Anda di halaman 1dari 25

Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis

Menurut Aryani (2008) dan Tarwoto (2007) faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Faktor Usia
Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan cenderung mengalami
proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga menurun, hal ini dapat mengakibatkan
trauma patologis pada medula spinalis.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis karena faktor
pekerjaan dan gaya hidup.
3. Alkohol
Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan peningkatan fraktur,
atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya menyebabkan tulang belakang rentang
terhadap trauma pada medula spinalis.
4. Merokok
Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih cepat, dan tingkat
fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara orang-orang yang merokok.
Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain yang ditemukan dalam rokok mungkin
langsung beracun ke tulang, atau mereka menghalangi penyerapan kalsium dan lain gizi
yang diperlukan untuk kesehatan tulang. Sehingga tulang belakang juga sangat rentan
terkena penyakit dan mudah terjadi trauma ketika mendapat benturan atau kecelakaan.
5. Minum Obat saat Berkendara
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera tulang belakang
untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab paling tinggi cedera pada orang
dewasa yang sudah tua. Dengan meminum obat obatan dengan efek samping
mengantuk, maka kesadaran seseorang akan menurun dan akan mengganggu
konsentrasi dalam berkendara.
6. Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB
Pada penyakit osteomielitis dan spondilitis TB bisa terjadi komplikasi fraktur patologis.
Hal ini terjadi pada keadaan osteomielitis vertebra yang akan menyebabkan kolaps
vertebra dan kompresi medula spinalis. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya
cedera pada tulang belakang.
Klasifikasi Trauma Medula Spinalis
Menurut Batticaca (2008) trauma medula spinalis dapat diklasifikasi menjadi 2
macam, yaitu:
1. Cedera tulang
a. Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan tulang untuk
bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus neural intak
serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen
longitudinal posterior tidak robek.
b. Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang yang terlalu
jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta
merusak keutuhan arkus neural.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa defisit neurologis
b. Disertai defisit neurologis

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional


Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan
standart Internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis.
Klasifikasi berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/IMSOP dipakai
dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif. Skala
kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai berikut :
1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss).
2. FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat
menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan
nomal "gait").
5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.

Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5 sindrom
utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal Cord Injury Association
yaitu :
Nama Pola dari Lesi saraf Kerusakan
Sindroma

Central Cord Cedera pada posisi central Menyebar ke daerah sacral.


syndrome dan sebagian daerah lateral.
Sering terjadi pada trauma Kelemahan otot ekstremitas
daerah servikal atas lebih berat dari
ekstermitas bawah.

Anterior Cord Cedera pada sisi anterior dan Kehilangan perioperatif dan
Syndrome posterior dari medula kehilangan fungsi motorik
spinalis. secara ipsilateral

Cedera akan menghasilkan


gangguan medula spinalis
unilateral

Brown Kerusakan pada anterior dari Kehilangan fungsi motorik


Sequard daerah putih dan abu-abu dan sensorik secara komplit.
Syndrome medula spinalis.

Cauda Equina Kerusakan pada posterior Kerusakan proprioseptif


Syndrome dari daerah putih dan abu- diskriminasi dan getaran.
abu medula spinalis
Fungsi motorik juga
terganggu

Posterior Cord Kerusakan pada saraf Kerusakan sensori dan


Syndrome lumbal atau sacral sampai lumpuh flaccid pada
ujung medulla spinalis ekstremitas bawah dan
kontrol berkemih dan
defekasi

Menurut Urden dkk. (2010), cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Complete injury
Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi sensorik dan
motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari mekanisme cedera, jenis cedera
secara penuh ini bisa berupa diseksi atau robekan lengkap pada sumsum tulang belakang
yang menghasilkan dua kondisi :
a. Tetraplegia
Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual tergantung
pada segmen servikal yang terpengaruh.
b. Paraplegia
Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya fungsi
sensorik dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun sacral (Kirshblum dkk,
2011).

Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis

2. Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam keadaan baik
dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).

Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada


pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla
spinalis, trauma medulla spinalis dikelompokkan sebagai berikut :

a. Complete transaction

Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus


menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di bawah
level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi kerusakan
permanen.

Secara klinis menyebabka kehilangan kemampuan motorik berupa


tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada level
thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi sensoris dibawah
level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni sehingga menyebabkan
ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor area tubuh dibawah lesi
menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak stabil. Kehilangan
kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering dan pucat, juga terjadi
gangguan pernapasan.

Gambar Complete Transection

Gambar. Paraplegia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada cervical


spinal transcetion
18

b. Incomplete transaction : Central cord syndrome

Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih


banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah,
dengan kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi
setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami
kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya
riwayat jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi
dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.

Gambar. Central cord syndrome.


Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang
lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah.
Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada
ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat
cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling
hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome

Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik


disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna
posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya
anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis sindrom ini paling
buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan
suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi,
dan getaran tetap baik

Gambar. Central cord syndrome.

d. Brown Sequard Syndrome

Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya


akibat luka tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi.
Pada kasus murni, sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik
ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna
posterior), disertai dengan hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral
mulai satu atau dua level di bawah level trauma (traktus spinothalamikus).
Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung ke medulla
spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai
kehilangan fungsi sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi
gangguan kehilangan sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.

Gambar. Brown sequard syndrome.


Manifestasi Trauma Medula Spinalis
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan
fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek pada
segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus
spinchter ani) dan reflek tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan
aliran darah dan kadar ion pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat
beberapa fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula
spinalis dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi
kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah trauma.
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya
cedera. Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat
digambarkan dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya,
antara lain:

1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi
Transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah
lesi. Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi
diameter.kanalis spinalis dan menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi
paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik
termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian
ventral medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan kolumna
dorsalis yang masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih
terjaga, meskipun terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri
(nosiseptif dan termosepsi) bilateral. Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi
diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara
ekstensif pada salah satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan
kehilangan kontrol motorik, perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi nyeri
(nosiseptif dan termosepsi) kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi
akibat luka tusuk atau tembak.
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral
medula spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai cedera yang
konkusif. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas lebih
buruk dibandingkan ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal
serta motorik dan sensorik ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki
dan serabut saraf sensorik dan motorik sakral sebagian besar terletak di perifer
medula servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme kompresi sementara dari
medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama trauma
hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.
d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat
menyebabkan sel saraf pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke serabut
kortikospinal, dan radiks dorsaliss lumbosakral disertai disfungsi upper motor
neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).
e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang atau
ekstrusi diskus pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis
kompresi lumbosakral dibawah konus medularis. Pada umumnya terdapat disfungsi
bowel dan bladder, parestesi dan paralisis.

Gambar. Regio yang mengalami Incomplete Lesi

Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla spinalis, yaitu:

1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan


Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan
prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan
reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :

Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan


Level Fungsi Motorik Refleks Fungsi Sensorik Fungsi Pernapasan Fungsi Usus dan
Cedera Tendon Kandung Kemih
Spinal Profunda Volunter
C1-C4 Kuadriplegia: Semuanya Hilangnya semua Hilangnya fungsi Tidak ada
Hilangnya hilang fungsi sensorik pernapasan volunter kendali usus
semua fungsi pada leher ke (interkostal) dan atau kandung
motorik dari bawah (C4 involunter (frenik); kemih
leher ke bawah mempersarafi dukungan ventilasi
klavikula) dan trakeostomi
dibutuhkan
C5 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada
Hilangnya sensasi di bawah tetapi otot kontrol usus
semua fungsi di klavikula dan interkostal tidak atau kandung
bawah bahu atas sebagaan besar utuh kemih
bagian lengan,
tangan, dada,
abdomen dan
ekstrimitas
bawah.

C6 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya semua Saraf frenik utuh, Tidak ada


Hilangnya brakioradial aspek pada lesi tetapi otot kontrol usus
semua fungsi di is C5 tetapi sensasi interkostal tidak atau kandung
bawah bahu dan lengan dan ibu utuh kemih
lengan atas; jari lebih terasa
penurunan
kontrol siku,
lengan bawah,
dan tangan
C7 Kuadriplegia: C7, C8 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada fungsi
hilangnya trisep sensasi di bawah tetapi otot usus atau
kontrol motorik klavikula dan interkostal tidak kandung kemih
pada bagian bagian lengan utuh
lengan dan serta tangan
tangan
C8 Kuadriplegia: Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada fungsi
hilangnya sensasi di bawah tetapi otot usus atau
kontrol motorik dada dan bagain interkostal tidak kandung kemih
pada lengan dan tangan utuh
tangan
T1-T6 Paraplegia: Hilangnya Saraf frenik Defekasi atau
hilangnya setiap sensasi di bawah berfungsi mandiri. berkemih tidak
sensasi di bawah area dada tengah beberapa gangguan berfungsi
area dada, otot intercostal
termasuk otot di
batang tubuh
T6-T12 Paraplegia: Hilangnya setiap Fungsi pernapasan Kontrol defekasi
kehilangan sensasi di bawah tidak terganggu atau berkemih
kontrol motorik pinggang tidak berfungsi
di bawah
pinggang
L1-L3 Paraplegia: L2-L4 Hilangnya Fungsi pernapasan Kontrol defekasi
hilangnya (sentakan sensasi abdomen tidak terganggu atau berkemih
sebagian besar lutut) baah dan tungkai tidak ada
kontrol tungkai
dan pelvis
L3-S5 Paraplegia: S1-S2 Saraf sensori Fungsi pernapasan Kontrol defekasi
inkomplet (sentakan lumbal tidak terganggu atau berkemih
Kontrol motorik pergelangan menginervasi mungkin
segmental kaki) tungkai atas dan terganggu
L4-S1: abduksi bawah Segmen S2-S4
dan rotasi L5: aspek medial mengendalikan
internal pinggul, kaki kontinensia urin
dorsifleksi S1: aspek lateral Segmen S3-S5
pergelangan kaki mengendalikan
kaki dan inversi S2: aspek kontinensia
kaki posterior feses (otot
L5-S1: eversi betis/paha perianal)
kaki Saraf sensori
L4-S2: fleksi sakral
lutut menginervasi
S1-S2: fleksi tungkai bawah,
plantar S1-S2: kaki dan
(sentakan perineum
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih

Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093

Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik


Funsi Motorik Funsi Sensorik
Lokasi Fungsi Lokasi Area Sensasi
C1-C6 Fleksor Leher C5 Deltoid
C1-T1 Ekstensor Leher C6 Ibu jari
C3-C5 Diafragma C7 Jari tengah
C5 Fleksor Siku C8 Jari-jari
C6 Ekstensor pergelangan T4 Batas putting susu
tangan
C7 Ekstensor siku T10 Umbilikus
C8 Fleksi pergelangan tangan L5 Empu kaki
T1-T6 Interkosta otot dada S1 Little toe
T7-L1 Otot abdomen S2-S5 Perineum
L1-L4 Fleksi pinggul
L2-L4 Adduksi pinggul ekstensi
lutu
L4-S1 Abduksi pinggul
Dorsofleksi kaki
L5-S2 Ekstensi pinggul
Plantar Fleksi kaki
L4-S2 Fleksi Lutut

2. Perubahan reflex
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga stimulus reflex
juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas visceral, reflex ejakulasi.
3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal, dimana pasien
terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
4. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis kerusakan,
hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor yang
mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat dibawah garis
kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi feses.
5. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana pasien
mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi, hipertensi
paroksimal, distensi bladder.
6. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya sensasi
dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.

Tanda-tanda yang harus diperhatikan atau dicurigai adanya fraktur servikal bila
terdapat:
1. Trauma kapitis dengan penurunan kesadaran;
2. Multi trauma;
3. Terdapat jejas di atas clavicula ke arah cranial;
4. Biomekanika trauma mendukung.
Patofisiologi Spinal Shock
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok
spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cedera
pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi
kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya
muatan tonik secara akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk
mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan
hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan
usus (Corwin, 2009). Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah
pada pembuluh darah dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor di medula dan saraf
simpatis yang meluas ke medula spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan.
Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medula atau integritas medula spinalis serta
persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik (Tambayong, 2000).
Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi otonom
yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan hilangnya refleks
cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes) disertai dengan hilangnya aliran
simpatis, mengakibatkan hipotensi dan bradikardia. Refleks umumnya kembali dalam pola
tertentu, dengan refleks cutaneus umumnya kembali sebelum refleks tendon dalam
(Silver,2000).
Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang pertama kembali
adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh bulbocavernosis (BC) dan cremasteric
reflex (CR), dan akhirnya reflek pergelangan kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous
reflex (BCR) diperiksa untuk menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley
juga dapat menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini biasanya
kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal yaitu,
1. Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)
Fase pertama terjadi 0-24 jam setelah cedera. Bila SCI (Spinal Cord Injury) Complete,
diawali dengan hilangnya DTR(deep tendon reflexes) seperti ankle jerk (AJ) atau
refleks Achilles dan knee jerk (KJ) atau refleks patella disertai otot yang lemah dan
lumpuh. Selama periode ini reflek cutenous (polysynaptic) mulai pulih seperti
bulbocavernosus (BC), Anal Wink (AW), dan cremasteric (CM). Refleks patologis,
Delayed Plantar Response (DPR) yang pertama kembali dan dapat diamati setelah
beberapa jam setelah cedera. Saat terjadi SCI, rangsangan menjadi hilang dan neuron
spinal menjadi tidak terangsang. Ini merupakan penyebab utama depresi refleks selama
syok spinal. Refleks depresi mungkin juga karena peningkatan penghambatan tulang
belakang. Hiperpolarisasi lumbar neuron motorik dan interneuron kemudian kurang
merespon untuk refleks input segmental. Secara klinis, ini adalah hiporefleksia syok
spinal. Hiporefleksia diamati dengan lesi di bawah level mid-pons; lesi di atas tingkat
ini menghasilkan kekakuan deserebrasi. hiporefleksia shock spinal, bagaimanapun,
segera muncul setelah SCI. Jadi, meskipun perubahan metabolik dan struktural dapat
berkontribusi untuk awal hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab utama.
2. Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)
Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks cutaneous (BC,
AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode ini. Biasanya, DTR masih
tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme denervasi supersensitivity yang
meliputi: (1) mengurangi rangsang neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis
dan masuknya reseptor dalam membran postsinaps (3) menurunkan pelepasan dan
penurunan reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit reseptor.
3. Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)
Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ biasanya kembali
lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks cutaneous (BC, AW, dan CM)
biasanya muncul pada akhir periode ini. Meskipun pada umumnya, waktu
pengembalian refleks bervariasi bahkan setelah SCI complete karena perbedaan
rangsangan refleks antara subyek. Fungsi otonom terus berkembang dengan
membaiknya saraf vagus dimediasi bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom
dapat mulai muncul. Hal ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya,
kandung kemih atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan aliran simpatis
masif di bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input supraspinal.
4. Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)
Tahap keempat syok spinal terjadi antara 1 dan 6 bulan pasca cedera. DPR telah
menghilang di sebagian besar kasus. Refleks kulit, DTR, dan BS menjadi hiperaktif
dan menanggapi rangsangan minimal. Vasovagal hipotensi dan bradiaritmia
diselesaikan dalam 3-6 minggu. Kemudian 4 hari-4 minggu pertumbuhan sinaps, akson
pendek dan / atau akson disediakan. Setelah itu 1-12 bulan pertumbuhan sinaps, akson
panjang dan soma disediakan. (Ditunno, Little, Tessler, & Burns, 2004)
Tabel Mekanisme 4 Fase Shok Spinal (Ditunno et al., 2004)
Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur
tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikalis (servical spine control) yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust
sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka
dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia.
Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring.
Bila hembusan napas tidak adekuat perlu bantuan napas.Kaji ada tidaknya sumbatan pada
jalan nafas klien.Nilai airway sewaktu dengan mempertahankan posisi tulang leher tetap
dalam keadaan in line position.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada asimetris atau tidak, adanya
retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran, bila diduga terjadi fraktur servical
maka lakukan jaw thrust.
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan, dengar suara nafas vesikuler atau tidak.
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan.
b. Breathing : sesak nafas, gagal napas.
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring,
gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas klien.Berikn
oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila diperlukan.
c. Circulation : tekanan darah rendah, brakikardia ,nadi cepat,vasokontriksi perifer, CRT >
2detik.
Status sirkulasi dinilai secara cepat dengan cara memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi. Kaji ada tidaknya peningkatan/penurunan tekanan darah, kelainan detak
jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan
capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi klien.Kaji vena leher dan warna kulit (adanya
sianosis), periksa keluaran urin.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon
terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.Namun sebelum
melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman penolong, aman korban
dan aman lingkungan.Kaji juga keluhan klien misalkan adanya nyeri pada daerah-daerah
tertentu.
a) A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
b) V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga
korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh klien,
jika tidak merespon lanjut ke P.
c) P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada klien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital).
d) U = Unresponsive : setelah diberi rangsangan nteri tetapi tidak bereaksi klien berada
dalam keadaan unresponsive.
Nilai kekuatan tonus otot, terdapat lateralisasi apa tidak. Berikut tabel menyajikan
penilaian derajat kekuatan otot :

Skor Hasil Pemeriksaan

0 Kelumpuhan total

1 Teraba / terasanya kontraksi

2 Gerakan tanpa menahan gaya berat

3 Gerakan melawan gaya berat

4 Gerakan kesegala arah, tetapi kekuatan kurang

5 Tidak dapat diperiksa

NT

e. Exposure : akral dingin, kering


Melihat secra kesluruhan keadaan klien.Sien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan
simple head injury bila tidak ada deficit neurologis dilakukan rawat luka, pemeriksaan
radiolohgi, klien dipulangkan.Bila terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah
sakit.

2. Secondary Survey
A :Alergi (adakah alergi pada klien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani pengobatan
hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis klien seperti penyakit yang pernah diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam
sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang menyebabkan
adanya keluhan utama)

Saat dilakukan secondary survey, tahap pelaksanaan yang harus dilakukan adalah:
a. Anamnesa
1) Identitas
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
2) Keluhan Utama
Terjadi defisit neurologis pada pasien, trauma berat pada kepala
3) Riwayat penyakit saat ini
Tanyakan pada pasien kapan terjadinya spinal syok, apa yang dirasakan klien dan
apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi sakitnya, bagaimana
mekanismenya ,apapenyebab terjadinya karena KLL, penyakit sebelumnya,
olahraga atau yang lainnya.
4) Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit yag diderita seperti: SCI, trauma saraf spinal/ medulla dan
penyakit lainnya yang berhubungan. Kaji riwayat penggunaan obat dan aktivitas
fisik yang dilakukan dan asupan makanan.
5) Riwayat penyakit keluarga
Kaji adanya penyakit keluarga seperti osteoporosis, osteoarthritis,dll.
6) Riwayat penggunaan obat
Kaji obat-obatan yang dikonsumsi pasien,seperti penggunaan obat penenang,
anastesi spinal/ lumbal.
7) Pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual
Berhubungan dengan perasaan dan emosi yang di alami pasien mengenai
kondisinya.Kaji juga kondisi psikologis pasien, stress psikologis, mungkin dalam
kondisi berduka atau kehilangan.Kaji pula spiritual pasien, persepsi pasien
terhadap kondisi sakitnya dan pola kebiasaan pasien sehari-hari.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : pucat,kulit kerirng,penurunan kesadaran, napas pendek dan
menggunakan otot bantu nafas
2) Palpasi : akral dingin , nadi cepat ,paraplegia, nyeri
3) Perkusi :-
4) Auskultasi : -
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur , dislokasi),
untuk kesejajaran traksi atau operasi
2) Scan CT: menentukan tempat luka/jejas, mengevalkuasi gangguan structural
3) MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4) Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika terda[at oklusi pada
subaraknoid medulla spinalis
5) Rongent torak : untuk memperlihatkan keadan paru
6) Pemeriksaan fungsi paru: mengukur volume inspirasi maksimal dan ekpirasi
maksimal terutama pada kasus trauma servikal bagian bawah
7) GDA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif (00032)bd kerusakan persarafan C1-C2


2. PK: Syok neurogenik
3. Disrefleksia autonomic (00009) b.d respon hiperefleksi otonom
4. Nyeri (00132) b.d trauma medulla spinalis
5. Ketidakseimbangan fungsi jaringan perifer (00204)b.d penurunan tekanan darah dan
brakikardia
6. Gangguan eliminasi urine (00016) b.d gangguan sensori motorik
7. Gangguan eliminasi alvi (00011) b.d gangguan neurologis :trauma medulla spinalis
8. Gangguan mobilitas fisik (00085) b.d kerusakan neuromuskuler

Pemeriksaan penunjang(6) (8)

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan laboratorium


darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar
(anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk
vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan
radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic
Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di
medulla spinalis akibat cedera/trauma 2.5.1 Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan
dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu
dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.

Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk menentukan adanya cedera
spinal.Pemeriksan radiologis tulang servical diindikasikan pada semua pasien trauma
dengan nyeri leher di garis tengah, nyeri saat palpasi, defisit neurologis yang berhubungan
dengan tulang servical, atau penurunan kesadaran atau dengan kecurigaan intoksikasi.
Pemeriksaan radiologis proyeksi lateral, anteroposterior (AP) dan gambaran odontoid open
mouth harus dilakukan.

Pada proyeksi lateral, dasar tengkorak dan ketujuh tulang cervicla harus tampak.
Bahu pasien harus ditarik saat melakukan foto servikal lateral, untuk menghindari luputnya
gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di tulang servikal bagian bawah. Bila ketujuh tulang
servikal tidak bisa divisualisasikan pada foto latural, harus dilakukan swimmer view pada
servical bawah dan thorakal atas.

Proyeksi open mouth odontoid harus meliputi seluruh prosessus odontoid dan
artikulasi C1-C2 kanan dan kiri. Proyeksi AP tulang servikal membantu indenfitikasi
adanya diskolasi faset unilateral pada kasus dimana sedikit atau tidak tampak gambaran
dislokasi pada foto lateral. CT-scan aksial dengan irisan 3 mm juga dapat dilakukan pada
daerah yang dicurigai dari gambaran foto polos atau pada servikal bawah bila tidak jelas
tampak pada foto polos.

Gambaran CT aksial melalui C1-C2 juga lebih sensitif daripada foto polos untuk mencari
adanya fraktur pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik dan diinterpretasikan dengan
benar, cedera spinal yang tidak stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas lebih dari 97%.

Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal,foto X-ray fleksi ekstensi
perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran, atau pada pasien dengan keluhan
nyeri leher untuk mencari adanya instabilitas okult atau menentukan stabilitas fraktur,
seperti pada fraktur kompresi atau lamina. Mungkin sekali pasien hanya mengalami cedera
ligamen sehingga mengalami instabilitas tanpa adnaya fraktur walaupun beberapa
penelitian menyebutkan bahwa bila 3 proyeksi radiologis ditambah CT scan menunjukkan
gambaran normal (tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau angulasi abnormal) maka
instabilitas jarang terjadi.
Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan skrining radiologis sama dengan
pada kejadian di tulang servikal. Foto polos AP dan lateral dengan CT scan aksial irisan 3
mm pada daerah yang divutigai dapat mendeteksi lebih dari 99% cedera yang tidak stabil.
Pada proyeksi AP kesegarisan vertikal pedikel dan jarak antar pedikel pada masing-masing
tulang harus diperhatikan. Fraktur yang tidak stabil sering menyebabkan pelebaran jarak
antar pedikel.

Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi, fraktur kompresi, dan fraktur
Chance. CT scan sendiri berguna untuk mendeteksi adanya faktur pada elemen posterior
(pedikel, lamina, dan prosessus spinosus) jdan menentukan derajat gangguan kanalis
spinalis yang disebabkan burst fraktur. Rekonstruksi sagital dari CT Scan aksial mungkin
diperlukan untuk menentukan fraktur Chance.
DAFTAR PUSTAKA

Aryani, Suharyanto & Widagdo. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem persarafan. Jakarta : Trans Info Media

Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Sagung Seto.

Batticaca, F. B. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.

Kirshblum, steven dkk. 2011. International standards for neurological classification of spinal
cord injury. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3232636/pdf/scm-34-535.pdf
Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Aditya Medika
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Silver JR. Early autonomic dysreflexia. Spinal Cord. 2000;38:229-233.
Ko HY, Ditunno JF, Jr., Graziani V, et al. The pattern of reflex recovery during spinal shock.
Spinal Cord. 2000;37:402-409.

Anda mungkin juga menyukai