Anda di halaman 1dari 298

MAKALAH

KEPERAWATAN GERONTIK

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4 :

1. MASAYU LAELA NUR FITRIA


2. NISYA RAFIKOH TULJANNAH
3. RAYMAN GUNAWAN
4. TEDI MAHENDRA EFENDI

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

MATARAM TAHUN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat-
Nya sehingga tugas makalah dapat terselesaikan dengan baik. Maksud dan tujuan dari penulisan
makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban Mata kuliah
Keperawatan Gerontik , serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab kami pada tugas yang
diberikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan. Kami berharap makalah
ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi bagi pembaca.

Mataram, 15 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................

A. Latar Belakang

..............................................................................................................................

B. Rumusan Masalah

..............................................................................................................................

C. Tujuan

..............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................

A. Pencegahan Pada Lansia

..............................................................................................................................

B. Askep Pada Individu, Keluarga, dan Masyarakat dengan Lansia

..............................................................................................................................

C. Masalah yang dapat Muncul pada Keluarga dengan Lansia

..............................................................................................................................

D. Askep lansia Menjelang Ajal

..............................................................................................................................

E. Teori Biologis, Psikososial dan Sosial Kultural

..............................................................................................................................

iii
F. Askep Gangguan Konsep diri, Gangguan Alam Perasaan, Gangguan

Kognitif

..............................................................................................................................

G. Peran Keluarga, Tugas Keluarga, langkah-langkah dalam Perawatan

Keluarga Dengan lansia

..............................................................................................................................

H. Askep Lansia dengan Masalah Muskuluskletal

..............................................................................................................................

I. Hukum dan Etik dalam Geriatrik

..............................................................................................................................

J. Askep Lansia dengan Masalah Diabetes Mellitus dan Tiroid

..............................................................................................................................

K. Program Kesehatan Nasional Lansia

..............................................................................................................................

L. Askep Lansia dengan masalah TBC dan PPOK

..............................................................................................................................

M. Isu-Isu Strategis, Kegiatan untuk Promosi Kesehatan dan Kesejahteraan

..............................................................................................................................

N. Askep Osteoprosis, Osteoatrithis, Fraktur Pada Lansia

..............................................................................................................................

O. Askep Kritikal pada Lansia

..............................................................................................................................

iv
BAB III PENUTUP..............................................................................................................

A. Kesimpulan ...........................................................................................................
Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

v
A. Latar Belakang
Lanjut usia disebut juga fase akhir kehidupan yang akan dialami oleh setiap
manusia. Tahap ini merupakan tahap perkembangan normal dan tahap yang wajar dialami
oleh semua orang karena diberi karunia umur panjang oleh Tuhan yang Maha Esa.
Populasi lanjut usia di dunia yang berusia 60 tahun keatas saat ini diperkirakan sudah
mencapai 629 juta jiwa dan akan mencapai 1,2 milyar pada tahun 2025 (Sunaryo, et al.,
2017) Data demografi dari Pusat Data dan Informasi KemenKes Republik Indonesia
tahun 2016 menunjukkan, jumlah penduduk lanjut usia di seluruh Indonesia dari
kelompok usia non produktif ≥ 65 tahun kisaran 14.233.117 jiwa. Untuk laki-laki
jumlahnya sekitar 6.474.979 jiwa dan perempuan jumlahnya sekitar 7.758.138 jiwa.
Penduduk kelompok usia lanjut ≥ 60 tahun sekitar 22.630.882 jiwa, lansia perempuan
berjumlah 11.908.658 jiwa dan lansia laki-laki berjumlah 10.722.224 jiwa. Penduduk
lanjut usia resiko tinggi kelompok usia ≥ 70 tahun berjumlah 8.490.356 jiwa, laki-laki
berjumlah 3.649.220 jiwa dan perempuan berjumlah 5.796.136 jiwa. Di Indonesia jumlah
lansia terbanyak berada di Daerah Istimewa Jogyakarta sebanyak 13% sedangkan
terendah berada pada provinsi Papua sebanyak 2,8% (Budijanto & Sutardjo, 2017).
Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 dalam Bab 1 ayat 2 tentang
Kesejahteraan Lansia (lanjut usia), lanjut usia merupakan seseorang yang mencapai usia
enam puluh tahun keatas, baik pria maupun wanita. Pada tahap ini merupakan tahap
dimana individu akan mengalami penuruan fungsi fisik dan psikis . Pada usia lanjut,
banyak munculnya penyakit yang tidak menular sehingga fungsi fisiologis lansia
mengalami penurunan akibat proses degeneratif (penuaan). Masalah lain pada lanjut usia
yakni menurunnya tahan daya tubuh, dapat mengakibatkan rentangnya terinfeksi penyakit
yang menular. Semakin bertambahnya usia seseorang, maka akan mengalami
kemunduran pada kemampuan fisiknya, yang di akibatkan oleh menurunnya peran sosial
dan terganggunya kebutuhan dalam hidup sehingga dapat meningkatkan ketergantungan
dalam meminta bantuan orang lain. Selain penurunan fisik, kondisi mental lansia juga
berpengaruh dalam kesibukkan sosial, yang berakibat berkurangnya integrasi lingkungan,
yang berdampak pada kebahagiaan seseorang.

Setelah memasuki lanjut usia seseorang akan dihadapi oleh penurunan kondisi
fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya bekurang tenaga,

vi
enerji menurun, kulit yang semakin berkeriput, gigi yang mulai rontok, tulang yang
semakin rapuh, dan masih banyak lainnya. Hal tersebut dapat menimbulkan gangguan
fungsi psikologik, fisik, maupun sosial. Gangguan fungsi seksual disebabkan oleh
perubahan dalam kesehatan jiwa atau hormonalnya yang mengakibatkan timbulnya
cemas, depresi, pikun dan lain-lain. Perubahan nilai sosial yang cendrung muncul karena
kurang dihargainya lansia mengakibatkan mereka merasa terisolasi dari kehidupan
masyarakat. Terlebih lagi apabila lansia sudah mulai memasuki masa pensiun yang dapat
berperngaruh dalam kehidupannya. Masalah yang dapat terjadi di alami oleh lansia yang
pensiun adalah masalah ekonomi, sosial, kesehatan, dan psikologis. Masalah ekonomi
mengakibatkan penurunan produktivitas kerja di karenakan pensiun atau berhenti untuk
bekerja. Masalah sosial perubahan pada nilai sosial yang mengarah tatanan masyarakat
individualistic.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja masalah yang bisa terjadi pada kelompok usia lanjut?
2. Apa saja komponen-komponen Asuhan Keperawatan gerontik?
C. Tujuan
1. Untuk mengatahui apa saja masalah yang dapat terjadi pada usia lanjut
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada lansia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kehidupan Seksual pada Lansia, Pembatasan fisik dan Pengunaan Obat pada Lansia

vii
Kehidupan Seksual Pada Lansia
1. Definisi Masa Usia Lanjut
Masa usia lanjut merupakan periode penutup daam rentang hidup seorang, yaitu
suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu lebih
menyenangkan atau berjak dari waktu yang penuh dengan manfaat.
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan
batasan penduduk lanjut usia menurut badan koordinasi keluarga berencana nasional
ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan
aspek social BKKBN 1998).
Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses
penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu
semakin rentangnya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
system organ. (Pipit Festi W, 2018)
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak organ bertanggapan bahwa kehiduoan masa tua tidak lagi
memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan
masa tua. Seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan
masyarakat dari aspek soaial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok social
sendiri.(Pipit Festi W, 2018)
2. Perubahan-Perubahan Fisik Dan Spisikis Yang Terjadi Pada Masa Lanjut Usia
Perubahan-perubahan yang umum terlihat pada masa usia lanjut adalah ditandai dengan
perubahan fisik dan psikologis tertentu, baik pria maupun wanita, pada masa usia lanjut
mereka akan melakukan penyusuaian diri agar mereka tampak siap dan sesuai dengan
masa tua lanjut tersebut secara tidak baik ataupun tidak baik. Akan tetapi hasil yang
diproleh dari penyusuaian tersebut cenderung menuju dan membawa penyusuaian diri
yang tidak baik dari pada yang baik, terutama adalah terjadinya kemunduran fisik dan
mental yang berlangsung secara perlahan dan bertahap. (Muhammad Qasim, 2021)
a. Perubahan fisik pada masa usia lanjut
1) Perubahan pada kulit: kulot wajah leher, lengan, dan tangan menjadi lebih
kering dan keriput, kulit dibagian bawah mata membetuk seperti kantung dan

viii
lingkaran hitam dibagian ini menjadi lebih permanen dan jelas, warna merah
kebiruan sering muncul disekitar lutut dan ditengah kengkuk.
2) Perubahan otot: pada umumnya otot orang berusia madya menjadi lembek dan
mengendur disekitar dagu, lengan bagian atas, dan perut.
3) Perubahan pada persendian : maalah pada persendia terutama pada bagian
tungkai dan lengan yang membuat mereka menjadi agak sulit berjalan.
4) Perubahan pada gigi : gigi menjadi kering, patah tanggal sehingga kadang-
kadang memakai gig palsu.
5) Perubahan pada mata : mata terlihat kurang bersinar dan cenderung
mengeluarkan kotoran yang menumpuk disundur mata, kebanyakan menderita
presbiop atau kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya akomondasi karena
menurunya elastisitas mata.
6) Perubahan pada telinga : fungsi pendengaran sudah mulai menurun, sehingga
tidak sedikit yang mempergunakan alat bantu pendengaran.
7) Perubahan pada sistem pernafasan : nafas menjadi lebih pendek dan sering
bersengal-sengal, hal ini akibat terjadinya penurunan kapasitas total paru-paru,
residu volume paru dan konsumsi oksigen basal, ini akan menurunkan
fleksibilitas dan elastisitas dari paru .
b. Masalah seksual pada lanjut usia
Sejalan dengan bertambahnya usia, masalah seksual merupakan masalah yang
tidak kalah pentingnya bagi pasangan usia lanjut, masalah ini meliputi ketakutan
akan berkurangnya atau bahkan tidak berfungsingnya organ sex secara normal
sampai ketakutan dan berkurangnya atau bahkan tidak berfungsingnya organ sex
secara normal sampai ketakutan akan kemampuan secara psikis untuk bisa
berhubungan sex.

Perubahan fisiologik aktivitas seksual akibat proses penuaan bila ditijau dari
pembagian tahapan seksual menurut Kaplan adalah berikut ini :
1) Fase desire
2) Fase arousal

ix
3) Fase orgasmic
4) Fase pasca orgasme (Sayem, 2018).

Difungsi seksual pada lansia tidak hanya disebabkan oleh perubahan fisiologik
saja, terdapat banyak penyebab lainnya seperti:

1) Penyebab iatrogenic
2) Penyebab biologic dan kasus medis (Sayem, 2018).

Beberapa masalah umum yang sering timbul dalam gangguan seksual pada lansia
adalah sebagai berikut:

1) Gangguan hasrat
2) Tahap pemanasan
3) Orgasme
4) Rasa nyeri
5) Sakit fisik
6) Obat dan alcohol
7) Gangguan yang tidak khusus(Sayem, 2018).

Beberapa hal yang dapat menyebabkan masalah kehidupan seksual antara lain

1) Infark
2) Pasca stoke
3) Kanker
4) Diabetes mellitus
5) Arthritis
6) Rokok dan alcohol
7) Penyakit paru obstruktif kronik
8) Obat-obatan (Sayem, 2018).
3. Perubahan Seksualitas Pada Pria Lansia
Beberapa perubahan masalah seksualitas yang terjadi pada pria lansia adalah :
a. Produksi testoteron menurun secara bertahap. Penurunan ini mungkin juga akan
menurunkan hasrat dan kesejahteraan .

x
b. Kelenjar prostat biasanya membesar, dimana hipertrofi prostate jinak terjadi pada
50% pria diatas usia 40 tahun dan 90% pria diatas usia 80 tahun. Dan hipertofi
prostat jinak ini memerlukan terapi. Namun hal ini dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan sistem traktus urinarius
c. Respon seksual terutama fase penggairahan, menjadi lambat dan ereksi yang
sempurna mungkin juga tertunda.
d. Fase orgasme, lebih singkat dengan ejakulasi yang tanpa disadari
e. Penurunan tonus otot menyebabkan spasme pada organ genital ekserna yang tidak
biasa.
f. Kemampuan ereksi kembali setelah ejakulasi semakin panjang, pada umumnya 12
sampai 48 jam setelah ejakulasi.
g. Ereksi pagi hari (morning erection) juga semakin jarang terjadi (Sayem, 2018).
4. Upaya Mengatasi Permasalahan Seksual Pada Lansia
Manajemen yang dilakukan tenaga kesehatan untuk mengatasi gangguan seksual pada
lansia adalah sebagai berikut:
a. Anamnesa riwayat seks
b. Pengobatan yang diberikan mencakup:
1) Konseling psikoseksual
2) Therapi hormon
3) Penyebuhan dengan obat-obatan
4) Peralatan meknis
5) Bedah pembuluh
6) Bimbingan psikososial
7) Penyembuhan hormone
8) Penyembuhan dengan obat(Sayem, 2018).

Pembatasan Fisik Pada Lansia


Jenis-jenis latihan fisik yang dapat dilakukan oleh lansia untuk meningkatkan status
kesehtan, antara lain:
1. Latihan aerobic

xi
2. Latihan penguatan otot
3. Latihan fleksibilitas dan keseimbangan (Ambardini, 2019).
Gangguan Obat Pada Lansia
Iatrogenic (penyakit karena pemakaian obat-obatan). Lansia sering menderita penyakit
lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi sebagian lansia
sering menggunakan obat dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter sehingga
dapat menimbulkan penyakit. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek
dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa(Kizior, n.d.).

B. Askep Individu, Keluarga dan Masyarakat dengan Lansia


1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
ASKEP Lansia adalah proses keperawatan yang khusus untuk lansia

xii
Lansia merupakan kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan karena
seiring bertambahnya usia maka organ organ dalam tubuh lansia ikut menurun
fungsinya. (Mahendro Prasetyo Kusumo, 2020)
b. Tujuan
Adapun tujuan dari pemberian asuhan keperawatan :
1. Agar lansia dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dgn upaya
promosi,preventif, rehabilitatif
2. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan dengan jalan perawatan dan
pencegahan
3. Membantu mempertahankan serta membesarkan semangat hidup lansia
4. Menolong dan merawat lansia yang menderita penyakit tertentu
5. Membantu lansia menghadapi kematian dengan damai dan dalam lingkungan
yang nyaman
6. Meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan proses keperawatan.
(Mahendro Prasetyo Kusumo, 2020)
c. Sasaran Askep Gerontik :
a) Klien di keluarga
b) Klien di panti (sebagai individu a/ kelompok)
c) Kelompok Masyarakat (Posyandu Lansia/karang Wreda). (Mahendro Prasetyo
Kusumo, 2020).
d. Hal-Hal Yang Perlu Dipertimbangkan :
a) Hubungan timbal balik antara aspek fisik dan psikososial
b) Efek dari penyakit dan ketidakmampuan/keterbatasan(disability) pd status
fungsional
c) Menurunnya efesiensi dari mekanisme homeostatis
d) Kurang/belum adanya standar keadaan sehat atau sakit dari klien
e) Perubahan respon terhadap penyakit
f) Kerusakan fungsi kognitif (Mahendro Prasetyo Kusumo, 2020)
Fokus asuhan keperawatan yang dilakukan adalah peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit serta mengoptimalkan fungsi fisik dan mental lansia. Selain
itu asuhan keperawatan dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan yang umum

xiii
terjadi pada lansia sebagai akibat mekanisme adaptasi yang tidak efektif. Masalah
atau gangguan umum yang terjadi pada lansia antara lain:
a. Gangguan Muskuloskletal yaitu rematik, osteoporosis
b. Gangguan Kardiovaskuler yaitu hipertensi, stroke, gagal jantung
c. Gangguan Respirasi yaitu penyempitan saluran nafas kronis, asma, dll
Asuhan keperawatan yang dilakukan ditujukan pada aspek biologis, psikologis, sosialis
dan spiritual dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi
pengkajian, perencanaan(intervensi keperawatan), pelaksanaan(implementasi) dan
evaluasi, dengan melibatkan peran serta aktif keluarga.(Kristianto Dwi Nugroho, 2019)
A. Pengkajian
Untuk mengetahui kemampuan dan kekuatan lansia baik secara fisik, psikologis,
social dan spiritual, maka perlu dilakukan pengkajian terhadap secara menyeluruh
menyangkut aspek tersebut.
1. Fisik / Biologis
Pengkajian fisik / biologis dilakukan dengan cara wawancara, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Riwayat kesehatan lansia dikaji
dengan menanyakan tentang:
a Pandangan lansia tentang kesehatannya
b Kegiatan yang mampu dilakukan lansia
c Kekuatan fisik lansia : kekuatan otot, sendi, penglihatan, pendengaran
d Kebiasaan lansia merawat diri sendiri
e Kebiasaan makan, minum, istirahat / tidur, buang air besar / kecil
f Kebiasaan gerak badan / olahraga
g Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan
h Kebiasaan lansia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan minum obat
i Masalah-masalah seksual yang dirasakan
2. Psikologis
Pemeriksaaan psikologis dilakukan saat berkomunikasi dengan lansia untuk
melihat fungsi kognitif termasuk daya ingat, proses berfikir, dan juga perlu dikaji
alam perasaan, orientasi terhadap realitas dan kemampuan lansia dalam
penyelesaian masalahnya.

xiv
Perubahan yang umum terjadi antara lain : daya ingat yang menurun. Proses fikir
yang lambat dan adanya perasaan sedih serta merasa kurang diperhatikan.
Hal-hal yang perlu dikaji pada lansia meliputi :
a Apakah mengenal masalah-masalah utamanya
b Apakah optimis memandang sesuatu dalam kehidupan
c Bagaimana sikapnya terhadap proses penuaan
d Apakah merasa dirinya dibutuhkan atau tidak
e Bagaimana mengatasi masalah atau stress yang dialami
f Apakah mudah untuk menyesuaikan diri
g Apakah lansia sering mengalami kegagalan
h Apa harapan sekarang dan yang akan dating. Dll
3. Sosial – Ekonomi
Penilaian sosial dilihat dari bagaimana lansia membina keakraban dengan teman
sebaya maupun dengan lingkungannya dan bagaimana keterlibatan lansia dalam
organisasi social.
Status ekonomi juga turut mempengaruhi yaitu dari penghasilan yang mereka
peroleh. Perasaan sejahtera dalam kaitannya dengan social ekonomi, hal inipun
terkait dengan harga dirinya. Lansia yang mempunyai penghasilan tentu merasa
dirinya berharga karena masih mampu menghasilkan sesuatu untuk dirinya sendiri
dan orang lain.
Hal-hal yang perlu dikaji antara lain :
a Apa saja kesibukan lansia
b Dari mana saja sumber keuangannya
c Dengan siapa ia tinggal
d Kegiatan organisasi social apa yang diikuti lansia
e Bagaimana pandangan lansia berhubungan dengan orang lain diluar rumah
f Siapa saja yang biasa mengunjunginya
g Seberapa besar ketergantungannya
h Apakah dapat menyalurkan hobi atau keinginannya dengan fasilitas yg ada
4. Spiritual

xv
Penilaian spiritual terkait dengan keyakinan agama yang dimiliki manusia dan
sejauhmana keyakinan tersebut dapat menjalankan ibadahnya dengan baik,
keyakinan tersebut benar-benar diresapi dalam kehidupan sehari-hari ia akan lebih
mudah menyesuaikan diri terhadap proses penuaan.
Yang perlu dikaji pada lansia :
a Apakah secara teratur melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya
b Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan
keagamaan, misalnya penyantunan anak yatim atau fakir miskin dan lain-lain
c Bagaimana cara lansia menyelesaikan masalah, apakah dengan berdoa jika
menghadapi masalah
d Apakah lansia terlihat sabar dan tawakal
Dari hasil pengkajian atau data-data yang diperoleh dari pertanyaan diatas dapat
dianalisa / disimpulkan, dirumuskan masalah atau diagnosa keperawatan yang
mungkin timbul pada lansia.
Beberapa masalah keperawatan yang umum ditemukan pada lansia antara lain :
1) Fisik / biologi
a) Gangguan Nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pemasukan makanan yang tidak adekuat
b) Gangguan persepsi berhubungan dengan gangguan pendengaran /
penglihatan
c) Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan penurunan minat dalam
merawat diri
d) Resiko cedera fisik : jatuh berhubungan dengan penyesuaian terhadap
penurunan fungsi tubuh tidak adekuat
e) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan pola makan yang tidak
efektif.
f) Gangguan pola tidur berhubungan dengan kecemasan atau nyeri
g) Gangguan pola napas berhubungan dengan penyempitan jalan napas atau
adanya sekret pada jalan napas
h) Gangguan mobilisasi berhubungan dengan kekakuan sendi dan lain-lain

xvi
2) Psikologis - sosial
a) Menarik diri dari lingkungan berhubungan dengan perasaan tidak mampu
b) Isolasi sosial berhubungan dengan perasaan curiga
c) Depresi berhubungan dengan isolasi sosial
d) Harga diri rendah berhubungan dengan perasaan ditolak
e) Koping yang tidak adekuat berhubungan dengan ketidakmampuan
mengungkapkan perasaan secara tepat
f) Cemas berhubungan dengan sumber keuangan terbatas.

3) Spiritual
a) Reaksi berkabung atau berduka berhubungan dengan ditinggal pasangan
b) Penolakan terhadap proses penuaan berhubungan dengan ketidaksiapan
menghadapi kematian
c) Marah terhadap Tuhan berhubungan dengan kegagalan yang dialami
d) Perasaan tidak tenang berhubungan dengan ketidakmampuan melakukan
ibadah secara tepat.
B. Perencanaan
Sesuai dengan permasalahan yang dialami lansia disusun perencanaan dengan tujuan
agar lansia / keluarga dan tenaga kesehatan terutama perawat baik yang melakukan
perawatan di rumah maupun dipanti dapat membantu lansia, sehingga dapat berfungsi
seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan kondisi fisik, psikologis dan sosial
dengan tidak tergantung pada orang lain.
Tujuan tindakan keperawatan pada lansia diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan
dasar antara lain :
1. Pemenuhan kebutuhan nutrisi
2. Meningkatnya keamanan dan keselamatan
3. Memelihara kebersihan diri
4. Memelihara keseimbangan istirahat / tidur
5. Meningkatkan hubungan interpersonal melalui komunikasi yang efektif
Tindakan Keperawatan :
1. Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi

xvii
Peran pemenuhan gizi pada lansia adalah untuk mempertahankan kesehatan dan
kebugaran dan memperlambat timbulnya penyakit degeneratif seperti kerapuhan
tulang (osteoporosis) dan penyakit yang terjadi pada lansia sehingga dapat
menjamin hari tua yang sehat dan tetap aktif. Gangguan nutrisi pada lansia dapat
disebabkan oleh factor fisik, psikologi dan sosial.(Johanna Christy, 2020)
Penurunan alat penciuman dan pengecapan, pengunyahan kurang sempurna
dan rasa kurang nyaman saat makan karena gigi geligi kurang lengkap, rasa penuh
diperut dan sukar buang air besar karena melemahnya otot lambung dan usus akan
menyebabkan nafsu makan lansia kurang.
Perubahan peran karena tugas-tugas perkembangan pada lansia menyebabkan
timbulnya kecemasan dan putus asa, dapat menyebabkan lansia menolak makan
atau makan berlebihan.
Seringkali keluarga / lingkungan sangat melindungi lansia, tidak memberi
kesempatan untuk menentukan keinginan lansia, hal inipun menyebabkan ia
menolak makan atau makan berlebihan
Masalah gizi yang sering timbul pada lansia adalah :
a. Gizi berlebihan
Kebiasaan makan banyak waktu muda sukar dirubah. Apabila pada lansia
penggunaan kalori berkurang karena berkurangnya aktivitas dapat
menyebabkan berat badan berlebihan. Kegemukan merupakan salah satu
pencetus berbagai penyakit, misalnya penyakit jantung, penyempitan
pembuluh darah, kencing manis, tekanan darah tinggi dan sebagainya.
b. Gizi berkurang
Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat
badan berkurang dari normal. Bila pemenuhan protein pun berkurang dapat
menyebabkan banyak kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki misalnya :
rambut cepat rontok, daya tahan terhadap penyakit organ tubuh yang vital.
Gizi kurang dapat disebabkan oleh masalah sosial ekonomi gangguan
penyakit, serta ketidaktahuan keluarga akan makanan bergizidan kebiasaan
makanan yang salah dari usia mudah.
c. Kekurangan vitamin

xviii
Disebabkan karena kekurangan konsumsi buahdan sayuran dalam
makanannya. Apalagi bila hal ini ditambah dengan kekurangan protein dalam
makanan.
d. Kelebihan vitamin
Sering usia lanjut mencoba bermacam-macam vitamin tanpa resep dokter,
yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Dosis yang berlebihan dari vitamin
ini akan terbuang tanpa guna dan mempertinggi biaya.

Kebutuhan gizi pada lansia kurang lebih sama dengan kebutuhan nutrisi pada
orang dewasa normal, hanya yang mungkin diubah adalah jenis yang utama,
bentuk dan pengurangan porsi untuk mengimbangi aktivitasnya.
a Kalori, pada lansia pria adalah 2.100 kalori sedangkan untuk wanita adalah
1.700 kalori, kebutuhan tersebut dapat dimodifikasikan tergantung keadaan
usia lanjut, misalnya gemuk atau kurus atau disertai penyakit lain (kencing
manis, dll).
b Karbohidrat, dianjurkan 60% dari jumlah kalori. Berikan golongan gula yang
mudah diserap karena tidak mengalami pengubahan lebih lanjut pada proses
metabolisme, misalnya madu, nasi, buah-buahan yang manis.
c Lemak, pemakaian yang berlebihan tidak dianjurkan karena menyebabkan
timbulnya hambatan pada pencernaan dan terjadinya penyakit. Berikan 15 % -
20 %dr total kalori yg dibutuhkan.
d Vitamin & mineral, kebutuhannya sama dgn usia muda.pemenuhan kebutuhan
didapatkan dr makanan berupa sayur-sayuran & buah-buahan.
e Air, kebutuhan sekitar 6-8 gls/hr krn menurunnya fx ginjal & mencegah
konstipasi maka pemasukan air yg banyak sgt dianjurkan.
Rencana Makanan Untuk Lansia
a. Berikan makanan porsi kecil tapi sering
b. Banyak minum & kurangi makan
c. Beri makanan yg mengandung serat,agar buang air besar menjadi mudah &
teratur
d. Batasi pemberian mkanan yang mengandung tinggi kalori agar badan dalam
keadaan seimbang seperti: gula,makanan manis,minyak,makanan berlemak.

xix
e. Membatasi minum kopi dan teh, bila perlu diencerkan untuk merangsang
gerakan usus & menambah nafsu makan.
2. Meningkatkan Keamanan & Keselamatan Lansia
Kecelakaaan sering terjadi pada lansia antara lain: jatuh, kecelakaan lalu
lintas dan kebakaran. Hal ini berkaitan dengan proses penuaan dimana
fleksibilitas dari kaki mulai berkurang, ditandai dengan timbulnya masalah
mobilisasi akibat nyeri, pada sendi-sendi. Situasi tersebut menyebabkan Usila
tidak mampu menyanggah tubuhnya dengan baik.
Selain itu penurunan fungsi pengindaraan dan pendengaran menyebabkan
lansia tidak dapat mengamati situasi sekitarnya,sehingga sering terjadi bahaya
kecelakaan lalu lintas dan luka baker.
Selanjutnya, kecelakaan / jatuh dapat puola akibat lingkungan yang tidak
tepat untuk lansia, misalnya pencahayaan yang kurang, lantai yang licin atau tidak
rata, tangga yang tidak diberi tanda pengaman, kursi atau tempat tidur yang
mudah bergerak.
Untuk mencegah resiko kecelakaan diatas, beberapa tindakan yang harus
dilakukan antara lain:
a. klien / lansia
1) Biarkan lansia menggunakan alat bantu untuk meningkatkan keselamatan.
2) Latih lansia untuk pindah dari tempat tidur ke kursi
3) Biasakan menggunakan pengaman tempat tidur jika tidur
4) Jika klien mengalami masalah fisik, misalnya rematik, gangguan
persyarafan, latih klien untuk berjalan dan latih klien menggunakan alat
Bantu berjalan
5) Bantu klien berjalan ke kamar mandi, terutama untuk lansia yang
menggunakan obat penenang atau diuretika
6) Menggunakian kacamata jika berjalan atau melakukan sesuatu
7) Usahakan ada yang menemani jika bepergian.
b. Lingkungan
1) tempatkan klien diruangan khusus dekat ke kantor sehingga mudah di
observasi apabila lansia dirawat diruang perawatan lansia

xx
2) letakkan bel di bawah bantal dan ajarkan cara menggunakannya
3) gunakan tempat tidur yang tidak terlalu tinggi
4) letakkan meja kecil dekat tempat tidur agar lansia mudah menempatkan
alat-alat yang selalu digunakan
5) upayakan lantai bersih, rata, tidak licin dan basah
6) kunci semua peralatan yang menggunakan roda untuk lansia yang
menggunakan
7) pasang pegangan dikamar mandi
8) hindari lampu yang redup dan menyilaukan
9) sebaiknya gunakan lampu 70 atau 100 watt
10) jika pindah dari ruangan terang ke gelap ajarkan klie lansia untuk
memejamkan mata sesaat
11) gunakan sandal atau sepatu yang beralas karet
3. Memelihara Kebersihan Diri
Akibat proses penuaan, sebagian lansia mengalami kemunduran / motivasi
untuk melakukan perawatan diri secara teratur. Kadang kala kurangnya perawatan
diri pada lansia akibat penurunan daya ingat, sehingga tidak dapat melakukan
upaya kebersihan diri secara tepat dan teratur. Hal ini juga berkaitan dengan
kebiasaan lansia pada usia muda. Jika usila tersebut pada saat mudanya orangnya
rapi, tentu ia akan tetap melakukan aktivitas perawatan diri dengan baik,
perawatan diri yang kurang dapat pula akibat dari kelemahan atau
ketidakmampuan fisik lansia.
Akibat dari proses penuaan kelenjar keringat berkurang seringkali kulit
lansia bersisik dan kering.
Upaya yang dilakukan untuk kebersihan diri antara lain:
a. Mengingatkan atau membantu lansia untuk melakukan upaya kebersihan diri
misalnya, cuci rambut, sikat gigi, ganti pakaian, dll.
b. Menganjurkan lansia untuk menggunakan sabun lunak yang mengandung
miyak atau berikan skin lotion
c. Mengingatkan / membantu lansia untuk membersihkan lubang telinga, mata,
dan gunting kuku

xxi
4. Memelihara Keseimbangan Istrahat Dan Tidur
a. Menyediakan tempat atau waktu tidur yang nyaman
b. Mengatur lingkungan yang cukup, pentilasi bebas dari bau-bauan
c. Melatih lansia melakukan latihan fisik ringan untuk melancarkan sirkulasi
darah dan melenturkan otot-otot. Latihan fisik ini dapat dilakukan sesuai
hobby, misalnya berkebun, berjalan santai, dll.
d. Memberikan minuman hangat sebelum tidur misalnya, susu hangat.
5. Meningkatkan Hubungan InterPersonal
Masalah yang umum ditemukan pada lansia yaitu daya ingat yang menurun,
pikun, depresi, lekas marah dan mudah tersinggung, curiga. Hal ini disebabkan
karena hubungan inter personal yang tidak adikuat.
Upaya yang dilakukan antara lain:
a Berkomunikasi dengan manusia dengan kontak mata
b Memberikan stimulus / mengingatkan lansia terhadap kegiatan yang akan
dilakukan
c Menyediakan waktu untuk berbincang-bincang dengan lansia
d Memberikan lansia kesempatan untuk mengekspresikan / terhadap respon
verbal dan non verbal lansia
e Melibatkan lansia untuk keperluan tertentu sesuai dengan kemampuan lansia
f Menghargai pendapat lansia
C. Pelaksanaan
Semua tindakan yang telah direncanakan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan
lansia.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Berbicara dengan lembut dan sopan
2. Memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dilakukan
berulan kali, jika perlu dengan gambar
3. Memberikan kesempatan pada lansia untuk bertanya
D. Penilaian

xxii
Setiap tindakan yang telah dilakukan perlu dievaluasi / dinilai baik verbal maupun
non verbal untuk mengetahui sejauh mana lansia atau keluarga mampu melakukan
apa yang telah dianjurkan.
C. Masalah yang dapat Muncul Pada Keluarga dengan Lansia
1. Pengertian
Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Semakin
bertambahnya usia, tubuh menjadi semakin rentan mengalami gangguan kesehatan
dikarenakan menurunnya fungsi – fungsi organ sehingga lansia harus memiliki
manajemen yang tepat dalam menjaga kesehatannya (Muhammad Qasim, 2021)
2. Perubahan pada lansia
a. Menurunnya fungsi pendengaran seperti suara terdengar tidak jelas, kata kata sulit
di mengerti
b. Menurunnya fungsi penglihatan
c. Kulit lansia menjadi kendur, kering, berkerut, kulit kekurangan cairan sehingga
menjadi tipis dan berbercak
d. Menurunnya kekuatan tubuh dan keseimbangan tubuh. Kepadatan tulang ada lansia
berkurang, sendi lebih rentan mengalami gesekan, struktur otot mengalami penuaan
e. Perubahan fungsi pernafasan dan kardivaskular
f. Kehilangan gigi, indra pengecap dan penciuman menurun, tidak mudah merasa
lapar, mudah diare, sembelit dan kembung
g. Menurunnya fungsi kognitif seperti daya ingat, kemampuan belajar, kemampuan
memahami, kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan dalam mengambil
keputusan.(Mahendro Prasetyo Kusumo, 2020)
3. Masalah kesehatan yang sering muncul pada lansia
a. Hipertensi
Hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah sistolik sesorang lebih dari 140
mmHg atau tekanan darah diastoliknya lebih dari 90 mmHg
1) Tanda dan Gejala
a) Sakit kepala
b) Kelelahan
c) Mual dan muntah

xxiii
d) Sesak nafas
e) Nafas pendek
f) Gelisah
g) Pandangan menjadi kabur
h) Mata berkunang – kunang
i) Mudah marah
j) Telinga berdengung
k) Sulit tidur
l) Rasa berat di tengkuk(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
2) Penatalaksanaan
Menajalankan pola hidup sehat:
a) Penurunan berat badan
b) Mengurangi asupan garam
c) Olahraga
d) Mengurangi konsumsi alkohol
e) Berhenti merokok
f) Terapi farmokologi dengan meminum obat secara teratur sesuai petunjuk
dokter (Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
3) Komplikasi apabila tidak terkontrol dapat menyebabkan
a) Stroke (gangguan pembuluh darah otak) yang dapat menyebabkan
kelumpuhan
b) Gagal ginjal
c) Gagal jantung
d) Gangguan penglihatan.(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
4) Cara Pencegahan
a) Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung banyak garam
b) Berfikir dan bersikap positif
c) Mengelola stres dengan baik
d) Cek kesehatan rutin ke fasilitas kesehatan
e) Minm obat secara teratur sesuai petunjuk dokter
f) Tidak merokok(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)

xxiv
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus atau kencing manis merupakan suatu penyakit yang ditandai
dengan gula darah lebih dari 200 mg/dl akibat kerusakan sel beta pancreas (pabrik
yang memproduksi insulin) dan pancreas tidak bisa memproduksi insulin sendiri.
1) Tanda dan Gejala
a) Sering/ banyak buang air kecil
b) Cepat lapar/ sering makan
c) Mudah haus/ banyak minum
d) Cepat merasa lelah
e) Berat badan turun secara cepat
f) Kesemutan
g) Terdapat luka yang susah sembuh
h) Pandangan kabur(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
2) Penatalaksanaan
Penatalaksaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat bersamaan
dengan minum obat secara teratur. Perilaku hidup sehat bagi peyandang
Diabetes Mellitus adalah memenuhi anjuran:
a) Mengikuti pola
a) Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
b) Menggunakan obat DM dan obat lainnya pada keadaan khusus secara aman
dan teratur
c) Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan
d) Melakukan perawatan kaki secara berkala
e) Memiliki keinginan untuk berkumpul dengan kelompok dengan kelompok
penyandang diabetes
f) Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.(Sudarto
Ronoatmodjo. dkk, 2018)
3) Komplikasi dm antara lain :
a) Kelainan mata : gangguan penglihatan dan mudah terjadi katarak

xxv
b) Kelainan kulit : gatal, bisul, luka yang sukar mengalami sembuh hingga
kerusakan jaringan (dapat mengakibatkan amputasi)
c) Kelainan syaraf : kesemutan, rasa baal
d) Kelainan ginjal : bengkak seluruh tubuh
e) Kelainan jantung : nyeri dada, susah nafas, bengkak seluruh tubuh
f) Kelainan pada gigi : gigi goyang(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
4) Cara Pencegahan
a) Memperbanyak mengonsumsi sayuran dan buah – buahan
b) Membatasi konsumsi makanan manis, asin dan berlemak
c) Membiasakan untuk sarapan
d) Melakukan aktifitas fisik yang cukup dan mempertahankan berat badan
normal
e) Istirahat dengan cukup(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
c. Penyakit Sendi (Artritis)
Artritis Merupakan penyakit auto imun yang mengakibatkan kerusakan sendi dan
Kecacatan serta memerlukan pengobatan dan kontrol jangka panjang
1) Tanda dan Gejala
a) Terasa kaku atau nyeri pada persendian
b) Dapat disertai bengkak Kemerahan pada persendian
c) Penurunan atau keterbatasan pergerakan sendi(Sudarto Ronoatmodjo. dkk,
2018)
2) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mencakup terapi Farmakologi, Rehabilitas dan pembedahan
bila diperlukan, serta dapat memberikan Edukasi kepada pasien dan keluarga.
(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)

3) Cara Pencegahan
a) Mengurangi berat badan
b) Mengurangi makanan berlemak termasuk gorengan
c) Menghindari konsumsi Jeroan
d) Mengurangi kacang Kacangan, makanan kaleng, makanan dan minuman
yang difermentasi (tappe, tua, dan lain lain), hasil laut kecuali ikan.

xxvi
e) Melakukan latihan fisik secara teratur(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
d. Stroke
Stroke adalah penyakit yang terjadi akibat suplai oksigen dan nutrisi ke otak
terganggu karena pembuluh darah terSumbat atau pecah.
1) Tanda dan Gejala
a) Sakit kepala
b) Anggota tubuh satu sisi melemah atau tidak dapat digerakkan secara tiba
tiba
c) Bibir tampak tidak simetris
d) Gangguan berbicara (pelo)
e) Keseimbangan dan kesadaran terganggu
f) Bisa terjadi penurunan kesadaran
g) Rabun atau gangguan penglihatan tiba tiba
h) Gangguan atau kesulitan menelan(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
2) Penatalaksanaan
a) Hindari faktor resiko dengan melakukan aktivitas fisik, konsumsi sayur dan
buah, dan memeriksa kesehatan berkala
b) Pemeriksaan rutin bagi Anda yang memiliki keluarga dengan riwayat stroke
c) Menurunkan tekanan darah
d) Pemberian obat obatan(Sudarto, 2018)
3) Cara Pencegahan
a) Primer: perilaku hidup sehat, mencegah kejadian struk Awal, melalui
identifikasi faktor resiko dan mengobati faktor faktor resiko tersebut.
b) Sekunder: mencegah kekambuhan stroke pada pasien yang pernah
mengalami stroke.(Sudarto, 2018)
e. Penyakit Paru-Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Penyakit paru-paru obstruktif kronis adalah penyakit paru kronik (menahun) yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di seluruh nafas, semakin lama semakin
memburuk dan tidak sepenuhnya dapat kembali normal.
1) Tanda dan Gejala
a) Sesak nafas

xxvii
b) Batuk berdahak menahun
c) Nafas berbunyi (mengi)
d) Cepat lelah(Sudarto, 2018)
2) Penatalaksanaan
a) Pemberian obat obatan
b) Pengobatan Penunjang
1) Rehabilitas
a) Edukasi
b) Berhenti merokok
c) Latihan fisik dan respirasi
d) Nutrisi
2) Terapi oksigen, ventilasi mekanik, operasi baru, vaksinasi
influenza(Sudarto, 2018)
3) Cara Pencegahan
a) Hindari merokok
b) hindari pencetus alergi: debu, asap, dll(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
f. Depresi
Merupakan perasaan tekanan dan sedih yang terus menetap selama kurun waktu
lebih dari dua minggu
1) Tanda dan Gejala
a) Merasa sedih
b) Menyendiri
c) Tidak ada minat
d) Merasa pesimis(Sudarto Ronoatmodjo. dkk, 2018)
2) Cara Pencegahan
a) Melakukan kegiatan sosial seperti beribadah bersama, arisan, rekreasi
b) Melakukan aktivitas fisik secara rutin
c) Memiliki pikiran yang positif (selalu bersyukur dan Prasangka baik)
d) Menerima keadaan atau merasa ikhlas dengan apa yang telah terjadi(Sudarto
Ronoatmodjo. dkk, 2018)
D. Askep lansia Menjelang Ajal

xxviii
1. Pengertian Hospice dan Perawatan Paliatif
Hospice adalah perawatan terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap
penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderita dan
rasa tidak nyaman dari pasien, berdasarkan aspek bio-psiko-sosial-spritual. Perawatan
akhir hayat/perawatan terminal adalah suatu proses perawatan medis lanjutan yang
terencana melalui diskusi yang terstuktur dan didokumentasikan dengan baik, dan proses
ini terjalin sejak awal dalam proses perawatan yang umum/biasa. Dikatakan sebagai
perawatan medis lanjutan karena penderita biasanya sudah masuk ke tahap yang tidak
dapat disembuhkan (incurable). Melalui proses perawatan ini diharapkan penderita
dapat meng-identifikasi dan meng-klarifikasi nilainilai dan tujuan hidupnya serta upaya
kesehatan dan pengobatan yang diinginkannya seandainya kelak ia tidak lagi mampu
untuk memutuskan sesuatu bagi dirinya sendiri. Atau, penderita dapat pula menunjuk
seseorang yang akan membuat keputusan baginya sekiranya hal itu terjadi. (Siti Nur
Kholifah, 2016)
Dalam perawatan ini, keluarga ikut dilibatkan sehingga dengan demikian
diharapkan semua kebingungan dan konflik dikemudian hari dapat dihindari. Proses ini
perlu senantiasa dinilai kembali dan di-up date secara reguler karena dalam
perjalanannya tujuan perawatan dan prioritasnya sering kali berubah-ubah tergantung
pada situasi/kondisi yang dihadapi saat itu. Bila pada awalnya tujuan kuratif dan
menghindari kematian merupakan prioritas utama, pada stadium terminal tujuan
perawatan beralih ke usaha mempertahankan fungsi, meniadakan penderitaan dan
mengoptimalkan kualitas hidup penderita. Dengan demikian diharapkan penderita dapat
menghadapi akhir hayatnya secara damai, tenang dan bermartabat (with dignity).
Peralihan ini seharusnya terjadi secara gradual/tidak secara mendadak. Sering kali tujuan
perawatan dan prioritas di pihak penderita dan keluarganya tidak sejalan dengan tujuan.
(Siti Nur Kholifah, 2016)
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan
melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu
(Carpenito, 1995). Perawatan terminal dapat dimulai pada minggu-minggu, hari-hari dan
jaminan terakhir kehidupan dimana bertujuan: Mempertahankan hidup, Menurunkan
stress, Meringankan dan mempertahankan kenyamanan selama mungkin (Weisman).

xxix
Secara umum kematian adalah sebagian proses dari kehidupan yang dialami oleh siapa
saja meskipun demikian, hal tersebut tetap saja menimbulkan perasaan nyeri dan takut,
tidak hanya pasien akan juga keluarganya bahkan pada mereka yang merawat.
Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit
(lanjut usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lanjut
usia yang menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah didiagnosisoleh
dokter bahwa lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk
sembuh (mis., menderita kanker). Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan
menghadapi keadaan yang disebut “stadium paliatif”, yaitu kondisi ketika pengobatan
sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan. Biasanya dokter memvonis pasien lanjut
usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal, kanker, stroke, AIDS) juga
mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, spritual, kultural.
Dalam memberi perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada pola dasar
yang digariskan oleh WHO, yaitu :Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap
kematian sebagai proses yang normal.

1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang


normal.

2. Tidak mempercepat dan menunda kematian lanjut usia.

3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.

4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.

5. Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap aktif sampai akhir hayatnya.

6. Berusaha membantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien usia lanjut.

Tim Perawatan Paliatif

Tim perawatan paliatif terdiri atas tim terintegrasi, antara lain dokter, perawat,
psikolog, ahli fisioterapi, pekerja sosial medis, ahli gizi, rohaniawan, dan relawan. Perlu
diingat bahwa tujuan perawatan paliatif adalah mengurangi penderitaan lanjut usia.
Penderitaan terjadibila ada salah satu aspek yang tidak selaras, baik aspek fisik maupun
psikis, peran dalam keluarga, masa depan yang tidak jelas, gangguan kemampuan untuk

xxx
menolong diri, dan sebagainya.untuk memahami dan mengatasi hal tersebut, peran tim
interdisiplin menjadi sangat penting/dominant. Keberhasilan perawatan paliatif
bergantung pada kerja samayang efektif dan pendekatan interdisiplin antara dokter,
perawat, pekerja sosial medis, rohaniawan/pemuka agama, relawan, dan anggota
pelayanan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Setiap anggota tim harus memahami dan
menguasai prinsip perawatan paliatif yang selama ini belum dapat dipelajari dengan
seksama.

Kekhususan tim paliatif antara lain:

a. Profesi setiap anggota tim telah dikenal cakupan dan lingkup kerjanya.

b. Para profesional ini bergabung dalam satu kelompok kerja.

c. Secara bersama, mereka menyusun dan merancang tujuan akhir perawatan,


melakukan langkah tujuan pendek.
d. Bila perlu, kepemimpinan dapat terbagi di antara anggota tim, bergantung pada
kondisi yang paling diperlukan oleh pasien lanjut usia.
e. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien.

f. Proses interaksi adalah kunci keberhasilan.(Siti Nur Kholifah, 2016)

Bagan kepemimpinan pada perawatan paliatif tidak berbentuk kerucut, melainkan


lebih berbentuk lingkaran dengan pasien sebagai titik sentral. Kunci keberhasilan juga
interdisiplin bergantung pada tanggung jawab seiap anggota tim, sesuai dengan
kemahiran dan spesialisasinya, sehingga setiap kali pimpinan berganti, tugas profesi
masing-masing tidak akan terganggu. Keberhasilan keperawatan paliatif pada pasien
lanjut usia yang satu akan menjadi pengalaman dan akan meningkatkan kekuatan tim
untuk upaya penanggulangan gejala yang samapada pasien yang lain. (Siti Nur Kholifah,
2016)

2. Jenis-Jenis Penyakit Terminal


Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah:

a. Penyakit-penyakit kanker.

b. Penyakit-penyakit infeksi.
xxxi
c. Congestif Renal Falure (CRF)

d. Stroke Multiple Sklerosis.

e. Akibat kecelakaan fatal.

f. AIDS.(Siti Nur Kholifah, 2016)

3. Manifestasi Klinik
a. Fisik

1) Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari ujung


kaki dan ujung jari.
2) Aktivitas dari GI berkurang.

3) Reflek mulai menghilang.

4) Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama pada kaki
dan tangan dan ujung-ujung ekstremitas.
5) Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.

6) Denyut nadi tidak teratur dan lemah.

7) Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.

8) Penglihatan mulai kabur.

9) Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.

10) Klien dapat tidak sadarkan diri.(Siti Nur Kholifah, 2016)

b. Psikososial

xxxii
Sesuai dengan fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E. Kuber Ross
mempelajari responrespon atas menerima kematian dan maut secara mendalam dari
hasil penyelidikan/penelitiannya yaitu:
1) Respon kehilangan
a) Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah (air muka), ketakutan, cara
tertentu untuk mengulurkan tangan.
b) Cemas diungkapkan dengan cara menggerakkan otot rahang dan kemudian
mengendor.

c) Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka atau menanggis.


(Siti Nur Kholifah, 2016)

2) Hubungan dengan orang lain


a) Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidak mampuan untuk

b) berhubungan secara interpersonal serta akibat penolakan.(Siti Nur


Kholifah, 2016)

4. Grieving (Berduka)
Berduka merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan , biasanya akibat
perpisahan . Dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan dan pemikiran . Berduka juga
merupakan proses mengalami reaksi psikologis, fisik, dan sosial terhadap kehilangan
yang dipersepsikan. Respon yang ada dalam berduka yaitu keputusasaan, kesepian,
ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah dan marah . Berduka juga mencakup pikiran,
perasaan dan perilaku.(Siti Nur Kholifah, 2016)
Breavement adalah respon subjektif dalam masa berduka yang dilalui selama reaksi
berduka. Biasanya berefek pada masalah psikis dan kesehatan . Sedangkan berkabung
adalah periode penirimaan terhadap kehilangan dan berduka yang terjadi selama
individu dalam masa kehilangan. Sering dipengaruhi oleh kebudayaan dan kebiasaan.
(Siti Nur Kholifah, 2016)

xxxiii
5. Dying (Sekarat/Menjelang Ajal)
Sekarat adalah bagian dari kehidupan yang merupakan proses menuju kematian.
Dengan makin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut, meningkat pula jumlah
penderita penyakit kronis, yang pada suatu saat mengalami keadaan dimana tidak ada
sesuatu yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kemampuan melakukan aktivitas
sehari – hari

Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ jelas
tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, keadaan yang jelas tidak member
harapan . Akan tetapi apabila penderita masih dalam kesadaran penh , dan masih mampu
bermobilisasi , dengan berbagai fungsi organ yang masih berfungsi, mka persoalan etika
hokum menjadi lebih rumit.

6. Death (Kematian)
Kematian adalah kondisi berhentinya fungsi organ tubuh secara menetap atau
terhentinya kerja otak secara menetap. Meninggal dunia adalah keadaan insane yang
diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut
jantung seseorang telah terhenti . Kematian adalah satu fase kehidupan yang terakhir bagi
manusia. Persepsi seseorang tentang kematian berbeda-beda. Dalam merawat lansia yang
tidak ada harapan untuk sembuh, seorang perawat profesional harus mempunyai
ketrampilan yang multikompleks. Sesuai dengan peran yang dimiliki, perawat harus
mampu memberi pelayanan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, sosial
dan spiritual. Perawat juga dituntut untuk membantu anggota keluarganya dalam
memenuhi kebutuhan klien lanjut usia dan harus menyelami perasaan hidup dan mati.

Pemberian askep pada lansia yang sedang menghadapi sekratul maut tidak
selamanya mudah. Klien lansia akan memberi reaksi yang berbeda-beda, bergantung pada
kepribadian dan cara klien lansia menghadapi hidup. Bagaimanapun keadaannya, perawat
harus dapat menguasai situasi, terutama anggota keluarga dalam keadaan kritis ini
memerlukan perhatian perawat karna kematian seorang dapat terjadi secara tiba-tiba dan
dapat pula berlangsung sehari-hari. Kadangkadang sebelum ajal tiba, klien lansia
kehilangan kesadarannya terlebih dahulu.

xxxiv
7. Fase-Fase Kehilangan
Masuknya klien ke dalam ancaman peran sakit pada rentang hidup-mati mengamcam
dan mengubah hemostatis. Lebih dari rasa takut yang nyata tentang kematian dan
pengaruh terhadap anggota keluarga yang dirawat dirasakan oleh keluarga. Banyak faktor
yang mempengaruhi klien dalam perawatan penyakit terminal, apabila seseorang sudah
divonis/prognosa jelek, ia tiak akan bisa menerima begitu saja tentang apa yang ia hadapi
sekarang.

Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien dalam
menghadapi bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat bermanfaat untuk
memahami kondisi klien pada saat ini, yaitu:
a. Tahap peningkatan atau denial

Adalah ketidakmampuan menerima, kehilangan untuk membatasi atau mengontrol


nyeri dan dystress dalam menghadapinya. Gambaran pada tahap denial yaitu:

1) Tidak percaya diri

2) Shock

3) Mengingkari kenyataan akan kehilangan

4) Selalu membantah dengan perkataan baik

5) Diam terpaku

6) Binggung, gelisah

7) Lemah, letih, pernafasan, nadi cepat dan berdebar-debar

8) Nyeri tubuh, mual

b. Tahap anger atau marah

Adalah kekesalan terhadap kehilangan. Gambaran pada tahap anger yaitu: a) Klien
marah-marah

1) Nada bicara kasar

2) Suara tinggi

xxxv
c. Tahap tawar menawar atau bergaining

Adalah cara coping dengan hasil-hasil yang mungkin dari penyakit dan menciptakan
kembali tingkat kontrol. Gambaran pada tahap ini yaitu:
1) Sering mengungkapkan kata-kata kalau, andai.

2) Seirng berjanji pada Tuhan.

3) Mempunyai kesan mengulur-ulur waktu.

4) Merasa bersalah terus menerus.

5) Kemarahan mereda

d. Tahap depresi

Adalah ketiada usaha apapun untuk mengungkapkan perasaan atau reaksi kehilangan.
Gambaran pada tahap ini yaitu:
1) Klien tidak banyak bicara.

2) Sering menanggis.

3) Putus asa

e. Tahap acceptance atau menerima

Adalah akhir klien dapat menerima kenyataan dengan kesiapan. Gambaran pada
tahap ini yaitu:
1) Tenang/damai.
2) Mulai ada perhatian terhadap suatu objek yang baru.
3) Berpartisipasi aktif.
4) Tidak mau banyak bicara.
5) Siap menerima maut.
Konsep Asuhan Keperawatan Lansia Menjelang Ajal

1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan holistik
yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan hanya pada penyakit
dan aspek pengobatan dan penyembuhan saja akan tetapi juga aspek psikososial

xxxvi
lainnya. Salah satu metode untuk membantu perawat dalam mengkaji data
psikososial pada klien terminal yaitu dengan menggunakan metode “PERSON”.
P: Personal Strenght
Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup kegiatannya atau
pekerjaan.
Contoh yang positif: Bekerja ditempat yang menyenangkan bertanggung jawab
penuh dan nyaman: Bekerja dengan siapa saja dalam kegiatan sehari-hari.
Contoh yang negatif: Kecewa dalam pengalaman hidup.
E: Emotional Reaction
Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
Contoh yang positif: Binggung tetapi mampu memfokuskan keadaan.
Contoh yang negatif: Tidak berespon (menarik diri)
R: Respon to Stress
Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau dimasa lalu.
Contoh yang positif:
a Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
b Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya: latihan dan olah raga.
Contoh yang negatif:
a Menyangkal masalah.
b Pemakaian alkohol.
c Pengkajian yang perlu diperhatikan klien dengan penyakit terminal menggunakan
pendekatan meliputi.
1) Faktor predisposisi Yaitu faktor yang mempengaruhi respon psikologis klien
pada penyakit terminal, sistem pendekatan bagi klien. Klas Kerud telah
mengklasifikasikan pengkajian yang dilakukan yaitu:
a) Fokus Sosiokultural
Klien mengekpresikannya sesuai dengan tahap perkembangan, pola
kultur atau latar belakang budaya terhadap kesehatan, penyakit,
penderitaan dan kematian yang dikomunikasikan baik secara verbal
maupun non verbal.
b) Faktor presipitasi

xxxvii
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya reaksi klien terminal,
yaitu:
(1) Prognosa akhir penyakit yang menyebabkan kematian.
(2) Faktor transisi dari arti kehidupan menuju kematian.
(3) Support dari keluarga dan orang terdekat.
(4) Hilangnya harga diri, karena kebutuhan tidak terpenuhi sehingga
klien menarik diri, cepat tersinggung dan tidak ada semangat hidup.
c) Faktor perilaku
(1) Respon terhadap klien
Bila klien terdiagnosa penyakit terminal maka klien akan
mengalami krisis dan keadaan ini mengakibatkan keadaan mental
klien tersinggung sehingga secara langsung dapat menganggu
fungsi fisik/penurunan daya tahan tubuh.
(2) Respon terhadap diagnosa
Biasanya terjadi pada klien yang terdiagnosa penyakit terminal
adalah shock atau tidak percaya perubahan konsep diri klien
terancam, ekspresi klien dapat berupa emosi kesedihan dan
kemarahan.
(3) Isolasi social
Pada klien terminal merupakan pengalaman yang sering dialami,
klien kehilangan kontak dengan orang lain dan tidak tahu dengan
pasti bagaimana pendapat orang terhadap dirinya.
2. Diagnosis Keperawatan
1) Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial
berhubungan dengan kondisi sakit terminal.
2) Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3) Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
4) Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai
dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak
(fisik), raut muka klien yang cemas

xxxviii
5) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan
kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya,
menyalahkan Tuhan atas penyakit (Doengoes, 2016).
3. Intervensi
Rencana Keperawatan
1) Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial
berhubungan dengan kondisi sakit terminal
Tujuan : Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan
sakit terminal
a) Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan respon jika
dIbutuhkan klien dan gali perasaan klien.
b) Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
c) Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang akan
menjelang.
d) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di dekatnya.
e) Perhatikan kenyamanan fisik klien
2) Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
Tujuan : Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan
martabat klien
a) Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
b) Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
c) Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene, eliminasi.
d) Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan melakukan
hal – hal yang disenangi klien.
e) Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk dirinya,
misalnya dalam hal perawatan
3) Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
Tujuan : Mengurangi rasa takut, depresi dan kesepian
a) Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih, marah dan lain lain.
b) Perhatikan empati sebagai wujud bahwa perawat turut merasakan apa yang
dirasakan klien.

xxxix
c) Bantu klien untuk mengidentifikasi sumber koping, misalnya dari teman
dekat, keluarga ataupun keyakinan klien.
d) Berikan klien waktu dan kesempatan untuk mencerminkan arti penderitaan,
kematian dan sekarat.
e) Gunakan sentuhan ketika klien menunjukkan tingkah laku sedih, takut
ataupun depresi, yakinkan bahwa perawat selalu siap membantu.
f) Lakukan hubungan interpersonal yang baik dan berkomunikasi tentag
pengalaman – pengalaman klien yang menyenangkan.
4) Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai
dengan klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak
(fisik), raut muka klien yang cemas
Tujuan: Klien tidak cemas lagi dank lien memiliki suatu harapan serta semangat
hidup.

a) Kaji tingkat kecemasan klien.

b) Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.

c) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan
hidup dengan tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan
pengobatan.
d) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.

e) Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama
dengan klien.

f) Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan


mendengarkan musik kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal
dengan menarik nafas dalam.
g) Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.

h) Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.

5) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan


kematian, ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya,

xl
menyalahkan Tuhan atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial
dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan : Koping individu positif
a) Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.

b) Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu
kematian dan itu telah ditentukan oleh Tuhan.
c) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.

d) Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan


mendengarkan segala keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
e) Hindari barang – barang yang mungkin dapat membahayakan klien.

f) Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.

g) Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum


menjelang ajal.

h) Bantu klien dalam mengeksperikan perasaanya.

E. Teori Biologis, Psikososial dan Sosial Kultural


Teori Biologis
1. Pengertian Menua
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimullai dari
suatu waktu tertentu,tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah, yan berarti sesorang telah melalui tiga tahap
kehidupaannya yaitu, anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara
biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua bearti mengalami kemunduran,
misalnya kemunduran fisik yang ditandai kulit yang mengendur, rambut yang
memutih, gigi mulai omponggerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak
proporsional.(Wahyudi Nugroho H, 2017)
WHO dan undang-undnag nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia
pad abab 1 pasal 1 dan ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah permulaan
tua. Menua bukanlah suatu penyaki, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur

xli
mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam mengahapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan
kematian.
Proses menua merupakan proses yang terus menerus berkelanjtan secara alamiah
dan umumnya dialami oleh semua mahluk hidup. Misalnya, dengan terjadinya
kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf dan jaringan lainnya hingga tubuh
“mati” sedikit demi sedikit. Adapula orang yang tergolong lanjut usia ,
penampilannya masih sehat, segar bugardan badan tegap.
2. Teori proses menua
Proses menua bersifat individual:
a. Tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda.
b. Setiap lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda.
c. Tidak ada satu faktorpun ditemukan dapat mencegah proses menua.
3. Teori Biologis
a. Teori Genetik
Merupakan teori terinsik yang menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat
jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori ini
menyatakan bahwa semua menua itu telah terprogram secara genetic untuk
sepies tertentu. Setiap spesies di dalam inti selnya memiliki suatu jam usia yang
berbeda-beda yang telah diputar menurut replikasi tertentu sehingga bila jenis ini
berhenti berputar, ia akan mati.
Manusia mempunyai umur harapan hidup nomor dua terpanjnag setelah
bulus. Scara teoritis , memperpanjang kan umur mungkin terjadi, meskipun
hanya beberapa waktu dengan pengaruh. Dari luar misalnya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit dengan pemberian obat-obatan atau tindakan
tertentu.
Teori mutasi somtik. Menurut teori ini penuaan terjadi karena adanya mutasi
somatic akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses
transkripsi DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protein/enzim.
Kesalahan ini terjadi terus menerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan
fungsi organ atau perubahan sel menjadi kanker atau penyakit. Setiap sel pada

xlii
saatnya akan mengalami mutasi, sehingga contoh yang khas adalah mutasi sel
kelamin sebagai contoh yang khas adalah mutasi sel kelamin sehingga terjadi
penurunan kemampuan fungsional sel.
b. Teori Non-Genetik
1) Teori penurunan system imun tubuh ( auto-immune theory). Mutasi yang
berulang dpaat menyebabkan berkurangnya kemampuan system imun tubuh
mengenali dirinya sendiri (self Recognition). Jika mutasi yang merusak
membrane sel, akan menyebabkan system imun tidka mengenalinya
sehingga merusaknya. Hal ini yang mendasari peningaktan penyakit auoto-
immune pada lanjut usia. Dalam proses metabolism dalam tubuh ,
diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidka tahan
terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
Sebagai contoh, tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi
dan sejak itu terjadi kelainan autoimmune
2) Teori kerusakan akibat redikal bebas (free radical theory)
Teori ini dapat terbentuk di alam bebas dan didalam tubuh karena adanya
proses metabolism atau proses pernafasan di dalam mitokondria. Radikal
bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak stabil karena
mempunyai electron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif
meningkat atom atau molekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan
atau perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok
atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organikmisalnya karbohidrat
dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan (kelompok atom )
mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan
protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat bergenerasi .
radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting terjadinya kerusakan
fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti
a) Asap kendaraan bermotor
b) Asap rokok
c) Zat pengawet makanan
d) Radiasi

xliii
e) Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen
dan kolagen pada proses menua.
3) Teori menua akibat metabolism
Telah dilakukan bukti dalam berbagai percobaan hewan, bahwa
pengguranan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan
memperpanjnag umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang
menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur.
4) Teori rantai silang (Cross link theory)
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein,
karbohidratm, dan asam nuleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia
dan rasiasi mengubah fungsi jarinagn yang menyebabkan perubahan pada
membrane plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku,
kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua
5) Teori fisiologis
Teori ini merupakan teori intrisik dan ekstrinsik. Terdiri ata teori oksidari
stress, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory)
Disini terjadi kelebihan usaha dan stress mebyebabkan sel tubuh lelah
terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lngkunagn internal).
4. Teori Sosiologi
a. Teori interaksi social
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi,
yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan lanjut usia terus
menjalani interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosial
berdasarkan kemampuan bersosialisasi. Social exchange theory antara lain:
1) Masyarakat terdiri atas faktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya
masing-masing.
2) dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan
waktu.

xliv
3) Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor mengeluarkan
biaya.
b. Teori aktivitas atau kegiatan
Ketentuan tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan secara langsung titik
teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan
banyak ikut ikut dalam kegiatan sosial.
1) Ketentuan tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan secara langsung
titik teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang
aktif dan banyak ikut ikut dalam kegiatan sosial.
2) Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan
mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.
3) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut usia.
4) mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil
dari usia pertengahan sampai lanjut usia
c. Teori kepribadian berlanjut (continuity teory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia Titiek teori
ini merupakan gabungan teori yang disebut sebelumnya. Teori ini menyatakan
bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh
tipe personalitas yang memilikinya titik teori ini mengemukakan adanya
kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia titik Dengan demikian,
pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran kelat pada saat
itu ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan
harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.
d. Teori membahas penarikan diri
Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan
kemunduran individu dengan individu lainnya. Teori ini menyatakan bahwa
dengan bertambah lanjutnya usia, apalagi ditambah, lanjut usia secara berangsur-
angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari
pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering lanjut usia
mengalami kehilangan ganda (Tripple loss)

xlv
1) Kehilangan peran (loss of role)
2) hambatan kontak sosial (restriction of contact and relationship)
3) Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores and values
Menurut teori ini lho mas seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses
menua yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat
memusatkan diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri menghadapi
kematiannya.
Dari penyebab terjadinya proses menua tersebut ada beberapa peluang yang
memungkinkan dapat diintervensi agar proses muna dapat diperlambat.
Kemungkinan yang terbesar adalah mencegah:
1) meningkatnya radikal bebas
2) memanipulasi sistem imun tubuh.
3) Melalui metabolisme atau makanan, memang berbagai "misteri kehidupannya
masih banyak yang belum bisa terungkap, proses menua merupakan salah satu
misteri yang paling sulit dipecahkan "
Selain itu, peranan faktor risiko yang datang dari luar (eksogen) tidak boleh
dilupakan yaitu faktor lingkungan dan budaya gaya hidup yang salah titik banyak
faktor yang mempengaruhi proses menua (menjadi tua), antara lain herediter atau
genetik, nutrisi atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan,
dan stres. Jadi, proses menua atau menjadi lanjut usia bukanlah suatu penyakit,
karena orang meninggal bukan karena tua, orang muda pun bisa meninggal dan
bayi pun bisa meninggal titik banyak mitos mengenai lanjut usia yang sering
merugikan atau bernada negatif, tetapi sangat berbeda dengan kenyataan yang
dialaminya.
5. Mitos Lanjut Usia dan Kenyatan
Ada pandangan bahwa lanjut usia pada umumnya:
a. Mitos Konservatif
1) Konservatif
2) Tidak Inovatif
3) Menolak inovasi
4) Berorientasi ke masa

xlvi
5) Merindukan masa lalu
6) Kembali ke masa anak-anak
7) Susah menerima ide baru
8) Susah berubah
9) Keras kepala
10) Cerewet
Fakta tidak semua lanjut usia bersifat, berpikir dan berperilaku demikian.
b. Mitos berpenyakit dan kemunduran
Lanjut usia seringkali dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang
disertai dengan berbagai penderitaan akibat bermacam penyakit yang menyertai
proses menua (lanjut usia merupakan masa berpenyakit dan kemunduran).
Fakta: memang proses menua disertai dengan menurunnya daya tahan
tubuh dan metabolisme sehingga rawan terhadap penyakit. Akan tetapi saat ini
telah banyak penyakit yang dapat dikontrol dan diobati.
c. Mitos Senilitas
Lanjut usia dipandang sebagai masa pikun yang disebabkan oleh adanya
kerusakan sel otak.
Fakta:
1) banyak lanjut usia yang masih tetap sehat dan segar bugar.
2) Daya pikirnya masih jernih dan cenderung cemerlang.
3) banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan daya ingat.
d. Mitos ketidak produtktifan
Lanjut usia dipandang sebagai masa usia yang tidak produktif, bahkan menjadi
beban keluarganya.
Fakta: tidak demikian. Banyak individu yang masih mencapai ketenaran,
kematangan, kemantapan, serta produktivitas mental dan material di masa lanjut
usia.
e. Mitos aseksualitas
Ada pandangan bahwa pada lanjut usia, minat, dorongan, gairah, kebutuhan, dan
daya seks dalam berhubungan seksual menurun.
Fakta:

xlvii
1) kehidupan seks pada lanjut usia berlangsung normal.
2) Frekuensi hubungan seksual menurun sejalan meningkatnya usia, tetapi masih
tetap tinggi.
f. Mitos tidak jatuh cinta
Lanjut usia sudah tidak lagi jatuh cinta, tidak tertarik atau bergairah kepada lawan
jenis.
Fakta:
1) Perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa.
2) Perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi lanjut usia.
g. Mitos kedamaian dan ketenangan
Menurut mitos ini, banyak orang berpendapat bahwa lanjut usia dapat
santai menikmati hasil kerja dan jerih payahnya di masa muda dan dewasa nya.
Badai dan berbagai goncangan kehidupan seakan-akan telah berhasil dilewatinya.
Fakta: sering ditemukan stres karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta
penderita karena penyakit, kecemasan, kekhawatiran, depresi, paranoid, dan
psikotik.
Jadi ada keragaman yang besar dalam proses menua. Ada yang
berpendapat bahwa lanjut usia merupakan karakteristik masa mudanya. Oleh
karena itu, secara tipologi, lanjut usia dikelompokkan dalam berbagai tipe dalam
menghadapi atau menerima proses menua
6. Tipe lanjut usia Indonesia
Di zaman sekarang banyak ditemukan bermacam-macam tipe lanjut usia yang
menonjol antara lain:
a) Tipe Arif bijaksana:
lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan panutan,
b) Tipe mandiri:
lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan baru,
selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta memenuhi
undangan.

xlviii
c) Tipe tidak puas:
lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses penuaan,
yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani,
kehilangan kekuasaan, kehilangan status, teman yang disayangi, pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani, dan pengkritik.
d) Tipe pasrah:
lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep
habis (habis gelap datang terang), mengikuti kegiatan beribadat, ringan kaki,
pekerjaan apa saja yang dilakukan.
e) Tipe bingung:
lanjut usia yang kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa
minder, menyesal, passive, acuh tak acuh.
Lanjut usia dapat pula dikelompokkan dalam beberapa tipe yang bergantung pada
karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik mental sosial dan ekonomi nya.
Tipe ini antara lain:

a) Tipe optimis:
lanjut usia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, mereka memandang masa
lanjut usia dalam bentuk bebas dari tanggung jawab dan sebagai kesempatan
untuk menuruti kebutuhan pasifnya. Tipe ini sering disebut juga sebagai lanjut
usia tipe kursi goyang
b) Tipe konstruktif: lanjut usia ini mempunyai integritas baik dapat menikmati
hidup, mempunyai toleransi yang tinggi, humoristik fleksibel dan tahu diri titik
biasanya, sifat ini terlihat sejak muda titik mereka dengan tenang menghadapi
proses menua dan menghadapi akhir.
c) Tipe ketergantungan titik 2 lanjut usia ini masih dapat diterima di tengah
masyarakat, tetapi selalu pasif, tidak berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai
inisiatif dan bila bertindak yang tidak praktis. Iya senang pensiun, tidak suka
bekerja, dan senang berlibur, banyak makan, dan banyak minum.
d) Tipe defensi: lanjut usia biasanya sebelumnya mempunyai riwayat pekerjaan atau
jabatan yang tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, emosi sering tidak

xlix
terkontrol, memegang teguh kebiasaan, bersifat kompulsif aktif, anehnya mereka
takut menghadapi menjadi tua dan menyayangi masa pensiun.
e) Tipe militan dan serius: lanjut usia yang tidak mudah menyerah kok serius,
senang berjuang, bisa menjadi panutan.
f) Tipe-tipe marah frustasi: lanjut usia yang pemarah, tidak sabar, mudah
tersinggung, selalu menyalahkan orang lain, menunjukkan penyesuaian yang
buruk titik lanjut usia sering mengekspresikan kepahitan hidupnya.
g) Tipe bermusuhan: lanjut usia yang selalu menganggap orang lain yang
menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh, bersifat agresif, curang curiga.
Biasanya, pekerjaan saat ia mudah tidak stabil titik menganggap menjadi tua itu
bukan hal yang baik, takut mati,iri hati pada orang muda, senang mengadu untung
pekerjaan, aktif menghindari masa yang buruk.
h) Tipe putus asa, membenci, dan menyalahkan diri sendiri: lanjut usia ini bersifat
kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai ambisi, mengalami
penurunan sosial ekonomi tidak dapat menyesuaikan diri lanjut usia tidak hanya
mengalami kemarahan, tetapi juga depresi, memandang lanjut usia sebagai tidak
berguna karena massa yang tidak menarik. Biasanya, perkawinan tidak bahagia,
merasa menjadi korban keadaan, membenci diri sendiri, dan ingin cepat mati.
i) Perawat perlu mengenal tipe lanjut usia sehingga dapat menghadiri kesalahan atau
kekeliruan dalam melaksanakan pendekatan perawatan titik tentu saja tipe
tersebut hanya suatu pedoman umum dalam praktiknya, berbagai variasi dapat
ditemukan titik menurut kemampuan dalam diri sendiri, lanjut usia dapat
digolongkan dalam kelompok sebagai berikut :
7. Perkembangan manusia dari lahir sampai akhir hayat
Selama hidupnya manusia mengalami berbagai proses perkembangan, mulai dari lahir
(bayi), balita prasekolah, masa sekolah, pubertas, dewasa muda, dewasa, dan lanjut
usia. Puncak perkembangan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a) Sistem biologis: mencapai puncak pada usia 20 sampai 30 tahun kemudian secara
perlahan/lambat melemah.
b) Sistem sensori: mencapai puncak pada usia 40 tahun lebih, selanjutnya mulai
menurun.

l
c) Kebijaksanaan: mencapai puncaknya pada usia 65 sampai 70 tahun kemudian
mulai menurun.
d) Kepribadian: aspek sosial dan spiritual senantiasa meningkat dengan berlanjutnya
usia serta mencapai puncak pada usia 75 sampai 80 tahun.
Untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik seseorang harus selalu berusaha
melihat memelihara kesehatan dengan baik dan teratur agar mudah dihadapi penyakit
dan agar kemunduran faali berbagai organ tubuh dapat diketahui sendini mungkin.
Mengenai kapan seseorang disebut lanjut usia sulit dijawab secara memuaskan karena
diberi berbagai literatur terkesan bahwa wa tidak ada batasan yang paling tentang
lanjut usia. Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya
berkisar antara 60 sampai 65 tahun titik berikut beberapa pendapat para ahli mengenai
batasan umur:
Menurut organisasi kesehatan dunia who ada empat tahap, yakini:
a) Usia pertengahan (middle age) (45-49tahun)
b) Lanjut usia (elderly) (60-70tahun)
c) lanjut usia tua (old) (75-90tahun)
d) Usia sangat tua (very old) (diatas 90tahun)
Sehubungan dengan hal tersebut, Bireen and Jenner (1977) mengusulkan untuk
membedakan antara usia biologis, usia psikologis, dan usia sosial.
a) Usia biologis, yaitu jangka waktu seseorang sejak lahir nya berada dalam
keadaan hidup tidak mati.
b) Usia psikologis yang itu kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian
pada situasi yang dihadapinya.
c) Usia sosial, yaitu peran yang dihadapkan atau diberikan masyarakat kepada
seseorang sehubungan dengan usianya
Ketika jenis usia yang dibedakan oleh Bireen and Jenner itu saling
mempengaruhi dan prosesnya saling berkaitan titik oleh karena itu, secara umum
tidak akan terdapat perbedaan yang terlalu mencolok antara kelangsungan ketiga
jenis usaha tersebut.

li
Umumnya, usia kronologis manusia dapat digolongkan menjadi masa baik omah
masa kanak-kanak, masa pubertas masa remaja masa dewasa muda masa dewasa dan
masa lanjut usia.
Umur memiliki pengertian yang berbeda-beda:
a) Umur kronologis, yakni usia sejak seseorang dilahirkan.
b) Umur biologis, yakni usia yang memberi penilaian fungsi berbagai sistem organ
tubuh seseorang, dibandingkan dengan orang lain pada kronologis yang sama.
Misalnya, dalam menentukan seorang wanita sudah cukup dewasa untuk
menikah titik pada zaman dahulu, patokan yang digunakan adalah sejak wanita
itu mulai mendapatkan haid atau menstruasi, padahal ada wanita yang sudah
mendapatkan haid pada umur 11 sampai 13 tahun.
c) Umur psikologis, menunjukkan pada kemampuan atau kapasitas adaptif
individu dibandingkan dengan orang lain pada umur kronologis yang sama.
Misalnya, kemampuan belajar, kecerdasan komah ingatan, emosi, motivasi, dan
lain-lain, dapat diukur untuk memprediksi sejauh mana seseorang mampu
menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi.
d) Umur fungsional, mengukur tingkat kemampuan individu untuk berfungsi di
dalam masyarakat dibandingkan dengan orang lain pada umur kronologis yang
sama.
e) Umur sosial, menunjukkan sejauh mana peran sosial dibandingkan dengan
orang lain pada umur kronologis yang sama.
8. Perubahan akibat proses menua
a Perubahan fisik dan fungsi
1) Sel
a) Jumlah sel menurun atau lebih sedikit
b) Ukuran sel lebih besar
c) Jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang
d) Proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati menurun
e) Jumlah sel otak menurun
f) Mekanisme perbaikan sel terganggu
g) Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5 sampai 10%

lii
h) Lakukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar
2) Sistem persyaratan
a) Menurun hubungan persyaratan.
b) Berat otak menurun 10-20% (sel saraf otak setiap orang berkurang setiap
harinya)
c) Respon dan waktu untuk bereaksi kumah khususnya terhadap stres.
d) Cara panca indra mengecil.
e) Penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan
perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan rendahnya
ketahanan terhadap dingin.
f) Kurang sensitif terhadap sentuhan.
g) Defisit memori.
3) Sistem pendengaran
a) Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak
jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas usia 65 tahun.
b) Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
c) Terjadinya pengumpalan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya
keratin
d) Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang mengalami
ketenangan atau stres.
e) Tinnitus bising yang bersifat mendengung, biasanya bernada tinggi atau
rendah, bisa terus-menerus atau intermiten.
f) Vertigo perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang dan berputar
4) Sistem penglihatan
Sistem publik timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang titik
lebih terbentuk series bola. Lebih suram kekeruhan pada lensa, menjadi
katarak, jelas penyebab dan gangguan penglihatan. Meningkatnya ambang,
pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah
melihat dalam gelap titik penurunan atau hilangnya daya akomodasi, dengan
manifestasi presbiopia,, seseorang sulit melihat dekat yang mempengaruhi

liii
berkurangnya elastisitas lensa. Lapang pandang menurun titik 2 luas pandang
berkurang. Dayah membedakan warna menurun, terutama warna biru atau
hijau pada skala.
5) Sistem kardiovaskular.
Katup jantung menebal dan menjadi kaku. elastisitas dingin Aortha menurun.
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun hal ini menyebabkan kontraksi dan volume menurun
frekuensi denyut jantung maksimal 200 umur. Curah jantung menurun isi 1
menit jantung menurun. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkurang, perubahan posisi dari
tidur ke duduk duduk ke berdiri biasanya menyebabkan tekanan darah
menurun terjadi 65 mmhg mengakibatkan pusing mendadak. Kinerja kinerja
jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan pendarahan. Tekanan
darah meninggi akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat sistol
normal 170 mmHg, diastole 95 mmHg
6) Sistem pengaturan suhu tubuh
Pada pengaturan suhu tubuh, hipotalamus dianggap berkerja sebagai suatu
thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi
berbagai factor yang memengaruhinya. Yang sering ditemui antara lain:
(1) Temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 35°C
(2) Pada kondisi ini, lanjut usia akan meras kedinginan dan dapat pula
menggigil, puct, dan gelisah
(3) Keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang
banyak sehinga terjadi penurunan aktivitas otot.
7) Sistem pernafasan
(1) Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofil, kehilangan
kekuatan, dan menjadi kaku
(2) Aktivitas silia menurun.
(3) Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas
lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun keadalaman
bernafas menurun.

liv
(4) Ukuran alveoli melebar.
(5) Berkurangnya elasitas bronkus.
(6) Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg
(7) Karbondioksida pada arteri tidak terganti. Pertukaran gas terganggu
(8) Reflex dan kemapuan untuk batuk berkurang.
(9) Sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun.
(10) Sering terjadi emfisema senilis
(11) Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan menurun
seiring bertambah usia.
8) Sisem pencernaan
(1) Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa terjadi
setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi dan gizi
yang buruk.
(2) Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lender yang kronis, atrofi
indra pengecap (±80%) , hilangnya sensitivitas saraf pengecap dilidah,
terutama rasa manisdan asin, hilangnya sensitivitas saraf pengecap
terhadap rasa asin, asam, dan pahit.
(3) Esafagus melebar
(4) Rasa lapar menurun , asam lambung menurun, motilitas dna waktu
pengongsongan lambung menurun.
(5) Peristaltic lemah dan biasanya timbul konstipasi
(6) Fungsi absorpsi nmelemah
(7) Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah
berkurang.
9) Sistem Reproduksi
Wanita
(1) Vagina mengalami kontraktul dna mengecil
(2) Ovari menciut, uterus mengalami atrofi
(3) Atrofi payudara
(4) Atrofi vulva

lv
(5) Selaput lender vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi
berkurang, sifatnya menjadi alkali dan terjadi perubahan warna
Pria
(1) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun ada
penurunanan secara berangsur- angsur
(2) Dorongan seksual menetap sampai usia 70 tahun, asal kondisi
kesehatannya baik, yaitu:
(a) Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia.
(b) Hubungan seksual secara teratur memantu mempertahankan
kemampuan seksual.
(c) Tidak perlu cemas karena prosesnya alamiah.
(d) Sebanyak ±75% pria usia diatas 65 tahun mengalami pembesaran
prostat.
10) Sistem Genitourinaria
(1) Ginjal
Merupakan alat untyk mengeluarkan sisa ,eyabolisme tubuh, melalui urine
darah yang masuk ke ginjal, di saring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal
yang disebut nefron (tepatnya di glomerulus). Mengecilnya nefron akibat
atrofil, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga fungsi
tubulus berkurang. Akibatnya, kemampuan mengosentrasi urine menurun,
berat jenis urine menurun, proteinuria (biasanya +1), BUN (blood urea
nitrogen) meningkat sampai 21 mg%, nilai ambang ginjal trhadap glukosa
meningkat.
(2) Vesika urinaria
Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebab
frekuensi buang air seni meningkat. Pada pria lanjut usia, vesika urinaria
sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan retensi urine meningkat.
(3) Pembesaran prostat.
Kurang lebih 75% dialami oleh pria usia di atas 65 tahun.
(4) Atropi vulva

lvi
Vagina sesornag yang semakin menua, kebutuhan hubungan seksual
maish ada. Tidak ada batasan umur tertentu kapan fungsi seksual
seseorang berhent. Frekuensi hubungan seksual cenderung menurun secara
bertahab setiap tahun, tetapi kapasitas untuk melakukuan dan
menikmatinya berjalan terus sampai tua.
11) Sistem endrokrin
Kelenjar endrokrin adalah kelenjar buntu dalam tubuh manusia yang
memproduksi hormone. Hhormon perubahan berperan sangat penting dalam
pertubuhan dan pematangan, pemeliharaan, dan metabolism organ tubuh.
Yang termasuk hormone kelamin adalah:
(1) Estrogen, progesterone, dan testosterone yang memelihara alat reproduksi
dan gairah seks. Hormone ini mengalami penurunan
(2) Kelenjar pangkreas (yang memproduksi insulin dan sangat penting dalam
pengaturan gula darah)
(3) Kelenjar adrenal atau anak ginjal yang memproduksi adreanalin. Kelenjar
yang berkaitan dengan hormone pria atau wanita.
(4) Produksi hamper semua hormone menurun
(5) Fungsi paratiroid dan sereksinya tidak berubah
(6) Hipofisis: pertumbuhan hormone ada, tetapi lebih rendah dan hanya di
dalam pembuluh darah; berkurangnya produksi ACTH,TSH, FSH dan LH
(7) Aktivitas tiroid , daya pertukaran zat menurun
(8) Produksi aldosterone
(9) Sekresi hormone kelamin
12) Sistem Integumen
(1) Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
(2) Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisik (karena kehilangan
proses keratinasi sserta perubahan ukuran dan bnetuk sel epidermis).
(3) Timbul bercak pigmentasi akibat proses melanogenesis yang tidak merata
pada permukaan kulit sehingga tempak bintik-bintik atau noda coklat
(4) Terjadi perubahan pada daerah sekita mata, tumbuhnya kerut-kerutan
halus diujung mata akibat lapisan kulit menipis

lvii
(5) Respons terhadap trauma menurun
(6) Mekanisme proeksi kulit mehurun
(a) Produksi serum menurun
(b) Produksi vitamin D menurun
(c) Pigmentasi kulit terganggu
(7) Kulit kepala dan rmabut menipis dan berwarna kelabu
(8) Rambut dlam hidung dan telinga menebal.
(9) Berkurangnya elasitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi.
(10) Pertumbuhan kuku sangat lambat.
(11) Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.
(12) Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti bertanduk
(13) Jumlah dan fungsi kelenjar kerinat sangat berkurang
13) Sistem Muskuloskletal
(1) Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh.
(2) Gangguan tulang, yakni mudah mengalami demineralisasi.
(3) Kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terutama vertebra, pergelangan,
dan paha.
(4) Kartilago yang meliputi permukaan sendir tulang penyangga rusak dan
aus.
(5) Kifosis
(6) Gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelagan terbatas.
(7) Gangguan gaya berjalan
(8) Kekakuan jaringan penghubung
(9) Diskusi intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya
berkurang)
(10) Persendian membesar dan menjadi kaku
(11) Tendon mengerut dan mengalami sclerosis
(12) Atrofi serabut otot mengecil sehingga pergerakan menjadi lambat, otot
kram, dan menjadi tremor
(13) Komposisi otot berubah sepanjang waktu
(14) Aliran darah keotot berkurang sejalan dengan proses menua

lviii
(15) Otot polos tidak begitu berpengaruh
b Perubahan mental
a) Di bidang mental atau psikis pada usia lanjut, perubahan dapat berupa sikap
yang semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit atau tamak bila
memiliki sesuatu.
b) Yang perlu dimengerti adalah sikap umum yang ditemukan pada hamper
setiap lanjut usia, yakni keinginan berumur panjang, tenaganya sedapat
mungkin dihemat.
c) Mengharpkan tetap diberi pernan dalam masyarakat.
d) Ingin mempertahankan hak dan hartanya, serta ingin tetap berwibawa
e) Jika meninggalpun, mereka ingin meninggal secara terhormat dan masuk
surga
Factor yang mempengaruhi perubahan mental :
a) Perubahan fisik, khususnya organ perasa
b) Kesehatan umum
c) Tingkat pendidikan
d) Keturunan (hereditas)
e) Lingkungan
c Perubahan psikososial
Nilai seseeorang sering diukur melalui produktivitasnya dan identitasnya dikaitkan
dengan peranan dalam perkerjaan. Bila mengalami pension (purnatugas) seseorang
akan mengalami kehilangan, antara lain:
a) Kehilangan finasial (pendapatan berkurang)
b) Kehilangan Status (jabatan)\
c) Kehilangan Teman
d) Kehilangan pekerjaan
1) Merasakan atau sadar terhadap kematian
2) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan.
3) Adanya penyakit kronis dan ketidak mampuan
4) Timbul kesepian akiba pengasingandari lingkungan sosail
5) Adanya gangguan saraf panca indra, timbulnya kebutuhan dan ketulian

lix
6) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan
7) Rangakaian kehilangan yakitu kehilangan hubungan dengan teman dan
family
8) Hilangnya kekuatan
d Perkembangan spiritual
a) Agama atau kepercayaan semaikin terintegrasi dalam kehidupan
b) Lanjut usia semakin matur dalam kehidupan keagamaannya
c) Perkembangan spriritual pada usia 70 tahun
Teori Psikososial
1. Pengertian Psikososial
Psikososial berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikira n, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu
pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis
Fakultas Psikologi UI dalam Yuanita, 2016).
Psikososial merupakan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan
kesehatan mental atau emosionalnya yang melibatkan aspek psikologis dan aspek
sosial. Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan
sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
2. Teori Perubahan Psikososial Lansia
Teori yang berkaitan dengan perubahan psikososial lansia menurut. Aspiani (2014)
yaitu:
a. Teori Psikologi
1) Teori Tugas Perkembangan
Menurut Havigurst (1972) Teori ini menyatakan bahwa tugas
perkembangan pada masa tua adalah :
a) Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

lx
Penyesuaian diri yang dilakukan lansia yakni untuk beradaptasi dengan
perubahan-perubahan yang harus dilalui oleh seorang lansia sehingga
dapat mencapai tugas perkembangan yang sesuai.
2) Teori Individual Jung
Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidak sadaran seseorang dan ketidak
sadaran bersama. Kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau
kearasubjektifdan pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert).
Keseimbangan antara kekuatan tersebut merupakan hal penting bagi kesehatan
mental. mulai dihinggapi adanya penurunan kondisi fisik yang berganda
(multiple pathology). Menurut Ratnawati (2017) perubahan fisik terdiri dari:
a) Perubahan pada kulit: kulit wajah, leher, lengan, dan tangan menjadi
lebih kering dan keriput. Kulit dibagian bawah mata berkantung dan
lingkaran hitam dibawah mata menjadi lebih jelas dan permanen. Selain
itu warna merah kebiruan sering muncul di sekitar lutut dan di tengah
tengkuk. Rambut rontok, warna berubah menjadi putih, kering dan tidak
mengkilap.
b) Perubahan otot: otot orang yang berusia madya menjadi lembek dan
mengendur di sekitar dagu, lengan bagian atas dan perut.
c) Perubahan pada persendian: masalah pada persendian terutama pada
bagian tungkai dan lengan yang membuat mereka menjadi agak sulit
berjalan.
d) Perubahan pada gigi: gigi menjadi kering, patah, dan tanggal sehingga
lansia kadang-kadang menggunakan gigi palsu.
e) Perubahan pada mata: mata terlihat kurang bersinar dan cenderung
mengeluarkan kotoran yang menumpuk di sudut mata, kebanyakan
menderita presbiopi, atau kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya
akomodasi karena penurunan elastisitas mata.
f) Perubahan pada telinga: fungsi pendengaran sudah mulai menurun,
sehingga tidak sedikit yang menggunakan alat bantu pendengaran.
g) Perubahan pada sistem pernapasan: napas menjadi lebih pendek dan
sering tersengal-sengal, hal ini akibat penurunan kapasitas total paru-

lxi
paru, residu volume paru dan konsumsi oksigen nasal, ini akan
menurunkan fleksibilitas dan elastisitas paru.
b. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti:
1) Gangguan jantung.
2) Gangguan metabolisme.
3) Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
4) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan
sangat kurang.
5) Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti antihipertensi atau golongan steroid.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
1) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
2) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya.
3) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
4) Pasangan hidup telah meninggal.Disfungsi seksual karena perubahan
hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun
dan sebagainya.
c. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan Pada umumnya perubahan ini
diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para
lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyatannya
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegitan, harga diri dan status.Lansia yang memiliki agenda kerja yang tidak
terselesaikan dan menganggap pensiun sebagai sesuatu yang tidak
mungkin.Pensiun merupakan suatu proses bukan merupakan suatu peristiwa.
Orang-orang lanjut usia yang menunjukkan penyesuaian yang paling baik terhadap
pensiun, adalah mereka yang sehat, memiliki keuangan yang memadai, aktif, lebih
terdidik, memiliki jaringan sosial yang luas yang meliputi kawan-kawan dan
keluarga, serta biasanya puas dengan kehidupannya sebelum mereka pensiun

lxii
d. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat Peran merupakan kumpulan dari
perilaku yang secara relatif homogen dibatasi secara normative dan diharapkan
dari seseorang yang menempati posisi sosial yang diberikan. Peran berdasarkan
pada pengharapan atau penetapan peran yang membatasi apa saja yang harus
dilakukan oleh individu di dalam situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri
atau orang lain terhadap mereka (Friedman, 2014). Peran dapat diartikan sebagai
seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain.Akibat berkurangnya
fungsi indera pendengaran, penglihatan kabur, gerak fisik dan sebagainya maka
muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia, dan sebagainya
sehingga menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu
mengajak lansia melakukan aktivitas, selama lansia masih sanggup, agar tidak
merasa diasingkan. Keterasingan yang terjadi pada lansia dapat membuat lansia
semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan dapat muncul
perilaku regresi, seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-
barang tidak berguna, dan merengek-rengek seperti anak kecil sehinggalansia tidak
bisa menjalankan peran sosialnya dengan baik

Teori Psikologi
1. Perubahan fisik/biologi (fisiologis)
Yang lazim pada usia lanjut. Menjadi tua atau menua membawa perubahan menyeluruh
baik fisik, sosial. Metal, dam moral, spiritual, yang keseluruhannya saling kait-mengait
antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Dan perlu kita ingin bahwa tiap-tiap
perubahan memerlukan penyesuaian diri, padahal dalam kenyataan semakin menua usia
kita kebanyakan semakin kurang fleksibel untuk menyesuaikan terhadap berbagai
perubahan yang terjadi dan disinilah terjadi berbagai gejolak yang harus di hadapi oleh
setiap kita yang mulai menjadi manusia. Gejolakgejolak itu antara lain perubahan fisik
dan perubahan sosial.
Secara umum menjadi tua di tandai oleh kemunduran biologis yang terlihat sebagai
gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain:
a Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang menetap
b Rambut kepala mulai memutih dan muali beruban

lxiii
c Gigi mulai lepas (ompong)
d Penglihatan dan pendengaran berkurang
e Mudah lelah dan mudah jatuh
f Mudah terserang penyakit
g Nafsu makan menurun
h Penciuman mulai berkurang
i Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah
2. Perubahan fisiologis usia lanjut pada sistem kardiovaskular
a Elastis dinding aorta menurun
b Perubahan miokard: atrofi menurun
c Lemak sub endoicard menurun ; fibrosis, menbal, sclerosis
d Katup-katup jantung mudah fibrosis dan klasifikasi (kaku)
e Peningkatan jaringan ikat ada Sa node
f Penurunan denyut jantung maksimal pada latihan
g Cardiac output menurun
h Penurunan jumlah sel pada pace maker
i Jaringan kolagen bertambah dan jaringan elastis berkurang
j Pada otot jantung
k Penurunan elastis pada dinding vena
l Respon baro reseptor menurun
3. Perubahan fisik usia lanjut system gastrointestinal
a Terjadi artropi mukosa
b Artropi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan sekresi asam
lambung, pepsin dan factor intrinsic berkurang.
c Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung
makanan menjadi lebih berkurang.
d Proses perubahan protein menjadi pepton terganggu. Karena sekresi asam
e lambung berkurang dan rasa lapar juga berkurang
4. Perubahan fisiologis usia lanjut sistem respirasi

lxiv
a Perubahan seperti hilangnya silia dan menurunnya refleks batuk pada muntah
mengubah keterbatasan fisiologis dan kemampuan perlindungan pada sistem
pulmonal.
b Perubahan anatomis seperti penurunan komplain paru dan dinding dada turut
berperan dalam peningkatan kerja pernafasan sekitar 20% pada lansia.
c Atrofi otot-otot pernafasan dan penurunan kekuatan otot-otot pernafasan dapat
meningkatkan resiko berkembangnya keletihan otot-otot pernafasan pada lansia.
d Perubahan fidiologis yang di temukan pada lansia yaitu alveoli alveoli menjadi
kurang elastis dan lebih berserabut serta berisi kapiler-kapiler yang kurang
berfungsi sehingga kapasitas difusi paru-paru untuk oksigen tidak dapat memenuhi
permintaan tubuh
5. Perubahan fisiologis usia lanjut sistem endokrin
Sistem endokrin mempunyai fungsi yaitu sebagai sistem yang utama dalam
mengkontrol seluruh sistem tubuh. Melalui hormon, sistem endokrin menstimulus
seperti proses yang berkesinambungan dalam tubuh sebagai pertumbuhan dan
perkembangan, metabolisme dalam tubuh, reproduksi, dan pertahanan tubuh terhadap
berbagai serangan-serangan penyakit atau virus. Hormon-hormon yang terdapat dari
sistem endokrin yaitu kelenjar pituitary, kelenjar thyroid, kelenjar adrenal, pancreatic,
kelenjar pineal, kelenjar thymus, dan gonad. Hormon-hormon tersebut memiliki fungsi
yang berbeda-beda di setiap tubuh manusia. Perubahan–perubahan yang terjadi pada
sistem endokrin yang di alami oleh dewasa lanjut atau lanjut usia yaitu produksi
hormon hampir semuamenurun, fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah,
pertumbuhan hormon pituitary ada tetapi lebih rendah dan hanya ada di pembuluh
darah dan kurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH, menurunnya fungsi
aldosteron, menurunnya sekresi hormon gonad, progesteron, estrogen, dan testosteron,
dan defisiensi hormonal dapat menyebabkan hipotirodisme.
6. Perubahan fisiologis usia lanjut sistem integumen
Perubahan pada sistem integumentary yang terjadi pada dewasa lanjut yaitu kulit
keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang keelastisannya
karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adipose, kelenjar-kelenjar keringat
mulai tak bekerja dengan baik, sehingga tidak begitu tahan terhadap panas dengan

lxv
temperatur yang tinggi, kulit pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat
menurunnya aliran darah dan menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan
penyembuhan luka-luka kurang baik, kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal
dan rapuh dan temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun (Padila, 2017).
7. Perubahan fisiologis usia lanjut sistem neurologi
Neurologi Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem saraf pada dewasa lanjut usia
yaitu berat otak menurun, hubungan persyarafan cepat menurun, lambat dalam respon
dan waktu untuk berpikir, berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
mengecilkan syaraf pencium, dan perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu
dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin, kurang sensitif terhadap sentuhan,
cepatnya menurunkan hubungan persyarafan, reflek tubuh akan semakin berkurang
serta akan kurang koordinasi tubuh, dan membuatdewasa lanjut menjadi cepat pikun
dalam mengingat sesuatu
8. Perubahan fisiologis usia lanjut sistem genetoinari
Dengan bertambahnya usia, ginjal akan kurang efisien dalam memindahkan kotoran dari
saluran darah. Kondisi kronis seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan beberapa
pengobatan dapat merusak ginjal. Dewasa usia lanjut 65 tahun akan mengalami
kelemahan dalam kontrol kandung kemih (Urinari Incotinence). Incotinence dapat di
sebabkan oleh beragam masalah kesehatan, seperti obesitas, konstipasi dan batuk
kronik.Perubahan yang terjadi pada sistem perkemihan pada dewasa lanjut yaitu otot-
otot pengatur fungsi saluran kencing menjadi lemah, frekuensi buang air kecil
meningkat, terkadang terjadi ngompol, dan aliran darah ke ginjal menurun sampai50%.
Fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang kemampuan mengkonsentrasikan urine.
9. Perubahan fisiologis usia lanjut sistem sensori (Panca indra)
Perubahan pada panca indra. Pada hakekatnya panca indra merupakan suatu organ yang
tersusun dari jaringan, sedangkan jaringan sendiri merupakan kumpulan sel yang
mempunyai fungsi yang sama. Karena mengalami proses penuaan (Aging) sel telah
mengalami perubahan bentuk maupun komposisi sel tidak normal. Maka secara
otomatis fungsi indera pun akan mengalami penurunan. Hal ini dapat di lihat pada
orang tua yang secara berangsur-angsur mengalami penurunan kemampuan

lxvi
pendengaran-nya dan mata kurang kesanggupan melihat secara fokus objek yang dekat
bahkan ada yang menjadirabun, demikian juga indra pengecap, perasa, penciuman
berkurang sensivitasnya (Padila, 2017).

Teori Sosialkultular
1. Pengaruh masalah sosial budaya pada lansia
Sebagian orang menjelaskan bahwa kebudayaan itu adalahsikap hidup yang khas
dari sekelompok individu yang dipelajari secara turun temurun, tetapi sikaphidup ini
ada kalanya malah mengundang resiko bagi timbulnya suatu penyakit.
Kebudayaantidak dibatasi oleh suatu batasan tertentu yang sempit, tetapi mempunyai
struktur-struktur yang luas sesuai dengan perkembangan dari masyarakat itu sendiri.
Hubungan antara faktor sosial budaya dan pelayanan kesehatan pada lansia sangatlah
penting untuk di pelajari khususnya bagi tenaga kesehatan. Bila suatu informasi
kesehatan yang baru akan di perkenalkan kepada masyarakat haruslah di barengi
dengan mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang sosial budaya yang dianut di
dalam masyarakat tersebut.
Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tertentu tidaklah kaku dan bisa untuk di
rubah, tantangannya adalah mampukah tenaga kesehatan memberikan penjelasan dan
informasi yangrinci tentang pelayanan kesehatan yang akan di berikan kepada
masyarakat. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, mulai dari perkenalan program
kerja, menghubungi tokoh-tokoh masyarakatmaupun melakukan pendekatan secara
personal, Sikap budaya terhadap warga usia lanjut mempunyai implikasi yang dalam
terhadap kesejahteraan fisik maupun mental mereka. Pada masyarakat tradisional warga
usia lanjut ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, sebagai Pinisepuh atau Ketua
Adat dengan tugassosial tertentu sesuai adat istiadatnya, sehingga warga usia lanjut
dalam masyarakat ini masih terus memperlihatkan perhatian dan partisipasinya dalam
masalah - masalah kemasyarakatan. Hal inisecara tidak langsung berpengurah kondusif
bagi pemeliharaan kesehatan fisik maupun mental mereka. Sebaliknya
strukturkehidupan masyarakat modern sulit memberikan peran fungsional pada warga
usia lanjut, posisi mereka bergeser kepada sekedar peran formal, kehilangan pengakuan
akan kapasitas dankemandiriannya. Keadaan ini menyebabkan warga usia lanjut dalam

lxvii
masyarakat modern menjadilebih rentan terhadap tema - tema kehilangan dalam
perjalanan hidupnya. Era globalisasi membawa konsekuensi pergeseran budaya yang
cepat dan terus-menerus membuat nilai - nilai tradisiona lsulit beradaptasi. Warga usia
lanjut yang hidup pada masa sekarang,seolah-olah dituntut untukmampu hidup dalam
dua dunia yakni : kebudayaan masa lalu yang telah membentuk sebagianaspek dari
kepribadian dan kekinian yang menuntut adaptasi perilaku. Keadaan ini
merupakanancaman bagi integritas egonya, dan potensial mencetuskan berbagai
masalah kejiwaanMenurut Setiabudhi (1999),
permasalahan sosial budaya lansia secara umum yaitu masih besarnya jumlah
lansia yang berada di bawah garis kemiskinan, makin melemahnya nilaikekerabatan
sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai
dandihormati, berhubung terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara
fisik lebihmengarah pada bentuk keluarga kecil, akhirnya kelompok masyarakat
industri yang memiliki cirikehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan
menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien yang
secara tidak langsung merugikan kesejahteraanlansia, masih rendahnya kuantitas tenaga
professional dalam pelayanan lansia dan masih terbatasnya sarana pelayanan
pembinaan kesejahteraan lansia, serta belum membudayanya danmelembaganya
kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia
2. Perubahan Peran Diri Pada Lansia
Lansia. Sama seperti orang berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan
baru demikian juga dengan kaum lansia. Dalam kebudayaan dewasa ini, dimana
efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai,
mengakibatkan orang lansia sering dianggap tidakada gunanya lagi. Karena mereka
tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang
tertentu dimana kriteria nilai sangat diperlukan, dan sikap sosial terhadap mereka tidak
menyenangkan.Lebih jauh lagi, orang lansia diharapkan untuk mengurangi peran
aktifnya dalam urusan masyarakat dan sosial. Demikian juga dengan dunia usaha dan
profesionalisme. Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukan oleh lansia, dan karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih
dilakukannya. Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi kaum lansia, pujian

lxviii
yang mereka hasilkan dihubungkan dengan peran usia tua bukan dengan keberhasilan
mereka. Perasaan tidak berguna dan tidak diperlukan lagi bagi lansia menumbuhkan
perasaan rendah diri dan kemarahan,yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses
penyesuaian sosial seseorang.
a. Peran dalam Keluarga
Kehidupan dalam keluarga pada usia lanjut yang merupakan hal yang paling serius
adalah keharusan untuk melakukan perubahan peran. Mereka semakin sulit dari
tahun ketahun. Semakin radikal perubahan tersebut dan semakin radikal perubahan
tersebut dan semakin berkurang prestise peran tersebut, maka semakin besar pula
penolakan terhadap perubahan. Pria atau wanita yang telah terbiasa dengan peran
sebagai kepala keluarga akan menemukan kesulitan untuk hidup bergantung
dirumah anaknya. Seperti juga halnya dengan priayang memperoleh kedudukan dan
prestise serta tanggung jawab dalam dunia kerjanya, merasaakan sulit menghadapi
fakta sebagai pembantu istrinya apabila sudah pensiun. Peran ini dirasakanakan
menghilangkan otoritas dan kejantanannya.
b. Peran dalam Sosial Ekonomi
Walaupun mereka sudah mempersiapkan diri untuk pensiun, tetapi lansia
menghadapimasalah yang oleh Erikson disebut krisis identitas (identity crisis), yang
tidak sama dengan krisis identitas yang dihadapi dimasa dewasanya, pada waktu
mereka kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak dan kadang-kadang sebagai
orang dewasa. Krisis identitas yang menimpa orang setelah pensiun adalah sebagai
akibat untuk melakukan perubahan peran yang drastis dari seseorang yang sibuk
dan penuh optimis, menjadi seorang pengngangur yang tidak menentu. Dan lebih
lebih lanjut lagi bahwa perubahan terhadap kebiasaan dan pola yang sudah mantap
yang telah dilakukan sepanjang hidup yang pernah dialaminya, sering
mengakibatkan perasaan yang traumatik bagi lansia.
c. Peran dalam Sosial masyarakat
Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan
kehidupan pribadi seseorang dari pada kehidupan orang lain. Orang tua diharapkan
untuk menyesuaiakan diri dengan menurunkan kekuatan, dan menurunnya
kesehatan secara bertahap. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan

lxix
peran yang pernah dilakukan didalam maupun diluar rumah. Mereka juga
diharapkan untuk mencari kegiatan untuk menganti tugas-tugas terdahulu yang
menghabiskan sebagian besar waktu dikala masih muda dahulu. Bagi beberapa
lansia berkewajiban mengikuti rapat yang meyangkut kegiatan sosial dan kewajiban
sebagai warga negara sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan yang
menurun setelah mereka pensiun. Akibat dari menurunnya kesehatan dan
pendapatan, maka mereka perlu menjadwalkan dan menyusun kembali pola hidup
yang sesuai dengan keadaan saat itu, yang berbeda dengan masa lalu.
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tangggal
MRS, informan,tangggal pengkajian dan alamat klien.
a. Orang
orang terdekatStatus perkawinan, kebiasaan pasien di dalam tugas-tugas
keluarga dan fungsi-fungsinya, pengaruh orang terdekat, proses interaksi dalam
keluarga.
b. Kultural
Latar belakang etnis, tingkah laku mengusahakan kesehatan (sistem rujukan
penyakit), nilai-nilaiyang berhubungan dengan ke sehatan dan keperawatan,
faktor-faktor kultural yang dihubungkandengan penyakit secara umum dan
respons terhadap rasa sakit, kepercayaan mengenai perawatandan pengobatan.
c. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidakada, berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang
lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, dependen.
d. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan,harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan
/frustasi berulang,tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba tiba misalnyaharus dioperasi, kecelakaan, dicerai
pasangan, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatuyang terjadi
(korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakuan orang lain

lxx
yangtidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.
e. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tanda vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan, TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialamioleh klien.
f. Aspek Psikososial
a).Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b).Konsep diri. Citra tubuh Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh
yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuhyang telah terjadi atau
yang akan terjadi.
a) Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatiftentang tubuh.
Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus
asaan,mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diriKetidakpastian memandang diri, sukar menetapkan
keinginan dan tidak mampu mengambilkeputusan
c) Peran Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal diriMengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya :
mengungkapkan keinginan yang terlalutinggi.
e) Harga diriPerasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap
diri sendiri, gangguan hubungan sosial,merendahkan martabat,
mencederai diri, dan kurang percaya diri.
c).Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan sosial
dengan orang lainterdekat dalam kehidupan, kelompok yang diikuti dalam
masyarakat.
d).Keyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual).
g. Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang
dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu
berhubungan denga orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang
berharga dalam hidup.

lxxi
h. Kebutuhan persiapan pulang
1) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC,
membersikan danmerapikan pakaian.
3) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan
diluar rumah
5) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.· Mekanisme
KopingKlien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau
menceritakan nya pada orang orang lain (lebih sering menggunakan
koping menarik diri)· Aspek MedikTerapi yang diterima klien bisa berupa
therapy farmakologi ECT, Psikomotor,therapyokopasional, TAK, dan
rehabilitas.2
2. Diagnosa Keperawatan
PengertianDiagnosa Keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola respons
baik aktual maupun potensial (Stuart and Sundeen, 1995) Masalah keperawatan
yang sering muncul yang dapat disimpulkan dari pengkajian adalah sebagai berikut:
1) Isolasi sosial : menarik diri
2) Gangguan konsep diri: harga diri rendah
3) Resiko perubahan sensori persepsi
4) Koping indivi du yang tidak efektif sampai dengan ketergantungan pada orang
lain
5) Gangguan komunikasi verbal, kurang komunikasi verbal.
6) Intoleransi aktivitas. Kekerasan resiko tinggi.
3. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul.
1) Harga diri rendah berhubungan dengan merasakan/mengantisipasi kegagalan
pada peristiwa- peristiwa kehidupan.
2) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan sistem
saraf;kehilangan memori; ketidakseimbangan tingkah laku adaptif dan
kemampuan memecahkanmasalah.
3) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional/maturasional.

lxxii
4) Ketidakpatuhan berhubungan dengan sistem penghargaan pasien; keyakinan
kesehatan, nilaispiritual, pengaruh kultural.
F. Askep Gangguan Konsep Diri, Gangguan Alam Perasaan, Gangguan Kognitif
Asuhan Keperawatan Konsep Diri
1. Pengertian
Pengertian Konsep Diri Konsep diri (self-concept) merupakan bagian yang
penting dalam kehidupan mengenai kepribadian setiap manusia. Konsep diri
merupakan suatu hal yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk
membedakan manusia dan makhluk hidup lainnya. Setiap individu memiliki konsep diri
yang dinyatakan melalui sikap dirinya yaitu berupa aktualisasi diri dari individu
tersebut. Setiap individu memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya
menyebabkan individu tersebut sadar akan keberadaan dirinya. Perkembangan yang
dialami setiap individu akan membantu pembentukan konsep diri individu yang
bersangkutan (Anas, 2013:53).
Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh
menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya
adalah persepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksi individu
dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan objek serta tujuan, harapan, dan keinginannnya (Sunaryo, 2004:32).
Konsep diri berkembang secara bertahap sesuai dengan tahap perkembangan
psikososial seseorang. Konsep diri juga merupakan semua ide, pikiran, kepercayaan,
dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu
dalam berhubungan dengan orang lain (Anas, 2013:56).
2. Etiologi
Menurut Sobur (2010) Faktor - faktor yang mempengarui konsep diri pada
individu tidak terbentuk secara instan, melainkan dengan proses belajar sepanjang
hidup manusia. Ketika individu lahir, individu tidak memimiliki pengetahuan tentang
dirinya, tidak memiliki harapan yang dicapai serta tidak memiliki penilaian tentang
dirinya, sejalan adanya pertumbuhan konsep diri akibat dari interaksi dengan
lingkungan sekitar, yaitu;

lxxiii
a. Faktor eksternal: terutama lingkungan keluarga kondisi kesehatan, status sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, iklim intelektual dan interaksi terhadap orang lain;
b. Faktor internal: self-insight (understanding), self acceptance, atau self responbil
(Potter & Perry, 2002 dalam Eeni Wahyuni Setiowati,2012).

Kerangka Konseptual
Konsep diri pada lanjut usia
Lansia akan mengalami
perubahan fisik, 1. Gambaran diri
psikologis, dan spritual
2. Harga diri
3. Identitas diri
4. Identitas diri
5. Penampilan peran

Positif Negatif

1) Konsep Diri Positif


Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana
individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali.
Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki
konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat
bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya
sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya. Individu yang
memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan
realita, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai,
mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup
adalah suatu proses penemuan, bersikap optimis, percaya diri sendiri dan selalu
bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialami.
Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir segalanya, namun dijadikan sebagai
penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang
memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya sendiri.
2) Konsep Diri Negatif

lxxiv
Individu yang memiliki konsep diri negatif meyakini dan memandang
bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidakdapat berbuat apa-apa, tidak
kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya
tarik terhadap hidup. Individu ini akan cenderung bersikap pesimistik terhadap
kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan
sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki
konsep diri negatif akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika ia
mengalami kegagalan akan menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan
orang lain (Desyita Ayuma Wardani,2018).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Brooks dalam Aprianto
(2012:33) menyatakan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri,
konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi
menjadi manusia sebagaimana yang di harapkan. Faktor yang mempengaruhi
konsep diri antara lain:
1) Inteligensi
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf
intreligensinya semakin baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu
bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang
dapat diterima. Maka jelas akan meningkatkan konsep dirinya, demikian
pula sebaliknya.
2) Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan
meningkatkan prestasinyaa. Jika prestasinya meningkat maka konsep
dirinya akan berubah.
3) Status Sosial Ekonomi
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan orang lain
terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri
seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung
didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu

lxxv
yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif
dibandingkan individu yang status sosialnya rendah.
4) Hubungan Keluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota
keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin
mengembangkan pola kepribadian yang sama.
5) Orang Lain Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih
dahulu. Bagaimana orang lain mengenal seorang individu, maka akan
membentuk konsep diri individu tersebut. Individu dapat diterima,
dihormati dan disenangi orang lain karena keadaan dirinya, maka individu
tersebut akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya.
Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan dirinya, menyalahkan dan
menolaknya, ia akan cenderung tidak akan menyenangi dirinya.
6) Perilaku Hidup Sehat
a) Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Perilaku orang untuk mencegah
penyakit atau memelihara kesehatan agar tidak sakit, usaha untuk
penyembuhan apabila sakit dan usaha meningkatkan kesehatan.
Disebut juga perilaku preventif (tindakan atau upaya untuk mencegah
dari sakit dan masalah kesehatan yang lain: kecelakaan) dan promotif
(tindakan atau kegiatan untuk memelihara dan meningkatkannya
kesehatannya). Misalnya seperti makan dengan gizi seimbang, olah
raga/kegiatan fisik secara teratur, tidak mengkonsumsi
makanan/minuman yang mengandung zat adiktif dan alkohol, tidak
merokok, istirahat cukup, dan rekreasi /mengendalikan stress
(Luthviatin, et al., 2012:80).
b) Perilaku Pencarian Pengobatan Perilaku sehubungan dengan pencarian
pengobatan atau pelayanan kesehatan (health seeking behavior), yaitu
perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-
usaha mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke
fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantra, dokter

lxxvi
praktek, dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional
(dukun, sinshe, dan sebagainya (Luthviatin, et al., 2012:144).
c) Perilaku Kesehatan Lingkungan Perilaku terhadap kebersihan
lingkungan adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai
determinan kesehatan manusia. Lingkup ini antara lain mencakup
perilaku sehubungan dengan air bersih, perilaku pembuangan air kotor,
perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun
limbah cair, perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, dan
perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang nyamuk (vector) dan
sebagainya (Luthviatin, et al., 2012:128-129).
d) Perilaku Kesehatan (Health Behavior) Perilaku kesehatan yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-
tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih
makanan, sanitasi, dan sebagainya (Luthviatin, et al., 2012:129).
e) Perilaku Sakit (Illness Behavior) Perilaku Sakit (Illness Behavior)
yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seorang individu
yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan
kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk di sini kemampuan untuk
pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab
penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut (Luthviatin, et
al., 2012:129).
f) Perilaku Peran Sakit (The Sick Role Behavior) Perilaku Peran Sakit
(The Sick Role Behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.
Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan/ kesakitan
sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama kepada anak-
anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap
kesehatannya (Luthviatin, et al., 2012:130 dalam Desyita Ayuma
Wardani,2018).

lxxvii
3. Manifestasi klinis
a. Fisiologis Gejala fisiologis yang timbul antara lain, peningkatan frekuensi jantung,
peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi pernapasan, diaphoresis, dilatasi
pupil, tremor suara (perubahan nada suara), gemetar, menggigil, palpitasi, mual
atau muntah, berkemih sering, diare, insomnia, keletihan dan kelemahan,
kemerahan atau pucat, mulut kering, sakit dan nyeri dibagian tubuh (terutama
dada, punggung, leher), kegelisahan, pingsan/pening, paratesia, dan anoreksia.
(Carpenito,2009).
b. Emosional
Individu menyatakan bahwa ia merasa ketakutan, tidak berdaya, gugup, kurang
percaya diri, kehilangan kendali, ketegangan meningkat, tidak mampu rileks,
individu menampakkan iritabilitas/tidak sadar, marah yang meledak, menangis,
cenderung menyalahkan orang lain, reaksi mengagetkan, mengkritik diri dan orang
lain, menarim diri, inisiatif rendah, celaan terhadap diri, kontak mata buruk.
(Carpenito,2009)
c. Kognitif
Ketidakmampuan berkonsentrasi, rendahnya kesdaran terhadap sekitar, pelupa,
merenung, orientasi terhadapmasa lalu dari pada sekarang ataumasa depan, bloking
saat berpikir, menurunnya kemampuan belajar, dan konfusi. (Carpenito,2009) Kaji
faktor yang berhubungan:
1) Situasional (individu, lingkungan) Berhubungan dengan ancaman yang
dirasakan atau ancaman actual terhadap konsep diri sebagai akibat dari
perubahan status, rendahnya pengakuan dari orang lain, kegagalan,kehilangan
berharga dan dilema etik. Berhubungan dengan kehilangan orang terdekat
sebagai akibat dari kematian, perceraian, tekanan budaya, pindah, berpisah
sementara atau selamanya. Berhubungan dengan dengan ancaman yang
dirasakan terhadap intergitas biologis sebagai akibat proses menjelang ajal,
penyerangan, prosedur invasif, penyakit. Berhubungan dengan perubahan
lingkungan yang actual sebagai akibat hospitalisasi, pindah, pension, bahaya
keamanan. Berhubungan dengan lingkungan yang actual dalam status

lxxviii
sosioekonomi sebagai akibat dari pengangguran pekerjaan baru.
(Carpenito,2009)
2) Maturasiona
Pada bayi/anak-anak (berhubungan dengan perpisahan, lingkungan atau orang
yang tidak dikenal, perubahan dalam hubungan teman sebaya) remaja
(berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri) dewasa (berhubungan
dengan ancaman terhadap konsep diri sekunder akibat kehamilan menjadi orang
tua, perubahan karir dan efek penuaan), lanjut usia(berhubungan dengan
ancaman terhadap konsep diri sekunder akibat penurunan sensorik, penurunan
motorik, masalah keuangan, perubahan pada masa pension). (Carpenito,2009
dalam Joko Sutrisno, Lutfy Irmayanti, dkk, 2017).
4. Patofosiologi
Berbagai masalah yang dapat terjadi berkaitan erat dengan peroses penuaan
yang dialami seseorang, perubahan fisik yang dialami mengakibatkan gangguan citra
tubuh, kehilangan pasangan hidup yang dapat menyebabkan keputusasaan serta
perilaku orang sekitar terhadap dirinya yang dapat menyebabkan harga diri rendah serta
konsep diri yang maladaptive membuat individu lansia mengalami ketidakberdayaan
dan masih banyak masalah lainnya yang dapat mengganggu kesehatan individu lansia
tersebut beberapa masalah yang sering timbul berkaitan dengan konsep diri lansia
adalah sebagai berikut :
a. Harga diri rendah
Perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat
evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri adanya perasaan
hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan
sesuai dengan ideal diri (Keliat 1998). Gangguan harga diri rendah akan terjadi
jika kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan
hubungan interpersonal yang buruk. Lansia akan merasa rendah dirinya jika tidak
didengarkan, tidak diperhatikan, tidak diperhatikan atau tidak diatuhi sebagai
orang tua. Harga diri rendah situasional adalah evaluasi dari negatif yang
berkembang sebagai respons terhadap hilangnya atau berubahanya perawatan diri
seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif (NANDA, 2011).

lxxix
Ciri-ciri lansia yang yang mengalami harga diri rendah adalah :
a) Mengungkapkan rasa malu/bersalah karena sudah tua
b) Mengungkapakn menjelek-jelekan dirinya
c) Mengungkapkan hal-hal yang negatif tentang dirinya (Misal.
Ketidakberdayaan ketidakbergunaan)
d) Kejadian menyalahkan diri secara episodic terhadap permasalahn hidup yang
sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif, masalah di masalalu yang tak
diselesaikan
e) Kesulitan dalam membuat keputusan
b. Gangguan citra tubuh
Citra tubuh merupakan komponen dari konsep diri yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Citra tubuh adalah kumpulan dari
sikap individu yang disadari dan tidak disadri terhadap tubuhnya, termaksud
persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi penampilan
dan potensi. Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak puas terhadap perubahan
bentuk, struktur dan fungsi tubuh karena tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Lansia yang tidak percaya diri dengan kulitnya yang sudah keriput atau rambutnya
yang sudah beruban.
Tanda dan gejala yang dapat diobervasi adalah pada gangguan citra tubuh adalah
a) Hilannya bagian tubuh
b) Perubahan anggota tubuh baik bentuk maupun fungsi
c) Menyembunyikan atau memamerkan bagian tubuh yang terganggu
d) Menolak melihat bagian tubuh
e) Menolak menyentuh bagian tubuh
f) Aktifitas sosial menurun

Data yang bisa didapatkan saat wawancara :

a) Menolak perubahan anggota tubuh saat ini, misal. Kulit menjadi keriput, tubuh
menjadi bongkok
b) Mengatakan hal negatif tentang anggota tubuhnya yang tidak berfungsi
c) Mengungkapkan perasaan tidak berdaya, tidak berharga keputusasaan

lxxx
d) Menolak berintraksi dengan orang lain
e) Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi terhadap bagian tubuh yang
terganggu
f) Sering mengulang-ngulang mengatakan kehulangan yang terjadi
g) Merasa asing terhadap bagian tubuhnya yang hilang.
2) Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan dalah persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
mempengaruhi hasil secara bermakna suatu keadaan dimana individu kurang dapat
mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan (NANDA, 2011).
Ciri-ciri lansia yang mengalami ketidak berdayaan adalah
- Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak memepunyai kemampuan
mengendalikan atau mempengaruhi situasi. Misal tidak mempertahankan
argumennya dalam suatu diskusi keluarga
- Mengungkapkan tidak dapat menghasilkan sesuatu
- Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustasi terhadap ketidakmampuan untuk
melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya.
- Mengungkapkan keraguan-keraguan terhadap penampilan peran
- Mengatakan ketidakmampuan perawatan diri
- Menunjukkan perilaku ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang
keperawatan
- Tidak berpartisipasi dalam mengambil kepeutusan saat diberikan kesempatan
- Enggan mengungkapkan perasaan sebenarnya
- Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas,
ketidaksukaan, marah dan rasa bersalah
- Gagal mempertahankan ide/pendapat yang berkaitan denan orang lain ketika
mendapat perlawanan
- Apatis dan pasif
- Ekspresi muka murung
- Bicara dan gerakan lambat
- Tidur berlebihan
- Nafsu makan tidak ada atau berlebihan

lxxxi
- Menghindari orang lain
5. Pathway

Gangguan konsep diri : Resiko Isolasi : menarik diri

1. Harga diri rendah Risiko perilaku


2. Gangguan citra tubuh kekerasan

3. Ketidakberdayaan

Koping keluarga tidak efektif

6. Penatalaksanaan
1. Psikofarmakol
Adalah terapi dengan menggunakan obat, tujuannya untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala gangguan jiwa. obat yang biasa digunakan di RS jiwa antara
lain:
1) Anti psikosis
a) Cloropromazin (thorazime) dosis 25-2000mg/hari
b) Haloperidol (hal dol) dosis 2-40 mg/hari indikasi digunakan untuk
pengobatan psiko, mengobati masalah perilaku yang berat pada anak-anak
yang berhubungan dengan keadaan yang tiba-tiba meledak, mengontrol
mual dan muntah yang berat dan kecemasan berat.kontra indikasi: hiperaktif
, galaukoma, hamil dan menyusui, efek samping yaitu anemia, mulut
kering , mual dan muntah, konstipassi, diare, hipotensi, aritmia kordis,
takikardi, eksrapiramidal,penglihatan berkabut.
2) Pengobatan somatik
a) Elektro convulsif terapi (ECT)
Merupakan pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal yang
menghasilkan afek terapi dengan menggunakan arus listrik berkekuatan75-
100 volt. Cara kerja belum diketahui secara jelas namun dapat dikatakan
bahwa therapi konvulsif dapat memperpendek lamanya skizofrenia dan

lxxxii
dapat mempermudah kontak dengan orang lain , indikasi ECT yaitu depresi
berat dan bila terapi obat-obat belum berhasil (gangguan berpolar) klien
yang sangat mania,hiperaktif, klien resiko tinggiunuh diri, psikosis akut
skozoprenia.
b) Pengkajian fisik Terdiri dari pengekangan mekanik dan isolasi.
Pengekangan mekanik dilakukan dengan menggunakan manset untuk
pergelangan tangan dan kaki serta sprei pengekang. Isolasi yaitu
menempatkan klien dalam suatu ruangan tertentu di rumah sakit.indikasi:
pengendalian prilaku amuk yang membahayakan diri dan orang lain. Kontra
indikasi: resiko tinggi bunuh diri, hukuman.
3) Psikoterapi Psikoterapi membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan
merupakan bagian penting proses terapiutik, upaya dalam psikoterapi yaitu
memberikan rasa aman dan tenang. Menerima klien apa adanya, motivasi klien
untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah sopan
dan jujur pada klien.
4) Terapi modalitas Terapi okupasi: adalah suatu ilmu dan seni untuk
mengarahkan partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau juga
yang segala dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan
meningkatkan harga diri. (Arief Ferri, 2010)
7. Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
a. Identitas
Nama pasien, no RM, umur, agama, status perkawinan, pendidikan, alamat,
pekerjaan, jenis kelamin, suku,
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, agama, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, dan hubungan dengan
pasien.
c. Riwayat kesehatan
- Kesehatan dahulu :
a) Apakah ada riwayat gangguan pada pasien atau keluarga

lxxxiii
b) Apakah ada gangguan fisik atau penyakit termasuk gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.
- Riwayat Psikososial
1) Pada pasien harga diri rendah riwayat psikososial yang akan dikaji
yaitu pernah atau tidak melakukan atau mengalami atau menyaksikan
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan
dalam rumah tangga, aniaya, dan tindakan kriminal.
2) Merasakan pengalaman masa lalu lain yang tidak menyenangkan baik
bio, psiko, sosio, kultural, maupun spiritual.
- Riwayat Penyakit Keluarga :
Harga diri rendah kronis dapat disebabkan oleh keturunan. pada riwayat
penyakit keluarga harus dikaji apakah ada keluarga yang pernah
mengalami gangguan jiwa.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan dilakukan yaitu observasi tanda-tanda vital (TTV),
Pemeriksaan keseluruhan tubuh yaitu pemeriksaan head to toe yang biasanya
penampilan pasien yang kotor dan acak-acakan serta penampilannya tidak terawat.
A. Psikososial
1. Konsep diri
1) Gambaran diri : Disukai ataupun tidak di sukai pasien mengatakan tidak
ada keluan apapun.
2) Identitas diri : Kaji kepuasan pasien terhadap jenis kelaminya, status
sebelum dirawat di rumah sakit.
3) Peran : Pasien mengalami penurunan produktifitas dan merasa tidak
mampu dalam melaksanakan tugas.
4) Ideal diri : Tanyakan harapan tubuh, posisi status, peran. Harapan pasien
terhadap lingkungan, dan harapan pasien terhadap penyakitnya.
5) Harga diri : Pasien mengejek dan mengkritik dirinya sendiri,
menurunkan martabat, menolak kemampuan yang dimiliki.
2. Genogram

lxxxiv
Membuat genogram minimal tiga generasi yang dapat menggambarkan
hubungan pasien dan keluarga. Jelaskan masalah yang terkait dengan pola
asuh keluarga terhadap pasien dan anggota keluarga lainya, pola
komunikasi, pola pengambilan keputusan (Nyumirah, 2013).
- Hubungan sosial
1) Pasien tidak mempunyai orang yang di anggap sebagai tempat
mengadu dan meminta dukungan.
2) Pasien merasa berada di lingkungan yang mengancam.
3) Keluarga kurang memberikan penghargaan kepada pasien.
4) Pasien sulit berinteraksi.
- Spiritual
1) Falsafah hidup Pasien merasa perjalanan hidupnya penuh dengan
ancaman, tujuan hidupnya biasanya jelas.
2) Konsep kebutuan dan praktek keagamaan : Biasanya penderita
mengakui adanya tuhan tapi tidak yakin terhadap tuhan, putus asa
karena tuhan tidak memberikan sesuai apa yang dia inginkan dan
tidak mau menjalankan kegiatan agama.
3. Status Mental
a. Penampilan : Penampilan tidak rapi karena pasien tidak mau untuk
merawat diri. Kemunduran dalam tingkat kebersihan dan kerapian, bau
badan karena tidak mandi merupakan salah satu tanda gangguan jiwa
dengan harga diri rendah kronis.
b. Pembicaraan : Pasien dengan frekuensi lambat, tertatah, volume suara
rendah, sedikit berbicara inkoheren dan bloking
c. Aktivitas Motorik : Tegang, lambat, gelisah, dan terjadi penurunan
aktivitas interaksin
d. Alam Perasaan : data yang didapatkan biasanya Pasien merasakan tidak
mampu dan pandangan hidupnya selalu pesimis
e. Afek Terkadang afek pasien tampak tumpul, emosi pasien berubahubah,
kesepian, apatis, depresi atau sedih, dan cemas.
f. Interaksi selama wawancara

lxxxv
1) Tidak kooperatif, atau mudah tersinggung.
2) Kontak mata kurang: tidak mau menatap lawan bicara.
3) Defensif: selalu mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya
4) Curiga: menunjukkan tidak percaya pada orang lain.
g. Persepsi : Pasien mengalami halusinasi dengar/lihat yang mengancam
atau memberi perintah
h. Proses pikir Data yang diperoleh dari observasi pada saat wawancara:
1) Arus Pikir:
a) Koheren: pembicaraan dapat dipahami dengan baik.
b) Inkoheren: kalimat tidak berbentuk, kata-kata sulit dipahami.
c) Tangensial: pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada
tujuan.
d) Flight of ideas: pembicaraan yang melompat dari satu topik ke
topik lainnya masih ada hubungan yan tidak logis dan tidak sampai
pada tujuan.
e) Bloking: pembicaraan terhenti tiba-tiba kemudian dilanjutkan
kembali.
f) Neologisme: membentuk kata-kata baru yang tidak di pahami oleh
umum.
g) Sosiasi bunyi: mengucapkan kata-kata yang mempunyai
persamaan bunyi.
2) Isi Pikiran : Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau
menolak diri sendiri, mengejek dan mengkritik diri sendiri (Yusuf,
2015).
B. Tingkat kesadaran
a. Data yang didapatkan biasanya pasien tampak bingung dan kacau, stupor
adalah gangguan motorik seperti sikap, gerakan tubuh yang berulang-ulang,
anggota tubuh pasien dalam sikap canggung yang dipertahankan dalam
waktu lama tetapi pasein menyadari semua yang terjadi dilingkungan, sedasi
yaitu pasien mengatakan bahwa ia merasa melayang-layang antara sadar
atau tidak sadar.

lxxxvi
C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau
komunitas terhadap masalah kesehatan potensial atau aktual/ proses kehidupan.
Diagnosa keperawatan menjadi dasar bagi pemilihan intervensi keperawatan guna
mencapai hasil yan akontibilitasnya dimiliki perawat (NANDA, 1998, 2008).
1. Harga diri rendah
2. Gangguan citra tubuh
3. Ketidakberdayaan
D. Intervensi

Merupakan tahap ketiga dari peruses keperawatn dimana perawat


menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi pasien ditentukan dan
merencanakan intervensi keperawatan. Selama perencanaan, dibuat prioritas
dengan kolaborasi klien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, telaah
literature, modifikasi asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan
tentang kebutuhan perawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan klinik (Deden
Dermawan, 2012).

Dx Kriteria & hasil Intervensi Rasional


1 Setelah dilakukan tindakan 1) Manajemen perilaku
keperawatan selama 3x24 2) Promosi harga diri
jam diharapkan dengan 3) Promosi koping
kriteria Hasil : 4) Dukungan keyakinan
1. Harga diri meningkat 5) Dukungan memaafkan
2. Adaptasi disabilita baik 6) Dukungan pelaksanaan ibadah
3. Fungsi keluarga baik 7) Dukungan penampilan peran
4. Identitas seksual 8) Dukungan pengambilan
5. Kesadaran diri normal keputusan
6. Ketahanan keluarga baik 9) Dukungan pengungkapan
7. Ketahanan personal baik perasaan
8. Tingkat depresi 10) Dukungan perasaan bersalah
menurun 11) Dukungan perlindungan

lxxxvii
penganiyayaan
12) Dukungan spirituall
13) Edukasi manajmen stress
14) Edukasi penyalahgunaan zat
15) Kontrak prilaku positif
16) Manajmen depresi
17) Manajmen perilaku
18) Manajmen stress
19) Pemberian obat
20) Pemberian obat oral
21) Perantara budaya
22) Perawatan perkembangan
23) Promosi kepercayaan diri
24) Promosi kesadaran diri
25) Restruksi kognitif
26) Terapi diversional
27) Terapi kognitif perilaku
2 Setelah dilakukan tindakan 1. Promosi citra tubuh
keperawatan selama 3x24 2. Promosi koping
jam diharapkan dengan 3. Dukungan penampilan peran
kriteria hasil : 4. Dukungan pengambilan
1. Citra tubuh meningkat kepeutusan
2. Berat badan dalam batas 5. Dukungan pengungkapan
normal kebutuhan
3. Harga diri membaik 6. Dukungan
4. Identitas diri baik pengungkapanperasan
5. Identitas seksusal baik 7. Dukungan tanggung jawab
6. Kesadaran diri normal pada diri sendiri
7. Status koping psitif 8. Edukasi perawatan diri
8. Tingkat agitasi normal 9. Edukasi teknik adaptasi
10. Kontrak prilaku positif

lxxxviii
11. Manajemen gangguan makan
12. Manajmen stress
13. Modifikasi stress
14. Modifikasi perilaku
keterampilan sosial
15. Promosi harapan
16. Promosi kepercayaan diri
17. Restruksikan kognitif
18. Teknik distrasi
19. Teknik imajinasi terbimbing
20. Terapi diversional
21. Terapi kognitif perilaku

3 Setelah dilakukan tindakan 1. Promosi harapan


keperawatan selama 3x24 2. Promosi koping
jam di harapakan dengan 3. Dukungan memaafkan
kriteria hasil : 4. Dukungn pelaksanaan ibadah
1. Keberdayaan 5. Dukungan pengambilan
2. Dukungan keluarga keputusan
3. Dukungan sosial 6. Dukungan pengungkapan
4. Harapan kebutuhan
5. Harga diri 7. Dukungan perasaan bersalah
6. Kesadaran diri 8. Dukungan keyakinan
7. Ketahanan personal 9. Dukungan proses berduka
8. Keterlibatan sosial 10. Dukungan proses
9. Penerimaan berduka;kematian perinatal
10. Tingkat ansietas 11. Manajemen mood
11. Tingkat depresi 12. Manajemen perilaku
12. Tingkat keletihan 13. Manajemen stress
14. Pencegahan bunuh diri
15. Promosi dukungan keluarga

lxxxix
16. Promosi dukungan spiritual
17. Promosi harga diri
18. Promosi kesadaran diri
19. Promosi sistem pendukung
20. Teknik menenangkan
21. Terapi kognitif perilak

E. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dank
klien. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Deden Dermawan,
2012).
Tamggal/
Dx Implemetasi Ttd
hari/jam
1. Memanajemen perilaku
2. Mempromosi harga diri
3. Mempromosi koping
4. Mendukung keyakinan
5. Mendukung memaafkan
6. Mendukung pelaksanaan ibadah
7. Mendukung penampilan peran
8. Mendukung pengambilan keputusan
9. Mendukung pengungkapan perasaan
10. Mendukung perasaan bersalah
11. Mendukung perlindungan penganiyayaan
12. Mendukung spirituall
13. Mengdukasi manajmen stress
14. Mengdukasi penyalahgunaan zat
15. Kontrak prilaku positif
16. Memanajmen depresi

xc
17. Memanajmen perilaku
18. Memanajmen stress
19. Memberikan obat
20. Memberikan obat oral
21. Perantara budaya
22. Merawatan perkembangan
23. Mempromosi kepercayaan diri
24. Mempromosi kesadaran diri
25. Restruksi kognitif
26. Terapi diversional
27. Terapi kognitif perilaku

xci
1. Mempromosi citra tubuh
2. Mempromosi koping
3. Mendukung penampilan peran
4. Mendukung pengambilan kepeutusan
5. Mendukung pengungkapan kebutuhan
6. Mendukung pengungkapanperasan
7. Mendukung tanggung jawab pada diri sendiri
8. Mengedukasi perawatan diri
9. Mengedukasi teknik adaptasi
10. Kontrak prilaku positif
11. Memanajemen gangguan makan
12. Memanajmen stress
13. Memodifikasi stress
14. Memodifikasi perilaku keterampilan sosial
15. Mempromosi harapan
16. mempromosi kepercayaan diri
17. Restruksikan kognitif
18. Teknik distrasi
19. Teknik imajinasi terbimbing
20. Terapi diversional
21. Terapi kognitif perilaku

xcii
1. Mempromosi harapan
2. Mempromosi koping
3. Mendukung memaafkan
4. Mendukung pelaksanaan ibadah
5. Mendukung pengambilan keputusan
6. Mendukung pengungkapan kebutuhan
7. Mendukung perasaan bersalah
8. Mendukung keyakinan
9. Mendukung proses berduka
10. Mendukung proses berduka;kematian perinatal
11. Memanajemen mood
12. Memanajemen perilaku
13. Memanajemen stress
14. Mencegah bunuh diri
15. Mempromosi dukungan keluarga
16. Mempromosi dukungan spiritual
17. Mempromosi harga diri
18. Mempromosi kesadaran diri
19. Mempromosi sistem pendukung
20. Teknik menenangkan
21. Terapi kognitif perilak

F. Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah membandingkan efek/hasil suatu tindakan


keperawatan dengan norma atau criteria tujuan yang sudah dibuat (Deden

xciii
Darmawan, 2012).

Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf


Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau
keperawatan tidak)
P : Planning (intervensi dilanjtkan atu
tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

Asuhan Keperawatan Gangguan Alam Perasaan


A. Pengertian
(Menurut Azizah,2011 : 66 ) depresi merupakan Penyebab terganggunya
fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Reno Tyas
Sedyo Arum & Mulyaningsih 2017 Jurnal Gester : 125).
Depresi merupakan kadaan emosional individu dengan perasaan sedih, putus
asa, selalu merasa bersalah, dan tidak ada harapan lagi secara berlebihan tanpa
bukti-bukti yang rasiobal (Anam Nofi Nur cahyanti, 2017 Skripsi : 8)
B. Etiologi
Menurut Maryam,(2011) tingginya prevalensi depresi pada lansia sangat
erat dikaitkan dengan berbagai faktor yang memungkinkan terjadinya depresi
yaitu : sebagai dampak proses menua yang alamiah, yang menimbulkan
konsekwensi berupa penurunan seluruh anatomi dan fungsi tubuh maupun
konsekwensi negatif akibat menua, sehingga lansia memiliki risiko tinggi
mengalami depresi. Kondisi menua ditambah dengan faktor penyakit yang didapat,
kondisi psikososial yang terganggu akibat kehilangan, menimbulkan konsekwensi

xciv
fungsional negatif bagi lansia. Bentuk konsekwensi fungsional negatif berupa
terjadinya gangguan self esteem yang dapat mengakibatkan terjadinya depresi
(Mauk, 2010 dalam Livana, Yulia Susanti, dkk 2018 : 88)
Menurut Probosuseno (2007) depresi pada lansia dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab yaitu :.
a. Lansia yang ditinggalkan oleh semua anak-anaknya karena disebabakan
masing-masing sudah membentuk keluarga dan tinggal di rumah atau kota
terpisah
b. Perhenti dari pekerjaan (pension sehingga kontak dengan teman sekerja
terputus atau berkurang),
c. Mundurnya dari berbagai kegiatan (Misalnya jarang bertemua dengan teman
sekantor/orang banyak).
d. Lansia kurang dilibatkan dalam berbagai kegiatan
e. Ditinggalkan oleh orang yang dicintai (misalnya pasangan hidup, anak,
saudara, sahabat dll).
Kesepian akan sangat dirasakan oleh lansia yang hidup sendirian, tanpa
anak, kondisi kesehatannya rendah, tingkat pendidikannya rendah dan rasa percaya
diri rendah, dari beberapa penyebab tersebut bisa timbulnya depresi (Novi Herawati
& Deharnita, 2019 Jurnal Kep.Jiwa : 185).
C. Klasifikasi
Dalam DSM-IV-TR menggolongkan depresi ke dalam gangguan suasana
perasaan dan gangguan penyesuaian. Gangguan suasana perasaan ini sendiri
meliputi: gangguan depresi (gangguan unipolar) dan gangguan perubahan mood
(gangguan bipolar).
a. Gangguan depresi ( unipolar ) terdiri dari dua tipe yaitu :
- Gangguan depresi mayor
Depresi mayor mengakibatkan satu atau lebih periode atau periode depresi
(disebut periode depresi mayor) tanpa ada riwayat terjadinya periode
manik atau hipomanik alami,
o Manik adalah fase ketika mengidap merasa sangat bersemangat dan
penuh energy. (berteriak-triak, memiliki dorongan inplus energy yang

xcv
sangat kuat, terlihat seperti orang mengamuk, dan kepercayaan diri
meningkat secara derastis).
o Hipomanik adalah bentuk mood yang dirasakan lebih ringan dan
berdurasi singkat (berangsung 4 hari/lebih)
- Gangguan distimik.
Gangguan distimik merupakan pola depresi ringan (tetapi mungkin saja
menjadi mood yang menyulitkan pada anak-anak atau remaja) yang terjadi
dalam suatu rentang waktu pada orang dewasa, biasanya dalam beberapa
tahun.
b. Gangguan perubahan mood (gangguan bipolar)
Gangguan bipolar yaitu gangguan mood kronik yang disebabkan
dengan adanya periode manik/hipomanik yang muncul dengan cara bergantian
atau bercampur dengan periode depresi seperti : merasa tertekan, rendah diri,
dll (Uzlifatub Zannah, dkk, 2018: 264).
Gangguan perubahan mood (gangguan bipolar) terdiri dari :
- Manik-depresif
Manik-depresif merupakan gangguan yang disertai satu atau lebih episode
manik atau hipomanik (episode mood yang melambung dan hiperaktivitas,
dimana penilaian dan tingkah laku mengalami hendaya). Episode manik atau
hipomanik sering digantikan dengan episode depresi mayor dengan jeda
periode mood yang normal,
- Gangguan siklotimik
Gangguan siklotimik merupakan gangguan mood kronis meliputi beberapa
episode hipomanik (episode yang disertai dengan ciri-ciri manik) (Theresia
Widyas,2019 Jurnal Ilmiah PSYCHE : 73-74)
D. Manifestasi klinis
Dalam DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder fourth edition Text Revision) (American Psychiatric Association, 2000)
menulis bahwa kriteria depresi mayor yang ditetapkan apabila ada salah satu dari
lima gejala di bawah ini telah ditemukan dalam jangka waktu dua minggu yang

xcvi
sama dan merupakan satu perubahan pola fungsi dari sebelumnya, paling tidak
satu gejala.
1. Mood tertekan :
Setiap hari, yang diinformasikan oleh subjektif atau pemantauan dari orang
lain.
2. Ditandai berkurangnya minat dan kesenangan
Hampir semua aktivitas, hampir sepanjang hari, (diinformasikan oleh
pertimbangan subjektif atau pemantauan dari orang lain).
3. Berat Badan berkurang secara signifikan tanpa diet / bertambahnya berat
badan
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang
lain, tidak hanya perasaan subjektif tentang kegelisahan atau rasa terhambat)
6. Lelah atau kehilangan tenaga hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah seperti menyalahkan diri sendiri,
rasa bersalah karena penyakitnya, dll).
8. Menurunnya kemampuan berpikir atau konsentrasi,
9. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya takut akan kematian),
atau usaha bunuh diri atau adanya suatu rencana spesifik untuk bunuh diri
(Meilanny Budiarti Santoso, dkk,2017 : 392-393)

Perubahan pada lansia depresi (Irawan, 2013 dalam KTI Nurinda Fitra Ayu
Lestari, 2019) yaitu :

a. Perubahan fisik
1) Menurunnya nafsu makan sehingga BB turun (lebih dari 5% dari berat
badan bulan terakhir).
2) Gangguan tidur seperti gangguan untuk memulai tidur, tetap tertidur, atau
tidur terlalu lama. Jika tidur, merasa tidak segar dan lebih buruk di pagi
hari penurunan energi dengan perasaaan lemah dan kelelahan fisik.
Beberapa orang mengalami agitasi dengan kegelisahan dan bergerak terus.

xcvii
3) Nyeri, nyeri kepala, dan nyeri otot dengan penyebab fisik yang tidak
diketahui gangguan perut, dan konstipasi.
b. Gangguan memori
1) Pikiran kacau, daya berpikir yang lambat, sulit berkonsentrasi, atau sulit
mengingat informasi
2) Sulit dan sering menghindari mengambil keputusan
3) Pemikiran obsesif akan terjadi bencana atau malapetaka
4) Preokupasi atas kegagalan atau kekurangan diri menyebabkan kehilangan
kepercayaan diri
5) Menjadi tidak adil dalam mengambil keputusan
6) Hilang kontak dengan realitas, dapat menjadi halusinasi (auditorik) atau
delusi
7) Pikiran menetap tentang kematian, bunuh diri, atau mencoba melukai diri
sendiri
c. Gangguan persepsi sensori
1) Kehilangan minat dalam kegiatan yang dulu merupakan sumber
kesenangan
2) Penurunan minat dan kesenangan seks
3) Perasaan tidak berguna, putus asa, dan perasaan bersalah yang besar
4) Tidak ada perasaan
5) Perasaan akan terjadi malapetaka
6) Kehilangan percaya diri
7) Perasaan sedih dan murung yang lebih buruk di pagi hari
8) Menangis tiba-tiba, tanpa alasan jelas
9) Iritabel, tidak sabar, marah, dan perasaan agresif
d. Harga diri rendah
1) Menarik diri dari lingkungan sosial, kerja, atau kegiatan santai
2) Menghindari mengambil keputusan
3) Mengabaikan kewajiban seperti pekerjaan rumah, berkebun, atau
membayar tagihan
4) Penurunan aktivitas fisik dan olahraga

xcviii
5) Pengurangan perawatan diri seperti perawatan diri dan makan
6) Peningkatan penggunaan alkohol atau obat-obatan
E. Patofisiologi
Menurut (Axelson, 2015; Chisholm-Burns et al, 2016) atofisiologi bipolar
belum sepenuhnya bisa dipahami. Teknik pencitraan seperti post emission
tomography (PET) dan functional magnetic resonance imaging (fMRI) digunakan
dalam menjelaskan mengenai penyebab bipolar. Penelitian-penelitian terdahulu
hanya fokus pada neurotransmitter seperti norepinefrin (NE), dopamine (DA) dan
serotonin (ChisholmBurns, et al., 2016). Akan etapi faktor lain yang dapat
menjadi penyebab gangguan bipolar adalah faktor genetic. Suatu studi keluarga
menunjukkan bahwa keluarga tingkat pertama dari penderita gangguan bipolar
memiliki risiko 7 kali lebih besar terkena gangguan bipolar I dibandingkan
populasi umum. Risiko seumur hidup gangguan bipolar pada keluarga penderita
ialah 40- 70% untuk kembar monozigot dan 5-10% untuk kerabat tingkat pertama
lainnya (Uzlifatul Zannah, dkk, 2018 Farmaka : 269) 17466
F. Patahtway

Stressor Depresi Ketidakefektifan


koping

Nurinda Fitra Ayu Lestari, 2019

G. Pemeriksaan penunjang
1. Geriatric Depression Scale (GDS-30)
Keterangan :
a) Skor 0-10 : Tidak ada depresi
b) Skor 11-20 : Depresi ringan
c) Skor 21-30 : Depresi berat

(Aspiani, 2014)

H. Komplikasi
Depresi berdampak pada meningkatnya angka kematian akibat penyakit
kardiovaskuler, ketidak seimbangan ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormone)

xcix
yang meningkatkan hormon kortisol, penurunan limfosit, penurunan aktivasi sel
natural killer; kualitas hidup jelek, kesulitan berinteraksi sosial dan pengambilan
keputusan serta meningkatnya bunuh diri
I. Penatalaksanaan
Penanganan depresi di bagi menjadi 2 yaitu secara farmakologik dan non-
farmakologik.
a. Penanganan non farmakologik
- salah satunya adalah terapi tertawa. Klien yang depresi biasanya
mengalami emosi yang menyakitkan, mengungkapkan kepedihan yang
tidak tertahankan dan tidak ada lagi yang bisa merasa lebih baik. Salah
satu prosedur terapeutik adalah terapi tertawa yang melahirkan tawa dan
senyuman (Trifonia Sri Nurwela, Marlina Mahajudin, dkk 2015. Jurnal
ilmiah Kedokteran : 65)
J. Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
a) Biodata
- Identitas pasien : nama pasien, no RM, umur, agama, status
perkawinan, pendidikan, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, suku,
diagnosa medis, tanggal masuk RS, dan tanggal pengkajian.
- Penanggung jawab : Nama, umur, agama, alamat, pekerjaan, jenis
kelamin, dan hubungan dengan pasien.
b) Genogram keluarga : Terjadinya depresi pada keluarga diperoleh bahwa
generasi pertama berpeluang lebih sering dua sampai sepuluh kali
mengalami depresi.
c) Riwayat penyakit : kaji adanya depresi, atasi depresi dengan scrining yang
tepat seperti geriatric depression scale, wawancarai kelain/keluarga
d) Melakukan observasi secara langsung
- Peilaku
- Akibat depresi
- Respons kognitif
e) Pemberian asuhan keperawatan

c
f) Mengkaji lansia dengan depresi
B. Analisa data

Symptom Etiologi Problem


Ds : Data yang Koping keluarga tidak - Gangguan pola tidur
didapatkan dari klien efektif - Gangguan memori
sebagai suatu pendapat - Gangguan persepsi
terhadap situasi sensori
dan kejadian - Harga diri rendah
Do : Data yang dapat
diobservasi dan diukur

C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga,
atau komunitas terhadap masalah kesehatan potensial atau aktual/ proses
kehidupan. Diagnosa keperawatan menjadi dasar bagi pemilihan intervensi
keperawatan guna mencapai hasil yan akontibilitasnya dimiliki perawat
(NANDA, 1998, 2008).
1. Gangguan pola tidur
2. Gangguan memori
3. Gangguan persepsi sensori
4. Harga diri rendah
D. Intervensi
Merupakan tahap ketiga dari peruses keperawatn dimana perawat
menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi pasien ditentukan dan
merencanakan intervensi keperawatan. Selama perencanaan, dibuat prioritas
dengan kolaborasi klien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, telaah
literature, modifikasi asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan
tentang kebutuhan perawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan klinik
(Deden Dermawan, 2012).
Dx Standar luaran & Hasil Intervensi (SIKI) Rasional

ci
(SLKI)
1 Setelah dilakukan 1. Dukungan tidur
tindakana keperawatan 2. Edukasi aktivitas/istirahat
diharapakan dengan 3. Dukungan kepatuhan
kriteria Hasil : program pengobatan
1. Pola tidur meningkat 4. Dukungan meditasi
2. penampilan peran 5. Dukungan perawatan diri:
baik BAB/BAK
3. status kenyamanan 6. Fototerapi gangguan mood/
meningkat tidur
4. tingkat depresi 7. Latihan otogenik
menurun 8. Manajemen demensia
5. tingkat keletihan 9. Manajemen energi
berkurang 10. Manajemen lingkungan
11. Manajemen medikasi
12. Manajemen nutrisi
13. Manajemen nyeri
14. Manajemen penggantian
hormon
15. Pemberian obat oral
16. Pengaturan posisi
17. Promosi koping
18. Promosi latihan fisik
19. Reduksi ansietas
20. Teknik menenangkan
21. Terapi aktivitas
22. Terapi musik
23. Terapi pemijatan
24. Terapi relaksasi
25. Terapi relaksasi oot
progresif

cii
2 Setelah dilakukan 1. Latihan memori
tindakana keperawatan 2. Orientasi realita
diharapakan dengan 3. Dukungan emosional
kriteria Hasil : 4. Dukungan kepatuhan
1. Memori (daya ingat) program pengobatan
meningkat 5. Manajemen cairan
2. Orientasi kognitif 6. Manajemen delirium
3. Perfusi serebral 7. Manajemen demensia
4. Proses informasi 8. Manajemen
5. Status neurologis elektroensefalografi
6. Status nutrisi 9. Manajemen elekrolit
10. Manajemen lingkungan
11. Manajemen medikasi
12. Pemantauan cairan
13. Pemanatauan eletrolit
14. Pemantauan neurologis
15. Pemetaan otak
(Brainmapping)
16. Perawatan jantung
17. Reduksi ansietas
18. Stimulasi kognitif
19. Surveilens
20. Transcutaneous Elecrolical
Nerve Stimulation (TENS)
21. Terapi milleu
22. Terapi oksigen
23. Terapi reminisens
24. Terapi validasi

3 Setelah dilakukan 1. Manajemen halusinasi

ciii
tindakana keperawatan 2. Meminimalisasi rangsangan
diharapakan dengan 3. Pengekangan kimiawi
kriteria Hasil : 4. Dukungan pelaksanaan
1. Persepsi sensori ibadah
normal 5. Dukungan pengungkapan
2. Fungsi sensori baik kebutuhan
3. Orientasi kognitif 6. Edukasi perawatan diri
baik 7. Edukasi teknik mengingat
4. Proses informasi 8. Limit sealtinh
5. Status neurologis 9. Manajemen delirium
6. Status orientasi 10. Manajemen demensia
11. Manajemen mood
12. Manajemen penyalahgunaan
zat
13. Manajemen perilaku
14. Manajemen stres
15. Pencegahan bunuh diri
16. Pencegahan perilaku
kekerasan
17. Promosi perawatan diri
18. Reasruklurisasi kogniif
19. Skrining penganiayaan /
persekusi
20. Skrining penyalahgunaan zat
21. Teknik menenangkan
22. Terapi aktivitas
23. Terapi kelompok
24. Erapi kognitif perilaku
25. Terapi relaksasi

4 Setelah dilakukan 28) Manajemen perilaku

civ
tindakana keperawatan 29) Promosi harga diri
diharapakan dengan 30) Promosi koping
kriteria Hasil : 31) Dukungan keyakinan
9. Harga diri 32) Dukungan memaafkan
meningkat 33) Dukungan pelaksanaan
10. Adaptasi disabilita ibadah
baik 34) Dukungan penampilan peran
11. Fungsi keluarga 35) Dukungan pengambilan
baik keputusan
12. Identitas seksual 36) Dukungan pengungkapan
13. Kesadaran diri perasaan
normal 37) Dukungan perasaan bersalah
14. Ketahanan keluarga 38) Dukungan perlindungan
baik penganiyayaan
15. Ketahanan personal 39) Dukungan spirituall
baik 40) Edukasi manajmen stress
16. Tingkat depresi 41) Edukasi penyalahgunaan zat
menurun 42) Kontrak prilaku positif
43) Manajmen depresi
44) Manajmen perilaku
45) Manajmen stress
46) Pemberian obat
47) Pemberian obat oral
48) Perantara budaya
49) Perawatan perkembangan
50) Promosi kepercayaan diri
51) Promosi kesadaran diri
52) Restruksi kognitif
53) Terapi diversional
54) Terapi kognitif perilaku

cv
E. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
dank lien. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Deden
Dermawan, 2012).
Hari/tggl/jam Dx Implementasi Ttd
1 1. Mendukung tidur
2. Mengdukasi aktivitas/istirahat
3. Mendukung kepatuhan program
pengobatan
4. Mendukung meditasi
5. Mendukung perawatan diri: BAB/BAK
6. Fototerapi gangguan mood/ tidur
7. Melatih otogenik
8. Memanajemen demensia
9. Memanajemen energi
10. Memanajemen lingkungan
11. Memanajemen medikasi
12. Memanajemen nutrisi
13. Memanajemen nyeri
14. Memanajemen penggantian hormon
15. Memberikan obat oral
16. Mengatur posisi
17. Mempromosi koping
18. Mempromosi latihan fisik
19. Reduksi ansietas
20. Teknik menenangkan
21. Menterapi aktivitas
22. Menterapi musik
23. Menterapi pemijatan
24. Menterapi relaksasi

cvi
25. Menterapi relaksasi oot progresif

2 1. Melatih memori
2. Mengorientasi realita
3. Mendukung emosional
4. Mendukung kepatuhan program
pengobatan
5. Memanajemen cairan
6. Memanajemen delirium
7. Memanajemen demensia
8. Memanajemen elektroensefalografi
9. Memanajemen elekrolit
10. Memanajemen lingkungan
11. Memanajemen medikasi
12. Memantau cairan
13. Memantau eletrolit
14. Memantau neurologis
15. Memantau otak (Brainmapping)
16. Merawat jantung
17. Mereduksi ansietas
18. Menstimulasi kognitif
19. Surveilens
20. Transcutaneous Elecrolical Nerve
Stimulation (TENS)
21. Menterapi milleu
22. Menterapi oksigen
23. Menterapi reminisens
24. Menterapi validasi
3 1. Memanajemen halusinasi
2. Meminimalisasi rangsangan
3. Mengekang kimiawi

cvii
4. Mendukung pelaksanaan ibadah
5. Mendukung pengungkapan kebutuhan
6. Mengedukasi perawatan diri
7. Mengedukasi teknik mengingat
8. Limit sealtinh
9. Memanajemen delirium
10. Memanajemen demensia
11. Memanajemen mood
12. Memanajemen penyalahgunaan zat
13. Memanajemen perilaku
14. Memanajemen stres
15. Mencegah bunuh diri
16. Mencegah perilaku kekerasan
17. Mempromosi perawatan diri
18. Mereasruklurisasi kogniif
19. Menskrining penganiayaan / persekusi
20. Menskrining penyalahgunaan zat
21. Menteknikan menenangkan
22. Menterapi aktivitas
23. Menterapi kelompok
24. Menterapi kognitif perilaku
25. Menterapi relaksasi

4 1. Memanajemen perilaku
2. Mempromosi harga diri
3. Mempromosi koping
4. Mendukung keyakinan
5. Mendukung memaafkan
6. Mendukung pelaksanaan ibadah
7. Mendukung penampilan peran
8. Mendukung pengambilan keputusan

cviii
9. Mendukung pengungkapan perasaan
10. Mendukung perasaan bersalah
11. Mendukung perlindungan penganiyayaan
12. Mendukung spirituall
13. Mengdukasi manajmen stress
14. Mengdukasi penyalahgunaan zat
15. Mengontrak prilaku positif
16. Memanajmen depresi
17. Memanajmen perilaku
18. Memanajmen stress
19. Memberikan obat
20. Memberikan obat oral
21. Perantara budaya
22. Merawat perkembangan
23. Mempromosi kepercayaan diri
24. Mempromosi kesadaran diri
25. Merestruksi kognitif
26. Menterapi diversional
27. Menterapi kognitif perilaku

F. Evaluasi

cix
Evaluasi keperawatan adalah membandingkan efek/hasil suatu
tindakan keperawatan dengan norma atau criteria tujuan yang sudah dibuat
(Deden Darmawan, 2012).
Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf
Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau
keperawatan tidak)
P : Planning (intervensi dilanjtkan atu
tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

Asuhan Keperawatan Gangguan Kognitif


A. Pengertian
Kognitif yaitu salah satu fungsi tingkat tinggi otak manusia yang terdiri dari
beberapa komponen yakni : persepsi visual dan konstruksi kemampuan berhitung,
persepsi dan penggunaan bahasa, pemahaman dan penggunaan bahasa, proses
informasi, memori, fungsi eksekutif, dan pemecahan masalah sehingga jika terjadi
gangguan fungsi kognitif dalam jangka waktu yang panjang dan tidak dilakukan
penanganan yang optimal dapat mengganggu aktifitas sehari–hari. Hasil penelitian
Ramdhan, (2012). Dilakukan di wilayah Manado menemukan bahwa lanjut usia yang
mengalami gangguan kognitif sebesar 93,6% (Mutiara E., Junita Maja Pertiwi, Finny
Warouw, 2019 Jurnal Sinaps : 34).
B. Etiologi
Menurut Blondell, Hammersley-Mather, & Veerman, 2014 faktor risiko yang
dapat memengaruhi penurunan fungsi kognitif yaitu keturunan dari keluarga, tingkat
pendidikan, cedera otak, racun, tidak melakukan aktivitas fisik, dan penyakit kronik
seperti parkinson, jantung, stroke serta diabetes (The U.S Departement of Health and
Human Services, 2011) (Mersiliya & etty, 2016 Jurnal Keperawatan Indonesia : 72)

cx
Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, seperti menurunnya kemampuan
meningkatkan fungsi intelektual, menurunnya efisiensi transmisi saraf di otak
(mengakibatkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama
transmisi), menurunnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil
informasi dari memori(daya ingat), kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih
baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. (Marquez
et al., 2009). Lupa dalam kategori normal sesuai dengan penambahan usia adalah jika
terjadinya hanya sesekali, hanya sebagian peristiwa saja yang terlupa (tidak
seluruhnya), ada perlambatan dalam mengingat namun masih sanggup mengingat jika
diberikan catatan bantuan. Dari segi fungsional biasanya individu masih mandiri dan
aktif. (Tucker et al., 2006). (Laksmidewi, 2016 Neurology in elderly).
C. Klasifikasi
Yang dapat menyebabkan fungsi kognitif seperti :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Status mental dan emosional
d. Aktivitas fisik dan olahraga,
e. Pendidikan
f. Kondisi lingkungan
(Andria Pragholapati, dkk 2021 Jurnal Mutiara Ners : 15-16).
D. Manifestasi klinis
Masalah-masalah yang sering terjadi pada usia lanjut yaitu, forgetfulness
(mudah lupa), tidak merasa cerdas, sukar belajar, susah berkomunikasi dan
berhubungan. Mudah lupa merupakan fenomena yang paling sering ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari pada usia lanjut. Menurut penelitian, kemampuan kognitif
umum seorang usia lanjut normal tidak menurun sampai usia 90 tahun. Sedangkan
forgetfulness terjadi mulai usia pertengahan. Memori yang menurun adalah
kemampuan menyebut nama benda (naming) dan kecepatan mencari kembali
informasi yang tersimpan maupun mempelajari hal-hal baru. Kemampuan kognitif
lainnya seperti daya pikir, abstraksi, kemampuan berbahasa, kemampuan visuopasial
tidak menurun dengan penambahan usia (Laksmidewi, 2016 Neurology in elderly).

cxi
E. Patofisiologi
Proses menua pada lansia tidak dengan sendirinya yang bisa menyebabkan
terjadinya demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan
biokimiawi di susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar
10% pada penuaan antara usia 30 -70 tahun. Berbagai faktor penyebab yang telah
disebutkan merupakan kondisi kondisi yang dapat memperngaruhi sel sel neuron
korteks serebri.
Penyakit degenerative pada otak, gangguan vascular dan penyakit lainnya
serta gangguan nutrisi, metabolic dan toksitasi secara langsung maupun tak langsung
depat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskemia,
infrak, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan
mengganggu fungsi dari are kortikal ataupun sub kortikal.
Disamping itu kadar neurotransmitter di otak yang diperlukan untuk proses
konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi
kognitif (daya ingat (memori), daya pikir dan belajar), gangguan sensorium
(perhatian, kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami
gangguan tergantung lokasi area yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau
penyebabnya, karena manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal
tersebut akan memicu keadaan konfusio akut demensia (Boedhi-Darmojo, 2009
dalam Melisa Dia Pitaloka, 2019)

F. Pathway

cxii
Gangguan
komunikasi
verbal

Gangguan memori

G. Pemerisaan penunjang
Pemeriksaan kognitif yaitu :
1. Pemeriksaan Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (INA MoCA)
dan Trail Making Test.

cxiii
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberi serangkaian perintah pada
seseorang dan menilai ketepatannya (Mutiara E., Junita Maja Pertiwi, Finny
Warouw, 2019 Jurnal Sinaps : 34)
2. Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberi serangkaian perintah pada
seseorang dan menilai ketepatannya. Mini- Mental State Exam ( MMSE )
digunakan untuk menguji aspek kognitif dari fungsi mental lansia meliputi :
orientasi, registrasi, perhatian, kalkulasi, mengingat kembali dan bahasa.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melengkapi dan menilai, tetapi tidak dapat
digunakan untuk tujuan diagnostik, namun berguna untuk mengkaji kemajuan
klien (Ani Kuswati, Taat Sumedi, & Wahyudi : Journal of Bionursing Vol 1 :
124) 19
H. Komplikasi
Menurut (Aartsen, Van Tilburg, Smits, & Knipscheer, 2004 dalam
Surprenant & Neath, 2007). Dampak penurunan fungsi kognitif pada lansia yaitu
lansia dapat melupakan identitasnya, melupakan nama anggota keluarganya,
lansia tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi,
mempengaruhi produktifitas, dan mempengaruhi tingkat kemandirian (Zulsita,
2010). Selain itu penurunan fungsi kognitif pada lanjut usia berasosiasi secara
signifikan dengan peningkatan depresi dan memiliki dampak terhadap kualitas
hidup yang buruk pada lansia (Andria Pragholapati, dkk 2021 Jurnal Mutiara
Ners : 15-16)
I. Penatalaksanaan
penurunan fungsi kognitif dapat dihambat dengan melakukan tindakan
preventif. Seperti tindakan preventif yang dapat dilakukan lansia yaitu perbanyak
aktivitas fisik (Mersiliya & etty, 2016 Jurnal Keperawatan Indonesia : 72).
Cara mencegah terjadinya gangguan kognitif dianjurkan pada lansia seperti :
- tetap melatih otak : yaitu dengan cara banyak membaca, terlibat kegiatan
dengan mengasah otak seperti mengisi crossword puzzle, dan beberapa
aktivitas berkaitan kerja otak lainnya.

cxiv
Aktivitas kehidupan yang berkurang mengakibatkan semakin bertambahnya
ketidakmampuan tubuh dalam melakukan berbagai hal. Bagian tubuh salah
satunya yang mengalami penurunan kemampuan yaitu pada otak. Terapi
Puzzle dapat merangsang bagian otak yaitu di oksipital temporal, lobus
parietal, lobus midfrontal, lobus frontal, hipokampus, dan korteks entrohinal
(Ningsih, 2016 dalam Nur Isnaini & Nabila Karimah Komsin, 2020 Jurnal
Human Care : 1061)
J. Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
a. Biodata
- Identitas pasien : Nama pasien, no RM, umur, agama, status
perkawinan, pendidikan, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, suku,
diagnosa medis, tanggal masuk RS, dan tanggal pengkajian.
Penanggung jawab : Nama, umur, agama, alamat, pekerjaan, jenis
kelamin, dan hubungan dengan pasien.
b. Keluhan :
- Data Subjektif : Data yang biasa di dapatkan dari pasien menggunakan
tekhnik wawancara seperti :
1) Pasien mengeluh mudah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi
2) Pasien mengeluh tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu
- Data Objektif : Data yang biasa di dapatkan dari pasien menggunakan
obervasi (melihat,mengukur, dll) seperti :
1) Pesien kehilangan kemampuan utuk mengenali wajah, tempat, dan
objek yang sudah dikenalnya dan kehilangan suasana keluarganya
2) Pasiem mengulang ulang cerita yang sama karena lupa telah
menceritakannya
3) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; mendengar
menggunakan kata kata yang lebug sederhana, menggunakan kata
kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata kata yang
tepat.
c. Pemeriksaan fisik :

cxv
1) Keadaan umum : Keadaan umum klien lansia yang mengalami
masalah psikososial demensia biasanya lemah
2) Kesadaran : Biasanya Composmentis
3) Tanda-tanda Vital
a) Suhu : normal (37°.C)
b) Nadi : normal (N: 70-82x/mnt).
c) Tekanan darah (TD) kadang meningkat atau menurun.
4) Pemeriksaan Review Of System (ROS)
a) Sistem pernafasan (B1 : Breathing) Di dapatkan peningkatan
frekuensi nafas atau dalam batas normal
b) Sistem sirkulasi (B2 : Bledding) Tidak ditemukannya kelainan,
frekuensi nadi normal.
c) Sistem persyarafan (B3 : Brain) Klien mengalami ganguan
memori, kehilangan ingatan, gangguan konsentrasi, kurang
perhatian, gangguan persepsi sensori, dan insomnia.
d) Sistem Perkemihan (B4 : Bledder) Tidak ada keluhan terkait di
sistem perkemihan.
e) Sistem (B5 : Bowel) Data yang biasa didapatkan iyalah napsu
makan berkurang/berlebihan karena kadang lupa apakah sudah
makan atau belum, penurunan BB, terjadi juga konstipasi pada
penderita.
f) Sistem muskuloskeletal (B6 : Bone) Klien mengalami gangguan
dalam pemenuhan aktivitas.
5) Pengkajian saraf kranial. Pengakajian saraf ini meliputi pengkaijan
saraf kranial I- XII:
a) Saraf I (Olfaktorius) Biasanya pada klien penyakit dimensia tidak
ada kelaianan fungsi penciuman.
b) Saraf II (Optikus) Tes ketajaman penglihatan perubahan yaitu
sesuai dengan keadaan usia lanjut biasanya klien dengan demensi
mengalami penurunan ketajaman penglihatan.

cxvi
c) Saraf III (Okulomotorius), IV (Troklearis), VI (Abdusen)
Biasanaya tidak ada ditemukan kelainan pada saraf ini
d) Saraf V (Trigeminus) wajah simetris dan tidak ada kelaianan pada
saraf ini.
e) Saraf VII (Fasialis) Persepsi pengecapan dalam batas normal.
f) Saraf VIII (Vestibulokoklearis) Adanya konduktif dan tuli persepsi
berhubungan proses senilis serta penurunan aliran darah regional.
g) Saraf IX (Glosofaringeal) dan X (Vagus) Kesulitan dalam menelan
makan yang berhubungan dengan perubahaan status kognitif.
h) Saraf XI (Aksesorius) Tidak atrofi otot strenokleidomastoideus dan
trapezius.
i) Saraf XII (Hipoglossus) Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu
sisi dan idak ada vasikulasi dan indera pengecapan normal.
d. Pola fungsi kesehatan Yang harus dikaji adalah aktivitas yang biasa
dilakukan sehubungan dengan adanya masalah psikososial demensia :
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat :
Data yang di dapatkan iyalah gangguan persepsi, klien mengalami
gangguan dalam memelihara dan menangani masalah kesehatannya.
2) Pola tidur dan istirahat :
Data yang di dapatkan yaitu Klien mengalami insomnia.
3) Pola aktivitas :
Klien biasanya mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas
sehari-hari karena penurunan minat. Pengkajian kemampuan klien
dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari dapat menggunakan
Indeks KATZ (Aspiani, 2014)
4) Pola hubungan dan peran :
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap
anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak
punya rumah, dan masalah keuangan. Menggunakan pengkajian
APGAR Keluarga.
5) Pola sensori dan kognitif :

cxvii
Klien mengalami kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan minat dan motivasi, mudah lupa, gagal dalam
melaksanakan tugas, cepat marah, disorientasi. Untuk mengetahui
status mental klien dapat dilakuan pengkajian menggunakan tabel
Short Portable Mental Status Quesionere (SPSMQ).
6) Pola persepsi dan Konsep diri :
Klien dengan demensia umumnya mengalami gangguan depresi, tidak
mengalami gangguan kosep diri.
7) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping :
Klien menggunakan mekanisme koping yang tidak efektif dalam
menangani stress yang dialaminya.
8) Spiritual Keyakinan :
klien terhadap agama dan keyakinan masih kuat tetapi tidak atau
kurang mampu dalam melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agama
dan kepercayaannya.
9) Personal Hygine :
Biasanya pada demensia dalam melakukan personal Hygiene perlu
bantuan/tergantung terhadap orang lain. Tidak mampu
mempertahankan penampilan, kebiasaan personal yang kurang,
kebiasaan pembersihan buruk, lupa pergi untuk kekamar mandi, lupa
langkah-langkah untuk buang air, tidak dapat menemukan kamar
mandi dan kurang berminat pada atau lupa pada waktu makan dan
menyiapkannya dimeja, makan, menggunakan alat makan, berhias,
maupun kemandirian dalam kebersihan merawat tubuh. Uuntuk
mengetahui tingkat ketergantungan pola personal hygine klien dapat
dilakukan dengan pengkajian Bathel Index.
B. Analisa data
Symptom Etiologi Problem

cxviii
Ds : Data yang Kerusakan membrane Gangguan pertukaran gas
didapatkan dari klien alveolar
sebagai suatu pendapat
terhadap situasi Menurunnya permukaan
dan kejadian efek
Do : Data yang dapat
diobservasi dan diukur Alveolus

C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga,
atau komunitas terhadap masalah kesehatan potensial atau aktual/ proses
kehidupan. Diagnosa keperawatan menjadi dasar bagi pemilihan intervensi
keperawatan guna mencapai hasil yan akontibilitasnya dimiliki perawat
(NANDA, 1998, 2008).
1. Gangguan komunikasi verbal
2. Gangguan memori
3. Defisit perawatan diri
D. Intervensi
Merupakan tahap ketiga dari peruses keperawatn dimana perawat
menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi pasien ditentukan dan
merencanakan intervensi keperawatan. Selama perencanaan, dibuat prioritas
dengan kolaborasi klien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, telaah
literature, modifikasi asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan
tentang kebutuhan perawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan klinik
(Deden Dermawan, 2012).
Standar luaran & hasil
Dx Intervensi (SIKI) Rasional
(SLKI)
1 Setelah tindakan 1. Promosi komunikasi : desifit
keperawatan selama 3x24 bicara
jam diharapakn dengan 2. Promosi komunikasi : defisit
kriteria Hasil : pendengaran
cxix
1. Komunikasi verbal 3. Promosi komunikasi : defisit
membaik visual
2. Meningkatnya 4. Dukungan kepatuhan program
dukungan sosial pengobatan
3. Fungsi sensori normal 5. Dukungan pengambilan
4. Harga diri meningkat keputusan
5. Kesadaran diri dalam 6. Dukungan perawatan diri
batas normal 7. Latihan memori
6. Orientasi kognitif 8. Manajmen demensia
baik 9. Manajmen energy
7. Proses informasi baik 10. Manajamen lingkungan
8. Status kognitif dalam 11. Manajmen medikasi
batas normal 12. Perawatan telinga
9. Status neurologi 13. Reduksi ansietas
normal 14. Terapi seni
10. Tingkat delirium baik 15. Terapi sentuhan
11. Tingkat dimesia baik 16. Terapi validasi
2 Setelah tindakan 1. Latihan memori (daya ingat)
keperawatan selama 3x24 2. Orientasi realita
jam diharapakn dengan 3. Dukungan emosional
kriteria Hasil : 4. Dukungan kepatuhan program
1. Memori / daya ingat pengobatan
membaik 5. Manajmen cairan
2. Orientasi kognitif 6. Manajmen delirium
membaik 7. Manajmen demensia
3. Perfusi serebral 8. Manajmen eletroensefalografi
normal 9. Manajmen elektrolit
4. Status neurologis 10. Manajmen lingkungan
membaik 11. Manajmen edukasi
5. Status kognitif baik 12. Pemantauan cairan
13. Pemantauan elektrolit

cxx
14. Pemantauan neurologis
15. Pemantauan otak
(Brainmapping)
16. Perawatan jantung
17. Reduksi ansietas
18. Stimulus kognitif
19. Surveilens
20. Transcutaneous Electra Nerve
Stimulation (TENS)
21. Terapi mileu
22. Terapi oksigen
23. Terapi reminisens
24. Terapi validasi
3 Setelah tindakan 1. Dukungan perawatan diri
keperawatan selama 3x24 2. Dukungan perawatan diri:
jam diharapakn dengan BAB/BAK
kriteria Hasil : 3. Dukungan perawatan diri:
1. Meningkatnya Berhias
perawatan diri 4. Dukungan perawatan diri :
2. Fungsi sensori normal Berpakaian
3. Koordinasi 5. Dukungan perawatan diri :
pergerakan Makan/Minum
4. Mobilitas fisik 6. Dukungan perawatan diri :
membaik Mandi
5. Meningkatnya 7. Dukungan emosional
motivasi 8. Dukungan pengambilan
6. Status kognitif baik keputusan
7. Status neurologis 9. Dukungan tanggung jawab pada
8. Tingkat delirium diri sendiri
9. Tingkat demensia 10. Kontrak prilaku positif
menurun

cxxi
10. Tingkat keletihan 11. Manajemen demensia
11. Tingkat kenyamanan 12. Manajemen energi
meningkat 13. Manajemen lingkungan
12. Tingkat nyeri 14. Manajemen nutrisi
menurun 15. Manajemen nyeri
16. Pemberian makanan
17. Pemberian makanan
18. Pencegahan jatuh
19. Penentuan tujuan bersama
20. Pengaturan posisi
21. Perawatan kaki
22. Perawaan kuku
23. Perawatan lensa kontak
24. Perawatan mata
25. Perawatan mulut
26. Perawatan perineum
27. Perawatan rambut
28. Perawatan telinga
29. Promosi citra tubuh
30. Promosi harga diri
31. Promosi komunikasi: Defisit
32. Pendengaran
33. Promosi komunikasi: Defisit
visual
34. Promosi latihan fisik
35. Reduksi ansietas
36. Terapi menelan
37. Dukungan perawatan
diri:BAB/BAK
38. Dukungan kepatuhan program

cxxii
pengobatan
39. Edukasi kemoterapi
40. Konsultasi
41. Irigasi kolostomi
42. Insersi intravena
43. Manajemen cairan
44. Manajemen elektrolit
45. Manajemen eliminasi fekal
46. Manajemen kemoterapi
47. Manajemen lingkungan
48. Manajemen medikasi
49. Manajemen nutrisi
50. Manajemen nutrisi parenteral
51. Pemantauan elektrolit
52. Pemberian makanan enteral
53. Pemberian obat
54. Pemberian obat intradermal
55. Pemberian obat intavena
56. Pemberian obat oral
57. Pengontrolan infeksi
58. Perawatan kateter sentral perifer
59. Perawatan perineum
60. Perawatan selang gastrointestinal
61. Oerawatan stoma
62. Promosi berat badan

E. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
dank lien. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Deden
Dermawan, 2012).

cxxiii
Hari/tgl/jam Dx Implementasi Ttd
1 1. Mempromosi komunikasi : desifit bicara
2. Mempromosi komunikasi : defisit
pendengaran
3. Mempromosi komunikasi : defisit visual
4. Mendukung kepatuhan program pengobatan
5. Mendukung pengambilan keputusan
6. Mendukung perawatan diri
7. Latihan memori
8. Memanajmen demensia
9. Memanajmen energy
10. Memanajamen lingkungan
11. Memanajmen medikasi
12. Perawatan telinga
13. Reduksi ansietas
14. Terapi seni
15. Terapi sentuhan
16. Terapi validasi
2 1. Latihan memori (daya ingat)
2. Orientasi realita
3. Mendukung emosional
4. Mendukung kepatuhan program pengobatan
5. Memanajmen cairan
6. Memanajmen delirium
7. Memanajmen demensia
8. Memanajmen eletroensefalografi
9. Memanajmen elektrolit
10. Memanajmen lingkungan
11. Memanajmen edukasi
12. Memantau cairan
13. Memantau elektrolit

cxxiv
14. Memantau neurologis
15. Memantau n otak (Brainmapping)
16. Perawatan jantung
17. Reduksi ansietas
18. Stimulus kognitif
19. Surveilens
20. Transcutaneous Electra Nerve Stimulation
(TENS)
21. Terapi mileu
22. Terapi oksigen
23. Terapi reminisens
24. Terapi validasi
3 1. Mendukung perawatan diri
2. Mendukung perawatan diri: BAB/BAK
3. Mendukung perawatan diri: Berhias
4. Mendukung perawatan diri : Berpakaian
5. Mendukung perawatan diri : Makan/Minum
6. Mendukung perawatan diri : Mandi
7. Mendukung emosional
8. Mendukung pengambilan keputusan
9. Mendukung tanggung jawab pada diri sendiri
10. Kontrak prilaku positif
11. Memanajemen demensia
12. Memanajemen energi
13. Memanajemen lingkungan
14. Memanajemen nutrisi
15. Memanajemen nyeri
16. Pemberian makanan
17. Pemberian makanan
18. Mencegah jatuh

cxxv
19. Menentu tujuan bersama
20. Mengatur posisi
21. Merawat kaki
22. Merawat kuku
23. Merawat lensa kontak
24. Merawat mata
25. Merawat mulut
26. Merawat perineum
27. Merawat rambut
28. Merawat telinga
29. Mepromosi citra tubuh
30. Mepromosi harga diri
31. Mepromosi komunikasi: Defisit
32. Pendengaran
33. Mepromosi komunikasi: Defisit visual
34. Mepromosi latihan fisik
35. Merduksi ansietas
36. Terapi menelan
37. Mendukung perawatan diri:BAB/BAK
38. Mendukung kepatuhan program pengobatan
39. Mengedukasi kemoterapi
40. Konsultasi
41. Irigasi kolostomi
42. Insersi intravena
43. Memanajemen cairan
44. Memanajemen elektrolit
45. Memanajemen eliminasi fekal
46. Memanajemen kemoterapi
47. Memanajemen lingkungan
48. Memanajemen medikasi

cxxvi
49. Memanajemen nutrisi
50. Memanajemen nutrisi parenteral
51. Memantau elektrolit
52. Memberikan makanan enteral
53. Memberikan obat
54. Memberikan obat intradermal
55. Memberikan obat intavena
56. Memberikan obat oral
57. Pengontrolan infeksi
58. Merawat kateter sentral perifer
59. Merawat perineum
60. Merawat selang gastrointestinal
61. Merawat stoma
62. Mempromosi berat badan

F. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah membandingkan efek/hasil suatu
tindakan keperawatan dengan norma atau criteria tujuan yang sudah dibuat
(Deden Darmawan, 2012).
Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf
Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau
keperawatan tidak)
P : Planning (intervensi dilanjtkan atu
tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

cxxvii
G. Peran Keluarga, Tugas Keluarga, dan Langkah-Langkah dalam Perawatan Keluarga
dengan Lansia
1. Peran keluarga
Peran keluarga dalam perawatan lansia merupakan support system utama bagi
lansia, dalam mempertahankan kesehatannya, perawatan yang bisa keluarga lakukan
terdiri dari perawatan: Perawatan fisik, dimana meliputi bimbingan mengenai kebersihan
mulut dan gigi, kebersihan tubuh kulit dan badan, kebersihan rambut dan kuku,
kebersihan tempat tidur serta posisi tidur dan merubah posisi tiduran, cara memakan obat
dan cara pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Perawatan psikologi; Pada
dasarnya lansia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih dari lingkungannya. Untuk itu
keluarga harus menciptakan suasana yang aman, tidak gaduh, membiarkan mereka
melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya. Perawatan
Sosial; Mengadakan diskusi, tukar fikiran dan bercerita merupakan salah satu upaya
keluarga dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama
dengan sesama lansia berarti menciptakan sosialisasi mereka, dan perawatan spiritual,
keluarga harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungan lansia
dengan Tuhan atau agama yang dianutnya. Keluarga bisa memberikan kesempatan pada
lansia untuk melaksanakan ibadahnya dengan memberikan bimbinga seperti membaca
kitab atau membantu lansia dalam menunaikan kewajiban terhadap agama yang
dianutnya (Guriti & Ismarwati, 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al (2016) di Cina dan Tomioka, Kurumatani,
dan Hosoi, (2017) di Cina mengemukakan bahwa berkumpul bersama dengan keluarga
dan anak-anak merupakan hal yang paling meyenangkan bagi lansia , mereka lebih
merasa nyaman apabila berkumpul dan dirawat oleh keluarga dan merasa hidupnya lebih
berarti. Penelitian ini sejalan dengan hasil penlitan yang dilakukan oleh Manasatchakun
et al (2016) di Thailand dimana hasil penelitiannya lansia yang mengalami cacat fisik
lebih nyaman dirawat oleh anggota keluarganya,dan mereka juga memiliki penghasilan
sendiri. Sedangkan penelitian yang dilakuka oleh Wang, Lv, Xue, Wang, & Bai, (2018)
di Jepang Selain berkumpul bersama keluarga dan dirwat oleh anak cucu, komunikasi
sosial di dalam lingkunga keluarga maka akan berpengaruh terhadap kehidupan dan
aktifitas sosial lansia sehari- hari (Guriti & Ismarwati, 2020).

cxxviii
2. Pelaksanaan Tugas Keluarga Dalam Pemeliharaan Kesehatan dengan Lansia
Sebanyak 56% keluarga melaksanakan tugas pemeliharaan kesehatan terhadap
lansia secara baik. Hasil ini mengindikasikan bahwa keluarga melaksanakan tugas
pemeliharaan terhadap lansia dengan baik disebabkan salah satunya adalah umur.
Sebanyak 32,7% keluarga mempunyai umur 42-46 tahun. Pada rentangan usia ini
keluarga dinilai matang. Semakin matang umur individu maka akan semakin
menjadikannya lebih dewasa dan matang dalam bertindak dan bersikap. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa semakin cukup umur tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang, maka akan lebih matang seseorang tersebut dalam berfikir dan
berkarya. Hal ini akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Kelen, 2016).
Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tugas keluarga
dalam pemeliharaan kesehatan. Sebanyak 40% responden mempunyai pengetahuan yang
baik. Pengetahuan responden dikatakan baik karena mempunyai tingkat pendidikan
SMA. SMA merupakan sebuah pendidikan formal yang dikatakan cukup tinggi di
kalangan masyarakat.Keluarga yang mempunyai tingkat pendidikan SMA pada
umumnya sudah mampu memahami dan mengetahui tentang pelaksanaan pemeliharaan
kesehatan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang,
maka semakin selektif dalam berpikir dan bertindak serta semakin modern lingkungan
dan ras dalam sebuah masyarakat, maka akan semakin mudah untuk melakukan
perubahan yang lebih baik.Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan semakin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak
pengetahuan yang dimiliki (Kelen, 2016).
Penggunaan koping yang efektif dalam merawat lansia akan lebih optimal bila
didukung pemberdayaan keluarga. Karena dalam kehidupan keluarga, usia lanjut
merupakan figur tersendiri dalam kaitannya dengan sosial budaya bangsa. Motivasi dari
keluarga bertujuan agar lansia tetap dapat menjalankan kegiatan sehari-hari secara
teratur, dan akan tercipta hubungan interpersonal di antara mereka baik (Kelen, 2016).
Hasil analisa data terdapat hubungan yang signifikan antara tugas keluarga dalam
pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme koping. Semakin baik tugas keluarga dalam
pemeliharaan kesehatan, maka semakin adaptif mekanisme koping yang dilakukan lansia,
begitu sebaliknya.

cxxix
Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping lansia, diantaranya: faktor
ekonomi, keterampilan dan kemampuan, keterampilan sosial, dukungan sosial dan
motivasi keluarga. Keluarga dengan motivasinya akan membantu lansia menghadapi
berbagai problem fisik, psikis dan sosial yang dihadapi termasuk mekanisme koping yang
diterapkan. Keluarga merupakan salah satu objek dalam bidang keperawatan (Kelen,
2016).
Kedudukan keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan kesehatan mempunyai
peranan sangat besar. Keluarga adalah unit terkecil penyusun unit dasar dari masyarakat
yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan seorang individu, bahkan
dapat menentukan berhasil tidaknya kehidupan individu tersebut (Kelen, 2016).
3. Langkah-langkah perawatan keluarga dengan lansia
Menurut friedman (1998) dalam buku asuhan keperawatan gerontik karangan
sunaryo,dkk 2015
Langkah – langkahnya sebagai berikut :
a. Mengadakan hubungan kerjasama dengan keluarga dimulai dengan kontrak dan
memberitahukan tujuan, menunjukkan kesediaan untuk membantu memenuhi
kebutuhan kesehatan yang dirasakan klien, dan komunikasi 2 arah dengan keluarga
pasien
b. Pengkajian tahap pertama dalam menentukan masalah kesehatan
c. Menggolongkan masalah kesehatan dimulai dari ancaman kesehatan, ditemukan
tidak atau kurang sehat, serta keadaan krisis yang dapat diketahui
d. Menentukan sifat dan luas kesanggupan keluarga
e. Menentukan masalah sesuai dengan prioritas dimulai dari mempertimbangkan sifat
dari masalah, menilai kemungkinan untuk mengubah masalah, serta menilai potensi
menghindari masalah dan menilai persepsi keluarga dari sifat masalah
f. Menentukan masalah mana yang harus dilaksanakan sesuai prioritas
g. Menentukan tujuan yang nyata dan dapat diukur bersama keluarga
h. Merencanakan pendekatan, tindakan, kriteria dan standar untuk evaluasi
i. Mengimplementasikan rencana keperawatan
j. Mengevaluasi dan meninjau kembali masalah keperawatan

cxxx
H. Asuhan Keperawatan Lansia dengan Masalah Muskuloskeletal
Asuhan Keperawatan Osteoporisis
1. Pengertian
Osteoporosis adalah infeksi degeneratif tulang yang ditandai dengan berkurangnya
massa tulang, karena berkurangnya kerangka dan mineral yang bergabung dengan
kerusakan pada mikroarsitektur jaringan tulang, yang menyebabkan penurunan kekuatan
tulang. World Wellbeing Association (WHO) secara fungsional osteoporosis bergantung
pada Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD telah turun lebih dari - 2,5 SD dari
nilai BMD normal pada orang dewasa muda yang solid (Bone Mineral Thickness T-
score < - 2 , 5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD dari - 1 hingga - 2,5 SD dari orang
dewasa muda yang solid/sehat. (Seth Mart Cristian Siahaan,2019).
2. Etiologi
Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya estrogen (zat kimia dasar
pada wanita), yang menyebabkan peningkatan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
Manifestasi sebagian besar terjadi pada wanita antara usia 51-75 tahun, tetapi dapat
mulai muncul kadang-kadang. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk
osteoporosis pascamenopause, wanita kulit putih dan timur lebih rentan terhadap
penyakit ini daripada orang kulit hitam. Osteoporosis yang lemah mungkin merupakan
akibat dari kekurangan kalsium yang berkaitan dengan usia dan ketidakteraturan antara
kecepatan penghancuran tulang dan pembentukan tulang baru. Senilis adalah keadaan
berkurangnya massa tulang yang terjadi begitu saja pada orang tua. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia lebih dari 70 tahun dan dua kali lipat lebih sering menyerang
wanita. Wanita sering mengalami osteoporosis senilis dan postmenopause. Di bawah
lima persen orang dengan osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang
disebabkan oleh penyakit lain atau oleh obat-obatan. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan
obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti kejang dan bahan kimia tiroid yang

cxxxi
terlalu tinggi). Penggunaan minuman keras yang berlebihan dan merokok dapat
memperburuk kondisi ini.

Osteoporosis remaja idiopatik adalah jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak


jelas. Ini terjadi pada anak-anak dan orang dewasa yang memiliki tingkat dan kapasitas
kimia yang khas, tingkat nutrisi yang normal dan tidak memiliki alasan yang jelas
untuk kemalangan tulang. (Buku Ajar Keperawatan gerontik, 2016).
3. Klasifikasi
Seperti yang ditunjukkan oleh Djuwantoro D (1996), osteoporosis dibagi
menjadi osteoporosis pascamenopause (Tipe I), osteoporosis involutional (Tipe II),
osteoporosis idiopatik, osteoporosis remaja, dan osteoporosis sekunder.
a. Osteoporosis pascamenopause (Tipe I)
Adalah struktur paling normal pada wanita kulit putih dan Asia. Jenis osteoporosis
ini disebabkan oleh peningkatan kecepatan resorpsi tulang yang berlebihan dan
lama setelah penurunan sekresi hormone estrogen pada masa menopause.
b. Osteoporosis involusional (Tipe II)
Terjadi pada periode umur 75 tahun pada wanita dan pria. Jenis ini dihasilkan dari
kerusakan sederhana dan tertunda antara kecepatan resorpsi tulang dan kecepatan
pengaturan tulang.
c. Osteoporosis Idiopatik
Ini adalah jenis osteoporosis esensial yang jarang terjadi yang terjadi pada wanita
premenopause dan pria di bawah 75 tahun. Jenis ini tidak terkait dengan penyebab
tambahan atau faktor risiko yang cenderung pada ketebalan tulang yang berkurang.
d. Osteoporosis Remaja
Ini adalah struktur dan jenis osteoporosis yang tidak biasa yang terjadi pada anak-
anak prapubertas.
e. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder terutama disebabkan oleh penyakit tulang erosif (misalnya
banyak mieloma, hipertiroidisme) dan dari obat-obatan (misalnya glukokortikoid).
Ada dua jenis osteoporosis, yaitu osteoporosis esensial dan opsional:
a. Osteoporosis esensial

cxxxii
adalah kekurangan massa tulang yang terjadi sesuai dengan sistem pematangan,
sedangkan osteoporosis opsional ditandai sebagai kekurangan massa tulang
karena hal-hal tertentu. Baru-baru ini, osteoporosis esensial sebenarnya
melibatkan titik dasar karena lebih normal daripada osteoporosis opsional.
Sistem pematangan pada wanita pascamenopause dan lanjut usia merupakan
gambaran dari osteoporosis esensial.
b. Osteoporosis opsional
mungkin terkait dengan masalah patologis tertentu termasuk masalah endokrin,
hasil pengobatan, imobilisasi. Pada osteoporosis opsional, ada pengurangan
ketebalan tulang yang cukup ekstrim untuk membuat kerusakan parah karena
faktor eksternal seperti kelebihan steroid, nyeri sendi rheumatoid, masalah
hati/ginjal yang konstan, gangguan malabsorpsi, mastositosis dasar,
hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, status hipogonad yang bervariasi dan yang
lain. (Buku Ajar Keperawatan gerontik, 2016).
4. Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah :
a. Nyeri tulang. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas
serangannya meningkat pada malam hari.
b. Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatik pada vertebra dan menyebabkan
kifosis rakish yang dapat menyebabkan medula spinalis tertekan sehingga dapat
terjadi paraparesis.
Gambaran klinis sebelum terjadi patah tulang : Klien (terutama wanita tua)
biasanya datang dengan nyeri tulang terutama tulang belakang bungkuk dan sudah
menopause. Gambaran sebelum terjadi patah tulang : Biasanya datang dengan
keluhan tiba-tiba punggung terasa sangat sakit (nyeri punggung akut), sakit pada
pangkal paha, atau bengkak pada tangan setelah jatuh. Kepadatan tulang berkurang
secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada
awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita. Jika
kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi kolaps atau
pengeroposan tulang, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Tulang-
tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah range distal, korpus

cxxxiii
vertebra mengenai T8-L4, dan kolum femoris. Kolaps/pengeroposan tulang
belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa
menyebabkan kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri
timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan
bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut
akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang mengalami
pengeroposan tulang, maka akan terbentuk kelengkungan yang aneh dari tulang
belakang (punuk Widow), yang menyebabkan terjadinya otot dan rasa sakit. Tulang
lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau
karena jatuh. Salah satu patah tulang yang withering serius adalah patah tulang
panggul. Selain itu, yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (range) di
daerah persambungannya dengan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada
penderita osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara
perlahan.
5. Patofisiologi
Setelah menopause, kadar hormone estrogen semakin menipis dan kemudian
tidak diproduksi lagi. Dengan demikian, semakin sedikit osteoblas yang dihasilkan. Ada
ketidakrataan antara susunan tulang dan kerusakan tulang. Osteoklas menjadi lebih
dominan, kerusakan tulang saat ini tidak dapat diimbangi dengan pembentukan tulang.
Untuk diketahui, osteoklas merusak tulang cukup lama, sedangkan perkembangan tulang
membutuhkan waktu 3 bulan. Sejalan dengan itu, seiring bertambahnya usia, tulang
semakin permeabel (dimulai saat menopause) dan tidak berdaya terhadap osteoporosis.
Perjalanan Osteoporosis itu sendiri disebabkan oleh unsur-unsur yang menyertainya,
seperti sifat-sifat herediter tertentu, gaya hidup, minuman keras, pembentukanproduksi
hormone berkurang, menghasilkan pembentukan osteoblas yang lebih sedikit,
ketidakrataan antara susunan tulang dan kerusakan tulang terjadi, ini membuat osteoklas
menjadi lebih berlaku dan saat ini tidak dapat diimbangi dengan kerusakan tulang yang
menyebabkan berkurangnya massa tulang. Ketika tulang-tulang sendi rusak lebih cepat
dari kemampuan mereka untuk memperbaiki diri, penurunan dan hilangnya lemak

cxxxiv
terjadi, sehingga kedua tulang akan bersentuhan. Hal inilah yang menyebabkan nyeri
pada persendian. Setelah kerusakan sendi terjadi tulang juga berubah.(Evita,2021).
6. Pemeriksaan penunjang
f. Laboratorium
Tes LAB besline yang harus diperiksa dalam semua kasus osteoporosis meliputi: Tes
darah tepi lengkap (anemia, penyakit sickle cell, myeloma multipel, keganasan
hematologi), kadar kalsium serum (hiperkalsemia akibat malignasi, hipokalsemia
pada osteoporosis, osteomalasia), dalam tingkat osteoporosis esensial Kalsium,
fosfat, dan fosfatase terlarut (ALP) biasanya normal, namun kadar ALP dapat
meningkat untuk waktu yang cukup lama setelah istirahat. Kadar kreatinin serum
(gagal ginjal, hiperparatiroidisme), magnesium (homeastasis kalsium), SGOT,
SGPT, gamma-glutamy transferase (GGT), bilirubin dan ALP dapat menunjukkan
kondisi karena penyalahgunaan minuman keras. Tingkat TSH dan 25-
hidroksivitamin D juga harus diperiksa untuk dugaan kekurangan nutrisi D. Estimasi
kadar partikel kalsium jauh lebih besar daripada kadar kalsium keseluruhan, karena
kadar kalsium dapat dipengaruhi oleh banyak kondisi. Pengeluaran kalsium urin 24
jam juga harus diperhatikan, meskipun tidak langsung menunjukkan ketidakteraturan
dalam pencernaan tulang. Pada orang dewasa dengan asupan kalsium 600-800
mg/hari, akan mengeluarkan kalsium 100-250 mg/24 jam. Dengan asumsi pelepasan
kalsium di bawah 100 mg/24 jam, perlu dipertimbangkan kemungkinan malabsorpsi
atau hiperparatiroidisme karena pemeliharaan kalsium oleh ginjal. Pelepasan kalsium
urin yang meluas disertai asidosis hiperkloremik menunjukkan asidosis silindris
ginjal (renal cylindrical acidosis/RTA). Untuk mengevaluasi
pergantian/perkembangan dan resorpsi tulang, penanda biokimia tulang dapat
dianalisis. Penilaian ini dapat mengetahui bahaya tulang retak dan menyaring
keefektifan pengobatan yang diberikan.
g. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi masih direkomendasikan untuk menilai integritas tulang
secara keseluruhan ataupun untuk memastikan kecurigaan terhadap terjadinya
fraktur baik simtomatik ataupun asimtomatik. Gambaran osteopenia dapat dijumpai
pada pemeriksaan radiologi namun tidak dapat dijadikan dasar diagnosis osteporosis.

cxxxv
Gambaran osteopenia yang dimaksud adalah ketika lebar area kortikal lebih kecil
dari pada medula. Gambaran lain yang dapat muncul selain gambaran fraktur adalah,
osteoartritis, kelainan-kelainan pada diskus, ataupun spondilolistesis.
h. Pemeriksaan densitas massa tulang (bone mass densitometry, BMD). Densitas massa
tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Densitometri tulang
merupakan pemeriksaan yang akurat dan tepat untuk menilai densitas massa tulang,
sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan
bahkan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode lain yang digunakan untuk menilai
densitas massa tulang adalah single-photon absorptiometry (SPA) dan single-energy-
X-ray absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit; dual-photon absorptiometry
(DPA) dan dual-energy-X-ray absorptiometry (DPX) lumbal dan proksimal femur;
serta quantitative computed tomography (QCT). Untuk menilai hasil pemeriksaan
densitometri tulang, digunakan kriteria kelompok kerja WHO (tabel 6).26 Adapun
indikasi pemeriksaan densitometri antara lain : Wanita usia > 65 tahun dan pria
usia > 70 tahun (sebagian berpendapat wanita dan pria > 60 tahun) dengan atau tanpa
risiko osteoporosis Wanita paska-menopause dini, wanita pada masa transisi
menopause, serta laki-laki usia 50-69 tahun dengan faktor risiko klinis terjadinya
fraktur. Orang dewasa yang mengalami fraktur setelah usia >50 tahun Orang
dewasa dengan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan rendahnya massa
tulang atau hilangnya struktur tulang (mis, artritis reumatoid), atau sedang dalam
pengobatan (mis, steroid dengan dosis harian setara prednison >5 mg selama >3
bulan). (Devisi Geriatri)
7. Komplikasi
Peroses menua yang terjadi pada kerangka otot meningkatkan resiko imobilitas.
Tulang lansia telah berkurang ketebalannya dan menjadi rapuh. Hal ini terjadi karena
adanya perubahan susunan tulang pada tingkat sel. Dengan demikian, orang yang lebih
tua berisiko terkena osteoporosis dan berisiko mengalami berbagai ketidaknyamanan
akibat retakan. Dalam adanya fraktur, portabilitas dibatasi. Tekanan mekanis, seperti
berjalan dan berdiri, cenderung menstimulasi formasi tulang. Pada saat tubuh tidak
bergerak, terjadi pemisahan tulang. Kondisi ini disebut mengabaikan osteoporosis dan
membuat tulang yang lebih tua menjadi lemah.

cxxxvi
Kelemahan otot juga merupakan kondisi umum dalam sistem penuaan. Otot
tubuh antigravitasi adalah bagian yang umumnya terkena, sehingga orang tua sulit untuk
berdiri. Jika otot tidak digunakan, orang tua akan mengalami masalah dalam berjalan,
berputar, dan menjaga keseimbangan. Kekuatan otot akan berkurang 5% secara
konsisten. Kehilangan massa otot bukan hanya sekedar tanda dari suatu bentuk
gangguan, tetapi juga meningkatkan risiko jatuh pada lansia.
Portabilitas sendi dipengaruhi oleh panjang dan susunan filamen otot. Dengan
asumsi imobilisasi terjadi, otot-otot di sendi akan menyingkat. Pemendekan otot dan
penebalan ligamen akan membuat persendian menjadi kencang dan semakin tua akan
semakin sulit untuk digerakkan.
Osteoporosis membuat tulang menjadi dinamis panas, rapuh dan istirahat tanpa
masalah. Osteoporosis sering menimbulkan retakan. Selain daripada. Ketidaknyamanan
status tetap dapat terjadi seperti halnya keretakan tekanan vertebra toraks dan lumbar,
retakan pada bagian femoralis dan daerah trokanterika, dan retakan Colles pada
pergelangan tangan.(Lukman, 2009 dalam Buku Ajar Keperawatan Gerontik).
8. Penatalaksanaan
i. Non-farmakologi
Secara umum, perlu disampaikan edukasi dan program pencegahan terhadap
pasien-pasien osteoporosis antara lain :
1) Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk
memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta
kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang
dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun
berenang.
2) Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari
maupun suplementasi,
3) Hindari merokok dan minum alkohol.
4) Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-
laki dan menopause awal pada wanita.
5) Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis,

cxxxvii
6) Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti
osteoporosis
7) Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya
lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat
menyebabkan hipotensi ortistatik.
8) Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang terpajan
sinar matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila
diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa.
Bila 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau
800 lU/hari pada orang tua harus diberikan. pada penderita dengan gagal ginjal,
suplementasi 1,25(OH).D harus dipertimbangkan.
9) Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan
Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium ditubulus
ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis
rendah (HCT 25 mg/hari).
10) Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka
panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan
sesingkat mungkin,
11) Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting
mengatasi aktivitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan
penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamatif yang aktif
j. Terapi Farmakologi
1) Bifosfonat
Merupakan terapi pilihan utama pada tatalaksana osteoporosis khususnya bagi
pasien dengan kontraindikasi terapi hormon, atau pada pasien laki-laki.
Bifosfonat memiliki efek penghambat osteoklas. Yang perlu menjadi perhatian
adalah bahwa absorbsi bifosfonat sangat buruk, oleh karena itu harus diberikan
dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air putih dan setelah itu
penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit. Efek samping bifosfonat
adalah hipokalsemia dan refluks esofagitis. Jenis-jenis bifosfonat yang tersedia
saat ini antara lain : Alendronat (oral; 10 mg/hari atau 70 mg/minggu),

cxxxviii
Risedronat (oral; 5 mg/hari atau 35 mg/minggu), Ibandronat (oral; 2,5 mg/hari
atau 150 mg/bulan) dan zoledronat (merupakan bifosfonat terkuat dengan
sediaan intravena, dosis 5 mg setahun sekali dan diberikan perlahan selama 15
menit).
2) Raloksifen
merupakan salah satu dari golongan selective estrogen receptor modulators
(SERM). Obat ini disetujui oleh FDA sebagai terapi pencegahan dan
pengobatan pada osteoporosis. Mekanisme kerja raloksifen hampir sama
dengan estrogen dengan dosis 60 mg/hari. Raloksifen hanya diindikasikan pada
wanita paska-menopause < 70 tahun
3) Terapi pengganti hormonal. (1) pada wanita paska menopause : estrogen
terkonyugasi (0,3125 – 1,25 mg/hari) dikombinasi dengan
medroksiprogesteron asetat 2,5-10 mg/hari, setiap hari secara kontiniu. (2)
pada wanita pra-menopause : estrogen terkonyugasi diberikan dengan
penyesuaian terhadap siklus haid. (3) pada laki-laki : Pada laki-laki yang jelas
menderita defisiensi testosteron, dapat dipertimbangkan pemberian testosteron
4) Kalsitonin
dapat diindikasikan pada kasus osteoporosis, penyakit paget dan hiperkalsemia
karena keganasan. Obat ini dapat menurunkan resorpsi tulang. pemberiannya
secara intranasal dengan dosis 200 U per hari. Dapat juga diberika secara
subkutan.
5) Strontium Ranelat, merupakan obat osteoporosis yang memiliki efek ganda,
yaitu meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas.
Akibatnya tulang endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat.
Mekanisme kerja strontium ranelat belum jelas benar. Diduga efeknya
berhubungan dengan perangsangan Calcium sensing receptor (CaSR) pada
permukaan sel-sel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gram/hari yang
dilarutkan di dalam air sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan atau 2 jam
setelah makan. Sama seperti obat osteoporosis lainnya, pemberian obat ini
harus dibarengi pemberian kalsium dan vitamin D, tetapi pemberiannya tidak
boleh bersamaan dengan strontium ranelat.

cxxxix
6) Vitamin D, berperan dalam meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Lebih dari
90% vitamin D disintesis di dalam tubuh dari prekursornya di bawah kulit oleh
paparan sinar ultraviolet. Pada orang tua, kemampuan untuk aktivasi vitamin D
di bawah kulit berkurang. Sehingga pada orang tua sering terjadi defisiensi
vitamin D. Kadar vitamin D di dalam darah diukur dengan cara mengukur
kadar 25- OH vitamin D. Pada penelitian didaptkan suplementasi 500 IU
kalsiferol dan 500 mg kalsium per-oral selama 18 bulan ternyata mampu
menurunkan fraktur non-spinal sampai 50%. Vitamin D diindikasikan untuk
orang tua yang tinggal di panti weda yang kurang terpapar sinar matahari.
Tetapi tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar
matahar.
7) Kalsitriol, saat ini tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan
osteoporosis paska-menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat
hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium
peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme
sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun akibat gagal ginjal terminal. Dosis
kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25 µg, 1-2 kali per harI.
8) Kalsium.
Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah dari
kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh Institue of Medicine, National
Academy of Science yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai monoterapi
ternyata tidak mencukupi untuk mencegah fraktur pada penderita osteoporosis.
Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat (kalsium elemen 400
mg/gram, dalam bentuk serbuk dosis 2-3 x 500 mg) disusul kalsium fosfat (230
mg/gram), kalsium sitrat (211 mg/gram), kalsium laktat (130 mg/gram) serta
kalsium glukonat (90 mg/gram).
Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan

cxl
a. Identitas pasien
Nama pasien, no RM, umur, agama, status perkawinan, pendidikan, alamat,
pekerjaan, jenis kelamin, suku, diagnosa medis, tanggal masuk RS, dan tanggal
pengkajian.
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, agama, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, dan hubungan dengan pasien.
c. Riwayat keperawatan
Adanya perasaan tidak nyaman, antara lain nyeri, kekakuan pada tangan atau kaki
dalam beberapa periode / waktu sebelum klien mengetahui dan merasakan adanya
perubahan send
d. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi persendian untuk masing-masing sisi, amati adanya kemerahan,
pembengkakan, teraba hangat, dan perubahan bentuk (deformitas).
1) Lakukan pengukuran rentang gerak pasif pada sendi. Catat jika terjadi
keterbatasan gerak sendi, krepitasi dan jika terjadinyeri saat sendi digerakkan.
2) Ukur kekuatan otot
3) Kaji skala nyeri dan kapan nyeri terjad
e. Riwayat psikososial
Penderita mungkin merasa khawatir mengalami deformitas pada sendi- sendinya. Ia
juga merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada fungsi tubuh dan perubahan pada
kegiatan sehari-hari
f. Aktivitas/ Istirahat Nyeri sendi karena pergerakkan, nyeri tekan, kekakuan sendi pada
pagi hari. Keterbatasan fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, aktivitas
istirahat, dan pekerjaan. Gejala lain adalah keletihan dan kelelahan yang hebat.
g. Kardiovaskuler Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
h. Integritas Ego Faktor stres akut/kronis, misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan,keputusasaan dan ketidakberdayaan. Ancaman konsep diri, citra
diri, perubahan bentuk badan 8) Makanan / cairan Ketidakmampuan untuk
mengonsumsi makan/cairan yang adekuat. Dan menganjurkan makanan yang
mengandung vit K,E dan C.

cxli
i. Higiene Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara
mandiri. Ketergantungan pada orang lain.
j. Neurosensori Kebas/ kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari
tangan, pembengkakan sendi simetris.
k. Nyeri /kenyamanan Fase akut dari nyeri (disertai / tidak disertai pembekakan jaringan
lunak pada sendi. Rasa nyeri akut dan kekakuan pada pagi hari
l. Keamanan Kulit mengilat, tegang. Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan
rumah tangga,kekeringan pada mata dan membran mukosa.
m. Interaksi sosial Kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain.
2. Analisa Data

Symptom Etiologi Problem


Ds : Data yang Penurunan masa tulang Nyeri
didapatkan dari klien
sebagai suatu pendapat
Kemunduruan struktur
terhadap situasi jaringan
dan kejadian
Kerapuhan tulang
Do : Data yang dapat
diobservasi dan diukur

No Dx kriteria & hasil (SLKI) Intervensi (SIKI) Rasional


1 Setelah dilakukan 3x24 jam 1. Identifikasi lokasi,
tindakan asuhan keperawatan karakteristik, durasi,
diharapkan klien dapat : frekuensi, kualitas, dan
1. frekuensi nyeri berkurang intensitas nyeri
2. kesulitan tidur cukup menurun 2. Identifikasi skala nyeri
3. ekpresi wajah saat nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non-
menurun verbal
4. keluhan nyeri pada klien 4. Identifikasi pengetahuan dan
menurun keyakinan tentang nyeri
5. klien melaporkan nyeri 5. Ajarkan teknik non-
terkontrol meningkat farmakologis (mis, terapi

cxlii
6. kemampuan menggunakan pijat, kompres dingin/hangat)
teknik non-farmakologis untuk mengurangi nyeri
menuru 6. Jelaskan penyebab, periode ,
dan pemicu nyeri
7. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 setelah dilakukan tindakan 1. Dukungan ambulasi
keperawatan selama 3x24 jam 2. Dukungan mobilisasi
diharapkan dengan kriteria Hasil : 3. Dukungan program
1. Mobilitas fisik membaik pengobatan
2. Berat badan dalam batas 4. Dukungan perawatan diri
normal 5. Dukungan perawatan
3. Fungsi sensori normal BAK/BAB
4. Keseimbangan normal 6. Dukungan berpakaian
5. Konsevasi energy 7. Dukungan mandi
6. Koordinasi pergerakan 8. Edukasi latihan fisik
membaik 9. Edukasi teknik ambulasi
7. Motivasi 10. Edukasi teknik transfer
8. Pergerakan sendi normal 11. Konsultasi via tlpn
9. Status neurologis 12. Latihan otogenik
10. Status nutrisi meningkat 13. Manajemen energy
11. Toleransi aktivitas menurun 14. Manajmen
lingkunganmanajmen mood
15. Manajmen nutrisi
16. Manajmen nyeri
17. Manajmen medikasi
18. Manajmen program latihan
19. Manajmen sensasi prifer
20. Pemantauan neurologis
21. Pemberian obat
22. Pemberian intravena

cxliii
23. Pembidaian
24. Pencegahan jatuh
25. Pencegahan luka tekan
26. Pengaturan posisi
27. Pengekangan fisik
28. Perawatan kaki
29. Perawatan sirkulasi
30. Perawatan tirah baring
31. Perawatan traksi
32. Promosi BB
33. Promosi program latihan
34. Promosi latihan fisik
35. Teknik latihan penguatan otot
36. Teknik latihan penguatan
sendi
37. Terapi aktivitas
38. Terapi pemijatan
39. Terapi relaksasi otot progresif
3 Setelah dilakukan tindakan 1. Manajmen keselamatan
keperawatan selama 3x24 jam lingkungan
diharapkan dengan kriteria hasil : 2. Pencegahan cidera
1. Tingkat cidera membaik 3. Edukasi keselamatan
2. Fungsi sensori normal lingkungan
3. Keamaanan lingkungan rumah 4. Edukasi keselataman rumah
mendukung 5. Edukasi pengurangan resiko
4. Keseimbangan 6. Identifikasi resiko
5. Kinerja pengasuhan baik 7. Manajmen kejang
6. Kontrol kejang 8. Orientasi realita
7. Koordinasi pergerakan 9. Pemberian obat
8. Mobilitas dalam batas normal 10. Pemasanagn alat pengaman
9. Orientasi kognitif 11. Pencegahan jatuh

cxliv
10. Tingkat delirium 12. Pencegahan kebakaran
11. Tingkat demensia 13. Pencegahan kejang
12. Tingkat jatuh berkurang 14. Pencegahan perdarahan
15. Pencegahan resiko lingkungan
16. Pengekang fisik
17. Pengembang kesehatan
masyarakat
18. Pengenalan fasilitas
19. Promosi keamanan
berkendara
20. Promosi mekanika tubuh
21. Rujukan ke fisioterapi
22. Skrining gizi
23. Skrining kesehatan
4 Setelah dilakukan tindakan 63. Dukungan perawatan diri
keperawatan selama 3x24 jam 64. Dukungan perawatan diri:
diharpakan dengan kriteria hasil : BAB/BAK
1. Perawatan diri baik 65. Dukungan perawatan diri:
2. Fungsi sensori baik Berhias
3. Koordinasi pergerakan normal 66. Dukungan perawatan diri :
4. Mobilitas fisik dalam batas Berpakaian
normal 67. Dukungan perawatan diri :
5. Motivasi meningkat Makan/Minum
6. Status kognitif 68. Dukungan perawatan diri :
7. Status neurologis Mandi
8. Tingkat delirium 69. Dukungan emosional
9. Tingkat dimensia 70. Dukungan pengambilan
10. Tingkat keletihan keputusan
11. Tingkat kenyamanan 71. Dukungan tanggung jawab
12. Tingkat nyeri berkurang pada diri sendiri
72. Kontrak prilaku positif

cxlv
73. Manajemen demensia
74. Manajemen energi
75. Manajemen lingkungan
76. Manajemen nutrisi
77. Manajemen nyeri
78. Pemberian makanan
79. Pemberian makanan
80. Pencegahan jatuh
81. Penentuan tujuan bersama
82. Pengaturan posisi
83. Perawatan kaki
84. Perawaan kuku
85. Perawatan lensa kontak
86. Perawatan mata
87. Perawatan mulut
88. Perawatan perineum
89. Perawatan rambut
90. Perawatan telinga
91. Promosi citra tubuh
92. Promosi harga diri
93. Promosi komunikasi: Defisit
94. Pendengaran
95. Promosi komunikasi: Defisit
visual
96. Promosi latihan fisik
97. Reduksi ansietas
98. Terapi menelan
99. Dukungan perawatan
diri:BAB/BAK
100. Dukungan kepatuhan
program pengobatan

cxlvi
101. Edukasi kemoterapi
102. Konsultasi
103. Irigasi kolostomi
104. Insersi intravena
105. Manajemen cairan
106. Manajemen elektrolit
107. Manajemen eliminasi
fekal
108. Manajemen kemoterapi
109. Manajemen lingkungan
110. Manajemen medikasi
111. Manajemen nutrisi
112. Manajemen nutrisi
parenteral
113. Pemantauan elektrolit
114. Pemberian makanan
enteral
115. Pemberian obat
116. Pemberian obat
intradermal
117. Pemberian obat intavena
118. Pemberian obat oral
119. Pengontrolan infeksi
120. Perawatan kateter sentral
perifer
121. Perawatan perineum
122. Perawatan selang
gastrointestinal
123. Oerawatan stoma
124. Promosi berat badan

cxlvii
5. Implementasi

Hari/tggl/jam Dx Implemetasi Ttd

1 8. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri
9. Mengidentifikasi skala nyeri
10. mengidentifikasi respon nyeri non-verbal
11. mengidentifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri
12. Mengajarkan teknik non-farmakologis (mis,
terapi pijat, kompres dingin/hangat) untuk
mengurangi nyeri
13. menjelaskan penyebab, periode , dan pemicu
nyeri
14. Mengkolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

2 1. Mendukung ambulasi
2. Mendukung mobilisasi
3. Mendukung program pengobatan
4. Mendukung perawatan diri
5. Mendukung perawatan BAK/BAB
6. Mendukung berpakaian
7. Mendukung untuk mandi
8. Mengdukasi latihan fisik
9. Mengdukasi teknik ambulasi
10. mengedukasi teknik transfer
11. mengkonsultasi via tlpn
12. Melatih otogenik
13. Memanajemen energy

cxlviii
14. Memanajmen lingkunganmanajmen mood
15. Memanajmen nutrisi
16. Memanajmen nyeri
17. Memanajmen medikasi
18. Memanajmen program latihan
19. Memanajmen sensasi prifer
20. Memantauan neurologis
21. Memberi obat
22. Memberi intravena
23. Meembidai
24. Mencegah jatuh
25. Mencegah luka tekan
26. Mengatur posisi
27. Mengekang fisik
28. Merawat kaki
29. Merawat sirkulasi
30. Merawat tirah baring
31. Merawat traksi
32. Mepromosi BB
33. Mempromosi program latihan
34. mempromosi latihan fisik
35. Teknik latihan penguatan otot
36. Teknik latihan penguatan sendi
37. Terapi aktivitas
38. Terapi pemijatan
39. Terapi relaksasi otot progresif
3 1. Memanajmen keselamatan lingkungan
2. mencegah cidera
3. Mengedukasi keselamatan lingkungan
4. Mengedukasi keselataman rumah
5. Mengedukasi pengurangan resiko

cxlix
6. Identifikasi resiko
7. Manajmen kejang
8. Orientasi realita
9. Pemberian obat
10. Pemasanagn alat pengaman
11. Pencegahan jatuh
12. Pencegahan kebakaran
13. Pencegahan kejang
14. Pencegahan perdarahan
15. Pencegahan resiko lingkungan
16. Pengekang fisik
17. Pengembang kesehatan masyarakat
18. Pengenalan fasilitas
19. Promosi keamanan berkendara
20. Promosi mekanika tubuh
21. Rujukan ke fisioterapi
22. Skrining gizi
23. Skrining kesehatan
4 1. Mendukung perawatan diri
2. Mendukung perawatan diri: BAB/BAK
3. Menudkung perawatan diri: Berhias
4. Mendukung perawatan diri : Berpakaian
5. Mendukung perawatan diri : Makan/Minum
6. Mendukung perawatan diri : Mandi
7. Mendukung emosional
8. Mendukung pengambilan keputusan
9. Mendukung tanggung jawab pada diri sendiri
10. Kontrak prilaku positif
11. Memanajemen demensia
12. Memanajemen energy
13. Memanajemen lingkungan

cl
14. Memanajemen nutrisi
15. Memanajemen nyeri
16. Pemberian makanan
17. Pemberian makanan
18. Pencegahan jatuh
19. Penentuan tujuan bersama
20. Pengaturan posisi
21. Perawatan kaki
22. Perawaan kuku
23. Perawatan lensa kontak
24. Perawatan mata
25. Perawatan mulut
26. Perawatan perineum
27. Perawatan rambut
28. Perawatan telinga
29. Promosi citra tubuh
30. Promosi harga diri
31. Promosi komunikasi: Defisit
32. Pendengaran
33. Promosi komunikasi: Defisit visual
34. Promosi latihan fisik
35. Reduksi ansietas
36. Terapi menelan
37. Dukungan perawatan diri:BAB/BAK
38. Dukungan kepatuhan program pengobatan
39. Edukasi kemoterapi
40. Konsultasi
41. Irigasi kolostomi
42. Insersi intravena
43. Manajemen cairan
44. Manajemen elektrolit

cli
6. Evaluasi

Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf


Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau
keperawatan tidak)
P : Planning (intervensi dilanjtkan atu
tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

Asuhan Keperawatan Osteoatritis


A. PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan
kecacatan pada orang tua. OA menduduki peringkat kelima sebagai penyebab kecacatan
di seluruh penduduk di negara-negara berpenghasilan tinggi, dan penyebab tertinggi
kesembilan di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penyakit tersebut
menyumbang sekitar 50% dari seluruh penyakit muskuloskeletal, yang merupakan
kondisi terbesar dalam kelompok penyakit muskuloskeletal, selain rheumatoid arthritis
dan osteoporosis (soeroso 2014,WHO, 2004). Osteoarthrosis atau osteoarthritis (OA)
merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi.
Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA..(Soeroso, 2009
dalam Jesicca Santosa, 2018, Makalah OSTEOARTRITIS)
Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat
kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang dan ditandai oleh adanya deteriorasi
dan abrasi tulang baru pada permukaan persendian (Carter, 2011 dalam Abdurrachman,
dkk, 2019 JURNAL PENELITIAN IPTEKS : 200).
B. ETIOLOGI

clii
Berdasarkan etiopatogenesisnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu osteoartritis
primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis primer disebut juga osteoartritis idiopatik
yaitu osteoartritis yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan
penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sedangkan osteoartritis
sekunder adalah osteoartritis yang didasari oleh adanya kelainan endokrin (seperti
acromegaly, hyperparathyroidisme dan hyperuricemia), inflamasi, post-traumatik,
metabolik (seperti rickets, hemochromatis, chondrocalcinosis, dan ochronosis), kelainan
pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama (Joern,
2010 & Sudoyo. A.W, 2006 dalam .
Defek primer pada osteoartritis idiopatik maupun osteoartritis sekunder adalah
hilangnya kartilago sendi akibat perubahan fungsional kondrosit (sel-sel yang
bertanggung jawab atas pembentukan proteoglikan, yaitu glikoprotein yang bekerja
sebagai bahan seperti semen dalam tulang rawan dan kolagen) (Kowalak J.P, 2011). OA
merupakan penyakit gangguan homeostasis metabolisme kartilago dengan kerusakan
struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui (Soeroso
2014,Sudoyo. A.W, 2006).
Faktor Resiko
A. Faktor resiko sistemik
1. Usia : merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan
meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme. Kartilago pada
sendi orang tua sudah kurang responsif dalam mensintesis matriks kartilago
yang distimulasi oleh pembebanan (aktivitas) pada sendi. Akibatnya, sendi
pada orang tua memiliki kartilago yang lebih tipis. Kartilago yang tipis ini
akan mengalami gaya gesekan yang lebih tinggi pada lapisan basal dan hal
inilah yang menyebabkan peningkatan resiko kerusakan sendi. Selain itu, otot-
otot yang menunjang sendi menjadi semakin lemah dan memiliki respon yang
kurang cepat terhadap impuls. Ligamen menjadi semakin regang, sehingga
kurang bisa mengabsorbsi impuls. Faktor-faktor ini secara keseluruhan
meningkatkan kerentanan sendi terhadap OA.

cliii
2. Jenis kelamin : masih belum banyak diketahui mengapa prevalensi OA pada
perempuan usila lebih banyak daripada lakilaki usila. Resiko ini dikaitkan
dengan berkurangnya hormon pada perempuan pasca menopause.
3. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi
dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsurunsur tulang
rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya
kecenderungan familial pada osteoartritis.
B. Faktor intrinsik
a) Kelainan struktur anatomis pada sendi seperti vagus dan valrus.
b) Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, ataunekrosis.
C. Faktor beban pada persendian
a) Obesitas : beban berlebihan pada sendi dapat mempercepat kerusakan
pada sendi.
Penggunaan sendi yang sering : aktivitas yang sering dan berulang pada
sendi dapat menyebabkan lelahnya otot-otot yang membantu pergerakan sendi
(Jesicca Santosa, 2018, Makalah OSTEOARTRITIS).
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesisnya, osteoartritis dibedakan menjadi dua yaitu osteoartritis
primer dan osteoartritis sekunder
1. Osteoartritis primer disebut juga dengan osteoartritis idiopatikdimana kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannyadengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal padasendi.
2. Osteoartritis sekunder adalah osteoartritis yang didasari olehkelainan endokrin,
inflamasi, metabolik, pertumbuhan,herediter, jejas makro dan mikro serta imobilisasi
yang terlalulama (Soeroso S et al., 2006).
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala osteoarthritis menurut (Kuntono, 2005) sebagai berikut :
1. Nyeri : nyeri yang terjadi pada sendi lutut dapat bertambah buruk oleh gerakan,
weight bearing dan jalan. Nyeri sendi disebabkan oleh kartilago yang menebal mulai
menipis secara progresif, kartilago berfungsi sebagai bantalan antara tulang dan sendi.
Kartilago yang mulai menipis menyebabkan terjadinya gesekan terus menerus antar

cliv
ujung tulang penyusun sendi, gesekan berulang ini menyebabkan inflamasi sendi
sehingga menimbulkan sensasi nyeri pada sendi (Therkleson, 2014). Peningkatan
nyeri diiringi dengan hilangnya kemampuan bergerak secara progresif (Isnaini Via
Zuraiyahya, dkk, 2020 INDONESIAN JOURNAL OF COMMUNITY HEALTH
NURSING : 56 ).
2. Kaku sendi, gejala yang paling sering dijumpai pada osteoarthritis, kesulitan atau rasa
kaku pada saat memulai gerakan pada kapsul, ligamen, otot dan permukaan sendi,
3. Keterbatasan lingkup gerak sendi, disebabkan oleh timbulnya osteofit dan penebalan
kapsuler, muscle spasme serta nyeri yang membuat pasien mengeluh tidak mau
melakukan gerakan secara maksimal sampai batas normal, sehingga dalam waktu
tertentu mengakibatkan keterbatasan lingkup gerak sendi pada lutut. Keterbatasan
gerak biasanya bersifat pola kapsuler yaitu gerakan fleksi lebih terbatas dari pada
gerakan ekstensi,
4. Krepitasi, hal ini disebabkan oleh permukaan sendi yang kasar karena degradasi dan
rawan sendi,
5. Kelemahan otot dan atrofi otot sekitar sendi lutut, lebih disebabkan oleh disuse
terutama otot quardriceps,
6. Deformitas, osteoarthritis yang berat akan menyebabkan distruksi kartilago, tulang
dan jaringan lunak sekitar sendi, terjadi deformitas varus bila terjadi kerusakan pada
kompartemen medial dan kendornya ligamentum,
7. Instabil sendi lutut, disebabkan oleh berkurangnya kekuatan otot disekitar sendi lutut
yang mencapai 1/3 dari kekuatan otot normal dan juga oleh kendornya ligamentum
sekitar sendi (Carter, 2011 dalam Abdurrachman, dkk, 2019 JURNAL PENELITIAN
IPTEKS : 200).
E. PATOFISIOLOGI (KTI NOVITA)
Osteoarthritis adalah penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit
kronik, tidak meradang, dan progesif lambat, osteoarthritis tidak hanya melibatkan
proses degeneratif, namun juga melibatkan hasil kombinasi antara degradasi tulang
rawan, remodelling tulang subkondral, dan inflamasi sendi. Beberapa faktor seperti umur,
stres mekanik atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek mekanik, obesitas, genetik,
humoral, dan faktor kebudayaan dapat menyebabkan jejas mekanis dan kimiawi pada

clv
sinovium sendi. Jejas mekanik dan kimiawi tersebut diduga merupakan faktor penting
yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi tulang rawan
sendi di dalam cairan sinovial sendi. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya inflamasi
sendi, kerusakan kondrosit, dan nyeri.
Tulang rawan sendi terletak di setiap ujung tulang untuk melaksanakan 2 fungsi,
yaitu mencegah gesekan di dalam sendi saat pergerakan dengan adanya cairan sinovial
serta menerima beban atau benturan sehingga tulang di bawahnya tidak mengalami
kerusakan. Kedua fungsi ini dapat berjalan dengan baik karena adanya kolagen tipe II dan
proteoglikan yang dikeluarkan oleh kondrosit memiliki daya regang yang tinggi dan
mampu memperbaiki tulang rawan sendi setelah tertekan oleh beban. Tulang rawan sendi
yang “aus” diuraikan dan diganti oleh kondrosit, yang tidak hanya mensintesis matriks
tulang rawan. Oleh karena itu, kesehatan kondrosit dan kemampuan sel ini memelihara
sifat esensial matriks tulang rawan menentukan integritas sendi. Pada osteoarthritis,
proses ini terganggu oleh beragam sebab (Bararah, 2016).

clvi
F. PATHWAY

clvii
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG (KTI NOVITA)
Untuk menyingkirkan kemungkinan artritis karena penyebab lain maka dilakukan
pemeriksaan penunjang, namun tidak ada pemeriksaan penunjang khusus yang dapat
mementukan diagnosis osteoarthritis. Salah satu pemeriksaan penunjang untuk
membantu menentukan ada atau tidaknya osteoarthritis adalah pemeriksaan radiologi,
namun pemeriksaan tidak berhubungan langsung dengan gejala klinis yang ditimbulkan.
Gambaran radiografi sendi yang mendukung penegakan diagnosis osteoarthritis yaitu :
penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang
menanggung beban), peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang,
osteofit pada pinggir sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi (Bararah, 2016).
Pemeriksaan juga dapat dilakukan melalui sinar-x dilakukan setiap saat untuk
memantau aktivitas dan progesivitas penyakit. Foto rontgen yang diambil setiap saat
dapat memperlihatkan hilangnya kartilago dan menyempitnya rongga sendi. Pemeriksaan
sinar-x menunjukkan abnormalitas kartilago, erosi sendi, pertumbuhan tulang yang
abnormal dan osteopenia (mineralisasi tulang menurun) (Fernanda, 2018).
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat osteoarthritis dapat terjadi apabila osteoarthritis
tidak ditangani dengan serius. Terdapat dua macam komplikasi yaitu :
1. Komplikasi akut berupa, osteonecrosis, ruptur baker cyst, bursitis.
2. Komplikasi kronis berupa malfungsi tulang yang disignifikasi, yang terparah ialah
terjadi kelumpuhan (Azizah, 2019).
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan osteoarthritis pada umumnya bersifat simptomatik yang terfokus pada
beberapa hal, yaitu memperlama progresifitas penyakit, mengontrol gejala-gejala yang
timbul, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara mengombinasikan antara terapi non farmakologis dan farmakologis.
1. Terapi non farmakologis
a) Latihan terapeutik dengan beban yang ringan direkomendasikan untuk
memeprtahankan luas gerak sendi dan menguatkan otot-otot disekeliling sendi

clviii
yang mengalami OA.
b) Untuk OA lutut direkomendasikan penurunan BB, bermanfaat untuk menurangi
progresivitas OA sekaligus berguna juga untuk kesehatan
c) Edukasi kasi pasien untuk dapat memahami kondisi penyakit mereka dan
menganjurkan untuk terus aktif dan mempertahannkan mobilisasinya (Achmad
Zaki,2013, Buku Saku Osteoarthtritis Lutut)

Terapi Untuk Keluarga

Terpai untuk keluarga hanya beberapa terapi Non farmakologi terutama yang
berkaitan dengan emosi, psikis dan peroses pengobatan pasien. Dimana anggota
keluarga diberikan pemahaman agar bisa memberikan dukungan dan motivasi kepada
pasien diet rendah kalori agar Berat Badannya bisa berkurang (Sitti Mutaminah &
Armanto Makmun, 2019, UMJ Medikal Jurnal).

2. Terapi farmakologis
Obat-obatan pilihan yang dapat digunakan sebagai terapi farmakologis osteoarthritis
seperti asetaminofen, Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), suntikan asam
hialuronat atau kortikosteroid, Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)
duloxetine, dan opioids secara intraartikular. Selain itu, beberapa suplemen gizi juga
dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan memperlambat progresifitas penyakit.
3. Terapi bedah
Pada osteoarthritis fase lanjut sering diperlukan terapi bedah. Terapi bedah diberikan
apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga
untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas
sehari-hari.24 Beberapa prosedur yang mungkin dilakukan yaitu: antroskopi,
osteotomi, fusion (artrodesis), dan penggantian sendi (artroplasti) (Bararah, 2016).

J. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Sumber data pengkajian yang dilakukan pada pasien osteoarthritis meliput
1. Identitas pasien : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, bangsa, pendidikan,
pekerjaaan tanggal MRS, diagnosa medis, nomor registrasi.

clix
- Penanggung jawab : Penanggung jawab : Keluarga, kerabat, Orang tua dll
2. Keluhan Utama : keluhan yang sering di resakan yaitu nyeri lutut/sakit punggung
3. Riwayat keperawatan : Dalam pengkajian riwayat keperawatan, perawat perlu
mengidentifikasi adanya :
a. Rasa nyeri/sakit tulang punggung (bagian bawah), leher dan pinggang
b. Berat badan menurun
c. Rentan Usia di atas 45 tahun
d. Jenis kelamin
e. Pola latihan dan aktivitas
f. Keadaan nutrisi (mis. Kurang vitamin D dan C, serta kalsium)
g. Merokok, mengonsumsi alkohol dan kafein
h. Adanya penyakit endokrin : diabetes mellitus, hipertiroid, hiperparatiroid,
sindrom cushing, akromegali, hipogonadisme.
4. Pemeriksaan fisik:
- Palpasi : Lakukan penekanan pada tulang panggung, sendi lutut dan sendi kaki
terdapat nyeri tekan atau nyeri pergerakan.
- Periksa mobilitas pasien
- Inspeksi : posisi pasien yang nampak membungkuk.
- Kaji pada Sistem Muskuloskeletal
Kelainan musculoskeletal utama dapat diidentifikasi selama pengkajian
meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot, dan kontraktur.
Gambaran pengukuran antropometrik mengidentifikasi kehilangan tonus dan
massa otot.
Pengkajian rentang gerak adalah data dasar yang mana hasil pengukuran
dibandingkan untuk mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi.
Rentang gerak di ukur dengan menggunakan geniometer.
B. Analisa data

Symptom Etiologi Problem

clx
Ds : Data yang didapatkan Fraktur Nyeri akut
dari klien sebagai suatu
pendapat terhadap situasi pergeseran fragmen
dan kejadian tulang
Do : Data yang dapat
diobservasi dan diukur timbul respon stimulus
nyeri

C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau
komunitas terhadap masalah kesehatan potensial atau aktual/ proses kehidupan.
Diagnosa keperawatan menjadi dasar bagi pemilihan intervensi keperawatan guna
mencapai hasil yan akontibilitasnya dimiliki perawat (NANDA, 1998, 2008).
1. Nyeri Akut/Kronis
2. Gangguan Mobilitas Fisik
3. Ansietas
4. Defisit Pengetahuan
D. Intervensi
Merupakan tahap ketiga dari peruses keperawatn dimana perawat
menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi pasien ditentukan dan
merencanakan intervensi keperawatan. Selama perencanaan, dibuat prioritas
dengan kolaborasi klien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, telaah
literature, modifikasi asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan
tentang kebutuhan perawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan klinik
(Deden Dermawan, 2012).
Dx Kriteria & Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI) Rasional

clxi
1 Setelah dilakukan tindakan 1. Identifiksi lokasi,
keperawatan selama 3x24 karakteristik,durasi , frekuensi,
jam diharapakan dengan kualitas, intensitas nyeri.
kriterian Hasil : 2. Ientifiksi skala nyeri.
3. Identifikasi respon nyeri non
1. Kemampuan
verbal.
menuntaskan aktivitas
4. Identifiksi yang memperberat dan
meningkat.
memperingan nyeri.
2. Keluhan nyeri menurun.
5. Identifikasi pengetahuan dan
3. Ekspresi meringis atau
keyakinan tentang nyeri.
grimace berubah menjadi
6. Berikan teknik nonfarmakologis
tidak grimace
untuk mengurangi ras nyeri (mis.
4. Skala nyeri menurun
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
5. Kontrol Gejala
musik, biofeedback, terapi pijat,
6. Kontrol Nyeri
aromaterpi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres,
hangat/dingin, terapi bermain.
7. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri (mis. Suhu
ruangan,pencahyaa n, kebisingan).
8. Fasilitasi istirahat dan tidur.
9. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
10. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri.
11. Jelaskan strategi meredakan nyeri
12. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri.
13. Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat.

clxii
14. Anjurkan teknik nonfamakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
15. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu.
16. Perawatan Kenyamanan
17. Terapi Relaksasi
2 Setelah dilakukan tindakan 40. Dukungan ambulasi
keperawatan selama 3x24 41. Dukungan mobilisasi
jam diharapakan dengan 42. Dukungan program pengobatan
kriterian Hasil : 43. Dukungan perawatan diri
44. Dukungan perawatan BAK/BAB
12. Mobilitas fisik membaik
45. Dukungan berpakaian
13. Berat badan dalam batas
46. Dukungan mandi
normal
47. Edukasi latihan fisik
14. Fungsi sensori normal
48. Edukasi teknik ambulasi
15. Keseimbangan normal
49. Edukasi teknik transfer
16. Konsevasi energy
50. Konsultasi via tlpn
17. Koordinasi pergerakan
51. Latihan otogenik
membaik
52. Manajemen energy
18. Motivasi
53. Manajmen lingkunganmanajmen
19. Pergerakan sendi normal
mood
20. Status neurologis
54. Manajmen nutrisi
21. Status nutrisi meningkat
55. Manajmen nyeri
22. Toleransi aktivitas
56. Manajmen medikasi
menurun
57. Manajmen program latihan
58. Manajmen sensasi prifer
59. Pemantauan neurologis
60. Pemberian obat
61. Pemberian intravena
62. Pembidaian
63. Pencegahan jatuh

clxiii
64. Pencegahan luka tekan
65. Pengaturan posisi
66. Pengekangan fisik
67. Perawatan kaki
68. Perawatan sirkulasi
69. Perawatan tirah baring
70. Perawatan traksi
71. Promosi BB
72. Promosi program latihan
73. Promosi latihan fisik
74. Teknik latihan penguatan otot
75. Teknik latihan penguatan sendi
76. Terapi aktivitas
77. Terapi pemijatan
78. Terapi relaksasi otot progresif
3 Setelah dilakukan tindakan 6. Reduksi Ansietas
keperawatan selama 3x24 7. Identifikasi saat tingkat ansietas
jam diharapakan dengan berubah (mis. Kondisi, waktu,
kriterian Hasil : tressor).
8. Idemtifikasi kemampuan
1. Verbalisasi kebingungan
mengambil keputusan.
menurun.
9. Monitor tandatanda ansietas
2. Perilaku tegang mulai
(verbal dan nonverbal).
menurun.
10. Ciptakan suasana terapeutik untuk
3. Perilaku gelisah mulai
menumbuhkan kepercayaan.
meurun
11. Temani pasien untuk mengurangi
4. Dukungan sosial
kecemasan, jika memungkinkan.
5. Tingkat Pengetahuan
12. Pahami situasi yang membuat
ansietas, dengarkan dengan penuh
perhatian.
13. Gunakan pendekatan yang tenang

clxiv
dan menyakinkan.
14. Motivasi mengidentifiksi situasi
yang memicu kecemasan.
15. - Jelaskan prosedur,
termasuksensai yang mungkin
dialami. - Informasikan secara
faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis.
16. Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu.
17. Anjurkan melakukan kegiatan
yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan.
18. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
19. Laih relaksasi.
20. Kolaborasi pemberian obat
antlansietas, jika perlu.
21. Terapi Relaksasi
4 Setelah dilakukan tindakan 22. Edukasi Kesehatan
keperawatan selama 3x24 23. Identifikasi kesiapan dan
jam diharapakan dengan kemampuan menerima informasi.
kriterian Hasil : 24. Identifikasi faktorfaktor yang
dapat meningkatkan dan
1. Perilaku yang diajarkan
menurunkan motivasi perilaku
sudah sesuai anjuran.
hidup bersih dan sehat.
2. Kemampuan menjelaskan
25. Sediakan materi dan media
pengetahuan tentang
pendidikan kesehatan.
Osteoarthritis meningkat.
26. Jadwalkan pendidikan kesehatan
3. Perilaku sudah sesuai
sesuai kesepakatan.
dengan pengetahuan yang
27. Berikan kesempatan untuk
telah diajarkan.
clxv
4. Memori bertanya.
5. Motivasi 28. Jelaskan faktor resiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
29. Ajarkan perilaku hidup bersih dan
sehat.
30. Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untyk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat.
31. Bimbingan Sistem Kesehatan

E. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
dank lien. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Deden
Dermawan, 2012).
Hari/
Dx Implementasi Rasional
tanggl/jam

1 1. Mengidentifiksi lokasi, karakteristik,


durasi , frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
2. Mengidentifiksi skala nyeri.
3. Mengidentifiksi respon nyeri non
verbal.
4. Mengidentifiksi yang memperberat
dan memperingan nyeri.
5. Mengidentifiksi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri.
6. Memberikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi ras nyeri (mis.

clxvi
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterpi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres, hangat/dingin,
terapi bermain.
7. Mengontrol lingkungan yang
memperberat nyeri (mis. Suhu
ruangan,pencahyaa n, kebisingan).
8. Memfasilitasi istirahat dan tidur.
9. Mempertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
10. Menjelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri.
11. Menjelaskan strategi meredakan nyeri
12. Menganjurkan memonitor nyeri secara
mandiri.
13. Menganjurkan menggunakan analgetik
secara tepat.
14. Menganjurkan teknik nonfamakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
15. Mengkolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu.
16. Merawat Kenyamanan
17. Melakukant erapi Relaksasi
2 1. Mendukung ambulasi
2. Mendukung mobilisasi
3. Mendukung program pengobatan
4. Mendukung perawatan diri
5. Mendukung perawatan BAK/BAB
6. Mendukung berpakaian

clxvii
7. Mendukung mandi
8. Mengedukasi latihan fisik
9. Mengedukasi teknik ambulasi
10. Mengedukasi teknik transfer
11. Mengkonsultasi via tlpn
12. Melatih otogenik
13. Memanajemen energy
14. Memanajemen lingkunganmanajmen
mood
15. Memanajemen nutrisi
16. Memanajemen nyeri
17. Memanajemen medikasi
18. Memanajemen program latihan
19. Memanajemen sensasi prifer
20. Memanajemen neurologis
21. Memberikan obat
22. Memberikan intravena
23. Pembidaian
24. Mencegah jatuh
25. Mencegah luka tekan
26. Mengatur posisi
27. Mengekangkan fisik
28. Merawat kaki
29. Merawat sirkulasi
30. Merawat tirah baring
31. Merawat traksi
32. Mempromosi BB
33. Mempromosi program latihan
34. Mempromosi latihan fisik
35. Melakukan teknik latihan penguatan
otot

clxviii
36. Melakukan Teknik latihan penguatan
sendi
37. Melakukan Terapi aktivitas
38. Melakukan Terapi pemijatan
39. Melakukan Terapi relaksasi otot
progresif
3 1. Mereduksi Ansietas
2. Mengidentifikasi saat tingkat ansietas
berubah (mis. Kondisi, waktu, tressor).
3. Mengidentifikasi kemampuan
mengambil keputusan.
4. Memonitor tandatanda ansietas
(verbal dan nonverbal).
5. Menciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
6. Menemani pasien untuk mengurangi
kecemasan, jika memungkinkan.
7. Memahami situasi yang membuat
ansietas, dengarkan dengan penuh
perhatian.
8. Menggunakan pendekatan yang tenang
dan menyakinkan.
9. Memotivasi mengidentifiksi situasi
yang memicu kecemasan.
10. Menjelaskan prosedur, termasuksensai
yang mungkin dialami. - Informasikan
secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis.
11. Manganjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu.
12. Manganjurkan melakukan kegiatan

clxix
yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan.
13. Manganjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
14. Laih relaksasi.
15. Mengkolaborasi pemberian obat
antlansietas, jika perlu.
16. Lakukan terapi Relaksasi
4 1. Mengedukasi Kesehatan
2. Mengidentifikasi kesiapan dan
kemampuan menerima informasi.
3. Mengidentifikasi faktorfaktor yang
dapat meningkatkan dan menurunkan
motivasi perilaku hidup bersih dan
sehat.
4. Menyediakan materi dan media
pendidikan kesehatan.
5. Menjadwalkan pendidikan kesehatan
sesuai kesepakatan.
6. Memberikan kesempatan untuk
bertanya.
7. Menjelaskan faktor resiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
8. Mengajarkan perilaku hidup bersih
dan sehat.
9. Mengajarkan strategi yang dapat
digunakan untyk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat.
10. Membimbingan Sistem Kesehatan

clxx
F. Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah membandingkan efek/hasil suatu tindakan


keperawatan dengan norma atau criteria tujuan yang sudah dibuat (Deden
Darmawan, 2012).

Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf


Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau tidak)
keperawatan P : Planning (intervensi dilanjtkan atu tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

Asuhan Keperawatan Fraktur


A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. (Rasjad, 2012)Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenisdan luasnya fraktur terjadi jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yangdapat diabsorpsinya. Fraktur dapat
disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk,gerakan punter mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Brunner danSuddarth, 2008 dalam KTI Fajar Watulangi,2019,
Stikesperinitis).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya
fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2009 dalam KTI Eko Sdarmanto,2018, Poltekkesjogja).
B. Etiologi
Fraktur terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara skunder akibat
peroses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur yang fraktur

clxxi
patologis. Fraktur dibagi berdasarkan kontrak dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan
terbuka (Juli Andri, Henni Febriawati,dkk, 2020, Jurnal Of Telenurshing).
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi jaringan
sekitarnya mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi
sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami
cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan fragmen tulang (smelt &
Suddarth,2013).
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontaksi otot ekstrem ( Smeltzer, 2002 ). Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur
cendrung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur dibawah 45 tahun dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua perempuan lebih sering
mengalami fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause (Revees, 2001
dalam KTI Krisdiyana,2019. Poltekkes-kaltim).
C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur menurut (rendy dan margareth, 2012. dalam KTI Kurna Antoni, 2019,
Pustaka.poltekkes-pdg).
a. Fraktur tertutup (closed)
Fraktur dimana kulit tidak ditembus fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan.
b. Fraktur terbuka (open/compound)
Fraktur dimana kulit dari ekstermitas yang terlihat telah ditembus, konsep penting
yang perlu diperhatikan adalah apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada
tempat terjadinya fraktur terbuka. Fragmen fraktur dapat menembus kulit pada saat
terjadinya cedera. Terkontaminasi, kemudian kembali hamir pada posisi semula.
Fraktur terbuka atau fraktur campuran / kompleks yaitu patah dengan luka pada
kulit atau membran mukosa meluas ke tulang yang mengalami fraktur (Brunner &
Suddarth, 2013). Menurut Apley & Solomon (2018), patahan yang terjadi pada

clxxii
kontinuitas struktur tulang jika kulit atau salah satu dari rongga tubuh menerobos
keluar atau tertembus, maka disebut juga fraktur terbuka (atau compound) yang dapat
menyebabkan kontaminasi dan infeksi. Fraktur terbuka mengacu pada gangguan
osseous di mana cedera di kulit dan jaringan lunak yang mendasari berhubungan
langsung dengan fraktur dan hematoma.
Cedera jaringan lunak pada fraktur terbuka mungkin memiliki tiga konsekuensi
penting:
1) Kontaminasi luka dan fraktur dengan paparan lingkungan eksternal,
2) Penghancuran, pengupasan, dan devaskularisasi yang menghasilkan 8 kompromi
jaringan lunak dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi,
3) Kehancuran atau kehilangan amplop jaringan lunak dapat mempengaruhi metode
imobilisasi fraktur, membahayakan kontribusi jaringan lunak di atasnya untuk
penyembuhan fraktur (misalnya, kontribusi sel osteoprogenitor), dan
mengakibatkan hilangnya fungsi dari otot, tendon, saraf, vaskular, ligamen, atau
kerusakan kulit. (Egol K.,dkk, 2010).
Klasifikasi pada fraktur terbuka dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
1) Tipe I : Laserasi < 1 cm, biasanya dari dalam ke luar; kontusio otot minimal;
fraktur oblik sederhana transversal atau pendek.
2) Tipe II: Laserasi > 1 cm, dengan kontusi otot di sekitarnya; tanpa kerusakan
jaringan lunak yang luas; komponen penghancuran minimal sampai sedang;
melintang sederhana atau fraktur oblik pendek dengan kominitas minimal.
3) Tipe III: Kerusakan jaringan lunak yang luas, termasuk otot, kulit, dan struktur
neurovaskular; sering cedera energi tinggi dengan komponen penghancur yang
parah.
- Tipe IIIA: Laserasi jaringan lunak yang luas, cakupan tulang yang memadai
dan masih ditutupi jaringan lunak ; fraktur segmental, pengupasan periosteal
minimal.
- Tipe IIIB: Cedera jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan periosteal
dan pemaparan tulang yang membutuhkan penutupan jaringan lunak; biasanya
berhubungan dengan kontaminasi massif.
- Tipe IIIC: Vascular injury atau cedera arteri membutuhkan perbaikan.

clxxiii
D. Manifestasi klinis
Menurut Hurst, (2015) klien yang mengalami fraktur cruris pada awalnya
memiliki tanda dan gejala berikut:
a. Nyeri yang kontinu dan meningkat saat bergerak, dan spasme otot terjadi segera
setelah fraktur.
b. Kehilangan fungsi : sokongan terhadap otot hilang ketika tulang patah. Nyeri juga
berkontribusi terhadap kehilangan fungsi.
c. Deformitas : ekstremitas atau bagiannya dapat membengkok atau berotasi secara
abnormal karena pergeseran lokasi akibat spasme otot dan edema.
d. Pemendekan ekstremitas : spasme otot menarik tulang dari posisi kesejajarannya dan
fragmen tulang dapat menjadi dari sisi ke sisi, bukan sejajar ujung ke ujung.
e. Krepitus : krepitus merupakan sensasi patahan atau suara yang berkaitan dengan
pergerakan fragmen tulang ketika saling bergesekan, yang bahkan dapat
menimbulkan trauma lebih besar pada jaringan, pembuluh darah, dan saraf.
f. Edema dan diskolorasi : kondisi tersebut dapat terjadi sekunder akibat trauma
jaringan pada cedera (Eka Putri Khoirunisa,2019,Universitasjember)
E. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak disekitar tulang tersebut, jaringan lunak yang biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat di sekitar fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel-sel anast berkamulasi mengakibatkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktifitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baruamatir yang disebut callus.
Bekuan fibrin di reabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstermitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusa darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot.

clxxiv
Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Brunner & Suddart, 2015 dalam KTI
Agustina Eka Pratiwi, 2020).

clxxv
F. Pathway

Pathway Fraktur Eka Pratiwi, 2020)

G. Pemeriksaan pnunjang

clxxvi
Menurut Arif Muttaqin (2008), pemeriksaan pemeriksaan penunjang pada fraktur
yaitu:
1 Anamnesa/ pemeriksaan umum
2 Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan yang penting adalah
pemeriksaanmenggunakan sinar Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran
tiga dimensidari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.
3 CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan
dapatmemperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
4 X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
5 Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim
digunakanuntuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi:
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhantulang.
b. Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5),
aspratataminotransferase (AST) dan aldolase meningkat pada tahap
penyembuhantulang.
6 Pemeriksaan lain-lain :
a. Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di
atas.
b. Elekromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
c. Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
traumayang berlebihan.
d. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
e. Indigium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
padatulang. (Fajar Watulangi,2019,Stikesperinitis)
H. Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut (Arif Muttaqin, 2005 & Smeltzer dan Bare, 2001)
antara lain :
a. Kerusakan Arteri. Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidakada nadi,
CRT menurun, synosis bagian distal, hematoma yang lebar dandingin pada

clxxvii
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,perubahan posisi pada
yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
b. Sindroma Kompartement. Merupakan komplikasi serius yang terjadi karenaperfusi
jaringa dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupanjaringan. Hal ini bisa
disebabkan karena edema atau pendarahan yang menekanotot, penurunan ukuran
kompartement oto karena fasia yang membungkus ototterlalu ketat, saraf, pembuluh
darah atau tekanan dari luar seperti gips.
c. Fad Emboli Syndrome. Merupakan komplikasi serius yang terjadi pada kasusfraktur
tulang panjang. Fes terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bonemarrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen dalamdarah menjadi rendah.
Hal ini ditandai dengan ganggguan pernapasan,takikardia, hipertensi, takipnea dan
demam.Infeksi. Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada
jaringan.Pada trauma ortopedi, infeksi-infeksi dimulai pada kulit (superficial)
danmasuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapidapat
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan dan pasca operasipemasangan
pin.
d. Avaskuler nekrosi (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001 & Arif Muttaqin, 2005).
e. Syok hipovolemik atau traumatic (banyak kehilangan darah dan meningkatnya
permeabilitas kapilar eksternal maupun yang tidak kehillangan yang bisa
f. menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan dan dapat terjadi pada
fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra (Fajar
Watulangi,2019,Stikesperinitis).

I. Penatalaksnaan
Penanganan Fraktur adalah reduksi dan imobilisasi, reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragemen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Pada pasien
fraktur banyak kpmlikasi yang terjadi seperti keterbatasan gerak sendi dan fraktur dapat
menyebabkan kecacatan fisik, kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahan melalui
latihan rentang gerak yaitu dengan latihan Range Of Motion (ROM) yang di evaluasi

clxxviii
secara aktif (Ermawan, Eka, & ilham, 2016 dalam jurnal Media Keperawatan Vol.09 No
02, 2018).
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008), konsep dasar yang
harusdipertimbangkan pada waktu penanganan fraktur yaitu: rekognisi, reduksi,
retensidan rehabilitasi.
1. Rekognisi (pengenalan). Riwayat kecelakaan derajat keparahan harus jelasuntuk
menentukan diagnosa keperawatan dan tindakan selanjutnya. Frkturtungkai akan
terasa nyeri dan bengkak. Kelainan bentuk nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi). Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk
memanipulasifragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi
seperti letakasalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
sepertisemula. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi
ataureduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegahjaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
danpendarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi frktur menjadi semakin sulit
bilacedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (immobilisasi). Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
tulangsehingga kembali seperti semula secara optiomal. Setelah fraktur
reduksi,fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi
kesejajarantulang sampai penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksternaatau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksikontinu, pin dan teknik gips atau fiksator eksterna. Implan logam
dapatdigunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
untukmengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan di
luarkulit untuk menstabilkan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pinmetal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal daritempat
fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain denganmengggunakan eksternal
bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakanuntuk fraktur pada tulang tibia,
terapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).

clxxix
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukanpemeriksaan terhadap jalan nafas (airway), proses pernapasan (breathing)
dansirkulasi (circulation), untuk mengetahui apakah terjadi syok atau tidak. Bil
dinyatakan tidak ada masalah, lakukan pemeriksaan fisik secara terperinci.
Waktuterjadi kecelakaan penting dinyatakan untuk mengetahui berapa lama sampai
dirumah sakit untuk mengetahui berapa lama perjalanan ke rumah sakit, jika lebh
dari6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan ammnesis dan pemeriksaan
fisiksecara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasanganbidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya
kerusakanyang lebih berat pada jaringan lunak. Tindakan pada fraktur terbuka
harusdilakukan secepat mungkin. Penundaan waktu dapat menngakibatkan
komplikasi.Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period).
Berikan toksoid, Antitetanus Serum (ATS) atau tetanus human globulin. Berikan
antibiotikuntuk kuman gram positif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur
danresistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka (Smeltzer, 2001 dalam KTI Fajar
Watulangi,2019,Stikesperinitis).
J. Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian Asuhan keperawatan pada klienfraktur menurut (Muttaqin, 2015) yaitu :
1 Identitas klien seperti : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, bangsa,
pendidikan, pekerjaaan tanggal MRS, diagnosa medis, nomor registrasi.
- Penanggung jawab : Keluarga, kerabat, Orang tua dll
2 Keluhan utama Keluhan
Keluhan yang paling dirasakab oleh pasien yaitu nyeri. Nyeri akut atau
kronik.
Data pengkajian yang yang lengkap mengenai data pasien menggunakan :
a) Proboking insiden : bagaimana pristwa terjadinya fraktur yag
meyebabkan nyeri akut
b) Quality of pain : rasa nyeri yang dirasakan misal. Panas, tertusuk-
tusuk, dan berdenyut.
c) Region Radiation of pain : apakah nyeri menjalar ketubuh yang lain

clxxx
d) Severity/scale of pain : gunakan penilaian nyeri dari 0-10.
e) Time : berapa lama nyeri yg dirasankan misal. Hilang
timbul/berangsur-angsur
3 Riwayat penyakit sekarang
Pristiwa terjadinya fraktur, pasien patah tulang disebabkan karena trauma /
kecelakaan,
4 Riwayat penyakit dahulu
Peristwa sebelumnya, Apakah pasien mengalami patah tulang paha atau
pasien pernah punya penyakit menurun sebelumnya. Memiliki penyakit
osteoporosis/arthritis atau penyakit lain yang sifatnya menurun atau
menular.
5 Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi hidup sehat
Klien fraktur apakah akan mengalami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene atau mandi.
b) Pola nutrisi dan metabolisme Klien
fraktur tidak ada perubahan nafsu makan, walaupun menu makanan
disesuakan dari rumah sakit.
c) Pola eliminasi
Perubahan BAK/BAB dalam sehari, apakah mengalami kesulitan
waktu BAB di kaenakan imobilisasi, feses warna kuning, pada pasien
fraktur tidak ada gangguan BAK.
d) Pola istirahat dan tidur
Kebiasaan pada pola tidur apakah ada gangguan yang disebabkan
karena nyeri, misalnya nyeri karena fraktur
e) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas pada klien yang mengalami gangguan karena fraktur
mengakibatkan kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat atau
keluarga.
f) Pola persepsi dan konsep diri

clxxxi
Klien mengalami gangguan percaya diri sebab tubuhnya perubahan
pasien takut cacat / tidak dapat bekerja lagi.
g) Pola sensori kognitif
Adanya nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan, jika pada pola
kognotif atau pola berfikir tidak ada gangguan.
h) Pola hubungan peran
Terjadi hubungan peran interpersonal yaitu klien merasa tidak berguna
sehingga menarik diri.
i) Pola penggulangan stress
Penting ditanyakan apakah membuat pasien menjadi depresi /
kepikiran mengenai kondisinya.
j) Pola reproduksi seksual
Jika pasien sudah berkeluarga maka mengalami perubahan pola
seksual dan reproduksi, jika pasien belum berkeluarga pasien tidak
mengalami gangguan pola reproduksi seksual.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Terjadi kecemasan/stress untuk pertahanan klien meminta
mendekatakan diri pada Allah SWT

B. Pemeriksaan fisik
Menurut (Muttaqin 2015) ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan fisik
secara umum (status general)untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (local). Hal ini diperlukan untuk dapat melaksanakan perawatan total
(total care).
1. Pemeriksaan fisik secara umum Keluhan utama:
a) Kesadaran klien : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis yang
bergantung pada klien
b) Kedaaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat. Tanda-tanda vital
tidak normal terdapat gangguan lokal, baik fungsi maupun bentuk.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan,baik fungsi maupun
bentuk.

clxxxii
Pemeriksaan fisik secara Head To Toe:

a. Kepala
Inspeksi : Simetris, ada pergerakan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
b. Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada penonjolan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, reflek menelan ada
c. Wajah
Inspeksi :Simetris, terlihat menahan sakit,
Palpasi : Tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, dan
tidak ada oedema.
d. Mata
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak ada gangguan seperti kongjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
e. Telinga
Inspeksi :Normal, simetris,
Palpasi : Tidak ada lesi, dan nyeri tekan
f. Hidung
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
g. Mulut
Inspeksi : Normal, simetris
Palpasi : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
h. Thoraks
Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi, tidak bengkak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Tidak ada ronchi, wheezing, dan bunyi jantung I, II regular
i. Paru.

clxxxiii
- Inspeksi : Pernafasan meningkat,regular atau tidak tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan simetris, fermitus teraba sama.
- Perkusi : Sonor, tidak ada suara tambahan.
- Auskultasi : Suara nafas normal, tidak ada wheezing atau suara
tambahan lainnya.
j. Jantung Inspeksi :tidak tampak iktus jantung Palpasi :nadi meningkat,
iktus tidak teraba Auskultasi:suara S1 dan S2 tunggal
k. Abdomen Inspeksi : simetris,bentuk datar Palpasi :turgor baik, tidak ada
pembesaran hepar. Perkusi :suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi : peristaltic usus normal ± 20 x/menit
l. Inguinal, genetalia, anus Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe,
tidak ada kesulitan BAB.
C. Analisa data

Symptom Etiologi Problem


Ds : Data yang didapatkan Fraktur Nyeri akut
dari klien sebagai suatu
pendapat terhadap situasi pergeseran fragmen
dan kejadian tulang
Do : Data yang dapat
diobservasi dan diukur timbul respon stimulus
nyeri

2. Gangguan mobilitas fisik


3. Resiko syok hipovolemik
4. Perfusi jaringan tidak efektif
E. Intervensi

clxxxiv
Merupakan tahap ketiga dari peruses keperawatn dimana perawat
menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi pasien ditentukan dan
merencanakan intervensi keperawatan. Selama perencanaan, dibuat prioritas
dengan kolaborasi klien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, telaah
literature, modifikasi asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan tentang
kebutuhan perawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan klinik (Deden
Dermawan, 2012).

Dx Kriteria & Hasil (SLKI) Intervensi Rasional


1 Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen nyeri
keperawatan 3x24 jam 2. Pemberian analgesik
diharapkan dengan kriteria 3. Aromaterapi
Hasil : 4. Dukungan hipnosis diri
7. Tingkat nyeri menurun 5. Dukungan pengungkapan
8. Fungsi gastrointestinal kebutuhan
9. Kontrol nyeri 6. Edukasi efek samping obat
10. Membilitas fisik baik 7. Edukasi manajemen nyeri
11. Penyembuhan luka cepat 8. Edukasi proses penyakit
12. Perfusi kiokad 9. Edukasi teknik napas
13. Perfusi prifer 10. Kompres dingin
14. Pola tidur baik 11. Kompres panas
15. Status kenyamanan 12. Konsultasi
menigkat 13. Latihan pernapasan
16. Tingkat cedar berkuran 14. Manajemen efek samping
obat
15. Manajemen kenyamanan
lingkungan
16. Manajemen medikasi
17. Manajemen sedasi
18. Manajemen terapi radiasi
19. Pemantauan nyeri

clxxxv
20. Pemberian obat
21. Pemberian obat intravena
22. Pemberian obat oral
23. Pemberian obat intravena
24. Pemberian obat topical
25. Pengaturan posisi
26. Perawatan amputasi
27. Perawatan kenyamanan
28. Teknik distraksi
29. Teknik imajinasi
terbimbing
30. Terapi akupresur
31. Terapi akupuntur
32. Terapi bantuan hewan
33. Terapi humor
34. Terapi murattal
35. Terapi music
36. Terapi pemijatan
37. Terapi relaksasi
38. Terapi sentuhan
39. Transcutaneous Electrical
Nerve Stimulation (TENS)
2 Setelah dilakukan tindakan 79. Dukungan ambulasi
keperawatan 3x24 jam 80. Dukungan mobilisasi
diharapkan dengan kriteria 81. Dukungan program
Hasil : pengobatan
23. Mobilitas fisik membaik 82. Dukungan perawatan diri
24. Berat badan dalam batas 83. Dukungan perawatan
normal BAK/BAB
25. Fungsi sensori normal 84. Dukungan berpakaian

clxxxvi
26. Keseimbangan normal 85. Dukungan mandi
27. Konsevasi energy 86. Edukasi latihan fisik
28. Koordinasi pergerakan 87. Edukasi teknik ambulasi
membaik 88. Edukasi teknik transfer
29. Motivasi 89. Konsultasi via tlpn
30. Pergerakan sendi normal 90. Latihan otogenik
31. Status neurologis 91. Manajemen energy
32. Status nutrisi meningkat 92. Manajmen
33. Toleransi aktivitas lingkunganmanajmen mood
menurun 93. Manajmen nutrisi
94. Manajmen nyeri
95. Manajmen medikasi
96. Manajmen program latihan
97. Manajmen sensasi prifer
98. Pemantauan neurologis
99. Pemberian obat
100. Pemberian intravena
101. Pembidaian
102. Pencegahan jatuh
103. Pencegahan luka tekan
104. Pengaturan posisi
105. Pengekangan fisik
106. Perawatan kaki
107. Perawatan sirkulasi
108. Perawatan tirah baring
109. Perawatan traksi
110. Promosi BB
111. Promosi program latihan
112. Promosi latihan fisik
113. Teknik latihan

clxxxvii
penguatan otot
114. Teknik latihan
penguatan sendi
115. Terapi aktivitas
116. Terapi pemijatan
117. Terapi relaksasi otot
progresif

3 Setelah dilakukan tindakan 1 Pencegahan syok


keperawatan 3x24 jam 2 Pemantauan cairan
diharapkan dengan kriteria 3 Edukasi dehidrasi
Hasil : 4 Edukasi reaksi alergi
1. Tingkat syok menurun 5 Edukasi terapi cairan
2. Keseimbangan asam basa 6 Identifikasi risiko
normal 7 Insersi intravena
3. Perfusi perifer 8 Konsultasi via tlpn
4. Respons alergi sistemik 9 Manajmen akses vena
5. Status cairan dalam batas sentral
normal 10 Manajmen analfilaksis
6. Status sirkulasi baik 11 Manajemen cairan
7. Tingkat infeksi menurun 12 Manajmen hipoglikemi
13 Manajmene hipovolemia
14 Manajmen perdarahan
15 Pemantauan hemodinamik
invansif
16 Pemberian obat
17 Pemantauan TTV
18 Pemberian obat intravena
19 Pencegahan alergi
20 Penjegahan infeksi
21 Penvegahan perdarahan

clxxxviii
22 Pengontorlan infeksi
23 Resusitasi cairan
24 Terapi intravena terapi
oksigen
25 Transfuse darah

4 Setelah dilakukan tindakan 1. Perawatan sirkulasi


keperawatan 3x24 jam 2. Manajemen sensasi perifer
diharapkan dengan kriteria 3. Bantuan berhenti merokok
Hasil : 4. Dukungan kepatuhan
1. Perfusi perifer 5. program pengobatan
2. Fungsi sensori 6. Edukasi berat badan efektif
3. Mobilitas fisik 7. Edukasi berhenti merokok
4. Penyembuhan luka 8. Edukasi diet
5. Status sirkulasi 9. Edukasi latihan fisik
6. Tingkat cedera 10. Edukasi pengukuran nadi
7. Tingkat perdarahan radialis
11. Edukasi proses penyakit
12. Edukasi teknik ambulasi
13. Insersi intravena
14. Manajemen asam-basa
15. Manajemen cairan
16. Manajemen hipovolamia
17. Manajemen medikasi
18. Manajemen spisimen darah
19. Manajemen syok
20. Manajemen syok
anafilaktik
21. Manajemen syok
hipovolamik
22. Manajemen syok

clxxxix
kardiogenik
23. Manajemen syok
neuragenik
24. Manajemen syok obsruktif
25. Manajemen syok septic
26. Pemantauan cairan
27. Pemantauan hasil
laboratorium
28. Pemantauan hemodinamik
invasive
29. Pemantauan tanda vital
30. Pemasangan stoking elastis
31. Pemberian obat
32. Pemberian obat intravena
33. Pemberian obat oral
34. Pemberian produk darah
35. Pencegahan luka tekan
36. Pengambilan sampel darah
arteri
37. Pengambilan sampel darah
vena
38. Pengaturan posisi
39. Pemantauan emboli perifer
40. Perawatan kaki
41. Perawatan neurovaskuler
42. Promosi latihan fisik
43. Surveilens
44. Terapi bekam
45. Terapi inravena
46. Terapi oksigen
47. Torniket pneumatic

cxc
48. Uji laboratorium di tempa
tidur

F. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dank
lien. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Deden Dermawan, 2012).
Hari/tggl/jam Dx Implementasi Rasional
1 1. Memanajemen nyeri
2. Memberikan analgesik
3. Aromaterapi
4. Mendukung hipnosis diri
5. Medukung pengungkapan kebutuhan
6. Mengdukasi efek samping obat
7. Mengdukasi manajemen nyeri
8. Mengdukasi proses penyakit
9. Mengdukasi teknik napas
10. Mengkompres dingin
11. Mengkompres panas
12. Mengkonsultasi
13. Melatih pernapasan
14. Memanajemen efek samping obat
15. Memanajemen kenyamanan lingkungan
16. Memanajemen medikasi
17. Memanajemen sedasi
18. Memanajemen terapi radiasi
19. Memanajemen nyeri
20. Memberikan obat
21. Memberikan obat intravena

cxci
22. Memberikan emberian obat oral
23. Memberikan obat intravena
24. Memberikan obat topical
25. Mengatur posisi
26. Merawat amputasi
27. Merawat kenyamanan
28. Melakukan teknik distraksi
29. Melakukan imajinasi terbimbing
30. Melakukan akupresur
31. Menterapikan akupuntur
32. Menterapikan rapi bantuan hewan
33. Menterapikan humor
34. Menterapikan murattal
35. Menterapikan music
36. Menterapikan pemijatan
37. Menterapikan relaksasi
38. Menterapikan sentuhan
39. Transcutaneous Electrical Nerve
Stimulation (TENS)
2 1. Mendukung ambulasi
2. Mendukung mobilisasi
3. Mendukung program pengobatan
4. Mendukung perawatan diri
5. Mendukung perawatan BAK/BAB
6. Mendukung berpakaian
7. Mendukung mandi
8. Mengdukasi latihan fisik
9. Mengdukasi teknik ambulasi
10. Mengdukasi teknik transfer
11. Mengkonsultasi via tlpn

cxcii
12. Melatih otogenik
13. Memanajemen energy
14. Memanajemen lingkungan
15. Memanajemen mood
16. Memanajemen nutrisi
17. Memanajemen nyeri
18. Memanajemen medikasi
19. Memanajemen program latihan
20. Memanajemen sensasi prifer
21. Memantau neurologis
22. Memberikan obat
23. Memberikan intravena
24. Pembidaian
25. Mencegah jatuh
26. Memberikan luka tekan
27. Mengatur posisi
28. Mengekangan fisik
29. Merawat kaki
30. Merawat sirkulasi
31. Merawat tirah baring
32. Merawat traksi
33. Mempromosi BB
34. Mempromosi program latihan
35. Mempromosi latihan fisik
36. Melakukan teknik latihan penguatan otot
37. Melakukan latihan penguatan sendi
38. Melakukan aktivitas
39. Menterapi pemijatan
40. Menterapi relaksasi otot progresif

3 1 Mencegah syok

cxciii
2 Memantau cairan
3 Medukasi dehidrasi
4 Medukasi reaksi alergi
5 Medukasi terapi cairan
6 Identifikasi risiko
7 Insersi intravena
8 Konsultasi via tlpn
9 Memanajmen akses vena sentral
10 Memanajmen analfilaksis
11 Memanajmen cairan
12 Memanajmen hipoglikemi
13 Memanajmen hipovolemia
14 Memanajmen perdarahan
15 Memantau hemodinamik invansif
16 Memberikan obat
17 Memantau TTV
18 Memberikan obat intravena
19 Mencegah alergi
20 Mencegah infeksi
21 Mencegah perdarahan
22 Mengontorl infeksi
23 Meresusitasi cairan
24 Menerapi intravena terapi oksigen
25 Mentransfuse darah

4 1. Merawat sirkulasi
2. Memanajemen sensasi perifer
3. Membantu berhenti merokok
4. Mendukung kepatuhan
5. Memprogramkan pengobatan
6. Mengdukasi berat badan efektif

cxciv
7. Mengdukasi berhenti merokok
8. Mengdukasi diet
9. Mengdukasi latihan fisik
10. Mengdukasi pengukuran nadi radialis
11. Mengdukasi proses penyakit
12. Mengdukasi teknik ambulasi
13. Insersi intravena
14. Memanajemen asam-basa
15. Memanajemen cairan
16. Memanajemen hipovolamia
17. Memanajemen medikasi
18. Memanajemen spisimen darah
19. Memanajemen syok
20. Memanajemen syok anafilaktik
21. Memanajemen syok hipovolamik
22. Memanajemen syok kardiogenik
23. Memanajemen syok neuragenik
24. Memanajemen syok obsruktif
25. Memanajemen syok septic
26. Memantau cairan
27. Memantau hasil laboratorium
28. Memantau hemodinamik invasive
29. Memantau tanda vital
30. Memasang stoking elastis
31. Memberikan obat
32. Memberikan obat intravena
33. Memberikan obat oral
34. Memberikan produk darah
35. Mencegah luka tekan
36. Mengambil sampel darah arteri
37. Mengambil sampel darah vena

cxcv
38. Mengatur posisi
39. Memantau emboli perifer
40. Merawat kaki
41. Merawat neurovaskuler
42. Mempromosi latihan fisik
43. Surveilens
44. Menterapikan bekam
45. Menterapikan inravena
46. Menterapikan oksigen
47. Torniket pneumatic
48. Uji laboratorium di tempa tidur

G. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah membandingkan efek/hasil suatu tindakan
keperawatan dengan norma atau criteria tujuan yang sudah dibuat (Deden
Darmawan, 2012).
Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf
Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau
keperawatan tidak)
P : Planning (intervensi dilanjtkan atu
tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

I. Hukum dan Etika dalam Geriatrik


1. Konsep Legal Etik

cxcvi
Pengertian Etika keperawatan (nursing ethic) merupakan bentuk ekspresi bagaimana
perawat seharusnya mengatur diri sendiri, dan etika keperawatan diatur dalam kode etik
keperawatan. (Agustina Maunaturrohmah, 2018)
Aspek Legal Etik Keperawatan adalah Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai
tatanan pelayanan, termasuk hak dan kewajibannya yang diatur dalam undang-undang
keperawatan. (Agustina Maunaturrohmah, 2018)
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral
dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup
seluruh proses kehidupan manusia. Perawat sebagai profesi dan bagian integral dari
pelayanan kesehatan tidak saja membutuhkan kesabaran. Kemampuannya untuk ikut
mengatasi masalah-masalah kesehatan tentu harus juga bisa diandalkan. (Agustina
Maunaturrohmah, 2018)
International Council of Nurses (ICN) mengeluarkan kerangka kerja kompetensi bagi
perawat yang mencakup tiga bidang, yaitu bidang Professional, Ethical and Legal
Practice, bidang Care Provision and Management dan bidang Professional Development
“Setiap profesi pada dasarnya memiliki tiga syarat utama, yaitu kompetensi yang
diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, komponen intelektual yang bermakna dalam
melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat”.
(Budi Sampurna, Pakar Hukum Kesehatan UI 2006)
Praktik keperawatan yang aman memerlukan pemahaman tentang batasan legal yang ada
dalam praktik perawat. Sama dengan semua aspek keperawatan, pemahaman tentang
implikasi hukum dapat mendukung pemikiran kristis perawat. Perawat perlu memahami
hukum untuk melindungi hak kliennya dan dirinya sendiri dari masalah. Perawat tidak
perlu takut hukum, tetapi lebih melihat hukum sebagai dasar pemahaman terhadap apa
yang masyarakat harapkan dari penyelenggara pelayanan keperawatan yang profesional.
(Agustina Maunaturrohmah, 2018)
2. Isi dari prinsip – prinsip legal dan etis adalah :
a. Autonomi ( Otonomi )

cxcvii
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk
respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi
saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang
perawatan dirinya.
b. Beneficience (Berbuat Baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang,dalam situasi
pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
c. Justice ( Keadilan )
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai
inidirefleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapiyang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan. d. Nonmal eficience (Tidak Merugikan) Prinsip ini
berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
d. Veracity ( Kejujuran )
Prinsip ini berarti penuh dengan kebenaran. Nilai diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk
meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip ini berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
e. Fidellity (Metepati Janji)39
Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia pasien.
f. Confidentiality (Kerahasiann)

cxcviii
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien di jaga privasi
klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.
g. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
h. Informed Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian
suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
“informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
3. Masalah Legal Dalam Keperawatan
Hukum dikeluarkan oleh badan pemerintah dan harus dipatuhi oleh warga negara. Setiap
orang yang tidak mematuhi hukun akan terikat secara hukum untuk menanggung denda
atau hukuman penjara. Beberapa situasi yang perlu dihindari seorang perawat : (Sunaryo,
2015)Kelalaian
Seorang perawat bersalah karena kelalaian jika mencederai pasien dengan
cara tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan ataupun tidak
melakukan tugas dengan hati-hati sehingga mengakibatkan pasien jatuh dan
cedera.
1) Kelalaian
Seorang perawat bersalah karena kelalaian jika mencederai pasien dengan
cara tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan ataupun tidak
melakukan tugas dengan hati-hati sehingga mengakibatkan pasien jatuh dan
cedera.
2) Pencurian
Mengambil sesuatu yang bukan milik anda membuat anda bersalah karena

cxcix
mencuri. Jika anda tertangkap, anda akan dihukum. Mengambil barang yang tidak
berharga sekalipun dapat dianggap sebagai pencurian.
3) Fitnah40
Jika anda membuat pernyataan palsu tentang seseorang dan merugikan
orang tersebut, anda bersalah karena melakukan fitnah. Hal ini benar jika anda
menyatakan secara verbal atau tertulis.
4) False imprisonment
Menahan tindakan seseorang tanpa otorisasi yang tepat merupakan
pelanggaran hukum atau false imprisonment. Menggunakan restrein fisik atau
bahkan mengancam akan melakukannya agar pasien mau bekerja sama bisa juga
termasuk dalam false imprisonment. Penyokong dan restrein harus
digunakan sesuai dengan perintah dokter
5) Penyerangan dan pemukulan
Penyerangan artinya dengan sengaja berusahan untuk menyentuh tubuh
orang lain atau bahkan mengancam untuk melakukannya. Pemukulan berarti
secara nyata menyentuh orang lain tanpa ijin.Perawatan yang kita berikan
selalu atas ijin pasien atau informed consent. Ini berarti pasien harus
mengetahui dan menyetujui apa yang kita rencanakan dan kita lakukan.
6) Pelanggaran privasi
Pasien mempunyai hak atas kerahasiaan dirinya dan urusan pribadinya.Pelanggaran
terhadap kerahasiaan adalah pelanggaran privasi dan itu adalah tindakan yang
melawan hukum.
7) Penganiayaan
Menganiaya pasien melanggar prinsip-prinsip etik dan membuat anda terikat secara
hukum untuk menanggung tuntutan hukum. Standar etik meminta perawat untuk
tidak melakukan sesuatu yang membahayakan pasien. Setiap orang dapat dianiaya,
tetapi hanya orang tua dan anak-anaklah yang paling rentan. Biasanya,pemberi
layanan atau keluargalah yang bertanggung jawab terhadap penganiayaan ini.
Mungkin sulit dimengerti mengapa seseorang menganiaya ornag lain yang lemah atau
rapuh, tetapi hal ini terjadi. Beberapa orang merasa puas bisa mengendalikan orang

cc
lain. Tetapi hampir semua penganiayaan berawal dari perasaan frustasi dan kelelahan
dan sebagai seorang perawat perlu menjaga keamanan dan keselamatan pasiennya.
8) Landasan Aspek Legal Keperawatan
Landasan aspek legal keperawatan adalah undang-undang keperawatan Aspek
legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan
kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat
yaitunSurat Ijin Kerja (SIK) bila bekerja di dalam suatu institusi dan Surat Ijin
Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara perorangan atau berkelompok.
Kewenangan itu, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan.
Namun, memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga
kemampuan yang didapat secara berjenjang, kewenangan yang diberikan juga
berjenjang. Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus perawat
dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal yang harus dilampaui. Dalam
profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan
kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti tindakan
kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi masingmasing.
4. Landasan Aspek Legal Keperawatan
Landasan aspek legal keperawatan adalah undang-undang keperawatan Aspek
legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan
kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitunSurat
Ijin Kerja (SIK) bila bekerja di dalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik Perawat
(SIPP) bila bekerja secara perorangan atau berkelompok. Kewenangan itu, hanya
diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan. Namun, memiliki kemampuan
tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan yang didapat secara
berjenjang, kewenangan yang diberikan juga berjenjang. Kompetensi dalam keperawatan
berarti kemampuan khusus perawat dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal
yang harus dilampaui. Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum
saja yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di
bidang kesehatan dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam

cci
arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi
masingmasing. (Bambang Irawan, 2018)
J. Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus dan Tiroid
Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus
1. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus adalah kondisi ketika tubuh tidak dapat mengendalikan
kadar gula dalam darah (glukosa), yang normalnya pada gula darah puasa 80-130
mg/dL, kadar gula darah sewaktu 100-200mg/dL, serta kadar gula darah 2 jam PP 120-
200. Glukosa merupakan hasil penyerapan makanan oleh tubuh, yang kemudian
menjadi sumber energy (Sonya Kristinia. 2019).
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glokusa darah
diatas nilai normal. Peningkatan kadar glokusa darah tersebut diakibatkan karena
adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Nermin, Warda,
dkk. 2021).
2. Etiologi
a. Diabetes Mellitus tipe-1
Diabetes melitus tipe-1 ditandai dengan adanya ganguan sekresi insulin
(defisiensi insulin) maksudnya produksi insulin dalam tubuh berkurang karena
terjadi kerusakan pada sel beta pancreas Penyebab diabetes tipe ini diantaranya :
(Agustina, 2020)
1) Faktor genetic
Penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
peresdiposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe-1.
2) Faktor immunology (autoimun)
Pada diabetes Tipe-1 terdapat buk9ti adanya suatu respon autoimun, ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang di anggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan

ccii
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan estruksi sel beta
b. Diabetes Mellitus tipe-2
Penyebab dari DM tipe-2 ini belum di ketahui, faktor genetic di perkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin
adalah suatu kondisi dimana insulin dalam tubuh tidak dapat bertindak secara
proposional dengan konsentrasi darah, ini merupakan tanda dari diabetes tipe
ini .Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe ini
dintaranya :(Agustina, 2020)
1) Riwayat DM pada orangtua dan saudara kandung. Meski tidak ada kaitan
HLA yang teridentifikasi, anak dari penyandang DM tipe-2 memiliki
peningkatan resiko dua hingga empat kali.
2) Kegemukan (obesitas), di definisikan kelebihan berat badan minimal 20%
lebih dari berat badan yang di harapkan atau memiliki indeks massa tubuh
(IMT) minimal 127 kg/m. kegemukan khususnya visceral (lemak abdomen) di
kaitkan dengan peningkatan resistensi insulin.
3) Pada wanita, riwayat DM gestrasional, sindrom ovarium polikistik atau
melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg.
3. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Manifestasi klinis utama Diabetes Mellitus (Sonya Kristinia. 2019) , diantaranya :
a. Poliuri (banyak kencing)
Merupakan gejala umum pada penderita Diabetes Mellitus. Banyaknya
kencing ini disebabkan kadar gula dalam darah (glukosa) yang berlebih,
sehingga merangsang tubuh untuk mengeluarkan kelebihan gula tersebut melalui
ginjal bersama urine. Gejala ini terutama muncul pada malam hari, yaitu saat
kadar gula dalam darah relative lebih tinggi dari pada malam hari.
b. Polidipsi (banyak minum)
Merupakan akibat reaksi tubuh karena banyak mengeluarkan urine. Gejala ini
sebenarnya merupakan usaha tubuh untuk menghindari kekurangan cairan
(dehidrasi). Oleh karena tubuh banyak mengeluarkan air, secara otomatis
menimbulkan rasa haus untuk mengganti cairan keluar. Selama kadar gula dalam

cciii
darah belum terkontrol baik, akan timbul terus keinginan untuk terus-menerus
minum. Sebaliknya minum banyak akan terus menimbulkan keinginan untuk
selalu kencing. Dua hal ini merupakan serangkaian sebab akibat yang akan
terus terjadi selagi tubuh belum dapat mengendalikan kadar gula dalam darahnya.
c. Polifagi (banyak makan)
Merupakan gejala lain yang dapat diamati. Terjadi gejala ini, disebabkan oleh
berkurangnya cadangan gula dalam tubuh meskipun kadar gula dalam darah
tinggi. Oleh karena ketidakmampuan insulin dalam menyalurkan gula sebagai
sumber tenaga dalam tubuh, membuat tubuh merasa lemas seperti kurang
tenaga sehingga timbul rasa lapar.
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat dari gangguan aliran darah pada klien
diabetes lama, ketabolisme protein diotot dan ketidak mampuan sebagian
besar sel dalam menggunakan glukosa sebagai energy.
e. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan
antibodi, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi imun,
dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik.
f. Kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi di daerah ginjal. Lipatan
kulit seperti diketiak dan di bawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya
jamur.
g. Kelainan genekologis keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama
candidia.
h. Kesemutan rasa kebas akibat terjadinya neuropati karena regenerasi sel
persyarafan mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang
berasal dari unsur protein akibatnya perifer mengalami kerusakan.
i. Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang
dilakukan oleh sel melalui proses glikogenesis tidak dapat berlangsung secara
optimal.
j. Mata kabur yang disebabkan oleh gangguan refraksi akibat perubahan pada
lensa oleh hiperglikemi.
4. Pemeriksaan penunjang Diabetes Mellitus
a. Kadar glukosa

cciv
1) Kadar glukosa
Kadar glukosa normal, prediabetes dan diabetes mellitus:

Kadar gula darah Normal (mg/dl) Prediabetes (mg/dl) Diabetes (mg/dl)

Gula darah puasa <100 >100 - <126 <126

Gula darah post <140 >140 - <200 >200


prandial

2) Kriteria pengendalian Diabetes Mellitus

Kadar gula darah Kadar baik Kadar sedang Kadar buruk

Gula Darah 80-139 140-179 ≥180


Sewaktu(mg/dl)
Gula darah puasa 80-109 110-125 ≥ 126
(mg/dl)
Gula darah 2 jam 80-144 145-179 ≥180
sesudah
makan(mg/dl)
HbA1c (%) < 6,5 6,5-8 >8

Kolesterol <200 200-239 ≥ 240


total(mg/dl)
Kolestrol LDL <100 100-129 ≥130
(mg/dl)

Kolestrol HDL >45 - -


(mg/dl)

Trigliserida >150 1500-159 ≥200


(mg/dl)

IMT (kg/m2) 18,5-22,9 23-25 ≥25

ccv
Tekanan darah - 130-140/80- >140/90
(mm Hg) 90

b. Tes saring
Tes-Tes saring pada Diabetes Mellitus, adalah:
1) GDP dan GDS
2) Tes glukosa urine
a) Tes konvensional (metode reduksi/benedict)
b) Tes carik celup (metode glucose oxidase/hexokinase)
3) Tes diagnostic
Tes diagnostic pada diabetes melitus adalah GDP, GDS, GD2PP, glukosa jam
ke-2 TTGO.
4) Tes monitoring terapi
Tes tes monitoring terapi adalah :
a) GDP : plasma vena darah kapiler
b) GD2PP : plasma vena
c) A1c : darah vena dan darah kapiler
5) Tes mendeteksi komplikasi
a) Mikroalbuminuria : urine
b) Ureum, kreatinin, asam urat
c) Kolesterol total : plasma vena (puasa)
d) Kolesterol LDL : plasma vena (puasa)
e) Kolesterol HDL : plasma vena (puasa)
f) Trigliserida : plasma vena (puasa) (Sonya Kristinia. 2019).
5. Penatalaksanaan
a. Edukasi
Pemberian informasi tentang gaya hidup yang perlu diperbaiki secara
khusus memperbaiki pola makan, pola latihan fisik, serta rutin untuk
melakukan pemeriksaan gula darah. Informasi yang cukup dapat memperbaiki

ccvi
pengetahuan serta sikap bagi penderita (Agustina, 2018)(Agustina, 2018)Diabetes
Mellitus (Sonya Kristinia. 2019).
b. Terapi diet
Pada penderita Diabetes Mellitus prinsip pengaturan zat gizi bertujuan
untuk mempertahankan atau mencapai berat badan yang ideal, mempertahankan
kadar glukosa dalam darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan
kronik serta meningkatkan kualitas hidup diarahkan pada gizi seimbang dengan
cara melakukan diet 3J:
1) Jumlah makanan
Kebutuhan kalori setiap orang berbeda, bergantung pada jenis kelamin,
berat badan, tinggi badan serta kondisi kesehatan pada klien. Penghitungan
kebutuhan kalori klien berdasarkan pada rumus Harris-Benedict yang
memperhitungkan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, hingga
tingkat aktivitas fisik yang dilakukan.
Pada pria : 66,5 + 13,8 x (BB dalam Kg) + 5 x (TB dalam cm)

6,8 x usia
Pada wanita : 655,1 + 9,6 x (BB dalam Kg)+1,9 x (TB dalam cm)

4,7 x usia

Hasil dari penghitungan kemudian dikalikan dengan faktor aktivitas fisik.


Faktor aktifitas fisik dibagi menjadi 3 yaitu :

a) Pada aktivitas fisik rendah dikalikan 1,2


b) Pada aktivitas fisik sedang dikalikan dengan 1,3
c) Pada aktivitas fisik berat dikalikan dengan 1,4
2) Jenis makanan
Pada penderita Diabetes Mellitus sebaiknya menghindari makanan
dengan kadar glukosa yang tinggi seperti madu, dan susu kental manis.
Pilih makanan dengan indeks glikemik rendah dan kaya serat seperti sayur-
sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan. Batasi makanan yang mengandung

ccvii
purin (jeroan, sarden, burung darah, unggas, kaldu dan emping). Cegah
dislipidemia dengan menghindari makanan berlemak secara berlebih (telur,
keju, kepiting, udang, kerang, cumi, santan, susu full cream atau makanna
dengan lemak jenuh). Batasi konsumsi garam natrium yang berlebih.
3) Jadwal makan
Jadwal diit harus diikuti sesuai dengan intervalnya yaitu dengan:
a) Sarapan pagi jam 6.00
b) Kudapan/snack jam 9.00
c) Makan siang jam 12.00
d) Kudapan/snack jam 15.00
e) Makan malam jam 18.00
f) Kudapan/snack jam 21.00
Mengatur jam makan yang teratur sangat penting, jarak antar 2 kali
makan yang ideal sekitar 4-5jam jika jarak waktu 2 kali makan terlalu lama
akan membuat gula darah menurun sebaliknya jika terlalu dekat jaraknya gula
darah akan tinggi (Sonya Kristinia. 2019).

Adapun syarat-syarat diet diabetes melitus :

a) Energy cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat


badan. Kebutuhan energy memperhitungkan kebutuhan metabolisme
basal 25- 30kkal/kgBB.
b) Makanan dibagi menjadi tiga porsi besar, makan pagi 20%, siang 30%,
sore 25% serta 2-3 porsi kecil untuk selingan masing-masing 10-15%.
c) Kebutuhan protein normal, 10-15% dari kebutuhan energy total
d) Kebutuhan lemak sedang, 20-25% dari kebutuhan energy total.
Kolesterol <300mg/hari.
e) Karbohidrat 60-70%, terutama karbohidrat kompleks dengan indeks
glikemik yang rendah.
f) Penggunaan gula murni dalam makanan atau minuman tidak
diperbolehkan, kecuali sedikit untuk bumbu masakan.

ccviii
g) Penggunaan gula alternative dalam jumlah terbatas. Ada dua
macam gula alternative yaitu, yang bergizi ( fruktosa, gula alkohol
berupa sorbitol, mannitol, dan silitol) dan yang tidak bergizi
( aspartame dan sakarin).
h) Asupan serat 25-50gr/hari dengan mengutamakan serat larut air.
i) Asupan natrium pada pasien diabetes melitus tanpa hipertensi, 1-
3gr/hari.
j) Cukup vitamin dan mineral.(Agustina, 2020)
c. Olahraga
Olahraga adalah salah satu kegiatan penting yang harus dilakukan agar tetap
sehat. Hasil penelitian menunjukkan olahraga aktifitas fisik dapat :
1) Meningkatkan sensitivitas sel-sel tubuh terhadap insulin sehingga membantu
menurunkan kadar gula dan kadar lemak darah.
2) Menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol jahat darah (LDL),
meningkatkan kolesterol baik (HDL) sehingga menurunkan resiko penyakit
jantung.
3) Mengontrol berat badan
4) Menurunkan resiko komplikasi penyakit diabete mellitus
5) Menguatkan jantung, otot dan tulang
6) Menurunkan tingkat stress
Jenis olahraga yang baik adalah aerobic, senam diabetes melitus, angkat
beban (weight lifting), peregangan (stretching) dan aktifitas fisik lainnya.
(Agustina, 2020)
d. Farmakoterapi
Penggunaan obat-obatan merupakan upaya terakhir setelah beberapa upaya
yang telah dilakukan tidak berhasil, sehingga penggunaan obat-obatan dapat
membantu menyeimbangkan kadar glukosa darah pada penderita Diabetes
Mellitus.
Penggunaan obat-obatan merupakan upaya terakhir setelah beberapa upaya
yang telah dilakukan tidak berhasil, sehingga penggunaan obat-obatan dapat

ccix
membantu menyeimbangkan kadar glukosa darah pada penderita Diabetes
Mellitus.
1) Obat
Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)
a) Golongan Sulfoniluria
Cara kerja golongan ini adalah merangsang sel beta pankreas untuk
mengeluarkan insulin, jadi golongan sulfonuria hanya bekerja bila
sel-sel beta utuh, menghalangi pengikatan insulin, mempertinggi
kepekaan jaringan terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukagon.
b) Golongan Biguanid
Cara kerja golongan ini tidak merangsang sekresi insulin. Golongan
biguanid dapat menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan
istimewanya tidak pernah menyebabkan hipoglikemi.
c) Alfa Glukosidase Inhibitor
Obat ini berguna menghambat kerja insulin alfa glucosidase didalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus
dan tidak menyebabkan hipoglikemi serta tidak berpengaruh pada
kadar insulin.
d) Insulin Sensitizing Agent
Efek farmakologi pada obat ini meningkatkan sensitifitas
berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia.
e) Insulin
Dari sekian banyak jenis insulin menurut cara kerjanya yaitu;
yang bekerja cepat (Reguler Insulin) dengan masa kerja 2-4 jam;
yang kerjanya sedang (NPN) dengan masa kerja 6-12 jam; yang
kerjanya lambat (Protamme Zinc Insulin) masa kerjanya 12-24 jam.
e. Mengontrol gula darah
Bagi penderita Diabetes Mellitus mengontrol gula darah sebaiknya
dilakukan secara rutin agar dapat memantau kondisi kesehatan saat menjalankan

ccx
diet maupun tidak. Dengan mengontrol gula darah secara rutin, penderita
dapat memahami kondisi tubuhnya mengalami hiperglikemi atau hipoglikemi
(Sonya Kristinia. 2019).
Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Identitas klien, meliputi : Nama pasien, tanggal lahir,umur, agama, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, No rekam medis.
Penyakit Diabetes Mellitus sering muncul setelah seseorang memasuki usia 45
tahun terlebih pada orang dengan berat badan berlebih (Sonya Kristinia.
2019).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasanya dirasakan oleh klien Diabetes Mellitus
yaitu badan terasa sangat lemas sekali disertai dengan penglihatan kabur,
sering kencing (Poliuria), banyak makan (Polifagia), banyak minum
(Polidipsi)
2) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan dominan yang dialami klien adalah munculnya gejala sering
buang air kecil (poliuria), sering merasa lapar (polifagi) dan sering merasa
haus polidipsi), luka sulit untuk sembuh, rasa kesemutan pada kaki,
penglihatan semakin kabur, cepat merasa mengantuk dan mudah lelah,
serta sebelumya klien mempunyai berat badan berlebih
3) Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami kondisi suatu penyakit dan mengkonsumsi
obat-obatan atau zat kimia tertentu. Penyakit yang dapat menjadi pemicu
timbulnya Diabetes Mellitus dan perlu dilakukan pengkajian diantaranya:
a) Penyakit pankreas
b) Gangguan penerimaan insulin
c) Gangguan hormonal

ccxi
d) Pemberian obat-obatan seperti: Furosemid (diuretik) dan
Thiazid(diuretik)
4) Riwayat penyakit keluarga
Diabetes Mellitus dapat berpotensi pada keturunan keluarga, karena
kelainan gen yang dapat mengakibatkan tubuhnya tidak dapat
menghasilkan insulin dengan baik (Sonya Kristinia. 2019).
c. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum : cukup
b) Tingkat kesehatan kesadaran
Kesadaran composmentis, latergi, stupor, koma, apatis tergantung kadar
gula yang tidak stabil dan kondisi fisiologi untuk melakukan konpensasi
kelebihan gula darah (Sonya Kristinia. 2019).
c) Tanda-Tanda Vital
1) Frekuensi nadi dan tekanan darah
Takikardi dan hipertensi dapat terjadi pada penderita Diabetes Mellitus
karena glukosa dalam darah yang meningkat dapat menyebabkan
darah menjadi kental.
2) Frekuensi pernafasan: Takipnea (pada kondisi ketoasidosis)
3) Suhu tubuh
Hipertemi ditemukan pada klien Diabetes Mellitus yang mengalami
komplikasi infeksi pada luka atau pada jaringan lain. Sedangkan hipotermi
terjadi pada penderita yang tidak mengalami infeksi atau penurunan
metabolik akibat penurunan masukan nutrisi secara drastic (Sonya
Kristinia. 2019).
d) Pemeriksaan B1-B6
1) Pada pemeriksaan fisik B1 (Breathing) tinjauan pustaka didapatkan
data pada inspeksi bentuk dada simetris, tidak ada retraksi otot bantu
nafas, terkadang ada yang membutuhkan bantu nafas O2, RR
>22x/menit. Pada palpasi data vocal fremitus antara kanan dan kiri
sama, susunan ruas tulang belakang normal. Pada auskultasi tidak
ditemukan suara nafas tambahan, suara nafas vesikuler, mungkin

ccxii
terjadi pernafasan cepat dan dalam, frekuensi meningkat dan nafas bau
aseton. Pada tinjauan kasus didapatkan data inspeksi : bentuk dada
simetris, susuna ruas tulang belakang normal, irama nafas teratur, tidak
ada retraksi otot bantu nafas, tidak ada alat bantu nafas, batuk (-) dan
produksi sputum (-), RR 20x/menit. Palpasi : vocal fremitus sama
antara kanan dan kiri, tidak ada nyeri tekan. Perkusi : sonor.
Auskultasi : suara nafas vesikuler.
Berdasarkan pengamatan peneliti antara tinjauan kasus dan
tinjauan pustaka tidak terdapat kesenjangan pada sistem pernafasan
yang dialami oleh pasien sama dengan sistem pernafasan pada
penderita Diabetes Mellitus Gangren lainnya yaitu bentuk dada
simetris, tidak ada retraksi 79 otot bantu nafas, tidak menggunakan alat
bantu nafas, RR normal, vocal fremitus antara kanan dan kiri sama,
susunan ruas tulang belakang normal, tidak ditemukan suara nafas
tambahan, suara nafas vesikuler.
2) Pada pemeriksaan fisik B2 (Blood) tinjauan pustaka didapatkan data
pada inspeksi penyembuhan luka yang lama. Pada palpasi ictus cordis
tidak teraba, nadi >84x/menit (bisa juga terjadi takikardia), irama
irregular, CRT kembali 3 detik dan sianosis), pulsasi kuat lokasi
radialis. Pada perkusi suara dullness/redup/pekak, bisa terjadi nyeri
dada. Pada auskultasi bunyi jantung normal dan tidak ada suara
jantung tambahan seperti gallop rhytme ataupun murmur. Pada
tinjauan kasus didapatkan data inspeksi : tidak ada cyanosis, tidak ada
clubbing finger. Palpasi : tidak ada nyeri dada, ictus cordis kuat posisi
ICS 5 midclavicula sinistra 1cm, nadi 85x/menit. Perkusi : pekak.
Auskultasi : irama jantung regular, bunyi jantung S1 S2 tunggal ICS V
midclavikula sinistra “LUB”, ICS II sternalis sinistra “DUB”.
Berdasarkan pengamatan peneliti antara tinjauan kasus dan
tinjauan pustaka tidak terdapat kesenjangan pada sistem
kardiovaskuler yang dialami oleh pasien sama dengan sistem
kardiovaskuler pada penderita Diabetes -Mellitus Gangren lainnya

ccxiii
yaitu penyembuhan luka yang lama, tidak ada cyanosis, tidak ada
clubbing finger, tidak ada nyeri dada, ictus cordis kuat posisi ICS 5
midclavicula sinistra 1cm, nadi 85x/menit, perkusi pekak, irama
jantung regular, bunyi jantung S1 S2 tunggal.
3) Pada pemeriksaan fisik B3 (Brain) tinjauan pustaka didapatkan data
kesadaran bisa baik ataupun menurun, pasien bisa pusing, merasa
kesemutan, mungkin tidak disorientasi, terkadang ada gangguan
memori. Pasien biasanya sering merasa mengantuk, refleks tendon
menurun, dan penurunan sensasi. Pada tinjauan kasus didapatkan data
kesadaran composmentis, GCS 4-5-6, orientasi baik, tidak kejang,
nyeri kepala (-), pusing (-), istirahat siang dirumah 2jam/hari diRS
1jam/hari, istirahat malam dirumah 9jam/hari diRS 8jam/hari, kelainan
nervus cranialis (-), pupil isokor, refleks cahaya baik.
Berdasarkan pengamatan peneliti antara tinjauan kasus dan
tinjauan pustaka tidak terdapat kesenjangan pada sistem persyarafan
yang dialami oleh pasien sama dengan sistem persyarafan pada
penderita Diabetes Melitus Gangren lainnya yaitu kesadaran
composmentis, GCS 4-5-6, orientasi baik dan tidak ada kelainan
nervus cranialis (-).
4) Pada pemeriksaan fisik B4 (Bladder) tinjauan pustaka didapatkan data
pada inspeksi didapatkan bentuk kelamin normal, kebersihan alat
kelamin bersih, frekuensi berkemih normal atau tidak, bau, warna,
jumlah, dan tempat yang digunakan. Pasien terkadang terpasang
kateter dikarenakan adanya masalah pada saluran kencing seperti
polyuria, anuria, oliguria. Pada tinjauan kasus didapatkan data inspeksi
: bentuk kelamin normal, alat kelamin bersih, frekuensi berkemih
teratur saat dirumah 4100cc/hari diRS 3000cc/hari, bau khas, warna
kuning, tempt yang digunakan kamar mandi, tidak terpasang alat 81
bantu. Palpasi : tidak ada massa/ benjolan, tidak ada nyeri tekan pada
kandung kemih.

ccxiv
Berdasarkan pengamatan peneliti antara tinjauan kasus dan
tinjauan pustaka tidak terdapat kesenjangan pada sistem perkemihan
yang dialami oleh pasien sama dengan sistem perkemihan pada
penderita Diabetes Melitus Gangren lainnya yaitu bentuk kelamin
normal, alat kelamin bersih, frekuensi berkemih teratur saat dirumah
4100cc/hari diRS 3000cc/hari, bau khas, warna kuning, tempat yang
digunakan kamar mandi, tidak terpasang alat bantu, tidak ada massa/
benjolan, tidak ada nyeri tekan pada kandung kemih.
5) Pada pemeriksaan fisik B5 (Bowel) tinjauan pustaka didapatkan data
pada inspeksi keadaan mulut mungkin kotor, mukosa bibir kering atau
lembab, lidah mungkin kotor, kebiasaan menggosok gigi sebelum dan
sesudah MRS, tenggorokan ada atau tidak kesulitan menelan, bisa
terjadi mual, muntah, penurunan berat badan, polifagia, polidipsi,
anoreksia. Pada palpasi adakah nyeri abdomen. Pada perkusi
didapatkan bunyi thympani. Pada auskultasi terdengar peristaltic usus.
Kebiasaan BAB dirumah dan saat masuk rmah sakit, bagaimana
konsistensinya, warna, bau dan tempat yang digunakan. Pada tinjauan
kasus didapatkan data inspeksi : mulut bersih, mukosa bibir lembab,
bentuk bibir normal, gigi bersih saat dirumah sikat gigi setiap mandi
saat diRS 1x/hari, BAB 1x/hari warna kuning bau khas, tidak
terpasang alat bantu. Palpasi : pembesaran tonsil (-), nyeri abdomen
(-). Perkusi : tympani. Auskultasi : peristaltic usus 10x/menit.
Berdasarkan pengamatan peneliti antara tinjauan kasus dan
tinjauan pustaka tidak terdapat kesenjangan pada sistem pencernaan
yang dialami oleh pasien sama dengan sistem pencernaan pada
penderita Diabetes Melitus Gangren lainnya yaitu mulut bersih,
mukosa bibir lembab, bentuk bibir normal, gigi bersih (saat dirumah
sikat gigi setiap mandi, saat diRS 1x/hari), BAB 1x/hari warna kuning
bau khas, perkusi tympani, peristaltic usus 10x/menit.
6) Pada pemeriksaan fisik B6 (Bone) tinjauan diobservasi keadaan luka,
ada pus atau tidak, kedalaman luka, luas luka, kulit atau membrane

ccxv
mukosa mungkin kering, ada oedema, lokasi, ukuran. Pada palpasi
kelembapan kulit, akral hangat, turgor kulit hangat, adakah fraktir atau
dislokasi. Kekuatan otot dapat menurun, pergerakak sendi dan tungkai
bisa mengalami gangguan dan terbatas. Pada tinjauan kasus
didapatkan data inspeksi: dislokasi (-), fraktur (-), luka (+) di kedua
mata kaki, kebersihan kulit bersih, ADL persial. Palpasi : ROM bebas,
kekuatan otot tangan kanan 5 tangan kiri 5 kaki kanan 5 kaki kiri 5,
akral hangat, kelembapan lembab, torgot elastic, CRT <2dt, oedema
(-). Pasien melakukan segala aktifitasnya di tempat tidur, kecuali BAK
dan BAB kekamar mandi. Saat berjalan kekamar mandi pasien tampak
sedikit menyeringai di bantu oleh keluarga.
Berdasarkan pengalaman penelitian antara tinjauan kasus dan tinjauan
pustaka tidak terdapat kesenjangan pada sistem musculoskeletal dan
integument yang dialami oleh pasien sama dengan sistem musculoskeletal
dan integument pada penderita diabetes militus gangrene lainnya yaitu
terdapat luka gangrene di kedua mata kaki, akral hangat, kelembapan lembab,
turgor elastic, CRT <2dt.(Banjarnegara, 2018)
e) Ukuran antropometri
1) TB dan BB untuk menetukan status nutrisi
2) Lingkar kepala
3) Lingkar dada
4) Lingkar lengan atas (MAC):
Nilai normal Wanitausiasubur: 23,5 cm
i. Lipatan kulit pada otot trisep (TSF)
Nilai normal:
a) Wanita : 16,5-18 cm
b) Pria : 12,5-16,5 cm
f) Data penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
1) Albumin (N: 4 – 5,5mg/100ml)
2) Transferi (N: 170 -25 mg/100ml)

ccxvi
3) Hemoglobin (N: 12mg%)
4) BUN (N: 10 – 20 mg/100ml)
5) Pemeriksaan gula darah puasa
Nilai normal :
a) Wholeblood :60 – 100 mg / dl
b) Dewasa :70 – 100 mg/ dl
c) Bayi baru lahir :30 – 80 mg / dl
d) Anak :60 – 100 mg / dl
Pemeriksaan gula darah 2 jam setelah makan
Nilai normal :
a) Dewasa : < 120 mg / dl / 2 jam
b) Wholeblood : < 120 mg / dl / 2 jam
Pemeriksaan gula darah sewaktu
Nilai normal : 200 mg / dl
Pemeriksaan HB AIC (Hemoglobin Glikosilasi)
Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah, untuk memperoleh informasi
kadar gula darah yang sesungguhnya, karena pasien tidak dapat mengontrol
hasil tes dalam kurun waktu 2 – 3 bulan. Tes ini berguna untuk mengukur
tingkat ikatan gula pada hemoglobin A (AIC) sepanjang umur sel darah merah
(120 hari).
Pemeriksaan fruktosamin
Pemeriksaan fruktosamin menggunakan metoda enzymatic seperti pada
pemeriksaan glukosa (Shinta Herlina. 2018).
d. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrien
2. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan gangguan
toleransi glukosa darah
3. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan neuropati perifer
e. Intervensi keperawatan

No Dx Tujuan & kriteria hasil Intervensi (SIKI)

ccxvii
(SLKI)

1 1 Setelah di lakukan tindakan Observasi


keperawatan selama 1 x 24 - Identifikasi status nutrisi
jam, di harapkan nutrisi - Identifikasi alergi dan intoleransi
terpenuhi dengan kriteria makanan
hasil: - Identifikasi makanan yang di sukai
- Status nutrisi membaik - Identifikasi kebutuhan kalori dan
- Nafsu makan meningkat jenis nutrient
- Monitor asupan
- Monitor berat badan

Terapeutik
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis, piramida makanan)
- Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yg sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk
mecegah konstipasi

Edukasi
- Ajarkan diet yang di programkan

2 2 Setelah di lakukan tindakan Observasi


keperawatan selama 1 x 24 - Identifikasi kemampuan pasien dan
jam, di harapkan kadar keluarga menerima informasi
glukosa darah terpenuhi - Identifikasi tingkat pengetahuan saat
dengan kriteria hasil: ini
- Kestabilan glukosa darah - Identifikasi kebiasaan pola makan
normal saat ini dan masa lalu
- Perilaku - Identifikasi persepsi pasien dan
mempertahankan berat keluarga tentang diet yang di
badan

ccxviii
- Status nutrisi membaik programkan

Edukasi
- Jelaskan kepatuhan diet terhadap
kesehatan
- Informasikan makanan yang di
perbolehkan dan di larang
- Anjurkan mengganti bahan makanan
sesuai dengan diet yang di
programkan
- Anjurkan melakukan olahraga sesuai
toleransi
- Ajarkan cara merencanakan
makanan yang sesuai program.

3 3 Setelah di lakukan tindakan Observasi


keperawatan selama 1 x 24 - Identifkasi penyebab gangguan
jam, di harapkan integritas integritas kulit (mis, perubahan
kulit membaik dengan kriteria status nutrisi, penurunan mobilitas).
hasil:
Terapeutik
- Integritas kulit dan
- Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
jaringan membaik
baring
- Perfusi perifer meningkat
- Gunakan produk berbahan petroleum
- Status nutrisi membaik
atau minyak pada kulit kering.
- Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan hipoalergik pada
kulit sensitive
- Hindari produk berbahan dasar
alcohol pada kulit kering.

Edukasi
- Anjurkan menggunakan pelembab

ccxix
(mis, lotion, serum)
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan
sayur dan buah

Asuhan Keperawatan Tiroid


1. Pengertian
Hipertiroidisme (hipersekresi hormon tiroid) adalah peningkatan produksi dan
sekresi hormone tiroid oleh kelenjar tiroid. (Marry:2009). Hipertiroidisme adalah
keadaan dimana terjadi peningkatan hormon tiroid lebih dari yang dibutuhkan tubuh.
Tirotoksikrosis merupakan istilah yang digunakan dalam manifestasi klinkis yang terjadi
ketika jaringan tubuh distimulasi oleh peningkatan hormone tiroid (Tarwoto,dkk.2012).
Angka kejadian pada hipertiroid lebih banyak pada wanita dengan perbandingan 4:1 dan
pada usia antara 20-40 tahun (Black,2009). Hipertiroidisme adalah Suatu sindrom yang
disebabkan oleh peninggian produsi hormon tiroid yang disebabkan antara lain karena
autoimun pada penyakit graves, hiperplasia, genetik, neoplastik atau karena penyakit
sistemik akut. Faktor pencetusnya adalah keadaan yang menegangkan seperti operasi,
infeksi, trauma, penyakit akut kardiovaskuler ( P.K Sint Carolus:1995).

Hipertiroidisme (Tiroktosikosis) merupakan suatu keadaan di mana didapatkan


kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan
biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid
berlebihan.Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan
terhadap pengaruh metabolik terhadap hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson:
337)

Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar


tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan
di dalam darah. Hipertiroidisme adalah kadar TH yang bersirkulasi berlebihan.

ccxx
Gangguan ini dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus.
(Elizabeth J. Corwin:296)

1. Etiologi
Hipertiroidisme dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau
hipotalamus. Peningkatan TSH akibat malfungsi kelenjar tiroid akan disertai penurunan
TSH dan TRF karena umpan balik negatif HT terhadap pelepasan keduanya.
Hipertiroidisme akibat malfungsi hipofisis memberikan gambamn kadar HT dan TSH
yang finggi. TRF akan Tendah karena uinpan balik negatif dari HT dan TSH.
Hipertiroidisme akibat malfungsi hipotalamus akan memperlihatkan HT yang finggi
disertai TSH dan TRH yang berlebihan. Tarwoto,dkk (2012) penyebab hipertiroid
diantaranya adenoma hipofisis, penyakit graves, modul tiroid, tiroiditis, konsumsi
banyak yodium dan pengobatan hipotiroid.
Adenoma hipofisis Penyakit ini merupakan tumor jinak kelenjar hipofisis dan
jarang terjadi. Penyakit graves Penyakit graves atau toksi goiter diffuse merupakan
penyakit yang disebabkan karena autoimun, yaitu dengan terbentuknya antibody yang
disebut thyroid-stimulatin immunoglobulin (TSI) yang melekati sel-sel tiroid. TSI
merinu tindakan TSH dan merangasang tiroid untuk membuat hormon tiroid terlalu
banyak. Penyakit ini dicirikan adanya hipertiroidisme, pembesaran kelenjar tiroid atau
(goiter) dan eksoftalmus (mata yang melotot).
Tiroditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid yang biasanya disebabkan oleh
bakteri seperti streptococcus pyogenes, staphycoccus aureus dan pnemucoccus
pneumonia. Reaksi peradangan ini menimbulkan pembesaran pada kelenjar tiroid,
kerusakan sel dan peningkatan jumlah hormon tiroid.Tiroditis dikelompokan menjadi
tiroiditis subakut, tiroiditis posetpartum, dan tiroiditis tersembunyi. Pada tiroiditis
subakut terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan biasanya hilang dengan sendirinya setelah
beberapa bulan. Tiroiditis pesetpartum terjadi sekitar 8% wanita setelah beberapa bulan
melahirkan. Penyebabnya diyakini karena autoimun. Seperti halnya dengan tiroiditis
subakut, tiroiditis wanita dengan posetpartum sering mengalami hipotiroidisme sebelum
kelenjar tiroid benar-benar sembuh. Tiroiditis tersembunyi juga disebabkan juga karna
autoimun dan pasien tidak mengeluh nyeri, tetapi mungkin juga terjadi pembesaran
kelenjar. Tiroiditis tersembunyi juga dapat mengakibatkan tiroiditis permanen.

ccxxi
Konsumsi yodium yang berlebihan, yang mengakibatkan peningkatan sistesis
hormon tiroid. Terapi hipertiroid, pemberian obat obatan hipotiroid untuk menstimulasi
sekresi hormone tiroid. Penggunaan yang tidak tepat menimbulkan kelebihan jumlah
hormon tiroid.
2. Tanda dan Gejala
1) Peningkatan frekuensi denyut jantung.
2) Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap
Katekolamin.
3) Peningkatan laju metabolisme basal, peningkatan pembentukan panas, intoleran
terhadap panas, keringat berlebihan.
4) Penurunan berat badan, tetapi peningkatan rasa lapar (nafsu makan baik)
5) Peningkatan frekuensi buang air besar
6) Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid
7) Gangguan reproduksi
8) Tidak taahan panas
9) Cepat lelah
10) Pembesaran kelenjar tiroid
11) Mata melotot (exoptalmus). Hal ini terjadi sebagai akibat penimbunan xat dalam
orbit mata.
3. Patofisiologi
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika, dan
tiroiditis. Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua
sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-
lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat
beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan
kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada
normalPada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
“menyerupai” TSH, Biasanya bahan — bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang
disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor
membran yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan — bahan tersebut
merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme.

ccxxii
Karena itu pada pasien hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi
TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar
tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu
jam. Tingginya sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga
menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga
diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid
membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk
akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme
tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini,
terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan
sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini
menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik,
sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau
diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler.
Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah
jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.
4. Komplikasi
Menurut Tarwoto,dkk (2012)

9) Eksoftalmus, keadaan dimana bola mata pasien menonjol benjol keluar, hal ini
disebabkan karena penumpukkan cairan pada rongga orbita bagian belakang bola
mata. Biasanya terjadi pasien dengan penyakit graves.
10) Penyakit Jantung, terutama kardioditis dan gagal jantung.
11) Stromatiroid (tirotoksikosis), pada periode akut pasien mengalami demam tinggi,
takikardia berat, derilium, dehidrasi, dan iritabilitas ekstrim. Keadaan ini merupakan
keadaan emergency sehingga penganganan lebih khusus. Faktor presipitasi yang
berhubungan dengan tiroksikosis adalah hipertiroidisme yang tidak terdiagnosis dan
tidak tertangani, infeksi, ablasitiroid, pembedahan, trauma, miokardiak infark,
overdosis obat. Penanganan pasien dengan stromatiroid adalah dengan menghambat
produksi hormon tiroid, menghambat konfersi T4 menjadi T3 dan menghambat efek
hormon terhadap jaringan tubuh. Obat-obatan yang diberikan untuk menghambat

ccxxiii
kerja hormon tersebut diantaranya sodium ioded intravena, glococorticoid,
dexamethasone, dan propylthiouracil oral. Beta blockers diberikan untuk
menurunkan efek stimulasi saraf simpatik dan takikardia.
5. Pencegahan
c. Berhenti merokok
Hal ini terjadi karena rokok mengandung zat kimia berbahaya yang bisa
menghambat kinerja organ dan jaringan, termasuk kelenjar tiroid. Zat kimia rokok
dapat menganggu penyerapan yodium yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya orbitopathy graves atau dikenal dengan kelainan mata menonjol akibat
hipertiroid.

d. Berhenti mengkonsumsi alcohol


e. Konsumsi makanan yang menyehatkan tiroid
Untuk menjaga kesehatan kelenjar tiroid, kacang kedelai menjadi salah satu
makanan yang direkomendasi yang berupa tempe, tahu, atau susu kedelai. Selain
itumengkomsumsi asupan selenium seperti udang, salmon, kepiting, ayam, telur,
bayam, jamur shitake, dan beras merah.
f. Cek kesehatan tiroid
Untuk mencegah terjadinya hipertiroid adalah melakukan pemeriksaan kelenjar
tiroid secara berkala, tes ini dilakukan dengan mendeteksi adanya benjolan atau
pembengkakan sekitar leher. Apabila tidak ada benjolan tetapi ada gejal-gejala
tiroid, seperti mudah berkeringat, lebih sensitif dengan panas, siklus menstruasi dan
nafsu makan berubah, segera periksakan diri ke dokter.
6. Klasifikasi
Dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi 2, yaitu :Hipertiroid Primer
Terjadinya hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid itu sendiri, contohnya :

1) Penyakit grave
2) Functioning adenoma
3) Toxic multinodular goiter
4) Tiroiditis

ccxxiv
Hipertiroid Sekunder : Jika penyebab hipertiroid berasal dari luar kelenjar
tiroid,contohnya :
1) Tumor hipofisis
2) Pemberian hormone tiroid dalam jumlah besar
3) Pemasukan iodium berlebihan
Klasifikasi struma Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan) menurut American
society for Study of Goiter membagi :

1) Struma Non Toxic Diffusa


2) Struma Non Toxic Nodusa
3) Struma Toxic Diffusa
4) Struma Toxic Nodus
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik.Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana strumadiffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika
tidak diberikan tindakan medissementara nodusa akan memperlihatkan benjolan
yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).

Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena


jaringan tubuhdipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic
goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara
hipertiroidisme lainnya.Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang
dibagi menjadi struma diffusa nontoksik dan struma nodusa nontoksik. Struma non
toksik disebabkan oleh kekurangan yodiumyang kronik. Struma ini disebut sebagai
simple goiter, struma endemik, atau goiter koloidyang sering ditemukan di daerah
yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dangoitrogen yang
menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Tarwoto,dkk (2012) tujuan pengobatan adalah untuk membawa tingkat hormon
tiroid keadaan normal, sehingga mencegah komplikasi jangka panjang, dan mengurangi

ccxxv
gejala tidak nyaman. Tiga pilihan pemberian obat-obatan, terapi radioiod, dan
pembedahan.
a. Obat-obatan antitiroid
1) Propylthiouracil (PTU), merupakan obat antihipertiroid pilihan, tetapi
mempunyai efek samping agranulocitosis sehingga sebelum di berikan harus
dicek sel darah putihnya. PTU tersedia dalam bentuk tablet 50 dan 100 mg.
2) Methimozole (Tapazole), bekerja dengan cara memblok reaksi hormon tiroid
dalam tubuh. Obat ini mempunyai efek samping agranulositosis, nyeri kepala,
mual muntah, diare, jaundisce, ultikaria. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 3
dan 20 mg.
3) Adrenargik bloker, seperti propanolol dapat diberikan untuk mengkontrol
aktifitas saraf simpatetik. Pada pasien graves yang pertama kali diberikan OAT
dosis tinggi PTU 300-600mg/hari atau methimazole 40-45mg/hari.
b. Radioiod Terapi
Radio aktif iodin-131, iodium radio aktif secara bertahap akan melakukan sel-sel
yang membentuk kelenjar tiroid namun tidak akan menghentikan produksi hormon
tiroid.

c. Bedah Tiroid
Pembedahan dan pengangkatan total atau parsial (tiroidektomy). Operasi efektif
dilakukan pada pasien dengan penyakit graves. Efek samping yang mungkin terjadi
pada pembedahan adalah gangguan suara dan kelumpuhan saraf kelenjar tiroid.

8. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa bergantung kepada beberapa hormon berikut ini:

Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan TRH akan
memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat atau
kelenjar tiroid.

TSH (Tiroid Stimulating Hormone)

Bebas T4 (tiroksin)

ccxxvi
Bebas T3 (triiodotironin)

Diagnosa juga boleh dibuat menggunakan ultrasound untuk memastikan pembesaran


kelenjar tiroid

Hipertiroidisme dapat disertai penurunan kadar lemak serum

Penurunan kepekaan terhadap insulin, yang dapat menyebabkan hiperglikemia.

penunjang lainnya

CT Scan tiroid

Mengetahui posisi,ukuran dan fungsi kelenjar tiroid. Iodine radioaktif (RAI) diberikan
secara oral kemudian diukur pengambilan iodine oleh kelenjar tiroid.normalnya tiroid
akan mengambi iodine 5-35% dari dosis yang diberikan setelah 24 jam, pada pasien
Hipertiroid akan meningkat.

USG, untuk mengetahui ukuran dan komposisi dari kelenjar tiroid apakah massa atau
nodule.

ECG untuk menilai kerja jantung, mengetahui adanya takhikardia, atrial fibrilasi dan
perubahan gelombang P dan T(Tarwoto,dkk.2012)

ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian

Tanyakan riwayat timbulnya gejala yang berkaitan dengan metabolisme yang


meningkat, hal ini mencakup laporan klien dan keluarga mengenai keadaan klien
yang mudah tersinggung (irritabel) dan peningkatan reaksi emosionalnya.

Kaji dampak perubahan yang dialami pada interaksi klien dengan keluarga, sahabat
dan teman sekerjanya.

Tanyakan riwayat penyakit yang lalu mencakup faktor pencetus stres dan kemampuan
klie unruk mengatasinya.

ccxxvii
Kaji status nutrisi

Kaji timbulnya gejala yang berhubungan dengan haluaran sistem saraf yang
berlebihan dan perubahan pada penglihatan dan penampakkan mata.

Kaji keadaan jantung klien secara berkala meliputi frekuensi,, tekanan darah, bunyi
jantung, dan denyut nadi perifer.

Kaji kondisi emosional dan psikologis, Pasien dengan hipertiroid biasanya


menampakkan suasana hati yang tidak stabil, penurunan terhadap perhatian dan
menunjukkan perilaku maniak. Sering juga didapatka gangguan tidur.

Pemeriksaan fisik

Observasi dan pemeriksaan kelenjar tiroid Palpasi kelenjar tiroid dan kaji adanya
massa atau pembesaran. Observasi ukuran dan kesimetrisan pada goiter
pembesaran dapat terjadi empat kali dari ukuran normal.

Optalmopathy (penampilan dan fungsi mata yang tidak normal) Pada hipertiroid
sering ditemukan adanya retraksi kelopak mata dan penonjolan kelopak mata.
Pada tiroksikosis kelopak mata mengalami kegagalan untuk turun ketika klien
melihat kebawah.

Observasi adanya bola mata yang menonjol karena edema pada otot ektraokuler dan
peningkatan jaringan dibawah mata. Penekanan pada saraf mata dapat
mengakibatkan kerusakan pandangan seperti penglihata ganda, tajam penglihatan.
Adanya iritasi mata karena kesulitan menutup mata secara sempurna perlu
dilakukan pengkajian.

Pemeriksaan jantung

Komplikasi yang sering timbul pada hipertiroid adalah gangguan jantung seperti
kardioditis dan gagal jantung, oleh karenanya pemeriksaan jantung perlu
dilakukan seperti tekanan darah, takikardia, distritmia, bunyi jantung.

Muskuloskeletal

ccxxviii
Biasanya ditemukan adanya kelemahan otot, hipeeraktif pada reflex tendon dan
tremor, iritabilitas.

Diagnosa Keperawatan

Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan gangguan


metabolic

Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertiroid tidak terkontrol dan
peningkatan aktifitas saraf simpatik

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan energy dengan kebutuhan


tubuh

Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan produksi panas meningkat

Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi

no diagnosa SLKI SIKI

Ketidak Setelah dilakukan tindakan Manajmen nutrisi


seimbangan keperawatan selama …x24
Observasi:
nutrisi kurang jam keseimbangan nutrisi
dari kebutuhan kembali normal Identifikasi status nutrisi
b.d gangguan Identifikasi alergi dan
Kriteria hasil:
metabolik intoleransi makanan
BB stabil Identifikassi perlunya
Malnutrisi (-) penggunaan selang
Kebutuhan metabolisme nasogatric
terpenuhi Monitor asupan makan
Monitor BB
Terapeutik

Lakukan oral hygiene

ccxxix
sebelum makan
Sajikan makanan secara
menarik dan suhu
yang sesua
Hentikan pemberian
makanan melalui
selang nasogastic
jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi

Anjurkan posisi duduk


jika mampu
Ajarkan diet yang di
programkan
Kolaborasi

Kolaborasi dengan ahli gizi


untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient
yang dibutuhkan

ccxxx
K. Program Kesehatan Nasional Lansia
1. Pengertian Program Nasional Kesehatan Lansia
Proram kementrian kesehatan di Indonesia dalam upaya untuk meningkatkan status
kesehatan para lanisa, diantaranya:
a. Peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan para lansia di pelayanan keshatan
dasar, khususnya puskesmas dan kelompok lansia melalui konsep puskesmas santun
lanjut usia
b. Peningkatan upaya rujukan kesehatan bagi lansia di rumah sakit.
c. Peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan fan gizi bagi
lansia.
d. Sosialiasi program kesehatan, serta pemberdayaan masuarakat melalui
pengembangan dan pembinaan kelompok usia lanjut/posyandu lansia di masyarakat.
(Agustina Maunaturrohmah, 2018)
2. Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pembinaan Lansia
a. Pembinaan lansia di Indonesia
Dilaksanakan berdasarkan peraturan Undang-Undang RI No.13 tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia yang menyebabkan bahwa pelayanan kesehatan
dimaksud untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta kemampuan lansia,
upaya penyuluhan, penyembuhan, dan pengembangan lembaga.
b. Kebijakan kementerian kesehatan dalam pembinaan lansia
Kebijakan kementerian kesehatan dalam pembinaan lansia merupakan bagian dari
pembinaan keluarga, pembinaan kesehatan keluarga ditujukan kepada upaya
menumbuhkan sikap dan perilaku yang akan menumbuhkan kemampuan kelurga itu
sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan dengan dukungan oleh tenaga
professional, menuju terwujudnya keluarga yang sehat.(Agustina, 2018)
Dasar hukum dan pengembangan progam pembinaan kesehatan usia lanjut:
1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, khusus Bab VII:
Kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, lanjut usia, dan penyandang cacat, pasal 138.
a) Ayat 1: Usaha kesehatan bagi lanjut usia harus ditunjukkan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara social maupun eonomis sesuai

ccxxxi
dengan martabat manusia.
b) Ayat 2: Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi kelompok usia lanjut untuk tetap dapat hidup
mandiri dan produktif secara social dan ekonomis.
2) Peraturan Presiden RI NO.72 tahun 2012 tenang system kesehatan nasional.
3) Keputusan menteri kesehatan Nomor 374 tahun 2012 tentang berlakunya system
kesehatan nasional.
4) Keputusan menteri oordinasi kesejahteraan rakyat Nomor o5 tahun 1990 tentang
pembentukan kelompok kerja tetap kesejahteraan usia lanjut.
5) Surat keputusan menteri kesehatan Nomor 134 tahun 1990 tentang pembukaan
tim kerja geriatric.(Agustina, 2018)
3. Kegiatan-Kegiatan dalam Pembinaan Lansia
Pelayanan usia lanjut meliputi kegiatan upaya-upaya, antara lain:
a. Upaya Promotif
Upaya promotif yaitu menggairahkan semangat hidup bagi usia lanjut agar mereka
tetap dihargai dan tetap berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Upaya promotif dapat berupa penyuluhan, dimana penyuluhan masyakat usia lanjut
merupakan hal yang penting sebagai penunjang program pembinaan kesehatan usia
lanjut yang diantara nya adalah:
1) Kesehatan dan pemeliharaan kebersihan diri serta deteksi dini penurunan kondisi
kesehatannya, teratur dan berkesinambungan memeriksakan kondisi
kesehatannya ke puskesmas atau instansi pelayanan kesehatan lainnya.
2) Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan kemampuan
uasia lanjut agar tetap merasa sehat dan segar.
3) Diet seimbang atau makanan dengan menu yang mengandung gizi seimbang.
4) Pembinan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan yan Maha Esa.
5) Membina keterampilan agar dapat mengembangkan kegemaran atau hobinya
secara teratur dan sesuai dengan kemampuannya.
6) Meningkatkan kagiatan social dimasyarakat atau mengadakan kelompok social.
7) Hidup menghindarkan kebiasaan yang buruk, seperti merokok, mengonsumsi
alcohol, kopi, kelelahan fisik akibat aktivitas yang berlebihan, dan mental.

ccxxxii
(Agustina, 2018)
b. Upaya preventif
Upaya preventif merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah kemungkinan
terjadinya penyakit maupun komplikasi penyakit yang disebabkan oleh proses
penuaan.
1) Melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan teratur untuk menemukan
secara dini penyakit-penyakit pada usia lanjut.
2) Kesegaran jasmani yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan
kemampuan usia lanjut secara tepat merasa sehat dan bugar.
3) Penyuluhan tentang pengguaan berbagai alat bantu, seperti kacamata, alat
pendengaran agar usia lanjut tetap dapat memberikan karya dan tetap merasa
berguna.
4) Penyuluhan yang dilakukan untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya
kecelakaan pada usia lanjut.
5) Pembinaan mental dalam meningkatkan ketakqawaann kepada Tuhan yang Maha
Esa.(Agustina, 2018)
c. Upaya Kuratif
Upaya kuratif yaitu upaya pengobatan pada usia lanjut. Bertambahnya umur pada
lansia akan menyebabkan banyak gangguan fisik maupun psikologis. Kegiatan dapat
brupa pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan spefikikasi melalui sistem
rujukan.(Agustina, 2018)
d. Upaya rehabilitative
Upaya rehabilitative yaitu upaya mengembalikan fungsi organ tubuh yang telah
menurun. Kegiatan dapat berupa memberikan informai, pengetahuan dan pelayanan
tentang penggunaan alat bantu, misalnya alat pendengaran dan lain-lain agar usia
lanjut dapat memberikan karya dan tetap merasa berguna sesuai kebutuhan dan
kemampuan, mengembalikan kepercayaan padda diri sendiri dan memperkuat
mental penderita, pembinaan usia dalam hal pemenuhan kebutuhan pribadi dan
aktivitas didalam maupun diluar rumah, nasihat cara hidup yang sesuai degan
penyakit yang diderita, serta perawatan fisioterapi.(Agustina, 2018)
e. Upaya penyuluhan kesehatan

ccxxxiii
Upaya penyuluhan kesehatan masyarakat yang merupakan bagian integral dari setiap
program kesehtan. Adapu tujuan khusus program penyuluhan kesehatan masyarakat
usia lanjut ditunjukan kepada usia lanjut itu sendiri, kelompok keluarga yang
memiliki usia lanjut, kelompok masyarakat lingkungan usia lanjut, penyelenggaraan
kesehatan, dan lintas sektoral (pemerintah dan swasta).
Sedangkan penyuluhan kesehatan masyarakat pada usia lanjut terdiri dari :
a) Mengembangkan, memproduksi, menyebarluaskan bahan-bahan penyuluhan
kesehatan masyarakat usia lanjut.
b) Meningkatkan sikap, kemampuan dan motivasi petugas.
c) Puskesmas dan rujukan serta masyarakat dibidang kesehatan.
d) Masyarakat usia lanjut.
e) Melengkapi puskesmas dan rujukannya dengan sarana dan penyuluhan.
f) Meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk media massa agar
pesan kesehatan masyarakat usia lanjut menjadi again integral.
g) Meningkat penyuluhan kepada masyarakat umum dan kelompok khusus seperti
daerah terpencil, transmigrasi dan lain-lain.
h) Melakukan pengkajian dan pengembangan serta pelaksanaan teknologi tepat guna
dibidang penyebarluasan informasi.
i) Melaksanakan evaluasi secara berkala untuk mengukur dapampak serta
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyuluhan.
j) Menyebarluaskan informasi secara khusus dalam keadaan darurat seperti wabah,
bencana alam, kecelakaan.(Agustina, 2018)
4. Program Nasional Lansia
a. Posyandu Lansia
1) Pengertian
Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut
di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh
masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu
lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan
kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas

ccxxxiv
dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan
organisasi sosial dalam penyelenggaraannya.(Agustina, 2018)
2) Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja, pelayanan
yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung pada mekanisme dan
kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota
penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan posyandu lansia sistem 5 meja
seperti posyandu balita, ada juga hanya menggunakan sistem pelayanan 3 meja,
dengan kegiatan sebagai berikut:
a)  Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan
atau tinggi badan
b)  Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks massa
tubuh (IMT). Pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan
rujukan kasus juga dilakukan di meja II ini.
c) Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa
dilakukan(Agustina, 2018)
3) Jenis Pelayanan Posyandu Lansia
a) Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam
kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun
tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.
b) Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit.
c) Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).
d) Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
e) Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat
f) Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya
penyakit gula (diabetes mellitus)
g) Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi
awal adanya penyakit ginjal.

ccxxxv
h) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau
ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7. Dan
i) Penyuluhan Kesehatan.(Agustina, 2018)
b. Puskesmas Lansia
1) Tujuan pelaksanaan kegiatan dalam program usia lanjut adalah :
a) Melaksanakan penyuluhan secara teratur dan berksinambungan sesuai
kebutuhan melalui berbagai media mengenai kesehatan usia lanjut.Usaha
ini dilakukan terhadap berbagai kelompok sasaran yaitu usia lanjut sendiri,
keluarga dan masyarakat dilingkungan usia lanjut.
b) Melaksanakan penjaringan usia lanjut resiko tinggi, pemeriksaan berkala
usia lanjut dan memberi  petunjuk upaya pencegahan penyakit, gangguan
psikososial dan bahaya kecelakaan yang dapat terjadi pada usia lanjut.
c) Melaksanakan diagnose dini, pengobatan,perawatan dan pelayanan
rehabilitative kepada usia lanjut yang membutuhkan dan memberi
petunjuk mengenai tindakan kuratif atau rehabilitative yang harus dijalani,
baik kepada usia lanjut maupun keluarganya.
d) Melaksanakan rujukan medic ke fasilitas rumah sakit untuk pengobatan,
perawatan atau rehabilitative bagi usia lanjut yang membutuhkan termasuk
mengusahakan kemudahan-kemudahannya.(Agustina, 2018)
2) Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
a) Pemeriksaan tekanan darah,
b) pengobatan secara umum,
c) penyuluhan terkait dengan penyakit yang diderita (face to face),
d) mengirimkan pasien untuk operasi katarak setiap tahun,
e) senam lansia bila ada program dari dinas kesehatan dan rujukan medic ke
Rumah sakit.(Agustina, 2018)
c. Terapi Lansia
1) Terapi Modalitas :Untuk  mengisi waktu luang bagi lansia
2) Terapi Aktivitas Kelompok : Untuk meningkatkan kebersamaan, bertukar
pengalaman
3) Terapi Musik :Untuk meningkatkan gairah hidup

ccxxxvi
4) Terapi berkebun :Untuk melatih kesabaran
5) Terapi dengan binatang :Untuk meningkatkan kasih sayang dan mengisi waktu
luang
6) Terapi Kognitif  :Agar daya ingat tidak menurun
7) Life review terapi  :Meningkatkan gairah hidup dan harga diri
8) Terapi Keagamaan  :Meningkatkan rasa nyaman menjelang
kematian(Agustina, 2018)

L. Asuhan Keperawatan TBC dan PPOM


Asuhan Keperawatan TBC
1. Definisi TB paru
Tuberkulosis paru adalah infeksi yang tidak yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dengan indikasi yang sangat berbeda. Tuberkulosis Pneumonia adalah
penyaki yang sebagian besar menyerang parenkim paru. Tuberkulosis pneumonik juga
dapat ditularkan ke berbagai bagian tubuh termasuk ginjal, tulang, getah bening (limfe)
dan lain-lain. Spesialis Mycobacterium Tuberculosis adalah batang aerobic tahan asam
dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. (Brunner dan Suddart, 2010, dalam
IKSHSK volume 1 Lenny Ganika, 2016).
2. Etiologi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh mikroba
dari kelompok Mycobacterium tuberculosis. Ada beberapa jenis Mycobacterium, antara
lain: M. leprae. Atau disebut mikroorganisme cepat korosif (BTA). Yang memiliki sifat-
sifat: poni berbentuk basil, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada
suhu 80’C), mudah mati terkena sinar ultraviolet (matahari) dan dapat bertahan lama
pada suhu kamar dan ruangan lembab.
Berkumpulnya mikroba Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebabkan
kontaminasi di saluran pernapasan dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium selain
Tuberkulosis) yang dalam beberapa kasus dapat mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB.
Sebagai aturan umum, kualitas mikroorganisme TB adalah sebagai berikut:
batang dibentuk dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron, aman korosif dalam

ccxxxvii
pewarnaan dengan strategi Ziehl-Neelsen, membutuhkan media yang luar biasa untuk
membiakan antara Lownstein Jensen dan Ogawa, Mikroba muncul sebagai batang
merah pada penilaian mikroskop, tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan
cukup lama pada suhu 4'C hingga 70'C. Mikroorganisme sangat sensitif terhadap siang
hari dan panas terik, dalam sputum pada suhu 30'C-37'C mereka akan berkembang biak
dalam waktu kurang dari beberapa minggu dan mikroba dapat menjadi lamban
(istirahat/tidak berkembang) (Dinas Kesehatan RI, 2014).
M. tuberculosis memiliki tempat dengan famili Mycobacteriaceae yang memiliki
jenis yang berbeda-beda, salah satunya adalah Mycobacterium dan salah satu varietas
hewannya adalah M. tuberculosis. Mikroorganisme ini berbahaya bagi manusia dan
memiliki pembagi sel lipoid sehingga aman dari korosi. Mikroorganisme ini
membutuhkan waktu untuk mitosis 12-24 jam M. Tuberkulosis sepenuhnya rentan
terhadap cahaya siang dan cahaya terang sehingga dalam waktu singkat akan menggigit
debu. Mikroorganisme ini juga tidak berdaya untuk menghangatkan basah sehingga
dalam waktu 2 menit di iklim basah mereka akan menendang ember ketika disajikan ke
air dengan suhu 1000'C. Mikroba ini juga akan berpindah dalam waktu singkat ketika
disajikan ke 70% cairan atau 5% Lysol. (Danusntoso dalam Buku Ajar TBC, ASKEP
dan pengawasan Minum Obat, 2020).
3. Klasifikasi TBC
Mengingat Peraturan Umum Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2014 adalah sebagai
berikut:
a. Karakterisasi berdasarkan area fisik
a) Tuberkulosis Paru adalah contoh TB termasuk parenkim paru atau tracheobrain.
TB milier termasuk TB pneumonia karena terdapat luka di paru-paru. Pasien
dengan TB aspirasi dan ekstrapulmoner harus diberi nama kasus TB pneumonia.
b) TB ekstra pneumonia adalah kasus TB yang meliputi organ di luar parenkim
paru seperti pleura, regio tengah, genitourinari, kulit, sendi dan tulang, lapisan
serebrum.
b. Pengelompokan tergantung pada riwayat penyakit dahulu
1 Pasien TB baru

ccxxxviii
Adalah pasien yang belum pernah berobat atau pernah mengkonsumsi OAT
dibawah multi bulan (<1 dari 28 porsi).
2 Pasien yang pernah dirawat karena TBC
Adalah pasien yang baru saja mengonsumsi OAT selama beberapa bulan atau
lebih (≥ dari 28 hari). Pasien-pasien ini juga dicirikan tergantung pada
konsekuensi dari pengobatan TB terakhir, untuk lebih spesifik:
a) Pasien backslide adalah pasien TB yang telah dinyatakan sembuh dan saat
ini telah ditentukan TB-nya tergantung pada hasil pemeriksaan bakteriologis
atau klinis (baik karena backslide atau reinfeksi).
b) Pasien yang berobat ulang setelah kecewa adalah pasien TB yang pernah
ditangani dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang dirawat ulang setelah keluar (lost to follow-up): adalah pasien
yang pernah ditangani dan dinyatakan mangkir (karakterisasi ini baru-baru
ini dinyatakan sebagai pengobatan pasien setelah berhenti/default).
d) Lainnya: adalah pasien Tb yang sudah berobat namun hasil pengobatannya
belum jelas.
(1) Pasien yang riwayat resep masa lalunya tidak jelas.
3 Karakterisasi tergantung pada efek samping dari uji kerentanan obat
Pengumpulan pasien yang bergantung pada konsekuensi uji coba pengaruh dari
Mycobacterium tuberculosis ke OAT dan dapat berupa:
a) Mono-safe (MR TB): tahan terhadap salah satu jenis utama OAT pada
khususnya.
b) Poly-safe (MR TB): kebal terhadap lebih dari 1 jenis obat lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampicin (R) selama ini.
c) Multi drug safe (XDR TB): tahan terhadap isoniazid (H) dan rifampisin
secara bersamaan.
d) Obat luas yang aman (XDR TB): adalah MDR TB yang juga tahan terhadap
satu dari OAT fluoroquinolone dan tidak kurang dari salah satu jenis infus
lini kedua OAT (Kanami).
e) Rifampisin oposisi (PR TB): tahan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
perlindungan dari obat yang berbeda.

ccxxxix
4 Pengelompokan pasien TB berdasarkan status HIV
a) Pasien TB HIV-positif (pasien kokontaminasi TB/HIV): adalah pasien TB
dengan:
1) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau saat ini pada Pengerjaan.
2) Hasil tes HIV positif pada jam analisis TB.
Dalam hal hasil penilaian tes HIV menjadi positif, pasien harus diatur
ulang untuk penjelasan sebagai pasien TB dengan HIV positif.
b) Pasien TB dengan status HIV yang tidak jelas adalah pasien TB yang
hampir tidak ada bukti yang mendukung hasil tes HIV ketika TB dianalisis.
Jika hasil tes HIV pasien dapat diperoleh pada penilaian berikutnya, pasien
harus diluruskan untuk penjelasan tergantung pada konsekuensi dari tes
terakhir (Kemenkes RI, 2014).
4. Manisfestasi klinis
Sebagai aturan, manifestasi klinis TB paru esensial dengan TB pneumonik DO
adalah sesuatu yang sangat mirip. Manifestasi klinis TB paru dapat dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu efek samping pernafasan (atau indikasi organ yang bersangkutan) dan
manifestasi dasar.
k. Efek samping pernapasan
1) Batuk
Keluhan peretasan, muncul lebih dulu dan merupakan keluhan yang paling
gencar.
2) Batuk darah
Keluhan meretas darah pada pasien TB aspirasi selalu menjadi alasan mendasar
bagi pelanggan untuk meminta bantuan kesehatan
3) Sesak napas
Sesak napas diakibatkan ketika kerusakan pada parenkim paru luas atau karena
ada penyakit seperti radiasi pleura, pneumotoraks, kelemahan, dan lain-lain.
4) Nyeri dada
Nyeri dada pada pasien TB pneumonia termasuk nyeri pleuritik ringan.
Manifestasi ini terjadi ketika sistem sensorik di pleura dipengaruhi oleh TB.
l. Manifestasi sistematis

ccxl
1) Demam
Keluhan yang sering dialami dan umumnya muncul pada sore atau malam hari
seperti demam atau flu, bepergian kemana-mana, dan semakin lama serangan
semakin lama, sedangkan waktu luang penyerangan semakin terbatas.
2) Keluhan sistemis lainnya
Keluhan yang normal adalah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan,
dan ketidaknyamanan. Awal gerutuan biasanya progresif dan muncul dalam
setengah bulan hingga berbulan-bulan. Namun, penampilannya intens dengan
hack, demam, dan sesak napas.
Indikasi reaktivitas tuberkulosis seperti demam terus-menerus yang naik
dan turun (Ihectic fever), keringat malam yang menyebabkan keringat malam,
cachexia, hack konstan dan hemoptisis. Penilaian yang sebenarnya sangat tumpul
dan sangat kabur, terutama pada fase awal penyakit. Pada tahap tingkat tinggi,
temuan lebih mudah diatur melalui penilaian aktual, ada demam, penurunan berat
badan, pops, mengi, dan suara bronkial. (Darmanto, 2009 dalam Komposisi Logis
Dwi Sarah Rahmaniar, 2017).
Efek samping klinis yang tampaknya bergantung pada jenis penyakitnya.
Pada dasarnya jenis kontaminasi dapat asimtomatik dan self-restricting atau dapat
sebagai manifestasi dari pneumonia, khususnya demam ringan dan demam. Efek
samping TB esensial juga dapat terjadi sebagai radang selaput dada dengan
radiasi pleura atau dalam struktur yang lebih serius. Khususnya seperti siksaan
pleura dan angin sepoi-sepoi. Tanpa pengobatan, penyakit esensial dapat sembuh
tanpa bantuan orang lain, namun tingkat perbaikannya setengah. TB postprimer
memiliki efek samping berupa penurunan berat badan, keringat dingin pada
malam hari, suhu subfebrile, batuk berdahak selama lebih dari empat belas hari,
sesak napas, hemoptisis karena cedera pembuluh darah di tubuh. dahak, hingga
mengeluarkan darah yang sangat banyak, TBC pasca esensial dapat menyebar ke
berbagai organ, menyebabkan efek samping seperti meningitis, tuberkulosis
milier, peritonitis dengan ciri khas papan catur, hingga skrofuloderma spesifik
(Tabrani Marry, 2016 dalam Logical Compposing Dwi Sarah Rahmaniar, 2017 ).

5. Patofisologi

ccxli
Mikroba tuberkulosis masuk ke dalam tubuh melalui udara pernapasan. Organisme
mikroskopis yang dihirup dipindahkan melalui rute penerbangan ke alveoli, di mana
mereka menumpuk untuk menduplikasi. Selain itu, organisme mikroskopis juga dapat
dipindahkan melalui sistem getah bening dan cairan darah ke berbagai bagian tubuh.
Kerangka tubuh yang kebal mengambil bagian melalui penyelesaian respons
melakukan reaksi inflamasi. Fagosit melumpuhkan banyak organisme mikroskopis dan
jaringan biasa.
Respon jaringan ini menyebabkan berkumpulnya eksudat di alveolus yang dapat
memicu terjadinya brokopneumonia. Infeksi awal sebagian besar terjadi 2 sampai 10
minggu setelah pelepasan.
Massa jaringan baru yang disebut granuloma adalah sekelompok basil hidup dan
mati yang dikelilingi oleh makrofag dan membingkai pembatas pertahanan. Organisme
mikroskopis dan makrofag menjadi nekrotik untuk membingkai massa seperti cheddar.
Setelah memulai keterbukaan dan kontaminasi, orang mungkin mengembangkan
penyakit dinamis karena infeksi sistem kekebalan yang kurang. Penyakit dinamis juga
dapat terjadi dengan infeksi ulang dan aksi bakteri. Turbekula yang retak sembuh dan
membingkai jaringan parut, paru-paru yang tercemar ternyata lebih membesar dan
mengakibatkan brokopneumonia lebih lanjut (Manurung, 2013).
6. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis TB dapat dibuat berdasarkan indikasi klinis, penilaian aktual,
pemeriksaan bakteriologis dan radiologis. Untuk penilaian aktual dari penyimpangan
yang diperoleh bergantung pada derajat anomali primer paru. Anomali paru pada
umumnya terletak di daerah proyeksi yang dominan, terutama zenith juga, bagian
belakang, sama seperti distrik zenith proyeksi di bawah standar. Pada penilaian yang
sebenarnya bisa menggabungkan suara napas bronkial, amforik, penurunan suara nafas,
wet snaps, indikasi penarikan paru-paru, perut dan mediastinum. Bahan untuk penilaian.
Bakteriologis ini dapat keluar dari lendir, cairan pleura, cairan serebrospinal, cuci
bronkus, bilas lambung, saluran (bilas bronkoalveolar/BAL), kencing, buang air besar,
dan biopsi jaringan. Bermacam-macam Sputum selesai beberapa kali, untuk lebih
spesifik: kapanpun/spot (lendir kapanpun) kunjungan), dahak pagi (hari berikutnya),
ketika/spot (sambil menyampaikan lendir) pagi. Kemudian, pada saat itu, contoh

ccxlii
diberikan Pewarnaan Ziehl Nielsen. pemahaman tentang konsekuensi dari penilaian
yang sangat kecil sebagai mengikuti
Pengkajian radiologis yang dapat dilakukan adalah rontgen dada ayah dengan atau
tanpa fotolateral. Pada pemeriksaan rontgen dada, tuberkulosis dapat memberikan
gambaran struktur yang bermacam-macam (beragam). Sorotan radiologis yang terkait
dengan cedera TB yang berfungsi:
a Bayangan berawan/nodular di bagian apikal dan belakang flap atas paru dan
fragmen lazim dari proyeksi bawah
b Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh mendung atau bayangan gelap
nodular
c Bayangan miliary
d Efusi pleura satu sisi (umumnya)• atau dua sisi (jarang). 4 Pemeriksaan penunjang
lain yang mungkin dilakukan adalah kultur, tuberkulin, PCR, pemeriksaan darah
rutin, dan biopsi.
7. Komplikasi
Tuberkulosis paru jika tidak ditangani sesuai harapan akan menimbulkan
ketidaknyamanan. Kesulitan dipisahkan menjadi ketidaknyamanan awal dan
kompleksitas akhir (Bahar, 2009).
m. Komplikasi awal:
1) Pleuritis adalah peradangan atau iritasi pada pleura, radang selaput dada dapat
disebabkan oleh infeksi, cedera atau kanker, keadaan sekarang dapat terjadi
sebagai kesulitan penyakit paru-paru, terutama pneumonia atau kadang-kadang
dari penyakit TBC. Manifestasi sakit paru-paru atau flu termasuk batuk, demam,
menggigil, perasaan tajam dan menyiksa yang memburuk ketika pasien menarik
napas dan menghirup dengan cepat dan dangkal.
2) Efusi pleura Pleuritis jenis ini digambarkan dengan implamasi dan eksudasi
cairan serosa di lubang pleura.
3) Empyema Bermacam-macam sekret dalam rongga, istilah ini biasa digunakan
pada depresi pleura.
4) Laringitis Implantasi selaput lendir laring yang bisa intens atau konstan,
laringitis bisa disertai demam, pilek, merokok, dan keterbukaan terhadap asap

ccxliii
yang memperburuk laring. Seperti jantung, ginjal, dan hati. Amiloidosis dapat
menjadi penting atau tambahan jika terjadi dengan masalah yang mengancam
penyakit kronis dan iritasi.
5) Karisnoma Paru Pertumbuhan atau kerusakan sel di paru-paru
n. Kompleksitas yang selanjutnya
1) Pemeriksaan rute penerbangan
2) Kerusakan parengkim yang serius
3) Amiloidosis Pengumpulan glikoprotein seperti lilin yang disebut amiloit dan
terjadi di berbagai organ
8. Penatalaksanaan
o. Pengobatan TBC di Indonesia sesuai program nasional menggunakan panduan OAT
yang di berikan dalam bentuk kombipak, sebagai berikut :
1) Kategori I : 2 RHZE/4H3R3 diberikan untuk penederita baru TB Paru dengan
BTA (+), penederita baru TB Paru, BTA (-), RO (+), dengan kerusakan
parenkim paru yang luas, penederita baru TB dengan kerusakan yang berat pada
TB Paru ekstra pulmonal
2) Kategori II : 2 RHZES/HRZE/5R3H3E3 diberikan untuk penderita TB Paru
BTA (+) dengan riwayat pengobatan sebelumnya kambuh, kegagalan
pengobatan atau pengobatan tidak selesai.
3) Kategori III : 2 RHZ/4R3H3 diberikan untuk penderita BTA (-) dan RO(+) sakit
ringan, penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif
unilateral, TB Kulit, TB tulang.
b. Pengobatan Tuberkulosis Paru menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dengan metode Directly Observed Treatment (DOTS) :
1) Kategori I (2HRZE/4H3R3) untuk pasien TBC
2) Kategori II (2HRZES/HERZE/5H3R3E#) untuk pasien ulangan ( pasien yang
pengobatan kategori I nya gagal atau pasien yang kambuh)
3) Kategori III (2HRZ/4H3RE) untuk pasien baru dengan BTA (-), RO (+), sisipan
(HRZE) digunakan tambahan bila pada pemeriksaan akhir tahap intensif dari
pengobatan dengan kategori I atau II ditemukan BTA (+). Obat diminum
sekaligus 1 (jam) sebelum makan.

ccxliv
Kategori

1) Tahap diberikan setiap hari selama 2 (Bulan) (2HRZE) : INH (H) 300mg-1
tablet, Rifanspisin (R) : 450 mg – 1 tablet, Pirazinamid (Z) : 1500mg-3
tablet 500mg, Etambutol (E) : 750-3 tablet 250mg. obat tersebut diminum
setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali. Regimen ini disebut
KOMBIPAK II.
2) Tahap lanjutan diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (2H3R3) :
INH (H) : 600mg-2 tablet 300mg, Rimfampisin ® : 450mg-1 tablet. Obat
tersebut diminum 3 kali dalam seminggu (Intermitten) sebanyak 54 kali.
Regimen ini disebut KOMBIPAK III. (Kunoli, 2012 dalam Karya Tulis
Ilmiah Liyandita Caesar Alfinri, 2018).
Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasikan,
mengenali masalah-masalah yang dirasakan klien, (Effendy, 1995)
n. Identitas pasien
Nama pasien, no RM, umur, agama, status perkawinan, pendidikan, alamat,
pekerjaan, jenis kelamin, suku, diagnosa medis, tanggal masuk RS, dan tanggal
pengkajian.
o. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, agama, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, dan hubungan dengan
pasien.
p. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama : Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB Paru
iyalah :
a) Batuk : batuk timbul paling awal dan paling sering dikeluhkan
b) Batuk Berdahak : Seberapa banyak darah yang keluar atau hanya
blood streak, berupa garis atau bercak-bercak darah
c) Sesak Nafas : biasanya ditemukan bila kerusakan parenkim paru
sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi

ccxlv
pleura, pneumotoraks, anemia, dll.
d) Nyeri Dada : gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleural
terkena TB
2) Keluhan Sistematis
a) Demam keluhan ini sering dijumpai yang biasanya timbul pada sore
hari atau pada malam hari mirip dengan influenza
b) keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan malais
q. Riwayat kesehatan sekarang :
1) Keadaan pernapasan (napas pendek)
2) Nyeri dada
3) Batuk, dan Sputum
r. Riwayat penyakit dahulu : Jenis gangguan kesehatan yang baru saja dialami,
cedera dan pembedahan
s. Riwayat penyakit keluarga : Adakah anggota keluarga yang menderita
empisema, asma, alergi dan TB
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan TTV : Meningkatnya suhu tubuh secara signifikan, pola
pernapasan meningkat dengan gejala sesak napas, denyut nadi meningkat
(takikardi), suhu tubuh dan pola pernapasan juga terjadinya peningkatan.
Tekanan darah sesuai dengan adanya penyakit seperti hipertensi.
b. Breathing (pernapasan)
Inspeksi :
1) Bentuk dada dan gerakan pernapasan klien TB Paru terlihat kurus sehingga
pada bentuk dada terlihat adanya penurunan proporsi anterior-posterior
bading proporsi diameter lateral.
2) Batuk dan sputum
Batuk produktif disertai adanya peningkatan produksi sekret dan sekresi
sputum yang purulen
Palpasi :
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB Paru tanpa
komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada biasanya normal dan

ccxlvi
seimbang bagian kiri dan kanan. Adanya penurunan gerakan dinding
pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB Paru dengan kerusakan parenkim
paru yang luas.
Perkusi :
Pada klien TB Paru tanpa komplikasi biasanya ditemukan resonan atau sonor
pada seluruh lapang paru. pada klien dengan komplikasi efusi pleura didapatkan
bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai dengan akumulasi cairan
Aukultasi :
Pada klien TB Paru bunyi napas tambahan ronki pada sisi yang sakit
c. Brain
Kesadaran komposmentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif, klien tampak meringis, menangis,
merintih.
Pada saat dilakukan pengkajian pada mata, data yang didapatkan konjungtiva
anemis pada TB Paru yang hemaptu, dan ikterik pada pasien TB Paru dengan
gangguan fungsi hati.
d. Bledder
Pengukuran volume output urin berhubungan dengan intake cairan. Memonitor
adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal syok.
e. Bowel
Klien biasanya mengeluh mual, muntah, penurunan nafsu makan dan penurunan
berat badan
f. Bone
Aktivitas sehari-hari berkurang pada klien TB Paru. gejala yang muncul antara
lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap.
Pemeriksaan Fisik Head To Toe
a) Kepala
b) Kulit kepala bersih/tidak
c) Ada benjolan/tidak
 Simetris/tidak
d) Rambut

ccxlvii
 Pertumbuhan rata/tidak
 Rontok, dan warna rambut
e) wajah
 Warna kulit, struktur wajah simetris/tidak
f) Sistem Penglihatan
 kesimetrisan mata, conjungtiva anemia/tidak, sclera ikterik/tidak
g) Wicara dan THT
 Wicara : Kaji fungsi wicara, perubahan suara,afasia, dysfonia
 THT
Inspeksi :
 hidung : kaji adanya obtruksi/tidak, simetris/tidak, ada secret/tidak
 Telinga : Kaji Telinga Luar bersih/tidak, membran tympani, ada
secret/tidak
Palpasi :
 Kaji THT ada/tidak nyeri tekan lokasi dan penjalaran
3. Analisa data

Symptom Etiologi Problem


Ds : Data yang Kerusakan membrane Gangguan pertukaran gas
didapatkan dari klien alveolar
sebagai suatu pendapat
terhadap situasi Menurunnya permukaan
dan kejadian efek
Do : Data yang dapat
diobservasi dan diukur Alveolus

4. Diagnosa Keperawata
1) Gangguan pertukaran gas
2) Bersihkan jalan napas tidak efektif
3) Hipertermi
4) Defisit nutrisi

ccxlviii
5) Risiko infeksi
5. Intervensi Keperawatan

Kriteria & hasil


No Dx Intervensi (SIKI) Rasional
(SLKI)
1 Setelah dilakukan 1. Pemantauan respirasi
tindakan keperawatan 2. Terapi oksigen
selama 3x24 jam 3. Dukungan berhenti merokok
diharapakan dengan 4. Dukungan ventilasi
kriteria hasil : 5. Edukasi berhenti merokok
1. Keseimbangan 6. Edukasi pengukuran resprasi
asam–basa dalam 7. Edukasi fisioterapi dada
batas normal 8. Fisioterapi dada
2. Konservasi energy 9. Insersi jalan napas buatan
baik 10. Konsultasi via telpon
3. Perfusi paru 11. Manajemen ventilasi mekanik
normal 12. Pencegahan aspirasi
4. Respons ventilasi 13. Pemebrian obat
mekanik membaik 14. Pemberian obat inhalasi
5. Tingkat delirium 15. Pemberian obat interpleura
membaik 16. Pemberian obat intradermal
17. Pemberian obat intramuscular
18. Pemberian obat intravena

ccxlix
2 Setelah dilakukan 1. Latihan batuk efektif
tindakan keperawatan 2. Manajemen jalan napas
selama 3x24 3. Pemantauan respirasi
diharapakan dengan 4. Dukungan kepatuhan progam
kriteria Hasil : pengobatn
1. Kontrol gejala 5. Edukasi fisioterapi dada
2. Pertukaran gas 6. Edukasi pengukuran resoirasi
normal 7. Fisioterapi dada
3. Respons alergi 8. Konsultasi via telpon
local 9. Manajemen asthma
4. Respons alergi 10. Manjemen alergi
sistemik 11. Mnajemen anafilaksis
5. Respons ventilasi 12. Manajemen isolasi
mekanik dalam 13. Manajemen ventilasi mekanik
batas normal 14. Manajemen jalan napas buatan
6. Tingkat infeksi 15. Pemberian obat inhalasi
menurun 16. Pemberian obat interpleura
17. Pemberian obat intadermal
18. Pemberian obat nasal
19. Pencegahan aspirasi
20. Pengaturan posisi
21. Penghisapan jalan napas
22. Penyapihan ventilasi mekanik
23. Perawatan trakheostomi
24. Skrining tuberkulosis
25. Stabilisasi jalan napas
26. Terapi oksigen
3 Setelah dilakukan 1. Manajemen hipertermia
tindakan keperawatan 2. Regulasi temperatur
selama 3x24 jam di 3. Edukasi analgesia terkontrol
harpakan dengan 4. Edukasi dehidrasi

ccl
kriteria Hasil : 5. Edukasi pengukuran suhu tubuh
1. Termoregulasi 6. Edukasi program pengobatan
batas normal 7. Edukasi terapi cairan
2. Perfusi prifer 8. Edukasi termoregulasi
3. Status cairan 9. Kompres dingin
dalam batas 10. Manajemen cairan
normal 11. Menajemen kejang
4. Status kenyamanan 12. Pemantauan cairan
meningkat 13. Pemberian obat
5. Status neurologis 14. Pemberian obat intravena
6. Status nutrisi baik 15. Pemberian obat oral
7. Termoregulasi 16. Pencegahan hipertermi keganasan
neonates 17. Perawatan sirkulasi
18. Promosi tehnik kulit ke kulit
4 Setalah dilakukan 1. Manajemen nutrisi
tindakan keperawatan 2. Promosi berat badan
selama 3x24 jam 3. Dukungan kepatuhan program
diharapkan dengan pengobatan
kriteria Hasil : 4. Edukasi diet
1. Status nutrisi 5. Edukasi kemoterapi
membaik 6. Konseling laktasi
2. Berat badan dalam 7. Konseling nutrisi
batas normal 8. Konsultasi
3. Eliminasi fekal 9. Manajemen cairan
4. Fungsi 10. Manjemen demensia
gastrointestinal 11. Manajemen diare
5. Nafsu makan 12. Manajemn elimiasi faksi
meningkat 13. Manajemen energi
6. Perilaku 14. Manajemen gangguan makan
meningkatkan 15. Manajemen hiperglikemia
berat badan 16. Manajemen hipoglikemia

ccli
7. Status menelan 17. Manajemen kemoterapi
8. Tingkat depresi 18. Manajemen reakasi alergi
menurun 19. Pemantauan cairan
9. Tingkat nyeri 20. Pemanatauan nutrisi
berkurang 21. Pemantauan tanda vital
22. Pemberian makanan
23. Pemberian makanan enternal
24. Pemberian makanan parenteral
25. Pemberian obat intravena
26. Terapi menelan

5 Setelah dilakukan 1. Manajemen imuniasasi/vaksin


tindakan keperawatan 2. Pencegahan infeksi
selama 3x24 jam 3. Dukungan pemeliharaan rumah
diharapkan dengan 4. Dukungan perawatan diri. Mandi
kriteria Hasil : 5. Edukasi pencegahan luka tekan
1. Tingkat infeksi 6. Edukasi seksualitas
berkurang 7. Induksi persalinan
2. Integritas kulitas 8. Latihan batuk efektif
dan jaringan 9. Manajemen jalan napas
membaik 10. Manajemen imunisasi/vaksinasi
3. Kontrol risiko 11. Manajemn lingkungan
dalam batas 12. Manajemen nutrisi
normal 13. Manajemen medikasi
4. Status imun 14. Pemantauan eletrolit
meningkat 15. Pemantauan nutrisi
5. Status nutrisi 16. Pemantauan tanda vital
meningkat 17. Pemberian obat
18. Pemebrian obat intravena
19. Pemebrian obat
20. Pemberian obat intravena

cclii
21. Pemberian obat oral
22. Pencegahan luka tekan
23. Pengaturan posisi
24. Perawatan amputasi
25. Perawatan area insisi
26. Perawatan kehamilan resiko tinggi
27. Perawatan luka
28. Perawatan luka bakar
29. Perawatan luka tekan
30. Perawatan pasca persalinan
31. Perawatan perineum
32. Perawatan persalinan
33. Perawatan persalinan resiko tinngi
34. Perawatan selang
35. Perawatan selang dada
36. Perawatan selang gastrointestinal
37. Perawatan selang umbilikal
38. Perawatan sirkumsisi
39. Perawatan skin graft
40. Perawatan terminasi kehamilan

6. Implementasi

No Hari/tgl/jam Dx Implementasi Ttd

1 1. Memantau respirasi
2. Terapi oksigen
3. Mendukung berhenti merokok
4. Mendukung ventilasi
5. Mengedukasi berhenti merokok
6. mengedukasi pengukuran resprasi

ccliii
7. Mengedukasi fisioterapi dada
8. Fisioterapi dada
9. Insersi jalan napas buatan
10. Mengkonsultasi via telpon
11. Memanajemen ventilasi mekanik
12. Mencegahan aspirasi
13. Memebrikan obat
14. Memberikan obat inhalasi
15. Memberikan obat interpleura
16. Memberikan obat intradermal
17. Memberikan obat intramuscular
18. Memberikan obat intravena

2 1. Melatih batuk efektif


2. Memanajemen jalan napas
3. Memantauan respirasi
4. Mendukung kepatuhan progam
pengobatn
5. Mengedukasi fisioterapi dada
6. Mengedukasi pengukuran resoirasi
7. Fisioterapi dada
8. Mengkonsultasikan via telpon
9. Memanajemen asthma
10. Memanjemen alergi
11. Memanajemen anafilaksis
12. Memanajemen isolasi
13. Memanajemen ventilasi mekanik
14. Memanajemen jalan napas buatan
15. Memberikan obat inhalasi
16. Memberikan obat interpleura
17. Memberikan obat intadermal

ccliv
18. Memberikan obat nasal
19. Mencegah aspirasi
20. Mengatur posisi
21. Penghisapan jalan napas
22. Penyapihan ventilasi mekanik
23. Merawat trakheostomi
24. Skrining tuberkulosis
25. Stabilisasi jalan napas
26. Terapi oksigen

3 1. Memanajemen hipertermia
2. Meregulasi temperatur
3. Mengedukasi analgesia terkontrol
4. Mengedukasi dehidrasi
5. mengedukasi pengukuran suhu
tubuh
6. mengedukasi program pengobatan
7. mengedukasi terapi cairan
8. mengedukasi termoregulasi
9. Kompres dingin
10. Memanajemen cairan
11. Memanajemen kejang
12. Pemantauan cairan
13. Memberikan obat
14. Memberikan obat intravena
15. Memberikan obat oral
16. Pencegahan hipertermi keganasan
17. Perawatan sirkulasi
18. Promosi tehnik kulit ke kulit

4 1. Memanajemen nutrisi

cclv
2. Mempromosi berat badan
3. Mendukung kepatuhan program
pengobatan
4. Mengedukasi diet
5. Mengedukasi kemoterapi
6. Konseling laktasi
7. Konseling nutrisi
8. Konsultasi
9. Memanajemen cairan
10. Memanjemen demensia
11. Memanajemen diare
12. Memanajemn elimiasi faksi
13. Memanajemen energi
14. Memanajemen gangguan makan
15. Memanajemen hiperglikemia
16. Memanajemen hipoglikemia
17. Memanajemen kemoterapi
18. Memanajemen reakasi alergi
19. Mememantau cairan
20. Mememantau nutrisi
21. Mememantau tanda vital
22. Memberikan makanan
23. Memberikan makanan enternal
24. Memberikan makanan parenteral
25. Memberikan obat intravena
26. Terapi menelan

5 1. Memanajemen imuniasasi/vaksin
2. Mencegah infeksi
3. Menukung pemeliharaan rumah

cclvi
4. meukung perawatan diri. Mandi
5. Mengedukasi pencegahan luka
tekan
6. mengedukasi seksualitas
7. Induksi persalinan
8. Latihan batuk efektif
9. Memanajemen jalan napas
10. Memanajemen imunisasi/vaksinasi
11. Memanajemn lingkungan
12. Memanajemen nutrisi
13. Memanajemen medikasi
14. Memantau eletrolit
15. Memantau nutrisi
16. Memantau tanda vital
17. Memberikan obat
18. Memebrikan obat intravena
19. Memebrikan obat
20. Memberikan obat intravena
21. Memberikan obat oral
22. Mencegah luka tekan
23. Mengatur posisi
24. Merawat amputasi
25. merawat area insisi
26. Merawat kehamilan resiko tinggi
27. Merawat luka
28. Merawat luka bakar
29. Merawat luka tekan
30. merawat pasca persalinan
31. Merawat perineum
32. Merawat persalinan

cclvii
33. Merawat persalinan resiko tinngi
34. Merawat selang
35. Merawat selang dada
36. Merawat selang gastrointestinal
37. Merawat selang umbilikal
38. Merawat sirkumsisi
39. Merawat skin graft
40. Merawat terminasi kehamilan

7. Evaluasi

Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf


Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau
keperawatan tidak)
P : Planning (intervensi dilanjtkan atu
tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

Asuhan Keperawatan PPOM


1. Definisi
Penyakit Saluran Pernafasan Obstruktif Berkelanjutan atau disebut juga
Constant Obstructive Pneumonic Sickness (COPD) adalah infeksi melon yang parah
yang dapat disebabkan oleh keterbukaan terhadap debu batu bara yang menyebabkan
penyakit. Ada dua infeksi, khususnya bronkitis yang sedang berlangsung (bronkitis
persisten) dan (emfisema). Efek samping yang muncul pada infeksi ini adalah
pengurangan jumlah keterbatasan pada penilaian melon yang parah dan nafas yang
terputus-putus dan pendek. Penurunan kerja melon yang tidak menyenangkan terjadi

cclviii
ketika ada peningkatan ukuran keterbukaan terhadap debu batu bara dalam tubuh yang
dikombinasikan dengan kecenderungan merokok dan beberapa elemen yang berbeda
(Edmonton, 2010).
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai
penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan
aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan
konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan
pasien.1 PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru
terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu penyakit
multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan
napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi
terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.3 Pada PPOK, seringkali
ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun keduanya memiliki
proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema
tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis,
sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. 1,3,4 Bronkitis kronis adalah
kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk kronis yang menimbulkan dahak
selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut
dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai
dengan kerusakan dinding alveolus.1,4 Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK
PPOK adalah sumber utama kesuraman, kematian, dan layanan medis di seluruh
dunia. COPD adalah kondisi medis di seluruh dunia, di mana merokok merupakan
faktor bahaya yang signifikan terlepas dari berbagai faktor seperti keterbukaan terhadap
kontaminasi udara dalam dan terbuka. Bobot PPOK akan terus meningkat di tahun-
tahun mendatang (David M Mannino, et al, 2007).
2. Etiologi
Beberapa faktor bahaya termasuk
a Keterbukaan terhadap partikel meliputi:

cclix
1) Merokok:
Merokok adalah alasan paling terkenal untuk PPOK (95% kasus) di
negara-negara pertanian. Perokok dinamis mungkin mengalami hipersekresi
cairan tubuh dan hambatan rute penerbangan yang konstan. Diduga ada
hubungan antara penurunan volume ekspirasi terbatas kedua primer (VEP1)
dengan jumlah, jenis dan lama merokok12. Studi di Cina membawa bahaya
keseluruhan dari merokok 2,47 (95% CI: 1,91-2,94),13 Merokok tidak aktif
juga menambah efek samping rute penerbangan dan COPD dengan kerusakan
paru-paru yang lebih luas dari napas dalam partikel dan gas beracun. Merokok
selama kehamilan juga akan meningkatkan risiko bagi bayi dan mempengaruhi
perkembangan paru-paru.
2) Kontaminasi dalam ruangan:
Memasak dengan bahan biomassa dengan ventilasi dapur yang tidak
berdaya misalnya keterbukaan terhadap pembuangan bahan bakar kayu dan uap
bahan bakar minyak dinilai berkontribusi hingga 35%13 . Orang
menginvestasikan banyak energi dalam iklim rumah (dalam ruangan) seperti
rumah, lingkungan kerja, perpustakaan, ruang kelas, pusat perbelanjaan, dan
kendaraan. Racun dalam ruangan yang signifikan termasuk SO2, NO2 dan CO
dari latihan memasak dan pemanasan, zat alami yang tidak dapat diprediksi dari
cat, penutup lantai dan furnitur, bahan cetak dan hipersensitivitas dari gas dan
hewan peliharaan serta asap bekas.
WHO melaporkan bahwa kontaminasi dalam ruangan bertanggung jawab
atas kematian 1,6 juta orang setiap tahun16 . Untuk konsentrasi kontrol situasi
yang diarahkan di Bogota, Columbia, konsumsi kayu dikaitkan dengan risiko
tinggi PPOK (berubah OR 3,92, 95% CI 1,2 ± 9,1)17 .
3) Kontaminasi udara terbuka:
Kontaminasi udara berdampak buruk pada VEP1, inhalansia paling kuat
yang menyebabkan PPOK adalah kadmium, seng, dan residu.
Pengapian/tanaman/asap tambang. Namun, peningkatan umum sepeda keluar
dan sekitar dalam dekade terakhir18,19,20 kini telah menjadi kekhawatiran
sebagai masalah pencemaran udara di banyak komunitas perkotaan metropolitan

cclx
di seluruh dunia. Di negara-negara bergaji rendah di mana sebagian besar
keluarga secara lokal menggunakan teknik memasak konvensional dengan
minyak lampu dan kayu bakar, pencemaran dalam ruangan dari limbah
biomassa telah menambah COPD dan penyakit pernapasan jantung, terutama
pada wanita yang tidak merokok COPD adalah akibat dari hubungan antara
individu elemen turun temurun dengan keterbukaan ekologis terhadap zat
berbahaya, misalnya asap tembakau, polusi dalam dan luar ruangan21. Di
Meksiko, Tellez ± Rojo et al, menemukan bahwa ekspansi 10µg/m3 dalam
partikel terkait dengan 2,9% (95% CI 0,9 ± 4,9) ekspansi pada infeksi rute
penerbangan dan 4,1% (95% CI) mortalitas PPOK. 1,3 ± 6,9 ), masing-
masing22. Di Hong Kong penyelidikan kaki tangan yang direncanakan
menemukan bahwa dominasi sebagian besar efek samping pernapasan meluas
lebih dari rentang waktu 12 tahun dan informasi menunjukkan bahwa kesamaan
ditentukan untuk memiliki emfisema meningkat dari 2,4% - 3,1% dengan OR
1,78 ( 95% CI 1. 12 ± 2.86)23, ini mungkin karena unsur alam, khususnya
perluasan pencemaran udara di Hong Kong. Beberapa penelitian telah
mengamati bahwa keterbukaan yang terus-menerus terhadap komunitas
perkotaan dan polusi udara mengurangi laju perkembangan kerja paru-paru pada
anak-anak.
4) Kontaminasi di tempat kerja:
Kontaminasi dari lingkungan kerja misalnya residu alam (sisa sayuran dan
organisme mikroskopis atau racun bentuk), industri material (debu dari kapas)
dan iklim modern (industri pertambangan, besi dan baja, industri kayu,
pembangunan gedung), sintetis untuk cat, tinta, dan sebagainya lini produksi
dinilai sebesar 19%.
b Kualitas herediter (kekurangan Alpha 1-antitrypsin): Faktor bahaya herediter
berkontribusi 1 ± 3% pada pasien PPOK26 .
c. Riwayat kontaminasi saluran pernapasan berulang: Penyakit pernapasan berat
adalah kontaminasi yang intens termasuk organ pernapasan, hidung, sinus, faring,
atau laring. Pencemaran pernapasan yang parah adalah penyakit yang umumnya
menyerang anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak juga dapat

cclxi
menyebabkan kecacatan hingga dewasa, yang berhubungan dengan kejadian
PPOK27 .
d. Gander, usia, penggunaan minuman keras, dan latensi aktual: Sebuah penelitian
terhadap orang dewasa di China14 mengamati bahaya keseluruhan untuk pria
terhadap wanita adalah 2,80 (95% CI ; 2,64-2,98). Usia lanjut RR 2,71 (95% CI
2,53-2,89). Pemakaian minuman keras RR 1,77 (95% CI : 1,45 ± 2,15), dan tidak
bekerja aktif 2,66 (95% CI ; 2,34 ± 3,02).
3. Patogenesis
PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, digambarkan oleh
hambatan aliran angin yang konstan, biasanya sedang dan terkait dengan reaksi
provokatif yang terus-menerus di paru-paru yang disebabkan oleh partikel dan gas
beracun (GOLD, 2010). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa siklus panas yang
terjadi pada kasus PPOK bukan hanya kerusakan lingkungan parenkim paru tetapi juga
iritasi mendasar. Pada kejengkelan mendasar, terjadi peningkatan derajat kanker faktor
korupsi alfa (TNF-a), interleukin (II.)-6, dan II-8. Demikian pula, perluasan penanda
provokatif, khususnya protein reseptif C (CRP) (Nici, I.. dan ZuWalleck R, 2012).
Pada pasien PPOK yang disebabkan oleh merokok, terjadi penyesuaian
hubungan antara oksidan dan penguatan sel dan peningkatan tekanan oksidatif yang
digambarkan dengan peningkatan oksidan. Peningkatan penanda oksida ditemukan
pada cairan pelapis epitel. Peningkatan oksidan dipicu oleh zat perusak yang
terkandung dalam rokok yang merespon dan menyebabkan kerusakan pada berbagai
protein dan lipid dan kemudian membahayakan sel dan jaringan paru-paru. Oksidan
juga mengintervensi reaksi yang berapi-api secara langsung dan menahan aksi
antiprotase, menghasilkan ketidakteraturan protease-antiprotase (Williams dan
Boundet, 2014). Beberapa reaksi yang disebabkan oleh tekanan oksidatif di paru-paru
adalah reaksi yang mengganggu di antara gerakan, menonaktifkan antiprotase,
meningkatkan emisi cairan tubuh, dan meningkatkan produksi plasma (GOLD, 2006).
Inflamasin pada PPOK dimulai dengan kontak sel epitel aspirasi dan sel
makrofag, alvolar dengan gas perusak, misalnya asap tembakau atau lainnya.
Kemudian, pada saat itu, makrofag alveolus akan mengirimkan sitokain atau kimokin

cclxii
diikuti oleh bermacam-macam neutrofil dan kumpulan makrofag di bronkiolus dan
alveolus (Reikky et al, 2005).
4. Manifestasi klinis
Adapun dampak dan gejala klinik PPOK adalah sebagai berikut :
a. “Smoker Cough”biasanya hanya diawali sepanjangpagi yang dingin kemudian
berkembang menjadi sepanjang tahun.
b. Sputum, baiasanya banyak dan lengket berwarna kuning, hijau atau kekuningan
bila terjadi infeksi.
c. Dyspnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan gejala ini mungkin
terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak napas menjadi semakin nyata yang
membuat pasien mencari bantuan medic.
Gejala pada eksaserbasi akut adalah
a. Peningkatan volume sputum
b. Perburukan pernafasan secara akut
c. Data terasa berat
d. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
e. Lelah da lesu
f. Penurunan toleransi terhadarp gerakan fisik, cepat lelah dan terengah-engah

Gejala bera seperti

a. Sianosis, terjadi kegagalan respirasi


b. Gagal jantung dan odema prifer
c. Plethoric complexion yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang memerah yang
disebabkan (polycythemia) erthorcytosis, jumlah erythrosit yang meningkat, hal ini
merupakan respond fisiologis normal karena kapasistas pengankutan O2 yang
berlebih (Ikawati, 2016 dalam Karya tulis Ilmiah Sintya Tinela Putri,2017).
5. Patofisiologi
PPOK digambarkan dengan hambatan jalan napas. Penyakit ini adalah salah satu
peningkatan intermiten, sering dikaitkan dengan penyakit pernapasan, dengan dispnea
yang meluas dan pembentukan sputum. Berbeda dengan siklus intens yang
memungkinkan jaringan paru-paru untuk memulihkan dirijalan napas dan parenkim

cclxiii
tidak kembali seperti normal setelah ekserbasi. bahkan, penyakit ini pun menunjukkan
perubahan destruktif yang progresif (LeMone et al., 2016).
Meskipun salah satu atau lainnua daoat menonjol PPOK biasanya termasuk
bagian dari bronkitis dan emfisema yang sedang berlangsung, dua siklus yang berbeda
dari penyakit saluran pernapasan kecil, membatasi bronkiolus kecil, juga merupakan
bagian kompleks PPOK. Melalui berbagai sistem, interaksi ini membuat jalan napas
menjadi sempit, resistensi terhadap aliran udara untuk mengikat, dan ekpirasi menjadi
lambat dan sulit (LeMone et al., 2016 dalam Karya Tulis Ilmiah Arin Siska
Kristiani,2019).
6. Pemeriksaan penunjang
a. Pengukuran fungsi paru
1) Kapasitas inspirasi menurun
2) Volume residu : meningkat pada emfisema, bronchial, dan asma
3) FEVI selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru obstruktif
kronis
4) FVC awal normal menurun pada brokitis dan asma meningkat
5) TLC normal sampai meningkat sedang (Predominan pada emfisema)
b. Analisa gas darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pH normal,
asidosis, alkalosis respiratorik ringan skunder.
c. Pemeriksaan Lab
1) Haemoglobin (Hb) dan Hematorik (Ht) meningkat pada polistemia skunder.
2) Jumlah darah merah meningkat
3) Pulse oksimetri SaO2 oksegenasi menurun
4) Elektrolit menurun karena pemakaian obat deuritik
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman/kuktur adanya infeksi campuran. Kuman pathogen yang
biasa ditemukan adalah Streptococcus pneumonia, hemaphylus influenza, dan
Moraxella catarrhalis.
e. Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (AP dan Lateral)
Menunjukkan dilatasi bronchus kolap bronkhile pada ekspirasi kuat.

cclxiv
f. EKG
Menurut Wahid & Suprapto (2013), Tekanan darah dalam batas normal. Batas
jantung tidak mengalami pergeseran. Vena juguralis bias saja mengalami distensi
selama ekspirasi. Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise
jantung. Bila sudah terdapat korpulmonal, terdapatdevisi aksis ke kanan dan P-
pulmonal pada hantaean II,III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di VI rasio R/S lebih
dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet
(Muttaqin, 2008 dalam Karya Tulis Ilmiah Arin siska Kristiani,2019).
7. Komplikasi
a. Gagal napas
1) Sesak napas yang berangsur lama : Hasil pemeriksaan gas darah Po2 < 60
mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH biasa, pelaksana :
a) Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2.
b) Bronkodilator yang cukup.
c) Perawatan oksigen yang cukup, terutama selama aktivitas atau waktu tidur.
d) Agen pencegah kanker
e) Aktivitas pernapasan dengan menekan bibir bersama-sama santai.
2) Gagal napas yang berkelanjutan, digambarkan oleh:
a) Sesak napas dengan atau tanpa sianosis.
b) Sputum mengembang dan purulen.
c) Demam
d) Kesadaran berkurang.
b. Kontaminasi berulang Pada pasien PPOK, pembentukan sputum yang tidak perlu
membuat keadaan bakteri menjadi terstruktur, hal ini mempermudah terjadinya
penyakit berulang. Dalam kondisi konstan ini resistensi menjadi lebih rendah,
dipisahkan oleh penurunan kadar limfosit darah.
c. Cor pulmonal Dipisahkan oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit> setengah,
mungkin bergabung dengan kerusakan kardiovaskular kanan (Kacandra Sugeni,)
8. Penatalaksanaan
a. Keperawatan Para eksekutif

cclxv
Penatalaksanaan PPOK harus dimungkinkan dengan dua cara, yaitu
pengobatan nonfarmakologis dan pengobatan farmakologis. Tujuan pengobatan
adalah untuk mengurangi manifestasi, mencegah perpindahan infeksi, mencegah
dan mengobati intensifikasi dan ketidaknyamanan, memperbaiki kondisi fisik dan
mental pasien, bekerja pada kepuasan pribadi dan mengurangi kematian.
Nonfarmakologis:
1) Penyuluhan tentang penyakit yang diderita pasien dan keterjeratannya kepada
pasien dan keluarganya.
2) Menginstruksikan pasien bahwa PPOK tidak dapat dipulihkan tetapi harus
dikendalikan/dicegah agar tidak memburuk dan pemberiannya mengakar.
3) Ajarkan pasien dan keluarganya tentang obat-obatan yang dikonsumsi pasien,
sebagai pekerjaan mereka dan efek sekundernya.
4) Pengarahan tentang risiko merokok.
5) Mengarahkan faktor bahaya ekologis seperti residu, asap tembakau. -
Mengarahkan dan memberi inspirasi kepada pasien dan keluarga untuk
menempuh jalan hidup yang kokoh.
6) Mengarahkan keluarga pasien tentang pentingnya mendukung pasien dan
memberikan pengobatan.
7) Berikan penyuluhan dan pengaturan cara hidup yang sehat. Adapun yang
dilakukan intinya 3x/minggu selama ± 30 menit dan diet pada pasien PPOK
(diet rendah gula).
8) Mengarahkan pasien dan keluarga mereka tentang pentingnya memberi
motivasi dan pengawasan obat.
Farmakologi
1) Salbutamol tablet 4 mg 3x1
2) Deksametason tablet 0,5 mg 3x1
3) Acetylcysteine tablet 200 mg 3x

Intervensi dalam 4 kunjungan rumah. Kegiatan: Melakukan Treatment, khususnya


mengurangi variabel-variabel yang menyebabkan pengulangan seperti menjauhi
keterbukaan terhadap kebersihan dengan menggunakan masker, menghindari asap

cclxvi
rokok, berlatih secara konsisten seperti jalan-jalan, dan cepat mencari pengobatan
jika terjadi batuk dan sesak nafas.

Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Idenditas pasien
Nama pasien, no RM, umur, agama, status perkawinan, pendidikan, alamat,
pekerjaan, jenis kelamin, suku, diagnosa medis, tanggal masuk RS, dan
tanggal pengkajian.
Jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi karena
peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju
dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan
(misalnya bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada
negara-negara miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017). Kebanyakan penderita PPOK
terjadi pada individu di atas usia 40 tahun (PDPI, 2011). Hal ini bisa
dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun
(Oemiati, 2013).
2) Identitas penanggung jawab
Nama, umur, agama, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, dan hubungan
dengan pasien.
3) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan adalah Sesak napas yang
bertambah berat bila aktivitas, kadang-kadang disertai mengi, batuk kering
atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada (PDPI, 2011).
4) Riwayat kesehatan sekarang
Seperti yang ditunjukkan oleh Oemiati (2013) bahwa perokok
dinamis dapat mengalami hipersekresi cairan tubuh dan jalan napas kronik.
Asap yang digunakan juga menambah manifestasi saluran napas dan
meningkatkan kerusakan paru-paru dari partikel dan gas beracun yang
terhirup. Kecenderungan memasak dengan bahan biomassa dengan

cclxvii
ventilasi dapur yang sedikit, misalnya terpajannya terhadap pembuangan
bahan bakar kayu dan uap bahan bakar minyak dinilai berkontribusi hingga
35% untuk memicu PPOK. Pembentukan cairan tubuh yang ekstrim
sehingga cukup menyebabkan terjadinya hacking dengan asumsi cukup
lama ± 90 hari setiap tahun dan tidak kurang dari dua tahun berturut-turut
dapat memicu PPOK (Somantri, 2012).
5) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat merokok atau perokok sebelumnya dengan atau tanpa
manifestasi pernapasan, riwayat keterbukaan yang sangat parah di tempat
kerja (PDPI, 2011). Juga, memiliki latar belakang yang ditandai dengan
penyakit masa lalu termasuk asma bronkial, kepekaan, sinusitis, polip
hidung, kontaminasi saluran pernapasan remaja dan penyakit pernapasan
lainnya. Riwayat intensifikasi atau pernah dirawat di rumah sakit karena
penyakit pernapasan (Soeroto dan Suryadinata, 2014).
6) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (PDPI, 2011). Riwayat
keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainya. (Soeroto & Suryadinata,
2014). Riwayat alergi pada keluarga (Mutaqqin, 2008).
7) Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada pasien dengan PPOK
menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
(1) Pola Nutrisi dan Metabolik.
Gejala :Mual dan muntah, nafsu makan buruk/anoreksia,
ketidakmampuan untuk makan, penurunan atau peningkatan
berat badan.
Tanda : Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat.
(2) Aktivitas/Istirahat.
Gejala :Keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan sehari-hari,
ketidakmampuan untuk tidur, dispnea pada saat aktivitas atau
istirahat.

cclxviii
Tanda :Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan
massa otot.
(3) Sirkulasi.
Gejala : pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda :Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardi berat, distensi vena leher, edema dependent,
bunyi jantung redup, warna kulit/membran mukosa
normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
(4) Integritas Ego.
Gejala : peningkatan faktor resiko, dan perubahan pola hidup.
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsangan.
(5) Hygiene.
Gejala : Penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hygiene.
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan
8) Pernapasan.
Gejala : Batuk menetap dengan atau tanpa produksi sputum selama
minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun,
episode batuk hilang timbul.
Tanda : pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu pernapasan, bentuk
dada barel chest atau normo chest, gerakan diafragma minimal,
bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan pada area paru, warna
pucat dengan sianosis bibir dan kuku, abu-abu keseluruhan.
9) Keamanan.
Gejala: riwayat reaksi alergi terhadap zat/faktor lingkungan, adanya /
berulangnya infeksi.
10) Seksualitas.
Gejala : Penurunan libido
11) Interaksi Sosial.
Gejala :hubungan ketergantungan, kegagalan dukungan terhadap
pasangan/orang terdekat, ketidakmampuan membaik karena
penyakit lama.

cclxix
Tanda :ketidakmampuan untuk mempertahankan suara karena disstres
pernapasan, keterbatasan mobilitas fisik, kelalaian hubungan
dengan anggota keluarga lain.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan PPOK menurut
Wahid & Suprapto (2013) adalah sebagai berikut:
1) Pernafasan (B1: Breathing).
a) Inspeksi. Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan
serta penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat
udara yang tertangkap) atau bisa juga normo chest, penipisan massa
otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal
tidak fektif dan penggunaan otot bantu nafas (sternocleidomastoideus).
Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas
kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen disertai demam mengindikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
b) Palpasi. Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
c) Perkusi. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hiper sonor
sedangkan diafrgama menurun.
d) Auskultasi. Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan
wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada
pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia)
dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap
lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun
seperti membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan
dispnea dan keletihan (dispnea eksersorial). Paru yang mengalami
emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus tidak
dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Pasien
rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan

cclxx
sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi.
2) Kardiovaskuler (B2:Blood).
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi
takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami
pergeseran. Vena jugularis mengalami distensi selama ekspirasi. Kepala
dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.
3) Persyarafan (B3: Brain).
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit
yang serius.
4) Perkemihan (B4: Bladder).
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan. Namun perawat perlu memonitor adanya oliguria yang
merupakan salah satu tanda awal dari syok.
5) Pencernaan (B5: Bowel).
Pasien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan pasien tidak nafsu
makan. Kadang disertai penurunan berat badan
6) Tulang, otot dan integument (B6: Bone).
Karena penggunaan otot bantu nafas yang lama pasien terlihat keletihan,
sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL
(Activity Day Living).
7) Psikososial.
Pasien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidakefektif
2) Pola napas tidakefektif
3) Gangguan pertukaran gas
4) Defisit nutrisi
5) Gangguan pola tidur
6) Intoleransi aktivitas
3. Intervensi

cclxxi
Kriteria & hasil
No Dx Intervensi (SIKI) Rasional
(SLKI)
1 Setelah dilakukan 27. Latihan batuk efektif
tindakan keperawatan 28. Manajemen jalan napas
selama 3x24 jam 29. Pemantauan respirasi
diharapakan dengan 30. Dukungan kepatuhan progam
kriteria hasil : pengobatn
1. Bersihan jalan 31. Edukasi fisioterapi dada
napas normal 32. Edukasi pengukuran resoirasi
2. Kontrol gejala 33. Fisioterapi dada
3. Respons alergi local 34. Konsultasi via telpon
4. Resspons alergi 35. Manajemen asthma
sistemik 36. Manjemen alergi
5. Respons ventilasi 37. Mnajemen anafilaksis
mekanik 38. Manajemen isolasi
6. Tingat infeksi 39. Manajemen ventilasi mekanik
menurun 40. Manajemen jalan napas buatan
41. Pemberian obat inhalasi
42. Pemberian obat interpleura
43. Pemberian obat intadermal
44. Pemberian obat nasal
45. Pencegahan aspirasi
46. Pengaturan posisi
47. Penghisapan jalan napas
48. Penyapihan ventilasi mekanik
49. Perawatan trakheostomi
50. Skrining tuberkulosis
51. Stabilisasi jalan napas
52. Terapi oksigen

cclxxii
2 Setelah dilakukan 1. Manajemen jalan napas
tindakan keprawatan 2. Pemantauan respirasi
selama 3x24 jam 3. Dukungan emosional
diharapakn dengan 4. Dukungan kepatuhan program
kriteria hasil : pengoatan
1. Pola napas normal 5. Dukungan ventilasi
2. Berat badan dalam 6. Edukasi pengukuran respirasi
batas normal 7. Konsultasi via telepon
3. Keseimbangan 8. Manejmen energi
asam basa dalam 9. Manejmen jalan napas buatan
batas normal 10. Manajmen medikasi
4. Konservasi alergi 11. Manajmen ventilasi mekanik
5. Status neurologis 12. Pemnatauan neourologis
tingkat ansietas 13. Pemberia analgesik
6. Tingkat keletihan 14. Pemberian obat
berkurang 15. Pemberian obat inhalasi
7. Tingat nyeri 16. Pemberian obat interpleura
menurun 17. Pemberian obat interdermal
18. Pemberian obat intravena
19. Pemberian obat oral
20. Penjegahan aspirasi
21. Pengaturan posisi
22. Perawatan selang dada
23. Perawatan trakheostomi
24. Reduksi ansietas
25. Stabilisasi jalan napas
26. Terapi relaksasi otot progresif

cclxxiii
3 Setelah dilakukan 19. Pemantauan respirasi
tindakan keperawatan 20. Terapi oksigen
selama 3x24 jam 21. Dukungan berhenti merokok
diharpak dengan 22. Dukungan ventilasi
kriteria Hasil : 23. Edukasi berhenti merokok
6. Keseimbangan 24. Edukasi pengukuran resprasi
asam–basa 25. Edukasi fisioterapi dada
7. Konservasi energi 26. Fisioterapi dada
8. Perfusi paru 27. Insersi jalan napas buatan
9. Respons ventilasi 28. Konsultasi via telpon
mekanik 29. Manajemen ventilasi mekanik
10. Tingkat delirium 30. Pencegahan aspirasi
31. Pemebrian obat
32. Pemberian obat inhalasi
33. Pemberian obat interpleura
34. Pemberian obat intradermal
35. Pemberian obat intramuscular
36. Pemberian obat intravena
4 Setelah dilakukan 27. Manajemen nutrisi
tidakan keperawatan 28. Promosi berat badan
selama 3x24 jam 29. Dukungan kepatuhan program
diharapakan dengan pengobatan
kriteria Hasil : 30. Edukasi diet
10. Status nutrisi 31. Edukasi kemoterapi
membaik 32. Konseling laktasi
11. Berat badan 33. Konseling nutrisi
meningkat 34. Konsultasi
12. Eliminasi fekal 35. Manajemen cairan
13. Fungsi 36. Manjemen demensia
gastrointestinal 37. Manajemen diare
14. Nafsu makan 38. Manajemn elimiasi faksi

cclxxiv
meningkat 39. Manajemen energi
15. Perilaku 40. Manajemen gangguan makan
meningkatkan berat 41. Manajemen hiperglikemia
badan 42. Manajemen hipoglikemia
16. Status menelan 43. Manajemen kemoterapi
17. Tingkat depresi 44. Manajemen reakasi alergi
berkurang 45. Pemantauan cairan
18. Tingkat nyeri 46. Pemanatauan nutrisi
menurun 47. Pemantauan tanda vital
48. Pemberian makanan
49. Pemberian makanan enternal
50. Pemberian makanan parenteral
51. Pemberian obat intravena
52. Terapi menelan
5 Setelah dilakukan 1. Dukungan tidur
tidakan keperawatan 2. Edukasi aktivita/istirahat
selama 3x24 jam 3. Dukungan kepatuhan program
diharapak dengan pengobatan
kriteria Hasil : 4. Dukungan meditasi
1. Pola tidur dalam 5. Dukungan perawatan diri :
batas normal BAB/BAK
2. Penampilan peran 6. Pisioterapi gangguan mood atau
baik tidur
3. Status kenyamanan 7. Latihan otogenik
4. Tingkat depresi 8. Manajmen demensia
menurun 9. Manajmen energi
5. Tingkat keletihan 10. Manajmen lingkugan
berkurang 11. Manajmen medikasi
12. Manajmen nutrisi
13. Manjemn nyeri
14. Manajmen pegantian hormon

cclxxv
15. Pemberian obat oral
16. Pengaturan posisi
17. Promosi koping
18. Promosi latihan fisik
19. Reduksi ansietas
20. Tehnik menenangkan
21. Terapi aktivitas
22. Terapi musik
23. Terapi pemijtan
24. Terapi reaksasi
25. otot progresif
6 Setelah dilakukan 1. Manajmen energi
tindakan keperawatan 2. Terapi aktivitas
selama 3x24 jam 3. Dukungan ambulasi
diharapak dengan 4. Dukungan kepatuhan program
kriteria hasil ; pengobatan
1. Toleransi aktivitas 5. Dukungan meditasi
2. Ambulasi 6. Dukungan pemeliharan rumah
3. Curah jantung 7. Dukungan perawatan diri
4. Konservasi energy 8. Dukungan spiritual
5. Tingkat keletihan 9. Dukungan tidur
10. Edukasi latihan fiik
11. Edukasi tehnik ambulasi
12. Edukasi pengukuran nandi
radialis
13. Manajmen aritmia
14. Manajmen lingkungan
15. Manajmen medikasi
16. Manajmen mood
17. Anajmen nutrisi
18. Manajmen nyeri

cclxxvi
19. Manajmen program latihan
20. Pemantauan TTV
21. Pemberian obat
22. Pemberian obat inhalasi
23. Pemberian obat intravena
24. Peberian obat oral
25. Penentuan tujuan bersama
26. Promosi BB
27. Promosi dukungan keluarga
28. Promosis latihan fisik
29. Rehabilitasi jantung
30. Terapi aktivitas
31. Terapi bantuan hewan
32. Terapi musik
33. Terapi oksigen
34. Terapi relaksasi otot progresif

4. Imlementasi

No Hari/tgl/jam Dx Implementasi Ttd


1 1. Latihan batuk efektif
2. Manajemen jalan napas
3. Pemantauan respirasi
4. Dukungan kepatuhan progam pengobatn
5. Edukasi fisioterapi dada
6. Edukasi pengukuran resoirasi
7. Fisioterapi dada
8. Konsultasi via telpon
9. Manajemen asthma
10. Manjemen alergi
11. Mnajemen anafilaksis

cclxxvii
12. Manajemen isolasi
13. Manajemen ventilasi mekanik
14. Manajemen jalan napas buatan
15. Pemberian obat inhalasi
16. Pemberian obat interpleura
17. Pemberian obat intadermal
18. Pemberian obat nasal
19. Pencegahan aspirasi
20. Pengaturan posisi
21. Penghisapan jalan napas
22. Penyapihan ventilasi mekanik
23. Perawatan trakheostomi
24. Skrining tuberkulosis
25. Stabilisasi jalan napas
26. Terapi oksigen

2 1. Manajemen jalan napas


2. Pemantauan respirasi
3. Dukungan emosional
4. Dukungan kepatuhan program pengoatan
5. Dukungan ventilasi
6. Edukasi pengukuran respirasi
7. Konsultasi via telepon
8. Manejmen energi
9. Manejmen jalan napas buatan
10. Manajmen medikasi
11. Manajmen ventilasi mekanik
12. Pemnatauan neourologis
13. Pemberia analgesik
14. Pemberian obat
15. Pemberian obat inhalasi

cclxxviii
16. Pemberian obat interpleura
17. Pemberian obat interdermal
18. Pemberian obat intravena
19. Pemberian obat oral
20. Penjegahan aspirasi
21. Pengaturan posisi
22. Perawatan selang dada
23. Perawatan trakheostomi
24. Reduksi ansietas
25. Stabilisasi jalan napas
26. Terapi relaksasi otot progresif

3 1. Pemantauan respirasi
2. Terapi oksigen
3. Dukungan berhenti merokok
4. Dukungan ventilasi
5. Edukasi berhenti merokok
6. Edukasi pengukuran resprasi
7. Edukasi fisioterapi dada
8. Fisioterapi dada
9. Insersi jalan napas buatan
10. Konsultasi via telpon
11. Manajemen ventilasi mekanik
12. Pencegahan aspirasi
13. Pemebrian obat
14. Pemberian obat inhalasi
15. Pemberian obat interpleura
16. Pemberian obat intradermal
17. Pemberian obat intramuscular
18. Pemberian obat intravena

4 1. Manajemen nutrisi

cclxxix
2. Promosi berat badan
3. Dukungan kepatuhan program pengobatan
4. Edukasi diet
5. Edukasi kemoterapi
6. Konseling laktasi
7. Konseling nutrisi
8. Konsultasi
9. Manajemen cairan
10. Manjemen demensia
11. Manajemen diare
12. Manajemn elimiasi faksi
13. Manajemen energi
14. Manajemen gangguan makan
15. Manajemen hiperglikemia
16. Manajemen hipoglikemia
17. Manajemen kemoterapi
18. Manajemen reakasi alergi
19. Pemantauan cairan
20. Pemanatauan nutrisi
21. Pemantauan tanda vital
22. Pemberian makanan
23. Pemberian makanan enternal
24. Pemberian makanan parenteral
25. Pemberian obat intravena
26. Terapi menelan

5. Evaluasi

Hari/Tgl/jam Dx Evaluasi Paraf

cclxxx
Waktu 1. S : data objektif
pelaksanaan O : Data objektif
tindakan A : Assisment (masalah teratasi atau
keperawatan tidak)
P : Planning (intervensi dilanjtkan atu
tidak)
I : Implementasi
E : Evaluasi
R : Reassismen ( komponen)

M. Isu-Isu Strategis dan Kegiatan untuk Promosi Kesehatan dan Kesejahteraan


1. Pengertian dan Lingkup Promosi Kesehatan
Dewasa ini promosi kesehatan (health promotion) telah menjadi bidang yang
semakin penting dari tahun ke tahun. Dalam tiga dekade terakhir, telah terjadi
perkembangan yang signifikan dalam hal perhatian dunia mengenai masalah promosi
kesehatan. Pada 21 November 1986, World Health Organization (WHO)
menyelenggarakan Konferensi Internasional Pertama bidang Promosi Kesehatan yang
diadakan di Ottawa, Kanada. Konferensi ini dihadiri oleh para ahli kesehatan seluruh
dunia, dan menghasilkan sebuah dokumen penting yang disebut Ottawa Charter (Piagam
Ottawa). Piagam ini menjadi rujukan bagi program promosi kesehatan di tiap negara,
termasuk Indonesia (Sumarni Lakoro, dkk. 2019).
Dalam Piagam Ottawa disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses yang
memungkinkan orang-orang untuk mengontrol dan meningkatkan kesehatan mereka
(Health promotion is the process of enabling people to increase control over, and to
improve, their health, WHO, 1986). Jadi, tujuan akhir promosi kesehatan adalah
kesadaran di dalam diri orang-orang tentang pentingnya kesehatan bagi mereka sehingga
mereka sendirilah yang akan melakukan usaha-usaha untuk menyehatkan diri mereka.
Lebih lanjut dokumen itu menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat kesehatan
yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, individu atau kelompok harus mampu

cclxxxi
mengenal serta mewujudkan aspirasi-aspirasinya untuk memenuhi kebutuhannya dan
agar mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya,
dan sebagainya). Kesehatan adalah sebuah konsep positif yang menitikberatkan sumber
daya pada pribadi dan masyarakat sebagaimana halnya pada kapasitas fisik. Untuk itu,
promosi kesehatan tidak hanya merupakan tanggung jawab dari sektor kesehatan, akan
tetapi jauh melampaui gaya hidup secara sehat untuk kesejahteraan (Sumarni Lakoro,
dkk. 2019).
Penyelenggaraan promosi kesehatan dilakukan dengan mengombinasikan
berbagai strategi yang tidak hanya melibatkan sektor kesehatan belaka, melainkan lewat
kerjasama dan koordinasi segenap unsur dalam masyarakat. Hal ini didasari pemikiran
bahwa promosi kesehatan adalah suatu filosofi umum yang menitikberatkan pada gagasan
bahwa kesehatan yang baik merupakan usaha individu sekaligus kolektif.
Bagi individu, promosi kesehatan terkait dengan pengembangan program
kebiasaan kesehatan yang baik sejak muda hingga dewasa dan lanjut usia. Secara
kolektif, berbagai sektor, unsur, dan profesi dalam masyarakat seperti praktisi medis,
psikolog, media massa, para pembuat kebijakan publik dan perumus perundang-undangan
dapat dilibatkan dalam program promosi kesehatan. Praktisi medis dapat mengajarkan
kepada masyarakat mengenai gaya hidup yang sehat dan membantu mereka memantau
atau menangani risiko masalah kesehatan tertentu. Para psikolog berperan dalam promosi
kesehatan lewat pengembangan bentuk-bentuk intervensi untuk membantu masyarakat
memraktikkan perilaku yang sehat dan mengubah kebiasaan yang buruk. Media massa
dapat memberikan kontribusinya dengan menginformasikan kepada masyarakat perilaku-
perilaku tertentu yang berisiko terhadap kesehatan seperti merokok dan mengonsumsi
alkohol. Para pembuat kebijakan melakukan pendekatan secara umum lewat penyediaan
informasi-informasi yang diperlukan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan
gaya hidup sehat, serta penyediaan sarana-sarana dan fasilitas yang diperlukan untuk
mengubah kebiasaan buruk masyarakat. Berikutnya, perumus perundang-undangan dapat
menerapkan aturan-aturan tertentu untuk menurunkan risiko kecelakaan seperti misalnya
aturan penggunaan sabuk pengaman di kendaraan (Sumarni Lakoro, dkk. 2019).
2. Lingkup promosi kesehatan
Oleh karena itu, lingkup promosi kesehatan dapat disimpulkan sebagai berikut:

cclxxxii
a. Pendidikan kesehatan (health education) yang penekanannya pada
perubahan/perbaikan perilaku melalui peningkatan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan.
b. Pemasaran sosial (social marketing), yang penekanannya pada pengenalan
produk/jasa melalui kampanye.
c. Upaya penyuluhan (upaya komunikasi dan informasi) yang tekanannya pada
penyebaran informasi.
d. Upaya peningkatan (promotif) yang penekanannya pada upaya pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan.
e. Upaya advokasi di bidang kesehatan, yaitu upaya untuk memengaruhi lingkungan
atau pihak lain agar mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (melalui
upaya legislasi atau pembuatan peraturan, dukungan suasana, dan lain-lain di
berbagai bidang/sektor, sesuai keadaan).
f. Pengorganisasian masyarakat (community organization), pengembangan masyarakat
(community development), penggerakan masyarakat (social mobilization),
pemberdayaan masyarakat (community empowerment), dan lain-lain (Sumarni
Lakoro, dkk. 2019).
3. Kegiatan Promosi Kesehatan
Kesehatan memerlukan prasyarat-prasyarat yang terdiri dari berbagai sumber
daya dan kondisi dasar, meliputi perdamaian (peace), perlindungan (shelter), pendidikan
(education), makanan (food), pendapatan (income), ekosistem yang stabil (a stable eco-
system), sumber daya yang berkesinambungan (a sustainable resources), serta kesetaraan
dan keadilan sosial (social justice and equity). Upaya-upaya peningkatan promosi
kesehatan harus memerhatikan semua prasyarat tersebut.
WHO, lewat Konferensi Internasional Pertama tentang Promosi Kesehatan di
Ottawa pada tahun 1986, telah merumuskan sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh
setiap negara untuk menyelenggarakan promosi kesehatan. Berikut akan disediakan
terjemahan dari Piagam Ottawa pada bagian yang diberi subjudul Health Promotion
Action Means. Menurut Piagam Ottawa, kegiatan-kegiatan promosi kesehatan berarti:
a. Membangun kebijakan publik berwawasan kesehatan (build healthy public policy)
b. Menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive environments)

cclxxxiii
c. Memerkuat kegiatan-kegiatan komunitas (strengthen community actions)
d. Mengembangkan keterampilan individu (develop personal skills)
e. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services)
f. Bergerak ke masa depan (moving into the future) (Sumarni Lakoro, dkk. 2019).
4. Strategi Promosi Kesehatan
a. Advokasi
Advokasi (advocacy) adalah kegiatan memberikan bantuan kepada masyarakat
dengan membuat keputusan ( Decision makers ) dan penentu kebijakan ( Policy
makers ) dalam bidang kesehatan maupun sektor lain diluar kesehatan yang
mempunyai pengaruh terhadap masyarakat.   Dengan demikian, para pembuat
keputusan akan mengadakan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk
peraturan, undang-undang, instruksi yang diharapkan menguntungkan bagi kesehatan
masyarakat umum. Srategi ini akan berhasil jika sasarannya tepat dan sasaran
advokasi ini adalah para pejabat eksekutif dan legislatif, para pejabat pemerintah,
swasta, pengusaha, partai politik dan organisasi atau LSM dari tingkat pusat sampai
daerah. Bentuk dari advokasi berupa lobbying melalui pendekatan atau pembicaraan-
pembicaraan formal atau informal terhadap para pembuat keputusan, penyajian isu-
isu atau masalah-masalah kesehatan yang mempengarui kesehatan masyarakat
setempat, dan seminar-seminar kesehatan (Sumarni Lakoro, dkk. 2019).
b. Kemitraan
Di Indonesia istilah Kemitraan  (partnership) masih relative baru, namun
demikian prakteknya di masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak saman dahulu.
Sejak nenek moyang kita telah mengenal istilah gotong royong yang sebenarnya
esensinya kemitraan.
Robert Davies, ketua eksekutif “The Prince of Wales Bussines Leader Forum”
merumuskan, “Partnership is a formal cross sector relationship between individuals,
groups or organization who :
1) Work together to fulfil an obligation or undertake a specific task
2) Agree in advance what to commint and what to expect
3) Review the relationship regulary and revise their agreement as  necessary, and
4) Share both risk and the benefits

cclxxxiv
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemitraan adalah suatu
kerjasama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-
organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut
ada kesepakatan tentang komitmen dan harapan masing-masing, tentang peninjauan
kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat,dan saling berbagi baik
dalam resiko maupun keuntungan yang diperoleh.
Dari definisi ini terdapat tiga (3) kata kunci dalam kemitraan, yakni:
1) Kerjasama antar kelompok, organisasi dan Individu
2) Bersama-sama mencapai tujuan tertentu ( yang disepakati bersama )
3) Saling menanggung resiko dan keuntungan
Pentingnya kemitraan (partnership) ini mulai digencarkan oleh WHO pada
konfrensi internasional promosi kesehatan yang keempat di Jakarta pada tahun 1997.
Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan upaya kerjasama yang saling
memberikan manfaat. Hubungan kerjasama tersebut akan lebih efektif dan efisien
apabila juga didasari dengan kesetaraan.
Peran Dinas Kesehatan dalam Pengembangan Kemitraan di Bidang Kesehatan.
Beberapa alternatif peran yang dapat dilakukan, sesuai keadaan, masalah dan potensi
setempat adalah :
1) Initiator : memprakarsai kemitraan dalam rangka sosialisasi dan operasionalisasi
Indonesia Sehat.
2) Motor/dinamisator : sebagai penggerak kemitraan, melalui pertemuan, kegiatan
bersama, dll.
3) Fasilitator : memfasiltasi, memberi kemudahan sehingga kegiatan kemitraan dapat
berjalan lancar.
4) Anggota aktif : berperan sebagai anggota kemitraan yang aktif.
5) Peserta kreatif : sebagai peserta kegiatan kemitraan yang kreatif.
6) Pemasok input teknis : memberi masukan teknis (program kesehatan).
7) Dukungan sumber daya : memberi dukungan sumber daya sesuai keadaan,
masalah dan potensi yang ada (Sumarni Lakoro, dkk. 2019).
c. Pemberdayaan Masyarakat ( Empowerment )

cclxxxv
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal
dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan
seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain  melakukan
apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial
tradisional menekannkan bahwa kekuasaan berkaitan dengan  pengaruh dan kontrol.
Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah
atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan
senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antara manusia. 
Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan
kekuasaaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan
sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan
kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua
hal :
1) Bahwa kekuasaan dapat berubah, Jika kekuasaan tidak dapat berubah
pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.
2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian
kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Pemberdayaan (Empowernment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian
dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa.
Untuk memahami konsep pemberdayaan secara tepat dan jernih memerlukan upaya
pemahaman latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep tersebut telah
begitu meluas diterima dan dipergunakan, mungkin dengan pengertian presepsi yang
berbeda satu dengan yang lain. Penerimaan dan pemakaian konsep tersebut secara
kritikal tentulah meminta kita mengadakan telaah yang sifatnya mendasar dan jernih.
Konsep pemberdayaan mulia Nampak disekitar decade 70-an, dan kemudian
berkembang terus sepanjang decade 80-an dan sampai decade 90-an atau akhir abad
ke-20 ini. Diperkirakan konsep ini muncul bersamaan dengan aliran-aliran seperti
Eksistensialisme, Phenomelogi, Personalisme, kemudian lebih dekat dengan
gelombang New-Marxisme, freudialisme, aliran-aliran seperti Sturktualisme dan
Sosiologi Kritik Sekolah Frankfurt serta konsep-konsep seperti elit, kekuasaan, anti-

cclxxxvi
astabilishment, gerakan populasi, anti-struktur, legitimasi, ideology, pembebasn dan
konsep civil society.
Istilah Pemberdayaan masyarakat tidak menganut pendekatan mobilisasi tetapi
partisipatif. Pada pendekatan partisipatif ini, perencana, agents dan masyarakat
yang dijadikan sasaran pembangunan bersama-sama merancang dan memikirkan
pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kini telah dijadikan sebuah
strategi dalam membawa masyarakat dalam kehidupan sejahtera secara adil dan
merata. Strategi ini cukup efektif memandirikan masyarakat pada berbagai bidang,
sehingga dibutuhkan perhatian yang memadai. Oleh kerena itu, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Achmad Suyudi mengingstruksikan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menggerakkan masyarakat melakukan upaya-upaya pencegahan
penyakit.
Pemberdayaan masyarakat secara umum lebih efektif jika dilakukan melalui
program pendampingan masyarakat (community organizing and defelopment),
karena pelibatan masyarakat sejak perencanaan (planning), pengorganisasian
(Organising), pelaksanaan (Actuating) hingga evaluasi atau pengawasan
(Controlling) program dapat dilakukan secara maksimal. Upaya ini merupakan inti
dari pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
Pelibatan masyarakat melalui pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen; perencanaan
(Planning), pengorganisasiaa.n (Organising), pelaksanaan (Actuating) hingga
evaluasi atau pengawasan (Controlling) program atau biasa disingkat POAC telah
diadopsi untuk program-program bidang kesehatan. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan derajad kesehatan masyarakat (Sumarni Lakoro, dkk. 2019).

N. Asuhan Keperawatan Kritikal


1. Pengkajian
Dokumentasi pengkajian keperawatan merupakan catatan tentang hasil
pengkajian yang dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dari pasien, membuat
data dasar tentang pasien, dan membuat catatan tentang respon kesehatan pasien.
Pengkajian yang Komprehensif atau menyeluruh, sistemaatis yang logis akan mengarah

cclxxxvii
dan mendukung pada identifikasi masalah-masalah pasien. Masalah-maslah ini dengan
menggunakan data pengkajian sebagai dasar formulasi yang dinyatakan sebagai
diagnosa
keperawatan. Tujuan dari pengkajian adalah untuk mengumpulkan,
mengorganisir, dan mencatat data yang menjelaskan respon manusia yang
mempengaruhi pola-pola kesehatan pasien, serta hasil dokumentasi pengkajian akan
menjadi dasar penulisan rencana asuhan keperawatan (Dinarti, 2017).
a. Anamnesis
Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam anamnesis sebagai berikut:
1) Identitas
a. identitas lansia
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, Pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal masuk panti, nomor register, dan diagnose
medis
b. Identitas Penanggung Jawab
Meliputi Nama, Alamat, Hubungan dengan Lansia, No Telepon.
2) Riwayat Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
Meliputi:
a) Sumber kecelakaan: penyebab dari sumber masalah.
b) Gambaran yang mendalam bagai mana risiko jatuh itu dapat terjadi:
pasien dapat menceritakan bagai mana dapat mengalami jatuh
tersebut.
c) Faktor yang mungkin berpengaruh seperti alkohol, dan obat- obatan.
d) Keadaan fisik disekitar, seperti lantai yang licin dan kurangnya
pencahayaan.
e) Peristiwa yang terjadi saat belum terjatuh sampai terjadinya jatuh.
f) Beberapa keadaan lain yang memperberat berjalan.

b. Masalah Kesehatan Kronis

cclxxxviii
Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkepanjangan dan jarang
sembuh sempurna. Walau tidak semua penyakit kronis mengancam jiwa,
tetapi akan menjadi beban ekonomi bagi individu, keluarga, komunitas
secara keseluruhan. Penyakit kronis akan menyebabkan masalah medis,
sosial dan psikologis yang akan membatasi aktifitas dari lansia sehingga
akan menyebabkan penurunan quality of life (QOL) lansia.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penting untuk menentukan apakah pasien mempunyai penyakit yang dapat
merubah kemampuan gaya berjalan yang menyebabkan risiko jatuh pada
lansia, apakah lansia tersebut memiliki riwayat jatuh atau kecelakaan.
Riwayat jatuh Anamesis ini meliputi:
a) Seputar jatuh: mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset,
tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri
dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar,
sedang batuk atau bersin.
b) Gejala yang menyertai: nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala
tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, sesak nafas.
c) Kondisi komorbid yang releven: pernah stroke, penyakit jantung,
sering kejang, rematik, depresi, defisit sensorik.
d) Riview penggunaan obat-obatan yaitu:antihipertensi, diuretic,
autonomic bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik,
psikotropik.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Meliputi penyakit yang pernah diderita keluarga lansia.

e. Riwayat psikososial dan spiritual


Peranan pasien dalam keluarga, status emosi meningkat, interaksi meningkat, interaksi
sosial terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan, hubungan tetangga yang tidak
harmonis, status dalam berkerja. Dan apakah klien rajin melakukan ibadah sehari-hari.

3) Aktivitas dan istirahat

cclxxxix
Gejala: nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan,memburuk dengan stres pada
sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris.limitasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan.
4) Keamanan (spesifikasi pada lansia dirumah)
Gangguan keamanan berupa jatuh dirumah pada lansia memiliki insiden yang
cukup tinggi, banyak diatara lansia tersebut yang akhirnya cedera berat
bahkan meninggal. Bahaya yang menyebabkan jatuh cenderung mudah dilihat
tetapi sulit untuk diperbaiki, oleh karena itu diperlukan pengkajian yang
spesifik tentang keadaan rumah dan lingkungan sekitar yang terstruktur.
5) Pemeriksaan fisik
a. Status mental
a) Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan
menjadi: composmctis, apatis delirium, samnolen, stupor, dan coma.
b) Glas coma scale
Skala yang digunakan untuk menilai kesadaran pasien. respon yang
perlu diperhatikan
mancapai tiga hal yaitu reaksi membuka mata, bicara dan motorik.
Hasil pemeriksaaan GCS
disajikan dalam bentuk simbul E, V, M dan selanjutnya nilai GCS
tersebut dijumlahkan.
b. Tanda tanda vital
Batas suhu normal suhu saat ini irama dan frekuensi jantung, abdomen,
tekanan darah, pernafasan.
c. Pemeriksaan fisik fokus
Pemeriksaan fokus pada lanjut usia yang memilikiri Risiko untuk Jatuh
meliputi
pemeriksaan mata, pemeriksaan telinga dan pemeriksaan ektermitas.
Semakin bertambahnya usia maka akan semakin tinggi penurunan pada

ccxc
fungsi pendengaran dan penglihatan sehingga menyebabkan jatuh.
Pemeriksaan dengan menggunakan Indek Katz, Indek Barthel dan
Pengkajian Keseimbangan Untuk Lansia.
d. Integritas ego
Gejala : faktor-faktor stres akut dan kronis : misal finansial, pekerjaan,
ketidak mampuan, faktor-faktor hubungan, keputusan dan ketidak
berdayaan (situasi ketidakmampuan) ancaman pada konsep diri, citra
tubuh, identitas pribadi (misalnya tergantungan pada orang lain).
e. Makana dan cairan
Gejala : ketidak mampuan untuk menghasilkan atau mengkonsumsi
makanan dan cairan adekuat : mual, anoreksia, kesulitan untuk
mengunyah. Tanda : penurunan berat badan, kekeringan padamemberan
mukosa
f. Hygiene
Gejala : berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi,
ketergantungan dengan orang lain, tidak dapat melakukan ADL secara mandiri.
g. Neurosensory
Gejala : kebas, semutan, pada tangan dan kaki,hilangnya sensasi pada jari tangan. Tanda:
pembengkakan sendi simetris.
h. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan lunak
pada
sendi).
i. Keamanan
Gejala : kulit mengkilat, tegang, nodul sukutan, lesi kulit, ulkus kaki. Kesulitan dalam
menangani tugas atau pemeliharaan rumah tangga.
j. Interaksi sosial
Gejala : kerusakan interaksi sosial dengan keluarga dan orang lain,
perubahan peran, isolasi.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun

ccxci
ccxcii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan
batasan penduduk lanjut usia menurut badan koordinasi keluarga berencana nasional ada tiga
aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek social menua
(menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan
secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin
rentangnya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta system
organ.

ccxciii
Daftar Pustaka
Agustina. (2018). Keperawatan gerontik. Icme Press.
Agustina, G. D. W. I. (2020). Program diii keperawatan akademi keperawatan kerta cendekia
sidoarjo 2020.
Agustina Maunaturrohmah. (2018). Modul Pembelajaran Keperwatan Gerontik. Icme Press.
Ambardini, R. (2019). Aktivitas Fisik Pada Lanjut Usia. Jurnal Kesehatan, 1(Aktivitas Untuk
Lansia), 1–10.
Bambang Irawan. (2018). Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan Pada Peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 189–197.
Banjarnegara, K. (2018). Gambaran antropometri pada pasien dm tipe 2 di puskesmas
karangkobar kabupaten banjarnegara.
Johanna Christy, L. J. B. (2020). STATUS GIZI LANSIA. CV BUDI UTAMA.
Kizior, R. J. (n.d.). Saunders Nursing Drug Handbook 2019.
Kristianto Dwi Nugroho. (2019). Buku Ajar Keperawatan Pada Lansia. Media Nusa Creative.
Mahendro Prasetyo Kusumo. (2020). Buku Lansia. Lembaga penelitian, publikasi dan
pengabdian.
Muhammad Qasim. (2021). Keperawatan Gerontik. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
Pipit Festi W. (2018). Lanjut Usia Perpektif dan Masalah. UM Surabaya Publishing.
Sayem. (2018). Karya tulis ilmiah ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA LANSIA PADA
KELUARGATN.M DENGAN MASALAH UTAMA OBESITAS PADA NY. K DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS JETIS KOTA YOGYAKARTA. POLITEKNIK KESEHATAN
YOGYAKARTA.
Siti Nur Kholifah. (2016). Keperawatan gerontik. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Sudarto Ronoatmodjo. dkk. (2018). faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
lansia. National Institute of Health Research and Development.
Sunaryo. (2015). Asuhan Keperawatan Gerontik. CV ANDI OFFSET.
Wahyudi Nugroho H. (2017). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. EGC.
Joko Sutrisno, L. I. (2017). ASKEP KEPERAWATAN JIWA .

ccxciv
Nasrullah, D. (2016). Buku Ajar Keperawatan GERONTIK. Jakarta Timur: CV. TRANS INFO
MEDIA.

Samosir, E. F. (2017). Penerapan Asuhan Keperawatan Jiwa .

Settowati, E. W. (2012). ANALISA KONSEP DIRI PADA LANJUT USIA.

Wardani, D. A. (2018). SKRIPSI KONSEP DIRI LANJUT USIA DALAM


MEMPERTAHANKAN.

A.Laksmidewi. (2016). COGNITIVE CHANGES ASSOCIATED WITH NORMAL AGING.


Denpasar , 22-24.

Andria Pragholapati, F. A. (2021). GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANJUT USIA


(LANSIA). Jurnal Mutiara Ners , 14-23.

Ani Kuswati, T. S. (2019). Elderly Empowerment Through The Activities Of Brain Function
Cognitive. Journal of Bionursing .

Mutiara E. Toreh, J. M. (2019). GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANJUT USIA.


Jurnal Sinaps , 33-42.

Pitaloka, M. D. (2019). LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEPERAWATAN


GERONTIK.

PPNI, T. P. (2018). SDKI,SLKI,SIKI. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Rekawati, M. S. (2016). AKTIVITAS FISIK MEMENGARUHI FUNGSI KOGNITIF LANSIA.


Jurnal Keperawatan Indonesia , 71-77.

Lestari, N. F. (2019). LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK.

Meilanny Budiarti Santoso, D. H. (2017). BUNUH DIRI DAN DEPRESI DALAM


PERSPEKTIF PEKERJAAN. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat ,
390 - 447.

Novi Herawati, D. (2019). HUBUNGAN KARAKTERISTIK DENGAN KEJADIAN DEPRESI


PADA LANSIA. Jurnal Keperawatan Jiwa V , 107 - 114.

PPNI, T. P. (2018). SDKI,SLKI,SIKI. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Reno Tyas Sedyo Arum, ,. M. (2017). TINGKAT DEPRESI MEMPENGARUHI


KEMANDIRIAN. GASTER .

ccxcv
Uzlifatul Zannah, I. M. (2018). REVIEW: FARMAKOTERAPI GANGGUAN BIPOLAR.
Farmaka .

Widyastuti, T. (2019). TERAPI MUSIK TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA. Jurnal Ilmiah
PSYCHE , 72 - 81.

Danang Samudro Wicaksono, R. Y. (2020). MANFAAT EKSTRAK DANDELION DALAM


MENCEGAH OSTEOPOROSIS. Jurnal Penelitian Perawat Profesional .

Elsa Adlina Limbong, F. S. (2015: ). RASIO RISIKO OSTEOPOROSIS MENURUT INDEKS


MASSA TUBUH,. Jurnal Berkala Epidemiologi , 194-204.

Geriatri, D. (2017). MANAJEMEN OSTEOPOROSIS PADA LANSIA . Fakultas Kedokteran


Sumatera Utara .

Laras Ristati Eka Widyanti1, I. K. (2017). Hubungan Komposisi Tubuh dengan Kepadatan
Tulang. Indonesian Journal of Human Nutrition .

Nasrullah, D. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN GERONTIK EDISI 1. Jakarta Timur: CV.
TRANS INFO MEDIA.

Nengse, E. C. (2021). KARYA TULIS ILMIAH. kartacendikia .

PPNI, T. P. (2018). SDKI,SLKI,SIKI. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Abdurrachman, D. N. (2019). Pengaruh Cycling Exercise Terhadap Penurunan Nyeri Pada.


JURNAL PENELITIAN IPTEKS , 198-208.

Isnaini Via Zuraiyahya, H. H. (2020). PENGARUH INTERVENSI ALEVUM PLASTER


(ZIBINGER OFFICINALE DAN ALLIUM SATIVUM) TERHADAP NYERI SENDI
PADA LANSIA DENGAN OSTEOARTHRITIS. INDONESIAN JOURNAL OF
COMMUNITY .

Ningrum, N. (2021). KARYA TULIS ILMIAH.

PPNI, T. P. (2018). SDKI,SLKI,SIKI. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Santosa, J. (2018). OSTEOARTRITIS. Simdos.UniversitasUdayana (unu) .

Sitti Mutmainah, A. M. (2019). Manajmen Pasien Osteoatritis Secara Holistik, Komprehensif .


UMI Medical Jurnal .

Winangun. (2019). DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KOMPREHENSIF


OSTEOARTRITIS. Jurnal Kedokteran .

ccxcvi
Zaki, A. (2013). BUKU SAKU OSTEOARTHRITIS LUTUT. Bandung: Celtics Press.

Antoni, G. K. (2019). KARYA TULIS ILMIAH. Pustaka.poltekkes-pdg .

Bactiar, S. M. (2018). PENERAPAN ASKEP DENGAN POST OPERASI FRAKTUR. Jurnal


Media Keperawatan : Polteknik Kesehatan Makasar .

Juli Andri, h. f. (2020). NYERI PADA PASIEN POST OP FRAKTUR EKSTERMITAS


BAWAH DENGAN PELAKSANAAN MOBILISASI DAN AMBULASI. Jurnal op
Telenurshing (JOTING) .

Khoirunisa, E. P. (2019). LAPORAN TUGAS AKHIR ASUHAN KEPERAWATAN POST OP


FRAKTUR. Universitasjember (unej) .

Krisdiyana. (2019). KARYA TULIS ILMIAH. Poltekkes-kaltim .

PPNI, T. P. (2018). SDKI,SLKI,SIKI. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Pratiwi, A. E. (2020). KARYA TULIS ILMIAH. Stikescime .

Sudarmanto, E. (2018). KARYA TULIS ILMIAH. Poltekkesjogja .

Watulangi, F. (2019). KARYA TULIS ILMIAH. Stikesperintis .

Alfinri, L. C. (2018). KARYA TULIS ILMIAH. repository.poltekes-kaltim.ac.id .

Dewi Fitriani, R. D. (2020). BUKU AJAR TBC, ASKEP DAN PENGAWASAN MINUM OBAT .
Jl. Padjajaran Raya No. 1 Pamulang,Tangerang Selatan.: STIkes Widya Dharma Husada
Tangerang.

Erlina, E. (2020). KARYA TULIS ILMIAH STUDI KASUS. repository.pkr.ac.id .

Fitria Saftarina, D. I. (2017). Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis. J


AgromedUnila .

Kristiani, A. S. (2019). KARYA TULIS ILMIAH. Repository.unej.ac.id .

Kristiningrum, E. (2019). Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik. CDK-275 .

Kritina L Silalahi, T. H. (2019). PENGARUH PULSED LIP BREATHING EXERCISE


TERHADAP. Jurnal Keperawatan Priority .

ccxcvii
Nita Arisanti Yulanda, M. (2020). SUPPORTIVE EDUCATIVE TERHADAP
PENGETAHUAN SELF CARE DAN. Jurnal Ilmu Kesehatan .

Permatasari, C. Y. (2016). SKRIPSI Studi penggunaan Kortikosteroid. ADLN-


PERPUSTAKANUNIVERSITASAIRLANGGA .

PPNI, T. P. (2018). SDKI,SLKI,SIKI. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Putri, S. T. (2017). KARYA TULIS ILMIAH. Pustaka.Poltekes .

Susanto, A. D. (2021). PERMASALAHAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


(PPOK). JURNAL RESPIROLOGI INDONESIA .

ccxcviii

Anda mungkin juga menyukai