SKRIPSI
Oleh :
150100079
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh :
150100205
Puji dan syukur peneliti panjatkan terhadap Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkah, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Miopia pada Pelajar SMP
di Perkotaan dan di Pedesaan”.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini, yaitu :
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Fithria Aldy, M.Ked(Oph), Sp. M(K) selaku dosen pembimbing. Terima
kasih atas segala bimbingan, ilmu, waktu, saran, motivasi serta semangat yang
telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. dr. Ahmad Yapiz Hasby, M.Ked(An), Sp. An selaku Ketua Penguji dan dr.
Causa Trisna Mariedina, M.Ked(PA), Sp. PA Anggota Penguji yang telah
memberikan saran dan nasehat dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.
4. Dr. dr. RR. Suzy Indharty, M.Kes, Sp. BS(K) selaku dosen Pembimbing
Akademik yang selalu memberikan dukungan selama masa perkulihan.
5. Dr. Putri Chairani Eyanoer, MS. Epi., Ph.D selaku dosen pembimbing statistik
yang telah memberikan waktu, tenaga, saran dan nasihat sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
6. Drs. Jaramin Manik, M.Pd selaku Kepala Sekolah SMPN 22 Medan dan
Dinda Astuti, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMPIT Al-Fityan Medan.
7. Rasa cinta dan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua saya,
Ayahanda ir. Hasanuddin dan Ibunda Zalela yang telah memberikan semangat
dan motivasi kepada penulis.
ii
Universitas Sumatera Utara
8. Kepada adik-adik tersayang Jamaliyah Hasan Lubis, M. Daroni Lubis dan
Fellayathi Khumairah Lubis. Terima kasih atas doa, cinta, kasih sayang,
dukungan serta nasehat kepada penulis.
9. Teman teman seperjuangan di FK USU. Huwaida Khoirunnisa, Ummilia
Syamima, Dg Ku Nur Syahrina, Jazira Rezkika, Fiona Shafira Rosa, Henny
Nuralita, Ummi Kalsum Harahap, Rica Fitrianti Lubis, Novia Nasution,
Patimah Pulungan. Terima kasih atas persahaban yang kita jalani selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari segi
kesempurnaan, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu,
penulisi mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini
di kemudian hari.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas kebaikan semua pihak
yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.
iii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ................................................................................ i
Kata Pengantar .......................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................... iv
Daftar Tabel ............................................................................................... vi
Daftar Gambar ............................................................................................ vii
Daftar Singkatan......................................................................................... viii
Daftar Lampiran ......................................................................................... ix
Abstrak ....................................................................................................... x
iv
Universitas Sumatera Utara
2.1.7 Diagnosis ................................................................... 19
2.1.8 Penatalaksanaan ........................................................ 24
2.1.9 Komplikasi ................................................................ 27
2.2 Kerangka Teori................................................................... 28
2.3 Kerangka Konsep ............................................................... 29
v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN
viii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
ix
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Latar Belakang. Miopia menduduki peringkat pertama sebagai kelainan refraksi yang paling banyak
diderita oleh penduduk dunia, perkembangannya cepat pada anak-anak. Anak-anak yang lebih muda
memiliki perkembangan miopia yang lebih besar, dan usia yang lebih muda merupakan faktor risiko
yang signifikan untuk miopia yang tinggi di masa depan. Berbagai faktor telah diketahui dapat
mempengaruhi kejadian miopia, adanya dorongan multifaktorial seperti jenis kelamin, aktivitas dekat
dengan atau tanpa layar, aktivitas di luar ruangan, riwayat keluarga miopia dan lingkungan dapat
menyebabkan terjadinya miopia. Disamping itu seiring dengan kemajuan teknologi dan
telekomunikasi secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat,
terutama pada anak-anak di daerah perkotaan yang mau tidak mau akan bersinggungan dengan
keadaan tersebut. Hal ini sangat kontras dengan keadaan anak usia sekolah di pedesaan. Di pedesaan
kemajuan teknologi belum sederas seperti di daerah perkotaan. Tujuan. Untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian miopia pada pelajar SMP di perkotaan dan di pedesaan
berdasarkan faktor resiko yang telah ditetapkan. Metode. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan studi potong lintang (cross sectional) dan pemilihan sampel total
sampling. Hasil. Terdapat sebanyak 74 orang siswa di perkotaan dan 64 orang siswa di pedesaan
yang menderita miopia. Ditemukan terdapat hubungan antara faktor risiko lama aktivitas dekat tanpa
layar, intensitas cahaya aktivitas dekat tanpa layar dan status ekonomi terhadap kejadian miopia
dengan hasil uji Chi Square p<0,001, p=0,045 dan p<0,001, masing-masing. Sedangkan pada
variable lain tidak didapatkan hubungann. Kesimpulan. Faktor risiko yang paling berpengaruh pada
pelajar di perkotaan dan di pedesaan adalah lama dan intensitas cahaya aktivitas dekat tanpa layar
serta status ekonomi.
x
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Background. Myopia ranks first as a refractive disorder that is most prevalent in the world's
population especially in children. Younger children have a greater development of myopia hence it is a
significant risk factor for high myopia incidence in the future. Various factors have been known to
affect the incidence of myopia which are the presence of multifactorial impulses such as sex, near
works, outdoor activities, family story with myopia and the environment. Besides that, along with
advances in technology and telecommunications, directly or indirectly, it will increase the activity of
close viewing, especially in children in urban areas who inevitably will come into contact with these
conditions. Moreover, the technology in urban areas are more advanced than in rural areas.
Objective. To find out the factors that influence the incidence of myopia in middle school students in
urban and rural areas based on predetermined risk factors. Method. This study used a descriptive
method with a cross sectional study approach and a total sampling selection. Results. There are 74
students in urban areas and 64 students in rural areas suffering from myopia. The only variables that
have a significant correlation with incidence of myopia were duration of near work activities without
the use of gadgets, the light intensity of near screen activities and economic status (p<0.001, p= 0.045
and p<0.001). Whereas in other variables there was no correlation found. Conclusion. The most
influential risk factors for students in urban and rural areas are the duration and intensity of light in
near activities without screens and economic status.
xi
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas hidup seseorang yaitu gangguan
penglihatan. Berdasarkan data WHO terdapat 285 juta orang di dunia yang
mengalami gangguan penglihatan, di mana 39 juta orang mengalami kebutaan dan
246 juta orang mengalami berpenglihatan kurang (low vision). Secara global,
gangguan penglihatan tersebut disebabkan oleh 43% kelainan refraksi, 33% katarak
dan 2% glaukoma (WHO, 2012).
Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma
(Ilyas, 2010). Dari semua kelainan refraksi yang ada, miopia menduduki peringkat
pertama sebagai kelainan refraksi yang paling banyak diderita oleh penduduk dunia
(WHO, 2012). Kejadian miopia yang terus meningkat dalam 50 tahun terakhir
diperkirakan sudah mengenai 1,6 miliar penduduk di seluruh dunia. Institute of Eye
Research memperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita miopia akan mencapai
2,5 miliar penduduk (Yu et al., 2011). Sebuah tinjauan memperkirakan bahwa pada
2050 separuh populasi global (5 miliar orang) akan rabun jauh, dan seperlima dari
mereka (1 miliar) akan dianggap sangat rabun (>5 D) (Wu et al., 2016).
Prevalensi miopia pada anak bervariasi di berbagai wilayah dan negara. Onset
miopia selama masa kanak-kanak dapat dihitung secara kasar dari prevalensi populasi
usia yang berbeda. Onset dini miopia adalah prediktor terpenting dari miopia yang
tinggi di kemudian hari. Prevalensi yang lebih tinggi dari kelompok usia yang lebih
muda akan menyebabkan beban yang lebih besar dan keparahan miopia di masa
dewasa karena perkembangan miopia di masa kanak-kanak menyebabkan miopia
1
Universitas Sumatera Utara
2
sebesar 3,69% di daerah pedesaan dan 6,39% di daerah perkotaan (Tiharyo dan
Gunawan, 2008).
Miopia merupakan kelainan refraksi berupa bayangan sinar dari objek yang jauh
difokuskan di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi. Miopia dapat
disebabkan karena peningkatan panjang aksial bola mata, peningkatan kelengkungan
kornea atau lensa, perubahan letak lensa, dan peningkatan indeks refraksi pada lensa.
Terbentuknya miopia umumnya berlangsung seiring dengan perkembangan mata dan
prevalensinya meningkat terutama pada usia 8-12 tahun, sehingga sering disebut
school myopia. Perkembangan pada masa ini umumnya merupakan perubahan
panjang aksial bola mata (Halim et al., 2017). Miopia yang terjadi sebelum usia 20
tahun akan menetap. Sementara itu, kejadian miopia yang muncul setelah usia 20
tahun biasanya disebabkan oleh hipertensi dan DM (Rahimi et al., 2015).
Setelah onset miopia, perkembangannya cepat pada anak-anak. Anak-anak yang lebih
muda memiliki perkembangan miopia yang lebih besar, dan usia yang lebih muda
merupakan faktor risiko yang signifikan untuk miopia yang tinggi di masa depan.
Secara umum, perkembangan miopia pada anak-anak Asia lebih cepat daripada pada
anak-anak Barat. Penelitian sebelumnya menunjukkan perkembangan hampir −1 D
per tahun pada anak sekolah Asia yang rabun. Di Finlandia, tingkat perkembangan
miopia adalah −0,93 D per tahun pada anak usia 8 tahun dan −0,52 D pada usia 13
tahun (Wu et al., 2016).
Berbagai faktor telah diketahui dapat mempengaruhi kejadian miopia, adanya
dorongan multifaktorial seperti usia, jenis kelamin, aktivitas dekat dengan maupun
tanpa layar, aktivitas di luar ruangan, keturunan dan lingkungan dapat menyebabkan
terjadinya miopia (Rahimi et al., 2015). Orang tua yang memiliki miopia cenderung
memiliki anak yang miopia. Prevalensi anak-anak dengan dua orang tua dengan
miopia adalah 30-40%, menurun hingga 25-20% pada anak-anak dengan satu orang
tua dengan miopia dan kurang dari 10% pada anak-anak tanpa orang tua dengan
miopia (Mutti DO et al., 2002).
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bidang Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai data
dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian miopia pada pelajar SMP di perkotaan dan di
pedesaan.
2. Bidang Pelayanan Masyarakat
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan juga
menambah wawasan bagi masyarakat terutama bagi orang tua, guru serta
anak-anak usia sekolah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
miopia agar menjadi pertimbangan dalam upaya pencegahan terhadap
kejadian miopa.
2.1 MIOPIA
2.1.1 Definisi
melihat jarak tertentu. Orang miopia memiliki keuntungan dapat membaca titik jauh
tanpa kacamata bahkan pada usia presbiopia. Miopia derajat tinggi menyebabkan
meningkatnya kerentanan terhadap gangguan-gangguan terhadap retina degeneratif
termasuk ablatio retinae. Lensa sferis konkaf (minus) biasanya digunakan untuk
mengoreksi bayangan pada miopia. Lensa ini memundurkan bayangan ke retina
(Riordan-Eva, 2011).
2.1.2 Etiologi
Penelitian genikologi telah memberikan banyak bukti bahwa faktor keturunan
merupakan etiologi utama terjadinya miopia patologi cara transmisi dari miopia
patologi adalah autosomal resesif, autosomal dominan, sekslink dan derajat miopia
yang diturunkan ternyata bervariasi. Penyakit Ibu yang dikaitkan dengan miopia
kongenital adalah hipertensi sitemik, toksemia dan penyakit retina, faktor lain yang
dianggap berhubungan dengan miopia patologi adalah kelahiran prematur yakni berat
badan lahir kurang dari 2.500 gr (Widodo dan Prillia, 2007).
Etiologi miopia masih belum diketahui secara pasti. Namun miopia diduga
berasal dari faktor genetik dan faktor lingkungan. American Optometric Association
(1997) menulis etiologi yang diduga menyebabkan miopia berdasarkan jenis-jenis
miopia, adapun jenis-jenis miopia dan etiologinya dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
signifikan
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Ilyas (2010) dikenal beberapa bentuk miopia seperti:
a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumessen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia
yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang
terlalu kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan lebih banyak mengalami kelainan refraksi
dibandingkan laki-laki. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian National Institute of
Eye Health yang menyatakan perempuan lebih banyak mengalami kelainan refraksi
dibandingkan laki-laki dimana lebih dari 26% perempuan berusia 12 tahun ke atas
mengalami gangguan penglihatan yang tidak dikoreksi akibat kelainan refraksi
dibandingkan laki-laki. Selain itu, didapatkan 14% perempuan berusia lebih dari 40
tahu mengalami kelainan refraksi dibandingkan laki-laki berusia 40 tahun ke atas.
Berdasarkan berbagai studi miopia diantarnya Baltimore Eye Survey, Beaver Dam
Eye studi, Andhra Pradeesh Eye Disease Studi, Visual Impairment Project, Tanjong
Pagar Survey didapatkan prevalensi miopia lebih tinggi pada orang dewasa muda dan
mengalami penurunan pada kelompok usia lebih tua atau di atas 65 tahun.
Ditiap kelompok usia didapatkan perempuan lebih banyak mengalami miopia
dibanding laki-laki. Hal ini juga sesuai dengan penelitian di Amerika Serikat yang
membedakan kelainan refraksi berdasarkan jenis kelamin dan ras baik kulit hitam,
kulit putih dan hispanik didapatkan bahwa semua ras dengan jenis kelamin
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki yakni perempuan sebanyak 75.147.949
kasus atau 55%, sedangkan laki-laki hanya 67.500.444 kasus atau 45% (Kalangi et
al., 2016).
Di India insiden miopia lebih tinggi pada anak perempuan dibanding anak laki-
laki dilaporkan bahwa anak perempuan di India cenderung lebih banyak membaca
dan menulis serta menghabiskan waktu lebih banyak di dalam ruangan. Peningkatan
aktivitas kerja dekat ini mungkin mempengaruhi mereka terhadap terjadinya
perkembangan miopia (Saxena et al., 2017).
Ada 2 kelompok miopia. Salah satunya adalah miopia kongenital atau miopia
onset kekanak-kanakan, dan yang lainnya adalah miopia sekolah atau miopia remaja.
Menurut evolusi yang dinyatakan dalam jurnal ophthalmology asia-pasifik, anak-anak
zaman dahulu yang mempunyai penglihatan buruk kongenital maupun miopia
kongenital tidak mampu bertahan hidup dengan lama. Oleh karena itu, gen untuk
miopia kongenital tidak diwariskan secara luas, dan prevalensi miopia kongenital
rendah, sekitar 4% hingga 6%.
Di Finlandia lebih dari 20 tahun, tingkat prevalensi hampir dua kali lipat pada usia 14
hingga 15 tahun. Di Hong Kong, kemungkinan memiliki miopia pada kakek-nenek
jauh lebih sedikit daripada untuk generasi orang tua dan anak-anak (0,06, 0,26, dan
0,35, masing-masing). Hal ini karena perubahan genom waktu dalam beberapa
dekade untuk terjadinya perubahan pada suatu populasi tersebut (Wu et al., 2016).
3. Aktivitas Dekat
Kegiatan kerja dekat, seperti membaca, dan menulis telah bertanggung jawab atas
peningkatan yang luar biasa dalam prevalensi miopia. Studi kohort menunjukkan
bahwa anak-anak sekolah dengan insiden miopia secara signifikan lebih dekat bekerja
dan memiliki peningkatan yang lebih besar dalam panjang aksial bola mata. Sebuah
meta-analisis menunjukkan bahwa lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk
kegiatan kerja dekat dikaitkan dengan kemungkinan miopia yang lebih tinggi.
Kemungkinan untuk seseorang yang bekerja dengan jarak yang dekat pengidap
miopia akan meningkat 2% untuk setiap 1 diopter – jam dalam satu minggu. Oleh
karena itu, kerja dekat merupakan faktor risiko penting yang kuat dari miopia.
Tingkat keparahan risiko sesuai dengan intensitas, seperti lamanya pembacaan terus
menerus dan jarak ke objek dekat (Wu et al., 2016). Saat membaca, terjadinya miopia
jugaakan dipengaruhi oleh posisi, kecukupan cahaya ketika membaca, besar kecilnya
huruf atau angka yang dibaca (Primadiani dan Rahmi, 2017).
Beraktivitas dekat alam jangka waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan
mata berakomodasi terus-menerus. Beberapa penelitian membuktikan peningkatan
daya akomodasi terus-menerus menyebabkan mata menjadi kurang bisa
berakomodasi pada jarak lain sehingga mata menjadi rabun jauh (Rahimi et al.,2015).
Karena aktivitas jarak dekat seperti belajar tidak dapat dihindari, istirahat jangka
waktu tertentu dan mencegah pembacaan yang dekat dapat mengurangi risiko
pekerjaan dekat (Wu et al., 2016).
Seperti halnya membaca dan menulis telah terjadi peningkatan dramatis dalam
penggunaan gadget dalam beberapa tahun terakhir. Meningkatnya penggunaan waktu
di hadapan layar dikaitkan dengan terjadinya perkembangan miopia (Wu et al.,
2016).
Kaitan miopia dengan cahaya adalah cahaya yang lebih terang dapat menurunkan
perkembangan miopia melalui penyempitan pupil, mengakibatkan lebih sedikit
pengaburan penglihatan atau melalui stimulus retina yang dikenal bertindak sebagai
inhibitor pertumbuhan mata. Namun, apabila cahaya yang dilihat secara terus-
menerus ketika melihat layar maka dapat menimbulkan akomodasi lensa mata yang
berkelanjutan yang dapat menyebabkan mata lelah. Bagian mata yang lelah adalah
otot yang berperan dalam konstriksi pupil. Ketika otot ini lelah maka bayangan tidak
dapat difokuskan secara tepat pada retina (Rahimi et al., 2015).
Aktivitas di luar ruangan yang dimaksud tidak harus aktivitas olahraga, tetapi
faktor yang berperan pada miopia adalah lamanya waktu aktivitas di luar ruangan
(Guggenheim et al., 2012). Kegiatan di luar ruangan baru-baru ini telah diakui
sebagai faktor protektif untuk miopia. Bahkan dapat mengatasi faktor risiko orang tua
rabun jika anak-anak menghabiskan cukup waktu di luar rumah per minggu.
Penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa kemungkinan untuk seseorang yang
sering beraktivitas di luar menghidap miopia lebih kecil dibanding dengan orang
yang sering di dalam rumah. Kemungkinan miopia menurun 2% untuk setiap jam
tambahan waktu yang dihabiskan di luar rumah per minggu.
5. Status Ekonomi
2.1.5 Patogenesis
Berbagai teori ditemukan mengenai terjadinya miopia, tetapi ada dua teori pokok
yang saling bertentangan, yaitu:
a Teori Mekanik
Timbul pada abad ke 19, yang mengatakan bahwa terjadinya miopia tinggi
disebabkan karena peregangan sklera. Peregangan ini dapat terjadi pada sklera yang
normal maupun yang sudah lemah.
1. Kongesti sklera
2. Infamasi sklera
3. Malnutrisi
4. Endokrin
5. Keadaan umum
6. Skleromalasia
Jadi menurut teori ini terdapat kelainan antara timbulnya dan progresinya miopia
dengan kebiasaan melihat dekat dan keadaan umum seseorang.
b Teori Biologi
Teori ini timbul setelah pengamatan bahwa miopia aksial adalah herediter,
penipisan bola mata hanya di daerahpole posterior, degenerasi retina terjadi sekunder
setelah atrofi koroid dan adanya perubahan-perubahan atrofi yang tidak sesuai dengan
besarnya pemanjangan bola mata.
Faktor utama dari miopia patologi ini adalah peningkatan panjang aksial bola
mata, yang disebabkan oleh penurunan kuantitas dan perubahan karakteristik anatomi
dari jaringan kolagen sklera.
Curtin menyebutkan bahwa pada orang degan derajat miopia tinggi akan
mengalami penurunan kuantitas dan kualitas dari serabut kolagen sklera yang berupa
sudut ikatan antara serabut kolagen skelra melebar anyamannya kurang terpola.
Perubahan-perubahan ini dijumpai pada kutub posterior sehingga akan menyebabkan
regangan dan penipisan pada skelra yang akhirnya menambah panjang aksial bola
mata (Widodo dan Prillia, 2007).
Pada pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat dekat,
sedangkan melihat jauh buram atau disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan
miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan
celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan menyempitkan
matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang
kecil).
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu
melihat dalam posisi konvergensi, dan hal ini menimbulkan (astenopia konvengersi).
Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam yang
disebut strabismus konvergen (esoptropia). Apabila terdapat miopia pada satu mata
jauh lebih tinggi dari mata yang lain, dapat terjadi ambliopia pada mata yang
miopianya lebih tinggi. Mata ambliopia akan menggulir ke temporal yang disebut
strabismus difergen (eksotropia) (Ilyas, 2010).
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis pada gangguan mata didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan dasar
mata, pemeriksaan oftalmologik khusus bila diperlukan untuk diagnosis miopia
didasarkan pada gambaran klinik yang khas (lebih nyaman jika membaca dalam jarak
dekat karena penglihatan menjadi kabur saat melihat jarak jauh, mengerut, dan
menjulingkan mata) serta tes refraksi (Riordan-Eva, 2011; Piquette dan Boulet,
2012).
pemeriksaan dimulai dari mata kanan. Bila plain occluder tidak tersedia, mata
kiri dapat ditutup dengan mata pasien.
e. Pasien diminta membaca kartu Snellen dari atas, sampai baris pasien tidak
bisa membaca dengan jelas. Baris tersebut adalah visus pasien. Visus yang
normal adalah 6/6 atau 5/5 yang berarti pasien dapat melihat huruf pada jarak
6 meter (visus 6/6) atau pada jarak 5 meter (visus 5/5), sama dengan jarak
orang dengan mata normal melihat huruf tersebut.
f. Bila pasien tidak bisa membaca huruf yang paling besar, pasien diminta untuk
maju 1 meter dari posisi awal lalu mencoba membaca lagi, dan seterusnya
sampai bisa membaca huruf paling besar. Jarak antara pasien ke kartu snellen
ditulis dengan angka pembilang.
g. Bila pasien tidak bisa membaca huruf paling besar pada jarak 1 meter di
depan kartu snellen, maka dilakukan pemeriksaan dengan hitung jari pada
jarak kurang dari 1 meter dari pesien (visus 1/60).
h. Bila pasien tidak bisa menghitung jari pada jarak kurang dari 1 meter, maka
pasien diperiksa dengan lambaian tangan (visus 1/300).
i. Bila pasien tidak bisa melihat arah lambaian tangan pasien diperiksa dengan
senter atau flashlight yang disorotkan dari empat arah hasil yang didapat
adalah ada persepsi cahaya (visus 1/~), atau tidak ada persepsi cahaya (visus
0).
j. Bila visus pasien kurang dari 6/6 pada pemeriksaan dengan kartu snellen,
maka dilanjutkan dengan tes pinhole pada jarak 6 meter. Jika tes pinhole
menjadikan penglihatan membaik, berarti gangguan penglihatan tersebuat
karena gangguan refraksi.
2. Tes refraksi
Tes refraksi untuk anak meliputi pemeriksaan subjektif, dengan prosedur yang
sama seperti pemeriksaan pada usia dewasa, serta pemeriksaan objektif berupa
retinoskopi.
koreksi pada kacamata khusus di mata yang diperiksa, sementara mata yang lain
ditutup dengan plain occluder. Pemeriksaan tersebut menggunkan series of test lenses
dalam kontak.
Tes refraksi subjektif ini juga bisa menggunakan alat yang bernama phoropter,
yaitu alat khusus dengan banyak lensa yang bisa diganti secara otomatis maupun
manual di depan mata pasien.
1. Retinoskopi
Retina diiluminasi (diterangi) melalui pupil dengan memproyeksikan
seberkas cahaya (intercept) ke mata pasien supaya menghasilkan refleks
seperti retinoscopic reflex di pupil. Bila hasil dari retinoskopi menunjukkan
intercept dan retinoscopic reflex sejajar, berarti ada kelainan sferis. Hasil yang
sama juga bisa menunjukkan ada tambahan gangguan silindris yang
bertepatan dengan satu meridian utama.
2. Refraktometri
Cara kerja pemeriksaan refraktometri adalah dengan mengubah jarak
antara gambar tes dan mata, sampai gambar muncul jelas di depan retina,
sehingga refraksi bisa dihitung dari nilai yang terukur.
3. Refraktometri Otomtis
Pemeriksaan ini mengukur refraksi objektif secara cepat. Alat
refraktometri menggunakan cahaya infra merah, detektor cahaya yang sensitif
dan komputer (Riordan-Eva, 2011).
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Kacamata
Kacamata dapat meringankan usaha akomodasi mata, sehingga dapat
mempengaruhi progresivitas miopia. Jenis kacamata dalam percobaan adalah lensa
bifokus, progresif, dan prisma. Studi selama 2 tahun menggunakan modalitas
kacamata menunjukkan bahwa penurunan progresivitas miopia dapat mencapai 40-
50% lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan kacamata
plano. Di samping itu, anak yang diberi koreksi di bawah visus terbaik (+0.50D
dibandingkan seharusnya), akan mengalami progresivitas miopia 10% lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol.
2. Lensa Kontak
Walline, et al, melakukan studi acak terkontrol untuk membandingkan efek
penggunaan rigid gas permeable contact lens (RGP) dengan soft contact lens (SCL).
Didapatkan bahwa RGP menurunkan progresivitas miopia lebih besar dibandingkan
mereka yang menggunakan SCL. Meskipun demikian, peneliti berkesimpulan bahwa
perubahan refraksi yang terjadi lebih disebabkan oleh perubahan kelengkungan
kornea pada pengguna RGP. Perubahan tersebut bersifat sementara dan bukan
merupakan penurunan progresivisitas miopia yang sesungguhnya.
Pada penelitian lain, peneliti menggunakan lensa kontak multifokus dengan zona
sentral khusus +2.00D untuk menghilangkan peripheral myopic retinal defocus.
Setelah 10 bulan, didapatkan penurunan progresivitas miopia sebesar 35%
dibandingkan kelompok kontrol. Studi lain yang menggunakan lensa kontak sejenis
selama 12 bulan, menemukan penurunan progresivitas miopia sebesar 34%. Namun
dalam studi ini, 30% anak keluar dari studi karena lensa tidak nyaman digunakan.
Meski demikian, penelitian ini mendukung hipotesis bahwa penanganan peripheral
defocus dapat mengurangi progresivitas miopia.
3. Ortokeratologi
Ortokeratologi atau disebut juga ortho-k merupakan lensa kontak khusus yang
didesain untuk mengubah bentuk kornea, sehingga mengeliminasi kelainan refraksi
secara sementara. Lensa kontak ini bersifat gas-permeable untuk memfasilitasi
pertukaran oksigen yang baik. Lensa ini juga didesain agar dapat membantu
mengatasi peripheral defocus retina. Reim, et al, dan Kakita, et al, mendapatkan
bahwa ortho-k yang digunakan pada malam hari dapat mengurangi progresivitas
miopia sebesar 40-60% dibandingkan kelompok kontrol. Kekurangan ortho-k adalah
harganya mahal, kurang nyaman, memiliki risiko infeksi, dan lebih sulit digunakan
dibandingkan lensa kontak pada umumnya.
4. Farmokologis
Obat yang digunakan dalam pencegahan FDM adalah obat golongan anti
muskarinik. Atropin dan pirenzepin merupakan obat anti-muskarinik yang terbukti
kuat dapat mengurangi FDM. Pirenzepin sebagai obat selektif M1 dapat mengurangi
progresivisitas miopia dan pemanjangan aksial bola mata tanpa efek samping atropin,
yaitu midriasis dan sikloplegik. Pirenzepin mampu mengurangi progresivitas miopia
sebesar 40% dibandingkan kelompok kontrol.
5. Kombinasi
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada miopia adalah akibat dari proses degenerasi, yaitu:
1. Floaters
Kekeruhan badan kaca yang disebabkan proses pengenceran dan organisasi,
sehingga menimbulkan bayangan pada penglihatan.
2. Skotoma
Defek pada lapang-pandangan yang diakibatkan oleh atrofi retina.
3. Trombosis koroid dan perdarahan koroid
Sering terjadi pada obliterasi dini pembuluh darah kecil. Biasanya terjadi di
daerah sentral, sehingga timbul jaringan parut yang mengakibatkan penurunan
tajam penglihatan.
4. Ablasio retina
Merupakan komplikasi yang tersering. Biasanya disebabkan karena didahului
dengan timbulnya hole pada daerah perifer retina akibat proses-proses degenerasi
di daerah ini.
5. Glaukoma sederhana
Komplikasi ini merupakan akibat atrofi menyeluruh dari koroid.
6. Katarak
Merupakan komplikasi selanjutnya dari miopia degeneratif, terjadi setelah usia 40
tahun. Biasanya adalah tipe pole posterior. Sering dihubungkan pula dengan
adanya degenerasi koroid (Widodo dan Prillia, 2007).
Kontraksi muskulus
ciliaris akan menarik Tekana intra ocular
koroid meningkat
Faktor Risiko:
1. Jenis Kelamin
2. Riwayat Keluarga Miopia
3. Lama Aktivitas Dekat dengan Layar
4. Posisi Aktivitas Dekat dengan Layar
5. Jarak Aktivitas Dekat dengan Layar
6. Intensitas Cahaya Aktivitas Dekat MIOPIA
dengan Layar
7. Lama Aktivitas Dekat tanpa Layar
8. Posisi Aktivitas Dekat tanpa Layar
9. Jarak Aktivitas Dekat tanpa Layar
10. Intensitas Cahaya Aktivitas Dekat
tanpa Layar
11. Aktivitas di Luar Ruangan
12. Status Ekonomi
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMPN 22 Patumbak dan
SMPNIT Al-Fityan yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan.
30
a. Kriteria Inklusi:
1. Semua anak yang memakai kaca mata yang hanya disebabkan oleh
miopia.
2. Hadir pada saat penelitian dilakukan.
3. Mengisi angket dengan lengkap.
b. Kriteria Eksklusi:
1. Semua anak pengguna kaca mata yang menderita miopi akibat trauma,
infeksi, kaca mata gaya, kontak lensa dan riwayat penyakit diabetes
mellitus dan hipertensi.
2. Tidak bersedia menjadi responden.
Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan jenis data primer dimana data
diperoleh secara langsung dengan menggunakan metode angket berupa kuesioner
sebagai alat bantu dalam pengumpulan data yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan judul penelitian dan hasil pemeriksaan visus responden.
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari hasil kuisioner yang diisi oleh
responden dan hasil pemeriksaan visus diubah menjadi data kuantitatif berupa skor
nilai. Pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu editing, coding, entry,
cleaning data, dan saving.
Kedua, coding, data yang telah terkumpul kemudian diberi kode oleh peneliti
secara manual sebelum diolah dengan komputer.
Semua data yang telah dikumpulkan dicatat, dikelompokkan, dan diolah.
Ketiga, entry, data kemudian dimasukkan ke dalam program komputer.
Keempat, cleaning data, dengan melakukan pemeriksaan semua data yang
telah dimasukkan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam
memasukkan data.
Terkhir, saving, data kemudian disimpan untuk kemudian dianalisis dengan
menggunakan program SPSS. Selanjutnya data tersebut ditampilkan dalam
bentuk tabel, diagram, ataupun grafik.
Data yang sudah diolah akan dianalisa secara deskriptif dengan mengguanakan
program SPSS untuk mengetahui apakah ada faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian miopia pada pelajar SMP di perkotaan dan di pedesaan.
Penelitian dilakukan pada seluruh siswa/i mulai dari kelas VII, VIII dan IX yang
memenuhi kreteria inklusi dengan jumlah 64 orang di SMP Negeri 22 Patumbak dan
74 orang di SMP Islam Terpadu Al-Fityan. Pada saat penelitian dilakukan, kepada
seluruh siswa/i yang hadir diberikan penjelasan dan informed consent yang
menyatakan setuju untuk mengikuti penelitian ini. Para siswa/i mengisi data identitas
diri, kemudian dilakukan pemeriksaan visus sebelum mengisi kuesioner yang berisi
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian miopia berdasarkan jenis kelamin,
riwayat keluarga miopia, aktivitas dekat dengan maupun tanpa layar, aktivitas diluar
ruangan, dan status ekonomi. Data lengkap mengenai distribusi frekuensi responden
tersebut dapat dilihat dalam table 4.1 di bawah ini:
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Miopia pada Pelajar
SMP di Perkotaan dan di Pedesaan
35
Universitas Sumatera Utara
36
Ibu
Tidak 25 33.8 31 48.4
Keduanya
Aktivitas Lama <3 jam 29 39.2 27 42.2 0.883
Dekat penggunaan 3-6 jam 32 43.2 25 39.1
dengan gadget >6 jam 13 17.6 12 18.8
Layar Posisi Duduk 25 33.8 21 32.8 0.340
penggunaan Tengkurap 17 23 9 14.1
gadget Berbaring 32 43.2 34 53.1
Jarak <30 cm 59 79.7 50 78.1 0.818
penggunaan >30 cm 15 20.3 14 21.9
gadget
Intensitas Redup 16 21.6 19 29.7 0.055
Cahaya Sedang 52 70.3 33 51.6
penggunaan Terang 6 8.1 12 18.8
gadget
Aktivitas Lama saat <3 jam 42 56.8 58 90.6 0.000
Dekat membaca 3-6 jam 30 40.5 4 6.2
tanpa >6 jam 2 2.7 2 3.1
Layar Posisi saat Duduk 33 44.6 32 50 0.384
membaca Tengkurap 21 28.4 21 32.8
Berbaring 20 27 11 17.2
Jarak saat <30 cm 55 74.3 43 67.2 0.357
membaca >30 cm 19 25.7 21 32.8
Intensitas Redup 0 0 5 7.8 0.045
Cahaya saat Sedang 38 51.4 28 43.8
membaca Terang 36 48.6 31 48.4
Aktivitas di Luar <2 jam 24 32.4 30 46.9 0.083
Ruangan >2 jam 50 67.6 34 53.1
Status Ekonomi Menengah 15 20.3 54 84.4 0.000
ke bawah
Menengah 37 50 10 15.6
Menengah 22 29.7 0 0
ke atas
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat sebagian besar siswa/i yang menderita miopia
di daerah perkotaan merupakan siswa perempuan sebanyak 52 orang (70,3%)
sedangkan siswa laki-laki sebanyak 22 orang (29,7%). Hal yang sama didapatkan, di
daerah pedesaan jumlah yang menderita miopia pada siswa perempuan sebanyak 43
orang (67,2%) sedangkan siswa laki-laki sebanyak 21 orang (32,8%). Dengan hasil
nilai p=0,697, artinya tidak di dapatkan perbedaan proporsi yang signifikan antara
kejadian miopia dengan jenis kelamin.
Variabel aktivitas dekat dengan layar menurut lama waktu yang dihabiskan saat
menggunakan gadget pada daerah perkotaan adalah <3 jam sebanyak 29 orang
(39,2%), 3-6 jam sebanyak 32 orang (43,2%) dan >6 jam sebanyak 13 orang (17,6%).
Untuk daerah pedesaan siswa yang menghabiskan lama waktu saat menggunakan
gadget adalah <3 jam sebanyak 27 orang (42,2%), 3-6 jam sebanyak 25 orang
(39,1%) dan >6 jam sebanyak 12 orang (18,8%). Dengan nilai p=0,883, artinya tidak
di dapatkan perbedaan proporsi yang signifikan antara kejadian miopia dengan lama
aktivitas dekat saat menggunakan gadget.
p=0,818, artinya tidak di dapatkan perbedaan proporsi yang signifikan antara kejadian
miopia dengan jarak aktivitas dekat saat menggunakan gadget.
Variabel aktivitas dekat tanpa layar menurut lama waktu yang dihabiskan ketika
membaca pada daerah perkotaan adalah <3 jam sebanyak 42 orang (56,8%), 3-6 jam
sebanyak 30 orang (40,5%) dan >6 jam sebanyak 2 orang (2,7%). Untuk daerah
pedesaan siswa yang menghabiskan lama waktu ketika membaca adalah <3 jam
sebanyak 58 orang (90,6%), 3-6 jam sebanyak 4 orang (6,3%) dan >6 jam sebanyak 2
orang (3,1%). Dengan nilai p=0,000, artinya di dapatkan perbedaan proporsi yang
signifikan antara kejadian miopia dengan lama aktivitas dekat ketika membaca.
artinya tidak di dapatkan perbedaan proporsi yang signifikan antara kejadian miopia
dengan jarak aktivitas dekat ketika membaca.
Untuk aktivitas di luar ruangan pada daerah perkotaan lama waktu yang di
habiskan <2 jam sebanyak 24 orang (32,4%) dan >2 jam sebanyak 50 orang (67,6%).
Sedangkan pada daerah pedesaan <2 jam sebanyak 30 orag (46,9%) dan >2 jam
sebanyak 34 orang (50,1%). Dengan nilai p=0,083, artinya tidak di dapatkan
perbedaan proporsi yang signifikan antara kejadian miopia dengan aktivitas di luar
ruangan.
4.2 PEMBAHASAN
Dapat dilihat pada tabel 4.1 bahwa perempuan mendominasi kejadian miopia
dibandingkan laki-laki baik di perkotaan maupun di pedesaan sebanyak 52 orang
(70,3%) dan 43 orang (67,2%), masing-masing. Meskipun begitu berdasarkan hasil
analisis uji Chi-Square diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin
terhadap kejadian miopia dengan nilai p=0,697.
Beberapa penelitian juga menunjukkan hasil yang sama dengan angka kejadian
miopia lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki dikarenakan pada
populasi jumlah siswa laki-laki < siswa perempuan (Sofiani dan Santik, 2016). Hal
ini juga di dukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan perempuan lebih
sering menghabiskan waktu untuk belajar seperti membaca, juga terdapat faktor lain
yang saling berkaitan seperti aktivitas diluar ruangan, dimana perempuan cenderung
lebih sedikit menghabiskan waktu diluar ruangan yang dapat meningkatkan angka
kejadian miopia (Agus dan Bahri, 2018).
Pengaruh hormon juga merupakan salah satu hal yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan risiko kejadian miopia. Pada perempuan, usia 15-17 tahun merupakan
tahap akhir tumbuh kembang sedangkan pada laki-laki usia ini adalah grow spurt.
Seperti diketahui, panjang aksial bola mata terkait dengan tinggi seseorang. Semakin
tinggi seseorang maka panjang aksial bola mata akan lebih panjang sehingga
bayangan di fokuskan di depan retina (Rahimi et al., 2015).
Penelitian sebelum ini mengatakan kondisi orang tua yang memiliki riwayat
miopia bukanlah faktor yang mempengaruhi kejadian miopia. Sebuah penelitian yang
di lakukan oleh Instituto Politecnico Nacional (IPN), Ex-Hacienda del Mayorazgo,
Kota Meksiko, Meksiko, melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara riwayat keluarga terhadap kejadian miopia pada anak dimana di dapatkan nilai
p=0,083, perbedaan ini mungkin karena variasi ukuran sampel pada penelitian dan
area dimana penelitian dilaksanakan (Garcia-Lievanos et al., 2018).
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara riwayat keluarga dengan anak yang menderita
miopia, faktor ini mungkin karena kurangnya kesadaran dan buta huruf tentang dan
pemeriksaan mata secara teratur, yang menyebabkan miopia tidak terdiagnosis (Kher
dan Patel, 2017).
Berdasarkan aktivitas dekat dengan layar menurut lama waktu yang di habiskan
saat menggunakan gadget di daerah perkotaan, hasil tertinggi didapatkan pada
kelompok yang menggunakan lama waktu 3-6 jam sebanyak 32 orang (43,2%).
Sedangkan pada daerah pedesaan di dapatkan hasil tertinggi dengan lama waktu <3
jam sebanyak 27 orang (42,2%). Meskipun begitu dari nilai p=0,883 diketahui tidak
terdapat hubungan antara lama penggunaan gadget terhadap kejadian miopia.
anak Amerika Serika yang berbeda dengan variable penelitian yang dilakukan di Asia
(Guo et al, 2016).
Berdasarkan aktivitas dekat dengan layar menurut posisi yang dilakukan saat
menggunakan gadget baik di perkotaan maupun di pedesaan hasil tertinggi yaitu pada
posisi berbaring sebanyak 25 orang (33,8%) dan 21 orang (32,8%), masing-masing.
Meskipun begitu tidak dijumpai adanya hubungan antara posisi menggunakan gadget
dengan kejadian miopia (nilai p=0,340).
Berdasarkan aktivitas dekat dengan layar menurut jarak saat menggunakan gadget
baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan, hasil tertinggi didapatkan pada
kelompok yang menggunakan jarak <30 cm sebanyak 59 orang (79,7%) dan 50 orang
(78,1%), masing-masing. Meskipun begitu dari nilai p=0,818 diketahui tidak terdapat
hubungan antara jarak penggunaan gadget terhadap kejadian miopia.
belajar seperti membaca, menggunakan komputer atau gadget atau menonton televisi
dibandingkan dengan anak yang tidak menderita miopia. Hal ini menyatakan bahwa
pengaruh jarak yang dekat dalam melakukan pekerjaan terhadap kejadian miopia
mungkinan datang dari aktivitas membaca bukan berdasarkan jaraknya (Huang et al.,
2015).
Hal ini sejalan dengan penelitian di Autralia di mana dijumpai adanya hubungan
yang signifikan antara aktivitas membaca yang di lakukan secara secara terus
menerus dengan jarak yang dekat (<30 cm) dengan kejadian miopia (p<0,001).
Sedangkan untuk faktor lamanya waktu yang dihabiskan untuk bekerja dalam jarak
yang dekat, seperti megerjakan Homework atau menggunakan komputer tidak
dijumpai hubungan yang signifikan dengan kejadian miopia.
Kemudian, Membaca secara terus menerus (>30 menit) adalah faktor yang
signifikan untuk kejadian miopia. Berdasarkan teori mengenai miopia, dinyatakan
bahwa jarak pembacaan yang dekat dapat memberikan sumber defocus hyperopic ke
mata dan bersamaan dengan respon akomodatif pada individu yang rentan, dapat
meningkatkan pertumbuhan mata yang analog dengan yang ditemukan pada model
binatang (Ip et al., 2008).
Berdasarkan aktivitas dekat dengan layar menurut intensitas cahaya saat
menggunakan gadget baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan, hasil tertinggi
didapatkan pada kelompok redup sebanyak 52 orang (70,6%) dan 33 orang (51,6%),
masing-masing. Meskipun begitu dari nilai p=0,055 diketahui tidak terdapat
hubungan antara intensitas cahaya saat menggunakan gadget terhadap kejadian
miopia.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian ningsih yang menyatakan bahwa
intensitas cahaya berpangaruh terhadap kejadian miopia. Disebabkan oleh akomodasi
dan konvergensi mata yang berlebihan ketika melihat layar gadget, hal ini timbul
karena terjadi stress intensif pada otot-otot akomodasi pada pekerjaan yang
memerlukan pengamatan secara teliti atau terhadap retina sebagai akibat
ketidaktepatan kontras cahaya. Pada cahaya yang redup antara layar dengan
lingkungan akan mengganggu fungsi akomodasi dan berakibat ketidak nyamanan
terhadap mata yang menyebabkan terjadinya miopia. Intensitas cahaya redup pada
gadget yaitu 640x360 pixel dan terang yaitu 960x560 pixel (Ningsih, 2017). Menurut
peneliti hal yang menyebabkan tidak terdapat hubungan antara kedua faktor ini di
karenakan responden pada penelitian ini di dominasi oleh tingkat pencahayaan
sedang, sedangkan penelitian sebelumnya di dominasi dengan tingkat pencahayaan
yang redup.
Berdasarkan aktivitas dekat tanpa layar menurut lama waktu yang di habiskan
saat membaca baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan, hasil tertinggi
didapatkan pada kelompok yang menggunakan lama waktu <3 jam sebanyak 42
orang (56,8%) dan 58 orang (90,6%). Diketahui p=0,000, artinya terdapat hubungan
antara lama membaca terhadap kejadian miopia.
otot siliaris mata sehingga mengakibatkan gangguan otot untuk melihat jauh (Rares et
al., 2016).
Berdasarkan aktivitas dekat tanpa layar menurut posisi yang dilakukan ketika
membaca baik di perkotaan maupun di pedesaan hasil tertinggi yaitu pada posisi
duduk sebanyak 33 orang (44,6%) dan 32 orang (50%), masing-masing. Meskipun
begitu tidak dijumpai adanya hubungan antara posisi ketika membaca dengan
kejadian miopia (nilai p=0,384).
Pendapat berdeda dari penelitian sebelumnya yang sejalan dengan penelitian ini,
yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara posisi
membaca terhadap kejadian miopia yang terlihat dari hasil nilai p=0,059. Mesipun
hasil yang di dapat berbeda, pada dasarnya kedua pendapat peneliti ini sama.
Membaca dengan posisi berbaring atau tidak dalam keadaan duduk membuat adanya
kecenderungan mata tidak berkerja secara seimbang, sehingga ada kecendrungan
untuk memaksa otot mata bekerja secara maksimal pada satu sisi dan mengakibatkan
kerusakan mata pada satu sisi. Posisi ini menyebab bola mata akan tertarik ke arah
bawah oleh otot bola mata seperti yang telah di jelaskan sebelumnya (Kistianti et al.,
2008).
Namun, masuk akal untuk menyimpulkan membaca dalam posisi duduk di masa
kanak-kanak tidak lebih disukai daripada posisi membaca lainnya. Juga dapat
dimengerti bahwa membaca, terutama ketika mengerjakan PR sekolah dan ketika
terlibat secara profesional, terutama akan dilakukan dalam posisi duduk dan membaca
di posisi lain terutama akan mungkin hanya ketika di waktu luang. Jawaban untuk hal
ini adalah terdapat pandangan bahwa banyak dari mereka yang terbiasa membaca
berbaring di masa kanak-kanak terus melakukannya di masa dewasa (Parssinen dan
Kauppinen, 2016).
Berdasarkan aktivitas dekat tanpa layar menurut jarak ketika membaca baik di
daerah perkotaan maupun di pedesaan, hasil tertinggi didapatkan pada kelompok
yang menggunakan jarak <30 cm sebanyak 55 orang (74,3%) dan 43 orang (67,2%),
masing-masing. Meskipun begitu dari nilai p=0,357 diketahui tidak terdapat
hubungan antara jarak ketika membaca terhadap kejadian miopia.
Masih tidak jelas mekanisme tentang adanya hubungan antara jarak membaca dan
miopia. Berbagai alasan yang ditujukan terkait hubungan ini, misalnya, akomodasi,
konvergensi dan pergerakan bola mata saat membaca. Menurut dari penelitian
sebelumnya dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan terhadap jarak
membaca dengan kejadian miopia. Namun, penelitian tersebut memberi pandangan
bahwa kelainan refraksi mata pada seseoranag yang menderita miopia terjadi karena
kebiasaan membaca dengan jarak yang dekat meskipun tanpa memakai kaca mata
(Parssinen dan Kauppinen, 2016).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian eksperimental yang dilakukan pada ayam
melaporkan bahwa lampu dengan intensitas (20.000-40.000 lux) dapat melindungi
terjadinya miopia dengan p <0,0001 (Karouta dan Ashby, 2015).
Aktivitas di luar ruangan yang tidak memadai dan paparan cahaya matahari yang
sedikit, berpotensi akan faktor risiko untuk terjadinya miopia. Dimana paparan
matahari diketahui dapat memberikan asupan vitamin D secara tidak langsung
sehingga sangat baik untuk kesehatan mata (Ding et al., 2015).
Namun pada penelitian ini tidak di dapatkan perbedaan proporsi yang signifikan
antara kedua faktor ini. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah
menunjukkan bahwa partisipasi dalam kegiatan di luar ruangan selama istirahat
memiliki efek yang signifikan pada perubahan rabun pada anak-anak non-miopia
tetapi tidak pada anak-anak miopia. Anak-anak dalam kelompok intervensi
diinstruksikan untuk berpartisipasi dalam kegiatan aktivitas dekat dan lebih banyak
kegiatan di luar ruangan, dengan demikian, mungkin perbedaan signifikan dalam
perkembangan miopia mungkin karena efek gabungan dari aktivitas di luar ruangan
dan aktivitas dekat daripada efek dari kegiatan luar ruangan saja. Temuan ini
membentuk dasar dari pesan kesehatan masyarakat yang penting, karena
meningkatkan waktu yang di habisakan di luar ruangan di temukan terbatas untuk
mencegah onset miopia dan pergeseran rabun jauh dari anak-anak yang belum miopia
(Xiong et al., 2017).
Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian ini di karenakan di dapatkan
hasil untuk daerah di pedesaan status ekonomi menengah kebawah yang memiliki
risiko menderita miopia yang lebih tinggi, sedangkan pada daerah perkotaan di dapati
status ekonomi menengah yang memiliki risiko lebih besar untuk menderita miopia.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa diduga status
ekonomi menengah ke bawah memiliki pengetahuan lebih rendah dalam penegahan
miopia di banding kelompok dengan status ekonomi menengah ke atas (Rahimi et al.,
2015).
5.1 KESIMPULAN
50
Universitas Sumatera Utara
51
9. Lama aktivitas dekat tanpa layar terbanyak adalah kelompok <3 jam, di
perkotaan sebanyak 42 orang dan di pedesaan sebanyak 58 orang.
10. Posisi aktivitas dekat tanpa layar terbanyak adalah kelompok duduk, di
perkotaan sebanyak 33 orang dan di pedesaan sebanyak 32 orang.
11. Jarak aktivitas dekat tanpa layar terbanyak adalah kelompok <30 cm, di
perkotaan sebanyak 55 orang dan di pedesaan sebanyak 43 orang.
12. Intensitas cahaya aktivitas dekat tanpa layar terbanyak di perkotaan terdapat
pada kelompok sedang yaitu sebanyak 38 orang dan di pedesaan pada
kelompok terang yaitu sebanyak 31 orang.
13. Aktivitas di luar ruangan terbanyak adalah kelompok >2 jam, di perkotaan
sebanyak 50 orang dan di pedesaan sebanyak 34 orang.
14. Status ekonomi terbanyak di perkotaan terdapat pada kelompok menengah
yaitu sebanyak 37 orang dan di pedesaan pada kelompok menengah ke bawah
yaitu sebanyak 54 orang.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan terperinci yang mencakup semua
aspek faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian miopia.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan rutin dan edukasi pada siswa/i untuk mencegah
terjadinya peningkatan kejadian miopia.
3. Hasil penelitian juga sebaiknya dilaporkan kepada dinas pendidikan agar
kesadaran mengenai pencegahan terjadinya miopia bisa mencakup wilayah
yang lebih luas.
Agus, H. & Bahri, T. 2018, ‘Faktor Risiko Terjadi Miopia pada Siswa di SMA
Negeri 3 Banda Aceh’, JIM UNSYIAH, vol. 2, no. 3, pp. 1-10, [Online],
accessed 5 May, Available at:
http://www.jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/view/3906.
Departemen Pendidikan Nasional. 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2nd edn,
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta.
Ding, B.Y, Shih, Y.F., Lin, L.L.K., Hsiao, C.K. & Wang, I.J. 2017, ‘Myopia among
schoolchilren in East Asia and Singapore’, Survey of Ophthalmology, vol. 62,
no. 5, pp. 677-697.
Garcia-Lievanos, O., Sanchez-Gonzalez, L., Espinosa-Cruz, N., Hernandez-Flores,
L., Salmeron-Leal, L. & Rodriguez-Torres, H. 2016, ‘Myopia in
schoolchildren in a rural community in the State of Mexico, Mexico’, Clinical
Optometry, vol. 8, pp. 53-56.
Goss, D.A., Grosvenor, T.P., Keller, J.T., Marsh-Tootle, W., Norton, T.T., & Zadnik,
K. 2006, Care of the Patient with Myopia, American Optometric Association,
pp. 6,10.
Gunggenheim, J., Northstone, K., McMahon, G., Nesst, A., Deere, K., Mattocks, C.,
Pourcain, B. & Williams, C. 2012, ‘Time Outdoors and Phisical Activity as
Predictors of Incident Myopia in Childhoold: A Prospective Cohort Study’,
Investigative Opthalmology & Visual Science, vol. 53, no. 6, pp. 2856-2865,
[Online], accessed 5 May 2018, Available at:
https://iovs.arvojournals.org/article.aspx?articleid=2127681.
Guo, L., Yang, J., Mai, J., Du, X., Guo, Y., Li, P. & Zhang, W. H. 2016, ‘Prevalence
and associated factors of myopia among primary and middle school-aged
students: a school-based study in Guangzhou, Eye, vol. 30, no. 6, pp. 796-804.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2016, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 12th edn, EGC,
Jakarta.
Huang, H.M., Chang, D.S.T. & Wu, P.C. 2015, ‘The association between near work
activities and myopia in children—a systematic review and meta-
analysis’, PLOS ONE, vol. 10, no.10, pp. e0140419.
52
Ilyas, S. 2010, Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran,
2nd edn, CV. Sagung Seto, Jakarta.
Ilyas, S. 2010, Ilmu Penyakit Mata, 5nd edn, Badan Penerbit FK UI, Jakarta.
Ip, J.M., Saw, S.M., Rose, K.A., Morgan, I.G., Kifley, A., Wang, J.J. & Mitchell, P.,
2008, ‘Role of near work in myopia: findings in a sample of Australian school
children’, Investigative Ophthalmology & Visual Science, vol. 49, no.7, pp.
2903-2910.
Jin, J., Hua, W., Jiang, X., Wu, X., Yang, J., Gao, G., Fang, Y., Pei, C., Wang, S.,
Zhang, J., Tao, L. & Tao, F. 2015, ‘Effect to outdoor activity on myopia on
onset and progression in school-aged children in northeast china: the sujiatun
eye care study’, BMC Ophthalmology, vol. 15, no. 1, pp. 1-11.
Kalangi, W., Rares, L. & Sumual, V. 2016, ‘Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2014-Juli 2016’, Jurnal
KEDOKTERAN KLINIK (JKK), vol. 1, no. 1, pp. 1-9.
Karouta, C. & Ashby, R. 2015, ‘Correlation Between Light Levels and the
Development of Depriviation Myopia’, Investigative Opthalmology & Visual
Science, vol. 56, no.1, pp. 299-309.
Kher, P. & Patel, P. 2017, ‘Prevalence of Myopia and its Risk Factors in Rural
Schoolchildren’, IJRSMS, vol. 3, no. 1, pp. 29-33.
Kistianti, F., Sutono & Haryani. 2008, ‘Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Terjadinya Cacat Mata Miopia pada Mahasiswa’, JIK, vol. 3, no. 2, pp. 78-84.
Komariah, C. & A, N. 2014, ‘Hubungan Status Refraksi, dengan Kebiasaan
Membaca, Aktivitas di Depan Komputer, dan Status Refaksi Orang Tua pada
Anak Usia Sekolah Dasar’, Jurnal Kedokteran Brawijaya, vol. 28, no. 2, pp.
137-140.
Liang, C., Yen, E., Su, J., Lui, C., Chang, T., Park, N., Wu, M., Lee, S., Flynn, J. &
Juo, S. 2004, ‘Impact of Family History of High Myopia on Level and Onset
of Myopia’, Investigative Ophthalmology & Visual Science, vol. 45, no. 10,
pp. 3446-3452.
Mutti DO, Mittchell GL, Moeschberger ML, Jones LA, Zadnik K. 2002, ‘Parental
myopia, near work, school achievement and children’s refractive error’,
Investigative Ophthalmology & Visual Science, vol. 43, no. 12, pp. 3633-
3640. Available at:
https://iovs.arvojournals.org/article.aspx?articleid=2162292.
Ningsih, A. 2017, ‘Hubungan lama penggunaan, tampilan layar, dan posisi tubuh saat
menggunakan smarthphone terhadap keluhan mata pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang’, UMPALEMBANG, pp.
20.
Pärssinen, O. & Kauppinen, M. 2016, ‘Associations of reading posture, gaze angel
and reading distance with myopia and myopic progression’, Acta
Ophthalmologica, vol. 94, no. 8, pp. 775-779.
Piquette, N. & Boulet, C. 2012, ‘Visual Impediments to Learning’, Optometry &
Visual Performance, vol. 1, no. 4, pp. 118-128.
Primadiani, I.S. & Rahmi, F.L. 2017, ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Progsesivitas Miopia pada Mahasiswa Kedokteran’, JKD, vol. 6, no. 4, pp.
1505-1517, Available at:
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico.
Rahimi, M.B., Yanwirasti & Sayuti, K. 2015, ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Insiden Miopia Pada Siswa Sekolah Menengah Atas di Kota Padang’, Jurnal
Kesehatan Andalas, vol.4, no.3, pp. 901-907, [Online], accessed 18 March
2018, Available at:
http://jurnal.fk.unand.ac.id.
Rares, L., Tongku, Y. & Adile, A.V. 2016, ‘Kelainan refraksi pada pelajar SMA
Negeri 7 Manado’, Jurnal e-Clinic, vol. 4, no. 1, pp. 458-461, Available at:
https ://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/e clinic/article/download/1012/10601.
Riordan-Eva, P. 2011, Optics & Refraction. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology, 18th edn, Riordan-Eva, P. & Cunningham Jr., E.T., McGraw-
Hill Companies, U.S.A., pp. 689-695.
Rozi, A.H., Rosalina & Novitasari, D., 2015, ‘Hubungan Kebiasaan Membaca
dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan Anak Sekolah di SD Santo
Antonius 02 Banyumanik Semarang’, JGK, vol. 7, no. 16, pp. 174-181.
Saniman. 2013, ‘Efek Bekerja Dalam Jarak Dekat Terhadap Kejadian Miopia’, JKS,
vol. 13, no. 3, pp. 187-191.
Saw, SM., Gazzard, G., Koh D., Farook, M., Widjaja, D., Lee, J. & Tan, D.T.H.
2002, ‘Prevalence rates of refractive errors in Sumatra, Indonesia’,
Investigative Ophthalmology & Visual Science, vol. 43, no. 10, pp. 3174-
3180, [Online], accessed 21 June 2018, Available at:
https://iovs.arvojournals.org/pdfaccess.ashx?url=/data/journals/iovs/932900/
on 01/17/2019.
Saxena, R., Vashist, P., Tandon, R., Pandey, R., Bhardawaj, A., Gupta, V. & Meon,
V. 2017, ‘Incidence and progression of myopia and associated factors in urban
school childern in Delhi: The North India Myopia Study (NIM Study)’, PLOS
ONE, vol. 12, no. 12, pp. e0189774, [Online], accessed 16 May 2018,
Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0189774.
Sofiani, A. & Santik, Y.D.P. 2016, ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat
Miopia pada Remaja (Studi di SMA Negeri 2 Temanggung Kabupaten
Temanggung)’, Unnes Journal of Public Health, vol. 5, no. 2, pp. 176-185.
Steven, S. 2007, ‘The distance vision using a Snellen chart’, Community Eye Health
Journal, vol. 20, no. 63, pp. 52.
Tiharyo, I., Gunawan, W. & Suhardjo. 2008, ‘Pertambahan Miopia pada Anak
Sekolah Dasar Daerah Perkotaan dan Pedesaan di Daerah Istimewa
Yogyakarta’, JOI, vol. 6, no. 2, pp. 104-112.
World Health Organization. 2012, Global data on visual impairments 2010, WHO,
Switzerland, pp. 1-14.
WHO.int. 2012, Vision impairment and blindness. [Online], accessed 5 May 2018.
Available at:
http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/blindness-and-visual-
impairment.
Widodo, A. & Prillia, T. 2007, ‘Miopia Patologi’, JOI, vol. 5, no. 1, pp. 19-26.
Wu, P., Huang, H., Yu, H., Fang, P. & Chen, C. 2016, ‘Epidemiology of Myopia’,
APJO, vol. 5, no. 6, pp. 386-393.
Wulansari, D., Rahmi, F.L., & Nugroho, T. 2018, ‘Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Miopia pada Anak SD di Daerah Perkotaan dan Daerah Pinggiran
Kota’, JKD, vol. 7, no. 2, pp. 947-961.
Xiong, S., Sankaridurg, P., Naduvilath, T., Zang, J., Zou, H., Zhu, J., Lv, M., He, X.
& Xu, X. 2017, ‘Time spent in outdoor activities in relaition to myopia
prevention and control: a meta-analysis and systematic review’, Acta
Ophthalmologica, vol. 95, no. 6, pp. 551-566.
You, Q., Wu, L., Duan, J., Lou, Y., Liu, L., Li, X., Gao, Q., Wang, W., Xu, L., Jonas,
J. & Guo, X. 2012, ‘Factor Accociated with Myopia in School Childern in
China: The Beijing Childhoold Study’, PLOS ONE, vol. 7, no. 12, pp. 7-10.
Yu, L., Li, Z., Gao, J., Liu, J. & Xu, C. 2011, ‘Epidemiology, genetics and treatments
for myopia, Int J Ophthalmol, vol. 4 no. 6, pp. 658-669.
Riwayat Pelatihan:
1. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU 2015
2. Peserta PEKAN TA’ARUF FK USU 2015
Medan, 2018
Ttd,
KUESIONER PENELITIAN
Nama lengkap :
Jenis kelamin :
Tempat dan tanggal lahir :
Usia :
Agama :
Alamat :
No. HP :
E-mail :
Asal Sekolah :
Kelas :
Anak ke :
Jumlah saudara :
Jumlah saudara yang menderita rabun jauh :
Lingakarilah salah satu jawaban berikut menurut Anda yang paling sesuai
C. Kuesioner Diri
1. Berapa waktu rata-rata yang anda alokasikan dalam satu hari untuk membaca?
3. Berapa jarak yang anda alokasikan dari mata ke objek untuk membaca?
a. <30 cm b. >30 cm
Ket: Jika anda memilih lampu maka lingkarilah salah satu pilihan dibawah ini
1. Redup
2. Sedang
3. Terang
5. Berapa waktu rata-rata yang anda alokasikan dalam satu hari untuk
menggunakan gadget?
7. Berapa jarak yang anda alokasikan dari mata ke objek untuk menggunakan
gadget?
a. <30 cm b. >30 cm
9. Berapa waktu rata-rata yang anda alokasikan dalam satu hari untuk aktivitas
yang dilakukan di luar ruangan berupa olahraga, rekreasi, jalan-jalan, ataupun
kegiatan lain yang dilakukan area terbuka?
Isilah / Lingkarilah salah satu jawaban dari pertanyaan berikut, jika Anda tidak
tahu persis jawabannya, tanyakanlah hal berikut kepada orang tua Anda.
Nama Ayah :
Usia Ayah :
Pekerjaan :
a. < Rp 2.000.000
b. Rp 2.000.000 - Rp 5.000.000
c. > Rp 5.000.000
Nama Ibu :
Usia Ibu :
Pekerjaan :
a. < Rp 2.000.000
b. Rp 2.000.000 - Rp 5.000.000
c. > Rp 5.000.000
1. Jenis kelamin
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Significance (2- sided) sided)
sided)
Pearson Chi-Square .152a 1 .697
Continuity Correctionb .042 1 .837
Likelihood Ratio .152 1 .697
Fisher's Exact Test .716 .418
Linear-by-Linear
.151 1 .698
Association
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance
(2-sided)
Pearson Chi-Square 3.072a 2 .215
Likelihood Ratio 3.077 2 .215
Linear-by-Linear Association 2.521 1 .112
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance
(2-sided)
Pearson Chi-Square 2.157a 2 .340
Likelihood Ratio 2.186 2 .335
Linear-by-Linear Association .508 1 .476
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Significance (2- sided) sided)
sided)
Pearson Chi-Square .053a 1 .818
Continuity Correctionb .000 1 .983
Likelihood Ratio .053 1 .818
Fisher's Exact Test .837 .490
Linear-by-Linear
.053 1 .818
Association
N of Valid Cases 138
Count 19 33 12 64
Desa
% within Lokasi Penelitian 29.7% 51.6% 18.8% 100.0%
Lokasi Penelitian
Count 16 52 6 74
Kota
% within Lokasi Penelitian 21.6% 70.3% 8.1% 100.0%
Count 35 85 18 138
Total
% within Lokasi Penelitian 25.4% 61.6% 13.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance
(2-sided)
Pearson Chi-Square 5.810a 2 .055
Likelihood Ratio 5.854 2 .054
Linear-by-Linear Association .061 1 .804
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance
(2-sided)
Pearson Chi-Square 21.832a 2 .000
Likelihood Ratio 24.349 2 .000
Linear-by-Linear Association 14.132 1 .000
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance
(2-sided)
Pearson Chi-Square 1.914a 2 .384
Likelihood Ratio 1.941 2 .379
Linear-by-Linear Association 1.247 1 .264
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Significance (2- sided) sided)
sided)
Pearson Chi-Square .849a 1 .357
Continuity Correctionb .538 1 .463
Likelihood Ratio .848 1 .357
Fisher's Exact Test .452 .232
Linear-by-Linear
.843 1 .359
Association
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance
(2-sided)
Pearson Chi-Square 6.196a 2 .045
Likelihood Ratio 8.101 2 .017
Linear-by-Linear Association .686 1 .408
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Significance (2- sided) sided)
sided)
Pearson Chi-Square 3.005a 1 .083
Continuity Correctionb 2.430 1 .119
Likelihood Ratio 3.009 1 .083
Fisher's Exact Test .115 .059
Linear-by-Linear
2.984 1 .084
Association
N of Valid Cases 138
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-
sided)
Pearson Chi-Square 59.140a 2 .000
Likelihood Ratio 69.674 2 .000
Linear-by-Linear Association 55.202 1 .000
N of Valid Cases 138