Anda di halaman 1dari 32

Asuhan Keperawatan Lansia dengan Gangguan

Biologis : Mobilisasi

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah “Keperawatan Gerontik”

Disusun oleh:

1. Dede Irawan
2. Isep Juhaeni K.
3. Rizky Nugraha

PROGRAM S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
TASIKMALAYA
2012
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabil’alamin, puji dan syukur kami limpahkan kehadirat


Alloh Swt, karena atas pertolongan Alloh dengan limpahan rahmat, hidayah dan
ridha_Nya, kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “Asuhan
Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan Biologis: Mobilisasi”.
Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Keperawatan Gerontik yang diberikan oleh pembimbing di S1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Tasikmalaya.
Dalam penyusunan Makalah ini, kami mendapat bimbingan, nasehat,
arahan dan dukungan moral maupun material yang sangat berharga dari berbagai
pihak, khususnya Dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan
makalah yang selanjutnya. Semoga dari setiap usaha dan partisipasi semua pihak
mendapat balasan yang berlipat ganda dari Alloh Swt. Amin.
Akhirnya dari segala kerendahan hati kami berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi saya sendiri khususnya maupun pada pembaca
umumnya.

Tasikmalaya,September 2012

PENYUSUN,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................ 1
1.4 Manfaat...................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi......................................................................
...................................................................................3
2.2 Epidemiologi.............................................................
...................................................................................3
2.3 Epidemiologi.............................................................
...................................................................................3
2.4 Faktor Risiko.............................................................
...................................................................................4
2.5 Manifestasi klinis......................................................
...................................................................................5
2.6 Manifestasi klinis......................................................
...................................................................................6
2.7 Prognosis...................................................................
...................................................................................6
2.8 Terapi........................................................................
...................................................................................7
2.9 Pencegahan................................................................
...................................................................................8
...................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian................................................................. 10

ii
3.2 Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan Keperawatan 16
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................... 27
4.2 Saran ......................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan
kemandirian bagi seseorang. Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai tingkat
aktivitas yang kurang dari mobilitas normal. Imobilitas dan intoleran aktivitas
sering sekali terjadi pada lansia. Sebagian besar lansia mengalami imobilitas
dengan bermacam-macam penyebab.
Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang digunakan untuk
lansia mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas fisik adalah diagnosis pertama
atau kedua yang paling sering muncul. Prevalensi dari masalah ini meluas di luar
institusi sampai melibatkan seluruh lansia.
Awitan imobilitas atau intoleran aktivitas pada sebagian besar orang tidak
terjadi secara tiba-tiba. Awitannya bertahap dari mobilitas penuh sampai
ketergantungan fisik total atau ketidak aktifan, tetapi berkembang secara perlahan
dan tanpa disadari.
Seorang perawat harus memberikan intervensi yang tepat agar dapat
menghambat terjadinya ketergantungan fisik total. Intervensi yang diarahkan pada
pencegahan kearah konsekuensi-konsekuensi imobilitas dan ketidak aktifan dapat
menurunkan kecepatan penurunannya.
 
1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia yang mengalami imobilitas?
 
1.3  Tujuan
1.3.1        Tujuan Umum
Mengetahui, memahami dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia
yang mengalami imobilitas
1.3.2        Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan mampu menjelaskan definisi imobilitas.

1
2. Mengetahui dan mampu menjelaskan kembali faktor penyebab dan
karakteristik imobilitas pada lansia.
3. Mengetahui dan mampu menjelaskan dampak imobilitas pada lansia.
4. Megetahui dan mampu menjelaskan pencegahan imobilitas yang terjadi
pada lansia.
 
1.4  Manfaat
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberi informasi bagi
mahasiswa keperawatan dan dapat menjadi bekal dalam memberikan asuhan
keperawatan khususnya dalam keperawatan gerontik.
 

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 
2.1 Definisi
Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di
tempat tidur,tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan
pada alat/organ tubuh yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai
suatu keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus – menerus selama 5 hari
atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo, 2009).
Immobility (imobilisasi) adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring (bed
rest) selama 3 hari atau lebih (Adi, 2005). Suatu keadaan keterbatasan
kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang dialami seseorang (Pusva,
2009).
Didalam praktek medis imobilisasi digunakan untuk menggambarkan
suatu sindrom degenerasi fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan
ketidakberdayaan.
 
2.2 Epidemiologi
Immobilisasi lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi
pada orang – orang lanjut usia (lansia), pasca operasi yang membutuhkan tirah
baring lama. Dampak imobilisasi lama terutama dekubitus mencapai 11% dan
terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan emboli paru berkisar
0,9%,dimana tiap 200.000 orang meninggal tiap tahunnya.
 
2.3 Batasan karakteristik
1. Ketidakmampuan untuk bergerak dengan tujuan di dalam lingkungan,
termasuk mobilitas di tempat tidur, berpindah dan ambulasi.
2. Keengganan untuk melakukan pergerakan.
3. Keterbatasan rentang gerak.
4. Penurunan kekuatan, pengendalian, atau masa otot.

3
5. Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protokol-protokol mekanis
dan medis.
6. Gangguan koordinasi.
 
2.4 Faktor Risiko
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada usia lanjut, seperti pada tabel berikut:
Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut
Gangguan Artritis
muskuloskeletal Osteoporosis
Fraktur (terutama panggul dan femur)
Problem kaki (bunion, kalus)
Lain-lain (misalnya penyakit paget)
Gangguan neurologis Stroke
parkinson Penyakit
Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati)
Penyakit kardiovaskular Gagal jantung kongensif  (berat)
Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering)
Penyakit vaskular perifer (kardkasio yang sering)
Penyakit paru Penyakit paru obstruksi kronis (berat)
Faktoe sensorik Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut akan jatuh)
Penyebab lingkungan Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti
werdha)
Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat
Nyeri akut atau kronik
Lain-lain Dekondisi (setelah tirah baring lama metastasis luas
pada keganasan)
Malnutrisi
Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada

4
keganasan)
Depresi
Efek samping obat (misalnya kekuatan yang
disebabkan obat antipsikotik)
 
 
2.5 Manifestasi klinis
Dampak fisiologis dari imobilitas, antara lain:
Efek Hasil
 Penurunan konsumsi oksigen  Intoleransi ortostatik
maksimum  Peningkatan denyut jantung,
 Penurunan fungsi ventrikel sinkop
kiri  Penurunan kapasitas kebugaran
 Penurunan volume sekuncup  Konstipasi
 Perlambatan fungsi usus  Penurunan evakuasi kandung
 Pengurangan miksi kemih
 Gangguan tidur  Bermimpi pada siang hari,
halusinasi
     
Tabel 2. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ
Organ / Sistem Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi
Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya
kekuatan otot, penurunan area potong lintang otot,
kontraktor, degenerasi rawan sendi, ankilosis,
peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya
volume sendi
Kardiopulmonal dan Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan
pembuluh darah perfusi miokard, intoleran terhadap ortostatik,
penurunan ambilan oksigen maksimal (VO2 max),
deconditioning jantung, penurunan volume plasma,

5
perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru,
pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan
agresi trombosit, dan hiperkoagulasi
Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan laserasi
kulit
Metabolik dan endokrin Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria,
natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin
(intoleransi glukosa), hiperlipidemia, serta
penurunan absorpsi dan metabolisme
vitamin/mineral
Neurologi dan psikiatri Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan
sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan
fungsi kognitif, neuromuskular yang tidak efisien
Traktus gastrointestinal Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih,
dan urinarius pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung
kemih yang tidak sempurna dan distensi kandung
kemih, impaksi feses dan konstipasi, penurunan
motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran
napas dan peningkatan risiko perdarahan
gastrointestinal
 
2.6 Komplikasi
Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada
hampir semua sistem organ sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan
berkurangnya fungsi motorik.
 
2.7 Prognosis
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan
komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memberat

6
penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai
menimbulkan kematian
 
2.8 Terapi
Tatalaksana Umum
1. Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan
pramuwerdha.
2. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
sendiri, semampu pasien.
3. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan
pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang
diperlukan untuk mencapai target terapi.
4. Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan
dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/
kondisi penyetara lainnya.
5. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentkan bila memungkinkan.
6. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.
7. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis
terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,
aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik,
isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/keseimbangan, dan ambulasi
terbatas.
8. Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu
berdiri dan ambulasi.
9. Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.
 

7
Tatalaksana Khusus
1. Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat tabel 1).
2. Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi.
3. Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten.
4. Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien–pasien yang
mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk
mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas
permanen.
 
2.9 Pencegahan
1.      Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang
kehidupan dan episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang
kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada fungsi sistem
muskuloskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodik,
pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang dapat
timbul akibat imobilitas atau ketidak aktifan.
1.1 Hambatan terhadap latihan
Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam latihan secara
teratur. Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi sosial yang terjadi ketika
teman-teman dan keluarga telah meninggal, perilaku gaya hidup tertentu
(misalnya merokok dan kebiasaan diet yang buruk), depresi,  gangguan tidur,
kurangnya transportasi dan kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan termasuk
kurangnya tempat yang aman untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak
mendukung. 
1.2 Pengembangan program latihan
Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan
mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikan kesempatan
pada klien untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan
bentuk aktif dari rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan. Ketika klien

8
telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang faktor-faktor
pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan keterikatan dan
meningkatkan pengalaman:
 Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadi sebelum, selama dan
setelah aktivitas diberikan).
 Kecenderungan alami (predisposisi atau peningkatan kearah latihan
khusus).
 Kesulitan yang dirasakan.
 Tujuan dan pentingnya latihan yang dirasakan.
 Efisiensi latihan untuk diri sendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang
akan berhasil).
1.3 Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh
klien, instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien
untuk mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama
pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.
 
2.      Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat eksaserbasi akut dari imobilitas dapat
dikurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi
berasal dari suatu pengertian tentang berbagai faktor yang menyebabkan atau turut
berperan terhadap imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan
pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan
yang dihubungkan dengan pencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.
 

9
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
 
3.1 Pengkajian
1. Pemeriksaan fungsi motorik
 Pemeriksaan kekuatan otot
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot
secara manual (manual muscle testing MMT). Pemeriksaan ini ditujukan untuk
mengetahui kemampuan mengontraksikan kelompok otot secara volunter.
 Prosedur pelaksanaan MMT:
1. Lansia diposisikan sedemikan rupa sehingga otot mudah berkontraksi
sesuai dengan kekuatannya.
2. Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian.
3. Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
4. Lansia mengkontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada segmen
proksimal.
5. Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik palpasi
pada tendon atau perut otot.
6. Memberikan tahanan pada otot yang bergerak dengan luas gerak sendi
penuh.
7. Melakukan pencatatan hasil MMT.
 
Kriteria hasil pemeriksaan MMT:
1. Normal (5): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan
gravitasi dan melawan tahan maksimal.
2. Good (4): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan
gravitasi dan melawan tahanan sedang (moderat).
3. Fair (3): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan melawan
gravitasi tanpa tahanan.
4. Poor (2): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa melawan
gravitasi.

10
5. Trace (1): tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi.
6. Zero (0): kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi.
 
 Pemeriksaan tonus otot
Tonus otot adalah ketegangan minimal suatu otot dalam keadaan istirahat. Dapat
diperiksa dengan beberapa cara yaitu dengan palpasi, gerakan pasien dan vibrasi.
 Pemeriksaan luas gerak sendi
Luas gerak sendi (LGS) merupakan luas gerak sendi yang dapat dilakukan oleh
suatu sendi. Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk mengetahui besarnya LGS
suatu sendi dan membandingkannya dengan LGS sendi yang normal, membantu
diagnosis dan menentukan fungsi sendi.
Pengukuran LGS menggunakan Goniometer:
1. Posisi awal posisi anatomi, yaitu tubuh tegak, lengan lurus di samping
tubuh, lengan bawah dan tangan menghadap bawah.
2. Sendi yang di ukur harus terbuka.
3. Berikan penjelasan dan contoh gerakan.
4. Berikan gerakan pasif  2 atau 3 kali.
5. Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal.
6. Tentukan aksis gerakan baik secara aktif/pasif.
7. Letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis longitudinal.
8. Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi.
9. Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS.
 Pemeriksaan postur
Pemeriksaan postur di lakukan dengan cara inspeksi pada posisi berdiri. Pada
posisi tersebut postur yang baik/normal dapat terlihat dengan jelas. Dari samping,
tampak telinga, akromium, trunk, trokanter mayor, patela bagian posterior dan
maleolus lateralis ada dalam satu garis lurus.
 Pemeriksaan kemampuan fungsional
Ada beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan
kemampuan fungsional.

11
 Indeks ADL Barthel
NO FUNGSI SKOR KETERANGAN
1 Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu
pembuangan tinja 1 pencahar).
2 Kadang-kadang tak terkendali (1x
seminggu).
Terkendali teratur.
2 Mengendalikan rangsang 0 Tak terkendali atau pakai kateter
berkemih 1 Kadang-kadang tak terkendali
2 (hanya 1x/24 jam)
Mandiri
3 Membersihkan diri (seka 0 Butuh pertolongan orang lain
muka, sisir rambut, sikat gigi) 1 Mandiri
4 Penggunaan jamban, masuk 0 Tergantung pertolongan orang lain
dan keluar (melepaskan, 1 Perlu pertolonganpada beberapa
memakai celana, 2 kegiatan tetapi dapat mengerjakan
membersihkan, menyiram) sendiri beberapa kegiatan yang lain.
Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap dari berbaring 0 Tidak mampu
ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bias
2 duduk
3 Bantuan minimal 1 orang.
Mandiri
7 Berpindah/ berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa (pindah) dengan kursi roda.
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang.
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain

12
1
2 Sebagian dibantu (mis: memakai
baju)
Mandiri.
9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain
1 Mandiri
 
TOTAL SKOR
 Skor BAI :
 20       : Mandiri
 12-19  : Ketergantungan ringan
 9-11    : Ketergantungan sedang
 5-8      : Ketergantungan berat
 0-4      : Ketergantungan total
 
 Indeks Katz
Mengukur kemampuan mobilisasi dengan menggunakan 6 kegiatan: makan,
kontinensia, menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah dan mandi.
Termasuk kategori yang mana:
1. Mandiri dalam makan, kontinensia (BAB, BAK), menggunakan pakaian,
pergi ke toilet, berpindah, dan mandi.
2. Mandiri semuanya kecuali salah satu dari fungsi diatas.
3. Mandiri, kecuali mandi, dan satu lagi fungsi yang lain.
4. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian dan satu lagi fungsi yang lain.
5. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, dan satu lagi fungsi yang
lain.
 

13
1. Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi
yang lain.
2. Ketergantungan untuk semua fungsi diatas.
Keterangan:
Mandiri: berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari orang lain.
Seseorang yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan
fungsi, meskipun dianggap mampu.
 
 Indeks kenny-self care
Skala ini mengukur kemampuan perawatan diri yang meliputi 6 kategori:
1. Tidur dan istirahat
2. Berpindah
3. Bergerak
4. Berpakaian
5. Personal hygiene
6. Makan
Dalam memenuhi kebutuhan fungsional ini diperlukan hal-hal yang mencakup
kemampuan fisik, motivasi, bimbingan dan kemauan untuk belajar. Skala ini
dilakukan untuk mengukur kemampuan fungsional lansia yang dilakukan dalam
lingkungan yang tertutup, terlindungi atau dalam pengawasan perawat home care
atau rumah sakit. Penilaian ini tidak termasuk aktifitas diluar rumah seperti
berjalan ke kendaraan, menggunakan alat transportasi umum, dan bekerja seperti
mengangkat beban.
 
 Indeks ADL
      PENGKAJIAN B1-B6
1. B1 (Breath): Sekret susah keluar, Sesak nafas.
Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan
pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperatur dan denyut
jantung. Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan
gas arteri mengindikasikan adanya perluasan dan beratnya kondisi yang terjadi.

14
2. B2 (Blood): Pusing atau pingsan bila mencoba untuk berdiri (tegak), dan
mudah lelah.
Tanda dan gejala B1 (kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau
meyakinkan tentang perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk
diagnostik yang dapat diandalkan pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda
tromboflebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda homans positif.
Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti
gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor
tangan, berkeringat, kesulitan dalam mengikuti perintah dan sinkop
1. B3 (Brain): Daya hantar saraf menurun, koordinasi terganggu, aktivitas
terganggu.
2. B4 (Bladder): Adanya sisa urine karena posisi baring pasien ini tidak dapat
mengosongkan kandung kemih secara sempurna. Adanya Infeksi Saluran
Kemih (ISK) karena keadaan stagnasi urine maupun karena batu saluran
kencing. Serta terjadi batu saluran kencing karena faktor osteoporosis dan
diet yang tinggi kalsium maka mengakibatkan hiperkalsiuria.
Bukti dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik berupa
berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas kandung
kemih yang dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan
ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada abdomen bagian
bawah
1. B5 (Bowel): Konstipasi karena tirah baring yang lama.
Sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen
bagian bawah, rasa penuh, dan tekanan. Pengosongan rectum yang tidak
sempurna, anoreksia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan
sakit kepala
2. B6 (Bone): Nyeri pada tulang dan sendi, kaku/susah digerakkan, nyeri
leher, arthritis pasca trauma, osteoporosis.

15
3.2 Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan Keperawatan
1. Gangguan mobilisasi b.d penurunan kekuatan dan ketahanan otot
Definisi: Keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik, tetapi bukan imobilisasi.
Kriteria hasil: Individu menunjukkan peningkatan kekuatan dan fungsi sendi serta
tungkai yang sakit. Memperlihatkan penggunaam alat-alat yang adaptif untuk
meningkatkan mobilitas.
Kriteria Mayor:
a. Penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja dalam lingkungan
(misal: mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi).
b. Keterbatasan rentang gerak.
Kriteria Minor:
a. Pembatasan pergerakan yang dipaksakan.
b. Enggan untuk bergerak.
No Intervensi Rasional
.
1. Ajarkan untuk melakukan latihan 1. Latihan rentang gerak sangat
rentang gerak aktif pada anggota membantu lansia untuk mandiri
gerak yang sehat sedikitnya empat dan meminimalkan risiko cidera.
kali sehari.
1. Lakukan latihan rentang
gerak pasif pada anggota
gerak yang sakit. Lakukan
dengan perlahan, sangga
ekstremitas di bagian atas
dan bawah sendi.
2. Secara bertahap lakukan
latihan rentang gerak aktif
untuk aktivitas fungsional.

16
2. Amati dan ajarkan penggunaan alat 1. Penggunaan alat bantu yang tepat
bantu mobilisasi misal: kruk, dapat memaksimalkan mobilisasi
walker, kursi roda, dsb. untuk aktivitas fungsional.

 3. Dorong partisipasi aktivitas sehari- 1. Meningkatkan harga diri,


hari. meningkatkan rasa kontrol dan
kemandirian.
 
2. Intoleran aktivitas b.d nyeri sendi
Definisi: Penurunan dalam kapasitas fisiologis seseorang untuk melakukan
aktivitas sampai tingkat yang diinginkan atau yang dibutuhkan.
Kriteria hasil: Berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari sesuai tingkat
kemampuan. TTV dalam batas normal.
Kriteria Mayor:
a. Selama aktifitas: kelemahan, pusing, dispnea.
b. 3 menit setelah aktivitas: pusing, dispnea, keletihan akibat aktivitas, RR ≥
24, Nadi ≥ 95
Kriteria Minor:
a. Pucat/cyanosis
b. Konfusi
c. Vertigo
No Intervensi Rasional
.
1. Observasi laporan kelemahan, 1. Nyeri yang dirasakan dapat
perhatikan ketidakmampuan untuk membatasi aktivitas sehari-hari.
berpartisipai dalam aktivitas
sehari-hari.

2. Berikan lingkungan tenang dan 1. Menghemat energi untuk aktivitas


periode istirahat tanpa gangguan.

17
Dorong istirahat sebelum makan. dan regenerasi selular.
Implementasikan teknik
 3. penghematan energi, contoh: lebih 1. Memaksimalkan sediaan energi
baik duduk daripada berdiri, untuk tugas perawatan diri.
penggunaan kursi untuk mandi.
Bantu aktivitas lain sesuai indikasi.
 
3. Resiko cedera fisik b.d penurunan fungsi tubuh
Definisi: Keadaan dimana seorang individu beresiko untuk mendapat bahaya
karena defisit perceptual atau fisiologis, kurangnya kesadaran tentang bahaya,
atau usia lanjut.
Kriteria hasil: Individu dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan
kemungkinan terhadap cidera. Mengungkapkan suatu keinginan untuk melakukan
tindakan pengamanan sehingga mencegah cidera.
No Intervensi Rasional
.
1. Orientasikan klien dengan ruangan 1. Menghindari terjadinya
yang baru disekelilingnya. disorientasi tempat.

 2. Gunakan lampu dimalam hari, 1. Penerangan yang efektif


anjurkan individu  untuk meminta membantu lansia mengenali
bantuan dimalam hari. benda disekitarnya sehingga
mengurangi risiko cidera.
3. Pertahankan tempat tidur pada. 1. Menghindari risiko jatuh dari
posisi terendah dimalam hari. tempat tidur.

4. Ajarkan penggunaan kruk, tongkat, 1. Mengurangi cidera iatrogenic.


walker prostese dengan tepat.

18
4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus sekunder
terhadap tirah baring yang lama
Definisi: Keadaan dimana individu mengalami stasis usus besar, yang
mengakibatkan eliminasi jarang dan/keras, feses kering.
Kriteria hasil:
a. Individu akan menunjukkan eliminasi yang membaik
b. Dapat menjelaskan rasional dari intervensi
Kriteria Mayor:
a. Feses keras dan berbentuk
b. Defekasi < 3 kali seminggu
Kriteria Minor:
a. Penurunan bising usus
b. Mengeluh rektal penuh
c. Merasakan tekanan pada rectum
d. Nyeri saat defekasi
No Intervensi Rasional
.
1. Ajarkan pentingnya diet seimbang. 1. Diet yang tinggi serat dapat
mempermudah pengeluaran
feses.

2. Dorong masukan harian sedikitnya 1. Memperlancar BAB.


2 liter cairan (8-10 gelas)
kec.dikontraindikasikan.

3. Anjurkan minum air hangat 30 1. Cairan ini dapat bertindak


menit sebelum sarapan pagi. sebagai stimulus untuk evakuasi
usus.

Bantu individu untuk posisi semi 1. Posisi ini memungkinkan

19
4. jongkok. penggunaan optimal otot
abdomen dan efek gravitasi kuat.

Berikan health education untuk 1. Memberikan informasi yang


5. mencegah tekanan rektal yang adekuat, mencegah komplikasi
menyebabkan hemoroid. lebih lanjut.
 
5. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi sekunder
terhadap IMA.
Definisi: Keadaan dimana individu mengalami kerusakan fungsi motorik atau
fungsi kognitif, yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk melakukan
masing-masing dari kelima aktivitas perawatan diri.
Kriteria hasil:
a. Individu dapat mengidentifikasi kesukaan akan aktivitas perawatan diri.
(mis: waktu, lokasi, produk)
b. Berpartisipasi secara fisik dan/atau verbal dalam aktivitas pemberian
makanan, mengenakan pakaian, ke kamar mandi, mandi.
Kriteria Mayor:
a. Kurangnya kemampuan untuk makan sendiri.
1) Tidak dapat memotong makanan
2) Tidak dapat membawa makanan ke mulut
3) Kurangnya kemampuan untuk mandi sendiri (termasuk membasuh
seluruh anggota tubuh, menyisir rambut, menggosok gigi,
melakukan perawatan terhadap kulit, dan kuku serta menggunkan
rias wajah).
No. Intervensi Rasional
1. Kaji faktor penyebab sindrom 1. Dengan mengetahui penyebab
defisit perawatan diri. dari sindrom maka masalah
lebih mudah di atasi.

20
2. Tingkatkan partisipasi optimal. 1. Mengjarkan klien untuk
mandiri.

3. Tingkatkan harga diri dan 1. Agar klien memiliki rasa


kemampuan diri. percaya diri untuk
bersosialisasi dengan
lingkungannya.

4. Beri dorongan untuk 1. Agar klien dapat termotivasi.


mengekspresikan perasaan
tentang kurang perawatan diri.

5. Evaluasi kemampuan untuk 1. Untuk mengetahui


berpartisipasi dalam setiap perkembangan kemampuan
tindakan perawatan diri. klien.

 
6. Resiko infeksi saluran kemih berhubungan dengan stagnasi urine dan batu
saluran empedu.
Definisi: Keadaan dimana seorang individu beresiko terserang oleh agen
patogenik atau oportunistik (bakteri, jamur, protozoa, parasit lain) dari sumber-
sumber eksternal, sumber-sumber endogen/eksogen.
Kriteria Hasil:
a. Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan dengan
infeksi.
b. Melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi.

21
No. Intervensi Rasional
1. Evaluasi semua hasil pemeriksaan 1. Mengetahui tingkat infeksi
laboratorium yang abnormal, klien.
khususnya kultur/sensitifitas,
JDL.

2. Kaji tanda/gejala abnormal pada 1. Sebagai tanda peringatan dini


klien sesuai prosedur urologis. terjadinya infeksi.

3. Pantau suhu klien paling sedikit 1. Mengetahui perubahan suhu


setiap 24 untuk mengetahui klien, apabila suhu klien tinggi
peningkatan dan laporkan pada maka infeksinya sudah parah.
dokter jika lebih dari 37,8° C.

4. Berikan cairan bila diperlukan. 1. Mengganti cairan yg kluar


melalui kringat dan urine.

5. Kaji kembali kebutuhan kateter 1. Menyesuaikan dengan kondisi


urine indwelling setiap hari. klien, apabila terjadi infeksi
maka sebaiknya penggunaan
kateter di ganti setiap hari.

6. Berikan antibiotik. 1. Mengurangi inflamasi.

22
7. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan absorbsi vitamin dan mineral
sekunder akibat imobilitas
            Definisi: Suatu keadaan dimana individu yang tidak puasa mengalami atau
yang beresiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan
masukan yang tidak adekuat atau metabolisme nutrient yang tidak adekuat untuk
kebutuhan metabolik.
            Kriteria hasil: Individu akan
a. Meningkatkan masukan oral seperti yang ditunjukkan oleh perawat.
b. Menjelaskan faktor-faktor penyebab apabila diketahui.
c. Menjelaskan rasional dan prosedur pengobatan.
Kriteria Mayor:
Individu yang tidak puasa melaporkan atau mengalami masukan makanan tidak
adekuat, kurang dari yang dianjurkan dengan atau tanpa penurunan berat badan
atau kebutuhan-kebutuhan metabolik aktual atau potensial dalam masukan yang
berlebihan.
Kriteria Minor:
a. Berat badan 10% sampai 20% atau lebih dibawah berat badan ideal untuk
tinggi dan kerangka tubuh.
b. Lipatan kulit trisep, lingkar lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan
tengah kurang dari 60% standart pengukuran.
c. Kelemahan otot dan nyeri tekan.
d. Peka rangsang mental dan kekacauan mental.
e.  Penurunan albumin serum.
f. Penurunan transferin serum atau penurunan kapasitas ikatan besi.
No Intervensi Rasional
.
1. Buat pilihan menu yang ada dan 1. Klien yang meningkat rasa
ijinkan klien untuk mengontrol percaya dirinya dan merasa
pilihan sebanyak mungkin. mengontrol lingkungan lebih
suka mnyediakan makanan

23
untuk makan.

2. Berikan makan sedikit dan 1. Dilatasi gaster dapat terjadi bila


makanan kecil tambahan yang pemberian makanan terlalu
tepat. cepat setelah periode puasa.

3. Berikan makanan yang mudah 1. Makanan yang lembut


dicerna misal: bubur, jus buah- memudahkan lansia untuk
buahan, sereal. menelan dan menurunkan kerja
usus.

4. Sadari pilihan-pilihan makanan 1. Klien akan mencoba


rendah kalori/minuman, menghindari mengambil
menimbun makanan, membuang makanan bila tampak
makanan dalam berbagai tempat mengandung banyak kalori dan
seperti saku atau kantung mau makan lama untuk
pembuangan. menghindari makan.
 
8.  Keletihan b.d defisit nutrisional dan penurunan metabolisme nutrient sekunder
akibat mual muntah
Definisi: Keadaan pengenalan diri dimana seorang individu mengalami perasaan
kecapaian yang berlebihan terus-menerus dan penurunan kapasitas kerja fisik dan
kerja mental yang tidak dapat dihilangkan dengan istirahat.
Kriteria hasil: individu akan
a. Mendiskusikan sebab-sebab kelelahan.
b. Mengungkapkan perasaan mengenai efek dari keletihan.
c. Menetapkan prioritas untuk aktifitas sehari-hari.
d. Ikut serta dalam aktifitas disekitarnya.
Kriteria Mayor:
a. Mengungkapkan tentang kekurangan energy yang tak kunjung habis dan
berlebihan.

24
b. Ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas biasa.
Kriteria Minor:
a. Meningkatnya keluhan fisik.
b. Secara emosional labil dan mudah tersinggung.
c. Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi.
d. Penurunan kinerja.
e. Letargi atau tidak bergairah.
No Intervensi Rasional
.
1. Evaluasi laporan kelelahan, 1. Menentukan derajat
kesulitan menyelesaikan tugas, (berlanjut/perbaikan) dari efek
perhatikan kemampuan ketidak mampuan.
tidur/istirahat dengan tepat.

2. Kaji kemampuan untuk 1. Mengkaji kebutuhan individual


berpartisipasi pada aktivitas yang dan menentukan intervensi.
diinginkan/dibutuhkan.

3. Rencanakan periode istirahat yang 1. Mencegah kelelahan berlebihan


lebih adekuat. dan menyimpan energi untuk
penyembuhan, regenerasi
jaringan.

4. Identifikasi faktor 1. Mungkin memiliki efek


stress/psikologis yang dapat akumulatif (sepanjang faktor
memperberat. psikologis) yang dapat diatasi
bila masalah diketahui.

5. Berikan bantuan dalam aktifitas 1. Meningkatkan rasa aman,


sehari-hari dan tingkatkan tingkat meningkatkan percaya diri dan
partisipasi klien sesuai membatasi frustasi akibat

25
kemampuannya. ketidakmampuan.
 
9.  Resiko aspirasi b.d refluk isi lambung sekunder akibat pengosongan lambung
yang tidak sempurna.
Definisi: Keadaan dimana individu beresiko terhadap pemasukan sekresi, benda
padat, atau cairan ke dalam saluran trakeobronkial. 
Kriteria hasil: Individu tidak mengalami aspirasi, mengungkapkan tindakan untuk
mencegah aspirasi.
No. Intervensi Rasional
1. Minimalkan posisi tidur 1. Posisi terlentang sangat rentan
terlentang, ubah posisi miring terjadi tersedak.
kanan/kiri atau tengkurap
dalam jangka waktu tertentu.

2. Hindari makan/minum 1. Posisi terlentang sangat rentan


dengan posisi tidur terjadi tersedak.
terlentang, berikan posisi
semi fowler.
3. 1. Makan banyak sebelum tidur
Batasi makan/minum memungkinkan terjadinya refluks
sebelum tidur, minimal 2  jam makanan dari lambung.
sebelum tidur.
 

26
BAB IV
PENUTUP
 
4.1 Simpulan
Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di
tempat tidur, tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan
pada alat/organ tubuh (impaitment) yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga
diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak/tirah baring yang terus – menerus
selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo, 2009).
Berbagai masalah sering dihadapi lansia diantaranya pusing atau pingsan
mencoba untuk berdiri (tegak), adanya sisa urine karena posisi baring pasien ini
tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara sempurna, adanya Infeksi
Saluran Kemih (ISK) karena keadaan stagnasi urine maupun karena batu saluran
kencing, konstipasi karena tirah baring lama, nyeri pada tulang dan sendi,
kaku/susah digerakkan, nyeri leher, arthritis pasca trauma, osteoporosis. Upaya-
upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia melibatkan upaya
multidisiplin yang terdiri dari perawat, dokter, ahli fisioterapi, dan terapi okupasi,
seorang ahli gizi, aktivitas sosial, dan keluarga serta teman-teman.
 
4.2 Saran
Keperawatan gerontik berkembang sejalan dengan globalisasi kesehatan,
dimana sistem kesehatan memandang pentingnya pelayanan kesehatan yang
berbasis komunitas, peran perawat dalam pelayanan keperawatan menyebar mulai
dari individu sampai masyarakat dan diberbagai tatanan pelayanan. Seorang
perawat harus bisa memberikan intervensi yang tepat agar dapat menghambat
terjadinya ketergantungan fisik total pada lansia yang mengalami imobilisasi fisik.
Intervensi yang diarahkan pada pencegahan kearah konsekuensi-konsekuensi
imobilitas dan ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika

Nugroho,Wahjudi.2009.  Keperawatan Gerontik.Edisi2.Buku Kedokteran.


Jakarta: EGC

Stanley,Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. Jakarta: EGC

28

Anda mungkin juga menyukai