SKRIPSI
Oleh:
YUSTIKA VERONICA
170100219
SKRIPSI
Oleh:
YUSTIKA VERONICA
170100219
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan kasih karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Efektivitas Asam Traneksamat Pada Prosedur Transurethral Resection Of The
Prostate (TURP) Pada Benign Prostate Hyperplasia (BPH): Telaah Sistematis
dan Meta-Analisis” dengan baik dan tepat waktu sebagai salah satu syarat untuk
memperolah kelulusan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapatkan
banyak dukungan, bimbingan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari
berbagai pihak dari pemilihan judul hingga terbentuknya hasil skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. dr. Syah Misrya Warli, Sp.U(K), selaku dosen pembimbing saya yang
telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis, memberikan
nasihat, ilmu, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan baik dan benar.
3. dr. Sri Amelia, M.Kes selaku Ketua Penguji dan dr. Dhirajaya Dharma
Kadar, Sp.U selaku Anggota Penguji yang telah memberikan nasihat,
saran dan kritikan yang membangun sehingga skripsi ini terselesaikan
dengan baik dan benar.
4. Dr. dr. Iqbal Pahlevi Adeputra Nasution, Sp.BA(K) selaku dosen
pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan motivasi
selama masa perkuliahan 7 semester.
5. dr. Kharisma Prasetya, Sp.U dan dr. Muhammad Haritsyah Warli yang
senantiasa sangat membantu dalam memberikan arahan, pengajaran, dan
bimbingan dalam pembuatan skripsi metaanalisis ini dari awal hingga
akhir.
ii
Yustika Veronica
170100219
iii
iv
vi
vii
viii
ix
Latar Belakang. Transuretral Resection of The Prostate (TURP) merupakan prosedur baku emas
dan paling umum yang dilakukan untuk tindakan pembedahan pada pasien BPH dengan volume
prostat 30-80 ml. TURP merupakan tindakan pembedahan dengan endoskopi transuretal yang
tidak memerlukan pembedahan ataupun insisi secara terbuka namun masih memberikan risiko
morbiditas perioperatif yang signifikan seperti perdarahan. Asam traneksamat merupakan obat
antifibrinolitik sintesis yang dapat mencegah pemecahan fibrin, sehingga dapat menstabilkan
pembekuan darah dan mengurangi kehilangan darah dalam kondisi yang memicu fibrinolisis.
Pemberian agen antifibrinolitik dianggap bermanfaat dalam mengurangi kehilangan darah
perioperatif dan pasca operatif akibat TURP. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas pemberian asam traneksanamat pada prosedur TURP pada pasien BPH yang
mendapat terapi pembedahan. Metode. Meta analisis ini menggunakan literatur online yang
berasal dari Pumbed, Google Scholar, Cochrane, ScienceDirect, dan Clinical Key. Jurnal yang
digunakan adalah jurnal mengenai seluruh penelitian efektivitas asam traneksamat pada prosedur
TURP pada BPH dalam hal banyaknya perdarahan, volume cairan irigasi, durasi operasi dan
berat jaringan prostat yang direseksi. Hasil. Kami menemukan adanya perbedaan yang signifikan
dalam hal mengurangi perdarahan antara asam traneksamat dan kontrol, yang mana asam
traneksamat ditemukan lebih efektif (MD -125,39, 95% CI: -247,21 - 3,36, P = 0,04). Tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan dalam hal jumlah Hb (MD O.06, 95%, CI: -0.17 - 0,28, P =
0,63). Dalam hal jumlah cairan irigasi antara asam tarneksamat dan control tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan (MD 0,79, 95%, CI: -1,18 – 2,76, P=0,43). Begitu pun dalam hal
durasi operasi (MD 14,55, 95%, CI: -32,56 – 3,47, P = 0,11) dan berat prostat yang diresksi (MD
0,77, 95% CI: -1,06 – 2,6, P=0,77) tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Kesimpulan.
Penelitian metaanalisis ini mengindikasikan bahwa asam traneksamat efektif dalam mengurangi
perdarahan pada prosedur TURP.
Background. Transuretrhal Resection of The Prostate (TURP) is the gold standard and the most
common procedure performed for surgery in BPH patient with a prostate volume of 30-80ml.
TURP is a surgical procedure with transurethral endoscopes that does not require open surgery
or incisions but still gives a significant risk of perioperative morbidity such as bleeding.
Tranexamic acid is a synthetic antifibrinolytic drug that prevents the breakdowns of fibrin, thereby
stabilizing blood clots and reducing blood loss in conditions that promote fibrinolysis. Tranexamic
acid is considered to be beneficial in reducing perioperative and postoperative blood loss as result
of TURP. Objective. To determine the effectiveness of tranexamic acid in TURP procedure in BPH
patient who received surgery treatment. Methods. A meta-analysis search was performed in
Pubmed, Google Scholar, Cochrane, ScienceDirect, and Clinical key to identify studies about
effectiveness of tranexamic acid in TURP procedure in BPH patient. We collected data related to
perioperative blood loss, volume of irrigation fluid, duration of operation, and weight of resected
prostate tissue. Results. Of 102 studies from databases, we found 6 studies which fitted into our
criteria with 436 patients were identified. We found a significant difference of decreasing blood
loss between tranexamic acid and control that tranexamic acid was more effective (MD -125,39,
95% CI: -247,21 - 3.36, P = 0,04). There was no significant difference of the amount of Hb (MD
0,06, 95%, CI: -0.17 – 0,28, P = 0,63). There was also no significant differences of volume
irrigation fluid (MD 0,79, 95%, CI: -1,18 – 2,76, P=0,43), duration of operation (MD 14,55, 95%,
CI: -32,56 – 3,47, P = 0,11) and weight of resected prostate tissue (MD 0,77, 95% CI: -1.06 – 2,6,
P=0,77). Conclusions. This meta-analysis indicated that tranexamic acid effective at decreasing
blood loss in TURP procedure.
Key words: BPH, TURP, tranexamic acid
xi
a. Bagi Klinisi
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah informasi bahwa asam
traneksamat efektif dalam mengurangi perdarahan pada prosedur TURP
terhadap pasien BPH.
b. Bagi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi ilmiah serta
bahan untuk penelitian lebih lanjut dan diharapakan dapat menunjukkan
secara statistik efektivitas asam traneksamat pada prosedur TURP terhadap
pasien BPH.
c. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan tentang BPH dan
sebagai sarana untuk berfikir secara logis dan sistematis serta mampu
menyelanggarakan suatau penelitian berdasarkan metode yang baik dan
benar.
HYPERPLASIA/BPH)
Prostat adalah organ genitalia yang dimiliki oleh pria. Organ prostat terletak di
sebelah inferior buli-buli di depan rektum dan membungkus uretra posterior.
Bentuk prostat menyerupai buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dengan
berat kurang lebih 20 gram (PB Basuki, 2014). Prostat merupakan kelenjar
aksesoris terbesar pada sistem reproduksi pria. Kelenjar ini menghasilkan suatu
cairan sedikit basa yang merupakan suatu komponen dari cairan mani.
Parenkim prostat tersusun dari kelenjar-kelenjar prostat yang ukuran dan
bentuknya berbeda-beda. Epitel dari kelenjar prostat juga bervariasi dari kuboid
atau kolumnar selapis hingga epitel berlapis semu (Eroschenko, 2015). Susunan
kelenjar dan stroma pada prostat menyatu pada pseudokapsul. Lapisan dalam pada
kapsul prostat tersusun dari otot polos sedangkan lapisan luar dilapisi oleh
kolagen. Prostat diperdarahi oleh cabang arteri iliaka interna dan dipersarafi dari
pleksus prostat. Drainase limfatik dari kelenjar prostat terjadi secara dominan
melalui iliaka interna (Bhavsar dan Verma, 2014).
Gambar 2.1. Histologi kelenjar prostat dengan pewarnaan haematoksilin dan eosin (Eroschenko,
2015).
Menurut Bhavsar dan Verma 2014, McNeal membagi prostat menjadi 4
wilayah yaitu zona sentral, zona transisional, zona perifer dan zona fibromuskular
anterior yang terdiri dari puncak, dasar, dan permukaan anterior, posterior,
inferior-lateral. Zona perifer merupakan zona terbesar karena terdiri dari 70%
jaringan kelenjar. Di zona ini karsinoma, prostatitis kronik dan atrofi pasca
inflamasi lebih sering terjadi. Zona perifer mengandung banyak duktus dan asinus
dengan otot polos yang jarang. Zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar
yang terletak di pangkal prostat antara zona perifer dan tarnsisional. Zona
transisional hanya membentuk sekitar 5% jaringan kelenjar yang terdiri dari 2
lobus kecil mengelilingi uretra proksimal. Bagian jaringan pada zona ini dapat
membesar karena BPH. Sedangkan zona fibromuskular anterior terdiri dari serat
dan otot polos (Bhavsar dan Verma, 2014).
2.1.2 DEFINISI
2.1.3 EPIDEMIOLOGI
BPH umumnya terjadi sekitar 70% pada pria dengan usia diatas 60 tahun dan
meningkat 90% pada pria dengan usia diatas 80 tahun (Tjahjodjati et al., 2017).
Menurut WHO (2013), insiden kejadian BPH di negara maju sebanyak 19% dan
di negara berkembang sekitar 5,35% kasus (Amadea et al., 2018). Di Amerika
sendiri insiden kejadian BPH mencapai angka 13% pada pria dengan usia diatas
40 tahun. Sedangkan di Negara Asia seperti Singapura angka kejadian BPH
mencapai 14% dan di Filiphina berkisar 59% (Mandang et al., 2015).
Menurut IAUI 2017, BPH di Indonesia merupakan penyakit tersering kedua
pada penyakit kelenjar prostat yang terjadi di Klinik Urologi Indonesia. Insiden
kejadian BPH di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun sebagai gambaran
hospital prevalence di RSCM ditemukan sebanyak 3.804 kasus BPH sejak tahun
1994-2013 pada pasien dengan rata-rata usia berkisar 66,61 tahun. Data yang
didapat dari Rumah Sakit Hasan Sadikin terdapat 718 kasus BPH sejak tahun
2012-2016 dengan rata-rata usia pasien berkisar 67,9 tahun (Tjahjodjati et al.,
2017).
2.1.4 ETIOLOGI
Penyebab terjadi hiperplasi prostat sendiri sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat
berkaitan dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan akibat dari
proses penuaan (Tjahjodjati et al., 2017). Berikut beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat, ialah:
1. Teori Dihidrotestoteron
Dihidrotestoteron atau DHT adalah metabolit androgen yang berperan
penting terhadap pertumbuhan sel kelenjar prostat. DHT merupakan hasil
dari reaksi perubahan testoteron oleh enzim 5 alfa-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH di dalam sel prostat yang nantinya berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membetuk kompleks DHT-RA.
Selanjutnya terjadi sintetis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat (PB Basuki, 2014).
1. Usia
Bertambahnya usia menyebabkan terjadi perubahan keseimbangan
hormonal yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Dimana
saat usia bertambah terjadi penurunan hormon testosteron dan hormon
estrogen relatif menetap. Sifat estrogen akan merangsang sensitivitas
reseptor sel prostat sehingga sel terus bertambah besar (Ruspanah dan
Manuputty, 2017). Menurut Study Logitudinal Baltimore menujukkan
peningkatan volume prostat 2,0%-2,5% tiap tahunnya pada pria yang lebih
tua. (Russo et al., 2018). 50% pria dengan usia 51-60 tahun dan 90% pria
dengan usia diatas 80 tahun memiliki riwayat BPH (Ahmed dan Aziz,
2017).
2. Genetik
Melalui penelitian analitik secara case control dimana pria dengan usia
kurang dari 64 tahun yang pernah menjalani operasi BPH menunjukkan
bahwa orang tua pria dan saudara laki-laki mengalami peningkatan risiko
masing-masing 4 kali lipat dan 6 kali lipat untuk operasi BPH. Semakin
banyak anggota keluarga yang mengidap BPH, semakin besar risiko
keluarga yang lain untuk mengidap penyakit ini. Berbagai studi dan
penelitian menunjukan bahwa pola turunan BPH adalah autosom dominan
(Patel dan Parsons, 2014).
3. Geografis
Secara signifikan telah diteliti bahwa volume prostat lebih kecil pada pria
Asia Tenggara dibandingkan dengan populasi di negara barat. Dimana
orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lipat terkena BPH. (Patel
dan Parsons, 2014).
4. Hormon reproduksi
Seperti yang telah dijelaskan pada etiologi, hormon reproduksi yang
terdapat pada pria memiliki peranan penting terhadap terjadinya BPH.
DHT adalah metabolit androgen yang dihasilkan dari perubahan
testosterone oleh enzim 5 alfa-reduktase. Nantinya, DHT akan berikatan
dengan reseptor androgen sehingga terjadi sintesis protein growth factor.
Pada BPH jumlah reseptor androgen dan aktivas enzim 5 alfa-reduktase
lebih banyak. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT yang menyebabkan replikasi sel lebih banyak daripada
prostat yang normal (PB Basuki, 2014).
5. Sindroma metabolik
Sindroma metabolik adalah kumpulan kelainan metabolik seperti obesitas,
intoleransi glukosa, dislipidemia, hipertensi dan penyakit kardiovaskular
yang disebabkan karena pola makan dan gaya hidup yang tidak teratur.
Dalam studi kohort, pria yang didiagnosis setidaknya memilki 3
komponen sindroma metabolik memiliki risiko 80% mengalami LUTS dan
BPH dibanding yang tidak memiliki komponen (Patel dan Parsons, 2014).
6. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu kelainan metabolik. Para ahli mengatakan
bahwa obesitas memberikan pengaruh negatif hampir pada seluruh sistem
tubuh salah satunya yaitu kejadian BPH. Pada obesitas terjadi peningkatan
kadar estrogen yang berpengaruh terhadap peningkatan sensitisasi prostat
terhadap androgen serta menghambat proses kematian sel-sel prostat
sehingga berpengaruh terhadap pembentukan BPH (Agung et al., 2018).
7. Diabetes melitus
2.1.6 PATOFISIOLOGI
Gambar 2.3 Penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih (PB Basuki, 2014)
Tekanan intravesikel yang tinggi juga menekan kedua muara ureter sehingga
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter yang biasa disebut refluks
vesiko ureter. Jika berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis dan paling parah mengakibatkan gagal ginjal (PB Basuki, 2014).
Gejala klinis yang dikeluhkan oleh penderita BPH terbagi menjadi beberapa
jenis gejala, yaitu gejala obstruktif atau voiding symptoms yang terdiri dari
kesulitan atau memerlukan waktu yang lama untuk berkemih atau hesistensi,
pancaran urin yang melemah dan terputus-putus (intermittency), pengosongan
kandung kemih yang tidak komplit (incomplete emptying) dan mengejan saat
berkemih (straining). Gejala lainnya ialah gejala iritatif atau storage symptoms
yang terdiri dari urgensi atau kebutuhan mendesak untuk berkemih, frekuensi
berkemih yang jumlahnya meningkat setiap episode dan sering berkemih dimalam
hari atau nokturia. Gejala terakhir yaitu pasca miksi atau dimana saat setelah
berkemih urine menetes-netes, dan gejala yang paling berat sampai terjadi retensi
urine. Gejala-gejala yang diatas merupakan suatu kumpulan gejala yang biasa
disebut dengan low urinary tract symphoms (LUTS) (Kapoor, 2012).
2.1.8 DIAGNOSIS
8-9 yaitu sedang dan skor 20-35 berat (Tjahjodjati et al., 2017).
b. Pemeriksaan fisik
1. Status urologis
Status urologis terdiri dari pemeriksaan ginjal yaitu mengevaluasi ada
tidaknya obstruksi atau tanda infeksi. Selanjutnya pemeriksaan
kandung kemih yang dilakukan dengan palpasi dan perkusi guna
menilai isi kandung kemih dan melihat apakah ada infeksi. Setelah itu,
pemeriksaan genitalia eksterna untuk melihat adanya meatal stenosis,
fimosis, tumor penis serta urethral discharge (Gratzke et al., 2015).
2. Colok dubur
Pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE)
dilakukan untuk memperkirakan adanya pembesaran prostat, adanya
nodul yang merupakan tanda keganasan prostat serta menilai
konsistensi prostat. Selain itu juga perlu menilai tonus sfingter ani dan
refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan
pada lengkung reflex di daerah sacral (Tjahjodjati et al., 2017).
Prosedur pemeriksaan colok dubur biasanya dilakukan dokter dengan
memasukan jarinya yang terbungkus sarung tangan dan telah diolesi
gel ke dalam rektum untuk meraba permukaan kelenjar prostat melalui
dinding rektum dan diraba secara melingkar. Prostat normal akan
teraba lunak, sedangkan pada keganasan akan teraba keras, kadang
seperti batu yang tidak beraturan (Sudoyo et al., 2014).
c. Pemeriksaan penunjang
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalis menggunakan metode dipstick atau melalui
evaluasi sentrifugasi untuk menilai keberadaan darah, leukosit, bakteri,
protein atau glukosa pada urine (Deters et al., 2019).
2. Kultur urine
Pemeriksaan berguna untuk mengetahui penyebab infeksi pada saluran
kemih dan biasanya dilakukan jika temuan urinalisis awal
menunjukkan kelainan (Deters et al., 2019).
3. Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada BPH obstruksi infravesika menyebabkan gangguan pada saluran
kemih bagian atas. Oleh sebab itu pemeriksaan faal ginjal dilakukan
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan
pada saluran kemih bagian atas (Tjahjodjati et al., 2017).
2.1.9 PENATALAKSANAAN
d. Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE5 inhibitor) digunakan untuk
merelaksasi otot polos di saluran kemih bagian bawah dengan
meningkatkan konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic
guanosine monophosphate (cGMP). Terdapat 3 jenis PDE5 inhibitor
yang tersedia di Indonesia yaitu lidenafil, vardenafil dan tadalafil.
Dengan mengonsumsi tadafil 5 mg/hari dapat menurunkan nilai IPSS
sebesar 23-37% dan dapat dirasakan setelah satu minggu pemakian
(Tjahjodjati et al., 2017). Tadafil juga disetujui untuk penggunaan
sehari-hari pada pasien BPH dengan disfungsi ereksi (Deters et al.,
2019).
e. Terapi kombinasi
Pedomann American Urological Association (AUA) menyarankan
terapi kombinasi antara α1-blocker dan 5α-reductase inhibitor efektif
menurunkan risiko LUTS dan pembesaran prostat lebih lanjut. α1-
blocker memberikan perbaikan dengan cepat sedangkan 5α-reductase
inhibitor menargetkan pengobatan pada penyakit yang mendasarinya
(Deters et al., 2019).
Terapi kombinasi ini ditargetkan pada pasien BPH dengan keluhan
LUTS sedang-berat dan mempunyai risiko progresi seperti volume
prostat besar, kadar PSA tinggi > 1,3 ng/dL dan usia lanjut. Kombinasi
ini diberikan jika direncanakan pengobatan dalam jangka yang panjang
sekitar diatas 1 tahun (Tjahjodjati et al., 2017).
3. Pembedahan
Perawatan pembedahan secara umum tidak dimaksudkan sebagai
terapi pilihan lini pertama. Intervensi ini biasanya digunakan pada pasien
yang mengalami gejala berat dan komplikasi. Seperti, perawatan medis
yang gagal, intoleransi terhadap obat-obatan yang diberikan, ukuran
prostat yang lebih besar, terjadi retensi urine akut, mengalami hematuri,
batu kandung kemih dan penurunan fungsi ginjal. Terapi pembedahan
dibagi menjadi 2 kategori yaitu terapi invasif minimal dan operasi terbuka
(Woodard et al., 2016).
a. Terapi invasif minimal
Jenis operasi ini umumnya lebih aman daripada operasi terbuka dan
memungkinkan pemulihan yang lebih cepat dengan lebih sedikit rasa sakit
(McVary et al., 2011), seperti:
Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Laser Prostatektomi.
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Transurethral Electrovaporization (TUVP)
Transurethral Needle Ablation (TUNA)
b. Operasi terbuka
Pembedahan terbuka dilakukan melalui transvesikal ( Hryntschack
atau Freyer) dan retopubik (Millin). Pembedahan ini direkomendasikan
pada prostat yang volumenya lebih besar dari 80 ml. Teknik pembedahan
ini paling invasif dengan morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang
terjadi pada saat operasi mencapai 7-14% berupa pendarahan yang
memerlukan transfusi darah. Angka mortalitas perioperatif di 30 hari
pertama dibawah 0,25% sedangkan komplikasi jangka panjang seperti
striktur urethra mecapai 6% dan inkotinensia urine mencapai 10%
(Tjahjodjati et al., 2017).
TURP merupakan prosedur pembedahan baku emas pada pasien BPH sampai
saat ini. Prosedur TURP ini direkomendasikan untuk pria dengan volume prostat
30-80mL. Keberhasilan dari prosedur ini dalam memperbaiki gejala mencapai
90% (Woodard et al., 2016). TURP menggunakan resectoscope yang dimasukkan
melalui uretra selama prosedur berlangsung. Pada TURP, kelenjar prostat
dipotong menjadi bagian-bagian kecil jaringan prostat yang dinamakan cip prostat
yang nantinya akan dikeluarkan dari buli-buli melalui evakuator Ellik. Reseksi
kelenjar prostat mempergunakan cairan irigan sebagai pembilas agar daerah yang
direseksi tetap terlihat dan tidak ditutupi oleh darah. Cairan yang dipergunakan
adalah berupa larutan non ionic seperti H2O steril agar tidak terjadi hantaran
listrik pada saat operasi berjalan (PB Basuki, 2014).
Terdapat 2 jenis TURP yaitu TURP Monopolar (TURP-M) dan TURP Bipolar
(TURP-B). Berbeda dengan TURP-M, TURP-B menggunakan normal saline
sebagai cairan irigasi. Pada sistem TURP Bipolar energi yang dihasilkan tidak
melalui tubuh untuk mencapai pad kulit. Sirkuit listrik pada TURP Bipolar
melalui resection loop dan ujung resektoskop sehingga membutuhkan energi yang
lebih sedikit. Energi dari loop tadi ditransmisikan ke larutan garam untuk
membentuk plasma yang kemudian dengan mudah dibelah dalam tegangan rendah
sehingga memungkinkan terjadinya reseksi.Tinjauan secara sistematis TURP
Bipolar adalah pilihan yang lebih dianjurkan pada pasien yang memiliki diabetes
atau mereka yang menggunkaan alat pacu jantung atau memiliki kesehatan yang
buruk. TURP Bipolar secara jelas dapat mengurangi perdarahan intraoperatif.
Namun, sebuah metanalisis dari 24 studi yang membandingkan TURP Monopolar
dan TURP Bipolar dilaporkan tidak ada perbedaan yang siginifikan secara
statistik dalam skor IPSS atau skor kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan pasien (Djavan dan Teimoori, 2018).
Asam traneksamat adalah turunan sintesis dari asam amino lisin dan berikatan
dengan 5 protein lisin lain di plasminogen. Asam traneksamat merupakan
antifibrinolitik agen yang dapat mencegah pemecahan fibrin dan dapat
menstabilkan pembekuaan darah serta dapat mengurangi perdarahan dalam proses
fibrinolisis (Lier, Maegele dan Shander, 2019). Asam traneksamat bekerja dengan
menghambat konversi plasminogen menjadi plasmin dengan mencegah
plasminogen berikatan dengan molekul fibrin. Asam traneksamat juga
menghambat aktivitas plasmin secara langsung meskipun hanya pada dosis yang
lebih tinggi. Dengan menghambat pembelahan fibrin asam traneksamat dapat
mengurangi risiko perdarahan juga menghambat pengikatan α2-antiplasmin
sehingga reaksi inflamasi juga dapat dihambat (Pabinger et al., 2017).
2.3.2 FARMAKOKINETIK
Asam traneksamat diabsorpsi dengan baik per oral hingga 30-50% dalam
saluran pencernaan, kurang dari 5% akan dimetabolisme dan 3% akan mengikat
protein (Karkhanei et al., 2019). Secara intravena asam traneksamat diabsorpsi
hingga 90%. Sembilan puluh lima persen asam traneksamat diekresikan melalui
ginjal. Waktu paruh asam traneksamat pada orang dewasa sekitar 2 hingga 3 jam
(Pabinger et al., 2017).
2.3.3 INDIKASI
Benign Prostate
Hyperplasia (BPH)
Terapi Pembedahan
Transurethral Resection of
the Prostate (TURP) Asam Traneksamat
Perdarahan berkurang
Perdarahan
Pemberiaan Asam Jumlah Cairan Irigasi
Traneksamat pada Durasi Operasi
Prosedur TURP Berat Jaringan Prostat yang
direseksi
2.6 HIPOTESIS
Telaah kualitas jurnal yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jadad (skor
maksimum 5). Sebelum dimasukkan ke dalam kriteria Jadad, jurnal yang diambil
harus memiliki perhitungan jumlah sampel yang benar dan uji hipotesis yang
benar secara statistik. Evaluasi kualitas studi dilakukan oleh empat orang (Yustika
Veronica, Dr.dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U(K), dr. Kharisma Prasetya, Sp.U dan
dr. Muhammad Haritsyah Warli). Randomisasi, uji klinis dan blinding setiap
jurnal akan dinilai dengan kriteria tersebut. Setiap jurnal diberi skor secara
keseluruhan dan nilai tersebut digunakan untuk mengelompokkan jurnal-jurnal
tersebut. Kriteria Jadad ini disajikan dalam tabel 3.2.
28
Skor 3 sampai 5 dikategorikan sebagai data yang berkualitas tinggi (Jadad et al.,
1996). Setiap jurnal akan ditentukan skornya masing-masing agar bisa
dibandingkan satu sama lain.
Semua data yang relevan mengenai intervensi, karakteristik, dan efeknya pada
pasien sudah diesktraksi sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh empat
orang (Yustika Veronica, Dr.dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U(K), dr. Kharisma
Prasetya, Sp.U dan dr. Muhammad Haritsyah Warli). Efektivitas asam
traneksamat pada prosedur TURP pada pasien BPH mencakup banyaknya
perdarahan, banyaknya jumlah cairan irigasi yang digunakan, durasi operasi, berat
jaringan prostat yang direseksi.
4. Berat jaringan prostat: jumlah jaringan prostat yang dapat direseksi pada
saat prosedur TURP.
Dari 102 literatur yang ditelusuri dari Pubmed, Google Scholar, Cochrance
dan Science Direct sebanyak 88 literatur dieksklusikan berdasarkan skrining judul
dan abstrak literatur yang tidak relevan. Setelah dianalisis, didapatkan 14 literatur
yang ditelaah secara detail, 5 literatur diantaranya dieksklusikan karena
mengalami duplikasi dan 3 literatur lainnya diekslusikan karena bersifat review
artikel. Didapatkan 6 literatur yang relevan memenuhi seluruh kriteria inklusi,
data-data yang dikumpulkan adalah jumlah kehilangan darah saat operasi dan Hb
setelah operasi menggambarkan banyak tidaknya perdarahan yang terjadi. Selain
itu data yang dikumpulkan adalah volume cairan irigasi untuk menggambarkan
banyak cairan yang diperlukan selama operasi, durasi operasi yang diperlukan
selama operasi serta berat prostat yang dapat direseksi selama operasi.
88 literatur dieksklusikan
berdasarkan skrining judul dan
abstak literatur tidak relevan.
8 literatur dieksklusikan:
- 5 literatur mengalami duplikasi
- 3 literatur bersifat review
6 literatur dianalisis
31
Karkhanei et al 2019 5
Asam Traneksamat 35 66,43 tahun 500 mg TXA dalam 500cc
ringer serum
Kontrol 35 69,63 tahun Ringer serum
Karkhanei et al
Asam Traneksamat n.r 13,81±1,89 n.r 53,57±16,43 n.r
Kontrol n.r 13,02±2,14 n.r 120,71±47,76 n.r
(*) data yang tertera ditabel diambil dari jurnal asli yang sudah
dimetaanalisiskan.
4.1 PERDARAHAN
Analisis kehilangan darah saat operasi menggunakan 3 dari 6 jurnal yang telah
ditelaah dan ketiga jurnal tersebut memberikan hasil yang bermakna. Hasil
analisis jurnal untuk kehilangan darah saat operasi menghasilkan nilai I 2 lebih
besar dari 50% dan p lebih kecil dari 0,05 (I2 = 100% p < 0,00001) yang berarti
data-data yang didapat bersifat heterogen sehingga digunakan random effects
model. Pada penelitian Rannikko 2004 (Rannikko et al., 2004) menunjukan beda
rerata sebesar 122 ± 218,5 mL lebih sedikit kehilangan darah pada penggunaan
asam traneksamat. Pada penelitiaan Meng 2014 (Meng et al., 2014) menunjukan
kehilangan darah saat operasi pada penggunaan asam traneksamat lebih sedikit
201,6 ± 11,4 mL dibandingkan dengan kontrol dan begitu pula pada penelitian
Rani 2018 (Rani et al., 2018) menunjukan penggunaan asam traneksamat dapat
mengurangi kehilangan darah saat operasi sebanyak 52,1 ± 13 mL dibandingkan
dengan control.
sesuai dengan penelitian Mina 2018 (Mina dan Garcia, 2018) menyatakan asam
traneksamat tidak terlalu efektif untuk mencegah kebutuhan transfusi darah dan
meningkatkan nilai Hb di akhir prosedur TURP dimana nilai mean difference dari
penelitiannya sebesar (MD -1,19, 95% CI: -4,37 - 1,99 I2 = 67%).
Durasi operasi merupakan salah satu outcome yang dianalisis pada penelitiaan
ini. Terdapat 6 jurnal yang mempunyai data perbandingan durasi operasi yang
diperlukan pada prosedur TURP dengan pemberiaan asam traneksamat dan
dengan kontrol. Namun dari keenam jurnal tersebut terdapat 3 jurnal yang tidak
dapat dianalisis karena ketidaktersediaan data standar deviasi untuk dianalisis
yaitu jurnal Rannikko 2004 (Rannikko et al., 2004), Kumsar 2011 (Kumsar S. et
al., 2011), dan Khan 2017 (Khan et al., 2017). Ketiga jurnal yang dapat dianalisis
menghasilkan nilai I2 lebih besar dari 50% dan p lebih kecil dari 0,05 (I2 = 98% p
< 0,00001) yang berarti data-data yang didapat bersifat heterogen sehingga
digunakan random effects model.
Pada penelitian Meng 2014 (Meng et al., 2014) didapatkan hasil beda rerata
durasi operasi yang dibutuhkan lebih pendek 12 ± 5,2 menit pada kontrol daripada
pasien dengan pemberiaan asam traneksamat. Berbeda dengan penelitian
Karkhanei 2019 (Karkhanei et al., 2019) didapatkan hasil beda rerata durasi
operasi yang dibutuhkan lebih pendek 67,14 ± 16,43 menit pada pasien
pemberiaan asam traneksamat daripada kontrol. Sedangkan pada penelitian Rani
2018 (Rani et al., 2018) pemberiaan asam traneksamat tidak ada perbedaan dalam
Pada outcome berat jaringan prostat yang direseksi terdapat 4 jurnal yang
memiliki perbandingan outcome tersebut. Namun terdapat 2 jurnal yang tidak
dapat dianalisis yaitu jurnal Kumsar 2011 (Kumsar et al., 2011) dan Khan 2017
(Khan et al., 2017) karena ketidaktersediaan standar deviasi pada data yang
dimiliki oleh kedua jurnal tersebut. Kedua jurnal yang dapat dianalisis yaitu jurnal
Ranniko 2004 dan Rani 2018 menghasilkan nilai I2 lebih kecil dari 50% dan p
lebih besar dari 0,05 (I2 = 21% p = 0,26) yang berarti data-data yang didapat
bersifat homogen sehingga digunakan fixed effects model.
Pada kedua jurnal yang digabungkan didapatkan hasil bahwa perbedaan berat
jaringan prostat yang dapat direseksi pada pasien dengan pemberian asam
traneksamat dengan control tidak bermakna. Setelah dilakukan metaanalisis ini
didapatkan hasil berat jaringan prostat yang direseksi pada pemberiaan asam
traneksamat maupun kontrol tidak berbeda secara signifikan (MD 0,06, 95% CI: -
4.5 PEMBAHASAN
hasil analisis yang saya dapatkan berbeda dengan teori yang telah dijelaskan, di
mana tidak ada perbedaan jumlah cairan irigasi (P = 0,43) dan durasi operasi (P =
0,11) pada pemberiaan asam traneksamat. Hal ini sesuai dengan penelitian Rani
2018 tidak ada perbedaan waktu operasi yang tercatat pada kedua kelompok dan
jumlah cairan irigasi yang digunakan hampir sama dengan perbedaan 1 liter yang
tidak bermakna secara statistik (Rani et al., 2018). Hal ini diduga karena
penelitian yang dipublikasi sampai saat ini memiliki ukuran sampel yang kecil
yang menjadi batasan besar. Sehingga, kemungkinan efek menguntungan dari
intervensi kedua hasil ini tidak dapat dikesampingkan
Pada berat prostat yang direksi juga tidak ada perbedaan pada pemberiaan
asam traneksamat. Hasil analisis ini sesuai dengan penelitiaan Rannikko 2004 (P
= 0,415) dan Rani 2018 (P = 0,25) di mana tidak ada perbedaan berat prostat
secara statistik yang signifikan antara kelompok asam traneksamat dan kontrol.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumsar 2011 dan Khan
2017 terdapat perbedaan (P < 0,038) berat prostat yang direseksi di mana lebih
banyak jumlah prostat yang direseksi pada kelompok asam traneksamat daripada
kontrol. Hal ini diduga mungkin karena ukuran sampel pada jurnal yang
dibandingkann pada metaanalisis ini kecil.
5.1 KESIMPULAN
5.2 SARAN
40
Agung, D., Dewi, Y., Mardhatillah, & Saputra, K., 2018. ‘Hubungan obesitas,
merokok dan konsumsi alkohol dengan kejadian benign prostatic hyperplasia
(BPH) di poliklinik bedah Rumah Sakit Ibnu Sina Bukittinggi’. Jurnal Ilmu
Kesehatan Afiyah, 10(1), pp. 1–7.
Ahmed, I., & Aziz, I., 2017, ‘Relationship between prostate volume and lower
urinary tract symptoms (LUTS) as measured by international prostate
symptom score (IPSS)’. International Journal of Medical and Health
Research, 3(4), pp. 26–29.
Amadea, R. A., Langitan, A., & Wahyuni, R. D., 2018. ‘Benign prostatic
hyperplasia (BPH)’. Encyclopedia of Reproduction, 1(2), pp. 467–473.
Bhavsar, A., & Verma, S., 2014. ‘Anatomic Imaging of the Prostate’. BioMed
Research International. USA.
Deters, L. A., Leveillee, R. J., Patel, Vipul, R., Costabile, R. A., & Moore, C. R.
2019, ‘Benign Prostatic Hypertrophy: Practice Essentials, Background,
Anatomy’. In Medscape.
Djavan, B., & Teimoori, M., 2018. ‘Surgical Management of LUTS/BPH: TURP
vs. Open Prostatectomy’. Lower Urinary Tract Symptoms and Benign
Prostatic Hyperplasia: In Elsevier.
Eroschenko, V. P., 2015. Atlas Histologi diFiore. 12th ed. Moscow: EGC.
Gratzke, C., Bachmann, A., Descazeaud, A., Drake, M. J., Madersbacher, S.,
Mamoulakis, C., Oelke, M., et al., 2015. ‘EAU guidelines on the assessment
of non-neurogenic male lower urinary tract symptoms including benign
prostatic obstruction’. In European Urology. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.eururo.2014.12.038. [Accessed 18 April 2020]
Hahn, R. G., & Ekengren, J. C., 1993. ‘Patterns of irrigating fluid absorption
during transurethral resection of the prostate as indicated by ethanol’.
Journal of Urology. Available at: https://doi.org/10.1016/S0022-
5347(17)36129-3. [Accessed 18 April 2020].
Jadad, A. R., Moore, R. A., Carroll, D., Jenkinson, C., Reynolds, D. J. M.,
Gavaghan, D. J., et al., 1996, ‘Assessing the quality of reports of randomized
clinical trials: Is blinding necessary? Controlled Clinical Trials’. Available
at: https://doi.org/10.1016/0197-2456(95)00134-4. [Accessed 1 Mei 2020].
Kapoor, A. 2012, ‘Management in the Primary Care Setting’. The Canadian
Journal of Urology, 19(10), pp. 10–17.
Karkhanei, B., Musavi-Bahar, S. H., Bayat, M., Kaseb, K., Rezaee, H., Moradi,
A., et al., 2019. ‘Safety and efficacy of intraoperative administration of
41
NIM : 170100219
Agama : Katolik
Riwayat Pendidikan :
44
Riwayat Pelatihan :
Riwayat Organisasi :
Riwayat Kepanitiaan :
1. Organizing Committee Training New Trainer (TNT) Region 1 CIMSA,
Medan, Indonesia (2017).
2. Organizing Committee White Cane Day (WCD) SCORP CIMSA USU
(2018).
3. Organizing Committee World Diabetes Day (WDD) SCOPH CIMSA USU
(2018).
4. Anggota Panitia Seksi Acara Bakti Sosial KMK St. Lukas USU (2019).
5. Anggota Panitia Seksi Komsumsi Natal FK USU (2018).
6. Anggota Panitia Seksi Dekor Paskah FK USU (2019).
7. Bendahara Panitia Kegiatan Bakti Sosial KMK St. Lukas USU (2020).