Oleh :
Alfia Dwi Sunarto
NIM. 131611133105
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul....................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ ii
ii
2.3. Susu Kedelai ....................................................................................... 11
2.3.1. Kandungan Susu Kedelai .................................................. 11
2.3.2. Manfaat Susu Kedelai ....................................................... 11
2.3.3.
2.4. Keaslian penelitian ............................................................................ 11
Lampiran ............................................................................................................... 2
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lansia sebagai fase terakhir kehidupan mengalami berbagai kemunduran
dan perubahan baik secara biologis, fisiologis, psikologis maupun sosial.
Berbagai perubahan dan kemunduran dialami oleh lansia merupakan hal yang
natural akibat proses penuaan yang terjadi. Salah satu perubahan yang dialami
lansia adalah pola tidur. Perubahan pola tidur seringkali membuat waktu tidur
lansia berkurang. Pada kasus yang serius, akan muncul gejala Insomnia.
Insomnia lebih sering terjadi pada Lansia (Nilam P.I Warni Sayekti1, 2015).
Kasus Insomnia seringkali diabaikan dan tidak terlalu diperhatikan. Hanya
sebagian kecil saja penderita Insomnia yang melaporkannya pada pelayanan
kesehatan padahal dampak yang ditimbulkannya cukup berat.
Selama kurun waktu hampir 50 tahun (1971-2018), persentase penduduk
lansia Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat. Pada tahun 2018, persentase
lansia mencapai 9,27 persen atau sekitar 24,49 juta orang. Adapun persentase
lansia di Indonesia didominasi oleh lansia muda (kelompok umur 60-69 tahun)
yang persentasenya mencapai 63,39 persen, sisanya adalah lansia madya
(kelompok umur 70-79 tahun) sebesar 27,92 persen, dan lansia tua (kelompok
umur 80+) sebesar 8,69 persen (Mega Silviliyana, et al .2018). Prevalensi
Insomnia di Indonesia pada lansia cukup tinggi, yaitu sebesar 67%. Penuaan
dapat mengubah pola tidur seseorang. Pada usia sekitar 50 tahun, mulai terjadi
penurunan gelombang tidur sehingga pada usia tua kuantitas tidur yang dalam
pada seseorang akan berkurang (Nilam P.I Warni Sayekti1, 2015).
Kebutuhan tidur akan berkurang dengan semakin lanjut usia seseorang.
Sebagian besar kelompok usia lanjut mempunyai risiko mengalami gangguan
pola tidur sebagai akibat pensiun, perubahan lingkungan sosial, penggunaan
obat-obatan yang meningkat, penyakitpenyakit dan perubahan irama sirkadian.
Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur yang buruk pada lansia dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak
fisiologi meliputi penurunan aktifitas sehari-hari, rasa lelah, lemah, proses
penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda
1
vital (Briones et al.,1996), sedangkan dampak psikologi meliputi perubahan
pada suasana kejiwaan, cemas, tidak konsentrasi, koping tidak efektif, dan lesu
(Lanywati, 2001). Akibat gangguan tidur, deprivasi tidur, dan rasa mengantuk
yaitu penurunan produktivitas, penurunan performa kognitif, peningkatan
kemungkinan kecelakaan, risiko morbiditas, dan mortalitas yang lebih tinggi,
dan penurunan kualitas hidup. Selain itu, muncul juga ketidakbahagiaan,
dicekam kesepian dan yang terpenting mengakibatkan penyakit-penyakit
degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut, perburukan, dan
menjadi tidak terkontrol.
Penanganan untuk Insomnia dibagi menjadi 2 jenis, yaitu terapi
farmakologis dan non-farmakologis. Terapi farmakologis merupakan
pengobatan utama dalam penanganan gejala Insomnia dengan menggunakan
obat-obatan yang termasuk dalam golongan obat sedativehypnotic,
antihistamin, antidepresan, antipsikotik dan antikonvulsan. Namun dalam
faktanya terapi farmakologis memiliki efek samping yang kurang
menguntungkan, terutama pada lansia. Untuk itu, perlu langkah lain untuk
mengatasi gejala Insomnia yaitu dengan terapi non-farmakologis. Salah satu
cara untuk meningkatkan kualitas tidur adalah dengan pemberian diet kaya
triptofan saat sebelum tidur. Triptofan merupakan salah satu jenis asam amino
esensial yang harus didapatkan dari diet. Studi menunjukkan bahan makanan
dengan kadar triptofan yang tinggi diketahui dapat meningkatkan kualitas tidur.
Oleh karena itu, terdapat anjuran untuk mengonsumsi diet yang kaya triptofan
sebelum tidur agar tubuh dapat beristirahat dengan baik (Wahyu, 2018).
Pemberian triptofan pada penderita insomnia secara signifikan dapat
meningkatkan kualitas tidur berkaitan dengan waktu permulaan tidur yang lebih
cepat. Hal ini karena asam amino tersebut merupakan prekursor melatonin yaitu
hormon yang dapat membuat tidur lebih nyenyak (Wahyu, 2018).
Berdasarkan data dari United States Departement of Agriculture (USDA)
National Nutrient Database for Standard Reference Release 28 (2015), salah
satu bahan makanan yang kaya triptofan adalah kedelai yaitu 575 mg dalam 100
gram. Namun, selama ini belum ada studi yang meneliti tentang pengaruh
kedelai terhadap kualitas tidur. Oleh karena itu, peneliti memilih produk olahan
2
kedelai untuk diteliti dalam studi ini yaitu pre-bed drink berupa susu kedelai.
Produk olahan berupa minuman tersebut dipilih karena berdasarkan studi yang
dilakukan Sen et al. (2015) meminum minuman yang hangat sebelum tidur
dapat membantu merehidrasi tubuh.
Dengan adanya penelitian ini maka akan diketahui pengaruh pemberian
produk olahan kedelai berupa susu kedelai terhadap kualitas tidur lansia. Produk
olahan dari kedelai ini diharapkan dapat digunakan sebagai intervensi dalam
menangani penurunan kualitas tidur yang sering dialami oleh lansia.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini digunakan untuk mengembangkan keilmuan
keperawatan di Panti Werdha.
1.4.2 Manfaat praktis
a. Bagi Panti Werdha
Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan sebgai intervensi
alternatif dalam terapi non farmakologis untuk mengatasi masalah
3
gangguan tidur pada lansia di UPTD Griya Werdha Jambangan
Surabaya
b. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi profesi
keperawatan khususnya dalam keperawatan gerontik dalam hal
perencanaan dan pemberian intervensi, sehingga dapat
meningkatkan kualitas dan kapabilitas pelayanan keperawatan
gerontik di Panti Werdha
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
diatas 90 tahun (Murwani and Priyantini, 2010). Departemen
Kesehatan RI (2013) mengklasifikasikan umur Lansia menjadi 3
tahapan :
1. Perubahan Fisiologis
a. Sistem integumen
6
vaskularisasi serta berkurangnya fungsi kelenjar keringat. Kulit juga
menjadi keriput karena jaringan lemak yang mulai hilang,
permukaan kulit menjadi kasar dan bersisik serta mekanisme
proteksi kulit mulai menurun (Mubarak et al., 2015).
b. Sistem Muskuloskeletal
c. Sistem Pernafasan
d. Sistem Kardiovaskuler
e. Sistem Genitourinaria
7
meningkat pada lansia. Kandung kemih yang sulit untuk
dikosongkan menyebabkan peningkatan retensi urin. Hal tersebut
menyebabkan lansia rentan mengalami infeksi saluran kemih karena
adanya sisaa air kencing di kandung kemih (Santoso dan Ismail,
2009).
2. Perubahan Sosial
3. Perubahan Psikologis
1) Immobility
2) Instability
3) Incontinence
4) Intellectual Impairment
5) Infection (infeksi)
8
panca indera, komunikasi, penyembuhan dan kulit).
9
organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobi dan
sebagainya.
d. Kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan
harga diri untuk diakui akan keberadaannya.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah
kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik, rohani
maupun daya pikir berdasar pengalamannya masing- masing,
bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan. Sejak
awal kehidupan sampai berusia lanjut setiap orang memiliki
kabutuhan psikologis dasar. Kebutuhan tersebut diantaranya
orang lanjut usia membutuhkan rasa nyaman bagi dirinya
sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada.
Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut tergantung pada diri
orang lanjut usia, keluarga dan lingkungannya. Jika kebutuhan-
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-
masalah dalam kehidupan orang lanjut usia yang akan
menurunkan kemandiriannya (Ramadhani, 2014)
10
sebagai suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status
keadaan yang terjadi selama periode tertentu (Perry & Potter).
11
efisiensi tidur berkurang, dengan waktu yang lebih lama di tempat
tidur namun lebih singkat dalam keadaan tidur.
12
c.) Tidur stadium 3 (N3 )
Setelah kira-kira 10 menit dalam tahap N2, maka akan masuk
ke stadium tidur yang lebih dalam, yaitu tahap stadium 3 (N3)
atau sering disebut tidur slow wave karena gelombang otak
semakin melambat dengan frekuensi yang lebih rendah. Pada
gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris
antara 25%- 50% serta tampak gelombang sleep spindle. Dalam
stadium ini hormone pertumbuhan (growth hormon) dan
prolaktin dikeluarkan oleh tubuh untuk pertumbuhan pada bayi
dan perbaikan untuk mempertahankan keutuhan maupun
kemudaan jaringan tubuh.Sementara prolaktin adalah hormon
yang banyak terdapat pada ibu menyusui maka semakin tinggi
pula produksi prolaktin. Namun fungsi pada saat tidur belum
dapat dijelaskan.
d.) Tahap tidur REM
Dari tahap N3 biasanya akan terus meningkat dan kembali pada
tahap N2. EEG akan menunjukkan aktivitas otak yang
meningkat secara drastis, yang pertanda seseorang memasuki
tahap tidur R (REM) atau hanyut dalam mimpi. Tahap ini tubuh
tidak bisa menerima rangsangan apa pun, karena tubuh tidak
merespon aktivitas otak yang menimbulkan lumpuh sesaat.
13
tidur dalam. Seorang usia lanjut yang terbangun lebih sering pada
malam hari, dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur.
Tetapi pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan
fisiologis dan psikologis dalam penuaan lebih mudah
mempertahankan tidur REM (Perry & Potter, 2005).
14
cukup tidur (Japardi, 2002). Menurut Hidayat (2008), insomnia
dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
a. Insomnia initial, yang merupakan ketidakmampuan untuk jatuh
atau mengawali tidur.
b. Insomnia intermiten, yang merupakan ketidakmampuan
memepertahankan tidur atau keadaan sering terjaga dari tidur.
c. Insomnia terminal, yang merupakan ketidakmampuan untuk
tidur kembali setelah bangun tidur pada malam hari.
Sedangkan menurut Stanley (2006), insomnia dibagi menjadi :
a. Jangka pendek Berakhir beberapa minggu dengan muncul
akibat pengalaman stress yang bersifat sementara seperti
kehilangan orang yang dicintai, tekanan di tempat kerja.
Biasanya kondisi ini dapat hilang 21 tanpa intervensi medis
setelah orang itu beradaptasi dengan stressor,
b. Sementara Biasanya disebabkan oleh perubahan-perubahan
lingkungan seperti konstruksi bangunan yang bising atau
pengalaman yang menimbulkan ansietas.
c. Kronis Berlangsung selama 3 minggu atau seumur
hidup.Disebabkan kebiasaan tidur yang buruk, masalah
psikologis, penggunaan obat tidur yang berlebihan, penggunaan
alkohol yang berlebihan.Empat puluh persen insomnia kronis
disebabkan oleh masalah fisik seperti apnea tidur, sindrom kaki
gelisah, atau nyeri kronis.
15
mengandung kolesterol sehingga cukup baik bagi kesehatan. Selain itu susu
kedelai tidak mengandung laktosa sehingga dapat dikonsumsi oleh
penderita Lactose Intolerant. Kedelai dipilih sebagai bahan baku susu
karena memiliki kandungan gizi yang tinggi. kadar protein kedelai memang
paling tinggi dibandingkan dengan golongan kacang-kacangan lain. Susu
kedelai merupakan minuman yang bergizi tinggi, terutama karena
kandungan proteinnya. Selain itu susu kedelai juga mengandung lemak,
karbohidrat, kalsium, phosphor, zat besi, provitamin A, Vitamin B
kompleks (kecuali B12) dan air. Selain itu, susu kedelai mengandung asam
amino triptofan yang merupakan produk awal hormon melatonin yang
membantu otot-otot yang semula tegang bisa kembali rileks, serta
meningkatkan kualitas tidur dan membantu tekanan darah dalam kondisi
stabil.
Triptofan merupakan salah satu jenis asam amino esensial yang
harus didapatkan dari diet. Studi menunjukkan bahan makanan dengan
kadar triptofan yang tinggi diketahui dapat meningkatkan kualitas tidur.
Oleh karena itu, terdapat anjuran untuk mengonsumsi diet yang kaya
triptofan sebelum tidur agar tubuh dapat beristirahat dengan baik (Widodo
et al., 2014). Pemberian triptofan pada penderita insomnia secara signifikan
dapat meningkatkan kualitas tidur berkaitan dengan waktu permulaan tidur
yang lebih cepat. Hasil yang sejalan juga terjadi pada orang normal yang
tidak menderita insomnia yang diberi triptofan lebih cepat merasa
mengantuk daripada yang tidak diberikan perlakuan (Silber dan Schmitt,
2009). Hal ini karena asam amino tersebut merupakan prekursor melatonin
yaitu hormon yang dapat membuat tidur lebih nyenyak (Zagajewski et al.,
2012). Melatonin disintesis di pineal, salah satu bagian dari hipotalamus dan
disekresikan ketika malam hari (Wada et al., 2013). Berdasarkan data dari
United States Departement of Agriculture (USDA) National Nutrient
Database for Standard Reference Release 28 (2015), salah satu bahan
makanan yang kaya triptofan adalah kedelai yaitu 575 mg dalam 100 gram.
16
No JUDUL METODE HASIL
1. Studi Komparasi Metode: quasy Hasil penenlitian pada
Minum Susu Hangat experimental pra-post remaja SMK Kota
Dan Teh Chamomile test design Yogyakarta sebagian
Hangat Terhadap D: deskriptif mengalami
Pemenuhan kuantitatif nomophobia dengan
Kebutuhan Tidur S: 540 siswa kategori tinggi.
Lansia (Widodo et al., V: Nomophobia,
2014) telepon gemgam
I: skala nomophobia
A: standar deviasi dan
mean
2. Culture and Metode: Kuantitatif Hasil penelitian bahwa
nomophobia: The role S: 485 mahasiswa kolektivitas ventrikal
of vertical versus V: Nomophobia, secara positif
horizontal collectivism budaya yang dianut, berhubungan dengan
in predicting kolektivisme vertikal, nomphobia, sedangkan
nomophobia (Arpaci, kolektivisme tidak ada hubungan
2019) horisontal signifikan antara
I: The nomophobia kolektivisme horisontal
kuesioner (NMP-Q) dan nomophobia
17
students (Gutiérrez- S: 258 peserta, 130: tinggi mengalami
puertas, Márquez- Spanyol dan 128: nomofobia, siswa
hernández, & São- Portugal portugis merasa lebih
romão-preto, 2019) V: Nomophobia, cemas dibandingkan
smartphone, siswa dengan siswa spanyol,
keperawatan karena penggunaan
I: Kuesioner ponsel pada siswa
A: program statistik portugis lebih besar
SPSS versi 22 dari siswa spanyol.
18
BAB 3
KERANGKA KONSEP
kejadian nomophobia pada mahasiswa. Kerangka pikir penelitian terdiri dari faktor
responden.
Faktor Internal
- Tingkat penggunaan ponsel
- Kebiasaan menggunakan
ponsel
- Ketergantungan yang
berdampak kecemasan
- Pengalaman Individu Aspek-Aspek Nomophobia
menggunakan ponsel - Tidak bisa
Nomophobia berkomunikasi
- Kehilangan Koneksi
- Tidak bisa mengakses
informasi
- Kehilangan
Faktor Eksternal kenyamanan
- Faktor lingkungan
- Faktor pola pengasuh
- Faktor sosial ekonomi
19
Keterangan :
:
Diteliti
: Tidak
Diteliti
Sedangkan faktor eksternal meliputi, lingkungan, pola asuh dan sosial ekonomi.
3.2 Hipotesis
(H1) Penelitian ini terdapat adanya kejadian nomophobia pada kalangan mahasiswa
20
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Penelitian eksperimen semu
(Quasy – experimental ) dengan jenis pendekatan Pre Post Test Control Design.
Peneliti berusaha mencari pengaruh dari pemberian susu kedelai terhadap
kualitas tidur lansia yang tinggal di Panti Werdha Jambangan Surabaya.
Rancangan ini menggunakan kelompok perlakuan yang diberikan segelas susu
kedelai sebelum tidur sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.
Pada penelitian ini peneliti melakukan pengukuran tingkat kualitas tidur lanisa
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pada kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol.
4.2 Populasi, Sampel dan Sampling
4.2.1 Populasi
Penelitian kuliatitatif tidak menggunakan istilah populasi,
Apradley menamakan “Social Situation” atau situasi sosial yang
terdiri dari tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actros), dan
aktivitas (activity) yang berinteraksi dengan cara sinergis. Populasi
tidak digunakan dalam penelitian kualitatif karena penelitian
kualitatif berasal dari kasus tertentu disituasi sosial dan hasil
kajiannya tidak diberlakukan ke populasi tetapi dikirimkan ketempat
lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi
sosial pada kasus yang dipelajari (Sugiyono, 2016).
4.2.2 Sampel
Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan
responden, tetapi sebagai narasumber, partisipan, informan, teman
dan guru dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif juga
bukan disebut statistik, tetapi sampel teoritis karena tujuan
penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Sampel dalam
penelitian kualitaif disebut sebagai sampel konstruktif. Peneliti
21
mengambil 18 partisipan sebagai sampel penelitian yang diperoleh
serta mendapatakan jawaban jenuh dari seluruh responden.
Kriteria inkulsi adalah karateristik subjek yang akan diteliti.
Berikut kriteriannya meliputi:
1) Mahasiswa yang mengalami nomophobia
2) Mahasiswa berusia 18-25 tahun
3) Mahasiswa yang mengalami nomophobia tergolong tingkat
rendah, sedang maupun tinggi
4) Bisa diajak berkomunikasi dengan baik
4.2.3 Sampling
Teknik sampling menggunakan nonprobability sampling
dengan jenis purposive sampling. Purposive sampling atau disebut
judgement sampling merupakan suatu teknik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti (Tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga
sampel dapat mewakili karateristik populasi yang dikenal
sebelumnya (Nursalam, 2008).
22
yang terjadi, NMP-Q (Nomophobia Questionnaire) ini cukup efektif
untuk megukur tingkat kejadian nomophobia.
Kuesioner NMP-Q dimodifikasi ke bahasa indonesia dengan
ijin dari peneliti (Lee et al., 2018), kemudian diujikan ke beberapa
kelompok untuk kefektifan menggunakan bahasa indonesia.
Selanjutnya untuk menentukan responden peneliti mebagikan
kuesioner secara online kepada mahasiswa, setelah menentukan
responden, peneliti melakukan wawancara secara mendalam.
Wawancara ini untuk memeperoleh keterangan dan informasi
dengan cara taya jawab sambil beratatap muka dengan responden,
saat wawacara peneliti memperhatikan intonasi suara, gaya
berbicara, sebsitifitas pertanyaan, kontak mata dan kepekaan
nonverbal.
Pada proses wawancara sebelum memulai dilakukan
pengisian:
1) Kode klien
Keamanan penamaan pada responden sebagai
objek peneliti dengan memberikan kode untuk
menjamin kerahasiaan. Pengkodean responden
bedasarkan urutan wawancara responden.
2) Tanggal wawancara
Perancanaan tanggal wawancara dilakukan oleh
peneliti untuk memvalidasi hari dan tanggal
pelaksanaan ketika wawancara dilakukan.
23
responden. Peneliti mengupayakan untuk menyaipakan ruang
diskusi khusus yang menjaga privasi dan menjaga agar lingkungan
di area kampus Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga, jika
responden menginginkan untuk wawancara di luar area kampus
Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga, maka peneliti
mengikuti sesuai kesepakatan demi kenyamanan responden.
4.4.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksanakan selama satu bulan pada
tahun 2019, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data selama
satu bulan hingga pelaksanaan publikasi di tahu 2019.
24
sertapartisipan dapat fokus memberikan informasi dalam proses
wawancara.
2) Tahap pelaksanaan.
Pada tahap wawancara dilakukan dengan tifa fase yaitu:
1. Fase orientasi
Fase ini dilakukan dengan memulai obralan ringan agar responden
lebih rileks dan nyaman untuk berbicara. Peneliti menjelaskan tujuan
dan alat yang akan digunakan untuk wawancara, kemudian peneliti
meminta ijin menggunakan recoder untuk merekam selama
wawancara. Peneliti membuat responden dengan suasana senyaman
mungkin. Untuk tempat wawancara yaitu kesepakatan anaara
responden dan peneliti, peneliti mengikuti responden demi
kenyamanan saat dilakukan wawacara. Peneliti dan pasrtisipan
saling berhadapan dan erarak kurang lebih 50 cm. Peneliti membuat
responden untuk percaya sehingga terjalin kepercayaan antaran
responden dan peneliti, maka peneliti mulai melakukan wawancara
mendalam.
2. Fase kerja
Wawancara mendalam dilakukan dengan membuat prolog sesuai
dengan menggali data demografi responden. Peneliti mencoba
pembicaraan dengan membangun bina hubungan saling percaya
(BHSP) agar tercipta kepercayaan yang kuat dengan peneliti,
sehingga seluruh informasi mudah didapatkan secara mendalam.
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kepada responden
“Sudah berapa lama tidak bisa jauh dari ponsel?, atau Bagaimana
perasaan anda jika jauh dari ponsel?, atau Sudah berapa lama
menggunakan ponsel?”. Pertanyaan tersebut untuk memulai proses
wawancara agar bisa masuk ke pertanyaan inti sesuai dengan
pedoman wawancara. Peneliti mengikuti arah jawaban yang
diberikan oleh reponden. Ketika responden tidak mampu
memberikan informasi, peneliti mencoba memberikan ilustrasi atau
gambaran yang hampir sama dengan pertanyaan peneliti kemudian
25
memepersilakan lagi responden untuk menjawab pertanyaan dari
peneliti.
Traskip dilakukan secara perkata dan dilihat lagi keakuratan datanya
dengan endengarkan kembali hasil rekaman wawancara serta
menggabungkan dengan catatan lapangan dan membaca berulang-
ulang hasil tarnskip. Hal ini dilakukan agar hasil transkip lebih
akurat.
3. Fase terminasi
Wawancara dalam proses ini diterminasi ketika responden telah
menjawab semua pertanyaan, peneliti menutup wawancara dengan
menggungkapkan terima kasih kepada responden atas kesediaan dari
responden dalam terlaksanaanya wawancara. Peneliti membuat
kontak kembali untuk pertemuan selanjutnya dengan responden
yaitu dengan tujuan untuk melakukan validasi data.
3) Tahap terminasi
Peneliti berkunjung kembali ke temapt yang sudah disetujui antara
responden dengan penelitian dan sesuai jadwal yang sudah disepakati.
Tujuan peneliti berkunjung untuk melakukan validasi transkip vabratim
dan rekaman wawancara. Responden yang menyatakan isi wawancara
sudah sesuai dengan memberikan tandatangan pada transkrip.
Kemudian peneliti menyerahkan tanda terimaksih kepada responden
karena telah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini.
4.6 Kerangka Kerja
Kerangka kerja penelitian kualitatif gambaran kejadian nomophobia di
kalangan mahasswa Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga
Surabaya direncanakan seperti gambar bagan berikut:
26
Gambar 4.1 Kerangka kerja penelitian gambaran
nomophobia pada kalangan mahasiswa di
Falkutas Keperawatan Universitas
Airlangga
27
kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting untuk dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data
kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang
diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi
hipotesis (Sugiyono, 2016).
4.7.1 Proses Analisis data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak
sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di
lapangan. penelitian fenomenologi menggunakan analisis pernyataan
signifikan, pembentukan unit makna. Penelitian ini menggunakan
metode analisis Creswell (2016) dimana terdapat 6 langkah analisis
dalam ilustrasi gambar berikut:
28
Gambar 4.2 Ilustrasi analisis data penelitian kualitatif gambaran
kejadian nomophobia pada kalangan mahasiswa di
Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga.
29
(4) Ringkas topik tersebut menjadi kode – kode, lalu tulis
kode tersebut dalam segmen/kategori. Amati kembali
kategori yang sudah dibuat dengan teliti sehingga
tidak ada yang terlewat.
(5) Membuat satu kalimat/frasa/kata yang paling cocok
untuk mengambarkan topik – topik yang sudah
diperoleh sebelumnya, kemudian masukan topik
tersebut dalam kategori–kategori khusus. Mencoba
meringkas kategori yang ada dengan mengelompokan
topik– topik yang saling berhubungan satu dan yang
lain. Membuat garis antar kategori untuk menunjukan
keterhubungannya.
(6) Jika masih memungkinkan, meringkas kembali
kategori tersebut lalu disusun dalam bentuk kode.
(7) Memasukan materi data ke dalam setiap kategori
tersebut dan bersiap untuk melakukan analisis awal.
(8) Apabila diperlukan dapat dilakukan coding kembali
data yang sudah ada.
30
Prinsip etik respect for persons adalah partisipan
memiliki kewenangan penuh dan hak dalam membuat
keputusan secara sadar dan dapat dipahami dengan baik.
Partisipan memiliki kebebasan tanpa ada paksaan untuk
berpartisipasi maupun menolak keikutsertaan dalam
penelitian ini ataupun mengundurkan diri saat proses
penelitian (D. F. Polit and Beck, 2012). Peneliti
menemui partisipan dikediamannnya untuk memberi
penjelasan tujuan, manfaat, prosedur, serta peran calon
partisipan. Peneliti juga meminta calon partisipan untuk
menandatangani informed consent sebagai partisipan.
Peneliti memberikan kesempatan partisipan
mempertimbangkan keputusan untuk ikut serta atau
menolak dalam penelitian. Jika calon partisipan tidak
bersedia untuk terlibat dalam penelitian maka peneliti
tidak memaksakan untuk menandatangani informed
consent.
Selain itu, peneliti juga memberikan kebebasan bagi
partisipan untuk bercerita, jika memang ada hal-hal
yang tidak ingin diutarakan penderita kanker serviks
karena berkaitan dengan persoalan pribadi, maka
peneliti tidak memaksakannya. Peneliti juga
memberikan kebebasan kepada partisipan untuk
mengundurkan diri dari penelitian. Kemudian,
pemilihan lokasi wawancara ditawarkan kepada
partisipan. Hal ini sebagai bentuk penghormatan
terhadap hak partisipan dan demi kenyamanan dalam
proses wawancara sehingga partisipan dapat
menceritakan pengalamannya dengan mengganti nama
partisipan dengan kode partisipan yaitu P1, P2, dan
seterusnya. Sedangkan untuk confidentiality, peneliti
menjamin kerahasian informasi dan data yang diperoleh
31
partisipan.
3) Justice
Prinsip etik justice yaitu semua partisipan diperlakukan
dengan pendekatan dan prosedur yang sama, tanpa
membedakan satu sama lain. Peneliti memberikan alur
pertanyaan yang sama kepada setiap partisipan sesuai
dengan panduan wawancara. Selama menggali data, peneliti
tidak hanya bersikap sebagai seorang yang profesional dan
berkepentingan terhadap data penelitian, akan tetapi peneliti
juga memberikan bantuan kepada partisipan terkait hal-hal
32
yang masih menjadi kesulitan bagi partisipan. Saat
partisipan kurang memahami pertanyaan, maka peneliti
berupaya agar pertanyaan menjadi lebih mudah dipahami.
Selain itu peneliti juga membantu partisipan jika mengalami
kesulitan dalam menemukan kata yang sesuai dengan apa
yang ingin diungkapkan tanpa berupaya untuk
mengarahkan jawaban. Proses semacam ini diperbolehkan
dalam penelitian fenomenologi.
33
terkumpulnya data tersebut. Triangulasi metode berupa
penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal,
seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang
ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancara
dilakukan. Dalam hal ini adalah melibatkan mahasiswa
dengan responden partisipan untuk konfirmasi.
34
menggunakan sudut pandang partisipan sehingga deskripsi
dari fenomena yang diamati adalah murni dari sudut
pandang partisipan tanpa inferensi dengan sudut pandang
peneliti. Transferability juga diperoleh melalui metode
penggalian data yang sama antar partisipan, serta bentuk-
bentuk pertanyaan yang sama. Alur wawancara pun telah
dilakukan sama antar partisipan.
35
diteliti, istrumen pengumpulan data, keterbatasan waktu atau
penelitian dan lainnyayang dipandang perlu.
36
37
DAFTAR PUSTAKA
Adawi, M., Zerbetto, R., Re, T. S., Bisharat, B., Mahamid, M., Amital, H., …
Bragazzi, N. L. (2019). <p>Psychometric properties of the Brief Symptom
Inventory in nomophobic subjects: insights from preliminary confirmatory
factor, exploratory factor, and clustering analyses in a sample of healthy Italian
volunteers</p>. Psychology Research and Behavior Management, Volume 12,
145–154. https://doi.org/10.2147/prbm.s173282
Ahmed, S., Pokhrel, N., Roy, S., Samuel, A. J., Olahraga, D. F., Fisioterapi, M., &
Markandeshwar, M. (2019). Dampak nomophobia : Sebuah kecanduan
nondrug kalangan mahasiswa tentu saja fisioterapi menggunakan survei
cross-sectional secara online. 77–80.
Adawi, M., Zerbetto, R., Re, T. S., Bisharat, B., Mahamid, M., Amital, H., …
Bragazzi, N. L. (2019). <p>Psychometric properties of the Brief Symptom
Inventory in nomophobic subjects: insights from preliminary confirmatory
factor, exploratory factor, and clustering analyses in a sample of healthy
Italian volunteers</p>. Psychology Research and Behavior Management,
Volume 12, 145–154. https://doi.org/10.2147/prbm.s173282
Ahmed, S., Pokhrel, N., Roy, S., Samuel, A. J., Olahraga, D. F., Fisioterapi, M., &
Markandeshwar, M. (2019). Dampak nomophobia : Sebuah kecanduan
nondrug kalangan mahasiswa tentu saja fisioterapi menggunakan survei
cross-sectional secara online. 77–80.
Ali, A., Muda, M., Ridzuan, A. R., Nuji, M. N. N., Izzamuddin, M. H. M., &
Latiff, D. I. A. (2017). The relationship between phone usage factors and
nomophobia. Advanced Science Letters, 23(8), 7610–7613.
37
38
https://doi.org/10.1166/asl.2017.9534
Arpaci, I. (2019). Culture and nomophobia: The role of vertical versus horizontal
collectivism in predicting nomophobia. Information Development, 35(1), 96–
106. https://doi.org/10.1177/0266666917730119
Arpaci, I., Baloğlu, M., & Kesici, Ş. (2019). A multi-group analysis of the effects
of individual differences in mindfulness on nomophobia. Information
Development, 35(2), 333–341. https://doi.org/10.1177/0266666917745350
Hamza Muhammad, I.-U.-H., Hamid, S., Nadir, M., & Mehmood, N. (2018).
Psychosocial interventions for technological addictions. Indian Journal of
Psychiatry, 60, 109–113.
https://doi.org/10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry
Lee, S., Kim, M., Mendoza, J. S., & McDonough, I. M. (2018). Addicted to
cellphones: exploring the psychometric properties between the nomophobia
questionnaire and obsessiveness in college students. Heliyon, 4(11), e00895.
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2018.e00895
Lucia, A., King, S., Valença, A. M., Silva, A. C., Sancassiani, F., Machado, S., &
Nardi, A. E. (2014). “ Nomophobia ”: Impact of Cell Phone Use Interfering
38
39
Ma, J., & Liu, C. (2018). Evaluation of the factor structure of the Chinese version
of the nomophobia questionnaire.
Nilam P.I Warni Sayekti1, L. Y. H. (2015). Analisis risiko depresi, tingkat. Vol. 3,
181–193.
Ozdemir, B., Cakir, O., & Hussain, I. (2018). Prevalence of Nomophobia among
university students: A comparative study of Pakistani and Turkish
undergraduate students. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Technology Education, 14(4), 1519–1532.
https://doi.org/10.29333/ejmste/84839
39
40
Prasad, M., Patthi, B., Singla, A., Gupta, R., Saha, S., Kumar, J. K., … Pandita, V.
(2017). Nomophobia: A cross-sectional study to assess mobile phone usage
among dental students. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 11(2),
ZC34–ZC39. https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/20858.9341
Widyastuti, D. A., Muyana, S., Universitas, K., & Dahlan, A. (2018). Potret
Nomophobia ( No Mobile Phone Phobia ) di Kalangan Remaja. 4(1), 62–71.
LAMPIRAN
Fakta 1:
1. Nomophobia dianggap sebagai gangguan dunia modern yang berasal dari
kemajuan teknologi yang telah dihasilkan oleh komunikasi virtual
(Olivencia-carrión et al., 2018).
2. Nomophobia merupakan suatu kondisi ketakutan modern karena tidak dapat
berkominakasi melalui Mobile Phone (MP) maupun internet (Lin et al.,
2018).
3. Nomphobia merupakan gangguan yang disebabkan oleh pengguna
smartphone, dalam istilah akromi “No Mobile Phone Phobia’ adalah rasa
40
41
takut seseorang ketika tidak dapat menggunakan ponsel atau jauh dari
ponsel (Arpaci, 2019).
4. Laporan kasus menurut International Telecommunication Union (2016)
penggunaan Mobilebroadband melebihi 90% dari negara maju pada akhir
tahun 2016, angka tersebut menunjukan bahwa orang secara bertahap
menjadi ketergantungan pada perangkat mobile mereka, dan menyebabkan
masalah yang terkait dengan perangkat mobile terhadap individu akan
meningkat dari sebelumya (Arpaci, 2019).
5. Nomophobia mengacu pada perasaan yang tidak nyaman atau kecemasan
yang dialami individu ketika individu tidak dapat menggunakan ponsel atau
memanfaatkan perangkat yang ada diponsel mereka (Arpaci, 2019).
6. Individu yaang mengalami nomophobia, cenderung berlebihan memeriksa
pesan atau media sosial yang berlebihan karena takut kehilangan koneksi
dan kehilangan untuk mengakses informasi (Lee et al., 2018).
41
42
menonton televisi melalui ponsel sebelum tidur dan tujuh puluh dua persen
(72%) ponsel tidak bisa jauh dari lima langkah kaki mereka (Ozdemir et al.,
2018).
11. Nomophobia terjadi rasa ketidaknyamanan, kegelisahan, kegugupan atau
kesedihan ketika tidak bisa berhubungan ponsel, hal ini mengarah pada
perilaku adiksi (Widyastuti et al., 2018).
12. Nomophobia menyerupai perilaku gangguan kepribadian terutama obsesif
compulsiveness, karena nomphobia merupakan penyakit klinis jangka baru
di bidang psikologis (Lee et al., 2018).
13. Dalam penelitian (Ozdemir et al., 2018),mengungkapkan bahwa
42
43
Spider Web
43
44
1. Literature Review
2. Kerangka Konsep
3. Tujuan Penelitian :
1) Tujuan Umum : Menjelaskan Gambaran Kejadian Nomophobia pada
Mahasiswa
2) Tujuan Khusus : Mengidentifikasi gambaran kejadian nomophobia
pada mahasiswa
4. Judul
“Gambaran Kejadian Nomophobia pada Mahasiswa di Falkutas
Keperawatan Universitas Airlangga”
44