Anda di halaman 1dari 7

REVITALISASI NILAI SILA PERTAMA DARI PANCASILA BAGI SITUASI RADIKALISME

AGAMA DI INDONESIA

ABSTRAK
Oleh :
Louisa Sharon Ghea Yulida (162894)
STKIP Widya Yuwana – Madiun

Radikalisme Agama yang sedang memperlihatkan perkembangannya yang semakin masif di


Indonesia. Agenda utama gerakan Radikalisme ini adalah mengganti Pancasila ideologi bangsa
dengan bersumber kepada hukum agama. Menolak Pancasila yang menjamin keberagaman identitas
sebagai kenyataan khas bumi Nusantara, kelompok ini memegang kuat – kuat kemutlakan kesamma
identitas agama beserta penafsirannya, daripada keberagamaan yang bermuara kepada
penyangkalan sikap toleran.
Watak dasar radikalisme agama demikian sungguh bertolak belakang dengan Pancasila.
Sebagai pondasi dan jiwa yang mendasari bangunan bangsa dan negeri ini, kehadiran Pancasila
pertama – tama justru melindungi dan menjamin keberagaman identitas primordial masyarakat
bangsa Indonesia. Dalam arti ini, Pancasila sungguh terus – menerus disuarakan sebagai bentuk
pembangunan kembali (revitalisasi) ideologi bangsa yang secara khas adalah majemuk.

Kata Kunci : radikalisme, pancasila, revitalisasi.


Sejarah Radikalisme
Pada dasarnya radikalisme sudah ada sejak jaman dulu, karena sudah ada di dalam diri
manusia. Namun istilah “Radikal” dikenal pertama kali setelah Charles James Fox memaparkan
tentang paham tersebut pada tahun 1797.
Saat itu, Charles James Fox menyerukan “Reformasi Radikal” dalam sistem pemerintahan di
Britania Raya (Inggris). Reformasi tersebut dipakai untuk menjelaskan pergerakan yang mendukun
revolusi parlemen di negara tersebut. Pada akhirnya, ideologi radikalisme tersebut mulai
berkembang dan kemudian berbaur dengan ideologi liberalisme.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, radikalisme seringkali dikaitkan dengan agama
tertentu, khususnya Islam. Hal ini dapat dilihat dari adanya kelompok ISIS (Islamic State of Iraq
and Syria) yang melakukan teror terhadap beberapa negera di dunia dengan membawa atau
menyebutkan simbol – simbol agama Islam dalam setiap aksi teror mereka.
Tindakan kelompok ini dan dukungan dari sebagian kecil umat Islam terhadap ISIS pada
akhirnya membuat sebagian masyarakat dunia menganggap ISIS merupakan gambaran dari ajaran
Islam. Namun, tentu saja hal itu tidak benar adanya, karena sebagian besar umat Islam justru
mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh ISIS.

Ciri – Ciri Radikalisme


Radikalisme sangat mudah dikenali. Hal itu dikarenak memang pada umumnya penganut
ideologi ini ingin dikenal ataupun terkenal serta ingin mendapat dukungan lebih banyak orang.
Itulah sebabnya radikalisme selalu menggunakan cara – cara yang esktrim.
Berikut ini adalah beberapa ciri – ciri radikalisme :
- Radikalisme adalah semacam pernyataan atau tanggapan pada kondisi yang sedang terjadi,
tanggapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk evaluasi, penolakan bahkan
perlawanan dengan keras.
- Melakukan upaya – upaya penolakan secara terus – menerus dan menuntut perubahan
drastis yang dinginkan terjadi.
- Penganut paham radikalisme ini, biasanya memiliki keyakinan yang kuat terhadap hal – hal
yang ingin mereka jalankan.
- Penganut radikalisme ini, tidak segan – segan menggunakan cara kekerasan dalam
mewujudkan keinginan mereka.
- Penganut paham ini, memiliki anggapan bahwa semua pihak yang berbeda pandangan
dengan mereka adalah bersalah.
Faktor Penyebab Radikalisme
Seperti oada pengertian radikalisme di atas, paham ini dapat terjadi karen adanya beberapa
faktor penyebab, diantaranya adalah faktor pemikiran : adanya pemikiran bahwa segala
sesuatunya harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara kekerasan. Faktor politik : adanya
pemikiran sebagian masyarakat bahwa seseorang pemimpin negara hanya berpihak pada pihak
tertentu mengakibatkan munculnya kelompok – kelompok masyarakat yang terlihat ingin
menegakkan keadilan. Alih – alih menegakkan keadilan, kelompok – kelompok ini seringkali justru
memperparah keadaan. Faktor pendidikan : pendidikan yang salah merupakan faktor penyebab
munculnya radikalisme di berbagai tempat, khususnya pendidikan agama. Tenaga pendidik yang
memberikan ajaran dengan cara yang salah dapat menimbulkan radikalisme di dalam diri seseorang.

Mengenal Radikalisme Agama


Dalam pengertian umum, radikal adalah kata sifat yang berarti aksi mencolok atau muncul
untuk menyerukan paham ekstrem agar diikuti oleh banyak orang. Sementara Radikalisme adalah
ideologi yang mempercayai perubahan menyeluruh hanya bisa dilakukan dengan cara radikal,
bukan dengan cara musyawarah, evaluasi dan damai.
Radikalisme secara historis berawal di ranah politik pada masa Revolusi Perancis tahun
1787 – 1789. Pengertian ini terus berkembang sehingga merangkul semua bidang termasuk
keagamaan (religious radical). Meski sudah tidak baru muncul, radikalisme keagamaan
menemukan kembali momentum sejak pertengahan 1980-an ketika berbagai agama mengalami
kebangkitan (religious revivalism) menantang modernitas dan sekularisme.

Situasi Radikalisme Agama Dewasa Ini


Realitas Radikalisme Agama di Indonesia kian hari semakin menggelisahkan, khususnya
pasca reformasi. Radikalisme Agama ditampilkan dalam tindakan tak manusiawi yang memilukan,
seperti kasus Bom Bali, tragedi Poso, Ambon, Sambas, Tolikara, dan seterusnya. Segala apa yang
jahat, seperti tindakan membunuh, menteror, membakar, memusnahkan sesama manusia itu
anehnya semua diatasnamakan agama. Hal yang sangat disayangkan lagi adalah bahwa ternyata
para tokoh, pelaksana, eksponen, pelaku kekerasan itu adalah orang – orang yang mengaku
beragama.
Menurut survey nasional yang diulas Detik.com pada Januari 2018, ada beberapa organisasi
radikal di Indonesia yaitu ISIS, Jamaah Islamiyah Al Qaedah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front
Pembela Islam (FPI), DI/NII, JAD, dan Laskar Jihad. Organisasi tersebut dikatakan radikal karena
menggunakan kekerasan dalam mewujudkan tujuan. Tidak hanya organisasi berbasis agama,
organisasi politik pun bisa menganut radikalisme.
Organisasi politik seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) diklasifikasikan sebagai
organisasi radikal oleh Husain Yatmono dalam tulisannya di Republika.co.id. Hal ini karena OPM
ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sama pula radikalnya
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang dahulu hendak mengubah ideologi Pancasila.
Radikalisme berbasis agama merupakan radikalisme paling berbahaya di Indonesia.
Cakupan radikalisme agama itu cakupannya melebihi batas kota, kabupaten, provinsi, pulau, dan
negara. Gerakan radikalisme agama tidak seperti OPM atau GAM yang lokasinya terbatas pada
wilayah geografistertentu. Radikalisme agama bisa tumbuh di mana saja termasuk dalam keluarga
dan institusi. Oleh karenanya, radikalisme agama itu sangat berbahaya.
Tentu kasus radikalisme agama pasti tidak asing di telinga orang Indonesia yang mayoritas
muslim ini. Gara-gara pemikiran radikal, ada kasus sekeluarga rela menjual seluruh hartanya untuk
jihad ke Suriah. Orang-orang yang menjual seluruh hartanya ini merupakan golongan radikal akut
yaitu ekstrimis.
Ekstrimis tidak peduli tentang apa yang akan terjadi nanti baik untuk dirinya maupun
keluarganya. Mereka serta merta percaya bahwa mereka melakukan tindakan yang terbaik bagi
agama mereka. Padahal multitafsir dalam agama itu ada. Mereka tidak mau membandingkan dan
mempelajarinya lebih jauh lagi.
Contohnya, seperti yang dijelaskan Nadirsyah Hosen metode tafsir dalam agama Islam itu
terdiri dari dua jenis yaitu tafsir bir riwayah dan tafsir bir ra’yi. Masing-masing tafsir memiliki
turunannya. Tafsir bir riwayah ada dua turunan, sedangkan tafsir bir ra’yi ada tiga turunan. Tidak
akan dijelaskan satu persatu karena hal yang ingin ditekankan adalah fakta bahwa orang bisa
menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai metode tafsir tersebut.
Adanya multitafsir tersebut juga merupakan pemicu radikalisme agama yang dapat
memecah belah keluarga harmonis. Baik adik, kakak, anak, ayah, ibu, suami, dan istri dapat
terpengaruh radikalisme agama. Satu saja anggota keluarga terpengaruh tafsir yang salah, sudah
cukup untuk menghancurkan satu keluarga.

Revitalisasi Nilai Sila Pertama dari Pancasila


Gerakan radikalisme agama bagaikan musuh dalam selimut. Hal ini dikarenakan dapat
membahayakan kehidupan berbangsa dan umat mayoritas itu sendiri seperti Islam. Dalam
kehidupan berbangsa dengan kekayaan budaya dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya
formalisasi agama. Sebagaimana diungkapkan cendikiawan Muslim Masdar Hilmy, agenda utama
pergerakan ini adalah mengganti Pancasila ideologi bangsa dengan ideologi yang bersumber kepada
hukum agama (shari’ah). Menolak Pancasila yang menjamin keberagaman identitas sebagai
kenyataan khas bumi Nusantara, kelompok ini memegang kuat-kuat kemutlakan kesamaan identitas
agama beserta penafsirannya, daripada keberagaman yang bermuara kepada penyangkalan sikap
toleran. Hasil penelitian Pusat Penelitian Alvara di bulan September-Oktober 2017 lalu yang
dibukukan dengan judul Radicalism Rising Among Educated People?, dalam pengantarnya
mengemukakan bahwa radikalisme agama yang berkembang secara global, terutama di Timur
Tengah bahkan di Indonesia adalah pandangan yang sempit keagamaan yang pada akhirnya
mengajarkan intoleransi dan kekerasan berbasis pada fanatisme agama.
Watak dasar radikalisme agama demikian sungguh bertolak belakang dengan Pancasila.
Khususnya Sila Pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia sebagai makhluk yang ada di
dunia ini seperti halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptaannya. Manusia sebagai makhluk
yang diciptakan wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks
bernegara, maka dalam masyarakat yang berdasarkan Pancasila, dengan sendirinya dijamin
kebebasan memeluk agama masing-masing. Sehubungan dengan agama itu perintah dari Tuhan dan
merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh
Tuhan, maka untuk menjamin kebebasan tersebut di dalam Pancasila seperti kita alami sekarang ini
tidak ada pemaksaan beragama, atau orang memeluk agama dalam suasana yang bebas, yang
mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat Pancasila dengan sendirinya agama dijamin
berkembang dan tumbuh subur dan konsekuensinya diwajibkan adanya toleransi beragama.
Jika ditilik secara historis, memang pemahaman kekuatan yang ada di luar diri manusia dan
di luar alam yang ada ini atau adanya sesuatu yang bersifat adikodrati (di atas / di luar yang kodrat)
dan yang transeden (yang mengatasi segala sesuatu) sudah dipahami oleh bangsa Indonesia sejak
dahulu. Sejak zaman nenek moyang sudah dikenal paham animisme, dinamisme, sampai paham
politheisme. Kekuatan ini terus saja berkembang di dunia sampai masuknya agama-agama Hindu,
Budha, Islam, Nasrani ke Indonesia, sehingga kesadaran akan monotheisme di masyarakat
Indonesia semakin kuat. Oleh karena itu tepatlah jika rumusan sila pertama Pancasila adalah
Ketahuan Yang Maha Esa.
Pengertian dari revitalisasi bisa berarti proses, cara dan atau perbuatan untuk menghidupkan
atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Sehingga secara umum pengertian
dari revitalisasi merupakan usaha – usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu
sekali. Dalam permasalahan paham Radikalisme Agama tadi, bisa dilihat bagaimana dinamika
kehidupan masyarakat yang menganut agama yang berbeda. Keinginan untuk menunjukkan agama
diri sendiri paling benar, justru didorong juga dengan tindakan – tindakan kekerasan ataupun
esktrem lainnya. Namun di Indonesia sebagai pondasi dan jiwa yang mendasari bangunan bangsa
dan negeri ini, kehadiran Pancasila pertama-tama justru melindungi dan menjamin keberagaman
identitas primordial masyarakat bangsa Indonesia. Dalam arti itu, Pancasila menuntun bangsa ini
untuk bersikap inklusif, moderat dalam menampilkan identitas kesukuan dan keagamaan kita,
toleran dan gotong royong sebagai kepribadian khas bangsa Indonesia yang takdirnya adalah
majemuk. Oleh Pancasila, keberagaman tidak dibungkan dan disamakan, melainkan dibiarkan
hidup berkembang. Hal itu terlihat nyata pada kebijakan negara yang menjamin hak beragama dan
beribadah setiap warganya sesuai dengan nilai agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan
apapun latar belakang primordial warga bangsa ini, setiap orang memiliki kesetaraan di hak dan
kewajiban dihadapan hukum negara.

Kesimpulan
Gagasan kebersamaan, kebangsaan, keadilan, dan kesejahteraan menjadi idaman rakyat dan
tujuan negara ini. Segala perbedaan sosial diakomodasikan secara mengagumkan dalam Pancasila,
sehingga inilah letak keunggulan Pancasila sebagai landasan ideologi bagi kehidupan bangsa dan
bernegara. Telah diletakkan dalam Pancasila, bahwa negara Indonesia dalam dimensi kehidupannya
dipersatukan oleh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Radikalisme Agama, sila pertama dari Pancasila dan Pancasila itu sendiri adalah nilai
nilai anti-Radikalisme. Gerakan mendasarkan diri atas agama tertentu yang dilakukan dengan cara
radikal sebenarnya adalah penolakan atas nilai – nilai Pancasila.
Agama merupakan salah satu akar dari Radikalisme. Namun, agama pula yang dapat
menangkal radikalisme. Hanya saja seseorang atau manusia harus pintar dalam memilih dan
memilah ajaran agama yang tidak bertentangan dengan Pancasila atau dasar negara. Paling tidak
orang yang ingin menangkal radikalisme melalui agama harus memahami radikalisme dan agama
itu sendiri terlebih dahulu.
Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebeneran. Ambil pandangan kebaikan dan
kebenaran yang dapat diaplikasikan atau diwujudkan dengan kondisi sosial dan kebudayaan
masayarakat suatu negara khususnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.
DEWANTARA, A. W. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM
PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI
NASIONALISME INDONESIA (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Iskandar,dkk.1997.Pancasila.Yogyakarta: Yayasan Penerbit FKIS-IKIP
Isis.1980.Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(Ekaprasetya Pancakarsa).Yogyakarta:
IKIP Yogyakarta
Rukiyati, dkk.2008.Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press
Ali, Hasanudin & Lilik Purwandi, Radicalism Rising Among Educated People?, Jakarta: Alvara
Research Institute, Juni 2018.
Hikam, Muhammad A.S., “Deradikalisasi Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisme”,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.
http://kuliahade.wordpress.com
http://ari_zulaicha-fisip12.web.unair.ac.id
http://www.facebook.com/topic.php?uid=104604209740&topic=8690, diakses hari Rabu, 13
Oktober 2010 pukul 12.17 WIB
http://graha.students-blog.undip.ac.id/2009/06/12/makna-sils-pancasila/, diakses hari Rabu, 13
Oktober 2010 pukul 12.18 WIB
http://www.scribd.com/doc/38734254/makna-sila, diakses hari Kamis, 14 Oktober 2010 pukul 9.48
WIB

Anda mungkin juga menyukai