Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRESENTASI KASUS

KOMPETENSI FISIOTERAPI GERIATRI

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


OSTEOARTHRITIS LUTUT DI RSUD dr. LOEKMONO HADI KUDUS

Oleh:
Dyah Nalatama
NIM. P27226018464

PRODI FISIOTERAPI PROGRAM PROFESI


JURUSAN FISIOTERAPI
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
SURAKARTA
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan presentasi kasus yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus


Osteoarthritis Lutut di RSJD DR RM Soedjarwadi” yang disusun oleh Tria Fitri
Nurjani dengan NIM. P27226016438, telah diperiksa dan disetujui sebagai laporan
untuk memenuhi tugas kompetensi fisioterapi geriatri.

Clinical Educator

Sukatwo, SKM, SST. FT

NIP. 19690427 199403 1 004

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan persentasi kasus
dengan judul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Osteoarthritis Lutut di
RSJD DR RM Soedjarwadi”.
Penulisan laporan persentasi kasus ini bertujuan untuk melengkapi tugas
kompetensi fisioterapi geriatri bagi mahasiswa Program Studi Fisioterapi Program
Profesi Poltekkes Kemenkes Surakarta. Penulis menyadari bahwa laporan persentasi
kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan
persentasi kasus ini.
Selesainya laporan persentasi kasus ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh
rasa hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak
langsung kepada kami dalam penyusunan makalah ini hingga selesai.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu. Penulis juga berharap semoga laporan persentasi kasus ini dapat
bermanfaat bagi semua kalangan.

Klaten, 22 September 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ................................................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................... 1
D. Metode Penulisan ......................................................................................................... 2
E. Manfaat Penulisan........................................................................................................ 2
F. Sistematika Penulisan .................................................................................................. 3
BAB II KAJIAN TEORI .......................................................................................................... 4
A. Definisi......................................................................................................................... 4
B. Anatomi dan Fisiologi.................................................................................................. 4
C. Etiologi......................................................................................................................... 6
D. Patofisiologi ................................................................................................................. 8
E. Manifestasi Klinis ........................................................................................................ 9
F. Diagnosis ................................................................................................................... 10
G. Prognosis.................................................................................................................... 10
H. Penatalaksanaan Fisioterapi ....................................................................................... 11
BAB III LEMBAR ASSESSMENT FISIOTERAPI .............................................................. 23
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................ 33
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 33
B. Saran .......................................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Osteoarthritis Lutut adalah penyakit degeneratif pada sendi lutut paling
umum yang menyebabkan penurunan kemampuan fungsional dan disabilitas.
Gangguan yang dapat ditimbulkan akibat kondisi ini antara lain nyeri tekan pada
regio lutut, spasme otot fleksor lutut, terjadi penurunan kekuatan otot, dan
keterbatasan gerak sehingga dapat menimbulkan keterbatasan fungsi seperti
gangguan saat berdiri lama, berjalan, dan jongkok.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, fisioterapi mempunyai
peranan penting dalam bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan pada individu dan
atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan
fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan. (Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 778/MENKES/SK/VIII/2008).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan ini adalah:
Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kasus osteoarthritis lutut?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini dibagi menjadi dua, yakni:
1. Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas kompetensi fisioterapi geriatri
2. Untuk mengetahui permasalahan dan penatalaksanaan fisioterapi serta untuk
mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan pada kasus osteoarthritis lutut.

1
D. Metode Penulisan
1. Data primer dengan menggunakan antara lain:
a. Pemeriksaan fisik
Bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik pasien. Pemeriksaan fisik terdiri
dari: vital sign, inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerak dan pemeriksaan
fungsi.
b. Interview
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara tanya jawab
antara terapis dengan sumber data/pasien.
c. Observasi
Dilakukan untuk mengambil perkembangan pasien selama dilakukan
terapi.
2. Data sekunder dengan menggunakan antara lain:
a. Studi dokumentasi
Dalam studi dokumentasi penulis mengamati dan mempelajari data-data
medis dan fisioterapi dari awal sampai akhir.
b. Studi pustaka
Dari buku-buku, internet, jurnal dan yang berkaitan dengan Osteoarthritis
Lutut

E. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Menambah pemahaman mengenai kasus Osteoarthritis Lutut dan
menerapkan penatalaksanaan fisioterapi yang baik dan benar pada kasus
tesebut.
2. Bagi Fisioterapis
Dapat memperkaya atau menambah pengetahuan mengenai
Osteoarthritis Lutut dan mampu mengembangkan aplikasi latihan di rumah
maupun di rumah sakit atau klinik.

2
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan, BAB I merupakan pendahuluan yang meliputi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dari pembuatan laporan persentasi
kasus, metode penulisan, manfaat serta sistematika dalam penulisan. BAB II
merupakan kajian teori yang meliputi definisi, anatomi dan fisiologi dari lumbal,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, prognosis dan
penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Osteoarthritis Lutut. BAB III merupakan
pembahasan status pasien. BAB IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
saran.

3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Definisi

Osteoarthritis lutut adalah kelainan pada sendi lutut yang bersifat non
inflamasi, tidak simetris dan tidak sistemik dengan perubahan patologi pada tulang
rawan sendi dan tulang subkondral berupa kerusakan fokal tulang rawan sendi
yang progresif dan merangsang pembentukan tulang baru (osteofit) pada dasar lesi
tulang rawan sendi dan tepi sendi (Kalim, 1996) yang dapat menyebabkan
ketidakstabilan sendi sehingga fungsi sendi berkurang atau sampai hilang (Rini E,
2000)

B. Anatomi dan Fisiologi


Pada sendi lutut terdapat tiga hubungan persendian yaitu tibio femoral joint,
patella femoral joint, superior tibia fibular joint. Dari ketiga hubungan persendian
tersebut, tibio femoral joint yang mempunyai gerak yang paling luas dan nyata
yaitu fleksi-ekstensi disamping gerakan asesoris yaitu eksorotasi dan endorotasi.
Pada patella femoral joint terjadi gerakan longitudinal yaitu chepal-caudal dan
gerakan transversal yaitu lateral dan medial. Sedangkan pada superior tibio fibular
joint terjadi gerakan anterior-posterior dan chepal-caudal. Gerakan sendi lutut
sangat ditentukan oleh bentuk permukaan sendi, kekuatan atau stabilitas dari
ligamen krusiatum untuk stabilitator pada posisi fleksi dan mencegah melesetnya
sendi kearah anterior-posterior, kekuatan ligamen kollateral yang mencegah
gerakan lutut ke lateral, serta kekuatan otot-otot penggerak lutut yaitu quadriceps
dan hamstring (de Wolf, 1990). Selain tersebut diatas dalam struktur sendi lutut
terdapat bursa yang berfungsi sebagai absorber yaitu bursa supra patellaris,
prepatellaris, dan infra patellaris.
a. Gerakan Fleksi-ekstensi

4
Di dalam lutut terdapat ligamentum cruciatum anterius dan ligamentum
cruciatum posterior. Di sebelah medial dan lateral terdapat ligamen-ligamen
colateral, ligamen colateral medial dan ligamen colateral lateral. Ke empat ligamen
ini mengendalikan lutut dalam gerakan antara fleksi dan ekstensi. (de Wolf, 1990).
Axis pada gerakan ini adalah transversal yang terletak di atas permukaan sendi
melewati condylus femoris. Otot penggerak fleksi lutut adalah hamstring yang
terdiri dari biceps femoris, semi tendinosus dan semi membranosus. Sedangkan
otot penggerak ekstesi lutut adalah rectus femoris, vastus lateralis, vastus
intermedius dan vastus medialis. Pada gerakan fleksi-ekstensi patella akan
bergerak pada tulang femur. Jarak antara patella dengan tibia saat terjadi gerakan
adalah tetap tetapi jarak dengan femur akan berubah. Patella disamping sebagai
perlekatan tendo quadriceps juga sebagai pengungkit pengedang sendi lutut. Posisi
patella pada posisi fleksi 90° kedudukanya diantara kedua condylus femoris dan
saat ekstesi terletak pada anterior femur. Untuk lingkup gerak sendi, gerakan fleksi
lutut berkisar antara 120 derajat – 140 derajat bila posisi hip fleksi penuh dan
mencapai 140 derajat bila posisi hip ekstensi penuh. Untuk gerakan ekstensi
berkisar antara 5 derajat – 10 derajat (hiperekstensi) atau 0 derajat. (Kapandji,
1987).

Persyarafan yang memelihara artikulatio genu dan otot–otot penggerak


sendi lutut yaitu nervus femoralis, nervus obturatorius, nervus ishiadicus. Dan
peredaran darah yang memelihara daerah lutut dan sekitarnya adalah arteri genu
decendens, arteri poplitea, arteri reccurent tibialis anterior dan arteri profunda
femoralis.

b. Gerak Rotasi
Dalam keadaan ekstensi lutut dapat terjadi gerakan rotasi karena pada posisi
tersebut terjadi regangan ligament collateral. Gerakan rotasi terbesar dapat
dilakukan dengan mudah baik secara aktif maupun pasif saat sendi lutut pada
posisi 90° fleksi. Axis gerakan ini adalah longitudinal pada bidang transversal.

5
Otot penggerak eksorotasi yaitu biceps femoris dan tensor facia latae, sedang otot
penggerak endorotasinya adalah popliteus, gracillis dan hamstring bagian dalam.

C. Etiologi
Menurut American Rheumatism Association (ARA), osteoartritis
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
a. Osteoartritis primer yang belum diketahui penyebabnya (idiopatik),
namun bisa juga karena herediter, osteoartritis jenis ini paling sering ditemukan.
b. Osteoartritis sekunder penyebabnya adalah kelainan pertumbuhan
tulang sejak lahir, penyakit metabolik, trauma, peradangan dan faktor endokrin
(Moll, 1987).
Beberapa faktor pemicu terjadinya osteoartritis meliputi :
a. Usia
Kartilago sebagai bantalan penahan tekanan semakin tua akan semakin
kurang elastisitasnya (Sidharta, 1984). Prevalensi radiologik osteoartritis sendi
lutut akan meningkat sesuai dengan umur. Pada umur dibawah 45 tahun jarang
didapatkan gambaran radiologik yang berat. Pada usia tua gambaran radiologik
osteoartritis sendi lutut yang berat mencapai 20 % (Isbagio, 2007).
b. Obesitas
Osteoartritis lebih sering terjadi pada orang-orang yang mengalami
obesitas daripada mereka yang kurus karena terkait dengan besarnya stres mekanis
pada sendi penopang tubuh (Kurnia, 2009).
Pada keadaan normal berat badan akan melalui medial sendi lutut dan akan
diimbangi otot paha bagian lateral sehingga resultan gaya akan melewati bagian
tengah/ sentral sendi lutut. Sedangkan pada orang yang mengalami obesitas,
resultan gaya akan bergeser ke medial sehingga beban gaya yang diterima sendi
lutut tidak seimbang (Parjoto, 2002).
Obesitas dapat diketahui dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT),
yaitu berat badan (dalam kilogram) dibagi jumlah kuadrat tinggi badan (dalam

6
meter). Kategori IMT menurut WHO (2000) pada orang Asia dewasa dibagi
menjadi : (1) underweight (IMT <18,5), (2) normal (IMT 18,5-22,9), (3)
overweight (IMT ≥23,0). Overweight dibagi menjadi tiga yaitu (1) at risk (IMT
23,0-24,9), (2) obese 1 (IMT 25-29,9), dan (3) obese 2 (IMT ≥30.0) (Koentjoro,
2010).
c. Jenis kelamin
Wanita lebih banyak menderita osteoartritis daripada pria (Parjoto,
2000). Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan osteoartritis pada banyak
sendi, dan laki-laki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan
leher. Secara keseluruhan, usia di bawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang
lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi usia di atas 50 tahun (setelah
menopause) frekuensi osteoartritis lebih banyak pada wanita daripada laki-laki.
Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis
(Kalim, 1996).
d. Pekerjaan aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang banyak membebani sendi lutut akan menyebabkan
resiko terserang osteoartritis lebih besar (Parjoto, 2002). Osteoartritis lebih sering
terjadi pada sendi yang digerakkan secara berulang. Laki-laki yang pekerjaannya
sering sekali memerlukan penekukan lutut dan disertai dengan tuntutan beban fisik
tingkat sedang lebih sering memiliki tanda radiografik osteoartritis lutut, dan
gambaran radiografiknya cenderung lebih berat daripada laki-laki yang
pekerjaannya tidak memerlukan keduanya (Kalim, 1996).
e. Faktor keturunan
Berhubungan dengan efek pembentukan serabut kolagen, efek
pembentukan proteoglikan atau hiperaktifitas dari kondrosit, yang kesemuanya
mempermudah timbulnya kerusakan pada sendi (Hudaya, 2002).
f. Suku bangsa
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis tampaknya terdapat
perbedaan di antara masing-masing suku bangsa. Misalnya osteoartritis paha lebih

7
jarang diantara orang-orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia. Osteoartritis
lebih sering dijumpai pada orang-orang Amerika asli (Indian) daripada orang-
orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun
perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan (Kalim, 1996).

D. Patofisiologi
Sampai saat ini masih belum jelas bagaimana osteoartritis bisa terjadi, karena
banyak faktor-faktor penyebab atau faktor-faktor predisposisi yang
mempengaruhinya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada osteoartritis yaitu :
a. Kerusakan tulang rawan sendi
Dalam keadaan normal matrik tulang rawan berisi kurang lebih 80% air,
3,6% proteoglikan, 15% kolagen dan sisanya mineral dan zat-zat organik lain serta
kondrosit yang berfungsi membentuk kolagen dan proteoglikan. Kadar kolagen
dan proteoglikan ini yang menentukan agar matrik tulang rawan berfungsi baik
yaitu sebagai penahan beban dan peredam kejut. Pada tahap awal kerusakan tulang
rawan, terjadi penurunan kadar proteoglikan sedangkan kadar kolagen masih
normal. Hal ini terjadi karena proses destruksi melebihi proses produksinya
sehingga permukaan tulang rawan menjadi lunak secara lokal. Penurunan kadar
air yang terjadi mengakibatkan warna matrik menjadi kekuningan dan timbul
retakan dan mulai terbentuk celah. Tahap kedua, celah makin dalam tetapi belum
sampai ke perbatasan daerah subkondral. Jumlah sel rawan mulai menurun, begitu
juga kadar kolagen. Tahap ketiga, celah makin dalam sampai ke daerah
subkondral. Kista dapat menjadi sangat besar dan pecah sehingga permukaannya
menjadi tidak teratur. Tahap keempat, serpihan rawan sendi yang terapung dalam
cairan sendi akan difagosit oleh sel-sel membran sinovia dan terjadilah reaksi
radang. Sementara itu kondrosit mati, proteoglikan dan kolagen tidak diproduksi
lagi.

b. Pembentukan osteofit

8
Ada beberapa hipotesis mengenai pembentukan osteofit :
1) Akibat proliferasi pembuluh darah di tempat rawan sendi berdegenerasi.
2) Akibat kongesti vena yang disebabkan perubahan sinusoid sumsum
yang tertekan oleh kista subkondral.
3) Akibat rangsangan serpihan rawan sendi, maka akan timbul sinovitis
sehingga tumbuh osteofit pada tepi sendi, pada perlekatan ligamen atau
tendon dengan tulang (Dharmawirya, 2000).

E. Manifestasi Klinik
OA lutut merupakan suatu kondisi yang terjadi secara berlahan-lahan tanpa
permulaan yang jelas dan mendadak. Akan tetapi kadangkali sendi yang
memburuk tiba-tiba. Gejalanya sangat berbeda-beda dan dapat dipengaruhi oleh
perubahan aktifitas atau yang lain. Pada penderita OA biasanya ditemukan tanda
dan gejala khas yaitu nyeri yang bertambah berat pada waktu menopang berat
badan atau waktu aktivitas, yang membaik bila diistirahatkan, selain itu penderita
mengeluh rasa kaku pada pagi hari serta rasa pegal bila sendi lama diistirahatkan
(Dippe, 1995). Pada pemeriksaan fisik akan selalu di temukan nyeri tekan,
pembengkakan tulang, krepitasi dengan atau tanpa keterbatasan gerak sendi
(Isbagio, 2001). Mereka yang terserang OA akan merasakan nyeri sendi terutama
ketika berjalan naik dan turun tangga, atau serangan pada malam hari sehingga
penderita sulit tidur (Koesworo, 2003).
Tanda yang lain adalah stbilitas sendi lutut berkurang dan kemampuan otot
meredam beban menurun. Kelemahan otot quadrisep juga merupakan keadaan
yang sering dijumpai pada penderita OA lutut yang kemudian akan menjurus pada
disuse atrofi. Hal ini diakibatkan oleh karena kurangnya penggunaan otot tersebut
pada sisi lutut yang sakit (Isbagio, 2001).

F. Diagnosis

9
Diagnosis osteoartritis sendi lutut berdasarkan pada gambaran klinis dan
radiologis. Kriteria Altman merupakan salah satu pedoman diagnosis OA lutut.
Bila seseorang ditemukan hanya nyeri lutut, diagnosa osteoartritis harus ditambah
3 dari 5 kriteria, yaitu : (1) umur di atas 50 tahun, (2) kaku sendi pada pagi hari
kurang dari 30 menit, (3) nyeri tekan pada tulang, (4) pembesaran tulang, (5)
perabaan sendi tidak panas.
Bila ada gambaran osteofit pada pemeriksaan radiologi, dibutuhkan 1 dari 3
kriteria tambahan, yaitu : (1) umur di atas 50 tahun, (2) kaku sendi kurang dari 30
menit, (3) krepitasi.
Kriteria lainnya dalam mendiagnosis osteoartritis dalam hubungannya dengan
gradasi atau derajat osteoartritis sendi lutut menurut Lawrence dan Kellgren, yaitu
(1) derajat 0 yaitu normal tidak ada osteoartritis, (2) derajat I yaitu osteoartritis
meragukan dengan sendi normal dan osteofit minimal, (3) derajat II yaitu
osteoartritis minimal dengan osteofit ada di dua tempat, sklerosis subkondral, tidak
terdapat kista dan celah sendi baik, (4) derajat III yaitu osteoartritis moderat
dengan osteofit moderat, deformitas ujung tulang dan celah sendi sempit, (5)
derajat IV yaitu osteoartritis berat dengan osteofit besar, deformitas ujung tulang,
celah sendi hilang, terdapat kista dan sklerosis (Kalim, 1996).

G. Prognosis
Osteoarthritis biasanya berjalan lambat. Problem utama yang sering
dijumpai adalah nyeri apabila sendi tersebut dipakai dan meningkatnya
ketidakstabilan bila harus menanggung beban, terutama pada lutut. Masalah ini
berarti bahwa orang tersebut harus membiasakan diri dengan cara hidup yang baru.
Cara hidup yang baru ini sering kali meliputi manipulasi obat-obat yang diberikan
dan pemakaian alat-alat pembantu. Prognosis merupakan ramalan tentang suatu
penyakit (Hudaya, 2002). Prognosis osteoarthritis dapat meliputi aspek: (1) Quo
ad vitam baik, karena osteoarthritis tidak mengancam jiwa penderita, (2) Quo ad
sanam sedang, karena osteoarthritis merupakan suatu penyakit degenerative yang

10
pengobatannya bersifat simptomatik, (3) Quo ad cosmeticam sedang, bila telah
terjadi deformitas pada lutut kearah varus, (4) Quo ad fungsionam baik, karena
adanya nyeri saat melakukan aktifitas yang membebani lutut.

H. Penatalaksanaan Fisioterapi
Assesment merupakan proses pengumpulan data baik data pribadi maupun data
pemeriksaan pasien yang kemudian menjadi dasar dari penyusunan program terapi
dan tujuan terapi yang disesuaikan dengan kondisi pasien serta lingkungan sekitar
pasien. Assesment sangat penting dalam proses fisioterapi. Assesment dapat
membantu, fisioterapi mengidentifikasikan permasalahan yang ada. Kemudian
hasil dari identifikasi ini akan menjadi dasar untuk menentukan rencana dan
program fisioterapi, mengevaluasi perkembangan penderita dan dengan assesmen
pula akan diketahui metode yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi penderita.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam asesmen meliputi:
1. Anamnesis merupakan cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab
antara terapis dengan sumber data. Dilihat dari segi pelaksanaannya
anamnesis dibedakan atas dua yaitu:
- Autoanamnesis, merupakan anamnesis yang langsung ditujukan kepada
pasien yang bersangkutan
- Alloanamnesis, merupakan anamnesis yang dilakukan terhadap orang lain
yaitu keluarga, teman, ataupun orang terdekat dengan pasien yang
mengetahui keadaan pasien tersebut.
Anamnesis yang akan dilakukan berupa:
- Anamnesis Umum untuk mengetahui keterangan umum pasien
Anamnesis ini berisi tentang:
a. Nama,
b. Tempat tanggal lahir (usia),
c. Jenis Kelamin
d. Agama

11
e. Pekerjaan,
f. Alamat,
g. Nomor Rekam Medis
Identitas pasien harus diisi selengkap mungkin bertujuan untuk
menghindari kesalahan dalam pemberian tindakan.
- Anamnesis Khusus
a. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan alasan pasien datang ke
fisioterapi.Keluhan utama pasien dijadikan sebagai acuan dalam
menggali informasi lebih dalam, melakukan pemeriksaan, dan
pemberian tindakan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keluhan utama
yaitu perjalanan penyakit sejak timbul keluhan samapai dilakukan
intervensi fisioterapi sekarang. Riwayat penyakit sekarang
merupakan rincian dari keluhan utama, yang berisi riwayat
perjalanan penyakit secara kronologis dengan jelas dan lengkap
serta keterangan tentang riwayat pengobatan yang pernah dilakukan
sebelumnya dan hasil yang diperoleh.Hal ini bertujuan sebagai
acuan dalam melakukan pemeriksaan serta pemberian tindakan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan tidak langsung ataupun tidak
berhubungan sama sekali dengan keluhan utama. Meliputi penyakit
diabetes melitus, hipertensi, gangguan jantung atau penyakit
lainnya. Pernah dirawat di rumah sakit atau tidak, dimana, kapan,
dan berapa lama. Hal ini perlu diketahui karena ada beberapa
penyakit yang sekarang dialami ada hubungannya dengan penyakit
yang pernah dialami sebelumnya serta sebagai bahan pertimbangan
dalam pemilihan cara dan toleransi latihan.

12
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama seperti pasien yang diderita oleh
anggota keluarga lain.
e. Riwayat Psikososial
Riwayat psikososial pada kasus muskuloskeletal meliputi
pekerjaan, aktifitas sehari hari, dengan siapa pasien tinggal dan
berapa jumlah anggota keluarga pasien, serta biaya pengobatan
pasien.

2. Pemeriksaan Obyektif
a. Pemeriksaan Tanda Vital
1) Tensi atau Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri.
Tekanan sistolik adalah tekanan darah pada saat terjadi kontraksi otot
jantung yang mendorong isi ventrikel masuk ke dalam arteri yang
telah meregang.Sedangkan, tekanan diastolik adalah tekanan darah
yang digambarkan pada rentang di antara grafik denyut jantung dan
merupakan nilai terendah yang dicapai. (Magee, 2006)

Sistolik Diastolic
Pada Masa Bayi 70 – 90 50
Pada Masa Anak 80 - 100 60
Anak
Selama Masa Remaja 90 - 110 60
Dewasa muda 110 - 125 60-80
Umur Lebih Tua 130 – 150 80 - 90
(Nilai tekanan Darah Normal (dalam mm hg) (Pearce, 2011))

13
Tabel 1 Tekanan darah

2) Denyut Nadi
Suatu gelombang yang teraba pada arteri bila darah di pompa keluar
jantung. Mudah di raba di tempat arteri melintasi sebuah tulang yang
terletak dekat permukaan. Kecepatan denyut jantung berbeda, sesuai
dengan kondisi individu. (Magee, 2006)
Pada bayi baru lahir 160
1 tahun pertama 120
2 tahun 110
Umur 5 tahun 96-100
Pada umur 10 tahun 80-90
Pada orang dewasa 60-80
Tabel 2 nadi normal

14
3) Respiratory Rate
Kecepatan pernafasan diukur pada saat satu kali inspirasi dan
ekspirasi. Bernafas secara normal diidentifikasikan dengan ekspirasi
yang menyusul inspirasi dan kemudian terdapat jeda sebentar.
(Magee, 2006)
Kecepatan normal pernafasaan
Umur
tiap menit
Bayi baru lahir 30 – 40
1 tahun 30
1-5 tahun 24
Orang dewasa 16-20
Tabel 3 Respiratory Rate normal

4) Status Gizi
Body Mass Index atau BMI atau dalam bahasa Indonesia disebut
Index Masa Tubuh atau IMT adalah sebuah ukuran berat terhadap
tinggi badan yang umum digunakan untuk menggolongkan orang
dewasa ke dalam kategori Underweight yaitu kekurangan berat
badan, Overweight yaitu kelebihan berat badan dan Obesitas yaitu
kegemukan. Rumus atau cara menghitung BMI sangat mudah, yaitu
dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari
tinggi badan dalam meter yaitu kg/m².
Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus
berikut (Day, 2009):
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝐾𝑔)
𝐼𝑀𝑇 =
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)

15
Gambar 2 Klasifikasi Body Mass Index

5) Suhu Badan
Pemeriksaan suhu badan bisa menggunakan punggung tangan.
Afebris berarti dalam batas normal, subfebris berarti demam yang
tidak tinggi atau saat dipalpasi terasa hangat, febris berarti demam.

b. Pemeriksaan Khusus
1) Inspeksi
Fase observasi yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari
penglihatan atau penampilan.Berlangsung mulai dari pasien berjalan
dari ruang tunggu sampai masuk dan di periksa di dalam ruangan
pemeriksaan. Pada buku orthopaedic Physical Assesment, David
Magee mengatakan hal hal yang harus di periksa dalam fase inspeksi
adalah

16
 Posture dan aligment
 Deformitas
 Kontur tubuh
 Kontur jaringan lunak
 Kesimetrisan batang tubuh
 Warna dan tekstur kulit
 Luka atau tanda tanda cidera
 Krepitasi atau bunyi yang tidak normal dari sendi
 Tanda radang.
 Ekspresi
 Pola gerakan abnormal atau tidak
2) Palpasi
Suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan
penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari-jari atau
tangan.Palpasi dapat digunakan untuk mendeteksi suhu tubuh, adanya
getaran, pergerakan, bentuk, kosistensi, dan ukutan rasa nyeri tekan
dan kelainan dari jaringan/organ tubuh.Palpasi merupakan tindakan
penegasan dari hasil inspeksi untuk menemukan yang tidak terlihat.
3) Move dan joint test
Pemeriksaan gerak dapat di lakukan dengan 3 cara, antara lain (Day,
2009):
a) Active Movement
Secara aktif dilakukan oleh pasien.menunjukkan gerakan
fisiologi. Hal hal yang di perhatikan dalam pemeriksaan gerak
aktif yaitu dimana dan kapan nyeri muncul, gerakan seperti apa
yang ameningkatkan rasa nyeri dari pasien, pola gerakan dan
gerak kompensasi pasien, ritme gerakan yang dapat di lakukan
pasien. Selain itu dapat juga menunjukkan motivasi pasien untuk

17
menggerakkan tubuhnya Gerakan aktif yeng terbatas juga
mengidentifikasikan adanya masalah pada sendi.
b) Passive movement
Gerak pasif di lakukan oleh terapis atau pemeriksa.Gerakan pasif
menunjukkan gerak anatomi.Dengan menggerakkan pasien secara
pasif, terapis dapat merasakan hyper atau hypo mobility dari suatu
sendi. Dalam pemeriksaan gerak pasif yang harus dinilai oleh
terapis adalah kapan dan dimana muncul nyeri dan end feel dari
gerakan serta ROM gerakan yang dapat di capai oleh pasien
c) Resisted movement
Dilakukan dengan memberikan tahanan pada gerakan agar tidak
terjadi perubahan sudut sendi. Yang harus di lihat oleh terapis
adalah kontraksi yang bagaimana yang menimbulkan nyeri,
bagaimana intensitas dan kualitas dari nyerinya; kekuatan
kontraksi otot; dan terapis dapat menyimpulkan tipe kontraksi
seperti apa yang dapat menimbulan nyeri atau masalah.

Dalam pemeriksaan gerak, aspek lain yang di lihat adalah:


4) Visual Analogue Scale
Visual Analogue Scale adalah skala yang digunakan untuk
menentukan tingkatan nyeri. Pasien diminta mendeskripsikan rasa
sakitnnya dengan menentukan nilai dari 1-10. Pasien dapat dengan
bebas mengekspresikan rasa nyeri yang mereka rasakan.

5) MMT
Derajat dari MMT di nilai dalam angka dari 0 sampai dengan 5.
Derajat yang diberikan menggambungkan antara faktor subjektif dan
objektif. Faktor subjektif adalah penilaian penguji pada tahanan yang
di berikan pada pasien dalam test.Sedangkan faktor objektif adalah

18
kemampuan pasien untuk memenuhi ROM atau melawan tahanan dan
gravitasi. (Kisner, 2007)
Grade Terbilang Keterangan
0 Zero Tidak ada pergerakan otot, baik secara
palpasi atau visual
1 Trace Penguji dapat mendeteksi adanya
kontraksi dari satu atau lebih otot yang
berpasrtisiapasi dalam menimbulkan
sebuah gerakan yang sedang di uji baik
secara palpasi atau terlihat. Namun tidak
ada pergerakan dari sendinya
2* Poor Otot dapat memenuhi full ROM dalam
posisi yang gaya gravitasinya minimal.
Biasanya dalam posisi horizontal
3* Fair Otot atau group otot dapat memenuhi
ROM penuh dan dapat melawan gravitasi
saja.
4* Good Dapat memenuhi ROM full dan melawan
gravitasi serta dapat melawan tahanan
tanpa berhenti di tengah-tengah ROM.
5 Normal Dapat memenuhi ROM dan melawan
tahanan maksimal
Tabel 4 MMT
*spasme dan kontraktur bisa saja terdapat limit ROM

19
6) ROM
Merupakan pemeriksaan dasar untuk menilai pergerakan dan
mengidentifikasikan masalah gerak untuk intervensi.Ketika sendi
bergerak dengan ROM yang full atau penuh, semua struktur dalam
region sendi tersebut mulai dari otot, ligament, tulang dan fasia ikut
terlibat di dalamnya.Pengukuran ROM di lakukan dengan gonio
untuk menilai ROM dalam derajat (Kisner, 2007). Range dari otot
berhubungan dengan fungsi dari otot itu sendiri, tujuan dari
pengukuran ROM adalah untuk:
 Menentukan limitasi dari fungsi atau adanya potensi dari
deformitas
 Menentukan mana range yang harus di tingkatkan
 Menentukan apakah di perlukannya penunjang atau alat bantu
 Menegakkan pemeriksaan secara objektif.
 Merekam peogressif atau regressif dari kelainan sendi
7) Tes Khusus
3. Pengumpulan Data Tertulis Penunjang
4. Algoritma Fisioterapi
5. Diagnosis Fisisoterapi
Berisikan tentang penegakkan diagnosa fisioterapi yang didapat dari
permasalahan fisioterapi yang terdiri dari impairment, functional limitation
dan partisipasi restricted.
6. Program Pelaksanaan Fisioterapi
- Tujuan
 Tujuan Jangka Pendek
Tujuan jangka pendek biasanya dibuat berdasarkan prioritas
masalah yang utama.Dalam membuat Tujuan jangka pendek ini
harus disertai dengan bagaimana tujuan/ rencana tersebut akan

20
dicapai, alokasi waktu pencapaian,dan kondisi-kondisi seputar
pasien dan lingkungan yang memungkinkan tujuan tersebut dapat
dicapai.
 Tujuan Jangka Panjang.
Tujuan yang dibuat berdasarkan prioritas masalah, tetapi bukan
masalah utama/segera. Tujuan jangka Panjang harus sesuai
realistis sesuai dengan patologi dan kondisi pasien.
- Teknologi Intervensi Fisioterapi
Berisikan tentang semua terapi yang akan diberikan kepada pasien
sesuai dengan maslah fisioterapi, yang terdapat dalam metoda ini
adalah jenis latihan, metoda latihan, dosis (intensitas, durasi, frekuensi)
dan keterangan.
- Program untuk di rumah
Program untuk dirumah merupakan semua hal yang berkaitan dengan
tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang dapat dilakukan di
rumah terutama dalam kehidupan sehari-hari.
7. Rencana Evaluasi Terapi
Poin-poin yang akan dievaluasi pada pertemuan berikutnya
8. Prognosis
Terdiri dari:
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad sanam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad cosmeticam : bonam
Bonam: Baik
Sanam: Buruk
Dubia: Di antara baik dan buruk

21
9. Pelaksanaan Terapi
Pelaksanaan fisioterapi merupakan implementasi metode pemberian
fisioterapi.
10. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Evaluasi dilakukan sesaat melakukan tindakan, dan setelah dilakukan
tindakan fisioterapi. Jika pasien mengalami kemajuan dari sebelumnya maka
evaluasi ditulis dalam format Subjektif, Objektif, Assesmen, Planning.
11. Hasil Terapi Akhir

22
BAB III
LEMBAR ASSESSMENT FISIOTERAPI

DEPARTEMEN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI

LAPORAN STATUS KLINIK

NAMA MAHASISWA : DYAH NALATAMA

N.I.M. : P27226018464

TEMPAT PRAKTIK : RSUD dr. LOEKMONO HADI

CLINICAL EDUCATOR : LAODE ABDUR ROHIIM, SST.FT

Tanggal Pembuatan Laporan : 20 Januari 2020

Kondisi/kasus : Fisioterapi Geriatri

23
KETERANGAN UMUM PENDERITA
Nama : Tn. S

Usia : 70 tahun

Jenis Kelamin :L

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan

Alamat : kudus

No. CM : 721433

SEGI FISIOTERAPI

A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

24
1. Keluhan Utama Dan Riwayat Penyakit Sekarang
(Termasuk didalamnya lokasi keluhan, onset, penyebab, factor-2 yang memperberat atau
memperingan, irritabilitas dan derajad berat keluhan, sifat keluahan dalam 24 jam, stadium dari
kondisi)
Tanggal pemeriksaan : 7 September 2017

KU : Nyeri pada kedua lutut saat beraktivitas

RPS : Pasien merasakan nyeri di kedua lututnya sejak tahun 2009. Pasien merupakan
pensiunan guru olahraga. Setelah pension tahun 2007 pasien masih aktif bermain
tenis hingga 2009. Pasien ke rumah sakit menggunakan sepeda.

2. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta

Pasien belum pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya. Tidak ada
riwayat penyakit penyerta yang menyertai selama menjalani pengobatan dan pasien tidak
memiliki riwayat penyakit dahulu.

B. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Tanda Vital

(Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, tinggi badan, berat badan)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Denyut nadi : 82 x/menit
Pernapasan : 16 x/menit
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 66 kg
IMT : 25,78 = overweight

25
2. Inspeksi / Observasi

a. Statis : Pasien datang memakai dekker di kedua lututnya tanpa menggunakan alat
bantu jalan

b. Dinamis :

Pola jalan antalgic gait

Pasien merasakan nyeri saat berjalan, jongkok, dan naik tangga

3. Palpasi

- Tidak terdapat oedem

- Tidak ada perbedaan suhu lokal antara kedua lutut

- Terdapat spasme di paravertebra, hamstring, dan tensor fascia lata bilateral

- Terdapat nyeri tekan di pes anserinus dan ITB bilateral

4. Joint Test

Tidak ada keterbatasan gerak ROM fleksi dan ekstensi knee bilateral

Tidak ada nyeri gerak aktif maupun pasif ROM dalam posisi terlentang

5. Muscle Test

(kekuatan otot, kontrol otot, panjang otot, isometric melawan tahanan/provokasi nyeri, lingkar
otot)

MMT Fleksi Knee = 4

MMT Ekstensi = 4

26
6. Kemampuan Fungsional

Pasien merasakan nyeri saat berjalan, jongkok, dan naik turun tangga nilai
VAS = 45 mm

7. Pemeriksaan Spesifik

Varus –
Valgus –
Ballotement –
Krepitasi + bilateral
Anterior drawer test –
Posterior drawer test –

27
C. ALGORITMA (CLINICAL REASONING)

Pasien mengeluh nyeri pada


lutut

ya

Apakah pasien lanjut usia tidak


Algoritma pemeriksaan lain
serta obesitas dan atau pernah
History Taking (ACL, PCL,MCL, LCL,
mengalami trauma atau
Jumper’s Knee, dll)
overuse sebelumnya pada
sendi lutut?

ya

Pasien merasakan nyeri saat tidak Algoritma pemeriksaan lain


beraktivitas dengan atau (RA, Gout, Osteonekrosis,
Pemeriksaan fungsi gerak
tanpa keterbatasan gerak Kanker tulang, dll)
sendi

ya

X Ray terdapat penyempitan tidak


celah sendi dan atau
Algoritma pemeriksaan lain
Pemeriksaan Penunjang timbulnya osteofit, belum
(TKR)
pernah operasi pada sendi
lutut

ya

Diagnosis Osteoarthritis Lutut

ya

Body structure impairment: Infra Red


knee joint Tens
Identifikasi problem & ICF Body function impairment: Quadriceps Isometric
nyeri gerak saat beraktivitas Exercise
pada lutut
Stretching Tensor Fascia Lata
dan Hamstring

Nyeri berkurang, penurunan spasme,


peningkatan kekuatan otot, peningkatan
28 kemampuan fungsional
D. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. Impairment
- Nyeri tekan di pes anserinus dan ITB bilateral

- Spasme paravertebra, hamstring, dan tensor fascia lata bilateral

- Nyeri gerak di lutut bilateral

- Penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah terutama quadriceps

2. Functional Limitation

- Adanya kesulitan untuk berjalan, jongkok, dan naik tangga karena nyeri

3. Disability / Participation restriction

- Kesulitan untuk beribadah sholat dan pergi ke masjid

E. PROGRAM FISIOTERAPI
1. Tujuan Jangka Panjang

Mengembalikan dan meningkatkan keseimbangan dan kemampuan fungsional


pasien sehingga pasien tetap dapat bersosialisasi kembali dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Tujuan Jangka Pendek

- Mengurangi nyeri

- Mengurangi spasme

- Meningkatkan kekuatan otot quadriceps

29
3. Teknologi Intervensi Fisioterapi

- Infra Red

- TENS

- Quadriceps Isometric Exercise

- Stretching Tensor Fascia Lata dan Hamstring Bilateral

F. RENCANA EVALUASI
Nyeri → VAS

Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah → Chair Stand Test

G. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Bonam
 Quo ad sanam : Malam
 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad cosmeticam : Bonam

I. PELAKSANAAN TERAPI
1. Infra Red
Persiapan alat:
- meliputi kabel, jenis lampu (lominous).
Persiapan pasien:
- Pasien diposisikan senyaman mungkin
- Periksa area yang diterapi ( kulit bersih, bebas dari krim / lotion )
- Menjelaskan kepada pasien tentang sensasi yang diterima ( hangat )
Pelaksanaan terapi:

30
- Arahkan lampu IR di area yang akan diterapi. Pemasangan lampu diatur
sehingga jatuh tegak lurus pada wajah sebelah kanan dengan jarak
penyinaran 30 - 45cm.
- Nyalakan lampu IR  waktu penyinaran 15 menit
- Tanyakan kepada pasien sensasi yang diterima ( hangat )
2. TENS
Persiapan alat
- Menghidupkan alat
Persiapan Pasien
- Pasien tidur terlentang, pastikan tidak ada kontra indikasi
Penatalaksanaan terapi
- TENS dengan 2 pasang pad diletakkan pada area kedua lutut dengan metode
lokal, pastikan pad kontak langsung dengan jaringan kulit. Waktu 15 menit,
intensitas sesuai dengan toleransi pasien
3. Quadriceps Isometric Exercise
Persiapan alat
- Bed atau matras dan handuk
Persiapan pasien
- Pasien duduk dengan kaki lurus
Penatalaksanaan terapi
- Handuk diletakkan di bawah salah satu lutut pasien dan pasien diinstruksikan
untuk menekan handuk ke bawah selama 5 detik sambil berhitung, lakukan
10 kali repetisi
4. Stretching Tensor Fascia Lata dan Hamstring
Persiapan alat
- Bed atau matras
Persiapan pasien
- Pasien tidur terlentang
Penatalaksanaan Terapi

31
- Stretching TFL: Letakkan handuk di spine dan pelvic, letakkan tumit kiri di
lateral lutut kanan, kemudian instruksikan pasien untuk adduksi tungkai
kanan. Lakukan sebaliknya
- Stretching hamstring: Pasien mengangkat kaki yang akan distretching
dengan lutut tetap dalam posisi ekstensi, dibantu oleh terapis untuk
menahan tungkai yang naik

I. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT


1. Visual Analogue Scale

VAS 7 September 2017 11 September 2017 14 September 2017


45 mm 39 mm 32 mm

2. Chair Stand Test

CST 7 September 2017 11 September 2017 14 September 2017


11 kali 12 kali 12 kali

J. HASIL TERAPI AKHIR


Seorang pasien laki-laki bernama Tn. S berusia 70 tahun dengan keluhan nyeri di kedua
lututnya pada saat berjalan, naik tangga, dan jongkok diberikan tindakan fisioterapi
berupa Infra Red 15 menit, TENS 15 menit, Quadriceps Isometric Exercise, dan
Stretching Tensor Fascia Lata serta Hamstring selama 3 kali terapi menunjukkan
terdapat penurunan nilai nyeri dan peningkatan nilai chair stand test.

32
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan pasien dengan kondisi osteoarthritis lutut setelah diberikan
3 kali terapi dengan modalitas Infra Red, TENS, Quadriceps Isometric
Exercise, Stretching Hamstring dan Tensor Fascia Lata didapatkan
perkembangan positif yaitu (1) pengurangan nyeri, (2) peningkatan nilai Chair
Stand Test.
B. Saran
Pada akhir penulisan Laporan Persentasi Kasus ini penulis akan
menyampaikan sedikit saran demi tercapainya tujuan terapi secara optimal,
terutama pada fisioterapi, pasien dan masyarakat. Bagi fisioterapis sebaiknya
senantiasa meningkatkan pengetahuan mengenai osteoarthritis knee sehingga
mampu mengidentifikasi masalah yang dikeluhkan pasien dan mampu
menentukan intervensi yang tepat serta diperlukan kerjasama antara pasien dan
fisioterapis untuk mendapatkan hasil terapi yang optimal.
Bagi pasien diminta untuk berlatih di rumah seperti yang diajarkan
terapis.
Bagi masyarakat diharapkan agar lebih peduli terhadap kesehatannya
bila didapatkan keluhan-keluhan pada lutut dapat segera diketahui penyakit
yang lebih jelasnya dan mendapatkan penanganan yang sesuai sehingga resiko-
resiko yang buruk dapat dihindari.

33
DAFTAR PUSTAKA

Day, R. 2009. Neuromusculoskeletal Clinical Test. Toronto: Churchil livingstone


De Wolf and J.M.A. Mens. 1994. Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh Diagnosis Fisik,
Cetakan Kedua, Houten Zeventen, Hal 98 – 120.
Dippe, Paul A. 1995. Penyakit Radang Sendi, Arcan, Jakarta, hal 41 – 56
Dharmawirya, M., 2000; Efek Akupunktur pada Osteoartritis Lutut , diakses tanggal
16 Oktober 2011, dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16EfekAkupunkturpadaOsteoartritisLutut
129.pdf/16EfekAkupunkturpadaOsteoartritisLutut129.html
Hudaya, P., 2002; Rematologi, Jurusan Fisioterapi Politeknik Kesehatan Surakarta
Isbagio. 2001. Panduan Penatalaksanaan Osteoartritis Lutut dan Panggul, Current
Diagnosis and Treatment, http;//www.google.com/
Isbagio, H., 2007; Pengapuran Sendi Tidak Mempunyai Hubungan dengan Zat Kapur,
diakses tanggal 2 Oktober 2011, dari http://www.kompas.co.id
Kalim. 1996. Penyakit Sendi Degeneratif ( Osteoartritis ), Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid I, Edisi Ketiga, FKUI, Jakarta, Hal 76 – 84.
Kapandji, I A. 1987. The Phisiology of The Joint, Two Lower Limb 5 Edition,
Churchill Livingstone, Edinburg, London, Melbourne and New York
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
778/MENKES/SK/VIII/2008 tentang Pedoman Pelayanan Fisioterapi di Sarana
Kesehatan. 2008. Diunduh dari:
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1454/2/Bk200815.
pdf
Kisner C. 2007. Therapeutic Exercise. Philadelphia: F. A. Davis Company
Koentjoro, S. L., 2010; Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan Derajat
Osteoartritis Lutut Menurut Kellgren dan Lawrence; Universitas Diponegoro,
Semarang
Koesworo. 2003. Sampai Dengan Tahun 2010 Dekade Penyakit Tulang,
http;//www.google.com/, Sinar Harapan
Kurnia, D. 2009; Osteoarthritis: Diagnosis, Penanganan dan Perawatan di Rumah,
Fitramaya, Yogyakarta, hal 1.
Magee, D. 2006. Orthopaedic Physical Assesment. Canada: Elsevier
Moll, J.MH, 1987; Reumatology in Clinical Practice, Black Well Scientific
Parjoto, Slamet, 2002; Assesment Fisioterapi pada Osteoarthritis Sendi Lutut; TITAFI
XV, Semarang
Pearce, EC. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Rini E. 2000. US pada OA Sendi Lutut, TITAFI XV, Semarang 2 – 4 Oktober 2000
Sidharta, Priguna, 1984; Sakit Neuromusculoskeletal dalam Praktek Umum, Dian
Rakyat, Jakarta.

34

Anda mungkin juga menyukai