Anda di halaman 1dari 8

PERAN AGAMA DALAM MELAWAN RADIKALISME

I. Pengertian Radikalisme

Radikalisme adalah sebuah kelompok atau gerakan politik yang kendur dengan tujuan mencapai
kemerdekaan atau pembaruan electoral yang mencakup mereka yang berusaha mencapai
republikanisme, penghapusan gelar, redistribusi hak milik dan kebebasan pers, dan dihubungkan
dengan perkembangan liberalisme.

II. Gerakan radikalisme di Indonesia

Jika dilihat dari letak Indonesia yang strategis dan merupakan kumpulan dari pulau-
pulau,Indonesia sering dilewati oleh negara lain. Baik sebagai tempat transit atau berhenti
dengan berbagai tujuan. Selain itu, Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa dan
budaya sehingga radikalisme mudah masuk ke Indonesia. Baik melalui jalur darat,udara maupun
laut bahkan karena luasnya Indonesia, banyak wilayah yang belum terjangkau oleh aparatur
negara. Di Indonesia, aksi kekerasan yang terjadi banyak dilakukan sekelompok orang yang
mengatasnamakan agama tertentu.

Contoh radikalisme yang sering mucul adalah di agama islam Radikalisme agama yang
dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang. Gerakan ini
telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai akar gerakan
Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an (tepatnya 1949). Darul
Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan
misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan DI ini berhenti setelah
semua pimpinannya atau terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun demikian, bukan berarti
gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam
garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh Warsidi
dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya.

Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras
tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran
politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada
awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang
sangat penting bagi gerakan Islam garis keras. Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang
dilakukan oleh sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai
biang radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan
peradaban manusia.

Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap komunisme di
Indonesia. Selain itu, perlawanan mereka terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal
dalam politik. Bagi Kaum radikalis agama sistem demokrasi pancasila itu dianggap haram
hukumnya dan pemerintah di dalamnya adalah kafir taghut (istilah bahasa arab merujuk pada
“setan”), begitu pula masyarakat sipil yang bukan termasuk golongan mereka. Oleh sebab itu
bersama kelompoknya, kaum ini menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi dalam
kehidupan bernegara.1

Ada 3 kelompok kekuatan yang mendukung formalisasi syariah: Salafi-Wahabi, Ikhwanul


Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang memengaruhi mahasiswa-mahasiswa dari berbagai belahan
dunia yang belajar di Timur Tengah, khususnya Mesir, Saudi Arabia dan Syiria. Bedanya, kalau
Salafi-Wahaby cenderung ke masalah ibadah formal yang berusaha “meluruskan” orang Islam.
Ikhwan bergerak lewat gerakan usroh yang beranggotakan 7-10 orang dengan satu amir. Mereka
hidup sebagaimana layaknya keluarga di mana amir bertanggungjawab terhadap kebutuhan
anggota usrohnya. Kelompok ini menamakan diri kelompok Tarbiyah yang merupakan cikal
bakal PKS

HT punya konstitusi yang terdiri dari 187 pasal. Di dalamnya ada program jangka pendek dan
jangka panjang. Di sana ditulis, dalam jangka 13 tahun sejak berdirinya (1953), Negara Arab
sudah harus menjalankan sistem Khilafah Islamiyah. TN juga menargetkan, dalam 30 tahun
dunia Islam sudah harus punya khalifah. Ini semua tidak terbukti.

HT masuk Indonesia melalui orang Libanon, Abdurrahman Al-Baghdadi. Ia bermukim di Jakarta


pada tahun 1980-an atas ajakan KH. Abdullah bin Nuh dari Cianjur. Sebelumnya KH. Abdullah
bin Nuh bertemu aktifis HT di Australia dan mulai menunjukkan ketertarikannya pada ide-ide

1
Natamarga., Rimbun, Wahabi di Arus Radikalisme Islam di Indonesia (Bandung : 2013), hlm 06-07
persatuan umat Islam dan Khilafah Islamiyah. Puteranya, Mustofa bin Abdullah bin Nuh lulusan
Yordania kemudian juga ikut andil menyebarluaskan paham HT di wilayah Jawa Barat dan
Banten didukung oleh saudara-saudara dan kerabatnya.

III. radikalisme agama bisa berbahaya bagi kehidupan masyarakat yang plural di Indonesia.
Tetapi apakah radikalisme kemudian dianggap sebagai satu-satunya pemicu rusaknya
pluralisme di Indonesia?

Radikalisme dengan menggunakan simbol agama tertentu memang dapat mengancam


keharmonisan hidup bermasyarakat yang plural di Indonesia. Namun, itu bukan satu-satunya
yang menghancurkan kehidupan pluralisme di Indonesia, Mengikuti hukum Newton ketiga
tentang aksi-reaksi, maka kehidupan beragama di Indonesia pun diwarnai oleh aksi reaksi.

Maraknya pengrusakan tempat ibadah, yang kemudian diikuti dengan penutupan dan pencabutan
izin sejumlah gereja di Indonesia menjadi sebuah fenomena tentang aksi reaksi yang perlu
dipahami lebih jauh.

Satu sisi hal ini dapat dipandang sebagai bentuk aksi radikal dari kelompok Islam militan di
negara ini terhadap umat Kristiani. Namun, di sisi lain hal ini juga dapat dipandang sebagai
adanya kekhawatiran akan peningkatan jumlah umat Kristiani di Indonesia yang diikuti dengan
pertambahan jumlah gereja yang sangat beragam denominasi dan afiliasinya.

Menurut data Biro Pusat Statistik pada tahun 2005, agama Islam di Indonesia tetap merupakan
agama dengan jumlah pemeluk terbesar, yaitu sekitar 87.2 persen dari jumlah penduduk, dan
diikuti dengan pemeluk agama Kristen/Katolik sebanyak 9.5 persen. Meskipun jumlah tersebut
terbilang kecil, namun sesungguhnya jumlah penduduk beragama Kristen/Katolik tersebut
mengalami peningkatan yang pesat dari yang sebelumnya hanya 2.8 persen pada tahun 1933,
menjadi 7.3 persen pada tahun 1971, dan 8.92 persen pada tahun 2000.[1]

Menariknya, peningkatan jumlah gereja di Indonesia bukan saja dianggap sebagai ancaman bagi
kelompok yang berbeda agama, tetapi juga ancaman bagi umat Kristiani itu sendiri. Sehingga
muncul istilah “rebutan jemaat” atau “rebutan persembahan” di kalangan para pelayan gereja.

Pemerintah Indonesia melalui UUD 1945 dan turunannya seperti UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan HAM, UU No. 39/2009 tentang HAM dan UU No. 12/2006 tentang pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights dengan tegas menjamin kebebasan
beragama dan kemerdekaan beribadah bagi pemeluk agama yang diakui oleh pemerintah,
termasuk juga pembangunan rumah-rumah ibadah.

Sejumlah besar kasus pengrusakan dan penutupan gereja di Indonesia dapat menjadi pelajaran
bagi pemerintah, PGI dan khususnya umat Kristiani di Indonesia.

Pertambahan jumlah umat Kristiani di Indonesia memang sewajarnya diikuti dengan peningkatan
jumlah gereja di Indonesia.

Namun dalam hal ini, pemerintah dan PGI perlu memikirkan sebuah mekanisme yang tepat –
bukan menyulitkan namun juga tidak membiarkan – tentang pembangunan rumah ibadah yang
tidak menjadi ancaman baik bagi kelompok agama lainnya maupun kelompok umat Kristiani itu
sendiri.

Dengan demikian kehadiran umat Kristiani dan tempat ibadahnya akan dirasakan positif dan
dinikmati oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.

IV. Pengertian Radikalisme Agama


 Menurut agama islam

Gerakan radikalisme agama bagaikan musuh dalam selimut. Hal itu dikarenakan dapat
membahayakan kehidupan berbangsa dan umat Islam sendiri. Dalam kehidupan berbangsa
kekayaan budaya dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya formalisasi agama. Bagi Islam
sendiri, hal tersebut berarti penyempitan pemahaman agama Islam yang Lilahitaa’la.

Hadirnya semangat menjadikan Islam sebagai agama sekaligus negara kembali merisaukan
belakangan ini. Gerakan yang lebih dikenal dengan gerakan radikalisme agama mulai
menemukan caranya dalam menyebarkan ajarannya. Gerakan ini dikatakan radikal karena lebih
mengedepankan pemahaman literal terhadap teks dan cenderung mudah menggunakan kekerasan
dalam memaksakan pemahaman mereka. Bila dahulu gerakan radikalisme agama dalam
menyampaikan ajarannya hanya melalui jalan revolusioner, seperti Jamaah Islamiyah dengan
bom bunuh dirinya, dan terbukti gagal maka sekarang turut menggunakan cara baru yaitu jalan
evolusioner.
Boleh jadi munculnya gagasan mengubah Islam kedalam negara disebabkan oleh semangat
berlebihan tanpa dibarengi pengetahuan agama yang memadai. Berawal dari situ maka munculah
klaim kebenaran tunggal untuk menghindari pemahaman lain yang berseberangan. Pandangan
yang berbeda atau bersebrangan harus diberangus dan dianggap sesat. Selanjutnya agama
dijadikan dalih terhadap pemahaman literal mereka sehingga tanpa mereka sadari apa yang
mereka perjuangkan adalah ideologi mereka dan bukan islam itu sendiri.

Karena itu alasan utama menolak radikalisme agama ialah untuk mengembalikan wajah Islam
yang penuh rahmat sekaligus menyelamatkan NKRI dari keterpecah belahan. Seluruh
masyarakat Indonesia perlu bersama mewujudkan islam yang lebih moderat dan akomodatif
terhadap kekayaan budaya nusantara. Islam yang terbuka dan tidak meneriakkan kekerasan
adalah kunci perdamaian di Indonesia sehingga gerakan radikalisme agama yang sekedar
menekankan sisi luar dari Islam tidak akan pernah menemukan relevansinya di negeri ini

 Menurut agama Kristen

Radikalisme berasal dari bahasa Latin, “radix, radicis”, yang berarti akar. Oleh karena itu, istilah
radikal berbicara tentang sesuatu yang mendasar ‘mengakar’ dan bersifat prinsip. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras
menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Jika dilihat dari arti katanya,
radikal tidak identik dengan kekerasan atau kelompok agama tertentu dan tidak selalu berarti
negatif.

Radikal menjadi negatif ketika bersanding dengan kekerasan (menggunakan cara-cara kekerasan
dalam mencapai tujuan tertentu, misalnya: negara agama) yang gejala atau bentuknya terlihat
dalam realitas sosial. Misalnya peristiwa yang terjadi di Ambon beberapa tahun yang lalu. Pdt.
Joas Adiprasetya dalam tulisannya mengenai Martir, menuturkan hasil penelitian Sukidi
Mulyadi, seorang intelektual Muslim Indonesia. Ia meneliti lagu “Laskar Kristen Maju” dalam
studi perbandingan yang dilakukan antara Laskar Jihad dan Laskar Kristus di Ambon. Ternyata
lagu tersebut disalahgunakan oleh prajurit-prajurit Laskar Kristus dan orang-orang Kristen secara
umum untuk mendukung tindakan- tindakan kekerasan melawan Muslim di Ambon. Dalam
perang salib yang berlangsung selama 2 abad antara Islam dan Kristen, juga terdapat radikalisme
keagamaan yang bersanding dengan kekerasan. Sikap radikal menjadi berbahaya dan bersifat
negatif ketika berujung pada terorisme, kekerasan dan intoleran terhadap mereka yang dipandang
berbeda.

Apakah tidak ada sikap radikal yang positif? Ada! Hal ini yang diangkat oleh R. T. France dalam
bukunya Yesus Sang Radikal. Letak ke-radikal- an Yesus terletak pada kecintaan-Nya kepada
Allah yang diungkapkan melalui pemaknaan baru terhadap Taurat, kesetiaan-Nya, pengajaran-
Nya mengenai cinta kasih dan upaya- Nya menghadirkan kerajaan Allah. Catatannya adalah itu
semua dilakukan tanpa kekerasan melainkan dalam kasih yang berujung pada penderitaan
bahkan kematian.

Jadi apakah kita boleh memiliki sikap radikal? Tergantung radikal seperti apa yang kita pahami.
Ketika radikal dalam arti upaya mengikut Tuhan, kesediaan menahan nafsu/ keinginan diri
sendiri (menyangkal diri), memikul salib dan mengikut Dia (menyelami pemikiran Allah),
bukankah ini yang memang dituntut dari seorang pengikut Kristus? Seorang pengikut dipanggil
untuk melakukan kehendak Allah dan menyatakan tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah dunia
dalam keutuhan hidup (bukan hanya di gereja). Ini sikap radikal yang bersifat positif karena
menuntut ke dalam diri sebagai seorang pengikut Kristus. Lain halnya dengan radikal yang
sifatnya memerangi, memusuhi, melukai dan melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka
yang berbeda. Ini sangat bertolak belakang dengan panggilan Allah bagi kita.

Gregorius dari Nazianzus mendefinisikan martir sebagai sebutan bagi seseorang yang
diperhadapkan antara kematian atau iman pada Kristus. Seorang martir adalah orang yang penuh
ketaatan meniru Kristus dengan cinta kasih-Nya yang berujung pada penderitaan bahkan
kematian. Maka martir bukan sebutan yang diberikan bagi seseorang yang mati karena
melakukan kekerasan, perang dan bermusuhan dengan orang yang berbeda pandangan dengan
kita.

Itu sebabnya dalam diri kita seharusnya selalu ada kerinduan untuk semakin mengenal dan
meneladani Kristus dalam seluruh hidup kita. Seperti yang dirindukan oleh Rasul Paulus dan
dituliskan dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan
kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa
dengan Dia dalam kematian-Nya.” (Flp 3:10). Jadilah Kristen yang radikal dengan meneladani
Yesus Sang Radikal, tanpa kekerasan.
V. Mencegah radikalisme dan terorisme
 Memperkenalkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar
 Memahamkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar
 Meminimalisir Kesenjangan Sosial
 Menjaga Persatuan Dan Kesatuan
 Mendukung Aksi Perdamaian
 Berperan Aktif Dalam Melaporkan Radikalisme Dan Terorisme
 Meningkatkan Pemahaman Akan Hidup Kebersamaan
 Menyaring Informasi Yang Didapatkan
 Ikut Aktif Mensosialisasikan Radikalisme Dan Terorisme
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/search?q=cara+mencegah+radikalisme&oq=cara+mencegah+radik&aq
s=chrome.0.0j69i57j0l6.7111j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8

https://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme

http://gkiperniagaan.org/radikalisme/

http://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/Akar-Sejarah-Gerakan-Radikalisme-di-
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai