Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di kota
besar maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran NAPZA
sudah sangat mengkhawatirkan sehingga cepat atau lambat penyalahgunaan NAPZA
akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana,
2005).
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori
NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran
dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin
banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut,
khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru
bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).
Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya
pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk
mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang
rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan
faktor lingkungan.
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor
keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga; faktor lingkungan lebih pada
kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian
masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000). Dampak yang terjadi dari faktor-faktor
di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan. Hal ini
ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena
penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan
withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan
dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi
sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA

(DepKes, 2001). Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran
serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat
yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat
klien

dengan

menggunakan

pendekatan

proses

keperawatan

yaitu

asuhan

keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).

2.1 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan pada klien dengan ganguan
tetanus
2.2 Tujuan Khusus
1.

Mengetahui pengertian dari penggunaan NAPZA

2.

Mengetahui faktor penyebab penggunaan NAPZA

3.

Mengetahui gejala klinis penggunaan NAPZA

4.

Mengetahui dampak penggunaan NAPZA

5.

Mengetahui proses keperawatan pada gangguan penyalahgunaan NAPZA


meliputi pengkajian, analisa data dan diagnosa, intervensi dan evaluasi

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan
sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku
psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi
karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat
untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan
tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

2.2 Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA


Respon Adaptif

Respon
Maladaptif

Tinggi alamiah

Penggunaan jarang

Penggunaann sering

Ketergantungan

aktivitas fisik,

dari: nikotin, kafein,

dari: nikotin, kafein,

penyalahgunaan,

meditasi

alkohol, obat yang

alkohol, obat yang

gejala putus zat,

diresepkan, obat

diresepkan, obat

toleransi

terlarang

terlarang

Respon adaptif - maladaptif dari rentang respon penggunaan zat kimiawi sebagai
kopingadalah sebagai berikut :

a. Beberapa NAPZA secara alamiah ada di dalam individu (endorphin), berguna


untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti melakukan aktivitas fisik, meditasi,
tetapi dalamkadar yang selalu ada pada keseimbangan
b. Beberapa individu mengkonsumsi NAPZA seperti: tembakau, kafein, alkohol,
obat-obatresep, dan terlarang dengan penggunaan jarang, sehingga terjadi
ketidakseimbanganakibat adanya peningkatan kadar zat di dalam tubuh
c. Penggunaan zat semakin sering dan ketagihan
d. Ketergantungan zat adiktif (dependence)
Ketergantungan zat adiktif (dependence) adalah kondisi penyalahgunaan yang
lebih berat, telah terjadiketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan
fisik ditandaidengan kondisi toleransi dan sindroma putus zat.
e. Penyalahgunaan zat adiktif (substance abuse)
Penyalahgunaan zat adiktif (substance abuse) adalah penggunaan zat yang
bersifat patologis, relative digunakan lebih sering dari biasanya, walupub
pengguna menderitacukup serius akibat penggunaan tersebut tetapi individu
tidak mampu untuk menghentikan, penggunaan telah berlangsung kurang
lebih 1 bulan, sehingga terjadi penyimpangan perilaku dan mengganggu
fungsi sosial, pekerjaan, dan pendidikan
f. Sindroma putus zat (withdrawal)
Pada pemakaian yang terus menerus akan tercapai tingkat dosis toleransi yang
cukuptinggi, jika pengguna menghentikan akan timbul gejala-gejala tertentu
sesuai jenis zatyang disalahgunakannya
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang
ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh
pengguna NAPZA.
Respon adaptif Respon Maladaptif (yosep, 2007)

Eksperimental Rekreasional
Keterangan :
a. Eksperimental

Situasional

Peyalahgunaan

Ketergantungan

Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tau dari remaja.
Sesuai kebutuhan pada masa tubuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari
pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
b. Rekreasional
Penggunaan zat aditif pada waktu berkumpil dengan teman sebaya, misalnya
pada waktu pertemuan malam mingguan, acar ulang tahun. Penggunaan ini
mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.
c. Situasional
Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi
dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan
diri atu mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan
zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
d. Penyalahgunaan
Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara
rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku
mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan
pekerjaan.
e. Ketergantungan
Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan
sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan
zat adiktif secara rutin pada dosis tertyentu menurunkan jumlah zat yang
digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpilan gejala
sesuai dengan macam zat yang digunakan). Sedangkan toleransi adalah suatu
kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk
mencapai tujuan yang bisa diinginkannya.

2.3 Jenis-Jenis NAPZA


NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
1.Narkotika

Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang
dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi
hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan
ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang
terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain.
Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai
sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan
proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan
sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh
digunakan

untuk

terapi

pengobatan

secara

langsung

karena

terlaluberisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun


koka.
2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses
yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai
penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin,
metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.
Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
a. Depresan : membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b. Stimulan : membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja
dan merasa badan lebih segar.
c. Halusinogen : dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang
mengubah perasaan serta pikiran.
Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara
isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein,
dan lain-lain.

2.Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika
adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang
tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang
membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf
simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy
(metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed,
shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen
yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat
terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine
merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat
dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan
dalam waktu lama.
3. Zat Adiktif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal
maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup
secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahanbahan berbahaya ini adalah
zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi
mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan
(Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain:
minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras
golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman
keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur
malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai
55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir

semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah


0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan
solvent/inhalasia.
2.4 Faktor Predisposisi
Penyebab penyalahgunaan NAPZA menurut Hawari (2000) adalah interaksi antara
faktor predisposisi, faktor kontribusi dan faktor pencetus. Faktor kontribusi yaitu
kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi keluarga) seperti keluarga yang tidak
utuh, kesibukan orang tua dan hubungan interpersonal dalam keluarga yang tidak
harmonis. Faktor pencetus yaitu pengaruh teman sebaya serta tersedia dan mudahnya
memperoleh barang yang dimaksud (easy availability).
Faktor predisposisi terbagi dalam tiga kelompok yaitu :
1. Faktor

biologik,

penyalahgunaan

Meliputi:

alkohol

dan

kecenderungan
perubahan

keluarga,

metabolisme

terutama

alkohol

yang

mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman.


2. Faktor psikologik, meliputi: kepribadian ketergantungan oral, harga diri
rendah, sering berhubungan dengan penganiayaan pada masa kanak-kanak,
perilaku maladaptif yang dipelajari secara berlebihan, mencari kesenangan
dan menghindari rasa sakit, sifat keluarga termasuk tidak stabil, tidak ada
contoh yang positif, rasa kurang percaya tidak mampu memperlakukan anak
sebagai individu serta orang tua yang adiksi.
3. Faktor sosiokultural, meliputi: ketersedian dan penerimaan sosial terhadap
pengguna obat, ambivalen sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan zat,
seperti tembakau, alkohol dan maryuana, sikap, nilai, norma dan sosial
kultural kebangsaan, etnis dan agama, kemiskinan dengan keluarga yang tidak
stabil dan keterbatasan kesempatan
2.5 Faktor Presipitasi

Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor


presipitasi yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor
eksternal dan faktor internal.
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih
cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya
memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah.
Perkembangan

emosi

yang

terhambat,

dengan

ditandai

oleh

ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas,


pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang
untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada
taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan
narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan,
dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua,
narkoba digunakan sebagai obat penenang.
d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya
merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin
merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama
kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.
e. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk
menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat
menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan
yang ada.
2. Faktor Eksternal

a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang
menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma
Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat
beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat
penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami
ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan
aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah
bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya
penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik
dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun
antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya
mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai
dalam banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan
alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan
dalam menanggapi sesuatu.
b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara
teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar
berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam
delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan bahwa faktorfaktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan
seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan
timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis.
c. Faktor Kesempatan

Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut


sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Pengalaman feel good saat
mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan
kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi
pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara
bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari
satu faktor tertentu.
2.6 Tanda dan Gejala
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada

juga

sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang
dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada
jenis zat yang berbeda.
Tanda dan Gejala Intoksikasi
Opiate
1. Eforia
2. mengantuk
3. bicara cadel
4. konstipasi
5. penurunan
kesadaran

Ganja
1. eforia
2. mata merah
3. mulut kering
4. banyak

Sedative-hipnotik
1. pengendalian
diri berkurang
2. jalan

Alcohol
1. mata merah
2. bicara cadel
3. jalan
sempoyongan
4. perubahan

sempoyongan
3. mengantuk
4. memperpanjang
persepsi
tidur
5. penurunan
nafsu makan
5. hilang
kemampuan
meningkat
kesadaran
menilai
5. gangguan
persepsi
bicara
dan tertawa

Anfetamine
1. selalu
terdorong
untuk
bergerak
2. berkeringat
3. gemetar
4. cemas
5. depresi
6. paranoid

Tanda dan Gejala Putus Zat


Opiate

Ganja

Sedative-hipnotik

Alcohol

Anfetamin

1. nyeri
2. mata dan
hidung berair
3. perasaan
panas dingin
4. diare
5. gelisah
6. tidak bisa
tidur

jarang
ditemu
kan

1. cemas
2. tangan gemetar
3. perubahan
persepsi
4. gangguan
daya ingat
5. tidak bisa tidur

1.
2.
3.
4.
5.

cemas
depresi
muka merah
mudah marah
tangan

gemetar
6. mual muntah
7. tidak bisa
tidur

1.
2.
3.
4.

cemas
depresi
kelelahan
energi
berkurang
5. kebutuhan
tidur
meningkat

2.7 Penatalaksanaan Masalah NAPZA


Penatalaksanaan

masalah

NAPZA terdiri

dari

pengobatan

dan pemulihan

(rehabilitasi).
1. Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus
zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala
putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat
tersebut berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis

opiat

misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna


sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya
diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan
secara bertahap sampai berhenti sama sekali.

cara penurunan dosis

2. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna
NAPZA

yang

menderita

sindroma

ketergantungan

dapat

mencapai

kemampuan fungsional seoptimal mungkin.Tujuannya pemulihan dan


pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana
rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan (Depkes, 2001).

Alur Perawatan Klien di Rumah Sakit

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi


sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa
rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan
rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1.
2.
3.
4.

Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi


Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan

baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan

dengan lingkungannya.
Bagan tipe rehabilitasi
Psikososial
Kejiwaan
Komunitas
Program rehabilitasi Dengan menjalani Berupa
psikososial

rehabilitasi

merupakan

diharapkan

persiapan

untuk klien

kembali

ke

Keagamaan
program Pendalaman,

terstruktur

yang penghayatan,

agar diikuti oleh mereka pengamalan keagamaan

rehabilitasi yang tinggal dalam

yang

atau keimanan ini

satu tempat. Dipimpin dapat

menumbuhkan

masyarakat (reentry semua berperilaku oleh mantan pemakai kerohanian


program).

Oleh maladaptif

karena

klien berubah

perlu

itu,

dilengkapi

dan

keterampilan lain

misalnya
berbagai

yang

dinyatakan power)

menjadi memenuhi

adaptif

dengan pengetahuan dengan

(spiritual
pada

atau syarat sebagai koselor, sehingga


kata

sikap

setelah

mampu

mengikuti menekan

dan pendidikan

dapat dihilangkan, Tenaga

diri

seseorang
risiko

dan seminimal

dengan tindakan antisosial pelatihan.


kursus

dan

terlibat

mungkin
kembali

profesional dalam penyalahgunaan

atau balai latihan sehingga mereka

hanya

kerja di pusat-pusat dapat

konsultan saja. Di sini dan rajin menjalankan

rehabilitasi. Dengan bersosialisasi

klien

demikian
diharapkan
klien

dengan

sebagai NAPZA apabila taat


dilatih

sesama keterampilan

ibadah,

risiko

kekambuhan

hanya

bila rekannya maupun mengelola waktu dan 6,83%;


selesai personil

yang

perilakunya

menjalani program membimbing dan efektif


rehabilitasi dapat

mengasuhnya

secara kadang

dalam

risiko

bila

kadang-

beribadah
kekambuhan

kehidupannya sehari- 21,50%, dan apabila

melanjutkan

hari, sehingga dapat tidak

kembali

mengatasi keinginan

sekolah/kuliah atau

mengunakan narkoba ibadah

bekerja

lagi

atau

(craving)
mencegah relaps.

sama

sekali

menjalankan
agama

risiko

nagih kekambuhan mencapai


dan 71,6%.

Rehabilitasi dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas terapi Therapeutic
Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Therapeutic
Community direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah
penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk
berada dalam kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA. TC dapat digambarkan
sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang membutuhkan lingkungan
yang mendukung dan dukungan lain yang bermakna dalam mempertahankan kondisi
bebas NAPZA atau abstinen.
Gambaran dari TC adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.

Program dan struktur yang tinggi/ketat


Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan
Program pengobatan
Program pendidikan
Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien mengalami

f.
g.
h.
i.

gangguan fungsi kehidupan yang serius)


Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal
Mengembangkan system dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
Rehabilitasi vokasional

Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap residen
untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan tersebut ( pasien
peserta TC lazim disebut residen ).
Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai berikut:
a) Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu);
1. Wawancara awal
2. Informed consent
3. Pemeriksaan fisik
4. Pengisian formulir
5. Orientasi program (walking paper}
6. Pengenalan program dan fasilitas layanan
b) Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan)
1. Aktif mengikuti program
2. Penerapan sanksi (reward and punishment)

3. Dikunjungi keluarga
4. Kegiatan Family Support Group
5. Kegiatan Kelompok
c) Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan)
1. Mulai bertanggungjawab terhadap sebagian operational fasilitas/rumah
2. Menjadi buddy bagi younger member
3. Sudah dapat keluar fasilitas TC dengan pendamping
4. Kegiatan dalam kelompok
5. Dilakukan Family Support Group (FSG)
d) Untuk Older member (anggota lama 6-8 bulan)
1. Sudah bertanggungjawab penuh terhadap rumah/fasilitas.
2. Pelaksanaan reward dan punishment secara penuh
3. Boleh meninggalkan fasilitas/rumah
4. Dilakukan kegiatan FSQ
5. Mengikuti kegiatan kelompok
6. Dinyatakan graduate/lulus
e) Tahapan Re-Entry (3 sampai 6 bulan):
a.Fase Orientasi (2 minggu);
1.
Pengenalan program re-entry
2.
Didampingi buddy
3.
Tidak boleh dikunjungi keluarga
4.
Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC
5.
Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas
6.
Mengikuti kegiatan kelompok
b.
Fase A (1,5 - 2 bulan);
1.
Mengikuti kegiatan kelompok
2.
Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu
3.
Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali
4.
Boleh menerima uang jajansetiap minggu secara teratur
5.
Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
c.Fase B (2 bulan);
1.
Mengikuti kegiatan kelompok
2.
Dapat dikunjungi setiap waktu
3.
Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu
4.
Boleh meminta tambahan uang jajan
5.
Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC
d.
Fase C (2 bulan);
1. Mengikuti kegiatan kelompok
2. Dapat dikunjungi setiap waktu
3. Diberi ijin pulang
4. Boleh meminta tambahan uang jajan
5. Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC
6. Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan pulang

Aftercare Program
a. Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program ini
dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dikuti oleh semua angkatan dibawah
supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati bersama
b. Program ini bertujuan agar alumni TC mempunyai tempat/kelompok yang
sehat dan mengerti tentang dirinya serta mempunyai lingkungan hidup yang
positif
c. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :
1. Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi
2. Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik
3. Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama
Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah
psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk meningkatkan
kemampuan pasien menghadapi setiap masalah (Coping Mechanism).
1. Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi gangguan
penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara individu maupun
kelompok
2. Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam keadaan
intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan dengan
kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran penuh
3. Untuk melaksanakan intervensi ini diperlukan pelatihan ketrampilan yang
khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan jenis intervensi
4. Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi harus
didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan faktor budaya,
umur, gender serta komorbiditas
PENCEGAHAN KEKAMBUHAN
Kambuh merupakan pengalaman yang sering terjadi dalam proses pemulihan pasien
gangguan penggunaan NAPZA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang
dapat diprediksi dalam kekambuhan adalah sistem keyakinan yang salah dan menetap
(....'Saya seorang pecandu dan saya tidak bisa berhenti menggunakan NAPZA...'). Di
bawah ini beberapa strategi yang digunakan dalam pencegahan kekambuhan :

1.

Tingkatkan komitmen untuk berubah (misal menggunakan wawancara

memotivasi)
2.
Identifikasi situasi resiko tinggi yang menimbulkan kekambuhan
(Kapan, dimana, dengan siapa dan bagaimana penggunaan Napza bisa terjadi)
3.
Mengajarkan kamampuan masing hadapi masalah (coping skill),
misalnya: ketrampilan sosial, ketrampilan manajemen diri, monitoring diri
dari penggunaan NAPZA,
4.
Mengembangkan strategi untuk menghadapi situasi yang dapat
menyebabkan terjadinya kekambuhan :
1.
apa yang harus dilakukan pasien dalam suatu kejadian yang dapat
menimbulkan kambuh?
2.
Dimana pasien mendapatkan dukungan?
3.
Apa peran yang dapat diberikan dari teman atau keluarga?
4.
Seberapa cepat pasien harus membuat perjanjian untuk kembali
ketempat praktek?
Program 12 Langkah
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu dalam
kehidupan sehari-hari. Disinilah penggunaan istilah falsafah menjadi lebih relevan,
karena langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani kehidupan sebagai
seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan membina perjalanan
spiritualnya. Jadi, lebih dari sekedar peraturan 12 Langkah menjadi "Falsafah Hidup"
seorang pecandu untuk diamalkan ketika menjalani kehidupan kesehariannya. Dan
berdasarkan paradigma Disease Model of Addiction, penyakit kecanduan mempunyai
potensi untuk kambuh sewaktu-waktu apabila tidak diredam oleh program pemulihan
yang berkesinambungan. Dengan pengamalan atau praktek dari langkah-langkah
inilah para pecandu akan dapat meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang
hayatnya. Pada penjelasan ini, setiap langkah akan diuraikan secara singkat
maknanya dan karena setiap langkah di targetkan untuk mengatasi setiap aspek
spesifik dalam penyakit kecanduan, uraian ini akan mencakup fungsi klinikal yang
dapat diterapkan baik dalam kondisi di dalam atau diluar institusi/panti rehabilitasi.

Berikut ini adalah contoh 12 langkah seperti yang tertera dalam program Narcotic
Anonymous (NA).
12 LANGKAH NARCOTIC ANONYMOUS
1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita sehingga hidup
kita menjadi tidak terkendali.
2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri
yang dapat mengembatikan kita kepada kewarasan.
3. Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan arah kehidupan
kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita mamahamiNya.
4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, menyeluruh dan
tanpa rasa gentar.
5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang
manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita.
6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakte
kita.
7. Kita dengan rendah hati memohon kepadaNya untuk menyingkirkan semua
kekurangan-kekurangan kita.
8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri
untuk meminta maaf kepada mereka semua.
9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut bila
mana memungkinkan, kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka
atau orang lain.
10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bila mana
kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita.
11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki
kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa
hanya untuk mengetahui kehendakNya atas diri kita dan kekuatan untuk
melaksanakannya.
12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah
ini, kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk
menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.

2.8 Bentuk Peran Orang Terdekat


Hubungan Tugas Keluarga dalam Pemulihan Pasien Ketergantungan Narkoba
Menurut Friedman (2003: 9) menyatakan bahwa keluarga memiliki peran pendukung
yang penting selama periode pemulihan dan rehabilitasi klien. Jika dukungan ini tidak
tersedia, keberhasilan pemulihan/rehabilitasi menurun secara signifikan. Demikian
pula sebaliknya jika dukungan tersedia maka keberhasilan pemulihan akan berjalan
dengan baik.
Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil
keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi
lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam
mengatasi kecemasan klien.(Friedman, 2003 : 146).
Menurut Willis (2010: 177) Keluarga merupakan salah satu kekuatan pendukung
yang dapat mempercepat penyembuhan pasien,sehingga dukungan keluarga sangat
dibutuhkan bagi pasien dalam menghadapi masa masa pemulihannya. Menurut Mann
dalam Willis (2010: 174) pemulihan pasien yang mengalami ketergantungan narkoba
tidak bisa hanya dengan detoksifikasi tetapi juga harus dengan pendekatan
rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual spiritual dan fisik. Hal ini secara tidak
langsung mengindikasikan bahwa peran sosial termasuk dalam hal ini keluarga dalam
upaya penyembuhan pasien memang tidak bisa dikesampingkan.
Selanjutnya Menurut Ali (2010: 38) tugas keluarga ketika pasien menjalani perawatan
dirumah sakit adalah mentaati semua anjuran tim profesional, serta memberikan
dukungan dalam bentuk perhatian. Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti
menyimpulkan bahwa tugas keluarga tentang pemeliharaan kesehatan berhubungan
dengan periode perawatan remaja ketergantungan narkoba.

Menyadari bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks dan bersifat


multidimensi, maka partisipasi berbagai pihak dalam berbagai tingkatan merupakan
sesuatu yang harus diwujudkan. Keluarga mempunyai peran yang sangat berarti
dalam pemulihan pecandu. Permasalahannya, banyak keluarga tidak memahami
masalah penyalahgunaan NAPZA dan upaya-upaya penaggulangannya. Pada
dasarnya, penyalahgunaan NAPZA akan menjadi penyakit keluarga dimana
masalah kecanduan yang dialami oleh seorang anggota keluarga pada akhirnya akan
mempengaruhi keluarga secara keseluruhan.
Pemulihan yang dijalani oleh pecandu selain memperbaiki kualitas hidup dirinya
sendiri juga merupakan kesempatan untuk membangun dan memperbaiki peran serta
fungsi keluarga. Namun ini hanya akan berhasil apabila setiap anggota keluarga
berupaya keras untuk turut serta dalam proses pemulihan tersebut. Untuk dapat
berpartisipasi dalam upaya ini, keluarga perlu memahami fase pemulihan yang
dijalani oleh korban penyalahguna NAPZA. Motivasi keluarga merupakan tenaga
kejiwaan yang dapat membangkitkan seseorang dalam perjuangan hidupnya dan oleh
karenanya menjadi tenaga penggerak yang sangat vital bagi korban penyalahguna
NAPZA untuk keluar dari penderitaannya dan untuk mengatasi problem-problem
yang dihadapi.Motivasi mempunyai pengaruh besar dalam setiap perbuatan dan
merupakan latar belakang perbuatan itu dilakukan, sehingga motivasi mampu
menggerakkan rasa dan pikiran korban penyalahguna NAPZA untuk kembali
menjalani hidup sehat tanpa menggunakan NAPZA lagi. Melihat bahwa keinginana
sembuh seorang korban penyalahguna NAPZA tidak selalu datang dari dalam diri
sendiri dan dalam pengobatan medis tidak selalu berhasil oleh karena itu dukungan
keluarga diperlukan korban penyalahguna NAPZA dalam pemulihan.
Menurut Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, motif dibedakan kedalam dua
bagian yaitu:
1. Motif intrinsik, yaitu motif yang tidak usah dirangsang dari luar, karena
memang dalam diri individu sendiri telah ada dorongan itu. Misalnya, seorang
korban penyalahguna NAPZA yang datang sendiri ke panti rehabilitasi bukan

karena paksaan dari orang tua atau merasa malu kepada temannya tetapi ada
keinginaan dalam diri sendiri untuk kembali sehat tanpa menggunakan
NAPZA lagi.
2. Motif ekstrinsik, yaitu motif yang disebabkan oleh pengaruh rangsangan dari
luar. Misalnya, seorang penyalahguna NAPZA dibawa untuk mengikuti
program rehabilitasi oleh keluarga. Peran keluarga dan tempat penyelenggara
program rehabilitasi menjadi kekuatan utama penderita (korban) keluar dari
problem yang dihadapi.
Disini keluarga menjadi bagian dari kekuatan motif ekstrinsik. Keluarga memberikan
rangsangan, dorongan, dan dukungan serta mempunyai pengaruh terhadap
perubahan-perubahan perikaku yang positif pada diri korban penyalahgunaan
NAPZA. Sentuhan hangat keluarga seperti: perhatian, kasih sayang dan empati
merupakan bentuk rangsangan atau motivasi yang membuat korban penyalahgunaan
NAPZA dapat berubah menjadi lebih baik
dengan mulai rasa kesadaran untuk tidak mengkonsumsi NAPZA lagi dan dapat
kembali menjalani hidup sehat.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
Kaji situasi kondisi penggunaan zat
a. Kapan zat digunakan
b. Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah
c. Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara
Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat
a. Berbagi peralatan suntik
b. Perilaku seks yang tidak nyaman
c. Menyetir sambil mabuk
d. Riwayat over dosis
e. Riwayat serangan (kejang) selama putus zat
Kaji pola penggunaan
a. Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan
malam)
b. Penggunaan selama seminggu
c. Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV)
d. Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah
berjalan melalui rumah bandar)
e. Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan
pacar, teman pakai)
f. Adanya pikiran-pikiran tertentu (Ah, sekali nggak bakal ngerusak
atau Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make)
g. Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)
h. Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat
tidur atau stres yang berkepanjangan)
Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi
bila tidak menggunakan.
2.2 Diagnosa Keperawatan
Masalah yang mungkin muncul pada klien dengan penyalah gunaan
NAPZA antara lain:

Overdosis

a.

Bersihan jalan napas tidak efektif

b.

Penurunan output jantung

c.

Hipertermi

d.

Hipotermi

e.

Intoleransi aktivitas

f.

Risiko cedera

Putus Zat
a.

Nyeri akut

b.

Diare

c.

(Risiko) Defisit volume cairan

d.

Gangguan sensori persepsi

e.

Gangguan pola tidur

f.

Gangguan proses pikir

g.

Ansietas

h.

Risiko perilaku kekerasan

Rehabilitasi
a.

Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menolak keinginan


menggunakan zat kembali

b.

Distres spiritual

c.

Gangguan konsep diri: harga diri rendah

d.

Koping keluarga tidak efektif

e.

Gangguan proses keluarga

f.

Ketidakberdayaan

2.3 Diagnosa Keperawatan dan Tindakan Keperawatan


Pada saat klien telah berada di ruang rehabilitasi, tidak menutup kemungkinan akan
muncul

masalah

yang

sama

seperti

ketika

klien

berada

pada

ruang

detoksifikasi.Penyebabnya adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan


penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan dalam
timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga atau orang
terdekat klien dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.
Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah
Koping

individu

tidak

efektif:

ketidakmampuan

menolak

keinginan

menggunakan zat kembali


Tujuan: Pasien dapat mengontrol keinginan untuk meggunakan zat
Rencana tindakan Keperawatan:
a. Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok diskusi pagi
b. Memberikan konselin untuk merubah moral dan spiritual klien selama ini
yang menyimpang, ditujukan agar klien menjadi manusia yang bertanggung
jawab, sehat mental, rasa bersyukur, dan optimis
c. Mengoptimalkan peran keluarga serta orang terdekat klien untuk senantiasa
mensupport dalam rehabilitasi
d. Mempersiapkan klien untuk kembali ke masyarakat, dengan bekerja sama
dengan pekerja social, psikolog

(Sumber: Keliat dkk, 2006)


Menurut Keliat dkk. (2006), tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga adalah
sebagai berikut:
a. Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota keluarganya
berhenti menggunakan NAPZA
b. Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti
c. Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA
d. Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga anatara lain: (Keliat dkk,
2006)
a. Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien

b. Diskusikan bersama keluarga tentang penyalahgunaan/ketergantungan zat


(tanda,

gejala,

penyebab,

akibat)

dan

tahapan

penyembuhan

klien

(pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi).


c. Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti: intoksikasi
berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan
penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga yang berlebihan,
melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien
yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri
(sakau), mual sampai muntah, diare, tidak dapat tidur, gelisah, tangan gemetar,
cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan).
d. Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara:
menganjurkan keluarga meningkatkan motivasi klien untuk berhenti atau
menghindari sikap-sikap yang dapat mendorong klien untuk memakai
NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau terus menerus
mencurigai klien memakai lagi); mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri
klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan
berbohong, ada tanda dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga untuk
membantu klien menghindar atau mengalihkan perhatian dari keinginan untuk
memakai NAPZA lagi; anjurkan keluarga memberikan pujian bila klien dapat
berhenti walaupun 1 hari, 1 minggu atau 1 bulan; dan anjurkan keluarga
mengawasi klien minum obat.
2.4 Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut:
1. Klien mengetahui dampak NAPZA
2. Klien mampu melakukan cara
3.
4.
5.
6.

meningkatkan

motivasi

untuk

berhenti

menggunakan NAPZA
Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan NAPZA kembali
Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif
Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat
Klien mematuhi program pengobatan

Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien


Keluarga mengetahui tentang NAPZA
Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien
Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien
Keluarga memberikan motivasi pada klien untuk sembuh
Keluarga mengawasi klien dalam minum obat

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus
bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi
yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Peran perawat mempengaruhi
pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir yang diharapkan dalam
perawatan. Dimana asuhan keperawatan pada pasien penyalahgunaan NAPZA
ditekankan pada aspek psikososial, kejiwaan, komunitas dan keagamaan. Peran
keluarga dan lingkungan juga sangat diperlukan untuk mempercepat proses

pemulihan pasien penyalahgunaan NAPZA. Kebanyakan dari pengguna


menjadikan NAPZA sebagai pelarian atau pemecahan suatu masalah.
3.2 SARAN
Upaya mencegah kekambuhan klien dengan penyalahgunaan NAPZA
sangat tergantung dari motivasi internal dari klien itu sendiri untuk terlepas dari
kecanduan. Tidak kalah penting dari hal itu juga peran serta orang terdekat untuk
senantiasa memberi dukungan dan memberikan pengawasan kepada penderita.

Daftar Pustaka
(2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta:
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat.
(2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi
pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI.
Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B. 1992. Mental Health and Psichiatric Nursing.
Chapter 8. Philadelpia : J.B.,Lippincott Company
Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan
sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Gunawan, Weka.2006.Keren Tanpa Narkoba.Jakarta:Grasindo
Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan
zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Joewana, S. (2004). Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif.
Jakarta: EGC.
Marviana, dkk. (2000). Narkoba dan Remaja. Jakarta: Gramedia.
Partodihardjo,Subagyo.2010.Kenali

Narkoba

dan

Musuhi

Penyalahgunaannya.Jakarta:Esensi
Purba, Jenny Marlindawani. Et al. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
Stuart, Gail W. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3rd ed. Jakarta : EGC
Winarno, Heri. Et al. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Jarum
Suntik Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik di Semarang Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia. vol 3 no.2
Wresniwiro. (1999). Narkoba dan Pengaruhnya. Jakarta: Widya Medika.
http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien%20dengan
%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan%20Jiwa_Normal_bab%201.pdf.
diakses pada tanggal 9 Oktober 2013 pukul 14:00 WIB

Anda mungkin juga menyukai