Anda di halaman 1dari 15

RADIKALISME AGAMA DALAM PRESPEKTIF ISLAM

Nama : Kanun Khafidzt Faathonah Toreh


Kelas : Akhwal Al-Syaksyiah 1 A (As 1 A)
Nim : 20211028

A. Deskripsi Singkat
Mencuatnya fenomena ISIS di berbagai negara, termasuk indonesia, memunculkan
kembali perbincangan kajian-kajian radikalisme agama. Tulisan ini mengkaji gerakan
radikalisme agama (Islam) yang sering diopinikan sebagai paham keagamaan yang berpotensi
melahirkan terorisme. Aspek-aspek yang dikaji meliputi teks-teks keagamaan yang sering
dijadikan pembenaran dalam implikasinya terhadap pelaku gerakan radikal. Berdasarkan
hasil kajian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa lahirnya paham radikal adalah
disebabkan penafsiran yang sempit dan tidak utuh terhadap nas-nas syara’ yang kemudian
berimplikasi pada pemahaman yang keliru terhadap doktrin agama islam.
Kata Kunci: Radikalisme agama dalam perspektif agama islam

B. Tujuan Pembelajaran
1. Memahami arti dari radikalisme secara bahasa dan istilah.
2. Menelusuri Penyebab Munculnya Radikalisme.
3. Memahami dan mengetahui Pasca Orde Baru runtuh munculnya paham Radikalisme.
4. Menjelaskan Faktor pemicu muncul Radikalisme di Indonesia.
5. Menjelaskan Perbedaan Radikalisme, Ekstrimisme, Dan Terorisme.
6. Menjelaskan Radikalisme Agama Di Indonesia.

C. Materi
1. PENGERTIAN RADIKALISME
PENDAHULUAN
Mari kita membuka pembahasan kali ini dengan mengetahui arti atau makna dari kata
yang menjadi topik permasalahan kali ini yaitu Radikalisme. Kata-kata yang satu ini
sering menjadi topik ketika terjadi sebuah permasalahan yang terkait dengan terorisme
dan hal-hal yang mengancam kedaulatan NKRI.
ISI MATERI
Secara bahasa, radikal berasal dari bahasa latin yakni “radix” yang mempunyai arti
“akar”, pangakal, bagian bawah, menyeluruh, dan dalam bahasa inggris yaitu “radicalis”
yang berarti “sampai akar-akarnya”. Maksudnya orang dengan paham radikal
menghendaki perubahan dalam hal ini merujuk kepada perubahan yang baik sampai ke
1
akar-akarnya (mendalam/menyeluruh). Sedangkan secara istilah radikal adalah sebuah
pergerakan yang tekstualis, fundamentalis, revivalis yang selalu menggunakan kekerasan
dalam mengejarkan pahamnya. Ternyata fundamentalis dan radikal adalah kata yang
memiliki persamaan dalam konteks menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.
Didalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) radikal diartikan sebuah aliran yang
menginginkan perubahan baik dalam hal sosial ataupun politik dengan melalui langkah
kekerasan secara ekstrim dan drastis. Radikal adalah sebuah pemahaman yang
menginginkan adanya perubahan atau perombakan yang besar untuk menuju kemajuan
menurut penganutnya. Radikal merupakan sikap seseorang yang ingin melakukan
perubahan secara cepat dan mendasar pada hukum dan metode pemerintahan.
Radikalisme sangat erat kaitannya dengan fundamentalis, fundamentalis menurut
Wikipedia yaitu gerakan sebuah aliran, paham, atau agama yang berupaya kembali
kepada sebuah keyakinan dasar, kelompok menyakini paham fundamentalis sering terjadi
pergesekan antara kelompoknya dan agamanya sendiri karena menganggap paling benar
sendiri, sedangkan yang lain tidak benar.

2. Penyebab Munculnya Radikalisme


PENDAHULUAN
Setelah mengetahui pengertian dari Radikalisme mari kita mengetahui Penyebab
Munculnya Radikalisme. Karena paham radikalisme tidak dengan sendirinya di terapkan
atau muncul dengan sendirinya, pasti ada sebab akibat mengapa itu semua terjadi. Oleh
karena itu mari kita melanjutkan pembahasan kali ini dengan membahas Penyebab
Munculnya Radikalisme.
ISI MATERI
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 808), radikalisme memiliki arti antara
lain:
1. (Hilang) sampai keakar-akarnya sekali dengan sempurna
2. (Haluan politik yang) amat keras menuntut perubahan undang-undang,
ketatanegaraan.
3. Radikalisme adalah 1). Paham atau aliran yang radikal dalam politik 2). Paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis, 3). Sikap ekstrem dalam aliran politik (KBBI, 2001: 919).
4. Agama: ajaran sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia serta lingkungan (KBBI, 2001: 12).
Dari pengertian-pengertian diatas dapat diketahui bahwa radikalisme agama adalah
paham atau aliran yang keras dalam suatu ajaran agama tertentu. Menurut aliran ini setiap
permasalahan / persoalan harus disikapi dengan tegas dan keras, tidak setengah-setengah
apalagi ragu-ragu dalam bertindak demi tegaknya ajaran agama tersebut. Namun
terkadang aliran ini dalam bertindak melebihi aturan yang ada atau bahkan menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan.
Radikalisme merupakan sebuah proses politik yang mengancam dunia (Islam maupun
nonislam) sebagai sebuah gerakan politik keagamaan. Radikalisme memang bukan

2
fenomena islam saja, tetapi fenomena global yang melanda dunia, ketika kondisi dunia
tidak sesuai dengan apa yang menjadi gagasannya. Itulah sebuah gagasan tentang “dunia
idaman” di masa lampau, dengan menjadikan apa-apa yang terjadi dan yang ada sekarang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran kitabiah sehingga harus dirombak.
Dalam kasus radikalisme islam, terdapat hal yang sangat kontras, yakni dia hadir dan
bermula dari negara-negara di kawasan Timur Tengah sebagai tempat yang secara
geografik merupakan tempat turunnya agama islam. Padahal Islam mengajarkan
kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan pada seluruh umat manusia. Sebagaimana
doktrin utamanya yakni rahmatallil ‘alamin. Akan tetapi di sinilah pertanyaannya,
mengapa dunia Islam di Timur Tengah seringkali memunculkan kekerasan sehingga
radikalisme islam identik dengan Timur Tengah? Adakah yang salah dengan Timur
Tengah, ataukah terdapat kesalahan dengan pemahaman Islam di Timur Tengah?
Beberapa pertanyaan menjadi penting dikemukakan di sini mengingat islam seringkali di
identikkan dengan Timur Tengah sehingga citra islam sangat peyoratif di hadapan publik
dunia.
Ada kesalahan pemahaman yang sering terjadi dan berulang kali dilakukan bahwa
kekerasan dan radikalisme merupakan satu yang menyatu, sehingga Islam tidak lain
adalah kekerasan. Perspektif semacam ini dilakukan oleh beberapa orang cendekiawan
semacam Bassamas Tibi ketika membahas fenomena radikalisme Islam di kawasan Timur
Tengah dan kawasan negara lain, dengan tegas dia mengatakan bahwa fenomena
radikalisme merupakan fenomena islam politik, bukan merupakan fenomena teologis
sebab secara doktrin islam tidak mengajarkan kekerasan terhadap sesama muslim ataupun
kepada orang yang berbeda agama.
Islam terjerembab dalam konflik yang berkepanjangan antara sesama muslim
disebabkan karena faktor politik kekuasaan sepeninggalan Muhammad SAW, Kemudia
berlangsung untuk beberapa saat didunia Islam. Sekalipun sebagai fenomena politik,
kehadiran radikalisme Islam apalagi yang mengarah pada kekerasan sistematik, kekerasan
aktual maupun kekerasan simbolik tetaplah mengancam dunia sebab salah satu
karakteristik dari gerakan radikalisme Islam (Islami Radicalism) adalah tindak bersedia
mendialogkan dengan pihak lain apa yang menjadi gagasannya, tetapi memaksakan
pendapatnya pada pihak lain dengan segala cara untuk kemudian pendapatnya diterima.
Oleh sebab itu, ketika pendapatnya berbeda dengan dengan pihak lain dan pihak lain
bersedia menerimanya maka akan dipaksakan, bahkan penggunaan istilah yang sangat
menyesatkan tidak jarang digunakan seperti istilah takfir, sehingga mereka yang dianggap
kafir, maka berhak bahkan wajib diperangi sampai titik darah penghabisan. Inilah bentuk
ancaman yang paing nyata dari radikalisme Islam maupun radikalisme agama lainnya.
Perang atas radikalisme akhirnya terjadi, sebab penggunaan takfir seringkali menjadi
pembenar oleh mereka yang radikal untuk menghadapi yang non radikal. Pemboman
yang muncul di beberapa daerah adalah salah satu bukti pemakaian istilah takfir dalam
dunia islam itu sendiri. Fenomena maraknya kekerasan dalam bentuk bom bunuh diri,
pengantin bom, dan sejenisnya adalah bagian respon umat Islam atas globalisasi yang
telah melanda dunia.
Bassan Tibi (2008: 42) berpendapat bahwa fenomena radikalisme islam merupakan
fenomena politik ketimbang fenomena teologis. Sayangnya, perspektif yang menguat

3
dalam mengkaji radikalisme seringkali dihubungkan dengan persoalan-persoalan teologis,
sehingga aktifitas radikalisme seakan-akan merupaka aktifitas teologis dan mendapatkan
pembenaran teologis dari doktrin-doktrin kitab suci keagamaan yang difahami oleh
sebagian umat Islam secara sepihak, dan seringkali tekstual, tanpa memperhatikan
konteks sosial turunnya sebuah ayat (teks suci), sejak zaman Kenabian Muhammad SAW.
Sampai Dengan diterimanya para sahabat dan umat islam sekarang di Indonesia. Umat
Islam Indonesia kadang melihat fenomena radikalisme sebagai bagian dari perintah
substansial Islam dalam bentuk jihad, padahal sebenarnya radikalisme, sebagaimana
dikemukakan Bassan Tibi merupakan fenomena politik, sebagai perbandingan penulis
menyunting pendapat Dr. Haidar Baqir:
“Menurut saya, tidak ada bukti sama sekali bahwa non-Muslim itu identik dengan kafir.
Dan bagi saya, kekafiran itu kategori moral; bukan kategori teologis. Orang jahat itu
kafir. Sebaliknya, orang Muslim belum tentu tidak kafir. Ini perlu saya lontarkan supaya
kita memili kesiapan untuk merenungkan kembali pemahaman kita tentang islam; perang,
mengkafirkan, menyesatkan, menganggap diri lebih baik dari orang lain, menilai mereka
jahat, Islamnya tidak baik, dan sebagainya. Itulah sumber-sumber paham radikalisme.
Kekerasan berbasis agama menurut menteri Agama Lukman Hakim Saefudin
disebabkan tiga faktor. Pertama, karena keterbatasan seseorang memahami ajaran agama.
Kedua, ada politisasi Agama. Agama dimanfaatkan jadi alat agregasi kepentingan.
Ketiga, kekerasan bisa pula muncul karena persoalan ekonomi akibat persaingan yang
semakin ketat. Tidak mudah menyimpulkan mana faktor yang dominan. Pada kasus
tertentu, faktor politisasi agama bisa mendominas, tetapi di kasus berbeda bisa pula
karena kurangnya pemahaman terhadap nilai agama. Untuk meredam kekerasan adalah
salah satu upayanya lewat kehadiran negara dalam meminimalisasi ketidakadilan di
semua lini kehidupan.
Dalam menghadapi fenomena kekerasan dan ketidakamanan ontologis, Indonesia
beruntung punya ormas, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ormas tersebut bisa
menjadi solusi menghadapi munculnya kegamangan ontologis. NU punya “Islam
Nusantara”, dan Muhammadiyah dengan “Islam berkemajuan”. Kedua gagasan itu
menyuarakan semangat yang hampir sama yaitu pemahaman Islam yang dinamis dan
kontektual.
KESIMPULAN
Dari penjelasan materi diatas dapat kita menarik kesimpulan bahwa ada penyebab
mengapa paham radikal dapat begitu cepat tersebar. Begitu banyak hal yang melatar
belakangin terciptanya Paham Radikalisme. Bassan Tibi salah satu orang yang
pendapatnya begitu berpengaruh dalam radikalisme islam, pendapat beliau sering
digunakan untuk menganalisis suatu hal yang dapat menciptkan kehadiran paham Radikal
di suatu kelompok atau ormas.

3. Ormas Radikal di Indonesia Pasca Orde Baru


PENDAHULUAN
Ormas Radikal di Indonesia Pasca Orde Baru, Topik pembahasan kali ini adalah
Ormas-ormas yang berperan dalam lahirnya gerakan-gerakan radikalisme pada awal

4
runtuhnya masa Orde Baru dimana pada saat itu NKRI sedang jatuh dalam kekejaman
kelompok-kelompok radikalisme yang ingin mengubah tatanan di Indonesia dengan
menjadikan hukum syariat islam sebagai hukum dasar negara.
ISI MATERI
Langkah awal dari terbukanya kesempatan untuk politik ormas radikalisme, dimulai
dengan berakhirnya masa kepempimpinan presiden Soeharto. Kesempatan tersebut
dibuktikan dengan banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat yang tergabung
dalam gerakan aktivis 98. Hal tersebut menjadi dorongan untuk gerakan mobilisasi massa
islam secara transparan dalam ruang publik. Menurut Peter G. Ridder ada empat kategori
kelompok islam setelah keruntuhan orde baru. Kelompok tersebut diantaranya, modernis,
tradisionalis, noe-modernis, dan islamis. Kemunculan empat kelompok diatas memicu
kemunculan ormas-ormas radikal lainnya seperti Front Pembela Islam, FKAWJ, Front
Umat Islam, dan lain-lain. Ormas-ormas tersebut masih bagian dari kategori islamis,
sebab keberadaanya pun tidak hanya melakukan transformasi tetapi melakukan
metamorfosis juga dalam bentuk bermacam-macam.
Kelompok ormas ini juga memiliki cita-cita yang mereka usung dapat diklasifikasi
menjadi tiga; Pertama, mencita-citakan terbentuknya negara islam yaitu MMI dan HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia). HTI dengan semangat ideologi untuk menyebarluaskan dan
menerapkan syariat hukum islam secara universal atau menyeluruh di indonesia dengan
cara halaqoh, door to door, serta mengerakan massa dalam jumlah besar untuk melakukan
aksi-aksi demonstrasi untuk pendekatan politik. Seluruh anggota HTI diatur sesuai
dengan hukum syara’ dan dengan pengikut yang cukup banyak tidak heran HTI memiliki
jaringan internasional dia berbagai negara.
Kedua,Menginginkan permberlakuan peraturan daerah berdasarkan syariat islam.
Gerakan Tarbiyah dan KPSSI (Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam) adalah salah
satu contoh gerakan untuk mewujudkan perberlakuan peraturan tersebut, Gerakan
Tarbiyah dengan kegiatan yang diberi label dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang
tujuan akhirnya bermuara pada politik. Gerakan Tarbiyah yang dimotori alumni-alumni
Gerakan Tarbiyah lulusan timur tengah terus melakukan perubahan-perubahan pasca orde
baru tumbang. Target sasaran Gerakan Tarbiyah adalah dakwah berbasis kampus dan
masjid-masjid, selain itu juga mereka menyasar kepada masyarakat umum di pedesaan
dengan program peribadatan seperti kajian-kajian, traning, kursus-kursus dan ceramah-
ceramah gratis. Berbeda dengan KPSSI dengan cara mengerakkan massa untuk memaksa
pemerintah daerah menerapkan syariah islam sebagai rujukan utama dalam kehidupan
masyarakat dan bangsa. Merealisasikan visi misi KPPI adalah melalui kegiatan dakwah-
politik dan politik-dakwah.
Ketiga, Gerakan Salafi-Wahabi yang selalu ingin memurnika acaran islam sesuai
dengan yang telah diperintahkan Nabi dan Al-qur’an. Gerakan ini mengelabui masyarakat
yang memasukan kata salafi kepada masyarakat yang sudah tidak asing lagi dengan kata
salaf ataupun salafiyah. Mereka juga menggunakan metode pendekatan agar ajaran
kelompok mereka menyebar luas dengan cara antara lain: Memberikan beasiswa ke Arab
Saudi bagi mahasiswa, memberikan dana bantuan ke pesantren-pesantren dengan syarat
memasukan paham wahabi, membentuk kader paham wahabi, membuat situs-situs
agama.

5
KESIMPULAN
Runtuhnya orde baru mengakibatkan munculnya ormas-ormas radikal yang memiliki
tujuan menjadikan hukum syariat islam sebagai landasan hukum di Indonesia. Munculnya
ormas-ormas tersebut membuat masyarakat binggung dalam membedakan kelompok
radikal dan non-radikal karena banyaknya penawaran yang cukup menjanjikan dari
kelompok radikal.

3. Faktor Pemicu Radikalisme di Indonesia


PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut 1 agama saja. Indonesia juga
merupakan negara yang disegani di ranah militer dunia, dengan kekuatan militer dan
bukan negara yang hanya menganut 1 agama paham radikal dapat dengan mudah maasuk
ke indonesia dengan tujuan memecah bela kedaulatan negara. Di materi kali ini kita akan
membahasnya.
ISI MATERI
Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan agama lebih tepat dilihat
sebagai
gejala sosial-politik dari pada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaprah oleh
Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari
sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia masyarakat.
Sebagaimana
ungkapan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara muslim dalam
konflik utara-selatan menjadi penolong utama munculnya radikalisme.
Kedua, faktor kultural. Faktor ini juga memiliki andil yang cukup besar yang
melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural,
sebagaimana diungkapkan oleh Musa Asy‟ari bahwa di dalam masyarakat selalu
diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu
yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah
sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme Barat. Sekularisme di Indonesia selalu
dikait-kaitkan dengan kapitalisme, liberalisme, atheisme sebagai sebuah paham anti
agama. Sekularisme Barat dianggap sebagai paham anti agama karena menentang suatu
agama diberi hak istimewa dalam pengambilan kebijakan dalam sebuah negara. Nilai-
nilai agama yang diterapkan masyarakat dalam kehidupan harus sama rata dan tidak boleh
terlalu diunggulkan terutama dalam pengambilan keputusan negara karena sekularisme
menganggap agama sebagai privatisasi individu yang tidak boleh mengalami intervensi
dari orang lain. Oleh karena itu, bagi kelompok yang mengatasnamakan agama berusaha
melepas dari jeratan kebudayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agam Islam. Melalui
sebuah organisasi keagamaan beberapa kelompok keagamaan melakukan pemberantasan
terhadap budaya sekularisme dengan cara radikal.
Ketiga, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negaranegara
Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan

6
sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari
negaranegara besar.
KESIMPULAN
Setelah dijelaskan diatas, ternayata indonesia khususnya penganut agama muslim
sangat rentan terdoktrin paham radikalisme. Karena radikalisme bukan hanya persoalan
agama, politik pun menjadi bahan untuk menghasut kalangan pemimpin negara demi
mencpai tujuan dari radikalisme yang imbalannya bagi mereka sangat menggiurkan.

4. PERBEDAAN RADIKALISME, EKSTRIMISME, TERORISME


PENDAHULUAN
Setelah mengetahui bahwa radikalisme merupakan sesuatu yang sangat berbahaya
dikalangan masyarakat yang awam tentang masalah ini, mari kita membedah beberapa
perilaku yang diakibatkan dari radikalisme ini.
ISI MATERI
Yang telah kita bahas tadi bahwa Radikalisme merupakan paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau
drastis. Selanjutnya Ekstrimisme, secara garis besar ekstrimisme adalah berlebih-lebihan
dalam beragama, tepatnya menerapkan secara kaku dan keras hingga melewati batas
kewajaran. Ekstrimisme merupakan perilaku yang timbul akibat seseorang terlalu
berlebihan dalam menerapkan paham radikalisme mengakibatkan seseorang melakukan
tindakan kriminalisme. Hal ini didari dari ketidak puasan dari seorang penganut paham
radikalisme dalam mencapai suatu target, akibatnya orang tersebut melakukan tindakan
ekstrimisme demi mencapai tujuan tersebut. Hal ini juga karena memang radikalisme
melakukan segala cara demi menerapkan paham mereka salah satunya kekerasan.
Terosisme, hal ini juga selalu dikaitkan dengan radikalisme. Hal ini memang lumbrah dan
sudah bukan rahasia umum lagi terorisme selalu dikaitkan dengan radikalisme karena
terorisme adalah turunan dari radikalisme dan menjadi pusat dari radikalisme. Terorisme
sendiri sudah menjadi organisasi yang didirikan dengan landasan paham radikal,
terorisme merupakan tangan kanan dari paham radikal. Karena terorisme menjadi alat
pengerak untuk paham radikal menerapkan ajaran mereka dengan teroganisir karena
dengan adanya terorisme paham radikal dapat berkembang pesat di beberapa negara.
Terorisme bisa dikatakan tentara paham radikal, dengan penyamaran mereka sebagai
tentara islami terorisme dapat melancarkan misi mereka dalam menyebar luaskan paham
radikal. Salah satu organisasi terorisme terbesar yang pernah ada bernama ISIS (Islamic
State Of Iraq dan Syria’).
Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa Tindak Pidana
Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

7
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme,
diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap
orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban
yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa
dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 6).
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang seara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
internasional atau publik (Pasal 7).
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan
ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh
banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1) Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2) Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3) Menggunakan kekerasan.
4) Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi
pemerintah.
5) Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat
berupa motif sosial, politik ataupun agama.
KESIMPULAN
Dari ketiga tindakan diatas kita dapat memahami bahwa dampak yang diakibatkan
dari paham radikalisme sangat besar dan brutal. Karena radikalisme selalu melakukan
kekerasan dalam mencapai tujuan makanya lahirnya beberapa tindakan demi memuluskan
tercapainya tujuan tersebut makanya terlahir Ekstrimisme. Setelah itu muncul lah
organisasi penggerak yang di beri nama Terorisme yang menjadi kaki tangan dari paham
Radikalisme.

5. Radikalisme dan Agama


PENDAHULUAN
Paham Radikalisme sering tersebar luas di dalam beberapa agama yang gampang
dirasuki paham Radikalisme. Karena paham Radikalisme sering menjadikan agama
sebagai sasaran utama dalam menybarkan paham Radikal. Karena agama menyangkut
dengan keyakinan seseorang, akibatnya seseorang yang sering goyah terhadap
keagamaannya akan gampang menerima paham radikal dengan sangat gampang.
ISI MATERI

8
Radikalisme berbasis agama sesungguhnya fenomana yang tidak khas Indonesia,
tetapi merupakan fenomena umum yang terjadi didunia dan berbagai agama. Sejarah
mencatat tahun 1999 terjadi penembakan etnis di California dan IIIionis; tahun 1998
kedutaan-kedutaan Amerika di Afrika diserang, pemboman klinik aborsi di Alabama dan
Georgia tahun 1997; peledakan bom pada Olimpiade Atlanta dan penghancuran kompleks
perumahan militer Amerika Serikat di Dhahran Arab Saudi pada tahun 1996;
penghancuran secara tragis bangunan Federal di Oklahoma City pada tahun 1999; dan
peledakan World Trade Centre di New York City pada tahun 2001.
Insiden-insiden seperti ini dan serangkaian aksi radikal lainnya dikatakan Marx
Juergensmeyer memiliki keterkaitan dengan dengan ekstremis-ekstremis keagamaan
Amerika diantaranya milisi Kristen, gerakan Christian Identity, dan aktivis-aktivis
Kristen anti-aborsi. Demikian pula Perancis memiliki masalah dengan Irlandia, dan
Jepang dengan gas beracun yang disebarkan oleh anggota-anggota sekte Hindu-Budhis
dalam kereta bawah tanah di Tokyo. India menghadapi masalah dengan separatis Sikh
dan pejuang-pejuang Kashmir, Srilanka dengan pejuang Tamil dan Singhalese, Mesir
dengan para militan muslim, Aljazair dengan Front Penyelamat Islam (FIS), dan Israel
dan Palestina berhadapan dengan aksi-aksi maut para ekstrimis Yahudi dan Islam.
Menurut Marx Juergensmeyer, yang lebih sering mendorong terjadinya aksi-aksi
radikalisme dalam mengekspresikan keyakinan agama kadang-kadang melalui suatu
perpaduan dengan faktor-faktor lain, yang tidak jarang sebagai motivasi utama. Anggapan
umum yang menyatakan bahwa telah terjadi kebangkitan kekerasan agama di seluruh
dunia pada dekade terakhir abad XX dibenarkan oleh mereka yang menyimpan catatan-
catatan seperti ini. Waren Christopher, menyatakan bahwa aksi-aksi teroris agama dan
identitas etnis menjadi “salah satu tantangan keamanan terpenting yang dihadapi dalam
kaitan dengan bangkitnya Peran Dingin”. Bahkan jauh sebelum gagasan “teologi
pembebasan” (libeartion thelogy) dikumandangkan di Amerika Latin dan Amerika
Tengah pada dekade 1960-1970-an, tradisi radikalisme dalam pengertiannya yang positif
inbern dengan misi agama-agama Abraham (Abrahamic religion) seperti Nashrani,
Yahudi, dan Islam.
Sejak kehadirannya, agama-agama besar, seperti Islam, diakui berwatak subversif
terhadap kekuasaan yang korup. Karena memang demikianlah cita-cita agama
dirumuskan, yaitu untuk mengubah tata nilai baru. Itulah sebabnya, Musa, Isa, dan
Muhammad saw. Dicap sebagai “pemberontakan” oleh “kekuasaan” dimana mereka
hidup. Dari beberapa kisah tentang mereka dapat disimak bagaimana Musa menjadi
antagonis bagi Fir’aun yang lalim, Isa menjadi oposan bagi imperialis Byzantium, dan
Muhammad saw. Menjadi penghancur sendi-sendi wewenang dan wibawa bangsawan
Quraisy Mekah, para nabi yang diutus Allah berpikir dan bertindak radikal demi
menghancurkan tatanan yang zalim dan lalim.
Radikalisme yang ada pada ajaran agama Islam dan agama yang lain, berawal dari
visi dan wawasan sosialnya, yaitu suatu wawasan ‘orde yang baru’, yang menentang
kesalahan dan kemungkaran ‘orde yang lama’ untuk tujuan melahirkan suatu orde sosial
baru yang lebih berkeadilan. Bukanlah dengan demikian, perjuangan para nabi, yang di
antaranya melalui peperangan yang menolak kezaliman penguasa dapat disebut radikal?

9
Dengan demikian, tidak saja dalam Islam, agama lain dengan semangat yang sama
memiliki tradisi sejenis, fundamelintas. Sehingga ada Judaisme fundamentaslis, Kristen
fundamentalis, Hindu fundamentalis, Sikh fundamentalis, dan bahkan Konfusianisme
fundamentalis. Dengan demikian, fundamentalis muslim atau radikalisme religio-politik
bukanlah fenomena baru yang khas Islam. Faktor eekonomi, politik, militer, dan sosial
tidak hanya berlaku di negara-negara muslim. Jeritan kesengsaraan ini terdengar umum di
kalangan mayoritas Dunia ketiga. Radikalisme religio-politik adalah fenomena yang
bersifat global.
Dalam konteks radikalisme di Indonesia, sekedar menyebut contoh, spirit keagamaan
juga digunakan. Sebut saja kasus Kiai Kajoran yang melawan Amangkarut I (1614-1677).
Gerakan ini didorong oleh pertimbangan keagamaan, yaitu menghentikan kezaliman
Amangkarut I yang menginjak-injak norma-norma agama.
Apakah dengan demikian agama mendorong lahirnya pemikiran dan gerakan radikal?
Tentu, tetapi selalu dalam kerangka mentransformasikan dan nilai-nilai yang ‘anti
kemanusian” kepada nilai-nilai baru yang “pro-kemanusiaan”. Ziaul Haque mengatakan:
“Seorang nabi revolusioner, memadukan dua peran: peran sebagai seorang nabi yang
menerima wahyu Ilahi dan dibimbing oleh kebenaran ilahiyah; dan peran seorang
revolusioner atau seorang pemberontak yang membawa perubahan-perubahan radikal
dalam tatanan sosial yang sudah usang dang mentransformasikannya ke model-model dan
pola-pola perilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan kebenaran
wahyu. Jadi wahyu atau agama adalah revolusi dan revolusi adalah agama.
Pengertian radikal dengan spirit keagamaan akan bermakna positif ketika diletakan
dalam kerangka melawan ketidakadilan dan berkehendak merubah tatanan seperti yang
dilakukan oleh para nabi. Agama menyediakan perangkat doktrin untuk itu. Persoalan
radikalisme berwajah negatif akan muncul ketika “metode perlawanan” mulai dipilih.
Jadi, aksi kekerasan yang diduga lahir dari cara berpikir radikal, tidak bisa lagi dirunut
secara linier dengan doktrin-doktrin agama.
KESIMPULAN
Radikalisme di lingkungan agama sudah bukan hal yang baru dalam masyarakat.
Agama adalah pusat dari penyebaran paham radikalisme, banyak hal yang mendorong
radikalisme di lingkungan agama berkembang pesat. Radikalisme bukan hanya terjadi di
agama islam tapi juga non-islam sampai radikalisme menjadi suatu agama yang diyakini.
Yah terlepas dari semua itu paham radikalisme dapat berkembang pesat karena masih
banyak orang yang ragu-ragu atau goyah di dalam agamanya dan lebih memilih paham
radikalisme untuk di patuhi dan di jalankan syariatnya.

6. Radikalisme Agama di Indonesia


PENDAHULUAN
Lagi-lagi kita membahas tentang agama. Ternyata agama cukup besar pengaruhnya
dalam radikalisme, membuat unsur agama kuat dalam doktrin-doktrin radikalisme. Ini
yang menjadikan agama itu bukan hanya sesuatu yang tertanam di dalam diri kita atau
apa yang kita anut. Ini lebih dari sekedar kita mengetahui siapa pencipta kita ini membuat

10
agama itu sesuatu yang harus benar-benar diketahui apa yang ada di dalamnya, apa yang
diajarkan ke kita, apa manfaat dari itu semua.
ISI MATERI
Spirit Radikalisme yang didorong oleh teks-teks agama, sejauh bertujuan positif dan
tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan, akan terjadi di mana saja ketika ada
syarat-syarat sosial politik dan ekonomi mengandaikannya. Keragaman etnik dan
agama saja bukan penyebab konflik sosial. Konflik sosial muncul manakala dalam
suatu masyarakat timbul keresahan karena terdapat ketidakadilan dalam; (1)
pembagian sumber daya ekonomi, dan (2) partisipasi dalam pengambilan
keputusan.Kedua hal tersebut dapat menyatukan sentimen-sentimen etnisitas dan
agama. Dan ketika menggumpal,pecahlah konflik dari terpendamnya akumulasi
kebencian dari kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil kepada pihak yang
dianggap bertanggung jawab.
Sejauh melibatkan politik dan agama yang menggiring kepada isu ‘negara islam’ yang
dalam hal-hal tertentu memicu pemikiran dan gerakan radikal, dalam sejarah Indonesia,
menurut Sarpudin H. A., dikenal empat diskursus penting.
Pertama, polemik akhir tahun 1930-an antara Soekarno dan A. Muchlas (nama
samaran M. Natsir). Polemik itu merupakan kelanjutan dari polemik sebelumnya tentang
kebangsaan Indonesia antara Soekarno, H. Agus Salim (tokoh Sarikat Islam), A. Hasan
(guru persatuan Islam), dan Is (nama samaran dari tokoh Masyumi, M. Natsir), dari tahun
1925. Polemik itu membicarakan seputar identitas kebangsaan pasca merdeka. Di situ
terjadi pertarungan wacana bagaimana menempatkan agama dalam negara.
Kedua, perbincangan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal tanggal 28 Mei s.d 1 Juni 1945, 10-17 Juli
1945, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18-22 Agustus 1945, dalam
rangka penyusunan dan pengesahan Undang-Undang Dasar 1945. Delegasi Islam
memajukan Islam sebagai dasar negara, sedangkan kalangan nasionalis menghendaki
negara yang netral. Konfrontasi dua kubu itu diselesaikan dengan jalan memasukkan
Piagam Jakarta (yang memuat tujuh kata ―dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemelukpemeluknya‖). Tetapi dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945,
tujuh kata itu dihapus. Selanjutnya, isu tentang Piagam Jakarta terus hidup dalam benak
umat Islam hingga saat ini. Dalam amatan Martin van Bruinessen, akar-akar munculnya
gerakan radikal di Indonesia ada dua, pertama, dari gerakan politik muslim pribumi
seperti Darul Islam dan Masyumi, dan kedua, dari jaringan Islam transnasional:
Jamhari, dalam salah satu tulisannya, ―Mapping Radical Islam in Indonesia‖
mengamini tesis Martin. Menurutnya, kehadiran kelompok Islam radikal dipicu oleh dua
sebab utama. Pertama, karena isu politik lokal seperti, kegagalan politik rezim berkuasa
(political failures in the ragime), marjinalisasi politik (political marginalization), dan
lain-lain. Kedua, adanya solidaritas antarmuslim di dunia.
Untuk faktor yang kedua, solidaritas dunia Islam kepada gerakan islamisme, menurut
Oliver Roy, terjebak pada ―emosi keagamaan‖, karena secara empirik, gerakan-gerakan
radikal di dunia Islam tidak selalu didasarkan pada ideologi semata, melainkan karena

11
konteks geostrategis dunia Islam. Dalam kerangka ini, islamisme, masih menurut Roy,
belum berubah secara mendasar. Islamisme didominasi oleh strategi negara, bukan oleh
gerakan ideologis maupun internasional. Sebagai contoh, konflik di Afghanistan
pascapenarikan Uni Soviet tahun 1989, lebih dipicu oleh persoalan etnis dan kesukuan
ketimbang ideologis.
Pada skala lokal, gerakan Islam radikal di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari isu
―negara-bangsa‖ dan itu berarti memiliki kesinambungan wacana antara gerakan pada
awal kemerdekaan dan kontemporer, yaitu common platform, negara Islam. Meskipun
harus dicatat bahwa ada variabel-variabel lain yang membedakan keduanya. Pergerakan
Islam menemukan momentumnya terutama ketika Orde Baru tumbang. Kemunculan
kelompokkelompok radikal Islam sejatinya telah dimulai sejak berubahnya kebijakan
negara pada dasawarsa 1980-an; dari peminggiran Islam ke akomodasi Islam. Momentum
kejatuhan penguasa Orde Baru, yang disinyalir sebagai akibat dari perlakuannya terhadap
umat Islam pada masa-masa awal dengan Pada skala lokal, gerakan Islam radikal di
Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari isu ―negara-bangsa‖ dan itu berarti memiliki
kesinambungan wacana antara gerakan pada awal kemerdekaan dan kontemporer, yaitu
common platform, negara Islam. Meskipun harus dicatat bahwa ada variabel-variabel lain
yang membedakan keduanya. Pergerakan Islam menemukan momentumnya terutama
ketika Orde Baru tumbang. Kemunculan kelompokkelompok radikal Islam sejatinya telah
dimulai sejak berubahnya kebijakan negara pada dasawarsa 1980-an; dari peminggiran
Islam ke akomodasi Islam. Momentum kejatuhan penguasa Orde Baru, yang disinyalir
sebagai akibat dari perlakuannya terhadap umat Islam pada masa-masa awal dengan
kebijakan depolitisasinya, adalah alasan yang gamblang bagi lahirnya gerakan-gerakan
yang oleh William Liddle disebut sebagai gerakan ―Islam Skripturalis‖. Liddle
menyebutkan tiga faktor kelahiran mereka; (1) lebih mudah diterimanya ajaran-ajaran
kaum skripturalis oleh kebanyakan orang Indonesia, (2) kemungkinan aliansi politik
antara kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain yang sedang tumbuh, (3)
nafsu besar politisi ambisius untuk membangun basis massa.
Selain karena faktor kekecewaan gerakan Islam pada Orde Baru, Khamami
menambahkan pemicu baru antara lain, kegagalan ideologi nasionalisme sekular yang
berasal dari Barat, sekaligus bobroknya sistem politik dan ekonomi di Indonesia. Lebih
luas, potret gerakan radikal Islam di Indonesia dapat dirujuk secara umum pada latar
belakang kebangkitan Islam yang menurut Esposito dapat didorong oleh tiga hal; (1)
adanya krisis identitas yang menimbulkan ketidakpercayaan, kekecewaan, dan kehilangan
rasa harga diri, (2) kecewa dengan Barat dan kegagalan pemerintah untuk bereaksi secara
cukup akan kebutuhan-kebutuhan politik dan sosio ekonomi masyarakat, dan (3)
tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan kekuatan sendiri akibat sukses
militer (Arab-Israel) dan ekonomi (embargo minyak) pada tahun 1973.
Apa yang sesungguhnya tengah diperjuangkan gerakan Islam radikal yang muncul
pasca-Orde Baru? Di luar kelompok pelaku Bom Bali—yang diakui oleh Habib Riziq
Shihab—sebagai ‗kelompok lain‘, gerakan-gerakan ini ternyata memiliki pandangan dan
pola yang tidak seragam meskipun dapat pula ditemukan sisisisi persamaannya. Ada
beberapa gerakan Islam radikal yang semarak pasca-Rezim Soeharto yang bisa disebut di
sini: Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin (MM),
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Persaudaraan Pekerja Muslim

12
Indonesia (PPMI), Ikhwanul Muslimin, Himpunan Mahasiswa Antar Kampus (Hammas
Indonesia), dan Gerakan Tarbiyah. Memasukkan ketujuh organisasi itu ke dalam
kelompok radikal mengacu pada batasan radikal sebagai kelompok yang memiliki
kecenderungan menghadapi persoalan dengan radikal.
Jika kembali kepada latar belakang lahirnya gerakan radikal di Indonesia utamanya
pasca-Orde Baru berupa isu-isu politik lokal dan jaringan solidaritas transnasional, maka
isu yang dikembangkan antara lain bagaimana merebut secara politik dan kultural
gagasan ―Islam kafah‘ melalui tema ‗negara syari‘ah‘. Terhadap tema itu, banyak
argumentasi yang diajukan baik argumentasi sosio-historis umat Islam di Indonesia, yaitu
bagaimana sejarah awalnya Indonesia direbut dan dibangun maupun argumentasi teologis
yang merujuk kepada teks-teks Kitab Suci. Kejatuhan Soeharto adalah momentum emas
untuk memuluskan ‗cita-cita besar‘ itu. Sayang, gagasan formalisasi syariat tidak
didukung oleh Islam arus utama di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah. Meskipun
platform mereka dalam konteks pembicaraan ‗negara-bangsa‘ hampir sama, pada
aktualitas gerakannya memiliki aksentuasi yang berbeda. Misalnya, FPI lebih sering
melakukan gerakan ―pembasmian‖ penyakit sosial seperti rumah-rumah pelacuran,
tempat-tempat judi, dan kafe-kafe maksiat, seperti di negeri-negeri muslim lainnya,
gerakan radikal Islam di Indonesia selalu merespons isuisu internasional seperti Palestina,
Afghanistan, Irak dan lain-lain. Respons seperti ini sudah lama dilakukan oleh Dewan
Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang kemudian melahirkan organisasi semacam KISDI.
Penggunaan isu-isu internasional oleh organisasi semacam DDII tidak saja sebagai
respons solidaritas sesama muslim, tetapi, dalam konteks DDII, mereka secara politik
domestik tengah ―dikucilkan‖ oleh rezim berkuasa. Posisi politik DDII dan juga berarti
KISDI sangatlah jelas, yaitu memisahkan dengan tegas antara Islam dengan Barat,
terutama respons mereka terhadap isu Palestina. Hingga kini, isu Palestina masih menjadi
pemicu terhadap lahirnya gerakan anti-Barat dari kalangan ―islamis-konservatif‖.
KESIMPULAN
Dalam masa transisi di Indonesia, memperdebatkan kembali tentang ideologi bangsa
tengah menjadi fakta. Demokrasi misalnya, sedang diperebutkan, begitu juga Islam. Ada
ongkos sosial dan politik yang harus dibayar untuk itu. Enam tahun pasca-jatuhnya
Soeharto, berbagai kilatan isu menerpa Indonesia, ada pergeseran cara berpolitik bahkan
cara beragama umat muslim Indonesia. Arus deras demokratisasi direspons secara
beragam. Tidak hanya isu demokrasi sebagai fakta politik, aspek lain seperti ekonomi
pasar bebas, militer, teknologi, dan globalisme ikut merubah tatanan politik bahkan
agama.
Islam Indonesia, yang dulu ber-trade mark moderat kini— dengan tampilnya gerakan-
gerakan radikal tiba-tiba mendapat citra negatif. Pencitraan itu lantas dibantah, tetapi
pada saat yang sama, masyarakat sipil yang tak berdosa menjadi korban akibat ulah para
bomber yang berdalih atas nama Tuhan.

RANGKUMAN MATERI

13
Radikalisme memiliki arti yang memang sangat pas dengan pengaplikasiannya di
dunia nyata. Memiliki arti Sampai keakar-akarnya paham radikalisme memang
ditanamkan dari akar atau dari inti manusia yaitu Kejiwaannya dan Pola pikir mereka.
Runtuhnya Orde baru merupakan awal dari paham radikalisme menunjukan eksistensinya
di indonesia, mereka mengadu domba agama-agama di indonesia dengan menyasar
pemimpin agama masing-masing. Merasuki para pengikut agama-agama islam maupun
non-islam dengan doktrin yang melebih-lebihkan ajaran syariat islam. Mereka rela
melakukan apapun demi tujuan mereka tercapai, salah satunya dengan mengahabisi siapa
saja yang menghalangi mereka menyebarkan paham ajaran mereka.
Radikalisme dan agama adalah sebuah komponen yang tidak bisa di pisahkan. Karena
agama adalah tujuan utama dari paham radikal. Mereka ingin mengubah dasar negara
Indonesia dengang Syariat-syariat islam. Memang terdengar baik namun siapa sangkah
ideologi dan tujuan mereka itu memiliki tujuan lain. Indonesia adalah salah satu negara
yang sangat rentan terserang doktrin Radikalisme, maka dari itu marilah kita bersikap
netral tidak ingini ikut-ikutan dan tidak juga mendukung salah-satu karena keduanya
tidak salah. Hanya saja ada beberapa yang memang tidak seharusnya diterapkan dalam
kehidupan.

SOAL MATERI
1. Jelaskan Pengertian Radikaslisme Secara bahasa dan istilah!
2. Mengapa Setelah Orde Baru Paham Radikalisme mulai muncul? Sebutkan Ormas-
ormas yang pada awal Runtuhnya Orde Baru menjadi pelopor dari paham
radikalisme!
3. Jelaskan awal mula paham Radikalisme muncul di Indonesia!
4. Mengapa agama dan Radikalisme sangat erat kaitannya?
5. Mengapa Agama adalah Inti dari Paham Radikalisme?
6. Mengapa Paham Radikalisme selalu memilih agama sebagai tujuan mereka
menyebarkan paham mereka?

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. (2016, February). GERAKAN RADIKALISME DALAM ISLAM: PERSPEKTIF
HISTORIS. Diambil kembali dari journal.iainkudus.ac.id:
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/1127/1056
Hidayat, H. (2021 , Februari ). RADIKALISME AGAMA PERSPEKTIF AL-QUR’AN.
Diambil kembali dari MADANI Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan: http://e-
jurnal.unisda.ac.id/index.php/MADANI/article/view/2287/1513
Musthofa. (2017). RADIKALISME DALAM ISLAM. 127-137.
Qodir, D. Z. (2014). Pertautan Ideologi Politik Kontemporer dan Kekuasaan. Diambil
kembali dari RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA:
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/28248/Bab%20I
%20Pendahuluan.pdf?sequence=1

14
Rauf, H. A. (2015). RADIKALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
11-18.
Ro’uf, A. M. (2007). MENGURAI RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA PASCA
ORDE BARU. ULUMNA Jurnal Studi Agama, 157-174.
Said, H. A. (2015). RADIKLISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Diambil kembali
dari radenintan: http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/238
Suryana, A. (2018). HAK CIPTA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. AL MASHLAHAH
JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM, 249-252.
Thoyyib1, M. (2018). RADIKALISME ISLAM INDONESIA. 93-100.
Zarkasyi, A. E. (2019). RADIKALISME ISLAM INDONESIA . RADIKALISME ISLAM
INDONESIA , 3-9.

15

Anda mungkin juga menyukai