Anda di halaman 1dari 11

Anis Ni'matul Zuhroh

PERAWAT punya CERITA

 Beranda

Makalah Keperawatan Jiwa (Askep Pada Penguna NAPZA)

Diposting oleh MIERy di 06.46

BAB I
PENDAHULUAN
1.1               Latar Belakang
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada
akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media
elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang
memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun)
sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).

Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya


pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk
mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah
tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan.
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih
pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap
individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap
masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA
(Hawari, 2000). Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai
melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin
banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan
zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak
disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes,
2001). Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga
kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di
rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu
dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).
2.1               Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dari penggunaan NAPZA
2.      Mengetahui factor penyebab penggunaan NAPZA
3.      Mengetahui gekal klinis penggunaan NAPZA
4.      Mengetahui dampak penggunaan NAPZA

BAB II
2.1 Pengertian
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering
dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang
berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik
terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang
diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan
Sundeen, 1995).
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang
menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal
mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan
spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan (DepKes., 2002).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi
(detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan
program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan
dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena
tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang
kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien
mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan
pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi
(rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di
unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1
tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang
rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian
besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving)
terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001).
Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan
lingkungannya

2.2 Faktor Penyebab Penggunaan NAPZA


Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:
1.      Faktor biologic
Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol. Perubahan metabolisme alkohol
yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman.
2.      Faktor psikologik
         Tipe kepribadian ketergantungan
         Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan waktu masa kanak kanak
         Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan
         Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit
         keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri,
tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi
3.      Faktor sosiokultural
         Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat
         Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau,
alkohol dan mariyuana
         Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural
         Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan

2.3  Gejala klinis penggunaan NAPZA


1.      Perubahan Fisik :
         Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo ( cadel ), apatis ( acuh tak
acuh ), mengantuk, agresif.
         Bila terjadi kelebihan dosis ( Overdosis ) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit
teraba dingin, bahkan meninggal.
         Saat sedang ketagihan ( Sakau ) : mata merah, hidung berair, menguap terus, diare, rasa sakit
seluruh tubuh, malas mandi, kejang, kesadaran menurun.
         Pengaruh jangka panjang : penampilan tidak sehat, tidak perduli terhadap kesehatan dan
kebersihan, gigi keropos, bekas suntikan pada lengan.
2.      Perubahan sikap dan perilaku :
      Prestasi di sekolah menurun, tidak mengerjakan tugas sekolah, sering membolos, pemalas,
kurang bertanggung jawab.
      Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas atau tempat
kerja.
       Sering berpergian sampai larut malam, terkadang tidak pulang tanpa ijin.
      Sering mengurung diri, berlama – lama di kamar mandi, menghidar bertemu dengan anggota
keluarga yang lain.
      Sering mendapat telpon dan didatangi orang yang tidak dikenal oleh anggota keluarga yang
lain.
       Sering berbohong, minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tidak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau keluarga,
mencuri, terlibat kekerasan dan sering berurusan dengan polisi.
      Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, pemarah, kasar, bermusuhan pencurigaan,
tertutup dan penuh rahasia.

2.4 Dampak penggunaan NAPZA


NAPZA berpengaruh pada tubuh manusia dan lingkungannya :
1.      Komplikasi Medik, biasanya digunakan dalam jumlah yang banyak dan cukup lama. 
Pengaruhnya pada :
a. Otak dan susunan saraf pusat :
         gangguan daya ingat
         gangguan perhatian / konsentrasi
         gangguan bertindak rasional
         gagguan perserpsi sehingga menimbulkan halusinasi
         gangguan motivasi, sehingga malas sekolah atau bekerja
         gangguan pengendalian diri, sehingga sulit membedakan baik / buruk.
b. Pada saluran napas dapat terjadi radang paru (Bronchopnemonia), pembengkakan paru
(Oedema Paru).
c. Pada jantung dapat terjadi peradangan otot jantung serta penyempitan pembuluh darah
jantung.
d. Pada hati dapat terjadi Hepatitis B dan C yang menular melalui jarum suntik dan hubungan
seksual.
e. Penyakit Menular Seksual ( PMS ) dan HIV/AIDS.
Para pengguna NAPZA dikenal dengan perilaku seks resiko tinggi, mereka mau melakukan
hubungan seksual demi mendapatkan uang untuk membeli zat. Penyakit Menular Seksual
yang terjadi adalah : kencing nanah (GO), raja singa (Siphilis) dll. Dan juga pengguna
NAPZA yang mengunakan jarum suntik secara bersama-sama membuat angka penularan
HIV/AIDS semakin meningkat. Penyakit HIV/AIDS menular melalui jarum suntik dan
hubungan seksual, selain itu juga dapat melalui tranfusi darah dan penularan dari ibu ke janin.
f. Pada sistem Reproduksi sering mengakibatkan kemandulan.
g. Pada kulit sering terdapat bekas suntikan bagi pengguna yang menggunakan jarum suntik,
sehingga mereka sering menggunakan baju lengan panjang.
h. Komplikasi pada kehamilan :
         Ibu : anemia, infeksi vagina, hepatitis, AIDS.
         Kandungan : abortus, keracunan kehamilan, bayi lahir mati
         Janin : pertumbuhan terhambat, premature, berat bayi rendah.
2.      Dampak Sosial :
a.       Di Lingkungan Keluarga :
         Suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu, sering terjadi pertengkaran, mudah
tersinggung.
         Orang tua resah karena barang berharga sering hilang.
         Perilaku menyimpang / asosial anak ( berbohong, mencuri, tidak tertib, hidup bebas) dan
menjadi aib keluarga.
         Putus sekolah atau menganggur, karena dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaan, sehingga
merusak kehidupan keluarga, kesulitan keuangan.
         Orang tua menjadi putus asa karena pengeluaran uang meningkat untuk biaya pengobatan
dan rehabilitasi.
b.      Di Lingkungan Sekolah :
         Merusak disiplin dan motivasi belajar.
         Meningkatnya tindak kenakalan, membolos, tawuran pelajar.
         Mempengaruhi peningkatan penyalahguanaan diantara sesama teman sebaya.
c.       Di Lingkungan Masyarakat :
         Tercipta pasar gelap antara pengedar dan bandar yang mencari pengguna / mangsanya.
         Pengedar atau bandar menggunakan perantara remaja atau siswa yang telah menjadi
ketergantungan.
         Meningkatnya kejahatan di masyarakat : perampokan, pencurian, pembunuhan sehingga
masyarkat menjadi resah.
         Meningkatnya kecelakaan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYALAHGUNAAN
NAPZA
3.1  Kasus
Andra (bukan nama sebenarnya), salah satu remaja penderita HIV. Dia tertular HIV
melalui penggunaan IDU. Andra mengaku mulai memakai jarum suntik secara bergiliran
pada 2002. "Saat itu saya masih kelas 3 SMP. Saya suka mengonsumsi putauw. Suatu hari,
saya lagi nggak punya duit. Sama teman-teman diajak pakai jarum secara gantian. Lebih
murah, kata mereka," ujarnya. Pesta narkoba pun dimulai bersama teman-temannya.
Aktivitas menyimpang itu dilakoninya selama setahun. Boleh dibilang Andra termasuk
pecandu berat narkoba, terutama jenis putauw. Padahal, dia mengaku tidak memiliki uang
yang cukup tebal untuk mengonsumsi putauw. "Mau tidak mau, memakai jarum suntik
merupakan alternatif bagi saya," tuturnya.
Bagi dia, ngedrugs merupakan medium untuk melupakan persoalan hidup. Andra lahir di
tengah keluarga yang kurang harmonis. Dia lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-
temannya di luar rumah. "Dengan teman-teman saya merasa bisa melakukan apa saja.
Mereka tahu apa yang saya mau," tukasnya. 
Hidup sarat dengan hedonisme dia lakoni selama bertahun-tahun. Prestasi sekolah
Andra yang terus merosot memacu dirinya terjun bebas ke narkoba. Apalagi orang tuanya
cuek saja dengan segala tindakan yang dia lakukan. "Aku merasa bebas melakukan apa saja,
under controll pokoknya," ujarnya. Hidup Andra identik bersenang-senang. Pada 2004, dia
diajak teman-temannya melakukan VCT (visite conselling test). "Saat itu aku tidak tahu
untuk apa diajak VCT. Ternyata untuk memeriksakan diri apakah terkena HIV/AIDS atau
tidak," ujarnya. 
Ternyata teman-teman Andra itu adalah relawan sebuah LSM yang konsen dengan
HIV/AIDS. Mereka prihatin dengan kondisi Andra. Benar saja, dari lima orang yang
memeriksakan diri, tiga orang positif HIV termasuk Andra. "Rasanya saya ingin mati saja
saat itu," ucap Andra yang waktu itu baru kelas 1 SMA. Sejak divonis itu, Andra merasa
hidupnya tidak berarti lagi. Keterputusasaan yang berat meyelimuti dirinya. "Bahkan timbul
perasaan jahat dan dendam terhadap teman-teman yang belum terkena HIV untuk
menularinya," ujarnya. Untungnya, Andra dapat mengendalikan diri. Dia pun berusaha
bangkit untuk bertahan hidup. "Untungnya teman-teman sangat memotivasi saya untuk
berobat," ujar Andra yang kini berusia 19 tahun. Satu tahun lamanya Andra
menyembunyikan kenyataan itu dari orang tuanya bila dia positif HIV. "Lagipula apa
bedanya bila saya ceritakan," ujarnya. 
Lambat-laun rahasia itu terbongkar. Ibu Andra mendapati hasil tes VCT-nya yang
disimpan di laci meja anaknya itu. "Waktu itu, ibu mencari obat-obat terlarang itu di kamar
saya," ujarnya.
"Saya tidak menyangka reaksi ibu saat mengetahui saya positif HIV. Ibu menangis
sesunggukan dan memeluk saya," ungkapnya. Sejak itu, orang tua Andra mulai berubah.
Mereka menerima Andra apa-adanya. Mereka berani menerima kenyataan bila anaknya
terjangkit penyakit yang distigmakan buruk oleh masyarakat itu. Namun, apa pun perhatian
itu, bagi Andra tidak bisa mengembalikan dirinya seperti dulu lagi. Di dalam tubuhnya telah
berkembang virus mematikan --yang bila dia tidak aware memperhatikan kesehatannya-- bisa
semakin menyerang kekebalan tubuhnya. Kini, Andra punya semangat hidup lagi. Hidup,
katanya, harus terus berjalan, meskipun dia sempat pesimistis dengan masa depannya. "Siapa
sih yang mau menerima cowok dengan predikat HIV positif?" tanyanya. Beberapa kali Andra
mencoba menjalin hubungan dengan teman perempuannya, namun selalu gagal. "Begitu tahu
saya terinfeksi HIV, ada yang langsung menjauh, ada juga yang mundur pelan-pelan,"
ujarnya. 
Menurut Andra, tidak mudah hidup di lingkungan orang yang tidak terkena penyakit
berbahaya itu. Selalu ada benang merah antara ODHA dengan OHIDA (orang yang hidup
dengan HIV/AIDS). Meskipun keluarga menerima Andra apa-adanya, perasaan "berbeda"
tetap melekat dalam hatinya. Andra pun kemudian mencari komunitas yang bisa menampung
nasibnya. "Akhirnya dengan teman-teman sebaya yang aktif memerangi HIV/AIDS, saya
merasa di situlah tempat saya. Tempat saya berkeluh-kesah, bersama, dan berbagi hidup," 
dikutip dari www.smu_net.com
3.2  Pengkajian
Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang
psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada
kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang
dilakukan meliputi :
a. Perilaku
b. Faktor penyebab dan faktor pencetus
c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:
         penyangkalan (denial) terhadap masalah
         rasionalisasi
         memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya
         mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya
         Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien

3.2 Diagnosa Keperawatan


Perlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di
ruang rehabilitasi karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah
satu penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak
melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya
masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi
penyalahgunaan dan penggunaan zat.
Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah
keperawatan yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:
a. Risiko terjadinya perubahan proses keluarga berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam merawat anggota keluarga pengguna NAPZA
3.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi untuk diagnose 1 :
Risiko terjadinya perubahan proses keluarga berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
dalam merawat anggota keluarga terutama anggota keluarga pengguna NAPZA
         Tujuan khusus
Keluarga mampu mengenal dengan baik anggota keluarga pengguna NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan tentang criteria remaja pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga mengenali remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga untuk selalu mengenali remaja pengguna NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi.
         Keluarga mampu mengambil keputusan terhadap remaja pengguna NAPZA.
Intervensi :
1.      Bersama keluarga diskusikan tentang akibat dari remaja pengguna NAPZA
2. Latih keluarga mengenali akibat dari remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga untuk selalu mengenali akibat remaja pengguna NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali hal-halyang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi.
         Keluarga mampu merawat keluarga dengan remaja pengguna NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan tentang cara mencegah dan merawat remaja pengguna
NAPZA.
2. Latih keluarga cara mencegah dan merawat remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga untuk selalu mencegah dan merawat remaja pengguna NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi.
         Keluarga mampu memodifikasi remaja pengguna NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan tentang cara memodifikasi lingkungan rumah remaja
pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga cara memodifikasi dari remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga untuk selalu melakukan modifikasi remaja pengguna NAPZA
4. Berikan kesempatan bertanya hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi.
         Keluarga mampu menggunakan sumber daya untuk penanganan remaja pengguna NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan tentang penggunaan sumber daya masy untuk remaja
Pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga menggunakan sumber daya untuk remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga untuk selalu menggunakan sumber daya untuk remaja pengguna
NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi.
3.4 Evaluasi
Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang
dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai.
Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang
telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.
Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali
terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan klien. Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan
pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan
untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi
yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat
bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.

BAB IV
PENUTUP
2.4               Kesimpulan
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan
dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat.
Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala
putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).
2.5               Saran
Diharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya agar bermanfaat
untulk kita semua terutama bagi kami penulis. Harapannya tujuan dari makalah ini dapat
memasyarakat dan terimplementasi dengan baik. 
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana
pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
(2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada
pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
(2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat
adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental health-psychiatric nursing a
holistic life-cycle approach. Third edition. St. Louis: Mosby Year Book.
tuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth
edition. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth
edition. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. (terjemahan).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai