Disusun Oleh:
Ayuningtyas Putri Sudaryono (2110702025)
Daniel Alexander Sinaga (2110702028)
Muhamad Ilham (2110702029)
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyusun Laporan Kasus Praktik Fisioterapi Klinis yang berjudul
“Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Cerebral Palsy Spastik Quadriplegi di YPAC
Jakarta”.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Aji, S.Tr.Ftr.
2. Rena Mailani, S.FT, M. Biomed, AIFO selaku dosen pembimbing.
Penyusunan Laporan Kasus ini juga tidak luput dari dukungan moril, materi, serta doa
keluarga penulis, yang selalu menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan laporan kasus.
Terimakasih kepada seluruh senior dan staff Fisioterapi yang telah ikut serta membantu
dalam penyusunan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih
banyak kekurangan nya, atas segala kekurangan dalam karya tulis ini penulis meminta maaf
yang sebesar besarnya. Semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
pihak terkait khususnya dalam bidang kesehatan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Cerebral palsy sendiri merupakan suatu gangguan atau kelainan yang terjadi selama
perkembangan anak, yang merusak sel-sel motorik dalam susunan saraf pusat, akibat
kelainan pada otak anak yang mengakibatkan keadaan kerusakan jaringan pada otak yang
bersifat permanen dan tidak progresif yang terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan)
dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinis yang menunjukan
kelainan dalam sikap dan pergerakan disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastik
dan kelainan mental. Pada cerebral palsy adanya permasalahan yang terjadi pada gangguan
postural control dan motor control akibat adanya gangguan ketidaknormalan pada otak yang
sedang tumbuh biasanya ditandai dengan gangguan keseimbangan, hipotonus dan hipertonus
postural. (Aulia, Haris and Pasaribu, 2023).
II.2 Anatomi
Otak merupakan bagian terpenting bagi tubuh yang bertanggung jawab untuk
melakukan semua kegiatan manusia seperti sentuhan keterampilan motorik (gerakan),
berkomunikasi, memori, emosi, berpikir, intelegensi, suhu, dan setiap proses yang mengatur
tubuh kita. Bagian utama otak yaitu otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan
batang otak (brain stem) (Aulia, Haris and Pasaribu, 2023; Wahid, 2023).
3
a. Lobus frontalis, terletak dibagian depan sejajar dengan tulang dahi. Berfungsi
dalam mengendalikan gerakan, tindakan, kepribadian, kemampuan bicara
(broca), dan pengambilan keputusan.
b. Lobus parietalis, terletak dibagian belakang yang memiliki fungsi membantu
manusia dalam mengidentifikasi objek dan mengendalikan orientasi spasial,
menafsirkan rasa sakit dan sentuhan dalam tubuh, dan memahami bahasa lisan.
c. Lobus temporalis, terletak dibagian kanan kiri otak yang dekat dengan telinga.
Memiliki fungsi dalam mengendalikan ingatan, emosi, dan juga berperan
dalam fungsi bicara.
d. Lobus occipitalis, terletak dibagian belakang otak dan memiliki fungsi
pengendalian penglihatan.
2. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil terletak dibagian belakang kepala, dibawah lobus temporalis dan
occipitalis yang memiliki ukuran sebesar kepalan tangan. Memiliki fungsi
mengontrol keseimbangan, koordinasi gerakan otot sadar, pemerataan fungsi otak
kiri dan kanan (equilibrium), dan pengendali motorik halus seperti melukis dan
menulis (Aulia, Haris and Pasaribu, 2023; Wahid, 2023).
3. Batang otak (brain stem)
Batang otak terdiri dari midbrain, pons, dan medulla oblongata. Otak besar dengan
sumsum tulang belakang dan otak kecil terhubung melalui struktur pemancar.
Batang otak memiliki tanggung jawab atas banyak fungsi kehidupan yang penting,
seperti pernapasan, kesadaran, tekanan darah, detak jantung, dan tidur. Material
putih dan abu-abu terdapat dalam batang otak (Wahid, 2023).
II.3 Epidemiologi
Kondisi cerebral palsy memiliki 17 juta kasus di seluruh dunia, dengan kasus 1-4 anak
per 1.000 kelahiran (Haqia, Sudaryanto, Herlinawati, & Rahman, 2022; Sopandi & Nesi,
2021). Data penderita anak cerebral palsy di Indonesia menurun hingga 1,9% yaitu 1-5 per
1.000 kelahiran hidup yang dimana sekitar 1.000-25.000 kelahiran hidup mengalami
diagnosa cerebral palsy. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian
Kesehatan Indonesia tahun 2018, terdapat 0,09% anak usia 24-59 bulan mengidap cerebral
palsy dan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia tahun 2018, terdapat
866.770 jiwa yang mengidap cerebral palsy dengan peningkatan terbesar berada di Jawa
4
Timur dengan jumlah 10,6% dan diklasifikasikan skala ringan, sedang, dan berat (Aulia et al.,
2023; Jauhari, Rosmi, Wasesa, & Rachmadtullah, 2022; Selekta, 2018).
II.4 Etiologi
Kondisi Cerebral palsy umumnya diikuti dengan gangguan medis lainnya, antara lain
yang mental retardasi, kejang atau epilepsi, masalah pertumbuhan dan perkembangan,
gangguan penglihatan dan pendengaran, serta gangguan sensasi dan persepsi. Pada kondisi
cerebral palsy, terjadi mental retardasi yang bervariasi dari yang ringan, sedang dan berat.
Meskipun demikian, terdapat seperti anak dengan cerebral palsy tanpa diikuti mental
retardasi. Gangguan medis lainnya yaitu kejang atau epilepsi. Jenis epilepsi dapat bervariasi,
bisa berupa kejang umum maupun kejang parsial. Gangguan ketiga yaitu masalah
pertumbuhan dan perkembangan dengan derajat gangguan ringan sampai berat. Gangguan
keempat yaitu gangguan pendengaran dan penglihatan, anak dengan kondisi cerebral palsy
umumya mengalami strabismus atau hemianopia. Gangguan terakhir yaitu sensasi dan
persepsi abnormal. Kondisi cerebral palsy dapat menyebabkan seseorang mengalami
gangguan dalam merasakan sensasi, kesulitan mengidentifikasi obyek dengan meraba
(stereognosia), sehingga menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
suatu obyek jika tidak melihat obyek tersebut.(M. A. Sopandi and Nesi, 2021).
Menurut (Selekta, 2019). Etiologi dari Cerebral palsy dapat dibagi menjadi 3 bagian
yaitu:
1. Prenatal
a. Infeksi selama masa kandungan.
b. Perdarahan selama trimester tiga.
c. Inkompeten serviks.
d. Trauma.
2. Perinatal
a. Hipoksia sering dijumpai pada bayi bayi dengan kesulitan persalinan. Asfiksia
menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi dalam periode lama, anak tersebut
akan mengalami kerusakan otak yang dikenal dengan hipoksik iskemik ensefalopati.
b. Perdarahan otak dan anoksia dapat terjadi bersamaan sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak mengganggu pusat
pernafasan sehingga terjadi anoksia.
5
c. Prematuritas Bayi kurang bulan memiliki kemungkinan menderita perdarahan otak
yang lebih banyak daripada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
3. Pascanatal
a. Trauma Kapitis
b. Infeksi
c. Kern Ikterus
II.5 Patofisiologis
Selama trimester pertama kehamilan hingga 24 minggu gestasi, perkembangan
neurogenesis kortikal terjadi yang ditandai dengan organisasi, migrasi, dan proliferasi sel pre-
kursor neuron. Ini dapat dipengaruhi oleh defisit genetik, infeksi, atau agen beracun yang
mengakibatkan malformasi seperti lissen-cephaly, polymicrogyria, displasia kortikal, dan
skizoencephaly. Pada tahap kedua kehamilan, pertumbuhan, dan peristiwa perkembangan
seperti pertumbuhan axonal dan dendritis, myelinasi, pembentukan sinapse terjadi. Pada
tahap perkembangan otak ini faktor lingkungan mental seperti iskemia, hipoksia terlibat dan
menyebabkan CP. CP adalah hasil dari mekanisme perkembangan yang rusak dan destruktif
(Selekta, 2019).
6
II.7 Prognosis
Kondisi CP membutuhkan perhatian khusus dan dukungan dari berbagai pihak demi
kelangsungan hidup penderita. Meskipun, dianggap sudah tidak dapat disembuhkan namun
tentunya dengan intervensi dini dan perawatan medis yang tepat dan layanan dukungan
berkelanjutan, sebagian besar anak-anak dengan CP tumbuh menjadi dewasa. Kelangsungan
hidup secara keseluruhan dari anak CP kurang lebih 90% sampai usia 20 tahun. Dari orang
dewasa yang memiliki CP sebagaian besar diatas usia 45 tahun, kematian yang dikaitkan
dengan CP jarang terjadi, 95% anak-anak dengan diplegia dan 75% anak-anak dengan
quadriplegia bertahan hidup sampai usia 30 tahun dan 95% dari anak-anak yang memiliki
deficit kognitif yang parah bertahan hidup sampai usia 38 tahun (Patel et al., 2020)
Sebelum melakukan anamnesis lebih lanjut, pertama yang harus ditanyakan adalah
identitas pasien, yaitu umur, jenis kelamin, ras, status pernikahan, agama dan pekerjaan.
Menurut (Redhono, Putranto and Budiastuti, 2019). Anamnesa dibagi 4 yaitu:
7
d. Kualitas keluhan (rasa seperti apa ?)
e. Faktor-faktor yang memperberat keluhan.
f. Faktor-faktor yang meringankan keluhan.
g. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Ditanyakan adakah penderita pernah sakit serupa sebelumnya, bila dan kapan terjadinya
dan sudah berapa kali dan telah diberi obat apa saja, serta mencari penyakit yang relevan
dengan keadaan sekarang dan penyakit kronik (hipertensi, diabetes mellitus, dll), perawatan
lama, rawat inap, imunisasi, riwayat pengobatan dan riwayat menstruasi (untuk wanita).
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Anamnesis ini digunakan untuk mencari ada tidaknya penyakit keturunan dari pihak
keluarga (diabetes mellitus, hipertensi, tumor, dll) atau riwayat penyakit yang menular.
4. Riwayat sosial dan ekonomi
Hal ini untuk mengetahui status sosial pasien, yang meliputi pendidikan, pekerjaan
pernikahan, kebiasaan yang sering dilakukan (pola tidur, minum alkohol atau merokok, obat-
obatan, aktivitas seksual, sumber keuangan, asuransi kesehatan dan kepercayaan).
b. Pemeriksaan fisik
8
palpasi nadi perifer atau dengan menggunakan stetoskop untuk mendengarkan bunyi jantung
(frekuensi apikal).
Pengukuran denyut nadi, meliputi:
a. Frekuensi
b. Irama
c. Kekuatan
d. kesetaraan dari setiap denyutan.
Denyut abnormal yang lambat, cepat atau tidak teratur dapat menandakan masalah dalam
pengaturan sirkulasi darah, keseimbangan cairan atau metabolisme tubuh. Disritmia jantung
dapat megancam kemampuan jantung untuk berfungsi dengan baik. Kekuatan denyutan
menunjukkan volume darah yang di pompa dalam setiap kontraksi jantung. Perbandingan
denyut nadi pada kedua sisi tubu dapat menunjukkan variasi seperti berhentinya aliran darah
lokal yang disebabkan oleh pembekuan darah.
c. Pemeriksaan khusus
1. Modified Asworth Scale (MAS)
Ashworth scale atau juga dikenal sebagai modified ashworth scale adalah skala yang
digunakan untuk mengukur spastisitas pada pasien yang mengalami kerusakan pada sistem
saraf pusat atau gangguan neurologis. Skala ini menilai ketahanan pasif yang dirasakan
pasien pada sendi mereka. Nilai ketahanan skala asworth dari 0–4. (Ramadhani, Rahmad and
Haryatmo, 2023).
Tabel Modified Asworth Scale (MAS)
Skala MAS
0 Tidak ada peningkatan tonus otot.
1 Sedikit peningkatan tonus otot, ditandai dengan penangkapan dan
pelepasan atau resistensi minimal pada akhir rentang gerak ketika
bagian yang terkena digerakkan dalam posisi fleksi atau ekstensi.
1+ Sedikit peningkatan tonus otot, ditandai dengan adanya tangkapan
yang diikuti dengan resistensi minimal sepanjang sisa rentang gerak
namun bagian yang terkena mudah digerakkan.
2 Peningkatan tonus otot yang lebih nyata pada sebagian besar rentang
gerakan, namun bagian yang terkena mudah digerakkan.
3 Peningkatan tonus otot yang signifikan, gerakan pasif menjadi sulit.
9
4 Bagian yang terkena kaku dalam fleksi atau ekstensi.
2. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)
Gross Motor Function Classification System (GMFCS) digunakan sebagai kriteria
untuk mengklasifikasikan fungsi motor pada anak-anak dengan cerebral palsy. GMFCS untuk
cerebral palsy didasarkan pada gerakan yang dapat dilakukan anak-anak dengan cerebral
paralysis sendiri, terutama untuk duduk, bergerak, dan mobilitas. GMFCS terdiri dari lima
tingkat yang berarti dalam kehidupan sehari-hari (Rosdiana and Ariestiani, 2021).
II.9 Diagnosa
Berdasarkan gambaran klinis diatas, maka dapat disimpulkan problematika Fisioterapi
pada pasien tersebut, antara lain:
a. Body Structure
1. Adanya spastisitas pada ekstremitas atas dan bawah.
2. Tidak adanya bodyawerness.
3. Adanya inadequate head control (forward head).
b. Disability
1. Belum mampu mengangkat kepala.
c. Participation Restriction
1. Anak belum mampu bermain seperti anak seusianya.
10
2. Anak belum dapat bersekolah.
3. Adanya hambatan saat latihan dikarenakan belum mampu berkomunikasi.
II.10 Intervensi
a. Bobath
Bobath adalah suatu intervensi fisioterapi melaksanakan terapi manual dengan pendekatan
inhibisi aktivitas abnormal refleks dan pembelajaran gerak normal untuk mengoptimalkan
fungsi yang memiliki cara dengan memberi stimulus terhadap otot maupun propioceptor
persendian. Anak cerebral palsy menunjukkan berbagai disfungsi refleks dan pola refleks,
seperti disfungsi pemrosesan sensorik dan kontrol postur, kurangnya keseimbangan,
keterbatasan persepsi visual-auditori, serta perkembangan saraf. Teknik yang dilakukan
dalam bobath yaitu inhibisi (penurunan reflek sikap abnormal) stimulasi (sikap normal untuk
memelihara tonus setelah di inhibisi), dan stimulasi (meningkatkan tonus dan pengaturan
fungsi otot) (M. amelia Sopandi and Nesi, 2021; Utami and Herawati, 2022).
11
Mobilisasi sendi adalah gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi
yang bersangkutan. Latihan mobilisasi sendi atau range of motion (Mobilisasi Sendi) adalah
latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa
otot dan tonus otot. Latihan Mobilisasi sendi biasanya diberikan pada anak/orang dengan
keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak
dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total. Selain
berfungsi sebagai pertahanan atau dapat memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan persendian secara normal, lengkap, dan untuk meningkatkan massa otot serta
tonus otot (Rosdiana and Ariestiani, 2021).
12
BAB III
STATUS KLINIS
13
5. Riwayat Keluarga
Tidak ada.
9. Riwayat Psikososial
a. Anak 1 dari 1 bersaudara
b. Nama ayah : Tn. A
c. Umur ayah : 41 tahun
d. Nama ibu : Ny. S
e. Umur ibu : 36 tahun
f. Anak diasuh oleh ibu dan kakeknya dengan sikap pengasuhan protektif.
14
b. Tengkurap : belum bisa
c. Berguling : belum bisa
d. Duduk : belum bisa
e. Ke duduk : belum bisa
f. Merangkak : belum bisa
g. Berdiri : belum bisa
h. Ke berdiri : belum bisa
i. Jalan : belum bisa
j. Bubling : belum bisa
k. Bicara : belum bisa
l. BAB dan BAK : dibantu
15
f. Tampak fleksi pada wrist bilateral.
g. Tampak skoliosis tipe c kearah sinistra.
h. Tampak kepala cenderung lebih kecil.
i. Tampak sangkar thorax sinistra tidak berkembang secara maksimal.
j. Tampak forward head.
2. Kesan awal
a. Alertness : Baik ( ) Kurang ( ) Buruk (+)
b. Awarness : Baik ( ) Kurang ( ) Buruk (+)
c. Motivasi : Baik ( ) Kurang ( ) Buruk (+)
d. Emosi : Baik ( ) Kurang (+) Buruk ( )
3. Kemampuan Sensori
a. Taktil : Anak merespon dengan mengeraskan bagian tubuhnya
saat diberi stimulasi.
b. Propioseptif : Anak tidak merespon terhadap gerak dan otot yang
distimulasi.
c. Vestibular : Anak belum mampu menahan kepala sendiri saat
posisi duduk.
d. Visual : Anak belum mampu melakukan kontak mata.
e. Auditory : Anak mampu merespon terhadap suara disekitar
namun belum mampu mengetahui asal suara.
f. Gustatory : Anak memiliki hambatan saat menelan dan selalu
mengeluarkan air liur.
4. Tonus Postural
Normal ( ) Hipotonus ( ) Hipertonus (+) Fluktuatif ( )
5. Pola Postural
Fleksi ( ) Ekstensi (+)
6. Reflek Primitif
a. ATNR (+)
b. STNR (+)
16
c. Moro (+)
d. Babinski (-)
e. Rooting (-)
f. Palmar grasp (-)
g. Plantar grasp (-)
7. GMFCS
Nilai dari GMFCS adalah niliai V yang berarti kemampuan bergerak mandiri
sangat terbatas walaupun sudah dibantu dengan alat bantu gerak.
8. Antropometri
Regio Dextra Sinistra
Lingkar
a. Kepala 42 cm
b. Dada Inspirasi 47,5 cm
c. Dada Ekspirasi 46,5 cm
Panjang
a. Lengan 33 cm 34 cm
b. Lengan Atas 20 cm 21 cm
c. Lengan Bawah 16 cm 15 cm
17
d. Tungkai 53 cm 54 cm
9. Asworth Scale
Regio Dextra Sinistra
Shoulder 3 2
Elbow 3 2
Wrist 3 3
Knee 3 2
2. Disability :
Belum mampu mengangkat kepala.
3. Participation :
a. Anak belum mampu bermain seperti anak seusianya.
b. Anak belum dapat bersekolah.
c. Adanya hambatan saat latihan dikarenakan belum mampu berkomunikasi.
4. Enviromental Factor :
Orang tua mendukung perkembangan pasien.
5. Personal Factor :
a. Anak belum mampu menerima instruksi.
b. Emosi anak belum stabil
18
III.7 Diagnosa Fisioterapi
Anak belum mampu mengangkat kepala karena tidak ada body awareness, adanya
spastisitas pada ekstremitas atas dan bawah, dan inadequate head control e.c Cerebral
Palsy Spastik Quadriplegi.
19
(fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi)
yang bertujuan
untuk me-release
otot yang
mengalami
spastik.
3. Neck capital Membentuk F : 2x/minggu
flexion gerakan kepala
dan leher hingga T : 45 menit
chin tuck, mata
melihat ke bawah, T : Fasilitasi
mulut tertutup, dan stimulasi
hingga fleksi leher
disertai fleksi
trunk dan posterior
tilt pelvic.
Mobilisasi
dilakukan dengan
koreksi pada
axis/midline tubuh
yang dapat ditarik
dengan imajiner
garis lurus dari
tengah kepala
sampai trunk
hingga area tengah
kedua kaki
III.10 Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada tanggal 1 Maret 2024.
S.O.A.P
20
S Ibu belum merasakan adanya perubahan pada perkembangan anak
O 1. MAS
Shoulder 3 2
Elbow 3 2
Wrist 3 3
Knee 3 2
2. GMFCS
Niliai V yang berarti kemampuan bergerak mandiri sangat terbatas walaupun
sudah dibantu dengan alat bantu gerak.
3. Kesan awal
Alertness : Baik ( ) Kurang (+) Buruk ( )
Awarness : Baik ( ) Kurang ( ) Buruk (+)
Motivasi : Baik ( ) Kurang ( ) Buruk (+)
Emosi : Baik ( ) Kurang () Buruk (+ )
A Cerebral palsy spastik quadriplegi dan mikrosefalus
P Open sensory channel, mobilisasi ekstremitas dan bawah, neck capital
flexion
Didapatkan hasil evaluasi adanya peningkatan pada alertness (kewaspadaan) anak.
21
BAB IV
PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
Cerebral palsy merupakan kelainan pada otak anak yang mengakibatkan keadaan kerusakan
jaringan pada otak yang bersifat permanen dan tidak progresif. Gejala primer yang dialami
meliputi kerusakan motorik seperti kelemahan otot, spastisitas, maaupun involuntary
movement. Dari hasil studi kasus yang telah dilakukan, penulis mengambil kesimpulan
bahwa An. P dengan diagnosa cerebral palsy spastik quadriplegi dengan problem fisioterapi
berupa tidak ada body awareness, adanya spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas
bawah, adanya inadequate head control (forward head) diberikan intervensi berupa open
sensory channel, mobilisasi ekstremitas atas dan bawah, dan neck capital flexion dirasa
belum cukup untuk mendapatkan hasil evaluasi yang signifikan karena terapi hanya
dilakukan sebanyak 3 kali dikarenakan keterbatasan waktu dalam memberikan intervensi.
IV.2. Saran
Berdasarkan laporan hasil studi kasus, dikarenakan hasil penatalaksanaan yang
singkat belum adanya perkembangan yang signifikan terkait kondisi anak. Untuk itu, edukasi
kepada keluarga sangat penting guna menimbulkan faktor yang dapat memungkinkan
terjadinya penurunan perkembangan anak. Pasien juga disarankan untuk tetap melanjutkan
program fisioterapi secara teratur sesuai dengan program yang sudah terjadwal dan
melaksanakan home program yang telah diberikan. Saran bagi keluarga, diharapkan dapat
selalu memberikan motivasi dan dan mendukung atas segala Tindakan medis yang diberikan
kepada anak.
22
DAFTAR PUSTAKA