Anda di halaman 1dari 89

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS OPERASI APENDEKTOMI

LAPAROSKOPI DAN APENDEKTOMI TERBUKA SEBAGAI


TATALAKSANA OPERASI PADA PASIEN APENDISITIS:
TELAAH SISTEMATIS DAN META ANALISIS

SKRIPSI

Oleh:

RAJA ALWAN NASUTION


170100103

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


PERBANDINGAN EFEKTIVITAS OPERASI APENDEKTOMI
LAPAROSKOPI DAN APENDEKTOMI TERBUKA SEBAGAI
TATALAKSANA OPERASI PADA PASIEN APENDISITIS:
TELAAH SISTEMATIS DAN META ANALISIS

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Kedokteran

Oleh:

RAJA ALWAN NASUTION


170100103

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Perbandingan Efektivitas Operasi Apendektomi


Laparoskopi dan Apendektomi Terbuka Sebagai
Tatalaksana Operatif Pasien Apendisitis: Telaah
Sistematis dan Meta Analisis
Nama Mahasiswa : Raja Alwan Nasution
Nomor Induk 170100103
Program Studi : Pendidikan dan Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Komisi Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan dan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, 4 Februari 2021


Pembimbing

(Dr. dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-


KBD)NIP. 196712072000121001

Ketua Program Studi Pendidikan Dekan Fakultas Kedokteran USU


dan Profesi Dokter FK USU

(Dr. dr. Dewi Masyithah Darlan, DAP&E, MPH, Sp.ParK ) (Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K))
NIP. 197407302001122003 NIP. 196605241992031002

i
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “Perbandingan
Efektivitas Operasi Apendektomi Laparoskopi dan Apendektomi Terbuka Sebagai
Tatalaksana Operasi pada Pasien Apendisitis: Telaah Sistematis dan Meta Analisis”
yang merupakan salah satu syarat memperoleh kelulusan sarjana kedokteran di
program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
bantuan dan dukungan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Almarhum Ayahanda Martua Pandapotan Nasution dan Ibunda Ida Wardhani
Hasibuan selaku kedua orang tua penulis yang selalu memberikan do’a,
semangat, cinta, kasih sayang, motivasi, dan pengorbanannya sehingga bisa
mengantarkan penulis sampai pada titik ini.
2. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin untuk
mengadakan penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD selaku dosen pembimbing skripsi
penulis yang telah banyak memberi dukungan, arahan, ilmu, masukan, serta
waktu kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan sedemikian rupa.
4. dr. Dedy Hermansyah, Sp.B(K) Onk, dan dr. Desiree Anggia Paramita,
M.Ked(surg), Sp.B selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, ilmu,
dan masukan yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.
5. dr. Muara Panusunan Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku dosen penasihat
akademik penulis yang telah memberikan arahan, masukan, serta membimbing
selama masa perkuliahan ini.
6. Dodi Alfarisy Nasution dan Diana Marini Nasution selaku adik penulis yang
selalu memberikan perhatian, do’a, bantuan, serta dukungannya selama ini
kepada penulis.

ii
Universitas Sumatera Utara
7. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari mulai awal
perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
8. Ilman Arif Arif Aritonang dan Muhammd Nuh Alhudawy selaku sahabat
penulis yang sudah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang mendukung, membantu, dan mendoakan penulis yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi materi yang disampaikan maupun tata cara penulisan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Penulis juga berharap
semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama di bidang ilmu
kedokteran dan kesehatan.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
membantu dan semoga Allah SWT melimpahkan karunia-Nya dalam setiap amal
kebaikan kita.

Medan, 2 Desember 2020


Penulis,

Raja Alwan Nasution


170100103

iii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ............................................................................. i


Kata Pengantar..................................................................................... ii
Daftar Isi.............................................................................................. iv
Daftar Gambar ..................................................................................... vii
Daftar Tabel......................................................................................... viii
Daftar Singkatan .................................................................................. ix
Abstrak ................................................................................................ x
Abstract ............................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 3
1.3.1 Tujuan Umum ................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................. 3
1.4.1 Bidang penelitian .............................................. 3
1.4.2 Bidang Pendidikan ............................................ 4
1.4.3 Bidang Pelayanan Masyarakat ........................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 5
2.1 Apendiks ........................................................................... 5
2.1.1 Anatomi Apendiks ............................................... 5
2.1.2 Histologi Apendiks .............................................. 5
2.1.3 Fisiologi Apendiks ............................................... 6
2.2 Apendisitis.......................................................................... 7
2.2.1 Definisi Apendisitis ............................................. 7
2.2.2 Insidensi dan Epidemiologi Apendisitis ............... 7
2.2.3 Etiologi Apendisitis ............................................. 9
2.2.4 Klasifikasi Apendisitis ......................................... 10
2.2.5 Faktor Risiko Apendisitis..................................... 10
2.2.6 Patofisiologi Apendisitis ...................................... 11
2.2.7 Manifestasi Klinis Apendisitis ............................. 12
2.2.8 Diagnosis Apendisitis .......................................... 14
2.2.8.1 Anamnesis................................................ 14
2.2.8.2 Pemeriksaan Fisik..................................... 15
2.2.8.3 Sistem Skoring ......................................... 17
2.2.8.4 Pemeriksaan Laboratorium ....................... 18

iv
Universitas Sumatera Utara
2.2.8.5 Pemeriksaan Pencitraan ............................ 20
2.2.9 Diagnosis Banding Apendisitis ............................ 22
2.2.10 Tatalaksana Apendisitis ....................................... 23
2.2.11 Komplikasi Apendisitis ........................................ 26
2.2.12 Prognosis Apendisitis........................................... 27
2.3 Apendektomi ...................................................................... 27
2.3.1 Apendektomi Terbuka ......................................... 27
2.3.2 Apendektomi Laparoskopi ................................... 29
2.3.3 Pemulihan Pasca Apendektomi ............................ 31
2.3.4 Lama Rawat di Rumah Sakit Pasca Apendektomi 31
2.3.5 Nyeri Pasca Apendektomi.................................... 31
2.3.6 Komplikasi Pasca Apendektomi........................... 32
2.4 Kerangka Teori................................................................... 33
2.5 Kerangka Konsep ............................................................... 34
2.6 Hipotesis............................................................................. 34
BAB III METODE PENELITIAN .................................................... 35
3.1 Jenis dan Kriteria Penelitian................................................ 35
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian............................................... 36
3.3 Metode Penelusuran Literatur ............................................. 36
3.4 Telaah Kualitas Jurnal ........................................................ 37
3.5 Metode Pengumpulan Data ................................................. 38
3.6 Metode Analisis Data.......................................................... 38
3.7 Definisi Operasional ........................................................... 39
3.7.1 Variabel Independen ............................................ 39
3.7.2 Variabel Dependen .............................................. 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................. 40
4.1 Hasil Pencarian Literatur .................................................... 40
4.2 Penilaian Kualitas Literatur................................................. 42
4.3 Karakteristik Studi .............................................................. 43
4.4 Lama Rawat........................................................................ 46
4.5 Pemulihan........................................................................... 48
4.6 Nyeri .................................................................................. 50
4.6.1 Nyeri 6 Jam Pasca Operasi................................... 50
4.6.2 Nyeri 12 Jam Pasca Operasi ................................. 51
4.6.3 Nyeri 24 Jam Pasca Operasi ................................. 53
4.7 Komplikasi ......................................................................... 55
3.7.1 Infeksi Luka Pasca Operasi .................................. 55
3.7.2 Ileus Paralitik....................................................... 57
3.7.3 Abses Intraabdomen............................................. 59

BAB V SIMPULAN DAN SARAN.................................................... 61


v
Universitas Sumatera Utara
5.1 Simpulan ............................................................................ 61
5.2 Saran .................................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 63
LAMPIRAN ....................................................................................... 72

v
i
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Anatomi apendiks …………….………………. 5


2.2. Potongan transversal dan pandangan
menyeluruh apendiks …………….…………… 6
2.3. Pemeriksaan fisik dengan nyeri perut kanan A
Blumberg’s sign, B Rovsing’s sign, C Psoas
sign, D Obturator sign ………………………... 17
2.4. Ultrasonografi positif apendisitis ….….….…… 20
2.5. Computed tomography apendisitis akut …….… 21
2.6. MRI menunjukkan dilatasi apendiks …….….… 22
2.7. Apendektomi terbuka ………………………… 27
2.8. Apendektomi laparoskopi ….…………………. 29
2.9. Kerangka teori ...…………………………….... 33
2.10. Kerangka konsep ….….….…………………… 34
4.1. Diagram alir PRISMA …….….….….….….…. 40
4.2. Forest plot lama rawat ……………….….….… 46
4.3. Forest plot pemulihan ….…………….….….… 48
4.4. Forest plot nyeri 6 jam pasca operasi ………… 50
4.5. Forest plot nyeri 12 jam pasca operasi …….…. 52
4.6. Forest plot nyeri 24 jam pasca operasi …….…. 53
4.7. Forest plot infeksi luka pasca operasi ………… 56
4.8. Forest plot ileus paralitik ……………….….…. 57
4.9. Forest plot abses intraabdomen ………………. 59

vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Sistem skoring apendisitis.….……….….….…. 18


2.2. Beberapa kondisi yang mirip apendisitis……… 22
3.1. Tabel PICO: Kriteria inklusi studi….….……… 35
3.2. Kriteria jaded….….….….……….……….…… 37
4.1. Penilaian kualitas penelitian berdasarkan 42
kriteria jadad….….….….……….……….….…
4.2. Karakteristik dasar studi……….….….….….… 43
4.3. Lama rawat.….…….….….….….………….…. 46
4.4. Pemulihan….…….….….….….………….…… 48
4.5. Nyeri 6 jam pasca operasi ….….……………… 50
4.6. Nyeri 12 jam pasca operasi……………….…… 51
4.7. Nyeri 24 jam pasca operasi………………….… 53
4.8. Infeksi luka pasca operasi……….….…….…… 55
4.9. Ileus paralitik….….…………………………… 57
4.10. Abses intraabdomen……………….…….….… 59

viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN

CRP : C-Reactive Protein


CT Scan : Computed Tomography Scanning
FEM : Fixed Effects Model
GALT : Gut-Associated Lymphoid Tissue
I2 : Heterogenitas
LLQ : Left Lower Quadrant
MD : Mean Differences
MRI : Magnetic Resonance Imaging
OR : Odds Ratio
PID : Pelvic Inflammatory Disease
PMN : Polimorfonuklear
RCT : Randomized Controlled Trial
REM : Random Effects Model
RLQ : Right Lower Quadrant
SAGES : Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons
USG : Ultrasonografi
VAS : Visual Analogue Scale
WHO : World Health Organization
WMD : Weighted Mean Differences

ix
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

Latar belakang. Hingga saat ini masalah apendisitis masih menjadi masalah Kesehatan
masyarakat. Risiko perkembangan apendisitis bisa seumur hidup sehingga memerlukan tindakan
pembedahan. Apendektomi masih dilakukan dengan metode terbuka dan laparoskopi karena
kurangnya konsensus tentang mana metode yang paling tepat. Penggunaan laparoskopi pada
apendisitis masih diperdebatkan. Tujuan. Meta analisis ini dibuat untuk membandingkan efektivitas
apendektomi laparoskopi dibandingkan dengan apendektomi terbuka sebagai tatalaksana
apendisitis. Metode. Semua penelitian yang membandingkan apendektomi laparoskopi dan
apendektomi terbuka dengan design uji klinis acak terkontrol dikumpulkan antara tahun 2010-2020.
Meta analisis ini menggunakan literatur online yang bersumber dari Pubmed, Clinical Key,
Embase, Cochrane Database, Researchgate, dan Google Scholar. Jurnal-jurnal yang digunakan
adalah jurnal yang membandingkan apendektomi dalam lama rawat, pemulihan, nyeri, dan
komplikasi. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak review manager 5.4
untuk penilaian meta analisis. Hasil. 16 studi diikutsertakan dalam meta analisis ini dengan total
1822 pasien. Berdasarkan analisis data, apendektomi laparoskopi memiliki rerata lebih baik untuk
lama rawat (MD -0.29, 95% CI: -0.55; -0.03, p=0.03), pemulihan (MD -2.18, 95% CI: -3.62; -0.74,
p=0.003), nyeri 6 jam (MD -0.88, 95% CI: -1.28; -0.47, p<0.0001), nyeri 12 jam (MD -1.07,
95% CI: -1.74; -0.40, p=0.002), nyeri 24 jam pasca operasi (MD -0.69, 95% CI: -1.05; -0.34,
p=0.0001), dan angka kejadian lebih rendah untuk infeksi luka pasca operasi (OR 0.37, 95% CI:
0.25; 0.53, p<0.00001). Apendektomi laparoskopi dan apendektomi terbuka tidak berbeda secara
bermakna dalam kejadian ileus paralitik (OR 0.85, 95% CI: 0.45; 1.60, p=0.61) dan abses
intraabdomen (OR 1.20, 95% CI: 0.67; 2.16, p=0.54). Simpulan. Meta anaisis ini menunjukkan
apendektomi laproskopi memiliki efektivitas yang lebih superior dibandingkan apendektomi
terbuka.

Kata kunci : apendisitis, apendektomi terbuka, apendektomi laparoskopi

x
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT

Background. The problem of appendicitis is still a public health problem. The risk of developing
appendicitis can be lifelong and requires surgery. Appendectomy is still performed using open and
laparoscopic methods due to a lack of consensus on which method is most appropriate. The use of
laparoscopy in appendicitis is still debated. Objective. This meta-analysis was made to compare the
effectiveness of laparoscopic appendectomy as compared to open appendicitis as a treatment for
appendicitis. Methods. All studies comparing laparoscopic appendectomy and open appendectomy
with randomized controlled trial designs were collected between 2010-2020. This meta-analysis
uses online literature sourced from Pubmed, Clinical Key, Embase, Cochrane Database,
Researchgate, and Google Scholar. The journals used are those that compare appendectomy in
terms of recovery, length of hospital stay, pain, and complications. The data were then analyzed
using review manager 5.4 software for the meta-analysis assessment. Results. 16 studies were
included in this meta-analysis with a total of 1822 patients. Based on data analysis, laparoscopic
appendectomy had a better mean for length of stay (MD -0.29, 95% CI: -0.55; -0.03, p=0.03),
recovery (MD -2.18, 95% CI: -3.62; -0.74, p=0.003), pain in 6 hours (MD -0.88, 95% CI: -1.28;
-0.47, p<0.0001), pain in 12 hours (MD -1.07, 95% CI: -1.74; -0.40, p=0.002), pain in 24 hours
postoperative (MD -0.69, 95% CI: -1.05; -0.34, p=0.0001), and the incidence was lower for
postoperative wound infection (OR 0.37, 95% CI: 0.25; 0.53, p<0.00001). Laparoscopic
appendectomy and open appendectomy did not differ significantly in the incidence of paralytic ileus
(OR 0.85, 95% CI: 0.45; 1.60, p=0.61) and intra-abdominal abscess (OR 1.20, 95% CI: 0.67; 2.16,
p=0.54). Conclusions. This meta-analysis shows that laproscopic appendectomy is more effective
than open appendectomy.

Keywords : appendicitis, open appendectomy, laparoscopic appendectomy

xi
Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Hingga saat ini masalah apendisitis masih menjadi masalah kesehatan


masyarakat. Menurut WHO, angka kematian akibat apendisitis di dunia adalah 0,2-
0,8% dan meningkat sampai 20% pada penderita yang berusia kurang dari 18 tahun
dan lebih dari 70 tahun (Sirma et al., 2013). Insiden apendisitis di dunia
diestimasikan 86 kasus per tahun tiap 100.000 populasi (Zulfa et al., 2019).
Apendisitis menyerang 10 juta penduduk Indonesia, dan saat ini morbiditas angka
apendisitis di Indonesia mencapai 95/1000 penduduk (Irawan, 2014).
Data yang dikeluarkan oleh WHO menunjukkan bahwa insiden apendisitis pada
tahun 2010 mencapai 7,62% dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 8,22% dari
populasi penduduk dunia. Apendisitis juga termasuk penyakit yang memiliki
jumlah penderita yang terus meningkat di Indonesia. Sesuai dengan data yang dirilis
oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia penderita apendisitis pada tahun
2012 sebanyak 582.991 orang dan meningkat pada tahun 2013 sebesar 593.877
(Isnanto dan Lestari, 2017). Pada tahun 2017 tercatat 132 pasien dengan apendisitis
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (Sembiring, 2017). Survey yang
dilakukan di Rumah Sakit Putri Hijau Medan tahun 2018 tercatat penderita
apendisitis sebanyak 104 orang (Aritonang, 2019).
Apendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena angka
kejadian apendisitis tinggi di setiap negara. Risiko perkembangan apendisitis bisa
seumur hidup sehingga memerlukan tindakan pembedahan (Fransisca et al., 2019).
Tindakan yang sering kali dilakukan untuk penanganan apendisitis adalah
apendektomi (Zulfa et al., 2019). Seiring perkembangan ilmu teknologi kedokteran,
teknik pembedahan pada penyakit apendisitis bisa dilakukan dengan bedah terbuka
atau laparoskopi (Diantari et al., 2019).

1
Universitas Sumatera Utara
2

Meskipun sudah lebih dari satu abad telah berlalu, prosedur apendektomi
terbuka tetap menjadi pilihan untuk apendisitis pada sebagian besar ahli bedah
(Kehagias et al., 2008). Apendektomi terbuka telah menjadi gold standard untuk
menangani pasien dengan apendisitis lebih dari satu abad, tetapi efisiensi dan
keunggulan pendekatan laparoskopi dibandingkan dengan teknik terbuka banyak
menjadi subjek perdebatan saat ini (Biondi et al., 2016).
Banyak keuntungan dari apendektomi laparoskopi telah terbukti melalui
perbandingan dengan operasi terbuka. Hal ini adalah sayatan kecil, visualisasi yang
baik, dan akses yang lebih baik ke organ (Kostov, 2020). Beberapa hal yang
membuat apendektomi laparoskopi diterima dengan baik karena telah dilaporkan
mempersingkat masa tinggal di rumah sakit, meningkatkan waktu pemulihan pasca
operasi, menghasilkan hasil kosmetik yang lebih baik, dan mengurangi rasa sakit
(Takami et al., 2019). Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan biaya operasi
karena penggunaan instrumen saat operasi, peningkatan waktu operasi, dan
kekhawatiran tentang insiden abses intra abdomen yang lebih tinggi pada
apendektomi laparoskopi (Dai dan Shuai, 2016).
Apendektomi laparoskopi tidak seperti prosedur laparoskopi lainnya, belum ada
penemuan yang pasti menemukan bahwa apendektomi laparoskopi lebih unggul
dari apendektomi terbuka (Biondi et al., 2016). Sedangkan kolesistektomi
laparoskopi sudah menjadi gold standard dari metode kolesistektomi dan telah
menggantikan metode terbuka sebelumnya. Apendektomi laparoskopi belum
mencapai hal tersebut (Shaikh et al., 2019).
Apendektomi masih dilakukan dengan metode terbuka dan laparoskopi karena
kurangnya konsensus tentang mana metode yang paling tepat (Yadav et al., 2018).
Diantara beberapa publikasi penelitian yang membandingkan kedua metode
diantaranya kurangnya randomisasi, kualitas penelitian yang berkisar dari sedang
hingga buruk, dan sebagian besar menganalisis data tanpa menerapkan niat untuk
melakukan ketetapan mana metode yang lebih baik (Blackmore et al., 2015).
Penggunaan laparoskopi pada apendisitis masih diperdebatkan (Kostov, 2020).

Universitas Sumatera Utara


3

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan


judul “Perbandingan Efektivitas Operasi Apendektomi Laparoskopi dan
Apendektomi Terbuka Sebagai Tatalaksana Operasi padaPasien Apendisitis:
Telaah Sistematis dan Meta Analisis“.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, rumusan masalah pada


penelitian ini adalah “Apakah apendektomi laparoskopi lebih efektif dibandingkan
dengan apendektomi terbuka sebagai tatalaksana operasi pada pasien apendisitis?”

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk membandingkan efektivitas apendktomi laparoskopi dan apendektomi


terbuka pada tatalaksana operasi pada pasien apendisitis.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui efektifitas apendektomi laparoskopi dalam tatalaksana


operasi pada pasien apendisitis.
2. Untuk mengetahui efektifitas apendektomi terbuka dalam tatalaksana operasi
pada pasien apendisitis.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1.4.1. Bidang Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dasar atau
pedoman untuk melakukan penelitian mengenai apendisitis, apendektomi
laparoskopi, dan apendektomi terbuka, serta dapat dipakai untuk menunjukkan
secara statistik pilihan metode terbaik antara apendektomi laparoskopi dan
apendektomi terbuka dalam tatalaksana apendisitis.

Universitas Sumatera Utara


4

1.4.2. Bidang Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sumber


informasi mengenai efektivitas dari apendektomi laparoskopi dan apendektomi
terbuka terhadap apendisitis, serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian
berdasarkan metode yang baik dan benar.

1.4.3. Bidang Pelayanan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang benar bagi
masyarakat, menambah ilmu pengetahuan bagi tenaga Kesehatan dan sebagai
sarana pertimbangan tenaga Kesehatan dalam memilih metode untuk penatalaksaan
apendisitis.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 APENDIKS

2.1.1 Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm


(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Namun, beberapa laporan
menyebutkan panjang rata-rata apendiks adalah 8-10 cm (berkisar 2-20 cm). Bagian
diameter luar bervariasi antara 3-8 mm, sedangkan diameter luminal bervariasi
antara 1-3 mm. Apendiks dapat ditemukan hampir semua area perut, tergantung
pada apakah ada masalah perkembangan abnormal atau jika ada kondisi lain yang
bersamaan seperti kehamilan atau operasi sebelumnya. Apendiks berkembang
secara embrionik pada minggu kelima. Selama waktu ini, ada Gerakan midgut ke
tali pusat eksternal dengan akhirnya kembali ke perut dan rotasi dari sekum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal (Warsinggih,
2010; Brunicardi et al., 2015; Craig, 2018; Jones et al., 2019).

Gambar 2.1. Anatomi apendiks

2.1.2 Histologi Apendiks

Histologi apendiks terkandung dalam tiga lapisan yaitu serosa luar yang
merupakan perpanjangan dari peritoneum, lapisan muskularis yang tidak terdefinisi
dengan baik dan mungkin tidak ada di lokasi tertentu, dan akhirnya submukosa dan

Universitas Sumatera Utara


6

mukosa. Mukosa terdiri dari epitel kolumnar dengan beberapa elemen kelenjar sel
argentaffin neuroendokrin. Agregasi limfoid terjadi di lapisan submukosa dan dapat
meluas ke mukosa muskularis. Saluran limfatik menonjol di daerah yang mendasari
agregasi limfoid. Mukosa sama seperti yang dimiliki oleh usus besar, kecuali untuk
kepadatan dari folikel limfoid. Kripta ukuran dan bentuknya tidak beraturan,
berbeda dengan usus besar yang penampilannya lebih seragam. Komplek
neuroendokrin terdiri dari sel ganglion, sel schwann, serat saraf, dan sel-sel
neurosekretori diposisikan di bawah kripta (Eroschenko, 2008; Brunicardi et al.,
2015; Craig, 2018).

Gambar 2.2. Potongan transversal dan pandangan menyeluruh apendiks


Sumber: DiFiore's atlas of histology with functional correlations11th Edition

2.1.3 Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran di muara
apendiks tampaknya berperan pada perkembangan daari apendisitis. Fungsi pasti
dari apendiks telah menjadi topik yang diperdebatkan. Selama bertahun-tahun,
apendiks secara keliru diyakini sebagai organ tanpa fungsi yang diketahui.
Sekarang diketahui dengan baik bahwa apendiks adalah organ imunologis yang
aktif berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin. Karena apendiks mengandung
limfoid yang melimpah dan dekat dengan pintu masuk usus besar, dengan demikian
terpapar pada sejumlah besar antigen dan dapat memainkan peran imun.

Universitas Sumatera Utara


7

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid


tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah
imunoglobulin A. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Pengangkatan apendisitis tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfoid di apendiks kecil sekali dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh. Teori-teori lain berpendapat bahwa apendiks
sebagai wadah penyimpanan untuk bakteri kolon yang baik. (Warsinggih, 2010;
Brunicardi et al., 2015; Keyzer dan Gevenois, 2011; Jones et al., 2019).

2.2 APENDISITIS

2.2.1 Definisi Apendisitis


Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi
pada apendiks vermiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen
apendiks (Fransisca et al., 2019). Perkembangan proses inflamasi dapat
menyebabkan abses, ileus, peritonitis, atau kematian jika tidak diobati. Apendisitis
komplikasi mengacu pada adanya gangren atau perforasi apendiks (D’Souza dan
Nugent, 2016).

2.2.2 Insidensi dan Epidemiologi Apendisitis


Apendisitis adalah salah satu dari keadaan darurat bedah yang paing umum dan
salah satu penyebab paling umum dari nyeri perut. Di Amerika Serikat, 250.000
kasus apendisitis telah dilaporkan setiap tahun, mewakili tiap 1 juta pasien yang
masuk per hari. Insiden apendisitis telah menurun sejak akhir 1940-an, dan insiden
tahunan saat ini adalah 10 kasus per 100.000 populasi. Apendisitis terjadi pada 7%
populasi AS, dengan insidensi 1,1 kasus per orang 1000 per tahun (Craig, 2018).
Apendisitis menyerang 10 juta penduduk Indonesia, dan saat ini morbiditas angka
apendisitis di Indonesia mencapai 95/1000 penduduk dan angka ini merupakan
tertinggi diantara Negara-negara di Association of South East Asia Nation. Insiden
apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi diantara kasus gawat darurat
abdomen lainnya (Irawan, 2014).

Universitas Sumatera Utara


8

Data yang dikeluarkan oleh World Health Organization menunjukkan bahwa


insiden apendisitis pada tahun 2010 mencapai 7,62% dan meningkat pada tahun
2013 menjadi 8,22% dari populasi penduduk dunia. Apendisitis juga termasuk
penyakit yang memiliki jumlah penderita yang terus meningkat di Indonesia. Sesuai
dengan data yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia penderita
penyakit apendisitis pada tahun 2012 sebanyak 582.991 orang dan meningkat pada
tahun 2013 sebesar 593.877 (Isnanto dan Lestari, 2016). Apendisitis juga menjadi
masalah di beberapa negara seperti Amerika dan Eropa. Sekitar 7% penduduk
Amerika terkena Apendisitis dengan insiden 1,1 per 1000 penduduk per tahun
sedangkan di Eropa angka kematian akibat apendisitis setiap tahunnya sekitar 8,1
per 100.000 penduduk (Sirma et al., 2013).
Apendisitis lebih sering terjadi pada pria, meskipun wanita dua kali lebih
mungkin untuk menjalasi apendektomi. Risiko dalam hidup pada apendisitis adalah
8,6% pada pria dan 6,9% pada wanita. Dalam hidup besar kemungkinan menjalani
apendektomi adalah 12% pada pria dan 23% pada wanita (Baird et al., 2017).
Perbandingan dominan pada remaja dan dewasa muda 3:2 untuk laki-laki
dibandingkan perempuan. Pada orang dewasa, kejadian apendisitis kira-kira 1,4
kali lebih besar pada pria daripada wanita (Craig, 2018). Berdasarkan data dari
World Health Organization tahun 2010, angka mortalitas akibat apendisitis adalah
22.000 jiwa dimana populasi laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan dengan angka 12.000 jiwa pada laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada
perempuan (Tusyanawati et al., 2020).
Kejadian apendisitis berangsur-angsur meningkat sejak lahir, memuncak pada
akhir usia remaja, dan secara bertahap menurun pada tahun-tahun usia lanjut (Craig,
2018). Apendisitis dapat terjadi pada semua usia meskipun relatif jarang pada usia
lebih tua. Ada peningkatan insiden antara usia 15-30 tahun. Selama itu waktu
kejadian meningkat menjadi 23 per 10.000 populasi per tahun (Petroianu, 2012).
Secara keseluruhan 70% pasien berusia kurang dari 30 tahun (Kasper et al., 2015).

Universitas Sumatera Utara


9

2.2.3 Etiologi Apendisitis

Penyebab apendisitis masih belum pasti meskipun berbagai teori sudah ada.
Teori-teori terbanyak berpusat pada obstruksi luminal pada apendiks sebagai
patologi primer. Penyebab obstruksi luminal yang paling umum adalah hiperplasia
limfoid akibat penyakit radang usus atau infeksi (lebih sering terjadi pada masa
anak-anak dan pada dewasa muda), stasis tinja dan fekalit (lebih umum pada pasien
usia lanjut), parasit (terutama di negara-negara timur), atau lebih jarang seperti
benda asing dan neoplasma. Ketika lumen apendiks terhambat, bakteri akan
menumpuk di usus buntu dan menyebabkan peradangan akut dengan perforasi dan
pembentukan abses (D’Souza dan Nugent, 2016; Craig, 2018; Jones et al., 2019).
Apendiks mengandung massa besar jaringan limfoid di mukosa dan submukosa,
dan karena itu apendiks cenderung mengalami hiperplasia limfoid yang
mengakibatkan obstruksi lumen (Gadiparhi dan Waseem, 2019). Hiperplasia
jaringan limfoid dianggap sebagai mekanisme yang paling umum. Hiperplasia
jaringan limfoid mungkin hadir dengan apendisitis akut, dengan timbulnya gejala
secara bertahap (D’Souza dan Nugent, 2016). Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan
berbagai gangguan inflamasi dan infeksi termasuk crohn disease, gastroenteritis,
amoebiasis, infeksi saluran pernapasan, campak, dan mononukleosis (Craig, 2018).
Apendisitis dapat terjadi karena infeksi bakteri. Hubungan dengan berbagai
bakteri dan virus menular hanya ditemukan dalam kasus yang kecil pada pasien
apendisitis. Flora apendiks yang meradang berbeda dari flora apendiks normal.
Sekitar 60% dari apendiks yang meradang memiliki bakteri anaerob dengan 25%
pada apendiks normal. Spesimen jaringan dari dinding apendiks yang meradang
hampir semuanya menumbuhkan Escherichia coli dan Bacteroides species pada
hasil kultur. Fusobacterium nucleatum yang tidak ada pada flora sekum normal,
telah diidentifikasi pada 62% dari apendiks yang meradang. Parasit penyebab lain
yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit
E. histolytica, Viridans streptococci, dan Pseudomonas aeruginosa (Warsinggih,
2010; Brunicardi et al., 2015).

Universitas Sumatera Utara


10

2.2.4 Klasifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan


apendisitis kronik (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2004).
1. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.
2. Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.

2.2.5 Faktor Risiko Apendisitis

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori
Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan,
faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia,
jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen
akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing, benda asing dan sanitasi lingkungan
yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik
dilihat dari pelayanan keshatan yang diberikan oleh layanan kesehatan baik dari

Universitas Sumatera Utara


11

fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku
seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang
menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih
tinggi (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2004).

2.2.6 Patofisiologi Apendisitis

Apendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses
setelah 2-3 hari. Apendisitis disebabkan oleh obstruksi apendiks dari berbagai
penyebab. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid, infeksi, fekalit,
dan tumor jinak atau ganas. Apendiks terus mengeluarkan cairan mukosa,
menyebabkan distensi apendiks, Iskemia organ, pertumbuhan berlebih bakteri, dan
perforasi akhirnya menjadi distensi. Proses progresif di mana gejala pasien
memburuk selama perjalanan penyakit sampai perforasi dengan peritonitis terjadi
(Warsinggih, 2010; Craig, 2018; Gadiparhi dan Waseem, 2019; Jones et al., 2019).
Obstruksi pada apendiks mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal dan
distensi akibat sekresi lendir yang sedang berlangsung serta produksi gas oleh
bakteri yang berada dalam bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan
intraluminal, terjadi gangguan aliran limfoid, terjadi edema yang lebih hebat.
Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangren. Iskemia dinding apendiks mengakibatkan
hilangnya integritas epitel dan memungkinkan invasi bakteri pada dinding
apendiks. Dalam beberapa jam kondisi ini dapat memburuk karena trombosis arteri
dan vena appendicular yang menyebabkan perforasi dan gangren apendiks. Ketika
proses ini berlanjut maka abses periappendicular dan peritonitis dapat terjadi
(Warsinggih, 2010; Craig, 2018; Duque dan Mohney, 2019).
Aliran darah dari distal ke obstruksi memungkinkan pertumbuhan berlebih dari
bakteri dalam apendiks, menghasilkan pelepasan koloni bakteri yang lebih besar ke
rongga peritoneum dalam kasus apendisitis perforasi. (Duque dan Mohney,
2019).Pertumbuhan bakteri yang berlebihan kemudian terjadi pada apendiks yang
terhambat, dengan organisme aerob mendominasi pada apendiks normal dan

Universitas Sumatera Utara


12

campuran aerob dan anaerob setelah apendisitis. Organisme umum termasuk


Escherichia coli, Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Pseudomonas. Setelah
peradangan dan nekrosis signifikan terjadi, apendiks berisiko perforasi
menyebabkan abses lokal dan bisa menjadi peritonitis (Jones et al., 2019).
Distensi apendiks menyebabkan perangsaran serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal bersifat dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Terjadi invasi
bakteri ke dinding apendiks diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
konsekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik.
(Warsinggih, 2010). Tekanan pada organ meningkat mengakibatkan tekanan vena
terlampaui. Kapiler dan venula tersumbat tetapi aliran arteri tetap berlanjut,
mengakibatkan pembengkakan dan kongesti vascular. Proses inflamasi segera
melibatkan bagian apendiks yang menghasilkan perubahan karakteristik rasa sakit
dalam kuadran kanan bawah. Nyeri biasa tidak melokalisasi ke kuadran kanan
bawah sampai ujung apendiks menjadi meradang dan mengiritasi peritoneum
parietal atau terjadi perforasi menyebabkan peritonitis lokal. (Brunicardi et al.,
2015; Duque dan Mohney, 2019).

2.2.7 Manifestasi Klinis Apendisitis

Variasi dalam posisi apendiks, usia pasien, dan tingkat peradangan membuat
presentasi klinis apendisitis tidak pasti. Riwayat seperti anoreksia dan nyeri
periumbilikalis diikuti oleh mual, nyeri kuadran kanan bawah, dan muntah hanya
terjadi pada 50% kasus. Mual hadir pada 61-92% pasien dan anoreksia hadir pada
74-78% pasien. Tidak ada temuan yang berbeda secara statistik dari temuan pada
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan etiologi lain dari nyeri perut.
Selain itu, ketika muntah terjadi, hampir selalu mengikuti timbulnya rasa sakit.
Muntah yang mendahului nyeri menunjukkan obstruksi usus, dan diagnosis
apendisitis harus dipertimbangkan kembali. Diare atau sembelit tercatat pada 18%
pasien dan tidak boleh digunakan untuk membuang kemungkinan apendisitis
(Craig, 2018).

Universitas Sumatera Utara


13

Gejala apendisitis yang paling umum adalah nyeri perut. Biasanya, gejala
dimulai sebagai nyeri periumbilikal atau epigastrium yang bermigrasi ke kuadran
kanan bawah perut. Ketika serabut saraf aferen visceral di T8 hingga T10
distimulasi, dan ini menyebabkan nyeri terpusat yang samar. Ketika usus buntu
menjadi lebih meradang, dan peritoneum parietal yang berdekatan teriritasi, rasa
sakit menjadi lebih terlokalisasi ke kuadran kanan bawah. Pasien biasanya
berbaring, melenturkan pinggul, dan menarik lutut ke atas untuk mengurangi
gerakan dan untuk menghindari rasa sakit yang memburuk. Nyeri progresif yang
memburuk bersama dengan muntah, mual, dan anoreksia dijelaskan oleh pasien
(Craig, 2018; Jones et al., 2019).
Variasi lokasi anatomis apendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi.
Pada anak-anak dengan letak apendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat
terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada umbilikus. Nyeri pada
flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum
terutama pada anak dengan apendisitis retrocecal atau pelvis. Jika inflamasi dari
appendiks terjadi di dekat ureter atau kandung kemih, gejala dapat berupa nyeri saat
kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi
kandung kemih (Wirsinggih, 2010).
Ketika peradangan berkembang mengakibatkan tanda-tanda peradangan
termasuk right lower quadrant guarding dan rebound tenderness di atas titik
McBurney berada 1,5 hingga 2 inci dari tulang belakang iliaka superior anterior
pada garis lurus ke umbilicus, rovsing's sign , dunphy's sign, bahkan tanda tanda
lain seperti psoas sign dan obturator sign bisa terjadi namun jarang (Jones et al.,
2019).
Pasien dengan apendisitis ringan biasanya hanya tampak sakit ringan dengan
denyut nadi dan suhu yang biasanya hanya sedikit di atas normal. Pemeriksa harus
memperhatikan proses penyakit lainnya di samping apendisitis atau adanya
komplikasi seperti perforasi, phlegmon, atau pembentukan abses jika suhunya lebih
dari 38,3 °C. Pasien dengan apendisitis akan ditemukan berbaring diam untuk
menghindari iritasi peritoneum yang disebabkan oleh gerakan, dan beberapa akan
melaporkan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh berkendara dalam perjalanan

Universitas Sumatera Utara


14

ke rumah sakit atau klinik, batuk, bersin, atau tindakan lain yang mereplikasi
valsava maneuver. Seluruh perut harus diperiksa secara sistematis mulai di daerah
di mana pasien tidak melaporkan ketidaknyamanan dalam gejala yang
memungkinkan (Kasper et al., 2015).

2.2.8 Diagnosis Apendisitis

Pemeriksa dapat mendiagnosis sebagian besar kasus apendisitis dengan


memeriksa riwayat medis seseorang dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika
seseorang tidak memiliki gejala yang biasa, pemeriksa dapat menggunakan tes
laboratorium dan pencitraan untuk mengonfirmasi apendisitis. Tes-tes ini juga
dapat membantu mendiagnosis apendisitis pada orang yang tidak bisa jelaskan
gejalanya, misalnya seperti anak-anak atau orang yang secara mengalami gangguan
mental (Brodsky, 2013). Secara individual, riwayat pasien, pemeriksaan, dan
laboratorium temuan memiliki nilai predikatif yang buruk, tetapi dalam kombinasi
nilai diagnostiknya jauh lebih besar (Baird et al., 2017). Apendisitis dapat menjadi
tantangan bahkan ditangan yang paling berpengalaman, dan sebagian besar adalah
para klinis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang akurat penting untuk mencegah
operasi yang tidak perlu dan menghindari komplikasi (Petroianu, 2012).

2.2.8.1 Anamnesis

Bagi sebagian besar pasien yang datang ke departemen emergensi dengan


apendisitis akut, sakit perut akan menjadi keluhan utama pasien. Pasien yang hadir
dalam beberapa jam pertama onset sering menggambarkan nyeri yang didefinisikan
dengan hebat dan konstan di wilayah periumbilikal atau epigastrium. Mual, muntah,
dan anoreksia terjadi dalam berbagai derajat, meskipun biasanya hadir dalam lebih
dari 50% kasus dalam semua penelitian. Dengan penyakit yang berkembang seperti
yang diuraikan sebelumnya, rasa sakit menjadi jelas dan terlokalisasi di kuadran
kanan bawah di dekat titik McBurney. Kegagalan untuk mengenali presentasi
apendisitis akut lainnya akan menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan
peningkatan morbiditas pasien. Pasien dengan apendiks retrocaecal atau yang
datang pada bulan-bulan terakhir kehamilan mungkin memiliki rasa sakit terbatas

Universitas Sumatera Utara


15

di sebelah kanan sudut panggul atau costovertebral. Pasien pria dengan retrocaecal
apendiks mungkin mengeluhkan nyeri testis kanan. Panggul atau retroileal lokasi
apendiks yang meradang akan merujuk ke panggul, rektum, adneksa, atau jarang di
kuadran kiri bawah. Subcaecal dan panggul mengakibatkan nyeri suprapubik dan
frekuensi berkemih dapat mendominasi (Petroianu, 2012).
Pemeriksa akan bertanya secara spesifik pertanyaan tentang gejala dan riwayat
kesehatan pasien. Jawaban untuk pertanyaan ini akan membantu mengesampingkan
kondisi lain. Menurut Brodsky (2013), Beberapa bertanyaan yang dapat diajukan
pada pasien yaitu:
• Kapan ketika sakit perut dimulai
• Dimana lokasi yang tepat dan tingkat keparahan rasa sakit
• Kapan ketika gejala lain muncul
• Kondisi medis lainnya seperti sebelumnya pernah sakit dan pernah melakukan
prosedur bedah
• Apakah orang tersebut menggunakan obat-obatan, alkohol, atau obat-obatan
terlarang

2.2.8.2 Pemeriksaan Fisik

Penjelasan dari pasien tentang nyeri pada bagian perut yang dialaminya adalah
kunci untuk mendiagnosa apendisitis. Pemeriksa akan menilai rasa sakit dengan
menyentuh atau memberikan tekanan pada area spesifik perut (Brodsky, 2013).
Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri tekan, nyeri saat
perkusi, kekakuan, dan menahan rasa nyeri. Nyeri saat palpasi pada RLQ pada titik
McBurney adalah tanda paling penting pada pasien ini. Pasien sering ditemukan
dekubitus lateral kanan dengan posisi sedikit fleksi pinggul sebagai posisi
kenyamanan maksimal pasien. Pemeriksaan perut menunjukkan nyeri dan kekauan
otot di fossa iliaka kanan (Petroianu, 2012; Craig, 2018).
Pemeriksaan lain yang dapat ditemukan pada pasien seperti wajah memerah
dengan lidah kering dan terdapat faetor oris. Terdapat perbedaan antara suhu aksila
dan dubur lebih tinggi dari 1 °C menunjukkan peradangan panggul yang mungkin
disebabkan oleh apendisitis atau radang panggul lainnya. Gambaran klasik nyeri

Universitas Sumatera Utara


16

sentral yang berimingrasi ke fossa iliaka kanan terkait dengan mual, muntah, dan
anoreksia terjadi pada kurang dari setengah presentasi pasien. Gerakan seperti batuk
dan berkendara dapat memperburuk rasa sakit yang dialami pasien. Pasien juga
dapat menunjukkan perasaan yang umumnya tidak sehat, lemah, dingin, dan
lembap, atau gambaran gejala apa saja yang sesuai seperti sepsis (Petroianu, 2012;
Baird, 2017).
Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk
menunjang diagnosis apendisitis:
- Blumberg’s sign
Nyeri lepas kontralateral yaitu tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ. Tanda ini merupakan penanda bahwa apendiks meradang.
- Rovsing’s sign
Positif bila terdapat nyeri di RLQ saat dilakukan penekanan di LLQ. Tanda
ini menunjukkan iritasi peritoneum pada RLQ yang dipalpasi di lokasi yang
jauh. Sering positif tapi tidak spesifik.
- Psoas sign
Dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal
kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot
psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari abses.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah apendiks yang terinflamasi yang
terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini.
- Obturator sign
Dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi
tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
- Dunphy’s sign
Nyeri tajam pada RLQ yang ditimbulkan setelah batuk. Dapat membantu
dalam membuat diagnosis klinis peritonisitis lokal (Warsinggih, 2010;
Brodsky, 2013; Craig, 2018).

Universitas Sumatera Utara


17

Gambar 2.3. Pemeriksaan fisik nyeri perut kanan. A Blumberg’s sign, B Rovsing’s sign, C Psoas
sign, D Obturator sign (Petroianu, 2012)

2.2.8.3 Sistem Skoring

Diagnosis klinis apendisitis adalah suatu perkiraan subjektif dari beberapa


kemungkinan apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual
memiliki akurasi yang lemah. Jika digunakan bersama-sama maka akanmemiliki
nilai prediksi yang tinggi. Proses ini dapat dibuat lebih objektif oleh penggunaan
sistem penilaian klinis atau sistem skoring, yang didasarkan pada variabel dengan
nilai yang terbukti dan diberi bobot yang tepat. Alvarado score adalah sistem
penilaian yang paling luas. Skoring ini sangat berguna untuk mengesampingkan
apendisitis dan pemilihan pasien untuk pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
Appendicitis inflammatory response score menyerupai alvarado score tetapi
menggunakan variabel lebih banyak termasuk nilai CRP. Penelitian telah
menunjukkan kinerjanya lebih baik daripada alvarado score dalam memprediksi
apendisitis secara akurat. Namun, sistem penilaian ini belum mendapatkan
penerimaan luas dalam membuat diagnosis apendistis(Kasper et al., 2015). Dalam
sistem ini sejumlah variable klinis diperoleh dari pasien dan masing-masing diberi
nilai numerik. Jumlah dari nilai-nilai tersebut akan diinterpretasikan (Craig, 2018).

Universitas Sumatera Utara


18

Tabel 2.1 Sistem skoring apendisitis


ALVARADO SCORE APPENDICITIS INFLAMMATORY
RESPONSE SCORE
Variabel Poin Variabel Poin
Perpindahan nyeri ulu dari ulu hati 1 Muntah 1
ke perut kanan bawah
Anoreksia 1 Nyeri RIF 1
Mual dan muntah 1 Rebound tenderness atau muscular
defense
Nyeri di perut kanan bawah 2 Ringan 1
Nyeri lepas 1 Sedang 2
Suhu tubuh ≥36,3°C 1 Berat 3
Leukositosis di atas 10 x 109 sel/L 2 Suhu tubuh ≥38,5°C 1
Hitung jenis leukosit shift to the left 1 PMN leukosit
70%-84% 1
≥85% 2
Jumlah leukosit
10.0–14.9 × 109 Sel/L 1
≥15.0 × 10 sel/L 2
Konsentrasi CRP
10–49 g/L 1
≥50 g/L 2
Interpretasi: Interpretasi
<3: Low likelihood of appendicitis 0-4: Low probability. Boleh rawat
4-6: Consider further imaging jalan bila kondisi baik
≥7: High likelihood of appendicitis 5-8: Indeterminate group.
Observasi di rumah sakit
9-12: High probability. Disarankan
eksplorasi bedah

Sumber: Schwartz’s principles of surgery10th Edition

2.2.8.4 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksa harus menafsirkan evaluasi dari hasil laboratorium dalam kaitannya


dengan riwayat klinis pasien dan temuan pemeriksaan fisik. Hasil lab dapat
membantu untuk mendukung hasil diagnosa klinis, tetapi tidak dapat menggantikan
pemeriksaan fisik sebagai pemeriksaan yang lebih baik pada apendisitis (Gadiparhi
dan Waseem, 2019). Hasil laboratorium dapat membantu mengonfirmasi diagnosis
apendisitis atau menemukan penyebab lain dari nyeri di perut (Brodsky, 2013).
Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk
menunjang diagnosis apendisitis:

Universitas Sumatera Utara


19

1. Urinalisis
Urinalisis adalah menguji sampel urin. Sampel urin dikumpulkan dalam wadah
khusus dan dapat diuji di laboratorium untuk dianalisis. Urinalisis digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih atau batu ginjal (Brodsky,
2013). Urinalisis abnormal terjadi antara 19-40% pasien dengan apendisitis.
Abnormalitas dari urinalisis pada apendisitis termasuk piuria, bakteriuria, dan
hematuria. Piuria berat adalah temuan yang lebih umum yang terjadi pada infeksi
saluran kemih. Proteinuria dan hematuria menggambarkan kelainan pada
getitourinaria atau gangguan hemocoagulase (Petroianu, 2012; Craig, 2018).
2. Tes Darah
Tes darah menggambarkan darah seseorang dan sampel akan dikirim ke
laboratorium untuk dianalisis. Tes darah bisa menunjukkan tanda-tanda infeksi
seperti jumlah sel darah putih yang meningkat (Brodsky, 2013). Tidak ada tes darah
spesifik untuk apendisitis. Pemeriksaan yang biasa ditemukan seperti peningkatan
jumlah sel darah putih, C-reactive protein meningkat, jumlah granulosit, atau
proporsi dari sel PMN membantu dalam mendiagnosa apendisitis. Kombinasi CRP
tinggi, sel darah putih yang meningkat, atau neutrofilia lebih dari 75%
meningkatkan sensitivitas diagnosis apendisitis sebesar 97-100%. Jika parameter
ini normal, maka kemungkinan kecil pasien mengalami apendisitis (Petroianu,
2012; Craig, 2018).
Jumlah leukosit pada penderita apendisitis berkisar antara 12.000-18.000/mm3.
Peningkatan jumlah neutrophil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit
menunjang diagnosis klinis apendisitis. Jumlah leukosit normal jarang ditemukan
pada pasien dengan apendisitis (Warsinggih, 2010). C-reactive protein adalah
reaktan fase akut yang disintesis oleh hati sebagai respons terhadap infeksi atau
peradangan dan meningkat dengan cepat dalam 12 jam pertama. CRP telah
dilaporkan bermanfaat dalam mendiagnosis apendisitis. Kadar CRP lebih besar dari
1 mg/dl umumnya dilaporkan pada pasien dengan apendisitis, tetapi kadar CRP
yang sangat tinggi pada pasien apendisitis menunjukkan perubahan menjadi
gangren, terutama jika dikaitkan dengan leukositosis dan neutrofilia (Craig, 2018).

Universitas Sumatera Utara


20

2.2.8.5 Pemeriksaan Pencitraan

Apendisitis merupakan diagnosis klinis. Pencitraan mungkin tidak diperlukan


secara universal dan tidak perlu saat diagnosis sudah jelas. Pencitraan sangat
membantu dalam kasus-kasus yang meragukan seperti pada pasien wanita yang
sedang hamil. Pertimbangan mendapatkan konsultasi bedah sebelum pencitraan,
terutama pada pasien dengan presentasi khas. Konsultasi tidak boleh ditunda untuk
pengujian (Gadiparhi dan Waseem, 2019). Pemeriksaan pencitraan dapat
mengkonfirmasi diagnosis apendisitis atau menemukan penyebab lainnya. USG
dan CT-scan bernilai diagnostik dan memberikan infomasi yang bermanfaat untuk
menentukan apendektomi atau tidak diperlukan (Ishikawa, 2003; Brodsky, 2013).
1. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala apendisitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari
90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis apendisitis adalah
apendiks dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder apendiks sebagai hasil dari salpingitis atau
inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak apendiks
yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
apendiks (Warsinggih, 2010).

Gambar 2.4. Ultrasonografi Positif Apendisitis


Sumber: Controversies in Pediatric Appendicitis, 2019

Universitas Sumatera Utara


21

2. Computed Tomography (CT)


CT-scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
apendisitis jika diagnosisnya tidak jelas. Sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira
95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga
adanya abses, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan tes diagnostik.
Diagnosis apendisitis dengan CT-scan ditegakkan jika apendiks dilatasi lebih dari
5-7 mm pada diameternya. Tidak bisa melihat udara atau kontras pada lumen
dengan apendisitis karena distensi luminal dan kemungkinan penyumbatan pada
Sebagian besar kasus apendisitis. Nonvisualisasi apendiks pada CT tidak
mengesampingkan diagnosis apendisitis (Warsinggih, 2010; Jones et al., 2019).

Gambar 2.5. Computed Tomography Apendisitis Akut


Sumber: Harrison's Principles of Internal Medicine19th Edition

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dapat menunjukkan tanda-tanda peradangan, apendiks yang pecah,
penyumbatan di lumen apendiks, dan sumber lainnya yang menyebabkan nyeri
perut. MRI digunakan untuk mendiagnosis apendisitis dan sumber lain penyebab
nyeri di perut (Brodsky, 2013). Faktor-faktor yang membatasi penggunaan MRI
adalah biaya yang lebih mahal, diperlukan lebih banyak waktu untuk memperoleh
gambar, ahli radiologi yang terampil diperlukan untuk menafsirkan MRI, serta tidak
banyak tersedia (Gadiparhi dan Waseem, 2019).

Universitas Sumatera Utara


22

Gambar 2.6. MRI Menunjukkan Dilatasi Apendiks


Sumber: Controversies in Pediatric Appendicitis, 2019

2.2.9 Diagnosis Banding Apendisitis

Diagnosis banding apendisitis sering menjadi tantangan klinis karena


apendisitis dapat mirip dengan beberapa kondisi penyakit perut lainnya. Pasien
dengan banyak kelainan lain datang dengan gejala yang mirip dengan apendisitis
(Craig, 2018). Seperti yang dijabarkan pada tabel 2.3 berikut ini (Kasper et al.,
2015):
Tabel 2.2 Beberapa Kondisi yang Mirip Apendisitis

Crohn’s disease Penyakit ginjal, termasuk batu ginjal


Meckel’s diverticulitis Mittelschmerz
Kolesistitis atau penyakit batu Kista ovarium yang pecah atau
kandung empedu lainnya penyakit kistik ovarium lainnya
Divertikulitits Mesenteric adenitis
Kehamilan ektopik Pankreatitis
Endometriosis Omental torsion
Gastroenteritis atau kolitis Small-bowel obstruction
Gastric or duodenal ulceration Infeksi saluran kencing
Hepatitis Pelvic inflammatory disease
Abses hati Lower lobe pneumonia

Universitas Sumatera Utara


23

2.2.10 Tatalaksana Apendisitis

Penatalaksanana untuk Apendisitis sebenarnya masih dalam perdebatan.


Masalah utama yang dihadapi adalah perforasi sebagai komplikasi yang
berkembang progresif dan cepat yang dapat menyebabkan kematian. Sedangkan
keputusan dilakukannya operasi yang tidak berdasar pada diagnosis yang tepat
dapat meningkatkan angka negatif apendektomi. Penatalaksanaan konservatif
biasanya dilakukan pada apendisitis tanpa perforasi,sedangkan tindakan operasi
dilakukan pada apendisitis dengan perforasi untuk mencegah komplikasi yang fatal
(Svensson et al., 2012; Sallinen et al., 2016). Pasien-pasien dengan apendisitis
umumnya harus dirawat di rumah sakit untuk perawatan dengan antibiotik, tirah
baring, cairan intravena, dan dipuasakan. Untuk manajemen rawat jalan, antibiotik
diberikan dan tentu saja diikuti dengan cermat (Ishikawa, 2003).
Manajemen suportif adalah langkah pertama dalam manajemen kondisi
apendisitis. Jika dan ketika diagnosis apendisitis telah ditetapkan, upaya harus
dilakukan untuk segera melakukan apendektomi. Menurut Keyzer dan Gevenois
(2011) hal-hal yang mendukung manajemen apendisitis ditetapkan sebagai berikut:
 Menerima pasien dan lakukan akses intravena (IV)
 Berikan resusitasi cairan intravena, terapi antiemetik, dan analgesik
 Pantau pengamatan seperti denyut nadi, tekanan darah, suhu dan keluaran urin
seperti yang diindikasikan
 Amati tanda atau gejala diagnosa banding
 Beri tahu tim anestesi dan koordinator ruangan untuk bersiap menjalani operasi
 Mulai antibiotik setelah diagnosis sudah pasti
 Kaji ulang situasi klinis secara teratur untuk dapat mengubah prioritas di setiap
tahap selama pengelolaan.

1. Medikamentosa
Masih ada banyak kontroversi mengenai penatalaksanaan apendisitis akut
nonoperatif, antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan
kondisi ini. Antibiotik yang dipertimbangkan untuk pasien dengan apendisitis harus

Universitas Sumatera Utara


24

menawarkan cakupan aerob dan anaerob secara lengkap. Durasi pemberian terkait
erat dengan tahap apendisitis pada saat diagnosis, mempertimbangkan temuan
intraoperatif atau evolusi pasca operasi. Menurut beberapa penelitian, profilaksis
antibiotik harus diberikan sebelum setiap operasi apendisitis. Ketika pasien
demamnya menurun dan sel darah putih dihitung normal, pengobatan antibiotik
dapat dihentikan. Cefotetan dan cefoxitin tampaknya menjadi pilihan terbaik
antibiotic pada apendisitis (Craig, 2018).
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
apendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi seperti untuk
pekerja di laut lepas, atau bagi mereka yang memilki risiko tinggi untuk dilakukan
operasi. Tujuan terapi adalah untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi.
Antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan apendisitis dari semua terapi.
Durasi pemberian terkait erat dengan tahap apendisitis pada saat diagnosis
(Warsinggih, 2010; Craig, 2018).
Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi
post operasi. Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif serta
anaerob. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang
terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,
Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides (Warsinggih, 2010).
Pada pasien dengan abses usus buntu, beberapa ahli bedah melanjutkan
antibiotik selama beberapa minggu dan kemudian melakukan operasi usus buntu.
Ketika apendiks telah pecah, prosedur ini masih dapat dilakukan secara laparoskopi,
tetapi diperlukan irigasi yang luas pada perut dan panggul. Antibiotik efektif dalam
mengurangi tingkat infeksi luka pasca operasi dan dalam meningkatkan hasil pada
pasien dengan abses apendiks atau septikemia. The Surgical Infection Society
merekomendasikan untuk memulai antibiotik profilaksis sebelum operasi,
menggunakan agen spektrum yang sesuai untuk kurang dari 24 jam untuk usus
buntu nonperforated dan kurang dari 5 hari untuk usus buntu perforasi (Craig, 2018;
Jones et al., 2019).

Universitas Sumatera Utara


25

2. Pembedahan
Apendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena angka
kejadian apendisitis tinggi di setiap negara. Risiko perkembangan apendisitis bisa
seumur hidup sehingga memerlukan tindakan pembedahan (Fransisca et al., 2019).
Tindakan yang sering kali dilakukan untuk penanganan apendisitis adalah
apendiktomi (Zulfa et al., 2019). Apendiktomi merupakan suatu intervensi bedah
yang mempunyai tujuan bedah ablative atau melakukan pengangkatan pada bagian
tubuh yang mengalami masalah atau mempunyai penyakit. (Tusyanawati et al.,
2019). Apendiktomi yang dini telah lama direkomendasikan sebagai pengobatan
apendisitis dikarenakan risiko progresivitas apendisitis menuju pada perforasi
(Yulianto et al., 2016).
Pengobatan utama untuk apendisitis adalah pembedahan. Dokter harus
membuat keputusan operatif dengan berkonsultasi dengan bagian bedah, dan
mereka harus mendiskusikan risiko dan manfaat dengan pasien atau keluarga
mereka. Jika dugaan apendisitis terutama pada pasien nyeri yang menetap di bagian
perut dan demam, atau tanda-tanda apendiks yang pecah dan infeksi, seorang dokter
sering akan menyarankan operasi tanpa melakukan pengujian diagnostik. Cepat
operasi mengurangi kemungkinan bahwa apendiks akan pecah (Brodsky,
2013;Gadiparhi dan Waseem, 2019).
Seiring perkembangan ilmu teknologi kedokteran, teknik pembedahan pada
penyakit apendisitis bisa dilakukan dengan bedah terbuka atau laparoskopi
(Diantari et al., 2019). Seorang ahli bedah melakukan operasi menggunakan salah
satu metode ini. Apendektomi terbuka menghilangkan apendiks melalui satu
sayatan tunggal pada daerah kanan bawah perut. Apendektomi laparoskopi
menggunakan beberapa sayatan yang lebih kecil dan alat bedah khusus yang
diberikan sayatan untuk mengangkat apendiks (Brodsky, 2013).
Apendektomi laparoskopi lebih disukai daripada pendekatan terbuka. Sebagian
besar usus buntu yang tidak rumit dilakukan secara laparoskopi. Dalam kasus di
mana ada abses atau infeksi lanjut, pendekatan terbuka mungkin diperlukan. Situasi
di mana ada abses yang diketahui dari apendiks yang perforasi, mungkin
memerlukan prosedur drainase perkutan yang biasanya dilakukan oleh ahli

Universitas Sumatera Utara


26

radiologi intervensi. Ini menstabilkan pasien dan memungkinkan peradangan untuk


mereda dari waktu ke waktu, memungkinkan usus buntu laparoskopi yang lebih
sulit untuk dilakukan di kemudian hari (Jones et al., 2019). Operasi laparoskopi
yang semakin meningkat telah menggantikan operasi terbuka untuk apendisitis.
Faktor utama yang menentukan apakah operasi terbuka atau laparoskopi harus
dilakukan adalah preferensi atau keahlian ahli bedah yang merawat ( Gadiparhi dan
Waseem, 2019).

2.2.11 Komplikasi Apendisitis

Apendisitis yang tidak diobati dapat berkembang menjadi komplikasi parah


dengan morbiditas tinggi. Perforasi adalah komplikasi apendisitis akut yang paling
serius dan dapat menyebabkan abses, peritonitis, bowel obstruction, dan sepsis.
Perforasi apendiks akan bermanifestasi sebagai salah satu dari perforasi terbuka
atau perforasi terkendali. Perforasi terbuka menyebabkan penyebaran nanah dan
feses ke dalam rongga peritoneum mengakibatkan pasien tampak sangat sakit serta
peningkatan risiko sepsis. Perforasi terkendali dapat menyebabkan abses
peritoneum atau phlegmon yang terbentuk di sekitar apendiks dan membutuhkan
perawatan antibiotik yang lama dan memungkinkan drainase (Snyder et al., 2018;
Duque dan Mohney, 2019).
Komplikasi yang dapat terjadi pasca operasi pada laparoskopi apendektomi

maupun open apendektomi meliputi:

1. Infeksi luka, perdarahan, dan kerusakan pada struktur yang berdekatan

(Duque dan Mohney, 2019).

2. Hematoma dan apendisitis berulang dapat terjadi jika masih terdapat sisa

apendiks yang tersisa setelah operasi apendektomi (Jones et al., 2019).

3. Ketidaknyamanan pada perut bekas insisi, diare, hernia insisional,

laparoskopi adhesiolisis, dan kematian dapat terjadi pada operasi apendisitis

(Ruffolo et al., 2013).

Universitas Sumatera Utara


27

2.2.11 Prognosis Apendisitis

Jika didiagnosis dan diobati sejak dini dalam 24 hingga 48 jam, pemulihan dan
prognosisnya biasanya sangat baik. Kasus-kasus yang disertai dengan abses lanjut,
sepsis, dan peritonitis mungkin memiliki perjalanan yang lebih lama dan rumit,
mungkin memerlukan pembedahan tambahan atau intervensi lain (Jones et al.,
2019). Tingkat kematian keseluruhan berkisar 0,2-0,8% disebabkan oleh
komplikasi dari penyakit dibanding dengan tindakan bedah. Tingkat kematian pada
anak-anak berkisar antara 0,1-1%. Pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun, angka
kematian meningkat di atas 20%, terutama disebabkan oleh keterlambatan
diagnostik dan terapeutik (Craig, 2018).

2.3 APENDEKTOMI

2.3.1 Apendektomi Terbuka

Pertama kali dijelaskan oleh McBurney pada tahun 1894, apendektomi terbuka
merupakan prosedur aman dan efektif untuk menangani apendisitis selama lebih
dari seabad (Takumi et al., 2019). Meskipun sudah lebih satu abad telah berlalu,
prosedur apendektomi terbuka tetap menjadi pilihan untuk apendisitis untuk
Sebagian besar ahli bedah (Kehagias et al., 2008). Bedah terbuka merupakan teknik
pembedahan dengan insisi sepanjang 2-3 inci (7,6 cm) pada kuadran kanan bawah
(Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney) (Diantari et al., 2019).

Gambar 2.7. Apendektomi Terbuka

Universitas Sumatera Utara


28

Sebelum sayatan, ahli bedah harus hati-hati melakukan pemeriksaan fisik perut
untuk mendeteksi massa dan untuk menentukan lokasi sayatan. Apendektomi
terbuka membutuhkan sayatan transversal di kuadran kanan bawah atas titik
McBurney yaitu di dua pertiga jalan antara umbilikus dan iliaka tulang belakang
superior anterior. Sayatan vertikal jarang dilakukan karena kecenderungan
dehiscence dan menjadi hernia. Fasia dinding perut yaitu scarpa fascia dan lapisan
otot yang mendasarinya dibedah dengan tajam atau terpecah sesuai arah seratnya
untuk mendapatkan akses ke peritoneum. Peritoneum dibuka secara melintang dan
terbuka. (Santacroce, 2019).
Retractor ditempatkan dengan lembut ke dalam peritoneum. Sekum
diidentifikasi dan ditarik kembali secara medial. Kemudian dieksternalisasi dengan
menggunakan spons kasa lembab atau penjepit babcock, dan diikuti taenia coli
dengan konvergensinya. Konvergensi taenia coli terdeteksi di dasar apendiks, di
bawah katup bauhin yaitu katup ileocecal, dan apendiks kemudian terlihat. Jika
apendiks tersembunyi, apendiks dapat dideteksi secara medial dengan menarik
sekum secara lateral dengan memperpanjang sayatan peritoneum (Santacroce,
2019).
Setelah eksteriorisasi apendiks, mesoapendiks tahan di antara klem dan diikat.
Apendiks dijepit secara proksimal sekitar 5 mm di atas sekum untuk menghindari
kontaminasi rongga peritoneum, dan sayatan dibuat di atas penjepit oleh pisau
bedah. Apendiks harus diikat untuk mencegah perdarahan dan kebocoran dari
lumen. Mukosa pada apendiks dibakar dengan hati-hati untuk menghindari
mukokel kedepannya (Santacroce, 2019).
Sekum ditempatkan kembali ke perut dan perut diirigasi. Ketika bukti perforasi
ada, peritoneal lavage dengan beberapa liter saline hangat direkomendasikan.
Setelah dibilas, cairan irigasi harus disedot sepenuhnya untuk meminimalkan
kemungkinan penyebaran infeksi ke area lain dari rongga peritoneum. Penutupan
luka dimulai dengan penutupan peritoneum dengan jahitan terus menerus.
Kemudian, serat-serat dari lapisan otot dan fasia diaplikasikan kembali dan ditutup
dengan jahitan yang dapat diserap terus menerus atau terputus. Akhirnya kulit
ditutup dengan jahitan subkutan atau staples (Santacroce, 2019).

Universitas Sumatera Utara


29

2.3.2 Apendektomi Laparoskopi

Apendktomi laparoskopi telah berkembang sejak pertama kali dilakukan oleh


Kurt Semm (1983). Hal ini telah diterima sebagai metode diagnostik dan
pengobatan untuk apendisitis dengan perkembangan teknologi dua hingga tiga
dekade terakhir (Kostov, 2020). Apendektomi laparoskopi adalah pembedahan
invasif minimal (tindakan dengan membuat sayatan kecil) yang memerlukan
bantuan kamera, monitor dan instrumen-instrumen khusus melakukan pembedahan
melalui layar monitor (Diantari et al., 2019).
Menurut pedoman Society of American Gastrointestinal and Endoscopic
Surgeons (SAGES) 2010, indikasi untuk apendektomi laparoskopi identik dengan
indikasi untuk apendektomi terbuka. Pedoman ini mencantumkan beberapa kondisi
yang sesuai untuk operasi laparoskopi yaitu apendisitis tanpa komplikasi,
apendisitis pada pasien anak, dan apendisitis yang dicurigai terjadi pada wanita
hamil. Pedoman ini menyebutkan apendektomi laparoskopi dapat menjadi
pendekatan yang lebih disukai dalam kasus-kasus seperti apendisitis perforasi,
apendisitis pada pasien usia lanjut, dan apendisitis pada pasien obesitas (Craig,
2018).

Gambar 2.8. Apendektomi Laparoskopi

Dokter bedah biasanya berdiri di sebelah kiri pasien dan asisten berdiri di
sebelah kanan. Ahli anestesi dan peralatan anestesi ditempatkan di kepala pasien,
dan monitor video serta tabel instrumen ditempatkan di kaki. Beberapa variasi
dimungkinkan dalam pendekatan standar menempatkan tiga kanula selama

Universitas Sumatera Utara


30

prosedur. Dua di antaranya memiliki posisi tetap yaitu umbilikus dan suprapubik.
Posisi yang ketiga ditempatkan di daerah periumbilikalis kanan, dapat bervariasi
tergantung pada anatomi pasien (Santacroce, 2019).
Menurut preferensi ahli bedah, sayatan pusar pendek dibuat untuk
memungkinkan penempatan kanula Hasson atau jarum Veress yang dilekatkan
dengan dua jahitan yang dapat diserap. Pneumoperitoneum (10-14 mm Hg) dibuat
dan dirawat dengan mengempiskan karbon dioksida. Melalui akses laparoskop
dimasukkan untuk melihat seluruh rongga perut. Trocar 12-mm dimasukkan di atas
simfisis pubis untuk memungkinkan pengenalan instrumen seperti incisors,
forceps, atau stapler. Trocar 5 mm lainnya ditempatkan di daerah periumbilikalis
kanan, biasanya antara garis kosta kanan dan umbilikus untuk memungkinkan
penyisipan penggenggam atraumatik untuk mengekspos apendiks (Santacroce,
2019).
Apendiks digenggam dan ditarik ke atas untuk membuka mesoapendiks.
Mesoapendiks dibagi dengan dissector yang dimasukkan melalui trocar
suprapubik. Kemudian, sebuah endostapler linier, endoklip, atau ligatur penjahitan
dilewatkan melalui kanula suprapubik untuk mengikat ikatan mesoapendiks.
Mesoapendiks ditranseksi dengan gunting atau electrocautery untuk menghindari
perforasi apendiks dan peritonitis iatrogenik, ujung apendiks jangan digenggam
(Santacroce, 2019).
Apendiks sekarang dapat ditranseksi dengan endostapler linier, atau, secara
bergantian, dasar apendiks dapat diikat dengan cara yang serupa dengan prosedur
terbuka. Apendiks sekarang bebas dan dapat diangkat melalui kanula umbilikus
atau suprapubik dalam kantong laparoskopi untuk mencegah kontaminasi luka.
Irigasi peritoneum dilakukan dengan antibiotik atau larutan garam. Irigasi harus
sepenuhnya disedot dikarenakan irigasi peritoneum tampaknya menjadi faktor
risiko abses intraabdomen setelah apendektomi laparoskopi. Kanula kemudian
diangkat, dan pneumoperitoneum berkurang. Lapisan fasia di sisi kanula ditutup
dengan jahitan yang dapat diserap. Sayatan kulit ditutup dengan jahitan
subkutikular terputus atau strip perekat steril (Santacroce, 2019).

Universitas Sumatera Utara


31

2.3.3 Pemulihan Pasca Apendektomi

Pemulihan merupakan suatu proses dari penyembuhan, perawatan, atau terapi


untuk mengembalikan status kesehatan dan mengembalikan fungsi tubuh akibat
dari suatu penyakit. Waktu pemulihan pasca operasi apendiktomi dapat bervariasi.
Hal ini tergantung dari metode operasi yang dipilih, jenis pembiusan yang
digunakan, serta ada atau tidaknya komplikasi pasca operasi. Pemulihan pada
pasien pasca apendiktomi dimulai saat fase intraoperatif sudah selesai dan
dimulainya fase pascaoperatif ketika pasien dikirim ke ruang pemulihan. Ada
banyak faktor yang mempercepat pemulihan pada pasien pasca apendiktomi.
Mobilisasi dini merupakan salah satu faktor tersebut. Keberhasilan mobilisasi dini
dalam mempercepat pemulihan pasca pembedahan telah dibuktikan dalam suatu
penelitian (Wiyono dan Arifah, 2008). Faktor-faktor tersebut tidak lepas dari
tindakan saat operasi seperti teknik yang dilakukan saat fase intraoperatif.

2.3.4 Lama Rawat di Rumah Sakit Pasca Apendektomi

Lama rawat menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat setelah
menjalani apendiktomi dalam satu periode perawatan. Cara menghitung lama
dirawat adalah dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari RS,
hidup maupun mati) dengan tanggal masuk RS. Dalam hal ini, untuk pasien yang
masuk dan keluar pada hari yang sama lama dirawatnya dihitung sebagai satu hari
(Nurlina, 2010). Lama hari rawat inap pasien-pasien dengan post apendiktomi di
rumah sakit sangatlah bervariasi. Hal tersebut bergantung pada jenis apendisitis,
usia, penyakit penyerta, komplikasi, dan teknik operasi yang dilakukan. Apabila
apendiks tidak ruptur, lama hari rawat pasien 1-2 hari. Jika terdapat perforasi maka
dapat memperlama hari rawat menjadi 4-7 hari, terutama jika terjadi peritonitis.

2.3.5 Nyeri Pasca Apendektomi

Menurut International Association for Study of Pain, nyeri adalah sensori


subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Beberapa penyebab terjadinya nyeri akut seperti agen

Universitas Sumatera Utara


32

pencedera fisik misalnya abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,


prosedur operasi, trauma, dan latihan fisik berlebihan. Pada pasien pasca operasi
apendiktomi mengalami nyeri akut yang berhubungan dengan agen injuri fisik yaitu
insisi pembedahan pada apendiktomi. Nyeri pasca operasi mungkin sekali
disebabkan oleh luka operasi, tetapi kemungkinan sebab lain harus
dipertimbangkan (Yusrizal et al., 2012).

2.3.6 Komplikasi Pasca Apendektomi

Komplikasi dapat terjadi pada pasien dengan apendisitis, perhitungan untuk


morbiditas rata-rata mendekati 10%. Kematian jarang terjadi tetapi dapat terjadi
pada pasien yang mengalami peritonitis berat dan sepsis. Jika komplikasi terjadi
maka prosedur diagnostik dan terapeutik lebih lanjut mungkin diperlukan, yang
mengarah ke biaya tambahan dan rawat inap yang berkepanjangan. Infeksi yang
parah dapat menyebabkan bowel obstruction. Pasca operasi, infeksi luka atau
dehiscence dapat terjadi, terutama pada pasien dengan appendisitis gangren atau
perforasi, ileus persisten, fistula sekum, dan abses panggul atau perut. Pasien-pasien
dengan kondisi-kondisi ini hadir dengan luka atau nyeri tekan, drainase cairan dari
sayatan, atau pembengkakan dan kemerahan di tempat sayatan. Pasien dengan
infeksi pasca operasi biasanya datang dengan demam ringan, sakit perut, dan
gangguan transit usus yaitu diare dan sembelit. Mual persisten, muntah, kesulitan
berkemih, dan nyeri persisten pada tungkai bawah juga dapat terjadi. Komplikasi
kardiovaskular seperti infark miokard dan komplikasi paru seperti pneumonia dan
emboli paru telah dilaporkan dalam beberapa kasus (Santacroce, 2019).

Universitas Sumatera Utara


33

2.4 KERANGKA TEORI

Kerangka teori dalam penelitian “Perbandingan Efektivitas Operasi


Apendektomi Laparoskopi dan Apendektomi Terbuka Sebagai Tatalaksana Operasi
pada Pasien Apendisitis: Telaah Sistematis dan Meta Analisis” dapat di gambarkan
sebagai berikut:
Manifestasi Klinis

Faktor Risiko
Pemeriksaan Fisik

- Alvarado Score
- Appendicitis Inflammatory
Obstruksi pada Apendiks Response Score

Pemeriksaan Penunjang

Apendisitis

Apendektomi

Apendektomi Terbuka Apendektomi Laparoskopi

Lama Rawat Pemulihan Nyeri Komplikasi

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.9 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


34

2.5 KERANGKA KONSEP

Berdasarkan judul penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

 Pemulihan
 Apendektomi Terbuka  Lama rawat di Rumah Sakit
 Apendektomi Laparoskopi  Nyeri
 Komplikasi

Gambar 2.10 Kerangka Konsep

2.6 HIPOTESIS

Apendektomi Laparoskopi memiliki efektifitas lebih baik daripada


Apendektomi Terbuka Sebagai Tatalaksana Operasi pada Pasien Apendisitis.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS DAN KRITERIA PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yaitu telaah sistematis dan meta
analisis. Penelitian ini mempunyai kriteria seleksi yaitu inklusi dan eksklusi.

a. Kriteria inklusi studi


Kriteria inklusi penelitian adalah semua penelitian (studi) dengan pertanyaan
penelitian (PICO) yang sesuai dengan tabel 3.1 dibawah ini.

Tabel 3.1 Tabel PICO : Kriteria inklusi studi


Patients Pasien laki-laki dan perempuan, dewasa
maupun remaja awal (≥ 12 tahun) yang
telah didiagnosis dengan apendisitis
dan menjalani tatalaksana operasi
apendektomi.
Intervention Pasien yang menjalani apendektomi
laparoskopi sebagai tatalaksana operasi
apendisitis.
Comparation Pasien yang menjalani apendektomi
terbuka sebagai tatalaksana operasi
apendisitis.
Outcome Pemulihan, lama rawat di rumah sakit,
nyeri, dan komplikasi.

35

Universitas Sumatera Utara


36

b. Kriteria eksklusi studi


Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah semua penelitian (studi) yang
memenuhi kriteria inklusi namun dikeluarkan. Penelitian itu dieksklusikan karena
design penelitiannya bukan uji klinis acak terkontrol (Randomized Controlled
Trial), penelitian pada hewan, penelitian yang membandingkan apendektomi
laparoskopi dengan antibiotik atau tatalaksana lainnya, penelitian yang memiliki
outcome berbeda dengan yang diinginkan peneliti, penelitian yang tidak
menggunakan bahasa indonesia atau bahasa inggris, penelitian yang tidak dapat
diakses, penelitian yang duplikasi pada saat pencarian literatur dan penelitian yang
memiliki kualitas buruk setelah dilakukan telaah kualitas jurnal.

3.2 WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu mulai bulan Juni – Desember
2020. Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan.

3.3 METODE PENELUSURAN LITERATUR

Literatur yang dicari pada penelitian ini merupakan jurnal-jurnal berbahasa


indonesia dan berbahasa inggris yang dipublikasikan antara tahun 2010-2020.
Penelurusan literatur dilaksanakan oleh peneliti sendiri. Penelusuran literatur
dilakukan secara online dan bersumber dari Pubmed, Clinical Key, Embase,
Cochrane Database, Researchgate dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan
adalah “laparoscopic”AND”open”AND”appendectomy”AND”appendicitis” dan
“laparoscopic”AND”open”AND”appendectomy”. Penelusuran juga dilakukan
dengan melihat daftar pustaka dari beberapa buku.

Universitas Sumatera Utara


37

3.4 TELAAH KUALITAS JURNAL

Telaah kualitas jurnal dilakukan untuk menilai validitas dari jurnal. Telaah
kualitas jurnal yang digunakan pada penelitian ini adalah Kriteria Jadad (Jadad’s
Scale). Kriteria Jadad merupakan salah satu alat yang sering digunakan untuk
menilai kualitas metodologi penelitian dengan design uji klinis acak terkontrol
(Randomized Controlled Trial). Sebelum dimasukkan ke dalam kriteria Jadad,
jurnal yang diambil harus memiliki jumlah sampel yang benar dan uji hipotesis yang
benar secara statistik. Penilaian kualitas jurnal dilakukan 2 orang reviewer secara
independen (Raja Alwan Nasution dan Dr. dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD).
Kriteria Jadad menilai randomisasi, blinding dan withdrawals dan drop out pada
setiap penelitian. Skor tertinggi pada kriteria Jadad adalah 5. Penelitian akan
diurutkan berdasarkan hasil skor dan penelitian dengan skor dibawah 3 akan
dieksklusikan.

Tabel 3.2 Kriteria Jadad (Jadad et al., 1996).


Skor
Jurnal
Ya Tidak
Dilakukan secara random 1 0
Dilakukan secara double-blind 1 0
Memiliki penjelasan tentang
1 0
withdrawal dan drop-out
Metode randomisasi dilakukan dengan
1 -1
benar
Metode blinding dilakukan dengan
1 -1
benar

Universitas Sumatera Utara


38

3.5 METODE PENGUMPULAN DATA

Semua data yang relevan mengenai intervensi, karakteristik dan efeknya pada
pasien dikumpulkan menggunakan standard pengumpulan yang telah ditetapkan
oleh reviewer (Raja Alwan Nasution dan Dr. dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD).
Perbandingan efektivitas operasi apendektomi laparoskopi dan apendektomi
terbuka sebagai tatalaksana operasi pasien apendisitis mencakup Pemulihan, lama
rawat di rumah sakit, nyeri, dan komplikasi.

3.6 METODE ANALISIS DATA

Penilaian meta analisis digunakan dengan perangkat lunak Review Manager


versi 5.4 (Cochrane, Oxford, UK). Ukuran statistik yang digunakan untuk
menganalisis variabel – variabel gabungan adalah odds ratio (OR) dan weighted
mean differences (WMD). Interval kepercayaan (Confidence Inteval) ditetapkan
95%. Odds ratio dianggap bermakna secara statistik jika nilai p < 0,05 dan interval
kepercayaan tidak menyentuh angka 1.
Heterogenitas (I2) penelitian dinilai dengan tes Cochrane Q. Hasil uji
heterogenitas penelitian akan menentukan model analisis untuk menghitung efek
gabungan. Jika nilai p dari uji heterogenitas lebih besar dari 0,05 atau I2 kecil maka
model analisis yang digunakan adalah fixed effect model (FEM). Namun, Jika nilai
p dari uji heterogenitas lebih kecil dari 0,05 atau I2 besar maka model analisis yang
digunakan adalah random effects model (REM). Hipotesis penelitian secara
keseluruhan diukur dengan tes Z dan analisis sensitivitas yang digunakan untuk
menguji heterogenitas statistik.

Universitas Sumatera Utara


39

3.5 DEFINISI OPERASIOAL

3.5.1 Variabel Independen

Teknik operasi dalam tatalaksana apendisitis


1) Apendektomi laparoskopi : Apendektomi laparoskopi merupakan
pembedahan invasif minimal dengan tindakan dengan membuat sayatan
kecil yang memerlukan bantuan kamera, monitor dan instrumen-instrumen
khusus melakukan pembedahan melalui layar monitor.
2) Apendektomi terbuka : Apendektomi merupakan pengangkatan apendiks
dengan jalur pembedahan dengan membuka abdomen melalui pembedahan.
Bedah terbuka merupakan teknik pembedahan dengan insisi sepanjang 2-3
inci (7,6 cm) pada kuadran kanan bawah atau insisi oblik. Apendiks
diangkat melalui irisan ini kemudian irisan ditutup kembali.

3.5.2 Variabel Dependen

Parameter yang dinilai dari apendisitis adalah


1) Pemulihan : Pemulihan merupakan suatu proses dari penyembuhan,
perawatan, atau terapi untuk mengembalikan status kesehatan dan
mengembalikan fungsi tubuh akibat dari suatu penyakit.
2) Lama rawat di Rumah Sakit : Lama rawat menunjukkan berapa hari lamanya
seorang pasien dirawat setelah menjalani apendektomi dalam satu periode
perawatan.
3) Nyeri : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan, baik
ringan maupun berat setelah melakukan apendektomi.
4) Komplikasi : Komplikasi merupakan sebuah perubahan tak diinginkan dari
sebuah penyakit, kondisi kesehatan, atau terapi. Komplikasi dari
apendektomi dapat berupa infeksi luka operasi, abses intraabdomen, dan
ileus paralitik.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENCARIAN LITERATUR

Gambar 4.1 Diagram alir PRISMA (Moher et al., 2009).

40

Universitas Sumatera Utara


41

Diagram alir PRISMA pada gambar 4.1 menyajikan hasil dari pencarian
literatur. Sebanyak 1171 literatur diidentifikasi dari beberapa basis data seperti
Pubmed, Clinical Key, Embase, Cochrane Database, Researchgate dan Google
Scholar. 79 literatur yang mengalami duplikasi dihilangkan sehingga tersisa 1093
literatur. Sebanyak 888 dari 1093 literatur dieksklusikan setelah dilakukan
penyaringan melalui judul dan abstrak serta 15 literatur tidak dapat diakses sehingga
tersisa 190 literatur. 174 dari 190 literatur tersebut dieksklusikan kembali karena
143 literatur memiliki outcome yang berbeda dimana 30 literatur menggunakan
intervensi yang berbeda, 94 literatur menggunakan metode penelitian yang berbeda,
dan 19 literatur menggunakan populasi yang berbeda dari yang diingikan, serta 10
literatur bukan menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, 10 literatur
bersifat review article dan 11 literatur memiliki kualitas penelitian yang rendah
menurut kriteria jadad. Diperoleh hasil akhir total 16 literatur yang memenuhi
kriteria eligibilitas dan inklusi yang selanjutnya akan disintesis secara kualitatif dan
kuantitatif dalam penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


42

4.2 PENILAIAN KUALITAS LITERATUR

Tabel 4.1 Penilaian kualitas penelitian berdasarkan kriteria Jadad (Jadad et al., 1996).

No Penulis, tahun A B C D E Total


1 Bajwa, 2017* 1 -1 0 0 1 1
2 Bartin, 2016* 1 -1 0 0 0 0
3 Çiftçi, 2015 1 1 0 0 1 3
4 Cipe, 2014 1 1 0 0 1 3
5 Clarke, 2011 1 -1 1 1 1 3
6 Goudar, 2011* 1 -1 0 0 1 1
7 Gul, 2014* 1 -1 0 0 0 0
8 Gundavda, 2012* 1 -1 0 0 0 0
9 Hayat, 2019* 1 -1 0 0 1 1
10 Jan, 2011 1 1 0 0 1 3
11 Kargar 2011 1 1 0 0 1 3
12 Khalil, 2011 1 1 0 0 1 3
13 Kocatas, 2013 1 1 0 0 1 3
14 Kolhar, 2017* 1 -1 0 0 0 0
15 Kouhia, 2010 1 1 0 0 1 3
16 Mantoğlu, 2015 1 1 0 0 1 3
17 Nazir, 2019 1 1 0 0 1 3
18 Sharanya, 2018* 1 -1 0 0 1 1
19 Sharma, 2017* 1 -1 0 0 0 0
20 Shirazi, 2010* 1 0 0 0 1 1
21 Singh, 2017 1 1 1 1 1 5
22 Sozutek, 2013 1 1 0 0 1 3
23 Taguchi, 2015 1 1 0 0 1 3
24 Talha, 2019 1 1 1 -1 1 3
25 Thomson, 2014 1 1 1 -1 1 3
26 Tzovaras, 2010 1 1 1 1 1 5
27 Wei, 2010* 1 -1 0 0 1 1

Keterangan: A = dilakukan randomisasi; B = randomisasi dilakukan secara benar; C = double


blinding; D = penyamaran ganda dilakukan secara benar; E = ada penjelasan tentang withdrawl dan
follow up; *:eksklusi

Universitas Sumatera Utara


43

Penilaian kualitas literatur yang akan disintesis dalam penelitian ini


menggunakan kriteria Jadad. Sebanyak 27 dari 190 literatur yang lolos tahap
penyaringan dinilai kualitasnya. 163 literatur tidak diikutsertakan karena telah
dieksklusikan terlebih dahulu setelah dilakukan pembacaan isi literatur.
Berdasarkan hasil penilaian literatur seperti yang disajikan pada tabel 4.1 diperoleh
2 literatur yaitu Singh et al., 2017 dan Tzovaras et al., 2010 yang memiliki kualitas
penelitian yang sangat baik dengan skor 5, 14 literatur memiliki kualitas baik
dengan skor 3, 6 literatur memiliki kuaitas buruk dengan skor 1, dan 5 literatur
memiliki kuaitas buruk dengan skor 1. Diperoleh 16 literatur dengan kualitas sangat
baik dan baik yang digunakan dalam telaah sistematis dan meta analisis ini, 11
literatur dengan kualitas buruk tersebut dieksklusikan seperti yang ditunjukkan
pada gambar 4.1. Total 16 literatur yang memenuhi kriteria inklusi, data-data akan
dikumpulkan berupa lama rawat di rumah sakit, lama pemulihan, nyeri pasca
operasi, serta komplikasi berupa infeksi luka pasca operasi, ileus paralitik, dan
abses intraabdomen untuk menggambarkan perbandingan efektivitas kedua teknik
pembedahan pada apendisitis.

4.3 KARAKTERISTIK STUDI

Tabel 4.2 Karakteristik dasar studi.


Desain Jumlah Skor
Penulis, tahun Negara Umur Pasien
Studi Pasien Jadad
Çiftçi, 2015 243
Laparoskopi Turki RCT 25.9 ± 9.6 122 3
Terbuka 28.8 ± 11.1 121
Cipe, 2014 241
Laparoskopi Turki RCT 26.4 ± 9.7 121 3
Terbuka 29.7 ± 12.8 120
Clarke, 2011 37
Laparoskopi USA RCT 31 (19-60) 23 3
Terbuka 33 (18-50) 14
Jan, 2011 120
Laparoskopi Pakistan RCT 23.6 ± 14.2 60 3
Terbuka 20.8 ± 1 60
Kargar, 2011 100
Laparoskopi Iran RCT 26.94 ± 9.51 50 3
Terbuka 25.36 ± 8.92 50

Universitas Sumatera Utara


44

Khalil, 2011 147


Laparoskopi Pakistan RCT 23.09 ± 8.51 72 3
Terbuka 23.12 ± 10.42 75
Kocatas, 2013 96
Laparoskopi Turki RCT 27.4 ± 18.5 50 3
Terbuka 28.2 ± 21.2 46
Kouhia, 2010 99
Laparoskopi Finlandia RCT 28 (15–65) 47 3
Terbuka 34 (16–51) 52
Mantoğlu, 2015 63
Laparoskopi Turki RCT 31.8 ± 12.2 31 3
Terbuka 31.1 ± 12.7 32
Nazir, 2019 130
Laparoskopi Pakistan RCT 32 ± 7 65 3
Terbuka 34 ± 7 65
Singh, 2017 30
Laparoskopi India RCT 27.40 15 5
Terbuka 31.27 15
Sozutek, 2013 50
Laparoskopi Turki RCT 30 ± 11 25 3
Terbuka 32.2 ± 9.4 25
Taguchi, 2015 81
Laparoskopi Jepang RCT 46 (21–85) 42 3
Terbuka 49 (20–81) 39
Talha, 2019 126
Laparoskopi Mesir RCT 36.83 ± 10.9 60 3
Terbuka 38.69 ± 10.8 66
Thomson, 2014 112
Laparoskopi Afrika Selatan RCT 26.4 ± 11.25 60 3
Terbuka 26.6 ± 13.7 52
Tzovaras, 2010 147
Laparoskopi Yunani RCT 26 (15–68) 72 5
Terbuka 22 (14–65) 75
Total: Laparoskopi (n=915) Terbuka (n=907); RCT: Randomized controlled trial

Terdapat 16 studi uji klinis acak terkontrol dari berbagai negara di seluruh dunia
yang dianalisis dalam telaah sistematis dan metaanalisis ini. Karakteristik setiap
studi seperti nama penulis, tahun publikasi, negara, desain penelitian, usia pasien,
jumlah sampel, dan skor jadad disajikan pada tabel 4.2. Rentang tahun publikasi
dari 16 studi yaitu mulai tahun 2010 sampai tahun 2019 dengan batas pencarian
literatur mulai dari tahun 2010 sampai tahun 2020.

Universitas Sumatera Utara


45

Terdapat 5 studi dilakukan di Turki, 3 studi di Pakistan, dan 1 studi Afrika


Selatan, Finlandia, India, Iran, Jepang, Mesir, USA, dan Yunani. Rata-rata usia
pasien dari sampel bervariasi sesuai dengan kriteria inklusi yaitu Pasien laki-laki
dan perempuan, dewasa maupun remaja awal diatas usia 12 tahun. Jumlah
keseluruhan sampel yaitu 1822 pasien dengan 915 pasien mendapat intervensi
apendektomi laparoskopi dan 907 pasien mendapat intervensi apendektomi terbuka.
Skor jadad dari 16 studi didominasi dengan nilai 3 dengan nilai rata- rata secara
keseluruhan yaitu 3,25.
Apendektomi Laparoskopi diketahui sebagai salah satu pembedahan yang
digunakan dalam tatalaksana apendisitis, begitu juga dengan apendektomi terbuka
yang merupakan teknik pembedahan lebih umum digunakan dalam tatalaksana
pasien apendisitis. Kedua teknik ini masih menjadi perdebatan pada penelitian-
penelitian sebelumnya dalam hal membandingkan efektivitas dan komplikasi kedua
teknik. Meta analisis ini bertujuan untuk menentukan apakah terdapat perbedaan
antara kedua teknik tersebut agar klinisi dapat memilih teknik pembedahan yang
paling baik sesuai dengan indikasi dan kebutuhannya.
Penelitian meta analisis ini menentukan ada tidaknya perbedaan kedua teknik
pembedahan berdasarkan outcome yang ada, yaitu: lama rawat, pemulihan, nyeri,
dan komplikasi. Jurnal-jurnal yang dimasukkan ke dalam meta analisis ini adalah
jurnal-jurnal berkualitas baik yang telah dinilai menggunakan kriteria Jadad dan
menggunakan studi randomized controlled trial. Kelemahan dari pencarian jurnal-
jurnal yang sesuai untuk meta analisis ini adalah keterbatasan penulis dalam
menemukan penelitian-penelitian yang tidak dipublikasi. Adapun pembahasan dari
outcome pada penelitian ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.

Universitas Sumatera Utara


46

4.4 LAMA RAWAT

Tabel 4.3 Lama rawat.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
Mean SD n Mean SD n
Çiftçi, 2015 1.07 0.99 122 1.21 0.91 121
Cipe, 2014 1.11 1.03 121 1.24 0.96 120
Clarke, 2011 2.69 1.81 23 4.53 2.63 14
Jan, 2011 1.3 1.3 60 2.5 2.5 60
Kargar, 2011 2.18 0.8 50 1.79 0.58 50
Khalil, 2011 1.52 0.76 72 1.70 1.06 75
Kocatas, 2013 0.85 0.6 50 0.88 0.77 46
Kouhia, 2010 2 1.35 47 2.1 1.77 52
Mantoğlu, 2015 1.40 0.84 31 1.50 0.67 32
Nazir, 2019 4.38 1.09 65 4.18 0.77 65
Singh, 2017 2.4 2.4 15 5.27 5.27 15
Sozutek, 2013 1.2 0.8 25 1.9 0.8 25
Taguchi, 2015 11.4 8.57 42 11.9 6.65 39
Talha, 2019 6.2 1.6 60 8.1 1.8 66
Thomson, 2014 5 5 60 4.5 4.5 52
Tzovaras, 2010 2.6 2.3 72 2.27 1.25 75

Gambar 4.2 Forest plot lama rawat.

Universitas Sumatera Utara


47

Lama awat merupakan jumlah hari dimana pasien mendapatkan perawatan


rawat inap di rumah sakit, sejak tercatat sebagai pasien rawat inap hingga keluar
dari rumah sakit (Lestari, 2014). Lama Rawat menjadi outcome pertama pada
meta analisis ini dengan menggunakan seluruh jurnal yang diikutsertakan pada
penelitian ini. Keseluruhan jurnal yang dianalisis menghasilkan nilai p kurang dari
0.00001 yang berarti data-data bersifat heterogen sehingga digunakan random
effects model untuk menganalisis data gabungan tersebut. Berdasarkan analisis data
dari keseluruhan jurnal dijumpai 4 dari 16 jurnal yang digabungkan memiliki lama
rawat lebih baik terhadap apendektomi laparoskopi dan memberikan nilai yang
bermakna. Ada 1 dari 16 jurnal memiliki nilai bermakna terhadap apendektomi
terbuka (Kargar et al., 2011) dengan didapatkan perbedaan rata-rata sebesar 0.39
dimana rentang interval kepercayaan pada forest plot antara 0.12 sampai 0.66.
Penggabungan 11 jurnal lainnya dari 16 jurnal memiliki hasil yang tidak jauh
berbeda atau tidak memberikan hasil yang bermakna karena dapat dilihat dari garis
confidence interval yang memotong garis vertikal.
Setelah dilakukan pengolahan data dari penggabungan seluruh jurnal dalam
penelitian, didapatkan diamond berada di kelompok apendektomi laparoskopi dan
nilai p sebesar 0.03 menandakan hasil meta analisis berupa lama rawat memberikan
hasil yang bermakna terhadap apendektomi laparoskopi. Total mean difference dari
outcome ini memberikan hasil -0.29 (95% CI: -0.55; -0.03) yang artinya
apendektomi laparoskopi lebih cepat dalam lama rawat pada pasien apendisitis
dibandingkan apenditomi terbuka dengan perbedaan rata-rata sebesar 0.29 dan
rentang interval kepercayaan terhadap populasi antara 0.03 sampai 0.55. Hasil
analisis ini didukung oleh penelitian (Rahmayati et al., 2017) yang menyatakan
terdapat hubungan antara jenis operasi dengan lama perawatan pasien pasca operasi
di ruang rawat inap (OR 3.704, 95% Cl: 1.151, 11.918; P=0.024). Hasil analisis ini
juga sesuai dengan penelitian (Ohtani et al., 2012) dan (Wei et al., 2010) yang
menyatakan terdapat perbedaan signifikan atau bermakna antara apendektomi
laparoskopi dan apendektomi terbuka dalam lama rawat pasien apendisitis. Nilai
mean difference dari penelitian ini sebesar (MD -0.79, 95% Cl: -1.06, -0.52;
P<0.00001) dan (MD -0.68, 95% Cl: -1.02, -0.35; P<0.0001). Nilai bermakna dari

Universitas Sumatera Utara


48

penelitian sebelumnya mendukung lama rawat meta analisis ini bahwa apendektomi
laparoskopi memiliki waktu lama rawat lebih cepat dibandingkan apendektomi
terbuka. Pada meta analisis ini ada beberapa studi yang tidak memberikan nilai
bermakna, beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut ialah perbedaan sistem
perawatan antar studi, kemampuan teknik operasi antar individu, serta status
kesehatan masing-masing individu yang disertakan pada penelitian ini.

4.5 PEMULIHAN

Tabel 4.4 Pemulihan.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
Mean SD n Mean SD n
Çiftçi, 2015 4.3 1.95 122 5.4 2.34 121
Cipe, 2014 5.35 2.53 121 6.35 2.54 120
Kargar, 2011 3.1 1.46 50 3.2 2.47 50
Mantoğlu, 2015 5.06 2.31 31 8.06 2.15 32
Singh, 2017 13.2 13.2 15 19.73 19.73 15
Talha, 2019 15.3 3.4 60 22.3 3.7 66
Tzovaras, 2010 6.35 2.73 72 7.3 2.5 75

Gambar 4.3 Forest plot pemulihan.

Pemulihan adalah suatu proses dari penyembuhan, perawatan, atau terapi untuk
mengembalikan status kesehatan dan mengembalikan fungsi tubuh akibat dari suatu
penyakit. Pemulihan merupakan outcome kedua yang dianalisis pada meta analisis
ini dengan menggunakan 7 dari 16 jurnal yang disertakan. Hasil analisis jurnal-
jurnal untuk pemulihan menghasilkan nilai p kurang dari 0.00001 yang berarti data-
data bersifat heterogen sehingga digunakan random effects model untuk

Universitas Sumatera Utara


49

menganalisis data-data tersebut. Dari penggabungan 7 jurnal mengenai pemulihan


pada pasien apendisitis, dijumpai 5 dari 7 jurnal jurnal yang digabungkan memiliki
pemulihan yang lebih baik terhadap apendektomi laparoskopi. Kelima jurnal ini
memberikan hasil yang bermakna karena tidak memotong garis vertikal dan
menunjukkan confidence interval berada di daerah apendektomi laparoskopi yang
berarti apendektomi laparoskopi menunjukkan rata-rata pemulihan pada pasien
apendisitis lebih baik dibandingkan dengan apendektomi terbuka. Penggabungan 2
jurnal lainnya dari 7 jurnal memiliki hasil yang tidak jauh berbeda atau tidak
memberikan nilai yang bermakna.
Setelah dilakukan pengolahan data dari penggabungan ketujuh jurnal tersebut,
didapatkan diamond berada di kelompok apendektomi laparoskopi dan nilai p
sebesar 0.003 menandakan hasil meta analisis berupa pemulihan memberikan hasil
yang bermakna terhadap apendektomi laparoskopi. Dari pengolahan data didapat
nilai total mean difference pada pemulihan sebesar -2.18 (95% CI: -3.62; -0.74)
yang artinya rata-rata pemulihan pada apendektomi laparoskopi lebih cepat sebesar
2.18 dibandingkan apendektomi terbuka dengan rentang interval kepercayaan
terhadap populasi antara 0.74 sampai 3.62. Penelitian (Ohtani et al., 2012) dan
(Wei et al., 2010) juga menyatakan mean difference pada pemulihan apendektomi
laparoskopi lebih baik dibanding apendektomi terbuka dengan hasil analisa
penelitian masing-masing sebesar (MD -5.47, 95% Cl: -7.12, -3.82; P<0.00001) dan
(MD -4.73, 95% Cl: -6.54, -2.92; P<0.00001). Faktor yang mempengaruhi
apendektomi laparoskopi memiliki pemulihan lebih cepat dibandingkan
apendektomi terbuka adalah minimal invasif pada apendektomi laparoskopi,
sedikitnya kontak atau manipulasi terhadap organ sekitar seperti sekum dan ileum
serta faktor sosial, ekonomi, budaya, dan kondisi fisik tiap individu. Hasil serupa
pada meta analisis sebelumnya mendukung bahwa apendektomi laparoskopi
memiliki pemulihan lebih cepat dibandingkan dengan apendektomi terbuka.

Universitas Sumatera Utara


50

4.6 NYERI

Nyeri merupakan outcome ketiga pada meta analisis ini dengan menyertakan 5
dari 16 jurnal yang ada. Dari kelima penggabungan penelitian untuk meta analisis
ini, penilaian kuliatas nyeri terhadap pasien menggunakan visual analog scale
(VAS) serta dibagi menjadi tiga bagian. Tiga bagian pada outcome ketiga ini adalah
menggunakan penilaian nyeri saat 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Hasil analisis
ketiga bagian pada outcome nyeri didapat bahwa apendektomi laparoskopi
memiliki nilai nyeri lebih baik saat 6,12, dan 24 jam pasca operasi dibandingkan
dengan apendektomi terbuka dan memiliki nilai yang bermakna. Hasil penelitian
meta analisis mengenai nyeri dapat dilihat lebih lanjut pada penjelasan gambar 4.4,
gambar 4.5, dan gambar 4.6.

4.6.1 Nyeri 6 Jam Pasca Operasi

Tabel 4.5 Nyeri 6 jam pasca operasi.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
Mean SD n Mean SD N
Çiftçi, 2015 3.9 1.1 122 4.5 1.2 121
Cipe, 2014 4.0 1.2 121 4.6 1.3 120
Kargar, 2011 4.38 2.51 50 5.44 2.41 50
Singh, 2017 4.2 4.2 15 5.27 5.27 15
Sozutek, 2013 3.4 1.0 25 5.2 1.6 25

Gambar 4.4 Forest plot nyeri 6 jam pasca operasi.

Universitas Sumatera Utara


51

Nyeri 6 jam pasca operasi merupakan bagian pertama pada outcome nyeri
dengan menggunakan kelima jurnal yang akan dianalisis. Hasil analisis kelima
jurnal tersebut menghasilkan nilai p sebesar 0.04 sehingga digunakan random
effects model karena data-data tersebut bersifat heterogen. Empat dari Kelima jurnal
yang digunakan tidak memotong garis vertikal diangap bermakna dan jurnal-jurnal
ini menunjukkan interval kepercayaan berada di daerah apendektomi laparoskopi,
artinya apendektomi laparoskopi menunjukkan rata-rata nyeri 6 jam pasca operasi
lebih baik dibandingkan dengan apendektomi terbuka. Hanya 1 dari 5 jurnal
(Singh et al., 2017) yang mendapatkan hasil bahwa apendektomi laparoskopi
memiliki nilai yang tidak jauh berbeda atau tidak bermakna dibandingkan
apendektomi terbuka dengan hasil sebesar -1.07 (95% CI: -4.48; 2.34).
Setelah dilakukan penelitian meta analisis dari gabungan kelima jurnal, hasilnya
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna dalam menilai nyeri antara
apendektomi laparoskopi dan apendektomi terbuka
(MD -0.88, 95% CI -1.28, -0.47; P<0.0001) dengan diamond tidak menyentuh garis
vertikal dan berada di daerah apendektomi laparoskopi. Rata-rata peningkatan nilai
nyeri pada pasien yang mendapatkan apendektomi terbuka lebih tinggi daripada
apendektomi laparoskopi. Pada Penelitian meta analisis sebelumnya, tidak
ditemukan adanya perbandingan kualitas nyeri pasien apendisitis menggunakan 6
dan 12 jam pasca operasi sehingga perbandingan intensitas nyeri pada meta analisis
ini dengan sebelumnya hanya menggunakan 24 jam pasca operasi.

4.6.2 Nyeri 12 Jam Pasca Operasi

Tabel 4.6 Nyeri 12 jam pasca operasi.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
Mean SD n Mean SD n
Çiftçi, 2015 2.6 1.3 122 3.1 1.4 121
Cipe, 2014 2.7 1.4 121 3.2 1.5 120
Kargar, 2011 3.46 2.38 50 4.68 2.29 50
Singh, 2017 3.67 3.67 15 5.4 5.4 15
Sozutek, 2013 2.1 0.81 25 4.3 1.5 25

Universitas Sumatera Utara


52

Gambar 4.5 Forest plot nyeri 12 jam pasca operasi.

Analisis berikutnya dari outcome nyeri ialah saat 12 jam pasca operasi dengan
menggunakan kelima jurnal yang sudah ada. Hasil analisis jurnal-jurnal untuk nyeri
menghasilkan nilai p sebesar 0.0001 yang berarti data-data bersifat heterogen
sehingga digunakan random effects model untuk menganalisis data-data tersebut.
Hasil analisis pada forest plot nyeri 12 jam pasca operasi memiliki hasil yang sama
saat 6 jam pasca operasi dengan 4 dari 5 jurnal yang digunakan diangap memiliki
nilai bermakna. Hanya 1 dari 5 jurnal (Singh et al., 2017) seperti saat 6 jam pasca
operasi mendapatkan hasil bahwa apendektomi laparoskopi memiliki nilai yang
tidak jauh berbeda atau tidak bermakna dibandingkan apendektomi terbuka dengan
hasil sebesar -1.73 (95% CI: -5.03; 1.57).
Gabungan kelima jurnal mendapatkan hasil yang sama seperti 6 jam pasca
operasi dengan nyeri pada apendektomi laparoskopi memiliki nilai yang lebih baik
saat 12 jam pasca operasi. Total mean difference dari outcome ini memberikan hasil
-1.07 (95% CI: -1.74; -0.40) dan didapatkan diamond berada di kelompok
apendektomi laparoskopi dan nilai p sebesar 0.002 menandakan hasil meta analisis
berupa nyeri saat 12 jam pasca operasi memberikan hasil yang bermakna.

Universitas Sumatera Utara


53

4.6.3 Nyeri 24 Jam Pasca Operasi

Tabel 4.7 Nyeri 24 jam pasca operasi.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
Mean SD n Mean SD n
Çiftçi, 2015 2.4 0.7 122 2.9 0.9 121
Cipe, 2014 2.9 1.1 121 3.4 1.3 120
Kargar, 2011 1.36 1.26 50 1.78 1.69 50
Singh, 2017 3 3 15 4.53 4.53 15
Sozutek, 2013 2.0 1.0 25 3.5 1.0 25

Gambar 4.6 Forest plot nyeri 24 jam pasca operasi.

Bagian terakhir pada outcome nyeri ialah nyeri saat 24 jam pasca operasi dengan
menggabungkan kelima jurnal yang akan dianalisis. Hasil analisis kelima jurnal
menghasilkan nilai p sebesar 0.02 yang berarti data-data tersebut bersifat heterogen
sehingga digunakan random effects model untuk menganalisis data gabungan
tersebut. Terdapat 3 dari 5 jurnal yang digabungkan mendapatkan hasil bahwa
perbedaan nilai nyeri saat 24 jam pasca operasi pada apendektomi laparoskopi
dibandingkan dengan apendektomi terbuka memiliki nilai yang berbeda atau
bermakna. Hal ini jelas terlihat pada forest plot dimana ketiga jurnal yang dimaksud
memiliki garis confidence interval berada di apendektomi laparoskopi dan tidak
memotong garis vertikal. Sementara dua penelitian lainnya (Kargar et al., 2011)
dan (Singh et al., 2017) mendapatkan hasil bahwa apendektomi laparoskopi
memiliki nilai saat 24 jam pasca operasi yang tidak jauh berbeda atau tidak
bermakna dibandingkan apendektomi terbuka.

Universitas Sumatera Utara


54

Gabungan kelima jurnal ini mendapatkan hasil yang sama seperti 6 dan 12 jam
pasca operasi dengan nyeri pada apendektomi laparoskopi memiliki nilai yang lebih
baik dibandingkan dengan apendektomi terbuka. Penilaian ini didukung dengan
nilai p sebesar 0.0001 serta diamond gabungan yang berada di kelompok
apendektomi laparoskopi yang menandakan bahwa penilaian nyeri saat 24 jam
pasca operasi pada apendektomi laparoskopi memiliki nilai nyeri yang lebih baik
dibandingkan dengan apendektomi terbuka dan memiliki nilai yang bermakna.
Total mean difference outcome ini memberikan hasil -0.69 (95% CI: -1.05; -0.34)
yang artinya rata-rata penilaian nyeri pada apendektomi laparoskopi lebih kecil
sebesar 0.69 dibandingkan dengan apendektomi terbuka dengan rentang interval
kepercayaan terhadap populasi sebesar 0.34 sampai 1.05.
Setelah dilakukan pengolahan data dari penggabungan kelima jurnal tersebut,
dapat disimpulkan bahwa apendektomi laparoskopi memiliki penilaiaan nyeri lebih
baik dibandingkan dengan apendektomi terbuka pada saat 6, 12, dan 24 jam pasca
operasi. Hasil analisis ini juga sesuai dengan penelitian (Golub et al., 1998) yang
menyatakan terdapat perbedaan bermakna antara apendektomi laparoskopi dan
apendektomi terbuka dalam menilai nyeri terhadap pasien apendisitis dengan nilai
mean difference penelitian sebesar (MD -0.38, 95% Cl: -0.64, -0.13; P=0.003). Pada
penelitian (Bennett et al., 2007) didapatkan hasil yang berbeda yang menyatakan
perbandingan apendektomi laparoskopi dan apendektomi terbuka dalam menilai
nyeri tidak bermakna dengan nilai mean difference penelitian sebesar (MD -0.90,
95% Cl: -1.84, 0.25; P=0.13). Faktor yang mempengaruhi kualitas nyeri pasca
operasi pasien apendisitis serupa dengan beberapa faktor pada pemulihan.
Perbedaan pada meta analisis sebelumnya (Bennett et al., 2007) bisa dikaitkan
dengan faktor sosial budaya tiap individu, dimana penilaian kualitas nyeri bersifat
subjektif atau berdasarkan persepsi dari tiap individu yang berbeda-beda. Faktor
lain yang membuat hasil pada meta analisis ini berbeda dengan sebelumnya adalah
blinding pada tiap studi dilakukan dengan benar atau tidaknya dapat mempengaruhi
penilaian kualitas nyeri tiap individu.

Universitas Sumatera Utara


55

4.7 KOMPLIKASI

Komplikasi merupakan outcome terakhir pada meta analisis ini dimana


komplikasi adalah sebuah perubahan tak diinginkan dari sebuah penyakit, kondisi
kesehatan, ataupun terapi. Kejadian serta derajat komplikasi pasca operasi
umumnya dianggap sebagai suatu indikator keamanan suatu prosedur seperti pada
apendektomi pasien apendisitis. Komplikasi yang paling sering ditemukan pada
pasien-pasien yang menjalani apendektomi dari keseluruhan jurnal yang disertakan
dalam meta analisis ini adalah infeksi luka pasca operasi, ileus paralitik, dan abses
intraabdomen. Tiga komplikasi ini akan menjadi bagian dari outcome terakhir pada
penelitian ini. Hasil meta analisis mengenai tiga komplikasi pada penelitian ini
dapat dilihat lebih lanjut pada penjelasan berikutnya.

4.7.1 Infeksi Luka Pasca Operasi

Tabel 4.8 Infeksi luka pasca operasi.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
AK n % AK n %
Çiftçi, 2015 1 122 0.8 5 121 5
Cipe, 2014 2 121 1.7 6 120 5
Clarke, 2011 2 23 8.7 1 14 7
Jan, 2011 1 60 1.7 5 60 8.3
Kargar, 2011 0 50 0 2 50 4
Khalil, 2011 3 72 4.2 8 75 10.7
Kocatas, 2013 1 50 2 3 46 6.5
Kouhia, 2010 2 47 4.3 16 52 30.7
Mantoğlu, 2015 2 31 6.5 2 32 6.3
Nazir, 2019 7 65 10.7 18 65 27.7
Singh, 2017 1 15 6.7 2 15 13.3
Sozutek, 2013 1 25 4 3 25 12
Taguchi, 2015 14 42 33.3 10 39 25.6
Talha, 2019 5 60 8.3 15 66 22.7
Thomson, 2014 2 60 3.3 9 52 17.3
Tzovaras, 2010 2 72 2.7 4 75 5.3

Universitas Sumatera Utara


56

Gambar 4.7 Forest plot infeksi luka pasca operasi.

Infeksi luka pasca operasi merupakan komplikasi pertama pada outcome ini dan
komplikasi paling sering terjadi pasca operasi apendektomi. Outcome ini
menggunakan seluruh jurnal yang disertakan pada penelitian ini. Hasil analisis
keseluruhan jurnal menghasilkan nilai p sebesar 0.47 yang berarti data-data tersebut
bersifat homogen sehingga Fixed Effects Model digunakan untuk menganalisis data
gabungan pada meta analisis ini. Berdasarkan analisis data dari keseluruhan jurnal
dijumpai 3 dari 16 jurnal yang digabungkan memberikan nilai yang bermakna
dimana apendektomi laparoskopi menunjukkan pengaruh yang lebih kecil
menyebabkan kejadian infeksi luka pasca operasi dibandingkan apendektomi
terbuka. Penggabungan 13 jurnal lainnya dari seluruh jurnal memiliki hasil yang
tidak jauh berbeda atau tidak bermakna dalam membandingkan kejadian infeksi
luka pada apendektomi karena dilihat dari garis confidence interval yang memotong
garis vertikal.
Setelah dilakukan pengolahan data dari penggabungan seluruh jurnal dalam
penelitian, diamond berada di kelompok apendektomi laparoskopi tidak menyentuh
garis vertikal dan nilai p<0.00001 menandakan hasil meta analisis berupa infeksi
luka pasca operasi memberikan hasil yang bermakna terhadap apendektomi
laparoskopi. Total odds ratio dari outcome ini memberikan hasil
0.37 (95% CI: 0.25; 0.53) yang artinya kejadian infeksi luka pasca operasi pada

Universitas Sumatera Utara


57

apendektomi laparoskopisi lebih rendah 0.37 kali dibandingkan dengan


apendektomi terbuka dengan rentang interval kepercayaan terhadap populasi antara
0.25 sampai 0.53. Hasil analisis meta analisis ini juga sesuai dengan penelitian
(Ohtani et al., 2012) dan (Bennett et al., 2007) yang menyatakan terdapat perbedaan
signifikan atau bermakna antara apendektomi laparoskopi dan apendektomi terbuka
dalam infeksi luka pasca operasi pasien apendisitis. Nilai odds ratio dari masing-
masing penelitian sebesar (OR 0.46, 95% Cl: 0.34, 0.62; P<0.00001) dan
(OR 0.52, 95% Cl: 0.39, 0.70; P<0.0001). Penyebab yang paling memungkinkan
apendektomi terbuka memiliki kejadian yang lebih banyak untuk infeksi luka pasca
operasi adalah pada apendektomi terbuka lebih invasif dibandingkan laparoskopi
dimana sayatan luka lebih besar agar apendiks langsung terlihat untuk diangkat. Hal
ini akan menyebabkan kontaminasi dari luar sehingga membuat risiko kejadian
infeksi pasca apendektomi terbuka lebih besar.

4.7.2 Ileus Paralitik

Tabel 4.9 Ileus paralitik.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
AK n % AK n %
Clarke T (2011) 0 23 0 1 14 7.1
Khalil J (2011) 5 72 6.9 1 75 1.3
KOCATAŞ A (2013) 3 50 6 0 46 0
Sozutek A (2013) 0 25 0 2 25 8
Talha A (2019) 9 60 15 18 66 27.3
Tzovaras G (2010) 1 72 1.4 0 75 0

Gambar 4.8 Forest plot ileus paralitik.

Universitas Sumatera Utara


58

Komplikasi kedua pada meta analisis ini merupakan ileus paralitik


menggunakan 6 dari 16 jurnal yang disertakan. Hasil analisis jurnal-jurnal untuk
ileus paralitik menghasilkan nilai p sebesar 0.12 sehingga Fixed Effects Model
digunakan karena data-data tersebut bersifat homogen. Penggabungan 6 jurnal yang
disertakan mendapatkan hasil bahwa kejadian ileus paralitik pada apendektomi
laparoskopi dibandingkan apendektomi terbuka tidak bermakna karena seluruh
jurnal menyentuh garis vertikal. Penggabungan 3 dari 6 jurnal mendapatkan bahwa
apendektomi laparoskopi lebih berpengaruh menyebabkan ileus paralitik tetapi
tidak memberikan nilai yang bermakna. Penggabungan 3 jurnal lainnya
mendapatkan hasil berbeda dimana apendektomi terbuka lebih berpengaruh tetapi
tidak memberikan nilai bermakna secara statistik.
Total odds ratio dari jurnal-jurnal yang disertakan dalam analisis ini
menunjukkan hasil sebesar 0.85 (95% CI: 0.45; 1.60) yang artinya apendektomi
laparoskopi memiliki angka kejadian ileus paralitik lebih sedikit dibandingkan
dengan apendektomi terbuka tetapi tidak memberikan nilai yang bermakna. Hal ini
dapat dilihat juga dari diamond gabungan yang lebih berada di kelompok
apendikomi laparoskopi namun menyentuh garis vertikal serta nilai p yang didapat
sebesar 0.61. Rawat inap yang lama di rumah sakit dapat dikaitkan dengan
komplikasi. Banyak faktor yang menyebabkan panjangnya lama rawat setelah
apendektomi, faktor tersering di antaranya adalah ileus paralitik
(Ngowe et al., 2010). Hasil analisis ini sesuai dengan penelitian (Li et al., 2010)
dan (Bennett et al., 2007) yang menyatakan apendektomi laparoskopi dan
apendektomi terbuka dalam ileus paralitik tidak memberikan nilai bermakna atau
tidak signifikan secara statistik. Nilai odds ratio masing-masing penelitian sebesar
(OR 0.91, 95% Cl: 0.57, 1.47; P=0.71) dan (OR 0.88, 95% Cl: 0.53, 1.45; P=0.61).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, perbandingan kejadian ileus paralitik pada
penelitian ini tidak bermakna dimana kejadian antara kedua teknik tidak jauh
berbeda. Beberapa faktor yang dapat menurukan kejadian ileus paralitik terutama
pada teknik laparoskopi berdasarkan penelitian sebelumnya (Li et al., 2010) adalah
penurunan penanganan organ sekitar selama operasi, penggunaan analgesik yang
lebih sedikit sehingga menurukan risiko paralitik, serta mobilisasi lebih dini.

Universitas Sumatera Utara


59

4.7.3 Abses Intraabdomen

Tabel 4.10 Abses intraabdomen.


Laparoskopi Terbuka
Penulis, Tahun
AK n % AK n %
Çiftçi F (2015) 4 122 3.3 3 121 2.5
Cipe G (2014) 6 121 5 4 120 3.3
Clarke T (2011) 1 23 4.3 0 14 0
Jan WA (2011) 2 60 3.3 7 60 11.6
KOCATAŞ A (2013) 1 50 2 1 46 2.2
Kouhia S T (2010) 2 47 4.3 1 52 2
Mantoğlu B (2015) 2 31 6.5 2 32 6.3
Talha A (2019) 7 60 11.6 3 66 4.6

Gambar 4.9 Forest plot abses intraabdomen.

Abses intraabdomen merupakan outcome terakhir pada meta analisis ini dengan
menggunakan 8 dari 16 jurnal yang ada. Hasil analisis jurnal-jurnal menghasilkan
nilai p sebesar 0.62 yang berarti data-data bersifat homogen sehingga digunakan
Fixed Effects Model. Penggabungan 8 jurnal yang disertakan mendapatkan hasil
bahwa kejadian abses intraabdomen pada apendektomi laparoskopi tidak bermakna
karena seluruh jurnal menyentuh garis vertikal. Penggabungan 6 dari 8 jurnal
mendapatkan bahwa apendektomi laparoskopi lebih berpengaruh menyebabkan
abses intraabdomen tetapi tidak memberikan nilai yang bermakna. Penggabungan
2 jurnal lainnya mendapatkan hasil berbeda dimana apendektomi terbuka lebih
berpengaruh tetapi tidak memberikan nilai bermakna secara statistik.

Universitas Sumatera Utara


60

Total odds ratio dari jurnal-jurnal yang disertakan menunjukkan hasil sebesar
1.20 (95% CI: 0.67; 2.16) yang artinya apendektomi laparoskopi memiliki angka
kejadian abses intraabdomen lebih tinggi tetapi tidak memberikan nilai yang
bermakna. Hal ini dapat dilihat dari diamond gabungan yang berada di kelompok
apendikomi terbuka namun menyentuh garis vertikal serta nilai p yang didapat
sebesar 0.54. Hasil analisis juga sesuai dengan penelitian (Li et al., 2010) yang
menyatakan perbedaan apendektomi laparoskopi dan apendektomi terbuka untuk
abses intraabdomen tidak bermakna dengan nilai odds ratio penelitian sebesar
(OR 1.56, 95% Cl: 1.01, 2.43; P=0.05). Pada penelitian (Bennett et al., 2007) hasil
yang berbeda didapat yaitu perbandingan apendektomi laparoskopi dan
apendektomi terbuka pada abses intraabdomen memiliki nilai yang bermakna
dengan nilai odds ratio penelitian (OR 2.29, 95% Cl: 1.48, 3.53; P=0.0002).
Kejadian abses intraabdomen lebih banyak pada apendektomi laparoskopi bisa
disebabkan beberapa hal, yaitu pengangkatan apendiks yang terinfeksi terlalu
agresif, peningkatan penggunaan cairan irigasi menyebabkan kontaminasi yang
lebih besar pada rongga peritoneal, serta pneumoperitoneum karbon dioksida yang
berkontribusi terhadap difusi mekanis bakteri di dalam rongga peritoneum
(Cipe et al., 2004). Perbedaan hasil meta analisis ini dengan penelitian sebelumnya
(Bennett et al., 2007) disebabkan karena keterampilan bedah serta teknologi
instrumen dalam apendektomi laparoskopi mungkin telah berkembang dalam
dekade ini sehingga meminimalkan kejadian abses intraabdomen pada apendektomi
laparoskopi.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilaksanakan pada
penelitian ini, maka dapat diambil beberapa simpulan yaitu :

1. Secara statistika apendektomi laparoskopi memiliki rerata lebih cepat


dibandingkan dengan apendektomi terbuka dalam lama rawat dan pemulihan
pasien apendisitis serta memberikan nilai yang bermakna.
2. Secara statistika perbandingan nyeri pada saat 6,12, dan 24 jam pasca operasi
memberikan nilai yang bermakna dan memiliki rerata lebih ringan pada pasien
yang mendapatkan apendektomi laparoskopi.
3. Perbandingan komplikasi berupa infeksi luka pasca operasi lebih banyak terjadi
pada pasien yang mendapatkan apendektomi terbuka serta memberikan hasil
yang bermakna secara statistik.
4. Perbandingan komplikasi berupa ileus paralitik dan abses intraabdomen tidak
memberikan hasil yang bermakna secara statistik. Secara klinis ileus paralitik
lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapatkan apendektomi terbuka,
sedangkan abses intraabdomen lebih banyak terjadi pada pasien yang
mendapatkan apendektomi laparoskopi.

61
Universitas Sumatera Utara
62

5.2 SARAN

Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian ini, maka beberapa saran yang
dapat diambil sebagai berikut :

1. Apendektomi Laparoskopi direkomendasikan sebagai pilihan pertama dalam


penatalaksanaan pasien apendisitis.
2. Perlu dilakukan penelitian meta analisis lebih lanjut dengan jumlah studi yang
lebih banyak agar hasil yang diperoleh lebih representatif.
3. Jika peneliti lain akan melakukan penelitian di bidang yang sama, disarankan
melakukan penelitian tambahan dengan menilai parameter lain seperti lama
waktu operasi, kejadian operasi ulang, biaya operasi serta hospitalisasi, dan
jumlah dosis penggunaan analgesik.
4. Perlunya dilakukan penelitian mengenai perbandingan apendektomi
laparoskopi dan apendektomi terbuka dalam penatalaksanaan apendisitis di
Indonesia agar data yang dihasilkan dari penelitian meta analisis lebih relevan
diterapkan di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Amalina, A., Suchitra, A. and Saputra, D. 2018, 'Hubungan Jumlah Leukosit Pre
Operasi dengan Kejadian Komplikasi Pasca Operasi Apendektomi pada
Pasien Apendisitis Perforasi di RSUP Dr. M. Djamil Padang', Jurnal
Kesehatan Andalas, vol.7, no. 4, pp. 491-497.
Arifuddin, A., Salmawati, L. and Prasetyo, A. 2017, 'Faktor Risiko Kejadian
Apendisitis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anutapura Palu',
Preventif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 8, no. 1, pp. 26-33.
Aritonang, S. G. 2019, 'Karakteristik Penderita Apendisitis yang Dirawat Inap di
Rumah Sakit Putri Hijau Medan Tahun 2018', Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan.
Baird, D. L. H., Simillis, C., Kontovounisios, C., Rasheed, S. and Tekkis, P. P.
2017, Acute appendicitis, Bmj, 357, , p.j1703.
Biondi, A., Di Stefano, C., Ferrara, F., Bellia, A., Vacante, M. and Piazza, L. 2016,
'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A Retrospective Cohort Study
Assessing Outcomes and Cost-Effectiveness', World Journal of Emergency
Surgery, vol. 11, no. 1, p. 44.
Bajwa, R. S. dan Brar, N. 2017, 'A randomized prospective comparative study of
laparoscopic appendicectomy versus open appendicectomy', International
Surgery Journal, vol. 4, no. 9, p. 2987-2990.
Bartin, M. K., Kemik, Ö., Çaparlar, M. A., Bostanci, M. T., dan Öner, M. Ö. 2016,
'Evaluation of the Open and Laparoscopic Appendectomy Operations With
Respect to Their Effect on Serum IL-6 Levels', Ulus Travma Acil Cerrahi
Derg, vol. 22, no. 5, p. 466-470.
Bennett, J., Boddy, A., Çaparlar, dan Rhodes, M. 2007, 'Choice of Approach for
Appendicectomy: A Meta-analysisof Open Versus Laparoscopic
Appendicectomy', Surgical Laparoscopy, Endoscopy and Percutaneous
Techniques, vol. 17, no. 4, p. 245-255.

63
Universitas Sumatera Utara
64

Blackmore, C., Tanyingo, D., Kaplan, G. G., Dixon, E., MacLean, A. R. and Ball,
C .G. 2015, 'A Comparison of Outcomes Between Laparoscopic and Open
Appendectomy in Canada', Canadian Journal of Surgery, vol. 58, no. 6, p.
431-432.
Brodsky, J. A. 2013, Appendicitis, [Online], accessed 4 Mei 2020, Available at:
www.niddk.nih.gov/health-information/digestive-diseases/appendicitis
Brunicardi, F., Andersen, D., Billiar, T., Dunn, D., Hunter, J., Matthews, J. and
Pollock, R. 2015, Schwartz's Principles of Surgery, 10th ed, McGraw-Hill
Education, USA.
Çiftçi, F. 2015, 'Laparoscopic vs Mini-incision Open Appendectomy', World
Journal of Gastrointestinal Surgery, vol. 7, no. 10, p. 267-272.
Cipe, G., Udiz, O., Hasbahceci, M., Bozkurt S., Kadioglu, H., Coskun, H.,
Karatepe, O. and Muslumanoglu M. 2014, 'Laparoscopic Versus Open
Appendectomy: Where Are We Now?', Chirurgia, vol. 109, no. 4, p. 518-522.
Clarke, T., Katkhouda, N., Mason R. J., Cheng, B. C., Olasky, J., Sohn, H. J.,
Moazzez, A., Algra, J., Chaghouri, E. and Berne, T. V. 2011, 'Laparoscopic
Versus Open Appendectomy for the Obese Patient:A Subset Analysis From A
Prospective, Randomized, Double-blind Study?', Surgical Endoscopy,
vol. 25, no. 4, p. 1276-1280.
Craig, S. 2018, Appendicitis, [Online], accessed 5 Mei 2020, Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
Dai, L. dan Shuai, J. 2017, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy in Adults and
Children: A Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials', United
European Gastroenterology Journal, vol. 5 no. 4, pp. 542-553.
D’Souza, N. & Nugent, K. 2016, Appendicitis, Clinical Evidence Handbook, vol.
93, no.2, pp. 148-149.
Diantari, D. A. W., Wiguna, I. N. A. A. and Niryana, I. W. 2018, 'Gambaran
Evaluasi Tingkat Nyeri Pasien Pasca Operasi Radang Usus Buntu dengan
Bedah Terbuka dan Laparoskopi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar tahun 2016', Intisari Sains Medis, vol. 9 no. 2, pp. 100–106.

Universitas Sumatera Utara


65

Duque, G. A. & Mohney, S. 2019, Appendicitis in Pregnancy, StatPearls


Publishing, [book on- line], accessed 1 mei 2020, Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551642/
Eroschenko, V. P. 2008, DiFiore's atlas of histology with functional correlations,
11th ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Fransisca, C., Gotra, I. M. and Mahastuti, N. M. 2019, 'Karakteristik Pasien dengan
Gambaran Histopatologi Apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar Tahun
2015-2017', Jurnal Medika Udayana, vol. 8, no. 7.
Gadiparthi, R. & Waseem, M. 2018, Pediatric Appendicitis, StatPearls Publishing,
[book on- line], accessed 27 April 2020; Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441864/
Golub, R., Siddiqui, F. and Pohl, D. 1998, 'Laparoscopic Versus Open
Appendectomy: A Metaanalysis', Journal of the American College of
Surgeons, vol. 186, no. 5, pp. 545-553.
Goudar, B. V., Telkar, S., Lamani, Y. P., Shirbur, S. N. and Shailesh M. E. 2011,
'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A Comparison of Primary
Outcome Studies from Southern India', Journal of Clinical and Diagnostic
Research, vol. 5, no. 8, pp. 1606-1609.
Gul, T., Bilal, M., Gul, A., Sahar, S., Kamran, W. and Akhunzada, T. S. 2014,
'Surgical Site Infection in Open Versus Laparoscopic Appendectomy', Journal
of Surgery Pakistan, vol. 19, no. 1, pp. 22-25.
Gundavda, M. K. dan Bhandarwar A. H. 2012, 'Comparative Study of Laparoscopic
Versus Open Appendicectomy', Indian Journal of Medical Sciences, vol. 66,
no. 5-6, pp. 99-115.
Hayat, S., Riaz, O., Usman, M., Lodhi, M. F. B. and Khan A. A. 2019, 'Comparison
of Open Versus Laparoscopic Appendectomy in Terms of Post Operative Pain
and Operative Duration', The Professional Medical Journal, vol. 26, no. 10,
pp. 1706-1711.
Hoffman, M. 2019, Picture of The Appedix, [Online], accessed 28 April 2020,
Available at: https://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-
appendix

Universitas Sumatera Utara


66

Hunter, C. J. (ed.) 2019, Controversies in Pediatric Appendicitis, Cham: Springer,


Chicago.
Irawan, E. 2014, 'Deteksi Penyakit Apendicitis dari Hasil Ultrasonografi (USG)
Dengan Menggunakan Metode Tresholding dan Edge Detection (CANNY)',
Jurnal Keperawatan BSI, vol. 2, no. 1, pp. 85–94.
Ishikawa, H. 2003, 'Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis', JAPAN
MEDICAL ASSOCIATION JOURNAL, vol. 46, no. 5, pp. 217-221.
Isnanto. & Lestari, L. 2017, 'Pengaruh Pemberian Relaksasi Guided Imagery
Terhadap Nyeri Pada Pasien Pasca Apendiktomi di RSUD Wirosaba', Jurnal
Kesehatan, vol. 4, no. 1, pp. 43-49.
Jan, W. A., Rehman, Z. U., Khan, S. M., Ali, G., Qayyum, A. and Mumtaz, N. 2011,
'Outcome of Open Versus Laproscopic Appendicectomy in Department of
Surgery, Lady Reading Hospital, Peshawar', Journal of Post graduate
Medical Institute, vol. 25, no. 3, pp. 245-251.
Jones, M. W., Lopez, R. A. and Deppen, J. G. 2019, Appendicitis, StatPearls
Publishing, [book on- line], accessed 3 Mei 2020; Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
Kargar, S., Mirshamsi, M. H., Zare, M., Arefanian, S., Yazdi, E. S. and Aref, A.
2011, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy; Which Method to Choose?
A Prospective Randomized Comparison', Acta Medica Iranica, vol. 49, no. 6,
pp. 352-356.
Kasper, D. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Longo, D. L., Jameson, J. L. and
Loscalzo, J. 2015. Harrison's Principles of Internal Medicine, 19th ed,
McGraw-Hill Medical, New York.
Kehagias, I., Karamanakos, S. N., Panagiotopoulos, S., Panagopoulos, K. and
Kalfarentzos, F. 2008, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: Which
Way to Go?', World Journal of Gastroenterology, vol. 14, no. 31, pp. 4909-
4914.
Keyzer, C. & Gevenois, P. A. (eds) 2011, Imaging of acute appendicitis in adults
and children, Berlin Heidelberg: Springer.

Universitas Sumatera Utara


67

Khalil, J., Muqim, R., Rafique, M. and Khan, M. 2011, 'Laparoscopic Versus Open
Appendectomy: A Comparison of Primary Outcome Measures', Saudi Journal
of Gastroenterology, vol. 17, no. 4, pp. 236-240.
Kocatas, A., Gonenc, M., Bozkurt, M. A., Karabulut, M., Gemici, E. and Alis, H.
2013, 'Comparison of Open and Laparoscopic Appendectomy in
Uncomplicated Appendicitis: A Prospective Randomized Clinical Trial', Ulus
Travma Acil Cerrahi Derg, vol. 19, no. 3, pp. 200-204.
Kolhar, B. A., Lamani, Y. P., Shekhar, R. M. and Shankar, G. 2017, 'Outcomes of
Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A Comparative Study',
International Surgery Journal, vol. 4, no. 7, pp. 2185-2188.
Kostov, K. 2020, 'Acute Appendicitis-Laparoscopic Appendectomy and Reasons for
Conversion', Journal of IMAB–Annual Proceeding Scientific Papers, vol. 26,
no. 1, pp. 2991-2993.
Kouhia, S. T., Heiskanen, J. T., Huttunen, R., Ahtola, H. I., Kiviniemi, V. V. and
Hakala, T. 2010, 'Long-term Follow-up of A Randomized Clinical Trial of
Open Versus Laparoscopic Appendicectomy', British Journal of Surgery,
vol. 97, no. 9, pp. 1395-1400.
Lestari, Y. E. D. 2014, 'Pengaruh Rom Exercise Dini Pada Pasien Post Operasi
Fraktur Ekstremitas Bawah (Fraktur Femur Dan Fraktur Cruris) Terhadap
Lama Hari Rawat Di Ruang Bedah Rsud Gambiran Kota Kediri', Jurnal Ilmu
Kesehatan, vol. 3, no. 1, pp. 34-40.
Li, X., Zhang, J., Sang, L., Zhang, W., Chu, Z., Li, X. and Liu, Y. 2010,
'Laparoscopic Versus Conventional Appendectomy - A Meta-analysis of
Randomized Controlled Trials', BMC Gastroenterology, vol. 10, no. 129,
pp. 1-8.
Mantoğlu, B., Karip, B., Mestan, M., İşcan, Y., Ağca, B., Altun, H. and Memişoğlu,
K. 2015, 'Should Appendectomy be Performed Laparoscopically? Clinical
Prospective Randomized Trial', Turkish Journal of Surgery, vol. 31, no. 4,
pp. 224-228.

Universitas Sumatera Utara


68

Nazir, A., Farooqi, S. A., Chaudhary, N. A., Bhatti, H. W., Waqar, M. and Sadiq,
A. 2019, 'Comparison of Open Appendectomy and Laparoscopic
Appendectomy in Perforated Appendicitis', Cureus, vol. 11, no. 7, pp. 1-8.
Ngowe, M. N., Eyenga, V. C., Kengne, B. H., Bahebeck, J. and Sosso, A. M. 2010,
'Chewing Gum Reduces Postoperative Ileus after Open Appendectomy ', Acta
Chirurgica Belgica, vol. 110, no. 2, pp. 195-199.
Nurlina. 2010, 'Faktor-faktor yang berhubungan dengan lama perawatan
diabetesmellitus di rumah sakit'.
Ohtani, H., Tamamori, Y., Arimoto, Y., Nishiguchi, Y., Maeda, K. and Hirakawa,
K. 2012, 'Meta-analysis of the Results of Randomized Controlled Trials that
Compared Laparoscopic and Open Surgery for Acute Appendicitis', Journal
of Gastrointestinal Surgery, vol. 16, no. 10, pp. 1929-1939.
Petroianu, A. 2012, 'Diagnosis of Acute Appendicitis', International Journal of
Surgery, vol. 10 no. 3, pp. 115-119.
Rahmayati, E., Asbana, Z. A. and Aprina 2017, 'Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Lama Perawatan Pasien Pasca Operasi di Ruang Rawat Inap Bedah
Rumah Sakit', Jurnal Keperawatan, vol. 13, no. 2, p. 195-202.
Ruffolo, C., Fiorot, A., Pagura, G., Antoniutti, M., Massani, M., Caratozzolo, E.,
Bonariol, L., di Pinto, F. C. and Bassi, N. 2013, 'Acute Appendicitis: What is
The Gold Standard of Treatment?', World Journal of Gastroenterology: WJG,
vol. 19, no. 47, p. 8799.
Sallinen, V., Akl, E. A., You, J. J., Agarwal, A., Shoucair, S., Vandvik, P. O.,
Agoritsas, T., Heels‐ Ansdell, D., Guyatt, G. H. and Tikkinen, K. A. O. 2016,
'Meta‐ Analysis of Antibiotics Versus Appendicectomy for Non‐ Perforated
Acute Appendicitis', British Journal of Surgery, vol. 103, no. 6, pp. 656-667.
Santacroce, L. 2019, Appendicitis, [Online], accessed 5 Mei 2020, Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/195778-overview
Sembiring, O. A. 2018, 'Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP
Haji Adam Malik Periode 2017', Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan.

Universitas Sumatera Utara


69

Shaikh, M. R., Ali, A., Saeed, S., Ali, N., Rauf, H. and Shaikh, N.A. 2019,
'Laparoscopic Versus Open Appendectomy, A Comparative Study', Journal of
Liaquat University of Medical & Health Sciences, vol. 18, no. 2, pp. 90-93.
Sharanya, R., Kamal, V. S., and Parameswari, G. 2018, 'Comparative Study
between Mini Incision Open Appendectomy andLaparoscopic Appendectomy
in Terms of Post Operative Pain Length of Hospital Stay and Return to
Normal Life', Journal of Medical Science and Clinical Research, vol. 6,
no. 9, pp. 851-857.
Sharma, N., Mishra, M., Tripathi, A. and Rai, V. 2017, 'Comparative Study and
Outcome of Open Versus Laparoscopic Appendectomy: Case Series of 60
Patients', International Surgery Journal, vol. 4, no. 9, pp. 3129-3135.
Shirazi, B., Ali, N. and Shamim, M. S. 2010, 'Laproscopic Versus Open
Appendectomy: A Comparative Study', Journal of the Pakistan Medical
Association, vol. 60, no. 11, pp. 901-904.
Singh, V. K., Nishant, K., Kharga, B., Kalita, A. K., Bhutia, P. and Jain, J. 2017,
'Randomized Controlled Trial Comparing Open, Conventional, and Single
Port Laparoscopic Appendectomy', Journal of Clinical and Diagnostic
Research, vol. 11, no. 10, pp. 5-10.
Sirma, F., Haskas, Y. and Darwis, D. 2013, 'Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di
Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Pangkep', Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis, vol. 2, no. 1, pp. 107-114.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. D. 2004, Buku ajar ilmu bedah, 2nd ed, EGC, Jakarta.
Sozutek, A., Colak, T., Dirlik, M., Ocal, K., Turkmenoglu, O. and Dag, A. 2013, 'A
Prospective Randomized Comparison of Single-port Laparoscopic
Procedure With Open and Standard 3-port Laparoscopic Procedures in the
Treatment of Acute Appendicitis', Surgical Laparoscopy, Endoscopy, and
Percutaneous Techniques, vol. 23, no. 1, pp. 74-78.
Svensson, J. F., Hall, N. J., Eaton, S., Pierro, A. and Wester, T. 2012, 'A Review of
Conservative Treatment of Acute Appendicitis', European Journal of
Pediatric Surgery, vol. 22, no. 3, pp. 185-194.

Universitas Sumatera Utara


70

Taguchi, Y., Komatsu, S., Sakamoto, E., Norimizu, S., Shingu, Y. and Hasegawa,
H. 2016, 'Laparoscopic Versus Open Surgery for Complicated Appendicitis
in Adults: a Randomized Controlled Trial', Surgical Endoscopy, vol. 30,
no. 5, pp. 1705-1712.
Takami, T., Yamaguchi, T., Yoshitake, H., Hatano, K., Kataoka, N., Tomita, M.
and Makimoto, S. 2019, 'A Clinical Comparison of Laparoscopic Versus
Open Appendectomy for The Treatment of Complicated Appendicitis:
Historical Cohort Study', European Journal of Trauma and Emergency
Surgery, pp. 1-5.
Talha, A., El-Haddad, H., Ghazal, A. E. and Shehata, G. 2019, 'Laparoscopic
Versus Open Appendectomy for Perforated Appendicitis in Adults:
Randomized Clinical Trial', Surgical Endoscopy, vol. 34, no. 2, pp. 907-914.
Thomson, J. E., Kruger, D., Kruger, C. J., Kiss, A., Jones, J. A. O. O., Luvhengo,
T., and Brand, M. 2014, 'Laparoscopic Versus Open Surgery for Complicated
Appendicitis: A Randomized Controlled Trial to Prove Safety', Surgical
Endoscopy, vol. 29, no. 7, pp. 2027-2032.
Tusyanawati, V. M., Sutrisna, M. and Tohri, T. 2020, 'Studi Perbandingan Modern
Dressing (Salep Tribee) dan Konvensional Terhadap Proses Penyembuhan
Luka pada Pasien Post Operasi Apendiktomi', Jurnal Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (JPPNI), vol. 4, no. 1, pp. 9-16.
Tzovaras, G., Baloyiannis, I., Kouritas, V., Symeonidis, D., Spyridakis, M.,
Poultsidi, A., Tepetes, K. and Zacharoulis, D. 2010, ' Laparoscopic Versus
Open Appendectomy in Men: A Prospective Randomized Trial', Surgical
Endoscopy, vol. 24, no. 12, pp. 2987-2992.
Warsinggih, D. 2010, Bahan Ajar Apendisitis Akut, Nusantara Medical Science,
[Online], accessed 29 April 2020, Available at:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/10/Appendisitis
-akut.pdf
Wei, B., Qi, C. L., Chen, T. F., Zheng, Z. H., Huang, J. L., Hu, B. G. and Wei, H.
B. 2010, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy for Acute Appendicitis:
A Metaanalysis', Surgical Endoscopy, vol. 25, no. 4, pp. 1199-1208.

Universitas Sumatera Utara


71

Wei, H. B., Huang, J. L., Zheng, Z. H., Wei, B., Qiu, W. S., Guo, W. P., Chen, T.
F. and Wang T. B. 2010, 'Laparoscopic Versus Open Appendectomy: A
Prospective Randomized Comparison', Surgical Endoscopy, vol. 24, no. 2,
pp. 266-269.
Wiyono, N. & Arifah, S. 2008, 'Pengaruh Ambulasi Dini Terhadap Pemulihan
Peristaltik Usus Pasien Paska Operasi Fraktur Femur dengan Anestesi Umum
di RSUI Kustati Surakarta', Journal News in Nursing, vol. 1, no. 2, pp. 57-62.
Yadav, P., Shah, S. P., Gupta, R. K. and Joshi, B. R. 2018, 'Randomized controlled
trial comparing clinical outcome and cost analysis between laparoscopic and
open appendicectomy for acute appendicitis at Dharan, Sunsari, Nepal',
International Surgery Journal, vol. 5, no. 4, pp. 1205-121.
Yulianto, F. A., Sakinah, R. K., Kamil, M. I. and Wahono, T. Y. M. 2016, 'Faktor
Prediksi Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis Akut Dewasa di RS
Al-Ihsan Kabupaten Bandung Periode 2013–2014', Global Medical & Health
Communication, vol. 4, no. 2, pp. 114-120.
Zulfa, I. M., Ernawati, I., and Handayani, W. 2019, 'Studi Komparatif Efektivitas
Seftriakson dibanding Kombinasi Seftriakson-Metronidazole dan
Sefuroksim-Metronidazole pada Pasien Apendisitis yang Menjalani
Apendiktomi', Jurnal Farmasi Udayana, vol. 8, no. 2, pp. 104–109.

Universitas Sumatera Utara


72

LAMPIRAN

Lampiran A. Biodata Penulis

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Raja Alwan Nasution


NIM 170100103
Tempat / Tanggal Lahir : Panyabungan / 1 September 1999
Agama : Islam
Nama Ayah : Alm. Martua Pandapotan Nasution
Nama Ibu : Ida Wardhani Hasibuan
Alamat : Jl. Bermula VI No.8, Sipolu-polu, Kecamatan
Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal

Riwayat Pendidikan :
1. SDS 117 Islam Terpadu Adnani ( 2005-2011)
2. SMP Negeri 2 Panyabungan (2011-2014)
3. SMA Negeri 1 Matauli Pandan (2014-2017)
4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2017-sekarang)

Riwayat Pelatihan :
1. Peserta Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru FK USU
2017

Universitas Sumatera Utara


73

2. Peserta Manajemen Mahasiswa Baru PEMA FK USU 2017


3. Peserta Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa FK USU 2017

Riwayat Organisasi :
1. Anggota Divisi Dana Usaha Forum Studi Kedokteran Mahasiswa
Muslim PEMA FK USU (2018-2019)
2. Komisi I Majelis Permusyawaratan Mahasiswa FK USU (2019-2020)

Riwayat Kepanitiaan :
1. Panitia Pema Medical Olympiad PEMA FK USU 2018
2. Panitia Manajemen Mahasiswa Baru PEMA FK USU 2018
3. Panitia Pengabdian Masyarakat PEMA FK USU 2018
4. Panitia PEMA English Competition PEMA FK USU 2018
5. Panitia Grand Official Mentoring FOSKAMI PEMA FK USU 2018
6. Panitia Islamic Leadership Camp FOSKAMI PEMA FK USU 2018
7. Panitia Kajian Kedokteran Islam Nasional 2018
8. Panitia Scripta Research Festival SCORE PEMA FK USU 2018
9. Panitia Scripta Research Festival SCORE PEMA FK USU 2019

Universitas Sumatera Utara


74

Lampiran B. Pernyataan Orisinalitas

PERNYATAAN

Perbandingan Efektivitas Operasi Apendektomi Laparoskopi dan


Apendektomi Terbuka Sebagai Tatalaksana Operasi pada Pasien
Apendisitis: Telaah Sistematis dan Meta Analisis

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Dokter
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan
hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan yang penulis lakukan pada bagian tertentu dari hasil
karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya
secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian skripsi


ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang
dan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Desember 2020


Penulis,

Raja Alwan Nasution


NIM. 170100103

Universitas Sumatera Utara


75

Lampiran C. Ethical Clearance Penelitian

Universitas Sumatera Utara


76

Lampiran D. Surat Izin Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai