Anda di halaman 1dari 53

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN GANGGUAN SISTEM IMUNOLOGI

KELAS A3 (A14)
ANGGOTA KELOMPOK 6:

Dwida Rizki P 131411131015


Nurin Syarafina Islami 131411131033
Annisha Zuchrufiany 131411131045
Elsa Yunita M 131411131093
Diana Nurani Rokhmah 131411133007
M. Tauvan Riandi 131411133031

Fasilitator :
Ilya Krisnana, S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada
waktunya.Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai syarat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Imun dan Hematologi I

Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bimbingan serta bantuan dari
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ilya
Krisnana, S.Kep.,Ns.,M.Kep
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi kami pada khususnya.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh karena
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima dengan senang hati.

Penulis,

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........ i

2
KATA PENGANTAR......... ii

DAFTAR ISI........................ iii

BAB 1 PENDAHULLUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah....... 2
1.3 Tujuan......................... 2
1.3.1 Tujuan Umum. .. 2
1.3.2 Tujuan Khusus.. 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SLE (Systemic Lupus Erythematosus................ 3


2.1.1 Definisi.............. 3
2.1.2 Etiologi.......... 4
2.1.3 Patofisiologi...... 5
2.1.4 Manifestasi Klinis ........................ 6
2.1.5 Klasifikasi...................... 7
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang. 8
2.1.7 Penatalaksanaan ............................ 8
2.1.9 Komplikasi ............................................................................................... 11
2.2 Hipersensitivitas......................... 12
2.2.1 Definisi.............. 12
2.2.2 Etiologi .............. 13
2.2.3 Patofisiologi........ 13
2.2.4 Manifestasi Klinis 14
2.2.5 Klasifikasi ................................................................................................... 14
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 15
2.2.7 Penatalaksanaan .......... 15
2.2.8 Komplikasi .......... 16
2.3 Sindrom Steven Johnson .............................. 16
2.3.1 Definisi.................... 16
2.3.2 Etiologi ............... 17
2.3.3 Patofisiologi........ 18
2.3.4 Klasifikasi ................................................................................................... 18
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 19
2.3.6 Penatalaksanaan .......... 19
2.3.7 Komplikasi .......... 20

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Teoritis SLE ...................... 21


3.2 Asuhan Keperawatan Teoritis Hipersensitivitas.................... 26
3.3 Asuhan Keperawatan Teoritis Steven Johnson...................... 33
Asuhan Keperawatan Kasus SLE ............................................................................... 38

3
BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA. .......... 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak terdapat dua peristiwa yaitu
peristiwa percepatan dan perlambatan. Peristiwa tersebut akan berlainan di dalam
organ tubuh. Peristwa percepatan dan perlambatan tersebut merupakan suatu
kejadian yang berbeda dalam setiap organ tubuh, namun masih saling berhubungan
satu dengan yang lain. Dalam peristiwa pertumbuhan dan perkembangan anak
memiliki berbagai ciri khas yang membedakan antara komponen satu dengan
komponen yang lain. Gangguan sistem imun yang terjadi pada anak-anak biasanya
akibat alergi (paling sering ) atau imunodefisiensi (jarang). Sistem kekebalan tubuh (

4
Imunitas ) adalah suatu organ komplek yang memproduksi sel-sel yang khusus yang
dibedakan dengan sistem peredaran darah dari sel darah merah, tetapi bekerja sama
dalam melawan infeksi penyakit ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh.
Semua sel imun mempunyai bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi
dalam sistem imun dan diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe
adalah kelenjar yang dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan
titik pertemuan dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda asing
yang masuk kedalam tubuh. Mikroorganisme yang menyerang tubuh kita dapat
berupa bakteri, virus, jamur ataupun bahan kimia.Respon tubuh terhadap imun pada
dasarnya berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika salah satu atau kedua proses
ini terganggu maka akan terjadi gangguan patologis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome?
2. Bagaimana etiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
3. Bagaimana patofisiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
4. Apa saja manifestasi klinis dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
5. Apa saja klasifikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
8. Apa saja komplikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
9. Bagaimana asuhan keperawatan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

5
a. Untuk mengetahui lebih detail mengenai SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome

b. Untuk mengetahi cara pembuatan asuhan keperawatan klien dengan SLE, Reaksi
Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome
b. Untuk mengetahui etiologi SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome
c. Untuk mengetahui patofisiologi SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome
c. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinis yang dapat dilakukan untuk SLE,
Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome
d. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat diberikan untuk SLE,
Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson Syndrome
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome
f. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrom

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

2.1.1 Definisi

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun


sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibody pada jaringan dan kompleks
imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis di berbagai sistem organ.

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem yang


kronik, penyakit autoimun dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang ditandai

6
dengan adanya inflamasi pada jaringan tubuh (Hockenberry & Wilson, 2009). SLE
juga dikatakan sebagai penyakit autoimun menahun yang menyerang daya tahan
tubuh dan peradangan seperi pada kulit dan persendian (Puskom, 2011).

SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya


autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan
penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap
penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda (Mok & Lau,
2013).

Laporan terakhir menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup pada


anak-anak dengan SLE harus ditingkatkan secara signifikan; Tingkat kelangsungan
hidup 5 tahun dikatakan tingkat kelangsungan hidup hampir 100% dan 10 tahun
mendekati 90% (Ravelli, Ruperto, and Martini, 2005).

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun


pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria dengan faktor
10:1. Androgen mengurangi gejala SLE, dan estrogen memperburuk keadaan
tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak
dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan (Elizabeth, 2009).

SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang


bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan erythema dengan pola
berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka. Darah mengandung antibody beredar
terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen
yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan
radang ginjal. Sama dengan rematik, SLE juga merupakan penyakit autoimun,
teteapii jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya tidak
diketahui, penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan
sediaan enzim (papain 200 mg+bromelain 110 mg+pankreatin 100 mg+vitamin E
10 mg) 2 dd 1 kapsul (Tan&Kirana, 2007).

7
2.1.2 Etiologi

Etiologi dari SLE tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor
predisposisi yang dapat menimbulkan penyakit SLE, yaitu paparan sinar
ultraviolet, estrogen, kehamilan, infeksi, dan obat-obatan, faktor jenis kelamin, dan
faktor genetik dapat menjadi predisposisi terjadinya SLE, hal ini dibuktikan
konkordansi penyakit SLE pada kembar identik adalah sekitar 20-25% dan bahwa
dalam kembar dizigot adalah sekitar 5% (Mok & Lau, 2013).

Pada individu dengan predisposisi genetic terhadap SLE, timbul gangguan


toleransi sel T terhadap self-antigen. Akibatnya, terbentuk suatu sel T yang
autoreaktif dan menginduksi sel B untuk memproduksi autoantibodi. Pemicu
gangguan toleransi ini diduga berupa hormone seks (peningkatan estrogen
ditambah dengan aktivitas androgen yang tidak adekuat), sinar ultraviolet, obat-
obatan (prokainamid, hidralazin, chlorpromazine, isoniazid, fenitoin, penisilamin),
dan infeksi tertentu (retrovirus, DNA bakteri, endotoksin).

Autoantibodi yang terbentuk akan menyerang nucleus, sitoplasma, permukaan


sel, IgG, maupun faktor koagulasi (self molecules). Antibodi yang spesifik
ditemukan pada penderita SLE adalah ANA (anti-nuclear antibody), anti ds-DNA
(anti-double stranded DNA), dan anti-Sm antibody. Ikatan autoantibodi ini dengan
antigennya akan membentuk kompleks imun yang beredar ke seluruh tubuh dan di
luar kemampuan fagosit mononuclear. Adanya deposit kompleks imun akan
memicu aktivasi sistem komplemen yang kemudian mengaktifkan respon inflamasi
dan gangguan organ terkait.

Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat
yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang
berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen

8
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu Crq,
Cir, Cis, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T,
immunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003).

SLE yang berasal dari faktor lingkungan yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem
imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga
dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mampunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulas di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan
perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan
antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang yang
akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

2.1.3 Patofisiologi

Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, dan dapat
berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini menyebabkan
terjadinya aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi antilimfosit T,
menyebabkan terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi hiperaktifitas sel B.
peningkatan sel B yang teraktifasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia.

Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+


(helper). CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan
signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfalli, 1998). Berkurangnya jumlah sel T juga
menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai pada
CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B
yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T yang disebut double negatif
(CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003).
Proses autoantibodi terjadi melalui 3 mekanisme yaitu :

9
1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.

2) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang


terjebak dalam jaringan, komplemen akan teraktifasi dan terjadi
kerusakan jaringan.

3) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktifasi


komplemen yang berperan dalam kematian sel (Epstein, 1998).

Pada sel B, terjadi peningkatan reseptor sitokin, IL-2, sehingga dapat


meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) dan CD4+ pada sel B. Namun terjadi
penurunan terhadap CR 1 ( complement reseptor 1) dan juga fagositosis yang
inadekuat pada igG2 dan igG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcRIIA dan
FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1,
C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen
terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam
organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktifasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi
yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti
ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya (Albar, 2003).

2.1.4 Manifestasi klinis

SLE bukanlah penyakit masa kanak-kanak umum; kejadian diperkirakan


adalah 0,28 per 100.000 anak muda dari 16 tahun. Ini biasanya memanifestasikan
antara usia 10 dan 19 tahun, dan onset sebelum usia 5 tahun tidak biasa. Ada 5: 1
perempuan atau dominasi laki-laki. Penyakit onset bisa berbahaya, dengan gejala
konstitusional intermiten seperti demam, kelelahan, penurunan berat badan, dan
arthralgia. Namun, keterlibatan cepat dari organ vital, terutama ginjal, dapat
menyebar dengan cepat dengan hasil yang berpotensi fatal.

1. Gejala pada Musculoskeletal: mialgia, atralgia, poliartitis yang simetris dan


non-erosif, deformitas tangan, miopati/miositis, nekrosis iskemia pada tulang;

10
2. Gejala pada Kulit: butterfly rash, fenomena Raynaud (gangguan vasospasme
pada pembuluh darah perifer), purpura, urtikaria, alopesia, fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, dan vaskulitis;

3. Gejala pada Paru: pleuritis, lupus pneumonitis, efusi pleura, emboli paru,
fibrosis interstisial, hipertensi pulmonal, acute respiratory distress syndrome
(ARDS;

4. Gejala pada Kardiologi: perikarditis, efusi pericardium, infark miokard,


gagal jantung kongestif, valvulitis;
5. Gejala pada Ginjal: gagal ginjal, sindrom nefrotik, end-stage renal disease
(ESRD);
6. Gejala pada Gastrointestinal: dyspepsia, irritable bowel syndrome (IBS),
peningkatan transaminase, pankreatis, vaskulitis mesenterika;
7. Gejala pada Neurologi: gangguan kognitif, gangguan mood, nyeri kepala,
kejang, stroke, transient ischemic attack, epilepsi, hemiparesis, meningitis
aseptik, mielitis transversal, neuropati perifer, miastenia gravis, mononeuritis
multipleks;
8. Gejala pada Hematologi-limfatik: limfadenopati generalisata atau
terlokalisir, splenomegali, hepatomegali, anemia aplastik, anemia penyakit
kronis, anemia pernisiosa, leucopenia, limfopenia, trombositopenia, anemia
hemolitik, thrombosis;
9. Gejala konstitusional: malaise, penurunan berat badan, demam.

2.1.5 Klasifikasi SLE

Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the American


Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee tahun
1982 merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE.

Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di antara 11


kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu interval observasi:

1. Ruam di bagian malar wajah


2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Arthritis
6. Setositis (pleuritis, perikarditis)
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)

11
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear

R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat kriteria


diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease (penyakit ginjal), ANA
Serositis, Haematological disorders, Photosensitivitas, Oral ulcers (ulkus di mulut),
Immunological disorder, Neurological disorder, Malar rash, Discoid rash Ann
Rheum Dis 2001.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


a) CBC (complete Blood Cell Count ) untuk mengukur jumlah sel darah maka
terdapat anemia,leucopenia,trombisutopenia.
b) ESR (Erythrocyte Sedimen Rate ), laju endap darah pada lupus aka ESR akan
lebih cepat dari pada normal
c) Biopsi untuk mngetahui fungsi hati dan ginjal
d) Urinalysis merupakan pengukuran urina kadar protein dan sel darah merah
e) X-ray dada
f) Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE+ sehingga uji tersebut sangat
sensitive
2.1.7 Penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk SLE; tujuan adalah untuk membalikkan atau
meminimalkan aktivitas penyakit dengan obat yang tepat sambil membantu anak
dan keluarga mengatasi komplikasi dari penyakit dan pengobatan.

1. Pengobatan Medikasi

Tabel 1. Obat yang digunakan untuk Sistemik Lupus Eritematosus (Sumber: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009)

Jenis Obat Dosis Efek Samping


Perdarahan saluran cerna,
hepatotoksik, sakit kepala,
OAINS Tergantung OAINS
hipertensi, meningitis
aseptik, nefrotoksik
Cushingoid, hipertensi,
dislipidemia, osteonekrosis,
Kortikosteroid Tergantung derajat SLE
hiperglikemia, katarak,
osteoporosis

12
250 mg/hari (3.5-4 Retinopati, gangguan
Klorokuin
mg/KgBB/hari) saluran cerna, timbulnya
Hidroksiklorokuin rash, mialgia, sakit kepala,
(belum tersedia di 200-400 mg/hari anemia hemolitik (pasien
Indonesia) dengan defisiensi C6PD)
50-150 mg/hari, dibagi
Mielosupresif, hepatotoksik,
Azatioprin menjadi 3 dosis (tergantung
gangguan limfoproliferatif
berat badan)
Mielosupresif, gangguan
50-150 mg/hari (per oral)
limfoproliferatif, keganasan,
500-700 mg/m2 dalam
Siklofosfamid imunosupresi, sistitis
dekstores 250 mL, infuse
hemoragik, infertilitas
selama 1 jam (IV)
sekunder
7.5-20 mg/minggu, dosis Mielosupresif, fibrosis
Metotreksat tunggal atau terbagi 3. Dapat hepatik, sirosis, infiltrate
diberikan secara injeksi pulmonal dan fibrosis
Pembengkakan, nyeri gusi,
peningkatan tekanan darah,
2.5-5 mg/KgBB atau 100-400
peningkatan pertumbuhan
Siklosporin A mg/hari dalam 2 dosis
rambut, gangguan fungsi
(tergantung berat badan)
ginjal, nafsu makan
menurun, tremor
Mofetil 1000-2000 mg/hari, terbagi
Mual, diare, leucopenia
mikofenolat dalam 2 dosis

2. Terapi Non-Medikamentosa

Pendidikan, Diet, Istirahat, dan Olahraga. Selain obat-obatan, perawatan


termasuk langkah-langkah umum seperti pendidikan pasien dan keluarga, istirahat
dan olahraga, diet yang tepat, menghindari sinar matahari, dan dukungan sosial. SLE
adalah kompleks dan pasien memerlukan pendidikan. Keluarga dan pasien perlu up-
to-date, informasi dimengerti untuk menjadi membuat keputusan sehingga mereka
dapat berpartisipasi dalam manajemen penyakit. Perawat berkewajiban untuk
mendiskusikan informasi keluarga dengan membawa ke internet, teman, dan

13
keluarga. Sebagai penyedia layanan kesehatan kritis mengevaluasi informasi
penyakit dengan keluarga, keluarga diajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menjadi diri pendukung. Keluarga juga ingin mendengar tentang dampak dari SLE
pada pertumbuhan dan perkembangan, melahirkan anak, sekolah, dan panggilan.
Pesan harus optimis dan jelas dengan beberapa pengecualian: "mempersiapkan masa
depan Anda akan bersekolah, pascasarjana, memiliki anak, dan bekerja."
Diet, olahraga, dan sisanya adalah unsur harian di bawah kontrol pasien
langsung. Keluarga perlu memaksimalkan kekuatan pada fungsi-fungsi yang normal
untuk keuntungan mereka. Tidak ada diet spesifik SLE, tetapi diet seimbang yang
tidak melebihi pengeluaran kalori sangat penting untuk menjaga berat badan yang
sesuai pada terapi kortikosteroid. Diet rendah garam mungkin diperlukan jika pasien
menjadi nefrotik atau hipertensi. Konsultasi dengan ahli diet terdaftar akan
membantu keluarga mengembangkan diet individual yang jerat dengan gaya hidup
mereka.
Manfaat dari program latihan yang teratur termasuk pemeliharaan berat badan,
kebugaran kardiovaskular, dan pencegahan osteoporosis, yang semuanya akan
membantu meminimalkan komplikasi SLE dan efek samping kortikosteroid. Sisanya
tambahan diperlukan selama eksaserbasi penyakit tetapi tidak sejauh yang
mengganggu pola tidur yang teratur.Mengingat frekuensi ruam fotosensitif, bahaya
pada paparan sinar ultraviolet yang berlebihan (termasuk paparan lampu neon) perlu
ditekankan. Ini bisa menjadi topik sensitif bagi remaja yang suka matahari dan atlet
luar ruangan. Penggunaan tabir surya dengan SPF, topi, dan pakaian pelindung harus
didiskusikan. Penjadwalan aktivitas luar ruangan di pagi dan sore hari dapat
mengurangi eksposur tanpa membatasi partisipasi dalam kegiatan rekreasi.
Dukungan sosial dari keluarga, teman, guru, konselor, dan pekerja sosial
profesional dan terapis dapat membantu anak dan keluarga melalui masa-masa sulit
dan mempromosikan adaptasi terhadap penyakit yang tidak akan pergi. Mekanisme
koping destruktif perlu diidentifikasi dan diganti dengan perilaku yang
meningkatkan adaptasi dan kesehatan. Organisasi yang dapat membantu anak-anak
dan keluarga mempelajari dan menyesuaikan diri dengan penyakit lupus merupakan
dasar pondasi dari Amerika dan yayasan Arthritis (see p. 1795).

2.1.8 Komplikasi
1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di dalam
sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan

14
ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga
penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
2. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang paling
sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem
saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic dan sakit kepala merupakan
beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi
3. Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlha trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibody
yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan
yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis maupun
mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan
tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibatnya dari keadaan
tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh

Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan


menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendia pada jari
tangan, tangan, pergelangantangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.

7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.

2.2 Reaksi Hipersensitivitas

2.2.1 Definisi

15
Hipersensivitas merupakan respons imun berlebihan yang tidak diinginkan
karena berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yang terjadi sebagai
respons terhadap antigen lingkungan spesifik. Keadaan ini menggambarkan adanya
ketidakseimbangan antara mekanisme efektor dari respons imun dan mekanisme
kontrol yang normalnya bekerja membatasi respons.

Suatu antigen yang menyebabkan alergi disebut alergen. Reaksi alergi dapat
diperantarai antibody atau sel T. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi
diperantarai antibodi, sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah alergi
diperantarai sel T.

Orang dengan respon alergi hipersensitivitas tipe I membentuk banyak


antibodi IgE yang sensitive terhadap alergen. Apabila antigen dijumpai oleh
antibody tersebut, antibody akan berespons berlebihan sehingga terjadi degranulasi
sel mast yang luas disertai pelepasan histamine dan berbagai perantara peradangan
lainnya (leukotrien, kemokin, dan sitokin). Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi
setelah transport alergen transdermal (menembus kulit) yang ditunjukkan oleh sel T
yang tersensitisasi alergen tersebut.

2.2.2 Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan dibagi menjadi 2 yaitu:


1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen

16
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan
norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

2.2.3 Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya allergen, contohnya telur ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi.
Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang
sama barulah tampak gejala gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut.
Setelah tanda tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang
masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut yang akan
merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil.
2.2.4 Manifestasi Klinis

1. Pembengkakan local, gatal, dan kemerahan kulit, pada pajanan alergen ke


kulit. Reaksi tipe IV sering ditandai oleh lepuhan dan pengerasan pada area
yang terkena.
2. Diare dank ram abdomen, pada pajanan alergen saluran cerna.
3. Rinitis alergi, yang ditandai oleh mata gatal dan pilek encer, pada pajanan
alergen saluran napas. Terjadi pembengkakan dan kongesti, dapat timbul
kesulitan bernapas akibat konstriksi otot polos bronkiolus pada jalan napas
yang di induksi oleh histamine.

Manifestasi dan mekanisme reaksi hipersensitivitas

17
Tipe Manifestaasi Mekanisme
I Reaksi hipersensitivitas cepat Biasanya Ig E
II Antibodi terhadap sel Ig G dan Ig M
III Kompleks antibodi-antigen Ig G (terbanyak) atau Ig M
IV Reaksi hipersensitivitas lambat Sel T yang disensitisasi

2.2.5 Klasifikasi

Tipe Penyebab Sel/Antibod Mekanisme imun Contoh


i terkait Penyakit
Tipe I Protein IgE IgE melekat pada Demam
Hipersensitivitas asing permukaan sel jerami, alergi,
imediat (antigen) mast dan antigen urtikaria, syok
(analfilaksis,atopi spesifik, memicu analfilaktik
) pembebasan granul
intrasel dari sel
mast
Tipe II Protein IgG/IgM Antibody bereaksi Transfusi,
Hipersensitivitas asing dengan antigen, hemolisis
sitotoksik (antigen) menggiatkan karena obat,
komplemen eritroblastosis
berakibat sitolisis fetalis, anemia
hemolitik,
purpura
vascular
Tipe III Protein IgG, Kompleks Ag-Ab Artritis
Penyakit asing IgM,IgA mengendap dalam rheumatoid,
kompleks imun (antigen) jaringan, lupus
Antigen menggiatkan eritematosus
endogen komplemen, sistemik,
menimbulkan penyakit serum
reaksi radang
Tipe IV Protein, Limfosit-T Sel T aktif bereaksi Dermatitis
Seluler/ Tertunda sel, atau dengan antigen kontak, reaksi
jaringan spesifik untuk penolakan
asing menginduksi pencangkokan

18
proses peradangan
melalui kerja sel
langsung atau
melalui antivitas
limfokin

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Uji kulit membantu diagnosis alergi. Alergi dicurigai yang jumlahnya


sedikit diinjeksikan di bawah kulit. Individu yang alergi terhadap alergen
tersebut akan berespon dengan ditemukannya eritema, bengkak, dan gatal
pada area injeksi.
2. Analisis immunoglobulin serum dapat menunjukkan peningkatan hitung
basofil dan eosinofil.

2.2.7 Penatalaksaan

1. Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel mast dapat


mengurangi gejala-gejal alergi
2. Kortikosteroid yang dihirup atau sistematik bekerja sebagai obat anti
peradangan dan dapat mengurangi gejal suatu alergi. Orang yang mengidap
alergi perlu menggunakan obat-obat ini dalam jangka waktu yang cukup lama
sebelum obat menjadi efektif. Kortikosteroid inhalan hanya berefek di saluran
napas dan tidak menimbulkan efek sistemik.
3. Stabilizer sel mast inhalan mengurangi deghranulasi sel mast dan dapat
menurunkan gejala alergi tipe I.
4. Terapi desensitisasi, berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat
mensensitisasi pasien) dalam jumlah yang kecil dapat mendorong pasien
tersebut membentuk antibody IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat bekerja
sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu pasien tersebut
kembali terpajan ke alergen, antibody penghambat dapat berikatan dengan
molekul IgE ganda secara kovalen bersama-sama. Karena pengikatan IgG tidak
menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan, maka gejala alergidapat
berkurang. Antibody IgG dihasilkan setiap kali berikatan dengan alergen dan
terkadang dapat menghentikan respon alergi.

2.2.8 Komplikasi

19
1. Reaksi alergi yang hebat dapat menyebabkan anafilaksis. Hal ini ditandai oleh
penurunan tekanan darah dan penutupan jalan napas. Gatal, kram, dan diare
dapat terjadi. Tanpa intervensi, reaksi yang sangat hebat dapat menyebabkan
syok kardiovaskular, hipoksia dan kematian.
2. Dermatitis kontak alergi (cont. reaksi terhadap poison ivy) dapat menyebabkan
infeksi sekunder akibat garukan berlebihan.
2.3 Sindrom Steven Johnson

2.3.1 Definisi

Sindrom Stevens Johnson adalah keparahan dari multiforme eritema ditandai


oleh lesi kulit,selaput lendir, demam, dan beberapa gejala sistemik. Penyakit ini
berasal dari reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obatan tertentu, meskipun reaksi
ini juga dapat mengikuti infeksi saluran pernapasan atas. Kelainan ini relatif jarang
terjadi pada usia berapa pun dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan. Gejala yang muncul yaitu berupa flu, malaise, sakit tenggorokan,
demam, dan sakit kepala parah. Disamping itu gejala lainnya berupa peradangan
penis kelenjar (balanitis), mata (konjungtivitis), atau mulut dan faring (stomatitis)
dalam beberapa hari.

Sindrom ini merupakan keadaan darurat medis yang biasanya membutuhkan


rawat inap. Pengobatan berfokus pada menghilangkan penyebab, gejala dan
mengendalikan meminimalkan komplikasi. Pemulihan setelah sindrom Stevens-
Johnson dapat terjadi beberapa minggu sampai bulan, tergantung pada tingkat
keparahan kondisi. Stevens-johnson syndrome merupakan sebuah kondisi
mengancam jiwa yang mengancam kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama
yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan.

20
2.3.2 Etiologi

Sindrom Steven Johnson dapat disebabkan oleh karena:

1. Obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, stagliptin,


penicillin, barbiturate, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil,
lamotrigin, nevirapin,, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin) dan keganasan
pada pasien dewasa dan usia lanjut
2. Kasus pediatric lebih banyak berhubungan dengan infeksi dari pada keganasan
atau reaksi obat. Jarang terjadi pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya,
karena imunitas belum berkembang sepenuhnya.
3. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simplek,
influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus epsteinbarr atau
sejenisnya.
4. Keganasan (karsinima dan limfoma), atau
5. Faktor idiopatik (hingga 50%)
Sindrom steven Johnson secara konsisten sebagai efek samping yang jarang dari
suplemen herbal yang mengandung gingseng. Sindrom steven Johnson juga
mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :

No Penyebab Keterangan

1. a. Infeksi virus a. Herpes simpleks, Mycoplasma


jamur pneumoniae, vaksinia
b. Bakteri koksidioidomikosis, histoplasma.
c. Parasit b. streptokokus, Staphylococcs
haemolyticus, Mycobacterium
tuberculosis, salmonella
c. Malaria
2. Obat salisilat, sulfat, penisilin, etambutol,
tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif,
klorpromazin, karbamazepin, kinin,
analgetik/antipiretik

3. Makanan Cokelat

4. Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X

5. Lain lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

21
2.3.3 Patofisiologi

SJS biasanya mulai timbul dengan gejala-gejala seperti infeksi saluran


pernapasan atas yang tidak spesifik, kadang-kadang 1-14 hari berupa demam,
susah menelan, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, sering kali juga muntah-
muntah, diare dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat dan berat dan
kombinasi gejala tersebut. Muncul kelainan kulit, seperti koreng, melepuh, sampai
bernanah, serta sulit makan dan minum. Bahkan juga mengenai saluran kencing
menyebabkan nyeri.

Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar vesikel dan
membesar hingga menimbulkan jaringan parut, terutama pada selaput lender
seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain lain. Berat ringanya
manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bsa dari yang ringan sampai
berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat sampai mematikan.

2.3.4 Klasifikasi
Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih
dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat. Bila terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi
2. Pemeriksaan elektrolit
3. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi
4. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan

22
5. Imunofluorensensi banyak membantu membedakan steven Johnson dengan
penyakit kulit lepuh subepidermal lainya
b. Pemeriksaan radiologi:
Foto rontgen torak dapat menunjukan adanya pneumotitis ketika dicuriga secara
klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan
c. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
d. Pemeriksaan histopatologi
Gambaran histopatologik sesuai denganeritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolilis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan tersebut berupa:
1) Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh darah dermis superficial
2) Edema dan ekstravasasui sel darah merah di dermis papiler
3) Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk veskel subepidermal
4) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa
5) Spongiosis dan edema intrasel epidermis
2.3.5 Penatalaksanaan

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah :

1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji


resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,


kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang
lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,

23
untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan
untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5
mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit
dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan


alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari.

2.3.6 Komplikasi

Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi anatar lain sebagai


berikut:

a. Oftalmologi : ulserasi kornea, uveititis anterior, panophthalmitis, kebutaan.

b. Gastroenterologi : esophageal strictures

c. Genitourinaria: nekrosis tulbar ginnjal,penile scarring, stenosis vagina

d. Pulmonari : bronkopneumonia

e. Kutaneus: timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi


sekunder

24
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

3.1.1 Pengkajian
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita
dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
2. Keluhan Utama

Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,


demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu

Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit
ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang

a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul,
Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak
pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain yang menyertai
5. Riwayat Pengobatan

25
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang
sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot
nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi pleuritis atau
efusi pleura.
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic click ( ejeksi click
pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur.Friction rub perikardium yang menyertai
miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi
klien.Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor
kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.
8. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan
histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi
berupa mencairnya lapisan basal epidermis penyumbatan folikel, dan
hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung pada kulit yang mempunyai lesi

26
memberikan gambaran pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat
pada SLE. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah pemeriksaan
serologis terhadap autoantibodi / antinuklear antibodi / ana yang diproduksi
pada penderita le. Skrining tes ana ini dilakukan dengan teknik imunofluoresen
indirek, dikenal dengan fluorescent antinuclear antibody test ( fana )

WOC

Faktor Intrinsik: Faktor Ekstrinsik

- Genetic - Infeksi
- Hormon Estrogen - Obat obatan
- Sniar UV

Gx Imunoregulasi

Sel T supresor yang abnormal

Penumpukan kompleks imun

Kerusakan jaringan

Peningkatan autoantibody

SLE

Menimbulkan reaksi inflamasi

Inflamasi di persendian Hb Inflamasi pada dermal

MK: Nyeri Kronik Adanya bercak kemerahan


Anemia
MK:
Gangguan
Lesi akut pada kulit 27
Citra
kelemahan atau keletihan Tubuh
MK: Gangguan Integritas
MK: Intoleransi aktivitas Ruam pada wajah berbentuk
Kulit
fisik Kerusakan jaringan kulit
kupu-kupu
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat
anemia
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang diakibatkan oleh penyakit kronik.

3.1.3 Intervensi Dan Rasional


Diagnosis Keperawatan Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau
kerusakan jaringan
Tujuan Meringankan nyeri, dapat beristirahat dan mendapat
pola tidur yang adekuat.
Kriteria Hasil 1. Skala nyeri 0-1
2. Pasien tidak gelisah, merasa rileks, dan dapat
tidur
Intervensi Rasional
1. Kaji keluhan nyeri. Perhatikan 1. Nyeri hampir selalu ada pada
lokasi/karakter dan intensitas (skala 0- beberapa derajat beratnya
10). keterlibatan jaringan/kerusakan
tetapi biasanya paling berat
selama penggantian balutan dan
debridemen.
2. Tutup luka sesegera mungkin kecuali 2. Suhu berubah dan gerakan udara
perawatan luka bakar metode dapat menyebabkan nyeri hebat
pemajanan pada udara terbuka. pada pemajanan ujung saraf.
pengaturan suhu dapat hilang
karena luka bakar mayor.
3. Pertahankan suhu lingkungan nyaman, 3. Sumber panas eksternal perlu
berikan lampu penghangat, penutup untuk mencegah menggigil.
tubuh hangat.
4. Lakukan penggantian balutan dan 4. Menurunkan terjadinya distress
debridemen setelah pasien di beri obat fisik dan emosi sehubungan
dan/atau pada hidroterapi dengan penggantian balutan dan
debridemen.
5. Dorong penggunaan teknik 5. Memfokuskan kembali perhatian,
manajemen stress, contoh relaksasi meningkatkan relaksasi dan
progresif, napas dalam, bimbingan meningkatkan rasa control, yang

28
imajinasi dan visualisasi. dapat menurunkan
ketergantungan farmakologis.
6. Berikan aktivitas terapeutik tepat 6. Membantu mengurangi
untuk usia/kondisi konsentrasi nyeri yang di alami
dan memfokuskan kembali
perhatian.

Diagnosis Keperawatan Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan


dengan proses penyakit dan lesi, peradangan,
vasokonstriksi, dosis tinggi penggunaan kortikosteroid,
penggunaan obat imunosupresan
Tujuan Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi
Kriteria Hasil 1. Dapat menunjukkan perilaku/teknik untuk
meningkatkan penyembuhan dan mencegah
komplikasi

Intervensi Rasional
1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, 1. Menentukan garis dasar
turgor, sirkulasi dan sensasi. menentukan dimana perubahan
Gambarkan lesi dan amati pada status dapat dibandingkan dan
perubahan melakukan intervensi yang tepat.
2. Pertahankan/intruksikan dalam 2. Mempertahankan kebersihan
hygien, misalnya, membasuh dan karena kulit yang kering dapat
kemudian mengeringkannya menjadi barier infeksi
dengan berhati-hati dan melakukan
masase dengan menggunakan
lotion atau krim.
3. Gunting kuku secara teratur 3. Kuku yang panjang dan kasar
meningkatkan risiko kerusakan
dermal.
4. Tutupi luka tekan yang terbuka 4. Dapat mengurangi kontaminasi
dengan pembalut yang steril atau bakteri, meningkatkan proses
barrier protektif, misalny, penyembuhan
duoderm, sesuai petunjuk.
5. Mendorong nutrisi dan hidrasi 5. Nutrisi dan hidrasi yang
yang memadai terpenuhi membuat kulit sehat
dan membantu proses
penyembuhan
6. Anjurkan pasien untuk: Hindari 6. Matahari dapat memperburuk
sinar ultraviolet, kenakan tabir ruam kulit
surya maksimum perlindungan
(SPF 15 atau di atas) di bawah
sinar matahari
7. Anjurkan pasien untuk menerapkan 7. Vitamin A dan E dapat berguna
salep topikal yang diresepkan dalam menjaga kesehatan kulit.
8. Anjurkan pasien yang kulit kepala 8. Kulit kepala rambut rontok
rambut rontok terjadi selama mungkin merupakan tanda

29
eksaserbasi aktivitas penyakit pertama dari penyakit
eksaserbasi yang akan datang.
Kulit kepala rambut rontok
mungkin tidak permanen.
Sebagai aktivitas penyakit
mereda, kulit kepala rambut
mulai tumbuh kembali.

Diagnosis Keperawatan Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan


kelemahan atau keletihan akibat anemia
Tujuan Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Kriteria Hasil 1. Dapat berpartisipasi dalam kegiatasn sejauh
mungkin
Intervensi Rasional
1. Evaluasi rutinitas harian pasien. 1. Istirahat membantu
Bantu perencanaan jadwal setiap menyeimbangkan energi tubuh.
hari untuk aktivitas yang meliputi Keseimbangan aktivitas fisik
periode istirahat sering pada istirahat membantu
mengontrol kelelahan dan
peningkatan ketahanan.
2. Tingkatkan aktivitas sesuai 2. Tirah baring lama dapat
toleransi, bantu melakukan menurunkan kemampuan. Ini
rentang rentang gerak sendi dapat terjadi karena keterbatasan
aktif/pasif aktivitas yang mengganggu
periode istirahat.
3. Dorong penggunaan teknik 3. Meningkatkan relaksasi dan
menejemen stres, contoh relaksasi penghematan enrgi, memusatkan
progresif, visualisasi, bimbingan kembali perhatian, dan dapat
imajinasi. Berikan aktivitas meningkatkan koping
hiburan yang tepat contoh
menonton TV, radio, dan
membaca.

Diagnosis Keperawatan Gangguan citra tubuh berhubungan dengan


perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis
yang diakibatkan oleh penyakit kronik.
Tujuan Setelah dilakukan tindakkan keperawatan selama ...
x 24 jam diharapkan pasien dapat menerima keadaan
tubuhnya
Kriteria Hasil 1. Body image positif
2. Mempertahankan interaksi sosial
3. Mendeskripsikan secara faktual perubahan
fungsi tubuh
Intervensi Rasional
1. Kaji secara verbal dan nonverbal 1. Mengetahui apakah body
respon klien terhadap tubuhnya image pasien positif atau
tidak

30
2. Fasilitasi kontak dengan individu 2. Membantu pasien untuk
lain dalam kelompok kecil mempertahankan interaksi
sosialnya
3. Dorong klien mengungkapkan 3. Mendorong pasien untuk
perasaannya mengungkapkan secara
faktual tentang perasaannya
terhadap perubahan fungsi
tubuh

3.2 Reaksi Hipersensitivitas

3.2.1 Pengkajian

1. Identitas klien

Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku


bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
2. Keluhan utama

Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.

3. Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan
pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.

4. Riwayat penyakit dahulu

Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas,


demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal
dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.

5. Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.

6. Riwayat psikososial

Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping

31
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.

7. Pemeriksaan fisik

a. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik,


bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.

b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan


dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.

c. Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.

d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease,
allergic shiners, allergic facies.

e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta
tulang maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.

f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu


serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu
pernafasan.

g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.

8. Pemeriksaan Diagnostik.

a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.

b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.

c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

32
3.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen

2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal


sekunder

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan).

3.2.3 Intervensi

Dx :Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen

Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan
pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.

Kriteria hasil :

a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)

b. Pasien tidak merasa sesak lagi

c. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan

d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis

Intervensi Rasional

1 Kaji frekuensi, kedalaman Kecepatan biasanya meningkat.


pernapasan dan ekspansi paru. Catat Dispenea dan terjadi peningakatan kerja

33
upaya pernapasan, termasuk napas. Kedalaman pernapasan
pengguanaan otot bantu/ pelebaran berpariasi tergantung derajat gagal
masal. napas. Ekspansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasis atau
nyeri dada pleuritik.

2 Auskultasi bunyi napas dan catat Bunyi napas menurun/ tak ada bila
adanya bunyi napas adventisius jalan napas obstruksi sekunder terhadap
seperti krekels, mengi, gesekan pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas
pleura. kecil (atelektasis). Ronci dan mengi
menyertai obstruksi jalan napas/
kegagalan pernapasan.

Tinggikan kepala dan bantu mengubah Duduk tinggi memungkinkan ekspansi


posisi. Bangunkan pasien turun dari paru dan memudahkan pernapasan.
tempat tidur dan ambulansi sesegera Pengubahan posisi dan ambulansi
mungkin. meningkatkan pengisian udara segmen
paru berbeda sehingga memperbaiki
difusi gas.

Observasi pola batuk dan karakter Kongesti alveolar mengakibatkan batuk


secret. kering atau iritasi. Sputum berdarah
dapat diakibatkan oleh kerusakan
jaringan atau antikoagulan berlebihan.

Berikan oksigen tambahan Memaksimalkan bernapas dan


menurunkan kerja napas

Berikan humidifikasi tambahan, mis: Memberikan kelembaban pada


nebulizer ultrasonic membran mukosa dan membantu
pengenceran secret untuk memudahkan
pembersihan.

Dx : Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

34
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien menurun.

Kriteria hasil :

a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)

b. Bibir pasien tidak bengkak lagi

Intervensi Rasional

Pantau suhu pasien ( derajat dan pola ) Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses
penyakit infeksius akut.

Pantau suhu lingkungan, batasi atau Suhu ruangan/jumlah selimut harus


tambahkan linen tempat tidur sesuai diubah untuk mempertahankan
indikasi mendekati normal

Berikan kompres mandi hangat; hindari Dapat membantu mengurangi demam


penggunaan alcohol

Dx :Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder

Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami
kerusakan integritas kulit lebih parah.

Kriteria hasil :

a. Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema

b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma

c. Kerusakan integritas kulit berkurang

Intervensi Rasional

Lihat kulit, adanya edema, area Kulit berisiko karena gangguan


sirkulasinya terganggu atau pigmentasi sirkulasi perifer

Hindari obat intramaskular Edema interstisial dan gangguan

35
sirkulasi memperlambat absorpsi obat
dan predisposisi untuk kerusakan kulit

Beritahu pasien untuk tidak menggaruk Mencegah terjadinya luka akibat


area yang gatal garukan

Dx : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih

Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan volume cairan
pada pasien dapat teratasi.

Kriteria hasil :

a. Pasien tidak mengalami diare lagi

b. Pasien tidak mengalami mual dan muntah

c. Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi

d. Turgor kulit kembali normal

Intervensi Rasional

Ukur dan pantau TTV, contoh Peningkatan suhu atau memanjangnya


peningakatan suhu/ demam demam meningkatkan laju metabolic
memanjang, takikardia, hipotensi dan kehilangan cairan melalui
ortostatik. evaporasi. TD ortostatik berubah dan
peningkatan takikardia menunjukkan
kekurangan cairan sistemik.

Kaji turgor kulit, kelembaban Indicator langsung keadekuatan volume


membrane mukosa (bibir, lidah). cairan, meskipun membrane mukosa
mulut mungkin kering karena napas
mulut dan oksigen.

36
Monitor intake dan output cairan Mengetahui keseimbangan cairan

Beri obat sesuai indikasi misalnya Berguna menurunkan kehilangan cairan


antipiretik, antiemetic.

Berikan cairan tambahan IV sesuai pada adanya penurunan masukan/


keperluan banyak kehilangan, penggunaan
parenteral dapat memperbaiki atau
mencegah kekurangan.

Dx :Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan nyeri pasien
teratasi

kriteria hasil :

a. Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang

b. Wajah tidak meringis

c. Skala nyeri 0

d. Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :

a) Tekanan darah : 140-90/90-60 mmHg

b) Nadi : 60-100 kali/menit

c) Pernapasan : 16-20 kali/menit

d) Suhu : 36-37oC

Intervensi Rasional

Ukur TTV untuk mengetahui kondisi umum pasien

37
Kaji tingkat nyeri (PQRST) Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri

Berikan posisi yang nyaman sesuai memberikan rasa nyaman kepada pasien
dengan kebutuhan

Ciptakan suasana yang tenang membantu pasien lebih relaks

Bantu pasien melakukan teknik membantu dalam penurunan


relaksasi persepsi/respon nyeri. Memberikan kontrol
situasi meningkatkan perilaku positif.

Observasi gejala-gejala yang tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala


berhubungan, seperti dyspnea, mual nyeri yang dialami pasien.
muntah, palpitasi, keinginan berkemih.

Kolaborasi dengan dokter dalam Analgesik dapat meredakan nyeri yang


pemberian analgesik dirasakan oleh pasien.

3.3 Steven Jhonson

3.3.1 Pengkajian

1. Identitas klien

Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku


bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis.
2. Keluhan utama

Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.

38
3. Riwayat penyakit sekarang

Kaji bagaimana keadaan klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven
Johnson biasanya mengeluhkan demam, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala,
batuk, pilek dan sakit tenggorokan

4. Riwayat penyakit dahulu


Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat
penyakit yang sebelumnya pernah dialami oleh klien

5. Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.

6. Pemeriksaan fisik

Inspeksi : warna, suhu, kelembaban, kekeringan

Palpasi : turgor kulit, edema

7. Pemeriksaan Diagnostik.

a. Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia


b. Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di
epidermis
c. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG,
IgM, IgA

Alergi obat-obatan, infeksi


mikroorganisme,
neoplasma dan faktor
masuk ke dalam tubuh

sel B dan plasma

39
antigen berikatan dengan antibodi (IgM

komplek imun

deposit pembuluh

mengaktifkan komplemen dan degranulasi

neutrofil tertarik ke daerah infeksi

kerusakan jaringan kapiler /

Kerusakan Akumulasi neutrofil Merangsang Peningkatan


submukosa = lidah nociseptor permeabilitas

Reaksi radang Mengirim


Gangguan menelan impuls Diorbital respon
inflamasi
Kelainan kulit Diterima oleh
Intake tidak dan eritema reseptor di otak
Menaikan eksudat
dan merangsang
MK : Gangguan Inflamasi Diinterpretasi
nutrisi kurang dermal dan
dari kebutuhan Gangguang fungsi
epidermal
mata
MK :
MK : Gangguan
Gangguan MK :
3.3.2 Diagnosa Keperawatan
integritas gangguang
Istirahat persepsi
terlalu
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal.
lama

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan


MK :
Kelemahan fisik
menelan. intoleransi
aktivitas
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit.

40
4. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

5. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan berhubungan dengan


konjungtifitis.

3.3.3 Intervensi

Dx: Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria Hasil : Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh

Intervensi Rasional

Observasi kulit setiap hari, catat Menentukan garis dasar dimana


turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan pada status dapat
perubahan lainnya yang terjadi. dibandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat

Gunakan pakaian tipis dan alat Menurunkan iritasi garis jahitan


tenun yang lembut dan tekanan dari baju,
membiarkan insisi terbuka
terhadap udara meningkat proses
penyembuhan dan menurunkan
resiko infeksi

Jaga kebersihan alat tenun untuk mencegah infeksi

Kolaborasi dengan tim medis untuk mencegah infeksi lanjutan

Dx: Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan
Kriteria Hasil : Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

Intervensi Rasional

41
Kaji kebiasaan makanan yang Memberikan pasien/orang terdekat rasa
disukai/tidak disukai kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
perawatan dan dapat memperbaiki
pemasukan

Berikan makanan dalam porsi sedikit Membantu mencegah distensi


tapi sering gaster/ketidaknyamanan

Hidangkan makanan dalam keadaan Meningkatkan nafsu makan


hangat

Kerjasama dengan ahli gizi Kalori protein dan vitamin untuk


memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan
dan mendorong regenerasi jaringan.

Dx: Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan inflamasi pada kulit
Kriteria Hasil : - Melaporkan nyeri berkurang dan ekspresi wajah/postur tubuh rileks

Intervensi Rasional

Kaji keluhan nyeri, perhatikan Nyeri hampir selalu ada pada


lokasi dan intensitasnya beberapa derajat beratnya
keterlibatan jaringan

Berikan tindakan kenyamanan Meningkatkan relaksasi,


dasar. Contoh : pijatan pada area menurunkan tegangan otot dan
yang sakit kelelahan umum

Pantau tanda-tanda vital Suhu merupakan salah satu gejala


terjadinya inflamasi

42
Berikan analgetik sesuai indikasi Menghilangkan rasa nyeri

Dx: Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Kriteria Hasil : klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi Rasional

Kaji respon individu terhadap Mengetahui tingkat kemampuan


aktivitas individu dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari.

Bantu klien dalam memenuhi Energi yang dikeluarkan lebih


aktivitas sehari-hari dengan optimal
tingkat keterbatasan yang dimiliki
klien

Jelaskan pentingnya pembatasan Energi penting untuk membantu


energy proses metabolisme tubuh

Libatkan keluarga dalam Klien mendapat dukungan


pemenuhan aktivitas klien psikologi dari keluarga

Dx: Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan berhubungan dengan konjungtifitis


Kriteria Hasil : - Kooperatif dalam tindakan dan menyadari hilangnya pengelihatan secara
permanen

Intervensi Rasional

Kaji dan catat ketajaman Menetukan kemampuan visual


pengelihatan

Kaji deskripsi fungsional apa Memberikan keakuratan thd

43
yang dapat dilihat/tidak. pengelihatan dan perawatan.

Sesuaikan lingkungan dengan Meningkatkan self care dan


kemampuan pengelihatan: mengurangi ketergantungan.

Orientasikan terhadap -Letakan alat-alat yang sering


lingkungan. dipakai dalam jangkuan
pengelihatan klien.
-Berikan pencahayaan yang
cukup.
-Letakan alat-alat ditempat yang
tetap.
-Berikan bahan-bahan bacaan
dengan tulisan yang besar.
-Hindari pencahayaan yang
menyilaukan.

Kaji jumlah dan tipe rangsangan Meningkatkan rangsangan pada


yang dapat diterima klien. waktu kemampuan pengelihatan
menurun.

KASUS

KASUS
An.I berusia 13 tahun, jenis kelamin perempuan, dirawat di ruang rawat anak sejak
tanggal 8 November 2015 dengan diagnosa medis sistemik lupus eritematosus (SLE) dan
tersangka infeksi saluran kemih (ISK). An.I masuk dari IGD dengan keluhan demam dirumah
sejak 3 minggu yang lalu, demam yang dirasakan hilang timbul, demam turun dengan obat
penurun panas yaitu paracetamol. Klien mengeluh lemas, sendi terasa nyeri, rambut rontok
sejak 3 minggu yang lalu juga dirasakan klien dan terdapat bercak kemerahan pada pipi dan
seluruh tubuhnya. Pengkajian dengan pasien dilakukan pada hari rawat ke-5 yaitu pada
tanggal 13 November 2015.

1. PENGKAJIAN

44
1.1 Wawancara

Identitas Klien :

Nama : An. I

Umur : 13 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Nama Ayah/Ibu : Tn. NA/ Ny. M

Pekerjaan Ayah : Buruh

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Sutorejo, 31 Mulyorejo

Tanggal masuk RS : 8 November 2015

1.2 Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama

Pasien mengeluhkan nyeri pada seluruh sendinya dengan skala nyeri 7.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri sendi yang dirasakan terasa lebih nyeri pada pagi hari saat bangun tidur,
sehingga aktivitas sehari-hari dilakukan di tempat tidur atau dibantu dengan
keluarga. Klien mengekspresikan rasa nyeri nya dengan diam dan kadang-kadang
menangis jika neyeri bertambah hebat terutama saat digerakkan.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya. Riwayat penyakit yang
diderita sewaktu kecil adalah demam, batuk, pilek, dan tidak ada riwayat kejang.
Klien dilahirkan dengan cara normal spontan tanpa riwayat kehamilan dan
kelahiran yang abnormal. Riwayat imunisasi klien lengkap sampai dengan klien
berusia sembilan bulan. Tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, obat- obatan,
dan lain sebagainya

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

45
Di dalam keluarga tidak ada riwayat penyakit yang sejenis dengan klien, atau
penyakit gangguan tiroid, jantung, asma, dan hipertensi.

1.3 Pemeriksaan Fisik

a. B1 (Breathing)

Hidung tampak simetris, tidak ada deformitas, tidak ada keluhan nyeri pada
hidung, dan terdapat bercak kemerahan pada wajah (butterfly rash). Paru tampak
simetris, pergerakan dada simetris, nafas cuping hidung tidak ada, nafas tidak ada
penggunaan otot-oto sela iga, suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-),
frekuensi nafas 20 x/mnt.

b. B2 (Bleeding)

BJ 1 dan BJ 2 reguler, gallop (-), murmur (-), tidak ada pembesaran jantung,
nadi 84 x/mnt

c. B3 (Brain)

Kesadaran penuh.

d. B4 (Bladder)

Urine cukup. 4-5 x/hari, tidak ada keluhan nyeri.

e. B5 (Bowel)

Mulut relatif bersih, tidak ada candida, maupun stomatitis. Tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening, klien tidak merasakan adanya gangguan
menelan. Abdomen tampak supel, tidak ada pembesaran hepar, bising usus 8
x/mnt, dan tidak teraba massa

f. B6 (Bone)

Eksterimitas teraba hangat, suhu tubuh 38C, klien merasakan nyeri pada
sendi di seluruh tubuhnya. Terdapat bercak kemerahan pada kulit tubuh, turgor
kulit elastis, mukosa bibir kurang lembab.

1.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi klien pada tanggal 5 Juni 2013


menunjukkan nilai hemoglobin (Hb) 9,9 g/dl, hematokrit (Ht) 30 g/dl, leukosit 3.7
rb/ul, trombosit 166.000/ul, eritrosit 3,88 juta/ul, dan laju endap darah (LED) 44 mm.

46
Dan dari hasil pemeriksaan double stranded DNA (DS-DNS) menunjukkan hasil
positif.

WOC Klien dengan SLE

47
Faktor Intrinsik: Faktor Ekstrinsik

- Genetic - Infeksi
- Hormon Estrogen - Obat obatan
- Sniar UV

Gx Imunoregulasi

Sel T supresor yang abnormal

Penumpukan kompleks imun

Kerusakan jaringan

Peningkatan autoantibody

SLE

Menimbulkan reaksi inflamasi

Hb
Inflamasi di persendian Inflamasi pada dermal

Adanya bercak kemerahan


MK: Nyeri Kronik Anemia

Lesi akut pada kulit


kelemahan atau keletihan

Ruam pada wajah

MK: Intoleransi aktivitas


fisik
Kerusakan jaringan kulit

MK: Gangguan Integritas


1.5 Asuhan Keperawatan Kulit

00046

48
1.5.1 Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri Kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
3) Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat
anemia

1.5.2 Intervensi
Diagnosis Keperawatan Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau
kerusakan jaringan
Tujuan Meringankan nyeri, dapat beristirahat dan mendapat
pola tidur yang adekuat.
Kriteria Hasil Skala nyeri 0-1
Pasien tidak gelisah, merasa rileks, dan dapat tidur
Intervensi Rasional
Kaji keluhan nyeri. Perhatikan Nyeri hampir selalu ada pada
lokasi/karakter dan intensitas (skala beberapa derajat beratnya
0-10). keterlibatan jaringan/kerusakan
tetapi biasanya paling berat selama
penggantian balutan dan
debridemen.
Tutup luka sesegera mungkin kecuali Suhu berubah dan gerakan udara
perawatan luka bakar metode dapat menyebabkan nyeri hebat
pemajanan pada udara terbuka. pada pemajanan ujung saraf.
pengaturan suhu dapat hilang
karena luka bakar mayor.
Pertahankan suhu lingkungan Sumber panas eksternal perlu
nyaman, berikan lampu penghangat, untuk mencegah menggigil.
penutup tubuh hangat.
Lakukan penggantian balutan dan Menurunkan terjadinya distress
debridemen setelah pasien di beri fisik dan emosi sehubungan
obat dan/atau pada hidroterapi dengan penggantian balutan dan
debridemen.
Dorong penggunaan teknik Memfokuskan kembali perhatian,
manajemen stress, contoh relaksasi meningkatkan relaksasi dan
progresif, napas dalam, bimbingan meningkatkan rasa control, yang
imajinasi dan visualisasi. dapat menurunkan ketergantungan
farmakologis.
Berikan aktivitas terapeutik tepat Membantu mengurangi
untuk usia/kondisi konsentrasi nyeri yang di alami
dan memfokuskan kembali
perhatian.

Diagnosis Keperawatan Gangguan kerusakan integritas kulit


berhubungan dengan proses penyakit dan
lesi, peradangan, vasokonstriksi, dosis tinggi
penggunaan kortikosteroid, penggunaan obat
imunosupresan
Tujuan Meningkatkan penyembuhan dan mencegah
komplikasi
Kriteria Hasil Dapat menunjukkan perilaku/teknik untuk

49
meningkatkan penyembuhan dan mencegah
komplikasi

Intervensi Rasional
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, Menentukan garis dasar
turgor, sirkulasi dan sensasi. menentukan dimana
Gambarkan lesi dan amati perubahan pada status
perubahan dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi
yang tepat.
Pertahankan/intruksikan dalam Mempertahankan
hygien, misalnya, membasuh dan kebersihan karena
kemudian mengeringkannya kulit yang kering
dengan berhati-hati dan melakukan dapat menjadi barier
masase dengan menggunakan infeksi
lotion atau krim.
Gunting kuku secara teratur Kuku yang panjang
dan kasar
meningkatkan risiko
kerusakan dermal.
Tutupi luka tekan yang terbuka Dapat mengurangi
dengan pembalut yang steril atau kontaminasi bakteri,
barrier protektif, misalny, meningkatkan proses
duoderm, sesuai petunjuk. penyembuhan
Mendorong nutrisi dan hidrasi Nutrisi dan hidrasi
yang memadai yang terpenuhi
membuat kulit sehat
dan membantu proses
penyembuhan
Anjurkan pasien untuk: Hindari Matahari dapat
sinar ultraviolet, kenakan tabir memperburuk ruam
surya maksimum perlindungan kulit
(SPF 15 atau di atas) di bawah
sinar matahari
Anjurkan pasien untuk menerapkan Vitamin A dan E
salep topikal yang diresepkan dapat berguna dalam
menjaga kesehatan
kulit.
Anjurkan pasien yang kulit kepala Kulit kepala rambut
rambut rontok terjadi selama rontok mungkin
eksaserbasi aktivitas penyakit merupakan tanda
pertama dari penyakit
eksaserbasi yang akan
datang. Kulit kepala
rambut rontok
mungkin tidak
permanen. Sebagai
aktivitas penyakit
mereda, kulit kepala
rambut mulai tumbuh

50
kembali.

Diagnosis Keperawatan Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan


kelemahan atau keletihan akibat anemia
Tujuan Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Kriteria Hasil Dapat berpartisipasi dalam kegiatasn sejauh
mungkin
Intervensi Rasional
Monitor hasil laboratorium Untuk monitor peningkatan Hb
Evaluasi rutinitas harian pasien. Istirahat membantu menyeimbangkan
Bantu perencanaan jadwal energi tubuh. Keseimbangan aktivitas
setiap hari untuk aktivitas yang fisik pada istirahat membantu
meliputi periode istirahat sering mengontrol kelelahan dan peningkatan
ketahanan.
Tingkatkan aktivitas sesuai Tirah baring lama dapat menurunkan
toleransi, bantu melakukan kemampuan. Ini dapat terjadi karena
rentang rentang gerak sendi keterbatasan aktivitas yang
aktif/pasif mengganggu periode istirahat.
Dorong penggunaan teknik Meningkatkan relaksasi dan
menejemen stres, contoh penghematan enrgi, memusatkan
relaksasi progresif, visualisasi, kembali perhatian, dan dapat
bimbingan imajinasi. Berikan meningkatkan koping
aktivitas hiburan yang tepat
contoh menonton TV, radio, dan
membaca.

BAB 4

51
KESIMPULAN

Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem kronis


pembuluh darah dan jaringan ikat. Penyebab dan gejalanya bervariasi dan tak terduga, dari
ringan sampai komplikasi yang mengancam jiwa. Faktor genetic mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat yang menderita SLE. Jenis lain dari lupus eritematosus termasuk
lupus erythematosus kronis kulit (discoid lupus erythematosus), obat-induced lupus
erythematosus, sub-akut cutaneus lupus eritematosus, dan neonatal lupus.

Alergi adalah respon imun yang kuat terhadap alergen (suatu elergen yang
menghasilkan alergi). Klasifikasi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 yaitu Tipe I:
Hipersensitivitas imediat (analfilaksis,atopi), Tipe II: Hipersensitivitas sitotoksik, Tipe III:
Penyakit kompleks imun, Tipe IV: Seluler/ Tertunda Reaksi alergi dapat diperantarai antibody
atau sel T. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi diperantarai antibodi,
sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah alergi diperantarai sel T.

Sindrom Stevens Johnson adalah keparahan dari multiforme eritema ditandai oleh lesi
kulit,selaput lendir, demam, dan beberapa gejala sistemik. Penyakit ini berasal reaksi
hipersensitivitas terhadap obat-obatan tertentu, meskipun reaksi ini juga dapat mengikuti
infeksi saluran pernapasan atas. Gejala yang muncul yaitu berupa flu, malaise, sakit
tenggorokan, demam, dan sakit kepala parah. Disamping itu gejala lainnya berupa
peradangan penis kelenjar (balanitis), mata (konjungtivitis), atau mulut dan faring (stomatitis)
dalam beberapa hari. Pemulihan setelah sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi beberapa
minggu sampai bulan, tergantung pada tingkat keparahan kondisi.

DAFTAR PUSTAKA

52
Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan : Aplikasi dan Praktek Klinis. Jakarta :
ECG

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC

Elsevier, Mosby.2007. Wongs Nursing Care Of Infants and Children,Eight Edition.

Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi 2.
Jakarta: EGC

Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC

Richard N. Mitchell, et al. 2008. Pocket Companionto Robbins & Cotran Pathologic Basic of
Disease, ed. Jakarta : EGC.

Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Wallace, Daniel J. 2007. The Book Lupus

53

Anda mungkin juga menyukai