SKRIPSI
Oleh :
ATIKA DALILA BR GINTING
140100083
SKRIPSI
Oleh :
ATIKA DALILA BR GINTING
140100083
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT serta
shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Karakteristik Pasien Penyakit Jantung Koroner yang Dilakukan Coronary
Artery Bypass Graft di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
pada tahun 2015-2016” yang merupakan salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak atas segala bantuan dan
dukungan yang diberikan selama proses penulisan skripsi, diantaranya:
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Doddy Prabisma Pohan, Sp.BTKV selaku Dosen Pembimbing yang
telah banyak memberikan dukungan melalui ide, saran, petunjuk, dan
nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked(OG), Sp.OG(K) sebagai Ketua Penguji
dan Dr. dr. Elmeida Effendi, M.Ked(KJ), Sp.KJ(K) sebagai Anggota
Penguji yang telah banyak memberikan saran dan nasihat kepada
penulis untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.
4. Kedua orangtua yang penulis hormati dan sayangi Ayahanda H. Indra
Ginting, SH dan Ibunda Hj. Eni Wati Br Bangun, SE atas doa dan
segala jasa-jasanya yang tidak mungkin terucapkan dan terbalaskan,
semoga keduanya selalu dalam lindungan Allah SWT.
5. Yang terkasih abang penulis M. Hendra Pratama Ginting, SH, M.kn,
M. Andri Pranata Ginting, SE dan kakak penulis Arfani Br Ginting,
ST, serta keponakan penulis Haura dan Ghezal yang telah memberikan
doa dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.
ii
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna dari isi maupun
pembahasannya, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
siapapun pembacanya. Akhir kata penulis memohon maaf jika terdapat
kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas semua
jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini serta melindungi kita semua.
Penulis
iii
Halaman
Halaman pengesahan .................................................................................. i
Kata pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iv
Daftar Gambar ............................................................................................ vi
Daftar Tabel ................................................................................................ vii
Daftar Singkatan.......................................................................................... viii
Abstrak ........................................................................................................ ix
Abstract ....................................................................................................... x
iv
LAMPIRAN ............................................................................................... 48
vi
vii
viii
Latar Belakang. Di Indonesia angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler,
terutama penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai
23,3 juta kematian pada tahun 2030. Salah satu tindakan revaskularisasi dengan membebaskan
penyempitan pembuluh darah koroner tersebut adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien PJK yang dilakukan
CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016 berdasarkan faktor risiko PJK
dan komplikasi dari tindakan CABG tersebut. Metode. Jenis penelitian bersifat deskriptif dengan
desain cross sectional study. Populasinya adalah pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji
Adam Malik Medan tahun 2015-2016. Data diambil dari rekam medis menggunakan teknik total
sampling. Hasil. Prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG sebesar 6,71%. Kelompok usia
<45 tahun (4,3%), usia 45-64 tahun (80%), usia 65-74 tahun (14,3%), usia ≥ 75 tahun (1,4%),
laki-laki (84,3%), perempuan (15,7%), dengan riwayat keluarga (47,1%), hiperlipidemia (61,4%),
merokok (55,7%), hipertensi (72,9%), diabetes melitus (51,4%), komplikasi pasca tindakan CABG
(80%), perdarahan pasca bedah (22,9%), aritmia (21,4%), infark miokard (20%), stroke (0%),
gagal ginjal akut (44,3%), infeksi luka sternum (1,4%), dan pasien yang meninggal sebanyak 13
orang (18,6%). Kesimpulan. Karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG paling banyak pada
kelompok usia 45-64 tahun (80%). Pasien terbanyak adalah laki-laki (84,3%). Faktor risiko
pasien PJK yang dilakukan CABG terbanyak adalah hipertensi (72,9%). Pasien mengalami
komplikasi pasca CABG sebesar 80% dengan komplikasi yang terbanyak adalah gagal ginjal
akut sebesar 44,3%. Mortalitas pasca CABG sebesar 18,6%.
Kata kunci penyakit jantung koroner, faktor risiko, CABG, komplikasi, mortalitas
ix
PENDAHULUAN
1
Universitas Sumatera Utara
2
(Ghani et al. , 2016) usia pasien PJK di Indonesia yang paling banyak berkisar 65-
74 tahun, jenis kelamin perempuan (1,6%), merokok (1,2%), obesitas (1,7%),
hipertensi (5,5%), DM (9,2%), dan hasil lipid yang abnormal (1,8%).
Salah satu terapi pengobatan PJK adalah dengan melakukan tindakan
revaskularisasi, yaitu Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Tindakan CABG
pertama kali dilakukan pada tahun 1960-an dengan menggunakan mesin jantung-
paru (Hakim dan Dharmawan, 2014). Di Medan tindakan CABG telah dilakukan
di Rumah Sakit Haji Adam Malik sejak tahun 1996 (Rosmaliana, 2014). CABG
merupakan salah satu prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan, data
tahun 2010 menunjukkan sebanyak 397.000 pasien rawat inap dilakukan CABG
di Amerika Serikat (Mozaffarian et al., 2016).
Tindakan CABG dilakukan dengan mengambil konduit pembuluh darah baik
itu arteri maupun vena untuk disambungkan ke arteri koroner sehingga terjadi
pemintasan arteri koroner yang mengalami penyempitan. Hasilnya adalah terjadi
perbaikan suplai darah ke daerah otot jantung yang diperdarahi arteri koroner
yang tersumbat tersebut (Hakim dan Dharmawan, 2014).
Operasi ini memberikan hasil jangka panjang yang baik sampai 20 tahun
(Rachmat et al., 2010). Namun, tindakan CABG diketahui memiliki beberapa
komplikasi (Hillis et al., 2011) yaitu stroke 1,4-3,8%, infeksi sternum superficial
2-6%, infeksi sternum dalam 0,45-5%, gagal ginjal akut 2-3%, aritmia 20-50%,
dan 10-20% pasien yang memerlukan transfusi darah pasca pembedahan. Selain
itu tindakan CABG juga mempunyai angka mortalitas berkisar 5-6% (Moorjani et
al., 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP
Haji Adam Malik Medan dari tahun 2015 sampai tahun 2016.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada penderita PJK
yang akan melakukan bedah, khususnya CABG.
TINJAUAN PUSTAKA
4
Universitas Sumatera Utara
5
Aterosklerosis ditandai dengan adanya lesi tunica intima yang disebut ateroma
(disebut juga atheromatous atau plak aterosklerotik) yang menembus ke lumen
pembuluh darah. Plak atheromatous terdiri dari lesi yang mengandung gumpalan
lipid yang lembut dan kuning (terutama kolesterol dan kolesterol esterase) yang
dilapisi oleh lapisan fibrous cap yang ketat (Mitchell, 2015).
Proses aterosklerosis sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak.
Guratan lemak (fatty streak) sudah muncul di tunika intima aorta pada anak usia 3
tahun. Guratan lemak ini dapat berkembang lebih lanjut ataupun dapat mengalami
regresi (Adi, 2014). Selain merusak jalannya aliran darah, plak aterosklerotik akan
memperlemah tunica media sehingga ruptur. Hal ini akan mengakibatkan
trombosis akut yang hebat pada pembuluh darah (Mitchell, 2015).
Tahap perkembangan aterosklerosis adalah:
1. Fatty streak
Garis-garis lemak merupakan lesi paling awal dari aterosklerosis yang
ditandai dengan sel-sel otot polos yang terisi dengan lipid. Pada saat garis-
garis lemak mulai berkembang pada sel-sel otot polos, mulai muncul sedikit
warna kuning. Garis-garis lemak ini dapat dilihat di arteri koroner pada usia
15 tahun dan melibatkan peningkatan jumlah pada pemukaan area seiring
bertambahnya usia.
2. Fibrous plaque
Tahap plak fibrosa merupakan awal dari perubahan progresif endotelium
pada dinding arteri. Perubahan ini dapat muncul pada usia 30 tahun dan
meningkat sejalan dengan usia. Normalnya endotelium dapat mengalami
perbaikan sendiri dengan cepat. Namun hal ini tidak terjadi pada individu
yang mengalami PJK. Low-density lipoprotein (LDL) dan berbagai faktor
pertumbuhan dari platelet menstimulasi proliferasi otot polos dan
menyebabkan penebalan dinding arteri.
Setelah kerusakan endotelial terjadi, lipoprotein (protein pembawa di
dalam pembuluh darah) memindahkan kolesterol dan lipid lainnya ke dalam
tunika intima arteri. Kolagen melapisi garis-garis lemak dan membentuk plak
fibrosa yang bewarna putih keabu-abuan. Plak ini dapat membentuk pada satu
bagian arteri atau dalam model melingkar yang melibatkan seluruh lumen.
Pinggirannya dapat halus atau ireguler dengan sisi yang kasar dan tidak rata.
Hasilnya mempersempit lumen pembuluh darah dan menurunkan aliran darah
ke ujung jaringan.
3. Complicated lesion
Tahap ini merupakan akhir perkembangan lesi aterosklerosis yang paling
berbahaya. Seiring berkembanganya plak fibrosa, proses inflamasi yang terus-
menerus dapat menyebabkan plak tidak stabil, terbentuknya ulcerasi, dan
ruptur. Ketika integritas dari dalam dinding arteri terganggu, platelet
terakumulasi dalam jumlah besar mengarahkan terjadinya trombus. Trombus
dapat melekat pada dinding arteri, yang menyebabkan semakin sempitnya
atau oklusi total pada arteri.
Aktivasi dari tereksposnya platelet akan menyebabkan pengeluaran
reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang akan berikatan dengan fibrinogen. Hal ini
mempengaruhi agregasi dan perlengketan platelet selanjutnya yang akan
menyebabkan pembesaran trombus. Pada tahap inilah plak tersebut mengarah
pada complicated lesion (Bucher dan Johnson, 2013).
Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat
diubah seperti: usia lanjut, laki-laki dan riwayat keluarga. Kemudian faktor risiko
yang dapat diubah seperti: hiperlipidemia, merokok, hipertensi, DM/Sindroma
metabolik, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).
yang biasa terjadi adalah infark miokard. Penelitian otopsi telah menunjukkan
bahwa lesi arteri koroner pada perempuan muda mengandung lebih sedikit
kalsium dan jaringan fibrosa padat dibandingkan pria dan perempuan yang
lebih tua. Plak aterosklerosis koroner pada pasien muda terutama terdiri dari
deposit lemak, yang sangat mudah pecah dan menyebabkan trombosis koroner
akut sehingga terjadinya penyakit kardiovaskular akut (Yihua et al., 2017).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Cina, dari 8.739 pasien PJK yang
dilakukan CABG terdapat 6.851 orang (78,4%) berjenis kelamin laki-laki dan
sebanyak 1.888 orang (21,6%) berjenis kelamin perempuan (Hu et al., 2012).
3. Riwayat keluarga
Berdasarkan studi MESA (Multi Etnic Study of Atherosclerosis) pada
individu asimptomatik didapatkan bahwa riwayat keluarga dengan penyakit
kardiovaskular prematur pada orang tua dan saudara kandung mempunyai arti
prediktif yang sangat kuat untuk terjadinya aterosklerosis yang asimptomatik
dan terlepas dari faktor risiko yang lain (Adi, 2014). Salah satunya adalah
penyakit genetik yaitu familial hiperkolestrolemia, yang merupakan penyebab
PJK prematur (Price dan Wilson, 2014).
Penelitian sebelumnya di Amerika, dari 661 orang dijumpai 276 orang
(44.8%) yang memiliki riwayat keluarga serangan jantung dan 385 orang
(55,2%) yang tidak memiliki riwayat keluarga serangan jantung (Stone et al.,
2011).
2.1.4 DIAGNOSIS
Angina pektoris merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien
yang mengalami penyakit jantung koroner. Pasien datang dengan keluhan nyeri
dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat seperti ditimpa beban
yang sangat berat dan terkadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada
karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik. Sering pasien merasakan
nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal), atau dada
sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke
punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan.
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan
aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan
mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi
atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan
nyeri dada.
Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya.
Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam.
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit. Bila nyeri dada berlangsung
lebih dari 20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan
bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain
seperti sesak napas, mual, muntah, perasaan lelah, pucat dan terkadang nyeri dada
disertai keringat dingin (Mboi, 2014).
1. Elektrokardiografi istirahat
Elektrokardiografi (EKG) istirahat dilakukan bila belum dapat dipastikan
bahwa nyeri dada adalah non kardiak (Ginanjar dan Rachman, 2014). Gambaran
EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:
normal, nondiagnostik, Left Bundle Branch Block (LBBB) baru/persangkaan baru,
elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI, 2015).
2. Foto toraks
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kalsifikasi koroner maupun katup
jantung,serta tanda-tanda lain seperti pasien yang juga menderita gagal jantung,
penyakit jantung katup, perikarditis, aneurisma, dan diseksi, serta pasien-pasien
yang cenderung mengeluhkan nyeri dada karena kelainan paru (Ginanjar dan
Rachman, 2014).
3. Elektrokardiografi waktu latihan
Pemeriksaan EKG saat latihan direkomendasikan pada pasien dengan
abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu dievaluasi lebih lanjut yakni pasien
PJK stabil yang mengalami perburukan pada gejala dan pasien post-
revaskularisasi dengan perburukan gejala (Ginanjar dan Rachman, 2014).
4. Angiografi koroner
Angiografi dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam arteria koroneria
merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas
dan keparahan sumbatan dalam arteria koronaria. Indikasi lain untuk melakukan
angiografi arteria koronaria adalah angina atipik serta hasil revaskularisasi arteria
koronaria (Price dan Wilson, 2014).
2.2.2 INDIKASI
Tabel 2.1 Indikasi revaskularisasi CABG (Omer et al., 2017)
Indikasi Revaskularisasi CABG
Lesi arteri koroner Rekomendasi
Unprotected left main I
Penyakit tiga pembuluh darah dengan atau I
tanpa penyakit arteri koroner pada LAD IIa. Lebih layak memilih CABG dibandingkan
proksimal dengan PCI pada pasien PJK dengan penyakit 3-
pembuluh darah kompleks ( SYNTAX skor 22)
yang merupakan kandidat yang bagus untuk
dilakukan bedah.
Penyakit dua pembuluh darah dengan I
penyakit arteri koroner pada LAD proksimal
Penyakit dua pembuluh darah tanpa penyakit IIa. Dengan iskemi yang meluas
arteri koroner pada LAD proksmal IIb. Manfaat yang belum dapat dipastikan
Penyakit satu pembuluh darah arteri koroner IIa. Dengan menggunakan LIMA untuk manfaat
pada LAD proksimal jangka panjang
Penyakit satu pembuluh darah tanpa III. Berbahaya
penyakit arteri pada LAD proksimal yang
terlibat
Disfungsi ventrikel kiri IIa. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 35-50%
IIb. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 35% tanpa left
main PJK
Pasien yang selamat dari kematian jantung I
mendadak yang diduga iskemi akibat
ventikular takikardi
Tidak ada kriteria berdasarkan anatomi III. Berbahaya
ataupun fisiologi untuk tindakan
revaskularisasi
Keterangan :
Kelas I : Manfaat >>> Risiko. Prosedur harus dilakukan
Kelas IIa : Manfaat >> Risiko. Studi tambahan dengan fokus pada objektifitas
yang dibutuhkan. Apakah prosedur layak dilakukan
Kelas IIb : Manfaat ≥ Risiko. Studi tambahan dengan objktivitas yang meluas dan
tambahan data yang sudah tercatat dibutuhkan
Kelas III : Tidak ada manfaat
Atau
Kelas III : Berbahaya
2.2.3 KOMPLIKASI
4. Stroke
Seperti yang dinyatakan oleh Syntax trial, komplikasi dari CABG yang
sering menjadi ancaman adalah gangguan fungsi neurologis. Sekitar 1-6%
pasien cenderung memiliki komplikasi neurologis pasca CABG, salah satunya
adalah stroke. Penelitian lain menyatakan insidensi stroke pasca bedah berkisar
1,4-3,8% dan bergantung pada populasi pasien dan kriteria untuk diagnosis
stroke (Hakim dan Dharmawan, 2014). Penelitian di Brazil, mendapatkan hasil
dari 3.010 pasien terdapat 53 orang (1,8%) yang mengalami stroke pasca CABG
(Sousa et al., 2015).
Mikroemboli serebral dari arteri selama CABG adalah penyebab utama
stroke. Aterosklerosis dari aorta asenden menjadi faktor prediktor dari
komplikasi neurologis jangka panjang dan mortalitas. Faktor lainnya adalah
usia, status diabetes, adanya left main disease atau disfungsi ventrikel kiri,
perempuan, riwayat merokok, dan riwayat stroke (Hakim dan Dharmawan,
2014).
Risiko stroke pasca bedah tinggi (>5%) pada pasien dengan lebih dari (80%)
unilateral stenosis, bilateral stenosis 50%, dan unilateral oklusi 50% arteri
karotis pada sisi kontralateral. Pasien dengan kategori tersebut wajib melakukan
kombinasi Carotid Endarterectomy (CEA) dan CABG. Angka mortalitas pasca
bedah mencapai 0-5% dan komplikasi gangguan neurologis pasca bedah serta
miokard sekitar 3%. Dan diikuti angka 5 tahun bebas stroke mencapai lebih dari
85%. Maka dari itu perlu dilakukan skrining pasien yang akan melakukan
CABG dengan ultrasound arteri karotis untuk melihat adanya stenosis pada
arteri karotis (Hakim dan Dharmawan, 2014).
Menurut penelitian, seringkali stroke pasca bedah tidak terdiagnosis
dikarenakan defisit neurologis yang tidak mudah terlihat akibat tertutupi dengan
obat-obatan ataupun obat sedatif yang dikonsumsi pasien pasca tindakan bedah
(Selnes et al., 2012).
5. Gagal Ginjal Akut
Bedah jantung dan penggunaaan mesin jantung-paru dapat menyebabkan
inflamasi dan mencetuskan terjadinya gagal ginjal akut dengan insidensi 7,7-40%
tergantung dari populasi pasien dan jenis pembedahannya (Jung et al., 2016).
Penelitian lain yang dilakukan di Korea, menunjukkan dari 2.185 pasien yang
dilakukan CABG terdapat 787 orang (36,0%) yang mengalami gagal ginjal akut
pasca bedah (Lee et al., 2015).
Berdasarkan laporan (Hillis et al., 2011) gagal ginjal akut pasca bedah sering
kali terjadi pasca tindakan CABG, memperburuk hasil klinis dan kelangsungan
hidup dalam jangka pendek dan jangka panjang, serta meningkatkan biaya rumah
sakit pasien. Ditemukan lebih dari satu pertiga pasien yang melakukan CABG
dapat terjadi gagal ginjal akut dan 1-5% dari pasien tersebut dapat berkembang
pada gagal ginjal yang berat serta memerlukan dialisis.
Terdapat beberapa faktor risiko yang yang berhubungan dengan meningkatnya
kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut pasca bedah jantung. Hal yang
menonjol termasuk jenis kelamin perempuan, penurunan fungsi ventrikel kiri,
riwayat gagal jantung kongestif, diabetes yang bergantung pada insulin,
penggunaan pompa balon intra-aorta sebelum bedah, penyakit paru obstruktif
kronis, kebutuhan bedah dalam keadaan gawat darurat, dan peningkatan serum
kreatinin sebelum bedah. Kriteria diagnostik untuk mendiagnosis gagal ginjal akut
dapat dilihat dari kriteria RIFLE (Jain et al., 2016).
Tabel 2.2 Kriteria RIFLE (Markum, 2014)
Kategori Kriteria Kreatinin Serum Kriteria UO
RIFLE
Risk Kenaikan kreatinin serum ≥1,.5x <0.5mL/kg/jam x 6 Sensitivitas
nilai dasar atau penurunan GFR jam tinggi
≥25%
Injury Kenaikan kreatinin serum ≥2.0x <0.5mL/kg/jam x 12
nilai dasar atau penurunan GFR jam
≥50%
Failure Kenaikan kreatinin serum ≥3.0x <0.3mL/kg/jam x 24
nilai dasar atau penurunan GFR jam atau anuria x 24
≥75% jam
Loss Gagal ginjal akut persisten = Spesifisitas
hilangnya fungsi ginjal secara tinggi
lengkap > 4 minggu
End-Stage End Stage Kidney Disease > 3
Kidney Disease bulan
digunakan sebagai penanda dari fungsi ginjal meskipun dalam hasilnya kurang
dapat diandalkan dan tertunda untuk mendiagnosis kegagalan ginjal karena serum
kreatinin membutuhkan beberapa jam sampai berberapa hari untuk mencapai
keadaan stabil (Jain et al., 2016).
Sekarang sudah tersedia biomarker yang dapat lebih awal untuk memprediksi
gagal ginjal akut pada bedah jantung yang memudahkan dokter dalam melakukan
intervensi untuk mencegah perburukan fungsi ginjal kedepannya. Biomarker
tersebut adalah Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL) dan cystatin
C dari plasma. Kemudian biomarker NGAL, Interleukin-8 (IL-8), kidney injury
molecule-1 pada urin (Jain et al., 2016).
6. Infeksi Luka Sternum
Infeksi luka sternum pasca bedah diketahui meningkatkan mortalitas dan
morbiditas dari pasien serta terkait dengan biaya pengobatan. Terdapat perbedaan
dalam klasifikasi infeksi luka sternum yaitu superficial dan deep/mediastinitis,
dimana kebanyakan penelitian terfokus pada kasus yang lebih berat yaitu
deep/mediastinitis yang biasanya terjadi 1-2% pada bedah CABG (Hillis et al.,
2011). Fowler dkk menyatakan, terjadinya infeksi mayor pasca tindakan bedah
jantung pada pasien dapat meningkatkan mortalitas sebesar 5 kali lipat (Likosky
et al., 2015).
Beberapa penelitian juga melaporkan infeksi superficial lebih umum terjadi,
dengan insidensi diantara 5-12,0% (Lindblom et al., 2015). Staphylococcus
epidermidis koagulase negatif atau Staphylococcus aureus tercatat sebagai
penyebab 50% dari infeksi luka bedah. Organisme lain yang juga sering terlibat
adalah Corynebacterium dan bakteri basil enterik gram negetif (Hillis et al.,
2011). Penelitian lain di Paris, menunjukkan dari 7.170 pasien ditemukan 292
orang (4,1%) pasien yang mengalami infeksi luka operasi, diantaranya 145 orang
(2,0%) pada mediastinum dan 147 orang (2,1%) pada sternum superficial.
Penelitian lain mencatat pasien dengan mediastinitis pasca bedah
menunjukkan 30-hari/mortalitas bedah yang sangat tinggi. Keseluruhannya
tercapai 9,7/25,8% untuk setiap prosedur bedah toraks aorta secara bersamaan
dengan CABG menunjukkan mortalitas yang paling tinggi, diikuti dengan bedah
aorta, bedah katup jantung, dan CABG menunjukkan angka yang paling rendah.
Usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, kadar insulin-like growth factor-
11(IGF-1), diabetes, konsentrasi hemoglobin, konsentrasi serum kreatinin, PPOK,
pengobatan kortikosteroid, perokok, dan ejeksi fraksi sebelum bedah merupakan
faktor risiko dari infeksi luka sternum. Kemudian jumlah dari penyambungan
vena saphenus dan arteri mamaria interna serta durasi dari mesin kardiopulmoner
dan waktu klem silang aorta juga merupakan faktor risiko yang terjadi saat bedah
(Kubota et al., 2013).
Angka kematian pada CABG berkisar 5-6% (Moorjani et al., 2013). Tujuh
variabel inti yang mempunyai dampak terbesar pada mortalitas CABG adalah
operasi darurat, usia, operasi jantung sebelumnya, jenis kelamin, fraksi ejeksi
ventrikel kiri, persentasi stenosis pada pembuluh darah koroner kiri utama, dan
jumlah pembuluh darah koroner utama yang mengalami stenosis dengan lebih dari
70% (Omer et al., 2017). Penelitian di Brazil, menunjukkan dari 3.010 pasien PJK
yang dilakukan CABG sebanyak 162 orang (5,4%) meninggal pasca tindakan
CABG (Sousa et al., 2015)
Dinyatakan juga bahwa tingkat kematian di rumah sakit lebih tinggi pada
pasien ST Elevated Myocard Infarction (STEMI) yang menjalani CABG dalam
kondisi darurat dibandingkan dengan pasien yang menjalani CABG dalam kondisi
kurang mendesak atau yang murni akan menjalani bedah sebelumnya. Dalam
sebuah penelitian dari 1181 pasien yang menjalani CABG, angka kematian di
rumah sakit akan meningkat pada pasien yang sebelum bedah kondisinya sudah
memburuk. Angkanya berkisar dari 12% pada pasien angina stabil dan sampai
26% pada pasien dengan syok kardiogenik (Hillis et al., 2011).
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka kerangka konsep pada penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP H.
Adam Malik Medan. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah
total sampling yaitu semua sample pasien PJK yang dilakukan CABG pada data
rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016.
Kriteria Inklusi:
- Data rekam medis pasien PJK yang dilakukan CABG pada tahun 2015-
2016
Kriteria Eksklusi:
- Data rekam medis yang tidak lengkap
27
Universitas Sumatera Utara
28
Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang diambil melalui data rekam medis pasien PJK yang dilakukan CABG di
RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016.
Sembuh tanpa Pasien pasca bedah yang Rekam a. Tanpa komplikasi Nominal
komplikasi mengalami kesembuhan tanpa medis b. Dengan komplikasi
adanya komplikasi.
Perdarahan Suatu keadaan perdarahan Rekam a. Ya Nominal
pasca bedah dengan salah satu kriteria: medis b. Tidak
CABG a. Perdarahan intrakranial
dalam 48 jam pasca bedah
b. Re-operasi untuk
mengendalikan
perdarahan
c. Transfusi ≥ 5 unit whole
blood atau packed red cell
dalam periode 48 jam
d. Volume drainase dada
sebanyak 2 L dalam
periode 24 jam (Vainrub
et al, 2014).
Aritmia pasca Kejadian aritmia (fibrilasi EKG a. Ya Nominal
bedah atrium, atrium flutter, b. Tidak
takikardi supraventrikel
paroksisimal, bradiaritmia dan
lain-lain) yang memerlukan
pengobatan pasca tindakan
CABG (Sousa et al, 2015).
Jumlah data pasien PJK yang dilakukan CABG yang sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi sebanyak 70 sampel dari 92 pasien yang dilakukan CABG.
Prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG adalah sebesar 6,71% dari 1.371
populasi pasien PJK yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Karakteristik subjek penelitian ditunjukkan pada tabel 4.1.
Berdasarkan tabel 4.1 subjek penelitian pasien PJK yang dilakukan CABG
paling banyak pada kelompok usia 45-64 tahun dengan jumlah 56 orang (80%)
kemudian diikuti dengan kelompok usia 65-74 tahun sebanyak 10 orang (14,3%).
Rerata usia subjek penelitian ini adalah 57,36 tahun (± 7,796) dengan usia
termuda adalah 41 tahun dan usia tertua adalah 76 tahun. Berdasarkan teori, pada
usia 40-60 tahun insiden infark miokard meningkat 5 kali lipat (Price dan Wilson,
2014). Hal ini sesuai dengan data (Riskesdas, 2013) yang menunjukkan bahwa
rerata pasien PJK di Indonesia paling banyak pada kelompok usia 65-74 tahun.
Berdasarkan tabel 4.2 jenis kelamin laki-laki merupakan pasien PJK dengan
jumlah terbanyak yang dilakukan CABG yaitu sebanyak 59 orang (84,3%),
33
Universitas Sumatera Utara
34
hiperlipidemia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia, dari
58.045 pasien terdapat 885 orang (1,8%) pasien PJK memiliki lipid yang
abnormal (Ghani et al., 2016). Menurut World Heart Federation (2012), secara
global sepertiga penyakit jantung iskemik disebabkan oleh tingginya kolesterol.
Peningkatan kolesterol darah tidak hanya meningkatkan risiko penyakit jantung
namun juga meningkatkan kejadian stroke.
Tabel 4.6 Distribusi karakteristik berdasarkan status riwayat hipertensi subjek penelitian
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)
Riwayat hipertensi Ya 51 72,9
Tidak 19 27,1
yang tinggi dan menetap yang akan menimbulkan trauma langsung terhadap
dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya
arterosklerosis koroner dan menyebabkan angina pektorik, insufisiensi koroner
dan infark miokard yang lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi
dibanding orang normal (Mohani, 2014).
Tabel 4.7 Distribusi karakteristik berdasarkan status diabetes melitus subjek penelitian
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)
Diabetes melitus Ya 36 51,4
Tidak 34 48,6
Berdasarkan tabel 4.8 terdapat 14 orang (20%) dari pasien PJK yang
dilakukan CABG sembuh tanpa komplikasi dan sebanyak 56 orang (80%) pasien
mengalami komplikasi pasca CABG. Berbagai komplikasi yang terjadi pasca
bedah jantung dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta memperberat
pembiayaan rumah sakit pasien pasca CABG (Hakim dan Dharmawan, 2014).
Tabel 4.9 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian perdarahan pasca bedah subjek penelitian
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)
Perdarahan pasca Ya 16 22,9
bedah
Tidak 54 77,1
sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Brazil, yang menunjukkan dari 116
pasien terdapat 28 orang (24,1%) yang mengalami infark miokard pasca CABG,
hasil ini memperlihatkan bahwa frekuensi dari kejadian infark miokard pasca
bedah yang terjadi tergolong tinggi dari insidensinya yang rata-rata terjadi 2-30%.
Selain itu, dalam penelitian ini menyatakan kejadian infark miokard berkaitan
dengan trauma langsung pada miokardium, manipulasi jantung, dan waktu
operasi, serta faktor yang berkaitan dengan cedera dan nekrosis miokard pasca
CABG (Pretto et al., 2015).
Berdasarkan tabel 4.12 dari 70 pasien, tidak ada pasien PJK yang dilakukan
CABG mengalami stroke. Namun, hal ini bertentangan dengan hasil penelitian
(Sousa et al., 2015) dari 3010 pasien, sebanyak 53 orang (1,8%) yang mengalami
stroke pasca CABG. Menurut penelitian, seringkali stroke pasca bedah tidak
terdiagnosis dikarenakan defisit neurologis yang tidak mudah terlihat akibat
tertutupi dengan obat-obatan ataupun obat sedatif yang dikonsumsi pasien pasca
tindakan bedah (Selnes et al., 2012).
Tabel 4.13 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian gagal ginjal akut subjek penelitian
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)
Gagal ginjal akut Ya 31 44,3
Tidak 39 55,7
Berdasarkan tabel 4.13 gagal ginjal akut pasca bedah terjadi pada 31 orang
(44,3%) dan tidak terjadi pada 39 orang (55,7%). Hal ini berlawanan dengan hasil
penelitian yang dilakukan di Korea, dari 2.185 pasien yang dilakukan CABG
terdapat 787 orang (36,0%) yang mengalami gagal ginjal akut pasca bedah (Lee et
al., 2015). Menurut penelitian lain, bedah jantung dan penggunaaan mesin
jantung-paru dapat menyebabkan inflamasi dan mencetuskan terjadinya gagal
ginjal akut dengan insidensi 7,7-40% tergantung dari populasi pasien dan jenis
pembedahannya (Jung et al., 2016).
Tabel 4.14 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian infeksi luka sternum subjek penelitian
Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)
Infeksi luka Ya 1 1,4
sternum
Tidak 69 98,6
Berdasarkan tabel 4.14 terdapat 1 orang (1,4%) yang mengalami infeksi luka
sternum pasca CABG dan 69 orang (98,6%) yang tidak mengalami infeksi luka
sternum. Hasil penelitian lain di Paris, menunjukkan dari 7.170 pasien ditemukan
292 orang (4,1%) pasien yang mengalami infeksi luka operasi, diantaranya 145
orang (2,0%) pada mediastinum dan 147 orang (2,1%) pada sternum superficial.
Fowler dkk mengatakan terjadinya infeksi mayor pasca tindakan bedah jantung
pada pasien dapat meningkatkan mortalitas sebesar 5 kali lipat (Likosky et al.,
2015).
Penelitian menunjukkan bahwa CABG merupakan pilihan yang tepat untuk
meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup yang signifikan pada pasien
dengan penyempitan pembuluh darah yang lebih dari satu (Alexander dan Smith,
2016). Namun, disamping itu tindakan CABG mempunyai angka kematian yang
cukup tinggi. Angka mortalitas subjek penelitian ditunjukkan pada tabel 4.15.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data tentang karakteristik pasien PJK
yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG sebesar 6,71%.
2. Pasien PJK yang dilakukan CABG terbanyak pada kelompok usia 45-64 tahun
dengan rerata usia 57,36 tahun dan mayoritas pasien PJK yang dilakukan
CABG berjenis kelamin laki-laki.
3. Riwayat hipertensi merupakan faktor risiko terbanyak pada pasien PJK yang
dilakukan CABG.
4. Komplikasi pasca bedah terjadi pada 56 orang (80%) yang dilakukan CABG
dan gagal ginjal akut merupakan komplikasi pasca operasi yang paling banyak
terjadi yaitu sebesar 44,3%.
5. Mortalitas pasien PJK yang dilakukan CABG sebesar 18,6%.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat disampaikan adalah :
1. Diharapkan melalui penelitian ini, tenaga kesehatan dapat mengenali dan
mencegah komplikasi pasca bedah pada pasien PJK yang akan dilakukan
CABG.
2. Disarankan kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan yang merupakan
rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
dapat melengkapi dan melakukan penyimpanan data rekam medis dengan baik
agar memudahkan mahasiswa untuk melakukan penelitian.
41
42
Omer, S., Cornwell, L. D. and Bakaeen, F. G., 2017, ‘Acquired Heart Disease:
Coronary Insufficiency’, in Townsend, C. M., Beauchamp, R. D., Evers, B.
M., and Mattox, K. L. (eds) SABISTON TEXTBOOK of SURGERY: The
BIOLOGICAL BASIS of MODERN SURGICAL PRACTICE. 20th edn.
Elsevier, pp. 1658–1690.
PERKI ,2015, Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut, Pedoman Tatalaksan
Sindrome Koroner Akut. doi: 10.1093/eurheartj/ehn416.
Pretto, P., Martins, G. F., Biscaro, A., Kruczan, D. D. and Jessen, B., 2015,
‘Perioperative myocardial infarction in patients undergoing myocardial
revascularization surgery’, Rev Bras Cir Cardiovasc, 30(1), pp. 49–54. doi:
10.5935/1678-9741.20140059.
Price, S. A. and Wilson, L. M., 2014, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. 6th edn. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Rachmat, J., Paruhito, Tahalele, P., Dahlan, M., Hakim, T. and Jusi, D., 2010,
‘Jantung,Pembuluh darah, dan Limf’, in Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja,
W., Prasetyono, T., and Rudiman, R. (eds) Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd edn.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC, pp. 548–549.
Rosmaliana, 2016, Perbandingan Angka Kematian Off Pump Dan On Pump Pada
Pasien-Pasien Yang Menjalani Bedah Pintas Arteri Koroner di rumah sakit
Haji Adam Malik.
Santoso, T., 2014, ‘Intervensi Koroner Perkutan’, in Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo,
A., K, S. M., Setiyohadi, B., and Syam, F. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th edn. Jakarta: Interna Publishing, pp. 1480–1490.
Selnes, Ola A., Gottesman, Rebecca F.,. Grega, Maura A., Baumgartner, William
A., Zeger, Scott L., and McKhann, Guy M., 2012, ‘Cognitive and
Neurologic Outcomes after Coronary-Artery Bypass Surgery’.
Sousa, A. G. De, Zenaide, M., Fichino, S., Silveira, G., Cortez, F., Bastos, C. and
Piotto, R. F., 2015, ‘Epidemiology of coronary artery bypass grafting at the
Hospital Beneficência Portuguesa , São Paulo’, pp. 33–39. doi:
10.5935/1678-9741.20140062.
Stone, G. W., Maehara, A., Lansky, A. J., de Bruyne, B., Cristea, E., Mintz, G. S.,
Mehran, R., McPherson, J., Farhat, N., Marso, S. P., Parise, H., Templin, B.,
Riwayat Pelatihan :
1. PMB (Penyambutan Mahasiswa Baru) 2014 Fakultas Kedokteran USU
Tahun 2014
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Standing Committee on Public Health Pemerintahan Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (SCOPH PEMA FKUSU)
(2015-Sekarang)
Descriptive Statistics
Maximu Std.
N Minimum m Mean Deviation
Usia 70 41 76 57,36 7,796
Valid N
70
(listwise)
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 45 tahun 3 4,3 4,3 4,3
45-64 tahun 56 80,0 80,0 84,3
65-74 tahun 10 14,3 14,3 98,6
= 75 tahun 1 1,4 1,4 100,0
Total 70 100,0 100,0
Jenis kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Perempuan 11 15,7 15,7 15,7
Laki-laki 59 84,3 84,3 100,0
Total 70 100,0 100,0
Riwayat keluarga
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 33 47,1 47,1 47,1
Tidak 37 52,9 52,9 100,0
Total 70 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 43 61,4 61,4 61,4
Tidak 27 38,6 38,6 100,0
Total 70 100,0 100,0
Status merokok
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 39 55,7 55,7 55,7
Tidak 31 44,3 44,3 100,0
Total 70 100,0 100,0
Hipertensi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 51 72,9 72,9 72,9
Tidak 19 27,1 27,1 100,0
Total 70 100,0 100,0
Diabetes melitus
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 36 51,4 51,4 51,4
Tidak 34 48,6 48,6 100,0
Total 70 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 14 20,0 20,0 20,0
Tidak 56 80,0 80,0 100,0
Total 70 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 56 80,0 80,0 80,0
Tidak 14 20,0 20,0 100,0
Total 70 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 16 22,9 22,9 22,9
Tidak 54 77,1 77,1 100,0
Total 70 100,0 100,0
Aritmia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 15 21,4 21,4 21,4
Tidak 55 78,6 78,6 100,0
Total 70 100,0 100,0
Infark miokard
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 14 20,0 20,0 20,0
Tidak 56 80,0 80,0 100,0
Total 70 100,0 100,0
Stroke
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 70 100,0 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 31 44,3 44,3 44,3
Tidak 39 55,7 55,7 100,0
Total 70 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 1 1,4 1,4 1,4
Tidak 69 98,6 98,6 100,0
Total 70 100,0 100,0
Meninggal
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 13 18,6 18,6 18,6
Tidak 57 81,4 81,4 100,0
Total 70 100,0 100,0