KELAS A3 (A14)
ANGGOTA KELOMPOK 6:
Fasilitator :
Ilya Krisnana, S.Kep.,Ns.,M.Kep
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada
waktunya.Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai syarat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Imun dan Hematologi I
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bimbingan serta bantuan dari
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ilya
Krisnana, S.Kep.,Ns.,M.Kep
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi kami pada khususnya.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh karena
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima dengan senang hati.
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL........ i
2
KATA PENGANTAR......... ii
BAB 1 PENDAHULLUAN
3
BAB 4 PENUTUP
BAB 1
PENDAHULUAN
4
Imunitas ) adalah suatu organ komplek yang memproduksi sel-sel yang khusus yang
dibedakan dengan sistem peredaran darah dari sel darah merah, tetapi bekerja sama
dalam melawan infeksi penyakit ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh.
Semua sel imun mempunyai bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi
dalam sistem imun dan diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe
adalah kelenjar yang dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan
titik pertemuan dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda asing
yang masuk kedalam tubuh. Mikroorganisme yang menyerang tubuh kita dapat
berupa bakteri, virus, jamur ataupun bahan kimia.Respon tubuh terhadap imun pada
dasarnya berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika salah satu atau kedua proses
ini terganggu maka akan terjadi gangguan patologis.
1.3 Tujuan
5
a. Untuk mengetahui lebih detail mengenai SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome
b. Untuk mengetahi cara pembuatan asuhan keperawatan klien dengan SLE, Reaksi
Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
6
dengan adanya inflamasi pada jaringan tubuh (Hockenberry & Wilson, 2009). SLE
juga dikatakan sebagai penyakit autoimun menahun yang menyerang daya tahan
tubuh dan peradangan seperi pada kulit dan persendian (Puskom, 2011).
7
2.1.2 Etiologi
Etiologi dari SLE tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor
predisposisi yang dapat menimbulkan penyakit SLE, yaitu paparan sinar
ultraviolet, estrogen, kehamilan, infeksi, dan obat-obatan, faktor jenis kelamin, dan
faktor genetik dapat menjadi predisposisi terjadinya SLE, hal ini dibuktikan
konkordansi penyakit SLE pada kembar identik adalah sekitar 20-25% dan bahwa
dalam kembar dizigot adalah sekitar 5% (Mok & Lau, 2013).
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat
yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang
berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
8
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu Crq,
Cir, Cis, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T,
immunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003).
SLE yang berasal dari faktor lingkungan yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem
imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga
dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mampunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulas di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan
perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan
antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang yang
akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
2.1.3 Patofisiologi
Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, dan dapat
berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini menyebabkan
terjadinya aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi antilimfosit T,
menyebabkan terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi hiperaktifitas sel B.
peningkatan sel B yang teraktifasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia.
9
1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
10
2. Gejala pada Kulit: butterfly rash, fenomena Raynaud (gangguan vasospasme
pada pembuluh darah perifer), purpura, urtikaria, alopesia, fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, dan vaskulitis;
3. Gejala pada Paru: pleuritis, lupus pneumonitis, efusi pleura, emboli paru,
fibrosis interstisial, hipertensi pulmonal, acute respiratory distress syndrome
(ARDS;
11
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
1. Pengobatan Medikasi
Tabel 1. Obat yang digunakan untuk Sistemik Lupus Eritematosus (Sumber: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009)
12
250 mg/hari (3.5-4 Retinopati, gangguan
Klorokuin
mg/KgBB/hari) saluran cerna, timbulnya
Hidroksiklorokuin rash, mialgia, sakit kepala,
(belum tersedia di 200-400 mg/hari anemia hemolitik (pasien
Indonesia) dengan defisiensi C6PD)
50-150 mg/hari, dibagi
Mielosupresif, hepatotoksik,
Azatioprin menjadi 3 dosis (tergantung
gangguan limfoproliferatif
berat badan)
Mielosupresif, gangguan
50-150 mg/hari (per oral)
limfoproliferatif, keganasan,
500-700 mg/m2 dalam
Siklofosfamid imunosupresi, sistitis
dekstores 250 mL, infuse
hemoragik, infertilitas
selama 1 jam (IV)
sekunder
7.5-20 mg/minggu, dosis Mielosupresif, fibrosis
Metotreksat tunggal atau terbagi 3. Dapat hepatik, sirosis, infiltrate
diberikan secara injeksi pulmonal dan fibrosis
Pembengkakan, nyeri gusi,
peningkatan tekanan darah,
2.5-5 mg/KgBB atau 100-400
peningkatan pertumbuhan
Siklosporin A mg/hari dalam 2 dosis
rambut, gangguan fungsi
(tergantung berat badan)
ginjal, nafsu makan
menurun, tremor
Mofetil 1000-2000 mg/hari, terbagi
Mual, diare, leucopenia
mikofenolat dalam 2 dosis
2. Terapi Non-Medikamentosa
13
keluarga. Sebagai penyedia layanan kesehatan kritis mengevaluasi informasi
penyakit dengan keluarga, keluarga diajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menjadi diri pendukung. Keluarga juga ingin mendengar tentang dampak dari SLE
pada pertumbuhan dan perkembangan, melahirkan anak, sekolah, dan panggilan.
Pesan harus optimis dan jelas dengan beberapa pengecualian: "mempersiapkan masa
depan Anda akan bersekolah, pascasarjana, memiliki anak, dan bekerja."
Diet, olahraga, dan sisanya adalah unsur harian di bawah kontrol pasien
langsung. Keluarga perlu memaksimalkan kekuatan pada fungsi-fungsi yang normal
untuk keuntungan mereka. Tidak ada diet spesifik SLE, tetapi diet seimbang yang
tidak melebihi pengeluaran kalori sangat penting untuk menjaga berat badan yang
sesuai pada terapi kortikosteroid. Diet rendah garam mungkin diperlukan jika pasien
menjadi nefrotik atau hipertensi. Konsultasi dengan ahli diet terdaftar akan
membantu keluarga mengembangkan diet individual yang jerat dengan gaya hidup
mereka.
Manfaat dari program latihan yang teratur termasuk pemeliharaan berat badan,
kebugaran kardiovaskular, dan pencegahan osteoporosis, yang semuanya akan
membantu meminimalkan komplikasi SLE dan efek samping kortikosteroid. Sisanya
tambahan diperlukan selama eksaserbasi penyakit tetapi tidak sejauh yang
mengganggu pola tidur yang teratur.Mengingat frekuensi ruam fotosensitif, bahaya
pada paparan sinar ultraviolet yang berlebihan (termasuk paparan lampu neon) perlu
ditekankan. Ini bisa menjadi topik sensitif bagi remaja yang suka matahari dan atlet
luar ruangan. Penggunaan tabir surya dengan SPF, topi, dan pakaian pelindung harus
didiskusikan. Penjadwalan aktivitas luar ruangan di pagi dan sore hari dapat
mengurangi eksposur tanpa membatasi partisipasi dalam kegiatan rekreasi.
Dukungan sosial dari keluarga, teman, guru, konselor, dan pekerja sosial
profesional dan terapis dapat membantu anak dan keluarga melalui masa-masa sulit
dan mempromosikan adaptasi terhadap penyakit yang tidak akan pergi. Mekanisme
koping destruktif perlu diidentifikasi dan diganti dengan perilaku yang
meningkatkan adaptasi dan kesehatan. Organisasi yang dapat membantu anak-anak
dan keluarga mempelajari dan menyesuaikan diri dengan penyakit lupus merupakan
dasar pondasi dari Amerika dan yayasan Arthritis (see p. 1795).
2.1.8 Komplikasi
1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di dalam
sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan
14
ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga
penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
2. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang paling
sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem
saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic dan sakit kepala merupakan
beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi
3. Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlha trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibody
yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan
yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis maupun
mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan
tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibatnya dari keadaan
tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.
2.2.1 Definisi
15
Hipersensivitas merupakan respons imun berlebihan yang tidak diinginkan
karena berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yang terjadi sebagai
respons terhadap antigen lingkungan spesifik. Keadaan ini menggambarkan adanya
ketidakseimbangan antara mekanisme efektor dari respons imun dan mekanisme
kontrol yang normalnya bekerja membatasi respons.
Suatu antigen yang menyebabkan alergi disebut alergen. Reaksi alergi dapat
diperantarai antibody atau sel T. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi
diperantarai antibodi, sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah alergi
diperantarai sel T.
2.2.2 Etiologi
16
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan
norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
2.2.3 Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya allergen, contohnya telur ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi.
Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang
sama barulah tampak gejala gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut.
Setelah tanda tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang
masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut yang akan
merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil.
2.2.4 Manifestasi Klinis
17
Tipe Manifestaasi Mekanisme
I Reaksi hipersensitivitas cepat Biasanya Ig E
II Antibodi terhadap sel Ig G dan Ig M
III Kompleks antibodi-antigen Ig G (terbanyak) atau Ig M
IV Reaksi hipersensitivitas lambat Sel T yang disensitisasi
2.2.5 Klasifikasi
18
proses peradangan
melalui kerja sel
langsung atau
melalui antivitas
limfokin
2.2.7 Penatalaksaan
2.2.8 Komplikasi
19
1. Reaksi alergi yang hebat dapat menyebabkan anafilaksis. Hal ini ditandai oleh
penurunan tekanan darah dan penutupan jalan napas. Gatal, kram, dan diare
dapat terjadi. Tanpa intervensi, reaksi yang sangat hebat dapat menyebabkan
syok kardiovaskular, hipoksia dan kematian.
2. Dermatitis kontak alergi (cont. reaksi terhadap poison ivy) dapat menyebabkan
infeksi sekunder akibat garukan berlebihan.
2.3 Sindrom Steven Johnson
2.3.1 Definisi
20
2.3.2 Etiologi
No Penyebab Keterangan
3. Makanan Cokelat
21
2.3.3 Patofisiologi
Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar vesikel dan
membesar hingga menimbulkan jaringan parut, terutama pada selaput lender
seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain lain. Berat ringanya
manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bsa dari yang ringan sampai
berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat sampai mematikan.
2.3.4 Klasifikasi
Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
22
5. Imunofluorensensi banyak membantu membedakan steven Johnson dengan
penyakit kulit lepuh subepidermal lainya
b. Pemeriksaan radiologi:
Foto rontgen torak dapat menunjukan adanya pneumotitis ketika dicuriga secara
klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan
c. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
d. Pemeriksaan histopatologi
Gambaran histopatologik sesuai denganeritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolilis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan tersebut berupa:
1) Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh darah dermis superficial
2) Edema dan ekstravasasui sel darah merah di dermis papiler
3) Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk veskel subepidermal
4) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa
5) Spongiosis dan edema intrasel epidermis
2.3.5 Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah :
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,
23
untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan
untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5
mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit
dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
2.3.6 Komplikasi
d. Pulmonari : bronkopneumonia
24
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita
dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
2. Keluhan Utama
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit
ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul,
Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak
pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain yang menyertai
5. Riwayat Pengobatan
25
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang
sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot
nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi pleuritis atau
efusi pleura.
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic click ( ejeksi click
pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur.Friction rub perikardium yang menyertai
miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi
klien.Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor
kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.
8. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan
histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi
berupa mencairnya lapisan basal epidermis penyumbatan folikel, dan
hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung pada kulit yang mempunyai lesi
26
memberikan gambaran pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat
pada SLE. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah pemeriksaan
serologis terhadap autoantibodi / antinuklear antibodi / ana yang diproduksi
pada penderita le. Skrining tes ana ini dilakukan dengan teknik imunofluoresen
indirek, dikenal dengan fluorescent antinuclear antibody test ( fana )
WOC
- Genetic - Infeksi
- Hormon Estrogen - Obat obatan
- Sniar UV
Gx Imunoregulasi
Kerusakan jaringan
Peningkatan autoantibody
SLE
28
imajinasi dan visualisasi. dapat menurunkan
ketergantungan farmakologis.
6. Berikan aktivitas terapeutik tepat 6. Membantu mengurangi
untuk usia/kondisi konsentrasi nyeri yang di alami
dan memfokuskan kembali
perhatian.
Intervensi Rasional
1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, 1. Menentukan garis dasar
turgor, sirkulasi dan sensasi. menentukan dimana perubahan
Gambarkan lesi dan amati pada status dapat dibandingkan dan
perubahan melakukan intervensi yang tepat.
2. Pertahankan/intruksikan dalam 2. Mempertahankan kebersihan
hygien, misalnya, membasuh dan karena kulit yang kering dapat
kemudian mengeringkannya menjadi barier infeksi
dengan berhati-hati dan melakukan
masase dengan menggunakan
lotion atau krim.
3. Gunting kuku secara teratur 3. Kuku yang panjang dan kasar
meningkatkan risiko kerusakan
dermal.
4. Tutupi luka tekan yang terbuka 4. Dapat mengurangi kontaminasi
dengan pembalut yang steril atau bakteri, meningkatkan proses
barrier protektif, misalny, penyembuhan
duoderm, sesuai petunjuk.
5. Mendorong nutrisi dan hidrasi 5. Nutrisi dan hidrasi yang
yang memadai terpenuhi membuat kulit sehat
dan membantu proses
penyembuhan
6. Anjurkan pasien untuk: Hindari 6. Matahari dapat memperburuk
sinar ultraviolet, kenakan tabir ruam kulit
surya maksimum perlindungan
(SPF 15 atau di atas) di bawah
sinar matahari
7. Anjurkan pasien untuk menerapkan 7. Vitamin A dan E dapat berguna
salep topikal yang diresepkan dalam menjaga kesehatan kulit.
8. Anjurkan pasien yang kulit kepala 8. Kulit kepala rambut rontok
rambut rontok terjadi selama mungkin merupakan tanda
29
eksaserbasi aktivitas penyakit pertama dari penyakit
eksaserbasi yang akan datang.
Kulit kepala rambut rontok
mungkin tidak permanen.
Sebagai aktivitas penyakit
mereda, kulit kepala rambut
mulai tumbuh kembali.
30
2. Fasilitasi kontak dengan individu 2. Membantu pasien untuk
lain dalam kelompok kecil mempertahankan interaksi
sosialnya
3. Dorong klien mengungkapkan 3. Mendorong pasien untuk
perasaannya mengungkapkan secara
faktual tentang perasaannya
terhadap perubahan fungsi
tubuh
3.2.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan
pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6. Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
31
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7. Pemeriksaan fisik
d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease,
allergic shiners, allergic facies.
e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta
tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.
8. Pemeriksaan Diagnostik.
32
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
3.2.3 Intervensi
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan
pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
33
upaya pernapasan, termasuk napas. Kedalaman pernapasan
pengguanaan otot bantu/ pelebaran berpariasi tergantung derajat gagal
masal. napas. Ekspansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasis atau
nyeri dada pleuritik.
2 Auskultasi bunyi napas dan catat Bunyi napas menurun/ tak ada bila
adanya bunyi napas adventisius jalan napas obstruksi sekunder terhadap
seperti krekels, mengi, gesekan pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas
pleura. kecil (atelektasis). Ronci dan mengi
menyertai obstruksi jalan napas/
kegagalan pernapasan.
34
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun.
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
Pantau suhu pasien ( derajat dan pola ) Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses
penyakit infeksius akut.
Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami
kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
35
sirkulasi memperlambat absorpsi obat
dan predisposisi untuk kerusakan kulit
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan volume cairan
pada pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
36
Monitor intake dan output cairan Mengetahui keseimbangan cairan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri pasien
teratasi
kriteria hasil :
c. Skala nyeri 0
d) Suhu : 36-37oC
Intervensi Rasional
37
Kaji tingkat nyeri (PQRST) Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
Berikan posisi yang nyaman sesuai memberikan rasa nyaman kepada pasien
dengan kebutuhan
3.3.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
38
3. Riwayat penyakit sekarang
Kaji bagaimana keadaan klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven
Johnson biasanya mengeluhkan demam, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala,
batuk, pilek dan sakit tenggorokan
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6. Pemeriksaan fisik
7. Pemeriksaan Diagnostik.
39
antigen berikatan dengan antibodi (IgM
komplek imun
deposit pembuluh
40
4. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3.3.3 Intervensi
Dx: Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria Hasil : Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi Rasional
Dx: Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan
Kriteria Hasil : Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi Rasional
41
Kaji kebiasaan makanan yang Memberikan pasien/orang terdekat rasa
disukai/tidak disukai kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
perawatan dan dapat memperbaiki
pemasukan
Dx: Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit
Kriteria Hasil : - Melaporkan nyeri berkurang dan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi Rasional
42
Berikan analgetik sesuai indikasi Menghilangkan rasa nyeri
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
43
yang dapat dilihat/tidak. pengelihatan dan perawatan.
KASUS
KASUS
An.I berusia 13 tahun, jenis kelamin perempuan, dirawat di ruang rawat anak sejak
tanggal 8 November 2015 dengan diagnosa medis sistemik lupus eritematosus (SLE) dan
tersangka infeksi saluran kemih (ISK). An.I masuk dari IGD dengan keluhan demam dirumah
sejak 3 minggu yang lalu, demam yang dirasakan hilang timbul, demam turun dengan obat
penurun panas yaitu paracetamol. Klien mengeluh lemas, sendi terasa nyeri, rambut rontok
sejak 3 minggu yang lalu juga dirasakan klien dan terdapat bercak kemerahan pada pipi dan
seluruh tubuhnya. Pengkajian dengan pasien dilakukan pada hari rawat ke-5 yaitu pada
tanggal 13 November 2015.
1. PENGKAJIAN
44
1.1 Wawancara
Identitas Klien :
Nama : An. I
Umur : 13 tahun
a. Keluhan Utama
Nyeri sendi yang dirasakan terasa lebih nyeri pada pagi hari saat bangun tidur,
sehingga aktivitas sehari-hari dilakukan di tempat tidur atau dibantu dengan
keluarga. Klien mengekspresikan rasa nyeri nya dengan diam dan kadang-kadang
menangis jika neyeri bertambah hebat terutama saat digerakkan.
Klien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya. Riwayat penyakit yang
diderita sewaktu kecil adalah demam, batuk, pilek, dan tidak ada riwayat kejang.
Klien dilahirkan dengan cara normal spontan tanpa riwayat kehamilan dan
kelahiran yang abnormal. Riwayat imunisasi klien lengkap sampai dengan klien
berusia sembilan bulan. Tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, obat- obatan,
dan lain sebagainya
45
Di dalam keluarga tidak ada riwayat penyakit yang sejenis dengan klien, atau
penyakit gangguan tiroid, jantung, asma, dan hipertensi.
a. B1 (Breathing)
Hidung tampak simetris, tidak ada deformitas, tidak ada keluhan nyeri pada
hidung, dan terdapat bercak kemerahan pada wajah (butterfly rash). Paru tampak
simetris, pergerakan dada simetris, nafas cuping hidung tidak ada, nafas tidak ada
penggunaan otot-oto sela iga, suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-),
frekuensi nafas 20 x/mnt.
b. B2 (Bleeding)
BJ 1 dan BJ 2 reguler, gallop (-), murmur (-), tidak ada pembesaran jantung,
nadi 84 x/mnt
c. B3 (Brain)
Kesadaran penuh.
d. B4 (Bladder)
e. B5 (Bowel)
Mulut relatif bersih, tidak ada candida, maupun stomatitis. Tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening, klien tidak merasakan adanya gangguan
menelan. Abdomen tampak supel, tidak ada pembesaran hepar, bising usus 8
x/mnt, dan tidak teraba massa
f. B6 (Bone)
Eksterimitas teraba hangat, suhu tubuh 38C, klien merasakan nyeri pada
sendi di seluruh tubuhnya. Terdapat bercak kemerahan pada kulit tubuh, turgor
kulit elastis, mukosa bibir kurang lembab.
46
Dan dari hasil pemeriksaan double stranded DNA (DS-DNS) menunjukkan hasil
positif.
47
Faktor Intrinsik: Faktor Ekstrinsik
- Genetic - Infeksi
- Hormon Estrogen - Obat obatan
- Sniar UV
Gx Imunoregulasi
Kerusakan jaringan
Peningkatan autoantibody
SLE
Hb
Inflamasi di persendian Inflamasi pada dermal
00046
48
1.5.1 Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri Kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
3) Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat
anemia
1.5.2 Intervensi
Diagnosis Keperawatan Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau
kerusakan jaringan
Tujuan Meringankan nyeri, dapat beristirahat dan mendapat
pola tidur yang adekuat.
Kriteria Hasil Skala nyeri 0-1
Pasien tidak gelisah, merasa rileks, dan dapat tidur
Intervensi Rasional
Kaji keluhan nyeri. Perhatikan Nyeri hampir selalu ada pada
lokasi/karakter dan intensitas (skala beberapa derajat beratnya
0-10). keterlibatan jaringan/kerusakan
tetapi biasanya paling berat selama
penggantian balutan dan
debridemen.
Tutup luka sesegera mungkin kecuali Suhu berubah dan gerakan udara
perawatan luka bakar metode dapat menyebabkan nyeri hebat
pemajanan pada udara terbuka. pada pemajanan ujung saraf.
pengaturan suhu dapat hilang
karena luka bakar mayor.
Pertahankan suhu lingkungan Sumber panas eksternal perlu
nyaman, berikan lampu penghangat, untuk mencegah menggigil.
penutup tubuh hangat.
Lakukan penggantian balutan dan Menurunkan terjadinya distress
debridemen setelah pasien di beri fisik dan emosi sehubungan
obat dan/atau pada hidroterapi dengan penggantian balutan dan
debridemen.
Dorong penggunaan teknik Memfokuskan kembali perhatian,
manajemen stress, contoh relaksasi meningkatkan relaksasi dan
progresif, napas dalam, bimbingan meningkatkan rasa control, yang
imajinasi dan visualisasi. dapat menurunkan ketergantungan
farmakologis.
Berikan aktivitas terapeutik tepat Membantu mengurangi
untuk usia/kondisi konsentrasi nyeri yang di alami
dan memfokuskan kembali
perhatian.
49
meningkatkan penyembuhan dan mencegah
komplikasi
Intervensi Rasional
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, Menentukan garis dasar
turgor, sirkulasi dan sensasi. menentukan dimana
Gambarkan lesi dan amati perubahan pada status
perubahan dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi
yang tepat.
Pertahankan/intruksikan dalam Mempertahankan
hygien, misalnya, membasuh dan kebersihan karena
kemudian mengeringkannya kulit yang kering
dengan berhati-hati dan melakukan dapat menjadi barier
masase dengan menggunakan infeksi
lotion atau krim.
Gunting kuku secara teratur Kuku yang panjang
dan kasar
meningkatkan risiko
kerusakan dermal.
Tutupi luka tekan yang terbuka Dapat mengurangi
dengan pembalut yang steril atau kontaminasi bakteri,
barrier protektif, misalny, meningkatkan proses
duoderm, sesuai petunjuk. penyembuhan
Mendorong nutrisi dan hidrasi Nutrisi dan hidrasi
yang memadai yang terpenuhi
membuat kulit sehat
dan membantu proses
penyembuhan
Anjurkan pasien untuk: Hindari Matahari dapat
sinar ultraviolet, kenakan tabir memperburuk ruam
surya maksimum perlindungan kulit
(SPF 15 atau di atas) di bawah
sinar matahari
Anjurkan pasien untuk menerapkan Vitamin A dan E
salep topikal yang diresepkan dapat berguna dalam
menjaga kesehatan
kulit.
Anjurkan pasien yang kulit kepala Kulit kepala rambut
rambut rontok terjadi selama rontok mungkin
eksaserbasi aktivitas penyakit merupakan tanda
pertama dari penyakit
eksaserbasi yang akan
datang. Kulit kepala
rambut rontok
mungkin tidak
permanen. Sebagai
aktivitas penyakit
mereda, kulit kepala
rambut mulai tumbuh
50
kembali.
BAB 4
51
KESIMPULAN
Alergi adalah respon imun yang kuat terhadap alergen (suatu elergen yang
menghasilkan alergi). Klasifikasi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 yaitu Tipe I:
Hipersensitivitas imediat (analfilaksis,atopi), Tipe II: Hipersensitivitas sitotoksik, Tipe III:
Penyakit kompleks imun, Tipe IV: Seluler/ Tertunda Reaksi alergi dapat diperantarai antibody
atau sel T. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi diperantarai antibodi,
sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah alergi diperantarai sel T.
Sindrom Stevens Johnson adalah keparahan dari multiforme eritema ditandai oleh lesi
kulit,selaput lendir, demam, dan beberapa gejala sistemik. Penyakit ini berasal reaksi
hipersensitivitas terhadap obat-obatan tertentu, meskipun reaksi ini juga dapat mengikuti
infeksi saluran pernapasan atas. Gejala yang muncul yaitu berupa flu, malaise, sakit
tenggorokan, demam, dan sakit kepala parah. Disamping itu gejala lainnya berupa
peradangan penis kelenjar (balanitis), mata (konjungtivitis), atau mulut dan faring (stomatitis)
dalam beberapa hari. Pemulihan setelah sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi beberapa
minggu sampai bulan, tergantung pada tingkat keparahan kondisi.
DAFTAR PUSTAKA
52
Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan : Aplikasi dan Praktek Klinis. Jakarta :
ECG
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC
Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi 2.
Jakarta: EGC
Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC
Richard N. Mitchell, et al. 2008. Pocket Companionto Robbins & Cotran Pathologic Basic of
Disease, ed. Jakarta : EGC.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC
53