Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

URGENSI PANCASILA DALAM RANGKA MENCEGAH


RADIKALISME DI INDONESIA

Disusun Oleh :

Reni Fatmawati

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)


PENDIDIKAN PROFESI GURU KELAS PGMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara pluralis, di mana kemajemukan hadir dan
berkembang di dalamnya, kemajemukan tersebut terdiri dari suku, ras, budaya,
bahkan agama. Kemajemukan yang terjadi di Indonesia pun tidak terlepas dari
kemajuan di berbagai bidang ilmu yang menyentuh berbagai sendi kehidupan
masyarakat Indonesia. Semua keragaman suku, ras, budaya di Indonesia menjadikan
Indonesia negara yang kaya karena semua terangkum menjadi satu yaitu
sebuah ragam seni budaya yang ber- Bineka Tunggal Ika dengan menunjukkan adat
ketimuran dan berasaskan Pancasila.
Indonesia tidak hanya kaya akan budaya yang beraneka ragam tetapi juga
negara religius dengan beragam agama dan kepercayaan yang tumbuh didalamnya.
Di Indonesia, terdapat 6 agama yang diakui secara resmi yaitu Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Walaupun terdapat berbagai
agama, Indonesia mampu dan dapat hidup berdampingan satu dengan yang lainya.
Keadaan yang harmonis ini tentunya tidak mudah diwujudkan, tetap terdapat
persoalan dan polemik baik dari dalam maupun dari luar yang harus disikapi dengan
bijaksana.
Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan ancaman
radikalisme, terorisme dan separatisme yang kesemuanya bertentangan dengan nilai-
nilai Pancasila. Khusus radikalisme yang merupakan ancaman terhadap ketahanan
ideologi. Apabila Ideologi negara sudah tidak kokoh maka akan berdampak terhadap
ketahanan nasional.
Dalam kamus Bahasa Inggris, kata radical diartikan sebagai ekstrem atau
bergaris keras. Radikalisme berarti suatu paham aliran yang menghendaki perubahan
secara drastis atau fundamental reform. Inti dari radikalisme adalah paham radikal
yang menghendaki perubahan dengan kecenderungan menggunakan kekerasan.
Paham ini sebenernya paham politik yang menghendaki perubahan yang ekstrem,
sesuai dengan pengejawantahan ideologi yang mereka anut.
Istilah radikalisme tidak jarang dimaknai berbeda diantara kelompok
kepentingan. Dalam lingkup kelompok keagamaan, radikalisme merupakan gerakan-
gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik
yang ada dengan menggunakan jalan kekerasan.
Radikalisme juga dapat diartikan sebagai sikap atau paham yang secara
ekstrim, revolusioner dan militan untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama
yang dianut masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau
kekerasan fisik. Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demonstrasi sikap
yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai sikap
radikal.
Lunturnya identitas lokal yang melanda generasi muda belakang ini
dikatakan sebagai salah satu faktor pemicu radikalisme. Lunturnya identitas lokal
menyebabkan kekosongan nilai yang dianut, sehingga paham radikal mulai mengisi
kekosongan tersebut. Sekarang ini budaya lokal negeri kita sendiri sudah banyak
yang terkikis, yang memberi ruang lebih kepada sikap radikalisme untuk tumbuh
secara subur.
Maraknya radikalisme di Indonesia dinilai makin mengkhawatirkan, bahkan
berada di zona merah atau sangat perlu diwaspadai. Upaya kongkrit perlu dilakukan
salah satunya pengamalan terhadap nilai-nilai luhur pancasila dan melakukan
revitalisasi terhadap kearifan lokal agar benih-benih radikalisme tidak melanda
generasi muda. Selain itu meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia
menjadi fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan
ataupun dihilangkan. Radikalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia
ini ditandai dengan berbagai aksi kekerasan dan teror.
Berdasarkan hal tersebut kiranya cukup alasan untuk diadakan suatu
pembahasan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah “PERAN
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DALAM RANGKA
MENCEGAH RADIKALISME DI INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka kami merumuskan


beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Menelaah kembali makna radikalisme.
2. Mengetahui cara pencegahan radikalisme di kalangan muda
3. Kemunculan radikalisme dan factor-faktor multidemonsional yang
mengintegrasi dengan aksi kekerasan
4. Seberapa penting pengetahuan tentang radikalisme
5. Bagaimana Pancasila dalam mengatasi situasi radikalisme di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lahirnya Radikalisme
Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix
yang artinya akar (pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah
mengetahuinya dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas
kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan
ketenteraman, dan makna-makna lainnya. Kata ini dapat dikembangkan menjadi kata
radikal, yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang
yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam,
layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya.
Memang terkesan tidak umum, hal inilah yang menimbulkan kesan menyimpang di
masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiks –isme sendirri memberikan makna
tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham, dan keyakinan atau ajaran.
Penggunaannya juga sering disambungkan dengan suatu aliran atau kepercayaan
tertentu.Kenyataan adanya radikalisme keagamaan sebenarnya merupakan fenomena
yang bisa terjadi di dalam agama apa pun. Radikalisme sangat berkaitan dengan
fundamentalisme yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar
agama. Fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika
kebebasan untuk kembali ke agama dihalangi oleh situasi sosial politik yang
mengelilingi masyarakat. fenomena ini dapat menimbulkan konflik terbuka atau
bahkan kekerasan antardua kelompok yang berhadapan.
Secara historis, radikalisme yang diwarnai oleh agama bukanlah hal yang
baru dinegeri ini, khususnya yang terkait dengan kelompok radikalisme islam.
Dalam sejarah Indonesia, dikenal misalnya Perang Padri di sumatra Barat antara
kaum ulama puritan dengan kaum adat, yang sesungguhnya penganut Islam namun
bukan puritan. Kaum Paderi dikenal sebagai para penganut aliran wahabi yang
upayanya melakukan gerakan pemurnian agama, serta melakukan kekerasan yang
menyebabkan terjadinya pertumpahan darah di dalam masyarakat Minangkabau.
Gerakan radikal Islam inilah yang saat ini muncul kembali, walaupun dalam konteks
yang berbeda namun melalui gagasan dan pemahaman keagamaan yang tidak jauh
berbeda.
Radikalisme erat dikaitkan dengan agama islam, padahal sesungguhnya
tidak satu agamapun mengajarkan kekerasan pada sesamanya termasuk agama Islam.
Namun tidak dapat menutup mata bahwa oknum yang menyebarkan isu perpecahan
tersebut berkedok Islam sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia.
Sesungguhnya, sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran
kelompok fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua faktor, yaitu:
a) Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam
melakukan “perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks
keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan
“ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam(termasuk
indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan
classical sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena
memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap
eksklusivisme dan ekstrimisme ini. Seperti ayat-ayat yang menunjukkan
perintah untuk berperang seperti; Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S. Attaubah: 29) Faktor
internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang
mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam
internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom
fasilitas publik dan terorisme.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah
faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas
keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini
lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama
(wahyu suci yang absolut).
b) Faktor eksternal
Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya : pertama, dari
aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari
nilai-nilai fundamental islam. Kemudian faktor budaya, faktor ini menekankan
pada budaya barat yang mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme
yang dianggap sebagai musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi. Terakhir
faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan
masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih
maraknya radikalisme di kalangan umat islam.

B. Peran Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Dalam Mencegah Radikalisme


Pancasila merupakan pegangan hidup Bangsa Indonesia. Kini nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila mulai terkikis seiring pesatnya perkembangan
teknologi dan kuatnya arus Informasi di Era Globalisasi saat ini. Padahahal
seharusnya jika nilai-nilai Pancasila ini diserap baik oleh Bangsa Indonesia maka
tidak perlu takut terhadap faham-faham radikalisme, sebab Pancasila mengandung
nilai-nilai luhur yang bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman namun tetap
memiliki cirinya sendiri.
Idiologi Pancasila sebenarnya dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, hanya saja nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak
dijiwai oleh bangsanya sendiri. Sehingga paham radikalisme bisa dengan mudahnya
menembus pemikiran bangsa ini. Padahal Pancasila sebagai idiologi bangsa ini
sangatlah penting dipahami dan dijiwai. Sebab nilai-nilai yang terkandung
didalamnya memiliki tujuan yang mulia dan dapat membawa bangsa ini kedalam
peradaban yang baik.
Pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini
bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum muda yang
justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1,
Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi
penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora,
melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom di JW
Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.
Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan radikalisme patut menjadi
keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret
ke dalam hal tersebut, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang
damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan,
kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya
nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.
Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme
dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan
upaya pencegahan melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini
dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di
daerah, Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT) bagi
sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal terorisme siswa
SMA di empat provinsi. Ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam
pencegahan terorisme di kalangan pemuda :
a) Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan
menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan,
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui
pendidikan kewarganegaraan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi
dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal
seperti toleransi antar-umat beragama, kebebasan yang bertanggung jawab,
gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar-warga
masyarakat.
b) Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik
di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
c) Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga
pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran
guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat
sangat penting.
d) Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya
keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh
masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia.
Pancasila diakui negara sebagai falsafah hidup, cita-cita moral, dan ideologi bagi
kehidupan berbangsa. Pancasila diyakini mampu menyaring berbagai pengaruh
ideologi yang masuk ke Indonesia sebagai konsekwensi logis dari sebuah
masyarakat dan bangsa yang majemuk (bhinneka). Bangsa Indonesia tidak
menafikan kehadiran budaya luar maupun ideologi luar, tapi melalui Pancasila
negara dapat memilah pengaruh mana yang dapat diterima atau tidak. Negara juga
mampu menyesuaikan pengaruh luar tersebut dengan konteks budaya Indonesia
ataupun menolak karena tidak sesuai dengan falsafah, cita-cita, moral, dan ideologi
nasional.
Selain itu Pancasila turut berfungsi sebagai falsafah hidup bangsa yang
konsep dan visinya dapat dijabarkan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Terdapat lima sila yang secara komprehensif menjabarkan arti kehidupan bernegara
yang dapat dijadikan landasan melawan ancaman ideologi radikal.
a) Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini mengandung makna toleransi, kemajemukan dan moderat yang
seimbang. Ideologi fundamentalis radikal bertentangan dengan Pancasila karena
ia memaksakan kehendak dengan menolak memberikan ruang kepada
penafsiran yang berbeda.
b) Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila ini mengandung makna pengakuan terhadap hak asasi manusia, termasuk
hak sipil, politik, ekonomi, dan hak sosial budaya. Dengan demikian,
pemaksaan kehendak oleh kelompok radikal secara hakiki bertentangan dengan
Pancasila karena jelas melanggar HAM yang menjadi landasan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
c) Sila Ketiga, Persatuan Indonesia
Sila ini mengandung makna bahwa Indonesia adalah negara yang dibentuk
berdasarkan asas kebangsaan, bukan atas dasar agama, suku, atau ras tertentu.
Kelompok fundamentalis radikal yang ingin mengubah dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari negara kebangsaan menjadi negara dengan agama
tertentu. Hal ini tentunya jelas bertentangan dengan landasan ideologi nasional
Pancasila.
d) Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
Sila ini mengandung arti bahwa sistem kemasyarakatan dan kenegaraan di
Indonesia harus berlandaskan pada prinsip demokrasi dan kedaulatan berada di
tangan rakyat. Bagi kelompok fundamentalis radikal bahwa demokrasi adalah
haram. Pada umumnya ideologi agama radikal menolak kedaulatan rakyat dan
hanya mengakui kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan melalui sistem teokrasi.
e) Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila ini mengandung makna bahwa kesejahteraan menjadi hak warga negara RI.
Kelompok fundamentalis radikal tidak mengakui adanya hak bagi warga negara
untuk memperoleh kesejahteraan sebagai hak dasar mereka.
Indonesia telah menerima Pancasila sebagai dasar negara yang dirumuskan
oleh para pendiri bangsa dengan melalui proses dan musyawarah yang panjang.
Pancasila menjadi kontrak sosial kita untuk hidup di negara Indonesia dan karena itu
dipahami sebagai paham kebangsaan.
Menurut Abdurrahman Wahid, penerimaan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa juga merupakan bentuk kesadaran akan realitas keberagaman di
Indonesia. Islam di Indonesia bukanlah satu-satunya agama yang ada. Dengan
demikian, negara harus memberikan pelayanan yang adil kepada semua agama yang
diakui. Itu juga berarti negara harus menjamin pola pergaulan yang serasi dan
berimbang antarsesama umat.
Dalam sejarah panjang Indonesia, Pancasila merupakan nilai-nilai dasar
kebangsaan yang disepakati sebagai pengikat dan perekat bagi persatuan dan
kesatuan Indonesia yang multikultur. Bangsa indonesia juga memiliki pandangan
hidup, filsafat hidup, dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, yaitu Pancasila yang dibentuk berdasarkan suatu asas
kultural yang dimiliki dan melekat pada diri bangsa Indonesia sendiri.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Adapun simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan sebelumnya adalah
sebagai berikut :
1. Radikalisme merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi. Radikalisme
adalah paham radikal yang menghendaki perubahan dengan kecenderungan
menggunakan kekerasan. Paham ini sebenernya paham politik yang
menghendaki perubahan yang ekstrem, sesuai dengan pengejawantahan ideologi
yang mereka anut. Indonesia sebagai negara yang plural dimana terdapat
berbagai macam suku, ras, budaya dan juga agama menjadi sasaran faham
radikal berbau SARA tumbuh dan berkembang.
2. Pancasila adalah falsafah hidup, cita-cita moral, dan ideologi bagi kehidupan
bangsa Indonesia. Pancasila diyakini mampu menyaring berbagai pengaruh
ideologi yang masuk ke Indonesia sebagai konsekwensi logis dari sebuah
masyarakat dan bangsa yang majemuk (bhinneka). Namun sayangnya nilai-nilai
yang terkandung didalam Pancasila tidak dijiwai oleh bangsanya sendiri,
sehingga paham radikalisme bisa dengan mudahnya menembus pemikiran
bangsa ini dan tumbuh subur di Indonesia.

B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan sehubungan dengan permasalah
yang ada adalah sebagai berikut :
1. Kepada generasi muda pentingnya pemahaman mengenai apa yang dimaksud
dengan radikalisme, sehingga dengan mengetahui secara jelas dan mengetahui
dampak negatif dari penyebaran faham radikalisme generasi muda dapat
membentengi diri agar tidak mudah terhasut dan dapat menyikapi secara bijak
polemik yang terjadi terkait pluralisme di Indonesia.
2. Kepada generasi muda penerus bangsa tidak hanya hafal tetapi juga paham akan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan mengamalkanya karena kita
sebagai bangsa yang majemuk rentan akan masuknya faham-faham radikalisme
yang berbau SARA yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara maka pengaruh buruk radikalisme dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA

Agus SB, 2016, Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan Lokal
Melawan Radikalisasi dan Terorisme, Daulat Press, Jakarta.
Ahmad Norma Permata, 2005, Agama dan Terorisme, Muhammadiyah University Press,
Yogyakarta.
Ahmad Nurcholish dan Alamsyah M. jakfar, 2015, Agama Cinta, Menyelami Samudra
Cinta Agama-Agama, Elex Media Komputindo, Jakarta.
A Rubaidi, 2007, Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa Depan Moderatisme Islam di
Indonesia, Logung Pustaka, Yogyakarta.
A.S Hornby, 2000, Oxford Advanced : Dictionary of Current English, Oxford University
Press, UK.
Endang Turmudzi dkk, 2004, Islam dan Radikalisme di Indonesia, LIPI Press, Jakarta.
Muhammad A.S. Hikam, 20016, Deradikalisasi : Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme, Kompas, Jakarta.
Sumanto Alqurtuby, 2009, Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam
Progresif, Borobudur Indonesia , Semarang.
Muhammad Shobahus Sadad, Ahmad Muzaqqi, Dan Erlina, Menelisik Kembali Arti
Radikalisme Dan Integrasinya Dengan Praktek Kekerasan Dalam Perspektif
Agama,Http://2beahumanbeing.Blogspot.Co.Id/2012/06/Makalah Radikalisme-
Pengertian-Konsep.Html
M.AribHerziS,Radikalisme, http://aribherzi020696.blogspot.co.id/2015/04/makalah-
radikalisme.html

Anda mungkin juga menyukai