Anda di halaman 1dari 12

Ujian Tengah Semester

Nama : Indra Pratama


NIM : 14040119120030

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan


Hari/Tanggal : Rabu, 7 April 2021
Dosen : Dra. Margaretha Suryaningsih, Ms
Sifat : Take Home
1. Ideologi pancasila sebagai landasan berbangsa bernegara tidak semua Warga Negara
Indonesia menerima bahwa Ideologi tersebut paling cocok diterapkan di Indonesia, buktinya
ada kelompok Radikal yang akan Mengubah Ideologi Pancasila dengan Ideologi lain,
Bagaimana menurut pendapat anda?
Bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu bangsa yang besar dan luas serta merupakan
negara kepulauan karena memiliki beribu-ribu pulau yang menyebabkan Indonesia memiliki banyak
kekayaan, baik sumber daya alam maupun kebudayaan. Masyarakat Indoensia terdiri dari
berbagai keragaman sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan sebagainya,
sehingga bangsa ini secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Pancasila
yang ditawarkan oleh Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar, filsafat, atau jiwa) dari
Indonesia merdeka.

Ideologi Pancasila dikenal sebagai ideologi terbuka yang memiliki arti yaitu ideologi yang
mampu mengikuti arus perkembangan zaman, dinamis, sistem pemikiran yang terbuka, dan hasil
konsensus masyarakat. Oleh karenanya Pancasila dijadikan sebagai dasar negara dalam segala
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila muncul pada saat minimnya kesadaran
masyarakat untuk bersatu, kesadaran ini muncul dari kesediaan untuk berkorban demi kepentingan
yang besar dalam membentuk bangsa yang besar. Hakekatnya fungsi Pancasila tidak berubah dan
tidak boleh untuk diubah, dalam artian harus tetap sebagaimana yang dirancang oleh pendiri
bangsa sebagai pedoman bangsa, dasar negara, dan sebagai ideologi negara. Akan tetapi
Pancasila sebagai ideologi terbuka mampu untuk menyesuaikan perkembangan zaman yang terus
berubah.
Kemauan dan hasrat untuk merdeka seharusnya mendahului perdebatan mengenai dasar
negara Indonesia. Menurut Soekarno buat apa membicarakan dasar negara jika kemerdekaan
tidak ada. Dari sini bisa kita mengerti logika berpikirnya Soekarno yang terlebih dahulu
menggelorakan semangat untuk merdeka, bahkan ketika rakyat masih miskin sekalipun harus punya
semangat untuk merdeka. Kehadiran Pancasila sebagai dasar negara adalah untuk menjadi
pemersatu kebegaraman yang ada pada bangsa Indonesia. Namun hal yang memprihatikan adalah
masih ada kelompok dan organisasi tertentu belum menyadari dan menghayati nilai dan fungsi
Pancasila. Selain itu ada kelompok tertentu yang ingin mengganti Pancasila ini sebagai dasar dan
Ideologi bangsa.
Bangsa ini sudah sudah 76 tahun merdeka namun rasanya keutuhan kemerdekaan itu masih
belum sepenuhnya dirasakan bangsa ini. Hasil survey Media Indonesia serta penelitian Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian (Media Indonesia 2011:4) menunjukkan bahwa lembaga
pendidikan telah menjadi sumber bertumbuhnya sikap membenci dan intoleransi terhadap mereka
yang berbeda agama. Survey juga menunjukkan bahwa tingkat dukungan terhadap aksi kekerasan
cukup tinggi, begitu juga tingkat kesediaan mereka untuk terlibat dalam aksi kekerasan terkait isu
agama sangat sensitif. Sampai saat ini aksi kekeran masih menjadi persoalan bagi bangsa ini yang di
hadapkan dengan radikalisme. Radikalisme merupakan hal tidak bisa di sepelekan oleh bangsa
Indonesia.
Dalam pengertian ini maka radikalisme merupakan sesuatu yang sangat positif. Radikalisme
adalah paham atau gerakan yang menginginkan pembaharuan dengan mengembalikan diri mereka ke
“akar” secara ektrem. Pandangan ini kerap disandingkan dengan gerakan fundamentalisme.
Gerakan radikal biasanya dicapai dengan segala cara, mulai dari cara yang halus sampai cara
yang keras sekalipun. Realitas radikalisme di Indonesia kian hari kian menggelisahkan, khususnya
pasca reformasi. Radikalisme ditampilkan dalam tindakan dishumanis (tak manusiawi) yang memilukan,
seperti Bom Bali, tragedi Poso, Ambon, Sambas, Tolikara, ledakan bom bunuh diri yang terjadi di
kawasan Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya pada 13 Mei 2018, hingga yang terakhir
adalah peristiwa teror bom bunuh diri yang terjaadi di depan gereja katedral Makassar.
Saat ini tampaknya pemerintah Indonesia sedang menjadikan “radikalisme” sebagai topik
utama dan tantangan terbesar–laksana hantu yang menyeramkan–bagi bangsa dan negara
(Indonesia) saat ini maupun di masa mendatang yang harus diperangi dan dimusnahkan. Yang
pemerintah maksud dengan "radikalisme” kurang lebih adalah (1) pemikiran dan gerakan anti-
terhadap ideologi Pancasila (dan konstitusi UUD 1945) dan (2) aksi-aksi kekerasan, baik kolektif
maupun individual, baik yang mengarah pada terorisme maupun ekstremisme lain. Oleh pemerintah
Indonesia saat ini, radikalisme juga dikaitkan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
"kelompok Islam radikal”. Memang, tidak bisa dipungkiri, sejak tumbangnya rezim Orde Baru,
kelompok Islamis radikal aktif melakukan berbagai aksi dan gerakan yang menolak ideologi negara
Pancasila karena dianggap sebagai "ideologi kafir-sekuler” yang tidak Islami atau tidak syar'i.
Mereka juga terlibat berbagai tindakan kekerasan, intoleransi dan terorisme. Tentu saja kelompok
seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara, dan karena itu perlu tindakan
tegas dan pendekatan strategis terhadap mereka agar tidak semakin menggelembung yang
berpotensi menjadi "bom waktu” di kemudian hari.
Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa kelompok ideologis dan ekstremis bukan hanya kaum
Islamis. Kelompok separatis, misalnya, juga berbahaya bagi masa depan bangsa yang perlu tindakan
dan pendekatan tegas dan strategis. Demikian pula kelompok rasis dan etnosentris. Dengan kata
lain, Islamisme bukan hanya satu-satunya fondasi, akar, dan sumber radikalisme (baca, kekerasan
dan kekacauan) yang membahayakan tatanan sosial (social order), stabilitas bangsa, dan ideologi
negara, tetapi juga separatisme, rasisme, maupun etnosentrisme.
Segala sesuatu yang jahat seperti tindakan membunuh, meneror, membakar, memusnahkan
sesama manusia itu anehnya dibingkai atas nama agama. Hal yang memilukan lagi adalah bahwa
ternyata para tokoh, pelaksana, eksponen, pelaku kekerasan itu adalah orang-orang yang
mengaku beragama. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah agama mengajarkan orang menjadi
radikal dan tega menyakiti? Apakah artinya agama jika tidak melestarikan kehidupan manusia?
Apakah agama untuk memusnahkan kehidupan manusia? Masih terekam dengan jelas bagaimana
mencekamnya peristiwa peledakan bom yang dibingkai oleh motivasi agama. Di berbagai media
diutarakan berbagai wawancara dan tayangan yang berisi alasan mengapa terror bom dilakukan.
Motivasi yang amat kentara adalah alasan agamis. Lagi-lagi agama dibawa-bawa sebagai
pengesahan atas suatu tindakan brutal dan membabi-buta, seakan-akan mati dengan cara demikian
akan menjadi tujuan akhir dan secara otomatis membuka surga bagi para pelakunya.
Oleh karena itu perlu dilakukannya pengkajian secara ilmiah dalam rangka aktualisasi nilai-
nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai langkah awal untuk
mengantisipasi dan menekan arus radikalisasi di era globalisasi, bangsa Indonesia perlu optimis agar
dapat bertahan sampai masa akan datang, masyarakat harus dibimbing dan selalu diberikan
sosialisasi untuk merektualisasi nilai-nilai dasar Pancasila yang menjadi penyangga atau pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Peran ideologi Pancasila dalam menekan dan menghambat radikalisme di Indonesia menjadi hal
penting dalam mewujudkan bangsa yang berkemajuan yang mampu menjalankan tatanan kenegaraan
berdasarkan landasan nilai-nilai dasar Pancasila. Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam beberapa tahun terakhir mulai pudar, hal ini disebabkan oleh
beberapa kejadian kekerasan seperti adanya intimidasi terhadap kelompok-kelompok kecil, adanya
kerusuhan antar suku dan ras, ancaman terorisme, serta masih adanya konflik antar agama.
Kehidupan berbangsa dan bernegara terus diuji dengan berbagai peristiwa yang
mengancam pondasi Pancasila sebagai ideologi negara. Padahal Pancasila sebagai falsafah negara
yang merupakan landasan hidup bangsa yang mengakomodasikan kemajemukan sebagai satu-satunya
asas yang paling cocok diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat
Indonesia.
2. Pemilihan presiden Tahun 2019 merupakan Tahun terpanas sepanjang Tahun karena banyak
kelompok - kelompok yang bernafsu mengganti Presiden di Indonesia. Terangkan bagaimana
mekanisme pemilihan Presiden yang berlangsung di Indonesia, terangkan pula Alasan-alasan
tentang seseorang memilih calon tertentu!
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang
menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Jika merujuk pada sejarah-sejarah negara
besar yang berjaya dengan konsep demokrasi serta pendahulu bangsa yang menggagas sistem
pemerintahan, maka sistem pemerintahan demokrasi ini diyakini telah sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia yang toleran.
Konsep pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA Tahun 1945 menegaskan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Adapun
salah satu syarat pokok atau asas penyelenggaraan pemerintahan demokrasi di Indonesia adalah
menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Pemilihan umum atau pemilu adalah bentuk nyata dari
konsep negara demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen
penting dalam negara demokrasi. Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri
sebagai negara demokrasi, termasuk Indonesia mentradisikan pemilu untuk memilih pejabat-pejabat
publik di bidang legislatif dan eksekutif.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945) Pasal 1 ayat (1): “Indonesia merupakan Negara Kesatuan
yang berbentuk Republik”. Sebagai Negara Republik, maka kekuasaan pemerintah di Indonesia
dipimpin oleh seorang Presiden. Hal ini diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasal 4 Ayat (1) dimana Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu), mekanisme pemilihan Presiden
sebagai pejabat eksekutif diatur secara lebih rinci dalam Pasal 6A UUD 1945, sedangkan
Indonesia mengatur perihal pelaksanaan pemilu dalam pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang termasuk dalam pemilu adalah pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu), mekanisme pemilihan Presiden sebagai pejabat eksekutif
diatur secara lebih rinci dalam Pasal 6A UUD 1945.
Mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur secara lebih rinci dalam Pasal
6A UUD 1945 dijabarkan ke dalam lima ayat berikut:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara
di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang (UUD 1945).
Disahkannya Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 ini secara otomatis mencabut kewenangan MPR-
RI untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan beralih pada ketentuan baru bahwa yang
berwenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden adalah hak rakyat Indonesia, oleh karena itu
Keterlibatan rakyat dan penguatan kedaulatan rakyat semakin diakui karena rakyat bisa
secara langsung memilih pemimpin negaranya sendiri. Keterlibatan partai politik untuk mengajukan
calon Presiden dan Wakil Presiden seperti yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) juga menjadi
implikasi positif terhadap kedaulatan partai politik yang secara konstitusional diakui dalam sistem
pemilihan kepala negara di Indonesia. Secara normatif, perkembangan sistem demokrasi di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan UUD NRI 1945 yang berkaitan dengan sistem pengisian
jabatan Presiden dan Wakil Presiden ini, dimana rakyat diberikan peran yang besar dalam
menentukan kebijakan-kebijakan nasional.
Kemudian, apa alasan seseorang memilih calon presiden tertentu? Menurut saya,
realitasnya, seseorang (calon pemilih) akan cenderung memilih kandidat pemimpin yang familiar
dengan dirinya, yakni siapa calon presiden yang mengemban ideologi tertentu atau yang memiliki
keberpihakan pada ideologi tertentu, ideologi yang sesuai dengan harapan/yang dicitakan oleh
calon pemilih tersebut. Tidak hanya sebab ideologi, "Idolalogi" tak bisa dipungkiri bisa pula
menjadi sebab atau alasan kenapa seseorang menjatuhkan pilihannya. Istilah Idolalogi ini sengaja
diangkat penulis dalam rangka melakukan pendekatan terhadap karakter tertentu calon pemilih yang
tak memiliki alasan tertentu dalam menentukan pilihannya.
Dalam kajian serius, istilah Idolalogi yang digunakan penulis sekarang ini, ini adalah untuk
menggambarkan bagaimana kuatnya pengaruh dari "rasa kagum" dalam diri seseorang terhadap
orang lain. Kekaguman yang menempatkan orang yang dikaguminya itu menjadi idola, sebagai
panutan, orang yang layak diikuti. Ketertarikan yang memuncak pada kekaguman, bisa karena
dorongan emosional atau bisa juga dari sebab yang rasional. Namun, apapun itu, rasional atau
emosional, tetap saja seseorang yang "sudah terlanjur" kagum, yang begitu sangat mengagumi
sang idola, pada akhirnya ia cenderung akan menjadi tidak rasional sikapnya yang akan
diperlihatkan selanjutnya terhadap sang idolanya itu.
Artinya, ia akan senantiasa mendukung sang idola, apapun yang dilakukan, apapun yang
diinginkan, apapun yang dikatakan sang idola, meski tak ada alasan tertentu yang rasional yang
bisa menjelaskannya mengapa ia mesti memberikan dukungan. Karakter "idolalogi" tadi, ini
selayaknya orang yang "cinta banget" pada pujaannya, setara dengan "cinta buta"nya seorang
gadis remaja pada kekasihnya yang tak jelas asal usulnya. Separah itukah? Memang, begitulah,
pada seseorang yang sedang cinta buta, tak diperlukan penjelasan yang terang dan rasional,
karena cinta itu sendiri tidaklah rasional dan bagi yang buta tidaklah butuh penerangan.
3. Dalam meimplementasikan wawasan nusantara banyak faktor yang menjadi kendala .
Terangkan kendala - kendala tersebut!
Kendala yang dihadapi dalam Implementasi Wawasan Nusantara
Dewasa ini kita menyaksikan bahwa kehidupan individu dalam bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sedang mengalami perubahan. Dan kita juga menyadari bahwa faktor utama yang
mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah nilai-nilai kehidupan baru yang di bawa
oleh negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya.
Apabila kita menengok sejarah kehidupan manusia dan alam semesta, perubahan dalam
kehidupan itu adalah suatu hal yang wajar, alamiah.Dalam dunia ini, yang abadi dan kekal itu
adalah perubahan. Berkaitan dengan wawasan nusantara yang syarat dengan nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia dan di bentuk dalam proses panjang sejarah perjuangan bangsa, apakah wawasan
bangsa Indonesia tentang persatuan dan kesatuan itu akan terhanyut tanpa bekas atau akan tetap
kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai global yang menantang Wawasan Persatuan bangsa.
Tantangan itu antara lain adalah pemberdayaan rakyat yang optimal, dunia yang tanpa batas, era
baru kapitalisme, dan kesadaran warga negara.
Penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak
yang senantiasa mendahulukan kepentingan negara.
- Implementasi dalam kehidupan politik, adalah menciptakan iklim penyelenggaraan negara
yang sehat dan dinamis, mewujudkan pemerintahan yang kuat, aspiratif, dipercaya.
- Implementasi dalam kehidupan ekonomi, adalah menciptakan tatanan ekonomi yang benar-
benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara merata dan adil.
- Implementasi dalam kehidupan sosial budaya, adalah menciptakan sikap batiniah dan
lahiriah yang mengakui, menerima dan menghormati segala bentuk perbedaan sebagai
kenyataan yang hidup di sekitarnya dan merupakan karunia Sang Pencipta.
- Implementasi dalam kehidupan pertahanan dan keamanan, adalah menumbuhkan
kesadaran cinta tanah air dan membentuk sikap bela negara pada setiap WNI.
Beberapa tantangan Implementasi Wawasan Nusantara :
1. Pemberdayaan Masyarakat
John Naisbit dalam bukunya Global Paradox menyatakan : negara harus dapat
memberikan peranan sebesar-besarnya kepada rakyatnya. Pemberdayaan
masyarakat dalam arti memberikan peranan dalam bentuk aktivitas dan partisipasi
masyarakat untuk mencapai tujuan nasional hanya dapat dilaksanakan oleh negara-
negara maju dengan Buttom Up Planning, sedang untuk negara berkembang dengan Top
Down Planning karena adanya keterbatasan kualitas sumber daya manusia, sehingga
diperlukan landasan operasional berupa GBHN. Kondisi nasional (Pembangunan) yang tidak
merata mengakibatkan keterbelakangan dan ini merupakan ancaman bagi integritas.
Pemberdayaan masyarakat diperlukan terutama untuk daerah-daerah tertinggal.
2. Perkembangan IPTEK
Perkembangan IPTEK mempengaruhi pola fikir , pola sikap dan pola tindak
masyarakat dalam aspek kehidupan. Kualitas sumber daya Manusia merupakan tantangan
serius dalam menghadapi tantangan global. Kenichi Omahe dalam bukunya “Borderless
Word” dan “The End of Nation State” menyatakan : dalam perkembangan
masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografi dan politik relatif
masih tetap, namun kehidupan dalam satu negara tidak mungkin dapat membatasi
kekuatan global yang berupa informasi, investasi, industri dan konsumen yang makin
individual. Untuk dapat menghadapi kekuatan global suatu negara harus mengurangi
peranan pemerintah pusat dan lebih memberikan peranan kepada pemerintah daerah
dan masyarakat.
Perkembangan Iptek dan perkembangan masyarakat global dikaitkan dengan
dunia tanpa batas dapat merupakan tantangan Wawasan Nusantara, mengingat
perkembangan tersebut akan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia dalam pola
pikir, pola sikap dan pola tindak di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Kesadaran Warga Negara
- Pandangan Indonesia tentang Hak dan Kewajiban.
Manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Hak
dan kewajiban dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.
- Kesadaran bela negara.
Dalam mengisi kemerdekaan perjuangan yang dilakukan adalah perjuangan non
fisik untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, memberantas
KKN, menguasai Iptek, meningkatkan kualitas SDM, transparan dan memelihara
persatuan. Dalam perjuangan non fisik, kesadaran bela negara mengalami penurunan
yang tajam dibandingkan pada perjuangan fisik.
4. UU no 23 Tahun 2014 menetapkan tentang Otonomi Daerah , dengan memberikan
kewenangan yang luas dan nyata kepada Daerah Khsusnya Pemkab / Pemkot.
a. Bagaimana mekanisme Pemilihan Gubernur , Walikota / Bupati di Indonesia?
Dalam kerangka politik hukum mekanisme pemilihan gubernur selalu mengalami pasang surut
terkait dengan mekanisme dan prosedur proses pemiliuhannya. Setelah pelaksanaan pemilihan langsung
oleh rakyat akhir-akhir ini muncul lagi gagasan yang menghendaki pemilihan gubernur dikembalikan
ke dprd, namun penulis berkesimpulan bahwa pilkada langsung juga merupakan wujud nyata asas
responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu, pilkada langsung tetap harus dipertahankan
sebagai bentuk mekanisme suksesi kepemimpinan di tingkat lokal yang mengandung nilai demokratis.
Pemilihan kepala daerah dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yaitu gubernur di tingkat
provinsi dan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota. Pengisian jabatan kepala daerah di tingkat
provinsi adalah sama dengan pengisian jabatan kepala daerah di kabupaten kota, yaitu dipilih
secara langsung oleh rakyat. Di Indonesia, penyelenggaraan pemerintahan menganut asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan
diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan
menggunakan asas desentralisasi.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah yang secara sederhana didefinisikan sebagai
penyerahan kewenangan. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Mengingat perbedaan
kedudukan provinsi dan kabupaten/ kota serta perbedaan peranan antara gubernur dan bupati/
walikota, apakah cara pemilihan kepala daerah yang dilakukan di provinsi dan kabupaten/kota
harus sama?. Tulisan ini menjelaskan bahwa pemilihan di provinsi sebaiknya dilakukan secara tak
langsung, namun disisi lain pemilihan langsung harus tetap dipertahankan di tingkat kabupaten/ kota.
Banyak hal positif jika dua mekanisme ini dilaksanakan dan cara ini tidak bertentangan dengan
konstitusi.
Pemilihan kepala daerah dimaksudkan untuk memilih kepala daerah di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota yaitu gubernur di tingkat provinsi dan bupati/ walikota di tingkat kabupaten/kota.
Pengisian jabatan kepala daerah di tingkat provinsi adalah sama dengan pengisian jabatan kepala
daerah di kabupaten kota, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Konstitusi memberi dasar
bahwa pemilihan umum kepala daerah diselenggarakan secara demokratis, melalui mekanisme pemilihan
secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan secara demokratis untuk kepala daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 dapat dimaknai melalui dua cara pemilihan, yaitu pemilihan oleh DPRD sebagai perwakilan
rakyat (demokrasi perwakilan) dan dipilih langsung oleh rakyat (demokrasi langsung), sehingga
pelaksanaan kedua cara ini sesuai dengan amanat konstitusi. Pemilihan kepala daerah secara
langsung dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk nyata pelaksanaan otonomi daerah, dimana
rakyat dapat langsung memilih para pemimpin yang dikehendaki secara langsung. Mekanisme
kampanye dan proses lain akan membuat para calon pemimpin daerah dikenal lebih baik oleh
rakyatnya. Diberikannya otonomi kepada daerah melalui proses desentralisasi, tidak terlepas dari
tujuan negara. Dalam hal ini, otonomi memiliki sejumlah fungsi terkait dengan tujuan pemberikan
otonomi. Bagir Manan mengidentifikasi 5 fungsi otonomi, salah satunya adalah fungsi pelayanan publik.
Dengan desentralisasi diharapkan pelayanan kepada masyarakat akan berjalan dengan lebih baik
dan optimal dengan peningkatan efisiensi dan efektifitas. Dalam konteks ini, pemilihan kepala
daerah secara langsung dapat dianggap sebagai sesuatu yang ideal.

Pada tahun 2014 terbitlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah. DPR menyetujui revisi Undang-Undang terkait pilkada yang menyerahkan kembali pemilihan
kepala daerah kepada DPRD. Banyak yang menganggap hal ini adalah langkah mundur. Pilkada
langsung tetap akan dilaksanakan di negeri ini setelah DPR menyetujui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
yang pada intinya adalah pemerintah tetap melaksanakan mekanisme pemilihan kepala daerah secara
langsung. Hal ini semakin diperkuat dengan PERPPU yang disetujui menjadi Undang-Undang yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang.
Lain halnya tentang pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. Mekanisme
kampanye dan proses lain akan mampu membuat para calon pemimpin daerah dikenal lebih baik oleh
rakyatnya. Hal ini sangat penting karena berkaitan erat dengan salah satu tujuan dan
desentralisasi dan otonomi daerah. Diberikannya otonomi kepada daerah melalui proses desentralisasi
tidak terlepas dari tujuan negara. Dalam hal ini, otonomi memiliki sejumlah fungsi terkait dengan
tujuan pemberikan otonomi. Bagir Manan mengidentifikasi 5 fungsi dari otonomi. Salah satunya
adalah fungsi pelayanan publik; yaitu agar lebih dekat dengan rakyat yang wajib dilayani.
Adanya desentralisasi diharapkan pelayanan kepada masyarakat akan berjalan dengan lebih baik
dan optimal dengan peningkatan efisiensi dan efektifitas.
Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dianggap sebagai sesuatu
yang ideal, karena pemilihan langsung lebih tepat jika dilaksanakan di daerah otonom yang
melakukan desentralisasi secara penuh, dalam hal ini kabupaten/kota. Mekanisme pemilihan kepala
daerah perlu mempertimbangkan sistem pemerintahan yang dianut. Namun tidak berarti sistem
pemerintahan presidensial yang diterapkan Indonesia saat ini mewajibkan pemilihan kepala daerah
secara langsung di semua level pemerintahan.

b. Apa yang menjadi kewenangan para Gubernur . Walikota / Bupati tersebut?


1. Kedudukan Provinsi dan Kewenangan Gubernur
Kewenangan yang dimiliki oleh gubernur seperti diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pelaksana terkait, menunjukkan bahwa peran gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat lah yang perlu diperkuat agar pemerintahan dan penyelenggaraan negara dapat
berjalan dengan baik dan konstitusional. Secara redaksional pun, kata-kata yang tercantum dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah seperti pembinaan, koordinasi, pengawasan ataupun supervisi,
fasilitasi, monitoring, evaluasi, secara esensi menunjukkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang administrasi dari pemerintah pusat kepada
pejabatnya di daerah atau pejabatnya di wilayah negara di luar kantor pusatnya.
Dalam konteks, ini maka yang dilimpahkan adalah wewenang administrasinya, bukan wewenang
politik. Gubernur adalah penerima wewenang dari pemerintah pusat, maka pada hakikatnya
gubernur adalah pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah. Dalam hal ini
sesungguhnya gubernur adalah bagian dari wilayah administratif yang merupakan bagian dari pusat,
tugasnya pun sangat terbatas karena sebagai pelaksana administratif gubernur hanya menjadi
pelaksana dari keputusan dan kebijakan pusat. Secara hierarki administrasi pun sangat tegas
bahwa gubernur tunduk kepada pemerintah pusat.
Gubernur memiliki kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat juga dikarenakan gubernur
bertanggung jawab kepada presiden. Dalam sistem otonomi daerah Indonesia, terdapat dua pola
hubungan yaitu:
a. Pola hubungan antara pusat dan provinsi
b. Pola hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota
Dengan demikian, pusat hanya berhubungan secara langsung dengan provinsi, sedangkan
hubungannya dengan kabupaten/ kota tidak secara langsung, melainkan harus melalui provinsi. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa gubernur bertindak sebagai perantara dan “jembatan” antara
pusat dan daerah. Gubernur menjadi pengawas pelaksanaan program-program pembangunan dan
pelayanan publik di daerah (kabupaten/kota), karena dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, pengawasan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kebebasan berotonomi.
Kebebasan dan kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain merupakan dua
sisi dari satu lembar mata uang dalam negara kesatuan dengan sistem otonomi (desentralisasi).
Pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat kepada gubernur adalah bentuk nyata
pelaksanaan asas dekonsentrasi di Indonesia. Dekonsentrasi diberlakukan karena tidak semua
wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilaksanakan dengan menggunakan asas desentralisasi.
Selain itu, sebagai negara kesatuan tak mungkin seluruh wewenang dan urusan pemerintah
didesentralisasikan kepada daerah. Salah satu tujuan administratif dari kebijakan dekonsentrasi
adalah pejabat dekonsentrasi dapat mengetahui apa yang menjadi potensi dan kebutuhan daerah.
Hal ini berkaitan dengan penyusunan program-program pusat ataupun daerah yang saling sinergis dan
menunjang satu sama lain.
Kehadiran dekonsentrasi adalah semata-mata untuk melancarkan pemerintahan sentral/pusat
di daerah. Dari uraian tersebut dapat terlihat bahwa Gubernur sebagai pejabat dekonsentrasi
seharusnya hanya berperan sebagai perantara antara pemerintah pusat dan daerah, sebatas
administratif tanpa ada kewenangan-kewenangan politis. Dalam konteks ini sebenarnya peraturan
perundang-undangan terkait Pemerintahan Daerah telah mengatur secara tegas mengenai
kewenangan gubernur dan tidak memberi peluang untuk melebihi kewenangan administratif.
Namun peran dan fungsi sebagai ujung tombak pemerintah pusat di daerah menjadi tak
dapat terlaksana optimal jika gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Hikmahanto Juwono
mengatakan bahwa kerap terjadi kondisi dimana kepala daerah lebih mengutamakan kepentingan
rakyat pemilihnya daripada kepentingan pemerintah pusat, karena yang ditafsirkan adalah amanah,
mandat rakyat serta janji kampanye yang dalam banyak hal bisa jadi berbeda dengan garis
kebijakan pemerintah pusat dalam tataran yang paling konkret.
Provinsi merupakan wilayah administratif, karena pelaksanaan tugas-tugas dan kewenangan
gubernur serta lembaga provinsi dalam menjalankan kewenangan yang dilimpahkan oleh pemerintah
pusat. Pemerintahan wilayah administratif adalah satuan pemerintah daerah di bawah pemerintahan
pusat yang semata-mata hanya menyelenggarakan pemerintahan pusat di wilayah negara. Adapun
ciri-ciri dari pemerintahan wilayah administratif adalah:
a. Satuan pemerintahan semacam ini pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan
dari pemerintah pusat;
b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan hanyalah bersifat administrasi semata;
c. Pelaksananya adalah pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ditempatkan di
daerah;
d. Hubungan antara pemerintahan wilayah administrasi dan pemerintahan pusat
adalah hubungan antara atasan dan bawahan dalam rangka menjalankan
perintah;
e. Seluruh penyelenggaraan pemerintahannya dibiayai dan menggunakan sarana dan
prasarana dari pusat.
Dari paparan di atas maka gubernur sebagai pejabat wilayah administrasi
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya ke pusat dan bukan kepada rakyat di daerah
tersebut. Rakyat pun tidak dapat meminta pertanggungjawaban perihal kebijakan yang telah
digariskan pusat. Pejabat dekonsentrasi hanya bertanggungjawab dari aspek pelaksanaan dari
kebijakan tersebut.
Maka sesungguhnya tidak perlu gubernur dipilih secara langsung oleh masyarakat, karena
memang tidak ada kewenangan yang melahirkan suatu pertanggungjawaban antara gubernur dengan
rakyat, pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat tidak relevan karena interaksi yang
terjalin antara rakyat dan gubernur tidak bersifat langsung. Dengan fungsi yang sangat terbatas
dan lebih bersifat administratif, penulis berpendapat bahwa pemilihan gubernur tidak perlu dilakukan
secara langsung.
2. Kabupaten/Kota, dan Kewenangan Bupati/Walikota
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan
diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan
menggunakan asas desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangandari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa
dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya
desentralisasi, maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana
didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Kabupaten/kota merupakan daerah otonom yang
pemerintahannya berada dalam lingkup pemerintahan daerah otonom yang memiliki ciri-ciri
kemandirian untuk menjalankan urusan rumah tangganya termasuk memilih sendiri para pejabat,
termasuk mengangkat dan memberhentikannya.
Maka memilih langsung kepala daerahnya dalam hal ini bupati dan walikota tentunya menjadi
langkah yang tepat, karena merekalah yang akan memimpin daerahnya dan berhubungan secara
langsung dengan masyarakat daerahnya. Janji-janji dan komitmen kepala daerah semasa kampanye
pun akan menjadi tanggung jawab secara langsung antara pemimpin dan rakyatnya. Cara pemilihan
langsung seperti yang diimplementasikan untuk memilih bupati dan walikota layak diapresiasi dan
dipertahankan. Cara ini tepat ketika dilakukan di tingkat kabupaten/kota, bukan provinsi, karena
berkaitan dengan hubungan dan interaksi secara langsung antara rakyat dan kepala daerah.
Selain itu juga, karena otonomi yang sesungguhnya dalam konteks desentralisasi terdapat di
kabupaten/kota. Bagir Manan menekankan pentingnya pemilihan secara langsung berkaitan dengan
otonomi daerah. Kedudukan bupati/walikota sebagai kepala pemerintah kabupaten/kota sebagai unit
langsung yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat perlu memiliki legitimasi yang kuat
melalui pemilihan langsung oleh rakyat sehingga berakibat interaksi yang berbasis kepercayaan Di
daerah otonom seperti kabupaten dan kota, rakyat dapat benar-benar memilih sendiri seorang
kepala daerah sesuai dengan aspirasinya. Hal ini dapat dikatakan sejalan dengan pendapat Bagir
Manan bahwa daerah yang otonom dan mandiri layak diberi tempat untuk mengurus rumah
tangganya sendiri sehingga tidak ada alasan bagi daerah untuk memisahkan diri dari Republik
Indonesia.
Titik utama dan penentu dari otonomi daerah seyogyanya terletak di daerah itu sendiri.
Daerah yang dimaksud dalam konteks ini adalah kabupaten dan kota. Berbeda dengan provinsi
justru di kabupaten/kotalah hakikat otonomi daerah itu tampak. Peranan kepala daerah sangat
besar terhadap daerahnya. Fungsi pelayanan dan tanggung jawab itu harus didukung legitimasi
kuat yang hanya akan didapatkan melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

5. UU cipta kerja omnibus law sudah disahkan dalam sidang paripurna oleh DPR, namun UU
tersebut mendapatkan penolakan keras dari kelompok tertentu dan ini merupakan gempuran
keras terhadap pemerintahan Jokowi, mengapa demikian? Terangkan pendapat anda?
Mencuatnya kembali pembicaraan soal omnibus law muncul karena DPR RI bersama
pemerintah dan DPD RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja
untuk dibawa ke rapat paripurna DPR. Sebelumnya, pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat
menunda pembahasan Klaster Ketengakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden
Joko Widodo pada 24 April 2020. Penundaan ini merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan
sejumlah pasal dalam klaster tersebut. Bahkan, hingga kini, sejumlah pasal pun masih memperoleh
penolakan dari berbagai pihak.
Undang-undang ini nantinya untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah. Dan sebagai
upaya untuk menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Kini pemerintah sendiri telah
menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law ini ke DPR. Tapi dengan
adanya Omnibus Law ini pihak Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Omnibus Law
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja karena dianggap tidak memiliki tiga prinsip yang
diusung buruh. Ketiga hal itu tersebut adalah perlindungan kerja, perlindungan terhadap
pendapatan, serta jaminan sosial terhadap pekerjaan. Omnibus Law dianggap akan sangat merugikan
dan merusak kesejahteraan mereka. Terdapat beberapa alasan mengapa masyarakat khususnya
para buruh untuk menolak keras UU Omnibus Law ini. Antara lain:
1. Upah minimum di kabupaten/kota hilang
2. Pesangon menurun dan tanpa kepastian
3. Bisa asal PHK
4. Tenaga ahli daya semakin bebas
5. Penghapusan sanksi pidana perusahaan
6. Aturan jam kerja yang eksploitatif
7. Hilangnya jaminan sosial

Anda mungkin juga menyukai