Anda di halaman 1dari 52

EVALUASI PROGRAM GIZI……………………

DI PUSKESMAS …………………….................... KABUPATEN


.............................................................................. TAHUN …………………

(Laporan Evaluasi Program)

Oleh:
Kelompok I
…………………….. (NPM)

Dosen:
.................................................

MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Makalah : EVALUASI PROGRAM GIZI UPT PUSKESMAS


…………………………………………………………
TAHUN 2022

Disusun oleh : Kelompok I

………………. (NPM)

Bandar Lampung, Oktober 2022


Mengetahui dan Menyetujui
Dosen Pembimbing,

....................................................

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaah, Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan


rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah evaluasi program ini.

Makalah dengan Judul “Evaluasi Program Gizi………… Di Puskesmas


…………. Lampung ………….. Tahun 2022” merupakan salah satu tugas dalam
mata kuliah kebijakan program dan masalah gizi Magister Kesehatan Masyarakat
di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini, akan tetapi
dengan kerendahan hati penulis berharap makalah ini dapat memperkaya ilmu
pengetahuan bagi dunia pendidikan dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Oktober 2020


Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................. 4
1.4 Manfaat ............................................................................................ 4

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Stunting ........................................................................................... 6
2.2 Kebijakan terkait stunting.............................................................. 17

III METODE EVALUASI


3.1 Pengumpulan Data .......................................................................... 24
3.2 Cara Penilaian dan Evaluasi............................................................ 24
3.3 Cara Analisis ................................................................................... 24

IV. GAMBARAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS ………………….


4.1 Analisis Situasi Program yang Akan Dievakuasi ........................... 27
4.1.1 Data Geografis ....................................................................... 27
4.1.2 Sumber Daya Kesehatan ........................................................ 28
4.1.3 Struktur Organisasi................................................................. 30

iv
V. HASIL EVALUASI DAN PEMBAHASAN
5.1 Menetapkan Tolak Ukur Dari Unsur Keluaran ............................. ...31
5.2 Membandingkan Pencapaian Keluaran Program dengan Tolak Ukur
Keluaran ...................................................................................... ... 32
5.3 Menetapkan Prioritas Masalah ..................................................... ... 33
5.4 Identifikasi Penyebab Masalah .................................................... ... 33

VI. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


6.1 Menentukan Alternatif Pemecahan Masalah.................................... 39
6.2 Menentukan Prioritas Cara Pemecahan Masalah............................. 40

VII. KESIMPULAN DAN SARAN


7.1 Kesimpulan................................................................................. 42
7.2 Saran.......................................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA

v
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Kategori dan ambang batas status gizi berdasarkan indeks (PB/U)/
(TB/U ............................................................................................. 8
Tabel 2. Data Ketenagaan UPT Puskesmas Merbau Mataram tahun
2020..................................................................................................... 29
Tabel 3. Target pencapaian kinerja program gizi di UPT Puskesmas Merbau
Mataram tahun 2019 ........................................................................ . 31
Tabel 4. Daftar pencapaian kinerja program gizi di UPT Puskesmas
Merbau Mataram periode Januari-Desember 2019.......................... . 32
Tabel 5.Penentuan prioritas masalah gizi menggunakan praktek USG ... 34
Table 6. Matriks Penentuan priorotas penyebab masalah ........................ 35
Table 7. Alternatif pemecahan masalah (jalan keluar)............................. 39
Table 8. Memilih prioritas pemecahan masalah (jalan keluar) ................ 40

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1.Peta wilayah administrasi kecamatan Merbau Mataram kabupaten Lampung
Selatan ..................................................................................................... 27
2. Struktur Organisasi UPT Puskesmas Merbau Mataram.......................... 30
3. Diagram Fishbone .................................................................................... 3

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi oleh


kondisi ibu atau calon ibu, masa janin, dan masa bayi atau balita, termasuk
penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya,
Stunting tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan, tetapi juga
dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung memengaruhi
kesehatan. Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak
ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut
United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) satu dari
tiga anak mengalami stunting. Sekitar 40% anak di daerah pedesaan
mengalami pertumbuhan yang terhambat. Oleh sebab itu, UNICEF
mendukung sejumlah inisiasi untuk menciptakan lingkungan nasional yang
kondusif untuk gizi melalui peluncuran Gerakan Nasional Sadar Gizi
(Scaling Up Nutrition – SUN) di mana program ini mencangkup
pencegahan stunting (Kemendikbud, 2019; UNICEF, 2013).

Pendek atau stunting didefinisikan sebagai ukuran tubuh seseorang dari


stunting (pendek) <-2 SD hingga severely stunting (sangat pendek) <-3 SD
(WHO,2013). Seorang anak dikatakan stunting apabila tinggi badan
berbanding dengan usia (TB/U) berada dibawah nilai normal pertumbuhan
anak. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah
lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek
untuk usianya (TNP2K, 2017).

1
2

Berdasarkan laporan GNR (2014) dari 117 negara, Indonesia merupakan


salah satu negara yang memiliki tiga masalah yang tinggi pada balita yaitu
Stunting, wasting dan overweight. Prevalensi dari ketiga masalah tersebut
paling tinggi adalah stunting (37,2%). Stunting merupakan kondisi tubuh
lebih pendek dibandingkan dengan tinggi standar untuk usianya. Stunting
mengacu pada terhambatnya pertumbuhan fisik yang irreversible disertai
dengan penurunan kognitif yang dapat berlangsung seumur hidup dan
memengaruhi generasi berikutnya. Secara global, masalah balita pendek
(stunting) menjadi yang tertinggidibandingkan overweightdan wasting.
Sebanyak 22,2% balita di dunia mengalami stunting dan lebih dari 55%
kasusnya terjadi di Asia. Stunting perlu mendapat perhatian oleh semua
pihak karena tingginya kasus tersebut. Berbagai aspek dapat memengaruhi
tingginya angka kejadian stunting, seperti aspek ekonomi, politik, pelayanan
kesehatan, pendidikan, sosial, budaya, dan lingkungan (UNICEF, WHO, dan
The World Bank, 2018).

Di dunia ditahun 2000-2015 masih tercatat sekitr 156 juta anak (23% dari
keseluruhan anak) menderita stunting, sedang dengan prevalensi tertinggi
adalah di wilayah Afrika (38%) dan diikuti dengan wilayah Asia Selatan dan
Asia Timur (33%) (SDGs, 2017). Di dunia, Indonesia tercatat sebagai
peringkat ke-4 dengan prevalensi stunting sebesar 36,4% setelah Timur Leste
(50,2%), India (38,7%), Nepal (37,4%) (WHO, 2016).

Prevalensi balita stunting di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan


Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi balita stunting
terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 36,8%, 2010 sebesar
35,6%, dan 2013 menjadi 37,2% (Riskesdas, 2013). Hasil Riskesdas tahun
2018 menunjukkan persentase stunting di Indonesia sebesar 30,8%.
Persentase tersebut menurun dari tahun sebelumnya yaitu 37,2%. Hasil
Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017, prevalensi stunting telah
mengalami penurunan menjadi 29,6% (Kemenkes RI, 2018), namun angka
tersebut masih cukup tinggi, sehingga pemerintah memasukkan program
3

penurunan prevalensi balita stunting sebagai salah satu prioritas


pembangunan nasional periode 2015-2019 (Kemenkes RI, 2016).

Upaya yang diberikan dengan intervensi gizi spesifik untuk balita pendek
difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu
Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita
pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK
meliputi yang 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi
yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang
menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang
menyebutnya sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia
(2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".

Telah banyak kebijakan yang telah dicanangkan untuk mengatasi stunting


baik di dunia, nasional maupun regional. Salah satu kebijakan yang
dikeluarkan guna mengatasi masalah stunting adalah Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi 2011-2015, dengan tujuan (a) menurunkan prevalensi gizi
kurang anak balita menjadi 15,5%, (b) menurunkan prevalensi pendek pada
anak balita menjadi 32%, (c) tercapainya konsumsi pangan dengan asuoan
kalori 2.000 Kkal/orang/hari (Bappenas, 2011).

Lampung berada pada urutan ke-10 sebagai provinsi dengan kategori stunting
sangat tinggi (>40%). Berdasarkan Riskesdas 2018, angka balita sangat
pendek dan pendek di Lampung memiliki angka 26,5%. Kabupaten Lampung
Selatan masih termasuk dalam 10 besar dengan angka baduta sangat pendek
13,42%, tertinggi pada Kabupaten Mesuji 17,44%. Angka baduta pendek
pada Lampung Selatan mencapai 15,35%. Puskesmas Merbau Mataram
adalah salah satu Puskesmas pada Kabupaten Lampung Selatan. Prevalensi
cakupan stunting pada Puskesmas ini hanya mencapai 0,5%, sehingga masih
kurangnya dari target pencapaian program. Oleh karena itu, dilihat dari
tingginya angka stunting di Lampung Selatan dan tidak tercapainya cakupan
4

prevalensi stunting di Puskesmas Merbau Mataram Lampung Selatan, hal ini


membuat penulis tertarik menganalisis evaluasi program gizi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai


Bagaimana evaluasi dan alternatif pemecahan masalah pada program gizi
prevalensi stunting di Puskesmas Merbau Mataram Lampung Selatan Tahun
2019?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui program gizi prevalensi stunting di Puskesmas Merbau
Mataram Lampung Selatan Tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui permasalahan program program gizi prevalensi stunting di
Puskesmas Merbau Mataram Lampung Selatan Tahun 2019
2. Mengetahui penyebab masalah program gizi prevalensi stunting di
Puskesmas Merbau Mataram Lampung Selatan Tahun 2019
3. Menentukan alternatif pemecahan masalah dalam pelaksanaan program
program gizi prevalensi stunting di Puskesmas Merbau Mataram
Lampung Selatan Tahun 2019

1.4 Manfaat Penulisan

a. Bagi penulis (evaluator)


1. Menerapkan ilmu kesehatan masyarakat yang telah diperoleh
semasa perkuliahan
5

2. Mengetahui dan menganalisa kendala yang mungkin akan dihadapi


dalam menjalankan suatu program gizi dan menentukan langkah
yang harus dilakukan dalam mencapai tujuan.
b. Bagi puskesmas yang dievaluasi
1. Mengetahui besarnya masalah yang timbul dalam pelayanan gizi di
wilayah kerja Puskesmas Merbau Mataram Lampung Selatan
2. Memperoleh masukan sebagai umpan balik positif untuk
meningkatkan angka keberhasilan program Tahun 2019
c. Bagi masyarakat
1. Dapat digunakan sebagai perbaikan gizi masyarakat dengan
penurunan jumlah stunting
2. Terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu khususnya bagi
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Merbau Mataram Lampung
Selatan
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Stunting

2.1.1. Definisi

Stunting/pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan


terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi dalam jangka waktu
yang lama. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks Panjang Badan
menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
yang merupakan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat
pendek). Balita pendek adalah balita dengan status gizi berdasarkan
panjang atau tinggi badan menurut umur bila dibandingkan dengan
standar baku WHO, nilai Z- scorenya kurang dari -2SD dan
dikategorikan sangat pendek jika nilai Z- scorenya kurang dari -3SD
(Kemenkes,RI 2016).

Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai


kualitas modal sumber daya manusia di masa mendatang.Gangguan
pertumbuhan yang diderita anak pada awal kehidupan, dapat
menyebabkan kerusakan yang permanen (Anisa, 2012).

2.1.2. Etiologi

Masalah balita pendek menggambarkan masalah gizi kronis,

6
7

dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin dan masa


bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita.
Dalam kandungan, janin akan tumbuh dan berkembang melalui
pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak serta
organ-organ lainnya. Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan
dan awal kehidupan menyebabkan janin melakukan reaksi
penyesuaian.Secara paralel penyesuaian tersebut meliputi
perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan
pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh
lainnya. Hasil reaksi penyesuaianakibatkekurangan gizi di
ekspresikan pada usia dewasa dalam bentuk tubuh yang pendek
(Menko Kesra,2013).

2.1.3. Diagnosis dan Klasifikasi

Balita pendek (Stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah


diukur panjang dan tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar dan hasilnya berada di bawah normal. Secara fisik balita
akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya (Kemenkes,RI
2016).

Kependekan mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U


rendah.Pendek dapat mencerminkan baik variasi normal dalam
pertumbuhan ataupun defisit dalam pertumbuhan.Stunting adalah
pertumbuhan linear yang gagal mencapai potensi genetik sebagai
hasil dari kesehatan atau kondisi gizi yang suboptimal (Anisa, 2012).
Berikut klasifikasi status gizi Stunting berdasarkan tinggi
badan/panjang badan menurut umur ditunjukkan dalam tabel 2.
8

Tabel 1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks


(PB/U)/(TB/U)
Indeks Kategori Ambang Batas (Z-
Status Score)
Gizi

Panjang Badan menurut SangatPendek <-3SD


Umur (PB/U) atau Pendek -3SD sampai dengan <-
Tinggi Badan menurut Umur 2SD
(TB/U) Normal -2SD sampai dengan2SD
Anak Umur 0-60 Bulan Tinggi >2S
D
Sumber: Standar Antropometri Penilaiaan Status Gizi Anak
(Kemenkes RI, 2011)

2.1.4. Faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian Stunting

WHO (2013) membagi penyebab terjadinya Stunting pada anak


menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga,
makanan tambahan dan komplementer yang tidak adekuat,
menyusui dan infeksi.

2.1.4.1. Faktor keluarga dan rumah tangga


Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor
maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa
nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan dan laktasi,
tinggi badan ibu yang rendah,infeksi, kehamilan pada usia remaja,
kesehatan mental, Intrauterine Growth Retardation (IUGR) dan
kelahiran preterm, jarak kelahiran yang pendek, dan usia menikah
ibu. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak
yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasokan
9

air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang,
alokasi dalam rumah tangga yang tidak sesuai dan edukasi
pengasuh yang rendah. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Wanita Usia Subur dengan LILA <23,5 cm
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil
dapat menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK).Wanita hamil
berisiko mengalami KEK jika memiliki Lingkar Lengan Atas
(LILA) <23,5cm. Ibu hamil KEK berisiko melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR) yang jika tidak tertangani dengan baik
akan berisiko mengalami Stunting (Kemenkes,RI 2016).
2. Kecukupan Energi Ibu Hamil
Kecukupan energi ibu hamil di Indonesia berdasarkan Angka
Kecukupan Energi (AKE) hasil Studi Diet Total (SDT) tahun
2014 adalah lebih dari 50% ibu hamil baik di perkotaan
maupun di pedesaan, asupan energinya ≤ 70% AKE (sangat
kurang) (Kemenkes RI, 2016).
3. Anemia pada Ibu Hamil
Kondisi yang banyak terjadi pada ibu hamil adalah anemia,
terutama anemia defisiensi besi.Hal ini dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin/bayi saat kehamilan
maupun setelah dilahirkan. Diperkirakan 41,8% ibu hamil di
seluruh dunia mengalami anemia. Paling tidak setengahnya
disebabkan kekurangan zat besi.Ibu hamil dinyatakan anemia
jika hemoglobin kurang dari 11 mg/dl (Kemenkes RI, 2015).
Riskesdas (2013) mendapatkan anemia terjadi pada 37,1% ibu
hamil di Indonesia, 36,4% ibu hamil di perkotaan dan 37,8%
ibu hamil di pedesaan (Kemenkes RI, 2016)
4. Tinggi Badan Ibu
Status gizi orang tua , khususnya status gizi ibu sangat
berkaitan dengan kejadian Stunting pada balita. Terlihat dari
ibu yang pendek sekalipun ayah normal, prevalensi balita
Stunting pasti tinggi, tetapi sekalipun ayah pendek ibu normal,
10

prevalensi balita Stunting masih lebih rendah dibanding ibunya


yang pendek. Jadi status gizi ibu hamil menentukan status gizi
bayi yang akan dilahirkan (Oktarina,2012).

Tinggi badan ibu merupakan indikator yang berfungsi untuk


memprediksi anak terkena gizi buruk. Postur tubuh ibu juga
mencerminkan tinggi badan ibu dan lingkungan awal yang
akan memberikan kontribusi terhadap tinggi badan anaknya.
Namun demikian masih banyak faktor lingkungan yang
mempengaruhi tinggi badan anak. Hasil penelitian
menunjukkan ibu yang memiliki postur tubuh pendek memiliki
hubungan terhadap kejadian Stunting pada anaknya.Inilah yang
disebut siklus gagal tumbuh antar generasi, dimana IUGR,
BBLR dan Stunting terjadi turun temurun dari generasi satu ke
generasi selanjutnya.
5. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu berat badan bayi lahir
kurang dari 2500 gram.Selama masa kehamilan, pertumbuhan
embrio dan janin berlangsung sangat cepat, mulai kurang dari
satu miligram menjadi sekitar 3000 gram.Pertumbuhan yang
cepat ini sangat penting untuk janin agar dapat bertahan hidup
ketika berada di luar rahim.Jadi, kecacatan atau kekurangan
yang terjadi pada masa janin merupakan penyebab utama
rendahnya kesehatan dan kematian pada bayi (Oktarina,2012).

Berat lahir merupakan prediktor yang kuat terhadap ukuran


tubuh manusia di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan
sebagian besar bayi IUGR tidak dapat mengejar masa
pertumbuhannya untuk tumbuh secara normal seperti anak-
anak normal lainnya (Oktarina,2012).
6. Pelayanan Kesehatan Balita
Pelayanan kesehatan yang baik pada balita akan meningkatkan
11

kualitas pertumbuhan dan perkembangan balita, baik pelayanan


kesehatan ketika sehat maupun saat kondisi sakit. Dalam
program kesehatan anak, pelayanan kesehatan bayi minimal 4
kali, yaitu satu kali pada umur 29 hari-2 bulan, 1 kali pada
umur 3-5 bulan, 1 kali pada umur 6-8 bulan dan 1 kali pada
umur 9- 11 bulan. Pelayanan kesehatan tesebut meliputi
pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT/HB1-3, Polio 1-4 dan
Campak), pemantauan pertumbuhan, Stimulasi Deteksi
Imtervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), pemberian
Vitamin A pada bayi umur 6-11 bulan, penyuluhan pemberian
ASI eksklusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
Sedangkan pelayanan kesehatan anak balita adalah pelayanan
kesehatan bagi anak umur 12-59 bulan yang memperoleh
pelayanan sesuai standar, meliputi pemantauan pertumbuhan
minimal 8 kali setahun, pemantauan perkembangan minimal 2
kali setahun dan pemberian vitamin A 2 kali setahun
(Kemenkes RI, 2016).
7. Status Ekonomi Keluarga
Status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di
masyarakat berdasarkan pendapatan tiap bulan.Status ekonomi
dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga
barang pokok (Putra, 2016). Status ekonomi merupakan
pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga yang
memadai akan menunjang tumbuh kembang anak. Karena
orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak, baik
primer maupun sekunder (Putra,2016).

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi


pertama pada kondisi umum.Hal ini harus mendapat perhatian
serius karena keadaan ekonomi relatif mudah diukur dan
berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Menurut Achadi,
2016 prevalensi Stunting tertinggi pada kelompok miskin, pada
12

kelompok kaya juga tinggi, dengan perbandingan 1: 5.


Golongan miskin menggunakan sebagian besar dari pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan makanan (Oktarina, 2012).Hal ini
sesuai dengan penelitian di Semarang bahwa status ekonomi
keluarga yang rendah merupakam factor risiko yang bermakna
terhadap kejadian Stunting pada balita 2-3 tahun. Anak dengan
status ekonomi keluarga yang rendah lebih berisiko 4,13 kali
mengalami Stunting (Kusuma, 2013).
8. Jumlah Anggota Rumah Tangga
Jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kejadian Stunting pada balita.Anak-anak
Stunting berasal dari keluarga yang jumlah anggota rumah
tangganya lebih banyak dibandingkan dengan anak- anak
normal. Penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan makanan
bagi setiap anggota keluarga yang berasal dari rumah tangga
yang memiliki banyak anggota lebih rendah dibandingkan
dengan yang memiliki anggota sedikit (Oktarina, 2012).

Penelitian Hidayah (2011) menunjukkan bahwa balita Stunting


cenderung lebih banyak terdapat pada keluarga yang memiliki
jumlah anggota rumah tangga > 4 orang dibandingkan dengan
keluarga yang memilki anggota rumah tangga ≤ 4 orang. Hal
ini disebabkan keluarga dengan anggota rumah tangga > 4
orang cenderung memiliki biaya pengeluaran perkapita lebih
kecil dibandingkan keluarga dengan anggota rumah tangga ≤ 4
orang. Semakin kecil pengeluaran perkapita dapat mengurangi
kemampuan dalam penyediaan makanan bagi tiap-tiap anggota
keluarga , termasukbalita.
9. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-
cita tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
13

maka semakin mudah dalam memperoleh pekerjaan, sehingga


semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya
pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan
sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal (Putra,
2016).Tingkat pendidikan juga menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan tentang gizi
dan kesehatan. Pengetahuan mengenai gizi merupakan proses
awal dalam perubahan perilaku peningkatan status gizi,
sehingga pengetahuan merupakan faktor internal yang
mempengaruhi perubahan perilaku. Pengetahuan ibu tentang
gizi akan menentukan perilaku ibu dalam menyediakan
makanan untuk keluarga. Ibu dengan pengetahuan gizi yang
baik dapat menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah
yang tepat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
anaknya.Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu
faktor penyebab Stunting pada anak (Aridiyah,
2014).Penelitian Ni’mah (2015) juga menyatakan bahwa
pendidikan dan pengetahuan ibu merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejadian Stunting.
10. Kondisi Sanitasi dan Akses Air Minum
Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk
dapat meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat
membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada
perlawanan tubuh menghadapi infeksi, zat gizi sulit diserap
oleh tubuh dan terhambatnyapertumbuhan.Lingkungan
perumahan seperti kondisi tempat tinggal, pasokan air bersih
yang kurang, dan sanitasi yang tidak memadai merupakan
faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
Stunting .Air dan sanitasi memiliki hubungan dengan
pertumbuhan anak. Anak-anak yang berasal dari rumah tangga
yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko
mengalami Stunting. Sedangkan anak-anak yang memiliki
14

tinggi badan yang normal pada umumnya berasal dari rumah


tangga yang memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik.
Anak-anak yang awalnya mengalami Stunting, jika mereka
berasal dari rumah tangga yang memiliki fasilitas air dan
sanitasi yang baik, mereka memiliki kesempatan sebesar 17 %
untuk mencapai tinggi badan yang normal bila
dibandingkan dengan anak-anak Stunting yang berasal dari
rumah tangga yang meniliki fasilitas air dan sanitasi yang
buruk (Oktarina, 2012).

2.1.4.2 Faktor makanan komplementer yang tidak adekuat


Faktor penyebab Stunting yang kedua adalah makanan
komplementer yang tidak adekuat , dan dibagi menjadi tiga,
yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian yang tidak
adekuat dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas
makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang
rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan
sumber makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak
mengandung nutrisi dan makanan komplementer yang
mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak
adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah,
pemberian makanan yang tidak adekuat ketika sakit dan setelah
sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus dan pemberian
makanan yang rendah dalam kuantitas.Keamanan makanan dan
minuman dapat berupa makanan dan minuman yang
terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan
persiapan makanan yang tidak aman.

Penelitian Meilyasari (2013) menyatakan bahwa pemberian


MP-ASI terlalu dini meningkatkan resiko penyakit infeksi
seperti diare, karena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan
mudah dicerna seperti ASI.Pemberian MP-ASI yang terlalu
15

dini, terlambatnya memberikan MP-ASI juga bisa


menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan balita menjadi
terhambat karena kebutuhan gizi balita tidak tecukupi.Menurut
penelitian Aridiyah et al (2013) menyatakan praktek pemberian
MP-ASI pada anak balita merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya Stunting.Stunting juga disebabkan
karena ketidakcukupan asupan zat gizi pada balita yang
menyebabkan terjadinya gagal tumbuh.(Anugraheni,2012)

2.1.5 Dampak Stunting

Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang


berkembang. Ini berarti 1 dari 3 anak Indonesia akan
kehilangan peluang lebih baik dalam hal pendidikan dan
pekerjaan dalam sisa hidup mereka. Stunting bukan semata
pada ukuran fisik pendek, tetapi lebih pada konsep bahwa
proses terjadinya Stunting bersamaan dengan proses terjadinya
hambatan pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya,
termasuk otak (Achadi, 2016).
Dampak buruk dari Stunting dalam jangka pendek bisa
menyebabkan terganggunya otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat
ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan
prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah
sakit, risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan
disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak
kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktifitas
ekonomi (Kemenkes RI, 2016).
16

2.1.6 Upaya Pencegahan Stunting

Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi Stunting,


diperlukan intervensi dari berbagai sektor, antara lain:
1. Pencegahan Stunting dengan sasaran ibu hamil
a. Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan
cara terbaik dalam mengatasi Stunting. Ibu hamil perlu
mendapat makanan yang baik, sehingga apabila
mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), perlu
diberikan makanan tambahan bagi ibu hamiltersebut.
b. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah
(TTD), minimal 90 tablet selama kehamilan.
c. Kesehatan ibu harus selalu dijaga agar tidaksakit.
2. Pencegahan Stunting pada saat bayi lahir
a. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan
segera melakukan IMD setelah bayilahir
b. Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI
secaraeksklusif.
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
a. Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan
Pendamping ASI (MP- ASI) dan ASI tetap dilanjutkan
sampai bayi berumur 2tahun.
b. Bayi dan anak memperoleh kapsul Vitamin A dan
imunisasi dasarlengkap
4. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan
upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini
terjadinya gangguanpertumbuhan.
5. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan
oleh setiap rumah tangga termasuk meningkatkan akses
terhadap air bersih dan fasilitas santasi serta menjaga
17

kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan kejadian sakit


terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk
perumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh
menghadapi infeksi, zat gizi sulit diserap oleh tubuh dan
terhambatnya pertumbuhan (Kemenkes RI,2016).

2.2 Kebijakan Terkait Stunting

2.2.1 Tujuan Kebijakan

1. Tujuan Umum
Tujuan Umum dari kebijakan ini adalah untuk mengatasi Masalah
stunting dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan
berkontribusi pada 30% penurunan sehingga mewujudkan
percepatan 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak
Kerdil (Stunting)
2. Tujuan Khusus
a. Mengintervensi program Kerangka Intervensi Gizi Spesifik
b. Mengintervensi program Kerangka Intervensi Gizi Sensitif.

2.2.2 Pilihan Kebijakan

Dalam mengatasi permasalahan gizi terutama masalah stunting perlu


adanya kebijakan khusus yang perlu dilakukan agar dapat
menyelesaikan masalah tersebut.
Landasan kebijakan regulasi yang diharapkan dapat berkontribusi
pada pengurangan pervalensi Stunting, termasuk diantaranya:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–
2025 (Pemerintah melalui program pembangunan nasional ‘Akses
Universal Air Minum dan Sanitasi Tahun 2019’, menetapkan
bahwa pada tahun 2019, Indonesia dapat menyediakan layanan air
minum dan sanitasi yang layak bagi 100% rakyat Indonesia).
18

2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019


(target penurunan prevalensi Stunting menjadi 28% pada 2019).
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Bappenas,
2011.
4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.
5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu
Eksklusif.
6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Ais Susu Ibu (ASI)
Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang
Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau
Memerah Air Susu Ibu.
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM).
10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam
Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK),
2013.
12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK), 2013.

Selain mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi,


kementerian/lembaga (K/L) telah memiliki program terkait intervensi
gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang potensial untuk
menurunkan Stunting.

1. Intervensi Program Gizi Spesifik


Intervensi Gizi Spesifik merupakan intervensi yang ditujukan
kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan
berkontribusi pada 30% penurunan stunting.
19

Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan


pada sektor kesehatan.Intervensi bersifat jangka pendek dimana
hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang
idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik
dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari
masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:
a. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi
ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT)
pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein
kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat,
mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan
pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari Malaria.
b. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan
Anak Usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui
beberapa kegiatan yang mendorong inisiasi menyusui
dini/IMD terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum
serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.
c. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan
Anak Usia 7-23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk
mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak/bayi
berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6
bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat
cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi
zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan
terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta
melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

2. Intervensi Gizi Sensitif


Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sector kesehatan dan berkontribusi pada 70%
Intervensi Stunting.Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah
20

masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK.Kegiatan terkait
Intervensi Gizi Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa
kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas
Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat
berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi
Spesifik sebagai berikut:
a. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
b. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
c. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
d. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB).
e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
g. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
i. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
j. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta
gizi pada remaja.
k. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga
miskin.
l. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

3. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan


Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan
1000 HPK)
1. Kebijakan Terkait Balita
Program MPASI dari segi SDM masih kurangnya petugas yang
benar-benar memiliki skill dibidang tersebut, sehingga dalam
pelaksanaannya masih kurang efektif karena petugasnya tidak
terlalu memahami. Sedangkan dari segi cakupan wilayah,
program ini masih belum merata dalam pelaksanaannya.
21

Sehingga Perlu adanya penambahan SDM dari petugas


kesehatan dalam segi promosi program, dan Perlu tambahan
dana dan bahan MPASI sehingga semua bayi > 6 bulan
menerima program dengan merata serta Perlu adanya perubahan
metode pemberian MPASI yang lebiih efektif.

Dalam pelaksanaan program, perlu diadakan edukasi terhadap


ibu mengenai pentingnya ASI dan MPASI setelah bayi > 6
bulan karena bayi sangat memerlukan gizi yang banyak dan
seimbang untuk perkembangannya. Masih belum tercapainya
ketepatan sasaran dan cakupan wilayah penerima Makanan
Tambahan ASI terutama bagi bayi dalam lingkup keluarga
menengah kebawah. Perlu adanya pemetaan daerah.

Kendala yang sering muncul dilapangan dalam program


pemberian MPASI adalah terputusnya jalur koordinasi antar
petugas yang berperan, baik ditingkat pemerintah desa maupun
dari dinas kesehatan sehingga evaluasi tidak berjalan seperti
yang diharapkan.

2. Kebijakan Terkait Ibu Hamil


Secara umum, upaya Indonesia dalam memerangi malaria yang
sejauh ini sudah sangat terlihat sejumlah kemajuan. Kejadian
malaria secara berangsur mulai berkurang dan bahkan hilang di
sejumlah daerah. Namun di daerah tertentu dengan tingkat
penularan yang cukup tinggi, dampak kejadian malaria masih
dirasakan terutama bila penderita adalah seorang ibu hamil.
Indonesia kawasan timur adalah daerah dengan tingkat
penularan malaria yang tertinggi, kabupaten dengan kejadian
malaria yang menonjol, satu dari tiga orang terserang malaria
sekali dalam satu tahun. Ibu hamil adalah kelompok resiko yang
22

sangat rentan terhadap penyakit malaria dibanding mereka yang


tidak sedang hamil.

Upaya-upaya evaluatif harus tetap ditingkatkan baik pada


program spesifik maupun sensitif, melihat hambatan-hambatan
dalam yang dialami ibu hamil terutama kepatuhan dalam
konsumsi tablet tambah darah dan asupan gizi yang adekuat.

4. Realisasi Kebijakan-Kebijakan Stunting di Indonesia


Hasil Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa terjadi
penurunan prevalensi kejadian stunting dari 37,2% menjadi
30,8% di tahun 2018. Namun persentase tersebut masih tinggi
jika dibandingkan dengan standar WHO. Padahal pemerintah
telah membuat berbagai kebijakan dan regulasi untuk
menurunkan prevalensi kejadian stunting di Indonesia. Hal ini
dikarenakan kebijakan-kebijakan yang dibuat telah dilaksanakan
namun belum optimal dalam menurunkan prevalensi stunting.
Masih terdapat berbagai macam kendala dalam realisasi
kebijakan serta regulasi tersebut. Beberapa kendala yang
dihadapi dalam penyelenggaraan penanganan stunting adalah:
1. Berbagai regulasi terkait penanganan stunting tersebut
belum dijadikan sebagai landasan bersama dalam
menangani stunting sehingga hasil yang didapat belum
optimal dalam penanganan stunting.
2. Belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan intervensi
gizi di semua tingkatan terkait dengan perencanaan dan
penganggaran, penyelenggaraan, dan pemantauan serta
evaluasi. Karena belum optimalnya koordinasi lintas sektor,
program atau kebijakan yang telah dibuat tidak
dilaksanakan dengan baik, sedangkan telah diketahui bahwa
penanganan stunting tidak bisa dilakukan oleh sektor
23

kesehatan saja melainkan lintas sektor sehingga prevalensi


kejadian stunting dapat ditekan.
3. Belum efisiennya pengalokasian dan pemanfaatan sumber
daya dan sumber dana. Masih banyak sumber daya dan
sumber dana yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan
serta tidak merata sehingga program yang telah dibuat
belum berjalan dengan baik.
4. Keterbatasan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan
program.
5. Belum optimalnya advokasi, kampanye, dan diseminasi
terkait stunting, dan berbagai upaya pencegahannya.
Keterbatasan informasi tentang stunting yang dimiliki
membuat masyarakat menganggap stunting sebagai masalah
yang sepele dan menganggap anak bertubuh pendek itu
karena keturunan.
BAB III
METODE EVALUASI

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer dan


sekunder:
1) Sumber data primer : Wawancara dengan koordinator pelaksana program
gizi prevalensi stunting di Puskesmas Merbau Mataram Lampung Selatan
Tahun 2019
2) Sumber data sekunder : Laporan program evaluasi program gizi prevalensi
stunting di Puskesmas Merbau Mataram Lampung Selatan Tahun 2019

3.2 Cara Penilaian dan Evaluasi

A. Penetapan Indikator
1) Evaluasi dilakukan pada program gizi prevalensi stunting di Puskesmas
Merbau Mataram Lampung Selatan Tahun 2019. Adapun sumber rujukan
tolak ukur penilaian yang digunakan adalah Peraturan Bupati Lampung
Selatan tentang standar Pelayanan minimal tahun 2019

3.3. Cara Analisis

Evaluasi program gizi prevalensi stunting di Puskesmas Merbau Mataram


Lampung Selatan Tahun 2019 dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Menetapkan indikator dan tolak ukur dari unsur keluaran

24
25

Langkah awal untuk dapat menentukan adanya masalah dari pencapaian


hasil output adalah dengan menetapkan beberapa tolak ukur atau standar
yang ingin dicapai. Nilai standar atau tolak ukur ini dapat diperoleh dari
Standar Pelayanan Minimal Puskesmas Kabupaten/Kota Lampung
Selatan Tahun 2019.

2. Membandingkan pencapaian keluaran program dengan tolak ukur


keluaran. Bila terdapat kesenjangan, ditetapkan sebagai masalah. Setelah
diketahui tolak ukur, selanjutnya adalah membandingkan hasil
pencapaian keluaran Puskesmas (output) dengan tolak ukur tersebut. Bila
pencapaian keluaran Puskesmas tidak sesuai dengan tolak ukur, maka
ditetapkan sebagai masalah.

3. Menetapkan prioritas masalah


Pada komponen output tidak semuanya dapat diatasi secara bersamaan
mengingat keterbatasan kemampuan Puskesmas. Oleh sebab itu,
ditetapkan prioritas masalah yang akan dicari solusi untuk
memecahkannya. Salah satu metode yang digunakan yaitu USG
(Urgency, Seriousness, Growth) merupakan alat menyusun urutan
prioritas isu yang harus diselesaikan.

4. Identifikasi penyebab masalah


Berbagai penyebab masalah yang terdapat pada kerangka konsep
selanjutnya akan diidentifikasi. Identifikasi penyebab masalah dilakukan
dengan membandingkan antara tolak ukur atau standar komponen-
komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik dengan pencapaian
di lapangan. Bila terdapat kesenjangan, maka ditetapkan sebagai
penyebab masalah yang diprioritaskan tadi.

5. Menentukan alternatif pemecahan masalah


Setelah diketahui semua penyebab masalah, dicari dan dibuat beberapa
alternatif pemecahan masalah. Alternatif-alternatif pemecahan masalah
26

tersebut dibuat untuk mengatasi penyebab-penyebab masalah yang telah


ditentukan. Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan
memperhatikan kemampuan serta situasi dan kondisi Puskesmas.

6. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah


Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, maka
akan dipilih satu cara pemecahan masalah (untuk masing-masing
penyebab masalah) yang dianggap paling baik dan memungkinkan.
27

BAB IV
GAMBARAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS ………………….

4.1 Analisis Situasi Program yang Akan Dievaluasi


4.1.1 Data Geografis
Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Tugas (UPT) dari Dinas
Kesehatan yang berperan sebagai penyelenggara dari tugas teknis
operasional Dinas Kesehatan dan merupakan ujung tombak
pembangunan Kesehatan di daerah. UPT Puskesmas Merbau
Mataram merupakan salah satu unit pelaksana tugas kerja Dinas
Kesehatan Kab/Kota Lampung Selatan yang memiliki wilayah kerja
di Kecamatan Merbau Mataram

Gambar 1. Peta wilayah administrasi Kecamatan Merbau


Mataram Kab Lampung Selatan

Dari gambar peta diatas tampak batas-batas wilayah kerja UPT


Puskesmas Merbau Mataram, yaitu :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Katibung
28

c. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kerja UPT Puskesmas


Talang jawa
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kota Madya Bandar Lampung
Jarak UPT Puskesmas Merbau Mataram ke Ibu kota Kabupaten
adalah ± 60,2 km. Sedangkan ke Ibu Kota Provinsi adalah ± 19,9
km. Luas Wilayah kerja UPT Puskesmas Merbau Mataram ± 126,13
km² memiliki 8 desa.

Wilayah kerja UPT Puskesmas Merbau Mataram merupakan daerah


dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata 500-600 meter di atas
permukaan laut, dengan keadaan tanah sebagian besar berbukit-bukit
yang dijadikan daerah perladangan untuk menanam palawija dan
persawahan yang tergantung curah hujan. Pada Umumnya Wilayah
kerja UPT Puskesmas Merbau Mataram dapat dijangkau dengan
kendaraan roda empat dan hamper seluruhnya dapat dilalui
kendaraan roda dua.

UPT Puskesmas Merbau Mataram, terdiri atas 66 Dusun, Desa yang


memiliki dusun terbanyak adalah Desa Tanjung Baru sebanyak 11
dusun dan desa dengan dusun terkecil adalah Desa Karang jaya dan
Desa Baru Ranji sebanyak 6 dusun.
29

4.1.2 Sumber Daya Kesehatan


Sumber daya kesehatan yang terdapat di UPT Puskesmas Merbau
Mataram adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Data Ketenagaan UPT Puskesmas Merbau Mataram Tahun 2020


JUMLAH
NO JENIS KETENAGAAN
PNS PTT TKS
1 Dokter spesialis 0 0 0
2 Dokter umum 2 0 0
3 Dokter gigi 0 0 0
4 Bidan D1 0 0 0
5 Bidan D3/DIV 7/4 0 2
6 Perawat DIII/DIV/Skep 4 0 1
7 Perawat gigi 1 0 0
8 Apoteker atau sarjana farmasi 0 0 0
9 DIII farmasi atau asisten 0 0 0
apoteker
10 DIV/sarjana gizi 0 0 0
11 DI/III gizi 1 0 0
12 Sarjana kesmas 5 0 0
13 Tenaga sanitasi 0 0 0
14 Analis Lab 0 0 0
15 Non kesehatan struktural 2 0 0
16 SMA 0 0 2
17 SMP 0 0 0
30

4.1.3 Struktur Organisasi Puskesmas Merbau Mataram

Kepala Puskesmas
Jamaluddin, SKM, MM

Kasubag TU.
Tika Pramudya, Amd, KL

Kepegawaian Bendahara
Zainuri, SKM Nurhamid, SKM

SIP RT
Maryani, SKM Wahyu

PJ UKM Esensial & PJ UKM Pengembangan PJ UKP Farmasi & PJ Jaringan YAN PKM dan
Perkesmas Laboratorium Jejaring Fayankes
Sri Endang Sayekti,
Wahyu Triretnaning, SST Amd.Kep dr. Dewi Sinta Redisnce Sitorus, SST

Gambar 2. Struktur organisasi UPT Puskesmas Merbau Mataram


31

BAB V
HASIL EVALUASI DAN PEMBAHASAN

5.1 Menetapkan Tolak Ukur dari Unsur Keluaran

Dalam makalah ini, tolak ukur dari program gizi di UPT Puskesmas Merbau

Mataram ada 22 indikator yiatu :

Tabel 3. Target Pencapaian Kinerja Program Gizi di UPT Puskesmas Merbau Mataram
Tahun 2019

Target capaian Kinerja


No Indikator Program
Program Tahun 2019 (%)
1 Cakupan balita di timbang (d/s) 85 %
2 Cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan 100 %
3 Cakupan bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eklusif 50 %
Cakupan rumah tangga yang menkonsumsi garam 100 %
4
beryodium
5 Cakupan balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A 90 %
Cakupan ibu hamil mendapat TTD minimal 90 tablet selama 95%
6
kehamilan
7 Cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT 50%
8 Cakupan balita kurus mendapat PMT 50%
9 Cakupan remaja putri mendapat TTD 30%
10 Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A 94%
11 Cakupan bayi baru lahir mendapat IMD 40%
12 Cakupan BBLR 8,2%
13 Cakupan balita yang memiliki buku KIA/K 94%
14 Cakupan balita ditimbang yang naik berat badannya (N/D) 90%
15 Cakupan balita yang ditimbang yang tidak naik berat 2,5%
badannya 2x berturut-turut (2T)
16 Persentase balita dibawah ditimbang yang tidak naik berat 5%
badannya (T)
17 Persentase balita di bawah garis merah (BGM) 1,2%
32

18 Cakupan ibu hamil anemia 28%


19 Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita 16,8%
20 prevalensi wasting pada anak balitas 7%
21 Prevalensi stunting anak balita 37,7%
22 Prevalensi gizi lebih pada balita 21,4%

5.2 Membandingkan Pencapaian Keluaran Program dengan Tolak Ukur

Keluaran

Masalah yang ditemukan pada program Program Gizi di UPT Puskesmas


Merbau Mataram adalah kurangnya cakupan Prevalensi balita sunting
Masalah ini ditegakkan karena adanya perbedaan antara hasil yang
diharapkan dengan tolak ukur, dimana target yang harus dicapai pada
program ini adalah 37,7 % dalam 1 tahun. Akan tetapi target yang baru
tercapai hanya 7,66 %. Berikut data pencapaian program gizi dalam indicator
kinerja di UPT Puskesmas Merbau Mataram

Tabel 4. Daftar Pencapaian Kinerja Program Gizi di UPT Puskesmas Merbau


Mataram Periode Januari – Desember 2019.

No Variabel Keluaran Tolak Ukur Pencapaian Masalah


1 Target pencapaian 72,3% +
Cakupan balita di timbang (d/s)
85 %
2 Cakupan balita gizi buruk yang mendapat Target pencapaian 100% -
perawatan 100 %
3 Target pencapaian 63,9% -
Cakupan bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eklusif
50 %
4 Cakupan rumah tangga yang menkonsumsi garam Target pencapaian 100% -
beryodium 100 %
5 Cakupan balita 6-59 bulan mendapat kapsul Target pencapaian 98,5% -
vitamin A 90 %
6 Cakupan ibu hamil mendapat TTD minimal 90 Target pencapaian 100% -
tablet selama kehamilan 95%
7 Target pencapaian 94% -
Cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT
50%
8 Target pencapaian 100% -
Cakupan balita kurus mendapat PMT
50%
9 Target pencapaian 100% -
Cakupan remaja putri mendapat TTD
30%
10 Target pencapaian 100% -
Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A
94%
33

11 Target pencapaian 92,9% -


Cakupan bayi baru lahir mendapat IMD
40%
12 Target pencapaian 8,9% -
Cakupan BBLR
8,2%
13 Target pencapaian 89,75% +
Cakupan balita yang memiliki buku KIA/K
94%
14 Cakupan balita ditimbang yang naik berat Target pencapaian 90,86% -
badannya (N/D) 90%
15 Cakupan balita yang ditimbang yang tidak naik Target pencapaian 1,56% +
berat badannya 2x berturut-turut (2T) 2,5%
16 Persentase balita dibawah ditimbang yang tidak Target pencapaian 6,32% -
naik berat badannya (T) 5%
17 Target pencapaian 0,08% -
Persentase balita di bawah garis merah (BGM)
1,2%
18 Target pencapaian 4,69% +
Cakupan ibu hamil anemia
28%
19 Target pencapaian 0.78% +
Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita
16,8%
20 Target pencapaian 0,04% +
prevalensi wasting pada anak balitas
7%
21 Target pencapaian 0,54% +
Prevalensi balita stanting
37,7%
22 Target pencapaian 0,24% +
Prevalensi gizi lebih pada balita
21,4%

5.3 Menetapkan Prioritas Masalah

Berdasarkan Tabel 5, hampir semua program gizi di UPT Puskesmas


Merbau Mataram periode Januari – Desember 2019 sebagian sudah mencapai
target, namun masih terdapat beberapa program yang belum mencapai target
adalah Cakupan balita di timbang (D/S), Cakupan balita yang memiliki buku
KIA/K, cakupan balita ditimbang yang tidak naik berat badannya 2x berturut-
turut (2T), Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita, Prevalensi wasting
pada anak balita, Prevalensi balita stunting, dan Prevalensi gizi lebih pada
balita . Metode pemecahan masalah yang digunakan adalah USG, yaitu:
1. Urgency: Menilai ketersediaan waktu untuk pemecahan masalah yang
ada.
2. Seriousness: Melihat pengaruh bahwa masalah tersebutakan
menyebabkan hal yang serius/fatal.
3. Growth: Aspek kemungkinan meluasnya /berkembangnya masalah / atau
kemungkinan timbulnya masalah.
34

Tabel 5. Penentuan prioritas masalah dengan menggunakan metode USG

Nilai Kriteria Hasil


No Masalah
U S G Akhir
Cakupan ibu hamil anemia 3 3 3 9
1
Prevalensi gizi lebih pada balita 2 2 2
2 6
Cakupan balita yang ditimbang yang tidak 2 3 3
3 8
naik berat badannya 2x berturut-turut (2T)
4 Cakupan balita yang memiliki buku KIA/K 3 4 4 11
5 Cakupan balita di timbang (d/s) 3 4 4 11
7 prevalensi wasting pada anak balitas 3 2 3 8
8 Prevalensi balita stunting 5 5 5 15
9 Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita 3 3 4 10
Keterangan:
U (Urgency), S (Seriousness), G (Growth)
Skoring 1: Rendah
Skoring 2: Sedang
Skoring 3: Cukup
Skoring 4: Tinggi
Skoring 5: Sangat tinggi

5.4 Identifikasi Penyebab Masalah

Sesuai dengan pendekatan sistem, ketidak berhasilan pencapaian program


gizi di UPT Puskesmas Merbau Mataram merupakan suatu output / hasil
yang tidak sesuai dengan target. Untuk mengatasinya, dengan pendekatan
sistem harus diperhatikan kemungkinan adanya masalah pada komponen lain
pada system, mengingat suatu system merupakan keadaan yang
berkesinambungan dan saling mempengaruhi. Setelah mengetahui faktor
atau masalah dominan, langkah berikutnya adalah mencari akar
masalah dalam hal ini kami mencari akar masalah dengan menggunakan
diagram fishbone.
MAN
34

Kurang aktifnya bidan desa


Kurangnya kepedulian dan
memotivasi ibu balita untuk ke
kesadaran ibu balita membawa si
posyandu
anak balita ke posyandu untuk
MATERIAL pemeriksaan dan pemantauan
status gizi secara rutin
Kurangnya jumlah
nakes, sehingga satu
Kurangnya media
nakes memegang lebih
promosi sebagai
dari satu program,
publikasi tentang
stunting Ketidak pahaman ibu balita mengenai
dampak jangka Panjang dari stunting Capaian Prevalensi
balita Stunting baru
mencapai 0,54% dari
targe 37.7% di
Puskesmas Merbau
Mataram Tahun
Kurangnya optimalisasi promosi Tidak semua 2019
kesehatan, cara penyampaian balita terdaftar Wilayah perbukitan dengan
penyuluhan yang kurang di BPJS Ada anggaran susah sinyal internet dalam
menarik, Petugas promkes Kesehatan promosi pengiriman laporan

bukan fungsional penyuluh, dan kesehatan,


petugas kurang pelatihan dalam tetapi tidak
Sosial ekonomi
penyampaian penyuluhan
yang rendah focus ke
pasien lebih stunting
mementingkan Lingkungan kumuh, serta dominan
dataran tinggi dan perbukitan
pergi bekerja
daripada
keposyandu
mengantarkan
anak balitanya MONEY MACHINE

METHOD Gambar 3. Diagram Fishbone


Berdasarkan diagram fishbone di atas, perlu dicari masalah–masalah yang
memiliki peranan paling penting dalam mencapai keberhasilan program. Teknik
kriteria matriks pemilihan prioritas dapat digunakan untuk memilih masalah yang
paling dominan.

Tabel 3. Matriks Penentuan Prioritas Penyebab Masalah

I Jumlah
Daftar Masalah T R
No. IxTxR
P

RI

DU

SB

PB

PC
1. Man

Kurangnya
kepedulian dan
kesadaran ibu
balita membawa si
anak balita ke 2 2 2 2 2 1 1 3 2 78
posyandu untuk
pemeriksaan dan
pemantauan status
gizi secara rutin

Ketidak pahaman 2 2 3 2 2 2 3 3 2 96
ibu balita
mengenai dampak
jangka Panjang
dari stunting
Kurang aktifnya 3 2 2 1 1 2 1 2 2 48
bidan desa
memotivasi ibu
balita untuk ke
posyandu

Kurangnya jumlah
nakes, sehingga
2 2 3 2 2 1 2 3 2 84
satu nakes
memegang lebih
dari satu program
2. Method

Kurang
optimalisasinya
promosi
kesehatan, cara 3 3 2 3 2 2 2 3 3 153
penyampaian
penyuluhan
yang kurang
menarik, petugas
promkes bukan
promkes,
dan petugas
kurang pelatihan
dalam
penyampaian
penyuluhan
3. Material

Kurangnya media 2 1 2 1 2 2 2 3 3 108


promosi sebagai
publikasi tentang
stunting

4. Money

Sosial ekonomi 2 1 1 2 2 2 2 3 2 72
yang rendah pasien
lebih
mementingkan
pergi bekerja
daripada
keposyandu
mengantarkan anak
balitanya

Tidak semua 2 2 2 1 1 1 1 3 2 60
anak balita
terdaftar di BPJS
kesehatan

Ada anggaran
promosi
kesehatan, tetapi
tidak focus ke
stunting
5. Machine

Wilayah 2 1 2 1 2 2 2 3 2 72
perbukitan dengan
sinyal internet
dalam
mengirimkan
laporan
Lingkungan 3 2 2 2 2 2 3 3 2 96
kumuh, serta
dominan dataran
tinggi dan
perbukitan
Keterangan :

- I = Importancy (pentingnya masalah)


- P = Prevalence (besarnya masalah)
- S = Severity (akibat yang ditimbulkan masalah)
- RI = Rate of Increase (kenaikannya besarnya masalah)
- DU = Degree of Unmeet Need (derajat keinginan masyarakat yg telah
terpenuhi
- SC = Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
- PB = Public Concern (rasa prihatin masyarakat tentang masalah)
- PC = Political Climate (suasana politik)
- T = Technical feasibility (kelayakan tekhnologi)
- R = Resources availibility (sumber daya yang tersedia)

Setelah dilakukan pemilihan prioritas penyebab masalah, didapatkan masalah


yang berpengaruh besar pada tidak tercapainya cakupan Prevalensi balita
Stunting di UPT Puskesmas Merbau Mataram yaitu kurangnya optimalisasi
promosi kesehatan, Kendala timbul karena penanggung jawab promkes
bukan fungsional penyuluh, kurang pelatihan dalam penyampaian
penyuluhan, dan cara penyampaian penyuluhan menjadi kurang menarik,
sehingga kasus stunting tidak terdata dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori
dan model promosi kesehatan yaitu Ecological Models. Persefektif ekologis
adalah kerangka kerja yang berguna untuk memahami berbagai factor yang
mempengaruhi kesehatan. Ini adalah model yang dapat membantu dalam
memberikan perspektif lengkap tentang factor-faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan tertentu, termasuk determinan kesehatan. Model ekologis
mengenali berbagai tingkat pada perilaku kesehatan yang mencakup :

1. Factor intrapersonal/individu, yang mempengaruhi seperti pengetahuam,


sikap, kepercayaan, dan kepribadian.
2. Factor interpersonal, seperti interaksi dengan orang lain, yang dapat
memberikan dukungan social atau menciptakan hambatan untuk
pertumbuhan interpersonal yang meningkatkan perilaku sehat.
3. Factor kelembagaan dan organisasi, termasuk aturan, regulasi, kebijakan,
dan struktur informasi yang menghambat atau meningkatkan perilaku
sehat.
4. Factor komunitas, seperti norma social formal atau informal yang ada
diantara individu, kelompok, atau organisasi, dapat membatasi atau
meningkatkan perilaku sehat
5. Factor kebijakan public, termasuk kebijakan dan undang-undangan
setempat, negara bagian, dan federal yang mengatur atau mendukung
tindakan dan praktik kesehatan untuk pencegahan penyakit termasuk
deteksi dini, control dan manajemen.
BAB VI

ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

6.1. Menentukan alternatif pemecahan masalah

Belum tercapainya target program gizi dengan indicator prevalensi balita


stunting di wilayah kerja UPT Puskesmas Merbau Mataram dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Setelah dilakukan penentuan prioritas penyebab masalah,
maka penyebab dominan ialah kurangnya promosi kesehatan meliputi
kurangnya optimalisasi promosi kesehatan, cara penyampaian penyuluhan
yang kurang menarik, petugas promkes bukan fungsional penyuluh, dan
petugas kurang pelatihan dalam penyampaian penyuluhan. Hal ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang fatal Berdasarkan faktor penyebab
masalah yang dapat diidentifikasi, maka alternatif pemecahan masalah
dilakukan pada masalah yang memiliki jumlah prioritas masalah tersebut.
Alternatif pemecahan masalahnya sebagai berikut:

Tabel 7. Alternatif Pemecahan Masalah (jalan keluar)

Masalah Penyebab Alternatif


Tidak tercapainya 1. Promosi Kesehatan kurang a. Penyuluhan terintegrasi
target program gizi oleh tenaga kesehatan
dengan cakupan melalui diskusi atau
seminar dengan
indicator prevalensi
menyiapkan doorprize yang
stunting anak balita dilakukan setiap 3 bulan
hanya 0,54 % dari sekali
target 37,7% b. Pembuatan brosur atau
leflet tentang stunting
c. Mengaktifkan peran dari
bidan desa untuk
memotivasi ibu balita untuk
keposyandu dan dengan
memberikan bonus kinerja
d. Memberikan penghargaan
atua hadish kepada tenaga
kesehatan yang telah
melakukan penyuluhan
dengan meningkatkan
kompetensi penyuluh
dengan mengikuti
pelatihan-pelatihan

6.2. Menentukan Prioritas Cara Pemecahan Masalah

Tabel 8. Memilih Prioritas Pemecahan Masalah (Jalan Keluar).

Efektivitas Efisiensi Jumlah


No Daftar Alternatif Jalan Keluar
M I V C (MIV/C

1. Penyuluhan terintegrasi oleh 4 3 3 1 36


tenaga kesehatan melalui diskusi
atau seminar dengan
menyiapkan doorprize yang
dilakukan setiap 3 bulan sekali
2. Pembuatan brosur atau leflet 2 3 2 3 4
tentang stunting
3. Mengaktifkan peran dari bidan 3 3 3 1 27
desa untuk memotivasi ibu balita
untuk keposyandu dan dengan
memberikan bonus kinerja
4. Memberikan penghargaan atau 3 2 3 1 18
hadiah kepada tenaga kesehatan
yang telah melakukan
penyuluhan dengan
meningkatkan kompetensi
penyuluh dengan mengikuti
pelatihan-pelatihan
5 Penyuluhan oleh tenaga 3 3 2 2 9
kesehatan melalui diskusi atau
seminar dengan memnyiapkan
doorprize yang dilakukan setiap
bulan

Keterangan:
M :Magnitude (besarnya masalah yang dapat diselesaikan
I :Importance (pentingnya jalan keluar)
V :Vulnerability (sensitivitas jalan keluar)
C : Cost (efisiensi jalan keluar)
Dari analisis prioritas alternatif pemecahan masalah diatas, didapatkan bahwa
prioritas pemecahan masalah adalah Penyuluhan terintegrasi oleh tenaga
kesehatan melalui diskusi atau seminar dengan menyiapkan doorprize yang
dilakukan setiap 3 bulan sekali.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang evaluasi program gizi di UPT Puskesmas
Merbau Mataram, dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Angka capaian Prevalensi balita stunting tahun 2019 di UPT
Puskesmas Merbau Mataram adalah sebesar 0,54%. Angka ini masih
dibawah target yang telah ditentukan yaitu sebesar 37,7%.
2. Faktor penyebab masalah utama yang telah diidentifikasi adalah
kurangnya optimalisasi promosi kesehatan, Kendala timbul karena
penanggung jawab promkes bukan fungsional penyuluh, kurang
pelatihan dalam penyampaian penyuluhan, dan cara penyampaian
penyuluhan menjadi kurang menarik, sehingga kasus stunting tidak
terdata dengan baik
3. Alternatif pemecahan masalah yang dapat dipertimbangkan meliputi
Penyuluhan terintegrasi oleh tenaga kesehatan melalui diskusi atau seminar
dengan menyiapkan doorprize yang dilakukan setiap 3 bulan sekali.

7.2. Saran
Saran evaluasi program gizi di UPT Puskesmas Merbau Mataram tahun
2019 adalah sebagai berikut :
1. Mengoptimalkan tugas dan fungsi tenaga kesehatan yang ada di
puskesmas untuk melakukan penyuluhan secara terintegrasi, sehingga
diskusi atau penyuluhan tidak monoton dan membosankan.
2. Perlunya keaktifan, kerja keras, tanggung jawab dari Pengelola
Program Gizi maupun Pengelola Program Promkes untuk
mengoptimalkan penyuluhan tentang balita stunting di wilayah kerja
UPT Puskesmas Merbau Mataram
3. Perlunya kreatifitas dari Puskesmas atau bekerjasama dengan pihak
swasta dalam bentuk bantuan CSR untuk membuat media agar dapat
meningkatkan kesadaran ibu balita untuk rajin posyandu
memeriksakan dan pemantauan balitanya sejak dini.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah T. 2011. Perkawinan dini dan dampak status gizi. Gizi Indonesia.
Alwi Hasan, dkk, . 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, Balai Pustaka,
Departemen Pendidikan Nasional.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). 2013. Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). 2018. Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
BAPPENAS, 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2015. Profil kesehatan provinsi lampung
tahun 2015. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Ettyang, Grace A. dan Caroline J. Sawe. 2016. Factors Associated with Stunting
in Children Under Age 2 in the Cambodia and Kenya 2014 Demographic
and Health Surveys. USA: DHS Working Papers
Irwansyah, Irwansyah, Djauhar Ismail, and Mohammad Hakimi. 2017.
“Kehamilan Remaja Dan Kejadian Stunting Anak Usia 6 – 23 Bulan Di
Lombok Barat.” Temanggung, Kabupaten. “Journal of Nutrition College,.”
6.
Kemendikbud. 2019. Modul Pendidikan Keluarga pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Situasi balita pendek. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Buku saku pemantauan status
gizi tahun 2017. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat.
Prakash R, dkk. Early marriage, poor reprodukttive health status of mother and
child well-being in India. J fam Plann Reprod Health Care. 2011:10
Sekarningrum, Lestari,. 2001. Perilaku Masyarakat Terhadap Perkawinan Usia
Muda di Kelurahan Teladan Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan
Tahun. Skripsi. FKM-USU.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100
Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Wakil
presiden republik indonesia. Jakarta.
Unicef, 2013. Improving Child Nutrition The achievable imperative for global
progress. New York : United Nations Children’s Fund
UNICEF, WHO, dan World Bank Group. 2018. Levels and trends in child
malnutrition: key findings of the 2018 edition of the joint child malnutririon
estimates. Geneva: World Health Organization
World Health Organization. 2013. Childhood stunting: contex, causes, and
consequences-WHO conceptual framework for stunting.

44

Anda mungkin juga menyukai