administratif dalam penelitian program SGA
dilaksanakan memalui: a). Pengawasan dan Mandat; Penilaian dilakukan melalui tim penilai yang terdiri dari
tim penilai Pemerintah Kabupaten Gresik dan tim penilai SAGAF. Kedua tim penilai memiliki ranah kerja
masing-masing dan tidak saling mengintervensi. Penyediaan Sumber Daya; Seluruh keperluan untuk melakukan
survey dan penilaian dipersiapkan oleh kedua belah pihak masing-masing. Jadwal keberangkatan survey
ditentukan dengan desa mana yang dituju, b). Negosiasi dan Tawar-Menawar; Dalam pelaksanaan survey
dilakukan diskusi dengan kedua belah pihak yang bekerjasama, yakni Pemerintah Kabupaten Gresik dan

330 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


SAGAF. Negoisasi mendiskusikan mengenai alur dan mekanisme survey yang akan dilakukan, penentuan
obyek sasaran, kriteria survey, alur dan mekanisme survey, berapa jumlah obyek sasaran, bobot penilaian, dan
berbagai kemungkinan yang terjadi di lapangan. Dengan demikian kedua belah pihak mengetahui gambaran
survey yang akan dilakukan dan menguatkan kepercayaan kedua belah pihak dalam kerjasama tersebut, c).
Fasilitasi; Hasil wawancara dengan narasumber menunjukan bahwa faslitasi pemerintah daerah kabupaten
Gresik dalam program ini diwujudkan dalam penyediaan dan akses data dan informasi yang dibutuhkan. Semua
hal tersebut pada akhirnya menjadi sarana menyatukan hasil penilaian untuk menentukan pemennag SGA, d).
Partisipasi Masyarakat; untuk mendukung partisipasi, pemerintah Kabupaten Gresik memberikan kesempatan
kepada kecamatan untuk mengirimkan desa/kelurahan yang memenuhi syarat administrative untuk diusulkan
untuk mengikuti kompetisi SGA. Pemerintah Kabupaten Gresik akan menentukan desa terpilih berdasarkan
kriteria yang ditetapkan. Seleksi administratif awal berupa penyertaan dokumen-dokumen seperti RPJMDes,
perdes, surat-menyurat, rekapitulasi data pengaduan, dan laporan keuangan termasuk Alokasi Dana Desa
(ADD). Kemudian ditentukan desa-desa yang memiliki dokumen administratsi terbaik untuk menjadi nominator
SGA dan, e). Sistem berpikir; Pemerintah Kabupaten Gresik mapun pihak SAGAF memiliki visi untuk terus
mengembangkan SGA. Konsep berpikir dalam Program inovatif tersebut berkemungkinan untuk direplika
secara nasional, hal tersebut terlihat ketika Bupati Gresik berkesempatan untuk mempresentasikan keberhasilan
SGA sebagai program inovatif ikon pelayanan publik tingkat desa di hadapan kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara.

Variabel struktur akuntabilitas menjelaskan pertanggungjawaban kedua belah pihak akan kinerja
mereka dalam netwok kepada network maupun otoritas yang lebih tinggi dari kedua belah pihak. Seperti yang
dinyatakan Koliba (2011:196) bahwa gagasan strategi koordinasi menitikberatkan interdependensi, maka
penyelenggaraan SGA dapat mengidentifikasi interdependensi anataraktor dalam network untuk berkoordinasi
sesuai dengan strategi administratif sehingga akuntabilitas demokratik dan administratif tetap berada pada
konfigurasi Governance Networks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa aktor
berkoordinasi secara optimal untuk dapat mengakses berbagai alat administratif dan strategi yang terdapat dalam
network. Kedua belah pihak terlibat dan dapat mengakses seluruh informasi dan kewenangan yang diberikan
pada masing-masing pihak tanpa adanya intervensi. Sehingga network dapat berjalan dengan baik. Kedua belah
pihak bersama-sama mensukseskan penyelenggaraan SGA hingga tercapainya tujuan utama yakni peningkatan
kualiats pelayanan publik tingkat desa terlihat hasilnya.

Variabel sistem manajemen kinerja menjelaskan monitoring terhadap kinerja kedua belah pihak dalam
network pada keseluruhan rangkaian program. Manajemen kinerja adalah penunjang sebuah network untuk
dapat memastikan bahwa keseluruhan program berjalan dengan baik. Seperti yang dinyatakan Koliba
(2011:266) analisis terhadap komponen sistem manajemen kinerja harus digunakan oleh para pembuat
kebijakan dan pengambil keputusan untuk memandu tindakan kolektif. Maka penyelenggaraan SGA juga tidak
terlepas dari sistem manajemen kinerja para partisipan network dalam memastikan bahwa keseluruhan
rangkaian program SGA terselenggara dengan baik. SGA merupakan program dimana jalinan relasi antara
Pemkab Gresik dan SAGAF telah terjalin. Bagaiamana memaksimalkan relasi tersebut agar terintregrasi positif
dan mendapatkan hasil maksimal. Memerlukan variabel-variabel tertentu yang menjadi perhatian dimana
variabel-variabel tersebut dapat merepresentasikan bagaimana relasi jaringan dalam governance networks dapat
berfungsi dan bekerja dengan baik. Koliba mengemukakan serangkaian pengetahuan struktural yang dapat

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 331


menjadi pemandu untuk memahami governance networks, dimana variabel yang dikemukakan berisikan tentang
komponen perencanaan yang dapat menjelaskan proses negosiasi antaraktor serta ketentuan-ketentuan
pelaksanaan yang dapat menjelaskan integrasi antaraktor. Bukan hanya itu, akuntabilitas terhadap realisasi dari
perencanaan yang telah disepakati bersama menambahkan luasnya deskripsi terhadap relasi yang terjalin. Oleh
sebab itu, penulis menggunakan poin pertama dari pengetahuan struktural yang dikemukakan oleh Koliba
sebagai pisau analisis untuk menelaah relasi yang terjalin antara Pemkab Gresik dan SAGAF dalam program
SGA.

Kejelasan tujuan merupakan komponen penting untuk dapat memastikan program akan terarah sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada penyelenggaraan SGA, kedua belah pihak baik Pemerintah Kabupaten
Gresik dan SAGAF menetapkan arah tujuan akhir pada peningkatan kualitas pelayanan publik di tingkat desa.
Sehingga alur kerja network dalam penyelenggaran SGA adalah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
bersama. Komponen kedua adalah standar kerja, hasil penelitian ini menujukan bahwa Kedua belah pihak bebas
melaksanakan pekerjaan tanpa harus ada intervensi dari pihak lain. Keduanya menyelenggarakan penilaian
sendiri sesuai dengan standar kerja dan mekanisme masing-masing. Komponen Manajemen kerja yang ketiga
adalah Ketersediaan dan aksesibilitas data. Walaupun partisipan bekerja berdasarkan mekanisme masing-masing
tanpa adanya intervensi pihak lain, data dan aliran informasi harus tersedia dan dapat diakses oleh seluruh
partisipan network. Dalam penyelenggaraan SGA, baik Pemerintah Kabupaten Gresik maupun SAGAF dapat
mengakses segala informasi dan data yang terdapat sekitar kebutuhan penyelenggaraan SGA. Rapat koordinasi
yang dilakukan selama penyelenggaraan SGA termasuk pembicaraan yang tidak terstruktur. Pola kerja tersebut
memastikan ketersediaan data serta aksesibilitasnya untuk seluruh partisipan network. Temuan-temuan di
lapangan juga diinformasikan sebagai bahan feedback bagi pemerintah desa melakukan perbaikan dan
peningkatan kualitas pelayanan publik.

KESIMPULAN

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa praktek governance dalam The Sunan Giri Award (SGA) di
kabupaten Gresik cukup berhasil mencapai tujuannya yaitu meningkatkan kualitas pelayanan publik di tingkat
desa. Keberhasilan tersebut ditentukan oleh network yang berfungsi dengan baik, yang ditunjukkan oleh adanya
variabel modal, model ikatan, perangkat kebijakan, strategi administratif, struktur akuntablitas dan sistem
manajemen kinerja yang memadai. Relasi yang terjalin antara Pemerintah Kabupaten Gresik dan SAGAF dalam
penyelenggaraan SGA menggunakan perspektif Governance Networks.

a. Variabel modal, masing-masing pihak memiliki modal yang menjadi kebutuhan network. Modal
tersebut dapat memenuhi kebutuhan untuk dibentuknya network dan menjalankan kerja network sesuai
dengan orientasi pencapaian tujuan. Modal yang dimiliki masing-masing disatukan dalam kemampuan
network untuk mencapai tujuan. Penggabungan modal dalam network dapat meningkatkan nilai
maksimum ketercapaian tujuan dibandingkan dengan masing-masing pihak bekerja sendiri
menggunakan modal yang dimilikinya sendiri.

b. Variabel Model Ikatan, model ikatan yang terbentuk terstruktur berdasarkan kontrak perjanjian dan
menempatkan Pemerintah Kabupaten Gresik sebagai pihak yang mengambil alih pimpinan network
(lead organization). Network berkedudukan sebagai implementasi pelayanan publik dimana network

332 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik. Hal tersebut memunculkan formasi partnership dalam
relasi keduanya, dimana kedua belah pihak adalah mitra kerja yang bebas melakukan pekerjannya
tanpa intervensi, akan tetapi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak
perjanjian.

c. Variabel Perangkat Kabijakan, kontrak perjanjian dan keputusan Bupati merupakan input dalam
network yang menjadi dasar bagi kedua belah pihak melakukan pekerjaannya. Perangkat kebijakan
tersebut menentukan bagaimana kewenangan di distribusikan, dan pada saat tertentu, bagaimana
sumber daya di distribusikan. Perangkat kebijakan yang digunakan kedua belah pihak untuk menjadi
acuan dalam melakukan pekerjaan merupakan outcome yang dihasilkan dari Governance Networks
yang terbentuk.

d. Variabel Strategi Administratif, kedua belah pihak berkoordinasi optimal untuk terlibat dan dapat
mengakses seluruh informasi dan kewenangan yang diberikan pada masing-masing pihak tanpa adanya
intervensi. Interdependensi kedua belah pihak untuk berkoordinasi sesuai dengan strategi adminsitratif
dimanfaatkan secara optimal.

e. VariabelAkuntabilitas, pertanggungjawaban berupa laporan akhir kepada network dan otoritas yang
lebih tinggi dari kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan kontrak perjanjian. Laporan tersebut juga
dapat menjadi bahan penguat kepercayaan dan daya tahan relasi network yang terjalin untuk
memperbaiki relasi network kedepannya.

f. Variabel Sistem Manajemen Kinerja, kedua belah pihak melakukan manajemen kerja yang terstruktur
sistematis dalam memastikan bahwa keseluruhan rangkaian program network, yakni SGA terselenggara
dengan baik. Alur kerja menjadi terarah sesuai dengan orientasi pencapaian tujuan.

Dari apa yang dikemukakan, relasi kedua aktor dalam penyelenggaraan SGA
merepresentasikan relasi dalam Governance Networks. Dimana Governance Networks sendiri
merupakan model pemerintahan yang merujuk pada sifat horizontal dan kesetaraan dalam negosiasi
regulasi yang mengatur hubungan bersama oleh lebih dari satu aktor yang berinterdependensi satu
sama lain dan berkemampuan untuk self-organizing atau self-governing dalam mewujudkan tujuan
publik bersama. relasi tersebut berjalan dengan baik, sehingga network berjalan dengan baik. dan pada
akhirnya, Governance Networks dapat diterapkan dan berhasil mencapai tujuan.

Berdasarkan beberapa temuan kelemahan terhadap kegiatan tersebut, peneliti


merekomendasikan beberapa masukan bagi praktisi network yang terlibat dalam penyelenggaraan SGA
:

1. Variabel Perangkat Kebijakan, penyelenggaraan SGA dilembagakan secara tetap dalam produk
kebijakan di level pemerintahan daerah. Untuk mendukung kebijakan perlu menyertakan instrumen
yang dipakai, hasil kolaborasi dan modifikasi antara Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik dan Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja
Unit Pelayanan Publik menjadi sebuah instrument penilaian baru yang akhirnya dipakai dalam
melaksankaan penilaian. Agar mempermudah penilaian di lapangan.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 333


2. Pada Variabel struktur akuntabilitas, Penyusunan laporan kegiatan perlu dibuat lebih rinci untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dan hambatan-hambatan tertentu dalam penyelenggaraan kegiatan
SGA.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2009. Peenlitian kualitatif: komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu

social lainnya. Jakarta: Kencana

Borgatti, Stephen P. and Halgin, Daniel S. 2011. ―On Network Theory‖. Organization

Science Article in Advance, pp. 1-14 ISSN 1047-7039 EISSN 1526-5455

Chalik, Abdul dan SAGAF. 2015. Pelayanan Publik Tingkat Desa. Perubahan dan

Pengalaman Desa-desa di Kabupaten Gresik. Gresik: SAGAF dan Bagian Ortala

Setda Kabupaten Gresik

Donaldson, Thomas dan Lee E. Preston. 1995. ―The Stakeholder Theory of The Corporation: Concepts,
Evidence, and Implications. The Academy of Management Review, Vol.20, No. 1,

pp. 65-91

Frederickson, H. George. 1997. The Spirit of Public Administration. California:Jossey-Bass

Goldsmith, Stephen and Eggers, William D. 2004. Governing by Network. Washington DC:

Brookings Institusion Press

Gustia, Anindia. 2014. Pola Relasi Kuasa antara Negara, NGO, dan Masyarakat dalam Pos

Pemberdayaan Keluarga (posdaya) untuk Mengatasi Kemiskinan. Skripsi tidak

diterbitkan. Yogyakarta: Universistas Gajah Mada.

Katz, Nancy. 2004. ―Network Theory and Small Groups‖. Small Group Research, Vol. 35

No. 3, june 2004 p. 307-332 oleh Sage Publication

Keast, Robyn and Mandell, Myrna and Brown, Kerry and Woolcock, Geoffery. 2004

―Network Structures: Working Differently And Changing Expectations‖. Public

Administration Review 64(3):pp. 363-371.

Klijn, EH. 1999. ―Policy Networks; An Overview‖ dalam Kickert and Koppenjan (ed)

Managing Complex Network; Strategies for Public Sector: A theoretical study of

Managemnt strategies in policy network. Public Administration volume 73, Issue 3,

pages 437-454, September 1995

334 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Koliba, Christopher; Jack W. Meek; Asim Zia. 2011. Governnace Networks in Public
Administration and Public Policy. Boca Raton (USA): CRC press
Nike Qisthiarini, Nike. 2012. NGO dan Suatainable Development: Peran Wetlands

International – Indonesia Programme dalam Merehabilitasi Ekosistem Pesisir dan

Mengembangkan Mata Pencaharian di Aceh – Nias tahun 2005-2009 (Proyek Green

Coast). Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia

Keputusan Bupati Gresik nomor 065 tahun 2011 tentang pembentukan tim fasilitasi The

Sunan Giri Awards

Lay, Cornelis dan Maudi, Wawan. 2005. ―Perkembangan Kajian Ilmu Pemerintahan‖. Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 9, Nomor 2, November 2005 (225-240)

Laporan Akhir Kegiatan Kompetisi Pelayanan Publik oleh Bagian Organisasi dan Tata

Laksana Sekretariat Daerah Kabupaten Gresik tahun 2014

Martinez, Laia. 2011. ―Governance Networks as Collaborative platforms for Innovation in

the Public Sector. Network Governnace: Theories, Methods, and practice. RUC

October 2011 p. 1-13

Osborne, Stephen P. (ED) 2010. The New Public Governance ?. New York: Routledge

Pollit, Christopher and Bonckaert, Geert. 2011. Public Management Reform. New York:

Oxford University Press

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Rahardja, Sam‘un Jaja. 2009. ―Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen

kebijakan Sektor Publik pada Pengelolahan Sungai‖. Bisnis dan Birokrasi, Jurnal

Ilmu Administrasi dan Organisasi Volume 16, Nomor 2, Mei-Agustus 2009. Hal 82-

86

Resi, Andrianus. 2009. ―Interaksi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat

dalam Pembangunan pada pemberdayaan masyarakat pesisir di Muncar

Banyuwangi‖. Jurnal Wacana Vol. 10 No. 1 Januari 2009

Thoha, 2012. Birokrasi Politik. Jakarta: PT RajaGrafind

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 335


Mewujudkan Administrator Publik Yang Beretika Dalam Perspektif
Administrasi Islam Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (Studi Kasus
Di Kantor Badan Promosi Dan Pelayanan Terpadu)

Afrinaldy Rustam, Rodi Wahyudi

Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial,

Jurusan Administrasi Negara

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia

Tel: +62-812 769 3278

E-mail: ocu_1974@yahoo.com

Abstract: All aspects of life have been arranged in the teachings of Islam, including how public administrators
ethics when working in government offices. Realising administrator religious is the hardest challenge in the era
of bureaucratic reform. Employees who are religious are expected to prevent them from violations of code of
ethics and sin. The issue is how the local government efforts in implementing the bureaucratic ethics based on
Islamic values in Bengkalis, Riau province, especially in the office of Promotion Board and Integrated Services?.
This study was undertaken to examine the behavior of employees of religious observance and its relationship
with the mind set of employees in providing services to the public. This research was carried out at the office of
Promotion Board and Integrated Services, Bengkalis, Riau Province. The method has been used in this study is
distributing questionnaires to 55 employees. The results showed that there was a significant correlation between
religious observance with the mind set of employees (r=.424**). Value r positive indicates which means that the
higher stages of the religious devotion of employees, the better the mind set of employees in providing services
to the public. Conversely the lower stage of religious observance, the employee will be bad mind set of
employees in providing services to the public.

Key words: bureaucracy, ethics, Islamic, public services.

Kategori: Pembangunan Inovasi Pelayanan Publik

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan bernegara, administrator publik menjadi aktor yang berperan sangat penting dalam
penyelenggaraan tugas pemerintah. Pelayan publik memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi pelayanan, fungsi
pembangunan dan fungsi pemberdayaan masyarakat, dimana masalah etika pelayan publik menjadi persoalan

336 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


besar dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang bersih. Berbagai tindakan penyelewengan yang melanggar
etika dapat dijumpai di mana-mana, penyebabnya karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip etika dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan
moral yang akan memberikan kesadaran tentang bagaimana manusia mempertangungjawabkan perbuatannya di
dunia yang sementara dan di akhirat yang kekal abadi. Untuk administrator publik, etika diperlukan sebagai
pedoman dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Ahmad Kilani & Mohd Ismail (2004), kesedaran spiritual keagamaan atau lebih di kenali
sebagai keyakinan agama adalah antara faktor penting yang perlu dimiliki oleh seorang individu supaya dapat
menghindarkan diri daripada melakukan perkara-perkara yang berdosa. Tujuan hidup yang tidak bertentangan
dengan kehendak agama hendaklah dipupuk dengan mendalam dalam diri mereka.Ini karena agama dapat
membantu mencapai kejayaan dan kebahagiaan hidup. Suasana hidupnya amalan agama dapat mempengaruhi
tingkahlaku dan sikap pegawai pemerintah, apakah ke arah positif atau negatif. Memang, persoalan besar dalam
birokrasi pemerintah hari ini adalah akibat dari kurangnya kesedaran agama. Apabila kesedaran agama ini
semakin berkurang, maka akan berakibat pada keruntuhan akhlak yang akan melahirkan administrator publik
yang melanggar norma agama dan norma masyarakat itu sendiri.

Reformasi birokasi dalam rangka mewujudkan tata pemerinatahan yang baik di Indonesia tanpa diiringi
oleh kesadaran agama yang dalam konteks Islam disebut dengan kecerdasan tauhid (tauhidic quotiens), akan
membawa kerendahan budi dan adab terutama dalam kalangan pegawai pemerintah. Maka dalam tuntutan
agama, antara pihak yang bertanggungjawab menanamkan nilai agama tersebut adalah pemimpin, ulama dan
masyarakat. Apabila di antara unsur-unsur masyarakat tersebut mengabaikan dan tidak peduli pada perilaku dan
akhlak pegawai pemerintah, maka dengan sendirinya akan terlahirlah pegawai pemerintah yang bermasalah.
Dalam konteks Indonesia dengan mayoritas rakyatnya beragama Islam.

Maka salah satu tugas yang terpenting pihak pemerintah pusat dan daerah adalah menghubungkan
pegawai pemerintah dengan suatu kesedaran yang mendalamtentang agama mereka. Kesedaran yang mendalam
tentang agama adalah bermaksud hubungan simbiosis yang mendalam antara pengetahuan, sikap dan
tingkahlaku manusia yang akan membuahkan penyelesaian masalah yang cerdas untuk diri dan
persekitarannnya. Sebagaimana yang diketahui, rendahnya kualitas pelayanan publik adalah produk dari mental
pegawai pemerintah yang belum baik dan bertambah rusak akibat dari lingkungan kerja yang buruk. Menurut
Muhammad Ali al-Hashimi 1997 (dalam Ahmad Kilani & Mohd Ismail 2004) bahwa manusia memerlukan
agama untuk dijadikan pegangan hidup untuk memastikan mereka tidak melanggar batas perikemanusiaan, adab
serta tatasusila hidup bermasyarakat.

Maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung pada baik buruknya pelaksanaan adminsitrasi
negara.Baik buruknya pelaksanaan adminsitrasi negara amat bergantung pada kualitas kerja pegawai pemerintah
dan tidak ada perkarapada abad modern sekarang ini yang lebih penting daripada memperbaiki pelaksanaan
adminsitrasiNegara oleh administrator publik. Kelangsungan hidup pemerintahan yang beradab dan malahan
kelangsungan hidup dari peradaban itu sendiri akan sangat bergantung kepada usaha membina falsafah
adminsitrasi yang mampu memecahkan masalah-masalah masayarakat modern (Charles A. Bead, dalam
Wirman Syafri Sailiwa 2012). Oleh karena itu, pembangunan suatu negara dan daerah akan berhasil apabila
pembangunan itu didukung oleh pegawai yang profesional dan amanah. Hampir seluruh program pembangunan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 337


tidak bisa lepas dari peran pegawai dalam mensukseskannya.Sehubungan itu perbaikan pelayanan publik adalah
satu perkara yang tidak bisa dianggap remeh. Buruknya pelayanan publik akan memberikan dampak yang luas
dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama.

Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang kental dengan ciri khas
adat dan nilai melayu yang sangat identik dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, kajian ini dijalankan untuk
mengetahui bagaimana wujudnya nilai-nilai Islam dalam etika birokrasi di Kabupetan Bengkalis khususnya di
Kantor Badan Promosi Dan Pelayanan Terpadu.

PERSOALAN PENELITIAN

Isu yang berkaitan kualitas pelayanan publik yang sering muncul dalam perbincangan di peringkat
nasional dan daerah adalah sudahkah pihak pegawai pemerintah sebagai pemberi jasa pelayanan publik
melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan standar etika Islam ?. Jadi dalam penelitian ini masalah
yang menjadi fokus penelitian adalah, sudahkah pihak pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis berusaha
menyusun dan melaksanakan program kearah wujudnya perilaku birokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam.

KEPENTINGAN ETIKA BIROKRASI DALAM ISLAM

Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani, yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.
Etika merupakan usaha mencari ukuran baik-buruknya tingkah laku manusia. Menurut Chandler &Plano (1988),
dalam etika terdapat empat aliran utama yaitu (1) empirical theory, berpendapat bahwa etika diturunkan dari
pengalaman manusia dan persetujuan umum, (2) rational theory, berpendapat bahwa baik dan buruk sangat
tergantung dari logika, (3) intuitive theory, berasumsi bahwa etika tidak harus berasal dari pengalaman dan
logika tetapi dari manusia secara alamiah memiliki pemahaman tentang apa yang baik dan buruk, (4) relevation
theory berasumsi bahwa yang benar dan salah berasal dari kuasa Tuhan, dengan kata lain apa yang dikatakan
dalam kitab suci menjadi rujukan utama dalam memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.

Dalam hubungan antara etika dengan pelayanan publik, Keban (2001) menyatakan bahwa tujuan etika
pelayanan publik adalah memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan harapan masyarakat, bahkan jika
perlu melebihi harapan masyarakat. Etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi dan pelayanan publik
oleh para birokrat untuk dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dan apa
yang harus ditinggalkan. Oleh karena itu perilaku pelayan publik akan mempengaruhi bukan hanya dirinya,
tetapi juga masyarakat yang menerima pelayanan.

Menurut Afif Hamka, Azima & Suhana (2011) bahwa nilai-nilai etika yang seharusnya dijadikan
sebagai pedoman yaitu efisiensi, dapat membedakan antara milik peribadi dengan milik negara,
bertanggungjawab dengan tugas yang diamanahkan dan memiliki rasa empati terhadap keluhan, masalah dan
aspirasi masyarakat dengan cepat dengan berusaha memenuhi, tidak menunda-nunda waktu dalam pelayanan.

Agama memiliki fungsi mendidik, fungsi penyelamatan, fungsi pemersatu, fungsi mengubah dan
fungsi pemecahan masalah dalam dimensi pembangunan.Berbagai fungsi itulah yang saling bertukar peranan

338 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


sesuai dengan situasi dan kondisi sosial yang dihadapi. Berangkat dari pentingnya peranan agama dalam
pembangunan nasional, maka pembangunan agama sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan
nasional lainnya. Pembangunan Agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai
landasan moral dan etika dalam administrai publik, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai
prestasi dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Hal ini secara jelas
dinyatakan dalam Undang‐Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005‐2025. Dalam tuntutan agama semua pihak bertanggungjawab menanamkan nilai agama termasuk
masyarakat, pemimpin dan ulama. Apabila di antara pihak tersebut mengabaikan dan tidak peduli pada perilaku
dan akhlak pegawai publik, maka dengan sendirinya akan semakin ramai administrator publik yang
bermasalah.

Menurut Shuriye, Abdi Omar & Jamal Ibrahim, Daoud (2010), secara konseptualkualitas adalah
prestasidan karakter yang unggul. Bagi seorang penganut agama Hindu, Kristen, Budha atau Muslim, maka
ajaran agama akan mempengaruhitahapkualitidalam melakukan pekerjaan. Oleh itu, ajaran agama adalah salah
satu instrumentyang membentukdan membimbing manusia untuk mencapai dan melakukan pekerjaan dengan
lebih baik,jika manusia mematuhi ajaran agama dan mentaati ajaran agama yang berhubungan dengan
pekerjaannya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Abdun Noor (2007) yang menyatakan bahwa dalam
meningkatkanperanan pemerintahterhadap masyarakatmodern, aspek kualitas dalam manajemen
birokrasidalambidang sosial dan ekonomi telah menjadi satu aspek yang diberi penekanan. Ketika membuat
keputusanyang menyangkut tentang kepentingan publiksenantiasamenghadapi dua situasiyang berlawanan iaitu
apakahbekerja untukkepentingan peribadidan golonganatau untuk kepentingan publik. Oleh karena itu,untuk
menjagatingkahlakuadministrator publik sesuai dengan kepentingan publik, maka etika daripadaadministrator
publik menjadiprinsip utama dalamadministrasi publik. Asas utama untuk mencapaikeseragamandalam tingkah
laku manusiamengenainilai kebaikan dan keburukan hanya bisa dicapai dari ajaran agama.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dijalankan dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasus adalah
suatu metode penelitian yang komprehensif mengenai suatu unit sosial, seperti orang perseorangan, suatu
kelompok, suatu institusi sosial, sebuah daerah atau komunitas. Fokus penelitian lebih mengacu kepada usaha
meneliti sejauhmana prinsip etika pelayanan Islam telah wujud di kalangan pegawai pemerintah Kabupaten
Bengkalis. Penelitian ini dijalankan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Metode ini
dipilih kerana dapat memberikan data secara kuantitatif dan bisa dianalisis secara efektif. Adapun populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Badan Promosi dan Pelayanan Terpadu di Kabupetan Bengkalis
yang terlibat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini menggunakan satu set kuesioner
yang terbahagi kepada 4 bahagian. Bahagian pertama terdiri daripada maklumat latar belakang responden,
manakala bahagian kedua terdiri daripada skala ketaatan beragama yang terdiri 29 item pernyataan yang berasal
dari Psikososial Islam Khairil Anwar dan Khaidzir (2009). Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan
inferensi. Analisis Statistik inferensi menggunakan korelasi Pearson dalam nilai p<0.05. Data dianalisis dengan
menggunakan SPSS versi 20.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 339


HASIL PENELITIAN

Dalam tabel di bawah menunjukkan bahwa responden laki-laki sebanyak 26 orang (47.3 %) dan
perempuan sebanyak 29 orang (52.7 %).Responden berumur 30 tahun ke bawah sebanyak12 orang (21.8 %),
umur 31-40 tahunsebanyak26 orang (47.3 %), umur 41 tahun ke atas sebanyak17 orang (30.9 %).

Tabel 1. Frekuensi Jenis Kelamin, Umur, Lama Bekerja, Status Perkawinan dan Status Pekerjaan Responden

Demografi Responden N %

Jenis Kelamin Laki-laki 26 47.3

Perempuan 29 52.7

Umur Umur 30 tahun ke bawah 12 21.8

Umur 31-40 tahun 26 47.3

Umur 41 tahun ke atas 17 30.9

Lama Bekerja Kurang dari 10 tahun 13 23.6

10-15 tahun 27 49.1

16 tahun ke atas 15 27.3

Status Menikah 48 87.3


Perkawinan
Bujang 7 12.7

Status Pegawai Negeri Sipil 48 87.3


Pekerjaan
Pegawai Honorer 7 12.7

Jumlah 55 100.0

Responden bekerja kurang dari 10 tahun sebanyak 13 orang (23.6 %), 10-15 tahun sebanyak27 orang
(49.1 %) dan 15 tahun ke atas sebanyak 15 orang (27.3 %). Responden telah menikah sebanyak48 orang (87.3
%) dan bujang sebanyak 7 orang (12.7 %). Responden Pegawai Negeri Sipil sebanyak 48 orang (87.3 %) dan
Pegawai Honorer sebanyak 7 orang (12.7 %).

340 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Tabel 2. Frekuensi Golongan, Tahap Pendidikan, Pendapatan Perbulan, Pernah Mendapat Pendidikan Agama
dan Jumlah Tanggungan

Demografi Responden N %

Golongan Golongan IIA-IID 2 3.6

Golongan IIIA-IIID 19 34.5

Golongan IVA-IVE 21 38.2

Pegawai Honorer 6 10.9

Tingkat Sekolah Menengah Atas 20 36.4


Pendidikan
Akademi/Diploma 7 12.7

S1 28 50.9

Pendapatan Rp 2.000.000 ke bawah 19 34.5


Perbulan
Rp 2.100.000-Rp
30 54.5
4.000.000

Rp 4.500.000 ke atas 6 10.9

Pernah Ya 5 9.1
Mendapat
Pendidikan Tidak 50 90.9
Agama

Jumlah Tidak ada tanggungan 22 40.0


Tanggungan
1-2 orang 17 30.9

Lebih dari 2 orang 16 29.1

Jumlah 55 100.0

Dalam table di atas menunjukkan bahwaresponden Golongan IIA-IID sebanyak2 orang (3.6 %),
Golongan IIIA-IIID sebanyak19 orang (34.5 %), Golongan IVA-IVE sebanyak21 orang (38.2 %) dan Tiada
Golongan (Pegawai Honorer) sebanyak 7 orang (12.7 %).Responden tamatan Sekolah Menengah Atas
sebanyak20 orang (36.4 %), Akademi/Diploma sebanyak7 orang (12.7 %), S1sebanyak28 orang (50.9
%).Kebanyakan pendapatan perbulan adalah Rp 2.100.000-Rp 4.000.000 (54.5 %), 50 orang (90.9 %) tidak
pernah mendapat pendidikan agama formal dan yang memiliki tanggungan lebih dari 2 orang sebanyak 16 (29.1
%).

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 341


Tabel 3. Uji Frekuensi Ketaatan Beragama

No. Ketaatan Beragama Mean SD

1. Saya membaca al-qur‘an setiap hari 3.36 1.02

Saya melaksanakan semua shalat fardhu


3.12 1.13
2. secara berjama‘ah

Saya puasa sunat senin kamis setiap


2.96 1.29
3. minggu

Saya melaksanakan shalat dhuha setiap


2.50 1.10
4. hari

5. Saya sholat tahajjud tiap malam 2.83 1.24

saya shalat dua raka‘at (tahyatul masjid)


3.34 1.25
6. ketika masuk ke masjid

saya melaksanakan shalat tarawih dan


3.54 1.18
7. witir di bulan ramadhan

Saya pergi ke mesjid mendengarkan


3.70 1.10
8. ceramah agama

saya menunggu masuknya waktu shalat


3.49 1.23
9. fardhu

Saya melaksanakan shalat sunat rawatib


2.94 1.16
10. sebelum atau selepas shalat fardhu

Saya mengucapkan alhamdulillah habis


4.41 1.19
11. bersin

Saya membaca bismillah setiap memulai


4.49 1.06
12. pekerjaan

Saya mengucapkan asslamualaikum di


4.54 1.06
13. saat pergi dan masuk rumah

Saya mengambil air wudhu‘ setelah saya


3.72 1.67
14. buang air kecil dan besar

Saya menjawab bacaan azan yang


3.76 1.42
15. dikumandangkan

16. Saya mendoakan ibu bapa selesai sholat 4.49 1.16

342 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Saya membaca subhanallah,
alhamdulillah dan allahu akbar 33 kali 4.07 1.35
17. selesai shalat fardhu

Saya membaca innalillahi


wainnailaihiraji‟un mendengar 4.50 1.06
18. kemalangan

19. Saya bersedekah 4.01 1.07

Saya tersenyum berjumpa dengan setiap


4.29 1.21
20. orang, kerana tersenyum adalah sedekah

21. Saya membaca doa ketika akan tidur 4.27 1.19

Saya makan dan minum dengan tangan


4.52 1.06
22. kanan

Saya makan dan minum dengan cara


4.45 1.13
23. duduk

Saya masuk masjid dengan kaki kanan


4.41 1.11
24. dan keluar kaki kiri

Saya memakai baju dan sepatu dimulai


4.30 1.15
25. dari sebelah kanan

Saya masuk WC dengan kaki kiri dan


4.18 1.20
26. keluar dengan kaki kanan

27. Saya tidak buang air kecil sambil berdiri 4.21 1.24

saya makan ketika lapar dan berhenti


4.29 1.13
28. sebelum kekenyangan

saya bangun dan makan sahur ketika


4.52 1.11
29. berpuasa

Dalam tabel di atas juga memperlihatkan uji deskriptif ketaatan beragama dengan nilai mean yang
paling tinggi adalah Saya mengucapkan asslamualaikum di saat pergi dan masuk rumah (Min=4.54), Saya
makan dan minum dengan tangan kanan (Min=4.52) dan saya bangun dan makan sahur ketika berpuasa
(Min=4.52), sedangkan nilai mean yang paling rendah adalah item Saya melaksanakan shalat dhuha setiap hari
(Min=2.50) dan Saya sholat tahajjud tiap malam (Min=2.83), seperti dalam gambar dibawah ini.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 343


Ketaatan Beragama
5

4.5

3.5

2.5

KB1
KB2
KB3
KB4
KB5
KB6
KB7
KB8
KB9
KB10
KB11
KB12
KB13
KB14
KB15
KB16
KB17
KB18
KB19
KB20
KB21
KB22
KB23
KB24
KB25
KB26
KB27
KB28
KB29
Tabel 4. Uji Frekuensi Mind Set Pegaw

No. Mind Set Pegawai Mean SD

1. Sehubungan dengan sifat dan tugas saya


sebagai pelayan masyarakat, maka 3.45 1.06
masyarakat memiliki hak terhadap diri saya

2. Saya akan mengambil kebijakan yang


terbaik walaupun bertentangan dengan 2.03 1.13
arahan atasan dan peraturan

3. Saya merasa malu kepada diri saya sendiri,


walaupun masyarakat kecewa kepada 3.76 1.15
pelayanan pegawai lain

4. Walaupun saya sebagai pelayan


masyarakat, saya juga wajar memiliki 1.89 .59
kehidupan lebih mewah dan sejahtera

5. Walaupun tugas saya adalah bersifat


birokrasi, namun campur tangan politik
2.09 1.07
diperlukan untuk meningkatkan sistem
pelayanan masyarakat

6. Sebagai pelayan masyarakat, tugas saya


hanya melayani aspek administrasi,
2.10 .97
sementara pelayanan informasi diusahakan
sendiri oleh masyarakat

7. Walaupun pandangan masyarakat melihat


rendah kualitas pelayanan, namun saya
3.85 1.29
yakin saya mampu untuk mengubah
pandangan tersebut

344 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


8. Memenuhi keperluan masyarakat dan
keperluan diri saya sendiri haruslah 3.45 1.13
diseimbangkan

9. Walaupun saya tidak mampu melayani


masyarakat dengan maksimal, namun dapat
4.16 1.33
disempurnakan dengan menunjukkan sifat
ramah dan rendah hati kepada masyarakat

10. Kalau atasan saya sendiri melakukan


pelanggaran disiplin, rasanya tidak salah 1.90 .39
kalau saya melakukan hal sama

11. Tugas melayani masyarakat lebih


dibebankan kepada pegawai golongan
rendah, sedangkan pegawai golongan tinggi 2.23 .94
lebih kepada sistem menejerial internal
kantor

12. Pelanggaran disiplin yang saya lakukan


tidak akan mempengaruhi kualitas 2.56 1.19
pelayanan kepada masyarakat

Dalam tabel di atas memperlihatkan uji deskriptif mind set pegawai dengan nilai mean yang paling
tinggi adalah Walaupun saya tidak mampu melayani masyarakat dengan maksimal, namun dapat
disempurnakan dengan menunjukkan sifat ramah dan rendah hati kepada masyarakat (Min=4.16). Sedangkan
nilai mean yang paling rendah adalah item Walaupun saya sebagai pelayan masyarakat, saya juga wajar
memiliki kehidupan lebih mewah dan sejahtera (Min=1.89), seperti dalam gambar di bawah.

Mind Set Pegawai

4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

SM1 SM2 SM3 SM4 SM5 SM6 SM7 SM8 SM9 SM10 SM11 SM12

Tabel 5. Uji Korelasi

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 345


Variabel Mind Set Pegawai

(r)

Ketaatan Beragama .424**

Berdasarkan hasil ujian korelasi, tabel di atas memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara
Mind Set Pegawai dengan ketaatan beragama (r=.424**). Nilai r menunjukkan positif yang berarti bahwa
semakin tinggi tahap ketaatan beragama pegawai maka akan semakin baik mind set pegawai dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Sebaliknya semakin rendah tahap ketaatan beragama pegawai maka akan
semakin buruk pula mind set pegawai.

PEMBAHASAN

Ketaatan beragama erat kaitannya dengan mind set pengawai. Semakin tinggi ketaatan beragama,
maka karena mind set pengawai berupa bersikap ramah dan rendah hati sesuai dengan perintah agama untuk
memudahkan pengawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas sesuai dengan analisa atau rancang jabatan yang
ditetapkan dengan tidak ada pretensi apapun kecuali semata-mata untuk melaksanakan tugas kepada bangsa dan
negara.

Birokrasi pemerintah memiliki beberapa fungsi utama yaitu menjamin keamanan, memdelihara ketertiban,
menjamin keadilan, menyediakan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.Rakyat senantiasa
berharap supaya birokrasi pemerintah berusaha untuk meningkatkan tahba kualitas hidup masyarakatdari segi
peluang meningkatkan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, menyediakan layanan kesehatan, fasilitas publik
dan kemudahan untuk mengamalkan ajaran agama masing-masing. Miftah Thoha (2012) menyatakan bahwa
pengawai pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada rakyat bersifat sombong , bekerja dikantor
pemerintah dijadikan simbol kekuasaan, rakyat yang datang kekantor disuruh antri panjang, tidak ada kepastian
hukum kapan urusan selesai. Sifat pengawai pemerintah tidak memiliki rasa empati kepada rakyat, tidak
disediakan ruang tunggun yang nyaman, bahkna masih ada kantor yang membiarkan masyarakat berdiri diterik
matahari. Adang Budiman et.al (2013) berpendapat pula bhawa prilaku korupsi daalma birokrasi sudah terjadi
sejak era Presiden Soeharto dan sudah menjadi kebiasaan rutin serta menjadi aktivitas harian mereka ketika
bekerja dikantor. Alasan mereka melakukan korupsi ketika bekerja adalah gaji yang diterima tidak mencukupi,
rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan sangat rendah dan atasan memberikan contoh perilaku korupsi kepada
bawahan dan perilaku tersebut masih terus terjadi hingga sekarang.

Ada delapan prinsip utama yang ingin penulis sampaikan dalam makalah ini sebagai usaha mewujudkan
administrator publik yang beretika. Delapan prinsip utama tersebut dapat dijadikan sebagai asas etika birokrasi
dalam administrasi publik. Ide ini muncul setelah membaca tulisan Muhammad Al Burey (1985) seorang pakar

346 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


dalam bidang Administasi Islam dalam bukunya ‖Administrative Development An Islamic Perspektif”. Delapan
prinsip dibawah ini merupakan dasar dalam menyusun pondasi nilai-nilai etika administrator publik, yaitu:

1. Yakin Yang Sempurna Kepada Allah SWT


Setiap administrator publik akan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang di yakininya. Yakin yang
sempurna kepada Allah SWT merupakan syarat mutlak untuk melahirkan administrator publik yang beretika.
Yakin dalam hati bahwa tidak ada Dzat yang berhak di sembah melainkan Allah SWT, tidak ada yang
mencipta, memelihara, memberi rezki melainkan Allah SWT. Dalam hati setiap administrator publik harus
bersih dari yakin kepada makhluk (selain daripada Allah SWT) dan hanya memasukkan rasa keagungan dan
kebesaran Allah SWT di dalam hati. Allah SWT mempunyai maksud ketika menciptakan manusia. Kebahagiaan
dan kesuksesan akan tercapai apabila manusia beramal sesuai dengan maksud ia diciptakan. Banyak
administrator publik yang menyangka bahwa kesuksesan ada pada harta yang melimpah, pangkat dan jabatan.
Padahal semua itu adalah ujian dari Allah SWT.Artinya bukan tidak boleh menjadi pejabat dan orang kaya,
tetapi yakin di dalam hati bahwa kemuliaan dan kebahagiaan bukan dalam pangkat dan harta. Abdurrahman bin
‗Auf radhiallahu „anhu adalah pengusaha yang kaya, tetapi dia tetap menyempurnakan apa keinginan dan
perintah Allah SWT, sehingga dia sukses di dunia dan akhirat. Sebaliknya Fir‘aun, Namrud, Qarun, Kaum ‗Ad,
Kaum Saba‘ walalupun mereka memiliki kekuasaan, kekayaan, kekuatan tubuh dan kecanggihan teknologi
pertanian tetapi tidak beriman kepada Allah SWT, melanggar hukum Allah SWT sehingga mereka semua Allah
SWT binasakan.
Apa hubungan yakin kepada Allah SWT dengan etika administrator publik?. Apabila seorang pegawai
pemerintah yakin bahwa yang memberi rezki adalah Allah SWT, maka dia tidak mencuri, korupsi dan menerima
uang syubhat apalagi uang haram. Apabila seorang pegawai pemerintah yakin bahwa Allah SWT maha melihat,
maka dia tidak akan berani membuat kwitansi palsu, laporan fiktif, menyogok dan melakukan tindakan
penyimpangan yang merugikan uang Negara. Memang benar pegawai KPK tidak melihat, tetapi seorang
administrator publik yang yakin bahwa Allah SWT sedang melihat setiap saat dan keadaan apa saja
perbuatannya, maka dia tidak akan melanggar nilai-nilai etika dalam bekerja.
Sebaliknya jika seorang administrator publik tidak ada rasa takut kepada azab Allah SWT, tidak yakin
dengan janji-janji Allah SWT bahwa di akhirat nanti setiap amal akan di hisab, setiap orang akan ditanya untuk
apa umur dihabiskan, kemana masa muda digunakan, dari mana harta diperoleh dan kemana dibelanjakan serta
adakah ilmu sudah di amalkan atau belum. Jangan heran jika di mana-nama kantor ditemukan berbagai jenis
pelanggaran terhadap nilai etika. Rasanya mustahil seorang pegawai kantor pemerintahan, akan meminta ‗uang
pelicin‘ supaya urusan KTP, SIM, Paspor dapat segera diselesaikan apabila dalam hatinya yakin bahwa Allah
SWT sedang melihat, mendengar dan mengetahui semua perbuatannya.
2. Amalkan Sunnah Nabi Muhammad SAW Dalam Kehidupan
Allah SWT telah menetapkan kebahagiaan, kemuliaan dan kesuksesan seluruh manusia termasuk
administrator publik hanya dalam pengamalan agama secara sempurna. Sukses dan mulia diperoleh ketika
administrator publik taat kepada Allah SWT dan mengamlkan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Walaupun
seorang pegawai rendah, miskin, tidak memiliki jabatan, tetapi apabila taat kepada Allah SWT dan
mengamalkan Sunnah Rasulullah SAW maka akan mendapat kejayaan di dunia dan akhirat. Apa yang dimaksud
dengan prinsip mengamalkan sunnah Nabi Muhammad Saw dalam kehidupan dan apa hubungannya dengan
etika administrator publik?. Maksudnya adalah setiap administrator publik meyakini bahwa satu-satunya jalan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 347


untuk mendapatkan kesuksesan, kebahagiaan dan kejayaan di dunia dan akhirat hanyalah dengan mengikuti cara
hidup Nabi Muhammad SAW. Seluruh aspek kehidupan, mulai dari cara makan, minum, berpakaian, tidur, jual
beli, pernikahan, akhlak, cara memberikan pelayanan sampai cara mengurus Negara mengikuti contoh yang
telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada beberapa sifat Rasulullah SAW yang berhubungan dengan pelayanan publik sebagai standar etika
bagi administrator publik, yaitu:
a. Rasulullah SAW tidak marah karena urusan duniawi, tetapi marah apabila kebenaran didustakan.
b. Apabila beliau menunjuk atau member isyarat kearah sesuatu, maka beliau akan menunjuknya dengan
seluruh telapak tangannya.
c. Rasulullah SAW lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.
d. Rasulullah SAW tidak berkata-kata kecuali yang bermanfaat dan perlu.
e. Rasulullah SAW selalu adil dalam setiap urusan tanpa menimbulkan perselisihan.
f. Siapa saja yang meminta keperluan kepada Rasulullah SAW, maka beliau SAW tidak
menyuruhnya pergi melainkan dengan membawa keperluan yang ia inginkan atau bila
tidak mengabulkannya, Rasulullah SAW menasehati dengan kata-kata yang lemah
lembut.
g. Kesalahan-kesalahan orang lain tidak pernah disebarkan.
h. Rasulullah SAW selalu melayani orang-orang yang berada disekelilingnya dengan
wajah ceria dan ramah tamah.
i. Rasulullah SAW bukan orang yang kasar dan berakhlak buruk, bukan orang yang suka
berteriak-teriak, tidak mencerca dan merendahkan manusia serta tidak banyak bergurau.
j. Rasulullah SAW menjauhkan diri dari perdebatan, menghina, mencari-cari aib dan
keburukan manusia.
3. Mendirikan Sholat 5 Waktu Dengan Tertib
Menurut Syeikh Zakariyya (2006), pada masa ini orang Islam terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah orang-orang yang tidak memperdulikan sholat.Kelompok kedua adalah orang-orang
yang sholat tetapi melalaikan sholat berjemaah.Sedangkan kelompok ketiga adalah orang-orang yang sholat
berjemaah tetapi mengabaikan rukun-rukunnya dan mengerjakannya dengan kurang baik. Shalat merupakan
sesuatu yang sangat berharga. Jika dilakukan dengan cara yang benar, maka akan membuahkan hasil, yaitu akan
mencegah dari hal-hal yang tidak baik. Jika keadaan ini belum diperoleh, hendaknya perlu diyakini bahwa
sholat yang dilakukan belum sempurna. Ibnu ‗Abbas radhiallahu „anhuma berkata bahwa ―shalat menghentikan
seseorang dari perbuatan dosa dan sholat menyelamatkan seseorang dari dosa‖. Dalam Al Qur‘an surat Al
Ankabut ayat 45; ―Sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar‖. Dari penjelasan diatas dapat
diketahui bagaimana hubungan antara sholat dengan etika administrator publik ?. Apa saja jenis penyimpangan
dan pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh pegawai pemerintah baik dalam bentuk korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN), urusan cepat dengan uang pelicin, pelaksanaan proyek asal jadi, laporan fiktif, tidak disiplin,
perselingkuhan dengan teman sekantor, pertengkaran (konflik) karena berebut jabatan, judi, minuman keras dan
berbagai jenis pelanggaran etika lainnya yang masuk dalam kategori perbuatan dosa menunjukkan bahwa sholat
belum dilaksanakan oleh pegawai pemerintah dengan sempurna.

348 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Mengapa banyak administrator publik yang sudah sholat, puasa bahkan haji tetapi masih juga terlibat
dalam pelanggaran etika kepegawaian dan perbuatan melanggar hukum?. Yang salah bukan sholatnya, tetapi dia
sendiri yang masih keliru tentang apa hakekat sholat yang sebenarnya?.Hakekat sholat yaitu membawa sifat-
sifat ketaatan dalam sholat ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sholat menutup aurat, dalam keadaan
berwudhu‘, menjada pandangan, begitu juga diluar sholat seharusnya menutup aurat, senantiasa ada wudhu‘ dan
menjada panca indra (mata, telinga, lidah, pikiran dan hati) dari perkara yang Allah SWT benci. Menurut
Syeikh Zakariyya (2006), ada tiga hal yang harus ada dalam sholat; pertama ikhlas, yang akan membimbing
kearah amal yang shalih. Kedua takut kepada Allah SWT yang akan menjauhkan diri dari perbuatan jahat.
Ketiga dzikrullah yang akan mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah kemungkaran. Jika dalam sholat
tidak terdapat tiga hal tersebut maka bukan sholat namanya. Jika seorang pegawai pemerintah masih selalu
sibuk bermaksiat kepada Allah SWT, hendaknya ia benar-benar menyibukkan diri dengan sholat yang benar,
sehingga lambat laun perbuatan buruknya akan hilang. Setiap perbuatan buruk akan sulit dihilangkan dan
memerlukan waktu yang lama. Namun dengan memperhatikan sholat dan menjaganya, maka akan dimudahkan
meninggalkan kebiasaan buruk dalam waktu yang tidak lama. Dengan berkah sholat, dengan sendirinya
kebiasaan buruk tersebut akan hilang.
4. Memiliki Ilmu dan Kefahaman Ilmu Agama
Untuk dapat mengambil manfaat dari Dzat Allah SWT secara langsung, maka perlu mematuhi semua
perintah Allah SWT menurut cara yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa terwujud dengan
cara berusaha mendapatkan ilmu Ilahi, yaitu memahami dengan sebenarnya segala sesuatu yang dikehendaki
oleh Allah SWT dari hambanya pada waktu dan keadaan. Hakekat ilmu yang dimaksud adalah bagaimana setiap
administrator publik mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana perintah Allah SWT dan mana
larangan Allah SWT. Hal ini merupakan prinsip yang sangat penting bagi setiap administrator publik, sehingga
ia akan menjauhkan dirinya dari perkara yang melanggar etika dalam pelayanan publik . Apabila setiap pegawai
menghindari diri mereka dari hal-hal yang dilarang oleh syariat agama berdasarkan ilmu yang mereka ketahui
dan pahami, maka berbagai tindakan penyelewengan dan pelanggaran undang-undang akan dapat dihindari.
Buah dari kefahaman ilmu adalah terdapat rasa takut di dalam hati terhadap azab dan kemarahan Allah SWT di
dunia dan akhirat.
5. Hati Selalu Ingat Kepada Allah SWT
Mengingat Allah SWT setiap waktu dan keadaan merupakan prinsip utama yang harus di amalkan oleh
setiap administrator publik . Ingat kepada Allah SWT ketika ada atasan atau tidak, ada pegawai lain atau tidak,
ada yang melihat atau dalam keadaan sendiri. Seseorang akan terhindar dari perbuatan tercela apabila hati selalu
ingat kepada Allah SWT. Bagaimana mungkin seorang pegawai melakukan tindakan melanggar etika dan
peraturan, korupsi, menerima uang sogok, penipuan dan sebagainya sedangkan hatinya ingat kepada Allah
SWT. Berbeda dengan seorang administrator publik yang lupa kepada Allah SWT, lupa bahwa setiap
perbuatannya bukan hanya dalam pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi juga dalam
pengawasan Allah SWT, maka ia akan melakukan berbagai tindakan yang merugikan Negara dan masyarakat.
Buah dari hati yang selalu ingat kepada Allah SWT adalah datang rasa cinta kepada Allah SWT dan ada
ketenangan dalam hati walaupun pangkat rendah dan gaji yang diterima kecil.
6. Memuliakan Sesama Manusia dan Menduhulukan Kepentingan Orang Lain

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 349


Setiap administrator publik di tuntut untuk memiliki sifat memuliakan manusia lain dan mendahulukan
kepentingan manusia lain, sehingga siapapun yang dating berurusan ke kantor, baik orang kaya maupun orang
miskin, pejabat atau rakyat biasa, tetap akan dilayan dengan ramah dan kasih sayang. Tetapi apabila
administrator publik lebih mendahulukan urusan orang kaya daripada urusan orang miskin, lebih mendahulukan
kepentingan pejabat daripada kepentingan masyarakat, maka akan membuahkan kekecewaan bagi masyarakat
atas ketidakadilan tersebut.
7. Ikhlas Dalam Setiap Amal Perbuatan
Syarat diterima suatu amal adalah ikhlas.Allah SWT tidak memandang kepada harta dan rupa
seseorang tetapi yang Allah SWT pandang adalah hati (keikhlasan) dan amal. Prinsip ini menekankan tentang
kepentingan meluruskan niat dalam setiap pekerjaan yang dilaksanakan oleh administrator publik bahwa apa
saja pekerjaan yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT, bukan untuk
mencari muka, mencari pujian dan sanjungan dari orang lain. Ciri-ciri seorang administrator publik yang ikhlas
dalam pekerjaannya adalah tidak bangga dengan pujian yang datang dan tidak kecewa dengan kritikan orang
lain.
8. Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah PerbuatanMungkar
Setiap orang bertanggungjawab untuk selalu mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran.Tugas tersebut bukan hanya tanggungjawab ulama, ustazd, orang berilmu atau alumni sekolah
agama, tetapi menjadi tugas setiap orang termasuk administrator publik. Diperlukan suasana kantor yang saling
ingat mengingatkan tentang perkara kebaikan sehingga berbagai pelanggaran etika akan dapat dikurangkan.
Apabila melihat pelanggaran etika yang dilakukan oleh administrator publik, maka pegawai lain perlu
menasehati dengan lemah lembut dan kasih sayang. Tetapi apabila setiap administrator publik memiliki sifat
tidak peduli dengan berbagai kecurangan, penyimpangan, korupsi malahan bekerja sama dalam mencuri uang
Negara, bersepakat dalam kejahatan maka semakin hari Negara ini semakin dekat kepada kehancuran dan
kebinasaan.

KESIMPULAN

Reformasi birokasi dalam rangka mewujudkan tata pemerinatahan yang baik di Indonesia tanpa diiringi
oleh kesadaran agama dan pengamalan ajaran agama sebagai sumber etika birokrasi, maka perbaikan kualitas
pelayanan publik hanya akan menjadi cita-cita yang hampa. Mind set pegawai dalam bekerja akan dapat
diperbaiki apabila ada usaha menyempurnakan keyakinan kepada Allah SWT, kesungguhan mengamalkan
Sunnah Nabi Muhammad SAW, istiqomah mendirikan shalat, selalu belajar ilmu agama, hati selalu ingat
kepada Allah SWT, sifat memuliakan orang lain, meluruskan niat dalam setiap perbuatan dan sifat mengajak
kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran maka terbuka peluang bagi setiap pegawai untuk
meningkatkan nilai-nilai integritas diri mereka. Apabila setiap pegawai pemerintah kesungguhan memperbaiki
diri maka cita-cita reformasi administrasi dan birokrasi akan menjadi kenyataan di Indonesia. Dalam konteks
Indonesia dengan mayoritas pegawai pemerintah beragama Islam, maka seharusnya menjadi kerisauan seluruh
pihak terutama pihak akademisi untuk menyusun model etika birokrasi pelayanan publik dalam Islam.

350 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


DAFTAR PUSTAKA

Abdun Noor 2007. Ethics, Religion and Good Governance. Journal of Administration &Governance 2: 62-77.

Adang Budiman, Amanda Roan & Victor Callan. 2013. Rationalizing Ideologies, Social Identities and
Corruption Among Civil Servants in Indonesia During the Suharto Era. Journal Bussiness Ethics
11(6):139-149.

Ahmad Kilani Bin Mohamed & Mohd Ismail Bin Mustari.2004.Pemahaman Mengenai Perkembangan Fizikal
Dan Mental Serta Keperluan Kepada Pemantapan Spiritual Dikalangan Remaja. Kebangsaan Psikologi
Dan Masyarakat, gejala sosial dan masyarakat. Pusat Pengajian Psikologi dan Pembangunan Manusia
UKM, Bangi.

Chandler, R.C., & J.C. Plano. 1988. The Public Administration Dictionary. Second Edition: Santa Barbara, CA:
ABC-CLIO Inc.

Keban, Yeremias. 2001. Etika Pelayanan Publik. Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi
Pelayanan Publik di Indonesia. Dalam Majalah Perencanaan Pembangunan Pembangunan Edisi 24.

Khairil Anwar dan Khaidzir Hj. Ismail. 2009. Profil Mental - Kognitif dan Psiko -Sosial Islam Di Kalangan
Remaja Beresiko, Prosiding International Seminar of Islamic though, Bangi:UKM.

Miftah Thoha. 2012. Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Thafa Media.

Muhammad Afif Hamka, Azima & Suhana. 2011. Etika kakitangan kerajaan terhadap reformasi perkhidmatan
awam di Indonesia: Suatu telaah kritis. Makasar: Penerbit Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Muhammad Al Burey.1985. Administrative Development an Islamic Perspective.London: Kegan Paul


International Limited.

Shuriye, Abdi Omar & Jamal Ibrahim, Daoud 2010Islamic perspective of quality administration.Australian
Journal of Islamic Studies 02 (01): 49-57.

Syeikh Zakariyya. 2006. Himpunan Fadhilah Amal. Yogyakarta: Penerbit As Shaff.

Wirman Syafri Sailiwa. 2012. Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen
Pegawai Negeri Sipil dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional. Jurnal Pendayagunaan Aparatur
Negara 2 (2): 34-49.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 351


Penerapan „Good Governance‟ Dalam Penempatan Pekerja Migran
Perempuan Antar Bangsa

Lely Indah Mindarti

Dosen FIA-UB Malang

lelyfia@ub.ac.id

lelyindahmindarti@gmail.com

Abstrak: Riset tentang penerapan ‟good governance‟ dalam penempatan pekerja mi-gran perempuan antar
bangsa ini, memfokuskan pada pesoalan penerapan ‟trans-paransi‟ (transparancy) dalam rangka
pengembangan tatakelola sistem manajemen informasi penempatan TKI berbasis ‟on-line‟. Isu utama yang
dikaji, berupa betulkah substansi paraturan perundangan dan praktek yang berlaku dalam penempatan TKI-
PRT selama ini, relevan dengan kebutuhan bagi mengembangkan sistem manajemen informasi penempatan
TKI-PRT berbasis ‟on-line‟ yang makin transparan dan mem-perkuat perlindungan TKI-PRT. Riset dilakukan
dalam bentuk studi kasis dan data hasil dianalisis dengan meng-gunakan teknik ‟analisis isi‟ (content analysis).

Perlindungan terhadap TKI, ditegaskan dalam penjelasaan UU No. 39/2004 bahwa “kesempatan
pertama dan terbaik bagai perlindungan harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri‟. Implikasinya,
penguatan transparansi dan perlin-dungan TKI pada hakikinya sangat lekat membutuhkan adanya penumbuhan
tata-kelola sistem manajemen informasi penempatan TKI berbasis „self-governance model‟. Sebuah model
tatakelola berwatak „citizen centricity‟ yang tumbuh melalui mekanisme „governance from the ground-up‟,
yakni lekat berfokus dan berbasis sen-tral pada penguatan berkelanjutan terhadap kapasitas kemandirian TKI-
PRT untuk mampu proaktif berperan menjadi „an active agent of change‟, ter-utama „TKI as an active evaluator
and creator of information‟ dalam keseluruhan proses pelaksanaan penempatan TKI-PRT ke luar negeri.
Kapasitas kemandirian TKI ini, esensinya lekat bersifat „collective created‟, sehingga keberhasilannya sangat
tergantung pada ko-mitmen segenap pemangku kepentingan saling bersinergi menebarkan dan mem-perkuat
praktek-praktek „autonomy and integrity of all actors‟. Khusunya, melaku-kan „tri-otonomiasasi‟ TKI, yakni
penguatan kapasitas kemandirian TKI di bidang „kultural, ekonomi dan politik‟.

Berdaskan hasil riset, disimpulkan substansi pengaturan dan pelaksanaan pe-nempatan TKI-PRT di negara
Malaysia selama ini, justru lekat berwatak „bureau-crtaic centricity‟ daripada „citizen centricity‟. Ditandai
dengan 7 (tujuh) kecende-rungan dominan yang membuat fungsi transparansi dan perlindungan tidak dapat
fungsional dan malah memperkuat potensi TKI-PRT mengamlami kerentanan pada keseluruhan tahapan proses
pelaksanaan penempatan TKI-PRT ke luar negeri. Karena itu, pembaharuan substansi peraturan dalam
penempatan TKI, termasuk dalam system manajemen informasi penempatan TKI, sangat urgen segera
diperbaruhi. Sustansi peraturan dan pelaksanaan bepijak dan konsisten dengan kebutuhan bagi tumbuhnya
kebangunan tatakelola berwatak emansipatory. Berupa tatanan „self-governance model‟ yang lekat menuntut

352 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


pemerintah benar-benar mam-pu berfungsi sebagai „enabler‟ bagi pe-nguatan dan pelembagaan praktek-
praktek aautonomy and integrity of all actors‟. ***

Kategori : Governance

Keywords: Good Governance, Transparansi, Migran Perempuan (TKW)

Latar Belakang Penelitian

Menguatnya globalisasi, pada satu sisi telah membuka kesempatan bagi ”ka-um perempuan dari
Negara Berkembang untuk melakukan migrasi kerja ke luar negara” (ILO, 2004:iv). Namun migrasi kerja ke
luar negeri yang dilakukan kaum perempuan, mayoritas lebih berada di sektor pekerjaan yang dikategorikan ‖3-
D‖ (dirty, dangerous and difficult). Implikasinya, kaum migran perempuan pun sering terperangkap dalam
kondisi ”sangat rentan terhadap aneka bentuk diskriminasi, kekerasan, perlakuan sewenang-wenang, dan
bahkan pelanggaran serius terha-dap hak-hak asasi manusia” (ILO, 2004:iv). Potensi kerentaan makin
meningkat, mengingat selain kondisi sosial, ekonomi dan politik migran perempuan realtif le-mah, fenomena
migrasi kerja lintas negara pun, senantiasa lekat dicirikan lebih se-bagai fenomena multi-dimensional, multi-
aktor dan sekaligus multi-kepentingan. Konfigurasi berbagai kondisi ini, akhirnya membuat terbukanya potensi
kerentaan bagi para migran perempuan (TKI-PRT) dalam keseluruhan tahapan proses penem-patan TKI.

Demi meningkatkan kualtas tatakelola penempatan dan perlindingan TKI, pada 04 Desember 2014 lalu
ditetapkan peraturan terbaru Permenaker 22/2014. Pada pada pasal 51 ditegaskan bahwa ‘pelayanan
penempatan dan perlindungan TKI diselenggarakan secara terpadu melalui sistem ‟on-line‟ dan dapat diakses
oleh publik, dilakukan oleh BNP2TKI yang terintegrasi dengan Kementerian Ketenaga-kerjaan dan
kementerian/lembaga terkait lainnya. Penerapan sistem manajemen in-formasi penempatan TKI berbasis ‟on-
line‟ ini, sangat urgen demi memicu terjadinya ‟transparansi‟ dalam tatakelola penempatan TKI ke luar negeri.

Namun demikian, derajad ‘transparansi‘ tidaklah semata tergantung pada pe-nerapan sistem ‟on-line‟.
Tetapi justru lekat tergantung pada format dasar tatakelola yang ditumbuhkan, khususnya yakni tatakelola yang
benar-benar berpijak dan ber-orientasi pada kebangunan tatanan ‟self-governance model‟. Sebuah model tatake-
lola yang lekat berwatak ‟citizen centricity‟ dan bertumbuh melalui mekanisme ‘governance from the ground
up‘. Atau, sebuah model tatakelola yakni lekat berfokus dan berbasis sentral penguatan berkelanjutan terhadap
kapasitas kemandirian TKI untuk mampu proaktif menjadi ‟an active agent of cha-nge‟. Khususnya, kapasitas
kemandiran TKI-PRT untuk mampu proaktif menjadi ‟an active evaluator and creator of information‟ dalam
keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penempatan TKI-PRT ke luar negeri.

Kebangunan kapasitas kemandirian TKI-PRT dimaksud, merupakan basis fundamental bagi terjadinya
penguatan transparansi dan sekaligus perlindungan TKI-PRT. Pada konteks inilah, riset tentang penataan
tatakelola penempatan TKI di luar negeri, sangat relevan dan urgen makin intensif dilakukan secara
berkelanjutan.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 353


Rumusan Masalah Penelitian

Wajah penempatan dan perlindungan TKI-PRT di luar negeri, hingga kini masih sering diwarnai aneka
bentuk kerentaan. Baik itu pada fase sebelum, selama, maupun saat pemulangan paska penempatan TKI-PRT di
luar negeri. Upaya pe-nguatan perlindungan TKI-PRT ini dapat dilakukan signifikan, jika lekat berpijak pada
aktualisasi prinsip fundamental bahwa „perlindungan pertama dan terbaik harus muncul dari TKI itu sendiri‟.
Implikasinya, upaya penerapan sistem manejemen pelayanan penempatan TKI berbasis ‟on-line‟, hanya dapat
memicu terjadinya transparansi dan penguatan perlindungan TKI, apabila fondasi tatakelola penempatan TKI
benr-benar berpijak dan berorientasi pada kebangunan tatanan ‘self-governance model‘. Lekat berfokus dan
berbasis sentral penguatan berkelanjut-an terhadap kapasitas kemandirian TKI untuk mampu proaktif
menjadi‟an active evaluator and creator of information‟ dalam keseluruhan tahapan proses pelaksana-an
penempatan TKI-PRT ke luar negeri.

Berpijak pada argumen kritis di atas, permasalahan utama yang dikaji dalam riset ini, dirumuskan
sebagai berikut:

1. Betulkah aneka peraturan dasar dan pelaksanaan penempatan TKI-PRT di luar negeri, secara substantif
telah sejalan dengan kebutuhan menjadikan ‟TKI as an active agent of change‟, khususnya ‘TKI as an
active evaluator and creator of information) dalam keseluruhan tahapan proses pelaksanaan pe-
nempatan TKI di luar negeri?
2. Bagaimana kerangka substansi konseptual yang relevan dan strategis untuk memicu kebangunan
tatakelola sistem informasi penempatan dan perlin-dungan TKI yang berfokus pada penguatan
kepasitas kemandirian ‟TKI as an active evaluator and creator of information‘ dimaksud?

Kedua permasalahan krusial inilah yang akan menjadi fokus utama dalam kajian riset ini.

Tinjauan Pustaka dan Riset Terdahulu

Esensi dan Misi Sentral Migrasi Kerja

Migrasi kerja, secara ringkas dapat dimaknai sebagai aktivitas perpindahan penduduk dari satu wilayah
ke wilayah lain dengan sasaran sentral demi mendapat-kan/melakukan pekerjaan tertentu. Migrasi migrasi kerja
ini, dapat berlangsung pa-da level domestik dan dapat pula berlangsung dalam level internasional, atau lintas
negara. Terlepas dari level dilakukan, setiap migrasi kerja pada esensinya menuntut lekat dimaknai dan
dipraktekkan lebih sebagai bagian integral dari ―human develop-ment process‖ (Hermono, 2014:2). Lebih
fundamental lagi, sebagai bagian integral dari praktek aktualisasi „human emancipation process‟. Cara pandang
fundamental ini, sangat relevan dengan esensi dari ‗bekerja‘. Dimana ‗pekerjaan‘ dan ‗bekerja‘, tidaklah sekedar
menjadi sumber penghasilan seseorang, tetapi sekaligus “sarana fundamental bagi aktualisasi potensi dan
harkat diri seseorang” (Penjelasan UU No. 39/2009). Karena itu, hak seseorang atas pekerjaan, merupakan
bagian dari hak sangat azasi setiap orang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati segenap warga, masyarakat
dan bangsa di seluruh dunia.

Sejalan eksistensi pekerjaan sebagai bagian integral hak azasi bagi setiap war-ga, dalam UUD RI 1945
pada pasal 27 ayat (2) ditegaskan bahwa “setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan

354 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


penghidupan yang layak bagi kema-nusiaan”. Penegasan konstitusi ini sekaligus menuntut segenap elemen
bangsa, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil pada setiap lini dan level kepe-merintahan, saling
memiliki komitmen dan profesionalisme menjamin terpenuhinya hak setiap orang atas pekerjaan. Pada konteks
inilah, aneka bentuk kerentaan yang menimpa para migran, termasuk TKI-PRT, menuntut dipandang sebagai
bentuk dari tindak kejahatan terhadap hak azasi manusia. Atau, tindak kerjahatan kemanusian yang mesti
diperangi oleh segenap elemen masyarakat dan bangsa di dunia.

Aneka Bentuk dan Faktor Pemicu Kerentanan TKI-PRT

Upaya penempatan TKI di luar negeri, merupakan sebuah fenomena multi-dimensional. Banyak faktor,
aktor dan kepentingan yang terlibat dalam pelaksana-anya. Baik itu yang ada di ranah dalam negeri, maupun
luar negeri. Ditambah lagi, latar sosial, ekonomi dan ploitik TKI-PRT yang relatif ‗lemah‘ dan sifat pekerjaan
se-bagai PRT yang lekat dengan karakter ‗3D‘, telah banyak ditengarai menjadi sumber kerentanan berlipat
ganda bagi para pekerja migran perempuan. Mulai dari aneka bentuk diskriminasi, eksploitasi dan perlakukan
sewenang-wenang. Bahkan tidak ja-rang menjurus ke arah “terjadinya tindak pelanggaran serius terhadap hak
azasi manusia (HAM) dan hak-hak mereka sebagai pekerja. Baik itu pada tahap pere-krutan, perjalanan,
transit dan tinggal di negara tujuan” (ILO, 2004:2-3).

UNIFEM (2005) mensarikan 7 (tujuh) bentuk kerentanan yang lekat menim-pa pekerja migran
perempuan antar bangsa. Mulai dari: ‘kondisi kerja yang eksplo-itatif, masalah di bidang kontrak kerja,
pembatasan kebebasan bergerak, diskri-minasi pasar tenaga kerja terhadap perempuan migran, kondisi kerja
berbahaya, merendahkan keselamatan dan kesehatan, kekerasan berbasis gender di tempat ker-ja, rasisme dan
xenofobia berbasis gender terhadap buruh migran perempuan‘. ILO (2004:10) selanjutnya mengungkapkan 8
(delapan) faktor khusus peyebab terjadi-nya kerentanan berlipat ganda bagi para pekerja migran perempuan
yang menjadi PRT di luar negeri. Mulai dari: ‟strereotip gender yang terus berlangsung dalam la-pangan kerja,
kurangnya perlindungan tenaga kerja dan perlindungan sosial, kebi-jakan-kebijakan keimgrasian yang
diskriminatif, buta hukum dan ketakutan pada penguasa/pihak berwenang, hubungan kerja yang bergantung,
lingkungan kerja yang menyendiri dan terisolasi, kurangnya organisasi dan perwakilan, serta xenofo-bia dan
stigmatisasi‗.

’Governance’, ’Good Governance’ dan ’Self-Governance’

Munculnya pendekatan ‟governaance‟, telah membawa angin segar bagi pembaharuan teori dan
praktek manajemen sektor publik. Dimana pemerin-tahan modern bukanlah sekedar mencapai efisiensi,
tetapi juga adanya akunta-bilitas terhada warganya. Warga (citizen) tidak seharusnya sekedar diperlakukan
sebagai ‘consummer and customer‘ tetapi lebih lekat sebai ‟citizen‟. Mereka me-miliki hak dilindungi hak-
haknya, didengar suaranya, nilai dan preferensinya di-hargai. Demikian pula, warganegara memiliki hak
untuk menilai, menolak dan bahkan menuntut mundur pejabat publik yang dinilainya gagal mengemban
tang-gungjawabnya.

World Bank (1992) mendefinisikan ‗governance‟ sebagai ―the way state po-wer is used in
managing economic and social resources for development of so-ciety”. Suatu tatacara penggunaan
kekuasaan negara dalam mengelola sumber-daya ekonomi dan sosial bagi pembangunan masyarakat.
Makna serupa diajukan UNDP (1997) yang mendefinisikan ‗governance‟ sebagai ―the exercise of political,

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 355


economy, and administra-tive authority to manage a nations affair at all levels”. Pelaksanaan kekuasaan
politik ekonomi dan administratif untuk mengelola masa-lah-masalah nasional pada keseluruhan jenjang
pemerintahan (LAN & BPKP, 2000). Sehingga dalam konsep „governance‟, terdapat ‗three legs‘ ‗three
domains‘. Tiga kaki berupa: ‗political governance, economic governance and administra-tive governance‟,
serta tiga domain berupa: „negara (state), swasta (private sec-tor) dan masyarakat sipil (civil society)‘.
Ketiga kaki dan domain ini, harus ber-hubungan secara harmonis demi tercapainya sinergi yang solid.
Kondisi ideal ini kemudian popular disebut „good governance‟. UNDP (1997) memformulasikan prin-sip
utama mewujudkan good governance, yaitu meliputi: ―participation, rule of law, responsiveness,
consensus orientation, equity, efficiency and effect-tiveness, accountability, strategy vision”
(Mardiasmo:2002:24).

Bagan 1

Caracteritics of Good Governance

Sumber: ANSA-SAR, 2013:7.

Transparasi, dengan demikian merupakan bagian integral dari prinsip fun-damental bagi
tumbuhnya ‗tatakelola yang baik‘ (good governance). Prinsip ‗transparansi‘ ini, terutama akan berkaitan
dengan isu sentral seputar adanya ke-terbukaan yang dibangun berdasarkan kebebasan memperoleh
informasi. Infor-masi yang berkaitan dengan kepentingan publik, dituntut untuk dapat diperoleh para pihak
yang membutuhkan secara cepat, mudah dan tepat waktu.

Pada konteks „human as citizen‟ ditandaskan bahwa “to be a citizen is not merely to be a consumer
of rights, but to be responsible to other members of the community” (Karst:1977 dalam Hunter, 2011: 1963),

356 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


atau “as citizen, they ought to take responsibility for them-selves, for each other, and for the society to which
they belong” (Bovenkamp, 2010: 10-19). Sejalan spirit „we are all citizen‟ baik secara individual dan kolektif,
maka pribadi yang memiliki status sosial, politik dan ekonomi lebih tinggi, mereka justru lekat termasuk dalam
golongan kaum „the excellent citizen” (Aristotle:335 BC dalam Block, 2012:135). Mereka adalah para pribadi
yang memiliki amanah dan tanggungjawab lebih besar untuk terlibat pro-aktif memperkuat dan melembagakan
aktualisasi fitrah „human as citizen‟. Karena itu, “responsibility of the individual must take responsibility in the
first place” (Kamali, 2010:20) dan “community as a whole becomes responsible for the
accomplishment of the trust (amanah)‖ (Haque:5).

Pada konteks inilah, desain sentral tata kelola atau tata kepemerin -tahan pada berbagai
sektor, termasuk dalam penempatan dan perlindun gan TKI, dituntut kian lekat ditujukan bagi
terwujudnya “well-being by and for all” (Chambers, 2005:194). Berbasikan „rule of the game‟ utama
yang berpusar pada “those with more wealth and power as a means to well-being” (Chambers, 2005:197).
Implikasinya, tata kelola pada berbagai sektor, sangat urgen benar-benar dibangun berlandaskan konsep „self-
governance‟ (Bruyn, 2011:150) sebagai sebagai ‗key perspective‟, „key factor analysis‟ dan „key indicator‟.

Dimana tata kelola atau tata kepemerintahan, dibangan dengan berpijak pada konsepsi fundamental
―society as a body of self-governing associations” (Bruyn, 2011:151). Ditandai “self-governance was built-in at
all phase of life and segments of the society” (Bruyn, 2011:12) dan “a whole society is finally seen as self-
governing when it is an agent of us” (Bruyn, 2011:152). Konsepsi fundamental „self-governance‟ ini, sekaligus
menunjukkan “the concept of self-governance, refers to more than individual self-reliance and auto-nomy. It
refers also to the way people manage their lives together in the society as a whole” (Bruyn, 2011:150). Atau,
lekat kede-pankan kebangunan “autonomy as a moral idea” (Kant:1797 dalam Bar-Am, 2008: 554), “autonomy
as rational action according to universal laws‖ (Kant:1797 dalam Bar-Am, 2008:550).

Tatanan „self-governance model‟ atau „self-governance state model‟ (Jorgen-sen, 1993:224), karenanya
lekat dicirikan lebih bertumbuh dan berproses melalui mekanisme “governance of the ground-up”
(Follett:1918/1923 dalam Elias, 2010: 13). Hubungan antar sektor, lini dan level kepemerintahan, lekat dilandasi
spirit “self-governance through mutual governance” (Buyn, 2011:164). Atau, saling mem-perkuat kapasitas
berkemandirian. Sehingga pada level mikro, tatanan „self-govern-ance dicirikan “the citizens not only have an
essential impact on the services which the administration offers, but takepart in the production process itself‖
(Jorgensen, 1993:224). Sedangkan pada level makro, lekat “characterized with works by nur-turing and shaping
the problem solving and self-steering capacities of both public and private, and both individual and collective
selves” (Sørensen & Triantafllou, 2008:2).

Tatanan ‗self-governance model‟, karenanya lebih sebagai sebuah model tatakelola yang berfokus dan
berbasis sentral pada penguatan ‗kapasitas kemandi-rian warga‘ (citizen autonomous capacity). Khususnya,
kapasitas kemandirian warga untuk mampu kian proaktif memecahkan aneka problem pribadi dan bersama,
dengan tetap mengindahkan aturan dan kepentingan lebih besar. Kapasitas kemandirian warga ini, merupakan
basis sentral bagi tumbuh dan berfungsinya tatanan „self-governance‟ pada berbagai lini dan level kepe-
merintahan (total self-governance).

Berpijak pada konsepsi „self-governance model‟ di atas, maka ―if we want to understand any single
social problem, we must comprehend the larger picture” (Bruyn, 2011:65). Demikian pula, kinerja tatakelola

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 357


menuntut lebih lekat diukur melalui indikator berpusar pada persoalan “what people are capable of doing and
being” (Chambers, 2005:198), termasuk „what state are capable of doing and being‟. Sejalan urgennya dicapai
sasaran lebih „meaningful‟ ini, maka sejak dini ditandas-kan bahwa “the pursuit of wealth is not an appropriate
overall goal for a flourishing society” (Aristotle:335 BC dalam O‘Ferral, 2011:10). Dimana nilai-nilai ‗self-
determination, self-sufficient and self-dignity‘, merupakan sasaran yang jauh lebih urgen dan ‗bermakna‘ untuk
dicapai oleh segenap pemangku kepentingan.

Nasib kehidupan warga dan sekaligus bangsa yang terjerat dalam perangkap “a vicious circle of
dependency” (Bunt & Harris, 2010:30), seperti kerentaan yang menimpa TKI, bukan sekedar akibat dari “bad
policy” (Schultz:1978 dalam Bates, 1981:2), maupun ―a crisis of governance‖ (World Bank:1989 dalam
Santiso, 2001:5). Namun lebih berurat mengakar pada lekatnya tindakan ‗sustainable abuse‟ terhadap „the rights
of citizen self-governnce‟, atau lekatnya fenomena „total self-governance decay‟. Dimana aneka pemangku
kepentingan pada berbagai lini dan level kepeme-rintahan, telah gagal memperkuat sinergi yang membuahkan
penguatan kapasitas kemandirian warga sebagai fokus dan basis sentral kepemerintahan. Karena itu,
ditandaskan “human welfare and liberty are best managed by voluntary and demo-cratically self-governing
associations” (Hirst:1993 dalam Moon, et.al., 2004:12).

Tatanan „self-governance model‟ atau „self-governance state model‟ dimak-sud, dapat diwujudkan jika
didukung adanya tindakan penguatan integratif terhadap “three orders of self-governance” (Bruyn,
2011:202). Mencakup, “the religi-ous/cultural, economic, and political or -ders” (Bruyn,
2011:202). Implika-sinya, “the struggle for self-governance is not solely related to the political econo-my. It
is closely related to the whole culture” (Bruyn, 2011:65). Penguatan terhadap „cultural order‟, berkaitan
penguatan penguasaan pengetahuan, skil, moralitas, men-talitas, teknologi, pemahaman hukum, hak,
tanggungjawab, dan nilai-nilai universal. Penguatan terhadap „economic order‟, berkaitan peningkatan
pemenuhan kebutuhan aneka sumberdaya (sarana dan prasaran) bagi terjadinya kemandirian. Sedangkan
penguatan „political order‟, berkaitan penguatan kewenangan mengambil keputusan dan kontrol secara lebih
mandiri. Tatanan tatakelola berbasis „self-governance mo-del‟ ini, lebih spesifik dapat di-sarikan pada bagan
berikut.

Bagan 2

Tatakelola Berbasis ‘Self-Governance Model

Sumber: Wiyoto, 2014:39.

358 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Melalui penguatan terhadap ketiga tatanan fundamental „self-governance‟ inilah, warga Sasaran dan
segenap pemangku kepentingan, dapat diharapkan benar-benar saling mampu proaktif dan produktif berperan
menjadi „an active agent of change„. Atau, mampu berperan proaktif menjadi “citizen as value creators”
(Bourgon, 2009:10), “citizens as producers of the services” (Parks, et. al.:1986 dalam Needham, 2009:1), dan
“citizen as users democracy” (Pestoff, 2010:10). Sehingga upaya penumbuhan „self-governance model‟,
sangat lekat menuntut adanya tindakan ―devolving powers and resources away from central control towards
frontline managers, local democratic structures and local consu-mers and communities” (Stoker:2005 dalam
Pillora & McKinlay, 2011:12). Tindakan fundamental ini sangat urgen dilakukan demi menjamin terjadinya “a
shift from equality of opportunity to equality of agency” (Rao & Walton:2004 dalam Boyte, 2008:2). Adanya
tindaka devolusi benar-benar nyata, luas dan terintegratif hingga sampai ke warga sasaran ini, sekaligus
merefleksikan kebutuhan bagi dilancarkannya gerakan baru „govern-ance relocalization‟, yakni gerakan „to
rashape gavernance around the citizens and the communities that used them‟. Keberhasilan menumbuhkan
tatanan „self-govern-ance model‟, karenanya lekatt tergantung pada ada tidaknya komitmen segenap pe-mangku
kepentingan saling memperkuat dan melembagakan praktek-praktek “auto-nomy and integrity of all actors”
(Nisbet:1967 dalam Tiihonen, 2004:89).

Tatakelola Berbasis ’e-Governance’

Pengembangan tatakelola berbasis „e-governance‟ di lingkungan pemerintah, kini makin marak


dilakukan. Namun kecenderungan yang terjadi, “most of the state governments have developed from the view
point of the government. They are pri-marily focused on how the government department wants to put it
forward” (Cha-kravarti & Venugopal, 2008:3). Implikasinya, “the bureaucratic silo approach would not
provide the result as expected from the computerization efforts used in the government” (Chakravarti &
Venugopal, 2008:3). Sehingga praktek „e-governance‟, seringkali justru sekedar sebagai ‗new assesories‘ yang
memicu ‗pemborosan‘ dari-pada ‗perbaikan kinerja‘ secara “radically more, for radicalle less” (CST, 2010:2).

Pada konteks inilah sangat urgen ditegaskan penerapan „e-governance‟ me-nuntut tatakelola lekat
berfokus dan berbasis sentral pada „citizen centricity‟ atau „citizen centric approach‟. Atau, diikuti adanya
“shifting the focus of government around or from the view point of the citizen and businesses. The portal should
take care of the needs of the citizen and business rather than operational or other impe-ratives inside the
government machine” (Chakravarti & Venugopal, 2008:3).

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 359


Bagan 3

Primary Objectives of Citizen Centric Solution

Sumber: Chakravarti & Venugopal (2008:4).

Perubahan radikal dan transformatif dimaksud, misalnya terwujud dalam bentuk terjadinya “(a)
improved quality of service, (b) transparent, efficient, and secured delivery, and (c) anytime, anywhere
avaibility of service” (Chakravarti & Venugopal, 2008:4). Sehingga tatanan „e-governance‟ secara actual
mampu ber-fungsi menjadi bagian integral dari „citizen centric solution‟. Sangiorgi (2011:9), lebih lanjut
“identified seven key principles that seem to unify transformative practices in design”. Ketujuh prinsip
dimaksud dapat disari-kan pada bagan berikut.

360 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Bagan 2.5

Transformative Desaign Principles

Sumber: Sangiorgi, 2011:9.

Berpijak pada bagan di atas, format tatanan „e-governance‟ hanya dapat fungsional jika lekat berfokus
dan berbasis sentral pada pendayagunaan peran pro-duktif „active citizens as agent‟ (Sangiorgi, 2011: 9). Peran
produktif warga ini, esen-sinya adalah “as a key resource to fundamentally change the traditional hierar-chical
model of service delivery and the perception of citizens themselves” (Sa-ngiorgi, 2011:10). Peran produktif
warga ini, dapat diwujudkan melalui serangkaian tindakan strategis, berupa adanya „intervention at community
scale, building ca-pacity and research partnerships, redistributing of power, enhancing and hope, building
infrastructur and enabling platform, evaluating process and impact‟.

Aktualisasi penguatan kapasitas kemandirian „active citizens as agent‟, de-ngan demikian lekat bersifat
‗collective created‟. Diciptakan oleh segenap pemangku kepentingan. Pada konteks inilah, pemerintah dituntut
benar-benar kian mampu berfungsi sebagai „enabling platform‟ bagi terjadinya kebangunan tatanan „total self-
governance from the ground-up‟.

Kajian Riset Terdahulu

Aneka riset tentang migras kerja migran perempuan PRT lintas negara, pada umumnya masih sarat
terfokus pada persoalan latar sosial dan ekonomi, aneka bentuk kerentana, dan faktor yang mendasarinya.
Sebaliknya, masih mengabaikan urgennya menkaji persoalan lebih krusial. Seperti, tatanan fundamenta seputar
‗governance model‟ maupun ‗e-governance‘ yang relevan dengan kebutuhan menumbuhkan kapasitas
kemandirian migran PRT.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 361


Aneka penelitian terkait migran PRT perempuan lintas negara, secara ringkas dapat disarikan seperti
pada tabel berikut.

Tabel 1

Penelitian Terdahulu Migran PRT Antar Bangsa

Peneliti Fokus Kajian Hasil kajian

Rosenberg Profil pekerja migran wanita 25 peratus migran wanita PRT berusia dibawah 15 tahun,
(2003) PRT di Indonesia majoriti berasal dari luar bandar, berpendidikan SD, belum
berkahwin, memiliki sedikit kemahiran for-mal, dan
bertanggungjawab terhadap keluarga

Rosenrberg Profil pekerja migran wanita Sekitar 1400 000 hingga 2100 000 wanita Indonesia bekerja
(2003) PRT asal Indonesia di luar di luar negeri dan bekerja sebagai PRT. Kawan dan kenalan
negara merupakan saluran utama untuk memperolehi seorang
majikan yang baik.

Sayres Profil pekerja wanita PRT di Sebahagian besar PRT masih berusia muda, sekitar 19 tahun
(2004) Filipina dan migran wanita atau kurang, dengan majoriti berusia antara 15-19 tahun, atau
PRT asal Filipina di Hong sekitar 59 peratus PRT berusia 15 dan 24 tahun.
Kong dan Singapura

PRT Filipina di Hong Kong, usia rata-rata adalah 33 tahun, 62


peratus lulus pendidikan dasar.

Survey di Singapura, separuh PRT Filipina menghabis-kan


SMA, 43 peratus menyandang gelaran perguruan tinggi,
dan kebanyakan mereka berasal dari daerah kota dibanding
yang bermukim di kota kecil

Human Perlindungan terhadap para Undang-Undang tidak mengikutkan PRT dalam per-
Right Watch pekerja migran PRT dari luar lindungan. Menawarkan perlindungan lebih rendah bagi PRT,
(HRW) negara di Singapura lebih memfokuskan pada masalah izin kerja daripada
(2005) perlindungan.

Meski memegang kontrak bertulis, PRT masih me-ngalami


pencabulan atas hak-haknya. Hanya sedikit mekanisme yang
berkesan dan cekap untuk membuat majikan
bertanggungjawab. Para PRT juga mengalami penindasan dan
eksploitasi selama pengambilan dan penempatan kerja.

Wisnuwardi Masalah migran wanita PRT PRT Indonesia di Singapura setelah kontrak berakhir, banyak
ni, dkk Indonesia di Sangapura majikan tidak bayar sepenuhnya. Ejen tenaga kerja dan
kedutaan, kurang berkesan dalam memberi bantuan kepada

362 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


(2005) PRT Indonesia yang mengalami penindasan dan eksploitasi.

Human Perlindungan migran wanita PRT kurang memperolehi perlindungan undang-undang,


Right PRT asal Indonesia di dibezakan secara `non-ahli`, menyerahkan penyelesaian
Whacht Malaysia sebahagian besar kes penindasan kepada para ejen atau
(HRW) penyalur yang berasaskan keuntungan.
(2004)

Kebanyakan negara belum miliki perundangan untuk


menangani perdagangan manusia. Selain itu, per-undangan
imigrasi di Malaysia tidak membezakan anta-ra pekerja
migran haram dan mereka yang meninggal-kan majikan
akibat keadaan kerja yang menindas.

PRT yang kembali daripada bekerja di luar negara juga


menghadapi banyak kesulitan saat tiba di negara asal mereka.
Di Indonesia, petugas di lapangan terbang juga pejabat
imigrasi, penyedia pengangkutan dan orang awam yang
meminta biaya amat tinggi, atau menipu mereka dalam
perjalanan menuju kampung asal me-reka.

ILO (2004) Kajian tentang situas PRT di Antara 70 peratus dan 90 peratus pekerja migran Indonesia
Negara-negara Arab dan Filipina yang bekerja di Timur Tengah adalah wanita. Di
Bahrain hanya 44 peratus PRT yang telah menandatangi
kontrak sebelum kedatangan. PRT juga mengalami
penindasan fizikal, verbal atau seksual. Sekitar 51 peratus di
Kuwait, 47 peratus di Bahrain, dan 50 peratus di Uni Arab
Emirat, membuat PRT dijangkiti HIV/ AIDS dan penyakit
menular lainnya.

Asian Pekerja migran wanita PRT Sekitar 86 peratus PRT telah menandatangi kontrak kerja,
Migrant Indonesia di Hongkong namun hampir sepertiga di antaranya belum mendapatkan
Care (AMC) penjelasan sepenuhnya tentang kontrak tersebut. Sementara
(2005) itu, seperempatnya dibolehkan menyimpan salinan kontrak.

Mereka umumnya kurang dilindung atas soal pem-berhentian


kerja. Walaupun telah memegang kontrak bertulis, mereka
masih mengalami pencabulan atas hak-hak mereka. Aspek
mekanisme yang berkesan dan efisien mampu membuatkan
majikan bertanggung jawab atas penindasan dan eksploitasi.

Penindasan dan eksploitasi juga dialami PRT selama


pengambilan, penempatan dan berada di tempat kerja. Survey
2005 menyatakan bahawa PRT Indonesia di Hong Kong,
sekitar 77 peratus dari mereka telah mem-bayar wang

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 363


sebanyak 15 peratus.

Kementerian Situasi pekerja migran wanita Sebanyak 96 peratus pekerja migran wanita berusia 20-49
Tenaga PRT di Bahrain dan tahun dan 72 peratus bekerja di sektor per-khidmatan. Pekerja
Kerja pengembangan praktik migran wanita dari Asia, me-nempati kedudukan terbesar,
Bahrain pengurusan yang baik iaitu mencapai 82 pera-tus.
(2005)

Untuk tingkatkan perlindungan pada para pekerjaa mi-gran


wanita, pemerintah Bahrain telah mengambil tindakan iaitu:
(a) menetapkan keperluan pekerja domestik, (b) menetapkan
jumlah gaji yang layak (c) menjamin pengguna memiliki
catatan latar belakang peribadi yang baik dan tidak pernah
memiliki rekod jenayah, (d) penyediaan tempat tinggal dan
(e) pembuatan Smart Cards dalam bentuk pengambilan cap
jari.

Kemente- Kondisi masalah pekerja Pekerja migran sekitar 20 peratus daripada tenaga kerja
rian Tenaga migrant wanita PRT di Jordan Jordan. Jumlah pekerja migran wanita sebanyak 50 000
Kerja orang, dan 98 peratus sebagai pekerja domestik (rumah
Jordania tangga).
(2005)

Dapatan kajian juga mengungkapkan pelbagai masalah yang


dihadapi. Keadaan kerja di dalam (inside) dan di luar
(outside) rumah tempat kerja. Masalah utama di rumah
tempat kerja (a) upah tidak dibayar penuh; (b) jam kerja yang
panjang; (c) pembatasan kebebasan bergerak; (d) penahanan
fail identiti diri pekerja; dan (e) pelanggaran hak fizikal
atau seksual

Permasalahan di luar tempat kerja mencakupi: (a)


institusi pengambilan pekerja tidak teratur; (b)
lemahnya mekanisme penerapan undang-undang; (c)
pengawasan atau keamanan.

Kementerian Pengembangan praktik Pekerja wanita asing sekitar 150 000 orang yang
Tenaga Kerja yang baik bagi bekerja di sektor domestik. Berasal dari Bangla-desh,

364 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Singapura perlindungan pekerja India, Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Filipina.
(2005). migran wanita PRT

Pemerintah telah menerapkan pendekatan ber-


lapis/ganda (multifaceted approach) untuk men-jamin
kehidupan dan melindungi kepentingan pekerja asing.
Pelbagai sarana dan langkah ini-siatif yang dilakukan:
(a) menetapkan per-syaratan memasuki wilayah
negara Singapura; (b) persyaratan pendidikan; (c)
pengaturan ejen tenaga kerja; (d) penggubalan
peraturan per-undangan; (e) pengembangan
konsiliasi; (f) ker-jasama; dan (g) sarana pengurusan.

Kementrian Pelbagai isu terkait persoalan pekerja migran wanita


Sumberdaya PRT yang berkembang selama ini, telah
Manusia menimbulkan masalah baik pada pihak ejen, majikan
Malaysia (2005) mahupun migran wanita PRT. Selain itu, dipaparkan
sejumlah langkah yang telah diambil dan tindakan
pembetulan yang disarankan oleh Kerajaan Malaysia.
Lely Indah
Kepuasaan majikan terhadap kinerja TKI-PRT
Mindarti (2012) Kinerja dan Kerentanan
perempuan di Malasyia, masih relatif rendah.
TKI-PRT Permpuan di
Khususnya terkait aspek/faktor ‗morlitas kerja‘ dari
Malaysia
TKI-PRT perempuan. Implikasinya, keren-tanan
tidak hanya berpeluang menimpa para TKI-PRT
perempuan, tetapi kerentanan serupa dapat juga
terjadi pada pihak keluarga majikan sebagai
pengguna. Karena itu, pemberdayaan terhadap TKI-
PRT perempuan, tidak cukup dila-kukan pada
tahapan pra-penempatan, namun juga sangat urgen
dilakukan pada tahapan ‗se-lama penempatan‘ di
tempat kerja majikan di luar negeri.

Aneka hasil riset yang relevan di atas, menunjukkan bahwa tatakelola penem-patan TKI-PRT di luar
negeri, belum secara efektif memperkuat aksi perlindungan terhadap TKI-PRT perempuan. Baik pada fase
sebelum penempatan, selama penempatan, dan fase pemulangan (paska penempatan). Sumber paling fun-
damentalnya, akibat tatakelola penempatan TKI-PRT perempuan, belum secara sungguh-sungguh dan nyata
diberdayakan. Hingga para TKI-PRT mampu proaktif berperan sebagai ‟an active agent of change‟ dalam
keseluruhan tahapan proses pelaksanan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 365


Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan rumusan masalah yang diajukan, riset dengan topik sentral seputar persoalan penerapan ‟good
governance‟, khususnya prinsip ‘transparansi‘ dalam penempatan TKI-PRT perempuan di luar negeri ini,
memiliki tujuan utama, yaitu:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis relevansi aneka persyaratan yang berlaku dan dipraktekkan dalam
proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, dengan kebutuhan bagi ditumbuhkannya
sistem manajemen informasi penempatan TKI yang transparan berbasis ‟self-governance model‟.
Tatakelo-la berfokus dan berbasis sentral pada penguatan kepasitas kemandirian ‟TKI as an active
agent of change/evaluator and creator of information) dalam keseluruhan tahapan proses penempatan
dan perlindungan TKI-PRT perempu-an di luar negeri;
2. Menganalisis dan merumuskan substansi dasar konseptual yang relevan dan strategis bagi kebutuhan
ditumbuhkannya sistem manajemen informasi pe-nempatan dan perlindungan TKI yang transparan
berbasis ‟self-governance model‟ dimaksud.

Berpijak pada tujuan utama yang hendak dicapai dalam penelitian, maka hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan manfaat utama kepada stakeholders terkait. Manfaat bagi TKI dan Majikan, kelak kian
mampu: memiliki kemu-dahan melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi kepada segenap stake-
holders; melakukan pemberdayaan diri dan upaya preventif mengurangi resiko kerentanan akibat tindakan
stakeholders; meningkatkan peran emansipatif TKI menjadi evaluator dan kreator informasi yang utama dalam
keselu-ruhan tahapan proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Manfaat bagi Institusi
Penyedia (Agensi) TKI, kelak kian mampu: meningkatkan kualitas penempatan dan perlindungan TKI secara
lebih kredibel, transparan, cepat, mudah dan murah; melakukan monitoring dan laporan periodik seputar kondisi
TKI-PRT; mampu proaktif memperkuat kapasitas kemandirian lembaga, kinerja PRT, dan citra positip dirinya
maupun pemangku kepentingan terkait. Manfaat bagi Pemerintah, kian mampu: memiliki referensi konseptual
bagi kepentingan membangun sistem manajemen informasi TKI secara ‟on-line‟ berbasis ‘self-governance
model‘, dan dapat diajadikan acuan merumuskan ‟enabler paltorm‟ yang lebih relevan, strategis dan bermanfaat
bagi semua pihak.

Metode Penelitian

Riset ini dilakukan dlambentuk studi kasus (case study), dengan pengum-pulan data yang dilakukan di
level domestik (Indonesaia) dan luar negeri (Malaysia). Data utama berupa data kualitatif, dengan berbasis pada
sumber data sekunder. Namun pada aspek persoalan tertentu, dipergunakan sumber data primer. Sumber data
primer, diprioritaskan pada „stakeholder‟ tertentu, yakni .pihak ‗perwakilan Pe-merintah RI di Malaysia‘ sebagai
pelaku sentral di lapangan selama TKI-PRT berada di negara tujuan.

Data utama dikumpulkan melalui teknik dokumenter (documentary) yang tidak hanya terbatas yang
ada di level domestik, tetapi juga yang di Malaysia. Ter-utama data yang ada di Kedubes Malaysia. Teknik
analisis data dilakukan mellui teknik ‗analisis isi‘ (content analysis) berbasis ‗analisis deskriptif‘ (descpirtve
ana-lysis).

366 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


TEMUAN RISET DAN PEMBAHASAN

Kondisi Perkembangan Penempatan TKI-PRT

Dinamikan kondisi domestik ketenagkerjaan, seperti di Jatim, masih menunjukkan adanya keterkaitan
antara kesempatan kerja domestik dan intensitas perkembangan pengiriman TKI ke luar negeri. Meskipun
kesempatan kerja baru yang tercipta meningkat, namun terus lekat diwarnai adanya ketimpangan gender.
Kesempatan kerja baru yang tercipta bagi kaum pria mencapai sebesar 84,29%, sedangkan bagi kaum
perempuan hanya sebesar 38,20%. Kesempatan kerja baru yang bisa gender ini, telah diikuti berlanjutnya
dominasi kaum perempuan memilih menjadi TKI.

Berlanjutnya dominasi kaum perempuan menjadi TKI, terutama menjadi PRT/PLRT, telah diikuti
dominannya TKI-perempuan yang bermasalah ketika bera-da di negara tujuan. Seperti terjadi hingga September
2014, dimana dari sebanyak 598 TKI bermasalah yang ditampung di shelter KBRI Malaysia, sekitar 67,6% TKI
adalah para TKI-PRT perempuan.

Tabel 2

TKI Bermasalah Menurut Sektor Pekerjaan

di Shelter KBRI Kuala Lumpur Periode Januari – September 2014

No Sektor Pekerjaan Jumlah %

01 PLRT 398 67,6

02 Tidak Bekerja 37 6,30

03 Cleaner 28 4,80

04 Restoran 25 4,20

05 Tadika 25 4,20

06 Kedai 13 2,20

07 SPA 12 2,00

08 Kilang 10 1,70

09 Kontruksi 9 1,50

10 Pelancong 9 1,40

11 Stranded 6 1,00

12 PSK 5 0,80

13 Penjaga Orangtua 3 0,50

14 Salon 3 0,50

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 367


15 ABK 2 0,30

16 Ladang 2 0,30

17 Baby Sister 1 0,20

18 Bidan Kampung 1 0,20

19 Hotel 1 0,20

Jumlah 598 100,00

Sumber: KBRI di Malaysia, 2014:3.

Ada pun aneka permasalahan yang dihadapi TKI yang ditampung di shelter KBRI Malaysia,
dipaparkan pihak KBRI di Kuala Lumpur-Malaysia, mencakup: (a) eksploitasi kerja, penyiksaan, (c) gaji tidak
dibayar, (d) paspor dipegang majikan, dan sejenisnya. Masih tingginya kerentaan TKI hingga kurun 2014, pada
esensinya adalah tidak terlepas dari kecenderungan kuat dimana substansi pengaturan dan praktek tatakelola
penempatan TKI di luar negeri, masih diwarna 7 (tujuh) kelemahan mendasar.

Substansi pengaturan hak dan kewajiban TKI. Substansi pengaturan yang ada selama ini, masih sarat
terpusat pada „hak-hak substantive TKI‟ daripada „hak-hak procedural TKI‘. Hak prosedural TKI ini, terutama
yang berkaitan dengan ke-butuhan penguatan kapasitas kemandirian dan aktualisasi peran produktif „TKI as an
active agent of change‟, khususnya „TKI as an active evaluator and creator of information‟ dalam keseluruhan
tahapan proses pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri. Implikasinya, pengaturan hak dan kewajiban TKI
yang ada, justru lebih banyak memposisikan TKI dalam „peran pasif‟ dan bukan pada „peran aktif‟.

Substansi pengaturan terhadap peran dan tanggungjawab pemangku ke-pentingan di luar TKI.
Substansi pengaturan yang ada, lebih lekat terfokus pada aspek ‗teknis manajemen‘ penempatan TKI daripada
‗aspek strategis manajemen‘ bagi penumbuhan ‗collective capacity‘ bagi segenap pemangku kepentingan untuk
memicu kebangunan kapasitas kemandirian TKI sebagai fokus dan basis sentral sebagai ‗an active agent of
change‘, khususnya ‗TKI as an active evaluator and creator of information‘ dalam keseluruhan tahapan proses
pelakanaan penempatan TKI di luar negeri. Sehingga aktivitas manajemen penempatan dan perlindungan TKI,
rentan didominasi peran dan kepentingan pihak pemangku kepentingan daripada memperkuat perlindungan
TKI. Dampaknya, TKI terus berpotensi mengalami aneka bentuk kerentanan yang bersumber pada tindakan
pemangku kepentingan itu sen-diri.

Selain itu, substansi pengaturan peran dan tanggungjawab pemangku ke-pentingan di luar TKI, terlalu
lekat terkonsentrasi pada fase ‗pra-penempatan‘ dan mengabaikan peran proaktif pemangku kepentingan pada
fase ‗selama masa penem-patan TKI‘ di luar negeri. Pengaturan ini terlihat jelas, misalanya pada persoalan
pelatihan terhdap TKI yang hanya ditegaskan dilakukan pada tahapan ‗pr-penempatan‘. Sebaliknya, tidak ada
substnasi pengaturan yang menegaskan dan menekannya urgennya pelatihan TKI yang serupa selama berada di
negara tujuan penempatan. Implikasinya, problem hubungan kerja majikan dan TKI, masih terus marak terjadi
hingga kini. Seperti tercermin maih tingginya TKI-PRT bermasalh yang tertampung pada shelter KBRI di
Malaysia hingga September 2014.

368 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Sementara itu, pengaturan pelatihan TKI pada fase ‗pra-penempatan‘, cende-rung terbatas pada
penguatan ‗ketrampilan teknis‘ daripada penguatan kapasitas ‗kultural‘ (mora-litas/spirituaitas), ‗ekonomi‘
(infrastruktur dan akses komunikasi), dan ‗politik‘ (negosiasi dan komunikasi dengan segenap pemangku
kepentingan). Implikasinya, prinsip perlindungan pertama dan terbaik datang dari TKI sendiri, tidak dapat
berkembang-tumbuh seperti yang diharapkan, bahkan ditegaskan dalam peraturan perundangan.

Substansi pengaturan struktur alokasi biaya yang menjadi beban majikan dan TKI, cenderung lebih
bias ke pemangku kepentingan dan untuk membiaya kebutuhan administratif TKI. Sebaliknya, relatif minim
untuk membiayai penguatan kapasitas kemandirian TKI agar mampu proaktif menjadi „an active agent of
change‟. Seperti, penyediaan fasilitas sarana komunikasi, dokumentasi, dan sara-na/prasarana vital lainnya,
maupun untuk mendukung pelaksanaan kewajiban PPTKIS dan mitranya di luar negeri untuk melakukan
aktivitas strategis monitoring kondisi TKI-PRT selama berada di tempat kerja majikan.

Tabel 3

Struktur Biaya Penempatan TKI-PRT di Malasyia

No Item Amount (Rp) Amount (RM)

1 AnnualLevy 1.245.000 415

2 Work process and document 255.000 85

3 Stamping, airport cleareance, documentation, 1.935.000 645


service tax, food and lodging, insurance, etc.

4 Medical Check-up in Malaysia 570.000 190

5 Fees for Malaysia Agency 4.500.000 1.500

6 Transportation cost from the original point in 2.100.000 700


Indonesia to the place of empowernment in
Malaysia

7 Airport tax and handling 300.000 100

8 Training (50%) 2.085.000 695

TOTAL 18.000.000 6.000

Sumber: KBRI di Malaysia (2014).

Pada tabel di atas terlihat dimana dari total biaya yang menjadi beban kewa-jiban majikan sebesar Rp.
18.000.000,- yang menjadi bagian dari „fee for Malaysia agency‟ mencapai sebesar Rp.4.500.000,-. Besaran fee
agensi ini, jauh lebih besar daripada porsi alokasi untuk membantu biaya pelatihan calon TKI-PRT yang hanya
sebesar Rp. 2.085.000.-. Kondisi struktur alokasi biaya yang serupa terjadi pada struktur alokasi biaya yang
dibebankan kepada pihak calon TKI-PRT. Dari total beban biaya yang harus ditanggung calon TKI-PRT sebesar

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 369


Rp. 5.400.000,- yang dialokasikan untuk membiayai training calon TKI yang dikelola pihak PPTKIS men-capai
sebanyak Rp. 2.085.000.000,-.

Tabel 4

Struktur Fees Bear by Domestic Worker

No Item Amount (Rp) Amount (RM)

1 Medical check-up in Indonesia 700.000 233

2 Psycological Test 250.000 83

3 Visa imposed by the Malaysian Emabssy 45.000 16

4 Traveling document 120.000 40

5 Insurance 400.000 133

6 Training (50%) 2.085.000 695

7 Competency examination 150.000 50

8 Acomodation 1.650.000 550

TOTAL 5.400.000 1.800

Sumber: KBRI di Malaysia (2014).

Struktur alokasi biaya penempatan TKI-PRT di Malaysia yang lebih biasa ke pihak pemangku
kepentingan dan mengurus persyaratan administrative calon TKI ini, memili implikasi serius. Dimana pihak
TKI terus terperangkap dalam kondisi tidak bisa berbuat banyak, ketika menghadapi situasi yang berpotensi
menimbulkan kerentanan pada dirinya. Pihak pemangku kepentingan pun dihadapkan pada kondisi ketiadaaan
dukungan sumberdaya yang memadai untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Seperti, melakukan
pemberdayaan dan monitoring langsung secara periodic dan berkelanjutan terhadap perkembangan kondisi TKI-
PRT selama berada di tempat kerja majikan.

Substansi pengaturan pengembangan sistem manajemen informasi TKI ber-basis „on-line‟. Substansi
pengaturan yang ada masih lekat didasarkan pada sudut pandang dan kepentingan pemangku kepentingan di luar
pihak TKI. Sebaliknya, bukan didasarkan pada sudut pandang dan kepentingan memperkuat aktualisasi peran
„TKI as active agent of change‟, khususnya „TKI as active evaluator and creator of infor-mation‟. Misalnya,
tercermin pada pengaturan yang tertuang dalam pasal 52 Permenaker 22/2014 yang menegaskan bahwa
―layanan data dan informasi TKI sekurang-kurangnya memuat: identitas TKI meliputi nama, tempat dan
tanggal lahir, alamat dan pas photo; nomor paspor; nama dan alamat PPTKIS yang menempatkan TKI; nama
dan alamat mitra usaha dan/atau pengguna; nomor perjanjian penempatan; nomor perjanjian kerja; tanggal
keberangkatan; dan kepersertaan asuransi TKI‖. Implikasinya, pengembangan „e-governance‟ dalam pe-
nenpatan dan perlindungan TKI, akan lebih banyak menimbulkan ‗pemborosan sumberdaya‘ dan kurang
terasakan manfaat strategis dan jangka panjangnya bagi TKI maupun pemangku kepentingan terkait.

370 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Substansi pengaturan distribusi kewenangan, tugas dan tanggungjawab dalam tatakelola penempatan
dan perlindungan TKI masih lekat bewajah „overlapping‟. Belum memisahkan dan menciptakan „check and
balance‟ antar institusi yang meng-emban peran sebagai regulator, pelaksana dan pengawasan. Hampir semua
pe-mangku kepentingan dari institusi pemerintah mulai dari pusat, sama-sama saling mengemban peran sebagai
implementor dan pengawasan. Sementara itu, fungsi pengawasan terhadap perkembangan kondisi TKI selama
berada di tempat kerja majikan, justru dilimpahkan pada pihak PPTKIS dan mitra kerjanya di negara tujuan.
Implikasinya, fungsi monitoring, evaluasi, perlindungan dan inovasi dalam tatakelola pe-nempatan TKI, tidak
banyak berkembang dari waktu ke waktu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Substansi pengaturan terhadap tatakela penempatan TKI di luar negeri, seperti TKI-PRT yang
mayoritas terdiri atas kaum perempuan, masih lekat berwatak ‘bureacratic centricity‘ daripada ‘citizen
centricity‘. Atau, masih lekat didominasi oleh sudut pandang dan kepentingan pemangku kepentingan, daripada
berorientasi pada kebangunan tatanan ‘self-governance model‘ yang berfokus dan berbasis sentral pada
penguatan kapasitas kemadirian TKI-PRT ‘as an active agent of change‘. Khususnya, penguatan kapasitas
kemandirian ‘TKI as an active evaluator and creator of information‘ dalam keseluruhan tahapan proses
pelaksanaan penempatan TKI ke luar negeri.

Substansi pengaturan tatakelola penempatan TKI ke luar negeri yang lekat berwatak ‟bureaucratic
centricity‟ ini, sangat bertentangan dengan esensi fundamental ‟migrasi kerja TKI‟, prinsip fundamental
‟perlindungan pertama dan terbaik muncul dari tenaga kerja itu sendiri‟, serta azas/prinsip utama tatakelola
penempatan TKI yang harus dilandaskan pada ‟keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial,
kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia‟, sebagaiaman diatur dalam
UU No. 39/2004.

Kondisi substansi pengaturan tatakelola penempatan TKI di luar negeri tersebut, berpotensi menjadi
kendala serius dalam upaya mewujudkan system manajemen informasi berbasis ‗on-line‘ yang makin
memperkuat transparansi maupun perlindungan TKI. Karena pembaharuan substnasi pengaturan menjadi sangat
urgen dan mendesak dilakukan. Pembaharuan strategis yang urgen dilakukan, mencakup aneka dimensi penting
tatakelola penempatan TKI seperti disarikan pada tabel berikut.

Tabel 5

Substansi Konseptual Pembaharuan

Tatakelola Sistem Informasi Penempatan dan Perlindungan

TKI di Luar Negeri

No Aspek Tateklola Substanai Penguatan


TKI

01 Visi Penempatan TKI sebagai bagian integral penguatan praktek „human


development/ emancipation process‟, dan diplomasi bangsa yang ber-

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 371


‗Trisakti‘

02 Fokus Penguatan kapasitas kemandirian TKI sebagai „an active agent of change‟
(active evaluator and creator information) dalam tatakelola TKI

03 Prinsip Kepemerintahan yang baik dan berkemandirian (good governance and self-
governance)

04 Faktor Kunci Penguatan kapasitas kemandiran ‗kultural/spiritual, ekonomi dan politik‘


segenap pemangku kepentingan (autonomy and integrity of all actors)

05 Penataaan 1. Pemisahan insitusi fungsi regulasi, pelaksana dan pengasan


Institusional &
2. Kesimbangan distribusi kewenangan dan sumberdaya
manajemen
3. Penerapam ‟e-governance‟ berbasis „TKI centricity‟ (self-governance
model)

4. Pembentukan unit ‗crises centre‘ pada segenap pemangku kepentingan di


luar TKI dan manjikan

5. Restrukturisasi alokasi dana yang ditanggung majikan dan TKI

06 Tahap Pra- 1. Perbarui standar minimal kelayakan majikan/pengguna TKI


Penempatan
2. Perbarui struktur alokasi biaya yang ditanggung majikan dan TKI;

3. Verifikasi lapangan kelayakan pengguna, agensi luar negeri, dan


PPTKIS;

4. Identifikasi dan validasi contact person pengguna dan pemangku


kepentingan terkait

5. Identifikasi dan validasi „personal contact‟ penangungjawab „crisis


central‟ di setiap pemangku kepentingan dalam dan luar negeri;

6. Fasilitasi sarana dan akses komunikasi TKI di dalam negeri;

7. Monotoring lapang dan atau „e-monitoring‟ ke TKI dalam menjalani


setiap aktivitas pra-penempatan dan hasil-hasilnya;

8. Verifikasi aneka dokumen, kontrak kerja, asuransi dan nomor rekening


bank TKI di luar negeri

07 Tahap Masa 1. Fasilitasi sararan komunikasi & akes komunikasi TKI di luar negeri;
Penempatan
2. Perbarui format substansi KTLN sebagai bagian integral memperkuat
akses informasi TKI

3. Verifikasi dan monitoring lapanga atau „e-monitoring‟ terhadap TKI


secara periodik sejak kedatangan dan selama TKI berada di tempat
tinggal majikan;

372 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


4. Verikasi dan monitoring lapangan atau ‗e-monitoring‘ terhadap
majikan/pengguna tenang kinerja TKI;

5. Program pemberdayaan TKI berbasis kebutuhan TKI/majikan pengguna

08 Tahap Paska 1. Informasi waktu berakhirnya kontrak kerja kepada TKI dan Majikan;
Penempatan
2. Verifikasi, monitoring lapang atau ‗e-monitoring‘ kesiapan kepulangan
TKI dan segenap aspek terkait;

3. Verivikasi lapangan kelayakan Pos Layanan Kepulangan TKI;

4. ‗e-monitoring‘ terhadap TKI selama menjalani proses kepulangan hingga


ke tempat asal

Aneka pembaharuan yang strategis tersebut, merefleksikan bahwa msa depan tatakelola penempatan
TKI diluar negeri, menuntut lekat lekat dibangunan pada pendayagunaan peran prouktif TKI sebagai „an active
agent change‟. Tatatanan baru ini hanya dapat diwujudkan jika dilandasi adanya „share vision‟, „collective
capacity‟, dan komitmen segenap pemangku kepentingan untuk saling bersinergi memperkuat kebangunan
tatanan „self-governance model‟ dalam tatakelola penempatan TKI, termasuk dalam pengembangan
sistemmanajemen informasi penempatan TKI berbsis „on-line‟. Terutama melalui adanya tindakan otonomisasi
yang nyata, luas dan terintegratif yang ditujukan untuk memperkuat dan melembagaan prakte-pratek „autonomy
and integrity of all actors‟. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 1998. Ekonomi Politik dan Bisnis Indonesia Era Orde Baru, Malang : Universitas
Brawijaya Press.

Abimanyu, et al. 1995. Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat. Yogja-karta : PAU-SE dan BPFE-
UGM.

Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung : Alfabeta.

Ambar Teguh, S. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Jakarta Grava Media.

Buang, Amriah. 2007 Memahami Masalah Gender. Bahan Kuliah. Malaysia : Universiti Kebangsaan Malaysia.

Bhudeb Chakravarti & M. Venugopal, 2008, Delivery through e-Governance Portal - Present Scenario in India,
Hyderabad, India: A White Paper published by National Institute for Smart Government.

Biro Pusat Statistik. 2013. Jatim dalam Angka, Surabaya: BPS.

Bryant, C. Dan White, L ,G..1987 . Managing Development in Third Worked Westview, Colorado : Press,
Boulder.

Creswell, John W. and Vickii L. Plano Clark. 2007. Designing ad Coducting Mixed Methods Research. London
: Sage Publications.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 373


CSTransform, 2010, Citizen Centric Transformation: A Manifesto for Change in the Public Service Delivery
System, London: Pul Mall.

Denhardt, Robert B, and Denhardt, Janet Vinzant. 2000. The New Public Service : Serving rather than Steering.
London : Sage Press.

Friedmann, John. 1992 Empowerment: The Politics of Alternatif Development. Chambrige: Bllakwell..

Hermono, 2014, Evaluasi Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia, Malaysia: Kedubes RI.

Hermono, 2014, Dokumen Pengajuan Permitaan TKI-PRT di Malaysia, Malysia: Kedubes RI.

Henry, Nicolas. 2004. Public Administrastion & Public Affairs. Ninth Edition. USA :. Pearson Prentice Hall.

Islamy, M. Irfan. 1998. Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar, Fakultas Ilmu Administrasi Brawijaya. Malang : Universitas Brawijaya.

Islamy, M. Irfan. 2003. Dasar-Dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik, Malang : Univesitas
Brawijaya.

Ismail, Rahmah dan Mahbar, Zaini. 1996. Perempuan dan Pekerjaan. Bangi: Uni-versiti Kebangsaan Malaysia.

Kantor Perburuhan Antarabangsa. 2006. Mencegah Diskriminasi, Exploitasi, Perla-kuan Sewenang-wenang


terhadap Pekerja Migran Perempuan (Bekerja dan Tinggal di Luar Negeri). Jakarta : Press.

Kantor Perburuhan Antarabangsa. 2006. Tinjauan Permasalahan terkait Pekerja Rumah Tangga di Asia
Tenggara. Jakarta : Press

Kantor Perburuhan Antarabangsa. 2006 Pekerja Rumah Tangga di Asia Tenggara : Prioritas Pekerjaan yang
Layak. Jakarta : Press.

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.
Jakarta : CIDES.

Kathy, Davis, Evans, Mary, and Lorber, Judith. 2006. Gender and Woman Studies. London : Sage Publications.

Kepmenaker No. 22/2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

Mindarti, Lely Indah. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Pengrajin Kompor Minyak (study tentang
Pemberdayaan Pengrajin Kompor Minyak di Desa Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang).
Thesis Master. Universitas Brawijaya Malang.

Mindarti, Lely Indah. 2007, Revolusi Administrasi Publik : Aneka Pendekatan dan Teori. Malang : Bayumedia
Publising.

Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Morgan.

Mosley, Hugh and O‘really, Jaqueline. 2002 Labour Markets, Gender and Institu-tional Change. USA :
Nortampthon

Noor, Ismail dan Noor, Elisa. 2004. Empowerment: The Role of the Citizens. Kuala Lumpur : Fukuda Printing
& Office Supplies. SDN. Benhard.

374 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Prijono, Onny S. dan A.M.W. Pranaka (eds).1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebi-jakan dan Implementasi.
Jakarta : CSIS.

Saptari, Ratna dan Holzer, Briggite. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta : Kalyanamitra.

Singh, Shweta. 2007. Deconstructing Gender and Development for Identities of Women. International Journal of
Social Welfare.

Sumodiningrat, Gunawan. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat. Yogjakarta : IDEA dan Pustaka Pelajar.

Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Kemiskinan : Teori, Fakta dan Kebijakan . Jakarta : Impac.

Susanto. 2003. Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal. Jakarta: PT. Dyatama Milenia.

Sutoro, Eko. 2004. Reformasi politik dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogjakarta : APMD Press.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Publik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Undang-undang No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

UPT-P3TKI. 2013, Perkembangan Penempatan TKI ke Luar Negeri.

Wiyoto, Budi, 2014, Manajemen Publik dan Good Governance, Surabaya: MIA-Pasca Sarjana Unitomo

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 375


E-Governance Sebagai Alternatif Solusi Menghilangkan Konflik Sengketa
Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Batu Bara

Di Provinsi Kalimantan Timur

Himawan Nuryahya dan Secilia Fammy Rukhamah

Email: himawannuryahya@gmail.com dan cecil81fm@yahoo.co.id

Abstrak: Konflik sengketa tumpang tindih lahan pertambangan batubara di Provinsi Kalimantan Timur sangat
rentan terjadi. Berdasarkan hasil penelitian, Sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di area
pertambangan dengan peruntukan lainnya. Biasanya melibatkan peruntukan lahan yang dikuasai oleh civil
society. Dari segi Government, konflik tersebut sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara instansi
yang berwenang dalam mengeluarkan perizinan peruntukan lahan. Dari segi civil society, sering ditemukan
sertifikat hak kepemilikan lahan ganda yang sering kali disebabkan dikarenakan masalah yang diakibatkan
pemekaran wilayah, baik desa maupun kecamatan. Lemahnya pengawasan sehingga memancing orang
memanfaatkan kesempatan untuk menguasai lahan yang telah dikuasai oleh pihak lain. Dari sektor privat,
permasalahan tersebut diatas sangat menghambat iklim investasi serta kinerja perusahaan. Apabila Good
Governance benar-benar dilaksanakan,maka seharusnya tidak akan terjadi konflik tumpang tindih lahan di
area pertambangan denganperuntukan lainnya. Dari segi Government, bila koordinasi benar-benar
dilaksanakan dengan baik, maka tidak akan terjadi tumpang tindih dalam pengeluaran perizinan peruntukan
lahan. Dari segi civil society, apabila pemekaran wilayah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (tranparan, partisipatif dan akuntabel) maka tidak akan diketemukan kasus-kasus
serttifikat hak kepemilikanlahan ganda yang seringkali disebabkan dikarenakan masalah yang diakibatkan
pemekaran wilayah, baik desa maupun kecamatan.Dari sektor privat, dengan good governance permasalahan
konflik tumpang tindih lahan tidak akan terjadi. Dengan good governance akan mendukung pertumbuhan iklim
invetasi serta kinerja perusahaan. Studi ini dimaksudkan untuk mengkaji e-governance sebagai alternatif solusi
dari berbagai permasalahan tumpang tindih lahan yang dihadapi sektor pertambangan. Kajian ini akan
mengemukakan penyebab konflik tumpang tindih lahan yang terjadi pada sektor pertambangan disertai solusi-
solusi yang telah diambil dan koreksi-koreksi dari solusi-solusi tersebut. Metode Penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif dengan instrumen penelitian mengumpulkan, mengelola, menganalisis,
menafsirkan, dan memverifikasi setiap data dan informasi yang berasal dari berbagai sumber informan melalui
wawancara untuk memperoleh validitas dan reliabilitas data, serta menggunakan proses triangulasi.

Kata Kunci: e-governance, Konflik Sengketa Tumpang Tindih Lahan, Pertambangan Batu Bara.

376 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


A. LATAR BELAKANG

Penelitian ini merupakan hasil penelitian yang saat ini masih berlangsung dan merupakan bagian dari
disertasi yang saat ini penulis susun. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji dan mencari solusi dari berbagai
permasalahan tumpang tindih lahan yang dihadapi sektor pertambangan batubara. Saat ini salah satu
permasalahan utama yang terjadi dalam pertambangan adalah sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di
area pertambangan batubara dengan peruntukan lainnya baik sektor bisnis lain yang sejenis seperti
pertambangan maupun lintas sektor seperti kehutanan, pertanian, perkebunan dan peternakan dan juga dengan
lahan yang dikuasai atau dipergunakan oleh pihak masyarakat atau civil society.

Namun secara umum konflik sengketa lahan ini biasanya lebih banyak melibatkan peruntukan lahan
yang dikuasai oleh civil society. Sehingga hipotesis awal yang penulis sampaikan adalah bahwa penulis
berpendapat apabila sektor pertambangan dilakukan dengan tata kelola yang baik atau Good Governance benar-
benar dilaksanakan, maka seharusnya tidak akan terjadi konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan
batubara dengan peruntukan lainnya. Kajian ini akan mengemukakan akar penyebab konflik tumpang tindi
lahan yang terjadi pada sektor pertambangan batubara disertai solusi-solusi yang telah diambil dan koreksi-
koreksi dari solusi-solusi tersebut.

Secara faktual Provinsi Kalimantan Timur merupakan salahsatu sentra pertambangan batubara di
Indonesia, karenanya di sana dengan sendirinya sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di area
pertambangan batubara dengan peruntukan lainnya. Salah satu contoh kasus konflik tumpang tindih lahan yang
terjadi adalah pada kasus tumpang tindih lahan di kecamatan Sangasanga.

Kecamatan Sangasanga merupakan salah satu wilayah penghasil minyak dan gas bumi di Kutai
Kartanegara yang kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi hingga saat ini dikerjakan oleh
PT.Pertamina EP UBEP Sangasanga berdasarkan Technical Assisstance Contract Nomor 0337/03/M.DJM/89
tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas, yang dalam hal ini Operator Migas telah
melakukan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja sanga-sanga Kabupaten Kutai
Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 1992. Salah satu perusahaan batubara sebagai pemegang
kuasa lahan eksploitasi batu bara di kecamatan Sangasanga tersebut adalah PT. Indomining. PT. Indomining
memulai kegiatan eksploitasi batubara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi
Kalimantan Timur dengan luas lahan yang berada dalam Kuasa Pertambangan PT. Indomining seluas kurang
lebih 683 Hektar. Kuasa Pertambangan ini didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara
Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007.

Masalah tumpang tindih lahan masih kerap terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, sementara
penyelesainya masih belum jelas. Kasus ini pada dasarnya berlandaskan pada permasalahan yang ada pada
operator migas yang merupakan mitra PT. Pertamina EP di wilayah kerja Sangasanga, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Technical Assisstance Contract Nomor
0337/03/M.DJM/89 tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas. Dalam hal ini operator
migas telah melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja Sangasanga,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,sejak tahun 1992 sebelum izin Kuasa Pertambangan
(KP) batubara diterbitkan kepada perusahaan batubara PT. Indomining. Dari seluas 683 Hektar KP Eksploitasi
yang dijalankan oleh PT. Indomining sebagian wilayah tersebut tumpang tindih dengan wilayah kerja

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 377


PT.Pertamina EP. Pelaksanaan kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara di wilayah tumpang
tindih lahan perlu diatur lebih lanjut, terutama demi terpeliharanya keselamatan serta aspek pemeliharaan
lingkungan dari sisi operasional kegiatan esplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi oleh PT. Pertamina EP
dan operator Migas maupun kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara sendiri.

Berdasarkan kajian penulis yang didasarkan kepada penelitian yang dilakukan oleh Nurhayaty yang
berjudul ―Tinjauan Yuridis Penyelesaian Senngketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Migas dan
Batubara‖ yang dipublikasikan pada Jurnal Beraja Niti, Vol. 2, No. 10 Tahun 2013, didapatkan keterangan
bahwa faktor penyebab terjadinya permasalahan tumpang tindih lahan pertambangan antara PT. Pertamina EP
UBEP Sangasanga dengan PT Indomining Sangasanga adalah salah satunya disebabkan oleh faktor
kesengajaan dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dalam kajian tersebut Nurhayaty (2013:21) menyimpulkan bahwa faktor penyebab permasalahan
tumpang tindih lahan antara PT. Pertamina UBEP Sangasanga dengan PT. Indomining Sangasanga ada 3 (tiga)
hal, antara lain adalah:

1. Adanya faktor kesengajaan dari Dinas Pertambangan dan Eergi karena diterbitkan dan
dikeluarkannya izin kepada PT. Indomining pada tahun 2006 pada lahan yang telah berada dalam
wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP yang diberikan izin beroperasi sejak tahun 1996. Alasan
pemberian izin kepada PT. Indomining adalah dikarenakan pandangan Dinas Pertambangan dan
Energi Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur berpendapat bahwa pemberian
izin tersebut dikarenakan batubara merupakan devisa negara, merupakan pendapatan asli daerah,
serta sebagai asas manfaat bagi kemakmuran rakyat.
2. Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena
karena Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada Pemeritah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa
Pertambangan (KP). Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang yang
berada di perbatasan dua provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa
pertambangannya terlebih data jumlahnya dan semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena
para Bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat.
3. Adanya pengoptimalan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena adanya upaya
pemerintah dalam meningkatkan dan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
dari Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan Umum dan pelaksanaan Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pnerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penyetoran PNBP Sumber Daya Alam Pertambangan umum yang beupa Iuran Tetap dan Iuran
Produksi (royalti) yang oleh Pemerintah Daerah ingin dioptimalkan untuk menjadi devisa bagi
negara dan pendapatan daerah

Dari paparan Nurhayaty tersebut penulis mendapatkan kesimpulan bahwa ternyata :

1. Otonomi Daerah memiliki pengaruh terhadap munculnya konflik tumpang tindih lahan pertambangan.
Hal tersebut terlihat dari penerbitan Kuasa Pertambangan PT.Indomining yang didasarkan kepada Surat
Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007
seluas 683 Ha, yang ternyata sebagian dari lahan yang di berikan KP terhadap PT. Indomining tersebut

378 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


ternyata berada pada wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga yang telah mendapatkan izin
sejak tahun 1992. Penerbitan Surat Keputusan Bupati tersebut didasarkan bahwa Bupati memiliki hak
kewenangan untuk memberikan izin. Namun kenyataannya pemberian izin ini menimbulkan tumpang
tindih lahan antara perizinan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat kepada PT. Pertamina EP UBEP
dengan perizinan PT. Indomining yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada lahan yang sama.
Walaupun sengketa tumpang tindih lahan ini bisa diselesaikan melalui proses mediasi, namun bukan
berarti tumpang tindih lahan ini tidak berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
2. Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena karena
Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan
sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP).
Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang yang berada di perbatasan dua
provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya terlebih data jumlahnya dan
semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para Bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat. Hal
ini tentu saja suatu kondisi yang mencerminkan bahwa sesungguhnya telah terjadi permasalahan
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam tatakelola pertambangan di Indonesia.

Munculnya perizinan ganda dan lemahnya koordinasi antara pemerintah Daerah dan Pemerintah
Pusat dalam Tata Kelola pertambangan di Indonesia inilah yang menjadi fokus ketertarikan penulis untuk
dikembangkan dalam penelitian ini. Latar belakang penulis sebagai pengusaha di bidang pertambangan batubara
menggerakan hati penulis untuk menggali dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada good governance
sektor pertambangan di Indonesia, serta mencari solusi terbaik untuk mengatasi kasus sengketa lahan
pertambangan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa akar permasalahan konflik tumpang
tindih lahan di Kalimantan Timur ditinjau dari aspek Good Governance adalah karena 5 hal utama yaitu :

1. Permasalahan utama dari tumpang tindih lahan dari kasus-kasus yang dikemukakan diatas adalah
bahwa telah terjadi munculnya surat hak pengelolaan ganda atas suatu lahan yang sama. Idealnya
hal tersebut tidak boleh terjadi. Suatu lahan atau tanah hanya boleh dimiliki dan dikuasai oleh satu
pemegang surat kepemilikan atau hak penggunaan dan pengelolaan tanah. Munculnya surat ganda
tersebut di sebabkan instansi-instansi yang berwenang dalam pengelolaan perizinan tidak melakukan
koordinasi terdahulu sebelum menerbitkan suatu surat yang sedang diajukan perizinannya. Hal ini
dapat kita lihat pada kasus konflik tumpang tindih lahan antara PT. Pertamina UP UBEP Sangasanga
dengan PT Indomining. Hal tersebut terlihat dari penerbitan Kuasa Pertambangan PT.Indomining
yang didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-
IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007 seluas 683 Ha, yang ternyata sebagian dari lahan yang di berikan
KP terhadap PT. Indomining tersebut ternyata berada pada wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP
Sangasanga yang telah mendapatkan izin sejak tahun 1992. Penerbitan Surat Keputusan Bupati
tersebut didasarkan bahwa Bupati memiliki hak kewenangan untuk memberikan izin. Namun
kenyataannya pemberian izin ini menimbulkan tumpang tindih lahan antara perizinan yang
dikeluarkan Pemerintah Pusat kepada PT. Pertamina EP UBEP dengan perizinan PT. Indomining
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada lahan yang sama. Perijinan ganda ini terjadi karena

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 379


kurangnya koordinasi pemerintah daerah yang melakukan pemekaran dengan instansi-instasi yang
berwenang.
2. Disamping mengalami kelemahan koordinasi di antara instansi-instansi pengelola perizinan lahan
dan pengelolaan lahan tersebut, ternyata pemerintah belum memiliki pusat data yang terintegrasi
yang bisa diakses oleh intra instansi pemerintah, lintas instansi pemerintah, maupun oleh para
stakeholder.

3. Dari segi Government konflik tersebut sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara instansi
yang berwenang dalam mengeluarkan perizinan peruntukan lahan.

4. Dari segi civil society, sering ditemukan sertifikat hak kepemilikan lahan ganda yang sering kali
disebabkan dikarenakan masalah yang diakibatkan pemekaran wilayah, baik desa maupun
kecamatan. Lemahnya pengawasan sehingga memancing orang memanfaatkan celah hukum yang
ada ( loop holes ) sebagai kesempatan untuk menguasai lahan yang telah dikuasai oleh pihak lain.

5. Dari sektor privat, permasalahan tersebut diatas sangat menghambat iklim investasi serta kinerja
perusahaan.

Berdasarkan kasus diatas merupakan sebagai kasus konflik tumpang tindih lahan yang terjadi,
pemerintah seharusnya berupaya agar kasus konflik tumpang tindih lahan tidak terjadi lagi. Namun pada
kenyataanya kasus tumpang tindih lahan masih terjadi hingga saat ini. Sehingga berdasarkan kasus yang ada
tersebut penulis mencoba untuk membuat pemodelan e governance yang tepat untuk digunakan dalam sektor
pertambangan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian yang telah di paparkan di atas, maka penulis mengemukakan ingin mengetahui lebih
mendalam tentang bagaimanakah pengaruh e-governance dalam meredam konflik tumpang tindih lahan
pertambangan.

C. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN

1. Penelitian ini diadakan dengan maksud untuk menelaah kemungkinan e-Governance dapat dijadikan
alternatif solusi untuk mengatasi konflik tumpang tindih lahan pertambangan.
2. Menemukan konsep baru tentang model e-Governance untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik
tumpang tindih lahan pertambangan.

380 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


D. PEMBAHASAN

D.1. Model E-Governance sektor Pertambangan di Indonesia

Pada:
Proses bisnis Usaha
terhambat industri
pertambang
an dan usaha
Perijinan Konflik tumpang Kerugian moril pendukung/
ganda tindih lahan dan materil usaha terkait

Sasaran
e-governance

Terjadi pada sisi Government :


penurunan PAD
Pengangguran

Terjadi pada sisi Privat :


Kegiatan usaha terhambat

Terjadi pada sisi Civil Society :


Pemerataan kesejateraan
terganggu

Gambar 1. Pendekatan Privat

Sering terjadinya konflik tumpang tindih lahan di area pertambangan batubara dengan peruntukan
lainnya. Salah satu contoh kasus konflik tumpang tindih lahan adalah pada kasus tumpang tindih lahan di
kecamatan Sangasanga.

Kecamatan Sangasanga merupakan salah satu wilayah penghasil minyak dan gas bumi di Kutai
Kartanegara yang kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi hingga saat ini dikerjakan oleh
PT.Pertamina EP UBEP Sangasanga berdasarkan Technical Assisstance Contract Nomor 0337/03/M.DJM/89
tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas, yang dalam hal ini Operator Migas telah
melakukan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja sanga-sanga Kabupaten Kutai

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 381


Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 1992. Salah satu perusahaan batubara sebagai pemegang
kuasa lahan eksploitasi batu bara di kecamatan Sangasanga tersebut adalah PT. Indomining. PT. Indomining
memulai kegiatan eksploitasi batubara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi
Kalimantan Timur dengan luas lahan yang berada dalam Kuasa Pertambangan PT. Indomining seluas kurang
lebih 683 Hektar. Kuasa Pertambangan ini didasarkan kepada Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara
Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007.

Masalah tumpang tindih lahan masih kerap terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, sementara
penyelesainya masih belum jelas. Kasus ini pada dasarnya berlandaskan pada permasalahan yang ada pada
opertor migas yang merupakan mitra PT. Pertamina EP di wilayah kerja Sangasanga, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Technical Assisstance Contract Nomor
0337/03/M.DJM/89 tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh operator migas. Dalam hal ini operator
migas telah melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di wilayah kerja Sangasanga,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,sejak tahun 1992 sebelum izin Kuasa Pertambangan
(KP) batubara diterbitkan kepada perusahaan batubara PT. Indomining. Dari seluas 683 Hektar KP Eksploitasi
yang dijalankan oleh PT. Indomining sebagian wilayah tersebut tumpang tindih dengan wilayah kerja
PT.Pertamina EP. Pelaksanaan kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara di wilayah tumpang
tindih lahan perlu diatur lebih lanjut , terutama demi terpeliharanya keselamatan serta aspek pemeliharaan
lingkungan dari sisi operasional kegiatan esplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi oleh PT. Pertamina EP
dan operator Migas maupun kegiatan eksploitasi batubara oleh perusahaan batubara sendiri.

Berdasarkan kajian penulis yang didasarkan kepada penelitian yang dilakukan oleh Nurhayaty yang
berjudul ―Tinjauan Yuridis Penyelesaian Senngketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Migas dan
Batubara‖ yang dipublikasikan pada Jurnal Beraja Niti, Vol. 2, No. 10 Tahun 2013, didapatkan keterangan
bahwa faktor peyebab terjadinya permasalahan tumpang tindih lahan pertambangan antara PT. Pertamina EP
UBEP Sangasanga dengan PT Indomining Sangasanga adalah salah satunya disebabkan oleh faktor kesengajaan
dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara.

Awal permasalahan terjadinya permasalahan ini yaitu ketika muncul permasalahan yang dialami oleh
Operator Migas yang merupakan mitra PT. Pertamina EP di wilayah kerja Sangasanga Kabupaten Kutai
Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Technical Assistance Contract Nomor 0337/03/M.DJM/89
tanggal 27 Januari 1989 yang dioperasikan oleh Operator Migas. Dalam Hal ini Operator Migas telah
melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi Minyak dan Gas Bumi di wilayah kerja Kecamatan Sangasanga,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimanatan Timur sejak tahun 1992.

Selama Operator Migas ini melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi Minyak dan Gas Bumi di
wilayah kerja Sangasanga ini, kemudian terbit lagi Kuasa Pertambangan Eksplorasi berdasarkan Surat
Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/132/kp_Er/DPE_IV/XI/2006 tertanggal 24 November 2006
serta persetujuan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi berdasarakan Surat Keputusan Bupati Kutai
Kartanegara Nomor 540/1410/IUP-OP/MB-PBAT/VI/2010 yang diterima oleh PT Indomining Site Sangasanga.
PT. Indomining mendapatkan 683 Ha Kuasa Pertambangan Eksploitasi. Namun sebagian wilayah PT.
Indomining tersebut ternyata tumpang tindih dengan wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga.

382 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Dalam kajian tersebut Nurhayaty (2013:21) menyimpulkan bahwa faktor penyebab permasalahan
tumpang tindih lahan antara PT. Pertamina UBEP Sangasanga dengan PT. Indomining Sangasanga ada 3 (tiga)
hal, antara lain adalah:

1. Adanya faktor kesengajaan dari Dinas Pertambangan dan Energi karena diterbitkan dan
dikeluarkannya izin kepada PT. Indomining pada tahun 2006 pada lahan yang telah berada dalam
wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP yang diberikan izin beroperasi sejak tahun 1996. Alasan
pemberian izin kepada PT. Indomining adalah dikarenakan pandangan Dinas Pertambangan dan
Energi Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur berpendapat bahwa pemberian
izin tersebut dikarenakan batubara merupakan devisa negara, merupakan pendapatan asli daerah,
serta sebagai asas manfaat bagi kemakmuran rakyat.
2. Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena
karena Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada Pemeritah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa
Pertambangan (KP). Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang yang berada
di perbatasan dua provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya
terlebih data jumlahnya dan semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para Bupati tidak
mengirimkan laporan ke pusat.
3. Adanya pengoptimalan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena adanya upaya pemerintah
dalam meningkatkan dan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari
Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan Umum dan pelaksanaan Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pnerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penyetoran PNBP Sumber Daya Alam Pertambangan umum yang beupa Iuran Tetap dan Iuran
Produksi (royalti) yang oleh Pemerintah Daerah ingin dioptimalkan untuk menjadi devisa bagi
negara dan pendapatan daerah

Berdasarkan penelitiannya tersebut, Nurhayati (2013:23) menyatakan bahwa sehubungan dengan


pengotimalan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dalam hal ini Pemerintah Daerah (Bupati) ingin
memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) semaksimal Mungkin yang bisa diraih oleh daerah, maka
Nurhayaty menyarankan kepada Pemerintah Kutai Kartanegara untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan
untuk menerbitkan izin KP Batubara.

Pada dasarnya pemerintahan akan berjalan efektif apabila ditunjang dengan adanya peran dan
kesadaran dari aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sangat diperlukan karena aparat
pemerintah yang akan melaksanakan tugas serta wewenangnya dalam menjalankan pemerintah disuatu daerah
tidak akan semata-mata mempergunakan kewenangnnya secara berlebihan dan arogan dalam menerbitkan
berbagai KP Batubara yang dapat merugikan masyarakat serta merusak lingkungan di wilayah Kabupaten Kutai
Kartanegara sendiri.

Nurhayaty sendiri mengharapkan Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat dapat melakukan koordinasi
yang baik dalam menjalankan kewenangan mereka dalam mengeluarkan dan menerbitkan Kuasa Pertambangan.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap Perjanjian Pemanfaatan Lahan secara Bersama yang telah disepakati oleh
kedua perusahaan ini (antara PT.Pertamina EP UBEP dengan PT Indomining),agar Pemerintah, dalam hal ini

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 383


Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara selaku fasilitator dalam perjanjian ini dapat
menjembatani kepentingan tersebut. Nurhayaty menyebutkan bahwa diperlukan keijakan yang tepat dan
komprehensif yang mampu mengoptimalkan pengembangan di sektor pertambangan yang ramah terhadap
lingkungan. Kebijakan ini nantinya diharapkan juga dapat memberikan konsistensi, kejelasan, dan koordinasi
(K3) dari Pemerintah kepada para pengusaha pertambangan dalam menjalakan usahanya.

Dari paparan Nurhayaty tersebut penulis mendapatkan kesimpulan bahwa ternyata:

1. Otonomi Daerah memiliki pengaruh terhadap munculnya konflik tumpang tindih lahan pertambangan.
Hal tersebut terlihat dari penerbitan Kuasa Pertambangan PT.Indomining yang didasarkan kepada Surat
Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/022/KP-Ep/DPE-IV/2007 sejak tanggal 21 Juni 2007
seluas 683 Ha, yang ternyata sebagian dari lahan yang di berikan KP terhadap PT. Indomining tersebut
ternyata berada pada wilayah kerja PT. Pertamina EP UBEP Sangasanga yang telah mendapatkan izin
sejak tahun 1992. Penerbitan Surat Keputusan Bupati tersebut didasarkan bahwa Bupati memiliki hak
kewenangan untuk memberikan izin. Namun kenyataannya pemberian izin ini menimbulkan tumpang
tindih lahan antara perizinan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat kepada PT. Pertamina EP UBEP
dengan perizinan PT. Indomining yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada lahan yang sama.
Walaupun sengketa tumpang tindih lahan ini bisa diselesaikan melalui proses mediasi, namun bukan
berarti tumpang tindih lahan ini tidak berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
2. Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan dengan Pemerintah Pusat, karena karena
Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan
sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah (Bupati) untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP).
Pemerintah Provinsi hanya menangani izin untuk lokasi tambang yang berada di perbatasan dua
provinsi. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya terlebih data jumlahnya dan
semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para Bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat. Hal
ini tentu saja suatu kondisi yang mencerminkan bahwa sesungguhnya telah terjadi permasalahan
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam tatakelola pertambangan di Indonesia.

Munculnya perizinan ganda dan lemahnya koordinasi antara pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
dalam Tata Kelola pertambangan di Indonesia inilah yang menjadi permasalahan utama sektor pertambangan
saat ini. Imbasnya tentu bagi kedua perusahaan atau pihak yang terlibat adalah kerugian baik materil maupun
non materil.

Sebagai gambaran lainnya adalah PT. Pancaran Surya Abadi di Muara Badak, Kutai Kartanegara.
Konflik sengketa lahan sejak pertengahan tahun 2014 mengakibatnya berhentinya operasional tambang.
Masalahnya tetap sama ada 2 dokumen tanah yang sama dengan dua pemilik yang berbeda. Meski secara yuridis
formal salah satu pihak secara sah dan diputus memenangkan perkara, namun tetap saja dilapangan eksekusi
hukum belum bisa dilakukan dengan alasan sosial dan keamanan karena menyangkut hak milik masyarakat
sekitar.

Karena masih belum ditemukan titik sepakat maka sengketa lahan menjadi berlarut – larut dan semakin
kompleks. Akibatnya bisa ditebak kerugian sebenarnya menimpa semua pihak dengan pihak yang dirugikan
pengelola pertambangan batubara sah. Kerugian materil tersebut yang bila dikalkulasikan secara materi sangat
merugikan bagi pihak pengusaha maupun usaha yang terkait dengan pertambangan batubara. Karyawan

384 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


sejumlah 300 orang total berhenti, tidak dapat dipertahankan lagi akibat berhentinya produksi. Pendapatan
karyawan perbulan secara akumulasi mencapai 1 milyar, kemudian biaya PHK sekitar 10 milyar, potensi
pemasukan perusahaan perbulan sekitar 7 milyar rupiah menguap begitu saja, perusahaan pemasok BBM
kehilangan sekitar 3 milyar perbulan karena tidak ada order produksi.

Belum lagi imbas pemasukan bagi warga sekitar yang mendapatkan manfaat dari adanya kegiatan
tambang batubara tersebut. Sehingga bila dikalkulasi perusahaan menderita kerugian hampir 50 hingga 100
milyar akibat sengketa lahan ini. Yang perlu dicatat hampir 100% karyawan perusahaan ini adalah warga lokal
sekitar tambang, sehingga penutupan pertambangan berimbas pada kegiatan perekonomiannya dimana hampir
semua terkena PHK.

Sehingga bila dihitung sederhana saja kerugian yang diderita perusahaan tambang itu sekitar 84 milyar
setahun akibat tidak berproduksi, dapat kita hitung besarnya potensi pajak PAD daerah dan royalti bagi pusat
yang hilang juga. Itu dari satu perusahaan. Dalam kurun waktu tahun 2013 – 2014, di Kabupaten Kutai
Kartanegara, telah ada 5 perusahan tambang batubara yang berhenti beroperasi dikarenakan konflik sengketa
tumpang tindih lahan yang diakibatkan oleh surat perizinan ganda. Bila diasumsikan dengan kapasitas produksi,
pendapatan dan kerugian yang sama dengan PT. Pancaran Surya Abadi, maka total kerugian yang dialami 5
perusahaan tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut pada tahun 2014 berada pada kisaran angka Rp.
420 Milyar.

Kita maklumi juga yang menderita dan menanggung kerugian tersebut tidak hanya satu pihak namun
menjadi tripartit pengusaha sebagai pelaku usaha pertambangan, pemerintah dari sektor penerimaan pajak dan
royalti pertambangan, dan civil society atau masyarakat baik sebagai pekerja, pemasok kebutuhan bagi
perusahaan tambang atau penerima manfaat lainnya yang hidup dari sektor pertambangan batubara.

Kerugian pemerintah bila penerimaan PAD terganggu bahkan berkurang akibat terhentinya produksi
batubara maka anggaran pendapatannya akan berkurang pula. Ketika anggaran pendapatan berkurang maka
anggaran pembangunan turut berkurang, sehingga kegiatan pembangunan juga berkurang atau bahkan terganggu
sama sekali bila tidak tersedia dana yang diperlukan. Patut diingat meski besar 60 – 70% dana APBD terserap
untuk biaya gaji dan pegawai apalagi bila jumlahnya terganggu atau berkurang maka semakin kecil pula
prosentase biaya pembangunan yang ada.

Ketika biaya pembangunan terganggu, berkurang atau terhenti sama sekali maka pembangunan itu
sendiri tidak dapat dilakukan. Ketika pembangunan berkurang, mandek bahkan menurun maka roda
perekonomian ikut berbanding lurus kegiatannya. Begitu perekonomian menurun, maka itu artinya
kesejahteraan masyarakat berkurang, mandek bahkan bisa jadi menjadi menurun. Bukannya kesejahteraan
masyarakat yang didapatkan tetapi malah kemiskinan yang dihasilkan.

Bila kita lihat lebih mendetail terhadap struktur perekonomian Kalimantan Timur ternyata masih
didominasi Lapangan Usaha berbasis sumberdaya alam, yaitu Pertambangan dan Industri Pengolahan ( Migas),
yang terlihat dari besarnya peranan masing-masing Lapangan Usaha ini terhadap pembentukan PDRB
Kalimantan Timur. Sumbangan terbesar pada tahun 2014 dihasilkan oleh Lapangan Usaha Pertambangan dan
Penggalian, kemudian Industri Pengolahan, Konstruksi dan Lapangan Usaha Perdagangan Kehutanan dan
Perikanan. Sementara peranan Lapangan Usaha lainnya di bawah 5 persen.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 385


Tabel 1

Sumber : BPS Kalimantan Timur 2014

Lapangan Usaha yang lain pada tahun 2014 mencatat pertumbuhan yang positif, kecuali Lapangan
Usaha Pertambangan dan Penggalian yang mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sebesar -0,11 persen.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi di lapangan usaha pertambangan dan penggalian terutama akibat
melemahnya usaha pertambangan batubara.

Kondisi harga batubara di pasaran dunia yang belum stabil dan masih di bawah Perekonomian
Kalimantan Timur pada tahun 2014 mengalami perlambatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
ditandai dengan laju pertumbuhan PDRB Kalimantan Timur yang hanya mencapai 2,02 persen, sedangkan tahun
2013 sebesar 2,72 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi ekspektasi pengusaha membuat produksi batubara
pada tahun 2014 tertahan. Akibatnya pertumbuhan lapangan usaha ini pun mengalami penurunan.

Hal ini juga makin diperparah dengan banyaknya konflik sengketa lahan pertambangan batubara yang
membuat perusahaan tambang berhenti berproduksi, investor menahan invstasinya bahkan beberapa tidak
melanjutkan lagi bisnis batubaranya di Kalimantan Timur.

Meskipun sumbangan lapangan usaha pertambangan dan penggalian serta industri pengolahan dalam
membentuk PDRB perkapita cukup besar, akan tetapi peranannya menurun dibandingkan pada tahun 2010. Pada
tahun tersebut, peranan kedua lapangan usaha tersebut masing-masing 48,24 persen dan 23,46 persen.

Data tersebut mengindikasikan bahwa selama periode tersebut terjadi perlambatan pertumbuhan PDRB
perkapita secara berkelanjutan. Sebuah sinyal yang membutuhkan perhatian dari pelaku pembangunan ekonomi
di Kalimantan Timur.

386 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Tabel 3

Sumber : BPS Kalimantan Timur 2014

Pada Kategori Pertambangan dan Penggalian, Lapangan Usaha yang berkontribusi terbesar adalah
Pertambangan Batubara dan Lignit yaitu sebesar 68,45 persen pada tahun 2014, meningkat dari 54,01 persen di
tahun 2010.

Tabel 4

Sumber : BPS Kalimantan Timur 2014

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 387


Sehingga melihat besar dan sangat dominannya peranan pertambangan batubara terhadap sektor
perekonomian di Kalimantan Timur yang berkisar diatas 50% dari Penerimaan Daerah Kalimantan Timur antara
54,01% samapai dengan 68,45%, maka sudah sewajarnya perhatian pemerintah dalam mencari solusi konflik
sengketa lahan pertambangan batubara harus lebih serius lagi tidak hanya mengandalkan solusi konvensional
yang menggunakan pendekatan normatif dan yuridis semata namun mencari terobosan yang lebih cepat akurat
dan efektif dengan menggunakan pendekatan sosial budaya dan juga penggunaan teknologi informasi atau tata
kelola elektronik ( e – Governance ).

• kurang
koordinasi Perizinan Konflik
pemerintah Ganda Sengketa
pusat Tumpang Tindih
pemerintah Lahan
daerah
instansi terkait
• data tidak
akurat
terintegrasi
dan tidak
sinkron Sasaran e-
• unsur governance
kepentingan
sektoral

Gambar 2. Pendekatan Publik

Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai sejak adanya
usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari lahan yang mengandung mineral
dan batubara. Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses eksploitasi (produksi), angkutan, dan industri
penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi yang memerlukan pengaturan agar
pemanfaatannya tetap dapat memberikan nilai yang optimal bagi pencapaian kesejateraan masyarakat.

Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat
modal (high capital), padat risiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha pertambangan
juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Hal
tersebut menyebabkan kegiatan usaha pertambangan merupakan industri yang spesifik yang membutuhkan
modal besar sehingga setiap pihak yang hendak melakukan kegiatan pertambangan sangat membutuhkan kepastian
berusaha.

Dengan tidak disebutkannya bidang pertambangan sebagai urusan pemerintah (pusat) maka pada
asasnya urusan pemerintahan di bidang pertambangan merupakan urusan kewenangan dari Pemerintah
Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam memperoleh wewenang di bidang penerbitan perizinan
melalui atribusi sebagai bagian dari pelayanan administrasi Negara yang mempunyai tugas mewujudkan
kesejahteraan umum (bestuurzorg). Keunikan pengelolaan pertambangan dapat dimaknai bahwa kewenangan

388 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


urusan pertambangan bukan merupakan kewenangan mutlak dari pemerintah daerah provinsi maupun
kabupaten/kota, melainkan suatu urusan yang bersifat ―pilihan ”, yaitu urusan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.

Hal ini sejalan dengan kebijakan pengelolaan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan
manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi
dan akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam rangka mendukung pembangunan
nasional yang berkesinambungan, maka tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah :

1. menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna,
berhasil guna, dan berdaya saing;

2. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup;

3. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan
dalam negeri;

4. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional,
regional, dan internasional;

5. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan

6. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Berdasarkan tujuan di atas maka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara,
selain penting untuk diperhatikan sistem perizinan dalam rangka otonomi daerah, juga keterkaitannya dengan izin
lingkungan pada UUPPLH sebagai perkembangan baru yang juga merupakan perkembangan baru dari desentralisasi
AMDAL. Dalam proses keputusan sistem perizinan di bidang mineral dan batubara, sebagian pelaksanaannya
berada pada pemerintah daerah dan apabila periinan ini di bidang kehutanan terkait pula dengan hak pinjam pakai
bagi lahan yang akan digunakan sebagai wilayah usaha pertambangan.

Sehingga telah banyak menimbulkan pro dan kontra terhadap keberadaan kegiatan usaha pertambangan
yang telah berjalan sebelum berlakunya Undang-undang Minerba yang baru tahun 2009, disamping sistem
perizinan yang juga mengandung banyak masalah yang membawa perdebatan terhadap peningkatan investasi
baru.bidang pertambangan.

Meskipun begitu sisi positifnya tetap dirasakan lebih banyak sehingga ini menjadi tantangan dan
dinamika yang baik untuk melakukan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral pada semua stakeholder yang
terlibat dalam sektor pertambanganbatubara diantaranya pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dinas
pertambangan dan energi beserta kementrian pertambangan dan energi, pengusaha pertambangan dan
masyarakat yang terlibat baik secara individu, kelompok maupun organisasi.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 389


Terkoordinasi
Kurang koordinasi dengan baik

Data :
Data: 1. akurat Tidak
e-
1. tidak akurat 2. terintegrasi terjadi
governance
2. Tidak terintegrasi 3. tersinkronisa perijinan
3. Tidak sinkron si ganda
4. real time
Tidak

Unsur kepentingan
sektoral Unsur
(diantaranya adalah kepentingan
Perilaku Koruptif) sektoral Hilang

Gambar 3. Target e-governance

Dalam tataran nasional, pemerintah telah dan sedang mengembangkan suatu sistem perizinan satu atap yang
dikenal dengan Program Nasional Single Window, sebagai upaya pelayanan terpadu dari Pemerintah bagi
pelaku usaha dalam mengurus berbagai perizinan terkait kegiatan usaha yang hendak dilaksanakan. Namun
dalam pelaksanaannya perizinan dalam bidang pertambangan belum dapat dilaksanakan dalam konsep
pelayanan satu atap.

Hal ini bertujuan untuk semakin memberikan kepastian hukum bilamana diperhatikan keterkaitannya
dengan undang-undang lain. Salah satu contoh pelaksanaan undang-undang MINERBA yang baru adalah adanya
masalah izin pertambangan terkait dengan Undang-undang kehutanan. Walaupun izin kegiatan usahanya telah
diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetap tidak dapat dilaksanakan karena tidak
keluarnya izin dari Kementerian Kehutanan.

Dengan keterkaitan hukum antar sektor, sebagaimana diuraikan di atas, pelaksanaan pengaturan kebijakan
pertambangan seharusnya juga menyentuh kebijakan secara lintas sektor yang mencakup teknis pelaksanaan maupun
pendukung sarana dan prasarananya. Contoh lain keterkaitan hukum undang - undang MINERBA dalam sistem
perizinan, dengan adanya ketentuan dalam UUPPLH yang mewajibkan ijin lingkungan sebagai syarat ijin
kegiatan, termasuk kegiatan usaha pertambangan. Keharusan usaha pertambangan mendapatkan terlebih dahulu
ijin lingkungan sebagai pra-syarat memperoleh izin usaha pertambangan, tidak saja menimbulkan masalah terhadap
gagasan sistem ijin satu atap, tetapi juga karena hingga sekarang – setelah lebih dari satu tahun - keharusan

390 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


menetapkan peraturan pelaksanaannya sejak diundangkan, yaitu Peraturan Pemerintah pelaksana dari UUPPLH
terkait dengan ijin lingkungan belum juga dilaksanakan.

Permasalahan lain terkait dengan pengaturan tata ruang yang dalam pelaksanaan masih sering menimbulkan
tumpang-tindih antar sektor bertalian dengan beragamnya jenis pemanfaat ruang kegiatan pertambangan dan
perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga pada akhirnya nanti akan memberikan
ketidakpastian berusaha bagi kegiatan usaha pertambangan.

Perubahan kebijakan pelaksanaan kegiatan usaha dari kontrak kepada perizinan sesungguhnya
memberikan harapan bagi peningkatan nilai manfaat bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan amanah Pasal
33 Undang-undang Dasar 1945. Hal ini disebabkan kedudukan pemerintah yang lebih dominan dalam kegiatan usaha
pertambangan, sehingga memberikan kemudahan bagi pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan dalam
kegiatan usaha pertambangan.

Namun kedudukan yang dominan apabila tidak diikuti dengan aturan hukum yang jelas dan pelaksanaan
yang konsisten dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya nanti dapat meningkatkan konflik
pada pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Akibatnya, sistem perizinan yang diharapkan dapat memberikan
penguatan peran pemerintah, justru akan mengakibatkan menurunnya aktivitas pertambangan di Indonesia dan
selanjutnya mengurangi kontribusi sektor pertambangan dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Hal ini tidak lagi
sejalan dengan tujuan pembaharuan Undang-undang Minerba yang secara konstitusional ditujukan untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat.

Untuk itu pelaksanaan perizinan dalam kegiatan pertambangan di Indonesia sebaiknya didukung oleh
suatu kebijakan yang terintegrasi yang menjamin pelaksanaan kegiatan pertambangan di Indonesia yang menjamin
kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingannya dan yang paling penting berkontribusi bagi peningkatan
kemakmuran rakyat.

Apabila kebijakan pemerintah itu didasarkan pada tujuan yang sama antar pemangku kepentingan dan
masyarakat pada umumnya, maka kebijakan perizinan dapat dijalankan secara optimal, sebagaimana disampaikan
oleh Charllote Sterck : ―While government and governance both refer to system of rule, the notion of
government suggests activities that are backed by formal authority and police powers to ensure the
implementation of policies. Governance refers to activities backed by shared goals that do not necessarily rely on
the exercise of the authority to attain compliance”. Pemerintah sesungguhnya memiliki otoritas menjalankan
kebijakan yang terintegrasi dalam membangun suatu sistem perizinan dalam penyelenggaraan kegiatan
pertambangan di Indonesia.

Persoalan lainnya adalah desentralisasi. Desentralisasi sendiri menagmbil lokus pada tingkat
kabupaten/kota yang kemudian pemerintah kabupaten/kota sendiri menjadi lokus pertumbuhan dan maraknya
korupsi. Berdasarkan undang-undang pemerintah daerah, seorang kepala daerah memiliki otoritas penuh untuk
memberikan izin dan persetujuan pada investasi dengan berbagai bentuk di daerahnya (Rinaldi, 2007: 15).
Dalam konteks itulah terjadi peralihan pemberian izin pertambangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah.

Perubahan otoritas pemberian izin usaha pertambangan ke tangan pemerintah daerah/kota telah
menghasilkan lebih dari 10.000 izin usaha pertambangan sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 391


1999 tentang Pemerintah Daerah (Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013). Perubahan
kebijakan pemberian wewenang pemberian izin pertambangan kepada pemerintah daerah/kota ternyata banyak
mengalami masalah yang belum pernah ditemui pada masa sentralisasi pemberian izin di masa lalu.
Diperkirakan lebih dari separuh jumlah izin yang selama ini telah dikeluarkan pemerintah daerah/kota
mengalami masalah (Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013). Pemerintah pusat,
melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, menyadari hal itu sehingga kemudian melakukan
inventarisasi terhadap seluruh izin usaha pertambangan dengan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral kemudian melakukan proses evaluasi/seleksi yang
sepenuhnya lebih didasarkan pada proses administratif (desk-based) terhadap izin-izin usaha pertambangan yang
telah terinventarisir dengan menggunakan dua kategori kunci. Pertama, tidak terdapat masalah administratif dan
tidak tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan lain (clear and clean). Kedua, terdapat masalah
administratif dan tidak tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan lain (non clear and clean). Tujuan
pemberian status clear and clean sendiri secara umum adalah: (1) Untuk koordinasi, verifikasi, dan koordinasi
antar izin-izin usaha pertambangan yang diberikan oleh gubernur dan bupati seluruh Indonesia; (2) Untuk
menarik investasi dan pendapatan negara, dan (3) Untuk menciptakan database sentral yang terintegrasi
(Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2011).

Izin-izin usaha pertambangan berstatus non clear and clean sampai dengan tanggal 26 Februari 2013
berjumlah 5.288 buah. Sedangkan izin-izin usaha pertambangan berstatus clear and clean berjumlah 5.502
(Dirjen Minerba Energi Sumber Daya Mineral, 2013). Izin-izin usaha pertambangan berstatus non clear and
clean berdasarkan kategorisasi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
tumpang tindih wilayah, tumpang tindih dengan komoditas yang sama, dan tumpang tindih dengan komoditas
yang berbeda.

Meskipun demikian, kategorisasi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral tersebut cenderung sedikit
problematik karena tidak adanya prinsip ‖ekslusivisme‖ antara satu dengan lainnya dalam kategori tersebut. Izin
usaha pertambangan yang dikategorikan sebagai non clear and clean karena tumpang tindih wilayah dapat juga
terkandung di dalamnya tumpang tindih yang relevan dengan isu perbedaan atau persamaan komoditas, seperti
izin usaha pertambangan yang diberikan untuk PT Sele Raya di Fakfak dengan Nomor 195 Tahun 2011, PT
Sumber Rahayu Indah di Barito Timur dengan Nomor 526 Tahun 2009, PT Puspita Alam Kurnia Lestari di
Barito Timur dengan nomor 306 Tahun 2011, dan lain-lain. Data-data di bawah ini menunjukkan total ringkasan
kategorisasi izin usaha pertambangan non clear and clean beserta jumlah masing-masing (Dirjen Minerba,
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013):

392 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Beberapa contoh kasus tumpang tindih antar izin usaha pertambangan adalah tumpang tindih antara
izin usaha pertambangan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam Tbk dengan 16 perusahaan yang memperoleh izin
usaha pertambangan baru di Lahat Sumatera Selatan, PT Aneka Tambang Tbk dengan satu izin usaha
pertambangan baru di Konawe Utara Sulawesi Tenggara, PT Rio Tinto Indonesia dengan 14 izin usaha
pertambangan baru di Morowali, Sulawesi Tengah, dan PT Inco Tbk dengan PT Hotman Internasional di
Morowali, Sulawesi Tengah (hukumonline.com, 2009).

Beberapa contoh kasus tersebut hanya sebagian saja dari 954 kasus tumpang tindih yang ada dalam
catatan Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Mungkin saja jumlah itu dapat bertambah
atau berkurang karena proses inventarisasi dan seleksi oleh Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral lebih didasarkan pada proses seleksi administratif ketimbang investigasi empiris.

Selain masalah kelengkapan administratif, masalah tumpang tindih izin usaha pertambangan telah
banyak menyita perhatian pemerintah. Pemberlakukan penghentian sementara penerbitan izin usaha
pertambangan dan secara khusus izin usaha pertambangan eksplorasi sejak pemberlakuan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 sampai dengan tanggal 20 Mei 2013
harus disikapi sebagai bagian usaha keras pemerintah dalam menyelesaikan, mengevaluasi, dan menata kembali
usaha pertambangan di Indonesia. Dengan demikian, penghentian sementara tersebut telah memberikan ruang
rehat sejenak untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola perizinan pertambangan di Indonesia ke depan.
(Purwono and Partners, 2011).

Namun, satu hal pasti adalah sumber kemunculan tumpang tindih izin usaha pertambangan dapat
diasumsikan bersifat multi-dimensi ketimbang akibat dimensi tunggal (mono-dimensional). Artinya, sangat
kompleks dan bertautan satu sama lain. Beberapa faktor penting adalah pemalsuan tanggal penerbitan dan
pemberian izin usaha pertambangan dengan mengetahui bahwa telah terdapat izin usaha pertambangan lain
dalam bidang pertambangan tersebut, sengketa perbatasan antarkabupaten, minimnya infrastruktur sistem
informasi dan/atau sistem data manual, minimnya keterampilan dan pengetahuan aparat-aparat lokal dalam
pencatatan dan pengelolahan perizinan secara profesional, pergantian kepala daerah dan ketidakcermatan dalam
penerbitan izin-izin usaha pertambangan menjelang pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 untuk

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 393


menhindari proses tender publik. (Purwono and Partners, 2011; The Jakarta Post, 12 Oktober 2012; Asmarini
2012; dunia-energi.com, 14 September 2014)

Berikut adalah diagram mengenai sumber-sumber kemunculan tumpang tindih tersebut:1

Gambar 5. Akar Permasalahan Perizinan Pemanfaatan Lahan Ganda di Sektor Pertambangan


Lahan

Secara khusus kita akan lebih fokus pada aspek dalam kaitan dengan isu penting yang muncul
pascapemberlakuan desentralisasi, yaitu tumpang tindih izin usaha pertambangan. Dalam konteks
pertambangan, euforia desentralisasi memberikan makna tersendiri bagi pemerintahan daerah bahwa tambang
adalah merupakan milik dan hak daerah dan masyarakat setempat. Otoritas pengelolahan dan pemanfaatan
tambang merupakan hak sepenuhnya masyarakat dan pemerintahan daerah. Di sisi lain, tuntutan untuk
meningkatkan pendapatan daerah dan keuangan daerah menjadikan pertambangan daerah sebagai salah satu
sumber strategis untuk menggali pundi-pundi pendapatan daerah. Implikasi dari hal itu pemerintah daerah
berlomba-lomba untuk menerbitkan izin pertambangan (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan
Batubara, 2012).

Secara umum, sumber konflik tersebut dibagi menjadi dua, yaitu sumber antara (intervening/mediating
causes), yaitu faktor pemekaran wilayah, korupsi kepala daerah, kecerobohan kepala daerah, dan/atau minimnya
infrastruktur perekaman izin usaha pertambangan (IUP) secara digital, dan sumber akar/dasar (root causes),

394 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


yaitu sengketa wilayah, pemalsuan tanggal penerbitan izin usaha pertambangan (IUP), pergantian kepala daerah,
dsb.

Seringkali penerbitan izin pertambangan dilakukan tanpa koordinasi dengan instansi dan level
pemerintahan lain serta tidak sesuai dengan standar administratif sehingga berujung pada munculnya beberapa
permasalahan dalam pertambangan, seperti tumpang tindih lahan dan ketidak-lengkapan administratif (Dirjen
Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2013) dan kerusakan lingkungan. Secara sosial-politik
kondisi tersebut dapat mengarah pada munculnya konflik dan disharmoni sosial, baik antar masyarakat dan antar
pengusaha pertambangan maupun antara masyarakat dengan penguasaha pertambangan dan minimnya
komitmen dan tanggung jawab pengusaha pertambangan reklamasi pascatambang (Studi Kebijakan Perijinan
Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Pada hal ini lah e-governance dapat berperan agar mismanajemen
pada penerbitan IUP tidak terjadi lagi.

Permasalahan pertambangan yang muncul saat ini, terutama berkaitan dengan tumpang tindih lahan,
akar penyebabnya dapat digali dari masalah korupsi kepala daerah (Fadhillah, 2011). Jamak diketahui bahwa
usaha pertambangan di daerah cenderung lebih banyak menguntungkan orang-orang tertentu ketimbang
masyarakat daerah (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara, 2012). Pertambangan
menjadi salah satu sumber strategis bagi-bagi kue keuntungan (pie distribution) bagi eksekutif, balas budi
politik atas pemenangan kandidat tertentu, dan sumber pengumpulan pundi-pundi keuangan dalam rangka
menutupi ongkos politik saat pemilukada (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara,
2012). Tidak heran jika banyak ditemui calo-calo pemegang dan pengurus izin usaha pertambangan yang
selanjutnya diperjual belikan kepada para pengusaha (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan
Batubara, 2012).

Berbagai aspek tersebut banyak berkontribusi dalam penerbitan izin usaha pertambangan tumpang
tindih, yang pada saat bersamaan diakibatkan ketiadaan keharusan koordinasi dan konsultasi antara kepala
daerah, pemegang otoritas penerbitan izin usaha pertambangan, kepala-kepala dinas dengan kepala daerah
tingkat provinsi dan/atau pemerintah pusat. Dinas pertambangan daerah dapat dikatakan tidak memiliki
kekuatan sama sekali untuk mengontrol penerbitan izin usaha pertambangan.

Konsekuensi dari hal itu terjadi, tumpang tindih bukan hanya antara satu pemegang izin usaha
pertambangan dengan pemegang izin usaha pertambangan lain, tetapi juga antara lahan pertambangan dengan
kehutanan, perkebunan, pertanian, dan sebagainya (Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan
Batubara, 2012).

Salah satu masalah penting yang banyak mendapatkan sorotan adalah kurangnya pengawasan
pemerintah pusat dan/atau provinsi terhadap mekanisme penerbitan izin usaha pertambangan selama ini. Dalam
konteks itu, Ketua Umum Asosasi Pengusaha Tambang Indonesia (APEMINDO) Poltak Sitanggang
menegaskan bahwa masalah tumpang tindih lahan muncul sebagai konsekwensi dari tidak adanya kontrol dan
pengawasan dari pemerintah pusat terhadap meknaisme penerbitan izin usaha pertambangan. Kepala daerah
memiliki otoritas tunggal dan dominan dalam penerbitan izin usaha pertambangan selama ini. Selain itu,
pemerintah dianggap lalai dalam memberikan bimbingan tehnis terhadap pemerintah daerah sehingga tidak ada
kesepahaman antara pemerintah daerah dan pusat (hukumonline.com, 24 Juli 2012). Untuk menghindari

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 395


terjadinya hal-hal tersebut, maka e-governance harus segera diaplikasikan agar terealisasinya good governance
dalam penerbitan IUP tersebut.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai pertambangan Mineral dan Batubara
secara umum harus dimaknai sebagai respons terhadap berbagai permasalahan pertambangan yang muncul masa
reformasi dan secara khusus untuk mengontrol perilaku koruptif kepala daerah dalam kegiatan pertambangan.
Aspek utama dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan mekanisme penerbitan izin usaha
pertambangan yang lebih terkontrol dan tertata dengan upaya pembentukan peta tunggal (one map)
pertambangan di Indonesia.

Perubahan kebijakan yang bersifat korektif ini dapat disamakan dengan upaya penerbitan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perubahan
kebijakan terhadap perijinan usaha pertambangan tersebut tidak berarti modus pemberian izin akan
dikembalikan lagi ke model masa Orde Baru yang sentralistik. Akan tetapi, terdapat perubahan mengenai
mekanisme dan kewenangan dalam pemberian izin pertambangan pada pemerintahan pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota.

Perilaku koruptif kepala daerah dalam kaitannya dengan penerbitan izin usaha pertambangan memiliki
akar yang mendasar pada degredasi moral kepala daerah itu sendiri. Banyak kepala daerah yang disinyalir
sengaja menerbitkan izin usaha pertambangan dalam suatu wilayah pertmbangan tertentu walaupun mereka
sudah mengetahui bahwa telah terdapat izin usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan tersebut dengan
berbagai alasan dan kepentingan, baik kepentingan dari pihak kepala daerah maupun pihak ketiga yang
diberikan izin usaha pertambangan setelah itu. Dalam artian, kepala daerah mengeluarkan dan mencabut izin
usaha pertambangan sekenanya. Kepala daerah dengan mudahnya menerbitkan izin usaha pertambangan,
terutama ketika masa jabatannya akan berakhir. Perilaku koruptif penerbitan IUP inilah yang akan menimbulkan
terjadinya potensi konflik sengketa tumpang tindih lahan. Pada titik ini e-governance akan menangkal perilaku
koruptif tersebut dikarenakan sistem yang transparan dan akuntabel akan mempersulit ruang gerak para oknum
dalam proses penerbitan surat IUP ganda..

396 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Puluhan izin usaha pertambangan biasanya akan diterbitkan. Mereka biasanya tidak peduli apakah izin
usaha pertambangan yang diterbitkan itu mencaplok wilayah izin usaha pertambangan lain (hukumonline.com,
2009). Semakin prospektif suatu wilayah pertambangan, maka semakin besar kecenderung terdapat tumpang
tindih izin usaha pertambangan di dalamnya. Perilaku koruptif semacam ini semakin meningkat lebih
disebabkan oleh tidak adanya penyelesaian dan kepastian hukum (Purwono and Partners, 2011).

Tidak mudah untuk menentukan bahwa suatu tumpang tindih izin usaha pertambangan disebabkan oleh
perilaku koruptif semacam ini atau oleh kesengajaan dan pengetahuan kepala daerah sampai dilakukan verifikasi
dan investigasi/penyelidikan secara khusus di lapangan. Proses seleksi izin usaha pertambangan clear and clean

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 397


(CnC) yang banyak didasarkan pada kelengkapan administrasi (desk-based) saja hanya akan memunculkan
status dan kategorisasi tumpang tindih izin usaha pertambangan.

Berbagai kajian yang ada mengenai sebab-sebab kemunculan tumpang tindih izin usaha pertambangan
lebih banyak didasarkan pada argumentasi dan analisis asumtif, daripada verifikasi dan investigasi riil di
lapangan. Resolusi tumpang tindih izin usaha pertambangan ini harus didasarkan pada fakta sebenarnya di
lapangan mengenai akar masalah tiap-tiap izin usaha pertambangan yang tumpang tindih. Bentuk-bentuk
resolusi tumpang tindih izin usaha pertambangan selanjutnya dibangun atas dasar penyeledikan fakta-fakta di
lapangan yang kemudian diimplementasikan dalam kepastian legal (legal certainty) oleh menteri dalam negeri.
Sebagai contoh, sejauh ini, diperkirakan sudah terdapat tujuh sampai delapan bupati dan walikota yang sedang
dipantau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga telah menyalahgunakan pemberian izin
tersebut. Di antara mereka dianggap telah melakukan pemalsuan terhadap izin usaha pertambangan (Yozami,
2012).

Jika benar-benar ditemukan perilaku koruptif semacam ini dari kepala daerah dengan data yang kuat,
sudah seharusnya proses hukum dilaksanakan secara tegas (rule of law) sebagai pertanggung-jawaban kepala
daerah tersebut dan pelajaran berharga bagi kepala daerah lainnya. Begitu juga jika tumpang tindih izin usaha
pertambangan tersebut disebabkan oleh perilaku semacam ini, maka resolusi yang paling tepat dan adil (fairly
justified resolution) adalah solusi menang kalah (win-lose solution) karena akar masalahnya adalah perilaku
koruptif bupati. Dengan kata lain, izin usaha pertambangan yang diterbitkan setelahnya harus dibatalkan
(Purwono and Patners, 2011).

Fenomena perilaku koruptif lain dari kepala daerah, yang menyebab- kan munculnya tumpang tindih
izin usaha pertambangan adalah apa yang umum disebut dengan istilah back-dating atau pemalsuan tanggal
pada tanggal penerbitan izin usaha pertambangan. Perilaku koruptif semacam ini banyak dilakukan oleh kepala
daerah pada saat pemberlakukan (coming into force) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Pemberlakukan
undang-undang ini menegaskan bahwa setelah tanggal 12 Januari 2009 kepala daerah tidak diperbolehkan lagi
untuk menerbitkan izin usaha pertambangan, terutama izin usaha pertambangan eksplorasi pertambangan
sampai dengan terbentuknya Wilayah Usaha Pertambangan (WUP). Jika Wilayah Usaha Pertambangan sudah
terbentuk, izin usaha pertambangan akan diberikan melalui mekanisme tender publik. Untuk menghindari
keharusan mengikuti mekanisme tender publik banyak kepala daerah yang dengan sengaja menerbitkan izin
usaha pertambangan pertambangan yang pada dasarnya berlangsung setelah tanggal 12 Januari 2012 seolah-olah
diterbitkan sebelum tanggal tersebut (Purwono and Partners, 2011).

Pemalsuan tanggal penerbitan (back-dating) merupakan fenomena unik yang merupakan respons
terhadap pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Tidak heran jika pada awal minggu bulan
Januari 2009 terdapat begitu banyak penerbitan izin usaha pertambangan yang dilakukan oleh kepala daerah
juga seringkali diikuti oleh ketergesa-gesaan (rush) kepala daerah dalam penerbitan izin usaha pertambangan
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (Purwono and Partners, 2011). Kejadian inilah yang
memberikan kontribusi banyak munculnya tumpang tindih izin usaha pertambangan walaupun back-dating dan
rush memiliki aspek moralitas dan konsekwensi hukum berbeda. Back-dating lebih berkaitan dengan moralitas
dan/atau perilaku koruptif kepala daerah. Sedangkan rush lebih cenderung merupakan buah dari perilaku tidak
profesional dan ceroboh kepala daerah.

398 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Proses administratif (desk-based) terhadap seleksi clear and clean oleh Kementerian Energi Sumber
Daya Mineral, hanya akan melahirkan status dan kategorisasi klasik tumpang tindih izin usaha pertambangan.
Harus diakui bahwa tidak mudah untuk menentukan bahwa suatu izin usaha pertambangan tertentu tumpang
tindih dengan izin usaha pertambangan lain karena adanya back-dating yang telah dilakukan oleh kepala daerah
sampai dilakukan verifikasi dan investigasi terhadap izin-izin usaha pertambangan yang tumpang tindih
tersebut. Dalam proses investigasi dan verifikasi lapangan tersebut, misalnya perlu dilakukan usaha sinkronisasi
atau cek dan ricek antara tanggal penerbitan izin usaha pertambangan dengan kenyataan waktu berlangsungnya
usaha pertambangan tersebut (dunia-energi.com, 14 September 2012). Jika verifikasi lapangan menemukan
bahwa back-dating telah dilakukan oleh kepala daerah tertentu, maka resolusinya bukan hanya membatalkan
izin usaha pertambangan tersebut, tetapi juga harus diperlakukan proses hukum secara tepat dan tegas (rule of
law) kepada kepala daerah tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban dan pelajaran untuk kepala-kepala
daerah lain. (dunia-energi.com, 14 September 2012.48

Salah satu kasus besar tumpang tindih izin usaha pertambangan yang disinyalir disebabkan oleh back-
dating adalah pengelolahan pertambangan pada lahan yang dilepas oleh PT INCO Tbk di di Blok Malapulu,
Torobulu, dan Lasolo, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Manusia
Nomor 483.K/30/DJB/2010 tanggal 25 Oktober 2010 mengenai penciutan tiga Wilayah Kontrak Karya pada
tahap kegiatan operasi produksi PT INCO Tbk, lahan yang dilepas meliputi Blok Malapulu 3.000 hektar
(Bombana), Torobulu 13.000 hektar (Konawe Selatan), Lasolo 4.000 hektar (Konawe Utara), dan Lapao-pao
6.000 hektar (Kolaka). Seharusnya kegiatan pertambangan ketiga blok itu hanya dimungkinkan setelah
pelepasan resmi lahan PT INCO Tbk tersebut tanggal 25 Oktober 2010 berdasarkan keputusan Menteri Energi
Sumber Daya Mineral. Akan tetapi, realitas di lapangan sudah berlangsung kegiatan pertambangan dengan izin
usaha pertambangan yang diterbitkan kepala daerah setempat dengan tanggal sebelum pelepasan blok-blok
tersebut oleh PT INCO Tbk. Fakta selanjutnya adalah izin usaha pertambangan ketiga blok pertambangan
terebut telah mendapatkan status clear and clean dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (dunia-
energi.com, 14 September 2012).

Kasus tersebut memang perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut dan serius untuk benar-benar
menentukan bahwa izin usaha pertambangan dalam ketiga blok tersebut merupakan bagian dari back-dating
untuk mendapatkan status clear and clean. Dengan demikian, kasus tersebut membeberkan suatu fakta dan
pelajaran berharga (lesson learned) mengenai back-dating dan mekanisme verifikasi lapangan yang diperlukan
untuk memastikan suatu izin usaha pertambangan merupakan hasil back-dating. Harus diakui memang
mekanisme itu tidak mudah dan membutuhkan biaya cukup cukup besar karena kita tidak akan pernah
mengharapkan bahwa seorang kepala daerah akan mengakui dirinya telah melakukan back-dating atau ia akan
berhadapan dengan proses hukum yang dapat membawa ke dalam jeruji penjara.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 399


e-Governance Model dalam Penerbitan IUP

Ada 3 kelompok target utama dalam konsep e-governance, yakni: pemerintah, warga negara dan sektor
bisnis/kelompok kepentingan. Strategi eksternal dalam e-governance model ini berfokus kepada warga negara
dansektor bisnis/kelompok kepentingan. Sementara target internal berfokus kepada pemerintah itu sendiri.

Nomenklatur seperti B2B (Bussiness to Bussiness) dan B2C (Bussiness to Consumer) digunakan
seperti pada e-commerce, untuk mempermudah ilustrasi interaksi diantara kelompok tersebut. Adapun secara
ringkas, interaksi-interaksi kelompok-kelompok utama pada e-governance tersebut terlihat pada model sebagai
berikut ini:

Gambar 6. Interaksi diantara kelompok-kelompok utama e-governance

Secara konkret, interaksi pada e-governance pada penerbitan IUP menuju good governance pada sektor
pertambangan dengan salah satu akhir tujuan peredaman konflik sengketa tumpang tindih lahan adalah sebagai
berikut:
Gambar 7. Model e-mining governance untuk Sektor Pertambangan
(Diadaptasi dari model e-governance John Sunday (2013))

e-Mobilization (pelaksanaan kebijakan IUP

e-Participation ( (pelibatan tripartit pengusaha, pemerintah


dan masyarakat ) e-Consultation (FAQ tetang prosedur IUP
))

e-Planning (Review kebijakan IUP e-Proper (clean and clear test )


))

e-Policing ( kebijakan IUP) e-Service Delivery (layanan IUP mobile)

e-governance cycle

e-Coordination (lintas sektoral dengan


e-Transaction ( pembayaran biaya IUP ) kehutanan,petranian dsb.

e-Registration (pendaftaran IUP) e-Taxation ( Royalti dan pajak batubara)


kuasa o
e-Education (Sosialisasi UU Minerba tahun 2009 )

400 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Dengan model e-governance ini diharapkan terjadi good governance pada sektor pertambangan di
provinsi Kalimantan Timur. Indikator utama keberhasilan dari sistem e-governance ini tidak terjadinya
penerbitan IUP ganda pada lahan yang sama, terciptanya good governance dan well manage pada sektor
pertambangan serta teredam dan hilangnya konflik sengketa tumpang tindih lahan yang dihitung sejak sistem e-
governance ini di berlakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmarini, W. (2012). Governors Soon Get Legal Certaininity To Resolve Overlapping Permits. Diambil dari
http://en.indonesiafinancetoday.com/read/25434/Governors-Soon-Get-Legal-Certainty-to-Resolve-
Overlapping-Permits, pada 23 Februari 2013.

Azwar, Amahl S. (2012). Mining permit deadline draws criticism. Dalam The Jakarta Post (12 Oktober 2012).

Ateng Syarifudin, Pengurusan Perizinan, Bandung: Pusat Pendidikan dan Pelatihan ST Aloysius, 1992

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta : PSH FH UII, 2005

Biro Keuangan Sekertariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2011). Kompendium
Peraturan PNBP. (1th Edition). Jakarta : Biro Keuangan Sekertariat Jenderal Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral.

Biro Pusat Statistik. Kalimantan Timur dalam Angka. 2014

Biro Pusat Statistik. Pendapatan Daerah Regional Bruto. 2014

Burton, J. (1990). Conflict: practices in management, settlement and resolution. New York: St. Martin‘s Press

Charllote Sterck, Governments and Policy Network: Chances, Risks, and a Missing Strategy – a Handbook of
Globalization and Environmental Policy, USA: Edward Elgar Publishing Limited, 2005

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Mineral and Coal Tahun 2013, Jakarta,

Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba). (2013), ESDM. Daftar IUP CnC dan non CnC. per-tanggal 26 Februari
2013.

Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba). (2013), ESDM, Daftar IUP non CnC. Per-tanggal 26 Februari 2013.

Dipowicaksono, Fiqi and Wibowo, Satya Aditya. (2013). Marketing Strategy For 3M PPE Products at Coal
Mining in East Kalimantan. Jurnal Business Administration. Vol 2, No. 9. Jakarta.

Dunia Energi. (2012). Proses Clear and Clean Mulia Bermasalah. Diambil dari http://www.dunia-
energi.com/proses-clean-and-clear-iup-mulai-bermasalah/, pada 24 Januari 2013.Jurnal Demokrasi dan
HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 51

Fadhillah, R.D. (2011). Overlapping mining areas needs fixing soon. Diambil dari
http://www.thejakartapost.com/news/2011/05/28/overlapping-mining-areas-need-fixing-soon-
govt.html, pada 24 Januari 2013.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 401


Fisher, R. & Ury, W. (1991). Getting to yes: negotiating agreement without giving in. New York: Penguin
Books.

Fisher, R., Kopelman, E., & Schneider, A.K. (1994). Beyond Machiavelli: Tools for coping with conflict.
Boston: Harvard College.

Hasan Ansori, Mohammad. Desentralisasi, korupsi, dan kemunculan tumpang tindih izin usaha pertambangan
di indonesia. Jurnal Demokrasi dan HAM vol. 10. Jakarta. 2013

Hukum Online.com. (2012). Tumpang Tindih Lahan Hambat Proses Clear and Clean. Diambil dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt500ec7dd812f0/tumpang-tindih-lahan-hambat-proses-
clean-and-clear, pada 16 Februari 2013.

Hukumonline.com. (2009). UU Minerba lahir, Masalah Tumpang Tindih Selesai?, 14 Januari 2009, diambil
dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20902/uu-minerba-lahir-masalah-tumpang-tindih-
selesai, pada 10 Februari 2013.

Indrawati. Franky Butar Butar. Kuntjoro Dibyo. Penerimaan Negara Sektor Pajak di Bidang Pertambangan.,
Kondisi Industri Pertambangan di Indonesia saat ini dalam menunjang pembangunan berkelanjutan Paper
dipresentasikan pada Semiloka: Menuju Kegiatan Industri Ekstraktif yang Berwawasan Lingkungan,
diselenggarakan di UNAS, Jakarta, 24 Oktober 2002.

Isenhart, M.W. (2000). Collaborative approaches to conflict resolution. London: sage Publications.

Jeong, H.W. (ed.). (1999). Conflict Resolution: dynamic, process and structure. New York: Ashgate

Juniarso R dan Achmad S., Hukum Tata Ruang dalam Konsep Otonomi Daerah, Bandung: Nuansa, 2008

Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata cara pengajuan
pemrosesan pemberian kuasa pertambangan, izin prinsip, kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batu bara

Kementrian ESDM. (2012). Batubara: 373 perusahaan dinyatakan clear and clean. Diambil dari
www.esdm.go.id/berita/batubara/44-batubara/5526-373-perusahaan-dinyatakan-clear-and-clean.html.,
pada 13 Februari 2013.

Kementrian ESDM. (2011). Koordinasi Izin Usaha Pertambangan Nasional 2011. Diambil dari
http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/4550-koordinasi-pendataan-izin-usaha-
pertambangan-nasional-2011.html, pada 14 Februari 2013.

Kompas. (2007). Kecenderungan Korupsi: Eksekutif di Posisi Teratas, 25 Januari 2007.

Laporan Tahunan PT. Pancaran Surya Abadi. Jakarta. 2014

Li Yanfeng, ZHAO Wenda, GUI Xiahui, ZHANG Xiaobo. (2012). Flotation Kinetics and Separation Selectivity of
Coal Size. Jurnal Physicochemical Problem of Mineral Processing. Vol 2, No. 49,
d i a k s e s 1 8 M a r e t 2 0 1 4 d a r i
http://www.ppmp.pwr.wroc.pl/sorpa/file/5609eea312404d80b37560585dc32840/download.

402 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Ligaligo Abraham, Kejayaan Pertambangan “Darah Segar” Kemakmuran, www.majalahtambang.com,
2008.

Mayer, B.S. (2000). The dynamics of conflict resolution: a practitioner‟s guide. San Francisco: Jossey-Bass
Publishers.

Michael S. Hamilton, Mining Environmental Policy, USA: Ashgate Publishing, 1988

Mining News Asia. (2012). Clear and Clean Mining Business Permit (IUPs). Diambil dari
http://www.miningnewsasia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=301:clean-and-
clear-mining-business-permits-iups&catid=1:indonesia&Itemid=62, pada 16 Februari 2013.

Moore, Christopher W. (2003). The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict. San
Francisco: Jossey-Bass, A Wiley Imprint.

Nuryahya, Himawan. Makalah Analisa Penerimaan Daerah Regional Bruto Sumber Daya Alam Pertambangan
Mineral dan Batubara Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010-2014. FISIP UNPAD. Bandung. 2015

Nurhayati. La Sina. Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan Migas dan
Batubara. Jurnal Beraja Niti vol 2. No. 10. Samarinda. 2013

Oberschall, A. (1978). Theories of social conflict. In Annual Review of sociology. Vol. 4, pp. 291-315.

Pradipta, V.A. (2012). Clean and Clear Mining Permits to be Completed End of 2012. Diambil dari
http://en.bisnis.com/articles/clean-and-clear-mining-permits-to-be-completed-end-of-2012, pada 30
Januari 2013.

Pradipta, V.A. (2011). Baru 45% IUP Berstatus Clear and Clean. Diambil dari
http://www.bisnis.com/articles/baru-45-percent-iup-berstatus-clean-and-clear, pada 17 Februari 2013.

Peraturan Pemerintah (PP), Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Wilayah Pertambangan (WP).

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan

Prawira, Sutisna. (2010). REFLEKSI KINERJA SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TAHUN
2010.10 Februari 2014. http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/4027- refleksi-kinerj a-
sektor-energi-dan-sumber-daya-mineral-tahun-2010.html

Purwono, C.T. & Sullivan, B. (2011). Overlapping mining concessions: a systematic problem not easily
resolved. Dalam Coal Asia Magazine, July-August 2011.

Riant N. D., Analisis Kebijakan, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007

Robbins, Stephen P. / Coulter, Marry. (2009). Manajemen. (Edisi 8) Jilid 1. New Jersey: Pearson Education.
Inc.

Rinaldi, T., Purnomo, M., & Damayanti, D. (2007). Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi:
Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah. World Bank Justice for the Poor Project.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 403


Sandole, D. J. & Merwe, H.V. (eds.). (1993). Conflict resolution theory and practice: integration and
application. New York: Manchester University Press.Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The
Habibie Center

Schellenberg, J. (1996). Conflict resolution: theory, research and practice. New York: State University of New
York Press.

Simon Felix Sembiring, Jalan Baru Untuk Tambang: Mengalirkan Berkah Bagi anak Bangsa, Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2009

Silalahi, Daud, Hukum lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung; Alumni,
2001

Silalahi, Daud dan Kristianto P H, Hukum Pertambangan Indonesia dalam Perkembangan Hukum Baru, (draft,
2011)

Silalahi Daud. Kristianto. Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan di Indonesia Pasca Undang - Undang
Minerba no. 4 tahun 2009. Law review volume xi no. 1 - . Jakarta. Juli 2011

Solichin A W, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara,
1997

Sjahran Basah, Pencabutan Izin Sebagai Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi Negara, Surabaya: FH Unair,
1995

Sunday, John. E-Governance: An Imperative for Sustainable Grass Root Development in Nigeria. Journal of
Public Admnistration and Policy Research, 2014.

Susyanto. (2012). KINERJA SEKTOR KERJA ESDM TAHUN 2012. 21 Mei 2014.
http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/6127-kinerja-sektor-esdm-tahun-2012- .html

Sullivan, B. & Petromendo. (2012). Understanding the IUP National Reconciliation Process: Some progresses
but many unresolved issues. Dalam Coal Asia Magazine, October-November 2012.

Studi Kebijakan Perijinan Pertambangan Mineral dan Batubara. (2012). Evaluasi Terhadap Kebijakan
Penyelenggara Negara Berdasarkan Kerangka Umum Hukum Administrasi Negara, Jakarta.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah

Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Pertambangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

404 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Widyastuti Paramita, Hery Gunawan. Analisa perencanaan, monitoring dan pengusulan penyaluran pnbp
sumber daya alam pertambangan mineral dan batubara Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2010-2012.

Yozami, M.A. (2012). Banyak Kepala Daerah Mengeluarkan Izin Palsu, dalam hukumonline.com, 16 Februari
2012. Diambil dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f3d02d9787d6/banyak-kepala-daerah-
keluarkan-iup-palsu, pada 23 Februari 2013.

Yuniarto, Agung. (2012). Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Bogor: Kementerian Keuangan
Republik Indonesia Badan Pendidikan dan Pelatihan

Zainul Basri Yuswan dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar
Negeri,RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 405


Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Dan
Penanaman Modal Kota Gorontalo

Zuchri Abdussamad

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Negeri Gorontalo

Telp. 08124467142

Email: zuchriabdussamad@yahoo.com

Abstrak: Peningkatan kinerja pegawai di instansi pemerintah dapat ditempuh dengan beberapa cara, misalnya
melalui pemberian kompensasi yang layak, pemberian motivasi, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,
serta pendidikan dan pelatihan. Selain itu, lingkungan kerja yang nyaman, koordinasi serta komunikasi pada
dasarnya merupakan faktor yang mendukung kinerja para pegawai dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh iklim komunikasi
organisasi terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil
Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode survey dan analisa korelasional. Hasil yang diharapkan yakni adanya model pengembangan
kinerja pegawai melalui iklim komunikasi organisasi.

Kategori : Ilmu Sosial

Sub Tema : Inovasi Pengembangan Pelayanan Publik

Kata Kunci : Iklim Komunikasi Organisasi, Kinerja

PENDAHULUAN

Kinerja aparat pemerintah pada dasarnya juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu, yaitu kondisi
yang berasal dari dalam individu yang disebut dengan faktor individual dan kondisi yang berasal dari luar
individu yang disebut dengan faktor situasional. Faktor individual meliputi jenis kelamin, kesehatan,
pengalaman dan karakteristik psikologis yang terdiri dari motivasi, kepribadian, orientasi tujuan dan locus of
control. Adapun faktor situasional meliputi kepemimpinan, prestasi kerja, hubungan sosial dan budaya
organisasi dan komunikasi organisasi.

406 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Peneliti melakukan penelitian komunikasi organisasi lebih khusus dapat mengetahui proses iklim
komunikasi organisasi dan pengaruhnya terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi
Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo dilandasi oleh identifikasi masalah
tentang iklim komunikasi organisasi yaitu di dalamnya terdapat birokrasi (sistem kontrol dalam organisasi) yang
cukup kompleks tetapi terstruktur dalam unit pembagian tugasnya yang terdiri dari bidang industri,
perdagangan, koperasi dan bidang penanamanan modal sehingga dapat terlihat jelas aktifitas kerja yang
kebanyakan pada banyak lingkungan kerja mengalami kendala-kendala sehingga kadang kurang kordinasi
dalam pengorganisasian tugas, pesan atau informasi yang tengah menjadi kebutuhan semua lini pegawai dan
kadang kala tidak berjalan efektif dan efisien, keadaan tersebut bisa menjadi terbiasa dan berlangsung lama
sehingga bisa mempengaruhi kinerja pegawai. Seperti contoh apabila ada komunikasi yang tidak efektif antara
bawahan dengan atasan maka akan tercipta iklim yang tidak kondusif dan tentunya akan mempengaruhi kinerja
pegawai.

IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN KINERJA

Mengungkapkan istilah iklim disini merupakan kiasan (metafora), fase iklim komunikasi organisasi
menggambarkan suatu kiasan bagi iklim fisik. Sama seperti cuaca membentuk iklim fisik untuk suatu kawasan,
sedangkan cara orang berinteraksi terhadap aspek organisasi menciptakan suatu iklim komunikasi, maksudnya
yaitu sebuah kiasan yang menggambarkan suasana dan apa yang dirasakan nyata dalam diridari orang-orang
yang berhubungan dengan organisasi sehingga memungkinkan orang bereaksi dengan bermacam-macam cara
terhadap organisasi melalui proses komunikasi.

Falcione dalam Pace dan Faules (2001:149) menyatakan bahwa,―iklim komunikasi merupakan suatu
citra makro, abstrak dan gabungan dari suatu fenomena global yang disebut komunikasi organisasi. Iklim
berkembang dari interaksi antar sifat-sifat suatu organisasi dan presepsi individu atau sifat-sifat itu. Iklim
dipandang sebagai suatu kualitas pengalaman subjektif yang berasal dari presepsi atas karakter-karakter yang
relatif langgeng pada organisasi‖.

Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam
suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan
organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Istilah
kinerja berasal dari Job Perfomance atau Actual Performance yang berarti prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang (Prabu, 2005: 67).

Hasibuan (2003: 94) mengemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
kesungguhan serta waktu. Kinerja adalah merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan
minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat
motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor diatas, maka akan semakin besar pula kinerja dari
pegawai yang bersangkutan.

Menurut Mahsun (dalam Sinambela, 2012:187) mengatakan terdapat empat elemen pengukuran kinerja
organisasi, yaitu: (1) menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organisasi; (2) merumuskan indikator dan ukuran

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 407


kinerja; (3) mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi; dan (4) evaluasi kinerja
(umpan balik, penilaian kemajuan organisasi, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas).

Untuk menganalisis kinerja pegawai, Bernardin dan Russel dalam Sutrisno (2009:179-180),
mengajukan enam poin penilaian kinerja yang digunakan untuk menganalisis masalah tersebut yaitu :1) Quality,
2) Quantity, 3) Timeliness, 4) Cost effekctiveness, 5) Need for supervisior, 6) Interpersonal impact.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa koefisien regresi untuk variabel iklim komunikasi
organisasi bernilai positif sebesar 0,359. Koefisien regresi yang positif ini menunjukkan bahwa iklim
komunikasi organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja pegawai. Semakin baik iklim
komunikasi organisasi pada kantor Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah
dan Penanaman Modal Kota Gorontalo, maka kinerja pegawai yang dihasilkan baik pula, sehingga akan
tercapai segala hal yang menjadi sasaran, target dan tujuan dari instansi ini.
Namun berdasarkan pengamatan peneliti dalam hal saluran komunikasi formal dikantor ini utamanya
aliran komunikasi vertikal yakni mencakup seluruh transaksi yg meliputi aliran informasi ke bawah maupun ke
atas yg terjadi antara atasan dan bawahan dalam organisasi belum efektif, misalnya kurangnya pimpinan
memberikan informasi tentang mengapa suatu pekerjaan harus dilaksanakan, terlalu banyak mengutus bawahan
untuk mengikuti pertemuan di tingkat SKPD terutama ketika masyarakat sangat membutuhkan informasi harga
bahan pokok, hanya dilayani staf, padahal yang sangat dibutuhkan adalah kebijakan dari kepala kantor untuk
menjelaskan sehingga tidak multitafsir.
Hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh iklim komunikasi organisasi
terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan
Penanaman Modal Kota Gorontalo (Perindagkop.UMKM dan PM) berdasarkan hasil penelitian hipotesis
tersebut terbukti. Adapun pengaruh dari iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo
terlihat rendah, namun beberapa masih menjadi perhatian dan harus ditingkatkan agar kedepannya kinerja
pegawai dapat ditingkatkan melalui iklim komunikasi organisasi antara lain dapat ditetapkan melalui model
komunikasi linier, model komunikasi interaksional, model komunikasi transaksional.
Sesuai pengamatan dan wawancara peneliti dengan kepala bidang perindustrian, bidang perdagangan,
bidang koperasi, bidang penanaman modal di kantor ini terungkap masing-masing bidang ini memiliki ciri khas
tersendiri dalam melaksanakan program kerja. Diantaranya untuk bidang perindustrian dan perdagangan bisa
dikategorikan pada model transaksional, dimana pandangan ini menekankan bahwa semua perilaku adalah
komunikatif. Modelnya didasarkan pada konsep komunikasi berikut. 1). Komunikasi menjelaskan evaluasi
makna. 2). Komunikasi bersifat dinamis. 3). Komunikasi terus-menerus. 4). Komunikasi melingkar. 5).
Komunikasi tidak dapat diulang/ditarik kembali. 6). Komunikasi tidak dapat dirubah. 7). Komunikasi yang
kompleks. Untuk bidang koperasi lebih mirip kearah model interaksional, dimana komunikasi yang berlangsung
bersifat dua arah dan ada dialog. Tiap partisipan memiliki peran ganda, satu saat bertindak sebagai komunikator,
pada saat yang lain sebagai komunikan. Dan untuk bidang penanaman modal sesuai hasil wawancara dengan
kepala bidang ini peneliti dapat mengkategorikan pada model komunikasi linier, dimana dalam model ini

408 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


komunikator memberi suatu stimuli dan komunikan melakukan respon yang diharapkan tanpa mengadakan
seleksi dan interpretasi.

Industry Industry
Division Linier Division
Communicati
Trade on Trade
Division Division
Interactional
Cooperation Communicati Cooperation
Division on Division

Investment Transactional Investment


Division Communicati Division
on

Gambar diatas merupakan model komunikasi yang berlangsung di kantor Dinas Perindagkop.UMKM dan
PM Kota Gorontalo

PENUTUP

Hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja
pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota
Gorontalo diperoleh nilai korelasi r sebesar 0,476 dan koefisien determinan sebesar 0,227. Penerapan iklim
komunikasi organisasi di Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan
Penanaman Modal Kota Gorontalo mempunyai hubungan yang rendah terhadap kinerja. Iklim komunikasi
organisasi yang dijalankan oleh pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil
Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo dapat dilihat pada besarnya nilai determinasi atas pengaruh
iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai yakni sebesar 0,227; dengan kata lain iklim komunikasi
organisasi memberikan pengaruh sebesar 22,7% terhadap kinerja pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo, yang kemudian sisanya 77,3%
ditentukan oleh variabel lain yang tidak diuji dalam penelitian ini seperti budaya kerja, motivasi, koordinasi,
kepemimpinan dan lain-lain.

Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa kinerja pegawai secara signifikan dipengaruhi oleh iklim
komunikasi organisasi namun pengaruh iklim komunikasi organisasi terhadap kinerja pegawai yang
ditunjukkan tersebut termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini, tentunya dapat dijadikan sebagai gambaran
bahwa iklim komunikasi organisasi di kantor Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil
Menengah dan Penanaman Modal Kota Gorontalo aparat masih perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan Malayu, 2003, Organisasi Dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktifitas. Bumi Aksara. Jakarta

Pace Wayne. R and Faules. F Don, 2001, Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan.
Deddy Mulyana (Editor) Remaja Rosda Karya, Bandung

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 409


Prabu, Anwar Mangkunegara. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung

Sinambela, P, 2012, Revormasi Pelayanan Publik. PT Bumi Aksara. Jakarta

Sutrisno, Edi, 2009, Komunikasi Dalam Organisasi, KENCANA, Jakarta

410 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Meningkatkan Kemampuan Kelembagaan Untuk Menyongsong Asean
Economic Community: Suatu Perspektif Administrasi Negara

ROZA LIESMANA, S.IP, M.Si

Jurusan Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Andalas, Padang-Indonesia

Tel: +628126641275

E-mail: rliesmana@yahoo.com

Abstrak: Diakui bahwa administrasi negara kita memiliki berbagai kelemahan birokrasi transisional,
diantaranya inefisiensi, produktivitas rendah dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta
kurang terbuka dan kurang tanggap terhadap aspirasi masyarakat. Atas dasar itu disadari bahwa salah satu
hambatan yang besar dalam pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia adalah sistem
administrasi negara yang belum memiliki kemampuan yang cukup memadai untuk melaksanakan berbagai
tugas pembangunan yang cepat berubah dan semakin kompleks. Hambatan ini jika tidak diatasi maka akan
semakin nyata pada saat pelaksanaan Asean Economic Community tahun 2015.

Secara garis besar, dinegara Indonesia adminsitrasi pemerintah memiliki kedudukan sentral serta
hegemonis karena lemahnya sektor swasta. Sementara disisi lain perubahan-perubahan yang cepat

Ditingkat global dan nasional salah satunya pelaksanaan Asean Economic Community menjadi faktor
pendorong kuat perubahan pada sistem administrasi negara agar mampu mendukung pembangunan yang
bertambah kompleks tadi. Dalam kerangka pemikiran inilah pembangunan kualitas manusia harus
mendapatkan penekanan oleh pemerintahan saat ini karena hanya dengan kualitas manusia yang tangguh
segala tantangan global maupun nasional dapat dipecahkan. Dalam menghadapi AEC yang bertujuan
meningkatkan kualitas manusia dan kualitas masyarakat itulah semakin diperlukan suatu sistem administrasi
yang baru dan lebih berkemampuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat.

Bagaimana sistem administrasi yang mampu untuk merangsang partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan AEC? Ada tiga aspek yang mendesak untuk dilaksanakan yakni: desentralisasi, perubahan
orientasi dan proses, penciptaan lingkungan politik dan administrasi yang mendukung. Untuk mencapai
kualitas manusia dieprlukan desentralisasi yang cukup mendasar dalam proses pembuatan keputusan.
Desentralisasi tidak sekedar mencakup delegasi sebagian otoritas formal tetapi mencakup penyerahan otonomi
yang lebih luas kepada daerah melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam perencanaan pembangunan,
meningkatkan fungsi DPRD serta pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam perencanaan,
pengelolaan dan pengendalian pembangunan daerah. Untuk memungkinkan terlaksananya desentralisasi

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 411


diperlukan perubahan orientasi dan proses karena selama ini hambatan dalam sistem administrasi Indonesia
adalah hambatan proses dan orientasi berupa aspek prosedur dan struktur. Sedangkan pemciptaan lingkungan
politik dan administrasi yang mendukung dapat dicapai melalui kebijakan-kebijakan negara perlu dirumuskan
untuk menciptakan lingkungan dan kondisi yang mampu merangsang dan mendukung upaya masyarakat untuk
menghasilkan kebutuhan serta untuk memecahkan sendiri masalah-masalah mereka. Pendekatan birokratis
yang sering digunakan pemerintah seringkali membunuh inisiatif masyarakat dan telah menimbulkan beban
keuangan yang amat besar bagi pemerintah. Selain itu menjadikan banyak program pembangunan menjadi
tidak efisien dan tidak efektif.

Keywords: Pembangunan Kelembagaan, Economic Community

Pendahuluan

Era globalisasi menuntut banyak perubahan dalam sistem administrasi negara. Pasar yang semakin
terbuka dan kompetisi yang ketat dalam sistem ekonomi yang semakin mengglobal menuntut birokrasi yang
modern, yang dicirikan oleh efisiensi, transparansi dan berpertanggungjawaban yang tinggi. Sayangnya, sistem
administrasi seperti itu masih jauh dari sistem administrasi negara Indonesia.

Mengapa birokrasi menjadi begitu penting untuk di bahas?ada beberapa poin yang menjadi landasan.
Pertama, birokrasi menduduki posisi strategis-instrumental untuk mewujudkan cita-cita pembangunan suatu
negara artinya secara normatif semua elemen birokrasi harus mengacu kepada tujuan pembangunan nasional
yang ingin diwujudkan. Kedua, karena dengan makin jauhnya tahapan pembangunan nasional, tujuan
pembangunan nasional juga dapat berubah, maka sosok birokrasi seharusnya juga merefleksikan diri dalam
perubahan tersebut.

Tahun 2015 Indonesia paling tidak berhadapan dengan 3 tantangan besar (Eko Prasojo, 2015). Pertama
tingkat perubahan harapan masyarakat yang sangat cepat dengan kemajuan Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Kecepatan ini bergerak menurut deret ukur, sedangkan perubahan birokrasi menurut deret hitung.
Kedua, Globalisasi yang semakin masif dan komprehensif. Tahun 2015 Indonesia akan berada dalam Asen
Economic Community. Ketiga sumber daya alam yang semakin terbatas karena pemanfaatannya yang tidak
terkontrol. Ketiga tantangan ini makin diperparah dengan situasi problematik birokrasi di Indonesia saat ini
diantaranya: struktur, norma, nilai dan regulasi lebih berorientasi kepentingan penguasa (power culture), belum
terbentuknya budaya melayani ( service culture), tingginya ketidakpastian (cost of uncertainty), budaya patron-
client yang mengarah kepada moral hazard dan mentally corrupt dan rendahnya kapabilitas para biriokrat.

Tulisan ini bermaksud memaparkan pemikiran-pemikiran awal mengenai perlunya pembangunan


kelembagaan untuk mendukung pembangunan kualitas manusia dalam rangka menghadapi berbagai tantangan
dan persoalan besar yang dihadapi negara Indonesia saat ini. Untuk itu tulisan akan dibagi menjadi dua bagian.
Pertama bagaimana bentuk birokrasi dalam konteks pembangunan nasional. Kedua, bagaimana kualitas sumber
daya manusia dan kualitas masyarakat yang diperlukan untuk mendukung perubahan birokrasi seperti itu.

412 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Birokrasi Tanggap, Efisien dan Akuntabel

Perdebatan mengenai birokrasi yang baik- efisien tanggap dan akuntabel sebenarnya telah lama
berkembang dalam studi administrasi negara. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah terjadi dikalangan
pakar mengenai cara untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan efisien, tanggap dan akuntabel. Para ilmuwan
politik telah memperdebatkan kemungkinan mengembangkan good government dan representative government
(Mill, dalam Agus Dwiyanto, 1997). Dengan mengembangkan pemerintah yang representatif maka pemerintah
akan lebih sensitif dan aspiratif terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. Asumsinya adalah bahwa
tindakan dan kebijakan dari pejabat birokrasi sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri individunya seperti ras, gender,
agama, dsb. Karenanya, pemerintah yang baik harus mewakili ciri-ciri dan variabilitas yang ada dalam
masyarakatnya sehingga ia bisa lebih tanggap dan aspiratif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya.

Dikalangan pakar administrai negara, Finner dan Frederich berbeda pendapat mengenai cara yang
paling efektif untuk membangun pemerintah yang tanggap dan akuntabel. Isunya adalah apa pilihan yang tepat
untuk membangun birokrasi yang bersih dan akuntabel, control internal dan eksternal. Diantara sumber control
internal adalah etika, standard an norma-norma profesi. Nilai-nilai semacam ini, seandainya dapat dilembagakan
akan bias menjadi sumber tuntunan bagi para pejabat birokrasi dalam mengambil keputusan. Sedangkan sumber
control eksternal yang penting diantaranya adalah control politik, regulasi, dan control dari pejabat atasan.

Perdebatan mengenai pemerintahan yang baik, efisien tanggap dan akuntabel menjadi penting saat ini
dengan semakin maraknya berbagai bentuk patologi birokrasi terutama lemahnya efektivitas pemerintahan dan
kontrol terhadap korupsi. Kondisi ini mengharuskan pemerintah mencari formula khusus untuk mewujudkan
pemerintah yang tanggap dan akuntabel. Di samping itu problem dasar yang harus dihadapi oleh pemerintah
adalah merubah kultur di dalam birokrasi terutama incorruptibily dan budaya kinerja. Kesemua ini mengandung
makna meskipun sampai saat ini perdebatan panjang mengenai cara perwujudannya masih terjadi namun yang
perlu disepakati adalah bahwa mewujudkan pemerintahan yang baik, tanggap dan akuntabel, efektif dan efisien
diyakini mutlak diperlukan bagi birokrasi di Indonesia saat ini.

Asean Economic Community Dan Birokrasi Di Indonesia

Tantangan terberat bagi Indonesia selain carut marutnya birokrasi ternyata juga pada tahun ini akan
berada pada Asean Economic Community dengan Asean Free Trade. Secara jelas kondisi umum birokrasi di
Indonesia saat ini dapat digambarkan sebagai berikut: (Eko Prasojo, 2015):

Sumber: Prasojo, 2015

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 413


Dengan kondisi birokrasi seperti pada gambar di ataslah memaksa pemerintah harus segera
memikirkan solusi agar bisa keluar dari lingkaran permasalahan birokrasi di atas. Karena ketidaksiapan
Indonesia menghadapi Asean Economic Community dan Asean Free Trade salah satunya disebabkan oleh
ketidaksiapan birokrasi menghadapi perubahan serta ketidaksiapan kualitas manusia Indonesia dalam
menghadapi persaingan dengan warga negara lain. Dalam tulisan ini penulis mencoba menawarkan perbaikan
kelembagaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penulis menyakini bahwa dengan perubahan
kedua aspek inilah maka akan mampu membuat Indonesia bias tegak sejajar dengan negara bangsa lain di
Asean.

Pembangunan Kualitas Manusia

Kalau diamati konsep dan strategi pembangunan nasional Indonesia sejak kemerdekaan dapat
disimpulkan bahwa konsep tersebut tidaklah statis, tetapi bergeser dari pembangunan yang bias politik pada
masa orde lama, pembangunan yang memiliki bias ekonomi yang besar pada masa orde baru serta pembangunan
nasioanl yang memiliki bias politik sekaligus bias ekonomi yang sangat besar pada saat ini. Penampilan
pembangunan nasional yang sangat tidak memuaskan sampai saat ini tampak pada kemerosotan ekonomi harus
memaksa pemerintah memikir ulang strategi pembangunan nasional yang dilaksanakan.

Secara normatif pembangunan nasional harus sanggup menjamin tercapainya tujuan yang tercantum
dalam RPJM dan RKP. Salah satu startegi yang urgent dilakukan adalah melalui pembangunan kualitas
manusia. Pembangunan kualitas manusia tidak identik dengan pembangunan ekonomi plus modernisasi. Lebih
dari keduanya, pembangunan kualitas manusia adalah upaya meningkatkan kapasitas mereka untuk
memperbarui dan mengatur masa depannya. Proses pembangunan ini mencakup keadaan (being) dan perbuatan
(doing). Dengan demikian, program-program pembangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu
mencapai perubahan-perubahan fisik dan konkret dan sekaligus mampu meningkatkan kapasitas penduduk
untuk mengantisipasi dan menjawab perubahan-perubahan tersebut.

Selanjutnya, Soffian Effendi menyatakan ada empat aspek yang terkandung dalam pembangunan
kualitas manusia sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka. Pertama, pembangunan harus memberikan
penekanan pada kapasitas (capacity), kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
tersebut serta enerji yang diperlukan untuk itu. Kedua, pembangunan harus menekankan pemerataan (equity).
Perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecah belah masyarakat dan akan
menghancurkan kapasitas mereka. Ketiga, pembangunan mengandung arti pemberian kuasa dan wewenang
(empowerment) yang lebih besar kepada rakyat. Hasil pembangunan baru cukup bermanfaat bagi masyarakat
apabila mereka memiliki wewenang yang sepadan. Keempat, pembangunan mengandung pengertian
kelangsungan perkembangan (sustainable) dan interdependensi diantara negara-negara di dunia.

Konsep pembangunan kualitas manusia sebenarnya cukup sederhana, yakni suatu upaya yang
terencana untuk meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif
menentukan masa depannya. Kapasitas itu mencakup lima spek yaitu: kapasitas untuk berproduksi, pemerataan,
pemberian kekuasaan dan wewenang, kelangsungan untuk berkembang dan kesadaran akan interdependensi.
Didefinisikan seperti ini, pembangunan kualitas manusia pada dasarnya adalah upaya untuk mengembangkan
inisiatif yang kreatif dari penduduk sebagai sumber daya pembangunan yang utama dalam mencapai

414 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


kesejahteraan material dan spiritual. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pada akhirnya faktor
penentu yang paling utama dalam keberhasilan pelaksanaan pembangunan kualitas manusia adalah system
pemerintahan kita, khususnya system administrasi yang menjadi pelaksana paling dominan.

Bagaimana system administrasi yang mampu untuk merangsang partisipasi yang merupakan syarat
mutlak bagi pembangunan kualitas manusia? Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai upaya
peningkatan kapasitas, sifat-sifat biokrasi pemerintah yang stabil-mekanis tidak mungkin dihilangkan secara
keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis-
adaptif (Sofian Effendi, 1997) yaitu organisasi yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta
yang mampu melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organis-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang
lebih longgar dan terbuka terhadap pengaruh dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan menjadi lebih besar
sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk keterlibatan dari bawah maupun dari atas.

Strategi Pembangunan Kelembagaan : Perspektif Administrasi Negara

Belajar dari berbagai pengalaman pelaksanaan pembangunan yang pernah dilaksanakan di Indonesia
maka modernisasi administrasi guna meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan fungsi regulatif dan
pelayanan publik adalah melalui pembangunan kelembagaan. Dalam memperkuat pembangunan kelembagaan
(kemampuan sistem administrasi) dapat dilakukan melalui tiga aspek berikut: desentralisasi, perubahan orientasi
dan proses serta penciptaan lingkungan politik-birokrasi yang mendukung.

Desentralisasi

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan kualitas manusia yaitu peningkatan kaasitas produksi,
pemerataan, pemberian wewenang dan kekuasaan, kemampuan untuk membangun secara berkelangsungan dan
kesadaran akan ketergantungan diperlukan desentralisasi yang cukup mendasar dalam proses pembuatan
keputusan.. Desentralisasi ini tidak sekedar mencakup delegasi sebagian otoritas formal dalam bentuk
dekonsentrasi dan devolusi tetapi mencakup penyerahan otonomi yang lebih luas kepada daerah.

Pada akhirnya, yang memiliki kapasitas untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan kualitas
manusia ini adalah masyarakat itu sendiri. Karena itu kewenangan pembuatan keputusan yang lebih besar harus
diberikan kepada rakyat dengan meningkatkan fungsi DPRD. Selaras dengan itu kepada pemerintah daerah
harus diberikan kewenangan yang lebih besar untuk perencanaan, pengelolaan dan pengendalian pembangunan
daerah.

Perubahan Orientasi dan Proses

Untuk memungkinkan terlaksananya desentralisasi diperlukan perubahan-perubahan strukural dan


prosedural yang cukup mendasar pada sistem administrasi. Perubahan dalam sistem pemerintahan amat penting
karena sistem administrasi negara adalah pelaksana pembangunan kualitas manusia yang dominan. Dalam
kaitannya dengan peranan sistem administrasi negara ini, terdapat beberapa hambatan pada sistem yang perlu
dihilangkan agar pembangunan kualitas manusia dapat terlaksana dengan baik. Hambatan yang paling utama
adalah semakin lestarinya rutinitas tugas-tugas pembangunan serta penekanan yang terlalu berlebihan pada

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 415


pertanggungjawaban kepada pejabat atasan dan penilaian prestasi kerja petugas pelaksana atas dasar
keberhasilan dalam mencapai target.

Secara garis besar hambatan-hambatan pada system administrasi pembangunan menurut Soffian
Effendi, 1997 dapat dikelompokkan menjadi dua yakni hambatan proses dan hambatan orientasi. Hambatan
proses mencakup baik aspek prosedur dan struktur. Birokrasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan
pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hierarkhis.

Peran birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam pengelolaan program pembangunan telah
menimbulkan etos kerja yang memaksa para aparat untuk mempertahankan status quo. Kelemahan-kelemahan
proses maupun orientasi yang terdapat pada sistem administrasi ini, menyebabkan semakin kerasnya tuntutan
akan adanya upaya-upaya intervensi baik berupa tindakan debirokratisasi dll maupun peningkatan kapasitas
birokrasi.

Lingkungan Politik-Birokrasi yang Mendukung

Untuk mencapai tujuan pembangunan kualitas manusia dan sekaligus mempertahankan kestabilan
nasional yang sehat dan dinamis, usaha pembangunan harus mencakup perubahan-perubahan structural-
normatif, serta pembinaan kemampuan sosial dan teknis yang baru dalam masyarakat. Untuk itu kebijakan-
kebijakan negara baru perlu dirumuskan untuk menciptakan lingkungan dan kondisi yang mampu merangsang
dan mendukung upaya masyarakat untuk menghasilkan kebutuhan mereka serta untuk memecahkan masalah
sendiri masalah-masalah mereka.

Untuk mencapai sasaran ini, dalam perumusan kebijakan pembangunan perlu diadakan program-
program yang semakin menekankan kontrol oleh masyarakat setempat serta manajemen sumber-sumber
setempat. Dengan demikian kepada masyarakat diberikan insentif dan motivasi yang sebesar-besarnya guna
memaksimalkan kapasitas pembangunan secara berkelanjutan.

KESIMPULAN

Pelajaran penting yang dapat dipetik oleh pemerintah Indonesia saat ini adalah bahwa program-
program pembangunan nasional belum dapat meningkatkan produktivitas nasional maupun kapasitas bangsa
secara memadai. Karena itu dalam rancangan pola pembangunan lebih ditekankan kepada pembangunan
kualitas manusia.

Secara konseptual, pembangunan kualitas manusia dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan
kapasitas individu dan masyarakat Indonesia dalam menentukan masa depannya. Persyaratan pokok yang harus
ada untuk menjamin pelaksanaan pembangunan kualitas ini adalah tersedianya peluang yang luas bagi segenap
lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahap pembangunan.

Paradigma pembangunan kualitas manusia ini juga mengantisipasi adanya reorientasi kebijakan yang
cukup mendasar mengenai fungsi, struktur dan prosedur operasi system administrasi pembangunan. Fungsi
birokrasi pemerintahan akan bergeser dari penyediaan pelayanan publik secara langsung ke arah fungsi sebagai
pendukung untuk merangsang terciptanya kemandirian dan kemampuan daerah dan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

416 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


REFERENSI.

Dwiyanto, Agus, Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel: Kontrol dan Etika, Jurnal Kebijakan dan
Administrasi Publik, Volume 1, Nomor 2 (Juli 1997) Hal. 1-14

Effendi, Soffian, Administrasi Publik, Pembangunan Nasional dan Kemajemukan Etnis, Jurnal Kebijakan dan
Administrasi Publik, Volume 3, Nomor 2 ( November 1999) Hal 1-10

Prasojo, Eko, Memperkuat Orkestra Pemerintahan melalui Reformasi Birokrasi, Kuliah Umum di Jurusan Ilmu
Administrasi Negara. FISIP Universitas Andalas, 26 Agustus 2015

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 417


Membangun Kepercayaan Publik Pada Birokrasi

Desna Aromatica

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Andalas

Tel : 085376536841

desnaaromatica@gmail.com

Abstrak: Entitas Pemerintah dalam Negara sebagai pemenuh kebutuhan Public goods tidaklah terbantahkan.
Bukan hal yang mudah juga melaksanakannya bagi para birokrat yang terlibat didalamnya. Perlunya
membangun empat pondasi utama yaitu etika dalam birokrasi, Kepemimpinan, Transparansi dan akuntabilitas
dalam birokrasi agar dapat membangun public trust. Public trust yang tumbuh dalam Negara oleh
masyarakatnya pada birokrasi akan mampu mendorong tumbuhnya partisipasi publik dalam segala sector dari
Private and society. Karena saat ini pengelolaan Negara dalam mendorong tercapainya berbagai esensi
penting diadakannya sebuah Negara tidaklah menjadi urusan pemerintah saja. Kolaborasi etics, leadership,
accountability diperlukan. Namun kunci dari kolaborasi tersebut adalah leadership. Sehingga akan lahirlah
kepercayaan publik

Kategori : Public Trust

Keywords : public trust, Leadership, etics, accountability

Pendahuluan

Pembangunan nasional meliputi berbagai aspek kehidupan Bangsa Indonesia untuk membentuk suatu
masyarakat adil dan makmur, seimbang materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia. Salah satu sektor yang dibangun adalah sektor pemerintahan, agar tugas-tugas
pemerintahan dapat berjalan secara efisien dan efektif. Albrecht (1985:1) bahwa dalam sejarah setiap organisasi,
tak peduli organisasi apapun, pada suatu saat pasti akan dialami satu situasi tidak selaras. Kondisi seperti itu
semakin lama akan bermuara pada hilangnya kepercayaan publik. Mana kala organisasi pemerintah tidak
sanggup menghadapi gempuran perubahan dan tuntutan lingkungan maka birokrasi akan terlihat menjadi tidak
berdaya dimata publik. Muncullah ketidak percayaan dari publik pada birokrasi. Dan birokrasi tanpa trust tentu
tidak akan dapat berjalan dengan efektif

418 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Lingkungan adalah segala sesuatu selain organisasi itu sendiri. Kekuatan lingkungan yang dapat
mengganggu stabilitas organisasi menurut Gibson (1992:91-592) dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok
yakni pertama, lingkungan luar. Kekuatan lingkungan disini bisa mencakup pengaruh pasar, teknologi, serta
perubahan sosial politik. Lingkungan luar cenderung memberikan dampak perubahan lebih lambat pengaruhnya
pada eksistensi birokrasi. Kedua, lingkungan dalam. Lingkungan ini memberikan efek seketika pada entitas
birokrasi. Disini bisa dipengaruhi oleh proses prilaku seperti kemacetan dalam pengambilan keputusan dan
komunikasi, semangat kerja yang rendah, kemangkiran yang tinggi serta pergantian karyawan. Sehingga
membuat publik tetap memiliki Trust adalah sebuah kondisi tak terbantahkan diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Kolaborasi gempuran lingkungan dalam dan luar yang tidak mampu
dimanajemen dengan baik oleh sebuah birokrasi akan melahirkan wajah birokrasi yang buruk rupa. Tidak dapat
dipungkiri bahwa saat ini begitu rendahnya kepercayaan publik pada ability birokrasi pemerintah dalam
mengelola seluruh aspek kepentingan bangsa sungguh sangat dikhawatirkan. Birokrasi harus berdandan
kembali. Bukannya belum tapi entah mengapa selalu saja tidak pernah memuaskan publik. Banyak tulisan yang
berbicara soal bagaimana rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah. Banyak tulisan tentang bagaimana
pula harusnya kepercayaan publik itu dibangun. Namun berbicara dan mengurai soal kepercayaan publik tetap
saja menarik dan dibutuhkan.

Kepercayaan Publik dalam bingkai etics, leadership, dan accountability

Trust yang dalam tulisan ini dikemas dalam konsep kepercayaan publik adalah variable yang sangat
penting dalam kinerja dari sebuah institusi terutama birokrasi. Trust diperlukan untuk mencapai efektifitas dan
menciptakan akuntabilitas sistem dalam birokrasi. Kepercayaan publik tidak hanya melingkup kepercayaan dari
masyarakat pada birokrasi Negara saja, tapi pada kepercayaan pada birokrasi Negara dari berbagai pihak, seperti
privat. Trust menurut Dirks dan Ferrin dalam bukunya The role of trust in organizational settings (P:450)
Relation between an interaction partners action and the trusters response by influencing ones interpretation of
the action. Kepercayaan publik akan lahir dari interaksi yang baik tentunya dari pelaku birokrasi terhadap
publiknya. Dengan melakukan aktifitas birokrasi yang baik maka akan lahir respon publik dalam bentuk Trust.
Tidak sulit untuk membuat publik memberikan rasa percayanya pada birokrasi. Namun yang paling sulit adalah
ketika menerapkan rumus trust akan bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai kepentingan yang tidak
selalu atas nama kepentingan rakyat.

Trust lahir dari kolaborasi cantik antara etika birokrasi, kepemimpinan, akuntabilitas dan transparasi
birokrasi. Jika diilustrasikan bagaikan orang yang terkena penyakit diberikan obat, namun tidak mau
meminumnya. Mungkin karena terlalu pahit. Ketidak percayaan publik bukanlah sebuah penyakit seperti kanker
yang dapat membunuh birokrasi, karena kepercayaan publik sesungguhnya dapat menjadi antibodi yang bagus
dalam tubuh birokrasi. Maka sebuah keharusan untuk membuat birokrasi menjadi :

1. beretika,

2. birokrasi yang punya leader yang hebat,

3. birokrasi yang akuntabel

Etika birokrasi adalah sebuah konsep yang membuat birokrasi bekerja sesuai dengan tujuan dari
entitasnya. Bahwa birokrasi diciptakan dalam pemerintahan untuk membantu penyelenggaran urusan

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 419


pemerintahan menjadi efektif melalui serangkaian proses manajemen yang sehat. Bicara soal etika adalah bicara
soal apa yang baik dan apa yang tidak baik dalam lingkungan birokrasi tentunya. Etik sendiri bersumber dari
nilai-nilai yang hidup dan tumbuh disekitar lingkungan birokrasi. Etika dibangun dari nilai - nilai moralitas yang
bersumber dari lingkungan tersebut dimana birokrasi itu tumbuh dan aturan yang mengatur birokrasi tersebut.
Tentu saja sesuai dengan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan mengatur. Etika menjadi pembatas terhadap
perilaku apa yang baik dan tidak baik dilakukan dalam birokrasi sebagai birokrat. Dimana etika birokrasi
dibangun atas landasan etika adminisrtasi Negara yang mengutamakan nilai kepentingan umum. Etika birokrasi
mempertanyakan persoalan moralitas para birokrat. Sehingga ketika tumbuh patologi birokrasi maka artinya
birokrat sudah tidak lagi menerapkan etika birokrasi. Adapun kriteria Birokrat yang beretika adalah birokrat
yang :

a. Mengutamakan kepentingan masyarakat

b. Patuhan terhadap konstitusi dan hukum

c. Memiliki integritas pribadi

d. Menjunjung etika organisasi dengan bekerja profesional

Namun persoalan kadang muncul ketika birokrat selaku individu mengalami dilemma etika dalam
bekerja. Ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang kemudian membuat banyak birokrat menjadi tak beretika.
Seperti

a. status karir maupun non karir, senior atau junior bahkan sebagai atasan atau bawahan yang dibungkus
dalam budaya euh pakewuh.

b. Kultur lokal yang menjadi pemicu perilaku tak sejalan dengan etika dimana kultur lokal terbentuk dari
watak yang dibangun dari darah dan lingkungan lokal yang sarat pertentangan dengan etika birokrasi.
Seperti hubungan mamak dan kemenakan yang cenderung disalah artikan kedalam birokrasi di
Sumatera Barat. Ketika struktur berubah secara sistemik namun kultur tak kunjung berubah seperti
ditulis Mason C.Hoadley bahwa struktur memang berubah tetapi kultur tetap tidak berubah mulai dari
abad kelima belas sampai 21 dalam wilayah yang bernama indonesia.

Maka perlu menggiatkan konsistensi pelaksanaan etika dalam birokrasi melalui komitmen. Bahkan menuangkan
dalam sebuah kebijakan seperti Perda etika yang pernah dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Solok Propinsi
sumatera Barat. Namun komitmen pelaksanaan etika birokrasi seperti ini tentunya membutuhkan sosok
pemimpin yang punya jiwa kepemimpinan. Karena seorang pemimpin belum tentu merupakan pimpinan yang
punya kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah syarat lain yang dibutuhkan agar kepercayaan publik tumbuh. Pemimpin adalah
orang yang berada didepan menjadi pemandu dan arah dari penyelenggaraan birokrasi. Pemimpin hebat adalah
pemimpin yang punya jiwa kepemimpinan. Yang didefinisikan sebagai orang yang mampu mempengaruhi
orang lain dalam suatu usaha bersama guna mencapai tujuan tertentu. Mampu mempengaruhi sehingga mampu
menggerakkan birokrasi mencapai tujuannya. Pelaksanaan komitmen dari etika dalam birokrasi sangat
tergantung pada perilaku kepemimpinan sang pemimpin. Namun terkadang menurut Tjahjono (2011:10) ada
sebuah faktor yang disebut faktor titanic syndrome.

420 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


Ini adalah sebuah sikap mental patologis yang menghinggapi pemimpin, bahwa organisasi tempat
mereka bekerja tidak akan bisa tenggelam atau bangkrut. Dalam birokrasi, sikap ini lebih dilatar belakangi oleh
karena sifat plat merah yang melekat. Dampak yang memprihatinkan dari titanic syndrome tersebut menurut
Tjahjono (2011:11) antara lain adalah absennya semangat in search of excellent. Rendahnya motivasi untuk
melakukan yang terbaik, dan miskinnya etos continuous improvement. Disini lahir para birokrat yang bekerja
dibatasan standar, apa adanya, cenderung menghindari tantangan dan hal-hal baru. Artinya akan banyak tercipta
tipe-tipe anggota organisasi bertipe X, yang pemalas dan tidak inovatif. Dan akan sedikit sekali bertipe Y yang
tau akan tugas dan tanggungjawabnya tanpa diperintah. kewenangan memonopoli dalam sejumlah urusan dan
layanan juga menjadi pemicu penting hilangnya budaya kinerja tinggi dalam birokrasi. Pemimpin dengan
syndrome ini akan membahayakan penegakan etika birokrasi. Sehingga agar tidak tersediannya benih pemimpin
yang tidak sehat seperti ini, rekruitmen dalam kepemimpinan pada birokrasi pemerintah harus diperbaiki. Bukan
hal yang aneh jika banyak terjadi jual beli kursi jabatan didaerah Kabupaten kota diIndonesia. Hanya Kabupaten
Kota tertentu dengan kepemimpinan hebat yang mampu menggerakkan birokrasi didaerahnya dibawah
pemimpin-pemimpin inovatif karena melalui rekruitmen yang tepat. Meskipun sudah bekerjasama dengan
perguruan tinggi dalam menyeleksi calon pejabat eselon 4 sampai 3 contohnya diKabupaten Kota dalam rangka
uji kompetensi dalam psikologis, namun tidak jarang juga yang hasil rekomendasinya tidak diikuti, sehingga
seolah-olah hanya kamuflase belaka. Ini pun sebenarnya jika dianalisa adalah salah satu dampak buruk
mekanisme rekruitmen Kepala daerah. Lemahnya persyaratan dan proses kampanye yang tidak sehat,
menyebabkan desain pemerintah daerah menjadi tidak rasional, sehingga proses pengorganisasian juga menjadi
tidak tepat dengan berbagai alasan dan kepentingan.

Artinya kinerja aparatur tentu menjadi tidak bagus karena kesalahan pengorganisasian. Dalam tulisan
yang pernah penulis tulis dalam Jurnal ilmu politik no 1 vol 10 tahun 2010 tentang persyaratan calon kepala
daerah dan implikasinya bagi birokrasi publik, lemahnya persyaratan calon kepala daerah berdampak pada
semrawutnya birokrasi publik, karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin masa bukan pemimpin yang
mampu jadi manajer dalam pemerintahan daerah. Hal-hal tersebut menyebabkan ketika memimpin, sipemimpin
tidak mampu mendirect anggota organisasinya untuk berkinerja tinggi. Tentu hal yang sama akan terjadi dimana
nilai budaya organisasi akan berbeda dengan value in actionnya.

Bahkan disalah satu Kabupaten di Sumatera Barat, mantan Bupati yang merupakan pelaku korupsi
yang telah menjalani masa tahanan kembali dapat mencalonkan diri menjadi Bupati. Sebuah pekerjaan rumah
yang tidak mudah diselesaikan tentang bagaimana desain yang tepat untuk prosedur perekrutan calon Kepala
Daerah sehingga dihasilkan Kepala daerah yang memang memiliki kemampuan memanajerial daerahnya.
Dimana menurut Gallagher dalam Tjahjono (2011:94) punya karakteristik berikut ini;

a. The strategist

b. The motivator for another

c. Team builder

d. The nimble

e. The customer champions

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 421


f. The passionate
The visionaries

Kepemimpinan, sebagai salah satu fungsi dalam manajemen adalah inti dari suksesnya penyelenggaran
birokrasi yang sarat dengan manajemen. Pengaturan dalam birokrasi membutuhkan sosok yang memiliki
kemampuan memberikan dorongan untuk menggerakkan orang-orang untuk berbuat mencapai tujuan. Karena
birokrasi pemerintah adalah sebuah wadah public maka tentu saja pemimpinnya adalah milik public yang
berasal dari publik. Artinya, kepercayaan publik akan lahir dan tumbuh ketika pemimpin yang memimpin
penyelenggaraan pemerintahan adalah pilihan publik. Namun sayangnya public selalu dihadapkan pada pilihan
yang minimal. Seringkali kepercayaan menjadi hilang dalam perjalanan pemerintahan ketika sang pemimpin
justru lebih memposisikan dirinya sebagai pilihan partai atau kelompok dan golongan tertentu, bukan wakil dari
pilihan public.

Kesalahan inilah yang menciderai kepercayaan publik. Sikap ini ditampakkan sang pemimpin karena
proses pencalonan pun sarat dengan kepentingan parpol dan golongan tertentu. Maka selama system pemilihan
kepala daerah masih tidak berubah dengan jauh lebih baik tentu masalah ini akan selalu ada. Desain pemilihan
kepala daerah adalah juga sebuah pekerjaan besar yang harus didesain dengan baik agar pada akhirnya, output
dari pemilihan itu tidak menciderai kepercayaan publik. Jika sistem sudah mampu menghasilkan pemimpin
dengan kepemimpinan manajerial yang hebat maka dengan sendirinya akuntabilitas pasti terwujud dalam
pemerintahan.

Akuntabilitas menurut Rasul (2002:8) adalah kemampuan memberikan jawaban kepada otoritas yang
lebih tinggi atas tindakan seseorang/sekelompok orang terhadap masyarakat luas dalam suatu organisasi.

Dengan kepemimpinan yang hebat maka akuntabilitas dalam segala dimensi kehidupan pemerintahan
akan terwujud. Moralitas birokrat akan dapat dipertanggungjawabkan, keuangan, administrasi dan lain-lain akan
terwujud dengan sendirinya.

Desain rekrutmen politik yang sehat

Kepemimpinan

Akuntabilitas

Kepercayaan Publik

Kesimpulan

Sebuah bangsa dalam Negara membutuhkan pemerintah untuk menyelenggarakan kedaulatannya.


Untuk itu perlu sebuah birokrasi yang efektif dalam menjalankan fungsinya melalui manajemen yang
digerakkan oleh seorang pemimpin yang dihasilkan dari desain rekruitmen yang sehat. Pemimpin yang

422 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


dihasilkan dari sebuah desain rekrutmen yang sehat akan menjadi manajer yang handal bagi birokrasinya
sehingga mampu mempertanggungjawabkan tugas-tugasnya. Maka terciptalah akuntabilitas. Kondisi ini dengan
sendirinya akan membangun kepercayaan luar biasa dari publik

Daftar Pustaka

Albrecht,karl.1985.Pengembangan Organisasi:Sistem yang menyeluruh untuk mencapai perubahan positif


dalam setiap organisasi usaha.Angkasa:Bandung

Gibson,James L dan Ivancevich,John..,1992.Organisasi dan manajemen.Erlangga:Jakarta

Rasul,Syahrudin.2003. Pengintegrasian system akuntabilitas kinerja dan anggaran dalam perspektif UU no 17


tahun 2003 tentang Keuangan Negara.PNRI:Jakarta

Tjahjono,Herry.2010.Culture based leadership;Menuju Kebesaran Diri dan Organisasi Melalui Kepemimpinan


Berbasiskan Budaya dan Budaya Kinerja Tinggi.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan
Usaha Besar (UB) 2010-2011. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM.
Badan Pusat Statistik. 2010. Sandingan Data UMKM 2009-2010. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Sudaryanto, Ragimun, dan Rahma Rina Wijayanti. 2014. Strategi Pemberdayaan UMKM
Menghadapi Pasar Bebas Asean. Jakarta: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Kementerian
Keuangan.
PT. Arah Cipta Guna. 2007. Laporan Akhir: Kajian Evaluasi dan Revitalisasi Kebijakan
Pemerintah di Bidang KUKM. Jakarta: Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM.
Prasetyo, P. Eko. 2008. Peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. Yogyakarta: Akmenika UPY (2: 4-6).
Badan Pusat Statistik. 2009. Sandingan Data UMKM 2005-2009. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan
Usaha Besar (UB) 2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 1.
Sidabutar, Victor Tulus Pangapoi. 2014. Peluang dan Permasalahan yang Dihadapi UMKM
Berorientasi Ekspor. Jakarta: Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia,
Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional.

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 423


Kementerian Koperasi dan UMKM. Statistik-Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan
Usaha Besar (UB) 2012-2013. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM. Hal 2.
Rahayu, Ayu Citra Sukma. 2012. Pertumbuhan UKM Jatim 10 Persen Tahun 2012. Diakses
pada 21 Agustus 2015, dari http://www.antarajatim.com/
lihat/berita/79725/pertumbuhan-ukm-jatim-10-persen-tahun-2012
Aziz. 2014. UMKM Jawa Timur serap 11 juta tenaga kerja. Diakses pada 21 Agustus 2015,
dari http://www.antaranews.com/berita/461929/umkm-jawa-timur-serap-11-juta-tenaga-
kerja
Wahyudiono. 2015. Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Sebagai Kekuatan Ekonomi Di
Provinsi Jawa Timur. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari
http://ukmjatim.net/umkm-sebagai-kekuatan-ekonomi-di-propinsi-jawa-timur/
Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014.
Keragaan UMKM. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari
http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia. php?pages=content&id=9&bidang=
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, Dan Kebijakan. Jakarta.
Erlangga.
Sumedi, Diananta P. 2013. BI: Pertumbuhan Kredit UMKM di Jawa Timur Rendah. Diakses
pada 21 Agustus 2015, dari http://bisnis.tempo.co/ read/news/2013/05/17/090481133/bi-
pertumbuhan-kredit-umkm-di-jawa-timur-rendah
Bank Indonesia. 2014. Kajian Ekonomi Regional Jawa Timur. Triwulan II 2014. Surabaya:
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV. (2014:52).
Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Provinsi Jawa Timur. 2014.
Keragaan UMKM. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari
http://diskopumkm.jatimprov.go.id/viewmedia. php?pages=content&id=9&bidang=
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2011. Minta Dilibatkan
Dalam Pemberdayaan UMKM. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari
http://bappeda.jatimprov.go.id/ 2011/06/09/minta-dilibatkan-dalam-pemberdayaan-
umkm/
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. 2015. SMK Mini Jatim
Dilirik Program AKAD Pemerintah Pusat. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, dari
http://bappeda.jatimprov.go.id/ 2015/04/10/smk-mini-jatim-dilirik-program-akad-
pemerintah-pusat/

424 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”


“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 425

Anda mungkin juga menyukai