Anda di halaman 1dari 8

TANTANGAN PANCASILA DALAM BERBAGAI BIDANG

Mata Kuliah Pendidikan Pancasila


Dosen Pengampu: Mangido Nainggolan, S.Th, M.Si

Disusun Oleh :

Nama : Chatryn Joice Elisabet Panjaitan

Kelas : PSPB 21 A

NIM : 4211141015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
I. Sejarah Pancasila
Pancasila disahkan sebagai dasar negara kita. Butuh proses yang panjang, untuk bisa sampai
kesana. Disamping juga menegangkan. Tak berlebihan, jika proses pembuatan ideologi
negara ini kemudian menjadi salah satu sejarah terpenting bagi Indonesia.
Nama Pancasila sendiri diambil dari bahasa Sanskerta, terdiri dari dua kata, yakni pañca yang
berarti lima dan śīla yang berarti prinsip atau asas. Dengan kata lain, Pancasila merupakan
rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ada lima sendi utama yang menyusun Pancasila, termasuk Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dan kesemua ini tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan)
Undang-undang Dasar 1945.
Setelah sempat mengalami perubahan pada kandungan dan urutan lima sila yang berlangsung
dalam beberapa tahap selama masa perumusan, Pancasila akhirnya menjadi Pancasila seperti
yang kita kenal sekarang pada 1 Juni 1945, yang lalu dikenal sebagai Hari Kesaktian
Pancasila.
Semua berawal dari pemberian janji kemerdekaan oleh Perdana Menteri Jepang saat itu,
Kuniaki Koiso untuk Indonesia pada tanggal 7 September 1944. Pemerintah Jepang lalu
mendirikan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
pada tanggal 1 Maret 1945 (2605, tahun Showa 20) dengan tujuan untuk mempelajari hal-hal
yang berkaitan dengan tata pemerintahan Indonesia Merdeka.
BPUPKI diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat.
Dalam pidato pembukaannya kala itu, dr. Radjiman antara lain mengajukan pertanyaan
kepada anggota-anggota Sidang – terdiri dari 74 orang (67 orang Indonesia, 7 orang Jepang).
“Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?,” tanyanya.
Sontak, sejumlah usulan pun disampaikan oleh para anggota. Muhammad Yamin, misalnya.
Dalam pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, Ia merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri
Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban,
agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Pada 1 Juni
1945, Soekarno menyebut dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul
“Lahirnya Pancasila”, dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme
atau Peri-Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan;
Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan.
Nama Pancasila diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu.
“Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan
ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas
atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan
abadi.” Usulan Soekarno diterima dengan baik oleh semua peserta sidang. Setelah itu, tanggal
1 Juni 1945 pun diketahui sebagai hari lahirnya pancasila.
Sebelum sidang pertama berakhir, suatu Panitia Kecil dibentuk untuk tak hanya merumuskan
kembali Pancasila sebagai dasar Negara – mengacu pada pidato yang diucapkan Soekarno
pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi juga menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk
memproklamasikan Indonesia Merdeka. Dari Panitia Kecil itu dipilih 9 orang yang dikenal
dengan Panitia Sembilan, untuk menyelenggarakan tugas itu. Rencana mereka itu disetujui
pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama Piagam Jakarta.

II. Tantangan Pancasila Dalam Berbagai Bidang


1. Bidang Sosial Budaya
Sosial budaya merupakan salah satu tatanan bagian terkecil dari suatu masyarakat
dalam hidup bersama. Dalam tatanan hidup bermasyarakat, sosial budaya sangat
diperlukan karena untuk membentuk kerukunan dan kesejahteraan di lingkungan
masyakat. Penyimpangan nilai-nilai Pancasila dalam sosial budaya saat ini telah
menimbulkan permasalahan yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Masyarakat memiliki sistem sosial dan budaya yang berbeda dengan
masyarakat lainnya. Sosial budaya merupakan perpaduan antara sistem sosial dan
sistem budaya,
Manusia dalam masyarakat dapat menghasilkan dan mengembangkan unsur budaya
melalui relasi sosial untuk mewujudkan pelaksanaan dan perkembangan masyarakat
dalam pencapaian hidup melalui sosial budaya. Dalam konteks sosial budaya
masyarakat lebih menyukai individualis dan tidak suka berkumpul. Selama bertahun-
tahun, Sosial Budaya semakin berkurang dan sedikit yang mencerminkan budaya
Indonesia seperti tolong menolong, rukun, menghargai, dan menghormati perbedaan
yang ada. Namun, dalam kehidupan sosial budaya sekarang ini lebih kearah
individualis. Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang
beragam, Bangsa Indonesia ini harus bersatu dan menghargai perbedaan walau
berbeda dari segi ekonomi maupun jabatan. Keberadaan perbedaan tersebut sering
dijadikan sebagai faktor dan alasan untuk memecah belah Negara Indonesia.
Perbedaan yang ada dijadikan sebagai ancaman antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Memudarnya rasa nasionalisme terhadap bangsa kini juga sudah
dirasakan. Namun, jika warga Indonesia memahami Bhineka Tunggal Ika, memahami
makna Pancasila dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat tidak akan ada perbedaan dan perpecahan di negara
Indonesia. Implementasi semacam ini mungkin menjadi alasan mengapa Pancasila
menetapkan nilai-nilainya untuk mendorong warga negara mengedepankan persatuan
dalam perbedaan. Dengan adanya pancasila sebagai dasar negara, masyarakat
menyadari bahwa manusia harus hidup secara berdampingan dan saling peduli satu
sama lain. Hal itu sesuai dengan sila ke-3 pancasila yaitu persatuan Indonesia. Tanpa
adanya sosial budaya dalam masyarakat, kehidupan di masyarakat pasti akan
mengalami individualis dan saling bersaing secara tidak manusia. Maka dari itu,
dalam kehidupan bermasyarakat, sosial budaya sangat penting baik diterapkan di
lingkungan keluarga, sekolah, politik, dan lain-lain.

2. Bidang Politik
Permasalahan politik di Indonesia sering mengalami pasang surut. Pasca reformasi,
keikutsertaan warga negara dalam arena politik menampakan gejala kelesuan yang
diindikasikan pada penurunan kualitas serta kuantitas partisipasi politik. Dalam
pelaksanaan pemilihan umum misalnya. Dibeberapa daerah di Indonesia masih
bermasalah terkait tingginya tingkat golongan putih (golput) akibat ketidakpuasan
masyarakat terhadap kinerja partai politik maupun figur yang ditawarkan.
Pelaksanaan partisipasi politik masih terancam penggunaan politik uang (money
politics) dalam mempengaruhi proses pemilihan seseorang.
Maka terjemahkan sistem politik yang tidak jujur dikarenakan kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai sila keempat Pancasila yaitu untuk bijak dalam memilih dan
bermusyawarah yang tentunya sangat berhubungan dengan politik Indonesia.
Ada juga kasus korupsi dalam system politik Indonesia yang tidak sesuai dengan nilai
Pancasila, yang membuat tidak adanya nilai kemerataan keadilan social di kalangan
politik karena hal tersebut sama saja mencuri uang rakyat. Oleh sebab itu, nilai
pancasila dalam bidang politik di pemerintahan pun belum teraktualisasi dengan baik.

3. Bidang Agama
Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan
atau konflik di antara mereka. Konflik antar- umat beragama yang terjadi di tanah air
semakin memprihatinkan. Bahkan dengan adanya konflik-konflik baru akan bisa
merambah ke daerah lain kalau masyarakat mudah menerima isu dan terprovokasi.
Masyarakat Indonesia di hampir semua suku, agama, etnik dan golongan serta daerah,
bagaikan ilalang kering yang sangat mudah ter- bakar atau dibakar.
Bangsa Indonesia, memliki kehidupan beragama yang sangat majemuk, maka untuk
menghindari pertentangan dan konflik antar umat beragama telah diatur dalam
Undang-undang Dasar 1945, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
HAM, yang melandasi pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
yang maha Esa. Sasaran bidang agama memiliki tantangan yang harus dihadapi
Pancasila dalam pengimplementasian nilai pancasila yaitu sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dengan adanya pemahaman masyarakat tentang nilai sila pertama Pancasila,
dapat memungkinkan adanya toleransia antar umat beragama untuk bebas memeluk
agama nya masing masing tanpa adanya gangguan konflik dikarenkan adanya
perbedaan.

4. Bidang Ekonomi
Masalah pokok ekonomi muncul karena kesepakatan yang dicapai antara kebutuhan
manusia yang tidak terbatas dan sumber daya yang terbatas. Kebutuhan manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beragam. Di sisi lain, ketersediaan sumber daya
yang tersedia belum tentu memenuhi persyaratan ini.
Adanya sumber daya yang terbatas dapat menimbulkan masalah. Apa masalah
ekonomi utama yang dihadapi umat manusia? Salah satu contoh permasalahan
ekonomi yang dihadapi manusia dalam hidup adalah terpenuhinya kebutuhan pangan,
sandang dan kebutuhan hidup lainnya.
Bagaimana memenuhi kebutuhan pangan dengan produksi beras yang tidak bisa
diselesaikan dalam sehari? Bagaimana cara memenuhi kebutuhan pakaian sehari-hari?
Berbagai gagasan semacam itu menjadi dasar masalah pokok ekonomi.
Dalam menjalankan roda ekonomi yang mengimplementasi nilai Pancasila, maka
pemangku kebijakan ini harus dapat mendongkrak perekonomian agar tumbuh dan
bersaing dengan pihak asing.

Misalnya, dalam rangka mengembangkan perekonomian lokal maka pemerintah juga


harus ikut andil, seperti mengembangkan usaha mikro menjadi usaha kecil, usaha
kecil jadi usaha menengah, usaha menengah jadi usaha besar, dengan begitu nilai
Pancasila dalam ekonomi akan terlihat dalam penerapannya. Ancaman zaman yang
terus bergerak maju seperti revolusi industri 4.0 menjadi tantangan baru dalam
penerapan nilai Pancasila, pemerintah sebagai pemangku kebijakan mulai melakukan
penguatan nilai Pancasila dengan inisiatif “Making Indonesia 4.0”.

III. Solusi Terhadap Tantangan Pancasila


Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang
dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu,
Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.
Dengan demikian, Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan
yang jelas dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan pengharapan yang penting bagi
keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Survei Badan Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan temuan bahwa masyarakat masih
membutuhkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dari 12.000 responden, 79,26%
menyatakan Pancasila penting untuk dipertahankan, 89% berpendapat bahwa timbulnya
permasalahan bangsa karena kurangnya pemahaman akan nilai-nilai Pancasila.

1. Pertama, nilai-nilai Ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas


(yang bersifat vertikal transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik
kehidupan bernegara, maka dari itu:

1) Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang
memisahkan “agama” dari ”negara” dan berpretensi untuk menyudutkan peran
agama ke ruang privat/komunitas.
2) Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan
mengembangkan kehidupan beragama;
3) sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan
dengan penguatan etika sosial. Tetapi pada saat yang sama, Indonesia juga
bukan “negara agama”, yang hanya merepresentasikan salah satu (unsur)
agama dan memungkinkan agama untuk mendikte negara.

2. Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum
alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting
sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip
kebangsaan yang luas yang mengarah pada persatuan dunia itu dikembangkan melalui
jalan eksternalisasi dan internalisasi. Oleh karena itu:

1) Bangsa Indonesia harus menggunakan segenap daya dan khazanah yang


dimilikinya untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
2) Bangsa Indonesia harus mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan
penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan ini adalah
“adil” dan “beradab.”
3) Pemerintah harus menegakkan hokum keadilan dalam setiap lapisan
masyarakat baik dari jajaran rendah maupun jajaran atas.

3. Ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar
kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau
pergaulan dunia yang lebih jauh, yaitu dengan:

1) Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia harus


menjadi negara kesatuan-kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan
perseorangan.
2) Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan
konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan
keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan
ungkapan “Bhinneka Tungal Ika.”
3) Satu sisi, masyarakat harus memiliki wawasan kosmopolitanisme yang
berusaha mencari titik temu dari segala kebhinnekaan yang terkristalisasikan
dalam dasar negara (Pancasila), UUD, dan segala turunan perundang-
undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol
kenegaraan lainnya.
4) Di sisi lain, masyarakat harus memiliki wawasan pluralisme yang menerima
dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka
agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu
sebagai warisan tradisi budaya.

4. Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu
dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat
permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, maka dari itu:

1) Dalam masayarakat, demokrasi permusyawaratan haruslah menjadi demokrasi


yang memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika
kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang
menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka “musyawarah-
mufakat.”
2) Prinsip musyawarah-mufakat dalam masyarakat, dalam pengambilan
keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (diktator mayoritas),
melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya
rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.

5. Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta
demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan, artinya sejauh dapat
mewujudkan keadilan social, yaitu dengan:
1) Perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat
sila lainnya.
2) Otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan
keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan.
3) Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani,
keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu (yang
terlembaga dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang
terlembaga dalam negara).
4) Juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-
masing pelaku ekonomi diberi peran yang secara keseluruhan
mengembangkan semangat kekeluargaan.
5) Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam
posisi penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas,
rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Ani Purwanti SH MHum dan Lita Tyesta SH MHum, “Revitalisasi Nilai Pancasila”. [Opini] Suara
Merdeka, 29 Nopember 2011.

Khudori. Lapar: Negeri Salah Urus. Yogyakarta : Resist Book, 2005.

Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Situru, R. S. (2019). Pancasila dan Tantangan Masa Kini. Elementary Journal: Jurnal Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, 2(1), 34-41.

Anda mungkin juga menyukai