Anda di halaman 1dari 115

HUBUNGAN FERRITIN SERUM DENGAN BERAT BADAN DAN

TINGGI BADAN PADA PENDERITA THALASEMIA β MAYOR DI


RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK
TAHUN 2020

SKRIPSI

Oleh :
MUHAMMAD ABI DAUD
NPM. 16310187

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG TAHUN 2020
HUBUNGAN FERRITIN SERUM DENGAN BERAT BADAN DAN
TINGGI BADAN PADA PENDERITA THALASEMIA β MAYOR DI
RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK
TAHUN 2020

SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sajana Kedokteran
(S.Ked)

Oleh :
MUHAMMAD ABI DAUD
NPM. 16310187

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG TAHUN 2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : Hubungan Ferritin Serum Dengan Berat Badan Dan Tinggi
Badan Pada Penderita Thalasemia β Mayor Di Rumah
Sakit Abdul Moeloek
Tahun 2020

Nama Mahasiswa : Muhammad Abi Daud

NPM : 16310187

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran Umum

MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II

dr. Zulhafiz Mandala, MM dr. Rakhmi Rafie, M.Kes

2. Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Malahayati

dr. Toni Prasetya, Sp.PD

ii
MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Pembimbing 1 : dr. Zulhafiz Mandala, MM

Pembimbing 2 : dr. Rakhmi Rafie, M.Kes

Penguji : dr. Nina Herlina, Sp.A, M.Kes

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

dr. Toni Prasetya, Sp.PD

Tanggal Lulus Skripsi : 2020

iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Hubungan Ferritin
Serum Dengan Berat Badan Dan Tinggi Badan Pada Penderita Thalasemia β

Mayor Di Rumah Sakit Abdul Moeloek Tahun 2020” adalah hasil pekerjaan saya
sendiri dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar sarjana di suatu perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan
yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya
dijelaskan didalam tulisan dan daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini penulis buat. Apabila di kemudian hari terdapat


penyimpanan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka penulis akan menerima
sanksi akademik sesuai norma yang berlaku di perguruan tinggi.

Bandar Lampung, 2020


Penulis,

Muhammad Abi Daud

iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai civitas akademika Universitas Malahayati, saya yang bertanda tangan dibawah
ini :
Nama : Muhammad Abi Daud
NPM : 16310187
Jurusan : Kedokteran Umum
Jenis Karya Ilmiah : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetuji untuk memberikan kepada
Universitas Malahayati Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exsklusif Royalti Free
Right) atas karya ilmiah yang berjudul :
“HUBUNGAN FERRITIN SERUM DENGAN BERAT BADAN DAN TINGGI
BADAN PADA PENDERITA THALASEMIA β MAYOR DI RUMAH SAKIT
ABDUL MOELOEK TAHUN 2020”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti/Nonekslusif ini
Universitas Malahayati berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan karya ilmiah
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagi penulis/pencipta dan sebagi pemilik
hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Bandar Lampung
Pada bulan : Juli 2020
Penulis : Muhammad Abi Daud

v
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI

Skripsi, Juli 2020


Muhammad Abi Daud

HUBUNGAN FERRITIN SERUM DENGAN BERAT BADAN DAN TINGGI


BADAN PADA PENDERITA THALASEMIA β MAYOR DI RUMAH SAKIT
ABDUL MOELOEK TAHUN 2020

xv + 55 halaman + 3 tabel + 17 gambar + singkatan + lampiran

ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu penanda yang dapat digunakan untuk mengukur kelebihan
besi pada tubuh adalah dengan mengukur kadar feritin dalam plasma Apabila terjadi
penumpukan besi pada kelenjar hipofisis, akan mengganggu sekresi dari Growth
Hormone (GH), Thyroid-Stimulating Hormone (TSH), dan Adrenocorticotropic
Hormone (ACTH) sehingga pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu Sebagian
besar pasien thalassemia ditemukan mengalami gangguan pertumbuhan yang signifikan.
Tujuan: Mengetahui hubungan feritin serum dengan Gangguan pertumbuhan pada
penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2020.
Metode: Penelitian berupa analitik observasional potong lintang, dilakukan pada bulan
februari - april 2020 kadar ferittin serum didapat dengan meninjau observasi data rekam
medis. dan pengukuran berat badan dan tinggi badan berdasarkan rumus IMT untuk
melihat gangguan pertumbuhan pada pasien thalassemia β-mayor.
Hasil: Analisis data penelitian menggunakan uji statistik Fisher. Selama penelitian
berlangsung didapatkan total 115 sampel. Terdapat hubungan yang tidak bermakna
antara kadar feritin serum dengan gangguan pertumbuhan (p=0,033) pada penderita
talasemia mayor.
Kata Kunci: Thalassemia, kadar ferritin serum, gangguan pertumbuhan IMT.

vi
FACULTY OF MEDICINE
UNIVERSITY OF MALAHAYATI

Thesis, July 2020


Muhammad Abi Daud

RELATIONSHIP OF FERRITIN SERUM WITH WEIGHT AND HEIGHT IN


PATIENTS WITH THALASSEMIA β MAJOR AT ABDUL MOELOEK
HOSPITAL IN 2020

xv + 55 pages + 3 tables + 17 images + abbreviation + attachment

ABSTRACT
Background: One marker that can be used to measure excess iron in the body is to
measure ferritin plasma levels in the case of iron buildup in the pituitary gland, it
interferes with the secretion of Growth Hormone (GH), Thyroid-Stimulating Hormone
(TSH), and Adrenocorticotropic Hormone (ACTH)
Objectives: Knowing the relationship of serum ferritin with growth disorders in
thalassaemia β major patients at Abdul Moeloek Hospital in 2020.
Method: Research in the form of observational observation of the latitude, conducted in
February-April 2020 serum ferittin levels are obtained by reviewing the observation of
medical record data. and measurement of body weight and height based on the BMI
formula to see growth disorders in the β-major thalassemia patients.
Results: Analysis of research data using Fisher's statistical trials. During the study
obtained a total of 115 samples. There is a meaningless relationship between levels of
serum ferritin with growth disorder (P = 0,033) in Thalassaemia major.
Keywords: Thalassemia, serum ferritin levels, growth disorder IMT.

vii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Ferritin
Serum dengan Berat Badan dan Tinggi Badan pada Penderita Thalasemia β
Mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek Tahun 2020” Proses penulisan ini dapat
terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka dengan selesainya skripsi ini penulis
mengucapkan terima kasih serta rasa hormat kepada:
1. Dr. Achmad Farich, dr., M.M Selaku Rektor Universitas Malahayati Bandar
Lampung
2. Toni Prasetia, dr., Sp.PD, FINASIM Selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Univeristas Malahayati Bandar Lampung
3. Sri Maria Puji Lestari, dr., M.Pd,Ked selaku Kepala Prodi Pendidikan Dokter
Universitas Malahayati Bandar Lampung.
4. Zulhafis Mandala, dr., M.M selaku pembimbing I yang dengan sabar
memberikan bimbingan, arahan, solusi dan saran selama melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi ini hingga dapat terselesaikan
5. Rakhmi Rafie, dr., M.Kes selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan masukan selama melakukan penelitian dan penyusunan
skripsi ini hingga dapat terselesaikan
6. Nina Herlina, dr., Sp.A., M.Kes selaku penguji yang telah bersedia meluangkan
waktu dan membimbing dalam penyusunan skripsi ini
7. Seluruh dosen staff Program Pendidikan Kedokteran Umum yang dengan penuh
dedikasi memberikan ilmu pengetahuan
8. Ayahanda papah saya tercinta yang saya banggakan bapak Dindin Hendriana
dan ibunda saya tercinta Amelia yang tidak henti-hentinya mendoakan,
mendukung dan menyayangi saya.
9. Adik-adik saya Qiran Aribah yang tidak pernah bosan memberikan saran,
masukkan, kritik membangun dan menyayangi saya.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.

Penulis,

Muhammad Abi Daud


16310187

viii
DAFTAR ISI

JUDUL.........................................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN.......................................................................................ii
KATA PENGANTAR................................................................................................iii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.......................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................vi
DAFTAR SINGKATAN............................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 RumusanMasalah......................................................................................................3
1.3 TujuanPenelitian.......................................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................................4
1.5 Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................6


2.1 Thalasemia................................................................................................................6
2.2 Feritin Serum............................................................................................................25
2.3 Berat Badan...............................................................................................................27
2.4 Tinggi Badan.............................................................................................................30
2.5 Hubungan Penimbunan Besi dengan Tinggi Badan dan Berat Badan......................33
2.6 Kerangka Teori.........................................................................................................36
2.7 Kerangka Konsep......................................................................................................37
2.8 Hipotesa....................................................................................................................37

BAB III METODE PENELITIAN..............................................................................38


3.1 Jenis Penelitian..........................................................................................................38
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................................38
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian................................................................................38
3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi......................................................................................40

ix
3.5 Variabel Penelitian....................................................................................................40
3.6 Definisi Operasional.................................................................................................40
3.7 Prosedur Penelitian...................................................................................................41
3.8 Pengolahan Data.......................................................................................................41
3.9 Analisis Data.............................................................................................................42
3.10 Alur Penelitian........................................................................................................42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................69


4.1 Analisis Univariat.....................................................................................................69
4.2 Analisis Bivariat........................................................................................................72
4.3 Pembahasan Analisis Univariat................................................................................73
4.4 Pembahasan Analisis Bivariat...................................................................................78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................85


5.1 Kesimpulan...............................................................................................................85
5.2 Saran.........................................................................................................................86

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Makanan yang harus dihindari pasien Thalasemia................................... 28

Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut IMT...........................................................................52

Tabel 3.1 Definisi Operasional..................................................................................32

Tabel 4.1 Karekteristik Responden Terdiri dari Umur, Jenis Kelamin, Lama

Menderita Pasien Penderita Thalasemia β Mayor .................................... 70

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Penurunan Penyakit Thalasemia.....................................................10

Gambar 2.2 Struktur Molekul Hemoglobin....................................................................11

Gambar 2.3 Penderita Pertama Hemoglobin β Thalasemia............................................12

Gambar 2.4 Gambaran Darah Tepi Pasien β Thalasemia...............................................19

Gambar 2.5 Distribusi Besi dalam Tubuh Dewasa.........................................................38

Gambar 2.6 Absorbsi Zat Besi .......................................................................................38

Gambar 2.7 Kerangka Teori...........................................................................................60

Gambar 2.8 Kerangka Konsep........................................................................................61

Gambar 3.1 Alur Penelitian............................................................................................68

xii
DAFTAR SINGKATAN

WHO : World Health Organization


ROS : Reactive Oxygen Species
GH : Growth Hormone
TSH : Thyroid-Stimulating Hormone
ACTH : Drenocorticotropic Hormone

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh

kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk

hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat

membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak

atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia. (Bella, 2017).

Menurut World Health Organization (WHO), thalasemia merupakan

penyakit herediter terbanyak di dunia yang saat ini sudah dinyatakan sebagai

masalah kesehatan dunia. (Dahnil et al., 2017). Sabuk thalasemia membentang di

berbagai negara seperti Italia, Yunani, Siprus, Sardinia, Turki, Arab Saudi, Iran,

Afghanistan, Pakistan, India dan negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia,

Burma dan Thailand. Menurut data dari WHO pada tahun 2009, diperkirakan

bahwa 4,5% dari populasi dunia terkena thalasemia. (Choudhry, 2017).

Diperkirakan bahwa sekitar 1,5% dari populasi dunia (80 hingga 90 juta orang)

adalah pembawa sifat thalasemia β, dengan sekitar 60.000 orang bergejala yang

lahir setiap tahun, sebagian besar di negara berkembang. (Galanello dan Origa,

2010). Pada tahun 2016, terdapat 7.238 penderita thalasemia mayor yang tercatat

dan dilaporkan oleh Yayasan Thalasemia Indonesia – Perhimpunan Orang Tua

Penderita Thalasemia (YTI- POPTI). (Dahnil et al., 2017).

Gangguan pertumbuhan merupakan hal yang umum terjadi pada pasien

dengan thalasemia β mayor. Berdasarkan hasil penelitian mengenai pertumbuhan

1
2

fisik pada pasien talasemia mayor yang dilakukan oleh Pemde et al. (2011),

diketahui bahwa pada penderita thalasemia mayor memiliki tinggi badan dan berat

badan yang dibawah rata-rata menurut standar dari WHO. Hasil yang sama juga

diungkapkan oleh Jahagidar et al., (2017) dalam penelitiannya mengenai profil

pertumbuhan pada pasien thalasemia β mayor. Gangguan pertumbuhan pada pasien

thalasemia β mayor dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, yaitu anemia

kronik, kelebihan besi yang disebabkan oleh transfusi darah rutin, dan toksisitas

terapi kelasi. (Sanctis et al., 2013).

Kelebihan besi dapat terjadi karena transfusi darah rutin yang diperlukan

untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada pasien thalasemia β mayor. Pasien

biasanya memerlukan dua sampai tiga kantong darah setiap 4-6 minggu.

(Hoffbrand dan Moss, 2016). Kandungan besi yang terdapat dalam satu kantung

darah adalah sekitar 200-250 mg besi. (Remacha et al., 2013). Pasien akan

mengalami kelebihan besi setelah transfusi dengan 10-20 unit kantong darah karena

tubuh memiliki keterbatasan untuk mengekskresikan besi. (Gao et al., 2014).

Kemampuan penyimpanan dan pengikatan besi oleh tubuh terbatas,

sementara tubuh tidak mempunyai mekanisme aktif untuk mensekresikan besi. Hal

tersebut mengakibatkan, besi bebas yang tidak mampu disimpan dan tidak

berikatan akan terakumulasi di jaringan dan darah. Besi bebas dapat mengkatalisis

pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang berbahaya, seperti radikal

hidroksi (OH-) yang berasal dari hidrogen peroksida melalui reaksi Fenton. Radikal

hidroksil sangat reaktif, dengan reaksi awal yaitu peroksidasi komponen lipid,

denaturasi protein, lalu terjadi kerusakan DNA. (Karunaratna et al., 2017). Stress

oksidatif yang terjadi pada penderita talasemia β mayor akan menyebabkan


3

komplikasi pada hati, kardiovaskuler, endokrin, dan neurologis, serta dapat

mengakibatkan kegagalan pertumbuhan. (Kim et al, 2013; Shazia et al., 2012).

Apabila terjadi penumpukan besi pada kelenjar hipofisis anterior yang sangat

sensitif terhadap penumpukan besi, akan mengganggu sekresi dari Growth

Hormone (GH), Thyroid-Stimulating Hormone (TSH), dan Adrenocorticotropic

Hormone (ACTH) sehingga pertumbuhan dan perkembangan akan terganggu.

(Weinberg, E.D, 2014).

Salah satu penanda yang dapat digunakan untuk mengukur kelebihan besi

pada tubuh adalah dengan mengukur kadar ferritin dalam plasma. (Knovich et al.,

2008). Pada keadaan kelebihan besi dan inflamasi, kadar ferritin akan meningkat

karena feritin juga termasuk protein fase akut. (Knovich et al., 2009). Nilai normal

feritin untuk laki-laki 12-300 ng/ml dan untuk wanita 12-150 ng/ml. (Worwo

2007).

Dari penelitian yang telah dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSMH Palembang oleh Indra Kusuma Jaya pada tahun 2017. Dari 33 orang

sampel, didapatkan jumlah laki-laki sebanyak 15 orang (45,5%) dan perempuan

sebanyak 18 orang (54,5%). Usia dibawah 10 tahun berjumlah 14 orang (42,4%)

dan lebih dari 10 tahun berjumlah 19 orang (57,6%). Penurunan berat badan pada

pasien thalasemia didapatkan sebanyak 28 orang (84,85%) dan yang normal

sebanyak 5 orang (15,15%). Jika dilihat dari status nutrisi, maka didapatkan

obesitas berjumlah 3 orang (9,0%), berat berlebih 2 orang (6,0%), gizi baik

sebanyak 19 orang (57,6%).


4

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kadar

ferritin serum dengan gangguan pertumbuhan pada penderita thalasemia β mayor di

Rumah Sakit Abdoel Moeloek tahun 2020.

1.2 Rumusan Masalah

“Bagaimanakah hubungan ferritin serum dengan berat badan dan tinggi

badan pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun

2020?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan ferritin serum dengan berat badan dan tinggi badan

pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Diketahui karakteristik responden penderita thalassemia β mayor di Rumah

Sakit Abdul Moeloek tahun 2020.

b. Diketahui distribusi frekuensi kadar ferritin serum pada penderita thalasemia

β mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2020.

c. Diketahui distribusi frekuensi kadar hemoglobin pada penderita thalasemia β

mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2020.

d. Diketahui distribusi frekuensi gangguan pertumbuhan berdasarkan IMT pada

penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2020.


5

e. Diketahui hubungan pengaruh kadar ferritin serum dengan gangguan

pertubuhan pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul

Moeloek tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memberikan informasi dan manfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan mengenai gambaran hubungan ferritin serum dengan berat badan

dan tinggi badan pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul

Moeloek tahun 2020.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan

bagi peneliti, pembaca, dan instansi terkait hubungan ferritin serum dengan berat

badan dan tinggi badan pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul

Moeloek tahun 2020.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1 Judul Penelitian

Hubungan Ferritin Serum dengan Berat Badan dan Tinggi Badan pada

Penderita Thalasemia β Mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek Tahun 2020.

1.5.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian pada penelitian ini adalah survey analitik dengan

pendekatan cross-sectional.

1.5.3 Subjek Penelitian


6

Subjek penelitian pada penelitian ini yaitu pasien Thalasemia β mayor di

Rumah Sakit Abdoel Moeloek Bandar Lampung tahun 2020.

1.5.4 Tempat penelitian


Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Abdoel Moeloek Bandar
Lampung.
1.5.5 Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-April 2020.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Thalasemia

2.1.1 Definisi

Thalasemia merupakan kelainan darah herediter yang ditandai dengan

defisiensi jumlah produksi rantai globin yang spesifik dalam hemoglobin.

(Wilson, 2009). Menurut Potts dan Mandleco (2007), gangguan genetik pada

thalasemia merupakan defek autosom resesif yang diturunkan, dengan berbagai

manifestasi gangguan kesehatan yang disebabkan akibat adanya gangguan

sintesis rantai hemoglobin. Defek genetik yang dimaksud pada thalasemia

disebabkan karena adanya cacat pada sintesis satu atau lebih rantai hemoglobin.

(Campbell, 2009).

Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut.

Pertama kali ditemukan oleh dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di Laut

Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran

limfa setelah berusia satu tahun. Thalasemia adalah penyakit keturunan yang

diakibatkan kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino

yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak sempurna. Tubuh

tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah

mudah rusak atau berumur kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia.

(Herdata, 2008 dan Tamam, 2009).

Thalasemia terdiri dari thalasemia α dan β, dimana talasemia α terjadi

karena akibat kurangnya (defisiensi parsial) atau tidak diproduksi sama sekali

6
7

(defisiensi total) produksi rantai globin α, sedangkan talasemia β terjadi akibat

berkurangnya rantai globin β atau tidak diproduksi sama sekali rantai globin β.

(Sudoyo, 2009).

Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi

mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna

merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan heme dan

globin. Heme terdiri dari zat besi (Fe), sedangkan globin adalah suatu protein

yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri

dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai β yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian

lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%), sisanya HbF (α2γ2 = 0,5%). Studi tentang

thalasemia dilakukan dengan menganalisis interaksi pada thalasemia dengan

macam-macam struktur hemoglobin yang diduga menyebabkan terjadinya cacat

pada sintesis globin α atau β. Namun studi tersebut tidak digunakan lagi karena

metode pengukuran kuantitatif produksi rantai α dan β akhirnya ditemukan

sehingga memungkinkan untuk melakukan eksperimental yang solid mengenai

dugaan adanya ketidakseimbangan sintesis globin. Metode in vitro radioaktif

labelling dan pemisahan rantai α dan β pada hemoglobin manusia ini dirancang

pada pertengahan tahun 1960-an dan telah digunakan secara luas untuk studi

mengenai sintesis hemoglobin pada retikulosit dan prekursornya pada pasien

yang mengidap penyakit thalasemia β mayor. (Clegg et al., 1965; Weatherall et

al, 1965; Clegg et al, 1966).

Kompleksitas pada kelainan pematangan sel darah merah yang telah

didemonstrasikan dengan penelitian labelling secara in vitro menggunakan sel

darah merah prekursor dari tulang sumsum penderita thalasemia β telah


8

dirangkum oleh Wickramasinghe (1976). Terdapat akumulasi besar pada early

(awal) polychromatophilic sel pada fase G1 dalam peredaran sel yang mungkin

disebabkan oleh perpanjangan G1 dan atau kerusakan sel G1 untuk masuk.

Wickramasinghe et al. (1973) meneliti adanya kemungkinan bahwa rantai α

mengendap dikarenakan sebagai bentuk respon dari kelainan (abnormalitas)

yang terjadi dengan cara memeriksa hubungan antara jumlah intracytoplasmatic

yang mengendap dengan aktivitas sintesis DNA pada early polychromatic

erythroblast individual. Mereka menemukan bahwaterdapat penurunan ikatan

3
H-thymidine pada polychromatic erythroblast yang memiliki rantai α yang

mengendap dalam jumlah yang sedang maupun besar. Sesuatu yang tak terduga

juga terjadi pada prekursor yang tidak memiliki pengendapan namun terlihat

jelas mengalami penurunan pada sentesis DNA, dengan kata lain hal tersebut

menunjukkan bahwa banyak sel lainnya yang tidak terdeteksi masuk

terperangkap ke dalam G1. Yataganas et al. (1974) mengatakan bahwa

proliferasi yang abnormal tersebut mungkin lebih disebabkan karena adanya

nuclear daripada disebabkan oleh pengendapan cytoplasmic, namun hal

tersebut tidak dibenarkan oleh penelitian lanjutan dari Wickramasinghe dan

Bush (1975) yang meneliti bahwa pengendapan intranuclear rantai α jarang

terjadi selama masa pemisahan early polychromatophilic erythroblast. Selain

itu, penumpukan zat besi intranuclear yang diduga dapat menyebabkan

kerusakan pada pembelahan sel juga belum terbukti benar. (Polliack et al

1974).

Pada sumsum tulang normal, hanya terbentuk sebagai akibat dari

terjadinya pembelahan early chromatophilic prekursor. Disisi lain, penderita


9

thalasemia β memiliki late polychromatophilic erythroblast yang signifikan

jumlahnya yang merupakan turunan dari early polychromatophilic erythroblast

yang terperangkap dalam G1. Autoradiographic menunjukkan bahwa terdapat

kerusakan yang sangat besar dalam sintesis protein pada late erythroblast yang

mengandung pengendapan dengan jumlah yang tertinggi. Meskipun demikian,

terdapat sekitar 20% sel yang tidak terdeteksi adanya pengendapan juga gagal

dalam mengikat asam amino. Hal yang menarik ialah pada very early sel darah

merah prekursor yang hanya memiliki sintesis hemoglobin minimal sepertinya

dapat menyebabkan penurunan kapasitas proliferasi.

Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan

oleh suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin-α

terletak pada kromosom 16 dan kluster gen globin-β terletak pada kromosom

11. Penyakit thalasemia β mayor diturunkan melalui gen yang disebut sebagai

gen globin β. Gen globin β mengatur pembentukan salah satu komponen

pembentuk hemoglobin. Apabila hanya satu sisi gen globin β yang mengalami

kelainan, maka penderita tersebut disebut carrier thalasemia-β. Seorang carrier

thalasemia dapat hidup secara normal dan sehat, karena masih memiliki 1 sisi

gen dalam keadaan normal yang dapat berfungsi dengan baik, sehingga jarang

timbul kelainan yang memerlukan pengobatan. (Ganie, 2008).

2.1.2 Penyebab Thalasemia β Mayor

Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orang tua kepada

keturunannya akibat defisiensi jumlah produksi rantai globin yang spesifik

dalam hemoglobin. Penderita dengan kelainan gen globin β yang terjadi pada

kedua sisi kromosom, dinamakan penderita thalasemia β mayor. Penurunan


10

sifat (trait) talasemia mengikuti persamaan dalam hukum Mendel, sehingga

penurunannya dijelaskan sebagai berikut :

F1 : Normal x Normal → F2 : Semua normal

F1 : Carrier x Normal → F2 : 50% carrier, 50% normal

F1 : Carrier x Carrier → F2 : 25% normal, 50% carrier, 25 %

F1 : Penderita x Normal → F2 : Semua carrier

F1 : Penderita x Carrier → F2 : 75% penderita, 25% penderita

F1 : Penderita x Penderita → F2 : Semua penderita (Campbell, 2009).

Gambar 2.1 Skema Penurunan Penyakit Talasemia β.

Thalasemia disebabkan oleh kelainan sintesis dari satu atau lebih rantai

untuk membentuk haemoglobin normal, sehingga terjadi anemia hemolitik.

Anemia hemolitik menyebabkan kerusakan pada eritrosit sehingga umur

eritrosit menjadi pendek atau kurang dari 120 hari. (Ganie, 2005; Bell &

Sallah, 2005; Mandleco & pott, 2007).


11

Gambar 2.2 Struktur Molekul Hemoglobin. (Bain, 2006).

2.1.3 Epidemiologi

Thalasemia pertama kali ditemukan pada imigran Mediterranean di

Amerika Serikat oleh seorang dokter di Detroit USA bernama Thomas B.

Cooley (1871 – 1945). Cooley pertama kali menyebutkan apa yang sekarang

diketahui sebagai thalassemia pada jurnal di Transactions of the America

Pediatric Society dengan judul “A Series of Cases of Splenomegaly in Children,

with Anemia and Peculiar Bone Changes” pada tahun 1925, yang ditulis

bersama dengan Dr. Pearl Lee. Pada jurnal Cooley menyebutkan terdapat 4 anak

dengan anemia dan splenomegaly, pembesaran liver, perubahan warna kulit dan

sclera, dan tidak terdapat bilirubin di urine (Gambar 2.1).

Eritrosit mereka menunjukan peningkatan resistensi terhadap cairan

hipotonik, leukositosis sedang, dan terdapat sel darah merah berinti di apusan

darah tepi. Disamping itu ada penampilan mongoloid aneh yang disebabkan oleh

pembesaran tulang tengkorak dan wajah. Pada jurnal selanjutnya Cooley

memberikan deskripsi yang lengkap tentang apa yang mendekati β thalassemia.

Untuk membedakan kelainan ini dari kelompok anemia anak yang lain maka
12

kelainan ini disebut sebagai “Von Jaksch’s anemia”. (Weatherall & Clegg,

2001).

Baru pada tahun 1932 kata thalasemia pertama kali di pakai oleh

Whipple dan Bradford. Kata thalassemia berasal dari bahasa Yunani yang berarti

“anemia of the sea” atau berarti anemia laut yang menunjukan wilayah pertama

kali ditemukannya penyakit ini yaitu di daerah sekitar Laut Tengah atau

Mediterranean. Selanjutnya anemia ini sering disebut sebagai Cooley’s anemia,

anemia splenic, atau Mediterranean anemia. (Weatherall & Clegg, 2001).

Gambar 2.3
Anak pertama yang terdiagnosa menderita haemoglobin β thalasemia
(Weatherall & Clegg, 2001).

Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO) 2006,

diperkirakan sebesar 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-400 ribu bayi

thalasemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalasemia di Indonesia

berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru

dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Salah satu Rumah Sakit di Jakarta,


13

sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien thalasemia β mayor yang

berobat jalan di Pusat Thalasemia Departemen Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) yang

terdiri dari 52,5% pasien thalasemia β homozigot, 46,2 % pasien thalasemia

HbE, serta thalasemia α 1,3%. Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap tahunnya.

Fakta ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan terbanyak

dan menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat di seluruh negara di

dunia termasuk Indonesia.

Berdasarkan data terakhir dari World Health Organization (WHO)

menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Talasemia.

Dari 250 juta, 80-90 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia β.

(Iskandar, 2010). Sementara itu jumlah penderita thalasemia hingga tahun 2009

naik menjadi 8,3 % dari 3.653 penderita pada tahun 2006. Hampir 90% penyakit

genetik sintesis hemoglobin ini berasal dari kalangan masyarakat miskin.

Kejadian thalasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkait faktor genetik

dan belum maksimalnya tindakan screening untuk talasemia khususnya di

Indonesia. (Ruswandi, 2009).

2.1.4 Klasifikasi

Thalasemia dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis rantai hemoglobin

yang mengalami gangguan menjadi talasemia α dan β. Sedangkan berdasarkan

jumlah gen yang mengalami gangguan, Hockenberry dan Wilson. (2009)

mengklasifikasikan thalasemia menjadi:

1. Thalasemia Minor (trait)


14

Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang

sehat namun dapat mewariskan gen thalasemia pada anak-anaknya.

Thalasemia trait sudah ada sejak lahir dan tetap akan ada sepanjang hidup

penderita. Penderita tidak memerlukan transfusi darah dalam hidupnya.

2. Thalasemia Intermedia

Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara thalasemia mayor dan

minor. Penderita thalasemia intermedia memerlukan transfusi darah secara

berkala dan penderita thalasemia jenis ini dapat bertahan sampai dewasa.

3. Thalasemia Mayor

Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley’s Anemia dan terjadi apabila

kedua orang tua mempunyai sifat pembawa thalasemia (carrier). Anak-anak

dengan thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan menderita

kekurangan darah pada usia 3-18 bulan. Penderita thalasemia mayor akan

memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya dan dapat

meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila penderita tidak

dirawat, penderita ini hanya bertahan hidup sampai usia 5-6 tahun. (Poots

dan Mandleco, 2007).

Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua

yaitu talasemia α dan thalasemia β:

1) Thalasemia α

Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh

globin rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :

a. Silent Carrier State


15

Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul

gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang

tampak lebih pucat.

b. α Thalasemia Trait

Gangguan pada 2 rantai globin alfa. Penderita mengalami

anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer,

dapat menjadi carrier.

c. Hb H Disease

Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi

mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang

disertai dengan perbesaran limpa.

d. α Thalasemia Mayor

Gangguan pada 4 rantai globin alfa. Thalasemia tipe ini

merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalasemia tipe α.

Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak

ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alfa

thalasemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia,

membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa.

Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama

setelah dilahirkan.

2) Thalasemia β
16

Thalasemia β terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua

rantai globin β yang ada. Thalasemia β terdiri dari:

a. β Thalasemia Trait.

Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang

bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan

sel darah merah yang mengecil (mikrositer).

b. Thalasemia Intermedia.

Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa

produksi sedikit rantai β globin. Penderita mengalami anemia yang

derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.

c. Thalasemia Mayor.

Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat

memproduksi rantai β globin. Gejala muncul pada bayi ketika

berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia

mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga

hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh,

yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal

jantung kongestif, maupun kematian. Penderita talasemia mayor

memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi

kelangsungan hidupnya. (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).

2.1.5 Patofisiologi Thalasemia β

Patofisiologi thalasemia β terjadi penurunan produksi rantai β pada

thalasemia β mayor, dan terjadi produksi berlebihan rantai α. Hal ini

menunjukan produksi rantai globin β dan rantai globin α tidak pernah


17

mencukupi untuk mengikat rantai α yang berlebihan. Rantai α yang berlebihan

ini merupakan ciri khas pada patogenesis thalasemia β. Rantai α yang

berlebihan tidak dapat berikatan dengan rantai globin lainnya, akan

berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan sel

progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan

pematangan prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif, sehingga

umur eritrosit menjadi pendek, dan menimbulkan anemia. Anemia lebih lanjut

akan menjadi pendorong (drive) proliferasi eritroid yang terus menerus dalam

sumsum tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal

ini kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan

pertumbuhan dan metabolisme.

Anemia akan ditimbulkan lagi (exacerbated) dengan adanya hemodilusi

akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum tulang yang

berekspansi dan juga oleh adanya splenomegali. Pada limpa yang membesar

makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian akan

dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan

meningkatkan absorpsi dan muatan besi. Transfusi yang diberikan secara

teratur juga menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan penimbunan

besi yang progresif di jaringan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan

organ dan diakhiri dengan kematian, bila besi ini tidak segera dikeluarkan.

(Sudoyo et al, 2009).

2.1.6 Gambaran Klinis dan Diagnosis

Gangguan pertumbuhan pada pasien thalasemia disebabkan oleh

berbagai faktor, antara lain faktor hormonal akibat hemokromatosis pada


18

kelenjar endokrin dan hipoksia jaringan akibat anemia. Faktor lain yang

berperan pada pertumbuhan pasien thalasemia adalah faktor genetik dan

lingkungan. Nutrisi merupakan faktor lingkungan yang penting dalam

mempengaruhi tumbuh kembang anak. Beratnya anemia dan limpa yang besar

menyebabkan nafsu makan menurun, sehingga asupan makanan berkurang, dan

berakibat terjadinya gangguan gizi. Bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi,

lebih kurang 10 g/dL, disertai pencegahan hemokromatosis, maka gangguan

pertumbuhan tidak terjadi. Gangguan gizi pada thalasemia biasanya belum jelas

terlihat pada anak yang berumur kurang dari satu tahun. Anemia dan kekurangan

gizi kronis diduga merupakan penyebab perawakan pendek. Kasus thalasemia

pada masa pertumbuhannya memerlukan masukan protein dan kalori yang

tinggi, kalori terutama berasal dari karbohidrat, sedangkan lemak cukup

diberikan dalam jumlah normal. Pemberian kalori untuk thalasemia dianjurkan

20% lebih tinggi dari pada angka kecukupan gizi (AKG).

Penderita pertama datang dengan keluhan pucat, tidak nafsu makan dan

perut membesar:

A. Pemeriksaan Fisik

Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada

anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sclera

ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata

melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal

tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan

hiperpigmentasi kulit.

B. Pemeriksaan Laboratorium
19

1) Darah Perifer Lengkap (DPL)

a. Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan

kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.

b. Hemoglobinopati.

c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk

skrining pembawa sifat thalassemia (trait), thalasemia δβ, dan High

Persisten Fetal Hemoglobine (HPFH)13.

d. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean

corpuscular haemoglobin (MCH) <27 pg (hipokromik). Thalassemia

mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.

e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan

juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih

sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to

storage changes).

2) Gambaran Darah Tepi

a. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan

tear-drop), mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan

Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek

hemoglobinisasi dan diseritropoiesis) (Gambar 2.4).

b. Total hitung dan neutrofil meningkat.

c. Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia,

neutropenia, dan trombositopenia.


20

Gambar 2.4 Gambaran darah tepi pasien β Thalassemia. (Weatherall & Clegg, 2001).

3) Red Cell Distribution Width (RDW)

RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi

memiliki RDW yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti

pada thalassemia mayor. Thalassemia carrier memiliki eritrosit

mikrositik yang uniform sehingga tidak atau hanya sedikit ditandai

dengan peningkatan RDW. Thalassemia mayor dan intermedia

menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi nilainya.

4) Retikulosit

Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pada

pasien thalassemia aktivitas sumsum tulang meningkat, sedangkan pada

anemia defisiensi besi akan diperoleh hasil yang rendah.

5) Elektroforesis Hemoglobin

Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat

dilakukan adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis

cellose acetat membrane), HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom), HbF


21

(alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan

elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis.

6) Elektroforesis Hemoglobin dengan metode High Performance Liquid

Chromatography (HPLC)

a) Sebagai alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat dipakai

untuk mengidentifikasi dan menghitung varian hemoglobin secara

presumtif.

b) HbF dominan (>90%) pada hampir semua kasus thalassemia β berat,

kecuali pasien telah menerima transfusi darah dalam jumlah besar

sesaat sebelum pemeriksaan. HbA tidak terdeteksi pada thalassemia

0
β homozigot, sedangkan HbA masih terdeteksi sedikit pada

+
thalassemia β . Peningkatan HbA2 dapat memandu diagnosis

thalassemia β trait.

 Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi.

+
 Pada thalassemia β ringan HbA2 3,6 - 4,2%.

0 +
 Pada thalassemia heterozigot β dan β berat HbA2 4 - 9%.

 HbA2 lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika

hemoglobin didominasi oleh HbF dan HbE, maka sesuai

dengan diagnosis thalassemia β/HbE.

c) HbA2 normal tidak langsung menyingkirkan diagnosis

thalasemia.

 HbA2 dapat menjadi lebih rendah dari kadar sebenarnya akibat

kondisi defisiensi besi, sehingga diperlukan terapi.


22

 defisiensi besi sebelum melakukan HPLC ulang untuk menilai

kuantitas subtipe Hb.

 Feritin serum rendah merupakan petunjuk adanya defisiensi

besi, namun tidak menyingkirkan kemungkinan thalassemia

trait. Apabila kemungkinan defisiensi besi telah disingkirkan,

nilai HbA2 normal, namun indeks eritrosit masih sesuai dengan

thalassemia, maka dapat dicurigai kemungkinan thalassemia α,

atau koeksistensi thalassemia β dan δ.

7) Analisis DNA

Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular

thalassemia, yang dilakukan pada kasus atau kondisi tertentu:

a) Ketidak mampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan

pemeriksaan hematologi:

 Diagnosis thalassemia β mayor yang telah menerima transfusi

berulang. Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan pembawa

sifat thalassemia beta pada orang tua.

 Identifikasi carrier dari thalassemia β, thalassemia β dengan

HbA2 normal, thalassemia α0, dan beberapa thalassemia α+.

 Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.

b) Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal

Pemeriksaan thalasemia dengan Laboratorium darah dan sediaan

apus (Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit,

gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit darah


23

tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH) Pemeriksaan khusus

juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti talasemia perlu

dilakukan analisis Hemoglobin meliputi: Hb F meningkat 20%-

90%, elektroforesis Hb (Adanya Hb abnormal, termasuk analsis

pada pH 6‐7 untuk HbH dan Hb Bart’s). (Vanichsetakul, 2011).

2.1.7 Komplikasi

Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung,

tranfusi darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar

besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan

tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan

gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah

ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang talasemia disertai tanda

hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama

disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung. Hepatitis pasca transfusi biasa

dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa terlebih dahulu terhadap

HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan

jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena

peningkatan deposisi melanin. (Herdata, 2008).

2.1.8 Terapi

Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat

menyembuhkan secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan

terhadap penyakit dan komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan

cara tranfusi darah, splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi

sumsum tulang dan terapi gen. Pengobatan komplikasi meliputi mencegah


24

kelebihan dan penimbunan besi, pemberian kalsium, asam folat, imunisasi.

Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan

hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Vitamin E 200-400 IU/hari untuk

memperpanjang umur sel darah merah. Transfusi harus dilakukan seumur

hidup secara rutin setiap bulannya.

Pengobatan thalasemia sampai saat ini belum sampai pada tingkat

penyembuhan. Pengobatan saat ini hanya untuk memperpanjang usia harapan

hidup dan memperbaiki kualitas hidup penderita thalasemia. Pengobatan

thalasemia berbeda-beda tergantung dari derajat keparahan penyakitnya.

Seperti penderita thalasemia trait yang cenderung ringan atau tanpa gejala

membutuhkan pengobatan yang ringan atau bahkan tidak perlu pengobatan.

Namun untuk penderita thalasemia mayor memerlukan tindakan khusus. Terapi

utama untuk penderita thalassemia mayor berupa transfusi darah, terapi kelasi

besi, serta terapi menggunakan asupan suplemen. Selain itu, terdapat pula

perawatan berupa Splenektomi, transplantasi sumsum tulang, dan vaksinasi.

(Putri, 2005; Kemenkes, 2018).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

HK.01.07/MENKES/1/2018 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Tata Laksana Thalasemia, tata laksana penderita thalasemia adalah sebagai

berikut:

A. Transfusi Darah

Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk

menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh

kembang anak. Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual

pada setiap pasien. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan


25

laboratorium terbukti pasien menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb

< 7g/dL setelah 2x pemeriksaan dengan selang waktu > 2 minggu, tanpa

adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb < 7gr/dL dan dijumpai gagal

tumbuh, dan/atau deformitas tulang akibat thalasemia.

Evaluasi perlu dilakukan sebelum melakukan transfusi untuk

pertama kali. Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut

sebelum memulai transfusi pertama:

1) Profil besi: feritin serum, serum iron (SI), total iron binding capacity

(TIBC)

2) Kimia darah berupa uji fungsi hati; Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvate Transaminase

(SGPT), Prothrombine Time (PT), Activated Partial Thromboplastin

Time (APTT), albumin, bilirubin indirek, dan bilirubin direk.

3) Fungsi ginjal : ureum, kreatinin.

4) Golongan darah: ABO, Rhesus.

5) Marker virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah, yaitu

antigen permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibody Hepatitis C (anti-

HCV), dan antibodi HIV (anti-HIV).

6) Bone age.

Keluarga atau pasien diinformasikan mengenai kegunaan dan risiko

transfusi, kemudian menandatangani persetujuan (informed consent)

sebelum transfusi dimulai. Identifikasi pasien dan kantong darah perlu

dilakukan pada setiap prosedur pemberian transfusi darah sebagai bagian

dari upaya patient safety.


26

Idealnya darah yang ditransfusikan tidak menyebabkan risiko atau efek

samping bagi pasien. Beberapa usaha mulai dari seleksi donor, pemeriksaan

golongan darah, skrining darah terhadap infeksi menular lewat transfusi

darah (IMLTD), uji silang serasi (crossmatch), dan pengolahan komponen

dilakukan untuk menyiapkan darah yang aman. Tersedianya komponen

darah yang aman akan menunjang pemberian transfusi darah secara rasional

dan berdasarkan indikasi yang tepat. Bila terjadi reaksi transfusi, tata

laksana disesuaikan berdasarkan berat ringannya reaksi transfusi.

(Kemenkes, 2018).

B. Kelasi Besi

Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu

mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma dan mengeluarkan besi

dari tubuh. Kelasi dimulai setelah timbunan besi dalam tubuh pasien

signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa parameter seperti jumlah darah

yang telah ditransfusikan, kadar ferritin serum, saturasi transferin, dan kadar

besi hati atau liver iron concentration (LIC). Liver Iron Concentration

minimal 3000 ug/g berat kering hati merupakan batasan untuk memulai

kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang invasive sehingga beberapa

parameter lain menjadi pilihan. Pemberian kelasi besi dimulai bila kadar

ferritin serum darah sudah mencapai 1000 ng/mL, atau saturasi transferin

>70%, atau apabila transfusi sudah diberikan sebanyak 10-20 kali atau

sekitar 3-5 liter. Kelasi besi kombinasi diberikan jika kadar ferritin serum >

2500 ng/mL yang menetap minimal 3 bulan, apabila sudah terjadi


27

kardiomiopati, atau telah terjadi hemosiderosis jantung pada pemeriksaan

MRI T2 (<20 ms).

Terapi kelasi besi memerlukan komitmen yang tinggi dan kepatuhan

dari pasien dan keluarga. Jenis kelasi besi yang terbaik adalah yang dapat

digunakan pasien secara kontinu, dengan mempertimbangkan efektifitas,

efek samping, ketersediaan obat, harga, dan kualitas hidup pasien. Tiga jenis

kelasi besi yang saat ini digunakan adalah desferoksamin, deferipron, dan

deferasiroks.

C. Nutrisi dan Suplementasi

Pasien thalasemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat

proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang

menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi besi.

Idealnya pasien thalasemia menjalani analisis diet untuk mengevaluasi

asupan kalsium, vitamin D, folat, trace mineral (kuprum/ tembaga, zink, dan

selenium), dan antioksidan (vitamin C dan E). Pemeriksaan laboratorium

berkala mencakup glukosa darah puasa, albumin, 25-hidroksi vitamin D,

kadar zink plasma, tembaga, selenium, alfa- dan gamma-tokoferol, askorbat,

dan folat. Tidak semua pemeriksaan ini didapatkan di fasilitas kesehatan.

Beberapa suplemen yang perlu diberikan pada pasien thalassemia

adalah sebagai berikut:

1. Pemberian suplementasi zink memberikan manfaat yang bermakna pada

kecepatan tinggi tubuh dan densitas tulang.


28

2. Vitamin D diberikan pada pasien dengan kadar 25-hidroksi vitamin D di

bawah 20 ng/dL, diberikan sekali seminggu hingga mencapai kadar

normal.

3. Suplemen kalsium diberikan pada pasien dengan asupan kalsium yang

rendah.

4. Vitamin E berperan untuk mengurangi aktifitas platelet dan mengurangi

stress oksidatif. Vitamin E dapat pula melindungi membran eritrosit

sehingga tidak mudah lisis dan secara bermakna meningkatkan kadar Hb.

5. Vitamin C berperan untuk memindahkan besi dari penyimpanan di

intraselular dan secara efektif meningkatkan kerja desferoksamin untuk

meningkatkan ekskresi besi.

6. Asam folat rekomendasi diet berbeda pada tiap pasien tergantung pada

riwayat nutrisi, komplikasi dan status tumbuh kembang. Nutrien yang

perlu diperhatikan pada pasien thalassemia adalah zat besi. Makanan

yang banyak mengandung zat besi atau dapat membantu penyerapan zat

besi harus dihindari, misalnya daging merah, jeroan, dan alcohol.

Makanan yang rendah zat besi, dapat mengganggu penyerapan zat besi,

atau banyak mengandung kalsium dapat dikonsumsi lebih sering

misalnya sereal dan gandum.

World Health Organization (WHO) menganjurkan konsumsi

lemaksebanyak 15-30% dari total kalori. Jumlah ini memenuhi

kebutuhan asam lemak esensial dan untuk membantu penyerapan vitamin

yang larut dalam lemak. Setelah dewasa masukan karbohidrat sebaiknya

dibatasi, sebagai upaya untuk mencegah atau mengatasi intoleransi

glukosa. Dibawah ini adalah daftar makanan yang harus dihindari oleh
29

penderita talasemia karena efek fisiologisnya yang dapat memperberat

penyakit tersebut, serta daftar makanan yang dianjurkan untuk penderita

thalasemia.

Tabel 2.1. Makanan yang harus dihindari oleh pasien thalasemia

(Sari Pediatri, 2003).

Makanan dengan Kandungan Besi Kandungan Besi


Tinggi
Organ dalam (hati, ginjal, limpa) 5-14 mg/dl/100 g
Daging sapi 2,2 mg/100 g
Hati dan ampela ayam 2-10 mg/100 g
Ikan pusu (dengan kepala dan tulang) 5,3 mg/100 g
Kerang 13,2 mg/100 g
Telur ayam 2,4 mg/butir
Telur bebek 3,7 mg/butir
Buah kering/kismis, kacang 2,9 mg/100 g
Kacang-Kacangan yang digoreng 4,8 mg/100 g
Kacang-Kacangan yang dibakar 1,9 mg/100 g
Biji-Bijian yang dikeringkan 21,7 mg/100 g
Sayuran berwarna hijau >3 mg/100 g
Makanan dengan Kandungan Jumlah Pemberian

Besi Sedang

Daging ayam, daging babi 2 potong/hari

Tahu 1 potong

Sawi, kacang Panjang 1-2 porsi (0,5 cup)/hari

Ikan pusu Tanpa kepala dan tulang

Bawang, gandum Jumlah sedang

D. Splenektomi
30

Splenektomi merupakan suatu tindakan pengangkatan organ

limpa. Diharapkan pasca splenektomi, kebutuhan transfusi darah akan

berkurang sehingga dapat mengurangi efek samping akibat transfusi

darah. Tindakan splenektomi harus dipertimbangkan secara matang

karena adanya risiko infeksi pasca tindakan. Idealnya saat

merencanakan tindakan splenektomi diberikan vaksinasi terhadap

hepatitis B, pneumokokus, dan H. influenza dalam kurun waktu 2

minggu sebelum atau 2 minggu sesudah tindakan operasi dilakukan.

Sayangnya hal ini belum dapat dilakukan karena biaya yang diperlukan

cukup besar. Komplikasi tersering pasca splenektomi adalah infeksi

berat dan trombositosis. Pasien pasca-splenektomi memiliki risiko lebih

tinggi mengalami infeksi berat dibandingkan dengan populasi normal.

(Andriastuti et al., 2011; Kemenkes, 2018).

Splenektomi dapat dipertimbangkan pada beberapa indikasi di

bawah ini:

a) Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200 250 mL PRC

/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan

transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).

b) Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia

atau trombositopenia persisten, yang bukan disebabkan oleh penyakit

atau kondisi lain.

c) Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara

signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup


31

lama. Splenomegali massif yang menyebabkan perasaan tidak nyaman

dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma.

E. Transplantasi Sumsum Tulang

Hingga saat ini tata laksana kuratif pada thalassemia mayor

hanya transplantasi sumsum tulang (hematopoietic stem cell

transplantation / HSCT). Tiga faktor risiko mayor yang memengaruhi

luaran dari transplantasi adalah pasien dengan terapi kelasi besi yang

tidak adekuat, hepatomegali, dan fibrosis portal. Hasil terbaik diperoleh

pada anak yang berusia di bawah 3 tahun, sehingga transplantasi

dipertimbangkan pada usia muda sebelum pasien mengalami

komplikasi akibat kelebihan besi. Berbagai kemungkinan komplikasi

transplantasi hendaknya dipertimbangkan secara matang karena akan

memperberat komplikasi yang sudah ada akibat penyakit dasarnya.

(Kemenkes, 2018).

F. Vaksinasi

Pasien thalassemia hendaknya mendapatkan vaksinasi secara

optimal karena pasien thalassemia merupakan kelompok risiko tinggi

akibat transfusi darah dan tindakan splenektomi. Status imunisasi perlu

dievaluasi secara teratur dan segera. Vaksinasi hepatitis B wajib

dilakukan karena pasien mendapatkan transfusi rutin. Pemantauan

dilakukan tiap tahun dengan memeriksakan status hepatitis. Pasien

dengan HIV positif ataupun dalam pengobatan hepatitis C tidak

diperkenankan mendapatkan vaksin hidup. Vaksin influenza diberikan


32

tiap tahun. Status vaksinasi perlu diperhatikan lebih serius pada pasien

yang hendak menjalani splenektomi. (Kemenkes, 2018).

G. Dukungan Psikososial

Secara umum tata laksana tumbuh kembang - pediatri social

pada thalassemia adalah memberikan informasi mengenai penyakit,

komplikasi penyakit, dan dampak tumbuh kembang, perilaku serta

penanganan secara menyeluruh. Petugas kesehatan harus memberikan

konseling dan kesempatan kepada pasien dan orang tua untuk

mengekspresikan segala perasaannya dan kerisauannya. Pemantauan

tumbuh kembang dilakukan secara berkala sesuai usia anak, untuk anak

usia kurang dari 1 tahun setiap bulan, anak balita setiap 3 bulan, anak

usia sekolah dan remaja setiap 6 bulan. Hal ini dilakukan untuk deteksi

dini gangguan atau masalah tumbuh kembang dan perilaku anak,

dengan menggunakan perangkat skrining perkembangan dan perilaku

sesuai usia anak, baik perangkat yang bersifat umum maupun perangkat

khusus. Identifikasi dan intervensi masalah psikososial yang ditemukan

harus dilakukan secara berkesinambungan. Lakukan juga penilaian

fungsi kognitif untuk menilai kesiapan sekolah pada anak. (Kemenkes,

2018).

H. Bedah

Splenektomi dengan indikasi:


33

1. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,

menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya

terjadinya ruptur.

2. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi

darah atau kebutuhan suspensi eritrosit Packed Red Cell (PRC)

melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun. (Hockenberry dan

Wilson, 2009).

2.1.9 Tindakan Preventif dan Kontrol

Pencegahan thalasemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah

bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan dalam pencegahan

thalasemia yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif

dilakukan dengan penelusuran terhadap anggota keluarga pasien thalasemia

mayor, sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan skrining untuk

mengidentifikasi karier thalasemia pada populasi tertentu. Secara garis besar

bentuk pencegahan thalasemia dapat berupa edukasi tentang penyakit

thalasemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika

pranikah, dan diagnosis prenatal. (Kemenkes, 2018).

a. Edukasi

Edukasi kepada masyarakat tentang penyakit thalassemia

memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan.

Masyarakat harus diberikan pengetahuan tentang penyakit yang bersifat

genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi

kariernya yang cukup tinggi. Pendidikan genetika serta pengetahuan

tentang gejala awal thalassemia harus diajarkan di sekolah. media massa


34

dapat berperan lebih aktif menyebarluaskan informasi tentang thalasemia,

meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara pencegahannya.

(Kemenkes, 2018).

b. Skrining (carrier testing)

Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring karier thalasemia

pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak, bertujuan

untuk mengidentifikasi individu dan pasangan karier. Selain untuk

mengidentifikasi skrining bertujuan untuk menginformasikan

kemungkinan mendapat anak dengan thalasemia dan pilihan yang dapat

dilakukan untuk menghindarinya. Target utama skrining adalah penemuan

-β- dan α° thalassemia, serta Hb S, C, D, E. Skrining dapat dilakukan di

sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik

antenatal, saat bimbingan pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pada

daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan program skrining khusus

pranikah atau sebelum memiliki anak. Target populasi yang diskrining

(Kemenkes, 2018):

a) Anggota keluarga dari penderita thalassemia mayor, intermedia, dan

carrier.

b) Ibu hamil dan pasangannya saat pemeriksaan antenatal (skrining

antenatal).

c) Pasangan yang berencana memiliki anak (skrining prakonsepsi).

d) Pasangan yang akan menikah (skrining pramarital).

e) Skrining massal untuk identifikasi carrier.


35

c. Konseling Genetik

Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining

karier untuk thalassemia dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh

memaksa orang untuk menjalani skrining dan harus mampu memberikan

informasi pada peserta skrining. Prinsip dasar dalam konseling adalah

bahwa masing-masing individu atau pasangan memiliki hak untuk

menentukan pilihan, hak untuk mendapat informasi akurat secara utuh, dan

kerahasiaan mereka terjamin penuh. Sebagai contoh apabila ada pasangan

yang teridentifikasi sebagai carrier, jika hanya salah satunya saja tidak

masalah. Namun apabila keduanya carrier, maka perlu diinformasikan jika

mereka tetap memutuskan untuk menikah kemungkinan keturunan mereka

menderita thalassemia mayor sebesar 25%. Keputusan tetap tergantung

dari pasangan tersebut, apakah akan batal menikah, menikah tapi tidak

mempunyai keturunan, atau tetap menikah dan mempunya keturunan.

(Ganie, 2005).

d. Diagnosis Prenatal

Tujuan dari diagnosis prenatal adalah untuk mengetahui sedini

mungkin apakah janin yang sedang di kandung menderita thalassemia

mayor (Ganie, 2005). Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18

minggu kehamilan. Metode yang digunakan adalah identifkasi gen

abnormal pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan

melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis (CVS/ chorionic villus

sampling). Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah

janin (fetal nucleated red blood cell) sebagai sumber DNA janin dari darah
36

perifer ibu. DNA janin dianalisis dengan metode polymerase chain

reaction (PCR). (Kemenkes, 2018).

2.1.9 Kerusakan Organ padaTalasemia β Mayor

Hati merupakan organ intestinal terbesar yang terletak dalam rongga

perut sebelah kanan atas tepatnya di bawah diafragma dan disamping kirinya

terletak organ limpa. Hati terbagi atas dua bagian besar yaitu lobus kanan dan

kiri, juga satu bagian kecil ditengah yaitu lobus asesorius. Hati tersusun atas

tiga jaringan yang meliputi saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel

parenkim. Hati juga memiliki dua suplai darah yang berasal dari saluran cerna

dan limfa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika.

Hati terdiri atas bermacam-macam sel, 60 % adalah hepatosit dan sisanya

terdiri dari sel-sel epithelial system empedu dan sel-sel parenkimal yang

termasuk di dalamnya endotelium, sel kupffer dan sel stellata yang berbentuk

seperti bintang. Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel

fagositik. Sel kupffer yang merupakan bagian penting sistem

retikuloendothellial dan lebih mudah dilalui sel-sel makro. Sel stellata

memiliki aktifitas yang dapat membantu pengaturan aliran darah.Sel-sel hati

menghasilkan bilirubin dan serum-serum yang digunakan sebagai pemantau

fungsi hati. Hati sebagai pusat metabolisme tubuh. (Fathoni, 2008 dan Sudoyo

et al, 2006).

2.2 Ferritin Serum

2.2.1 Definisi

Kadar feritin merupakan suatu ukuran simpanan zat besi retikulo

endotelial yang sangat berguna untuk mendiagnosis keadaan defisiensi zat besi
37

atau keadaan kelebihan zat besi. Kadar feritin normal berkisar antara 20 μg/L

sampai 200 μg/L. Kadar feritin yang berlebih di dalam tubuh penderita

talasemia dapat menyebabkan kegagalan perkembangan seksual, defek

pertumbuhan, dan pigmentasi kulit (Mehta, 2008). Berdasarkan hasil penelitian

terdapat 90,4% penderita talasemia memiliki kadar feritin lebih dari 2.000

ng/mL. Kadar feritin lebih dari 2.000 ng/mL tidak dapat diperoleh nilai

rasionya secara pasti sebab alat yang digunakan untuk pengukuran tidak

mampu menampilkan data yang nilainya lebih dari 2.000 ng/mL.

2.2.2 Metabolisme Ferritin

Zat besi merupakan mikro nutrien penting, karena diperlukan untuk

fungsi eritropoietik yang adekuat, metabolisme oksidatif, dan respons imun

seluler. Asupan besi normalnya adalah 10-20 mg/hari. Tujuh puluh persen

(70%) dari besi yang diabsorbsi di metabolisme oleh tubuh dengan proses

eritropoiesis menjadi Hb, 10-20% disimpan dalam bentuk feritin, dan sisanya

5-15% digunakan oleh tubuh untuk proses lain (Purwaningtyas, 2010).

Penyerapan zat besi (1-2 mg/hari) diatur secara ketat, dan hanya seimbang

tanpa adanya ekskresi zat besi aktif. Zat besi ditemukan dalam bentuk heme

(10%) dan non-heme (ionik, 90%) dan penyerapannya terjadi pada permukaan

apikal usus halus. (Munoz et al,2010).

Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan

jejunum proksimal. Besi dalam bentuk heme mudah diserap karena

bioavailabilitasnya tinggi. Besifero(Fe2+) lebih mudah diserap dari pada zat

besi feri(Fe3+) (Sherwood, 2012). Hepar akan menyekresi apotransferin dalam

jumlah sedang melalui duktus biliaris ke dalam duodenum. Setelah besi masuk
38

ke dalam mukosa usus halus, besi melewati bagian basal epitel usus, memasuki

kapiler usus, dan kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin untuk

membentuk transferin. Transferin mengangkut besi (Fe3+) di dalam plasma,

dan menyalurkannya ke sumsum tulang untuk pembuatan sel darah merah.

(Knovich, 2009).

Dalam sitoplasma sel, besi akan bergabung dengan apoferitin, lalu

membentuk feritin. Besi yang disimpan sebagai feritin ini disebut besi

cadangan. (Knovich, 2009). Bila jumlah besi dalam plasma sangat rendah,

beberapa besi yang terdapat dalam tempat penyimpanan feritin akan dilepaskan

dengan mudah dan diangkut dalam bentuk transferin di dalam plasma ke area

tubuh yang membutuhkan.Setelah masa hidup eritrosit selama 120 hari habis,

maka hemoglobin akan dicerna oleh sel makrofag-monosit. Lalu, akan terjadi

pelepasan besi bebas, dan akan disimpan terutama dalam bentuk ferritin.

(Guyton dan Hall, 2011).

Secara klinis jumlah transferin merupakan jumlah besi yang terikat dan

disebut dengan Total Iron Binding Capacity (TIBC). Pada orang dewasa

normal kadar besi plasma kira-kira 18 µmol/l setara dengan 100 µg/dl,

sementara Total Iron Binding Capacity (TIBC) sebesar 56 µmol, atau setara

dengan 300 µg/dl. Dengan demikian hanya sepertiga bagian dari transferin

yang berikatan dengan besi, sehingga masih tersedia cadangan yang cukup

banyak untuk berikatan dengan besi apabila terjadi kelebihan besi. Apabila

sudah melampaui kapasitas ikatan oleh transferin, besi akan disimpan dalam

bentuk ferritin. (Isselbecher et al,2014).

2.2.3 Metabolisme Besi


39

Besi merupakan unsur vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk

pembentukan hemoglobin, dan merupakan komponen penting pada sistem

enzim pernafasan. Pada metabolisme besi perlu diketahui komposisi dan

distribusi besi dalam tubuh, cadangan besi tubuh, siklus besi, absorbsi besi

dan transportasi besi.

Gambar 2.5 Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa Andrews, N. C., 1999.
Disorders of iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95.

Besi yang telah dibebaskan dari endosom akan masuk kedalam

mitikondria untuk diprroses menjadi hem setelah bergabung dengan

protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin. Sejalan dengan

maturasi eritrosit baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas

kedalam peredaran darah.

Gambar 2.6 Absorbsi zat besi. Sumber: Andrews NC, New Engl J Med. 341:1986-
1995, Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.
40

Feritin merupakan salah satu protein kunci yang mengatur hemostasis

besi dan juga merupakan biomarker klinis yang tersedia secara luas untuk

mengevaluasi status besi dan secara khusus penting untuk mendeteksi

defisiensi besi. Kadar feritin pada laki-laki dan wanita berbeda, pada laki-

laki dan wanita postmenopause kadar feritin kurang dari 300ng/ml , pada

wanita premonoupase kurang dari 200 ng/ml.

2.2.4 Transport Zat Besi

1) Transferin
Transferin adalah β1 globulin (protein fase akut negatif),

merupakan glikoprotein dengan berat molekul 79570 dalton, terdiri dari

polypeptide rantai tunggal dengan 679 asam amino dalam dua domain

homolog. N-terminal dan C-terminal masing-masing mempunyai satu

tempat ikatan dengan Fe3+. Satu molekul transferin mengikat 2 atom besi

(Fe3+). Transferin akan berikatan dengan reseptor transferin, setiap

reseptor transferin mengikat 2 molekul. Transferin terutama disintesis

oleh sel parenkim hati, sebagian kecil di otak, ovarium, dan limfosit T-

Helper. Transferin mempunyai waktu paruh 8-11 hari.

Jumlah transferin dinyatakan dalam jumlah besi yang terikat

disebut sebagai Total Iron Binding Capacity (TIBC). Pada orang dewasa

normal kadar besi plasma kira-kira 18 µmol/L setara dengan 100 µg/dL.

TIBC 56 µmol setara dengan 300 µg/dL. Dengan demikian hanya

sepertiga bagian dari transferin yang berikatan dengan besi, sehingga

masih tersedia cadangan yang cukup banyak untuk berikatan dengan besi
41

apabila terjadi kelebihan besi. Hal ini penting dalam diagnosis gangguan

metabolisme.

Sistem eritroid terdiri atas sel darah merah (eritrosit) dan

prekursor eritroid. Unit fungsional dari sitem eritroid ini dikenal sebagai

eritron yang berfungsi sebagai pembawa oksigen. Prekursor eritroid

dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hemopoietik, melalui jalur

sel induk myeloid, kemudian menjadi sel induk eritroid, dalam sumsum

tulang dikenal sebagai pronormoblast, berkembang menjadi basophilic

selanjutnya polychromatophilic normoblast dan acidophilic (late)

normoblast. Sel ini kemudian kehilangan intinya, masih tertinggal sisa-

sisa RNA, yang jika di cat dengan pengecatan khusus akan tampak,

seperti jala sehingga disebut retikulosit. Retikulosit akan dilepas ke darah

tepi, kehilangan sisa RNA sehingga menjadi erotrosit dewasa. Proses ini

dikenal sebagai eritropoiesis, yang terjadi dalam sumsum tulang.

Ferritin adalah salah satu protein yang penting dalam proses

metebolisme besi di dalam tubuh. Sekitar 25 % dari jumlah total zat besi

dalam tubuh berada dalam bentuk cadangan zat besi (depot iron), berupa

ferritin dan hemosiderin. Ferritin dan hemosiderin sebagian besar

terdapat dalam limpa, hati, dan sumsum tulang. Ferritin adalah protein

intra sel yang larut didalam air, yang merupakan protein fase akut.

Hemosiderin merupakan cadangan besi tubuh berasal dari ferritin yang

mengalami degradasi sebagian, terdapat terutama di sumsum tulang,

bersifat tidak larut di dalam air.

Pada kondisi normal, ferritin menyimpan besi di dalam

intraseluler yang nantinya dapat di lepaskan kembali untuk di gunakan


42

sesuai dengan kebutuhan. Serum ferritin adalah suatu parameter yang

terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi pada orang

sehat. Serum ferritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk defisiensi zat besi,

yang berarti bila semua cadangan besi habis, dapat dianggap sebagai

diagnostik untuk defisiensi zat.

2) Struktur dan Fungsi Ferritin

Ferritin adalah kompleks protein yang berbentuk globular,

mempunyai 24 subunit- subunit protein yang menyusunnya dengan berat

molekul 450 kDa, terdapat di semua sel baik di sel prokayotik maupun di

sel eukaryotik.

Ferritin mengandung sekitar 23% besi. Setiap satu kompleks

ferritin bisa menyimpan kira – kira 3000 - 4500 ion Fe 3+ di dalamnya.

Ferritin bisa ditemukan atau disimpan di liver, limpa, otot skelet dan

sumsum tulang. Dalam keadaan normal, hanya sedikit ferritin yang

terdapat dalam plasma manusia. Jumlah ferritin dalam plasma

menggambarkan jumlah besi yang tersimpan di dalam tubuh kita.

Telah diketahui bahwa di dalam darah terdapat komponen-

komponen darah dimana jumlahnya 45% dari volume darah sedangkan

plasma jumlahnya 55% dari volume darah. Ferritin dalam plasma,

jumlahnya sangat kecil yaitu sebanding dengan konsentrasi ferritin

didalam tubuh atau apabila terdapat 1µg ferritin serum setara dengan 10

mg simpanan besi dan setiap 1ml eritrosit mengandung 1,1 mg besi. Jika

dalam 1 ml darah terdapat 0,5 mg besi maka setiap kali donasi sebanyak

300 ml darah, zat besi yang akan keluar adalah sebanyak 150 mg
43

sehingga kebutuhan akan zat besi harus terpenuhi untuk aktivitas

eritropoiesis.

Bila kebutuhan zat besi didalam darah tidak terpenuhi maka

ferritin akan melepas besi dalam jumlah yang banyak dan bila kebutuhan

untuk pembuatan hemoglobin meningkat maka cadangan besi akan

dimobilisir secara cepat. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya

penurunan cadangan besi dan bila berlanjut terus akhirnya cadangan besi

menjadi kosong dan aktivitas eritropoiesis akan menurun.

Berbeda pada keadaan seperti infeksi, inflamasi atau proses

keganasan, pemakaian zat besi sebagai hasil pemecahan oleh sel-sel

sistem retikulo endothelial berjalan lebih perlahan disebabkan karena

adanya perubahan kemampuan pelepasan zat besi menurun

mengakibatkan pelepasan zat besi ke eritroid menjadi kurang, transport

zat besi dari pool plasma ke sum-sum tulang menjadi kurang, konsentrasi

plasma zat besi menurun dan aktivitas eritropoiesis menurun sehingga

dijumpai ferritin yang meningkat pada keadaan ini.

Ferritin adalah senyawa penyimpanan besi utama dalam tubuh

dan ada terutama di sel retikuloendotelial hati, limpa, dan sumsum tulang.

Dalam jumlah kecil biasanya ditemukan dalam plasma, konsentrasi

bervariasi antara 10 – 200 µg per liter. Konsentrasi rata-rata pada laki-

laki dua kali lipat dari pada wanita, menunjukkan bahwa tingkat serum

mencerminkan total cadangan tubuh. (Wang et al, 2010). Fungsi ferritin

yaitu sebagai penyimpan zat besi. Zat besi yang berlebihan akan

disimpan dalam bentuk ferritin dan bila diperlukan dapat dimobilisasi

kembali. (Puspitaningrum et al, 2016).


44

Ferritin adalah protein pengikat besi yang ada di intraseluler dan

ekstraseluler. Apoferritin terdiri dari 24 subunit. Subunit terdiri dari dua

jenis, disebut H dan L. Rasio subunit ini sangat bervariasi tergantung

pada jenis jaringan, dan dapat berubah dalam kondisi inflamasi dan

infeksi. Feritin pada jaringan berbeda mulai dari kaya dengan subunit H

(kebanyakan ditemukan pada jantung dan ginjal) sampai kaya dengan

subunit L (kebanyakan ditemukan pada hati dan limpa). Ferritin juga ada

di ekstraseluler ditemukan dalam serum, yang berfungsi sebagai penanda

klinis penting dari status besi. Ferritin berfungsi sebagai komponen

penting dari homeostasis besi. Peran utamanya adalah dalam penyerapan

besi di mana berfungsi sebagai ferroxidase, mengubah Fe (II) menjadi Fe

(III). (Knovich, 2009).

3) Toksisitas Besi

Pada manusia, sebagian besar zat besi terintegrasi di dalam

globin protein yang memfasilitasi transportasi oksigen ke seluruh tubuh

tubuh. Zat besi juga penting dalam mengubah oksigen menjadi energi

seluler yang bisa digunakan dengan berperan sebagai komponen kunci

dalam rantai transfer elektron. Selain perannya dalam respirasi, zat besi

juga dimanfaatkan sebagai co-faktor enzimatik dalam berbagai reaksi

lainnya. Meskipun peran besi penting dalam tubuh, namun besi juga

memiliki potensi menjadi sangat beracun dengan memfasilitasi

pembentukan radikal bebas yang secara langsung dapat merusak DNA

dan protein (Knovich, 2009).

Dalam tubuh tidak terdapat mekanisme untuk membuang

kelebihan besi, sehingga pada keadaan normal absorbsi besi dan intake
45

harus dijaga agar tidak terjadi akumulasi, yang mengakibatkan terjadinya

hemosiderosis (penimbunan besi). Kelebihan besi dalam darah sebagai

hasil dari perombakan eritrosit akan di simpan di jaringan dan sebagian

2+
akan digunakan kembali untuk eritropoiesis. Deposit Fe yang

berlebihan ke jaringan akan menyebabkan kerusakan serius terhadap

organ. Terjadinya penimbunan besi disebabkan oleh beberapa hal

diantaranya karena peningkatan absorbs besi, peningkatan asupan besi,

dan transfusi eritrosit berulang. (Hoffbrand, 2011).

Akumulasi besi merupakan konsekuensi yang telah

diperhitungkan pada transfusi eritrosit jangka lama (Kiswari, 2014). Pada

penderita thalassemia mayor, penimbunan besi terjadi karena transfusi

darah berulang dan karena meningkatnya destruksi eritrosit. Dalam hal

ini penimbunan besi tidak dapat dihindarkan, kecuali diberi terapi kelasi

besi. Tiap 450 mL darah yang ditransfusikan mengandung sekitar 200 –

250 mg besi sedangkan besi / Fe yang keluar dari tubuh hanya 1 – 3

mg/hari. (Hoffbrand, 2011).

Saat ini, ada dua alasan utama yang dianggap sebagai penyebab

kerusakan sistem dan organ termasuk ginjal pada pasien dengan β-

thalassemia mayor yaitu hipoksia kronis akibat anemia berkelanjutan, dan

hemosiderosis. Endapan besi dalam jumlah besar dalam jaringan

menghasilkan peningkatan produksi radikal bebas melalui reaksi Fenton,

menyebabkan kematian sel dengan mengikat protein sel dan mengganggu

fungsinya. (Smolkin et al., 2008).

Jumlah katalitik besi menyebabkan peningkatan produksi radikal

hidroksil melalui reaksi Fenton atau reaksi Haber-Weiss. Radikal


46

hidroksil adalah radikal pengoksidasi yang sangat reaktif dan akan

bereaksi dengan sebagian besar biomolekul dan menyebabkan

peroksidasi membran lipid, denaturasi protein, dan hidroksilasi DNA.

Peroksidasi lipid tidak hanya menyebabkan cedera lokal, tetapi juga

menghasilkan produksi berbagai aldehida difus stabil. Salah satu organ

yang mengalami kerusakan adalah ginjal. Radikal bebas mengakibatkan

kerusakan brush border dari tubulus ginjal dan menyebabkan kerusakan

sel sehingga fungsi ginjal terganggu. (Loebstein, 1998 ; Vidyarni, 2017).

Penumpukan besi atau iron overload pada penderita thalassemia

diakibatkan karena transfusi berulang setelah satu tahun (sekali dalam 2 - 4

minggu), akumulasi zat besi akan ditemukan di parenkim hati. Jumlah zat

besi dapat melebihi kapasitas protein pengikat zat besi seperti ferritin dan

transferin untuk mengikat besi. Besi yang tidak terikat akan membentuk

radikal bebas dan menyebabkan kerusakan jaringan melalui proses oksidatif

pada membran sel lipid, asam amino, protein, dan asam nukleat. Organ yang

biasanya terpengaruh oleh akumulasi zat besi adalah hati, pankreas,

jantung, sendi, dan kelenjar endokrin, ginjal. (Doloksaribu et al, 2017;

Wirawan, 2003).

2.2.5 Pengukuran Potensial Tinggi Genetik (PTG)

Prosedur untuk menilai gangguan pertumbuhan Gangguan

pertumbuhan merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasien

thalasemia I-mayor. Pola pertumbuhan pada anak tersebut relatif normal

sampai usia 10 tahun. Anak thalasemia I-mayor harus secara rutin dimonitor

pertumbuhan dan perkembangannya sampai mencapai tinggi dewasa dan

perkembangan seksual yang lengkap. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan


47

untuk menilai gangguan pertumbuhan yang terjadi pada pasien thalasemia I-

mayor:

1) Pengukuran tinggi badan berdiri atau duduk. Pengukuran ini dilakukan

setiap 6 bulan, pengukuran tinggi badan ini selanjutnya diproyeksikan

pada kurva pertumbuhan sesuai usia dan jenis kelamin. Kurva

pertumbuhan digunakan untuk memantau pertumbuhan anak sesuai

dengan populasi acuannya. Untuk negara-negara yang tidak memiliki

kurva pertumbuhan, WHO menganjurkan penggunaan kurva The

Centres Disease Control and Prevention ( CDC) sebagai acuan, akan

tetapi kurva ini menggunakan populasi Amerika Serikat, sehingga tidak

sesuai untuk setiap negara dan perlu penyesuaianpenyesuaian tertentu.

2) Pengukuran Potensial Tinggi Genetik (PTG) Oleh karena faktor genetik

mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan dan potensi tinggi

seorang anak, maka sangat penting menilai perawakan dari orang tua

dan saudara kandung anak tersebut. Perkiraan tinggi dewasa seorang

anak berhubungan dengan target tinggi kedua orang tua. Potensial tinggi

genetik (PTG) dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

- PTG laki-laki : Tinggi ayah + ( tinggi ibu + 13 cm) ± 8,5 cm

- PTG Perempuan : Tinggi ibu + (tinggi ayah-13 cm) ± 8,5 cm

Bila didapati pola pertumbuhan anak mengalami deviasi dari

orang tua atau saudara kandungnya maka di dapati kondisi patologis


48

yang mendasarinya, tetapi bila didapati kelainan patologis yang nyata

dari orang tua maka pengukuran ini tidak dapat digunakan.

Menilai kecepatan pertumbuhan Pertumbuhan merupakan suatu

proses yang dinamik, sehingga diperlukan pengukuran yang berkala

untuk mengukur kecepatan pertumbuhan dalam satu satuan waktu.

Minimal harus ada dua titik pengukuran supaya dapat menilai kecepatan

pertumbuhan. Dengan demikian dapat dilihat pola pertumbuhan anak,

apakah sejajar dengan persentil atau melenceng. Anak dengan gangguan

pertumbuhan akan mengalami pertumbuhan di bawah persentil 25 pada

kurva kecepatan pertumbuhan

Pemeriksaan status pubertas. Sebagaimana telah dikatakan di

atas bahwa keterlambatan pubertas berpengaruh terhadap gangguan

pertumbuhan pada pasien talasemia.Penumpukan besi pada sel gonad

pada hipofisis anterior menyebabkan berkurangnya sekresi hipofisis

anterior yang memicu terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme dan

pubertas terlambat. Oleh sebab itu perlu dilakukan penilaian status

pebertas. Status pubertas dapat dinilai dengan menggunakan skala

Tanner. Pemeriksaan ini harus dilakukan setiap 6 bulan sejak usia 10

tahun sampai mencapai perkembangan seksual yang lengkap. Untuk

menilai volume testis dengan menggunakan Orchidometer (Prader).

Menilai maturasi tulang. Maturasi tulang dapat diamati secara langsung

dengan melihat pertumbuhan lempeng epifisis dengan menggunakan X-

ray. Pada anak normal, didapati pusat perkembangan epifisis sesuai


49

usia, yang memungkinkan untuk dihasilkannya standart maturasi tulang

pada masing jenis kelamin selama masa anak dan remaja.12 Usia tulang

( bone age ) merupakan pengukuran kuantitatif maturasi fisik tulang,

caranya adalah dengan membandingkan Wrist X-ray pasien dengan

Wrist X-ray normal untuk laki-laki dan perempuan seperti yang terlihat

pada atlas Greulich and Pyle. Kegunaan dari penilaian usia tulang ini

adalah untuk memonitor potensi pertumbuhan dari waktu ke waktu,

dapat juga digunakan untuk menentukan perkiraan tinggi dewasa.

Pemeriksaan darah rutin, jumlah ferritin, fungsi hati dan zink, elektrolit

dan urin rutin. Dan Pemeriksaan fungsi tiroid (T3,T4,TSH), GH dan

IGF-I.

2.2.6 Manajemen Penatalaksanaan Gangguan Pertumbuhan

Manajemen penatalaksanaan gangguan pertumbuhan pada pasien

thalasemia R-mayor Manajemen penatalaksanaan gangguan pertumbuhan

pada pasien talasemia Is-mayor, harus mencakup semua aspek yang menjadi

penyebab gangguan pertumbuhan tersebut, seperti transfusi yang tidak

optimal, gangguan endokrin, defisiensi zink, dan toksisitas DFO.

Manajemen yang tepat bagi setiap pasien talasemia Ismayor, seperti

pengenalan dini gangguan pertumbuhan, pemberian terapi kelasi yang tepat

adalah sangat penting untuk memperbaiki kualitas hidup.

1. Pemberian transfusi secepatnya bila diagnosis telah ditegakkan.

Transfusi teratur seumur hidup harus dilakukan untuk menekan

eritropoesis, mencegah hipoksia kronis dan mencegah hipersplenisme.

Lamanya jarak antara setiap transfusi adalah 2 sampai 6 minggu


50

tergantung berat badan, umur, pekerjaan dan jadwal sekolah.

Pemantauan rutin Hb sebelum transfusi, dimana akan optimal bila kadar

Hb sebelum transfusi 9 g/dL sampai 10.5 g/dL.3,13.

2. Pemberian suplementasi seperti zink dan asam folat Pada satu studi

yang membandingkan antara dua kelompok, dimana kelompok pertama

adalah pasien talasemia Ismayor yang mendapat suplementasi zink

dengan dosis 60 mg sekali sehari selama 18 bulan, sedangkan kelompok

kedua adalah kelompok pasien talasemia Is-mayor yang tidak mendapat

zink. Pada penelitian tersebut dihasilkan pemberian suplementasi zink

hanya bermanfaat pada pasien talasemia Is-mayor yang mengalami

defisiensi zink, sedangkan profilaksis zink tidak mempunyai efek

terhadap pertumbuhan linier.

3. Pencegahan terhadap iron overload, terapi iron chelating agent dapat

diberikan jika pasien sudah menerima 100ml/kg PRC, serum feritin

lebih dari 1000 µg/L, jika anak sudah tiga sampai lima tahun

menggunakan DFO dan tidak dijumpai tanda-tanda gagal tumbuh dan

ekskresi besi dinilai baik, dan konsentrasi besi di hati (diukur 1 tahun

setelah transfusi) melebihi 7 mg/g berat kering hati yang diukur dengan

menggunakan biopsi hati maupun MRI.1 Terapi iron chelating agent

dimulai dengan pemberian DFO dengan dosis 20-40 mg/kgbb/hari

selama 8 sampai 12 jam, 5 sampai 7 hari perminggu, dosis maksimal

tidak boleh melebihi 50 mg/kgbb/hari.13-15,35 Suatu penelitian

membandingkan antara iron chelating agent oral yaitu deferiprone dan

subkutan yaitu DFO. Pada studi tersebut diambil kesimpulan bahwa

iron chelating agent oral sedikit lebih efektif dibandingkan dengan

pemberian iron chelating agent subkutan sebagai terapi iron chelating


51

agent pada hepar, dan sangat potensial dalam mengeluarkan besi dari

kelenjar endokrin dan jantung, karena kerja deferiprone dapat

melakukan penetrasi hingga intraselular.

4. Evaluasi endokrin. Evaluasi endokrin harus dilakukan bila dijumpai

penurunan kurva pertumbuhan, penurunan kecepatan pertumbuhan (<

persenti 25) dan keterlambatan maturitas tulang.Evaluasi ini meliputi:

- Penilaian status diet oleh ahli gizi

- Pemeriksaan laboratorium : Serum Ca, PO4, albumin, asam urat,

kultur urin, T4, TSH dan IGF-I 5.

Diagnosa pasti penyebab gangguan pertumbuhan Hal ini

dilakukan untuk memastikan apakah gangguan pertumbuhan

disebabkan oleh defisiensi GH, gangguan hormon lainnya, defisiensi

nutrisi, atau disebabkan oleh toksisitas DFO. Bila dijumpai defisiensi

GH harus segera dilakukan uji stimulasi GH untuk memastikan

adanya defisiensi GH.15 Uji stimulasi GH yang dilakukan dapat

berupa uji toleransi insulin, uji arginin, uji levadova, uji klonidin,

ataupun dengan latihan fisik.

Pemberian terapi GH bila dijumpai defisiensi GH. Pemberian

terapi GH telah menunjukkan peningkatan pertumbuhan untuk jangka

pendek dan juga peningkatan tinggi akhir saat dewasa pada anak-anak

dengan berbagai macam masalah pertumbuhan.11,39 Tetapi

penggunaan terapi GH ini hanya direkomendasikan bila memang

dijumpai defisiensi GH. Hal ini disebabkan efek samping yang dapat

muncul akibat pemakaian terapi GH tersebut.40 Kriteria diagnosis

defisiensi GH:
52

- TB dibawah persentil 3 atau -2SD

- Kecepatan pertumbuhan di bawah P25

- Usia tulang terlambat > 2 tahun

Recombinant human GH (rhGH) merupakan GH sintetik yang

mulai ada sejak tahun 1980an, yang bekerja sebagai pengganti GH di

hipofisis anterior pasien dengan defisiensi GH. Dosis yang

direkomendasikan untuk defisiensi GH adalah 23-39 µg/kgbb/hari

atau 0.7-1.0 mg/m2 /hari dengan dosis maksimal 2.7 mg/hari. Respons

yang dinilai untuk memantau terapi GH:

1. Penilaian secara regular terhadap pertumbuhan anak setiap 3 bulan

selama satu tahun.

2. Bila respons pengobatan memuaskan, interval penilaian dapat

diperpanjang menjadi 4-6 bulan.

3. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan pertahun atau bila ada indikasi.

4. Penilaian status hipofisis untuk menilai kemungkinan defisiensi

hormon lain yang tersembunyi akibat pemakaian terapi GH.

5. Terapi hormon seks untuk menginduksi pubertas pada waktu yang

tepat, bila ada indikasi.

6. Penilaian terhadap perkembangan, respons dan berbagai perubahan

selama pengobatan.

2.3 Indeks Masa Tubuh

Indeks massa tubuh (IMT) adalah ukuran berat yang disesuaikan

dengan tinggi badan, dihitung sebagai berat dalam kilogram dibagi dengan

kuadrat tinggi dalam meter (kg /m2 ) (CDC, 2011). Meskipun indeks masa

tubuh dapat digunakan sebagai indikator kegemukan, tetapi IMT lebih

berfungsi untuk mengukur kelebihan berat badan dibandingkan dengan


53

kelebihan lemak tubuh. Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, etnis, dan

massa otot dapat mempengaruhi hubungan antara IMT dengan lemak tubuh.

Indeks masa tubuh juga tidak membedakan antara kelebihan lemak, otot,atau

massa tulang dan juga tidak memberikan indikasi distribusi lemak pada

individu individu. (Nuttall, 2015).

Indeks Masa Tubuh sebagai indikator satus gizi dapat

menggambarkan keadaan status gizi masa lalu dan masa kini bila diukur

menurut usia (IMT/U), sedangkan untuk menggambarkan status gizi akut

dan saat ini dapat digunakan indikator berat badan menurut usia (BB/U).

(Keino et al., 2014). Pada anak dan remaja (5-19 tahun) nilai IMT-nya

dibandingan dengan nilai standar WHO/NCHS 2007. Pengukuran yang

paling sering dilakukan adalah dengan menggunakan Z-score ataupun

percentile. (WHO, 2006).

Tabel 2.2 Klasifikasi IMT menurut Kemenkes RI 2010


untuk anak usia 5-18 tahun

Nilai Z-skor Klasifikasi

z-skor ≥ +2 Obesitas

+1 < z-skor < +2 Gemuk

-2 < z-skor < +1 Normal

-3 < z-skor < -2 Kurus

z-skor < -3 Sangat kurus

Pada saat ini, yang paling sering dilakukan untuk menyatakan indeks tersebut
adalah dengan Z-skor atau persentil.
 Z-skor : deviasi nilai seseorang dari nilai median populasi referensi dibagi
dengan simpangan baku populasi referensi.
54

 Persentil : tingkatan posisi seseorang pada distribusi referensi (WHO/NCHS),


yang dijelaskan dengan nilai seseorang sama atau lebih besar daripada nilai
persentase kelompok populasi.

Z-skor paling sering digunakan. Secara teoritis, Z-skor dapat dihitung


dengan cara berikut :

Nilai IMT yang diukur – Median Nilai IMT (referensi)


Z-Skor = -------------------------------------------------------------
Standar Deviasi dari standar/referensi

2.4 Berat Badan

Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua

jaringan yang ada pada tubuh. Berat badan digunakan sebagai indikator yang

terbaik saat ini untuk mengetahui kadar gizi dan tumbuh kembang anak,

sensitif terhadap perubahan sedikit saja, bersifat objektif, dan dapat diulang.

(Soetjiningsih,2014). Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil

peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, seperti

tulang, otot, organ tubuh, dan cairan tubuh, sehingga dapat diketahui gizi dan

tumbuh kembang subjek. (Hidayat, 2008).

Beberapa faktor yang mempengaruhi berat badan manusia yaitu:

1. Susunan Genetik

Setelah dilakukan penelitian, didapatkan bahwa berat badan dapat

dipengaruhi oleh komponen genetik yang hetereogen. Tetapi masih

belum ditemukan penyebab yang pasti dari heterogenitas komponen

genetik tersebut. (Institute of Medicine (US) Subcommittee on Military

Weight Management, 2004).

2. Usia
55

Beberapa studi menunjukkan bahwa lemak tubuh akan meningkat

seiring dengan usia, walaupun telah dilakukan pengendalian terhadap

aktivitas fisik. Namun, massa tubuh tanpa lemak (seringkali berupa

massa tulang) akan menurun seiring dengan usia karena adanya

perubahan mineral yang ada di tulang. (Institute of Medicine (US)

Subcommittee on Military Weight Management, 2004).

3. Aktivitas Fisik

Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor resiko

penyebab peningkatan berat badan pada anak dan dewasa. Sementara,

peningkatan aktivitas fisik merupakan salah satu faktor penyebab

turunnya berat badan pada orang dewasa. (InstituteofMedicine (US)

Subcommitteeon Military Weight Management, 2004).

4. Diet atau Makanan

Energi yang didapat dari makanan dan kebutuhan energi oleh

tubuh harus seimbang. Energi yang didapat dari makanan berasal dari

karbohidrat, protein,dan lemak. Jika asupan makanan berlebih dan tidak

seimbang dengan ke butuhan energi oleh tubuh, maka akan terjadi

peningkatan berat badan. (Institute of Medicine (US) Subcommittee on

Military Weight Management, 2004).

5. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi berat badan adalah

budaya merokok dan minum alkohol. Asap rokok dapat mengakibatkan

peningkatan laju metabolisme, sehingga pada umumnya dapat terjadi


56

peningkatan berat badan pada orang-orang yang berhenti merokok.

Konsumsi alkohol juga dapat mempengaruhi berat badan. Energi yang

didapat dari alkohol, dan tidak terpakai, akan diubah menjadi lemak.

(Institute of Medicine (US) Subcommittee on Military Weight

Management, 2004).

6. Faktor Sosio-Ekonomi

Pada negara yang memiliki sumber daya yang melimpah, dengan

sistem transportasi dan penyimpanan makanan yang berkembang dengan

baik, akan menjamin pasokan makanan tersedia tiap tahun. Hal ini dapat

meningkatkan konsumsi makanan warga negara tersebut. Sementara itu,

pada negara berkembang, tingginya berat badan dapat dikaitkan dengan

tingkat kemakmuran individu di negara tersebut. (Institute of Medicine

(US) Subcommittee on Military Weight Management, 2004).

2.5 Tinggi Badan

Tinggi badan adalah jarak dari vertex ke lantai, dalam keadaan berdiri

tegak, posisi tubuh anatomis, dan posisi kepala pada bidang Frankfort. (Kamal

dan Yadav, 2016). Tinggi badan juga dapat didefinisikan sebagai hasil

pengukuran maksimum panjangtulang-tulang tubuh yang membentuk

porostubuh, yang diukur dari titik tertinggi kepala (vertex) ke titik terendah dari

tulang kalkaneus (tuberositas calcanel) yang disebut heel. (Venkataraman,

2015).

2.6 Pengaruh Kadar Feritin Serum dengan Tinggi Badan dan Berat Badan
57

Thalasemia β mayor adalah suatu penyakit yang dapat menampakkan

gejalanya pada awal masak anak-anak. Meskipun thalasemia dapat dicegah

dengan konseling premarital dan pemeriksaan prenatal, masih didapatkan

banyak anak yang lahir dengan thalasemia. Pengobatan kuratif, berupa

transplantasi sumsum tulang belum mungkin dilakukan pada kebanyakan

kasus, sehingga pengobatan hanya bersifat suportif, yaitu dengan transfusi

Packed Red Cells (PRC) yang dilakukan secara rutin. (Pemde et al., 2011).

Transfusi darah pada pasien talasemia β mayor dapat menyebabkan

kelebihan besi karena setiap unit darah yang ditransfusikan kepadapasien

mengandung sekitar 200 mg besi atau0,47mg/ml darah. Sesuai dengan terapi

transfusi yang direkomendasikan, yaitu untuk mencapai kadar hemoglobin

sebelum transfusi 9-10,5 gr/dl, maka akan diberikan transfusi darah sebanyak

100-200 ml/kgBB/tahun. Hal ini berarti akan terdapat 116-232 mg/kgBB/tahun

atau 0,32-0,64 mg/kgBB/hari besi yang masuk ke dalam tubuh pasien.

(Cappellini et al., 2014).

Penimbunan besi ini terjadi di berbagai organ tubuh seperti hati,

jantung, dan kelenjar endokrin sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-

organ tersebut. (Prabhu et al., 2009). Pada keadaan normal, ferritin akan

menyimpan besi yang dapat diambil kembali untuk digunakan sesuai

kebutuhan. Pada kadar besi yang tinggi, jumlah ferritin dalam plasma akan

meningkat. Ferritin ini akan mengikat besi, sehingga zat besi terionisasi (Fe2+)

tidak mencapai kadar toksik di dalam sel. Ketika kapasitas penyimpanan besi

telah habis, besi bebas (free iron) akan mengkatalisasi pembentukan radikal

hidroksil (OH-) berkonsentrasi tinggi dari komponen hidrogen peroksida


58

melalui reaksi Fenton yang menyebabkan kerusakan membran, denaturasi

protein, dan merusak replikasi DNA. (Knovich, 2008). Dengan adanya

kerusakan sel, akan memicu faktor-faktor inflamasi, seperti IL1β, IL6, TNFα.

Peningkatan kadarIL1β, IL6, TNFα akan meningkatkan sintesis apoferitin oleh

ferritin-mRNA, sehingga terjadi peningkatan kadar ferritin. (Torti dan

Torti,2002).

Kelenjar hipofisis anterior sangat sensitif teradap penumpukan besi,

sehingga akan mengganggu sekresi dari hormon. Apabila terjadi penumpukan

besi di hipofisis anterior, akan mengganggu sintesis dan sekresi dari Growth

Hormone (GH), sehingga pertumbuhan penderita thalasemia dapat terganggu.

(Tooumbaetal, 2008; Joshietal, 2013). Apabila sintesis dan sekresi Thyroid

Stimulating Hormone (TSH) terganggu, akan terjadi gangguan pula pada

sintesis dan sekresi hormon tiroid. Sementara itu, apabila terjadi gangguan

pada sintesis dan sekresi Adreno corticotropic Hormone (ACTH), akan

mengganggu sintesis dan sekresi dari hormon adreno kortikal.

Akibat dari gangguan sintesis dan sekresi hormon tersebut, akan

menimbulkan gangguan pada pertumbuhan dan metabolisme penderita

thalasemia β mayor. Pertumbuhan penderita thalasemia akan relatif normal

sampai mengendap menjadi kristal hidroksiapatit sehingga mengganggu

metabolisme tulang normal. (Moiz et al., 2017).


58

2.7 KerangkaTeori
Talasemia β mayor

Hemoglobin Transfusi darah rutin Absorbsi zat besi

Zat besi ↑

Feritin serum ↑

Reaksi fenton

Reactive Oxygen Species (ROS)↑

Stress oksidatif

Kerusakan sel pada hipofisis anterior

Gangguan sintesis Gangguan sintesis skyroid Gangguan sintesis


growth hormone stimulazing hormone adrenocorticotropic
hormone

Gangguan sintesis dan


Gangguan sintesis Gangguan sintesis dan
sekresi hormon tiroid
protein dan sekresi hormon
pertumbuhan sel dan adrenokortikal
jaringan
Gangguan pertumbuhan
dan metabolisme tubuh

Gangguan pertumbuhan berat


badan dan tinggi badan

Gambar 2.7 Kerangka Teori. (Lutfiana N, 2018).


59

2.8 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Ferritine serum Berat badan dan


Tinggi badan

Gambar 2.8 Kerangka Konsep

2.9 Hipotesa

Ho : Tidak ada hubungan kadar kadar hemoglobin sebelum tranfusi dan

ferritin serum dengan kecepatan pertumbuhan penderita thalasemia β

mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2019.

Ha : Ada kadar hemoglobin sebelum tranfusi dan feritin serum dengan

kecepatan pertumbuhan penderita thalasemia β mayor di Rumah

Sakit Abdul Moeloek tahun 2019.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey

analitik dengan pendekatan cross-sectional, yaitu suatu penelitian untuk

mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan

cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat

(point time approach). (Notoatmodjo, 2010).

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – April 2020. Dengan

meninjau data rekam medis dan pengukuran berat badan dan tinggi badan

berdasarkan IMT.

3.2.2 Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruangan yayasan Thalasemia RSUD Dr.

H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita thalasemia β

mayor bulan di Rumah Sakit Abdul Moeloek tahun 2020, penderita

sebanyak 115 orang.

60
61

3.3.2 Besar sampel

Dari jumlah populasi sebanyak 115 orang, dengan didapatkan 60 orang

yang akan digunakan sebagai sampel.

3.3.3 Teknik Sampel

Dengan metode pengambilan purposive sampling, dimana semua subyek

yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukan dalam penelitian

sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. Purposive sampling ini

merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik, dan sering

merupakan caratermudah. Sebagian besar penelitian klinis (termasuk uji klinis)

menggunakan teknik ini untuk pemilihan subyeknya.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Semua pasien anak terdiagnosis thalassemia β dengan elektroforesis Hb.

2. Penderita berusia 2 – 20 tahun.

3. Telah menjalani tranfusi darah teratur selama minimal 1 tahun.

4. Penderita mendapat transfusi berulang setiap bulan minimal sekali.

5. Data lab lengkap pada rekam medik.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Responden memiliki kelainan / penyakit pada hati.

2. pasien yang menjalani pengobatan hormonal.

3. Data pasien tidak sesuai.


62

3.5 Variabel Penelitian

a. Variabel terikat (dependent variable) penelitian ini adalah ferritin serum.

b. Variabel bebas (independent variable) penelitian ini adalah kecepatan

pertumbuhan berat badan dan tinggi badan penderita thalasemia β mayor.

3.6 Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelakanaan penelitian dan agar penelitian

tidak terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut:


63

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara ukur Hasil ukur Skala


1 Kadar feritin Merupakan suatu ukuran simpanan zat besi.
Pada pasien thalasemia dalam rekam medis Rekam medis 0. <1000:Tidak Ordinal
kadar feritin >1000 berisiko menyebabkan berisiko
kerusakan berbagai organ (feritin serum 1. >1000:Berisiko
selama 1 tahun diambil dari rekam medis
pasien kemudian direratakan).

2 Kadar Hb Gambaran laboratorium kandungan


hemoglobin dan volume eritrosit, terlihat Rekam medis 0. Penurunan nilai Ordinal
sebagai nilai MCH dan MCV rendah, yang MCV
dapat disertai penurunan kadar hemoglobin. 1. MCV Normal
Pemeriksaan untuk penapisan terutama
menggunakan parameter dari alat hitung sel
otomatik,Pengukuran %hipokromik dan
%mikrositik bermanfaat untuk mendeteksi
adanya populasi eritrosit dengan
pembentukan hemoglobin yang inadekuat

3 Gangguan Gangguan pertumbuhan adalah gangguan


pertumbuhan pada kecepatan pertumbuhan tinggi Rekam medis 0. Perawakan sangat Ordinal
berdasarkan umur dan derajat pubertas, (Interpretasi Z- pendek
apakah anak tersebut pendek atau tinggi dari score TB/U (n) 1. Perawakan pendek
pengukuran tinggi dan dari potensi tinggi
orang tua

3.7 Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini data yang diperoleh langsung diambil dari

responden, meliputi:

a. Penjelasan maksud dan tujuan penelitian.

b. Responden mengisi data informed consent sebagai bukti persetujuan.

c. Penimbangan berat badan responden.

d. Pengukuran tinggi badan responden.

e. Pengukuran lingkar lengan atas responden.


64

f. Pencatatan hasil penelitian pada lembar observasi.

Dilakukan pengambilan data subjek dari lembaran penelitian, seperti

tanggal lahir, usia, jenis kelamin, tinggi badan, Z score TB/U, LILA, Z score

LILA/U, tinggi duduk, kadar Hb pre-transfusi dan feritin serum kemudian

dikelompokkan sebagai gizi kurang-buruk dan baik berdasarkan LILA/umur,

perawakan pendek-sangat pendek dan normal berdasarkan tinggi badan/umur,

perawakan pendek dan normal berdasarkan interpretasi tinggi /umur.

Pasien pada saat kontrol rutin ke poliklinik thalassemia dilakukan

pengambilan sampel darah vena sebelum transfusi sel darah merah. Sampel

darah yang diambil 4 ml dengan 2 mL dimasukkan ke dalam tabung yang

berisi ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA) untuk pemeriksaan kadar Hb.

Kadar Hb diperiksa dengan menggunakan hematology counter (Sisnex), satuan

mg/dL; sisanya 2 mL dimasukkan ke dalam tabung yang tidak berisi EDTA

(tabung plain) untuk pemeriksaan feritin. Pemeriksaan ferritin dengan

menggunakan immunoassay (Fidas), satuan mg/mL. Hasil data pemeriksaan

feritin Pasien pada saat kontrol rutin ke poliklinik pada saat itu dicatat. (Data

kadar Hb dan feritin serum selama 1 tahun diambil dari rekam medis pasien

kemudian direratakan). Kadar Hb pre-transfusi dan feritin serum yang masing-

masingnya merupakan variabel numerik dihubungkan dengan Z-score TB/U

dan LILA/U yang keduanya juga merupakan variabel numeric >0,05 korelasi

tidak bermakna.

3.8 Pengolahan Data

Data yang sudah diperoleh dari responden kemudian diolah

menggunakan aplikasi komputer untuk diubah kedalam bentuk tabel.


65

Pengolahan data menggunakan aplikasi komputer memerlukan beberapa

langkah, yaitu:

1. Coding

Menerjemahkan persyaratan logika dari pseudocode atau diagram

alur ke dalam suatu bahasa pemograman baik huruf, angka, dan

simbol yang membentuk program untuk keperluan analisis.

2. Data entry

Memasukkan data-data penelitian yang diperoleh ke dalam komputer

melalui program analis software komputer.

3. Verifikasi
Proses pengecekan kembali data yang dimasukkan kedalam
komputer dengan data yang diperoleh secara visual.
4. Output
Proses dimana hasil yang telah didapat dengan analisis computer
dicetak dan disertakan sebagai hasil penelitian.

3.9 Analisis Data


Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan 2 jenis
analisis statistik,yaitu:
3.9.1 Analisis Univariat
Analisis ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi sehingga
terlihat gambaran deskriptif semua variabel.
3.9.2 Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara dua
variabel,dengan menggunakan uji statistik Chi-square sebagai uji parametrik
namun bila tidak memenuhi syarat parametrik dimana nilai expected count
>20 % maka di gunakan uji alternatif yaitu dan digunakan uji Fisher exact
bilatabel 2x2.
66

3.10 Alur Penelitian

Penyusunan proposal

Melakukan Penelitian

Populasi

Kriteria Inklusi

Sampel

Melakukan pencatatan data


dari rekam medik

Pengolahan data

Analisis data

Gambar 3.1 Alur Penelitian.


67
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan

Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2020 dengan mengambil

data dari rekam medik pasien penderita Thalasemia β Mayor anak di Rumah

Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Didapatkan 60

sampel penelitian yang sudah memenuhi kriteria inklusi peneliti dari 115

jumlah populasi penderita thalasemia β mayor.

4.2 Univariat

Tujuan analisa univariat adalah untuk menerangkan distribusi

frekuensi atau jumlah karakteristik pasien thalasemia yang melakukan transfusi

darah secara rutin dan berkala. Pemeriksaan penunjang meliputi kadar

hemoglobin rata-rata pretranfusi dihitung dari catatan medis, sedangkan kadar

feritin serum diperiksa satu kali. Bila kadar feritin serum lebih dari batas

normal pada laki-laki & perempuan maka disebut kelebihan besi (iron

overload), laki-laki 40-340 ng/ml & perempuan 15-150 mg / ml.

Pengambilan sampel berdasarkan observasi rekam medis pasien

thalasemia, jumlah kunjungan sebanyak didapatkan 60 sampel dari total 115

dari keseluruhan jumlah populasi penderita thalasemia β di Rumah Sakit Abdul

Moeloek dari bulan Februari sampai dengan Maret tahun 2020.

4.2.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden pengambilan sampel berdasarkan observasi

rekam medis pasien thalasemia, jumlah kunjungan di Rumah Sakit Abdul

67
68

moeloek terdiri dari umur, jenis kelamin, lama menderita. Penjabaran dari

karakteristik responden dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Terdiri dari Umur, Jenis Kelamin, Lama
Menderita Pasien Penderita Thalasemia β Mayor di Rumah Sakit Abdul
Moeloek Tahun 2020

Jenis Kelamin Jumlah Presentase %


Laki-laki 29 48.3
Perempuan 31 51.7
Total 60 100.0

Pada tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden berusia

6-11 tahun sebanyak 54 responden (40,0%). Responden mayoritas berjenis

kelamin perempuan sebanyak 61 responden (53%). Lama mayoritas responden

menderita penyakit dengan kategori singkat (≤5 tahun) adalah yaitu sebanyak

59 respoden (51.3%).

Tabel 4.2 Distribusi Frequensi Kadar Ferritin Serum (Fe) pada Penderita
Thalasemia β Mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek Tahun 2020
Kadar Ferittin Serum Jumlah (n) Presentase (%)

(Fe)

>1000 27 64.3

<1000 33 35.7

Total 60 100

Pada tabel 4.2 di atas dapat dilihat distribusi frekuensi responden

berdasarkan kadar fe serum didapatkan data bahwa kadar (fe) serum >1000 yaitu

sebanyak 74 responden (64,3%), dan kadar ferritin (fe) serum <1000 yaitu

sebanyak 41 responden (35,7%).


69

4.2.2 Analisis Bivariat

Analisa bivariat menggambarkan hubungan kadar Fe-serum terhadap

gangguan pertumbuhan pada pederita thalasemia berdasarkan rumus (IMT) di

dapatkan. maka uji statistik yang digunakan adalah uji chi square.

Tabel 4.2.1 Hubungan Kadar Fe Serum Dengan berat badan dan tinggi badan

pada Penderita Thalasemia β Mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek Tahun 2020.

Gangguan Kadar Fe serum Total P- value

pertumbuhan >1000 <1000


berdasarkan 0.002
N % N % N %
(IMT)

Kurus – sangat 9 27.3 24 72.2 33 100

kurus

Gemuk – Normal 19 70,4 8 29.9 27 100

Total 28 46.7 32 53.3 60 100

Dari tabel 4.2.1 di atas dapat dilihat bahwa responden yang patuh

menjalani tranfusi darah dengan kadar feritin (fe) serum >1000 dan

mempunyai gangguan pertumbuhan kurus – sangat kurus yang dihitung

berdasarkan rumus IMT yaitu sebanyak 28 orang (46.7%) dibandingkan

dengan kadar ferritin serum <1000 di dapatkan orang dengan hasil IMT

dengan gangguan pertumbuhan kurus – sangat kurus. Hasil uji statistik

menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p value = 0,002 < α 0,05 maka Ho

gagal ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat Hubungan yang


70

signifikan antara hubungan kadar ferritin serum >1000 cendrung mengalami

gangguan pertumbuhan.

4.3 Pembahasan Analisis Univariat

4.3.1 Usia pada Penderita Thalassemia β Mayor di Rumah Sakit Abdul

Moeloek Tahun 2020

Berdasarkan penelitian di atas didapatkan usia pada pasien Thalasemia β

Mayor anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2019

sebagian besar adalah > 5 tahun yaitu sebanyak 42 orang (70,0%).

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa gejala klinis Thalasemia

sudah terlihat pada usia 2 tahun, tetapi penderita thalasemia baru dapat berobat

pada usia 4-6 tahun karena semakin pucat sehingga mengakibatkan

penderitanya memerlukan tranfusi secara berkala. (Dewi, 2014).

4.3.2 Jenis Kelamin pada Penderita Thalassemia β Mayor di Rumah Sakit

Abdul Moeloek Tahun 2020

Berdasarkan penelitian di atas didapatkan jenis kelamin pasien

Thalasemia β Mayor anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek Provinsi Lampung

tahun 2019 sebagian besar adalah perempuan yaitu sebanyak 31 orang (51,7%).

Hal ini sesuai dengan teori bahwa gen beta thalassemia diwariskan

menurut Hukum Mendel secara autosomal resesif, sehingga anak dari pasangan

pembawa bakat mempunyai kemungkinan 25% normal, 50% sebagai pembawa

bakat dan 25% kemungkinan merupakan penderita, kemungkinan tersebut

tidak tergantung jenis kelamin, dimana sintesis rantai polipeptida globin beta

hanya berlangsung di dalam sel-sel dari seri eritroid, meskipun gen globin beta

juga terdapat dalam kromosom selsel yang lain. (Bulan, 2012).


71

4.3.3 Lama Menderita Penyakit Thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul

Moeloek tahun 2020

Lama responden menderita penyakit dengan kategori singkat (≤ 5 tahun)

dan kategori lama (> 5 tahun) adalah sama, yaitu sebanyak 28 responden

(50%). Thalasemia merupakan salah satu penyakit kronis yang tertinggi

kejadiannya pada anak-anak. (Rachmaniah, 2012).

Penyakit kronis pada anak merupakan keadaan sakit baik fisik,

psikologis atau kognitif yang menyebabkan keterbatasan dan membutuhkan

perawatan yang intensif di rumah sakit ataupun di rumah yang diperkirakan

akan bertahan setidaknya sampai beberapa bulan. (Potts & Mandleco, 2017).

Lamanya menderita penyakit pada anak dengan thalasemia tergantung

dari kapan mereka di diagnosa menderita thalasemia, semakin awal

terdiagnaosa maka semakin lama responden menderita thalasemia sesuai

dengan usia mereka saat ini.

4.3.4 Kadar Ferritin (Fe) Serum pada Penderita Thalassemia β Mayor di

Rumah Sakit Abdul Moeloek Tahun 2020

Frekuensi responden berdasarkan kadar ferritin (fe) serum didapatkan

Berdasarkan penelitian di atas didapatkan kadar feritin pada pasien Thalasemia β

Mayor anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2019

sebagian besar adalah Beresiko (≥=1000) yaitu sebanyak 33 orang (55,0%).

Penderita thalasemia harus menjalani transfusi darah secara teratur dan

rutin untuk menjaga kesehatan dan stamina penderita thalasemia, sehingga

penderita tetap bisa beraktivitas. Tranfusi akan memberikan energi baru kepada

penderita karena darah dari transfusi mempunyai kadar hemoglobin normal


72

yang mampu memenuhi kebutuhan tubuh penderita. Penderita thalasemia

membutuhkan transfusi darah karena hemoglobin penderita thalasemia tidak

cukup memproduksi protein α atau β sehingga mengakibatkan hemoglobin

yang dibentuk menjadi berkurang dan sel darah merah mudah rusak. (Dewi,

2009).

Kadar feritin merupakan suatu ukuran simpanan zat besi retikulo

endotelial yang sangat berguna untuk mendiagnosis keadaan defisiensi zat besi

atau keadaan kelebihan zat besi. Kadar feritin normal berkisar antara 20 μg/L

sampai 200 μg/L. Kadar feritin yang berlebih di dalam tubuh penderita

talasemia dapat menyebabkan kegagalan perkembangan seksual, defek

pertumbuhan, dan pigmentasi kulit (Mehta, 2017). Berdasarkan hasil penelitian

terdapat 90,4% penderita talasemia memiliki kadar feritin lebih dari 2.000

ng/mL. Kadar feritin lebih dari 2.000 ng/mL tidak dapat diperoleh nilai

rasionya secara pasti sebab alat yang digunakan untuk pengukuran tidak

mampu menampilkan data yang nilainya lebih dari 2.000 ng/mL.

Penjabaran di atas telah menggambarkan tentang kepatuhan tranfusi

darah, maka peneliti berasumsi bahwa kepatuhan pasien menjalani tranfusi

darah berarti bahwa pasien beserta keluarga harus meluangkan waktu untuk

menjalankan pengobatan yang dibutuhkan termasuk dalam menjalani tranfusi

darah secara rutin. Terapi kelasi besi dimulai ketika kadar feritin serum

mencapai 1000 mg/dl atau setelah 10-20 kali tranfusi. (Gatot, et al, 2017).

4.3.5 Gangguan berat badan dan tinggi badan pada Penderita Thalasemia β

Mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek Tahun 2020


73

Responden gangguan pertumbuhan berdasarkan IMT dengan kategori

gemuk- normal didapatkan yaitu sebanyak 28 responden (46,7%), dan IMT

dengan kategori Kurus – sangat kurus yaitu sebanyak 33 responden (53,3%).

Pertumbuhan responden mayoritas normal yaitu sebanyak 28 responden

(69,6%). Penilaian pertumbuhan anak p ada penelitian ini menggunakan

IMT/U.

Anak thalasemia dapat tumbuh normal apabila kadar hemoglobin

dipertahankan di atas 10-11 g/dl dan diikuti terapi kelasi besi yang memadai.

Hal ini membuat pasien thalasemia terlihat tumbuh normal dan sulit dibedakan

dari anak seusianya. (Made & Ketut, 2011).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Arytha (2014) yang

melakukan penelitian menggunakan alat ukur IMT/U pada anak thalasemia dan

mendapatkan bahwa pertumbuhan responden normal sebanyak 28 orang

(75%). Anak thalasemia mayor dapat tumbuh normal jika kadar hemoglobin

dipertahankan 8,5 g/dl selama 10 tahun pertama kehidupan. (Made & Ketut,

2011).

4.4 Pembahasan Analisis Bivariat

4.4.1 Hubungan Kadar Feritin (Fe) Serum dengan Gangguan Pertumbuhan

pada Penderita Thalasemia β Mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek

Tahun 2019

Berdasarkan hasil analisa, diketahui bahwa dari 27 responden

yang memiliki kadar ferritin Tidak Beresiko (≤1000), didapatkan 19 responden

(70,4%) memiliki status gizi baik. Sedangkan dari 33 responden yang memiliki

kadar ferritin Beresiko (≥=1000) , didapatkan 24 responden (72,7%) memiliki


74

status gizi kurang dan buruk. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,002

maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kadar feritin dengan status

gizi pada pasien Thalasemia β Mayor anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek

Bandar Lampung tahun 2019. Hasil analisis diperoleh pula nilai OR 6,33 (95%

CI 2,05-19,54) yang berarti bahwa responden yang memiliki kadar feritin

beresiko (≥=1000) 6,33 kali lebih besar menjadi status gizi kurang dan buruk

dibandingkan dengan yang memiliki kadar ferritin Tidak Beresiko (≤1000).

Hasil Indeks massa tubuh (IMT) adalah ukuran berat yang disesuaikan

dengan tinggi badan, dihitung sebagai berat dalam kilogram dibagi dengan

kuadrat tinggi dalam meter (kg /m2 ) (CDC, 2011). Meskipun indeks masa

tubuh dapat digunakan sebagai indikator kegemukan, tetapi IMT lebih

berfungsi untuk mengukur kelebihan berat badan dibandingkan dengan

kelebihan lemak tubuh. dengan kriteria IMT gangguan pertumbuhan kurus –

sangat kurus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kepatuhan tranfusi dengan pertumbuhan (p value= 0,002).

Penelitian ini menemukan bahwa pertumbuhan normal pada anak

thalasemia tergantung pada kepatuhan responden melakukan tranfusi darah

secara teratur. Responden yang patuh menjalani tranfusi darah secara teratur

dapat Mempertahankan kadar hemoglobin di atas 7 g/dl. Kadar hemoglobin

yang dipertahankan di atas 7 g/dl dapat mempengaruhi pertumbuhan pasien

thalasemia yang patuh menjalani tranfusi di ruang thalasemia center.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Asadi-

Pooya, Karimi, dan Immanieh (2014) menunjukkan adanya hubungan antara

kadar hemoglobin ratarata sebelum transfusi dan kecepatan pertumbuhan.


75

Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa semakin rendah kadar hemoglobin

rata-rata sebelum transfusi maka kecepatan pertumbuhan semakin berkurang.

Hal ini dikarenakan pasien thalasemia tidak patuh menjalani tranfusi, sehingga

pertumbuhannya terganggu.

Penelitian yang dilakukan Saxena (2013) juga memperlihatkan bahwa

pasien dengan kadar hemoglobin rata-rata yang rendah sebelum transfusi (<7,4

g/dL) dapat mengalami gangguan kecepatan pertumbuhan. Hasil penelitian di

atas menunjukkan bahwa tranfusi darah dapat mencegah gangguan

pertumbuhan pada anak dengan thalasemia. Faktor yang dianggap berperan

terhadap kecepatan pertumbuhan anak dengan thalasemia adalah tinggi badan

pada saat pertama kali pengukuran, penggunaan zat pengikat besi, volume

darah rata-rata yang diterima saaat dilakukan tranfusi, dan keteraturan tranfusi.

(Saxena, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Mehta. Berdasarkan hasil penelitian

terdapat 90,4% penderita talasemia memiliki kadar feritin lebih dari 2.000

ng/mL. Kadar feritin lebih dari 2.000 ng/mL tidak dapat diperoleh nilai

rasionya secara pasti sebab alat yang digunakan untuk pengukuran tidak

mampu menampilkan data yang nilainya lebih dari 2.000 ng/mL. (Mehta,

2017).

Pemberian transfusi secepatnya bila diagnosis telah ditegakkan.

Transfusi teratur seumur hidup harus dilakukan untuk menekan eritropoesis,

mencegah hipoksia kronis dan mencegah hipersplenisme. Lamanya jarak

antara setiap transfusi adalah 2 sampai 6 minggu tergantung berat badan, umur,
76

pekerjaan dan jadwal sekolah. Pemantauan rutin Hb sebelum transfusi, dimana

akan optimal bila kadar Hb sebelum transfusi 9 g/dL sampai 10.5 g/dL.3,13.

Penelitian yang dilakukakn Cheryl Nini (2017) Mengetahui pengaruh

kadar ferritin serum transfusi darah berulang terhadap gangguan pertumbuhan

pada anak thalassemia mayor. Ditemukan 30 (60%) subyek dari yang diperiksa

mengalami usia tulang terlambat. Kadar ferritin serum subyek dengan laju

pertumbuhan terlambat adalah 3075 µg/L, lebih tinggi dibandingkan dengan

subyek dengan laju pertumbuhan tidak terlambat meski secara statistik

perbedaanya tidak bermakna. usia tulang radiologis, dicari perbedaan proporsi

usia tulang terlambat pada subyek dengan pertumbuhan terlambat

dibandingkan dengan pertumbuhan tidak terlambat. Proporsi subyek dengan

usia tulang terlambat lebih besar pada kelompok dengan gangguan

pertumbuhan, yaitu 25 dari 38 anak (65,8%) dibandingkan pada subyek tanpa

gangguan pertumbuhan, yaitu 5 dari 12anak (41,7%), meski secara statistic

perbedaan tersebut belum bermakna (uji Fisher exact, p=0,14). (Cheryl Nini,

2017)

Indeks massa tubuh (IMT) adalah ukuran berat yang disesuaikan dengan

tinggi badan, dihitung sebagai berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat

tinggi dalam meter (kg /m2 ) (CDC, 2011). Meskipun indeks masa tubuh dapat

digunakan sebagai indikator kegemukan, tetapi IMT lebih berfungsi untuk

mengukur kelebihan berat badan dibandingkan dengan kelebihan lemak tubuh.

Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, etnis, dan massa otot dapat

mempengaruhi Hubungan dengan lemak tubuh. Indeks masa tubuh juga tidak
77

membedakan antara kelebihan lemak, otot,atau massa tulang dan juga tidak

memberikan indikasi distribusi lemak pada individu individu. (Nuttall, 2015).

Anak thalasemia dapat tumbuh normal apabila kadar hemoglobin

dipertahankan di atas 10-11 g/dl dan diikuti terapi kelasi besi yang memadai.

Hal ini membuat pasien thalasemia terlihat tumbuh normal dan sulit dibedakan

dari anak seusianya. (Made & Ketut, 2011).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Arytha (2014) yang

melakukan penelitian menggunakan alat ukur IMT/U pada anak thalasemia dan

mendapatkan bahwa pertumbuhan responden normal sebanyak 24 orang

(75%). Anak thalasemia mayor dapat tumbuh normal jika kadar hemoglobin

dipertahankan 8,5 g/dl selama 10 tahun pertama kehidupan. (Made & Ketut,

2011).

Thalasemia β mayor adalah suatu penyakit yang dapat menampakkan

gejalanya pada awal masak anak-kanak. Meskipun talasemia dapat dicegah

dengan konseling premarital dan pemeriksaan prenatal, masih didapatkan

banyak anak yang lahir dengan thalasemia. Pengobatan kuratif, berupa

transplantasi sumsum tulang masih belum mungkin dilakukan pada

kebanyakan kasus, sehingga pengobatan yang diberikan hanya bersifat suportif,

yaitu dengan transfusi Packed Red Cells (PRC) yang dilakukan secara rutin.

(Pemde et al., 2011).

Pertumbuhan terhambat sering terjadi pada pasien thalassemia mayor

anak dan remaja, namun pada umumnya tidak segera terdeteksi pada sebagian

besar pasien. Sebelum era hipertransfusi dan terapi kelasi besi, hipoksia

jaringan dan toksisitas besi merupakan penyebab utama pertumbuhan


78

terhambat. Faktor kelebihan besi berakibat terhadap gangguan produksi IGF-I

(somatomedin) sehingga kadar di dalam darah rendah.Penurunan secara

bermakna aktifitas IGF I berdampak terutama pada pertumbuhan kartilago

tulang. Gangguan pertumbuhan mulai tampak setelah usia 10 tahun. Pada

kelompok umur setelah 10 tahun ditemukan pula pemendekan badan (tinggi

duduk).

Transfusi darah pada pasien talasemia β mayor dapat menyebabkan

kelebihan besi karena setiap unit darah yang ditransfusikan kepadapasien

mengandung sekitar 200 mg besi atau0,47mg/ml darah.Sesuai dengan terapi

transfusi yang direkomendasikan, yaitu untuk mencapai kadar hemoglobin

sebelum transfusi 9-10,5 gr/dl, maka akan diberikan transfusi darah sebanyak

100-200 ml/kgBB/tahun. Hal ini berarti akan terdapat 116-232 mg/kgBB/tahun

atau 0,32-0,64 mg/kgBB/hari besi yang masuk ke dalam tubuh pasien.

(Cappellini et al., 2014).

Gomber dan Dewan (2017) melaporkan bahwa ketika kadar ferritin

meningkat lebih dari 3000 µg/L akan terjadi gangguan pertumbuhan. Terdapat

banyak faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan pada thalassemia

selain toksisitas besi, antara lain anemia kronik yang menyebabkan hipoksia

jaringan, penyakit liver kronis, dan defisiensi nutrisi yang belum

diperhitungkan dalam penelitian ini.Pengaruh toksisitas besi terhadap laju

pertumbuhan juga dipengaruhi lamanya pajanan terhadap iron overload.

Pada keadaan normal, feritin akan menyimpan besi yang dapat diambil

kembali untuk digunakan sesuai kebutuhan. Pada kadar besi yang tinggi,

jumlah feritin dalam plasma akan meningkat.Feritinini akan mengikat besi,


79

sehinggazat besiterionisasi (Fe2+) tidak mencapai kadartoksik didalamsel.

Ketika kapasitas penyimpanan besi telah habis, besi bebas (free iron) akan

mengkatalisasi pembentukan radikal hidroksil (OH-) berkonsentrasi tinggi dari

komponen hidrogen peroksida melalui reaksi Fenton yang Makan menyebab

kan kerusakan membran, denaturasi protein, dan merusak replikasi DNA.

(Knovich, 2008). Dengan adanya kerusakan sel, akan memicu faktor-faktor

inflamasi, seperti IL1β, IL6, TNFα. Peningkatan kadarIL1β, IL6, TNFα akan

meningkatkan sintesis apoferitin oleh ferritin-m RNA,sehingga terjadi

peningkatan kadar ferritin. (Torti dan Torti,2002).

Kelenjar hipofisis anterior sangat sensitif teradap penumpukan besi,

sehingga akan mengganggu sekresi dari hormon. apabila terjadi penumpukan

besi di hipofisis anterior, akan mengganggu sintesis dan sekresi dari Growth

Hormone (GH), sehingga pertumbuhan penderita talasemia dapat terganggu

(Joshietal.2013). Apabila sintesis dan sekresi Thyroid Stimulating Hormone

(TSH) terganggu, akan terjadi gangguan pula pada sintesis dan sekresi hormon

tiroid. Sementara itu, apabila terjadi gangguan pada sintesis dan sekresi Adreno

corticotropic Hormone (ACTH) ,akan mengganggu sintesis dan sekresi dari

hormon adreno kortikal. Akibat dari gangguan sintesis dan sekresi hormon

tersebut, akan menimbulkan gangguan pada pertumbuhan dan metabolisme

penderita talasemia β mayor. Pertumbuhan penderita talasemia akan relatif

normal sampai mengendap menjadi kristal hidroksiapatit sehingga

mengganggu metabolisme tulang normal. (Moiz et al, 2017).


80
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Diketahui distribusi frekuensi didapatkan kadar feritin pada pasien

Thalasemia β Mayor anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek Provinsi

Lampung tahun 2019 sebagian besar adalah Beresiko (≥=1000) yaitu

sebanyak 33 orang (55,0%).

2. Diketahui distribusi frekuensi gangguan pertumbuhan berdasarkan IMT

kategori Gemuk- normal didapatkan yaitu sebanyak 28 responden

(46,7%), dan IMT dengan kategori Kurus – sangat kurus yaitu sebanyak 32

responden (53,3%). pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit

Abdul Moeloek tahun 2020.

3. Diketahui feritin (fe) serum >1000 mempunyai gangguan pertumbuhan

kurus – sangat kurus yaitu sebanyak 33 orang (55.0%) dibandingkan

dengan kadar ferritin serum <1000 di dapatkan 27 orang dengan gangguan

pertumbuhan kurus – sangat kurus, diperoleh nilai p value = 0,002,

disimpulkan bahwa ada hubungan pengaruh kadar feritin serum dengan

gangguan pertubuhan pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit

Abdul Moeloek tahun 2020.

80
81

5.2 Saran

5.2.1 Saran Peneliti Selanjutnya

Perlu dilakukan penelitian labih lanjut mengenai pemakaian terapi kelasi

besi deferioksamin (DFO) untuk menurunkan kadar besi pada hipertransfusi

pasien thalassemia mayor.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan

bagi peneliti dan peneliti selanjutnya untuk mengetahui faktor yang

berpengaruh terhadap gangguan pertumbuhan pada penderita thallasemia

terkait mengenai hubungan feritin serum dengan berat badan dan tinggi badan

pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit Abdul Moeloek sebagai

referensi awal.

5.2.2 Saran Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan

bagi peneliti, pembaca, pada penderita thalasemia β mayor di Rumah Sakit

Abdul Moeloek agar dapat mengontol secara rutin agar tidak terjadi komplikasi

gagal organ bagi penderita, perlu dilakukan pemakaian terapi kelasi besi,
82

deferioksamin (DFO) untuk menurunkan kadar besi pada hipertransfusi pasien

thalasemia mayor.
DAFTAR PUSTAKA

1. Run D, Rachmilewitz E. β-Thalassemia. N Engl J Med 2005;1135-46

2. Wahidiyat PA. Komplikasi pada talasemia mayor. Dalam: Subanada IB, Kumara

Wati KD, Sidiartha IGL, Lingga Utama IMGD, Supartha M, Setyorini A dkk,

penyunting. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak X FK

UNUD/RSUP Sanglah. Denpasar: Bagian IKA FK UNUD, 2010.h.119-32.

3. Alatzoglou KS, Dattani MT. Acquired disorders of the hypothalamopituitary

axis. Dalam: Brook C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical

Pediatric Endocrinology. Edisi ke-6. West Sussex UK: Wiley-Backwell

Publishing; 2009.h.106-23. Low LCK. Growth of children with βthalassemia

major. Indian pediatr 2005;72:159-63.

4. De Sanctis V, Pinamonti A, Di Palma A, Sprocati M, Atti G, Gamberini MR

dkk. Growth and development in thalassemia major patients with severe bone

lesions due to desferrioxamine. Eur J Pediatr 1996;155:368-72.

5. Saxena A. Growth Retardation in thalassemia major patients. Int J Hum Genet

2003;3:237-46.

6. Katzos G, Harsoulis F, Papadopoulou M, Athanasiou M, Sava K. Circadian

growth hormone secretion in short multitransfused prepubertal children with

thalassemia major. Eur J Pediatr 1995;154:445-9.

7. De Virgiliis S, Congia M, Frau F, Argiolu F, Diana G, Cucca F,

dkkDeferoxamine-induced growth retardation in patients with thalassemia

major. J Pediatr 1988;113:661-9.


8. Shalitin S, Carmi D, Weintrob N, Philip M, Miskin H, Kornreich L, dkk. Serum

Ferritin level as predictor of impaired growth and puberty in thalassemia major

patients. Eur J Haematol 2005;74:93-100.

9. Kwan EYW, Lee ACW, Li AMC, Tam SCF, Chan CF, Lau YL, Low LCK. A

Cross-sectional study of growth, puberty and endocrine function in patients with

thalassemia major in Hongkong. J Paeditr Child Health 1998;34:47-52.

10. Pemde KH, Chandra J, Gupta D, Singh V, Sharma R, Dutta AK. Physical

growth in children with transfusion dependent thalassemia. Pediatr Healt Med

Ther. 2011;2:13-9.

11. Made A, Ketut A. Profil pertumbuhan, hemoglobin pre-transfusi, kadar ferritin,

dan usia tulang anak pada thalassemia mayor. Sari Pediatri 2011;13:299-304.

12. Tanuwidjaya S. Konsep umum tumbuh dan kembang. Dalam:Narendra MB,

Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh ING, Wiradisuria S, penyunting.

Tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi ke-1. Jakarta: Sagung Seto;2008.h.1-

21.

13. Department of Education and Early Childhood Development The Royal

Children’s Hospital Melbourne. Factors affecting growth. 2012 (diakses tanggal

26 April 2017). Diunduh dari http://www.education.vic.gov.au/D

ocuments/factoraffgrowth.pdf

14. Wales JK. Evaluation of growth disorders. Dalam: Brook C, Clayton P, Brown

R, penyunting. Brook C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s clinical

pediatric endocrinology. Ediasi ke 6 Oxford: WileyBlackwell;2009.h.124-54.

15. Gomber S, Dewan P. Physical growth patterns and dental caries in thalassemia.

Indian Pediatr 2006;43:1064-9.


16. Baker N, Alnakashabandi A, Alsaqy AH, Alrabaty A. Growth pattern and sexual

maturation rate in Bthalassemia Mayor patient from thalassemia center Erbil.

Iraqy Postgrad Med J 2013;12:40-5.

17. Hattab FN. Patterns of physical growth and dental development in Jordanian

children and adolescent with thalassemia major. J Oral Sci 2013;55:71-7.

18. Sanctis VD, Skordis N, Soliman AT. Endocrine disease. Dalam:Cappellini MD,

Cohen A, Porter J, Taher A, Viprakasit V, penyunting. Guidelines for the

management of transfusion dependent thalassemia (tdt). Cyprus: Thalassemia

International Federation;2014.h..146-57.

19. Alatzoglou KS, Dattani MT. Acquired disorders of the hypothalamopituitary

axis. Dalam: Brook C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brook’s Clinical

Pediatric Endocrinology. Edisi ke-6. West Sussex UK: Wiley-Backwell

Publishing;2009.h.106-23. Low LCK. Growth of children with βthalassemia

major. Indian Pediatr 2005;72:159-63.

20. Borgna-Pignatti C, De Stefano P, Zonta L, Vullo C, De Sanctis V, Melevendi C.

growth and sexual maturation inthalassemia major. J Pediatr 1985;106:150-5.

21. Shalitin S, carmi D, weintrob N, Philip M, Miskin H, Kornreich L, dkk. Serum

ferritin level as predictor of impaired growth and puberty in thalassemia major

patients. Eur J Haematol 2005;74:93-100.


LAMPIRAN
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai