Anda di halaman 1dari 78

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


TRAUMA MEDULA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK

Fasilitator:
Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.Ns., M.Kep.
Disusun oleh:
Kelompok 4 Kelas AJ1-2016
Servianus Gonsaga R (131811123025)
Lilik Juliati (131811123004)
Vina Hardiyanti (131811123067)
Heny Kurniawaty (131811123012)
Mau’na Qurratun A (131811123041)
Farih Aminudin (131811123075)
Umi fatun Amalia (131811123049)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala


limpahan berkah dan rahmat yang diberikan, sehingga sebuah makalah berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Trauma Medula Spinalis dengan Spinal
Shock” ini dapat terselesaikan.

Dalam menyusun makalah ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami.


Oleh karena itu, terselesaikannya makalah ini bukan semata-mata karena
kemampuan individual belaka, melainkan karena adanya dukungan dan bantuan
dari pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketulusan hati
disampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Erna Dwi Wahyuni, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku PJMA Keperawatan Kritis II


serta dosen fasilitator yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan
dalam memberikan materi dan penyelesaian makalah ini;
2. Teman-teman serta semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu
dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ilmiah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 22 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Cover ................................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi ...........................................................................................................iii
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................ 3
1.4 Manfaat.............................................................................................. 3
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi dan Fisiologi Medula Spinalis ............................................ 4
2.2 Trauma Medula Spinalis ................................................................. 11
2.2.1 Definisi ............................................................................... 11
2.2.2 Etiologi .............................................................................. 12
2.2.3 Manifestasi Klinis .............................................................. 13
2.2.4 Patofisiologi ....................................................................... 18
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 22
2.2.6 Penatalaksanaan ................................................................. 24
2.2.7 Komplikasi ......................................................................... 32
2.2.8 Algoritma ........................................................................... 34
2.3 Spinal Shock .................................................................................. 39
2.3.1 Definisi ............................................................................... 39
2.3.2 Etiologi .............................................................................. 39
2.3.3 Manifestasi Klinis .............................................................. 39
2.3.4 Patofisiologi ....................................................................... 40
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang.......................................................42
2.3.6 Penatalaksanaan ................................................................. 42
2.3.7 Komplikasi ......................................................................... 43
2.3.8 Algoritma ........................................................................... 44
2.4 WOC Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock ........................ 45
BAB 3 Asuhan Keperawatan Umum
3.1 Asuhan Keperawatan Umum Trauma Medula Spinalis .................. 46

iii
3.1.1 Pengkajian ............................................................................. 46
3.1.2 Diagnosis Keperawatan ......................................................... 51
3.1.3 Intervensi Keperawatn........................................................... 51
3.2 Asuhan Keperawatan Umum Spinal Shock ..................................... 54
3.2.1 Pengkajian .............................................................................. 54
3.2.2 Diagnosis Keperawatan .......................................................... 58
3.2.3 Intervensi Keperawatan .......................................................... 58
BAB 4 Asuhan Keperawatan Kasus
4.1 Kasus ............................................................................................... 62
4.2 Pengkajian ....................................................................................... 62
4.3 Analisa Data .................................................................................... 64
4.4 Diagnosis Keperawatan ................................................................... 66
4.5 Intervensi Keperawatan ................................................................... 66
4.6 Implementasi Keperawatan ............................................................. 69
4.7 Evaluasi Keperawatan ..................................................................... 72
BAB 5 Penutup ................................................................................................ 73
5.1 Kesimpulan...................................................................................... 73
Daftar Pustaka ................................................................................................. 74

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks yang terdiri dari
jaringan-jaringan saraf. Sistem saraf dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat yang terdiri dari otak dan
medulla spinalis memiliki peranan penting dalam tubuh manusia dalam
mengorganisasikan sistem saraf tubuh (Ethel, 2004). Kondisi gangguan atau
trauma pada sistem saraf pusat telah menjadi masalah yang serius, karena jika
terjadi cedera pada salah satu saraf pusat akan berdampak pada sistem tubuh
yang dipersyarafi. Trauma medula spinal atau cedera pada tulang belakang
adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari
suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang
dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus,
tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord (Arif
Muttaqin, 2008). Trauma medula spinalis bisa menyebabkan dampak yang
cukup buruk bagi tubuh jika tidak segera mendapatkan terapi yang
mendukung, karena bisa menyebabkan kondisi trauma permanen dan salah
satunya adalah kondisi spinal shock. Syok spinal merupakan hilangnya reflek
pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis.
Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung
kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh (Corwin, 2009).
Angka kejadian trauma medula spinalis dipengaruhi oleh banyaknya
pencetus yang mendasari. The National Spinal Cord Injury Statistical Center
(2006) menyebutkan bahwa penyebab terbesar dari terjadinya trauma medula
spinalis adalah kecelakaan (42%), kesalahan manusia (27,1%), kekerasan
(15,3%), olahraga (7,4%) dan sisanya disebabkan oleh faktor lain.
Berdasarklan hasil survey, membuktikan bahwa cidera tulang belakang lebih
banyak diderita oleh pria daripada wanita, hal ini didasari oleh konsumsi
alkohol, merokok maupun bertambahnya umur yang mengarah kepada cidera
tulang belakang traumatis (McQuillan et al, 2009).

1
Tingginya kasus penyebab trauma medula spinalis banyak terjadi di
sekitar kita, namun masih banyak masyarakat yang kurang
memperdulikannya. Trauma medulla spinalis masih dianggap cedera biasa
yang akan sembuh dengan sendirinya. Kondisi yang demikian inilah yang
akan membawa kondisi penderita menuju kegawatan yang permanen, yaitu
spinal shock. Sehingga sebagai seorang tenaga kesehatan, kita harus bisa
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma medula spinalis
baik pada kondisi disertai dan tanpa disertai dengan spinal shock dengan
tujuan agar komplikasi akibat cedera medula spinalis dapat dikurangi dan
angka kematian dapat dicegah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat, rumusan masalah yang
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi dari medula spinalis?
2. Apakah definisi dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
3. Apakah etiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
4. Apa saja manifestasi klinis yang bisa ditemukan dari trauma medula
spinalis dan spinal shock?
5. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya trauma medula spinalis dan spinal
shock?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan yang sesuai dengan trauma medula
spinalis dan spinal shock?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan dalam
mendeteksi adanya trauma medula spinalis dan spinal shock?
8. Apa sajakah komplikasi yang bisa terjadi pada trauma medula spinalis dan
spinal shock jika tidak segera mendapatkan pengobatan?
9. Bagaimana konsep asuhan keperawatan umum pada trauma medula
spinalis dan spinal shock?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kasus pada trauma medula spinalis
dan spinal shock?

2
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah Small Group Discussion ini adalah sebagai
berikut:
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi dari sistem tulang belakang medula
spinalis
2. Menjelaskan definisi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
3. Menjelaskan etiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
4. Menjelaskan manifestasi klinis yang bisa ditemukan dari trauma medula
spinalis dan spinal shock
5. Menjelaskan patofisiologi terjadinya trauma medula spinalis dan spinal
shock
6. Menjelaskan penatalaksanaan yang sesuai dengan trauma medula spinalis
dan spinal shock
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjaang yang bisa digunakan dalam
mendeteksi adanya trauma medula spinalis dan spinal shock?
8. Menjelaskan komplikasi yang bisa terjadi pada trauma medula spinalis dan
spinal shock jika tidak segera mendapatkan pengobatan
9. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan umum pada trauma medula
spinalis dan spinal shock
10. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan kasus pada trauma medula
spinalis dan spinal shock

1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini mahasiswa diharapkan mampu menambah
wawasan dan informasi tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
trauma medula spinalis dan spinal shock, serta dapat mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari selama memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan kasus yang sesuai.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Medula Spinalis


Medula spinalis berada di dalam kanalis vertebralis dari kolumna
vertebral. Medula spinalis aman oleh karena bentukan kanal vertebra yang
berupa tulang berbentuk cincin. Selain itu, medulla spinalis juga terlindung
oleh ligamen, meninges, dan cairan serebrospinal (Gerard & Bryan, 2013).
Panjang dari medulla spinalis orang dewasa antara 42 hingga 45 cm.
Medulla spinalis memanjang dari bagian terbawah otak (medulla oblongata)
hingga batas atas lumbal kedua. Namun, medulla spinalis tetap mempersarafi
hingga ke tulang koksigeal. Bentuk saraf medulla spinalis ini menyerupai ekor
kuda sehingga dikenal dengan istilah “cauda equina” (Gerard & Bryan, 2013).

Gambar Tulang Belakang

4
Meninges terdiri dari tiga lapisan. Lapisan
terluar disebut sebagai “dura mater spinalis”,
lapisan tengah disebut “arachnoid mater
spinalis”, dan lapisan dalam disebut “pia mater
spinalis”. Di antara dura mater spinalis dengan
kolumna vertebralis terdapat ruang epidural yang
berisi bantalan lemak dan jaringan ikat. Bantalan
ini berfungsi untuk melindungi medulla spinalis.
Sedangkan, di antara arachnoid mater spinalis
dan pia mater spinalis terdapat ruang
subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal
(Gerard & Bryan, 2013).

Gambar Meninges Medulla Spinalis

Gambar Irisan Medulla Spinalis

Medulla spinalis dibagi menjadi dua, bagian kanan dan kiri, oleh fissure
mediana anterior dan sulcus medianus posterior. Medulla spinalis memiliki
substansi putih “substantia alba” yang mengelilingi substansi abu-abu
“substantia grisea”. Substansi abu-abu berbentuk seperti huruf H dan
memiliki beberapa bagian yang diberi nama sesuai dengan lokasinya. Bagian

5
anterior disebut “columna anterior atau cornu anterius” mengandung badan
sel dari saraf somatik motor yang menghasilkan impuls untuk kontraksi otot
skeletal. Bagian lateral disebut “columna lateralis atau cornu laterale” hanya
terdapat pada segmen thorakal dan bagian atas segmen lumbal. Bagian
posterior disebut “columna posterior atau cornu posterius” mengandung
badan sel dan axon dari interneuron. Di bagian tengah dari substansi abu abu
terdapat canalis centralis yang mengandung cairan serebrospinal (Gerard &
Bryan, 2013).
Nervus spinal (saraf spinal) dan cabang-cabangnya merupakan bagian dari
sistem saraf perifer. Terdapat 31 pasang nervus spinal yang diberi angka dan
nama sesuai dengan lokasi dan segmen tulang belakang. Saraf-saraf tersebut
ialah 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal,
5 pasang saraf sakral, dan sepasang saraf koksigeal (Gerard & Bryan, 2013).

Gambar Nervus Spinal

6
Manfaat dari saraf spinalis tercantum dalam tabel berikut:
Fungsi Otot Saraf
I. Pleksus servikalis C1 – C4
Fleksi, ekstensi, rotasi, Mm. koli profundi (M. Saraf servikalis
dan eksorotasi leher sternokleidomastoideus, M. C1-C4
trapezius)
Pengangkatan dada atas, Mm. Skaleni C3-C5
inspirasi
Inspirasi Diafragma Saraf frenikus
C3–C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
Aduksi dan endorotasi M. pektoralis mayor dan minor Saraf torakalis
lengan, anterior
Menurunkan bahu ke C5-T1
dorsoventral
Fiksasi skapula selama M. seratus anterior Saraf torakalis
mengangkat lengan longus
C5-C7
Elevasi dan aduksi M. levator skapula, Saraf skapularis
skapula ke arah kolumna Mm. Rhomboidei dorsal
spinalis C4-C5
Mengangkat dan M. supraspinatus Saraf
eksorotasi lengan supraskapularis
C4-C6
Eksorotasi lengan pada M. infraspinatus
sendi bahu C4-C6
Endorotasi sendi bahu; M. latissimus dorsi, Saraf torakalis
aduksi dari ventral ke M. teres major, dorsal
dorsal; M. subskapularis C5-C8
menurunkan lengan (dari daerah dorsal
yang terangkat pleksus)
Abduksi lengan ke garis M. deltoideus Saraf aksilaris
horizontal C5-C6

Eksorotasi lengan M. teres minor C4-C5


Fleksi lengan atas dan M. biseps brakhii Saraf
bawah dan supinasi muskulokutaneus
lengan bawah C5-C6
M. korakobrakhialis
Elevasi dan aduksi C5-C7
lengan M. brakhialis

7
C5-C6
Fleksi lengan bawah
Fleksi dan deviasi radial M. fleksor karpi radialis Saraf medianus
tangan C5-C6

Pronasi lengan bawah M. pronator teres C5-C6

Fleksi tangan M. palmaris longus C7-T1

Fleksi jari II-V pada M. fleksor digitorum C7-T1


falangs tengah superfisialis

Fleksi falangs distal ibu M. fleksor polisis longus C6-C8


jari tangan

Fleksi falangs distal jari M. fleksor digitorum profundus C7-T1


II dan III tangan (radial)
Abduksi metakarpal I M. abduktor polisis brevis C7-T1

Fleksi falangs proksimal M. fleksor polisis brevis C7-T1


ibu jari tangan

Oposisi metakarpal I M. oponens polisis brevis C6-C7


Fleksi falangs proksimal Mm. lumbrikalis Saraf medianus
dan ekstensi sendi lain Jari II dan III tangan C8-T1

Fleksi falangs proksimal Jari IV dan V tangan Saraf ulnaris


dan ekstensi sendi lain C8-T1
Fleksi dan M. fleksor karpi ulnaris Saraf ulnaris
pembengkokan ke arah C7-T1
ulnar jari tangan
M. fleksor digitorum profundus C7-T1
Fleksi falangs proksimal (ulnar)
jari tangan IV dan V
M. aduktor polisis C8-T1
Aduksi metakarpal I
M. abduktus digiti V C8-T1
Abduksi jari tangan V
M. oponens digiti V C7-T1
Oposisi jari tangan V
M. fleksor digiti brevis V Saraf ulnaris
Fleksi jari V pada sendi C7-T1

8
metakarpofalangeal
Mm. interosei palmaris dan C8-T1
Pembengkokan falangs dorsalis
proksimal, meregangkan Mm. lumbrikalis III dan IV
jari tangan III, IV, dan V
pada sendi tangan dan
distal seperti juga
gerakan membuka dan
menutup jari-jari
Ekstensi siku M. biseps brakhii dan M. Saraf radialis
ankoneus C6-C8

Fleksi siku M. brakhioradialis C5-C6

Ekstensi siku dan M. ekstensor karpi radialis C6-C8


abduksi radial tangan

Ekstensi falangs M. ekstensor digitorum C6-C8


proksimal jari II-IV

Ekstensi falangs M. ekstensor digiti V C6-C8


proksimal jari V

Ekstensi dan deviasi ke M. ekstensor karpi ulnaris C6-C8


arah ulnar dari tangan

Supinasi lengan bawah M. supinator C5-C7

Abduksi metakarpal I: M. abduktor polisis longus C6-C7


ekstensi radial dari
tangan
M. ekstensor polisis brevis C7-C8
Ekstensi ibu jari tangan
pada falangs proksimal
M. ekstensor polisis longus C7-C8
Ekstensi falangs distal
ibu jari M. ekstensor indisis proprius C6-C8

Ekstensi falangs
proksimal jari II
Elevasi iga; ekspirasi; Mm. toracis dan abdominalis N. toracis
kompresi abdomen; T1-L1

9
anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
III. Pleksus lumbalis T12-L4
Fleksi dan endorotasi M. iliopsoas Saraf femoralis
pinggul L1-L3

M. sartorius L2-L3
Fleksi dan endorotasi
tungkai bawah
M. quadriseps femoris L2-L4
Ekstensi tungkai bawah
pada tungkai lutut
Aduksi paha M. pektineus Saraf obturatorius
M. aduktor longus L2-L3
M. aduktor brevis L2-L3
M. aduktor magnus L2-L4
M. grasilis L3-L4
L2-L4
Aduksi dan eksorotasi M. obturator eksternus L3-L4
paha
IV. Pleksus sakralis L5-S1
Abduksi dan endorotasi paha M. gluteus medius dan Saraf glutealis
minimus superior
L4-S1
Fleksi tungkai atas pada M. tensor fasia lata
pinggul; abduksi dan L4-L5
endorotasi

Eksorotasi paha dan abduksi M. piriformis


L5-S1
Ekstensi paha pada pinggul, M. gluteus maksimus Saraf glutealis
Eksorotasi paha M. obturator internus inferior
Mm. gemeli L4-S2
M. quadratus L5-S1

L4-S1
Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris Saraf skiatikus
M. semitendinosus L4-S2
M. semimembranosus L4-S1
L4-S1
Dorsifleksi dan supinasi kaki M. tibialis anterior Saraf peronealis
profunda

10
Ekstensi kaki dan jari-jari M. ekstensor digitorum L4-L5
kaki longus L4-S1

Ekstensi jari kaki II-V M. ekstensor digitorum L4-S1


brevis
Ekstensi ibu jari kaki L4-S1
M. ekstensor halusis
Ekstensi ibu jari kaki longus L4-S1

M. ekstensor halusis
brevis
Pengangkatan dan pronasi Mm. peronei Saraf peronealis
bagian luar kaki superfisialis
L5-S1
Fleksi plantar dan kaki dalam M. gastroknemius Saraf tibialis
supinasi, M. triseps surae L5-S2
Supinasi dan fleksi plantar M. soleus
dari kaki M. tibialis posterior
L4-L5
Fleksi falangs distal jari kaki M. fleksor digitorum L5-S2
II-V (plantar fleksi kaki longus
dalam supinasi)

Fleksi falangs distal ibu jari L5-S2


kaki M. fleksor halusis longus

Fleksi jari kaki II-V pada S1-S3


falangs tengah M. fleksor digitorum
brevis
Melebarkan, menutup, dan S1-S3
fleksi falangs proksimal jari-
jari kaki Mm. plantaris pedis
Menutup sfingter kandung Otot-otot perinealis dan Saraf pudendalis
kemih dan rectum sfingter S2-S4

2.2 Trauma Medula Spinalis


2.2.1 Definisi Trauma Medula Spinalis
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula
spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat

11
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (PERDOSSI, 2006).
Menurut Adams (2001), trauma medula sepinalis adalah suatu
kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medulla spinalis. Cedera medula spinalis lumbal adalah suatu
kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medula spinalis khususnya lumbal (Brunner dan Suddarth,
2001).
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai
servikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat dari sutau trauma yang
mengenai tulang belakang (Muttaqin, 2008). Cidera medula spinalis
bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi kolumna vertebra yang
biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher. Kerusakan dapat
mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah satu
belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
trauma medula spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh trauma baik langsung maupun tidak langsung
sehingga menyebabkan lesi di medula spinalis.
2.2.2 Etiologi Trauma Medula Spinalis
Penyebab trauma medula spinalis akibat trauma langsung yang
mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan tulang
belakang dalam melindungi saraf-saraf yang berada di dalamnya.
Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,
kecelakaan industri, kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras
(Muttaqin, 2008).
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik
eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Hagen
dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik
sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam

12
defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera
medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan
kontusio dari kolum vertebra.
b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi
kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan
kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada
medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.
Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit
motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik
dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
2.2.3 Manifestasi Trauma Medula Spinalis
Manifestasi klinis trauma medula spinalis (Brunner dan Suddarth,
2001):
a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf
yang terkena
b. Paraplegia
c. Tingkat neurologik
d. Paralisis sensorik motorik total
e. Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung
kemih)
f. Penurunan keringat dan tonus vasomoto
g. Penurunan fungsi pernafasan
h. Gagal nafas
i. Pasien biasanya mengatakan takut leher atau tulang punggungnya
patah
j. Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar
k. Biasanya terjadi retensi urine, dan distensi kandung kemih,
penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan tekana darah
diawalai dengan vaskuler perifer.

13
l. Penurunan fungsi pernafasan sampai pada kegagalan pernafasan
m. Kehilangan kesadaran
n. Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas
bawah
o. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla
spinalis, yaitu:
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri,
temperature, tekanan dan prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel
dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan reflex autonom.
Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :
Tabel Manifestasi klinis sesuai radiks yang mengalami
gangguan:
Level Fungsi Refleks Fungsi Fungsi Fungsi
Cedera Motorik Tendon Sensorik Pernapasan Usus dan
Spinal Profunda Kandung
Kemih
Volunter
C1-C4 Kuadriplegia: Semuanya Hilangnya Hilangnya Tidak ada
Hilangnya hilang semua fungsi fungsi kendali usus
semua fungsi sensorik pada pernapasan atau
motorik dari leher ke bawah volunter kandung
leher ke bawah (C4 (interkostal) dan kemih
mempersarafi involunter
klavikula) (frenik);
dukungan
ventilasi dan
trakeostomi
dibutuhkan
C5 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik Tidak ada
Hilangnya sensasi di utuh, tetapi otot kontrol usus
semua fungsi bawah interkostal tidak atau
di bawah bahu klavikula dan utuh kandung
atas sebagaan besar kemih
bagian lengan,
tangan, dada,

14
abdomen dan
ekstrimitas
bawah.
C6 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik Tidak ada
Hilangnya brakioradi semua aspek utuh, tetapi otot kontrol usus
semua fungsi alis pada lesi C5 interkostal tidak atau
di bawah bahu tetapi sensasi utuh kandung
dan lengan lengan dan ibu kemih
atas; jari lebih terasa
penurunan
kontrol siku,
lengan bawah,
dan tangan
C7 Kuadriplegia: C7, C8 Hilangnya Saraf frenik Tidak ada
hilangnya trisep sensasi di utuh, tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah interkostal tidak atau
motorik pada klavikula dan utuh kandung
bagian lengan bagian lengan kemih
dan tangan serta tangan

C8 Kuadriplegia: Hilangnya Saraf frenik Tidak ada


hilangnya sensasi di utuh, tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah dada interkostal tidak atau
motorik pada dan bagain utuh kandung
lengan dan tangan kemih
tangan
T1-T6 Paraplegia: Hilangnya Saraf frenik Defekasi
hilangnya sensasi di berfungsi atau
setiap sensasi bawah area mandiri. berkemih
di bawah area dada tengah beberapa tidak
dada, termasuk gangguan otot berfungsi
otot di batang intercostal
tubuh
T6-T12 Paraplegia: Hilangnya Fungsi Kontrol
kehilangan setiap sensasi pernapasan tidak defekasi
kontrol di bawah terganggu atau
motorik di pinggang berkemih
bawah tidak
pinggang berfungsi
L1-L3 Paraplegia: L2-L4 Hilangnya Fungsi Kontrol
hilangnya (sentakan sensasi pernapasan tidak defekasi
sebagian besar lutut) abdomen baah terganggu atau

15
kontrol tungkai dan tungkai berkemih
dan pelvis tidak ada
L3-S5 Paraplegia: S1-S2 Saraf sensori Fungsi Kontrol
inkomplet (sentakan lumbal pernapasan tidak defekasi
Kontrol pergelanga menginervasi terganggu atau
motorik n kaki) tungkai atas berkemih
segmental dan bawah mungkin
L4-S1: abduksi L5: aspek terganggu
dan rotasi medial kaki Segmen S2-
internal S1: aspek S4
pinggul, lateral kaki mengendali
dorsifleksi S2: aspek kan
pergelangan posterior kontinensia
kaki dan betis/paha urin
inversi kaki Saraf sensori Segmen S3-
L5-S1: eversi sakral S5
kaki menginervasi mengendali
L4-S2: fleksi tungkai bawah, kan
lutut kaki dan kontinensia
S1-S2: fleksi perineum feses (otot
plantar S1-S2: perianal)
(sentakan
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih

Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik


Funsi Motorik Funsi Sensorik
Lokasi Fungsi Lokasi Area Sensasi
C1-C6 Fleksor Leher C5 Deltoid
C1-T1 Ekstensor Leher C6 Ibu jari
C3-C5 Diafragma C7 Jari tengah
C5 Fleksor Siku C8 Jari-jari
C6 Ekstensor pergelangan tangan T4 Batas putting susu
C7 Ekstensor siku T10 Umbilikus
C8 Fleksi pergelangan tangan L5 Empu kaki

16
T1-T6 Interkosta otot dada S1 Little toe
T7-L1 Otot abdomen S2-S5 Perineum
L1-L4 Fleksi pinggul
L2-L4 Adduksi pinggul ekstensi lutu
L4-S1 Abduksi pinggul
Dorsofleksi kaki
L5-S2 Ekstensi pinggul
Plantar Fleksi kaki
L4-S2 Fleksi Lutut

2. Perubahan reflex
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis
sehingga stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada
bladder, aktivitas visceral, reflex ejakulasi.
3. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit
transversal, dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan
pergerakan.
4. Spinal shock
Spinal Shock adalah hilangnya reflek pada segmen atas dan
bawah lokasi terjadinya cedera pada medula spinalis. Syok spinal
juga diketahui sebagai syok neurogenikadalah akibat dari
kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan
arterior umum. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami regresi
dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta refleks
pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009). Gambaran
klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa disertai
takikardi atau vasokonstriksi. Syok spinal akan menimbulkan
hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan
kapiler organ splanknik, tonus motor di medula dan saraf simpatis
yang meluas ke medula spinalis sampai pembuluh darah perifer
secara berurutan. Karena itu kondisi yang menekan fungsi medula

17
atau integritas medula spinalis serta persarafan akan
mengakibatkan syok neurogenik (tambayong, 2000).
Melemahnya tonus vasomotor, secara langsung menimbulkan
manifestasi klinis dari syokneurogenik. Sebagai contoj, trauma
pada medula spinalis segmen toraks bagian atas akan memutuskan
perjalanan impuls vasokonstriktor dari pusat vasomotor ke sistem
sirkulasi, akibatnya vasomotor ke seluruh tubuh pun menghilang.
Syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi
vasodilatasi. Pasien dengan syok hipovolemik biasanya
mengalami takikardi sementara pasien dengan syok neurogenik
secara klasik akan mengalami bradikardi.
5. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas,
dimana pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti
terjadinya bradikardi, hipertensi paroksimal, distensi bladder.
6. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya
impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien
dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.
2.2.4 Patofisiologi Trauma Medula Spinalis
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal
secara langsung. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu trauma
menimbulkan fraktur dan instabilitas vertebra sehingga
mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal. Beberapa saat
setelah trauma, cedera sekunder berupa iskemia muncul karena
gangguan pembuluh darah yang terjadi. Iskemia mengakibatkan
pelepasan glutamat, influks kalsium dan pembentukan radikal bebas
dalam sel neuron di medula spinalis yang mengakibatkan kematian sel
neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada segmen medula
spinalis yang terkena (lumbal). Akson yang telah rusak tidak akan
tersambung kembali karena terhalang jaringan parut (Islam, 2006).

18
Kondisi kerusakan saraf lumbal dapat berakibat pada
masalahmasalah biopsikososiospiritual. Masalah biologis yang
muncul yaitu nyeri akut, kerusakan mobilitas fisik, gangguan
eliminasi urin dan fekal, dan disfungsi seksual. Masalah psikologis,
pasien mengalami harga diri rendah situasional akibat kerusakan
fungsional pada lumbal. Masalah sosial yaitu gangguan interaksi
sosial karena keterbatasan dalam mobilitas fisik. Masalah spiritual,
pasien yang mengalami penurunan tingkat keyakinan dapat berisiko
terhadap kerusakan dalam beribadah/beragama.
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis
terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan
kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional
semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi
terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer
energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda
paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam
hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel
yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler
yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari
cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia,
reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya
hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi
radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari
neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan
penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid)
menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.

19
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi
dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat
dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas
berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan
menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini
berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan
rusaknya membran sel.
Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder
bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf.
Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase.
Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas
mitokondria dan kerusakan membran sel. Teori opiate receptor
mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses
terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate
(contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan
neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat
inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor,
serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera
dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder.
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel
adalah nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel
yang utama segera setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis,
kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang
signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit
yang diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi
aksonal pada lesi dan sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut
glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal
di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial
merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah
astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda
sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas

20
sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan
infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula
spinalis.
Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan lesi tusukan yang
luas (large stab)

Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap
dalam kesejajaran yang normal tetapi menghasilkan chondroitin
sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan sulfate proteoglycans
(KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag menginvasi lesi
tersebut. Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi tersebut. Pada lesi
kontusif, sawar darahotak terganggu, tetapi selaput otak masih utuh.
Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit
terganggu pada lesi. Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada
gradien yang meningkat dari penumbra menuju pusat lesi. Tidak
dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena itu, tidak dijumpai
inhibitor yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi
tersebut dan intinya dan akson distrofik mendekati lesi tersebut

21
sebelum pertumbuhan berhenti. Pada lesi tusukan yang luas, sawar
darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa
frakturdislokasi, fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis
tersebut adalah 3:1:1. Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi,
tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian
yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2,
C5-6 dan T11-12. Efek trauma yang tidak dapat langsung
bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan
lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung.
Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan),
jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya
eksplosi bom (Hurlbert, 2000).
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal berguna pada fase akut trauma medula spinalis.
Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya
blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya
derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi
lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi
tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi.
Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila
diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis
tersebut.
2. Sinar X
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi,
dan perubahan hubungan tulang pada vertebra lumbal. Sinar X
multipel diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang
sedang diperiksa, menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur, dislokasi), kesejajaran, dan reduksi setelah dilakukan
traksi atau operasi (Brunner dan Suddarth, 2001).
3. Computed Tomography (CT Scan)

22
Pencitraan ini menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang
terkena (lumbal) dan dapat memperlihatkan cedera ligamen atau
tendon. Teknik ini dapat mengidentifikasai lokasi dan panjangnya
patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi. Pemindaian CT selalu
dilakukan pertama tanpa zat kontras, namun jika dengan zat
kontras, maka akan diinjeksi melalui intravena (Brunner dan
Suddarth, 2001).
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang
menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan komputer
untuk memperlihatakan abnormalitas jaringan lunak seperti otot,
tendon, dan tulang rawan. MRI mempunyai potensial untuk
mengidentifikasi keadaan abnormal serebral dengan mudah dan
lebih jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan
informasi tentang perubahan kimia dalam sel, namun tidak
menyebabkan radiasi sel (Brunner dan Suddarth, 2001).
5. Mielografi
Mielografi merupakan penyuntikan bahan kontras ke dalam
rongga subarachnoid spinalis lumbal. Mielogram menggambarkan
ruang subarachnoid spinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medula spinalis atau sakus dural spinal yang
disebabkan oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi
lain. Zat kontras dapat menggunakan larutan air atau yang
mengandung minyak. Metrizamid adalah zat kontras yang larut
air, diabsorbsi oleh tubuh, serta diekskresi melalui ginjal (Brunner
dan Suddarth, 2001).
2.2.6 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis
lumbal agar tidak berlanjut dan untuk mengobservasi gejala
penurunan neurologik. Penatalaksanaan farmakoterapi dapat
dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya
metilprednisolon karena dapat memperbaiki prognosis dan

23
mengurangi kecacatan bila diberikan dalam delapan jam pertama
cedera. Dosis pemberian diikuti dengan infus kontinu yang dikaitkan
dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien dengan cedera medula
spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam mengobati binatang dengan
cedera medula spinalis lumbal, mempunyai efek samping minimal dan
dapat meningkatkan perbaikan neurologik pada manusia. Terapi
farmakologik yang masih dalam penyelidikan adalah pengobatan
dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk menurunkan edema), dan
dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan
memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi
(Brunner dan Suddarth, 2001).
Berdasarkan ATLS (Advance Trauma Life Support), manajemen
umum pada pasien dengan trauma medulla spinalis meliputi
imobilisasi, cairan intravena, obat-obatan, dan rujukan dilakukan saat
kondisi pasien sudah stabil.
a. Imobilisasi
Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus
diimobilisasi sampai di atas dan dibawah daerah yang dicurigai
sampai adanya fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
radiologi. Tanda curiga trauma spinal diantaranya karena tabrakan
kecepatan tinggi, pasien tidak sadar, multi trauma, gangguan
neurologis, dan nyeri pada tulang belakang. Trauma medula
spinalis juga dapat menyebabkan syok spinal yang mempunyai
tanda klinis hipotensi, bradikardi, keletihan, arefleksia. Harus
diingat bahwa proteksi spinal harus dipertahankan sampai cedera
cervical dapat disingkirkan. Imobilisasi yang baik dicapai dengan
meletakkan pasien dalam posisi netral-supine tanpa memutar atau
menekuk kolumna vetebralis. Jangan dilakukan usaha/tindakan
untuk mengurangi deformitas. Anak-anak mungkin mengalami
tortikolis, sedangkan orang yang lebih tua mungkin menderita
penyakit degenerasi spinal berat yang mengakibatkan mereka
mengalami kifosis nontraumatik atau deformitas angulasi spinal.

24
Pasien seperti ini diimobilisasi pada backboard pada posisi yang
tepat. Padding tambahan juga diperlukan. Usaha untuk meluruskan
spinal guna immobilisasi di atas backboard tidak dianjurkan bila
menimbulkan nyeri.
Immbolisasi leher dengan semirigid collar tidak menjamin
stabilisasi komplit tulang cervical. Imobilisasi dengan
menggunakan spine board dengan bantal ganjalan yang tepat lebih
efektif dalam membatasi pergerakan leher. Cedera tulang cervical
memerlukan immobilisasi yang terus menerus dengan
menggunakan cervical collar, immoblisasi kepala, backboard, dan
pengikat sebelum dan selama pasien dirujuk ke tempat perawatan
definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindari karena geraka
seperti ini berbahaya bagi medulla spinalis. Jalan nafas adalah hal
yang penting pada pasien dengan cedera medulla spinalis dan
intubasi segera harus dilakukan bila terjadi gangguan respirasi.
Selama melakukan intubasi, leher harus dipertahankan dalam
posisi netral.
Perhatian khusus dalam mempertahankan imbolisasi yang
adekuat diberikan pada pasien yang gelisah, agitatif, atau
memberontak. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri, kesadaran
menurun akibat hipoksia atau hipotensi, penggunaan alkohol atau
obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Dokter harus mencari
dan memperbaiki penyebab bila mungkin. Jika diperlukan dapat
diberikan sedatif atau obat paralitik, dengan tetap diingat
mengenai proteksi jalan nafas yang kuat, kontrol, dan ventilasi.
Penggunaan sedasi atau obat paraitik dalam keadaan ini
memerlukan ketepatan dalam keputusan klinis, keahlian dan
pengalaman. Saat pasien tiba di ruang gawat daruratm harus
diusahakan agar pasien bisa dilepaskan dari spine board yang
keras untuk mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus.
Pelepasan alas keras sering dilakukan sebagai bagian dari
secondary survey saat dilakukan log roll untuk inspeksi dan

25
palpasi tubuh bagian belakang. Jangan sampai hal ini ditunda
hanya untuk pemeriksaan radiologis, apalagi bila pemeriksaan
radiologis tidak bisa dilakukan dalam beberapa jam.
Gerakan yang aman atau log roll, pad apasien dengan tulang
belakang yang tidak stabil memerlukan perencana dan bantuan 4
orang atau lebih, tergantung ukuran pasien. Kesegarisan anatomis
netral dari seluruh tulang belakang harus dijaga pada saat memutar
atau mengangkat pasien. Satu orang ditugaskan untuk menjaga
kesegarisan leher dan kepala. Yang lain berada di sisi yang sama
dari pasien, secara manual mencegahh rotasi, fleksi, ekstensi,
tekukan lateral, atau tertekuknya thorax atau abdomen secara
manual selama transfer pasien. Otang keempat bertanggung jawab
menggerakkan tungkai dan memindahkan spine board dan
memeriksa punggung pasien.

Gambar Log Roll


b. Cairan Intravena
Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan
intravena diberikan seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika
tidak ada atau tidak dicurigai adanya perdarahan aktif, adanya
hipotensi setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih menimbulkan
kecurigaan adanya syok neurogenik. Pasien dengan syok
hipovolemik biasanya mengalami takikardia sementara pasien
dengan syok neurogenik secara klasik akan mengalami
bardikardia. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah
pemberian cairan, maka pemberian vasopressor secara hati-hati

26
diindikasikan. Fenielfrin HCL, dopaminm atau norepinefrin
direkomendasikan.
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema
paru pada pasien dengan syok neurogenik. Bila status cairan tidak
jelas maka pemasangan monitor invasif bisa menolong. Kateter
urine dipasang untuk memonitor pengeluaran urine dan mencegah
distensi kandung kemih.
Apabila pasien mengalami luka multipel harus mendapat
perhatian khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok
lainnya, seperti syok hipovolemik.
Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang
dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau
Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500
cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah,
akral, turgor kulit, dan output untuk menilai respon terhadap
terapi. Bila tekanan darah dan perfusi tidak segera pulih, berikan
obat-obatan vasoaktif.
a) Jumlah Perdarahan dan Penanganannya
Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang,
biasanya digunakan patokan berat badan. Walau dapat
bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7%
dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg,
mempunyai volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila
penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan
berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila
kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya
mungkin jauh di atas volume sebenarnya. Volume darah anak-
anak dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg)
(Steven, 2004).
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume)
penderita, 65 – 70 ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10%
EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30%

27
EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat.
Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang
untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi
tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada
kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 – 4 x
volume yang hilang (Wirjoatmodjo, 2000).
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan
kriteria Traumatic Status dari Giesecke. Dalam waktu 30
sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer Laktat akan
meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai
terjadi keseimbangan baru antara Volume
Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial Fluid (ISF).
Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak
berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi
jika semula organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam
kemudian akan terjadi diuresis spontan. Jika keadaan
terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan
furosemid setelah transfusi diberikan (Wirjoatmodjo, 2000).
Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal,
kehilangan darah sebanyak 10-15% volume darah, karena
tidak memberatkan kompensasi badan, maka cukup diberi
cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu
transfusi darah karena ada gangguan pengangkutan oksigen.
Sedangkan untuk orang dewasa dengan kadar hemoglobin
normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah
sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan
kristaloid untuk mengisi ruang intravaskular diberikan
sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan
koloid diberikan dengan jumlah sama (Latief, 2002).
Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat
perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas
pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya

28
menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid
atau kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:
1) Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%.
Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb < 10
gr/dL.
2) Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah

Tabel. Traumatic status dari Giesecke


Tanda TS I TS II TS III
Sesak nafas - Ringan ++
Tekanan darah Normal Turun Tidak teratur
Nadi Cepat Sangat cepat Tidak teraba
Urin Normal Oliguria Anuria
Kesadaran Normal Disorientasi ↓ / Koma
Gas darah Normal pO2 ↓ / pCO2 ↓ pO2 ↓ / pCO2 ↓
CVP Normal Rendah Sangat rendah
Blood loss % Sampai Sampai 30% Lebih 50%
EBV 10%

Tabel. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah Sampai 750 - 1500 - >2000
(ml) 750 1500 2000
Kehilangan darah Sampai 15% - 30% - >40%
(% volume darah) 15% 30% 40%
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal / ↓ ↓ ↓

Frekuensi 14-20 20 -30 30-40 >35
pernapasan
Produksi urin >30 20-30 5-15 <5

29
(ml/jam)
CNS/Status mental Sedikit Agak Cemas, Bingung,
Cemas Cemas Bingung Lesu
Penggantian cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid
(hukum 3:1) dan darah dan darah

c. Medikasi
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris.
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki
peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla spinalis komplet
yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula
spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih
baik. Apabila fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka
kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan
untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan
oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun
demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula
spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum
digunakan sebagai standar terapi.
Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan
bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya
terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3
sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera
medula spinalis traumatika. Tindakan rehabilitasi medik
merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula
spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada
pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi
adalah untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan

30
kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otototot yang
ada.
Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya
mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi
okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan
memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan
kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living
(ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal
mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan
harapan pasien.
Bila tekanan darah dan perfusi tidak segera pulih, berikan
obat-obatan vasoaktif (adrenergik, agonis alfa yang indikasi kontra
bila ada perdarahan seperti ruptur lien):
a. Dopamin: obat pilihan pertama. Pada dosis > 10
mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang
terjadi takikardi.
b. Norepinefrin: efektif jika dopamin tidak adekuat dalam
menaikkan tekanan darah. Efek vasokonstriksi perifer sama
kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung. Sebelum
pemberian obat ini harus siperhatikan dulu bahwa pasien tidak
mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak bolehdiberikan pada
pasien syok neurogenik.
c. Dobutamin: berguna jika tekanan darah rendah yang
diakibatkan oleh menurunnya cardiac output.

Sedangkan penatalaksanaan trauma medula spinal menurut


Hanafiah (2007) sebagai berikut.
1) Imobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan. Immobilisasi leher dan dan stabilkan dalam

31
posisi anatomis dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar
leher tidak terputar (rotation). Baringkan pasien dalam posisi
terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras.
2) Stabilisasi medis
Terutama pada pasien tetraparesis/tetraplegia:
a. Periksa vital signs
b. Pasang nasogastric tube
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan vital signs
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi
jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin,
bila perlu monitor BGA (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock. Pemberian megadose methyl prednisolone
sodium succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan
dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3) Mempertahankan posisi normal vertebrae
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan
cruthfield tong atau gardner- wells tong dengan beban 2.5 kg
perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban
yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi
reduksi.
4) Dekompresi dan stabilisasi spinal
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila
realignment dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan
open reduction dan stabilisasi dengan approach anterior atau
posterior.
5) Rehabilitasi
Program rehabilitasi diantaranya bladder training, bowel
training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi –
fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis / paraplegia.
2.2.7 Komplikasi

32
Menurut Bhimji (2014) komplikasi dari trauma medula spinalis
yaitu:
1. Perubahan tekanan darah yang ekstrim (autonomic hyperreflexia)
2. Chronic kidney disease
3. Komplikasi dari immobilisasi: Deep vein thrombosis, Lung
infections,Skin breakdown, Muscle contractures
4. Increased risk of injury to numb areas of the body
5. Peningkatan risiko urinary tract infections
6. Kehilangan control bladder
7. Kehilangan control bowel
8. Nyeri
9. Paralysis
10. Shock

Sedangkan komplikasi lainnya yaitu:


a) Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi
perdarahan-perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan,
sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan
disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan
menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara
drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat
sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.
b) Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks.
Pada cedera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan
refleks setinggi dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya
semua refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang
mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua
cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik
serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera.
Syok spnal biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontrol

33
sensorik dan motorik akan tetap permanen apabila korda terputus
akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah.
c) Syok spinal
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-
refleks dari dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera.
Refleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol
postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan
pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya
secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah
neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan
fungsi refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12
hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat
tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta
refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum.
d) Hiperrefleksia otonom
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf
simpatis secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan
darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah
hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan
kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan
pengaktifan sistem saraf simpatis. Dengan diaktifkannya sistem
simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan
penngkatan tekanan darah sistem
2.2.8 Algoritma Trauma Medula Spinalis
1. Lakukan pengkajian terhadap faktor risiko adanya spinal cord
injury, yaitu:
a. Terdapat luka tusuk dan tembak
b. Terdapat luka terbuka/ langsung pada wajah, leher, atau
punggung (misal karena kecelakaan)
c. Kecelakaan saat menyelam
d. Sengatan listrik
e. Putaran yang ekstrim pada tulang belakang

34
f. Cedera olahraga (mendarat di kepala)
g. pukulan yang kuat dan besar pada kepala atau dada
(kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian)
2. Jika tidak: mulailah untuk memberi pendidikan kesehatan
a. Anjurkan untuk melakukan tindakan safety precautions:
memakai helm, seatbelts, menghindari prilaku berisiko.
b. Mencegah faktor risiko: mengindari mabuk saat
mengemudi, penyalagunaan alkohol dan obat-obatan
terlarang, bahaya industri, berenang dikolam dangkal atau
sedikit air tanpa diketahui, berada ditempat tak berpagar.
c. Jika iya: kaji adanya
d. Posisi kepala yang tidak seperti biasa (abnormal)
e. Mati rasa atau kesemutan yang menjalar ke bawah lengan
atau kaki
f. Kelemahan
g. Kesulitan berjalan
h. Paralisis lengan atau kaki
i. Tidak ada kontrol bladder dan bowel
j. Syok: pucat, kulit lembab, dimgin, bibir dan kuku kebiruan,
bertindak kebingungan, atau setengah sadar
k. Tidak sadar
l. Kaku leher, sakit kepala, sakit leher
3. Diagnosa ditegakkan, bahwa terdapat spinal cord injury. Buat
perencanaan tindakan mengenai perkembangan dan persyaratan
untuk rehabilitasi; diskusikan mengenai prosedur diagnostik,
pemeriksaan radiologis. Pantau adanya tanda gejala dari
komplikasi: autonomic disreflexia, neurogenic syok. Diskusikan
menganai medikasi: steroid, atropine, vasopressor. Pastikan
untuk membuat strategi untuk mencegah terjadinya komplikasi
akibat immobilisasi
4. Lalu kaji apakah pasien berpotensi unstable. Jika iya,
buat rencana perawatan mengenai potensial komplikasi:

35
nurogenik syok. Autonomic disreflexia, spinal syok; rencana
perawatan untuk hipoventilasi, pneumonia, sepsis, fraktur,
neurogenic bladder, konstipasi, ileus pain, disuse syndrome.

36
Gambar algoritma trauma medulla spinalis:

Assess Patient Epidemiology for Non-Traumatic Spinal Injury


All Patients’ → Consider Potts disease
HIV Infected → Consider infectious etiologies
<50 years → Potts Disease, Transverse myelitis, Primary
tumors
>50 years → Degenerative disease or neoplasms

Spinal X
Ray

Non-bone compressive lesion Compressive bone lesion

MRI preferred
if available
Negative for potts disease Potts disease

Spinal
Extradural Intradural/ Negative
CT

Degenerative Bone Suspected Bone


Disease (6%) Neoplasma

Surgical Evaluation  Prostate specific antigen


(PSA) in men
 Hep B Surface Antigen
 Alpha fotoprotein
 Refer for surgical biopsy

Serum B12 Levels, Serum Lumbar puncture


VDRI, Serum HTLV,
Urine/stool schistosomiasis

Inflammatory Non-Inflammatory: Nutritional,


Vascular, Malignancy, 37
Degenerative
Spinal Cord Injury Algorithm

Review definition and pathofisiology

Assess for the presence of risk factors


Luka tusuk
Direct trauma to the face, neck, head, or back (e.o., car accidents)
Diving accident
Electric shock
Extreme twisting of the trunk
Sports injury (landing on head)
Major blow to the head or chest, car accident, fall from a great height

Yes No
Are Risk Factors Present ?

Assess for s/s: Initiate client education for health seeking


Head held in unusual position behaviors to identify:
Numbness or tingling that radiates Encourage safety precautions:
down an arm or leg Helmets, seatbelts, avoidance of risk
weakness taking behaviors
difficulty walking Prevent risk factors
Paralysis of armsor legs Many patients experience SCI as a
No bladder or bowel control result of incidents involving drunk
Shock (pale, clammy skin, acting driving, assaults, and alcohol or drug
dazed or semi-conscious) abuse
Unconscious Industrial hazards, such as equipment
Stiff neck, headache, or neck pain failures or inadequate safety
precautions, are potentially
preventable causes
Shallow, or empty swimming pools
Are positive are known hazzards
findings present?

Newly diagnosed?

Potentially Initiate the plan of care for a Risk for


unstable? Ineffective Therapeutic Regimen Management
Review course and progression and
requirements for rehabilitation
Discuss diagnostic procedures;
Plan care for the client at risk for PC: radiological testing
Neurogenic shock, PC: autonomic Review s/s of complications; autonomic
dysreflexia, PC: spinal shock dysreflexia, neurogenic shock, spinal
shock
See plan of care for hypoventilation, Discuss medications; steroids, atropine,
pneumonia, sepsis, DVT/PE, fracture, vasopressors
neurogenic bladder, constipation vs. Ileus, Reinforce strategies to prevent
pain complications of immobility
Follow plan of care for disuse syndrome

Gambar Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S. National Library of


Medicine, National Institute of Health.

38
2.3 Spinal Shock
2.3.1 Definisi Spinal Shock
Spinal Shock (syok spinal) merupakan kehilangan aktifitas otonom,
refleks, motorik, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya
cedera medula spinalis. Syok Spinal terjadi sekunder akibat kerusakan
pada medula spinalis (Kowalak, 2011).
Syok adalah gangguan hemodinamik dan metabolik akibat
ketidakadekuatan aliran darah dan pengiriman oksigen pada pembuluh
darah kapiler dan jaringan tubuh. (Tambayong, 2000). Syok spinal
adalah syok dari cedera tulang belakang yang mengakibatkan paralisis
flaksid dan refleks pada bagian bawah lesi medulla yang terkena.
(Endrit et al, 2018).
2.3.2 Etiologi Shock Spinal
Spinal syok diakibatkan oleh cedera medulla spinalis, sehingga
pembuluh darah perifer mengalami vasodilatasi.
Kejadian cedera tulang belakang di dunia bervariasi seperti di
negara Inggris didapatkan 50% akibat kecelakaan lalu lintas; 40%
kecelakaan domestik (seperti jatuh tangga); dan 10% kecelakaan
olahraga, sedangkan di Amerika Serikat cedera tulang belakang akibat
trauma benda tajam dan tumpul, dan di negara berkembang cedera
akibat jatuh dari pohon dan sumur. (Lee & Thumbikat, 2015).
2.3.3 Manifestasi Klinis Shock Spinal
Berikut tanda dan gejala syok spinal berdasarkan fase: (Hamidi,
2016)
Fase Waktu Tanda dan Gejala
I 0-24 jam  Deep Tendon Reflex:
1. Refleks patella menghilang
2. Refleks achilles menghilang
 Muncul refleks kutaneus/polisinaps
(bulbocavernosus) dan reflesk cremaster
 Bradiartmia
 Hipotensi b.d lesi cervical

39
 Paralisis flacid
II 1-3 hari  Muncul refleks bulbocavernosus semakin kuat
 Babinski sign
 Deep Tendon Reflex:
1. Refleks patella menghilang
2. Refleks achilles menghilang
III 4 sampai  Retensi urin
1 bulan  Refleks achilles mendahului refleks patella.
 Babinski sign muncul setelah refleks patella
IV 1 tahun  Hiperaktif refleks bulbocavernosus, Deep
Tendon Reflex, dan Babinski sign
 Hipotensi ortostatik b.d pasien tetraplegia saat
berdiri
 Hipertensi maligna

Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dengan Frankel


Score (Hanafiah, 2007; Maja, 2013)
1. Frankel score A : kehilangan seluruh fungsi motorik dan sensorik
2. Frankel score B : kehilangan fungsi motorik
3. Frankel score C : minimalnya fungsi motorik (tungkai dapat
bergerak, tetapi tidak dapat berjalan)
4. Frankel score D : fungsi motorik terganggu (tidak dapat berjalan
dengan normal “gait”)
5. Frankel score E : tidak terdapat gangguan neurologik.
Tabel Frankel Score
Tingkat Tipe Gangguan medulla spinalis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik
sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik
terganggu sampai segmen sacral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level
tapi otot-otot motorik utama masih
mempunyai kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level,
kekuatan otot-otot motorik utama >3

40
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

2.3.4 Patofisiologi Shock Spinal


Cedera medulla spinalis menjadi penyebab umum syok spinal.
Namun, mekanisme syok spinal belum dapat dijelaskan secara pasti.
Syok spinal termasuk bagian dari syok distributif. (Hamidi, 2016)
Tabel Fase-fase terjadi syok spinal:
Phase 1, (0-1 day) Phase 2, (1-3 day) Phase 3, (1-4 Phase 4, (1-12
areflexia/hyporeflexia initial reflex return weeks), initial months), final
hyper-reflexia hyperreflexia
Loss of descending Denervation Axon- Soma-supported
facilitation supersensitivity supported synapse growth
synapse growth

Syok spinal terjadi empat fase, yaitu:


1. Fase arefleksia/hiporefleksia. Fase ini terjadi 0-1 hari, ditandai
dengan hilangnya semua refleks dibawah lesi akibat fungsi
neuron sebagai lengkung refleks mengalami hiperpolarisasi dan
tidak resposnsif input neural dari otak.
2. Fase refleks inisial. Fase ini terjadi 1-3 hari dengan kembalinya
refleks bubllbocavernosus akibat hipersensitivitas otot yang
distimulasi oleh neurotransmitter.
3. Fase hiperrefleks awal. Fase ini terjadi hari ke 4 sampai 1 bulan
dengan munculnya hiperrefleksia akibat terbentuknya sinaps baru
pada neuron dibawah lesi.
4. Fase spastisitas. Fase ini terjadi 1 tahun. Proses fase 3 dan 4
mengalami proses regenesasi sinaps yang sama.

41
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang Shock Spinal
1. Laboratorium : Darah perifer lengkap, Urine lengkap Gula darah
sewaktu Ureum dan kreatinin Analisa gas darah
2. Radiologi : Foto vertebra posisi AP/Lat/Odontoid dengan sesuai
letak lesi 11, CT scan / MRI jika dengan foto konvensional masih
meragukan atau bila akan dilakukan tindakan operasi
3. Pemeriksaan EKG bila terdapat aritmia jantung
2.3.6 Penatalaksanaan
Penanganan trauma kapitis dan trauma spinal di Indonesia
mengacu padan Konsensus Nasioanl PERDOSSI, 2006 yaitu:(Brook &
Martin, 2012; Hamidi, 2016)
a. Pre hospital. Tahap ini sebagai stabilisasi manual dengan
membatasi fleksi dan gerakan-gerakan lain dan imobilitas vertebra
dengan neck kolar dan vertebral brace.
b. Instalasi Gawat Darurat/IGD.
1. Airway : menjaga kepatenan jalan napas
2. Breathing : mengatasi ganggua pernafasan, bila perlu dilakukan
intubasi endotracheal dan oksigenasi.
3. Circulation : cek akral, tekanan darah sistolik, dan nadi;
resusitasi dan pasang IV line, foley catheter, nasogastrik.
c. Rawat Inap.
1. Mengecek dan periksa ABC
2. Pemeriksaan SSEP atau neurofisiologi
3. Berkolaborasi pemberian medikametosa:
1.) Methylprednisolone
2.) Antispastisitas otot
3.) Analgesik
4.) Antikoagulan
5.) Anti oksidan (vitamin C dan E)
6.) Antibiotik
4. Pemasangan stoking kaki untuk fisioterapi sebagai pencegahan
thrombosis.

42
5. Pemberian GMI-Ganglioside untuk menyimulasi sel saraf
dalam 3 hari sejak onset sampai 18-32 hari.
6. Pembedahan bila terindikasi fraktur yang menekan medulla
spinalis, gambaran neurologis memburuk, dislokasi, herniasi
diskus invertebralis yang menekan medulla spinalis.
d. Rehabilitasi.
1. Fisioterapi
2. Terapi okupasi
3. Latihan miksi dan defekasi rutin
4. Terapi psikologis
2.3.7 Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada kasus spinal shock, yaitu:(Yahudi,
2012)
1. Skin breakdown akibat penekanan atau posisi statis, gangguan
sensori dan gangguan vaskularisasi.
2. Osteoporosis akibat penurunan aktivitas oto dan penumpuan berat
badan.
3. Pneumonia.
4. Heteropic ossification adalah kekuan sendi besar seperti hip and
knee.
5. Spasticity.
6. Dyreflexia adalah terputusnya otonom yang mengantur tekanan
darah dan fungsi jantung akibat hipertensi. Komplikasi ini terjadi
pada cedera medulla spinalis di atas T6 dan T7.
7. Deep vein thrombosis atau emboli paru
8. Cardiovascular disease
9. Syringomyle adalah pembesaran canalis centralis dari medulla
spinalis pasca trauma.
10. Respiratory dysfuction and infection.
11. Neuropaic/spinal cord pain adalah kerusakan tulang vertebra,
medulla spinalis, saraf perifer, dan jaringan disekitarnya.
12. Phantom limb pain.

43
2.3.8 Algoritma Shock Spinal

Fraktur tulang leher: Bertemu korban


1. Pasang colar spine.
2. Baringkan dengan
dipasang ganjal 3 A (Aman
sekeliling leher penolong, aman
korban, aman
Fraktur tulang lingkungan)
punggung:
1. Biarkan penderita
dalam posisi Periksa ABC
berbaring.
2. Pasang bidai “long
spine board” Pertahankan
jalan napas

Jaga
 Dopamine keseimbangan
dosis 2-2,5 henodinamik
mcg/kg/menit
 Noreepinefrin
dosis 0,05-2 Berikan cairan
mcg/kg/menit isotonis (NaCl)
Stabil atau kristaloid Tidak stabil
 Epinefrin
dosis 0,05-2 (Ringer Laktat,
mcg/kg/menit Dextrose )
 Dobutamine
dosis 2,5-10
mcg/kg/menit Evaluasi ROM:
1. C5 baik, bila lengan bisa diangkat setinggi bahu
2. C6 baik, bila lengan dapat di fleksikan dan supinasi
3. C7 baik, bila tangan dan siku dapat di ekstensikan
4. C8 baik, bila tangan bisa flesikan
5. Tangan bisa mengenggam
6. Segmen Th baik, bia otot-otot tangan bisa mengenggam.
7. Th XI-XII & Li terganggu bila lesi motoric tipe sentral dan
perifer bercampur, otonom juga terganggu

44
2.4 WOC Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock
Terlampir

45
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK

3.1 Asuhan Keperawatan Umum Trauma Medula Spinalis


3.1.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Trauma medulla spinalis dapat terjadi pada semua usia dan
jenis kelamin meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia
muda), jenis kelamin (kebanyakan laki-laki karena sering
mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnose
medis
2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan
kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urin dan alvi, nyeri
tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan
deformitas pada daerah trauma
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang
akibat dari kecelakan lalu lintas, cidera olahraga, luka tusuk,
luka tembak. Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya
sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai
hilangnya sensibilitas yang total dan melemah/menghilangnya
reflex alat diam). Ini merupakan gejala awal dari tahap syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu, ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya reflex-
refleks. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang
mengantar klien atau bila klien tidak sadar tentang penggunaan

46
obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang sering terjadi
pada beberapa klien yang suka kebut-kebutan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi riwayat
penyakit degenerative pada tulang belakang seperti
osteoporosis, osteoarthritis, spondylitis, spinal stenosis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang. Penyakit
lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obatan adiktif perlu ditanyakan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji apakah dalam keluarga pasien ada yang menderita
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung untuk menambah
komprehensifnya pengkajian
e. Riwayat psikososial
Kaji adakah dampak yang timbul pada klien seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
3. Pemeriksaan Fisik
a. Primary Survey
1) Cek Kesadaran Klien
(1) Pastikan 3A (Aman diri, Aman lingkungan, Aman
Klien) sebelum memberikan bantuan pertolongan
(2) Kaji kesadaran klien dengan AVPU
a. A (Alert): sadar
b. V (Voice): memberikan reaksi pada suara
c. P (Pain): memberikan reaksi pada rasa sakit
d. U (Unconscious): tidak sadar
2) Airway + Servical spine control
Jika klien dapat berbicara maka jalan napas
kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi

47
jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar,
yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan,
jatuhnya pangkal lidah atau akibat fraktur tulang wajah.
Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (servical spine control) yaitu tidak
boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Teknik yang digunakan dalam
pembesan jalan napas dengan chin lift atau jaw thrust
sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dilakukan suction.
Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat, perlu bantuan napas.
3) Breathing + oksigenasi
Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman
oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi
kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai
secara klinis (Buono, Davis, Barth, 2007). Apabila
pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan
teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif,
teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang
dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat
digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS,
2004). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah
yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal
4) Circulation + perdarahan
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah
trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh karena itu penting
melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik

48
dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran,
warna kulit dan nadi. Perdarahan eksternal harus cepat
dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara
menekan pada sumber perdarahan baik secara manual
maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila
terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua
IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan
pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera
mungkin (ATLS, 2004). Status sirkulasi dapat dinilai
secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna
serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik.
5) Disability + GCS
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi
terhadap keadaan neurologis secara cepat. Hal yang
dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal.
GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang
lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis
(Jumaan, 2008).
6) Exposure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien dengan
membuka pakaian klien. Selanjutnya selimuti penderita
dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup
hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
b. Secondary Survey
1) Pemeriksaan kepala

49
 Periksa kelainan kulit kepala dan bola mata
 Kaji telinga bagian luar dan membrane timpani
 Kaji cedera jaringan lunak periorbital
2) Pemeriksaan leher
 Kaji luka tembus leher
 Kaji emfisema subkutan
 Kaji deviasi trakea
 Kaji JVP pada leher
3) Pemeriksaan Neurologis
 Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale
(GCS)
 Penilaian fungsi medulla spinalis dengan aktivitas
motoric
 Penilaian rasa raba/sensasi dan refleks
4) Pemeriksaan dada
 Kaji clavikula dan semua tulang iga
 Kaji suara napas dan jantung
 Pemantauan EKG (bila tersedia)
5) Pemeriksaan abdomen
 Kaji luka tembus abdomen apakah memerlukan
eksplorasi bedah
 Pasang pipa nasogastric pada pasien trauma tumpul
abdomen kecuali jika ada trauma wajah
 Periksa colok dubur
 Pasang kateter jika tidak ada darah di meatus eksterna
6) Pemeriksaan pelvis dan ekstremitas
 Cari adanya fraktur (pada kecurigaan fraktur pelvis
jangan melakukan tes gerakan apapun karena
memperberat perdarahan)
 Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
 Cari luka, memar dan cedera lain

50
7) Pemeriksaan Sinar X (bila memungkinkan)
 Pemeriksaan sinar x pada dada dan tulang leher
(semua 7 ruas tulang leher), pelvis dan tulang panjang,
dan tulang kepla untuk melihat adanya fraktur bila
trauma kepala tidak disertai defisit neurologis fokal
3.1.2 Diagnosis Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d cedera pada medula spinalis
2. Nyeri akut b.d agens cedera fisik
3. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas
3.1.3 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
1. Ketidakefektifan Status Pernafasan: Monitor Pernafasan (3350)
pola napas b.d Ventilasi (0403) 1. Monitor kecepatan, irama,
cedera pada 1. Frekuensi pernafasan kedalaman, dan kesulitan
medulla spinalis normal bernafas
2. Irama Pernafasan 2. Catat pergerakan dada, catat
normal ketidaksimetrisan,
3. Kedalaman inspirasi penggunaan otot-otot bantu
4. Suara perkusi nafas nafas, dan retraksi pada otot
normal supraclaviculas dan
5. Tidak ada interkosta
penggunaan otot 3. Monitor suara nafas
bantu nafas tambahan seperti ngorok
6. Tidak ada suara nafas atau mengi
tambahan 4. Monitor pola nafas
7. Tidak ada gangguan (misalnya., bradipneu,
suara saat auskultasi takipneu, hiperventilasi,
pernafasan kusmaul,
pernafasan 1:1, apneustik,
respirasi biot, dan pola
ataxic)

51
5. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
6. Monitor kelelahan otot-otot
diafragma dengan gerakan
parasoksikal
7. Auskultasi suara nafas, catat
area dimana terjadi
penurunan atau tidak adanya
ventilasi dan keberadaan
suara nafas tambahan
8. Kaji perlunya penyedotan
pada jalan nafas dengan
auskultasi suara nafas ronki
di paru
9. Auskultasi suara nafas
setelah tindakan, untuk
dicatat
2. Nyeri akut b.d Tingkat Nyeri (2102) Manajemen Nyeri (1400)
agens cedera 1. Tidak ada nyeri yang 1. Kurangi atau eliminasi
fisik dilaporkan faktor-faktor yang
2. Tidak ada menggosok mencetuskan atau
area yang terkena meningkatkan nyeri
dampak (misalnya., ketakutan,
3. Tidak mengerang dan kelelahan, dan kurang
menangis pengetahuan)
4. Tidak ada ekspresi 2. Pilih dan
nyeri wajah implementasikan tindakan
yang beragam (misalnya.,
farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan

52
nyeri, sesuai kebutuhan
3. Dorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyeri dengan
tepat
4. Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
3. Penurunan curah Status Jantung Paru Pengaturan Hemodinamik
jantung b.d
1. Tekanan darah sistol 1. Kaji hemodinamik
perubahan
kontraktilitas normal komprehensif
2. Tekanan darah 2. Kaji status cairan
diastol 3. Kaji CRT
3. Saturasi oksigen 4. Monitoring TTV secara
normal berkala
4. Tidak ada sianosis 5. Periksa adanya edema
perifer atau pitting edema
6. Monitoring tanda dan
gejala gangguan perfusi
jaringan dengan mengecek
JVP, kaji status perfusi

53
3.2 Asuhan Keperawatan Umum Spinal Shock
3.2.1 Pengkajian
1. Primary Survey
1) Pemeriksaan respon dengan metode AVPU.
A (Alert) : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V (Verbal) : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara
keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan
dengan menggoyang atau menyentuh klien, jika tidak
merespon lanjut ke P.
P (Pain) : Cobalah beri rangsang nyeri pada klien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di
pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian
tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital).
U (Unresponsive): setelah diberi rangsangan nteri tetapi tidak bereaksi
klien berada dalam keadaan unresponsive.
2) Airway + Servical spine control
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas
kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal
lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Bila ada sumbatan
maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan
jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan
napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila
hembusan napas tidak adekuat perlu bantuan napas.Kaji ada
tidaknya sumbatan pada jalan nafas klien. Nilai airway
sewaktu dengan mempertahankan posisi tulang leher tetap
dalam keadaan in line position.
Lakukan pemeriksaan pula dengan:
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada
asimetris atau tidak, adanya retraksi sela iga, warna

54
mukosa/kulit dan kesadaran, bila diduga terjadi fraktur servical
maka lakukan jaw thrust.
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan, dengar suara nafas
vesikuler atau tidak.
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan
3) Breathing + oksigenasi
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya
dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah
ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki
atau wheezing. Selain itu kaji juga kedalaman nafas klien.
Berikan oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila
diperlukan. Biasanya pada pasien dengan spinal shock
didapatkan sesak nafas bahkan bisa juga gagal napas.
4) Circulation + Pendarahan
Status sirkulasi dinilai secara cepat dengan cara memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi. Kaji ada tidaknya
peningkatan/ penurunan tekanan darah, kelainan detak jantung
misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis
dan capilarrefil. Kaji juga kondisi akral dan nadi klien. Kaji
vena leher dan warna kulit (adanya sianosis), periksa keluaran
urin. Biasanya pada klien dengan spinal shock didapatkan
tekanan darah rendah, bradikardia, vasokontriksi perifer, CRT
> detik.
5) Disability + GCS
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi
dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS. Menilai kesadaran
dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
6) Exposure
Melihat secara kesluruhan keadaan klien. Bila terjadi
penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit. Pada

55
keadaan ini monitor tanda – tanda hipotermia. Cegah adanya
hipotermia agar keadaan klien tidak semakin buruk.
Selalu reevaluasi setelah melakukan pemeriksaan ABCDE.
2. Secondary Survey
1) A: Alergi (adakah alergi pada klien seperti obat-obatan,
plester, makanan)
2) M: Medikasi/ obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti
sedang menjalani pengobatan hipertensi, diabetes, jantung,
dosis atau penyalah gunaan obat).
3) P: Pertinent medical history (riwayat medis klien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya,
penggunaan obat-obatan herbal).
4) L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jamsebelum kejadian, selain itu juga
periode menstruasi termasuk dalam komponen ini).
5) E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).

Tahap selanjutnya yang harus dilakukan dalam secondary survey


adalah:
1) Anamnesa
a. Identitas
Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, pekerjaan, Pendidikan, alamat, status
perkawinan, no RM, tanggal dan tahun lahir.
b. Keluhan utama
Klien mengalami kelemahan alat gerak bahkan
kelumpuhan secara total atau partial setelah terjadi trauma
atau cidera pada spinal cord. Penurunan kesadaran, nyeri
juga bisa menjadi keluhan utama klien.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanyakan pada klien kapan terjadinya spinal syok, apa
yang dirasakan dan apa saja yang sudah dilakukan untuk

56
mengatasi sakitnya, biasanya penyebab terjadinya spinal
shock adalah kecelakaan, trauma, jatuh, dll.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya penyakit degeneratif seperti osteoporosis,
osteoarthritis, dll.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah anggota keluarga yang memiliki penakit yang
sama dengan klien.
f. Riwayat Penggunaan Obat
Kaji obat-obatan yang dikonsumsi klien seperti
penggunaan obat penenang anestesi spinal/lumbal.
g. Pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual
Kaji perasaan dan emosi yang dialami klien mengenai
kondisinya. Kaji juga psikologis klien, stress psikologis
mungkin dalam kondisi berduka atau kehilangan. Kaji
pula spiritual klien, persepsi terhadap kondisi sakitnya
dan pola kebiasaan klien sehari-hari.
3. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (breath): RR klien akan menurun (bradikardia) dan nafas
pendek. BGA tidak normal, saturasi oksigen <90%, sianosis
2) B2 (blood): Tekanan darah akan menurun (hipotensi), tampak
pucat.
3) B3 (brain): Klien kehilangan refleks sensori dan motorik,
mengalami tetraplegia dan atau paraplegia, penurunan
kesadaran, beberapa klien akan mengalami sianosis.
Pengkajian objektif wajah klien terlihat meringis,
4) B4 (bladder): Terjadi gangguan eliminasi urin, distensi
abdomen akibat penumpukan urin, retensi urin.
5) B5 (bowel): terjadi gangguan eliminasi fekal, peristaltik usus
menghilang
6) B6 (bone): klien mengalami kelemahan otot ekstremitas,
terjadi, gangguan mobilitas fisik.

57
4. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X: menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur,
dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi.
2) Scan CT: menentukan tempat luka/ jejas, mengevaluasi
gangguan structural.
3) MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema
dan kompresi.
4) Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika
terdapat oklusi pada subaraknoid medulla spinalis.
5) GDA: menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya
ventilasi.
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Domain 4. Aktivitas/ Istirahat. Kelas 4. Fungsi Respirasi. Respon
Kardiovaskular/ Pulmonal. Ketidakefektifan Pola Napas b.d
Cedera Medula Spinalis (00032).
2. Domain 12. Kenyamanan. Kelas 1. Kenyamanan Fisik. Nyeri Akut
b.d Agen Injuri (00132).
3. Domain 3. Eliminasi dan Pertukaran. Kelas 1. Fungsi Urinarius.
Gangguan eliminasi urin b.d Gangguan sensori motorik (00016).
4. Domain 3. Gangguan Eliminasi dan Pertukaran. Kelas 2. Fungsi
Gastrointestinal. Inkontinesia Defekasi b.d Disfungsi Sfingter
Rektal (00014)
3.2.3 Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan NOC (Kriteria Hasil) NIC (Intervensi)
1. Domain 4. Aktivitas/ Setelah dilakukan Monitor Pernapasan:
Istirahat. Kelas 4. Fungsi asuhan keperawatan 1. Monitor frekuensi, ritme,
Respirasi. Respon selama 3 x 24 jam kedalaman, dan
Kardiovaskular/ diharapkan: penggunaan alat bantu
Pulmonal. 1. RR dalam batas nafas klien. Monitor SaO2.
Ketidakefektifan Pola Normal (16-24 2. Posisikan klien semi
Napas b.d Cedera x/menit). fowler.
Medula Spinalis (00032). 2. Auskultasi suara 3. Auskultasi suara nafas.

58
napas (terdengar 4. Kolaborasi pemberian O2
vesikuler). 5. Observasi adanya tanda-
3. Volume tidal tanda hipoventilasi.
normal Terapi Oksigen
4. Saturasi Oksigen 1. Jaga kepatenan jalan nafas
>95%. 2. Monitor aliran oksigen
5. Tanda sianosis 3. Monitor SaO2.
tidak ada 4. Monitor BGA.
6. Dispnea tidak ada. 5. Monitor adanya kecemasan
oksigenasi
2. Domain 12. Kenyamanan. Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
Kelas 1. Kenyamanan asuhan keperawatan 1. Kaji rasa nyeri secara
Fisik. Nyeri Akut b.d selama 2 x 24 jam komprehensif untuk
Agen Injuri (00132). diharapkan: menentukan lokasi,
1. Pasien mampu karakteristik, onset/durasi,
merespon kontrol frekuensi, kualitas,
nyeri intensitas atau beratnya
2. Pasien mampu nyeri, dan faktor pencetus.
mengenali 2. Observasi tanda-tanda
penyebab nyeri non-verbal dari
3. Pasien mampu ketidaknyamanan,
menjelaskan faktor terutama pada klien yang
penyebab nyeri mengalami kesulitan
4. Pasien mampu berkomunikasi.
menggunakan 3. Tentukan dampak nyeri
catatan untuk terhadap kualitas hidup
memonitor gejala klien (misalnya tidur,
setiap waktu. nafsu makan, aktivitas,
5. Pasien mampu kognitif, suasana hati,
menggunakan hubungan, kinerja kerja,
tindakan dan tanggung jawab
pencegahan peran).

59
6. Pasien mampu 4. Kontrol faktor lingkungan
menggunakan yang mungkin
non-analgesik menyebabkan respon
teknik untuk ketidaknyamanan klien
menghilangkan (misalnya temperature
nyeri. ruangan, pencahayaan,
suara).
5. Pilih dan terapkan berbagai
cara (farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal) untuk
meringankan nyeri.
6. Ajarkan penggunaan obat
anti nyeri
3. Domain 3. Eliminasi dan Setelah dilakukan Urinary Elimination
Management
Pertukaran. Kelas 1. tindakan
1. Monitoring eliminasi urin
Fungsi Urinarius. keperawatan selama 3 x
meliputi frekuensi,
Gangguan eliminasi urin 24 jam diharapkan:
konsistensi, bau, volume,
b.d Gangguan sensori Klien melaporkan pola
dan warna jika diperlukan.
motorik (00016). eliminasi urin normal,
2. Kolaborasikan dengan
dengan indikator:
dokter untuk tindakan
1. Kandung kemih
Urinalisis jika diperlukan
kosong secara
dengan mengumpulkan
penuh.
spesimen urin porsi
2. Tidak ada residu
tengah.
urin >100-200cc.
3. Ajarkan teknik berkemih
3. Intake cairan dalam
yang benar dan kenali
rentang normal.
urgensi berkemih.
4. Bebas dari ISK.
4. Ajarkan klien tentang
5. Tidak ada spasme
tanda dan gejala ISK.
bladder.
5. Instruksikan klien dan
6. Balance cairan
keluarga untuk mencatat

60
seimbang. haluaran urin.
7. Eliminasi urin tidak 6. Catat waktu eliminasi urin
terganggu (bau, terakhir, yang sesuai.
jumlah, warna urin 7. Anjurkan pasien / keluarga
normal, kejernihan untuk merekam output
urin) urin, yang sesuai
8. Masukkan supositoria
uretra, yang sesuai.
9. Rujuk ke dokter jika tanda-
tanda dan gejala infeksi
saluran kemih terjadi.
10. Anjurkan pasien untuk
minum 8 liter perhari
kecuali ada kontraindikasi
4. Domain 3. Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Inkontinensia
Eliminasi dan Pertukaran. tindakan Saluran Cerna
Kelas 2. Fungsi keperawatan selama 3 x 1. Kaji factor fisik atau
Gastrointestinal. 24 jam diharapkan: psikologis penyebab
Inkontinesia Defekasi b.d 1. Pasien mampu inkontinensia fekal.
Disfungsi Sfingter Rektal mengenali 2. Monitor keadekuatan
(00014). keinginan untuk BAB.
defekasi, 3. Diskusikan prosedur dan
2. Mampu kriteria hasil yang
mempertahankan diharpakan bersama
kontrol pasien.
pengeluaran feses. 4. Jadwalkan toileting dengan
3. Persarafan sfingter menggunakan pispot
fungsional. disamping tempat tidur
4. Eliminasi secara sesuai dengan kebutuhan.
mandiri. 5. Sediakan bantalan
inkontinen sesuai dengan
kebutuhan.

61
BAB 5

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Trauma pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,
vertebralis, dan lumbalis akibat dari sutau trauma yang mengenai tulang
belakang. Penyebab trauma medula spinalis meliputi kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain, seperti jatuh dari
pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras.
Tanda dari trauma medulla spinalis adalah nyeri akut pada belakang leher,
yang menyebar sepanjang saraf yang terkena, paraplegia, tingkat neurologic,
paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih (refensi
urine, distensi kandung kemih), dan sebagainya. Diagnosis keperawatan yang
dapat ditemukan pada klien dengan trauma medulla spinalis antara lain
ketidakefektifan pola napas, nyeri akut, dan penurunan curah jantung.
Spinal shock adalah syok dari cedera tulang belakang yang mengakibatkan
paralisis flaksid dan refleks pada bagian bawah lesi medulla yang terkena.
Spinal syok diakibatkan oleh cedera medulla spinalis, sehingga pembuluh
darah perifer mengalami vasodilatasi. Spinal shock terdiri dari 4 fase yang
masing-masing memiliki waktu dan tanda gejala yang berbeda. Selain itu
penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik pada spinal shock adalah
dengan Frankel Score ABCDE. Diagnosis keperawatan yang ditemukan pada
klien dengan spinal shock yaitu pola nafas tidak efektif, nyeri akut, dan
gangguan mobilitas fisik.

62
DAFTAR PUSTAKA

Adams RD, Victor M, Ropper AH. (2001). Disease of Spinal Cord in Principles
of Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York.

Baugman, D. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Brook, G., & Martin, D. (2012). Spinal cord injury and its treatment : current
management and experimental perspectives, (January).
https://doi.org/10.1007/978-3-7091-0676-1

Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
Vol. 3 . Jakarta: EGC.

Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard k., Dochterman, Joannee. 2013. Nursing
Interventoins Classification (NIC) Sixth Edition. USA: Mosby Elseiver
Carpenito

Eliastam, M. (1998). Buku Saku Kedaruratan Medis. Jakarta: EGC.

Hamidi, B. L. (2016). Syok Spinal, 1–16.

Hanafiah, Hafas (2007). Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 4, No. 2. Universitas


Sumatera Utara

Hanafiah, H. (2007). Penatalaksanaan Trauma Spinal, 40(2), 143–146.

Hurlbert RJ. (2000). Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An


Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine).

Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Maja, J. (2013). Diagnosis dan Penatalaksanaan Cedera Servikal Medula


Spinalis. Jurnal Biomedik (JBM), 5, 181–189.

Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

PERDOSSI. (2006). Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma


medula spinalis. Jakarta: Prikarsa Utama.

63
Tortora, Gerard J., Bryan Derrickson. 2013. Essentials of Anatomy and
Physiology International Student Version Ninth Edition. Singapura: Wiley.

Yahudi, L. (2012). PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA POST


FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA SERVIKAL V FRENKEL A DI RSO
PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTA.

64
WOC Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock

Traumatik

Kecelakaan Jatuh Kekerasan Tertimpa Luka Luka


kendaraan Non-traumatik
benda berat tusuk tembak
bermotor

Penyakit Penyakit Penyakit Penyakit Toksik Gangguan


motor infeksius neoplastik vaskuler kongenital
neuron inflamasi

Cedera langsung Cedera tidak langsung

Nyeri akut Fraktur dan iritabilitas vertebra

Cedera medulla spinalis

65
Cedera medulla spinalis

Hilangnya fungsi Perubahan Spasme Spinal Automatic Gangguan


tergantung tingkat reflek otot shock dysreflexia fungsi
dan lokasi kerusakan seksual

Tidak mampu
melakukan Impotensi Kesulitan
pergerakan otot ejakulasi
Gangguan
Disrefleksia
reflek
otonom
Gangguan autonom
mobilitas fisik Disfungsi seksual

Terganggu Terganggu Bradikardi Hipertensi Distensi


Terganggu
nya reflek nya reflek proksimal bladder
nya reflek
bladder visceral ejakulasi

66
Terganggu Terganggu
nya reflek nya reflek
bladder visceral

Tidak ada control usus dan


kandung kemih

Inkontinensia urin dan fekal

Defisit Gangguan Inkontinensia Inkontinensia


perawatan pola tidur fekal urin overflow
diri

67
Hilangnya fungsi tergantung tingkat dan lokasi kerusakan

Servikal Thorakal Lumbosakral

C1-C4 C5 C6 C7 C8

Kuadriplegia: Semua Hilangnya Hilangnya fungsi Tidak ada Kuadriplegia: Refleks Hilangnya sensasi Saraf Tidak
Hilangnya refleks semua fungsi pernapasan volunter kendali Hilangnya tendon di bawah klavikula frenik ada
semua fungsi tendon sensorik pada (interkostal) dan usus atau semua fungsi profunda dan sebagaan besar utuh, kontrol
motorik dari profunda leher ke involunter (frenik); kandung di bawah C5 dan bagian lengan, tetapi otot usus atau
leher ke hilang bawah (C4 dukungan ventilasi kemih bahu atas C6 tangan, dada, interkostal kandung
bawah mempersarafi dan trakeostomi hilang abdomen dan tidak utuh kemih
klavikula) dibutuhkan ekstrimitas bawah.

Hilangnya control
napas volunter dan
involunter
Harga diri Gangguan Bedrest Gangguan Risiko
Inkontinensia urin dan fekal
rendah mobilitas lama interaksi jatuh
situasional fisik sosial Membutuhkan
dukungan ventilasi Gangguan pola napas
dan trakeostomi
Risiko gangguan Defisit Gangguan Inkontinensia Inkontinensia
integritas kulit perawatan pola tidur fekal urin
68overflow
Gangguan diri
Risiko cedera
ventilasi spontan
C6 C7 C8

Kuadriplegia: Refleks Hilangnya Saraf Tidak Kuadriplegia: Refleks Hilangnya Tidak ada
Hilangnya semua tendon semua aspek frenik ada hilangnya tendon sensasi di fungsi usus
fungsi di bawah profunda C5 pada lesi C5 utuh, kontrol kontrol profunda bawah atau kandung
bahu dan lengan dan C6 tetapi sensasi tetapi otot usus atau motorik pada C7 dan C8 klavikula dan kemih
atas; penurunan brakioradialis lengan dan interkostal kandung bagian lengan trisep bagian
kontrol siku, lengan menghilang ibu jari lebih tidak utuh kemih dan tangan menghilang lengan serta
bawah, dan tangan terasa tangan

Hilangnya semua atau sebagian


fungsi anggota gerak atas dan bawah
Tidak ada control usus dan
Hilangnya control Risiko
kandung kemih
napas volunter dan cedera
involunter
Harga diri Gangguan Bedrest Gangguan Risiko
rendah mobilitas lama interaksi jatuh Inkontinensia urin dan fekal
situasional fisik sosial Membutuhkan
dukungan ventilasi
dan trakeostomi
Risiko gangguan
Defisit Gangguan Inkontinensia Inkontinensia
integritas kulit
perawatan pola tidur fekal urin overflow
diri
Gangguan Gangguan pola
69
ventilasi spontan napas
Hilangnya fungsi tergantung tingkat dan lokasi kerusakan

Servikal Thorakal Lumbosakral

C8
T1-T6 T6-T12

Kuadriplegia Hilangnya Saraf frenik Tidak ada


: hilangnya sensasi di utuh, tetapi fungsi Paraplegia: Hilangnya Saraf frenik Defekasi
kontrol bawah dada otot usus atau hilangnya setiap sensasi di berfungsi atau
motorik pada dan bagain interkostal kandung sensasi di bawah bawah area mandiri. berkemih
lengan dan tangan tidak utuh kemih area dada, dada beberapa tidak
tangan termasuk otot di tengah gangguan otot berfungsi
batang tubuh intercostal

Hilangnya semua atau sebagian Hilangnya control


fungsi anggota gerak atas dan bawah napas volunter dan
involunter Tidak ada control usus dan
kandung kemih

Membutuhkan
Harga diri Gangguan Bedrest Gangguan Risiko
dukungan ventilasi
rendah mobilitas lama interaksi jatuh Inkontinensia urin dan fekal
dan trakeostomi
situasional fisik sosial

Risiko gangguan
Defisit Gangguan Inkontinensia 70Inkontinensia
integritas kulit
Gangguan Gangguan pola perawatan pola tidur fekal urin overflow
ventilasi spontan napas diri
Thorakal Lumbosakral

T6-T12
L1-L3 L3-S5

Paraplegia: Hilangnya Fungsi Kontrol Paraplegia: Refleks Hilangnya Fungsi Kontrol


kehilangan setiap pernapasan defekasi atau hilangnya tendon sensasi pernapasan defekasi atau
kontrol sensasi di tidak berkemih sebagian profunda abdomen tidak berkemih
motorik di bawah terganggu tidak besar kontrol L2-L4 bawah dan terganggu tidak ada
bawah pinggang berfungsi tungkai dan (sentakan tungkai
pinggang pelvis lutut)
menghilang

Hilangnya semua atau sebagian


fungsi anggota gerak bawah
Risiko cedera Tidak ada control usus dan
kandung kemih

Harga diri Gangguan Bedrest Gangguan Risiko


rendah mobilitas lama interaksi jatuh Inkontinensia urin dan fekal
situasional fisik sosial

Risiko gangguan
Defisit Gangguan Inkontinensia Inkontinensia
integritas kulit 71
perawatan pola tidur fekal urin overflow
diri
Lumbosakral

L3-S5

Paraplegia: inkomplet Refleks Saraf sensori lumbal Fungsi Kontrol defekasi atau
Kontrol motorik segmental tendon menginervasi tungkai atas pernapasan berkemih mungkin
L4-S1: abduksi dan rotasi internal profunda S1- dan bawah tidak terganggu
pinggul, dorsifleksi pergelangan kaki S2 (sentakan L5: aspek medial kaki terganggu Segmen S2-S4
dan inversi kaki pergelangan S1: aspek lateral kaki mengendalikan kontinensia
L5-S1: eversi kaki kaki) S2: aspek posterior urin
L4-S2: fleksi lutut menghilang betis/paha Segmen S3-S5
S1-S2: fleksi plantar S1-S2: (sentakan Saraf sensori sakral mengendalikan kontinensia
pergelangan kaki) menginervasi tungkai feses (otot perianal)
S2-S5: kontrol usus/kandung kemih bawah, kaki dan perineum

Hilangnya semua atau sebagian Risiko cedera


fungsi anggota gerak bawah
Tidak ada control usus dan
kandung kemih

Harga diri Gangguan Bedrest Gangguan Risiko


rendah mobilitas lama interaksi jatuh Inkontinensia urin dan fekal
situasional fisik sosial

Risiko gangguan
Defisit Gangguan Inkontinensia 72Inkontinensia
integritas kulit
perawatan pola tidur fekal urin overflow
diri
Spinal shock

Hiperpolarisasi pada lengkung refleks

Hilangnya semua refleks dibawah lesi

Refleks patella Refleks achilles Paralisis Berlanjut Muncul refleks Bradiaritmia Hipotensi akibat
menghilang menghilang flacid hingga hari ke 4 kutaneus dan refleks lesi servikal
sampai 1 bulan kremaster

Tonus otot
menurun hingga
Risiko cedera menghilang Intoleransi
aktivitas

Gangguan mobilitas fisik

Retensi urin Retensi urin Berlanjut hingga 1 tahun

Hipertensi maligna Hipotensi ortostatik akibat


Oliguria Distensi abdomen Nyeri saat BAK tetraplegia

Gangguan eliminasi Badan lemas Pengelihatan kabur Linglung


urin Nyeri akut 73

Intoleransi aktivitas Risiko cedera


Hipertensi maligna

Nyeri Kesulitan Pusing Sakit Mati rasa pada


dada bernapas kepala lengan, kaki, dan
atau sesak wajah

Nyeri akut Risiko cedera

Risiko jatuh Intoleransi


aktivitas

Pola napas
tidak efektif

74

Anda mungkin juga menyukai