Halaman
iv
Universitas Sumatera Utara
2.2.8.5 Pemeriksaan Pencitraan ............................ 20
2.2.9 Diagnosis Banding Apendisitis ............................ 22
2.2.10 Tatalaksana Apendisitis ....................................... 23
2.2.11 Komplikasi Apendisitis ........................................ 26
2.2.12 Prognosis Apendisitis........................................... 27
2.3 Apendektomi ...................................................................... 27
2.3.1 Apendektomi Terbuka ......................................... 27
2.3.2 Apendektomi Laparoskopi ................................... 29
2.3.3 Pemulihan Pasca Apendektomi ............................ 31
2.3.4 Lama Rawat di Rumah Sakit Pasca Apendektomi 31
2.3.5 Nyeri Pasca Apendektomi.................................... 31
2.3.6 Komplikasi Pasca Apendektomi........................... 32
2.4 Kerangka Teori................................................................... 33
2.5 Kerangka Konsep ............................................................... 34
2.6 Hipotesis............................................................................. 34
BAB III METODE PENELITIAN .................................................... 35
3.1 Jenis dan Kriteria Penelitian................................................ 35
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian............................................... 36
3.3 Metode Penelusuran Literatur ............................................. 36
3.4 Telaah Kualitas Jurnal ........................................................ 37
3.5 Metode Pengumpulan Data ................................................. 38
3.6 Metode Analisis Data.......................................................... 38
3.7 Definisi Operasional ........................................................... 39
3.7.1 Variabel Independen ............................................ 39
3.7.2 Variabel Dependen .............................................. 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................. 40
4.1 Hasil Pencarian Literatur .................................................... 40
4.2 Penilaian Kualitas Literatur................................................. 42
4.3 Karakteristik Studi .............................................................. 43
4.4 Lama Rawat........................................................................ 46
4.5 Pemulihan........................................................................... 48
4.6 Nyeri .................................................................................. 50
4.6.1 Nyeri 6 Jam Pasca Operasi................................... 50
4.6.2 Nyeri 12 Jam Pasca Operasi ................................. 51
4.6.3 Nyeri 24 Jam Pasca Operasi ................................. 53
4.7 Komplikasi ......................................................................... 55
3.7.1 Infeksi Luka Pasca Operasi .................................. 55
3.7.2 Ileus Paralitik....................................................... 57
3.7.3 Abses Intraabdomen............................................. 59
v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN
ix
Universitas Sumatera Utara
ABSTRA
K
Latar belakang. Hingga saat ini masalah apendisitis masih menjadi masalah Kesehatan
masyarakat. Risiko perkembangan apendisitis bisa seumur hidup sehingga memerlukan tindakan
pembedahan. Apendektomi masih dilakukan dengan metode terbuka dan laparoskopi karena
kurangnya konsensus tentang mana metode yang paling tepat. Penggunaan laparoskopi pada
apendisitis masih diperdebatkan. Tujuan. Meta analisis ini dibuat untuk membandingkan
efektivitas apendektomi laparoskopi dibandingkan dengan apendektomi terbuka sebagai
tatalaksana apendisitis. Metode. Semua penelitian yang membandingkan apendektomi laparoskopi
dan apendektomi terbuka dengan design uji klinis acak terkontrol dikumpulkan antara tahun
2010-2020. Meta analisis ini menggunakan literatur online yang bersumber dari Pubmed, Clinical
Key, Embase, Cochrane Database, Researchgate, dan Google Scholar. Jurnal-jurnal yang
digunakan adalah jurnal yang membandingkan apendektomi dalam lama rawat, pemulihan, nyeri,
dan komplikasi. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak review manager
5.4 untuk penilaian meta analisis. Hasil. 16 studi diikutsertakan dalam meta analisis ini dengan
total 1822 pasien. Berdasarkan analisis data, apendektomi laparoskopi memiliki rerata lebih baik
untuk lama rawat (MD -0.29, 95% CI: -0.55; -0.03, p=0.03), pemulihan (MD -2.18, 95% CI:
-3.62; -0.74,
p=0.003), nyeri 6 jam (MD -0.88, 95% CI: -1.28; -0.47, p<0.0001), nyeri 12 jam (MD -1.07,
95% CI: -1.74; -0.40, p=0.002), nyeri 24 jam pasca operasi (MD -0.69, 95% CI: -1.05; -0.34,
p=0.0001), dan angka kejadian lebih rendah untuk infeksi luka pasca operasi (OR 0.37, 95% CI:
0.25; 0.53, p<0.00001). Apendektomi laparoskopi dan apendektomi terbuka tidak berbeda secara
bermakna dalam kejadian ileus paralitik (OR 0.85, 95% CI: 0.45; 1.60, p=0.61) dan abses
intraabdomen (OR 1.20, 95% CI: 0.67; 2.16, p=0.54). Simpulan. Meta anaisis ini menunjukkan
apendektomi laproskopi memiliki efektivitas yang lebih superior dibandingkan apendektomi
terbuka.
x
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAC
T
Background. The problem of appendicitis is still a public health problem. The risk of developing
appendicitis can be lifelong and requires surgery. Appendectomy is still performed using open and
laparoscopic methods due to a lack of consensus on which method is most appropriate. The use of
laparoscopy in appendicitis is still debated. Objective. This meta-analysis was made to compare
the effectiveness of laparoscopic appendectomy as compared to open appendicitis as a treatment
for appendicitis. Methods. All studies comparing laparoscopic appendectomy and open
appendectomy with randomized controlled trial designs were collected between 2010-2020. This
meta-analysis uses online literature sourced from Pubmed, Clinical Key, Embase, Cochrane
Database, Researchgate, and Google Scholar. The journals used are those that compare
appendectomy in terms of recovery, length of hospital stay, pain, and complications. The data were
then analyzed using review manager 5.4 software for the meta-analysis assessment. Results. 16
studies were included in this meta-analysis with a total of 1822 patients. Based on data analysis,
laparoscopic appendectomy had a better mean for length of stay (MD -0.29, 95% CI: -0.55; -0.03,
p=0.03), recovery (MD -2.18, 95% CI: -3.62; -0.74, p=0.003), pain in 6 hours (MD -0.88, 95%
CI: -1.28;
-0.47, p<0.0001), pain in 12 hours (MD -1.07, 95% CI: -1.74; -0.40, p=0.002), pain in 24 hours
postoperative (MD -0.69, 95% CI: -1.05; -0.34, p=0.0001), and the incidence was lower for
postoperative wound infection (OR 0.37, 95% CI: 0.25; 0.53, p<0.00001). Laparoscopic
appendectomy and open appendectomy did not differ significantly in the incidence of paralytic
ileus (OR 0.85, 95% CI: 0.45; 1.60, p=0.61) and intra-abdominal abscess (OR 1.20, 95% CI:
0.67; 2.16, p=0.54). Conclusions. This meta-analysis shows that laproscopic appendectomy is
more effective than open appendectomy.
xi
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
1
2
Meskipun sudah lebih dari satu abad telah berlalu, prosedur apendektomi
terbuka tetap menjadi pilihan untuk apendisitis pada sebagian besar ahli bedah
(Kehagias et al., 2008). Apendektomi terbuka telah menjadi gold standard untuk
menangani pasien dengan apendisitis lebih dari satu abad, tetapi efisiensi dan
keunggulan pendekatan laparoskopi dibandingkan dengan teknik terbuka banyak
menjadi subjek perdebatan saat ini (Biondi et al., 2016).
Banyak keuntungan dari apendektomi laparoskopi telah terbukti melalui
perbandingan dengan operasi terbuka. Hal ini adalah sayatan kecil, visualisasi
yang baik, dan akses yang lebih baik ke organ (Kostov, 2020). Beberapa hal yang
membuat apendektomi laparoskopi diterima dengan baik karena telah dilaporkan
mempersingkat masa tinggal di rumah sakit, meningkatkan waktu pemulihan
pasca operasi, menghasilkan hasil kosmetik yang lebih baik, dan mengurangi rasa
sakit (Takami et al., 2019). Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan biaya
operasi karena penggunaan instrumen saat operasi, peningkatan waktu operasi,
dan kekhawatiran tentang insiden abses intra abdomen yang lebih tinggi pada
apendektomi laparoskopi (Dai dan Shuai, 2016).
Apendektomi laparoskopi tidak seperti prosedur laparoskopi lainnya, belum
ada penemuan yang pasti menemukan bahwa apendektomi laparoskopi lebih
unggul dari apendektomi terbuka (Biondi et al., 2016). Sedangkan kolesistektomi
laparoskopi sudah menjadi gold standard dari metode kolesistektomi dan telah
menggantikan metode terbuka sebelumnya. Apendektomi laparoskopi belum
mencapai hal tersebut (Shaikh et al., 2019).
Apendektomi masih dilakukan dengan metode terbuka dan laparoskopi karena
kurangnya konsensus tentang mana metode yang paling tepat (Yadav et al., 2018).
Diantara beberapa publikasi penelitian yang membandingkan kedua metode
diantaranya kurangnya randomisasi, kualitas penelitian yang berkisar dari sedang
hingga buruk, dan sebagian besar menganalisis data tanpa menerapkan niat untuk
melakukan ketetapan mana metode yang lebih baik (Blackmore et al., 2015).
Penggunaan laparoskopi pada apendisitis masih diperdebatkan (Kostov, 2020).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Perbandingan Efektivitas Operasi Apendektomi Laparoskopi dan
Apendektomi Terbuka Sebagai Tatalaksana Operasi padaPasien Apendisitis:
Telaah Sistematis dan Meta Analisis“.
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
MANFAAT PENELITIAN
Bidang Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dasar atau
pedoman untuk melakukan penelitian mengenai apendisitis, apendektomi
laparoskopi, dan apendektomi terbuka, serta dapat dipakai untuk menunjukkan
secara statistik pilihan metode terbaik antara apendektomi laparoskopi dan
apendektomi terbuka dalam tatalaksana apendisitis.
Bidang Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang benar
bagi masyarakat, menambah ilmu pengetahuan bagi tenaga Kesehatan dan sebagai
sarana pertimbangan tenaga Kesehatan dalam memilih metode untuk
penatalaksaan apendisitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
APENDIKS
Anatomi Apendiks
Histologi Apendiks
Histologi apendiks terkandung dalam tiga lapisan yaitu serosa luar yang
merupakan perpanjangan dari peritoneum, lapisan muskularis yang tidak
terdefinisi dengan baik dan mungkin tidak ada di lokasi tertentu, dan akhirnya
submukosa dan
5
6
mukosa. Mukosa terdiri dari epitel kolumnar dengan beberapa elemen kelenjar sel
argentaffin neuroendokrin. Agregasi limfoid terjadi di lapisan submukosa dan
dapat meluas ke mukosa muskularis. Saluran limfatik menonjol di daerah yang
mendasari agregasi limfoid. Mukosa sama seperti yang dimiliki oleh usus besar,
kecuali untuk kepadatan dari folikel limfoid. Kripta ukuran dan bentuknya tidak
beraturan, berbeda dengan usus besar yang penampilannya lebih seragam.
Komplek neuroendokrin terdiri dari sel ganglion, sel schwann, serat saraf, dan sel-
sel neurosekretori diposisikan di bawah kripta (Eroschenko, 2008; Brunicardi et
al., 2015; Craig, 2018).
Fisiologi Apendiks
APENDISITIS
Definisi Apendisitis
Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi
pada apendiks vermiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen
apendiks (Fransisca et al., 2019). Perkembangan proses inflamasi dapat
menyebabkan abses, ileus, peritonitis, atau kematian jika tidak diobati. Apendisitis
komplikasi mengacu pada adanya gangren atau perforasi apendiks (D’Souza dan
Nugent, 2016).
Penyebab apendisitis masih belum pasti meskipun berbagai teori sudah ada.
Teori-teori terbanyak berpusat pada obstruksi luminal pada apendiks sebagai
patologi primer. Penyebab obstruksi luminal yang paling umum adalah hiperplasia
limfoid akibat penyakit radang usus atau infeksi (lebih sering terjadi pada masa
anak-anak dan pada dewasa muda), stasis tinja dan fekalit (lebih umum pada
pasien usia lanjut), parasit (terutama di negara-negara timur), atau lebih jarang
seperti benda asing dan neoplasma. Ketika lumen apendiks terhambat, bakteri
akan menumpuk di usus buntu dan menyebabkan peradangan akut dengan
perforasi dan pembentukan abses (D’Souza dan Nugent, 2016; Craig, 2018; Jones
et al., 2019).
Apendiks mengandung massa besar jaringan limfoid di mukosa dan
submukosa, dan karena itu apendiks cenderung mengalami hiperplasia limfoid
yang mengakibatkan obstruksi lumen (Gadiparhi dan Waseem, 2019). Hiperplasia
jaringan limfoid dianggap sebagai mekanisme yang paling umum. Hiperplasia
jaringan limfoid mungkin hadir dengan apendisitis akut, dengan timbulnya gejala
secara bertahap (D’Souza dan Nugent, 2016). Hiperplasia limfoid dikaitkan
dengan berbagai gangguan inflamasi dan infeksi termasuk crohn disease,
gastroenteritis, amoebiasis, infeksi saluran pernapasan, campak, dan
mononukleosis (Craig, 2018).
Apendisitis dapat terjadi karena infeksi bakteri. Hubungan dengan berbagai
bakteri dan virus menular hanya ditemukan dalam kasus yang kecil pada pasien
apendisitis. Flora apendiks yang meradang berbeda dari flora apendiks normal.
Sekitar 60% dari apendiks yang meradang memiliki bakteri anaerob dengan 25%
pada apendiks normal. Spesimen jaringan dari dinding apendiks yang meradang
hampir semuanya menumbuhkan Escherichia coli dan Bacteroides species pada
hasil kultur. Fusobacterium nucleatum yang tidak ada pada flora sekum normal,
telah diidentifikasi pada 62% dari apendiks yang meradang. Parasit penyebab lain
yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh
parasit
E. histolytica, Viridans streptococci, dan Pseudomonas aeruginosa (Warsinggih,
2010; Brunicardi et al., 2015).
Klasifikasi Apendisitis
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori
Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan,
faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia,
jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi
lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing, benda asing dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko
apendisitis baik dilihat dari pelayanan keshatan yang diberikan oleh layanan
kesehatan baik dari
fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku
seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang
menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih
tinggi (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2004).
Patofisiologi Apendisitis
Apendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam
24- 36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses
setelah 2-3 hari. Apendisitis disebabkan oleh obstruksi apendiks dari berbagai
penyebab. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid, infeksi, fekalit,
dan tumor jinak atau ganas. Apendiks terus mengeluarkan cairan mukosa,
menyebabkan distensi apendiks, Iskemia organ, pertumbuhan berlebih bakteri, dan
perforasi akhirnya menjadi distensi. Proses progresif di mana gejala pasien
memburuk selama perjalanan penyakit sampai perforasi dengan peritonitis terjadi
(Warsinggih, 2010; Craig, 2018; Gadiparhi dan Waseem, 2019; Jones et al.,
2019).
Obstruksi pada apendiks mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal dan
distensi akibat sekresi lendir yang sedang berlangsung serta produksi gas oleh
bakteri yang berada dalam bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan
intraluminal, terjadi gangguan aliran limfoid, terjadi edema yang lebih hebat.
Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangren. Iskemia dinding apendiks mengakibatkan
hilangnya integritas epitel dan memungkinkan invasi bakteri pada dinding
apendiks. Dalam beberapa jam kondisi ini dapat memburuk karena trombosis
arteri dan vena appendicular yang menyebabkan perforasi dan gangren apendiks.
Ketika proses ini berlanjut maka abses periappendicular dan peritonitis dapat
terjadi (Warsinggih, 2010; Craig, 2018; Duque dan Mohney, 2019).
Aliran darah dari distal ke obstruksi memungkinkan pertumbuhan berlebih
dari bakteri dalam apendiks, menghasilkan pelepasan koloni bakteri yang lebih
besar ke rongga peritoneum dalam kasus apendisitis perforasi. (Duque dan
Mohney, 2019).Pertumbuhan bakteri yang berlebihan kemudian terjadi pada
apendiks yang terhambat, dengan organisme aerob mendominasi pada apendiks
normal dan
campuran aerob dan anaerob setelah apendisitis. Organisme umum termasuk
Escherichia coli, Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Pseudomonas. Setelah
peradangan dan nekrosis signifikan terjadi, apendiks berisiko perforasi
menyebabkan abses lokal dan bisa menjadi peritonitis (Jones et al., 2019).
Distensi apendiks menyebabkan perangsaran serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal bersifat dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Terjadi invasi
bakteri ke dinding apendiks diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
konsekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik.
(Warsinggih, 2010). Tekanan pada organ meningkat mengakibatkan tekanan vena
terlampaui. Kapiler dan venula tersumbat tetapi aliran arteri tetap berlanjut,
mengakibatkan pembengkakan dan kongesti vascular. Proses inflamasi segera
melibatkan bagian apendiks yang menghasilkan perubahan karakteristik rasa sakit
dalam kuadran kanan bawah. Nyeri biasa tidak melokalisasi ke kuadran kanan
bawah sampai ujung apendiks menjadi meradang dan mengiritasi peritoneum
parietal atau terjadi perforasi menyebabkan peritonitis lokal. (Brunicardi et al.,
2015; Duque dan Mohney, 2019).
Variasi dalam posisi apendiks, usia pasien, dan tingkat peradangan membuat
presentasi klinis apendisitis tidak pasti. Riwayat seperti anoreksia dan nyeri
periumbilikalis diikuti oleh mual, nyeri kuadran kanan bawah, dan muntah hanya
terjadi pada 50% kasus. Mual hadir pada 61-92% pasien dan anoreksia hadir pada
74-78% pasien. Tidak ada temuan yang berbeda secara statistik dari temuan pada
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan etiologi lain dari nyeri perut.
Selain itu, ketika muntah terjadi, hampir selalu mengikuti timbulnya rasa sakit.
Muntah yang mendahului nyeri menunjukkan obstruksi usus, dan diagnosis
apendisitis harus dipertimbangkan kembali. Diare atau sembelit tercatat pada 18%
pasien dan tidak boleh digunakan untuk membuang kemungkinan apendisitis
(Craig, 2018).
Gejala apendisitis yang paling umum adalah nyeri perut. Biasanya, gejala
dimulai sebagai nyeri periumbilikal atau epigastrium yang bermigrasi ke kuadran
kanan bawah perut. Ketika serabut saraf aferen visceral di T8 hingga T10
distimulasi, dan ini menyebabkan nyeri terpusat yang samar. Ketika usus buntu
menjadi lebih meradang, dan peritoneum parietal yang berdekatan teriritasi, rasa
sakit menjadi lebih terlokalisasi ke kuadran kanan bawah. Pasien biasanya
berbaring, melenturkan pinggul, dan menarik lutut ke atas untuk mengurangi
gerakan dan untuk menghindari rasa sakit yang memburuk. Nyeri progresif yang
memburuk bersama dengan muntah, mual, dan anoreksia dijelaskan oleh pasien
(Craig, 2018; Jones et al., 2019).
Variasi lokasi anatomis apendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi.
Pada anak-anak dengan letak apendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat
terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada umbilikus. Nyeri pada
flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang
umum terutama pada anak dengan apendisitis retrocecal atau pelvis. Jika
inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau kandung kemih, gejala dapat
berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing
dan distensi kandung kemih (Wirsinggih, 2010).
Ketika peradangan berkembang mengakibatkan tanda-tanda peradangan
termasuk right lower quadrant guarding dan rebound tenderness di atas titik
McBurney berada 1,5 hingga 2 inci dari tulang belakang iliaka superior anterior
pada garis lurus ke umbilicus, rovsing's sign , dunphy's sign, bahkan tanda tanda
lain seperti psoas sign dan obturator sign bisa terjadi namun jarang (Jones et al.,
2019).
Pasien dengan apendisitis ringan biasanya hanya tampak sakit ringan dengan
denyut nadi dan suhu yang biasanya hanya sedikit di atas normal. Pemeriksa harus
memperhatikan proses penyakit lainnya di samping apendisitis atau adanya
komplikasi seperti perforasi, phlegmon, atau pembentukan abses jika suhunya
lebih dari 38,3 °C. Pasien dengan apendisitis akan ditemukan berbaring diam
untuk menghindari iritasi peritoneum yang disebabkan oleh gerakan, dan beberapa
akan melaporkan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh berkendara dalam
perjalanan
ke rumah sakit atau klinik, batuk, bersin, atau tindakan lain yang mereplikasi
valsava maneuver. Seluruh perut harus diperiksa secara sistematis mulai di daerah
di mana pasien tidak melaporkan ketidaknyamanan dalam gejala yang
memungkinkan (Kasper et al., 2015).
Diagnosis Apendisitis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Penjelasan dari pasien tentang nyeri pada bagian perut yang dialaminya adalah
kunci untuk mendiagnosa apendisitis. Pemeriksa akan menilai rasa sakit dengan
menyentuh atau memberikan tekanan pada area spesifik perut (Brodsky, 2013).
Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri tekan, nyeri saat
perkusi, kekakuan, dan menahan rasa nyeri. Nyeri saat palpasi pada RLQ pada
titik McBurney adalah tanda paling penting pada pasien ini. Pasien sering
ditemukan dekubitus lateral kanan dengan posisi sedikit fleksi pinggul sebagai
posisi kenyamanan maksimal pasien. Pemeriksaan perut menunjukkan nyeri dan
kekauan otot di fossa iliaka kanan (Petroianu, 2012; Craig, 2018).
Pemeriksaan lain yang dapat ditemukan pada pasien seperti wajah memerah
dengan lidah kering dan terdapat faetor oris. Terdapat perbedaan antara suhu
aksila dan dubur lebih tinggi dari 1 °C menunjukkan peradangan panggul yang
mungkin disebabkan oleh apendisitis atau radang panggul lainnya. Gambaran
klasik nyeri
sentral yang berimingrasi ke fossa iliaka kanan terkait dengan mual, muntah, dan
anoreksia terjadi pada kurang dari setengah presentasi pasien. Gerakan seperti
batuk dan berkendara dapat memperburuk rasa sakit yang dialami pasien. Pasien
juga dapat menunjukkan perasaan yang umumnya tidak sehat, lemah, dingin, dan
lembap, atau gambaran gejala apa saja yang sesuai seperti sepsis (Petroianu, 2012;
Baird, 2017).
Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk
menunjang diagnosis apendisitis:
- Blumberg’s sign
Nyeri lepas kontralateral yaitu tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ. Tanda ini merupakan penanda bahwa apendiks meradang.
- Rovsing’s sign
Positif bila terdapat nyeri di RLQ saat dilakukan penekanan di LLQ. Tanda
ini menunjukkan iritasi peritoneum pada RLQ yang dipalpasi di lokasi yang
jauh. Sering positif tapi tidak spesifik.
- Psoas sign
Dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi
pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal
dari abses. Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah apendiks yang
terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas
pada saat dilakukan manuver ini.
- Obturator sign
Dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi
tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
- Dunphy’s sign
Nyeri tajam pada RLQ yang ditimbulkan setelah batuk. Dapat membantu
dalam membuat diagnosis klinis peritonisitis lokal (Warsinggih, 2010;
Brodsky, 2013; Craig, 2018).
Gambar 2.3. Pemeriksaan fisik nyeri perut kanan. A Blumberg’s sign, B Rovsing’s sign, C Psoas
sign, D Obturator sign (Petroianu, 2012)
Sistem Skoring
Pemeriksaan Laboratorium
1. Medikamentosa
Masih ada banyak kontroversi mengenai penatalaksanaan apendisitis akut
nonoperatif, antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan
kondisi ini. Antibiotik yang dipertimbangkan untuk pasien dengan apendisitis
harus
menawarkan cakupan aerob dan anaerob secara lengkap. Durasi pemberian terkait
erat dengan tahap apendisitis pada saat diagnosis, mempertimbangkan temuan
intraoperatif atau evolusi pasca operasi. Menurut beberapa penelitian, profilaksis
antibiotik harus diberikan sebelum setiap operasi apendisitis. Ketika pasien
demamnya menurun dan sel darah putih dihitung normal, pengobatan antibiotik
dapat dihentikan. Cefotetan dan cefoxitin tampaknya menjadi pilihan terbaik
antibiotic pada apendisitis (Craig, 2018).
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
apendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi seperti untuk
pekerja di laut lepas, atau bagi mereka yang memilki risiko tinggi untuk dilakukan
operasi. Tujuan terapi adalah untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi.
Antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan apendisitis dari semua terapi.
Durasi pemberian terkait erat dengan tahap apendisitis pada saat diagnosis
(Warsinggih, 2010; Craig, 2018).
Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi
post operasi. Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif
serta anaerob. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai.
Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin,
atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,
Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides (Warsinggih, 2010).
Pada pasien dengan abses usus buntu, beberapa ahli bedah melanjutkan
antibiotik selama beberapa minggu dan kemudian melakukan operasi usus buntu.
Ketika apendiks telah pecah, prosedur ini masih dapat dilakukan secara
laparoskopi, tetapi diperlukan irigasi yang luas pada perut dan panggul. Antibiotik
efektif dalam mengurangi tingkat infeksi luka pasca operasi dan dalam
meningkatkan hasil pada pasien dengan abses apendiks atau septikemia. The
Surgical Infection Society merekomendasikan untuk memulai antibiotik
profilaksis sebelum operasi, menggunakan agen spektrum yang sesuai untuk
kurang dari 24 jam untuk usus buntu nonperforated dan kurang dari 5 hari untuk
usus buntu perforasi (Craig, 2018; Jones et al., 2019).
2. Pembedahan
Apendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena angka
kejadian apendisitis tinggi di setiap negara. Risiko perkembangan apendisitis bisa
seumur hidup sehingga memerlukan tindakan pembedahan (Fransisca et al.,
2019). Tindakan yang sering kali dilakukan untuk penanganan apendisitis adalah
apendiktomi (Zulfa et al., 2019). Apendiktomi merupakan suatu intervensi bedah
yang mempunyai tujuan bedah ablative atau melakukan pengangkatan pada bagian
tubuh yang mengalami masalah atau mempunyai penyakit. (Tusyanawati et al.,
2019). Apendiktomi yang dini telah lama direkomendasikan sebagai pengobatan
apendisitis dikarenakan risiko progresivitas apendisitis menuju pada perforasi
(Yulianto et al., 2016).
Pengobatan utama untuk apendisitis adalah pembedahan. Dokter harus
membuat keputusan operatif dengan berkonsultasi dengan bagian bedah, dan
mereka harus mendiskusikan risiko dan manfaat dengan pasien atau keluarga
mereka. Jika dugaan apendisitis terutama pada pasien nyeri yang menetap di
bagian perut dan demam, atau tanda-tanda apendiks yang pecah dan infeksi,
seorang dokter sering akan menyarankan operasi tanpa melakukan pengujian
diagnostik. Cepat operasi mengurangi kemungkinan bahwa apendiks akan pecah
(Brodsky, 2013;Gadiparhi dan Waseem, 2019).
Seiring perkembangan ilmu teknologi kedokteran, teknik pembedahan pada
penyakit apendisitis bisa dilakukan dengan bedah terbuka atau laparoskopi
(Diantari et al., 2019). Seorang ahli bedah melakukan operasi menggunakan salah
satu metode ini. Apendektomi terbuka menghilangkan apendiks melalui satu
sayatan tunggal pada daerah kanan bawah perut. Apendektomi laparoskopi
menggunakan beberapa sayatan yang lebih kecil dan alat bedah khusus yang
diberikan sayatan untuk mengangkat apendiks (Brodsky, 2013).
Apendektomi laparoskopi lebih disukai daripada pendekatan terbuka.
Sebagian besar usus buntu yang tidak rumit dilakukan secara laparoskopi. Dalam
kasus di mana ada abses atau infeksi lanjut, pendekatan terbuka mungkin
diperlukan. Situasi di mana ada abses yang diketahui dari apendiks yang perforasi,
mungkin memerlukan prosedur drainase perkutan yang biasanya dilakukan oleh
ahli
radiologi intervensi. Ini menstabilkan pasien dan memungkinkan peradangan
untuk mereda dari waktu ke waktu, memungkinkan usus buntu laparoskopi yang
lebih sulit untuk dilakukan di kemudian hari (Jones et al., 2019). Operasi
laparoskopi yang semakin meningkat telah menggantikan operasi terbuka untuk
apendisitis. Faktor utama yang menentukan apakah operasi terbuka atau
laparoskopi harus dilakukan adalah preferensi atau keahlian ahli bedah yang
merawat ( Gadiparhi dan Waseem, 2019).
Komplikasi Apendisitis
2. Hematoma dan apendisitis berulang dapat terjadi jika masih terdapat sisa
Jika didiagnosis dan diobati sejak dini dalam 24 hingga 48 jam, pemulihan dan
prognosisnya biasanya sangat baik. Kasus-kasus yang disertai dengan abses lanjut,
sepsis, dan peritonitis mungkin memiliki perjalanan yang lebih lama dan rumit,
mungkin memerlukan pembedahan tambahan atau intervensi lain (Jones et al.,
2019). Tingkat kematian keseluruhan berkisar 0,2-0,8% disebabkan oleh
komplikasi dari penyakit dibanding dengan tindakan bedah. Tingkat kematian
pada anak-anak berkisar antara 0,1-1%. Pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun,
angka kematian meningkat di atas 20%, terutama disebabkan oleh keterlambatan
diagnostik dan terapeutik (Craig, 2018).
APENDEKTOMI
Apendektomi Terbuka
Pertama kali dijelaskan oleh McBurney pada tahun 1894, apendektomi terbuka
merupakan prosedur aman dan efektif untuk menangani apendisitis selama lebih
dari seabad (Takumi et al., 2019). Meskipun sudah lebih satu abad telah berlalu,
prosedur apendektomi terbuka tetap menjadi pilihan untuk apendisitis untuk
Sebagian besar ahli bedah (Kehagias et al., 2008). Bedah terbuka merupakan
teknik pembedahan dengan insisi sepanjang 2-3 inci (7,6 cm) pada kuadran kanan
bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney) (Diantari et al.,
2019).
Dokter bedah biasanya berdiri di sebelah kiri pasien dan asisten berdiri di
sebelah kanan. Ahli anestesi dan peralatan anestesi ditempatkan di kepala pasien,
dan monitor video serta tabel instrumen ditempatkan di kaki. Beberapa variasi
dimungkinkan dalam pendekatan standar menempatkan tiga kanula selama
prosedur. Dua di antaranya memiliki posisi tetap yaitu umbilikus dan suprapubik.
Posisi yang ketiga ditempatkan di daerah periumbilikalis kanan, dapat bervariasi
tergantung pada anatomi pasien (Santacroce, 2019).
Menurut preferensi ahli bedah, sayatan pusar pendek dibuat untuk
memungkinkan penempatan kanula Hasson atau jarum Veress yang dilekatkan
dengan dua jahitan yang dapat diserap. Pneumoperitoneum (10-14 mm Hg) dibuat
dan dirawat dengan mengempiskan karbon dioksida. Melalui akses laparoskop
dimasukkan untuk melihat seluruh rongga perut. Trocar 12-mm dimasukkan di
atas simfisis pubis untuk memungkinkan pengenalan instrumen seperti incisors,
forceps, atau stapler. Trocar 5 mm lainnya ditempatkan di daerah periumbilikalis
kanan, biasanya antara garis kosta kanan dan umbilikus untuk memungkinkan
penyisipan penggenggam atraumatik untuk mengekspos apendiks (Santacroce,
2019).
Apendiks digenggam dan ditarik ke atas untuk membuka mesoapendiks.
Mesoapendiks dibagi dengan dissector yang dimasukkan melalui trocar
suprapubik. Kemudian, sebuah endostapler linier, endoklip, atau ligatur penjahitan
dilewatkan melalui kanula suprapubik untuk mengikat ikatan mesoapendiks.
Mesoapendiks ditranseksi dengan gunting atau electrocautery untuk menghindari
perforasi apendiks dan peritonitis iatrogenik, ujung apendiks jangan digenggam
(Santacroce, 2019).
Apendiks sekarang dapat ditranseksi dengan endostapler linier, atau, secara
bergantian, dasar apendiks dapat diikat dengan cara yang serupa dengan prosedur
terbuka. Apendiks sekarang bebas dan dapat diangkat melalui kanula umbilikus
atau suprapubik dalam kantong laparoskopi untuk mencegah kontaminasi luka.
Irigasi peritoneum dilakukan dengan antibiotik atau larutan garam. Irigasi harus
sepenuhnya disedot dikarenakan irigasi peritoneum tampaknya menjadi faktor
risiko abses intraabdomen setelah apendektomi laparoskopi. Kanula kemudian
diangkat, dan pneumoperitoneum berkurang. Lapisan fasia di sisi kanula ditutup
dengan jahitan yang dapat diserap. Sayatan kulit ditutup dengan jahitan
subkutikular terputus atau strip perekat steril (Santacroce, 2019).
Pemulihan Pasca Apendektomi
Lama rawat menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat setelah
menjalani apendiktomi dalam satu periode perawatan. Cara menghitung lama
dirawat adalah dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari RS,
hidup maupun mati) dengan tanggal masuk RS. Dalam hal ini, untuk pasien yang
masuk dan keluar pada hari yang sama lama dirawatnya dihitung sebagai satu hari
(Nurlina, 2010). Lama hari rawat inap pasien-pasien dengan post apendiktomi di
rumah sakit sangatlah bervariasi. Hal tersebut bergantung pada jenis apendisitis,
usia, penyakit penyerta, komplikasi, dan teknik operasi yang dilakukan. Apabila
apendiks tidak ruptur, lama hari rawat pasien 1-2 hari. Jika terdapat perforasi
maka dapat memperlama hari rawat menjadi 4-7 hari, terutama jika terjadi
peritonitis.
Alvarado Score
Appendicitis Inflammatory Response Score
Obstruksi pada Apendiks
Pemeriksaan Penunjang
Apendisitis
Apendektomi
Berdasarkan judul penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah:
Pemulihan
Apendektomi Terbuka Lama rawat di Rumah Sakit
Apendektomi Laparoskopi Nyeri
Komplikasi
HIPOTESIS
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yaitu telaah sistematis dan meta
analisis. Penelitian ini mempunyai kriteria seleksi yaitu inklusi dan eksklusi.
35
Universitas Sumatera Utara
36
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu mulai bulan Juni – Desember
2020. Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Telaah kualitas jurnal dilakukan untuk menilai validitas dari jurnal. Telaah
kualitas jurnal yang digunakan pada penelitian ini adalah Kriteria Jadad (Jadad’s
Scale). Kriteria Jadad merupakan salah satu alat yang sering digunakan untuk
menilai kualitas metodologi penelitian dengan design uji klinis acak terkontrol
(Randomized Controlled Trial). Sebelum dimasukkan ke dalam kriteria Jadad,
jurnal yang diambil harus memiliki jumlah sampel yang benar dan uji hipotesis
yang benar secara statistik. Penilaian kualitas jurnal dilakukan 2 orang reviewer
secara independen (Raja Alwan Nasution dan Dr. dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-
KBD). Kriteria Jadad menilai randomisasi, blinding dan withdrawals dan drop out
pada setiap penelitian. Skor tertinggi pada kriteria Jadad adalah 5. Penelitian akan
diurutkan berdasarkan hasil skor dan penelitian dengan skor dibawah 3 akan
dieksklusikan.
Semua data yang relevan mengenai intervensi, karakteristik dan efeknya pada
pasien dikumpulkan menggunakan standard pengumpulan yang telah ditetapkan
oleh reviewer (Raja Alwan Nasution dan Dr. dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD).
Perbandingan efektivitas operasi apendektomi laparoskopi dan apendektomi
terbuka sebagai tatalaksana operasi pasien apendisitis mencakup Pemulihan, lama
rawat di rumah sakit, nyeri, dan komplikasi.
Variabel Independen
Variabel Dependen
40
41
Diagram alir PRISMA pada gambar 4.1 menyajikan hasil dari pencarian
literatur. Sebanyak 1171 literatur diidentifikasi dari beberapa basis data seperti
Pubmed, Clinical Key, Embase, Cochrane Database, Researchgate dan Google
Scholar. 79 literatur yang mengalami duplikasi dihilangkan sehingga tersisa 1093
literatur. Sebanyak 888 dari 1093 literatur dieksklusikan setelah dilakukan
penyaringan melalui judul dan abstrak serta 15 literatur tidak dapat diakses
sehingga tersisa 190 literatur. 174 dari 190 literatur tersebut dieksklusikan kembali
karena 143 literatur memiliki outcome yang berbeda dimana 30 literatur
menggunakan intervensi yang berbeda, 94 literatur menggunakan metode
penelitian yang berbeda, dan 19 literatur menggunakan populasi yang berbeda dari
yang diingikan, serta 10 literatur bukan menggunakan Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris, 10 literatur bersifat review article dan 11 literatur memiliki
kualitas penelitian yang rendah menurut kriteria jadad. Diperoleh hasil akhir total
16 literatur yang memenuhi kriteria eligibilitas dan inklusi yang selanjutnya akan
disintesis secara kualitatif dan kuantitatif dalam penelitian ini.
PENILAIAN KUALITAS LITERATUR
Tabel 4.1 Penilaian kualitas penelitian berdasarkan kriteria Jadad (Jadad et al., 1996).
KARAKTERISTIK STUDI
Terdapat 16 studi uji klinis acak terkontrol dari berbagai negara di seluruh
dunia yang dianalisis dalam telaah sistematis dan metaanalisis ini. Karakteristik
setiap studi seperti nama penulis, tahun publikasi, negara, desain penelitian, usia
pasien, jumlah sampel, dan skor jadad disajikan pada tabel 4.2. Rentang tahun
publikasi dari 16 studi yaitu mulai tahun 2010 sampai tahun 2019 dengan batas
pencarian literatur mulai dari tahun 2010 sampai tahun 2020.
Terdapat 5 studi dilakukan di Turki, 3 studi di Pakistan, dan 1 studi Afrika
Selatan, Finlandia, India, Iran, Jepang, Mesir, USA, dan Yunani. Rata-rata usia
pasien dari sampel bervariasi sesuai dengan kriteria inklusi yaitu Pasien laki-laki
dan perempuan, dewasa maupun remaja awal diatas usia 12 tahun. Jumlah
keseluruhan sampel yaitu 1822 pasien dengan 915 pasien mendapat intervensi
apendektomi laparoskopi dan 907 pasien mendapat intervensi apendektomi
terbuka. Skor jadad dari 16 studi didominasi dengan nilai 3 dengan nilai rata- rata
secara keseluruhan yaitu 3,25.
Apendektomi Laparoskopi diketahui sebagai salah satu pembedahan yang
digunakan dalam tatalaksana apendisitis, begitu juga dengan apendektomi terbuka
yang merupakan teknik pembedahan lebih umum digunakan dalam tatalaksana
pasien apendisitis. Kedua teknik ini masih menjadi perdebatan pada penelitian-
penelitian sebelumnya dalam hal membandingkan efektivitas dan komplikasi
kedua teknik. Meta analisis ini bertujuan untuk menentukan apakah terdapat
perbedaan antara kedua teknik tersebut agar klinisi dapat memilih teknik
pembedahan yang paling baik sesuai dengan indikasi dan kebutuhannya.
Penelitian meta analisis ini menentukan ada tidaknya perbedaan kedua teknik
pembedahan berdasarkan outcome yang ada, yaitu: lama rawat, pemulihan, nyeri,
dan komplikasi. Jurnal-jurnal yang dimasukkan ke dalam meta analisis ini adalah
jurnal-jurnal berkualitas baik yang telah dinilai menggunakan kriteria Jadad dan
menggunakan studi randomized controlled trial. Kelemahan dari pencarian jurnal-
jurnal yang sesuai untuk meta analisis ini adalah keterbatasan penulis dalam
menemukan penelitian-penelitian yang tidak dipublikasi. Adapun pembahasan dari
outcome pada penelitian ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan
berikutnya.
LAMA RAWAT
PEMULIHAN
Nyeri merupakan outcome ketiga pada meta analisis ini dengan menyertakan 5
dari 16 jurnal yang ada. Dari kelima penggabungan penelitian untuk meta analisis
ini, penilaian kuliatas nyeri terhadap pasien menggunakan visual analog scale
(VAS) serta dibagi menjadi tiga bagian. Tiga bagian pada outcome ketiga ini
adalah menggunakan penilaian nyeri saat 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Hasil
analisis ketiga bagian pada outcome nyeri didapat bahwa apendektomi laparoskopi
memiliki nilai nyeri lebih baik saat 6,12, dan 24 jam pasca operasi dibandingkan
dengan apendektomi terbuka dan memiliki nilai yang bermakna. Hasil penelitian
meta analisis mengenai nyeri dapat dilihat lebih lanjut pada penjelasan gambar
4.4, gambar 4.5, dan gambar 4.6.
Analisis berikutnya dari outcome nyeri ialah saat 12 jam pasca operasi dengan
menggunakan kelima jurnal yang sudah ada. Hasil analisis jurnal-jurnal untuk
nyeri menghasilkan nilai p sebesar 0.0001 yang berarti data-data bersifat
heterogen sehingga digunakan random effects model untuk menganalisis data-data
tersebut. Hasil analisis pada forest plot nyeri 12 jam pasca operasi memiliki hasil
yang sama saat 6 jam pasca operasi dengan 4 dari 5 jurnal yang digunakan
diangap memiliki nilai bermakna. Hanya 1 dari 5 jurnal (Singh et al., 2017) seperti
saat 6 jam pasca operasi mendapatkan hasil bahwa apendektomi laparoskopi
memiliki nilai yang tidak jauh berbeda atau tidak bermakna dibandingkan
apendektomi terbuka dengan hasil sebesar -1.73 (95% CI: -5.03; 1.57).
Gabungan kelima jurnal mendapatkan hasil yang sama seperti 6 jam pasca
operasi dengan nyeri pada apendektomi laparoskopi memiliki nilai yang lebih baik
saat 12 jam pasca operasi. Total mean difference dari outcome ini memberikan
hasil
-1.07 (95% CI: -1.74; -0.40) dan didapatkan diamond berada di kelompok
apendektomi laparoskopi dan nilai p sebesar 0.002 menandakan hasil meta analisis
berupa nyeri saat 12 jam pasca operasi memberikan hasil yang bermakna.
Nyeri 24 Jam Pasca Operasi
Bagian terakhir pada outcome nyeri ialah nyeri saat 24 jam pasca operasi
dengan menggabungkan kelima jurnal yang akan dianalisis. Hasil analisis kelima
jurnal menghasilkan nilai p sebesar 0.02 yang berarti data-data tersebut bersifat
heterogen sehingga digunakan random effects model untuk menganalisis data
gabungan tersebut. Terdapat 3 dari 5 jurnal yang digabungkan mendapatkan hasil
bahwa perbedaan nilai nyeri saat 24 jam pasca operasi pada apendektomi
laparoskopi dibandingkan dengan apendektomi terbuka memiliki nilai yang
berbeda atau bermakna. Hal ini jelas terlihat pada forest plot dimana ketiga jurnal
yang dimaksud memiliki garis confidence interval berada di apendektomi
laparoskopi dan tidak memotong garis vertikal. Sementara dua penelitian lainnya
(Kargar et al., 2011) dan (Singh et al., 2017) mendapatkan hasil bahwa
apendektomi laparoskopi memiliki nilai saat 24 jam pasca operasi yang tidak jauh
berbeda atau tidak bermakna dibandingkan apendektomi terbuka.
Gabungan kelima jurnal ini mendapatkan hasil yang sama seperti 6 dan 12 jam
pasca operasi dengan nyeri pada apendektomi laparoskopi memiliki nilai yang
lebih baik dibandingkan dengan apendektomi terbuka. Penilaian ini didukung
dengan nilai p sebesar 0.0001 serta diamond gabungan yang berada di kelompok
apendektomi laparoskopi yang menandakan bahwa penilaian nyeri saat 24 jam
pasca operasi pada apendektomi laparoskopi memiliki nilai nyeri yang lebih baik
dibandingkan dengan apendektomi terbuka dan memiliki nilai yang bermakna.
Total mean difference outcome ini memberikan hasil -0.69 (95% CI: -1.05; -0.34)
yang artinya rata-rata penilaian nyeri pada apendektomi laparoskopi lebih kecil
sebesar 0.69 dibandingkan dengan apendektomi terbuka dengan rentang interval
kepercayaan terhadap populasi sebesar 0.34 sampai 1.05.
Setelah dilakukan pengolahan data dari penggabungan kelima jurnal tersebut,
dapat disimpulkan bahwa apendektomi laparoskopi memiliki penilaiaan nyeri
lebih baik dibandingkan dengan apendektomi terbuka pada saat 6, 12, dan 24 jam
pasca operasi. Hasil analisis ini juga sesuai dengan penelitian (Golub et al., 1998)
yang menyatakan terdapat perbedaan bermakna antara apendektomi laparoskopi
dan apendektomi terbuka dalam menilai nyeri terhadap pasien apendisitis dengan
nilai mean difference penelitian sebesar (MD -0.38, 95% Cl: -0.64, -0.13;
P=0.003). Pada penelitian (Bennett et al., 2007) didapatkan hasil yang berbeda
yang menyatakan perbandingan apendektomi laparoskopi dan apendektomi
terbuka dalam menilai nyeri tidak bermakna dengan nilai mean difference
penelitian sebesar (MD -0.90, 95% Cl: -1.84, 0.25; P=0.13). Faktor yang
mempengaruhi kualitas nyeri pasca operasi pasien apendisitis serupa dengan
beberapa faktor pada pemulihan. Perbedaan pada meta analisis sebelumnya
(Bennett et al., 2007) bisa dikaitkan dengan faktor sosial budaya tiap individu,
dimana penilaian kualitas nyeri bersifat subjektif atau berdasarkan persepsi dari
tiap individu yang berbeda-beda. Faktor lain yang membuat hasil pada meta
analisis ini berbeda dengan sebelumnya adalah blinding pada tiap studi dilakukan
dengan benar atau tidaknya dapat mempengaruhi penilaian kualitas nyeri tiap
individu.
KOMPLIKASI
Infeksi luka pasca operasi merupakan komplikasi pertama pada outcome ini
dan komplikasi paling sering terjadi pasca operasi apendektomi. Outcome ini
menggunakan seluruh jurnal yang disertakan pada penelitian ini. Hasil analisis
keseluruhan jurnal menghasilkan nilai p sebesar 0.47 yang berarti data-data
tersebut bersifat homogen sehingga Fixed Effects Model digunakan untuk
menganalisis data gabungan pada meta analisis ini. Berdasarkan analisis data dari
keseluruhan jurnal dijumpai 3 dari 16 jurnal yang digabungkan memberikan nilai
yang bermakna dimana apendektomi laparoskopi menunjukkan pengaruh yang
lebih kecil menyebabkan kejadian infeksi luka pasca operasi dibandingkan
apendektomi terbuka. Penggabungan 13 jurnal lainnya dari seluruh jurnal
memiliki hasil yang tidak jauh berbeda atau tidak bermakna dalam
membandingkan kejadian infeksi luka pada apendektomi karena dilihat dari garis
confidence interval yang memotong garis vertikal.
Setelah dilakukan pengolahan data dari penggabungan seluruh jurnal dalam
penelitian, diamond berada di kelompok apendektomi laparoskopi tidak
menyentuh garis vertikal dan nilai p<0.00001 menandakan hasil meta analisis
berupa infeksi luka pasca operasi memberikan hasil yang bermakna terhadap
apendektomi laparoskopi. Total odds ratio dari outcome ini
memberikan hasil
0.37 (95% CI: 0.25; 0.53) yang artinya kejadian infeksi luka pasca operasi pada
apendektomi laparoskopisi lebih rendah 0.37 kali dibandingkan dengan
apendektomi terbuka dengan rentang interval kepercayaan terhadap populasi
antara
0.25 sampai 0.53. Hasil analisis meta analisis ini juga sesuai dengan penelitian
(Ohtani et al., 2012) dan (Bennett et al., 2007) yang menyatakan terdapat
perbedaan signifikan atau bermakna antara apendektomi laparoskopi dan
apendektomi terbuka dalam infeksi luka pasca operasi pasien apendisitis. Nilai
odds ratio dari masing- masing penelitian sebesar (OR 0.46, 95% Cl: 0.34,
0.62; P<0.00001) dan (OR 0.52, 95% Cl: 0.39, 0.70; P<0.0001). Penyebab yang
paling memungkinkan apendektomi terbuka memiliki kejadian yang lebih banyak
untuk infeksi luka pasca operasi adalah pada apendektomi terbuka lebih invasif
dibandingkan laparoskopi dimana sayatan luka lebih besar agar apendiks langsung
terlihat untuk diangkat. Hal ini akan menyebabkan kontaminasi dari luar sehingga
membuat risiko kejadian infeksi pasca apendektomi terbuka lebih besar.
Ileus Paralitik
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilaksanakan pada
penelitian ini, maka dapat diambil beberapa simpulan yaitu :
61
62
SARAN
Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian ini, maka beberapa saran yang
dapat diambil sebagai berikut :
Amalina, A., Suchitra, A. and Saputra, D. 2018, 'Hubungan Jumlah Leukosit Pre
Operasi dengan Kejadian Komplikasi Pasca Operasi Apendektomi pada
Pasien Apendisitis Perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang', Jurnal
Kesehatan Andalas, vol.7, no. 4, pp. 491-497.
Arifuddin, A., Salmawati, L. and Prasetyo, A. 2017, 'Faktor Risiko Kejadian
Apendisitis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu',
Preventif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 8, no. 1, pp. 26-33.
Aritonang, S. G. 2019, 'Karakteristik Penderita Apendisitis yang Dirawat Inap di
Rumah Sakit Putri Hijau Medan Tahun 2018', Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan.
Baird, D. L. H., Simillis, C., Kontovounisios, C., Rasheed, S. and Tekkis, P. P.
2017, Acute appendicitis, Bmj, 357, , p.j1703.
Biondi, A., Di Stefano, C., Ferrara, F., Bellia, A., Vacante, M. and Piazza, L.
2016, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A Retrospective Cohort
Study Assessing Outcomes and Cost-Effectiveness', World Journal of
Emergency Surgery, vol. 11, no. 1, p. 44.
Bajwa, R. S. dan Brar, N. 2017, 'A randomized prospective comparative study of
laparoscopic appendicectomy versus open appendicectomy', International
Surgery Journal, vol. 4, no. 9, p. 2987-2990.
Bartin, M. K., Kemik, Ö., Çaparlar, M. A., Bostanci, M. T., dan Öner, M. Ö. 2016,
'Evaluation of the Open and Laparoscopic Appendectomy Operations With
Respect to Their Effect on Serum IL-6 Levels', Ulus Travma Acil Cerrahi
Derg, vol. 22, no. 5, p. 466-470.
Bennett, J., Boddy, A., Çaparlar, dan Rhodes, M. 2007, 'Choice of Approach for
Appendicectomy: A Meta-analysisof Open Versus Laparoscopic
Appendicectomy', Surgical Laparoscopy, Endoscopy and Percutaneous
Techniques, vol. 17, no. 4, p. 245-255.
63
64
Blackmore, C., Tanyingo, D., Kaplan, G. G., Dixon, E., MacLean, A. R. and Ball,
C .G. 2015, 'A Comparison of Outcomes Between Laparoscopic and Open
Appendectomy in Canada', Canadian Journal of Surgery, vol. 58, no. 6, p.
431-432.
Brodsky, J. A. 2013, Appendicitis, [Online], accessed 4 Mei 2020, Available at:
www.niddk.nih.gov/health-information/digestive-diseases/appendicitis
Brunicardi, F., Andersen, D., Billiar, T., Dunn, D., Hunter, J., Matthews, J. and
Pollock, R. 2015, Schwartz's Principles of Surgery, 10th ed, McGraw-Hill
Education, USA.
Çiftçi, F. 2015, 'Laparoscopic vs Mini-incision Open Appendectomy', World
Journal of Gastrointestinal Surgery, vol. 7, no. 10, p. 267-272.
Cipe, G., Udiz, O., Hasbahceci, M., Bozkurt S., Kadioglu, H., Coskun, H.,
Karatepe, O. and Muslumanoglu M. 2014, 'Laparoscopic Versus Open
Appendectomy: Where Are We Now?', Chirurgia, vol. 109, no. 4, p. 518-522.
Clarke, T., Katkhouda, N., Mason R. J., Cheng, B. C., Olasky, J., Sohn, H. J.,
Moazzez, A., Algra, J., Chaghouri, E. and Berne, T. V. 2011, 'Laparoscopic
Versus Open Appendectomy for the Obese Patient:A Subset Analysis From A
Prospective, Randomized, Double-blind Study?', Surgical Endoscopy,
vol. 25, no. 4, p. 1276-1280.
Craig, S. 2018, Appendicitis, [Online], accessed 5 Mei 2020, Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
Dai, L. dan Shuai, J. 2017, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy in Adults
and Children: A Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials', United
European Gastroenterology Journal, vol. 5 no. 4, pp. 542-553.
D’Souza, N. & Nugent, K. 2016, Appendicitis, Clinical Evidence Handbook, vol.
93, no.2, pp. 148-149.
Diantari, D. A. W., Wiguna, I. N. A. A. and Niryana, I. W. 2018, 'Gambaran
Evaluasi Tingkat Nyeri Pasien Pasca Operasi Radang Usus Buntu dengan
Bedah Terbuka dan Laparoskopi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar tahun 2016', Intisari Sains Medis, vol. 9 no. 2, pp. 100–106.
Duque, G. A. & Mohney, S. 2019, Appendicitis in Pregnancy, StatPearls
Publishing, [book on- line], accessed 1 mei 2020, Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551642/
Eroschenko, V. P. 2008, DiFiore's atlas of histology with functional correlations,
11th ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Fransisca, C., Gotra, I. M. and Mahastuti, N. M. 2019, 'Karakteristik Pasien
dengan Gambaran Histopatologi Apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar
Tahun 2015-2017', Jurnal Medika Udayana, vol. 8, no. 7.
Gadiparthi, R. & Waseem, M. 2018, Pediatric Appendicitis, StatPearls
Publishing, [book on- line], accessed 27 April 2020; Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441864/
Golub, R., Siddiqui, F. and Pohl, D. 1998, 'Laparoscopic Versus Open
Appendectomy: A Metaanalysis', Journal of the American College of
Surgeons, vol. 186, no. 5, pp. 545-553.
Goudar, B. V., Telkar, S., Lamani, Y. P., Shirbur, S. N. and Shailesh M. E. 2011,
'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A Comparison of Primary
Outcome Studies from Southern India', Journal of Clinical and Diagnostic
Research, vol. 5, no. 8, pp. 1606-1609.
Gul, T., Bilal, M., Gul, A., Sahar, S., Kamran, W. and Akhunzada, T. S. 2014,
'Surgical Site Infection in Open Versus Laparoscopic Appendectomy',
Journal of Surgery Pakistan, vol. 19, no. 1, pp. 22-25.
Gundavda, M. K. dan Bhandarwar A. H. 2012, 'Comparative Study of
Laparoscopic Versus Open Appendicectomy', Indian Journal of Medical
Sciences, vol. 66, no. 5-6, pp. 99-115.
Hayat, S., Riaz, O., Usman, M., Lodhi, M. F. B. and Khan A. A. 2019,
'Comparison of Open Versus Laparoscopic Appendectomy in Terms of Post
Operative Pain and Operative Duration', The Professional Medical Journal,
vol. 26, no. 10, pp. 1706-1711.
Hoffman, M. 2019, Picture of The Appedix, [Online], accessed 28 April 2020,
Available at: https://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-
appendix
Hunter, C. J. (ed.) 2019, Controversies in Pediatric Appendicitis, Cham: Springer,
Chicago.
Irawan, E. 2014, 'Deteksi Penyakit Apendicitis dari Hasil Ultrasonografi (USG)
Dengan Menggunakan Metode Tresholding dan Edge Detection (CANNY)',
Jurnal Keperawatan BSI, vol. 2, no. 1, pp. 85–94.
Ishikawa, H. 2003, 'Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis', JAPAN
MEDICAL ASSOCIATION JOURNAL, vol. 46, no. 5, pp. 217-221.
Isnanto. & Lestari, L. 2017, 'Pengaruh Pemberian Relaksasi Guided Imagery
Terhadap Nyeri Pada Pasien Pasca Apendiktomi di RSUD Wirosaba', Jurnal
Kesehatan, vol. 4, no. 1, pp. 43-49.
Jan, W. A., Rehman, Z. U., Khan, S. M., Ali, G., Qayyum, A. and Mumtaz, N.
2011, 'Outcome of Open Versus Laproscopic Appendicectomy in
Department of Surgery, Lady Reading Hospital, Peshawar', Journal of Post
graduate Medical Institute, vol. 25, no. 3, pp. 245-251.
Jones, M. W., Lopez, R. A. and Deppen, J. G. 2019, Appendicitis, StatPearls
Publishing, [book on- line], accessed 3 Mei 2020; Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
Kargar, S., Mirshamsi, M. H., Zare, M., Arefanian, S., Yazdi, E. S. and Aref, A.
2011, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy; Which Method to
Choose? A Prospective Randomized Comparison', Acta Medica Iranica, vol.
49, no. 6, pp. 352-356.
Kasper, D. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Longo, D. L., Jameson, J. L. and
Loscalzo, J. 2015. Harrison's Principles of Internal Medicine, 19th ed,
McGraw-Hill Medical, New York.
Kehagias, I., Karamanakos, S. N., Panagiotopoulos, S., Panagopoulos, K. and
Kalfarentzos, F. 2008, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: Which
Way to Go?', World Journal of Gastroenterology, vol. 14, no. 31, pp. 4909-
4914.
Keyzer, C. & Gevenois, P. A. (eds) 2011, Imaging of acute appendicitis in adults
and children, Berlin Heidelberg: Springer.
Khalil, J., Muqim, R., Rafique, M. and Khan, M. 2011, 'Laparoscopic Versus
Open Appendectomy: A Comparison of Primary Outcome Measures', Saudi
Journal of Gastroenterology, vol. 17, no. 4, pp. 236-240.
Kocatas, A., Gonenc, M., Bozkurt, M. A., Karabulut, M., Gemici, E. and Alis, H.
2013, 'Comparison of Open and Laparoscopic Appendectomy in
Uncomplicated Appendicitis: A Prospective Randomized Clinical Trial',
Ulus Travma Acil Cerrahi Derg, vol. 19, no. 3, pp. 200-204.
Kolhar, B. A., Lamani, Y. P., Shekhar, R. M. and Shankar, G. 2017, 'Outcomes of
Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A Comparative Study',
International Surgery Journal, vol. 4, no. 7, pp. 2185-2188.
Kostov, K. 2020, 'Acute Appendicitis-Laparoscopic Appendectomy and Reasons
for Conversion', Journal of IMAB–Annual Proceeding Scientific Papers, vol.
26, no. 1, pp. 2991-2993.
Kouhia, S. T., Heiskanen, J. T., Huttunen, R., Ahtola, H. I., Kiviniemi, V. V. and
Hakala, T. 2010, 'Long-term Follow-up of A Randomized Clinical Trial of
Open Versus Laparoscopic Appendicectomy', British Journal of Surgery,
vol. 97, no. 9, pp. 1395-1400.
Lestari, Y. E. D. 2014, 'Pengaruh Rom Exercise Dini Pada Pasien Post Operasi
Fraktur Ekstremitas Bawah (Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris) Terhadap
Lama Hari Rawat Di Ruang Bedah Rsud Gambiran Kota Kediri', Jurnal
Ilmu Kesehatan, vol. 3, no. 1, pp. 34-40.
Li, X., Zhang, J., Sang, L., Zhang, W., Chu, Z., Li, X. and Liu, Y. 2010,
'Laparoscopic Versus Conventional Appendectomy - A Meta-analysis of
Randomized Controlled Trials', BMC Gastroenterology, vol. 10, no. 129,
pp. 1-8.
Mantoğlu, B., Karip, B., Mestan, M., İşcan, Y., Ağca, B., Altun, H. and Memişoğlu,
K. 2015, 'Should Appendectomy be Performed Laparoscopically? Clinical
Prospective Randomized Trial', Turkish Journal of Surgery, vol. 31, no. 4,
pp. 224-228.
Nazir, A., Farooqi, S. A., Chaudhary, N. A., Bhatti, H. W., Waqar, M. and Sadiq,
A. 2019, 'Comparison of Open Appendectomy and Laparoscopic
Appendectomy in Perforated Appendicitis', Cureus, vol. 11, no. 7, pp. 1-8.
Ngowe, M. N., Eyenga, V. C., Kengne, B. H., Bahebeck, J. and Sosso, A. M.
2010, 'Chewing Gum Reduces Postoperative Ileus after Open Appendectomy
', Acta Chirurgica Belgica, vol. 110, no. 2, pp. 195-199.
Nurlina. 2010, 'Faktor-faktor yang berhubungan dengan lama perawatan
diabetesmellitus di rumah sakit'.
Ohtani, H., Tamamori, Y., Arimoto, Y., Nishiguchi, Y., Maeda, K. and Hirakawa,
K. 2012, 'Meta-analysis of the Results of Randomized Controlled Trials that
Compared Laparoscopic and Open Surgery for Acute Appendicitis', Journal
of Gastrointestinal Surgery, vol. 16, no. 10, pp. 1929-1939.
Petroianu, A. 2012, 'Diagnosis of Acute Appendicitis', International Journal of
Surgery, vol. 10 no. 3, pp. 115-119.
Rahmayati, E., Asbana, Z. A. and Aprina 2017, 'Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Lama Perawatan Pasien Pasca Operasi di Ruang Rawat Inap Bedah
Rumah Sakit', Jurnal Keperawatan, vol. 13, no. 2, p. 195-202.
Ruffolo, C., Fiorot, A., Pagura, G., Antoniutti, M., Massani, M., Caratozzolo, E.,
Bonariol, L., di Pinto, F. C. and Bassi, N. 2013, 'Acute Appendicitis: What is
The Gold Standard of Treatment?', World Journal of Gastroenterology:
WJG, vol. 19, no. 47, p. 8799.
Sallinen, V., Akl, E. A., You, J. J., Agarwal, A., Shoucair, S., Vandvik, P. O.,
Agoritsas, T., Heels‐ Ansdell, D., Guyatt, G. H. and Tikkinen, K. A. O. 2016,
'Meta‐ Analysis of Antibiotics Versus Appendicectomy for Non‐ Perforated
Acute Appendicitis', British Journal of Surgery, vol. 103, no. 6, pp. 656-667.
Santacroce, L. 2019, Appendicitis, [Online], accessed 5 Mei 2020, Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/195778-overview
Sembiring, O. A. 2018, 'Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP
Haji Adam Malik Periode 2017', Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Shaikh, M. R., Ali, A., Saeed, S., Ali, N., Rauf, H. and Shaikh, N.A. 2019,
'Laparoscopic Versus Open Appendectomy, A Comparative Study', Journal
of Liaquat University of Medical & Health Sciences, vol. 18, no. 2, pp. 90-
93.
Sharanya, R., Kamal, V. S., and Parameswari, G. 2018, 'Comparative Study
between Mini Incision Open Appendectomy andLaparoscopic
Appendectomy in Terms of Post Operative Pain Length of Hospital Stay and
Return to Normal Life', Journal of Medical Science and Clinical Research,
vol. 6, no. 9, pp. 851-857.
Sharma, N., Mishra, M., Tripathi, A. and Rai, V. 2017, 'Comparative Study and
Outcome of Open Versus Laparoscopic Appendectomy: Case Series of 60
Patients', International Surgery Journal, vol. 4, no. 9, pp. 3129-3135.
Shirazi, B., Ali, N. and Shamim, M. S. 2010, 'Laproscopic Versus Open
Appendectomy: A Comparative Study', Journal of the Pakistan Medical
Association, vol. 60, no. 11, pp. 901-904.
Singh, V. K., Nishant, K., Kharga, B., Kalita, A. K., Bhutia, P. and Jain, J. 2017,
'Randomized Controlled Trial Comparing Open, Conventional, and Single
Port Laparoscopic Appendectomy', Journal of Clinical and Diagnostic
Research, vol. 11, no. 10, pp. 5-10.
Sirma, F., Haskas, Y. and Darwis, D. 2013, 'Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di
Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Pangkep', Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis, vol. 2, no. 1, pp. 107-114.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. D. 2004, Buku ajar ilmu bedah, 2nd ed, EGC,
Jakarta. Sozutek, A., Colak, T., Dirlik, M., Ocal, K., Turkmenoglu, O. and Dag,
A. 2013, 'A Prospective Randomized Comparison of Single-port
Laparoscopic Procedure With Open and Standard 3-port
Laparoscopic Procedures in the Treatment of Acute Appendicitis', Surgical
Laparoscopy, Endoscopy, and
Percutaneous Techniques, vol. 23, no. 1, pp. 74-78.
Svensson, J. F., Hall, N. J., Eaton, S., Pierro, A. and Wester, T. 2012, 'A Review of
Conservative Treatment of Acute Appendicitis', European Journal of
Pediatric Surgery, vol. 22, no. 3, pp. 185-194.
Taguchi, Y., Komatsu, S., Sakamoto, E., Norimizu, S., Shingu, Y. and Hasegawa,
H. 2016, 'Laparoscopic Versus Open Surgery for Complicated Appendicitis
in Adults: a Randomized Controlled Trial', Surgical Endoscopy, vol. 30,
no. 5, pp. 1705-1712.
Takami, T., Yamaguchi, T., Yoshitake, H., Hatano, K., Kataoka, N., Tomita, M.
and Makimoto, S. 2019, 'A Clinical Comparison of Laparoscopic Versus
Open Appendectomy for The Treatment of Complicated Appendicitis:
Historical Cohort Study', European Journal of Trauma and Emergency
Surgery, pp. 1-5.
Talha, A., El-Haddad, H., Ghazal, A. E. and Shehata, G. 2019, 'Laparoscopic
Versus Open Appendectomy for Perforated Appendicitis in Adults:
Randomized Clinical Trial', Surgical Endoscopy, vol. 34, no. 2, pp. 907-914.
Thomson, J. E., Kruger, D., Kruger, C. J., Kiss, A., Jones, J. A. O. O., Luvhengo,
T., and Brand, M. 2014, 'Laparoscopic Versus Open Surgery for Complicated
Appendicitis: A Randomized Controlled Trial to Prove Safety', Surgical
Endoscopy, vol. 29, no. 7, pp. 2027-2032.
Tusyanawati, V. M., Sutrisna, M. and Tohri, T. 2020, 'Studi Perbandingan Modern
Dressing (Salep Tribee) dan Konvensional Terhadap Proses Penyembuhan
Luka pada Pasien Post Operasi Apendiktomi', Jurnal Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (JPPNI), vol. 4, no. 1, pp. 9-16.
Tzovaras, G., Baloyiannis, I., Kouritas, V., Symeonidis, D., Spyridakis, M.,
Poultsidi, A., Tepetes, K. and Zacharoulis, D. 2010, ' Laparoscopic Versus
Open Appendectomy in Men: A Prospective Randomized Trial', Surgical
Endoscopy, vol. 24, no. 12, pp. 2987-2992.
Warsinggih, D. 2010, Bahan Ajar Apendisitis Akut, Nusantara Medical Science,
[Online], accessed 29 April 2020, Available at:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/10/Appendisitis
-akut.pdf
Wei, B., Qi, C. L., Chen, T. F., Zheng, Z. H., Huang, J. L., Hu, B. G. and Wei, H.
B. 2010, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy for Acute Appendicitis:
A Metaanalysis', Surgical Endoscopy, vol. 25, no. 4, pp. 1199-1208.
Wei, H. B., Huang, J. L., Zheng, Z. H., Wei, B., Qiu, W. S., Guo, W. P., Chen, T.
F. and Wang T. B. 2010, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A
Prospective Randomized Comparison', Surgical Endoscopy, vol. 24, no. 2,
pp. 266-269.
Wiyono, N. & Arifah, S. 2008, 'Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Pemulihan
Peristaltik Usus Pasien Paska Operasi Fraktur Femur dengan Anestesi
Umum di RSUI Kustati Surakarta', Journal News in Nursing, vol. 1, no. 2,
pp. 57-62.
Yadav, P., Shah, S. P., Gupta, R. K. and Joshi, B. R. 2018, 'Randomized
controlled trial comparing clinical outcome and cost analysis between
laparoscopic and open appendicectomy for acute appendicitis at Dharan,
Sunsari, Nepal', International Surgery Journal, vol. 5, no. 4, pp. 1205-121.
Yulianto, F. A., Sakinah, R. K., Kamil, M. I. and Wahono, T. Y. M. 2016, 'Faktor
Prediksi Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis Akut Dewasa di RS
Al-Ihsan Kabupaten Bandung Periode 2013–2014', Global Medical &
Health Communication, vol. 4, no. 2, pp. 114-120.
Zulfa, I. M., Ernawati, I., and Handayani, W. 2019, 'Studi Komparatif Efektivitas
Seftriakson dibanding Kombinasi Seftriakson-Metronidazole dan
Sefuroksim-Metronidazole pada Pasien Apendisitis yang Menjalani
Apendiktomi', Jurnal Farmasi Udayana, vol. 8, no. 2, pp. 104–109.