2018
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/11021
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN PH URIN PADA PASIEN
BATU SALURAN KEMIH DI RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN TAHUN 2017
SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Oleh :
i
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku rektor Universitas Sumatera
Utara
2. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
3. dr. Fauriski Febrian Prapiska, Sp.U selaku dosen pembimbing skripsi yang
sudah memberikan banyak bimbingan dan masukan sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
4. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, AIFM dan dr. Sufitni, M.Kes, Sp.PA yang sudah
memberikan banyak arahan dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.
iii
9. SCORE PEMA FK USU, PEMA FK USU, serta kakak/abang senior dan adik-
adik junior lainnya yang sudah mendukung serta berbagi banyak hal selama
menjalani proses perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
10.Civitas Akademika FK USU, RSUP HAM Medan, dan pihak lainnya yang telah
membantu penulis selama proses penyelesaian skripsi yang tidak disebutkan satu
per satu disini.
Penulis menyadari bahwa hasil skripsi ini memiliki banyak kekurangan baik
dalam segi materi maupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi
ini.
Penulis
iv
vi
vii
viii
ix
Latar Belakang. Penyakit batu saluran kemih (BSK) merupakan kondisi terbentuknya massa padat
di sepanjang saluran kemih, yang dapat menyumbat dan mengganggu sistem perkemihan. Angka
kejadian BSK semakin meningkat seiring semakin tingginya prevalensi obesitas di masyarakat,
termasuk di Indonesia. Pembentukan batu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah
faktor urin seperti pH urin. pH urin dipengaruhi oleh banyak hal, dan obesitas diduga dapat
memengaruhi pH urin. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti ada tidaknya hubungan
antara obesitas dengan pH urin pada pasien batu saluran kemih di RSUP H. Adam Malik Medan
tahun 2017. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik menggunakan desain cross-
sectional dengan teknik pengambilan sampel purposive-sampling. Data diperoleh secara sekunder
dari rekam medis pasien BSK di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2017 dan kemudian
dianalisis dengan uji chi-square. Hasil. Sampel penelitian berjumlah 81 buah rekam medis pasien
BSK, dari jumlah kasus sepanjang 2017 sebanyak 127 kasus. Kejadian BSK ditemukan lebih banyak
pada kelompok tanpa obesitas daripada kelompok dengan obesitas yaitu 53 orang (65,4%), dengan
pH urin <6 daripada >6 yaitu 66 orang (81,5%), pada laki-laki daripada perempuan yaitu 48 orang
(59,3%), serta paling banyak pada usia lebih tua (50-58 tahun) yaitu 35 orang (43,2%) dan IMT
normoweight yaitu 37 orang (45,7%). Penurunan pH urin pada peningkatan IMT tidak begitu nyata
yakni hanya selisih 0,01 dan 0,02. Pada uji hipotesis didapati nilai p>0,05, dan RP>1. Kesimpulan.
Tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan pH urin.
xi
PENDAHULUAN
Penyakit batu saluran kemih merupakan kondisi dimana terbentuk kalkulus urin
pada saluran kemih baik pada ginjal, ureter, kandung kemih, maupun uretra (Pearle
et al., 2007). Penyakit batu saluran kemih, atau yang selanjutnya akan disingkat
dengan BSK, adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan
substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena
faktor lain yang memengaruhi daya larut substansi (Menon et al., 2002).
Penyebab terjadinya BSK masih belum diketahui secara pasti. Worcester dan
Coe (2010) berpendapat bahwa penyebab BSK adalah idiopatik. Secara
epidemiologis, terdapat dua faktor yang mempermudah (faktor predisposisi)
terbentuknya BSK yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor Intrinsik
merupakan faktor yang berasal dari individu sendiri seperti herediter, umur, dan
jenis kelamin. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar individu seperti
geografi daerah, iklim dan tempreratur, jumlah asupan air, diet, pekerjaan dan
aktivitas fisik, kebiasaan menahan buang air kecil, dan obesitas (Purnomo, 2011).
Obesitas sering kita temukan dan prevalensinya juga terus meningkat di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2013),
prevalensi obesitas penduduk Indonesia meningkat yakni dari 7,8% pada tahun
2010 menjadi 19,7% pada pria dewasa (usia >18 tahun), dan dari 15,5% pada tahun
2010 menjadi 32,9% pada wanita dewasa (usia >18 tahun). Dari tahun 1975 sampai
2016, prevalensi obesitas di dunia meningkat hampir sebanyak tiga kali lipat,
dimana sekitar 13% penduduk dewasa dunia mengalami obesitas pada tahun 2016
(WHO, 2017). Bila terdapat hubungan antara obesitas dan BSK, maka BSK akan
menjadi ancaman morbiditas oleh karena terus meningkatnya prevalensi obesitas di
masyarakat.
Hubungan antara obesitas dan BSK dilaporkan oleh beberapa studi yang pernah
dilakukan sebelumnya. Penelitian cohort prospective selama 4 tahun yang
dilakukan oleh Semins, et al (2010) di Amerika menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara obesitas (IMT ≥30 kg/m²) dengan BSK. Penelitian lainnya yang
serupa dilakukan oleh Ghazaleh dan Budair (2013) di Jordan selama 5 tahun (2006-
2011) menemukan bahwa 68.1% pasien BSK mengalami obesitas dan overweight.
Namun demikian, terdapat pula beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang
kontradiktif. Penelitian di Jerman oleh Wrobel et al. pada tahun 2012 menunjukkan
tidak adanya hubungan antara obesitas dengan BSK, khususnya batu kalsium.
Penelitian di Ponorogo, Indonesia, pada tahun 2014 oleh Anhar dan Widianto
menyatakan bahwa indeks massa tubuh (IMT) tidak memiliki hubungan dengan
terjadinya BSK.
Untuk menilai hubungan antara obesitas dan BSK, harus diketahui dampak
asupan makanan dengan litogenisitas urin, juga pengaruhnya terhadap perubahan
metabolisme yang berhubungan langsung dengan obesitas (Wein et al., 2012).
Siener et al. (2004) menemukan bahwa peningkatan IMT memengaruhi
homeostasis urin dengan meningkatkan faktor-faktor yang mendorong
pembentukan batu, seperti penurunan pH urin serta peningkatan ekskresi kalsium
dan asam urat dalam urin. Menurut penelitian oleh Taylor dan Curhan (2006), IMT
yang tinggi berhubungan dengan penurunan pH urin, peningkatan ekskresi kalsium
oksalat dan asam urat, tetapi tidak terdapat perbedaaan yang cukup besar pada
supersaturasi kalsium oksalat dalam urin untuk menjelaskan peningkatan risiko
batu saluran kemih.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah obesitas dapat
meningkatkan insidensi BSK dikarenakan pengaruhnya terhadap pH urin. Atas
dasar inilah peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara
obesitas dengan pH urin pada pasien batu saluran kemih di RSUP Haji Adam Malik
Medan pada tahun 2017.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah : adakah hubungan antara obesitas
dengan pH urin pada pasien batu saluran kemih di RSUP Haji Adam Malik Medan
pada tahun 2017?
Untuk melihat hubungan obesitas dengan pH urin pada pasien batu saluran
kemih di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2017.
1. Untuk mengetahui karakteristik usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, dan
pH urin pasien batu saluran kemih di RSUP Haji Adam Malik Medan pada
tahun 2017.
2. Untuk mengetahui jumlah pasien batu saluran kemih di RSUP Haji Adam
Malik Medan pada tahun 2017
3. Untuk mengetahui jumlah pasien batu saluran kemih dengan obesitas di RSUP
Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017
4. Untuk mengetahui nilai pH urin pada pasien batu saluran kemih dengan
obesitas di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017
a. Bagi peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah guna menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai ada tidaknya hubungan antara obesitas dan pH urin
pada pasien batu saluran kemih, serta dapat memanfaatkan nya dalam
masyarakat.
b. Bagi institusi pendidikan
Manfaat penelitian ini bagi institusi pendidikan adalah guna menambah bahan
kepustakaan dari institusi pendidikan terkait, dan sebagai bahan dasar atau
pedoman untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai hubungan obesitas
dan pH urin pada pasien batu saluran kemih.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penyakit batu saluran kemih (BSK) adalah suatu kondisi dimana dalam
saluran kemih individu terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin
(Mehmed dan Ender, 2015). Menurut Grace dan Borley (2006), BSK merupakan
obstruksi benda padat pada saluran kencing yang terbentuk karena faktor
presipitasi endapan dan senyawa tertentu. Terdapatnya massa batu di sepanjang
saluran kemih dapat mengganggu aliran urin yang dihasilkan ginjal untuk
dikeluarkan dari tubuh. Batu yang berukuran kecil dapat dikeluarkan secara
spontan dari tubuh melalui urin, sehingga tidak menimbulkan masalah. Namun
jika ukuran batu nya cukup besar, batu tersebut dapat menyumbat saluran kemih
saat menuruni bagian ureter yang menyempit, sehingga penyakit batu saluran
kemih disebut sebagai penyakit penyebab obstruksi saluran kemih, disamping
tumor atau neoplasma lainnya.
Batu saluran kemih dapat terbentuk mulai dari ginjal sampai uretra, sehingga
terdapat beberapa terminologi untuk mendefinisikan batu saluran kemih menurut
letak batu nya (Gambar 2.1), yaitu : (Prabowo dan Pranata, 2014)
Gambar 2.1 Letak batu di sepanjang saluran kemih (Urological Associates of the Piedmont, 2018).
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi dan komposisi BSK berbeda di setiap negara tergantung ilkim, diet,
genetik, dan faktor sosioekonomi (Selimoglu et al., 2013). Menurut data National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2007-2010, sekitar
19% pria dan 9% wanita akan mengalami setidaknya satu kali kejadian BSK
dalam hidupnya. Menurut data riskesdas (2013), prevalensi batu ginjal
berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia adalah sebesar 0,6%.
2.1.3 Klasifikasi
1. Batu kalsium
Batu kalsium merupakan jenis yang paling banyak, mencapai 70%. Tersusun
oleh kalsium oksalat atau kalsium oksalat yang bercampur dengan kalsium fosfat.
Terdiri dari tipe monohidrat (whewellite) yang berwarna cokelat/hitam dengan
konsentrasi asam oksalat yang tinggi pada air kemih, dan tipe dihidrat (weddllite)
yang berwarna kuning dan lebih mudah hancur. Batu kalsium berhubungan
dengan pasien dengan hiperkalsemia dan hiperkalsiuria, seperti pada
hiperparatiroidisme, diffuse bone disease, dan sarkoidosis.
2. Batu struvit
Batu struvit mencakup sekitar 15% kasus. Batu ini disebut dengan triple
stones karena tersusun oleh magnesium amonium fosfat. Batu struvit dapat
terbentuk setelah mengalami infeksi saluran kemih oleh bakteri golongan
pemecah urea (urea splitter) yang dapat menghasilkan enzim urease yang
membasakan urin, seperti Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobacter,
Pseudomonas, dan Staphylococcus.
Batu asam urat terbentuk pada sekitar 5-10% kasus. Batu asam urat tersusun
oleh asam urat, sehingga beberapa keadaan yang meningkatkan ekskresi asam
urat, seperti kebiasaan mengonsumsi alkohol dan diet tinggi protein, dapat
memperbesar peluang BSK jenis ini. Batu asam urat juga lebih mudah terbentuk
pada pH urin dibawah 5,5, karena asam urat tidak larut di dalam urin yang asam.
4. Batu sistein
Batu sistin jarang terjadi, yakni hanya pada 1-2% kasus BSK. Terbentuknya
batu sistin disebabkan oleh defek genetik pada proses reabsorbsi ginjal terhadap
asam amino, yang termasuk adalah sistein, yang selanjutnya menjadi sisteinuria.
Batu sistein juga terbentuk pada pH urin yang rendah.
Identifikasi jenis batu pada penderita BSK penting secara klinis karena
memberikan kita informasi tentang prognosis dan pemilihan rejimen pencegahan
yang optimal. Batu infeksius, jika tidak ditangani dengan tepat, mengakibatkan
konsekuensi yang buruk dan bisa menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir
(Curhan, 2015).
baya berkulit putih, tetapi juga dapat terjadi pada anak-anak maupun
orangtua. Pria lebih berisiko daripada wanita, dan usia puncak munculnya
diantara 20-30 tahun (Alpers dan Chang, 2015). Kenaikan berat badan
juga meningkatkan risiko BSK. Lingkungan dan pekerjaan juga
berpengaruh bila menurunkan volume urin, seperti bekerja di lingkungan
bersuhu panas atau kurangnya akses terhadap air atau kamar mandi.
c. Faktor urinaria
Volume urin
Volume urin yang sedikit akan meningkatkan konsentrasi faktor-faktor
pembentuk batu, dan merupakan faktor yang dapat diubah, baik untuk
mencegah terbentuknya batu, maupun mencegah muncul kembalinya
batu.
Kalsium urin
Ekskresi kalsium urin yang tinggi (hiperkalsiuria) akan mempermudah
pembentukan batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Tidak ada nilai
cut-off yang ditetapkan untuk membedakan ekskresi kalsium urin yang
normal dan tidak normal. Absorpsi kalsium melalui pencernaan yang
tinggi, bone-turnover yang besar, primary renal calcium-loss dengan
konsentrasi kalsium serum yang lebih rendah dan peningkatan level
hormon paratiroid (PTH), meningkatkan ekskresi kalsium urin.
Oksalat urin
Ekskresi oksalat urin yang tinggi (hiperoksaluria) akan mempermudah
pembentukan batu kalsium oksalat. Tidak ada nilai cut-off yang
ditetapkan untuk membedakan ekskresi oksalat urin yang normal dan
tidak normal. Oksalat urin berasal dari produksi endogen serta
makanan, dimana yang besar pengaruhnya dan bias diubah adalah
oksalat yang diperoleh dari makanan.
Sitrat urin
Sitrat urin merupakan inhibitor alami untuk batu-batu yang
mengandung kalsium, dengan demikian ekskresi sitrat urin yang
Faktor risiko lainnya pada wanita adalah kehamilan, dimana selama itu saluran
kemih wanita melebar sehingga stasis urin lebih umum terjadi, riwayat menderita
BSK atau riwayat keluarga, obat-obatan tertentu, konsumsi vitamin C berlebihan,
konsumsi kalsium yang rendah, diare kronis, dan dehidrasi (Kirby dan Lentz,
2017).
BSK bisa disebabkan oleh berbagai macam penyebab yang mengarah kepada
peningkatan ekskresi kalsium, oksalat, dan asam urat dalam urin (Shekarriz and
Stoller, 2002). Penyebab lainnya mencakup pH urin yang rendah (<5,5), volume
urin yang rendah oleh karena kehilangan cairan, obat-obatan (loop-diuretics,
vitamin D, salisilat, probenecid, dan indinavir), gangguan metabolik dan turunan
(primary hyperoxaluria dan batu sistin), asidosis renal tubular (ART), dan
kelainan anatomis dengan atau tanpa ISK kronis.
harus membuang zat-zat yang kelarutannya rendah. Ketika urin jenuh dengan zat-
zat yang tidak dapat larut, karena laju ekskresi nya berlebihan dan/atau karena
penyerapan kembali air terlalu tinggi, terbentuklah kristal dan beragregasi
membentuk batu.
a. Supersaturasi
Kalsium, oksalat, dan fosfat membentuk banyak kompleks larut dan juga
dengan substansi lain, seperti sitrat. Hasilnya, aktivitas ion bebas mereka menjadi
dibawah konsentrasi kimia. Supersaturasi urin dapat meningkat oleh karena
dehidrasi atau karena ekskresi kalsium, oksalat, fosfat, sistin, atau asat urat yang
berlebihan. pH urin juga penting; fosfat dan asam urat adalah asam yang
berdisosiasi dengan mudah pada rentang pH urin fisiologis.
b. Kristalisasi
Menurut Grace dan Borley (2006), teori dalam pembentukan batu saluran
kemih adalah sebagai berikut:
1. Teori Nukleasi
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari inti batu yang
membentuk kristal atau benda asing. Inti batu yang terdiri dari senyawa jenuh
yang lama kelamaan akan mengalami proses kristalisasi sehingga pada urin
dengan kepekatan tinggi lebih beresiko untuk terbentuknya batu karena mudah
sekali untuk terjadi kristalisasi.
Batu saluran kemih terjadi akibat tidak ada atau berkurangnya faktor inhibitor
(penghambat) yang secara alamiah terdapat dalam sistem urinaria dan berfungsi
untuk menjaga keseimbangan serta salah satunya adalah mencegah terbentuknya
endapan batu. Penurunan senyawa penghambat tersebut mengakibatkan proses
kristalisasi akan semakin cepat dan mempercepat terbentuknya batu (reduce of
crystalize inhibitor).
Tabel 2.1 Inhibitor alami pembentukan batu (Sakhaee dan Moe, 2016).
Jenis Inhibitor
Inorganik Magnesium pirofosfat
Anion organik kecil Sitrat
Bikunin, Calgranulin, FK-binding protein 12, Lithistatin,
matrix-Gla protein, Nephrocalcin, Osteopontin, Tamm-
Makromolekul
Horsfall protein, urinary prothrombin fragment F12,
Urinary trefoil factor 1
Pada penderita BSK sering didapati penyakit hipertensi dan kadar kolesterol
darah yang tinggi. Oleh karena itu, Stoller mengemukakan teori vaskuler untuk
terjadinya BSK, yaitu : (Purnomo, 2012)
1. Hipertensi
2. Kolesterol
Adanya kadar kolesterol yang tinggi dalam darah akan disekresikan melalui
glomerulus ginjal dan tercampur di dalam air kemih. Adanya butiran kolesterol
tersebut akan merangsang agregasi dengan kristal kalsium oksalat dan kalsium
fosfat sehingga terbentuk batu yang bermanifestasi klinis (teori epitaksi).
Gejala sering muncul ketika batu berpindah dari ginjal menuju ke ureter.
Nyeri terjadi pada sisi yang sama dengan letak batu dan bervariasi, mulai dari
nyeri tumpul sampai kepada nyeri yang hebat, yang disebut kolik renal. Nyeri
pinggang, nyeri perut bagian bawah, dan nyeri selangkangan bisa terjadi;
lokasinya dapat bervariasi seiring batu menuruni ureter dengan nyeri yang
menyebar menuju selangkangan, dengan intensitas yang dapat meningkat dengan
cepat. Nyeri dapat menyebar ke anterior jika batu terletak di bagian atas ureter,
sedangkan penyebaran nyeri ke testis atau labium ipsilateral terjadi jika batu
terletak di bagian bawah ureter.Keluhannya sering diawali dengan nyeri
mendadak pada pinggang dan unilateral. Nyeri sering disertai dengan mual dan
terkadang muntah. Hematuria mikroskopik maupun makroskopik juga biasanya
muncul (Kirby dan Lentz, 2017; Curhan, 2015).
2.1.7 Diagnosis
rendah, yang juga dapat dilakukan adalah USG ginjal atau radiografi KUB
(Kidney, Ureter, Bladder X-ray) (Curhan, 2015).
2.2 Obesitas
Tabel 2.2 Klasifikasi IMT berdasarkan kriteria Asia Pasifik (WHO, 2000).
Klasifikasi IMT
Berat badan kurang < 18,5
Kisaran normal 18,5 - 22,9
Berat badan lebih ≥ 23
Berisiko 23 - 24,9
Obesitas I 25 - 29,9
Obesitas II ≥ 30
2.3 pH Urin
pH urin diukur melalui tes urin, atau yang disebut urinalisis, menggunakan
dipstick test. Normalnya pH urin berada pada rentang 4,5 – 7,8. pH urin berguna
dalam diagnosis kelainan asam-basa sistemik jika digabung dengan pemeriksaan
lainnya. Urin yang sangat basa (pH>7,0) mengesankan adanya infeksi oleh
organisme pemecah urea (urea-splitting), seperti Proteus mirabilis. Terapi
diuresis, muntah, kumbah lambung, dan terapi basa juga dapat membuat pH urin
tinggi. Urin yang asam (pH <5,0) sering ditemukan pada keadaan asidosis
metabolik (Chau et al., 2016).
Berdasarkan penelitian oleh Taylor et al. (2005) yang dilakukan pada tiga
kelompok studi, HPFS (Health Professional Follow-up Study), NHS I (Nurses’
Health Study I), NHS II (Nurses’ Health Study II), ditemukan bahwa peningkatan
berat badan meningkatkan risiko relatif (RR) BSK. Risiko relatif ini disesuaikan
dengan umur, penggunaan diuretik golongan tiazid, konsumsi alkohol,
penggunaan suplemen kalsium, serta asupan cairan, protein hewani, kalsium,
magnesium, kalium, natrium, dan vitamin C (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Obesitas dan risiko relatif BSK (Taylor et al., 2005).
Gambar 2.4 Korelasi antara pH urin dan IMT (Li et al., 2009).
Powell et al. (2000) membandingkan unsur kimia batu pada pasien obesitas
(laki-laki >120kg dan wanita >100kg), dan menemukan bahwa pasien BSK
dengan obesitas mengekskresikan kalsium, oksalat, dan asam urat yang tinggi,
serta pH urin yang lebih rendah. Kadar natrium dan sulfat dalam urin juga lebih
tinggi, dimana semakin tinggi kadar natrium dalam urin, akan semakin tinggi juga
kadar kalsium nya, dan juga meningkatkan risiko pembentukan batu kalsium. Hal
ini terjadi karena transport natrium terjadi bersamaan dengan transport kalsium
pada ginjal. Ekskresi natrium dan sulfat berkaitan dengan konsumsi makanan
tinggi garam dan protein, maka diduga bahwa keadaan tersebut berhubungan
dengan kecenderungan mengonsumsi makanan tinggi garam, dan protein yang
berlebihan.
Ketika pH urin secara signifikan lebih rendah dari 6,0, terjadi peningkatan
risiko pembentukan batu asam urat, karena asam urat tidak larut dengan baik
dalam pH yang rendah. Ketika pH urin secara signifikan lebih tinggi dari 6,0,
terjadi peningkatan risiko pembentukan batu kalsium fosfat (Gambar 2.5)
(Halperin et al., 2010).
Sebuah penelitian yang dilakukan Iba et al. (2010) pada subjek penelitian
tikus menemukan bahwa peningkatan berat badan, trigliserida serum, kadar
glukosa darah, dan insulin, mengakibatkan penurunan pH urin dan ekskresi sitrat
urin dengan disertai adanya peningkatan yang signifikan pada ekskresi asam urat
dan kalsium. Keadaan ini meningkatkan risiko terjadinya BSK.
Faktor Diet
- Kalsium
- Oksalat
- Protein hewani
- Natrium
- Vitamin C
- Asupan cairan
Faktor Non-Diet
- Umur
- Ras
- Ukuran tubuh
- Kondisi sistemik Obesitas
tubuh
- Lingkungan
Supersaturasi Batu
- Genetika
Saluran
Kristalisasi Kemih
Faktor Urinaria
- Volume urin
- Kalsium urin pH urin
- Oksalat urin
- Sitrat urin
- Asam urat urin
- pH urin
Obesitas pH urin
2.7 Hipotesis
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan. Waktu pelaksanaannya adalah selama bulan Mei hingga Desember 2018.
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rekam medis pasien BSK di
Departemen Ilmu Bedah Divisi Urologi RSUP Haji Adam Malik Medan tahun
2017.
3.3.2 Sampel
1. Rekam medis pasien BSK minimal memiliki data berat badan, tinggi
badan, dan pH urin
25
3.4.1 Metode
3.4.2 Alat
Rekam medis untuk melihat data berat badan dan tinggi badan untuk
menghitung IMT dan melihat nilai pH urin hasil dipstick test.
1. Obesitas dalam penelitian ini adalah nilai indeks massa tubuh diatas
25kg/m² yang dilihat dari data rekam medis.
2. pH urin dalam penelitian adalah nilai keasaman urin yang dilihat dari data
rekam medis.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik
Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No.17 KM 12, Kelurahan Kemenangan,
Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara, dan dibangun diatas
tanah seluas ± 10 Ha. RSUP Haji Adam Malik Medan sudah beroperasi sejak
tanggal 17 Juni 1991, namun baru diresmikan pada tanggal 21 Juli 1993 oleh
Presiden RI saat itu, Bapak H. Soeharto (RSUP HAM, 2018).
RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit umum kelas A
berdasarkan Keputusan Menkes RI No. HK.02.03/I/0913/2015 tanggal 27 Maret
2015, rumah sakit rujukan nasional untuk wilayah pembangunan A yang meliputi
Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau, serta rumah sakit
pendidikan berdasarkan Keputusan Menkes RI No.502/Menkes/IX/1991 tanggal 6
September 1991 (RSUP HAM, 2018).
RSUP Haji Adam Malik Medan menyediakan berbagai fasilitas yaitu pelayanan
medis, pelayanan penunjang medis, pelayanan penunjang medik, serta pelayanan
non-medis. Pelayanan medis terdiri dari instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan
intensif, gawat darurat, bedah pusat, dan hemodialisa. Pelayanan penunjang medis
terdiri dari instalasi diagnostik terpadu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi,
dan rehabilitasi medik. Pelayanan penunjang medik terdiri dari instalasi gizi,
farmasi, CSSD, bioelektromedik, dan PKMRS. Pelayanan non-medis terdiri dari
instalasi tata usaha pasien, teknik sipil, dan pemulasaran jenazah. Instalasi tata
usaha pasien ini mencakup instalasi rekam medis yang menjadi lokasi penyimpanan
seluruh rekam medis yang menjadi subjek dalam penelitian ini.
28
Pada penelitian ini yang menjadi responden (subjek penelitian) adalah data
rekam medis pasien rawat inap di Divisi Urologi Departemen Ilmu Bedah RSUP
Haji Adam Malik Medan tahun 2017. Dari 127 kasus BSK sepanjang tahun 2017,
diperoleh sampel yang memenuhi kriteria penelitian sejumlah 81 buah rekam
medis. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin,
usia, indeks massa tubuh (IMT), serta pH urin.
Pada tabel 4.1 dapat dilihat distribusi frekuensi penderita BSK berdasarkan jenis
kelamin dan ditemukan bahwa frekuensi BSK lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan, dengan perbandingan laki-laki:perempuan=1,5:1.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa salah satu faktor intrinsik penyebab terjadinya
BSK adalah jenis kelamin, dimana penderita BSK dengan jenis kelamin laki-laki
tiga kali lebih banyak dibandingkan perempuan (Purnomo, 2012). Kemudian
penelitian oleh Suryanto dan Subawa (2017) pada 141 sampel ditemui
perbandingan yang lebih signifikan antara laki-laki dan perempuan yaitu sebesar
2,9:1. Perbandingan yang tidak begitu besar pada penelitian ini mungkin
disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel dan lamanya waktu penelitian yang
relative lebih kecil dan singkat dalam penelitian ini.
Pada tabel 4.1 dapat dilihat distribusi frekuensi penderita batu saluran kemih
berdasarkan usia dan ditemukan bahwa penderita BSK berusia mulai dari 5 tahun
hingga 69 tahun, dengan rata-rata usia adalah 48 tahun dan nilai tengah usia
penderita adalah 51 tahun. Bila diperhatikan berdasarkan kelompok usia, frekuensi
terendah didapati pada usia muda (<31 tahun) yaitu 7,4%, kemudian meningkat
pada kelompok usia berikutnya, sampai kepada frekuensi tertinggi yaitu pada
kelompok usia yang lebih tua (50-58 tahun) yaitu 43,2%.
Hal ini dapat dikatakan sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Alpendri dan
Danarto (2013) di RS dr. Sardjito Yogyakarta yang menemukan bahwa frekuensi
BSK terbanyak terdapat pada kelompok usia 40-59 tahun, serta penelitian di RSUP
Sanglah di Denpasar oleh Suryanto dan Subawa (2017) yang menemukan bahwa
frekuensi terkecil ditemukan pada usia <30 tahun (7,8%) dan terbesar pada usia >50
tahun (53,2%).
Pada tabel 4.1 dapat dilihat distribusi frekuensi penderita batu saluran kemih
berdasarkan IMT dan ditemukan bahwa penderita BSK paling sedikit ditemukan
dengan IMT underweight (1,2%) dan paling banyak ditemukan dengan IMT
normoweight (45,7%). Apabila penderita BSK tersebut dibagi berdasarkan status
obesitasnya, maka terdapat 28 orang (34,6%) dengan obesitas, dan 53 orang
(65,4%) tanpa obesitas.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Taylor et al. (2005) yang
menemukan bahwa peningkatan berat badan (IMT) akan meningkatkan risiko
relatif BSK, karena pada penelitian ini ditemukan frekuensi BSK tertinggi tidak
terdapat pada IMT obese melainkan pada IMT normoweight. Hal ini juga tidak
sesuai dengan studi kasus oleh Lina (2008) yang menemukan penderita BSK laki-
laki pada kelompok dengan riwayat obesitas lebih tinggi (54,55%) dibandingkan
pada kelompok tanpa riwayat obesitas (45,45%). Akan tetapi, penelitian ini sejalan
dengan penelitian oleh Anhar dan Widianto (2014) di RS Muslimat Ponorogo yang
menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara nilai IMT yang tinggi terhadap
kejadian BSK, demikian pun dengan kontrol IMT normal dan kontrol IMT rendah.
Pada tabel 4.1 dapat dilihat distribusi frekuensi penderita batu saluran kemih
berdasarkan pH urin dan ditemukan frekuensi penderita BSK lebih banyak dengan
pH urin <6 (81,5%) daripada pH urin >6 (18,5%), dimana nilai pH=6 dikategorikan
sebagai pH <6. Pada tabel 4.2 dapat dilihat distribusi frekuensi nilai pH urin sampel
yaitu mulai dari pH 5 hingga pH 8,5, dengan nilai pH urin terbanyak adalah 6
(46,9%), dan rata-rata pH urin adalah 5,92.
Nilai pH urin merupakan salah satu faktor risiko pembentukan batu dimana pH
urin memengaruhi saturasi urin. Perubahan pH urin dapat berdampak drastis
terhadap fosfat monovalen atau divalen dan rasio urat/asam urat (Sakhaee & Moe,
2016). Nilai pH urin yang rendah pada sampel dapat meningkatkan risiko
pembentukan batu asam urat, namun karena tidak dilakukan analisis terhadap
komposisi batu, kita tidak menyimpulkan bahwa pH urin yang rendah tersebut
berhubungan dengan jenis batu.
6
5.9
5.8
5.7
pH Urin
5.6
5.5
5.4
5.3
5.2
Underweight Normoweight Overweight Obese
Kategori IMT
Pada gambar 4.3 dapat dilihat nilai rata-rata pH urin pada masing-masing
kelompok IMT, yakni 5,5 pada IMT underweight, 5,94 pada IMT normoweight,
5,93 pada IMT overweight, dan 5,91 pada IMT obese. Terdapat penurunan pH urin
dari IMT normoweight terhadap IMT overweight dan obese, namun sangat kecil
yaitu hanya selisih 0,01 dan 0,02 poin, dan tidak sesignifikan penurunan pH urin
pada penelitian oleh Li et al. (2009) dengan rata-rata pH urin yaitu 6,25, 6,14, dan
6,0 pada normoweight, overweight, dan obese. Penurunan pH urin yang sangat kecil
pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh jumlah sampel yang relatif sedikit,
serta faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan nilai pH urin karena nilai pH urin
sendiri tidak hanya dipengaruhi oleh berat badan (IMT) saja.
pH urin
Total
<6 >6 P value RP
N % N % N %
Ya 25 89,3 3 10,7 28 34,6
Obesitas 0,189 1,16
Tidak 41 77,4 12 22,6 53 65,4
Total 66 15 81 100
Pada tabel 4.4 dapat dilihat jumlah dan persentase sampel berdasarkan pH urin
dan status obesitasnya dan ditemukan pH urin pada kelompok obesitas didominasi
oleh pH urin yang rendah (89,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Li et al.
(2009) yang menyatakan bahwa pH urin berbanding terbalik dengan IMT pada
penderita BSK, yang berarti kelompok obesitas akan memiliki pH urin yang lebih
rendah. Selain itu, pada tabel 4.4 juga ditemukan pH urin yang rendah (<6)
ditemukan lebih banyak pada kelompok tanpa obesitas (62,1%) daripada kelompok
obesitas (37,9%). Sebaliknya, hal ini tidak sesuai dengan penelitian oleh Li et al.
(2009) yang mana seharusnya sampel dengan IMT yang lebih tinggi (kelompok
obesitas) didominasi oleh pH urin <6, dan sampel dengan IMT yang lebih rendah
(kelompok tanpa obesitas) didominasi oleh pH urin >6.
pH urin <6 pada kelompok tanpa obesitas mungkin disebabkan oleh faktor lain,
karena pH urin tidak hanya dipengaruhi oleh obesitas. Penurunan pH urin dapat
disebabkan oleh banyak hal lainnya, seperti pola diet mengkonsumsi makanan
tinggi protein hewani atau buah-buahan tertentu seperti cranberri, diare kronis
akibat kekurangan kalium, konsumsi obat-obatan tertentu seperti amonium klorida,
asam askorbat, kortikotropin, atau mungkin batu yang terdapat pada pasien adalah
batu asam urat (Chernecky & Berger, 2013).
Hasil pada tabel 4.4 tersebut selanjutnya dilakukan uji chi square dan
didapatkan nilai p value (nilai signifikansi) adalah 0,189. Nilai p value >0,05 ini
mengartikan bahwa hipotesis penelitian ditolak, yaitu bahwa tidak terdapat
hubungan antara obesitas dengan pH urin pada BSK. Kemudian juga dihitung nilai
rasio prevalens (RP) dengan membagikan proporsi pasien BSK dengan pH urin <6
pada kelompok obesitas (0,89) dengan proporsi pasien BSK dengan pH urin <6
pada kelompok tanpa obesitas (0,77) dan didapatkan nilai RP=1,16. Nilai RP>1
tersebut menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko untuk nilai pH urin
<6. Pasien BSK yang mengalami obesitas berisiko menghasilkan urin dengan pH
<6 1,16 kali lebih besar dibandingkan pasien BSK yang tidak obesitas.
singkat), data rekam medis yang menurut peneliti kemungkinan tidak akurat (data
yang tercatat dalam rekam medis tidak diperoleh melalui prosedur atau pengukuran
yang benar atau mungkin terjadi kesalahan input data oleh pemeriksa), serta lokasi
penelitian yang hanya terpusat di 1 tempat saja.
5.1 Kesimpulan
1. Tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan pH urin pada pasien BSK di
RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2017 (p>0,05).
2. Berdasarkan usia, kejadian BSK paling banyak ditemukan pada usia lebih tua
(50-58 tahun) yaitu 35 orang (43,2%), sedangkan paling sedikit ditemukan pada
usia muda (<31 tahun) yaitu 6 orang (7,4%).
3. Berdasarkan jenis kelamin, kejadian BSK lebih banyak ditemukan pada laki-laki
yaitu 48 orang (59,3%) dibandingkan perempuan yaitu 33 orang (40,7%).
5. Berdasarkan pH urin, terdapat 66 orang (81,5%) pasien BSK dengan pH urin <6,
dan 15 orang (18,5%) pasien BSK dengan pH urin >6, dimana pH urin <6 lebih
banyak ditemukan pada pasien BSK tanpa obesitas (62,1%) dibandingkan pada
pasien BSK dengan obesitas (37,9%).
6. Terdapat 127 orang pasien BSK yang di rawat inap di RSUP Haji Adam Malik
Medan sepanjang tahun 2017, dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria
penelitian adalah 81 buah rekam medis.
7. Terdapat 53 orang (65,4%) pasien BSK tanpa obesitas, dan 28 orang (34,6%)
pasien BSK dengan obesitas.
36
8. Terdapat 25 orang (89,3%) pasien BSK dengan pH urin <6 dan 3 orang (10,7%)
pasien BSK dengan pH urin >6 pada kelompok pasien BSK dengan obesitas.
5.2 Saran
Adapun beberapa saran dari peneliti setelah pelaksanaan penelitian ini adalah :
2. Bagi pihak rumah sakit, yaitu paramedis maupun dokter, untuk dapat lebih
melengkapi data-data yang berkaitan dengan perjalanan penyakit pasien, mulai
dari anamnesis, hasil pemeriksaan, diagnosis, dan tatalaksana, serta identitas
yang lengkap, termasuk untuk kasus-kasus batu saluran kemih di RSUP Haji
Adam Malik Medan, sehingga kedepannya dapat lebih membantu penelitian dari
segi kuantitas dan kualitas variabel, serta bagi instalasi rekam medis untuk lebih
meningkatkan ketepatan pendataan berdasarkan diagnosis penyakit dan
pengintegrasian rekam medik secara elektronik untuk mempermudah
pengaksesan data saat dibutuhkan untuk berbagai keperluan (termasuk
penelitian).
DAFTAR PUSTAKA
Alpers, C.E. & Chang, A. 2015, ‘The Kidney : Urinary Tract Obstruction
(Obstructive Uropathy)’ in Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease,
9th edition, ed. Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C., Elsevier, Canada.
Antonelli, J.A., Maalouf, N.M., Pearle, M.S. & Lotan, Y. 2014, ‘Use of the National
Health and Nutrition Examination Survey to Calculate the Impact of Obesity
and Diabetes on Cost and Prevalence of Urolithiasis in 2030’, European
Urology, vol.66, pp.724-729.
Anhar, H.N. & Widianto, A. 2014, ‘Index Massa Tubuh sebagai Faktor Resiko
Terjadinya Batu Saluran Kemih di RS Muslimat Ponorogo dalam Kurun
Waktu Januari 2007-Desember 2010’, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Indonesia, vol.6, no.2.
Asplin, J.R. 2009, ‘Obesity and urolithiasis’, Advances in Chronic Kidney Disease,
vol.16, no.1, pp.11-20.
Chau, K., Hutton, H. & Levin, A. 2016, ‘Laboratory Assessment of Kidney Disease
: Glomerular Filtration Rate, Urinalysis, Proteinuria’ in Brenner and Rector’s
The Kidney, 10th edition, Elsevier, United States.
Chernecky, C.C. & Berger, B.J. 2013, Laboratory Tests and Diagnostic
Procedures, 6th edition, Elsevier Saunders, United States.
Curhan, G.C. 2015, ‘Nephrolithiasis’ in Harrison’s Principles of Internal Medicine,
19th edition, ed. Kasper, D.L., Hauser, S.L., Jameson, J.L., Fauci, A.S.,
Longo, D.L., Loscalzo, J., McGraw-Hill, United States.
Dorland, W.A. & Newman. 2012, Kamus Kedokteran Dorland, edisi 28, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Flier, J.S. & Maratos-Flier, E. 2015, ‘Biology of Obesity’ in Harrison’s Principles
of Internal Medicine, 19th edition, ed. Kasper, D.L., Hauser, S.L., Jameson,
J.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Loscalzo, J., McGraw-Hill, United States.
Ghazaleh, L.A. & Budair, Z. 2013, ‘The Relation Between Stone Disease and
Obesity in Jordan’, Saudi J Kidney Dis Transpl., vol.24, no.3, pp.610-614.
Grace, P.A. & Borley, N.R. 2006, At a Glance Ilmu Bedah, edisi ketiga, Erlangga
Medical Series, Jakarta.
Halperin, M.L., Kamek, S.K. & Goldstein, M.B. 2010, ‘Principles of Acid-Base
Physiology’ in Fluid, Electrolyte, and Acid Based Physiology, 4th edition,
Elsevier, United States.
Iba, A., Kohjimoto, Y., Mori, T., Kuramoto, T., Nishizawa, S., Fujii, R., Nanpo, Y.,
Matsumura, N., Shintani, Y., Inagaki, T. & Hara, I. 2010, ‘Insulin resistance
NIM : 150100128
No.HP/Email : +6282163907054/sryitakembaren@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
Riwayat Organisasi :
Riwayat Kepanitiaan :
14. Anggota Seksi Peralatan dan Tempat Panitia Perayaan Natal FK USU
2017
15. Anggota Seksi Dana Panitia Natal GBKP Rg. Jl. Sei Batang Serangan
Medan 2017
16. Anggota Seksi Dana dan Usaha Panitia Scripta Research Festival (SRF)
SCORE PEMA FK USU 2018
17. Anggota Seksi Dana Panitia Paskah GBKP Runggun Jl. Sei Batang
Serangan Medan 2018
18. Penanggung jawab Panitia Tryout SBMPTN PEMA FK USU 2018
19. Anggota Seksi Konsumsi Panitia KONTERPEN I PEMA FK USU
2018
20. Anggota Seksi Acara dan Doa BAKSOS PMMK FK USU 2018
21. Anggota Seksi Acara Panitia PKKMB FK USU 2018
22. Sekretaris Panitia Perayaan Natal KA-KR GBKP Rg. Jl. Sei Batang
Serangan Medan 2018