Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

NY. I DENGAN DIAGNOSA TRIGEMINAL NEURALGIA DAN


KEBUTUHAN DASAR MANUSIA AMAN DAN NYAMAN (NYERI)
DI RUANG NUSA INDAH RSUD DORIS SYLVANUS
PALANGKARAYA

Di Susun Oleh:

NAMA : Fredrick Immanuel


NIM : 2018.C.10a.0968.

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
Kata Pengantar

Puji syukur  kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkah rahmat dan hidayahNya jugalah penyusunan laporan ini dapat
terselesaikan dalam bentuk yang sederhana.
Walaupun dalam penyusunan laporan ini memenuhi banyak kendala yang
dihadapi namun berkat dukungan dan motivasi dari semua pihak sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan ini.
Didalam menyelesaikan laporan ini masih banyak hambatan dan kendala
yang dihadapi, namun berkat dukungan dan kerja sama yang baik dari semua
pihak hingga penulis dapat menyelsaikan laporan ini tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
terlibat.

Palangka Raya, 5 mei 2020

Fredrick Immanuel
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................
1.3.1 Tujuan Umum ..............................................................
1.3.2 Tujuan Khusus...............................................................
1.4 Manfaat Penulisan..................................................................
1.4.1 Untuk Mahasiswa..........................................................
1.4.2 Untuk Klien dan Keluarga.............................................
1.4.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit).............
1.4.4 Untuk IPTEK.................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Manusia...........................................................
2.1.1 Definisi .........................................................................
2.1.2 Anatomi fisiologi ..........................................................
2.1.3 Etiologi .........................................................................
2.1.4 Klasifikasi .....................................................................
2.1.5 Patofisiologi .................................................................
2.1.6 Manisfestasi Klinis .......................................................
2.1.7 Komplikasi ...................................................................
2.1.8 Pemeriksa Penunjang ...................................................
2.1.9 Penatalaksanaan Medis ................................................
2.2 Konsep Dasar Penyakit ..........................................................
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan .........................................
2.3.1 Pengkajian Keperawatan ..............................................
2.3.2 Diagnosa Keperawatan .................................................
2.3.3 Intervensi Keperawatan ................................................
2.3.4 Implementasi Keperawatan ..........................................
2.3.5 Evaluasi keperawatan ...................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


3.1. Pengkajian ..............................................................................
3.1.1. Identitas Klien ..............................................................
3.1.2. Riwayat Kesehatan/Perawatan .....................................
3.1.3. Pemeriksaan Fisik ........................................................
3.2 Tabel Analisa Data..................................................................
3.3 Rencana Keperawatan ...........................................................
3.4 Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan .............................
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Setiap individu membutuhkan rasa nyaman. Kebutuhan rasa nyaman ini


dipersepsikan berbeda pada setiap orang. Ada yang mempersepsikan bahwa hidup
terasa nyaman bila mempunyai banyak uang. Ada juga yang indikatornya bila
tidak ada gangguan dalam hidupnya. Dalam konteks keperawatan, perawat harus
memperhatikan dan memenuhi rasa nyaman. Gangguan rasa nyaman yang dialami
klien diatasi oleh perawat melalui intervensi keperawatan. Kondisi
ketidaknyamanan yang paling sering dihadapi klien adalah nyeri. Nyeri
merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual. Klien merespon
nyeri yang dialaminya dengan beragam cara, misalnya berteriak, meringis, dan
lain-lain. Oleh karena nyeri bersifat subjektif, maka perawat mesti peka terhadap
sensasi nyeri yang dialami klien (Potter & Perry, 2001).

Asosiasi internasional untuk penelitian nyeri (International Association for


theStudy of Pain, IASP) mengatakan bahwa “Nyeri sebagai suatu sensori subjektif
dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian
dimana terjadi kerusakan” (IASP, 1979 dalam Potter, 2005).

Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri


merupakan alasan utama orang mencari bantuan perawatan kesehatan. Walaupun
merupakan salah satu dari gejala yang paling sering terjadi di bidang medis, nyeri
merupakan salah satu yang paling sedikit dipahami. Individu yang merasa tertekan
atau menderita akan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri (Brunner &
Suddart, 2001).
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang Masalah Di Atas Maka rumusan masalah yang


diambil ialah bagaimana Pemberian Asuhan Keperawatan Pada Ny. I Dengan
Diagnosa Neuralgia Trigeminalis serta pemberian Kebutuhan Dasar Manusia
Aman dan Nyaman Di Ruang Nusa Indah RSUD Dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mampu menjelaskan gambaran asuhan keperawatan pada pasien Neuralgia
Trigeminalis dengan Kebutuhan Dasar Manusia Aman dan Nyaman (Nyeri).

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mampu melakukan pengkajian, menganalisa, menentukan diagnose
keperawatan, membuat intervensi keperawatan, mampu melakukan
perawatan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang sudah diberikan.
b. Mampu memberikan tindakan keperawatan yang diharapkan dapat
mengatasi masalah keperawatan pada kasus tersebut.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Bagi Penulis
Memberikan pengalaman yang nyata tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan Neuralgia Trigeminalis dengan kebutuhan dasar manusia
rasa aman dan nyaman.

1.4.2 Manfaat Bagi Klien dan Keluarga


Pasien dan keluarga mengerti cara perawatan dan menghindari
penyebab pada penyakit secara benar dan bisa melakukan perawatan
dirumah dengan mandiri.
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi
Dapat digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan dimasa yang akan
datang.

1.4.4 Untuk IPTEK


Dapat berguna sebagai ilmu pengetahuan bagi setiap orang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebutuhan Dasar Manusia


2.1.1 Definisi Rasa Aman dan Nyaman
Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry, 2006) megungkapkan
kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang
meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi),
dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah dan nyeri).
Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek
yaitu:
a.       Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
b.      Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
c.       Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri
yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
d.      Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah lainnya.

Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah memberikan


kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum
dalam aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa
nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena
kondisi nyeri dan hipo/hipertermia merupakan kondisi yang mempengaruhi
perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya gejala dan tanda
pada pasien.

2.1.2 Penyebab Rasa Tidak Aman dan Nyaman


Nyeri merupakan sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan ‘potensial’. Sedangkan
menurut Mc. Coffery (1979), nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang yang keberadaannya diketahui jika orang tersebut pernah menderita
atau mengalaminya. Definisi nyeri menurut Maskey tahun 1986 yaitu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan jaringan
rusak atau cenderung rusak.
2.1.3 Tanda dan Gejala
2.1.3.1 Data Subyektif
Klien mengatakan bahwa klien merasa nyeri dibagian wajah.
2.1.3.2 Data Obyektif
Ekspresi klien meringis kesakitan ketika muncul rasa nyeri di bagian
wajah.

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rasa Aman dan Nyaman


2.1.4.1. Emosi
Kecemasan, depresi, dan marah akan mudah terjadi dan mempengaruhi
keamanan dan kenyamanan.
2.1.3.2 Status Mobilisasi
Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran menurun
memudahkan terjadinya resiko injury.
2.1.4.3 Gangguan Persepsi Sensory

Mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang berbahaya seperti gangguan

penciuman dan penglihatan

2.1.4.4 Keadaan Imunits

Gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh kurang sehingga mudah

terserang penyakit

2.1.4.5 Tingkat Kesadaran

Pada pasien koma, respon akan menurun terhadap rangsangan, paralisis,

disorientasi, dan kurang tidur.

2.1.4.6 Informasi atau Komunikasi

Gangguan komunikasi seperti aphasia atau tidak dapat membaca dapat

menimbulkan kecelakaan.
2.1.4.7 Gangguan Tingkat Pengetahuan

Kesadaran akan terjadi gangguan keselamatan dan keamanan dapat diprediksi

sebelumnya.

2.1.4.8 Penggunaan antibiotik yang tidak rasional

Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan anafilaktik syok.

2.1.4.9 Status nutrisi

Keadaan kurang nutrisi dapat menimbulkan kelemahan dan mudah

menimbulkan penyakit, demikian sebaliknya dapat beresiko terhadap penyakit

tertentu.

2.1.4.10 Usia

Perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia anak-anak

dan lansia mempengaruhi reaksi terhadap nyeri.

2.1.4.11 Jenis Kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam merespon

nyeri dan tingkat kenyamanannya.

2.1.4.12 Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri dan tingkat kenyaman yang mereka punya

2.1.5 Patofisiologi (Pathway)


Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf
perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari
beberapa rute saraf dan akhirnya samapai didalam massa berwarna abu – abu
di medula spinalis. Terdapat tesan nyeri dapat berinteraksi dengan inhibitor,
mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi
tanpa hambatan kekorteks cerebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks
cerebral, maka otak menginterprestasikan kualitas nyeri dan memproses
informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosoasi
kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri.

Semua kerusakan seluler disebabkan oleh stimulus termal, mekanik,


kimiawi atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang
mengahasilkan nyeri.

Pathway

Chemic, thermik, mekanik

Nyeri

Nosiseptor

Nyeri kronik/akut

Susah tidur Imobilisasi Ansietas

2.1.6 .        Pengukuran Nyeri


a.       Skala Deskriptif
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
b.      Skala penilaian numerik
Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10. Skala ini sangat efektif untuk digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
c.       Skala Analog Visual
Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu garis lurus yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal
pada setiap ujungnya. Skala ini memberikan kebebasan penuh pada pasien
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.
Untuk mengukur skala nyeri pada pasien pra operasi apendisitis, peneliti
menggunakan skala nyeri numerik. Karena skala nyeri numerik paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan teknik
relaksasi progresif. Selain itu selisih antara penurunan dan peningkatan nyeri lebih
mudah diketahui dibanding skala yang lain.

2.1.7 Efek Yang Ditimbulkan Oleh Nyeri

1)      Tanda dan gejala fisik


Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya
untuk tidak mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting
untuk mengkaji tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik termasuk
mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut
jantung, tekanan darah, dan ftekuensi pernapasan meningkat.
2)      Efek perilaku
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan
gerakan tubuh yang khas dan berespon secara vokal serta mengalami
kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali meringis, mengernyitkan
dahi, menggigit bibir, gelisah, imobilisasi, mengalami ketegangan otot,
melakukan gerakan melindungi bagian tubuh sampai dengan menghinndari
percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas
menghilangkan nyeri.
3)      Pengaruh Pada Aktivitas Sehari – hari
Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi
dalam aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan dalam melakukan
tindakan higiene normal dan dapat menganggu aktivitas sosial dan
hubungan seksual.
2.2 Konsep Penyakit
2.2.1 Definisi
Neuralgia trigeminal adalah kelainan yang ditandai oleh serangan nyeri
berat paroksismal dan singkat dalam cakupan persarafan satu atau lebih cabang
nervus trigeminus, biasanya tanpa bukti penyakit saraf organik. Penyakit ini
menyebabkan nyeri wajah yang berat. Penyakit ini juga dikenal sebagai tic
doulourex atau sindrom. (Bryce, 2004)

Neuralgia pada penyakit ini disertai dengan nyeri yang berat dan menusuk
pada rahang dan wajah, biasanya pada satu sisi dari rahang atau pipi, yang
biasanya terjadi dalam beberapa detik. Dan nyerinya selalu unilateral dan
mengikuti distribusi sensoris dari nervus kranial V, khas mengenai daerah maksila
(V.2) atau mandibula (V.3). Pemeriksaan fisis biasanya dapat mengeliminasi
diagnosa alternatif. Tanda dari disfungsi nervus kranialis atau abnormalitas
neurologis yang lain menyingkirkan diagnosis dari neuralgia trigeminal idiopatik.
dan mungkin menandakan nyeri sekunder yang dirasakan akibat lesi struktural.
(Bryce, 2004)

Neuralgia trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu


sisi yang berulang. Disebut trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi
pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf trigeminal. Saraf yang cukup
besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri
disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah
distribusi persarafan salah satu cabang saraf trigeminal yang diakibatkan oleh
berbagai penyebab. (Bryce, 2004)

Serangan neuralgia trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai


semenit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk.
Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat
kena setrum listrik. (Bryce, 2004)
2.2.2 Anatomi Fisiologi
Nervus trigeminus adalah saraf otak motorik dan sensorik. Serabut
motoriknya mempersarafi muskulus maseter, temporalis, pterigoideus internus et
eksternus, tensor timpani, omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus.
(Olesen, 1988)

Inti motoriknya terletak di pons. Serabut-serabut motoriknya bergabung


dengan serabut-serabut sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion
Gasseri. Serabut-serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba dan
perasaan proprioseptif. Kawasannya ialah wajah dan mukosa lidah dan rongga
mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls proprioseptif, terutama berasal dari
otot-otot yang dipersarafi oleh cabang mandibular sampai ke ganglion Gasseri.
(Olesen, 1988)

Cabang pertama N.V. ialah cabang oftalmikus. Ia menghantarkan impuls


protopatik dari bola mata serta rung orbita, kulit dahi sampai vertex. Impuls
sekretomotorik dihantarkan ke glandula lakrimalis. Serabut-serabut dari dahi
menyusun nervus frontalis. Ia masuk melalui ruang orbita melalui foramen
supraorbitale. Serabut-serabut dari bola mata dan rongga hidung bergabung
menjadi seberkas saraf yang dikenal sebagai nervus nasosiliaris. Berkas saraf yang
menuju ke glandula lakrimalis dikenal sebagai nervus lakrimalis. Ketiga berkas
saraf, yakni nervus frontali, nervus nasosiliaris dan nervus lakrimalis saling
mendekat pada fisura orbitalis superior dan di belakang fisura tersebut bergabung
menjadi cabang I N.V. (nervus oftalmikus). Cabang tersebut menembus duramater
dan melanjutkan perjalanan di dalam dinding sinus kavernosus. Pada samping
prosesus klinoideus posterior ia keluar dari dinding tersebut dan berakhir di
ganglion Gasseri. Di dekatnya terdapat arteri facialis (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)

Cabang kedua ialah cabang maksilaris yang hanya tersusun oleh serabut-
serabut somatosensorik yang menghantarkan impuls protopatik dari pipi, kelopak
mata bagian bawah, bibir atas, hidung dan sebagian rongga hidung, geligi rahang
atas, ruang nasofarings, sinus maksilaris, palatum molle dan atap rongga mulut.
Serabut-serabut sensorik masuk ke dalam os. maksilaris melalui foramen
infraorbitalis. Berkas saraf ini dinamakan nervus infraorbialis. Saraf-saraf dari
mukosa cavum nasi dan rahang atas serta geligi atas juga bergabung dalam saraf
ini dan setelahnya disebut nervus maksilaris, cabang II N.V. Ia masuk ke dalam
rongga tengkorak melalui foramen rotundum kemudian menembus duramater
untuk berjalan di dalanm dinding sinus kavernosus dan berakhir di ganglion
Gasseri. Cabang maksilar nervus V juga menerima serabut-serabut sensorik yang
berasal dari dura fossa crania media dan fossa pterigopalatinum. (Sharav, 2002 ;
Brice, 2004)

Cabang mandibularis (cabang III N.V. tersusun oleh serabut somatomotorik


dan sensorik serta sekretomotorik (parasimpatetik). Serabut-serabut
somatomotorik muncul dari daerah lateral pons menggabungkan diri dengan
berkas serabut sensorik yang dinamakan cabang mandibular ganglion gasseri.
Secara eferen, cabang mandibular keluar dari ruang intracranial melalui foramen
ovale dan tiba di fossa infratemporalis. Di situ nervus meningea media (sensorik)
yang mempersarafi meninges menggabungkan diri pada pangkal cabang
madibular. Di bagian depan fossa infratemporalis, cabang III N.V. bercabang dua.
(Kaufman, 2001)

Yang satu terletak lebih belakang dari yang lain. Cabang belakang merupakan
pangkal dari saraf aferen dari kulit daun telinga (nervus aurikulotemporalis), kulit
yang menutupi rahang bawah, mukosa bibir bawah, dua pertiga bagian depan
lidah (nervus lingualis), glandula parotis dan gusi rahang bawah ( nervus dentalis
inferior) dan serabut eferen yang mempersarafi otot-otot omohioideus dan bagian
anterior muskulus digastrikus Cabang anterior dari cabang madibular terdiri dari
serabut aferen yang menghantarkan impuls dari kulit dan mukosa pipi bagian
bawah dan serabut eferen yang mempersyarafi otot-otot temporalis, masseter,
pterigoideus dan tensor timpani. Serabut-serabut aferen sel-sel ganglion gasseri
bersinaps di sepanjang wilayah inti nukleus sensibilis prinsipalis (untuk raba dan
tekan)serta nukleus spinalis nervi trigemini (untuk rasa nyeri) dan dikenal sebagai
tractus spinalis nervi trigemini. dan didekatnya terdapat arteri a. Alveolaris
inferior.(Kaufman, 2001)
2.2.3 Etiologi
Etiologi trigeminal neuralgia (TN) dapat berupa pusat, perifer, atau
keduanya. Saraf trigeminal (saraf kranial V) bisa menyebabkan nyeri, karena
fungsi utama adalah sensorik. Biasanya, tidak ada lesi struktural hadir (85%),
meskipun banyak peneliti setuju bahwa kompresi pembuluh darah, biasanya vena
atau loop arteri di pintu masuk ke saraf trigeminal pons, sangat penting untuk
patogenesis berbagai idiopatik. Ini hasil kompresi dalam demielinasi saraf
trigeminal fokus. Etiologi idiopatik diberi label secara default dan kemudian
dikategorikan sebagai trigeminal neuralgia klasik. (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)

Kondisi idiopatik ini tidaklah diketahui sepenuhnya. Namun, kasus-kasus


simtomatik akibat lesi organic yang dapat diidentifikasi lebih umum ditemui
daripada yang sebelumnya disadari. (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)

Beberapa kasus mencerminkan gangguan serabut eferen nervus V oleh


berbagai struktur abnormal sehingga disebut sebagai kasus-kasus neuralgia
trigeminal simtomatik.Pada beberapa kasus seperti ini, nervus trigeminus tertekan
oleh pembuluh darah vertebrobasiler yang ektasis atau`akibat tumor-tumor seperti
neuroma trigeminal atau akustik, meningioma dan epidermoid pada sudut
serebellopontin. Selain itu, traksi juga dapat diakibatkan oleh hidrosefalus akibat
stenozis aquaductus. (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)

Beberapa kasus walaupun jarang merupakan manifestasi dari sklerosis


multipel yang menyerang radiks desendens nervus trigeminus dan merupakan
penyebab terbanyak kasus pada penderita muda. Selain itu, kausa lain yang
dipostulatkan adalah inflamasi ganglion nonspesifik, maloklusi gigi, iskemia serta
proses degeneratif sistem saraf. (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)

2.2.4 Klasifikasi
Menurut klasifikasi IHS (International Headache Society) membedakan NT
klasik dan NT simptomatik. Termasuk NT klasik adalah semua kasus yang
etiologinya belum diketahui ( idiopatik ) Sedangkan NT simptomatik dapat akibat
tumor, multipel sklerosis atau kelainan di basis kranii. Sebagai indikator NT
simptomatik adalah defisit sensorik n. Trigeminus, terlibatnya nervus trigeminus
bilateral atau kelainan refleks trigeminus. Tidak dijumpai hubungan antara NT
simptomatik dengan terlibatnya nervus trigeminus cabang pertama, usia muda
atau kegagaralan terapi farmakologik.
Perbedaan neuralgia trigeminus idiopatik dan simptomatik.

2.2.4.1 Neuralgia Trigeminus Idiopatik.


- Nyeri bersifat paroxysmal dan terasa diwilayah sensorik cabang
maksilaris, sensorik cabang maksilaris dan atau mandibularis.
- Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya menyusul
antara beberapa detik sampai menit.
- Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.
- Penderita berusia lebih dari 45 tahun , wanita lebih sering mengidap
dibanding laki-laki.
2.2.4.2 Neuralgia Trigeminus simptomatik.

- Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang optalmikus


atau nervus infra orbitalis.
- Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul
kembali.
- Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan saraf
kranial, berupa gangguan autonom (Horner syndrom).
- Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak
terbatas pada golongan usia.

2.2.5 Patofisiologi
Patofisiologis terjadinya suatu neuralgia trigeminal adalah sesuai dengan
etiologi penyakit tersebut. Penyebab terjadinya neuralgia trigeminal adalah
penekanan mekanik oleh pembuluh darah, malformasi arteri vena disekitarnya,
penekanan oleh lesi atau tumor, sklerosis multipel, kerusakan secara fisik dari
nervus trigeminus yang disebabkan karena pembedahan atau infeksi, dan yang
paling sering yaitu secara idiopatik.

Penekanan mekanik pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk


ke brainstem yang paling sering terjadi, sedangkan di atas bagian nervus
trigeminus atau portio minor jarang terjadi. Secara normal, pembuluh darah tidak
bersinggungan dengan nervus trigeminus. Penekanan ini dapat disebabkan oleh
arteri atau vena baik besar maupun kecil yang mungkin hanya menyentuh atau
tertekuk pada nervus trigeminus. Arteri yang sering menekan akar nervus ini
adalah arteri serebelar superior. Penekanan yang berulang menyebabkan iritasi
dan akan mengakibatkan hilangnya lapisan mielin (demielinisasi) pada serabut
saraf. Akibatnya terjadi peningkatan aktifitas aferen serabut saraf dan
penghantaran sinyal abnormal ke nukleus nervus trigeminus dan menimbulkan
gejala neuralgia trigeminal. Teori ini sama dengan patofisiologi terjadinya
neuralgia trigeminal akibat suatu lesi atau tumor yang menekan atau menyimpang
ke nervus trigeminus (Kaufmann, 2001 ; Bryce, 2004).

Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis yang
ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika sudah
melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan gejala neuralgia
trigeminal. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral dan cenderung terjadi pada
usia muda sesuai dengan kecenderungan terjadinya sklerosis multipel. Adanya
perubahan pada mielin dan akson diperkirakan akan menimbulkan potensial aksi
ektopik berupa letupan spontan pada saraf. Aktivitas ektopik ini terutama
disebabkan karena terjadinya perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion
natrium sehingga menurunnya nilai ambang membran. Kemungkinan lain adalah
adanya hubungan ephaptic antar neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai
ambang rendah dapat mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul
pula cross after discharge. Selain itu, aktivitas aferen menyebabkan
dikeluarkannya asam amino eksitatori glutamat. Glutamat akan bertemu dengan
reseptor glutamat alfa-amino-3-hidroxy-5- methyl-4-isaxole propionic
acid (AMPA) di post-sinap sehingga timbul depolarisasi dan potensial aksi.
Aktivitas yang meningkat akan disusul dengan aktifnya reseptor glutamat lain N-
Methyl-D-Aspartate (NMDA) setelah ion magnesium yang menyumbat saluran di
reseptor tersebut tidak ada. Keadaan ini akan menyebabkan saluran ion kalsium
teraktivasi dan terjadi peningkatan kalsium intra seluler. Mekanisme inilah yang
menerangkan terjadinya sensitisasi sentral sehingga timbul nyeri.
PATHWAY
2.2.6 Manifestasi Klinis
Menurut Baughman (2000) Manifestasi klinis yang muncul pada kasus
neuralgia trigeminal adalah sebagai berikut:
2.2.6.1. Nyeri dirasakan pada kulit, bukan pada struktur yg lebih
dalam, lebih gawat pada area perifer dari distribusi dari syaraf yang
terkena, yaitu pada bibir, dagu, lobang hidung, dan pada gigi.
2.2.6.2. Paroksisme dirangsang oleh stimulasi dari terminal dari
cabang-cabang saraf yang terkena, yaitu mencuci muka, mencukur,
menyikat gigi, makan dan minum.
2.2.6.3. Aliran udara dingin dan tekanan langsung pada saraf
trunkus dapat juga menyebabkan nyeri. Hal tersebut terjadi karena
aliran udara dingin mengenai trigger area atau area nyeri pada
bagian percabangan dari saraf trigeminus (saraf kranial kelima).
Aliran udara dingin termasuk stimulus non-noksius (stimulus yang
berupa perabaan ringan, getaran atau stimulus mengunyah).
2.2.6.4. Titik pencetus adalah area pasti dimana sentuhan yang
paling ringan dengan segera mencetuskan paroksisme.

Trigeminal neuralgia memberikan gejala dan tanda sebagai berikut :


2.2.6.5. Rasa nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat
paroksimal, tajam, seperti menikam, tertembak, tersengat listrik,
terkena petir, atau terbakar yang berlangsung singkat beberapa
detik sampai beberapa menit tetapi kurang dari dua menit, tiba-tiba
dan berulang. Diantara serangan biasanya ada interval bebas nyeri,
atau hanya ada rasa tumpul ringan.
2.2.6.6. Lokasi nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus
trigeminus dan yang karakteristik nyeri unilateral.Tersering nyeri
didaerah distribusi nervus mandibularis (V2) 19,1% dan nervus
maksilaris (V3) 14,1% atau kombinasi keduanya 35,9% sehingga
paling sering rasa nyeri pada setengah wajah bawah. Jarang sekali
hanya terbatas pada nervus optalmikus (V3) 3,3%. Sebagian pasien
nyeri terasa diseluruh cabang nervus trigeminus (15,5%) atau
kombinasi nervus maksilaris dan optalmikus (11,5%). Jarang
ditemukan kombinasi nyeri pada daerah distribusi nervus optal
mikus dan mandibularis (0,6%). Nyeri bilateral 3,4%, nyeri jarang
terasa pada kedua sisi bersamaan, umumnya diantara kedua sisi
tersebut dipisahkan beberapa tahun. Kasus bilateral biasanya
berhubungan dengan sklerosis multipleatau familial.
2.2.6.7. Trigeminal neuralgia dapat dicetuskan oleh stimulus non-
noksius seperti perabaan ringan, getaran, atau stimulus mengunyah.
Akibatnya pasien akan mengalami kesulitan atau timbul saat gosok
gigi, makan, menelan, berbicara, bercukur wajah, tersentuh wajah,
membasuh muka bahkan terhembus angin dingin. Biasanya daerah
yang dapat mencetuskan nyeri (triger area) diwajah bagian depan,
sesisi dengan nyeri pada daerah percabangan nervus trigeminus
yang sama. Bila triger area didaerah kulit kepala, pasien takut
untuk berkeramas atau bersisir.
2.2.6.8. Nyeri pada trigeminal neuralgia dapat mengalami remisi
dalam satu tahun atau lebih. Pada periode aktif neuralgia,
karakteristik terjadi peningkatan frekuensi dan beratnya serangan
nyeri secara progresif sesuai dengan berjalannya waktu.
2.2.6.9. Sekitar 18% penderita dengan trigeminal neuralgia, pada
awalnya nyeri atipikal yang makin lama menjadi tipikal, disebut
preneuralgia trigeminal. Nyeri terasa tumpul, terus-menerus pada
salah satu rahang yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa
tahun. Stimulus termal dapat menimbulkan nyeri berdenyut
sehingga sering dianggap sebagai nyeri dental. Pemberian terapi
anti konvulsan dapat meredakan nyeri preneuralgia trigeminal
sehingga cara ini dapat dipakai untuk membedakan kedua nyeri
tersebut.
2.2.6.10. Pada pemeriksaan fisik dan neurologik biasanya normal
atau tidak ditemukan defisit neurologik yang berarti. Hilangnya
sensibilitas yangbermakna pada nervus trigeminal mengarah pada
pencarian proses patologik yang mendasarinya, seperti tumor atau
infeksi yang dapat merusak syaraf. Pada tumor selain nyerinya
atipikal dan hilangnya sensibilitas, disertai pula gangguan pada
syaraf kranial lainnya.

2.2.7 Komplikasi
Ciri khas neuralgia trigeminal adalah nyeri seperti tertusuk-tusuk singkat dan
paroksismal, yang untuk waktu yang lama biasanya terbatas pada salah satu
daerah persarafan cabang nervus V. Nyeri cenderung menyebar ke daerah
persarafan cabang lain. Penampakan klinis yang khas adalah nyeri dapat
dipresipitasi oleh sentuhan pada wajah, seperti saat cuci muka atau bercukur,
berbicara, mengunyah dan menelan. Nyeri yang timbul biasanya sangat berat
sehingga pasien sangat menderita. Nyeri seringkali menimbulkan spasme reflex
otot wajah yang terlibat sehingga disebut ‘tic douloreaux’, kemerahan pada wajah,
lakrimasi dan salvias (Walton,1985).
Pada neuralgia trigeminal seringkali tidak ditemukan berkurangnya sensibilitas
tetapi dapat ditemukan penumpulan rangsang raba atau hilangnya refleks kornea
walaupun jarang. Serangan yang timbul dapat mengurangi nafsu makan, rekurensi
dalam jangka lama dapat menyebabkan kehilangan berat badan, depresi hingga
bunuh diri. Untungnya, serangan biasa berhenti pada malam hari, walaupun
pasien dapat juga terbangun dari tidur akibat serangan. Remisi dari rasa sakit
selamam berminggu-minggu hingga berbulan-bulan merupakan tanda dari
penyakit tahap awal.(Walton,1985).

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada uji spesifik dan definitif untuk neuralgia trigeminal. Diagnosa
neuralgia trigeminal dibuat berdasarkan anamnesa pasien secara teliti dan
pemeriksaan fisik yang cermat. Pada pemeriksaan fisik neurologi dapat ditemukan
sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita sedangkan diluar serangan
tampak normal. Reflek kornea dan test sensibilitas untuk menilai sensasi pada
ketiga cabang nervus trigeminus bilateral.Membuka mulut dan deviasi dagu untuk
menilai fungsi otot masseter (otot pengunyah) dan fungsi otot pterygoideus
(Rabinovich,et al,2000).
Adapun pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada kasus neuralgia
trigeminal antara lain adalah:
2.2.8.1 Pemeriksaan Radiologis
CT scan dan MRI atau pengukuran elektrofisiologis periode laten kedipan
dan refleks rahang dikombinasikan dengan elektromiografi masseter dapat
digunakan untuk membedakan kasus-kasus simtomatik akibat gangguan
struktural dari kasus idiopatik.
Pemeriksaan tambahan baru diperlukan kalau ada keluhan neuralgia trigeminal
pada orang-orang muda; karena biasanya ada penyebab lain yang tersembunyi. Itu
pun perannya terbatas untuk eliminasi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan:
Rontgen TMJ (temporomandibular joint) dan MRI otak (untuk menyingkirkan
tumor otak dan multiple sclerosis).
Pengukuran potensial somatosensorik yang timbul setelah perangsangan
nervus trigeminus dapat juga digunakan untuk menentukan kasus yang
disebabkan oleh ektasis arteri sehingga dapat ditangani dengan dekompresi
operatif badan saraf pada fossa posterior.

2.2.9 Penatalaksanaan Medis


2.2.9.1 Terapi Medikamentosa
Berdasarkan kesepakatan bahwa penanganan lini pertama untuk trigeminal
neulalgia adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah hanya dipertimbangkan
apabila terapi medikamentosa mengalami kegagalan (Losser,2001).
Setiap pasien memiliki toleransi yang berbeda terhadap obat-obatan dan rasa
sakitnya. Oleh karena itu, banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian
obat anti konvulsan untuk pengobatan trigeminal neuralgia. Pemberian obat
diberikan secara bertahap, diawali dengan dosis minimal, jika terjadi peningkatan
progresivitas rasa sakit maka dosis dinaikkan sampai dosis maksimal yang dapat
ditoleransi tubuh. Pada penggunaan dosis diatas minimal, dalam pengurangan
dosis, juga harus dilakukan secara bertahap.

Terapi Medikamentosa pada kasus Neuralgia Trigeminal antara lain adalah


sebagai berikut:
1. Obat antikonvulsan.

Obat anti konvulsan dapat mengurangi serangan trigeminal neuralgia


dengan menurunkan hiperaktifitas nukleus nervus trigeminus di dalam
brainstem (Ganiswara, 1995; Peterson, 1998; Kaufmann AM, 2001;
Sharav, 2002; Brice, 2004).

Obat-obatan jenis ini seperti karbamazepin (Tegretol) dan fenitoin


(Dilantin) berfungsi untuk mengurangi transmisi impuls pada ujung
saraf tertentu, selain itu juga bisa melegakan nyeri pada kebanyakan
pasien. Cara yang dilakukan dalam penanganan kasus neuralgia
trigeminus adalah dengan memberikan tegretol yang diminum
bersamaan dengan makan, dengan dosis yang secara bertahap
ditingkatkan sampai diperoleh rasa lega. Setiap obat pasti memiliki efek
samping, sehingga kita harus mengamati efek samping termasuk mual,
pusing, ngantuk, dan disfungsi hepar (Baughman & Hackley, 2000).

Monitoring pasien terhadap depresi sumsum tulang belakang selama


terapi oleh jangka panjang juga sangat penting. Selain efek samping
dari obat tegretol, obat fenitonin juga sering menimbulkan efek
samping seperti  mual-mual, pusing, somnolen, ataksia, dan alergi kulit.
Obat antikonvulsan secara rinci akan dibahas di bawah ini:

2. Karbamazepine (Tegretol)
Karbamazepine memperlihatkan efek analgesik yang selektif
misalnya pada dorsalis dan neuropati lainnya yang sukar diatasi dengan
analgesik biasa. Sebagian besar penderita trigeminal neuralgia
mengalami penurunan sakit yang berarti dengan menggunakan obat ini.
Namun, potensi untuk menimbulkan efek samping sangat luas
khususnya gangguan darah seperti leukopeni, anemia aplastik dan
agranulositosis maka pasien yang akan diterapi dengan obat ini
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan nilai basal dari darah dan
melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan. Efek samping yang
timbul dalam dosis yang besar yaitu drowsiness, mental confusion,
dizziness, nystagmus, ataxia, diplopia, nausea dan anorexia. Terdapat
juga reaksi serius yang tidak berhubungan dengan dosis yaitu allergic
skin rash, gangguan darah seperti leukopenia atau agranulocytosis, atau
aplastic anemia, keracunan hati, congestive heart failure (CHF),
halusinasi dan gangguan fungsi seksual.

Pemberian karbamazepine dihentikan jika jumlah leukosit abnormal


(rendah). Jika efek samping yang timbul parah, dosis karbamazepine
perhari dapat dikurangi 1-3 perhari, sebelum mencoba menambah dosis
perharinya lagi. Karbamazepine diberikan dengan dosis berkisar 600-
1200 mg, dimana hampir 70% memperlihatkan perbaikan gejala. Meta
analisa tegretol yang berisi karbamazepine mempunyai number needed
to treat (NNT) 2,6 (2,2-3,3). Dosis dimulai dengan dosis minimal 1-2
pil perhari, yang secara bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit
hilang atau mulai timbul efek samping. Selama periode remisi dosis
dapat dikurangi secara bertahap. Karbamazepine dapat dikombinasi
dengan fenitoin atau baklofen bila nyeri belum bisa diatasi, atau diubah
ke obat oxykarbazepine.

3. Oxykarbazepine (Trileptal)
Oxikarbazepine merupakan ketoderivat karbamazepine dimana
mempunyai efeksamping lebih rendah dibanding dengan
karbamazepine dan dapat meredakan nyeri dengan baik. Trileptal atau
oxikarbazepine merupakan suatu bentuk dari trigretol yang efektif
untuk beberapa pasien trigeminal neuralgia. Dosis umumnya dimulai
dengan 2x300mg yang secara bertahap ditingkatkan untuk mengontrol
rasa sakitnya. Dosis maksimumnya 2400-3000mg perhari. Efek
samping yang paling sering adalah nausea, mual, dizziness, fatique dan
tremor. Efek samping yang jarang timbul yaitu rash, infeksi saluran
pernafasan, pandangan ganda dan perubahan elektrolit darah. Seperti
obat anti-seizure lainnya, penambahan dan pengurangan obat harus
secara bertahap.

4. Phenytoin (Dilantin)
Phenitoin merupakan golongan hidantoin dimana gugus fenil atau
aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk pengendalian bangkitan
tonik-klonik. Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan
depresi umum SSP. Sifat antikonvulsan obat ini berdasarkan pada
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus kebagian lain di otak.
Efek stabilisasi membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya
sel sistem konduksi di jantung. Phenitoin juga mempengaruhi
perpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini khususnya
dengan lebih mengaktifkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik
dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna.

Phenitoin harus hati-hati dalam mengkombinasikan dengan


karbamazepine karena dapat menurunkan dan kadang-kadang
menaikkan kadar phenitoin dalam plasma, sebaiknya diikuti dengan
pengukuran kadar obat dalam plasma. Phenitoin dengan kadar dalam
serum 15-25 g/mL pada 25% pasien trigeminal neuralgia dapat
meredakan nyeri. Kadar obat tersebut diatas dipertahankan selama 3
minggu, jika nyeri tidak berkurang sebaiknya obat dihentikan karena
dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan toksisitas. Phenytoin dapat
mengobati lebih dari setengah penderita trigeminal neuralgia dengan
dosis 300-500 mg dibagi dalam 3 dosis perhari. Phenytoin dapat juga
diberikan secara intra vena untuk mengobati kelainan ini dengan
eksaserbasi yang berat. Dosis maksimum tergantung keparahan efek
samping yang ditimbulkannya adalah nystagmus, dysarthria,
ophthalmoplegia dan juga mengantuk serta kebingungan. Efek lainnya
adalah hiperplasia gingiva dan hypertrichosis. Komplikasi serius tapi
jarang terjadi adalah allergic skin rashes, kerusakan liver dan gangguan
darah.

5. Injeksi Alkohol
Selain menggunakan obat-obat di atas biasanya juga menggunakan
injeksi alkohol. Cara melakukan injeksi alkohol pada kasus neuralgia
trigeminal adalah sebagai berikut:
a. Injeksi pada ganglion gasserian dan cabang perifer dari saraf
trigeminal.
b. Mengurangi nyeri selama beberapa bulan.

2.1.9.2 Terapi Non Medikamentosa.

1. Pembedahan
Terapi non-medis (bedah) dipilih jika kombinasi lebih dari dua obat
belum membawa hasil seperti yang diharapkan. Dr. Stephen B. Tatter
menyebutkan bahwa pembedahan disiapkan untuk mereka yang tidak
dapat mentoleransi efek samping dari terapi medis atau ternyata terapi
medis tidak efektif. Terdapat beragam cara pembedahan, dari yang
paling kuno, yang dapat menimbulkan kecacatan (biasanya
pendengaran dan gerak otot wajah) cukup besar, sampai cara yang
lebih modern yang hanya sedikit atau hampir tidak pernah dijumpai
efek samping.
2. Radiofrequency rhizotomy
Hingga kini masih populer karena relatif aman dan murah, tetapi
cara ini mempunyai kemungkinan kekambuhan sebesar 25%. Efek
samping lain yang dapat muncul adalah terjadinya anestesi kornea,
rasa kesemutan, dan kelemahan rahang yang kadang-kadang bisa
mengganggu.
Prosedur ini akan memasukkan sebuah introducer elektroda (jarum)
melalui kulit pipi ke saraf, dipilih pada dasar tengkorak. Serabut saraf
tak bermielin kecil dan yang bermielin tipis yang menghantarkan nyeri
rusak oleh panas dari elektroda. Cara ini dapat meredakan neuralgia
(nyeri saraf) dengan menghancurkan beberapa bagian dari saraf yang
menyebabkan rasa sakit dan dengan menekan sinyal rasa sakit ke otak.
3. Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol
Cara ini adalah cara yang dianjurkan oleh Jho dan Lunsforf (1997).
Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa gliserol adalah neurotoksik
dan bekerja pada serabut saraf yang sudah mengalami demielinisasi,
menghasilkan cedera relatif ringan ke saraf sehingga menghilangkan
compound action potential pada serabut Trigeminal yang terkait
dengan rasa nyeri dengan resiko minimal mati rasa permanen pada
wajah.
4. Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife
Merupakan perkembangan yang masih relatif baru. Tekniknya
dengan cara memfokuskan sinar Gamma pada akar saraf trigeminal
sehingga berlaku seperti prosedur bedah, dengan menghancurkan
beberapa bagian dari saraf yang menyebabkan rasa sakit dan dengan
menekan sinyal rasa sakit ke otak namun tanpa membuka kranium
sehingga jaringan sehat di sekitarnya tidak ikut rusak.
5. Ballon Compression
Prosedur ini bertujuan untuk melukai bagian dari ganglion
Trigeminus menggunakan kompresi balon. Kompresi balon dilakukan
di bawah anestesi umum. Menggunakan kontrol X-ray atau yang biasa
dikenal sebagai fluoroscopy. Ahli bedah menempatkan jarum panjang
melalui pipi sampai ke dasar otak, dan melalui lubang kecil di
tengkorak untuk mencapai ganglion.
6. Ballon Compression
Prosedur ini bertujuan untuk melukai bagian dari ganglion
Trigeminus menggunakan kompresi balon. Kompresi balon dilakukan
di bawah anestesi umum. Menggunakan kontrol X-ray atau yang biasa
dikenal sebagai fluoroscopy. Ahli bedah menempatkan jarum panjang
melalui pipi sampai ke dasar otak, dan melalui lubang kecil di
tengkorak untuk mencapai ganglion.

2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian Keperawatan
Berikut ini adalah tahap pengkajian keperawatan klien dengan
trigeminal neuralgia menurut Doenges, Marylinn E. (2000).
1. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama,
bahasa, pekerjaan, suku/kebangsaan, alamat, pendidikan,
tanggal masuk rumah sakit.
2. Keluhan Utama
Nyeri pada bibir, dagu, lobang hidung, dan pada gigi (daerah
perifer, bukan pada struktur yang lebih dalam). Nyeri bersifat
tajam seperti tertusuk atau tersetrum listrik yang terjadi di
sepanjang satu atau lebih cabang inervasi N. V. Nyeri dapat
tercetus oleh rangsangan ringan (alodinia) seperti terpapar
angin, berbicara,mengunyah atau cuci muka.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Mengkaji apakah ada penyakit pada bagian sistem saraf pusat
yang mengarah pada penyebab peradangan saraf trigeminal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
5. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik neurologi dapat ditemukan sewaktu
terjadi serangan, penderita tampak menderita sedangkan diluar
serangan tampak normal.
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti CTscan
kepala atau MRI kepala. MRI dan CT-scan hanya dilakukan
atas indikasi, misalnya terdapat kecurigaan penekanan radiks
N. V oleh aneurisma. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah Rontgen TMJ (Temporomandibular Joint). CTscan
kepala dari fossa posterior bermanfaat untuk mendeteksi tumor
yang tidak terlalu kecil dan aneurisma. MRI sangat bermanfaat
karena dengan alat ini dapat dildihat hubungan antara saraf dan
pembuluh darah juga dapat mendeteksi tumor yang masih
kecil.

MRI juga diindikasikan pada penderita dengan nyeri yang


tidak khas distribusinya atau waktunya maupun yang tidak
mempan pengobatan. Indikasi lain misalnya pada penderita
yang onsetnya masih muda, terutama bila jarang-jarang ada
saat-saat remisi dan terdapat gangguan sensibilitas yang
obyektif. Selain itu harus diingat, bahwa neuralgia trigeminal
yang klasik dengan hanya sedikit atau tanpa tanda-tanda
abnormal ternyata bisa merupakan gejala-gejala dari tumor
fossa posterior.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan trigeminal neuralgia menurut Muttaqin, Arif (2010) dan
Ackley, Betty J., Gail B. Ladwig (2013) adalah sebagai berikut.
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d penekanan saraf trigeminal
dan inflamasi arteri temporalis.
2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d
sakit saat mengunyah
3. Koping individu tak efektif b/d nyeri berat, ancaman berlebih
pada diri sendiri.
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan
pengobatan b/d keterbatasan kognitif.
5. Ansietas (cemas) b/d prognosis penyakit dan perubahan
kesehatan
6. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri b/d kurang
pengetahuan tentang pencegahan rangsangan pemicu rasa
nyeri.
7. Risiko cedera pada mata b/d faktor resiko : kemungkinan
penurunan sensasi kornea.
2.3.3 Intervensi Keperawatan
Merencanakan tindakan asuhan keperawatan untuk mengatasi
masalah diagnosa keperawatan yang sudah ada.
2.3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan
dan rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan. Pada tahap ini, perawat sebaiknya tidak bekerja
sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua profesi
kesehatan yang menjadi tim perawatan (Setiadi, 2010).

2.3.5 Evaluasi Keperawatan


Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi.
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis
dan terencana tentang kesehatan keluarga dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan pasien dengan tenaga kesehatan lainnya .

Anda mungkin juga menyukai