(OSA)
Oleh :
KELOMPOK
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Keperawatan Dasar ini dengan baik serta
tepat waktu. Seperti yang sudah kita tahu “Obstruktive Sleep Apnea” merupakan salah satu
pelayanan yang sangat penting di rumah sakit. Semuanya perlu dibahas pada makalah ini kenapa
Pelayanan Anastesi dan Bedah itu sangat diperlukan serta layak dijadikan bagaikan modul
pelajaran.
Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang Obstruktive Sleep Apnea untuk
kemajuan pelayanan di rumah sakit. Mudah-mudahan makalah yang kami buat ini bisa
menolong menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi. Kami menyadari kalau masih banyak
kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Dosen mata pelajaran
Keperawatan Dasar. Kepada pihak yang sudah menolong turut dan dalam penyelesaian makalah
ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.
(Kelompok 4)
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang masalah............................................................................ 1
1.2 Identifikasi Masalah.................................................................................. 3
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................... 4
BAB II : PEMBAHASAN..................................................................................... 5
2.1 Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)............................................... 5
2.1.1 Definisi Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)............................. 5
2.1.2 Faktor pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)........................ 5
2.1.2.1 Obesitas........................................................................... 5
2.1.2.2 Usia.................................................................................. 6
2.1.2.3 Jenis Kelamin................................................................... 6
2.1.2.4 Ukuran Lingkar Leher...................................................... 6
2.1.2.5 Kelainan Struktur saluran Napas Bagian Atas................. 6
2.1.3 Sign dan Symptom pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)..... 7
2.1.3.1 Mendengkur..................................................................... 7
2.1.3.2 Mengantuk Berlebihan pada Siang Hari........................... 7
2.1.3.3 Gejala Malam Lainnya..................................................... 7
2.1.3.4 Gejala Siang Lainnya....................................................... 7
2.1.4 Diagnosis pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS).................... 8
2.1.4.1 Anamnesis........................................................................ 8
2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik............................................................ 8
2.1.4.3 Pemeriksaan Penunjang................................................... 9
2.1.5 Patofisilogi pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS).................. 9
2.1.5.1 Obstruksi Saluran Napas Atas.......................................... 9
2.1.5.2 Kelainan Fungsi Neoromuscular Faring.......................... 10
2.1.5.3 Kelainan Kraniofasial....................................................... 10
2.1.6 Klasifikasi Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)............................ 10
2.1.7 Komplikasi Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)........................... 11
2.1.8 Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)................... 13
BAB III : PENUTUP............................................................................................... 17
3.1Kesimpulan...................................................................................................... 17
3.2Saran................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 18
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Patofisiologi OSA terhadap CVD ............................................................ 12
Gambar 2. Assesment dan management Obstructive Sleep Apnea............................ 13
Gambar 3. Continous Positive Airway Pressure (CPAP).......................................... 14
Gambar 4. Mandibular Advancement Devices (Hukins, 2006)................................. 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.3 Tujuan
Bersumber pada rumusan permasalahan yang disusun oleh penulis di atas, hingga tujuan
dalam penyusunan makalah ini merupakan bagaikan berikut :
1. Untuk mengetahui Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
2. Untuk mengetahui faktor risiko pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
3. Untuk mengetahui sign dan symptom pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
4. Untuk mengetahui diagnosis pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
5. Untuk mengetahui patofisiologi Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
6. Untuk mengetahui klasifikasi Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
7. Untuk mengetahui komplikasi Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.2.2 Usia
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi OSAS yang tinggi pada usia tua. Penelitian
yang dilakukan Sleep Heart Health Study menunjukkan bahwa 25% laki-laki dan 11%
wanita memiliki AHI yang tinggi pada kelompok umur 40-98 tahun. Puncak usia pasien yang
terdiagnosis OSAS pertama kali secara umum adalah pada usia 50 tahun. Namun demikian
hubungan antara usia dengan OSAS masih kontroversial karena banyaknya faktor perancu
dan penyakit-penyakit lain yang ikut mendasari terjadinya OSAS.
2.1.2.3 Jenis Kelamin
Beberapa penelitian epidemiologi melaporkan OSAS lebih sering terjadi pada pria dibanding
wanita. Selain itu, terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan hubungan jenis kelamin
dengan timbulnya OSAS antara lain karena efek hormonal yang dapat mempengaruhi
muskulatur saluran nafas bagian atas, perbedaan distribusi lemak dan perbedaan struktur dan
fungsi faring.
2.1.2.4 Ukuran Lingkar Leher
Ukuran lingkar leher merupakan prediktor yang kuat dan merupakan salah satu karakteristik
pemeriksaan fisik pada pasien dengan OSAS. Lingkar leher merupakan ukuran leher yang
melewati batas atas membran krikotiroid yang diukur pada posisi berdiri. Penelitian
melaporkan bahwa rata-rata ukuran lingkar leher pada pasien OSAS adalah 43,7 cm
sedangkan pada pasien non OSAS adalah 39,6 cm. Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran
lingkar leher (>42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan AHI.
2.1.2.5 Kelainan Struktur Saluran Nafas Bagian Atas
Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat kelainan struktur anatomi pada kraniofasial
sehingga berdampak pada menyempitnya saluran nafas bagian atas. Secara umum, terdapat
kelainan pada mandibula, maksila, dan tulang hyoid. Mandibular yang kecil (micrognatia)
dan retrognatia merupakan faktor resiko timbulnya OSAS. Micrognatia dan retrognatia akan
menyebabkan palatum mole, lidah dan jaringan lunak sekitar faring terdorong ke
posterior sehingga saluran nafas akan menyempit. Selain itu, posisi maksila yang terlalu
posterior juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya OSAS. Hal ini terjadi karena palatum
durum dan jaringan lunak di sekitar faring terdorong ke posterior sehingga ukuran lumen
6
saluran nafas mengecil. Kelainan pada tulang hyoid dapat menyebabkan terjadinya OSAS.
Hyoid yang terlalu inferior akan menyebabkan lidah tertarik ke posterior karena hyoid
menjadi salah satu insersio dari otot-otot pembentuk lidah. Kelainan pada tonsil yang
merupakan salah satu jaringan limfoid di saluran nafas atas dapat menyebabkan OSAS.
Hipertrofi tonsil dapat menyebabkan OSAS terutama pada anak.
2.1.3 Sign & Symptom pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
2.1.3.1 Mendengkur
Secara klinis, kebanyakan pasien OSAS memiliki gejala mendengkur saat tidur. Mendengkur
merupakan kunci diagnosis utama OSAS yang didapatkan dari anamnesis. Gejala
mendengkur ini diikuti dengan episode tidak bernafas (apnea) dan paling sering muncul saat
posisi tidur terlentang. Mekanisme terjadinya mendengkur adalah karena resistensi di saluran
nafas atas disertai dengan peningkatan usaha nafas menyebabkan getaran pada daerah faring.
2.1.3.2 Mengantuk Berlebihan Pada Siang Hari
Gejala paling sering kedua setelah mendengkur adalah rasa kantuk yang berlebihan pada
siang hari atau Excessive Daytime Sleepiness (EDS).
EDS disebabkan oleh kualitas tidur pada malam hari yang menurun karena terjadi tidur yang
terputus-putus (fragmentasi tidur), berhubungan dengan respons saraf pusat yang berulang
karena adanya gangguan pernafasan saat tidur. Gejala yang lebih parah dapat menyebabkan
pasien tertidur saat melakukan aktivitas seperti menonton televisi, makan, atau saat
berkendara. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien sering sulit
membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Hampir 30% pria dan 40% wanita dewasa
dengan nilai AHI >5x/jam mengeluh tidak segar saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30%
wanita dewasa mengeluh mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari. Epworth
Sleepiness Scale (ESS) adalah kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa
mengantuk.
2.1.3.3 Gejala Malam Lainnya
Gejala lainnya yang dialami pasien OSAS pada malam hari adalah gerakan motorik yang
abnormal, mimpi buruk, perasaan sesak nafas pada malam hari dan nokturia.
2.1.3.4 Gejala Siang Lainnya
7
Gejala lain yang dialami pasien OSAS pada siang hari dapat berupa nyeri kepala, merasa
tidak segar saat bangun, perubahan perilaku, penurunan konsentrasi, depresi, cemas,
impotensi dan penurunan libido. Semua gejala ini dapat menyebabkan penurunan kualitas
hidup pasien.
2.1.4 Diagnosis pada Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS)
2.1.4.1 Anamnesis
Diagnosis OSAS ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Gabungan data yang akurat
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan kepada indikasi untuk
melakukan pemeriksaan baku emas OSAS. Kuisioner Epworth Sleepiness Scale dapat
digunakan untuk menanyakan keluhan yang berhubungan dengan gejala OSAS. ESS
digunakan untuk menilai bagaimana kebiasan tidur dan rasa mengantuk pasien dalam
kegiatan sehari-hari. Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang pengalaman
terbangun dari tidur karena tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan
bangun dari tidur dengan badan terasa tidak segar, serta gejala-gejala siang dan malam
lainnya. Penting juga untuk menanyakan usia, riwayat penyakit yang berhubungan dengan
OSAS seperti stroke, hipertensi, penyakit jantung.
2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum seringkali normal pada pasien dengan OSAS, selain adanya
obesitas, pembesaran lingkar leher, dan hipertensi. Lakukan evaluasi saluran nafas bagian
atas pada semua pasien, tetapi terutama pada orang dewasa nonobese dengan gejala yang
sejalan dengan OSAS. Temuan pemeriksaan fisik yang mungkin adalah sebagai berikut:
Obesitas - indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30 kg / m2.
Lingkar leher yang besar - Lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37 cm (15 inch) pada
wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki sensitivitas 61% dan spesifisitas 93%
untuk OSAS, terlepas dari jenis kelaminnya.
Skor Mallampati abnormal (meningkat).
Penyempitan dinding saluran nafas lateral, yang merupakan prediktor independen dari
adanya OSAS pada pria tetapi tidak pada wanita.
Tonsil yang membesar.
8
Retrognatia atau mikrognathia.
Langit-langit keras (palatum durum) melengkung tinggi.
Hipertensi arteri sistemik, muncul pada sekitar 50% dari pasien dengan OSAS.
Baku emas untuk diagnosis OSAS adalah melalui pemeriksaan tidur semalam dengan alat
polysomnography (PSG). Parameter-parameter yang direkam pada PSG adalah
electroencephalography (EEG), electrooculography (pergerakan bola mata),
electrocardiography (EKG), electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi
tidur, aktivititas pernafasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSAS pada saat dilakukan
PSG adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari jalan
nafas atas (kadang-kadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai
dengan ≥ 50% penurunan amplitudo pernafasan, peningkatan usaha pernafasan sehingga
terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen.
Seseorang dikatakan menderita OSAS jika terdapat :
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali ketika
tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang hari dan
gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hypopnea per-jam
selama tidur (AHI ≥ 5).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.
9
aliran udara, meskipun pernafasan masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan
apnea, asfiksia sampai periode arousal.
OSAS dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya:
1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat,
sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.
2. Vaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung
iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSAS dengan hipertensi,
stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit gangguan vaskular pada penderita
OSAS diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap
akhir fase obstruktif. Pada penderita OSAS juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin
dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.
11
Gambar 1. Patofisiologi OSA terhadap CVD
PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen. PCO2
= Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR =
Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular
Terjadinya gangguan vaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua komponen:
1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang
berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.
OSAS berperan penting dalam patogenesis hipertensi. Deteksi dan terapi OSAS perlu
dilakukan dalam manajemen hipertensi untuk mencapai hasil yang optimal. OSAS diduga
merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis pada pembuluh
darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek
aterosklerotik dari OSAS, di antaranya:
12
1. Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres
oksidatif.
2. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam
plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti
dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.
Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan ekspresi molekul-
molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada selsel endotel diduga berperan pada
terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan aterosklerosis dan bekuan darah.
Insidensi OSAS yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan peran
OSAS dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi,
berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang
rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko
terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSAS dan potensi
efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi
OSAS dianjurkan dilakukan pada penderita stroke. Aritmia dapat terjadi pada penderita
OSAS terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko
untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSAS. Mekanisme terjadinya aritmia
pada penderita OSAS kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh
kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.
13
Gambar 2. Assesment dan management obstruksi sleep apnea
Terapi non bedah merupakan terapi yang lebih diutamakan dalam penanganan OSAS melihat
efek samping yang lebih minimal. Menurut penelitian Qaseem et al (2013) yang meneliti
guideline penanganan OSAS, didapatkan beberapa rekomendasi dalam manajemen OSAS
non bedah, yaitu:
1. Rekomendasi 1: penurunan berat badan, terutama pada pasien yang mengalami
overweight dan obese. (Grade:strong recommendation; low-quality evidence).
Dengan menurunkan berat badan, penderita OSAS dengan obesitas dapat
meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas (Qaseem et al, 2013). Menghindari
konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam hari
dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme pernapasan sentral.
Menghindari posisi tidur supinasi juga dapat membantu mengurangi obstruksi saluran
napas saat tidur (Hukins, 2006). Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek
jangka panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada saluran napas
atas.
2. Rekomendasi 2: penggunaan CPAP (continuous positive airway pressure), terutama
untuk terapi awal pada pasien yang ditemukan dengan OSA. (Grade: strong
recommendation; moderate-quality evidence).
Memberikan terapi CPAP selama satu bulan pada pasien OSA dengan stroke,
didapatkan penurunan aktivitas saraf simpatis, tekanan darah dan denyut jantung.
Terapi positive airway pressure (PAP) efektif mengatasi obstruksi jalan nafas,
mencegah kolaps dan apnea. Dapat diaplikasikan melalui masker naso-oral, nasal,
maupun nasal pillow.
14
Gambar 3. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)
Terapi bedah pada OSA dilakukan apabila tidak terdapat perbaikan dengan terapi
non bedah. Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan
bentuk saluran napas atas (Hukins, 2006). Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan
baik. Indikasi pembedahan OSA adalah AHI 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan
esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan
hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan
anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-
benar baik untuk OSA (Walker, 2006).
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan
15
obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa
prosedur operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi
CPAP.
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak sebaik CPAP
pada penderita OSA yang berat. Angka keberhasilan dengan teknik ini mencapai 10-
15% (Gibson, 2005).
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah salah satu gangguan tidur. OSAS diakibatkan
oleh penyempitan (berkurang atau komplit) saluran napas bagian atas pada keadaan tidur.
Seseorang akan mengalami henti bernapas pada saat tidurnya akibat tertutupnya saluran
napas atas yang disebabkan oleh tidak adekuatnya tonus otot pada lidah dan/atau otot
dilator. Factor risiko terjadinya OSAS, meliputi obesitas, usia, jenis kelamin, ukuran
lingkar leher dan kelainan struktur saluran napas bagian atas. Perubahan anatomi jalan
napas faring yang mengecil dan penurunan lumen saluran nafas akibat peningkatan jaringan
lunak sehingga terjadi obstruksi saluran nafas atas. Berdasarkan apnea-hypopnea index
(AHI), disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥ 5 dengan adanya gejala terkait atau AHI
≥15 tanpa adanya gejala terkait. Alat untuk mendiagnosis sleep apnea adalah
polisomnografi. Polisomnografi merupakan alat diagnosa yang penting untuk mendiagnosa
sleep apnea, melihat keparahan sleep apnea dan menentukan kesuksesan perawatan.
Klasifikasi OSAS dibedakan menjadi mild, moderate dan severe. Manajemen OSAS
mencakup terapi non-bedah dan terapi bedah. Terapi non bedah mencakup konservatif,
penggunaan continuous positive pressure (CPAP), dan Mandibular advancement devices.
Terapi bedah mencakup Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), teknik maksila-mandibular
osteotomi, Laser-assisted uvuloplasty (LAUP), dan Radiofrequency ablation (RA) palatum.
3.2 Saran
Masih banyak kekurangan bahasan dan materi yang kami sampaikan dalam makalah
ini. Dan tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kritik maupun saran agar bisa
menyempurnakan makalah yang kami buat. Kami ucapkan terima kasih kepada yang telah
memberikan kritik maupun sarannya.
17
DAFTAR PUSTAKA
18