Anda di halaman 1dari 8

Lisa Afsari Putri A.

| Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

Pancasila sebagai Dasar Penolakan Gerakan Radikalisme Agama di


Indonesia dan Efeknya bagi Persatuan dan Kesatuan Negara Indonesia

Abstract

Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan ancaman radikalisme


Radikalisme adalah paham yang menghendaki perubahan secara drastis. Gerakan radikalisme
muncul melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang dihadapi oleh seluruh lapisan
masyarakat Indonesia. Dalam lingkup kelompok keagamaaan, radikalisme merupakan
gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merobak secara total tatanan social dan politik
yang ada dengan menggunakan jalan kekerasan. Gerakan radikalisme ditandai dengan
berbagai aksi kekerasan dan teror. Gerakan radikalisme dengan menggunakan teror bom dan
kekerasan tentu saja menggelisahkan masyarakat sekitar dan tak ketinggalan kejadian ini
memicu keretakan persatuan dan kesatuan Indonesia.Pandangan masyarakat yang positif
terhadap peristiwa tersebut menjadi sebuah indikasi bahwa gerakan radikalisme sesungguhnya
mulai menyebar ditengah kehidupan masyarakat. Pancasila sebagai dasar Negara memiliki
peranan amat penting untuk memerangi gerakan radikalisme ini dimana Indoensia sendiri
mengatur kebebasan untuk beragama.

Keyword: radikalisme agama, pancasila, persatuaan dan kesatuan

Pendahuluan

Radikalisme secara etimologis berasal dari bahasa latin “radix” yang berarti akar.
Gerakan radikalisme dengan demikian dapat diartikan atau dipahami sebagai gerakan yang
menginginkan pembahauan dengan mengembalikan diri mereka ke “akar” secara ekstrim. Inti
dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang
menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan.
Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan
cara apapun agar keinginan tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan
mereka. walaupun pada dasarnya gerakan radikalisme adalah masalah politik namun di
Indonesia radikalisme menyangkut tentang persoalan agama.

Belakangan ini gerakan radikalisme agama di Indonesia semakin menggelisahkan,


seperti yang kita lihat tahun lalu adanya kasus bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katolik
Surabaya. Kejadian tersebut lantas menggemparkan masyarakat dimana manusia dengan
kejinya membunuh orang yang tidak bersalah dengan cara yang tergolong sangat ekstrim
sekali. Dilansir dari hasil wawancara maupun ulasan di media massa bahwa pengeboman
tersebut dilakukan dengan menggunakan motivasi agama dengan maksud ingin mendirikan
1
Lisa Afsari Putri A. | Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

ataupun menjadikan negara ini menjadi negara islam atau khalifah. Kemudian untuk
mensukseskan rencana tersebut lantas menyingkirkan bahkan memusnahkan orang-orang
diluar golongan yang mereka anggap kafir dengan cara seperti demikian.

Bila melihat lagi kebelakang sesungguhnya jauh sebelum kejadian tersebut gerakan
radikalisme sesungguhnya sudah ada sejak masa sesudah reformasi. Radikalisme agama
ditampilkan dalam tindakan yang sangat tak manusiawi seperti bom Bali, tragedi Poso,
Ambon, Sambas dst. Anehnya adalah semua tindakan yang menyakiti, membunuh,
memusnahkan manusia tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan agama dan parahnya
yang menggerakkan adalah orang-orang yang mengaku beragama. Sungguhkan beragama bila
dilihat dari tindakan mereka?tentu saja tidak. Mereka mengaku beragama namun tindakan
mereka justru mencerminkan seorang yang tidak beragama, dengan demikian yang terlihat
hanyalah agama dijadikan embel-embel yang tidak ada gunanya. Pemahaman yang salah
tentang agama seperti demikian merupakan sebuah kesalahpahaman yang amat besar. Apakah
benar bahwa agama mengajarkan yang namanya kekerasan?, apakah benar agama
mengajarkan untuk menyakiti sesama yang tidak sejalan dengan agama tersebut?jawabannya
tentu saja tidak.

Pada hakikatnya agama merupakan sarana ataupun jalan bagi manusia untuk mengenal
Sang Pencipta. Semua agama tentu saja mengarah kepada satu-satunya “Sang” yang disebut
Tuhan yang tidak tertandingin oleh apapun dan berkuasa atas segala-galanya Tuhan hanya
satu namun cara mengenalnya yang berbeda, disitulah muncul agama-agama yang
mengajarkan bagaimana dapat menemukan Tuhan dan tentu saja bukan dengan cara
kekerasan atau lain sebagainya. Pengaburan paham tentang agama ini kemudian mengarah
pada keratakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang merupakan negara
multikultural. Seperti yang kita tahu bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang
terdapat berbagai keragaman. Ada keragaman sosial,etnis,budaya dan agama sehingga secara
sederhana dapat dikatakan bahwa negara Indonesia sebagai negara multikultural. Ditengah
negara yang multikultural ini apabila terjadi kesalahpahaman ataupun ada pihak-pihak yang
ingin menseragamkan salah satu aspek keberagaman, agama misalkan maka dengan mudah
terjadi perpecahan. Rendahnya kesadaran rakyat Indonesia tentang bentuk negara yang
multikultural menjadi pengacu terbesar keretakan tersebut.

Namun Indonesia sangat beruntung memiliki dasar negara pancasila yang sangat
menjunjung tinggi keberagaman dan kesederajatan di negara Indonesia yang multikultural ini.

2
Lisa Afsari Putri A. | Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

Para pendiri bangsa yang ikut serta dalam pembentukan pancasila sadar betul akan keragaman
yang dimiliki bangsa Indonesia ini maka para pendiri bangsa ini memikirkan dengan betul isi
dari pada setiap butir pancasila yang mencerminkan ciri khas bangsa dan nilai-nilai yang
mendukung persatuan negara multikultural ini. Setiap butir dalam pancasila mengandung
makna yang begitu mendalam untuk keberagaman dan untuk hubungan social dengan sesama.
Terlebih dalam sila pertama yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini memberikan
kebebasan sebebas-bebasnya untuk warga negaranya dalam menentukan agama yang
dianutnya. Maka dalam kondisi sekarang ini, dimana gerakan radikalisme semakin
mengkhawatirkan, pancasila menjadi dasar untuk menolak paham ataupun aliran tersebut dan
juga selain dari pada menolak pancasila juga merupakan alat penjaga persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia.

Radikalisme Agama di Indonesia sebagai Gerakan Konfrontasi Membela Tuhan

Belakangan ini kiranya kita dengar dari media massa ataupun siaran berita di televisi
yang memberitakan tentang ormas HTI1 yang ingin mendirikan negara bedasarkan syariat
islam ataupun juga kita dengar tentang bagaimana pemuka agama bergaris keras memberikan
dakwah yang berisikan perbandingan agama yang begitu mencolok misalkan saja ungkapan
dari Habib Rizieq Hyihab yang berbunyi:

“Sekali lagi saya tegaskan bahwa orang kafir HARAM menjadi Kepala
Daerah di wilayah mayoritas muslim, apalagi jadi Kepala Negara di negeri
mayoritas muslim. Ini ketentuan AYAT SUCI yang tidak bisa ditawar. Dan
AYAT SUCI lebih tinggi daripada KONSTITUSI.”

Konsep pemikiran seperti itu menjadi salah satu bentuk radikalisme agama belakangan
ini dan memberi kesan bahwa manusia begitu membela Tuhan dan Agamanya bukan
mengimani Tuhan dan menerapkan ajaran-Nya.

Ketika seseorang telah memilih agamanya sendiri maka dengan sendirinya dalam diri
mereka akan muncul keinginan untuk mencari pengetahuan akan Tuhan dan membuat mereka
lambat laun menjadi radikal terhadap agama yang dianutnya tersebut. Bagus memang bila
manusia sungguh mendalami apa yang diimani untuk menemukan Sang Ilahi dan juga boleh
atau sah-sah saja serta menjadi hal yang sangat wajar sekali bila kita mengagumi-dengan

1
HTI (Hizb ut-Tahrir) adalah organisasi politik yang menggadang “ideologinya sebagai ideologi islam” yang
tujuannya membentuk “khalifah islam” atau negara islam. Organisasi ini telah dibubarkan namun efeknya
masih ada sampai dengan sekarang. https://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir

3
Lisa Afsari Putri A. | Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

wajar-agama yang kita anut sebagai apresiasi karena agama tersebut telah mengubah dan
mengarahkan kita untuk hidup lebih baik. Namun hal tersebut menjadi negatif bila
pendalaman agama yang sesungguhnya untuk menemukan Tuhan kemudian memunculkan
sikap fanatisme yang mengarah pada hal negatif, apologisme bahkan terorisme. Jika
pengetahuan akan Tuhan justru dipakai sebagai modal untuk menghancurkan penganut agama
lain yang menemukan Tuhan dengan cara yang berbeda dengan caranya maka pengetahuan
tersebut menjadi sebuah kesalahan besar.

Gerakan radikalisme sekarang ini terlihat sebagai gerakan untuk membela agama dan
Tuhan-Nya bukanlah hal yang penting dan mendasar dalam hidup beragama sesungguhnya.
Wilson dalam Against Religion Why Should Try to Live Without It (1990) mengatakan “kalau
agama itu benar, tetapi tidak mampu mempengaruhi tingkah laku para pemeluknya, lalu
bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar tetapi
tidak mampu mempengaruhi watak penganutnya menuju keberadaban?. Dari pernyataan ini
dapat dipahami bahwa seorang yang mengatakan agamanya paling benar dan melalukan
tindakan-tindakan ekstrim sebagai bentuk pembelaan atas agama dan Tuhan-Nya adalah
orang yang salah dalam memahami arti agamanya. Gerakan radikalisme agama sesungguhnya
tergantung pada pemahaman manusia mengenai makna dan kodrat agama. Agama
memberikan pemaknaan atas hidup manusia bukan sebagai “Maha Agung” yang patut dibela,
bahkan sesungguhnya Tuhan sekalipun tidak membutuhkan pembelaan dari manusia-manusia
fana sebab Tuhan sendiri telah sempurna adanya. Tuhan hanya menghendaki manusia
mengenalnya dan berlaku baik seperti-Nya. Tuhan tidak membutuhkan persembahan juga
tidak dengan semua kurban bakaran hanya cinta yang Tuhan inginkan di mana setiap manusia
memiliki cinta dalam dirinya seperti ungkapan Ubi caritas deus ibi est (di mana ada cinta, di
situ Tuhan hadir). Praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama dan Tuhan tentu tidak
mencerminkan kehadiran Tuhan dalam hidup, lalu ketika beragama namun tidak
menghadirkan Tuhan lalu apa gunanya. Agama tentu saja mengarahkan manusia kepada
kebaikan bukan pada kelalaian maka kita ini sebagai orang beriman tidak perlu
mempermasalahkan agama yang sudah baik tetapi lebih mementingkan bagaiman kita
menjadi baik dari agama yang baik tersebut yang mengarahkan dan mengajarkan kita
menemukan Tuhan dan melaksanakan apa yang baik dalam hidup keseharian kita. Jangan
sampai agama yang sesungguhnya baik menjadi jahat atas ulah kita yang tidak
bertanggungjawab.

4
Lisa Afsari Putri A. | Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

Pancasila sebagai Dasar Menolak Radikalisme Agama Di Indonesia

Sejarah mengatakan bahwa perumusan pancasila sebagai dasar negara Indonesia


membutuhkan waktu yang lama dengan begitu banyak pertimbangan dari para pendirinya.
Setiap butir dari pancasila sangat diperhitungkan sebab butir-butir tersebut yang menentukan
bangsa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia kedepannya yang memiliki begitu banyak
perbedaan. Untuk mensukseskan berdirinya pancasila ini dibentuklah panitia sembilan yang
membahas berbagai masukan untuk tiap-tiap butir nilai dalam pancasila. Panitia ini kemudian
menghasilkan yang namanya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang didalamnya berisi
kelima sila dalam pancasila yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dan Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Piagam ini tidak langsung
mendapat persetujuan dari semua kalangan, sejarah mencatat bahwa pihak non-muslim dan
masyarakat Indonesia dari bagian Indonesia Timur menolak bunyi dari sila pertama yang
mengatakan “kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” dan mengusulkan
dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengingat di Indonesia memiliki ragam agama. Demi
mengakomodasi semua pihak yang nantinya hidup bersama di negara merdeka maka usulan
tersebut diterima dan digunakan sampai dengan sekarang ini. Dari awal berdirinya negara ini
sudah banyak terjadi kontrovensi tentang kaum-kaum yang hendak membentuk negara atas
dasar agama namun dengan keras Seokarna menegaskan melalui pidatonya bahwa:

“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya.


Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat
Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat
Indonesia, semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga,
dan yang tiga menjadi satu maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia
yang tulen yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara yang kita dirikan
haruslah negara gotong-royong!”(Sekretariat Negara Republik
Indonesia,1995:82)

Sudah jelas sekali dalam pidato Soekarno diatas bahwa bangsa Indonesia tidak pernah
mengakui yang namanya negara bedasarkan agama maupun golongan tertentu. Sebagai
pendiri Soekarno sendiri tidak menyetujui bahwa bangsa Indonesia ini digolong-golongan

5
Lisa Afsari Putri A. | Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

ataupun dikelompok-kelompok bedasarkan kepentingan tertentu. Yang dikehendaki Soekarna


ialah terwujudnya “Indonesia bagi semua” maka semestinya semua warga harus merasa
sebagai orang Indonesia yang memiliki kewajiban dan bertanggungjawab penuh untuk
membangun Indonesia yang sama.

Melihat dari fenomenologi saat ini tentu saja sangat menyeleweng dari harapan dan
cita-cita yang dibangun oleh para pendiri untuk bangsa Indonesia ini. Para pendiri bangsa saja
menolak keras adanya kegiatan agamis dan kekuatan nasional lalu kenapa kita yang bukan
termasuk dalam pendiri merusak apa yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri. Mestinya
kita bersyukur bahwa dengan pemikiran para pendiri yang sedemikian rupa membuat bangsa
kita ini tetap utuh sampai saat ini. Bahkan dengan kebijakan seperti ini justru memperkaya
bangsa ini dengan budaya dan keragaman yang dimilikinya. Bisa kita lihat bahwa di dunia ini
tidak ada negara selain Indonesia yang memiliki banyak sekali budaya yang berbeda-beda
antara daerah satu dan yang lainnya. Tidak ada negara yang memiliki keberagaman agama
sebanyak Indonesia. Bangsa Indonesia semestinya patut berbangga bahwa ia berhasil
merangkul ke-enam agama dunia dalam satu negara, Indonesia harusnya menjadi contoh yang
baik dalam hidup rukun ditengah keberagaman. Banyak negara di luar sana yang walaupun
mereka memiliki paham yang sama namun tetap mengalami peperangan, Indonesia yang
banyak ragam tapi tidak ada peperangan mestinya patut untuk dipertahankan.

Pancasila sebagai Persatuan dan Kesatuan Negara Indonesia

Pancasila sebagai dasar negara yang dibangun sedemikian rupa oleh bapak pendiri
bangsa merupakan gagasan kebersamaan, kebangsaan, keadilan, dan kesejahteraan. Pancasila
merupakan usaha keras para pendiri bangsa khususnya Seokarno untuk mendamaikan
perbedaan yang ada. Segala perbedaan social diakomodasi secara gamblang dalam pancasila,
oleh karena itu pancasila menjadi alat paling ampuh untuk mempersatukan bangsa Indonesia
dengan mengunakan nilai-nilainya yang menjurus kepada gerakan anti-radikalismenya.
Pancasila adalah landasan untuk Indonesia menjadi negara yang satu kesatuan dalam tujuan
yang sama. Masalah gerakan radikalisme agama yang sekarang ini sedang marak terjadi
sesungguhnya bukan sebuah gaya hidup bangsa Indonesia. Perlu dipahami bahwa gerakan
radikalisme sesungguhnya bukan berasal dari Indonesia sendiri, gerakan ini merupakan
bentuk pemanfaatan pihak lain terutama kelompok ekstrim yang keberadaannya masih kecil
namun suaranya sangat berisik dan mempengaruhi pembesar agama untuk meyakini ajaran
tersebut yang sama sekali jauh berbeda dengan budaya dan tradisi bangsa Indonesia.

6
Lisa Afsari Putri A. | Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

Sila ketuhanan “keimanan dan ketaqwaan” kepada Tuhan Yang Maha Esa
menggambarkan bahwa setiap warga negara Indonesia diberi kebebasan untuk memeluk
agama. Selain daripada itu sila-sila dalam pancasila lainnya yaitu, nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan, kerakyatan, dan keadilan social menggambarkan keharuskan bagi
rakyat Indonesia untuk senantiasa bertoleransi terhadap perbedaan agama ataupun berbedaan
yang lain. Bila saja nilai dari kelima sila pancasila itu dipahami,dihayati dan diamalkan secara
konsisten maka akan menghasilkan buah yang baik yaitu buah persahabatan, persaudaraan,
saling mengisi satu dengan yang lain.

Kesimpulan

Pembaharuan agama untuk kembali ke akar adalah hak setiap penganut agama, tetapi
tentu akan menimbulkan masalah ketika gerakan kembali ke akar dimengerti sebagai
penegakan hukum agama tertentu dan penakhlukan agama lain ditengah bangsa Indonesia
yang majemuk dan ber-pancasila ini. Pembaharuan agama ataupun gerakan radikalisme
sekarang ini kiranya tidak membawa pengaruh negatif bagi masyarakat Indonesia. Dengan
keyakinan bahwa agama mengajarkan hal yang baik kiranya masyarakat Indonesia selalu
digerakkan untuk hidup rukun dan damai dan tak ketinggalan selalu menjaga satu sama lain
dari ancaman gerakan radikalisme yang ada. Apabila sikap toleransi dimiliki sebagian besar
bahkan keseluruhan masyarakat Indonesia maka dengan toleransi tersebut akan menutup
kembali pintu radikalisme yang kini tengah terbuka di negara Indonesia. Kita, masyarakat
Indonesia adalah masyarakat ber-Tuhan maka setiap pribadi sadar diri untuk senantiasa
memperjuangkan persatuan dan kesatuan sbeagai wujud dari iman yang menghantarkan
pribadi manusia menjadi lebih baik.

7
Lisa Afsari Putri A. | Kewarganegaraan |STKIP Widya Yuwana Madiun

DAFTAR PUSTAKA

Dewantara Agustinus,W. S.S,M.Hum, “Pancasila dan Mutikulturalisme Indonesia”,Diktat


Kewarganegaraan,20 Januari 2018,hal 72-77.

Dewantara Agustinus,W. S.S,M.Hum, “Radikalisme Agama: Gerakan Membela


Tuhan?”,Diktat Kewarganegaraan,20 Januari 2018,hal 93-97.

Dewantara Agustinus,W. S.S,M.Hum, “Pancasila sebagai Dasar Menolak Radikalisme


Agama di Indonesia”,Diktat Kewarganegaraan,20 Januari 2018,hal 97-99.

https://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

DEWANTARA, A. W. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM


PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI NASIONALISME
INDONESIA (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Anda mungkin juga menyukai