Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN SUSU KEDELAI TERHADAP KUALITAS


TIDUR LANSIA DI UPTD GRIYA WERDHA JAMBANGAN SURABAYA

PENELITIAN QUASY EXPERIMENT

Oleh :
Alfia Dwi Sunarto
NIM. 131611133105

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................ ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1.Latar belakang ..................................................................................... 1


1.2.Rumusan masalah ................................................................................ 3
1.3.Tujuan penelitian ................................................................................ 3
1.3.1. Tujuan umum ..................................................................... 3
1.3.2. Tujuan khusus .................................................................... 3
1.4.Manfaat penelitian .............................................................................. 3
1.4.1. Teoritis .............................................................................. 3
1.4.2. Praktis ............................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4

2.1. Konsep Lanjut Usia ............................................................................ 4


2.1.1. Definisi Lanjut Usia........................................................... 4
2.1.2. Batasan Lanjut Usia ........................................................... 4
2.1.3. Proses Menua ..................................................................... 6
2.1.4. Faktor Penuaan .................................................................. 6
2.1.5. Teori Proses Penuaan ......................................................... 7
2.1.6. Perubahan Pada Lansia ...................................................... 7
2.1.7. Tugas Perkembangan Lansia ............................................. 7
2.2. Konsep Tidur ...................................................................................... 8
2.2.1. Definisi Tidur .................................................................... 4
2.2.2. Fisiologi Tidur................................................................... 4
2.2.3. Pola Tidur .......................................................................... 6
2.2.4. Tahapan dan Siklus Tidur ................................................. 6
2.2.5. Fungsi Tidur ...................................................................... 7
2.2.6. Kebutuhan dan Pola Tidur Normal ................................... 7
2.2.7. Gangguan Tidur ................................................................ 7

ii
2.3. Susu Kedelai ....................................................................................... 11
2.3.1. Kandungan Susu Kedelai .................................................. 11
2.3.2. Manfaat Susu Kedelai ....................................................... 11
2.3.3.
2.4. Keaslian penelitian ............................................................................ 11

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS .................................. 12

3.1.Kerangka konsep ................................................................................ 12


3.2.Hipotesis.............................................................................................. 13

BAB 4 METODE PENELITIAN.......................................................................... 14

4.1 Desain Penelitian .................................................................................. 14


4.2 Populasi, Sampeldan Sampling ............................................................ 14
4.3 Instrumen Penelitian ............................................................................. 16
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 17
4.5 Prosedur Pengumpulan Data ................................................................ 17
4.6 Kerangka Kerja ..................................................................................... 18
4.7 Analisa Data ......................................................................................... 19
4.8 Etika Penelitian ..................................................................................... 21
4.9 Keabsahan Data .................................................................................... 23
4.10 Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 24
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 25

Lampiran ............................................................................................................... 2

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lansia sebagai fase terakhir kehidupan mengalami berbagai kemunduran
dan perubahan baik secara biologis, fisiologis, psikologis maupun sosial.
Berbagai perubahan dan kemunduran dialami oleh lansia merupakan hal yang
natural akibat proses penuaan yang terjadi. Salah satu perubahan yang dialami
lansia adalah pola tidur. Perubahan pola tidur seringkali membuat waktu tidur
lansia berkurang. Pada kasus yang serius, akan muncul gejala Insomnia.
Insomnia lebih sering terjadi pada Lansia (Nilam P.I Warni Sayekti1, 2015).
Kasus Insomnia seringkali diabaikan dan tidak terlalu diperhatikan. Hanya
sebagian kecil saja penderita Insomnia yang melaporkannya pada pelayanan
kesehatan padahal dampak yang ditimbulkannya cukup berat.
Selama kurun waktu hampir 50 tahun (1971-2018), persentase penduduk
lansia Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat. Pada tahun 2018, persentase
lansia mencapai 9,27 persen atau sekitar 24,49 juta orang. Adapun persentase
lansia di Indonesia didominasi oleh lansia muda (kelompok umur 60-69 tahun)
yang persentasenya mencapai 63,39 persen, sisanya adalah lansia madya
(kelompok umur 70-79 tahun) sebesar 27,92 persen, dan lansia tua (kelompok
umur 80+) sebesar 8,69 persen (Mega Silviliyana, et al .2018). Prevalensi
Insomnia di Indonesia pada lansia cukup tinggi, yaitu sebesar 67%. Penuaan
dapat mengubah pola tidur seseorang. Pada usia sekitar 50 tahun, mulai terjadi
penurunan gelombang tidur sehingga pada usia tua kuantitas tidur yang dalam
pada seseorang akan berkurang (Nilam P.I Warni Sayekti1, 2015).
Kebutuhan tidur akan berkurang dengan semakin lanjut usia seseorang.
Sebagian besar kelompok usia lanjut mempunyai risiko mengalami gangguan
pola tidur sebagai akibat pensiun, perubahan lingkungan sosial, penggunaan
obat-obatan yang meningkat, penyakitpenyakit dan perubahan irama sirkadian.
Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur yang buruk pada lansia dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak
fisiologi meliputi penurunan aktifitas sehari-hari, rasa lelah, lemah, proses
penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda

1
vital (Briones et al.,1996), sedangkan dampak psikologi meliputi perubahan
pada suasana kejiwaan, cemas, tidak konsentrasi, koping tidak efektif, dan lesu
(Lanywati, 2001). Akibat gangguan tidur, deprivasi tidur, dan rasa mengantuk
yaitu penurunan produktivitas, penurunan performa kognitif, peningkatan
kemungkinan kecelakaan, risiko morbiditas, dan mortalitas yang lebih tinggi,
dan penurunan kualitas hidup. Selain itu, muncul juga ketidakbahagiaan,
dicekam kesepian dan yang terpenting mengakibatkan penyakit-penyakit
degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut, perburukan, dan
menjadi tidak terkontrol.
Penanganan untuk Insomnia dibagi menjadi 2 jenis, yaitu terapi
farmakologis dan non-farmakologis. Terapi farmakologis merupakan
pengobatan utama dalam penanganan gejala Insomnia dengan menggunakan
obat-obatan yang termasuk dalam golongan obat sedativehypnotic,
antihistamin, antidepresan, antipsikotik dan antikonvulsan. Namun dalam
faktanya terapi farmakologis memiliki efek samping yang kurang
menguntungkan, terutama pada lansia. Untuk itu, perlu langkah lain untuk
mengatasi gejala Insomnia yaitu dengan terapi non-farmakologis. Salah satu
cara untuk meningkatkan kualitas tidur adalah dengan pemberian diet kaya
triptofan saat sebelum tidur. Triptofan merupakan salah satu jenis asam amino
esensial yang harus didapatkan dari diet. Studi menunjukkan bahan makanan
dengan kadar triptofan yang tinggi diketahui dapat meningkatkan kualitas tidur.
Oleh karena itu, terdapat anjuran untuk mengonsumsi diet yang kaya triptofan
sebelum tidur agar tubuh dapat beristirahat dengan baik (Wahyu, 2018).
Pemberian triptofan pada penderita insomnia secara signifikan dapat
meningkatkan kualitas tidur berkaitan dengan waktu permulaan tidur yang lebih
cepat. Hal ini karena asam amino tersebut merupakan prekursor melatonin yaitu
hormon yang dapat membuat tidur lebih nyenyak (Wahyu, 2018).
Berdasarkan data dari United States Departement of Agriculture (USDA)
National Nutrient Database for Standard Reference Release 28 (2015), salah
satu bahan makanan yang kaya triptofan adalah kedelai yaitu 575 mg dalam 100
gram. Namun, selama ini belum ada studi yang meneliti tentang pengaruh
kedelai terhadap kualitas tidur. Oleh karena itu, peneliti memilih produk olahan

2
kedelai untuk diteliti dalam studi ini yaitu pre-bed drink berupa susu kedelai.
Produk olahan berupa minuman tersebut dipilih karena berdasarkan studi yang
dilakukan Sen et al. (2015) meminum minuman yang hangat sebelum tidur
dapat membantu merehidrasi tubuh.
Dengan adanya penelitian ini maka akan diketahui pengaruh pemberian
produk olahan kedelai berupa susu kedelai terhadap kualitas tidur lansia. Produk
olahan dari kedelai ini diharapkan dapat digunakan sebagai intervensi dalam
menangani penurunan kualitas tidur yang sering dialami oleh lansia.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terdapat pengaruh pemberian susu kedelai terhadap kualitas tidur
lansia?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian susu
kedelai dalam meningkatkan kualitas tidur lansia di UPTD Griya Werdha
Jambangan Surabaya
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kandungan dalam susu kedelai untuk
meningkatkan kualitas tidur lansia.
b. Menganalisis pengaruh pemberian susu kedelai terhadap kualitas
tidur lansia di UPTD Griya Werdha Jambangan Surabaya.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini digunakan untuk mengembangkan keilmuan
keperawatan di Panti Werdha.
1.4.2 Manfaat praktis
a. Bagi Panti Werdha
Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan sebgai intervensi
alternatif dalam terapi non farmakologis untuk mengatasi masalah

3
gangguan tidur pada lansia di UPTD Griya Werdha Jambangan
Surabaya
b. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi profesi
keperawatan khususnya dalam keperawatan gerontik dalam hal
perencanaan dan pemberian intervensi, sehingga dapat
meningkatkan kualitas dan kapabilitas pelayanan keperawatan
gerontik di Panti Werdha

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia


2.1.1 Definisi Lanjut Usia
Sanderson dan Scherbov (2008) berpendapat bahwa disebut
lansia jika seseorag telah berusia 65 hingga 75 tahun. Menurut
Hurlock (2006) lanjut usia dibagi menjadi lanjut usia dini yang
berusia antara 60 – 70 tahun dan usia lanjut yang dimulai pada usia
70 tahun hingga akhir hayatnya, dimana seseorang semakin beranjak
dari periode hidupnya dan telah kehilangan kejayaan masa muda
yang dimiliki.
Lanjut usia merupakan bagian dari proses pertumbuhan dan
perkembangan yang akan dialami oleh setiap orang. Proses ini
dimulai sejak terjadinya konsepsi dan berlangsung terus sampai
mati. Pada proses menua, terjadi perubahan- perubahan yang
berlangsung secara progresif dalam proses-proses biokimia,
sehingga terjadi perubahan- perubahan struktur dan fungsi jaringan
sel/ organ dalam tubuh individu (Nugroho, 2008).
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan jelas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita.

2.1.2 Batasan Lanjut Usia

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 1998


tentang kesejahteraan lansia menetapkan, batasan umur lansia di
Indonesia adalah 60 tahun keatas. Menurut WHO (1999) lansia
dikategorian menjadi 4 yaitu Usia pertengahan (Middle Age) adalah
45 – 59 tahun , lanjut usia (Elderly) adalah 60 – 74 tahun, lansia tua
(Old) adalah 75 – 90 tahun dan Usia sangat tua (Very Old) adalah

5
diatas 90 tahun (Murwani and Priyantini, 2010). Departemen
Kesehatan RI (2013) mengklasifikasikan umur Lansia menjadi 3
tahapan :

1. Pralansia adalah seseorang yang berusia antara 45 – 59 tahun

2. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih


dengan masalah kesehatan

Azizah (2011) dalam bukunya mengenai keperawatan lanjut usia,


mendefinisikan batasan lanjut usia menjadi 2 golongan :

1. Lansia potensial yaitu lansia yang mampu melakukan


pekerjaan dan kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa

2. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak dapat mencari


nafkah dan menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Menurut Birren dan Jenner dalam Effendi & Makhfudli
(2009) membedakan lansia menjadi usia biologis, psikolgis dan usia
sosial. Usia biologis menunjukkan pada jangka waktu seseorang
sejak lahir, berada dalam keadaan hidup dan tidak mati. Usia
psikologis menunjuk pada kemampuan individu untuk
menyesuaikan terhadap situasi yang dihadapi. Usia sosial menunjuk
pada peran yang diharapkan dan diberikan masyarakat kepada
seseorang sehubungan dengan usianya.

2.1.3 Perubahan pada Lansia

1. Perubahan Fisiologis

Menurut Efendi dan Makhfudli (2009) perubahan fisiologis pada


lansia antara lain:

a. Sistem integumen

Kulit mengalami kehilangan elastisitas dan kelembapan seiring


dengan terjadinya proses penuaan. Lanjut usia mengalami elastisitas
kulit yang berkurang dikarenakan menurunnya cairan dan

6
vaskularisasi serta berkurangnya fungsi kelenjar keringat. Kulit juga
menjadi keriput karena jaringan lemak yang mulai hilang,
permukaan kulit menjadi kasar dan bersisik serta mekanisme
proteksi kulit mulai menurun (Mubarak et al., 2015).

b. Sistem Muskuloskeletal

Semakin bertambah usia, lansia mengalami perubahan postur,


penurunan rentang gerak dan menjadi lambat dalam bergerak.
Penurunan masa tulang yang terjadi menyebabkan menjadi rapuh
dan lemah. Ruang antara vertebra mengalami kompresi yang
menyebabkan tinggi badan menurun, jari – jari pergelangan menjadi
terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku serta tendon
mengerut dan menjadi sklerosis (Maryam et al., 2008).

c. Sistem Pernafasan

Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat menjadi kaku, atrofi


dan kehilangan kekuatan. Ukuran alveoli melebar dari ukuran dan
jumlah yang normal, oksigen pada arteri menurun menjadi 75
mmHg. Lanjut usia juga mengalami penurunan kekuatan otot
pernafasan, kemampuan untuk batuk berkurang, serta kemampuan
pegas dan dinding dada mengalami penurunan seriring dengan
bertambahnya usia (Darmojo dan Martono, 2010).

d. Sistem Kardiovaskuler

Sistem kardio mengalami beberapa perubahan struktur dan fungsi.


Dinding ventrikel menjadi tipis dan Atrium kiri mengalami
peningkatan dalam ukuran. Kemampuan jantung dalam memompa
darah menurun 1 % setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini
menyebabkan kontraksi dan volume Tekanan darah tinggi pada
lanjut usia diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh
darah perifer (Touhy et al., 2014).

e. Sistem Genitourinaria

Menurunnya kapasitas ginjal hinggal 200 ml karena melemahnya


otot kandung kemih menyebabkan frekuensi buang air kecil

7
meningkat pada lansia. Kandung kemih yang sulit untuk
dikosongkan menyebabkan peningkatan retensi urin. Hal tersebut
menyebabkan lansia rentan mengalami infeksi saluran kemih karena
adanya sisaa air kencing di kandung kemih (Santoso dan Ismail,
2009).

2. Perubahan Sosial

Lansia mengalami perubahan status dan peran dalam masyarakat,


kehilangan dukungan dari keluarga, teman serta tetangga (Syarniah,
2010). Perubahan dalam peran lansia dalam masyarakat dikarenakan
berkurangnya fungsi baik fisik maupun psikologis. Lansia memiliki
kepribadian yang berbeda dari sebelumnya sehingga membutuhkan
penyesuaiaan diri untuk berinteraksi dengan lingkungan ataupun
memiliki batasan dalam melakukan interaksi (Murwani dan
Priyantini, 2010).

3. Perubahan Psikologis

Erikson dalam teori tentang perkembangan psikoseksual dan


kepribadian menyebutkan bahwa memasuki masa lansia seseorang
berada pada fase krisis antara status integritas dan keputusasaan.
Lansia dihadapkan dalam beberapa penyesalan, lansia hidup
diberbagai macam kejadian baik yang diinginkan atau tidak, dan
menjadikan kesuksesan sebagai koping dalam kegagalan yang
dilalui (Thyer et al ,2012).

Siburian, 2007 menyebutkan permasalahan pada lansia antara lain:

1) Immobility

2) Instability

3) Incontinence

4) Intellectual Impairment

5) Infection (infeksi)

6) Impairment of vision and hearing, taste, smell,


communication, convalencence, skin integrity (gangguan

8
panca indera, komunikasi, penyembuhan dan kulit).

7) Impaction (konstipasi = sulit buang air besar)

8) Isolation (depresi), akibat perubahan sosial, bertambahnya


penyakit dan berkurangnya kemandirian sosial.

9) Inanition (kurang gizi), dapat disebabkan karena perubahan


lingkungan maupun kondisi kesehatan.

10) Impecunity (tidak punya uang), semakin bertambahnya usia.

11) Iatrogenesis (penyakit akibat obat-obatan).

12) Insomnia (gangguan tidur)

13) Immune deficiency (daya tahan tubuh menurun)

14) Impotence (impotensi)

2.1.4 Kebutuhan Hidup Lansia


Setiap orang memiliki kebutuhan hidup. Orang lanjut usia juga
memiliki kebutuhan hidup yang sama agar dapat hidup sejahtera.
Kebutuhan hidup orang lanjut usia antara lain kebutuhan akan
makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman,
kebutuhan- kebutuhan sosial seperti bersosialisasi dengan orang
lain. Kebutuhan tersebut sejalan dengan pendapat Maslow dalam
Sutikno Ekawati (2011) yang menyatakan bahwa kebutuhan
manusia meliputi:
a. Kebutuhan fisik (physiological needs) adalah kebutuhan fisik
atau biologis seperti pangan, sandang, papan, istirahat dan tidur
dan sebagainya.
b. Kebutuhan ketentraman (safety needs) adalah kebutuhan akan
rasa keamanan dan ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah
seperti kebutuhan akan jaminan hari tua, kebebasan,
kemandirian, dan sebagainya.
c. Kebutuhan sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk
bermasyarakat atau berkomunikasi dengan manusia lain melalui

9
organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobi dan
sebagainya.
d. Kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan
harga diri untuk diakui akan keberadaannya.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah
kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik, rohani
maupun daya pikir berdasar pengalamannya masing- masing,
bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan. Sejak
awal kehidupan sampai berusia lanjut setiap orang memiliki
kabutuhan psikologis dasar. Kebutuhan tersebut diantaranya
orang lanjut usia membutuhkan rasa nyaman bagi dirinya
sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada.
Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut tergantung pada diri
orang lanjut usia, keluarga dan lingkungannya. Jika kebutuhan-
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-
masalah dalam kehidupan orang lanjut usia yang akan
menurunkan kemandiriannya (Ramadhani, 2014)

2.2 Konsep Tidur


2.2.1 Definisi Tidur
Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi
dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau menghilang,
dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang
cukup (Asmadi, 2008). Tidur juga disebut sebagai kondisi tidak
sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau
sensoris yang sesuai atau juga dapat dikatakan sebagai keadaan
penuh ketenangan tanpa kegiatan, tetapi lebih merupakan suatu
urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktivitas yang
minim, memiliki kesadaran yang bervariasi, terdapat perubahan
proses fisiologis, dan terjadi penurunan respons terhadap
rangsangan dari luar (Hidayat, 2008). Tidur juga bisa didefinisikan

10
sebagai suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status
keadaan yang terjadi selama periode tertentu (Perry & Potter).

2.2.2 Kebutuhan Tidur Lansia


Sebagian besar lansia berisiko tinggi mengalami gangguan
tidur akibat beberapa faktor. Selama penuaan, terjadi perubahan
fisik dan 17 mental yang diikuti dengan perubahan pola tidur yang
khas yang membedakan dari orang yang lebih muda. Perubahan-
perubahan itu mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari,
dan peningkatan jumlah tidur siang (Simpson, T, et al, 1996).
Kurang tidur berkepanjangan dan sering terjadi dapat mengganggu
kesehatan fisik maupun psikis. Kebutuhan tidur setiap orang
berbeda-beda, usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7 jam per
hari (Hidayat, 2008). Walaupun mereka menghabiskan lebih
banyak waktu di tempat tidur, tetapi usia lanjut sering mengeluh
terbangun pada malam hari, memiliki waktu tidur kurang total,
mengambil lebih lama tidur, dan mengambil tidur siang lebih
banyak (Kryger et al, 2004).
Kecenderungan tidur siang meningkat secara progresif
dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang
dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada
malam hari. Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan
ditempat tidur menurun sejam atau lebih ( Perry& Potter, 2005).
Pada usia lanjut menunjukkan berkurangnya jumlah tidur
gelombang lambat, sejak dimulai tidur secara progresif menurun
dan menaik melalui stadium 1 ke stadium IV, selama 70-100 menit
yang diikuti oleh letupan REM. Periode REM berlangsung kira-kira
15 menit dan merupakan 20% dari waktu tidur total. Umumnya
tidur REM merupakan 20-25% dari jumlah tidur, stadium II sekitar
50% dan stadium III dan IV bervariasi. Jumlah jam tidur total yang
normal berkisar 5-9 jam pada 90% orang dewasa. Pada usia lanjut

11
efisiensi tidur berkurang, dengan waktu yang lebih lama di tempat
tidur namun lebih singkat dalam keadaan tidur.

2.2.3 Fisiologi Tidur


Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh
adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk
mengaktifkan dan menekan pusat otak agar agar dapat tidur dan
bangun. Pusat pengaturan tidur terdapat pada medula oblongata
(Hidayat, 2008). Menurut Hanun (2011), berdasarkan gambaran
EGG tidur dapat dibagi menjadi dua fase yaitu non rapid eye
movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Pada awal
tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari tiga stadium
NREM dan satu REM yaitu:
a.) Tidur stadium 1 (N1)
Stadium ini merupakan antara tahap terjaga dan tahap awal
tidur.Saat seseorang mulai mengantuk, perlahan-lahan
kesadaran mulai meninggalktan dirinya.Stadium ini juga
disebut dengan downiness, yaitu tahap ketika pikiran kita
melayang-layang tak menentu tetapi masih menyadari kondisi
disekeliling sehingga merasa belum tidur. Stadium ini hanya
berlangsung 3-5 menit dan mudah ekali dibangunkan.
Gambaran EKG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa,
beta, dan kadang gelombang teta dengan amplitude yang
rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan
kompleks K.
b.) Tidur stadium 2 (N2)
Setelah stadium N1, maka akan semakin dalam tertidur dan
masuk ke tidur fase stadium N2. Gelombang otak lambat masih
menjadi latar, tetapi sesekali muncul gelombang khas berupa
gelombang sleep spindle. Pada stadium ini, tidur semakin sulit
bangunpanggilan berulang-ulang karena merupakan tahap tidur
terbanyak, kira-kira 50 % dari total tidur satu malam.

12
c.) Tidur stadium 3 (N3 )
Setelah kira-kira 10 menit dalam tahap N2, maka akan masuk
ke stadium tidur yang lebih dalam, yaitu tahap stadium 3 (N3)
atau sering disebut tidur slow wave karena gelombang otak
semakin melambat dengan frekuensi yang lebih rendah. Pada
gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris
antara 25%- 50% serta tampak gelombang sleep spindle. Dalam
stadium ini hormone pertumbuhan (growth hormon) dan
prolaktin dikeluarkan oleh tubuh untuk pertumbuhan pada bayi
dan perbaikan untuk mempertahankan keutuhan maupun
kemudaan jaringan tubuh.Sementara prolaktin adalah hormon
yang banyak terdapat pada ibu menyusui maka semakin tinggi
pula produksi prolaktin. Namun fungsi pada saat tidur belum
dapat dijelaskan.
d.) Tahap tidur REM
Dari tahap N3 biasanya akan terus meningkat dan kembali pada
tahap N2. EEG akan menunjukkan aktivitas otak yang
meningkat secara drastis, yang pertanda seseorang memasuki
tahap tidur R (REM) atau hanyut dalam mimpi. Tahap ini tubuh
tidak bisa menerima rangsangan apa pun, karena tubuh tidak
merespon aktivitas otak yang menimbulkan lumpuh sesaat.

Pada lansia yang sering terbangun dan kembali tidur, maka


tahap 1 akan dimulai kembali. Dalam pola tidur normal, sekitar 70
sampai 90 menit setelah awitan tidur. Konsekuensi dari terbangun
pada malam hari dapat menimbulkan efek buruk pada fisiologis dan
fungsi mental pada usia lanjut (Stanley, 2006).

2.2.4 Fisiologi Tidur pada Lansia


Jumlah tidur total tidak berubah sesuai dengan pertambahan
usia. Akan tetapi, kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada
kebanyakan usia lanjut. Episode tidur REM cenderung
memendek.Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur
NREM 3 dan 4. Beberapa usia lanjut tidak memiliki tahap 4 atau

13
tidur dalam. Seorang usia lanjut yang terbangun lebih sering pada
malam hari, dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur.
Tetapi pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan
fisiologis dan psikologis dalam penuaan lebih mudah
mempertahankan tidur REM (Perry & Potter, 2005).

2.2.5 Kualitas Tidur


Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tetap tidur
dan mendapatkan jumlah tidur NREM dan REM yang tepat. Tanda-
tanda kualitas tidur yang baik yaitu tidur yang tenang, segar saat
bangun di pagi hari dan semangat melakukan aktivitas (Craven &
Hirnle 2000 dalam Agustin 2012). Penelitian yang diakukan Busyee
et al. (dalam Agustin 2012) tentang pengukuran kualitas tidur dan
pola tidur menggunakan The Pittsburgh Sleep Quality Index
(PSQI). PSQI membedakan antara tidur yang baik dan tidur yang
buruk dengan pemeriksaan 7 komponen (Agustin 2012):
1. Kualitas tidur
2. Latensi tidur
3. Durasi tidur
4. Efisiensi kebiasaan tidur
5. Gangguan tidur
6. Penggunaan obat
7. Disfungsi di siang hari

2.2.6 Gangguan Tidur pada Lansia


Gangguan tidur yang paling sering dialami oleh lansia adalah
insomnia. Insomnia adalah bukan bagian normal dari penuaan, tapi
gangguan tidur malam hari pada dewasa yang lebih tua, yang
menyebabkan kantuk di siang hari yang berlebihan (Cole &
Richards, 2007). Insomnia dapat berupa kesulitan untuk tetap tidur
atau pun seseorang yang terbangun dari tidur, tetapi merasa belum

14
cukup tidur (Japardi, 2002). Menurut Hidayat (2008), insomnia
dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
a. Insomnia initial, yang merupakan ketidakmampuan untuk jatuh
atau mengawali tidur.
b. Insomnia intermiten, yang merupakan ketidakmampuan
memepertahankan tidur atau keadaan sering terjaga dari tidur.
c. Insomnia terminal, yang merupakan ketidakmampuan untuk
tidur kembali setelah bangun tidur pada malam hari.
Sedangkan menurut Stanley (2006), insomnia dibagi menjadi :
a. Jangka pendek Berakhir beberapa minggu dengan muncul
akibat pengalaman stress yang bersifat sementara seperti
kehilangan orang yang dicintai, tekanan di tempat kerja.
Biasanya kondisi ini dapat hilang 21 tanpa intervensi medis
setelah orang itu beradaptasi dengan stressor,
b. Sementara Biasanya disebabkan oleh perubahan-perubahan
lingkungan seperti konstruksi bangunan yang bising atau
pengalaman yang menimbulkan ansietas.
c. Kronis Berlangsung selama 3 minggu atau seumur
hidup.Disebabkan kebiasaan tidur yang buruk, masalah
psikologis, penggunaan obat tidur yang berlebihan, penggunaan
alkohol yang berlebihan.Empat puluh persen insomnia kronis
disebabkan oleh masalah fisik seperti apnea tidur, sindrom kaki
gelisah, atau nyeri kronis.

2.3 Susu Kedelai


Susu kedelai merupakan cairan berwarna putih seperti susu sapi,
tetapi dibuat dari ekstrak kedelai. Diproduksi dengan menggiling biji
kedelai yang telah direndam dalam air. Hasilnya disaring hingga diperoleh
cairan susu kedelai, dimasak dan diberi gula dan essen atau cita rasa untuk
meningkatkan rasanya. Susu kedelai merupakan produk hasil ekstraksi
kedelai dengan menggunakan air, yang mempunyai penampakan dan nilai
gizi mirip dengan susu sapi. Susu kedelai mengandung serat kasar dan tidak

15
mengandung kolesterol sehingga cukup baik bagi kesehatan. Selain itu susu
kedelai tidak mengandung laktosa sehingga dapat dikonsumsi oleh
penderita Lactose Intolerant. Kedelai dipilih sebagai bahan baku susu
karena memiliki kandungan gizi yang tinggi. kadar protein kedelai memang
paling tinggi dibandingkan dengan golongan kacang-kacangan lain. Susu
kedelai merupakan minuman yang bergizi tinggi, terutama karena
kandungan proteinnya. Selain itu susu kedelai juga mengandung lemak,
karbohidrat, kalsium, phosphor, zat besi, provitamin A, Vitamin B
kompleks (kecuali B12) dan air. Selain itu, susu kedelai mengandung asam
amino triptofan yang merupakan produk awal hormon melatonin yang
membantu otot-otot yang semula tegang bisa kembali rileks, serta
meningkatkan kualitas tidur dan membantu tekanan darah dalam kondisi
stabil.
Triptofan merupakan salah satu jenis asam amino esensial yang
harus didapatkan dari diet. Studi menunjukkan bahan makanan dengan
kadar triptofan yang tinggi diketahui dapat meningkatkan kualitas tidur.
Oleh karena itu, terdapat anjuran untuk mengonsumsi diet yang kaya
triptofan sebelum tidur agar tubuh dapat beristirahat dengan baik (Widodo
et al., 2014). Pemberian triptofan pada penderita insomnia secara signifikan
dapat meningkatkan kualitas tidur berkaitan dengan waktu permulaan tidur
yang lebih cepat. Hasil yang sejalan juga terjadi pada orang normal yang
tidak menderita insomnia yang diberi triptofan lebih cepat merasa
mengantuk daripada yang tidak diberikan perlakuan (Silber dan Schmitt,
2009). Hal ini karena asam amino tersebut merupakan prekursor melatonin
yaitu hormon yang dapat membuat tidur lebih nyenyak (Zagajewski et al.,
2012). Melatonin disintesis di pineal, salah satu bagian dari hipotalamus dan
disekresikan ketika malam hari (Wada et al., 2013). Berdasarkan data dari
United States Departement of Agriculture (USDA) National Nutrient
Database for Standard Reference Release 28 (2015), salah satu bahan
makanan yang kaya triptofan adalah kedelai yaitu 575 mg dalam 100 gram.

2.4 Keaslian Penelitian

16
No JUDUL METODE HASIL
1. Studi Komparasi Metode: quasy Hasil penenlitian pada
Minum Susu Hangat experimental pra-post remaja SMK Kota
Dan Teh Chamomile test design Yogyakarta sebagian
Hangat Terhadap D: deskriptif mengalami
Pemenuhan kuantitatif nomophobia dengan
Kebutuhan Tidur S: 540 siswa kategori tinggi.
Lansia (Widodo et al., V: Nomophobia,
2014) telepon gemgam
I: skala nomophobia
A: standar deviasi dan
mean
2. Culture and Metode: Kuantitatif Hasil penelitian bahwa
nomophobia: The role S: 485 mahasiswa kolektivitas ventrikal
of vertical versus V: Nomophobia, secara positif
horizontal collectivism budaya yang dianut, berhubungan dengan
in predicting kolektivisme vertikal, nomphobia, sedangkan
nomophobia (Arpaci, kolektivisme tidak ada hubungan
2019) horisontal signifikan antara
I: The nomophobia kolektivisme horisontal
kuesioner (NMP-Q) dan nomophobia

3. Psychometric Metode: Kuantitatif Terdapat hasil bahwa


evaluation of Persian D: Radom sampling setiap faktor adalah
Nomophobia (DIF dalam Rasch dan unidimensional dan
Questionnaire: pengukuran invariance terdapat struktur empat
Differential item di CFA) faktor yang didukung
functioning and S: 3216 remaja oleh CFA, tidak ada
measurement V: Evaluasi item DIF yang
invariance across psikometrik, ditemukan pada gender
gender (Lin et al., nomophobia, jenis dan pengukuran dalam
2018) kelamin perbedaan yang
A: Statistik deskriptif didukung dalam
kelompok CFA gender.
Disimpulkan bahwa
NMP-Q persia dapat
digunakan untuk
menilai nomofobia di
kalangan remaja.
4. Comparative study of Metode: Kuantitatif Hasil penelitian
nomophobia among D: studi mengungkapkan siswa
Spanish and pebandiangan keperawatan spanyol
Portuguese nursing dan portugis lebih

17
students (Gutiérrez- S: 258 peserta, 130: tinggi mengalami
puertas, Márquez- Spanyol dan 128: nomofobia, siswa
hernández, & São- Portugal portugis merasa lebih
romão-preto, 2019) V: Nomophobia, cemas dibandingkan
smartphone, siswa dengan siswa spanyol,
keperawatan karena penggunaan
I: Kuesioner ponsel pada siswa
A: program statistik portugis lebih besar
SPSS versi 22 dari siswa spanyol.

5. Evaluation of the Metode: kuantitatif Hasil penelitian


factor structure of the S: 966 mahasiswa memberikan dukungan
Chinese version of the V: Nomophobia, pada struktur NMP-Q,
nomophobia NMP-Q, faktor tampaknya NMP-Q
questionnaire (Ma & struktur versi cina kuesioner
Liu, 2018) I: kuesioner yang efektif untuk
A: IBM SPSS 20.0 menilai perilaku
dan Mplus 7.4 nomophobia.
6. Nomophobia: Impact Metode: kuantitatif Hasil yang signifikat
of Cell Phone Use D: kuantitatif terhadap orang Panic
Interfering with deskriptif Disorder dalam
Symptoms and S: 50 pasien dan 70 kecemasan, takikardi,
Emotions of relawan kontrol tanpa perubahan pernapasan,
Individuals with Panic gangguan psikologi gemetaran, keringatan,
Disorder Compared V: Nomophobia, Panic panik, takut dan depresi
with a Control Group disorder, dampak terkait dengan
(Lucia et al., 2014) ponsel, gejala dan kurangnya penggunaan
emosi individu Mobile Phone (MP)
I: kuesioner dibandingkan dengan
kelopok yang
terkontrol.
7. Temperament and Metode: Kuantitatif Terdapat hasil bahwa
characteristics related S: 968 responden hubungan dua faktor
to nomophobia V: Temperamen, yang signifikan
(Olivencia-carrión et karakteristik dalam terhadap nomophbia
al., 2018) nomophobia dan kepribadian,faktor
I: kuesioner tersebut adalah
ketergantungan Mobile
Phone (MP) dan
kehilangan kontrol.

18
BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Penelitian dilakukan dengan pendekatan fenomenologi dan akan mengeksplorasi

kejadian nomophobia pada mahasiswa. Kerangka pikir penelitian terdiri dari faktor

internal dan eksternal yang akhirnya membentuk aspek-aspek nomophobia pada

responden.

Faktor Internal
- Tingkat penggunaan ponsel
- Kebiasaan menggunakan
ponsel
- Ketergantungan yang
berdampak kecemasan
- Pengalaman Individu Aspek-Aspek Nomophobia
menggunakan ponsel - Tidak bisa
Nomophobia berkomunikasi
- Kehilangan Koneksi
- Tidak bisa mengakses
informasi
- Kehilangan
Faktor Eksternal kenyamanan
- Faktor lingkungan
- Faktor pola pengasuh
- Faktor sosial ekonomi

19
Keterangan :

:
Diteliti

: Tidak
Diteliti

Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Gambaran Kejadian Nomophobia pada


Mahasiswa Di Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga.

Faktor internal terdiri tinggat penggunaan ponsel, kebiasaan penggunan ponsel,

ketergantungan yang berdampak pada kecemasan dan pengalaman individu.

Sedangkan faktor eksternal meliputi, lingkungan, pola asuh dan sosial ekonomi.

3.2 Hipotesis

(H1) Penelitian ini terdapat adanya kejadian nomophobia pada kalangan mahasiswa

20
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Penelitian eksperimen semu
(Quasy – experimental ) dengan jenis pendekatan Pre Post Test Control Design.
Peneliti berusaha mencari pengaruh dari pemberian susu kedelai terhadap
kualitas tidur lansia yang tinggal di Panti Werdha Jambangan Surabaya.
Rancangan ini menggunakan kelompok perlakuan yang diberikan segelas susu
kedelai sebelum tidur sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.
Pada penelitian ini peneliti melakukan pengukuran tingkat kualitas tidur lanisa
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pada kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol.
4.2 Populasi, Sampel dan Sampling
4.2.1 Populasi
Penelitian kuliatitatif tidak menggunakan istilah populasi,
Apradley menamakan “Social Situation” atau situasi sosial yang
terdiri dari tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actros), dan
aktivitas (activity) yang berinteraksi dengan cara sinergis. Populasi
tidak digunakan dalam penelitian kualitatif karena penelitian
kualitatif berasal dari kasus tertentu disituasi sosial dan hasil
kajiannya tidak diberlakukan ke populasi tetapi dikirimkan ketempat
lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi
sosial pada kasus yang dipelajari (Sugiyono, 2016).

4.2.2 Sampel
Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan
responden, tetapi sebagai narasumber, partisipan, informan, teman
dan guru dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif juga
bukan disebut statistik, tetapi sampel teoritis karena tujuan
penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Sampel dalam
penelitian kualitaif disebut sebagai sampel konstruktif. Peneliti

21
mengambil 18 partisipan sebagai sampel penelitian yang diperoleh
serta mendapatakan jawaban jenuh dari seluruh responden.
Kriteria inkulsi adalah karateristik subjek yang akan diteliti.
Berikut kriteriannya meliputi:
1) Mahasiswa yang mengalami nomophobia
2) Mahasiswa berusia 18-25 tahun
3) Mahasiswa yang mengalami nomophobia tergolong tingkat
rendah, sedang maupun tinggi
4) Bisa diajak berkomunikasi dengan baik

4.2.3 Sampling
Teknik sampling menggunakan nonprobability sampling
dengan jenis purposive sampling. Purposive sampling atau disebut
judgement sampling merupakan suatu teknik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti (Tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga
sampel dapat mewakili karateristik populasi yang dikenal
sebelumnya (Nursalam, 2008).

4.3 Instrumen Penelitian


Peneliti menggunakan alat bantu pengumpulan data berupa
pedoman wawancara, voice recorder, dan catatan lapangan. Alat
perekam berupa recorder ini dapat membantu penelitian mengingat
yang diucapkan parstisipan. Sedangkan catatan lapangan (field note)
digunakan untuk mencatat ekspresi wajah, reaksi responden ketika
berbicara, bahasa tubuh. Catatan lapangan dibuat setiap wawancara
yang dilakukan secara bertahap oleh peneliti. Sebelum melaukan
wawancara mendalam, peneliti menggunakan kuesioner
nomophobia untuk menentukan responden yang cocok. Kuesioner
nomophobia berupa NMP-Q dari penelitian Lee, Kim, Mendoza, &
McDonough, 2018 yaitu mengukur tingkat kejadian nomophobia

22
yang terjadi, NMP-Q (Nomophobia Questionnaire) ini cukup efektif
untuk megukur tingkat kejadian nomophobia.
Kuesioner NMP-Q dimodifikasi ke bahasa indonesia dengan
ijin dari peneliti (Lee et al., 2018), kemudian diujikan ke beberapa
kelompok untuk kefektifan menggunakan bahasa indonesia.
Selanjutnya untuk menentukan responden peneliti mebagikan
kuesioner secara online kepada mahasiswa, setelah menentukan
responden, peneliti melakukan wawancara secara mendalam.
Wawancara ini untuk memeperoleh keterangan dan informasi
dengan cara taya jawab sambil beratatap muka dengan responden,
saat wawacara peneliti memperhatikan intonasi suara, gaya
berbicara, sebsitifitas pertanyaan, kontak mata dan kepekaan
nonverbal.
Pada proses wawancara sebelum memulai dilakukan
pengisian:
1) Kode klien
Keamanan penamaan pada responden sebagai
objek peneliti dengan memberikan kode untuk
menjamin kerahasiaan. Pengkodean responden
bedasarkan urutan wawancara responden.
2) Tanggal wawancara
Perancanaan tanggal wawancara dilakukan oleh
peneliti untuk memvalidasi hari dan tanggal
pelaksanaan ketika wawancara dilakukan.

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.4.1 Tahap Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menyelidiki responden bedasarkan
kriteria nomophobia di kalangan mahasiswa yang berada di kampus
Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya. Selanjutnya
untuk waktu penelitian merupakan kesepakatan dari peneliti dengan

23
responden. Peneliti mengupayakan untuk menyaipakan ruang
diskusi khusus yang menjaga privasi dan menjaga agar lingkungan
di area kampus Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga, jika
responden menginginkan untuk wawancara di luar area kampus
Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga, maka peneliti
mengikuti sesuai kesepakatan demi kenyamanan responden.
4.4.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksanakan selama satu bulan pada
tahun 2019, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data selama
satu bulan hingga pelaksanaan publikasi di tahu 2019.

4.5 Prosedur Pengumpulan Data


1) Tahap persiapan
Prosedur pengumpulan data dimulai setelah endapatkan surat ijin
penelitian dari Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga. Setelah
medapatkan ijin, mencari responden dengan melalui kuesioner online,
setelah mendapatkan responden yang sesuai dengan kriteria
nomophobia, peneliti melakukan pendekatan. Responden yang sudah
sesuai dengan kriteria nomophobia, peneliti menghubungi responden
untuk melakukan pendekatan. Peneliti membuat senyaman mungkin
responden agar privasi responden dan pendekatan berjalan dengan
lancar. Pendekatan setelah menghubungi responden yang pertama
dilakukan penjelasan kepada responden tentang maksud dan tujuan dari
penelitian sebagaimana lampiran penjelasan penelitian untuk responden.
Peneliti kemudian memberikan informed consend kepada responden.
Setelah responden menandatangani serta menyetujui pelaksanaan
menjadi responden agi penelitian, kemudian menyanyakan kepada
responden kesediaan waktu responden untuk dilakukan
wawancara.partisipan menghendaki untuk wawancara diluar waktu saat
ditemui (waktu berada di dalam kampus Falkutas Keperawatan
Airlangga), peneliti membuat kontrak waktu dan tempat di kos atau
rumah pastisipan, sehingga kualitas wawancara dapat dipertahankan

24
sertapartisipan dapat fokus memberikan informasi dalam proses
wawancara.
2) Tahap pelaksanaan.
Pada tahap wawancara dilakukan dengan tifa fase yaitu:
1. Fase orientasi
Fase ini dilakukan dengan memulai obralan ringan agar responden
lebih rileks dan nyaman untuk berbicara. Peneliti menjelaskan tujuan
dan alat yang akan digunakan untuk wawancara, kemudian peneliti
meminta ijin menggunakan recoder untuk merekam selama
wawancara. Peneliti membuat responden dengan suasana senyaman
mungkin. Untuk tempat wawancara yaitu kesepakatan anaara
responden dan peneliti, peneliti mengikuti responden demi
kenyamanan saat dilakukan wawacara. Peneliti dan pasrtisipan
saling berhadapan dan erarak kurang lebih 50 cm. Peneliti membuat
responden untuk percaya sehingga terjalin kepercayaan antaran
responden dan peneliti, maka peneliti mulai melakukan wawancara
mendalam.
2. Fase kerja
Wawancara mendalam dilakukan dengan membuat prolog sesuai
dengan menggali data demografi responden. Peneliti mencoba
pembicaraan dengan membangun bina hubungan saling percaya
(BHSP) agar tercipta kepercayaan yang kuat dengan peneliti,
sehingga seluruh informasi mudah didapatkan secara mendalam.
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kepada responden
“Sudah berapa lama tidak bisa jauh dari ponsel?, atau Bagaimana
perasaan anda jika jauh dari ponsel?, atau Sudah berapa lama
menggunakan ponsel?”. Pertanyaan tersebut untuk memulai proses
wawancara agar bisa masuk ke pertanyaan inti sesuai dengan
pedoman wawancara. Peneliti mengikuti arah jawaban yang
diberikan oleh reponden. Ketika responden tidak mampu
memberikan informasi, peneliti mencoba memberikan ilustrasi atau
gambaran yang hampir sama dengan pertanyaan peneliti kemudian

25
memepersilakan lagi responden untuk menjawab pertanyaan dari
peneliti.
Traskip dilakukan secara perkata dan dilihat lagi keakuratan datanya
dengan endengarkan kembali hasil rekaman wawancara serta
menggabungkan dengan catatan lapangan dan membaca berulang-
ulang hasil tarnskip. Hal ini dilakukan agar hasil transkip lebih
akurat.
3. Fase terminasi
Wawancara dalam proses ini diterminasi ketika responden telah
menjawab semua pertanyaan, peneliti menutup wawancara dengan
menggungkapkan terima kasih kepada responden atas kesediaan dari
responden dalam terlaksanaanya wawancara. Peneliti membuat
kontak kembali untuk pertemuan selanjutnya dengan responden
yaitu dengan tujuan untuk melakukan validasi data.
3) Tahap terminasi
Peneliti berkunjung kembali ke temapt yang sudah disetujui antara
responden dengan penelitian dan sesuai jadwal yang sudah disepakati.
Tujuan peneliti berkunjung untuk melakukan validasi transkip vabratim
dan rekaman wawancara. Responden yang menyatakan isi wawancara
sudah sesuai dengan memberikan tandatangan pada transkrip.
Kemudian peneliti menyerahkan tanda terimaksih kepada responden
karena telah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini.
4.6 Kerangka Kerja
Kerangka kerja penelitian kualitatif gambaran kejadian nomophobia di
kalangan mahasswa Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga
Surabaya direncanakan seperti gambar bagan berikut:

26
Gambar 4.1 Kerangka kerja penelitian gambaran
nomophobia pada kalangan mahasiswa di
Falkutas Keperawatan Universitas
Airlangga

4.7 Analisa Data

Metode kualitatif merubah data menjadi temuan (findings). Analisis berarti


mengolah data, mengorganisir data, memecahkannya dalam unit yang lebih
kecil, mencari pola dan tema yang sama.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan

27
kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting untuk dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data
kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang
diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi
hipotesis (Sugiyono, 2016).
4.7.1 Proses Analisis data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak
sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di
lapangan. penelitian fenomenologi menggunakan analisis pernyataan
signifikan, pembentukan unit makna. Penelitian ini menggunakan
metode analisis Creswell (2016) dimana terdapat 6 langkah analisis
dalam ilustrasi gambar berikut:

28
Gambar 4.2 Ilustrasi analisis data penelitian kualitatif gambaran
kejadian nomophobia pada kalangan mahasiswa di
Falkutas Keperawatan Universitas Airlangga.

4.7.2 Langkah-langkah Proses Analisis data


Pendekatan analisis model creswell di atas dapat dijabarkan dalam
langkah-langkah analisis sebagai berikut :
1) Langkah pertama.
Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini
melibatkan transkrip wawancara, scaning materi, mengetik data
lapangan, memilah, menyusun data tersebut ke dalam jenis yang
berbeda tergantung sumber informasi.
2) Langkah kedua.
Membaca keseluruhan data, pertama membangun general sense
atas informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara
keseluruhan. Gagasan apa yang terkandung, bagaimana nada
gagasan tersebut, bagaimana kesan dari kedalaman, kredibilitas dan
penuturan informasi. Apabila diperlukan tulis dalam catatan khusus
tentang data yang diperoleh.
3) Langkah ketiga.
Memulai coding untuk semua data. Coding merupakan proses
pengorganisasian data dengan mengumpulkan potongan (teks atau
gambar) dan menuliskan kategori. Langkah coding sebagai berikut:
(1) Membaca transkrip secara seksama, berusaha untuk
menangkap gagasan inti dari transkripsi tersebut.
(2) Memilih dokumen wawancara yang paling menarik,
paling singkat, dan paling penting. Pelajari baik-baik
lalu tanyakan pada diri sendiri “ini tentang apa”
pikirkan makna besarnya.

(3) Membuat daftar dari semua topik yang diperoleh,


masukan topik ke dalam kolom khusus, bisa sebagai
topik utama, topik unik, atau topik khusus.

29
(4) Ringkas topik tersebut menjadi kode – kode, lalu tulis
kode tersebut dalam segmen/kategori. Amati kembali
kategori yang sudah dibuat dengan teliti sehingga
tidak ada yang terlewat.
(5) Membuat satu kalimat/frasa/kata yang paling cocok
untuk mengambarkan topik – topik yang sudah
diperoleh sebelumnya, kemudian masukan topik
tersebut dalam kategori–kategori khusus. Mencoba
meringkas kategori yang ada dengan mengelompokan
topik– topik yang saling berhubungan satu dan yang
lain. Membuat garis antar kategori untuk menunjukan
keterhubungannya.
(6) Jika masih memungkinkan, meringkas kembali
kategori tersebut lalu disusun dalam bentuk kode.
(7) Memasukan materi data ke dalam setiap kategori
tersebut dan bersiap untuk melakukan analisis awal.
(8) Apabila diperlukan dapat dilakukan coding kembali
data yang sudah ada.

4.8 Etika Penelitian

Penerapan prinsip etik diperlukan untuk menjamin perlindungan


terhadap hak-hak partisipan maupun perlindungan peneliti itu sendiri (D. F.
Polit and Beck, 2012). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Komisi Etik Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Nasional Pasal 1 ayat 2 menyatakan etik
penelitian dan pengembangan kesehatan adalah prinsip/kaidah dasar yang
harus diterapkan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan
kesehatan yang meliputi : 1) prinsip menghormati harkat martabat manusia
(respect for persons), 2) prinsip bermanfaat bagi orang lain. (beneficence)
dan tidak merugikan (non-maleficence), dan 3) prinsip keadilan (justice).

1) Respect for persons

30
Prinsip etik respect for persons adalah partisipan
memiliki kewenangan penuh dan hak dalam membuat
keputusan secara sadar dan dapat dipahami dengan baik.
Partisipan memiliki kebebasan tanpa ada paksaan untuk
berpartisipasi maupun menolak keikutsertaan dalam
penelitian ini ataupun mengundurkan diri saat proses
penelitian (D. F. Polit and Beck, 2012). Peneliti
menemui partisipan dikediamannnya untuk memberi
penjelasan tujuan, manfaat, prosedur, serta peran calon
partisipan. Peneliti juga meminta calon partisipan untuk
menandatangani informed consent sebagai partisipan.
Peneliti memberikan kesempatan partisipan
mempertimbangkan keputusan untuk ikut serta atau
menolak dalam penelitian. Jika calon partisipan tidak
bersedia untuk terlibat dalam penelitian maka peneliti
tidak memaksakan untuk menandatangani informed
consent.
Selain itu, peneliti juga memberikan kebebasan bagi
partisipan untuk bercerita, jika memang ada hal-hal
yang tidak ingin diutarakan penderita kanker serviks
karena berkaitan dengan persoalan pribadi, maka
peneliti tidak memaksakannya. Peneliti juga
memberikan kebebasan kepada partisipan untuk
mengundurkan diri dari penelitian. Kemudian,
pemilihan lokasi wawancara ditawarkan kepada
partisipan. Hal ini sebagai bentuk penghormatan
terhadap hak partisipan dan demi kenyamanan dalam
proses wawancara sehingga partisipan dapat
menceritakan pengalamannya dengan mengganti nama
partisipan dengan kode partisipan yaitu P1, P2, dan
seterusnya. Sedangkan untuk confidentiality, peneliti
menjamin kerahasian informasi dan data yang diperoleh

31
partisipan.

2) Beneficence dan Non-Maleficence

Prinsip etik beneficience (kemanfaatan) adalah salah satu


prinsip dasar etik yang menegakkan tanggungjawab
peneliti untuk meminimalisir kerugian, kesalahan maupun
hal-hal yang sifatnya membahayakan partisipan dan
memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh dari
penelitian. Non-maleficence yaitu setiap tindakan harus
berpedoman pada prinsip primum non nocere (yang paling
utama jangan merugikan). Risiko fisik, psikologis, dan
sosial hendaknya diminimalisir semaksimal mungkin.
Dalam penelitian ini, prinsip beneficience dan non-
maleficence diterapkan peneliti dalam menggali
penerimaan diri partisipan. Partisipan diposisikan sebagai
sumber data demi kepentingan peneliti dengan menghargai
setiap ungkapan partipan sebagai masukan bagi
pengembangan keperawatan. Hal ini bertujuan untuk
memberikan gambaran baru dalam praktik keperawatan
bahwa kebutuhan penderita kanker serviks tidak hanya
aspek biologis yang di penuhi, melainkan aspek bio-psiko-
sosio dan spiritualnya juga harus dikaji secara holisitik.

3) Justice
Prinsip etik justice yaitu semua partisipan diperlakukan
dengan pendekatan dan prosedur yang sama, tanpa
membedakan satu sama lain. Peneliti memberikan alur
pertanyaan yang sama kepada setiap partisipan sesuai
dengan panduan wawancara. Selama menggali data, peneliti
tidak hanya bersikap sebagai seorang yang profesional dan
berkepentingan terhadap data penelitian, akan tetapi peneliti
juga memberikan bantuan kepada partisipan terkait hal-hal

32
yang masih menjadi kesulitan bagi partisipan. Saat
partisipan kurang memahami pertanyaan, maka peneliti
berupaya agar pertanyaan menjadi lebih mudah dipahami.
Selain itu peneliti juga membantu partisipan jika mengalami
kesulitan dalam menemukan kata yang sesuai dengan apa
yang ingin diungkapkan tanpa berupaya untuk
mengarahkan jawaban. Proses semacam ini diperbolehkan
dalam penelitian fenomenologi.

4.9 Keabsahan data


Keabsahan data (trustworthiness) merupakan salah satu unsur
yang sangat penting untuk menentukan kualitas ouput dari
keselurhan proses penelitian kualitatif. Keabsahan data dapat
dicapai melalui proses pengumpulan data yang tepat dengan cara
proses triagulasi dan harus memiliki derajat kepercayaan
(credibility), keteralihan (trasferability), keandalan
(dependability), dan kepastian (confirmability).
1) Triagulasi dibagi menjadi empat macam yaitu triagulasi
data, pengamat, teori dan metode. Triagulasi data
menggunakan berbagai sumber data, seperti dokumen,
arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan
mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap
memiliki sudut pandang yang berbeda. Triangulasi
pengamat mensyaratkan adanya pengamat di luar peneliti
yang turut memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam
penelitian ini, pembimbing dosen bertindak sebagai
pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan
terhadap hasil pengumpulan data. Triangulasi teori berupa
penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk
memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah
memenuhi syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah
dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji

33
terkumpulnya data tersebut. Triangulasi metode berupa
penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal,
seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang
ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancara
dilakukan. Dalam hal ini adalah melibatkan mahasiswa
dengan responden partisipan untuk konfirmasi.

2) Kepercayaan (credibility) data dibuktikan melalui proses


klarifikasi kepada responden. Data yang telah dihimpun
oleh peneliti ditunjukkan kepada responden untuk dibaca
ulang dan dilakukan verifikasi terhadap keakuratan data.
Partisipan berhak melakukan konfrontasi jika memang
terdapat data yang tidak sesuai dengan konteks yang
dimaksud dan peneliti wajib melakukan perubahan. Data
dinilai telah sesuai kemudian diparaf oleh responden pada
naskah verbatim dan kemudia menandatangani persetujuan
keakuratan data, selain Selain dari partisipan, peneliti juga
melakukan teknik triangulasi untuk mencapai validitas data
dengan mengumpulkan data dari sumber data yang berbeda
yaitu keluarga yang tinggal serumah dengan partisipan .

3) Transferability atau keteralihan merupakan validitas


eksternal yang dinilai dari dapat atau tidaknya hasil
penelitian untuk diterapkan pada tempat atau waktu yang
lain dengan konteks situasi yang sama dengan saat
penelitian dilakukan (Sugiyono, 2010). Untuk mencapai hal
ini, peneliti menggali data- data subyektif melalui
pendekatan yang mengutamakan obyektivitas. Obyektivitas
diperoleh melalui penerapan prinsip bracketing. Dalam
menerapkan prinsip bracketing, peneliti telah
mengesampingkan semua interpretasi pribadinya tentang
fenomena yang sedang diteliti, terutama saat melakukan
pengumpulan data dan analisis data. Peneliti sepenuhnya

34
menggunakan sudut pandang partisipan sehingga deskripsi
dari fenomena yang diamati adalah murni dari sudut
pandang partisipan tanpa inferensi dengan sudut pandang
peneliti. Transferability juga diperoleh melalui metode
penggalian data yang sama antar partisipan, serta bentuk-
bentuk pertanyaan yang sama. Alur wawancara pun telah
dilakukan sama antar partisipan.

4) Keandalan (dependability), bermakna sebagai reliabilitas


atau kestabilan data dari masa ke masa dan kondisi ke
kondisi. Salah satu teknik mencapai dependability adalah
inquiry audit, melibatkan suatu penelaahan data dan
dokumen-dokumen yang mendukung secara menyeluruh
dan terperinci oleh penelaah. Penelaah yang dilibatkan
adalah pembimbing penelitian dan pengurus
kemahasiswaan di Falkutas Keperawatan Universitas
Airlangga.

5) Kepastian (confirmability), menekankan pada obyektivitas


dan netralitas data. Tujuannya juga untuk menguji mutu
berkualitas atau tidaknya hasil penelitian. Penelitian
dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepakati
responden. Dalam penelitian kualitatif, uji confirmability
mirip dengan uji dependability sehingga pengujiannya
dapat dilakukan secara bersamaan. Peneliti melakukan
konfirmasi dengan menunjukkan transkrip yang sudah
ditambahkan catatan lapangan, tabel pengkategorian tema
awal dan tabel analisis tema pada pembimbing penelitian
dan responden.

4.10 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan mengenai penulisan karya tulis atau riset perlu


disebutkan pada bagian ini atau bagian pembahasan. Isalnya,
keterbatasan dalam pengambilan sampel, jumlah sampel yang

35
diteliti, istrumen pengumpulan data, keterbatasan waktu atau
penelitian dan lainnyayang dipandang perlu.

36
37

DAFTAR PUSTAKA

Adawi, M., Zerbetto, R., Re, T. S., Bisharat, B., Mahamid, M., Amital, H., …
Bragazzi, N. L. (2019). <p>Psychometric properties of the Brief Symptom
Inventory in nomophobic subjects: insights from preliminary confirmatory
factor, exploratory factor, and clustering analyses in a sample of healthy Italian
volunteers</p>. Psychology Research and Behavior Management, Volume 12,
145–154. https://doi.org/10.2147/prbm.s173282

Ahmed, S., Pokhrel, N., Roy, S., Samuel, A. J., Olahraga, D. F., Fisioterapi, M., &
Markandeshwar, M. (2019). Dampak nomophobia : Sebuah kecanduan
nondrug kalangan mahasiswa tentu saja fisioterapi menggunakan survei
cross-sectional secara online. 77–80.

Adawi, M., Zerbetto, R., Re, T. S., Bisharat, B., Mahamid, M., Amital, H., …
Bragazzi, N. L. (2019). <p>Psychometric properties of the Brief Symptom
Inventory in nomophobic subjects: insights from preliminary confirmatory
factor, exploratory factor, and clustering analyses in a sample of healthy
Italian volunteers</p>. Psychology Research and Behavior Management,
Volume 12, 145–154. https://doi.org/10.2147/prbm.s173282

Aguilera-Manrique, G., Márquez-Hernández, V. V., Alcaraz-Córdoba, T.,


Granados-Gámez, G., Gutiérrez-Puertas, V., & Gutiérrez-Puertas, L. (2018).
The relationship between nomophobia and the distraction associated with
smartphone use among nursing students in their clinical practicum. PLoS
ONE, 13(8), 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0202953

Ahmed, S., Pokhrel, N., Roy, S., Samuel, A. J., Olahraga, D. F., Fisioterapi, M., &
Markandeshwar, M. (2019). Dampak nomophobia : Sebuah kecanduan
nondrug kalangan mahasiswa tentu saja fisioterapi menggunakan survei
cross-sectional secara online. 77–80.

Ali, A., Muda, M., Ridzuan, A. R., Nuji, M. N. N., Izzamuddin, M. H. M., &
Latiff, D. I. A. (2017). The relationship between phone usage factors and
nomophobia. Advanced Science Letters, 23(8), 7610–7613.

37
38

https://doi.org/10.1166/asl.2017.9534

Argumosa-villar, L., Boada-grau, J., & Vigil-colet, A. (2017). Exploratory


investigation of theoretical predictors of nomophobia using the Mobile
Phone Involvement Questionnaire ( MPIQ ). Journal of Adolescence, 56,
127–135. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2017.02.003

Arpaci, I. (2019). Culture and nomophobia: The role of vertical versus horizontal
collectivism in predicting nomophobia. Information Development, 35(1), 96–
106. https://doi.org/10.1177/0266666917730119

Arpaci, I., Baloğlu, M., & Kesici, Ş. (2019). A multi-group analysis of the effects
of individual differences in mindfulness on nomophobia. Information
Development, 35(2), 333–341. https://doi.org/10.1177/0266666917745350

Gutiérrez-puertas, L., Márquez-hernández, V. V, & São-romão-preto, L. (2019).


Nurse Education in Practice Comparative study of nomophobia among
Spanish and Portuguese nursing students. Nurse Education in Practice,
34(October 2018), 79–84. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2018.11.010

Hamza Muhammad, I.-U.-H., Hamid, S., Nadir, M., & Mehmood, N. (2018).
Psychosocial interventions for technological addictions. Indian Journal of
Psychiatry, 60, 109–113.
https://doi.org/10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry

Lee, S., Kim, M., Mendoza, J. S., & McDonough, I. M. (2018). Addicted to
cellphones: exploring the psychometric properties between the nomophobia
questionnaire and obsessiveness in college students. Heliyon, 4(11), e00895.
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2018.e00895

Lin, C., Griffiths, M. D., & Pakpour, A. H. (2018). Psychometric evaluation of


Persian Nomophobia Questionnaire : Differential item functioning and
measurement invariance across gender. 7(1), 100–108.
https://doi.org/10.1556/2006.7.2018.11

Lucia, A., King, S., Valença, A. M., Silva, A. C., Sancassiani, F., Machado, S., &
Nardi, A. E. (2014). “ Nomophobia ”: Impact of Cell Phone Use Interfering

38
39

with Symptoms and Emotions of Individuals with Panic Disorder Compared


with a Control Group. 28–35.

Ma, J., & Liu, C. (2018). Evaluation of the factor structure of the Chinese version
of the nomophobia questionnaire.

Mega Silviliyana, Ika Maylasari, Rida Agustina, Karuniawati Dewi Ramadani,


Rini Sulistyowati, Linda Annisa, F. W. R. D. (2018). Statiskik Penduduk
Lanjut Usia 2018. In R. S. Dwi Susilo, Ida Eridawaty Harahap (Ed.), Badan
Pusat Statistika. Retrieved from
https://www.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=ZWFkYmFiNj
UwN2MwNjI5NGI3NGFkZjcx&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cuYnBzLmdvL
mlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMTgvMTIvMjEvZWFkYmFiNjUwN2Mw
NjI5NGI3NGFkZjcxL3N0YXRpc3Rpay1wZW5kdWR1ay1sYW5qdXQtdX
NpYS0yMDE4Lmh0bWw%3D&twoadfnoarfeauf=MjAxOS0xMC0yMyAx
Njo1MzozMw%3D%3D

Nilam P.I Warni Sayekti1, L. Y. H. (2015). Analisis risiko depresi, tingkat. Vol. 3,
181–193.

Olivencia-carrión, M. A., Ferri-garcía, R., Rueda, M., Jiménez-torres, M. G., &


López-torrecillas, F. (2018). Temperament and characteristics related to
nomophobia. Psychiatry Research, 266(October 2017), 5–10.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2018.04.056

Ozdemir, B., Cakir, O., & Hussain, I. (2018). Prevalence of Nomophobia among
university students: A comparative study of Pakistani and Turkish
undergraduate students. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Technology Education, 14(4), 1519–1532.
https://doi.org/10.29333/ejmste/84839

Papilaya, J. O., & Huliselan, N. (2017). Identifikasi Gaya Belajar Mahasiswa.


Jurnal Psikologi Undip, 15(1), 56. https://doi.org/10.14710/jpu.15.1.56-63

Pradana, P. W. (2019). Perancangan Aplikasi Liva Untuk Mengurangi


Nomophobia Dengan Pendekatan Gamifikasi. Jurnal Teknik ITS, 5(1).
https://doi.org/10.12962/j23373539.v5i1.14420

39
40

Prasad, M., Patthi, B., Singla, A., Gupta, R., Saha, S., Kumar, J. K., … Pandita, V.
(2017). Nomophobia: A cross-sectional study to assess mobile phone usage
among dental students. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 11(2),
ZC34–ZC39. https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/20858.9341

Rosales-huamani, J. A., Guzman-lopez, R. R., & Aroni-vilca, E. E. (2019).


Determining symptomatic factors of nomophobia in Peruvian Students from
the National University of Engineering. (January), 1–16.
https://doi.org/10.20944/preprints201901.0331.

Shankar, V., Singh, K. & Jangir, M. (2018). NOMOPHOBIA : Detection and


Analysis of Smartphone Addiction in Indian Perspective. 13(14), 11593–
11599.

Sok, S. R., Seong, M. H., & Ryu, M. H. (2018). Differences of Self-Control,


Daily Life Stress, and Communication Skills between Smartphone Addiction
Risk Group and General Group in Korean Nursing Students. Psychiatric
Quarterly, 1–9. https://doi.org/10.1007/s11126-018-9596-1

Wahyu, F. F. (2018). Perbedaan Pengaruh Pemberian Susu Kedelai dan Susu


Tempe terhadap Kualitas Tidur Atlet Sepak Bola Remaja FITRI FATHONAH
WAHYU.

Widyastuti, D. A., Muyana, S., Universitas, K., & Dahlan, A. (2018). Potret
Nomophobia ( No Mobile Phone Phobia ) di Kalangan Remaja. 4(1), 62–71.

LAMPIRAN
Fakta 1:
1. Nomophobia dianggap sebagai gangguan dunia modern yang berasal dari
kemajuan teknologi yang telah dihasilkan oleh komunikasi virtual
(Olivencia-carrión et al., 2018).
2. Nomophobia merupakan suatu kondisi ketakutan modern karena tidak dapat
berkominakasi melalui Mobile Phone (MP) maupun internet (Lin et al.,
2018).
3. Nomphobia merupakan gangguan yang disebabkan oleh pengguna
smartphone, dalam istilah akromi “No Mobile Phone Phobia’ adalah rasa

40
41

takut seseorang ketika tidak dapat menggunakan ponsel atau jauh dari
ponsel (Arpaci, 2019).
4. Laporan kasus menurut International Telecommunication Union (2016)
penggunaan Mobilebroadband melebihi 90% dari negara maju pada akhir
tahun 2016, angka tersebut menunjukan bahwa orang secara bertahap
menjadi ketergantungan pada perangkat mobile mereka, dan menyebabkan
masalah yang terkait dengan perangkat mobile terhadap individu akan
meningkat dari sebelumya (Arpaci, 2019).
5. Nomophobia mengacu pada perasaan yang tidak nyaman atau kecemasan
yang dialami individu ketika individu tidak dapat menggunakan ponsel atau
memanfaatkan perangkat yang ada diponsel mereka (Arpaci, 2019).
6. Individu yaang mengalami nomophobia, cenderung berlebihan memeriksa
pesan atau media sosial yang berlebihan karena takut kehilangan koneksi
dan kehilangan untuk mengakses informasi (Lee et al., 2018).

7. Perubahan emosioal yang terkait dengan penyalahgunaan ponsel


berhubungan dengan kejadian nomophobia yang menimbulkan kecemasan,
takikardi, perubahan pernapasan, gemetar, keringat, panik, takut, dan
depresi ketika terpisah atau tidak dapat menggunakan ponsel (Olivencia-
carrión et al., 2018)
8. Pada tahun 2012 di inggris penggunaan ponsel meningakat dari 53% mejadi
66% dengan peningkatan nomophobia pada perempuan (70%) dan laki-laki
(61%), ini menunjukan bahwa perempuan lebih rentan nomophobia dari
laki-laki yang mengungkapkan perasaan cemas ketika tidak menggunakan
ponsel atau kekalahan kecanggihan dari ponsel mereka (Ozdemir et al.,
2018)
9. Prevalensi dalam penenlitian “Prevalence of Nomophobia among
University Students: A Comparative Study of Pakistani and Turkish
Undergraduate Students”, mengungkapkan bahwa lebih di antara (77%)
pengguna dari kelompok usia 18-24 tahun dan, (68%) pengguna dari
kelompok usia 24-35 tahun (Arpaci, 2019).
10. Sembilan puluh lima persen (95%) mengkhawatirkan individu nomophobia
dengan penggunaan smartphone untuk mengirim pesan, broswing web, atau

41
42

menonton televisi melalui ponsel sebelum tidur dan tujuh puluh dua persen
(72%) ponsel tidak bisa jauh dari lima langkah kaki mereka (Ozdemir et al.,
2018).
11. Nomophobia terjadi rasa ketidaknyamanan, kegelisahan, kegugupan atau
kesedihan ketika tidak bisa berhubungan ponsel, hal ini mengarah pada
perilaku adiksi (Widyastuti et al., 2018).
12. Nomophobia menyerupai perilaku gangguan kepribadian terutama obsesif
compulsiveness, karena nomphobia merupakan penyakit klinis jangka baru
di bidang psikologis (Lee et al., 2018).
13. Dalam penelitian (Ozdemir et al., 2018),mengungkapkan bahwa

pengamatan perilak kecemasan pada penggunaan informatika sosial (media


sosial) dan ponsel pada mahasiswa kedokteran diantara mereka mengalami
perilaku kencanduan karena, 93% mereka tidak bisa lepas dari ponsel,
bahkan mereka menyimapan ponsel didekatnya ketika tidur, hal ini
menenjukukan ketergantungan mahasiswa kedokteran terhadap ponsel
meingkatkan kejadian nomophobia pada mereka.

14. Kecenderungan kecanduan smartphone yang tertinggi dilaporkan terjadi


pada siswa SMA dan Mahasiswa, terdapat Lima puluh dua, lima (52,5%)
yang menggunakan smartphone adalah kalangan mahasiswa (Sok, Seong,
& Ryu, 2018).
Fakta 2:
1. Nomophobia memiliki beberapa ciri, ciri pertama dari nomophobia adalah
ponsel pintar yang merupakan sumber kelegaan dan kenyamanan
(Widyastuti et al., 2018).
2. Karateristik nomophobia bervariasi seperti, menggunakan telepon seluler
secara teratur, selalu mebawa charger, merasa cemas dan gugup kehilangan
handset atau ketika mobile-phone tidak bisa digunakan karena pulsa habis,
kouta internet tidak ada, jaringan sulit, dan batarei habis; memperhatikan
telepon apakah ada pesan atau panggilan masuk, letak telepone saat tidur
disampingya, sedikit interaksi secara tatap muka dengan orang lain dan
memilih komunikasi dengan mobile-phone (Widyastuti et al., 2018).

42
43

3. Terdapat bagian rinxiety atau kecemasan dari nomophobia yaitu seolah


mendengar nada dering atau dikenall dengan phantom vibration syndrome
yang terjadi sensasi palsu dering mobile-phone (Widyastuti et al., 2018).
4. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya nomophobia, yaitu
tingkat pengunaan, kebiasaan, dan ketergantungan yang berdampak
kecemasan dalam penggunaan smartphone (Widyastuti et al., 2018).
5. Terdapat empat aspek dalam nomophobia yaitu tidak bisa berkomunikasi
(not being able to communicate), kehilangan koneksi (losing
connectedness), tidak dapat mengakses informasi (not being able to access
information) dan kehilangan kenyamanan (giving up convenience) (Lin et
al., 2018).
6. Sebuah penelitian meneliti tentang faktor sosiodemografi berhubungan
dengan nomophobia, yang menyoroti tentang jenis kelamin yang
menghasilkan hasil yang beragam (Argumosa-villar et al., 2017).
7. Sebuah penelitian menemukan bahwa skor yang lebih tinggi penderita
nomophobia berkorelasi degan usia yang lebih muda (Argumosa-villar et
al., 2017).
8. Nomophobia digambarakan sebagai sindrom analog dengan kecanduan
substansi, tetapi fokus pada perilaku yang tertentu, mirip dengan konsumsi
zat, dan mengahasilkan efek jangka pendek yang dapat bertahan meskipun
kosekuensinya berbahaya (Olivencia-carrión et al., 2018)
9. Nomophobia dapat muncul karena pengaruh kontrol emosi terutama rasa
takut, cemas, khawatir yang dikendalikan oleh diri sendiri (Widyastuti et
al., 2018).

Spider Web

43
44

1. Literature Review
2. Kerangka Konsep
3. Tujuan Penelitian :
1) Tujuan Umum : Menjelaskan Gambaran Kejadian Nomophobia pada
Mahasiswa
2) Tujuan Khusus : Mengidentifikasi gambaran kejadian nomophobia
pada mahasiswa
4. Judul
“Gambaran Kejadian Nomophobia pada Mahasiswa di Falkutas
Keperawatan Universitas Airlangga”

44

Anda mungkin juga menyukai