Anda di halaman 1dari 76

PERBEDAAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH PADA

PASIEN APENDISITIS AKUT DENGAN APENDISITIS


PERFORASI DI RSUD. DR. H. ABDUL
MOELOEK PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2018-2019

Skripsi

OLEH :
INDAMAYATI OKTAVIA KHALIFATUNNISA
NPM. 15310106

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2019

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : PERBEDAAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT


DARAH PADA PASIEN APENDISITIS AKUT
DENGAN APENDISITIS PERFORASI DI RSUD.
DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI
LAMPUNG TAHUN 2018-2019

Nama : INDAMAYATI OKTAVIA KHALIFATUNNISA

Nomor Pokok Mahasiswa : 15310106

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran Umum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Mizar Erianto, Sp. B. dr. Zulhafis Mandala, M.M

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

dr. Toni Prasetia, Sp.PD., FINASIM

ii
MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Pembimbing I : dr. Mizar Erianto, Sp. B ......................

Pembimbing II : dr. Zulhafis Mandala, M.M ......................

Penguji : dr. Andi Siswandi, Sp. B, M.kes ......................

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

dr. Toni Prasetia, Sp.PD., FINASIM

Tanggal Lulus Ujian Skripsi :

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis ilmiah dengan judul “PERBEDAAN

ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH PADA PASIEN APENDISITIS AKUT

DENGAN APENDISITIS PERFORASI DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK

PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2018-2019” adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan

didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan

yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum / tidak diterbitkan, sumbernya

dijelaskan didalam tulisan dan daftar pustaka.

Bandar Lampung, 28 Maret 2019

Penulis,

Indamayati Oktavia Khalifatunnisa

iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Malahayati, saya yang bertanda tangan dibawah
ini:

Nama : Indamayati Oktavia Khalifatunnisa

NPM : 15310106

Jurusan : KEDOKTERAN UMUM

Jenis Karya Ilmiah : SKRIPSI

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk diberikan kepada


Universitas Malahayati Hak Bebas Royalti Noneksklusif (non-exclusive royalty free
right) atau karya saya yang berjudul:

Perbedaan antara Jumlah Leukosit Darah pada Pasien Apendisitis Akut dengan
Apendisitis Perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun
2018-2019

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan ini hak bebas royalti/noneksklusif
ini Universitas Malahayati berhak menyimpannya, mengalih mediakan/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan
karya ilmiah saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan
sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Bandar Lampung

Pada Tanggal, 22 Februari 2019

Penulis,

Indamayati Oktavia Khalifatunnisa

v
BIODATA

Nama : Indamayati Oktavia Khalifatunnisa

NPM : 15310106

Tempat,Tanggal Lahir: Cianjur, 09 Oktober 1997

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Bogor

Riwayat Pendidikan:

2001 – 2003 : Lulus TK Miftahul Jannah, Bogor


2003 – 2009 : Lulus SD Negeri 02 Ciawi, Bogor
2009 – 2012 : Lulus SMP Negeri 01 Ciawi, Bogor
2012 – 2015 : Lulus SMA Negeri 01 Ciawi, Bogor
2015 – Sekarang : Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati,

Bandar Lampung

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan

Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyusun dan menyelesaikan Proposal Skripsi dengan Judul “PERBEDAAN

ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH PADA PASIEN APENDISITIS AKUT

DENGAN APENDISITIS PERFORASI DI RSUD. DR. H. ABDUL MOELOEK

TAHUN 2017”. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi pernyataan mencapai gelar sarjana

kedokteran umum di universitas Malahayati. Shalawat serta salam kepada Nabi

Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan sahabat beliau, yang senantiasa

memberikan inspirasi tentang berbagai hal dalam menyikapi kehidupan menuju ridho

Allah SWT.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah

mendorong dan membimbing penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis

ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Muhammad Kadafi, S.H, M.H selaku Rektor Universitas Malahayati

2. dr. Toni Prasetya, Sp. PD., FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Malahayati Bandar Lampung.

3. dr. H. Dalfian Adnan, TH, selaku Kepala Program Studi Fakultas Kedokteran

Universitas Malahayati Bandar Lampung.

4. dr. Andi Siswandi, Sp.B, M.kes., selaku penguji, yang telah menyediakan

waktunya untuk membingbing, memberi motivasi, dan membagi ilmu dalam

menyusun skripsi ini.

vii
5. dr. Mizar Erianto, Sp.B selaku pembimbing I, yang telah menyediakan waktunya

untuk membimbing, memberi motivasi, dan membagi ilmu dalam menyusun

skripsi ini.

6. dr. Zulhafis Mandala, M.M selaku pembimbing II, yang telah menyediakan

waktunya untuk membimbing, memberi motivasi, dan membagi ilmu dalam

menyusun skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis Ayahanda Maman Supardi, S.Pd., M.Si. dan Ibunda

Nuryati, Amd. Keb. yang selalu memberikan motivasi semangat doa serta

dukungan baik moril maupun materil.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan

proposal ini, baik dari segi isi maupun penyajiannya, untuk itu penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka menyempurnakan

proposal skripsi ini sehingga penelitian dapat terlaksana dengan optimal.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, Januari 2018

Penulis

viii
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

Skripsi, Maret 2019

INDAMAYATI OKTAVIA KHALIFATUNNISA

PERBEDAAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH PADA PASIEN


APENDISITIS AKUT DENGAN APENDISITIS PERFORASI DI RSUD. DR. H.
ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2018-2019

xvi + 69 Halaman + 22 Tabel + 5 Gambar + Lampiran

ABSTRAK

Latar belakang : Kehamilan merupakan kondisi alamiah yang unik karena meskipun bukan
penyakit, tetapi seringkali menyebabkan komplikasi akibat berbagai perubahan anatomik serta
fisiologik dalam tubuh ibu. Salah satu perubahan fisiologik yang terjadi adalah perubahan
hemodinamik, masalah kehamilan yang berkaitan dengan darah diantaranya anemia. Anemia
adalah kondisi dimana berkurangnya sel darah merah dalam sirkulasi darah atau massa
hemoglobin sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen keseluruh
jaringan tubuh. Kadar hemoglobin merupakan indikator biokimia untuk mengetahui status gizi
ibu hamil.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor apa saja yang
mempengaruhi kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester II.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Sampel penelitian ini
adalah 50 ibu hamil yang didapatkan dari perhitungan Purposive Sampling. Analisis data
menggunakan analisa univariat.
Hasil penelitian: Kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester II sebagian besar termasuk dalam
kelompok anemia ringan sebanyak 39 responden (78%),diantaranya 35 ibu hamil (70%) dengan
usia 20 – 35 tahun, 23 ibu hamil (46%) dengan multigravida, 37 ibu hamil (74%) dengan ukuran
LILA ≥ 23,5 cm, 21 ibu hamil (42%) dengan pendidikan SMA, 20 ibu hamil (40%) dengan
kelompok IRT, 39 ibu hamil (78%) dengan kelompok tidak merokok, 39 ibu hamil (78%)
dengan kelompok tidak konsumsi alkohol.
Kesimpulan: Kadar Hemoglobin pada ibu hamil trimester II di Klinik Pratama Wede Ar –
Rachman Kecamatan Way Halim Bandar Lampung mayoritas mengalami anemia ringan (78%).

Kata kunci: Hemoglobin, Ibu Hamil, Trimester II

Kepustakaan: 49 (2013 – 2018)

ix
MEDICAL FACULTY
MALAHAYATI UNIVERSITY
A Thesis, February 2019
NIA NOVIA ANGGRAINI
FACTORS AFFECTING HEMOGLOBIN LEVELS OF SECOND TRIMESTER
PREGNANT WOMEN IN PRATAMA WEDE AR – RACHMAN CLINIC WAY
HALIM SUB-DISTRICT, BANDAR LAMPUNG YEAR 2019

xvi + 69 pages + 22 tables + 5 Images + Attachments


ABSTRACT
Background: Pregnancy is a natural condition that is unique because although not a disease,
but often causes complications due to various anatomic and physiological changes in the body
of the mother. One of the physiological changes that occur are hemodynamic changes,
pregnancy-related problems including anemia blood. Anemia is a condition in which a
reduction of red blood cells in the blood circulation or the mass of hemoglobin and is unable to
fulfill its function as a carrier of oxygen throughout the body. The hemoglobin level is a
biochemical indicator to determine the nutritional status of pregnant women.
Objective: This study aims to determine the factors - factors that affect hemoglobin levels of
second trimester pregnant women.
Methods: This research uses descriptive quantitative method. Samples were taken from 50
pregnant women were obtained from the calculation purposive sampling. Analysis of data using
univariate analysis.
Results: Hemoglobin levels in pregnant women trimester II largely included in a group of mild
anemia as much as 39 respondents (78%), including 35 pregnant women (70%) with age of 20-
35 years, 23 pregnant women (46%) with multigravida, 37 pregnant women (74%) with LILA
size ≥ 23m5 cm, 21 pregnant women (42%) with a high school education, 20 pregnant women
(40%) with the group housewife, 39 pregnant women (78%) with a group of non-smokers, 39
pregnant women (78%) with no alcohol consumption.
Conclusion: Hemoglobin levels of trimester II pregnant women in Pratama Wede Ar - Rachman
Clinic Way Halim Sub-District, Bandar Lampung majority experience mild anemia (78%).

Keywords: Hemoglobin, Pregnant Women, Trimester II

Bibliography: 49 (2013 - 2018)

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................ v
BIODATA ................................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................................ ix
ABSTRACT .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xvi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 7


2.1 Apendisitis ......................................................................................... 7
2.2 Leukosit ............................................................................................. 27
2.3 Kerangka Teori .................................................................................. 34
2.4 Kerangka Konsep .............................................................................. 35
2.5 Hipotesis …………............................................................................ 35

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 35


3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ......................................................... 36
3.2 Tempat dan Waktu Penelitia6 ............................................................ 36
3.3 Populasi dan Sampel........................................................................... 37
3.4 Kriteria Sampel Penelitian ................................................................. 37
3.5 Variabel Penelitian ............................................................................ 38
3.6 Definisi Operasional ........................................................................... 38
3.7 Pengumpulan Data.............................................................................. 39
3.8 Pengolahan Data ................................................................................. 39
3.9 Analisa Data ....................................................................................... 40
3.10 Alur penelitian .................................................................................... 41

xi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 42
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 42
4.2 Pembahasan ........................................................................................ 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 52


5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 52
5.2 Saran ................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Skor Alvarado ....................................................................................... 25

Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 38

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis pekerjaan pada pasien
Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul
Moeloek ................................................................................................ 43

Tabel 4.2 Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin pada pasien
Apendisitis Akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul
Moeloek ................................................................................................ 44

Tabel 4.3 Karakteristik subjek penelitian berdasarkan umur pasien Apendisitis akut
dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek ............... 44

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi Leukosit pada pasien Apendisitis akut dan Apendisitis
perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek ......................................... 45

Tabel 4.5 Hasil test Uji Normalitas, perbedaan jumlah leukosit darah pada pasien
Apendisitis akut dengan Apenditis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul
Moeloek ............................................................................................... 46

Tabel 4.6 Hasil analisis Uji T-test Independent perbedaan jumlah leukosit darah pada
pasien Apendisitis akut dengan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H.
Abdul Moeloek ..................................................................................... 47

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Apendiks pada saluran pencernaan ........................................... 7

Gambar 2.2 Gambaran klinis pada apendisitis akut ..................................... 15

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian ........................................................ 34

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian ..................................................... 35

Gambar 3.1 Alur Penelitian .......................................................................... 41

xiv
DAFTAR SINGKATAN

GALT Gut Associated Lymphoid Tissue

CT-Scan Computed Tomography Scan

USG Ultrasonografi

PMN Polymorphonuclear

IRT Ibu Rumah Tangga

PNS Pegawai Negeri Sipil

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Presurvey

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian

Lampiran 3. Data Penelitian

Lampiran 4. Lembar Uji Statistik SPSS

Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

Lampiran 6. MOTTO

Lampiran 7. PERSEMBAHAN

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendiks atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah usus buntu, adalah

penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan dan memerlukan tindakan

bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sandy, 2010)

apendisitis merupakan penyebab tersering operasi kegawatdaruratan dan salah satu

penyebab tersering nyeri abdomen akut (Craig & Sandy, 2014) pada abad ke-20 angka

prevalensi apendisitis di negara barat cukup stabil. Pada tahun 2015, di Amerika Utara

angka insiden mencapai 100 tiap 100.000 orang/tahun dengan diagnosis Apendisitis

400.000. Sebaliknya, di negara-negara industri baru seperti Asia, Timur Tengah,

Amerika Selatan dan Africa, angka kejadian Apendisitis meningkat. Sejak tahun 2000,

angka insiden di negara-negara Asia, Amerika Selatan, Timur Tengah lebih tinggi

dibandingkan dengan negara barat (Ferris , et al., 2017).

Terdapat 259 juta kasus apendisitis pada laki-laki di seluruh dunia yang tidak

terdiagnosis, sedangkan pada perempuan terdapat 160 juta kasus apendisitis yang tidak

terdiagnosis. Tujuh persen populasi di amerika serikat menderita apendisitis dengan

prevalensi 1,1 kasus tiap 1000 orang pertahun. Angka kejadian apendisitis akut

mengalami kenaikan dari 7,62 menjadi 9,38 per 10.000 dari tahun 1993 sampai 2008

(Buckius, et al., 2011) apendisitis dapat ditemukan pada semua umur hanya pada anak-

anak ≤ 1 tahun jarang dilaporkan. Angka kejadian apendisitis di Indonesia dilaporkan

sekitar 95/1000 penduduk dengan jumlah

xvii
kasus sekitar 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian tertinggi di

ASEAN. Kejadian Apendisitis akut di negara berkembang tercatat lebih rendah

dibandingkan dengan negara maju. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati

urutan pertama sebagai angka kejadian Apendisitis akut tertinggi dengan

prevalensi 0.05%, diikuti oleh Filipina sebesar 0.022% dan Vietnam sebesar

0.02%. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2014 di Indonesia,

Apendisitis menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatdaruratan

abdomen (Departemen Kesehatan, 2015).

Insiden apendisitis di Bandar Lampung terbilang cukup tinggi,

berdasarkan data yang diperoleh didapatkan bahwa pasien apendisitis tercatat

sebanyak 495 orang. Pasien tersebut terdiri dari pasien rawat jalan sebanyak 306

orang dan yang rawat inap sebanyak 189 orang pada tahun 2010 (Julian R, 2013)

insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun. Insiden pada laki-laki dan

perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insiden

pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Sjamsuhidajat R, et al., 2016)

pada pasien usia lanjut dengan apendisitis sering sulit untuk di diagnosis

dibandingkan dengan pasien yang lebih muda, sebab banyak kemungkinan

diagnosis diferensial yang di dapatkan pada pasien usia lanjut dengan apendisitis,

serta sulitnya komunikasi yang efektif, sehingga kejadian ini dapat menjadi faktor

yang berkontribusi terhadap laju perforasi yang sangat tinggi (Brunicardi F, et al.,

2009)
Nyeri samar-samar dan tumpul di daerah epigastrium merupakan gejala

khas yang timbul pada apendisitis akut (Sjamsuhidajat R, et al., 2016) apabila

nyeri tersebut terjadi pada periode waktu tertentu akan berpindah ke kuadran

kanan bawah perut pada titik McBurney, disertai mual, muntah dan anoreksia.

Jika dibiarkan dalam waktu lama akan menimbulkan komplikasi berupa perforasi,

peritonitis abses dan infeksi luka operasi (Jangjoo A, et al., 2011) pemeriksaan

dan diagnosis yang terlambat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas

akibat risiko terjadinya apendisitis perforasi (Nasution AP, 2013) salah satu

kesulitan dalam mendiagnosa apendisitis akut yaitu karena adanya angka negatif

apendiktomi yang masih merupakan masalah sampai saat ini karena berkisar 15-

20%. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat berupa Ultrasonography,

Computed Tomography (CT) Scan, dan hitung jenis leukosit darah (Marisa, et al.,

2013).

Karena biayanya yang mahal dan tidak semua unit pelayanan kesehatan

memilikinya, pemeriksaan ini jarang digunakan, salah satu pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hitung jumlah leukosit.

Pemeriksaan jumlah leukosit darah merupakan salah satu pemeriksaan

laboratorium yang cepat dan murah untuk dapat menentukan diagnosa apendisitis

akut dan apendisitis perforasi. Biasanya ditemukan leukositosis pada pemeriksaan

laboratorium dan sering ditemukan pada kasus dengan komplikasi berupa

perforasi. Adanya perubahan anatomi apendiks vermiformis berupa penyempitan

lumen, gejala yang tidak khas, terlambat berobat, dan arteriosklerosis merupakan
faktor – faktor yang mempengaruhi tingginya insiden apendisitis perforasi

(Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

Nilai leukosit darah meningkat >10.000/mm3 dan hitung jenis leukosit

darah terdapat pergeseran ke kiri pada pasien apendisitis akut. Leukositosis lebih

dari 13.000 / mm3 adalah indikasi apendisitis akut. Pemeriksaan jumlah leukosit

darah memiliki sensitivitas, dan spesifisitas masing-masing yaitu 97,82% dan

55,55% (H John, et al., 2013) Pada pasien dengan jumlah leukosit darah yang

meningkat >18.000 sel/mm3 menyebabkan kemungkinan terjadinya apendisitis

perforasi. pasien dengan apendisitis perforasi memiliki jumlah leukosit darah

lebih dari atau sama dengan 20.000 sel/mm3 (RN Goulart, et al., 2013)

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dan analisa tentang perbedaan jumlah leukosit darah pada pasien

apendisitis akut dengan apendisitis perforasi di RSUD Dr. H Abdul Moeloek

Provinsi Lampung Tahun 2018-2019

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Apakah terdapat perbedaan antara jumlah leukosit darah pada pasien apendisitis

akut dengan pasien apendisitis perforasi dan adakah hubungan antara jumlah

leukosit darah pada pemeriksaan apendisitis akut dengan kejadian perforasi

apendisitis?
1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Membuktikan adanya perbedaan antara jumlah leukosit darah pada pasien apendisitis

akut dengan kejadian apendisitis perforasi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui jumlah distribusi frekuensi jumlah leukosit pada pasien apendisitis

akut di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung 2018-2019

2) Mengetahui jumlah distribusi frekuensi jumlah leukosit pada apendisitis perforasi

di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung 2018-2019

3) Mengetahui perbandingan jumlah leukosit darah pada pasien apendisitis di RSUD

Dr. H. Abdul Moeleok Provinsi Lampung Tahun 2018-2019

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Malahayati

Sebagai referensi khususnya bagi Mahasiswa Kedokteran Universitas Malahayati

mengenai Analisis perbedaan antara jumlah leukosit darah pada pasien apendisitis akut

dan apendisitis perforasi di RSUD Dr. H. Abdul Moeleok Provinsi Lampung tahun 2018-

2019
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian

Diharapkan dapat menjadi bahan informasi tambahan bagi RSUD Dr. H. Abdul

Moeleok Provinsi Lampung mengenai Analisis perbedaan antara jumlah leukosit darah

pada pasien apendisitis akut dan apendisitis perforasi.

1.4.3 Bagi Peneliti

Untuk mendapatkan data mengenai perbedaan jumlah leukosit darah pasien apendisitis

akut dengan apendisitis perforasi di RSUD Dr. H. Abdul Moeleok Provinsi Lampung

Tahun 2017.

1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat menjadi sumber referensi tambahan untuk penelitian dengan variabel

yang sama.

1.5 Ruang Lingkup

Desain penelitian ini adalah analitik retrospektif dengan menggunakan metode

cross sectional dengan 36 sampel untuk mencari distribusi frekuensi jumlah leukosit

darah. Data diambil dari catatan medis pasien apendisitis di RSUD DR. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017. Data yang diambil dilakukan menggunakan

Independent T-test dengan batas kemaknaan adalah p<0,005.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apendisitis

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi

Apendisitis adalah radang pada usus buntu dalam bahasa latinnya

appendiks vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk kerucut memanjang

dengan panjang 6-9 cm dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar

bernama sekum yang terletak pada perut kanan bawah (Alder AC, 2016)

Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Apendiks

merupakan satu-satunya organ tubuh yang tidak mempunyai posisi anatomi yang

konstan. Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang menupakan

arteri tanpa kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persyarafannya berasal

dari cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (N. Vagus) dari plexus

mesentericus superior (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

Gambar 2.1 Apendiks pada saluran pencernaan


Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal

dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan

aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis

apendisitis. Immunoglobulin secretor yang dihasilkan oleh Gut Associated

Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna

termasuk apendiks adalah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif

sebagai pelindung terhadap infeksi namun demikian, pengangkatan

apendiks tidak pempengaruhi system imun tubuh karna jumlah jaringan

limfe disini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran

cerna dan diseluruh tubuh (Price SA & Wilson LM, 2012).

2.1.2 Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis (Price

SA & Wilson LM, 2012) Atau inflamasi apendiks yang mengenai dinding

organ tersebut. Inflamasi menyebabkan apendiks membengkak dan nyeri

yang menimbulkan gangren karena suplai darah terganggu. Apendiks juga

dapat pecah biasanya terjadi antara 36 dan 48 jam setelah awitan gejala

(Corwin EJ, 2009).

1. Apendisitis akut

Apendisitis akut merupakan suatu obstruksi lokal dan

melibatkan infeksi dari dalam apendiks itu sendiri (Donahue CA,

Lacobuzio, & Montgomery Elizabeth, 2012).

2. Apendisitis perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah

gangren, yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut

sehingga terjadi peritonitis pada daerah perforasi tampak dikelilingi

oleh jaringan nekrosis, adanya massa intraabdomen yang nyeri

disertai demam harus dicurigai sebagai abses (Sjamsuhidajat R, et al.,

2016).

2.1.3 Etiologi

Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen

apendikeal oleh apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit

(material garam kalsium, debris fekal) atau parasit (Price SA & Wilson LM,

2012) fekalit merupakan penyebab utama terjadinya obstruksi apendiks

vermiformis (Brunicardi F, Dana Andersen, Timothy Biliar, David Dunn,

Jhon Hunter, & Jeffrey Mathew, 2009) disamping hiperplasia jaringan

limfoid, tumor apendiks vermiformis, dan cacing ascaris dapat pula

menyebabkan sumbatan. Erosi mukosa apendiks vermiformis akibat parasit

E. hystoyitica merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan apendiks

(Sjamsuhidajat R, et al., 2016) serta pengaruh konstipasi, berhungan dengan

timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang

berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks vermofirmis dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon (Norton J, et al., 2008).

Penyebab apendisitis: (Corwin EJ, 2009)

1. tanpa penyebab yang jelas

2. setelah obstruksi apendiks oleh feses


3. akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya.

2.1.4 Epidemiologi

Apendisitis dinegara maju lebih tinggi daripada di Negara

berkembang. Namun, dalam 3-4 dasawarsa terakhir kejadiannya menurun

secara bermakna hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan

makanan berserat pada diet harian. Apendisitis dapat ditemukan pada semua

umur, hanya pada anak ≤ 1 tahun jarang terjadi (Price SA & Wilson LM,

2012) namun paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda (Corwin

EJ, 2009) insidens tertinggi ditemukan pada kelompok umur 20-30, setelah

itu menurun. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,

kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada laki-laki lebih tinggi,

hal ini berhubungan dengan hiperplasia jaringan limfoid karena jaringan

limfoid mencapai puncak pada usia pubertas (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

2.1.5 Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasia folikel limfoid, felikat, benda asing, striktur karena fibrosis

akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Naulibasa & Katerin,

2011).

Dikarenakan apendisitis berlanjut terus, maka suplai darah diganggu

oleh infeksi bakteri di dalam dinding dan distensi lumen oleh sekresi mucus

dan pembentukan pus. Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan

terus meningkat, hal tersebut dapat menyebabkan obstruksi vena, edema


bertambah dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul

meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di

daerah perut kanan bawah, keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan gangren, stadium ini disebut dengan apendisitis

gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis

perforasi (Mansjoer, 2010) waktu yang diperlukan bagi perkembangan

apendisitis supurativa atau gangrenosa serta komplikasi penyerta bervariasi,

tetapi bisa kurang dari 8 sampai 12 jam. Proses radang yang berdekatan atau

mungkin menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Proses randang yang

disertai dengan perforasi bisa berlanjut dengan obstruksi usus dan ileus

paralitik (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

Dalam patogenesis apendisitis akut, terjadi melalu tiga fase: (Aryanti &

Adhita D, 2009).

1. Obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang

menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal

2. Kerika tekanan intraluminal meningkat, terjadi dalam mukosa venula

dan limfatik meningkat, aliran darah dan limfe terhambat karena

tekanan meningkat pada dinding apendiks.

3. Ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa inflamasi

dan ulserasi kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam lumen dan

bakteri menyerang mukosa dan submukosa sehingga terjadi inflamasi

transmural, edema, vaskular statistik, dan nekrosis dari muscular.

Perforasi mungkin dapat terjadi, pada perjalanan penyakitnya.


2.1.6 Klasifikasi Appendisitis

Apendisitis diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Apendisitis akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat.

Apendisitis akut dibagi menjadi :

a. Apendisitis akut purulenta (supurative appendicitis)

Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema

menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks

dan menimbulkan thrombosis. Keadaan ini memperberat iskemia

dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada dalam usus

besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi

serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan

fibrin. Apendisitis akut purulenta ditandai dengan rangsangan

peritoneum local seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik

McBurney, defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut

disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2010).

b. Apendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arterri

mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangrene. Selain

diapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangrene

pada bagian terntentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau


keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa

terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang

purulen (Rukmono, 2010).

c. Apendisitis infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang

penyebarannya dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolom,

dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa plegmon

yang melekat erat satu dengan lainnya (Rukmono, 2010).

d. Apendisitis abses

Apendisitis abses terjadi bila massa local yang terbentuk berisi

nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum,

retrosekal, sebsekal dan pelvikal (Rukmono, 2010).

e. Apendisitis perforasi

Aapendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah

gangren yang menyebabkan pus masuk ke rongga perut sehingga

terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah

perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrosis (Rukmono, 2010).

2. Apendisitis kronik

Apendisitis kronik dapat ditegakan jika ditemukan adanya

riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik

apendiks secara mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis

kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan

parsial atau total lumen apendiks. Adanya jaringan parut dan ulkus
lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Apendisitis kronik

dapat menjadi apendisitis akut kembali dan

disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas

sudah adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2010).

2.1.7 Manifestasi Klinis

Apendisitis akut merupakan diagnosis abdomen yang paling mudah

atau paling sulit. Kasus klasik ditandai dengan (1) rasa tidak nyaman ringan

didaerah umbilikalis, diikuti oleh (2) anoreksia, mual dan muntah, yang

disertai oleh (3) nyeri tekan kuadran kanan bawah, yang ada dalam beberapa

jam berubah menjadi (4) rasa pegal dalam atau nyeri di kuadran kanan

bawah. Demam dan leukositosis pada awal perjalanan penyakit (Price SA

& Wilson LM, 2012) (5) dapat disertai perut kembung bila ada perlengketan

karena appendicitis dengan peradangan hebat (6) dapat disertai nyeri

seluruh perut bila terjadi peritonitis karena terjadi kebocoran apendiks dan

meluasnya abses dalam rongga perut (7) nyeri perut kanan bawah dapat juga

memberikan gejala mirip dengan apendisitis tetapi sebenarnya diakibatnya

kebocoran akut duodenum ke retroperitoneal atau disebut juga dengan

sindroma valentine (Kollar D, McCartan DP, Bourke M, Cross KS, &

Dowdall J, 2015) gejala ini umunya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari

(Naulibasa & Katerin, 2011) Kadang tidak ada nyeri di daerah epigastrium,

tetapi dapat kontipasi sehingga penderita memerlukan obat pencahar

(Sjamsuhidajat R, et al., 2016)


 tanda awal
nyeri dimulai di epigastrium atau region umbilicus di sertai mual dan anoreksia

 nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukan tanda rangsangan peritoneum local di titik McBurney
nyeri tekan

nyeri lepas

defans muscular

 nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung


 nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing)
 nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
 nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan.

Gambar 2.2 Gambaran klinis apendisitis akut

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga

tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi (Sjamsuhidajat R, et

al., 2016).

2.1.8 Komplikasi

Peritonitis secara bermakna meningkatkan resiko komplikasi pasca

pembedahan. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi,

baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah

mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan

apendiks, sekum dan keluk usus (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

Adapun jenis komplikasinya diantaranya:

1. Abses

Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus.

Teraba massa lunak dikuadran kanan bawah atau pelvis. Massa ini

mula-mula flegmon dan berkembang menjadi rongga yang


mengandung pus. Hal ini terjadi apabila apendisitis gangren atau

mikroperfusi ditutupi oleh omentum (Sjamsuhidajat R, et al., 2016)

2. Perforasi

Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga

bakteri menyebar ke rongga abdomen. Perforasi jarang terjadi dalam

12jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24

jam. Perforasi dapat diketahui praoperatifnya pada 70% kasus dengan

gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih

dari 38 derajat C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan

leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik

berupa perforasi bebas maupun mikroperfusi dapat menyebabkan

peritonitis (Humes DJ & Simpson J, 2008).

3. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi

atau kondisi aseptik pada selaput organ perut (peritoneum).

Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ

perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi peritonitis bisa

terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik (Fauci A, et al.,

2008)

2.1.9 Komplikasi Paska Bedah

1. Infeksi Luka (Wound Infection)

Angka kejadian infeksi luka paska bedah ditentukan oleh

kontaminasi luka pada pasien saat tindakan bedah. Angka kejadian


infeksi bermacam-macam mulai kurang dari 5% pada apendisitis

sampai 20% pada kasus perforasi dan gangrenosa. Penggunaan

antibiotik selama tindakan bedah menunjukan penurunan angka

kejadian infeksi luka paska bedah (Guyton AC, 2007)

2. Abses Intraabdomen

Abses intraabdomen atau pelvik dapat terbentuk pada periode

paskabedah setelah terjadi kontaminasi di rongga peritoneal. Pasien

biasanya merasakan swinging pyrexia. Diagnosis dapat diperkuat

dengan ultrasonografi (USG) atau computed tomografi scanning

2.1.10 Faktor Resiko

Beberapa faktor penyebab apendisitis diantaranya:

1. sumbatan lumen apendiks, tumor dan cacing ascaris

2. erosi mukosa apendiks akibat parasite E. histolitica

3. kebiasaan makan-makanan rendah serat

4. pengosongan isi apendiks terhambat akibat stenosis, adeshi

dan

mesoapendiks pendek (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

2.1.11 Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu

dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu sebagai berikut:


1. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual muntah dan diare mendahului rasa

nyeri. Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak terbatas tegas. Sering

dijumpai hiperperistalsis, panas dan leukositosis kurang menonjol

dibadingkan apendisitis akut.

2. Demam dengue

Dapat dimulai dengan rasa nyeri perut mirip peritonitis. Pada

penyakit ini, didapatkan hasil tes positiff untuk rumple leed.

Trombositopenia, dan peningkatan hematokrit.

3. Limfadenitis mesentrika

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis, ditandai

dengan rasa nyeri pada perut, terutama perut sebelah kanan, serta

perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama

perut sebelah kanan.

4. Penyakit saluran cerna lainnya

Perfusis tukak lambung, perforasi kolon, demam tifoid

abdominalis, mukokel apendiks (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

2.1.12 Diagnosis

Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri atau sakit perut.

Hal ini terjadi akibat hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan

terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral akibat

aktivasi N.vagus. obstipasi karena penderita takut untuk mengejan.

Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi (Dapartemen Bedah


UGM, 2010) meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan

teliti, diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada

sekitar 15-20% kasus. Kesalahan didiagnosis lebih sering terjadi

pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disadari

mengingat pada perempuan, terutama yang masih muda, sering

timbul gangguan yang menyerupai apendisitis akut. Keluhan itu

berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang

pelvis atau penyakit ginekologik lain. Untuk menurunkan angka

kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis meragukan,

sebaiknya penderita observasi di rumah sakit dengan frekuensi tiap

1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat

meningkatkan akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada

kasus yang meragukan (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

2.1.13 Pemeriksaan Fisik

Tanda vital seperti peningkatan suhu jarang >10C (1.80F) dan

denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi perubahan

yang signifikan dari biasanya menunjukan bahwa komplikasi atau

perforasi terlah terjadi atau diagnosis lain dipertimbangkan.

Apendisitis perforasi ditandi dengan demam tinggi, nyeri makin hebat

berupa nyeri tekan dan defans muskuler yang meliputi seluruh perut,

disertai dengan pungtum maksimum di region iliaka kanan, dan perut

menjadi tegang dan kembung. Peristaltik usus dapat menurun sampai

menghilang akibat adanya ileus paralitik (Brunicardi F, Dana


Andersen, Timothy Biliar, David Dunn, Jhon Hunter, & Jeffrey

Mathew, 2009) pemeriksaan fisik, pasien apendisitis akut biasanya

ditemukan terbaring diranjang dan memberikan penampilan umum

tidak sehat. Kemudahan dan kesulitan pada gerakan mencapai posisi

terlentang bias menawarkan tanda pertama tentang ada atau tidaknya

iritasi peritoneum (Sjamsuhidajat R, et al., 2016)

1. Inspeksi : pada perut ditemukan gambaran spesifik perforasi.

Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.

Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses

apendikuler (Sjamsuhidajat R, et al., 2016)

2. Palpasi : didapatkan nyeri yang tebatas pada region iliaka kanan, bisa

disertai nyeri lepas. Depans muscular menunjukan adanya rangsangan

peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan

kunci diagnosis (Sjamsuhidajat R, et al., 2016).

status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :

 Nyeri tekan (+) Mc.Burney. pada palpasi didapatkan titik nyeri

tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc.Burney dan ini

merupakan tanda kunci diagnosis (Dapartemen Bedah UGM,

2010).

 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound

tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di

abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan

setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di

titik Mc.Burney (Dapartemen Bedah UGM, 2010).


 Defans muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis.

Defence mucular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen

yang menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietale

(Dapartemen Bedah UGM, 2010).

 Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran

kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen

bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas

yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang

berlawanan (Dapartemen Bedah UGM, 2010).

 Psoas sign (+). Psoas sign dilakukan dengan rangsangan otot

psoas hiperekstensi sendi kanan panggul kanan, kemudian paha

kanan ditahan (Tahir MS, 2011) psoas sign terjadi karena adanya

rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi di

apendiks (Dapartemen Bedah UGM, 2010).

 Obrurator sign (+). Obrurator sign adalah rasa nyeri yang terjadi

bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah

dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukan

peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium

(Dapartemen Bedah UGM, 2010). Obrurator sign digunakan

untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan

musculus obturator internus yang merupakan dinding panggul

kecil (Eylin, 2009).


 Rectal toucher : tonus sfingter ani baik ampula kolaps, nyeri

tekan pada arah jam 9-12, terdapat massa yang menekan rectum

jika terdapat abses (Tahir MS, 2011).

3. Perkusi : terdapat nyeri ketuk (Tahir MS, 2011).

4. Auskultasi : sering terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada

ileus pralitik Karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforasi.

Jika sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus

(Dapartemen Bedah UGM, 2010).

2.1.14 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah

untuk menunjang diagnosa apendisitis, dilakukan

pemeriksaan hitung leukosit (Sjamsuhidajat R, et al., 2016) dari

hasil pemeriksaan leukosit, nilai yang didapatkan pada

apendisitis akut adalah >10.000/mm3. Lebih dari 18.000/mm3

pada apendisitis perforasi. dan <10.000//mm3 sekitar (5.000-

10.000//mm3) pada apendisitis kronis.

b. Pemeriksaan urin

Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri

dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu menyingkirkan

diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih, atau batu ginjal

yang memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan

apendisitis (Sibuea SH, 2014).


2. Radiologis

a. Foto polos abdomen

Pada apendisitis akut yang terjadi lambat dan telah

terjadi komplikasi (misalnya peritonitis) tampak:

1) Scoliosis ke kanan

2) Psoas shadow tampak

3) Bagian gas usus kanan tak tampak

4) Garis retroperitoneum sisi kanan tubuh tak tampak

5) 5% dari penderita menunjukan fekalit radio opak

Apendikogram hasil positif bila : non filling / partial

filling, mouse tail, cut off

b. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium

meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG terutama pada

wanita. Bila dicurigai adanya abses, dengan USG dapat

menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,

apendisitiks dan lain-lain (Sjamsuhidajat R, et al., 2016)

c. CT-Scan

Dapat menunjukan tanda-tanda dari apendisitis. Selain

itu juga dapat menunjukan komplikasi dari apendisitis seperti

terjadinya abses (Sjamsuhidajat R, et al., 2016)


d. Barium enema

Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukan barium ke

colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukan

komplikasi-komplikasi dari apendisitis pada jaringan sekitarnya

dan juga untuk mrnyingkirkan diagnosis banding. Foto barium

enema yang dilakukan perlahan pada apendisitis akut

memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek

massa pada tepi medial serta inferior dari sekum (Sibuea SH,

2014).

3. Skor Alvarado

Skor Alvarado adalah 10 butir skoring untuk diagnosis

apendisitis berdasarkan symptom dan tanda klinik serta laboratorium.

Table 2.1 skor Alvarado

Kriteria Nilai

Migrasi luka ke RLQ 1

Anoreksia 1

Mual- muntah 1

Nyeri dalan RLQ 2

Rebound tenderness 1

Demam (≥37,3̊c) 1

Leukositosis (> 10.000) 2

Shift to Left (> 75%) 1


Keterangan:

<5 : Appendicitis unlikely

5-6 : Appendicitis possible

7-8 : Appendicitis probable

9-10 : Appendicitis very probable

2.1.15 Penalataksanaan

1. Penalataksanaan Apendisitis

Bila diagnosa klinik apendisitis telah ditegakan, tindakan yang

paling tepat dan paling baik adalah apendektomi. Apendiktomi dapat

dilakukan secara terbuka ataupun dengan laparoskopi (Agrawal CS,

Adhikari S, & Kumar M, 2008).

2. Penatalaksanaan Apendisitis Perforasi

Pada apendisitis perforasi perlu dilakukan laparotomi sehingga

dapat dilakukan pencucian dan pengeluaran pus, fibrin ataupun

kantung nanah dari rongga peritoneum. (Agrawal CS, Adhikari S, &

Kumar M, 2008).

2.1.16 Prognosis

Mortilitas 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah

pada dewasa. Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture

dan pemberian antibiotic yang adekuat. Keterlambatan diagnosis akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan


berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat (Sjamsuhidajat R, et al.,

2016)

2.2 Leukosit

2.2.1 Definisi

Leukosit adalah sel darah putih yang di produksi oleh jaringan

hemopoetik yang berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai

penyakit infeksi sebagai bagian dari system kekebalan tubuh. Leukosit

adalah sel heterogen yang memiliki fungsi yang sangat beragam. Walaupun

demikian sel-sel ini berasal dari suatu sel bakal (sel puncak) yang

berdifferensiasi (mengalami pematangan) sehingga fungsi-fungsi tersebut

dapat berjalan (Gandisoebroto R, 2010)

Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam

mendiagnosis apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis

lain. Pemeriksaan laboratorium yang rutin adalah jumlah leukosit darah

biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit

merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar

pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih

pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi (Sibuea SH, 2014)

2.2.2 Jenis Leukosit

1. Bergranula

a. Neutrophil

Neutrophil (polimorf) sel berdiameter 12-15µm

memiliki inti yang khas padat terdiri dari sitoplasma pucat di


antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan banyak

mengandung granula merah jambu (azuropilik) atau merah

lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer yang

muncul pada stadium promielosit dan granula sekunder yang

muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrophil

matang. Kedua granoula berasal dari lisosom, pada granula

primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan

hydrolase asam lain. Pada granula sekunder mengandung

fosfotase lindi dan lisosom. Neutrophil merupakan sel berumur

pendek dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka

hidup antara 1-4 hari dalam jaringan ikat, setelah itu neutrofil

mati (Handayani W & Haribowo AS, 2008)

b. Eusinofil

Eusinofil sel ini serupa dengan neutrophil kecuali

granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih gelap

(karena mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih dari

3 lobus inti. Mielosit eusinofil dapat dikenali tetapi dalam

stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari precursor

neutrophil. Waktu perjalanan dalam darah untuk eusinofil lebih

lama daripada untuk neutrophil. Eosinophil memasuki darah

dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam sebelum

berimigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil

menghabiskan sisa 8-12 hari dari jangka hidupnya. Eosinofil

memasuki eksudat peradangan dan nyataa memainkan peranan


istimewa pada respon alergi, pada pertahanan melawan parasite

dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama

peradangan (Handayani W & Haribowo AS, 2008)

c. Basofil

Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi

normal, diameter basophil kecil dari neutrophil yaitu sekitar 9-

10 µm. jumlahnya 1% dari total sel darah putih. Basofil

memiliki banyak granula sitoplasmanya yang menuutupi inti

dan mengandung heparin dan histamine. Dalam jaringan,

basophil menjadi “mast cells”. basophil memiliki tempat-

tempat perlengketan igG dan degranulasinya dikaitkan dengan

pelepasan histamin. Fungsinya berperan dalam repon alergi

(Handayani W & Haribowo AS, 2008)

2. Tidak Bergranula

a. Monosit

Rupa monosit bercamam-macam, dimana ia biasanya

lebih besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20

dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan

kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna

biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga

memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada.

Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan

promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit.


Monosit mencapai 3-8% dari sel darah putih, memiliki waktu

paruh 12-100 jam di dalam darah (Handayani W & Haribowo

AS, 2008)

b. Limfosit

Sebagian besar limfosit yang berada dalam darah tepi

merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10. Intinya

yang gelap berbentuk bundar atau agak berlekuk dengan

kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas. Nukleoli

normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru langit dan dalam

kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar ini. Kira-

kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar

dengan diameter 12-16. Dengan sitoplasma yang banyak

mengandung sedikit granula azuropilik. Bentuk yang lebih besar

ini dipercaya telah dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau

protein asing (Handayani W & Haribowo AS, 2008)

2.2.3 Nilai Normal Leukosit

Neonatus : 9.000-30.000/mm

Bayi/anak-anak : 9.000-12.000mm

Dewasa : 4.000-10.000mm

Berdasarkan granulasi sitoplasmanya, leukosit dibedakan

menjadi granuler meliputi basophil, eosinophil, neutrophil serta

agranuler meliputi limfosit dan monosit (Gandisoebroto R, 2010)


2.2.4 Fungsi Leukosit

 Fungsi umum leukosit adalah sebagai berikut:

1. defensif yaitu mempetahankan tubuh dari benda-benda asing

yang dilakukan oleh neutrophil dan monosit

2. reparatif yaitu memperbaiki jaringan yang rusak yang dilakukan

oleh basofil

 Fungsi khusus leukosit sebagai berikut:

1. neutrophil berperan dalam fagositosis

2. eosinophil berperan dalam mengeluarkan histamine, heparin

dan dilepaskan setelah pengikatan igI ke reseptor permukaan,

berperan penting pada reaksi hipersensitivitas segera.

3. Limfosit berperan dalam pertahanan tubuh lewat (Sel B dan sel

T), sel B memperantai imunitas humoral, sedangkan sel T

memperantarai imunitas seluler

4. Monosit berperan dalam fagositosis ekstravaskuler

(Gandisoebroto R, 2010).

2.2.5 Sifat-sifat Leukosit

Sifat-sifat leukosit sebagai berikut:

1. kemotaksis atau tertarik pada daerah yang mengeluarkan zat kimia

tertentu

2. amoeboid motion yaitu dapat bergerak sepetri amoeba

3. diapedesis yaitu dapat melewati membrane kapiler sehingga dapat

melewati pembuluh darah dengan mengerutkan selnya


4. fagositosis yaitu menghancurkan benda-benda asing yang masuk ke

dalam tubuh yang dilakukan oleh neutropil dan monosit

(gandasobrata, 2010).

2.2.6 Yang Mempengaruhi Leukosit

Peningkatan jumlah leukosit disebut dengan leukositosis

menunjukan adanya proses infeksi atau radang akut, misalnya pneumonia

(radang paru-paru), meningitis (radang selaput otak), apendisitis (radang

usus buntu), tuberculosis, tonsillitis, dan lain-lain. Selain itu dapat juga

disebabkan oleh obat-obatan, terutama asetaminofen (parasetamol),

kemoterapi kanker, antibiotika oral, dan antibiotika (penicillin,

cephalosporin) (Gandisoebroto R, 2010).

2.2.7 Kelainan Kuantitatif Leukosit

kelainan kuantitatif meliputi: (Gandisoebroto R, 2010)

1. leukositosis yaitu jumlah leukosit lebih dari normal

 fisiologi pada latihan jasmani berat, waktu pertus / melahirkan,

neonates

 kenaikan jumlah neutrophil pada keadaan patologik seperti

pada infeksi, kerusakan jaringan (crush syndrome, neoplasma,

luka bakar, keracunan CO dan Pb) kelainan metabolic

(eklampsia, gout, ketosis diabetes)


2. Leukopenia yaitu jumlah leukosit kurang dari normal (granulosit

berkurang)

a. Agranulositosis, neutropenia karena obat

b. Depresi sumsum tulang pada anemia anaplastic, osteoklorosis,

mielofibrosis, infiltrasi neoplasma.

c. Radiasi

d. Obat-obat sitostatika

e. Infeksi oleh bakteri, virus, dan ptorozoa.


2.3 Kerangka Teori

Fekalit Parasit
Obstruksi

lumen Tumor
Hyperplasia
apendiks apendiks
limpoid
vermiformis

 Iskemik
 Gangguan Vaskularis
 Kerusakan mukosa

Apendisitis Akut Inflamasi

Apendisitis supuratif

Leukositosis
Apendisitis

gangrenosa

Apendisitis

Perforasis

Gambar 2.3 Kerangka teori (Rukmono, 2010)


2.4 Kerangka Konsep

Variabel independen adalah variabel bebas yang mempengaruhi

variabel dependen (variabel terkait). Variabel independen dalam penelitian

adalah apendisitis akut dan apendisitis perforasi, sedangkan variabel

dependen (variabel terkait) variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independen adalah jumlah leukosit darah.

Variabebl dependen Variabel independen

Apendisitis Jumlah Analisis Data

Akut dan leukosit

Apendisitis Darah

Perforasi Gambar 2.4 Kerangka konsep

2.5 Hipotesa

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

H0 :Tidak ada perbedaan antara jumlah leukosit darah pada

pasien apendisitis akut dengan apendisitis perforasi di

RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun

2017.

H1 :Ada perbedaan antara jumlah leukosit darah pada pasien

apendisitis akut dengan apendisitis perforasi di RSUD. Dr.

H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik restrospektif dengan

pendekatan studi cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui

perbedaan antara variable dependen (apendisitis akut dan apendisitis

perforasi) dengan variable independen (jumlah leukosit darah)

(Notoatmojo, 2014)

Cross sectional dipilih karena pengambilan data dilakukan satu kali

pada satu saat semua responden diukur atau diamati pada saat yang

bersamaan, artinya dalam penelitian cross sectional setiap responden

dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut, kemudian peneliti tidak

melakukan tindak lanjut (Notoatmojo, 2014)

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada periode bulan Februari sampai dengan

Desember 2018 - 2019 di RSUD DR. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung

3.2.2 Tempat Penelitian

Pelaksanaan penganbilan sampel dan proses penelitian dilakukan di

RSUD DR.H.AMoeloek Bandar Lampung


3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis akut dan

apendisitis perforasi di RSUD DR. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun

2018-2019 sebanyak 68 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis akut dan

apendisitis perforasi RSUD DR. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung yang

memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sempel yang digunakan adalah total sampling yaitu

teknik penentuan sampel dengan pengambilan seluruh sampel yang ada di RSUD

DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2018-2019. Sampel yang diambil

berdasarkan jumlah populasi sebanyak 68 orang.


3.5 Kriteria Sampel

Mengenai pengembalian sampel tersebut kemudian peneliti membaginya

kedalam dua kriteria sampel yaitu inklusi (data yang dibutuhkan) dan ekslusi (data

yang tidak dibutuhkan) sebagai berikut:

3.5.1 Inklusi

 Pasien yang terdiangnosis apendisitis akut dan apendisitis perforasi

 Pasien yang melakukan pemeriksaan laboratorium pada jumlah leukosit darah

dengan pasien apendisitis pre-operasi

 Pada usia >15 tahun

3.5.2 Ekslusi

 Pasien apendisitis yang sebelumnya menggunakan obat-obatan misalnya

aspirin, antibiotika terutama ampicillin, eritromycin, kanamycin, dan

streptomycin.

 Terdapat penyakit penyerta seperti pneumonia (radang paru-paru), meningitis

(radang selaput otak), tuberculosis, dan tonsillitis


3.6 Variabel Penelitian

Variable dependen jumlah leukosit darah sedangkan variable independen

apendisitis akut dan apendisitis perforasi

3.7 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil Ukur Skala

Apendisitis Peradangan pada apendiks Rekam Medik Lembar 1=Apendisitis Nominal

vermiformis yang Observasi Akut

terdiagnosis apendisitis
2=Apendisitis

Perforasi

Jumlah Leukosit Jumlah sel darah putih yang di Rekam medik Lembar /mm3 Numerik

Darah produksi oleh jaringan Observasi

hemopoetik yang berfungsi

untuk membantu tubuh

melawan berbagai penyakit

infeksi sebagian dari system

kekbalan tubuh

3.8 Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan data sekunder berupa pengkajian rekam medis yang

terdapat di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017


3.9 Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dengan melalui 4 tahap:

3.9.1 Editing

Memeriksa data yang dikumpulkan apakah terdapat kekurangan yang mungkin

menyulitkan dalam langkah analisis berikutnya

3.9.2 Coding

Kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan

untuk mempermudah entry data

3.9.3 Processing

Proses pemasukan data dari rekam medis ke program computer agar dapat di analisis

3.9.4 Cleaning

Kegiatan pengecekan kembali data yang di masukan kedalam computer tidak terdapat

kesalahan

3.10 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

kuantitatif, dengan:

1. Analisis Univariat

Bertujuan untuk menyajikan secara deskriptif dari variable-variabel yang

di teliti. Hasil data univariat berupa mean, median, modus dan standar deviasi
2. Analisis Bivariat

Analisi bivariate dalam hal menggunakan T-test independen yaitu untuk

mengetahui mean dua kelompok data independen. Pengkajian dilakukan dengan

program computer. Prinsip uji Independen T-test adalah melihat variasi dua

kelompok data. Derajat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 95% dengan

taraf kebebasan dan ɑ = 0,05 jika p value ≥ 0,05 artinya tidak ada perbedaan secara

statistik atau H0
3.11 Alur Penelitian

Alur penelitian ini dapat dijelaskan melalui kerangka di bawah ini :

RSUD Dr.H. Abdul

Moeloek Provinsi

Lampung
Data rekam medis pasien

apendisitis akut dan

perforai

Kriteria inklusi

Kriteria ekslusi

Jumlah leukosit

Analisis data

Hasil

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak Diteliti
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung bulan Maret 2019. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek

adalah sebulah rumah sakit tipe B yang terletak di Bandar Lampung, Indonesia.

Rumah sakit ini berada di Jl. Dr. Rivai No. 6, Penengahan, Tj. Karang Pusat, Kota

Bandar Lampung dan dibawah pengelolaan Pemerintah Provinsi Lampung.

Rumah Sakit Umum Daerah Dr H Abdul Moeloek saat ini menjadi RS rujukan

tertinggi untuk Rumah Sakit di 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

Data dalam penelitian ini didapat dari rekam medic pasien yang tercatat di

poli Mawar untuk pasien bedah wanita dan poli Kutilang untuk pasien bedah pria

RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Pada penelitian ini di dapatkan

36 sampel. Penelitian ini diolah dengan menggunakan analisis univariat untuk

menjabarkan table distribusi frekuensi sampel penelitian, kemudian dilanjutkan

dengan analisis bivariate yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan Variabel

bebas dengan Variabel terikat.

Berikut ini hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel terdiri

atas beberapa distribusi data yang menggambarkan karateristik sampel menurut


jenis apendisitis, usia, jenis kelamin, rerata apendisitis akut, retata apendisitis perforasi

serta uji perbedaan veriabel terikat dengan variable bebas.

4.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Pekerjaan pada

Pasien Apendisitis akut dan apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019

Jenis Pekerjaan Responden Persentase (%)

Buruh 6 16,7

IRT 2 5,6

Karyawan Swasta 13 36,1

Mahasiswa 6 16,7

Pelajar 3 8,3

PNS 2 5,6

Wiraswasta 4 11,1

Total 36 100

Berdasarkan tabel 4.1 karakteristik subjek penelitian berdasarkan Jenis

Pekerjaan pada pasien Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi RSUD. Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019 dari total 36 sampel


didapatkan jenis pekerjaan terbanyak adalah karyawan swasta dengan presentase

36,1 % dan paling sedikit yaitu IRT (Ibu Rumah Tangga) dan PNS (Pegawai Negri

Sipil) sebesar 5,6 %

Table 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin pada

Pasien Apendisitis akut dan apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019

Jenis Kelamin Responden Presentase (%)

Laki-laki 23 63.9

Perempuan 13 36,1

Total 36 100

Berdasarkan tabel 4.2 Karakteristik subjek penelitian menurut jenis

kelamin pasien Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019 dari total 36 sampel didapatkan

laki-laki sebanyak 23 responden (63,9%), lebih tinggi dibandingkan perempuan

sebanyak 13 reponden (36.1%)


Tabel 4.3 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Umur pada Pasien

apendisitis akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung tahun 2018-2019

Umur Responden Presentase (%)

15-20 tahun 9 25.0

21-30 tahun 11 30,6

31-40 tahun 7 19,4

40-50 tahun 9 25,0

Total 36 100

Berdasarkan tabel 4.3 Karakteristik Subjek penelitian umur penderita

Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung tahun 2018-2019. Didapatkam dari total 36 sampel jumlah usia

tertinggi yaitu usia 21-30 tahun sebanyak 11 responden (30,6%) dan jumlah usia

terendah yaitu 31 – 40 tahun sebanyak 7 responden (19,4%)


4.1.3 Analisis Univariat

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Leukosit pada pasien Apendisitis akut dan

Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

tahun 2018-2019

Parameter Rerata±SB/Median Terendah Tertinggi

Apendisitis akut 12913,89 (12.850) 10.400 15.300

Apendisitis perforasi 19123,33 (19.000) 18.000 20.460

Berdasarkan tabel 4.4 karakteristik subjek penelitian berdasarkan

Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung tahun 2018-2019 didapatkan rerata jumlah Leukosit pada

Apendisitis akut yaitu 12913,89 sel/mm3 dengan nilai tengah 12.850, nilai

minimum 14.400 sel/mm3, dan nilai maksimum yaitu 15.300 sel/mm3. Sedangkan

untuk rerata Leukosit pada apendisitis perforasi yaitu 19123,33 sel/mm3 dengan

nilai tengah 19.000 sel/mm3, nilai minimum 18.000 sel/mm3, dan nilai maksimum

20.460 sel/mm
4.1.4 Analisis Bivariat

Untuk menguji ada tidaknya perbedaan jumlah Leukosit darah pada pasien

apendisitis akut dengan Apendisitis perforasi yang dilakukan analisis bivariat

dengan Uji T-test Independent.

Tabel 4.5 Hasil test uji normalitas, perbedaan jumlah Leukosit darah pada

pasien Apendisitis akut dengan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
AKUT ,143 18 ,200* ,937 18 ,257
PERFORASI ,142 18 ,200* ,930 18 ,196

Berdasarkan tabel 4.5 hasil uji normalitas dengan sampel >30 sampel

menggunakan kolom Kolmogorov-Smirnov, didapatkan untuk Apendisitis akut

adalah 0,200 (p<0,05), begitu pula dengan Apendisitis perforasi adalah 0,200

lebih besar dari 0,05. Oleh karena itu data tersebut dapat dikatakan normal.
Tabel 4.6 Hasil analisis uji T-test Independent perbedaan jumlah Leukosit darah

pada pasien Apendisitis Akut dengan Apendisitis Perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019

Kelompok N Mean Sd P-value

Apendisitis akut 18 12913,89 1611,156 0,00

Apendisitis perforasi 18 19123,33 797,916 0,00

Berdasarkan tabel 4.6 diatas menjukan hasil uji statistik T Independent

Test didapatkan nilai p value sebesar 0,00 < 0,05 yang artinya Ha diterima, dimana

terdapat perbedaan antara jumlah Leukosit darah pada pasien Apendisitis akut

dengan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

tahun 2018-2019

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian

4.2.1 karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Pekerjaan pada Pasien

Apendisitis akut dan Apendisitis Perforasi

Berdasarkan tabel 4.1 karakteristik subjek penelitian berdasarkan Jenis

Pekerjaan Pasien Apendisitis akut dan apendisitis perforasi didapatkan jenis

pekerjaan terbanyak adalah karyawan swasta dengan presentase 36,1 % dan

paling sedikit yaitu IRT (Ibu Rumah Tangga) dan PNS (Pegawai Negri Sipil)

sebesar 5,6 %
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pauline

Calista (2016) yang menyatakan bahwa jenis pekerjaan terbanyak adalah

Karyawan swasta sebesar 36,18% dan paling rendah pedagang sebanyak

0,66% (Calista, 2016) menurut literatur yang di dapat, apendisitis lebih

sering mengenai kelompok dengan social ekonomi menengah keatas karena

berkaitan dengan diet rendah serat, pernyataan ini dapat disesuaikan dengan

hasil penelitian, karena karyawan swasta cenderung memiliki pendapatan

menengah ke atas dan memiliki gaya hidup dengan diet rendah serat.

(Anderson, 2015)

4.2.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin pada paasien

Apendisitis akut dengan Apeendisitis perforasi

Berdasarkan tabel 4.2 karakteristik subjek penelitian menurut jenis

kelamin pada pasien Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019 dari total 36 sampel

didapatkan laki-laki lebih bayak yaitu 23 responden (63.9%). Tingginya

prevalensi kasus Apendisitis pada laki-laki dikarenakan oleh laki-laki lebih

banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja dan lebih cenderung

mengkonsumsi makanan cepat saji, sehingga hal ini dapat menyebabkan beberapa

komplikasi atau obstruksi pada usus yang bisa menimbulkan masalah pada sistem

pencernaan salah satunya yaitu apendisitis (Thomas, 2016) hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dkk (2017) di Rumah Sakit Umum

Anutapura Palu terhadap 162 pasien Apendisitis yang menyatakan bahwa jumlah
penderita laki-laki (37,0%) lebih banyak dibandingkan perempuan (Prasetyo, et

al., 2017).

4.2.3 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Umur pada Pasien apendisitis

akut dan Apendisitis perforasi

Berdasarkan tabel 4.3 karakteristik subjek penelitian menurut umur pada

Pasien apendisitis akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung tahun 2018-2019 dari total sampel sebanyak 36 responden,

didapatkan jumlah usia tertinggi yaitu usia 21-30 tahun sebanyak 11 responden

(30,6%) dan jumlah usia terendah yaitu 31 – 40 tahun sebanyak 7 responden

(19,4%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putrikasari

yang menyatakan bahwa penderita apendisitis terbanyak terdapat pada kelompok

usia 20-30 tahun dengan rata-rat usia 29 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh

Windy (2016) menyatakan bahwa kelompok usia yang paling banyak menderita

apendisitis adalah kelompok usia 17-25 tahun sebanyak 38,9% dan paling rendah

pada kelompok usia >60 (Windy, 2016) tingginya insiden pada umur remaja awal

disebabkan oleh perkembangan jaringan limfoid maksimal sehingga lebih mudah

menjadi obstruksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal (Windy,

2016) selain itu juga dipengaruhi oleh pola makan yang tidak baik pada usia

tersebut. Makanan cepat saji merupakan makanan rendah serat dan dapat

menyebabkan kesulitan buang air besar (konstipasi) yang berakbat meningkatkan

tekanan intracaecal. Peningkatan intracaecal memicu timbulnya sumbatan

fungsional apendiks dan akan mengangkat pertumbuhan flora kolon sehingga

mempermudah kejadian apendisitis (Zuriati R, 2016)


4.2.4 Analisis Univariat

Berdasarkan tabel 4.4 berdasarkan distribusi frekuensi Leukosit pada

pasien Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019 didapatkan dari total 36 sampel

didapatkan rerata jumlah Leukosit pada Apendisitis akut yaitu 12913,89 sel/mm3

dengan nilai tengah 12.850, nilai minimum 14.400 sel/mm3, dan nilai maksimum

yaitu 15.300 sel/mm3. Sedangkan untuk rerata Leukosit pada apendisitis perforasi

19123,33 sel/mm3 dengan nilai tengah 19.000 sel/mm3, nilai minimum 18.000

sel/mm3, dan nilai maksimum 20.460 sel/mm3

Pasien dengan apendisitis pada umumnya mengalami leukositosis, yaitu

peningkatan jumlah leukosit diatas 10.000 sel/mm3. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan Andi Baso (2015) dengan menganalisis leukosit pada apendisitis akut

dan perforasi, memperoleh hasil jumlah leukosit 10.000-18.000 sel/mm3 banyak

ditemukan pada pasien apendisitis akut yaitu sebesar 75,7% dan jumlah leukosit

>18.000 sel/mm3 banyak ditemukan pada pasien apendisitis perforasi sebesar

90,7%. mengandung kelenjar limfe. pada kasus appendisitis akut didapatkan

sebesar (75,7%) sedangkan pada appendisitis perforasi jumlah lekosit >18.000

paling banyak ditemukan yaitu (90,7%) (Prasetyo, et al., 2017)

Pada kasus perforasi, apendiks mengalami ruptur, pecah atau berlubang

dan kemudian pus yang terdapat didalam lumen appendiks akan keluar menyebar

ke organ-organ lain maupun di dalam fossa apendiks vermiformis sehingga dapat


mengakibatkan peritonitis, serta memungkinkan bakteri akan berkembang dan

menimbulkan infeksi yang lebih banyak. Keadaan tersebut akan merangsang

respon imun tubuh dengan lebih banyak menghasilkan leukosit yang berfungsi

sebagai pertahanan terhadap agen-agen infeksius. (Windy, 2016)

4.2.5 Analisis Bivariat

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan jumlah leukosit

pada pasien apendisitis akut dengan apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019. Hasil uji statistik normalitas data

(p <0.05) didapatkan untuk Apendisitis akut adalah 0,200 begitu pula dengan

Apendisitis perforasi adalah 0,200 lebih besar dari 0,05. Oleh karena itu data

tersebut dapat dikatakan normal. Sehingga uji perbedaan dapat dilakukan

menggunakan Independent T-test. Pada statistik uji perbedaan (p < 0,05)

didapatkan nilai (p < 0,00), sehingga terdapat perbedaan jumlah leukosit darah

yang bermakna pada diagnosis pasien apendisitis akut dengan apendisitis

perforasi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizky

Zuriati (2016) yang menyatakan bahwa hasil uji statistik Independent T-test

didapatkan nilai (p < 0,001) sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya

perbedaan leukosit darah pada apendisitis akut dengan apendisitis perforasi

(Zuriati R, 2016)

Beberapa kelemahan pada penlitian ini yaitu, pada beberapa pasien

didapatkan jumlah leukosit darah normal, jumlah sampel penelitian yang

digunakan tergolong tidak banyak diakibatkan oleh penyakit penyerta dan

ketersediaan rekam medis tidak sesuai dengan populasi.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Perbedaan jumlah Leukosit Darah

pada Pasien Apendisitis akut dengan Apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019

Peneliti dapat menyimpulkan :

1. Jumlah distribusi frekuensi jumlah leukosit pada pasien apendisitis akut di

RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019 yaitu

12.913,89 sel/mm3 dengan nilai tengah 12.850,00 dan nilai minimum

14.400,00 sel/mm3, serta nilai maksimum yaitu 15.300,00 sel/mm3.

2. Jumlah distribusi frekuensi jumlah leukosit pada pasien apendisitis Perforasi

di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2018-2019 yaitu

19123,33 sel/mm3 dengan nilai tengah 19.000 sel/mm3, nilai minimum 18.000

sel/mm3, dan nilai maksimum 20.460 sel/mm3

3. Terdapat perbedaan antara jumlah Leukosit darah pada pasien apendisitis akut

dengan apendisitis perforasi di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung tahun 2018-2019 dengan nilai p = 0,00.


5.2 Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Melengkapi data pada rekam medis mengenai status penderita di Rumah

Sakit

2. Bagi Dinas Kesehatan dan Institusi Terkait Lainnya

a. Meningkatkan upaya kesehatan dengan cara promosi / penyuluhan kesehatan

di masyarakat umum terkait komplikasi apendisitis

b. Meningkatkan motivasi pada Rumah Sakit untuk meningkatkan

3. Bagi Peneliti Lain

a. Diharapkan agar dapat mengembangkan penelitian lebih dalam mengenai

apendisitis

b. Melakukan penelitian lebih lanjut dan memperbaiki kriteria sampel penelitian

dengan cara menambah jumlah sampel serta menambah kriteria ekslusi

.
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal CS, Adhikari S, & Kumar M, 2008. Role of Serum C-reactive protein
and leukocyte count in the diagnosis of acute appendicitis in Nepalese
population. Retrieved from
http://nmch.edu/images/gallery/editorial/YKDc3csagrawal.pdf

Alder AC, 2016. Pediatric Appendicitis: Background, Anatomy,


Pathophysiology. [Online]
Available at: http://emedicine.medscape.com/artice/926795-overwiew

Aryanti & Adhita D, 2009. Apendisitis Acute. Cimahi: FK Universitas Jendral


Achmad Yani .

Brunicardi F, et al., 2009. Scwartz's principles of surgery. 9 ed. USA: Megaraw-


Hill Profesional.

Buckius, M. T. et al., 2011. Changing Epidemiology of Acute Appendicitis in


The United States. s.l.:J Surg Res.

Corwin EJ, 2009. Buku Saku Patofisiologi (Handobook of Pathophysiology).


Jakarta: EGC.

Craig & Sandy, 2014. [Online]


Available at: http://emedicine.medscape.com/article/77389-overview#a0156

Donahue CA, Lacobuzio & Montgomery Elizabeth, 2012. Gastrointestinal and


Liver Pathology. Cina: Elsevier Saunders.
Eylin, 2009. Karakteristik pasien dan diagnosis histologi pada kasus apendisitis
berdasarkan data registrasi di dapartemen patologi anatomi fakultas kedokteran
universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo
pada Tahun 2003-2007 [skripsi].

Fauci A, et al., 2008. Harrison's principal of internal medicine.

Ferris , et al., 2017. The Global Insidence of Appendicitis Sistematic Review of


Population-based Studies, Annal of Surgery. In: s.l.:Issue 2, pp. 237-241.

Gandisoebroto R, 2010. In: Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian


Rakyat, p. 45.

Guyton AC, 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. 3 ed. Jakarta:
EGC.

H John, Neff U & Kemelen M, 2013. Clinical And Ultrasonic Deductions. In:
s.l.:World J Surgery, pp. 17(2):243-9.

Handayani W & Haribowo AS, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Sistem Hematologi . In: s.l.:Salemba Medika, pp. 8-10.

Humes DJ & Simpson J, 2008. Acute Appendicitis. s.l.:BMJ Br Med J.


Jangjoo A, et al., 2011. Is C-reactive helpful for early diagnosis of acute
appendicitis. [Online]
Available at: http://www.mums.ac.ir/shares/arc/articl/dr%/20varasteh/06-
Jangjoo_et_al%paper.pdf

Julian R, 2013. In: Apendisitis Akut Epidemiologi Pravalesi di Indonesia.


Bandar Lampung. Bandar Lapung: Fakultas Kedokteran Malahayati [skripsi].

Kemenkes RI, 2012. Buletin Jendela & Data Kesehatan Penyakit Tidak
Menular, Jakarta: kementrian Kesehatan RI.

Kollar D, et al., 2015. Predicting acute appendicitis? A comparison of the


alvarado score, the appendicitis inflamantory response score and clinical
assesment. 39(1), pp. 104-109.

Marisa, Haryadi IJ & Muhammad RS, 2013. Batas Angka Leukosit Antara
Apendisitis Akut Dan Apendisitis Perforasi Di Rumah Sakit Umum Daerah
Tugurejo Semarang Selama Januari 2009- Juli 2011.

Nasution AP, 2013. Hubungan Antara jumlah leukosit dengan apendisitis akut
dan apendisitis perforasi di RSU DOkter Soedarso Pontianak Tahun 2011.
Pontianak: Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.

Naulibasa & Katerin, 2011. Gambaran Penderita Apendisitis Perforata Umur 0-


14 tahun di RSUP H. Adam Malik Tahun 2006-1009. s.l.:KTI FK USU.

Norton J, et al., 2008. Sugery basic science and clinical evidence. 2nd ed. New
York: Springer.
Notoatmojo, 2014. In: Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

Price SA & Wilson LM, 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. 6 ed. Jakarta : EGC.

RN Goulart, Silverio GS, Moreira MB & Frazon O, 2013. Main findings in


laboratory test diagnosis of acute appendicitiss. a rospective study, pp. 25(2):8-
90.

Sabiston & David C, 2010. In: Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

Sandy, C., 2010. Acute Apendicitis, newyork: emedicine.

Sibuea SH, 2014. Perbedaan jumlah leukosit darah pada pasien apendisitis akut
dengan apendisitis perforasi di RSUD Dr. Kariardi Semarang [skripsi]. In:
Semarang: Universitas Diponegoro.

Sjamsuhidajat R, Karnadihardja , W., Prasetyono, T. O. & Rudiman, R., 2016.


Buku Ajar Ilmu Bedah. 3 ed. Jakarta: EGC.

Tahir MS, 2011. Acute Appendicitis Independent Reviews Oct-Des 2011.


Volume 141, pp. 492-501.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai