Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

ARTIKEL ANTI RADIKALISME, TERORISME, DAN NARKOBA

Dosen Pembimbing:

Dr. Aremi Evanta Br. Tarigan, SP., MPd., MAk., CJAT

Disusun Oleh:

Deeva Zhurisha

NIM 211301177

Kelas Pendidikan Kewarganegaraan 14

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN
2021/2022

BAB I
Pengertian dan Implementasi Radikalisme
A. Radikalisme Agama
Fenomena radikalisme agama sudah menjadi tema-tema diskusi para
akademisi pada abad ini. Dengan banyak pendekatan dan perspektif yang
beragam, fenomena radikalisme sudah melahirkan banyak hasil penelitian.
Sebagaimana disebutkan oleh Umi Sumbulah misalnya, dalam buku “Islam
„Radikal‟ dan Pluralisme Agama” (2010), menyebutkan beberapa penelitian
terkait dengan radikalisme. Beberapa penelitian tersebut di antaranya ialah
penelitian yang dilakukan oleh Machasin, yang berkesimpulan bahwa akar
teologis kekerasan agama antara lain dapat dilihat pada konsep jihad, memerangi
orang kafir, dan totalitas Islam, yang banyak dirumuskan era peperangan, namun
tidak dibaca secara komprehensif. Kemudian penelitian Ilyas yang menggunakan
perspektif normatif, menyatakan bahwa sikap gerakan Islam radikal terhadap
agama-agama lain, berbasis pada teologi eksklusif yang dikembangkannya,
sebagaimana interpretasi Qutb terhadap al-Qur‟an 2: 62 bahwa keimanan yang
absah dan menjamin keselamatan hanyalah Islam. Dengan demikian, keimanan
Yahudi dan Nasrani telah kehilangan keberlakuannya, pasca kerasulan
Muhammad dengan risalah Islamnya. Juga penelitian-penelitian lainnya dengan
hasilnya masing-masing yang tidak disebutkan di penelitian ini.
1. Pengertian Radikalisme
Istilah radikalisme berasal dari bahsa Latin radix yang berarti akar,
pengkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat
keras untuk menuntut perubahan. (Muslih, 2015: 9) Dalam bahasa Inggris, kata
radikal memiliki makna ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental.
Sedangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal.
(Widiana, 2012: 12)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti “(1)
paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengna cara kekerasan atau
drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus Politik, yang
dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya ke akar-
akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin-doktrin yang
dihasilkan oleh usaha tersebut. (Roger, 2013: 791)
Berkaitan erat dengan kata radikal sendiri, ada beberapa istilah
mengemuka yang seakar dengan kata radikal. Beberapa istilah tersebut di
antaranya adalah radikalisme, radikalisasi, dan deradikalisasi. Abu Rokhmad
(2014), mengutip pendapat KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU dan pengasuh
pesantren al-Hikam Malang), membedakan antara radikal, radikalisme, dan
radikalisasi. Dalam kutipannya, Rokhmad menjelaskan bahwa seseorang berfikir
radikal (maksudnya berfikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) bolehboleh saja,
dan memang berfikir sudah seharusnya seperti itu. Rokhmad mencontohkan,
misalnya, berkaitan dengan permasalahan bangsa Indonesia yang semakin
runyam, baik dalam persoalan ekonomi, social, politik dan sebagainya. Atas
berbagai persoalan itu, lahir suatu pandangan yang menginginkan sistem
pemerintahan Islam ditegakkan di Indonesia sebagai solusinya.
Sedang radikalisme adalah radikal dalam paham atau ismenya. Maksudnya
ialah radikal yang sudah menjadi ideologi dan madzhab pemikiran. Sedangkan
yang dimaksud radikalisasi, ialah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika
terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi ini tumbuh berkaitan
erat dengan ketidakadilan ekonomi, politik, dan lainnya. (Rokhmad, 2012: 83).
Dalam bahasa Randy (2011: 9), Radicalization is used to refer to the process of
developing extremist ideologie and beliefs.
Dari pengertian-pengertian di atas, definisi radikalisme cenderung
berkonotasi negatif. Namun ada pula yang mendifinisikan radikalisme dalam
makna positif, yakni Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry dalam Kamus
Ilmiah Populernya (1994) menjelaskan bahwa radikalisme ialah paham politik
kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai
jalan untuk mencapai taraf kemajuan.
Afif Muhammad, sebagaimana dikutip oleh Muslih (2015: 80),
mengatakan bahwa predikat radikal bisa dikenakan pada tataran pemikiran atau
paham tertentu, sehingga muncul istilah „pemikiran yang radikal‟ dan bisa pula
„gerakan‟. Atas dasar itu, radikalisme dapat dipahami dalam dua dimensi yang
berbeda, yakni dimensi pemikiran dan dimensi tindakan. Dalam dimensi
pemikiran, radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih
diperbincangkan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan. Sedangkan untuk dimensi tindakan atau action, radikalisme bisa
berada pada ranah sosial-politik dan agama.
Pada ranah politik, lanjut Muslih, radikalisme terlihat pada adanya
tindakan memaksakan pendapat dengan cara inkonstitusional, misalnya tindakan
mobilisasi massa untuk kepentingan tertentu yang berujung konflik. Sedangkan
pada ranah agama, radikalisme terlihat dari tindakan-tindakan anarkis atas nama
agama dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain atau
kelompok seagama yang berbeda dan dianggap sesat.
Banyaknya fenomena radikalisme yang terjadi pada ranah nomor dua
tersebut kemudian melahirkan istilah radikalisme agama. Menurut Tarmizi Taher
sebagaimana dikutip oleh Ali Mubezakir (2007: 228) dalam makalahnya
“Kelompok Islam Radikal di Indonesia: Prospek dan Solusinya” menjelaskan
bahwa yang dimaksud radikalisme agama ialah gerakan dari kelompok Muslim
tertentu yang menolak tatanan yang sudah ada, terutama yang dinilai berasal dari
Barat, dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tertentu tersendiri yang
berbasiskan nilai-nilai ajaran Islamfundamental, yakni alQur‟an, Hadist, dan
praktik kehidupan sahabat Nabi generasi pertama.
Dalam pengertian lain, Muhammad (2015) menyebut radikal sering juga
dimaknai fundamental. Dengan kata lain, jika menyebut radikalisme agama, maka
identik dengan fundamentalisme agama. Selain itu pengertian lain yang identik
dengan kata radikalisme adalah fanatisme, ekstrimisme, militanisme, revivalisme,
dan lain-lain. kata radikal juga sepadan dengan kata liberal, reaksioner, progresif,
dan lain-lain.
Kelompok ini disebut radikal dapat diketahui melalui prinsip-prinsip yang
dimilikinya. Para penganjur radikalisme Islam meletakkan prinsip-prinsip pokok
tertentu sebagai kerangka ideologis kebangkitan Islam. Menurut Imadudin
Rahmat (2005: 14) yang meminjam pendapat Hrair Dekmejian, prinsip-prinsip
tersebut adalah: Pertama, din wa daulah. Kelompok ini menganggap, Islam
merupakan sistem kehidupan yang total, yang secara total dapat diterapkan pada
semua keadaan, tempat dan waktu. Pemisahan antara agama (din) dan negara
(daulah) tidak dikenal dalam Islam. Hukum syar‟ah dalam Islam bersifat inheren
(yang melekat). Alqur‟an memberikan syari‟ah dan negaara menegakkannya.
Kedua, fondasi Islam adalah al-Qur‟an dan Sunah Nabi dan tradisi para
sahabatnya. Umat Islam diperintahkan untuk kembali kepada akar-akar Islam
yang awal dan praktek-praktek Nabi yang puritan. Bagi kelompok ini, teks
ditempatkan pada posisi sentral yang senantiasa rujukan utama bagi perilaku
keagamaan, bahkan teks sebagai hakim bagi problematika yang dihadapi. Teks
dianggap memiliki otoritas untuk mengadili realitas kehidupan (Sumbulah, 2009:
40). Bahkan teks dianggap memiliki kememadaian untuk menjadi rujukan atas
problem-problem kehidupan.
Tawaran konsep ideal Islam didasarkan kepada sumber-sumber
keagamaan otoritatif, berupa al-Qur‟an dan Hadis, yang pemahaman dan praktik
keagamaannya telah diteladankan oleh Rasulullah dan generasi salaf al-shālihīn
(Sumbulah, 2009: 2). Oleh sebab itu, seluruh masyarakat maupun penguasa yang
tidak mempraktekkan Islam sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad dan
Khulafaurrasyidin adalah kafir. Masyarakat yang demikian boleh diperangi agar
kembali kepada Islam yang benar.
Kelompok ini menganggap perkembangan Islam merupakan kemusyrikan,
dan bahwa seluruh pemerintahan dan institusinya yang tidak mengerapkan
syari‟at Islam adalah bagian dari kejahiliyahan yang harus dihancurkan dan
digantikan dengan masyarakat muslim yang benar. Jahiliah adalah istilah al-
Qur‟an untuk menyatakan kebodohan, kekerasan, kekejaman, dan kepentingan
diri yang ada sebelum turunnya alQur‟an, yang bagi kaum radikal, menghalangi
terwujudnya secara penuh komunitas Islam. Kaum ini menilai bahwa organisasi
negara adalah jahiliyah karena tidak memerintah berdasarkan prinsip Islam seperti
dipahami. (Sarbini, 2005: 16)
Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Umat Islam diminta untuk
menjaga nilainilai Islam dalam segala aspek kehidupan. Umat Islam wajib
membentenegi diri dari budaya asing. Hal lain yang penting untuk dilakukan ialah
menegakkan keadilan sosialekonomi. Dengan ini maka konsekuensinya adalah
meninggalkan sistem riba, serta memutus ketergantungan dengan Barat dan kroni-
kroninya.
Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syari‟at. Tujuan
utama manusia ialah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi. Hal ini hanya
dapat ditegakkan jika menerapkan syari‟ah sebagai undang-undang tertinggi.
Karena itu, gerakan ini bercorak konfrontatif terhadap sistem sosial dan politik
yang ada. Gerakan ini menghendaki perubahan mendasar terhadap ideologi yang
ada saat ini, sebagaimana yang diungkapkan pada poin sebelumnya, yang disebut
ideologi sekuler atau jahiliyah modern, dan kemudian menggantinya dengan
ideologi yang mereka anggap sangat memadai, yaitu ideologi Islam. (Rahmat,
2005: 11)
Kelima, jihad sebagai pilar utama menuju nizam Islam, untuk
mewujudkan tatanan Islami, diperlukan upaya sungguh-sungguh. Sebab untuk
menghancurkan tatanan jahiliah dan menakhlukan kekuasaan-kekuasaan duniawi
yang telah ada diperlukan jihad perang suci. Tujuan jihad adalah menakhlukan
semua halangan yang mungkin akan menghambat penyiaran Islam ke seluruh
dunia, apakah halangan itu berupa negara, ideologi sosial, dan tradisi-tradisi asing.
Jihad harus dilakukan secara komprehensif, termasuk dengan cara kekerasan.
Bagi kelompok ini, Barat adalah setan besar. Barat yang lazim
didefinisikan oleh kelompok ini adalah Amerika dan para anteknya. Kelompok ini
menganggap bahwa Amerika dan sekutu-sekutunya ialah musuh Islam. Amerika
dan para anteknya dianggap biang keladi terhadap segala permasalahan dan
kehancuran umat Islam. Selain itu juga dinilai yang telah memecah belah dunia
muslim, pendukung kebijakan zionisme Israel yang meluluhlantahkan
kemanusiaan di bumi Palestina yang telah dihuni oleh etnis ArabMuslim
Palestina. Karena itu, Bombing dan terorisme merupakan ekspresi keagamaan
kelompok ini sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap kelompok yang mereka
definisikan sebagai “musuh”. Perilaku kekerasan yang dilakukan kelompok ini
diyakini sebagai jihad fī sabīli allāh melawan teroris, yakni Amerika dan
sekutunya. (Sumbulah, 2009: 45)
Prinsip-prinsip itulah seperti itulah yang kemudian dijadikan ideologi oleh
kelompok ini dalam menjalankan segala aktivitasnya. Sebagaimana dijelaskan
McClosky bahwa ideologi ialah sebagai systems of belief of power that are
elaborate, integrated, and coheren, that justify the exercise of power, explain and
judge historical events, identify political right and wrong, set forth the
interconnections (causal and moral) between politics and other sphere of activity,
and furnish guides for action. (Khoshkish, 1979: 90)
Dengan demikian ideologi tidak sebatas gagasan, melainkan gagasan yang
diikuti dan dianut sekelompok manusia, yang sifatnya menggerakkan manusia
tersebut untuk merealisasikan gagasan tersebut (Sarbini, 2005: 43). Karena itu
ideologi sesungguhnya tidak hanya keyakinan tentang yang diinginkan atau
dimaksudkan menuntun tindakan, namun juga memiliki legitimasi atau justifikasi
terhadap sebab-sebab sebuah tindakan dilakukan. Oleh sebab itu ketika kelompok
radikal menghubungkan perilakunya dengan pandangan hidup, pandangan agama,
atau paradigma sosial yang ditegakkan sebagai sebuah ideologi, maka ekspresi
tindakan kekerasan yang dilakukan diharapkan lebih memungkinkan untuk bisa
dipahami oleh pihak lain. (Sumbulah, 2009: 43)
Ideologi inilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi dan spirit bagi
hampir seluruh gerakan fundamentalis Islam. Ideologi jihad dipahami sebagai
legitimasi atas tindakan kekerasan. Jihad diyakini sebagai berperang melawan
kaum kafir yang memerangi Islam dan membunuh kaum Muslim. Oleh sebab
karakteristik ideologi juga mengandaikan kecenderungan intoleran terhadap cara-
cara berfikir atau epistemologi berfikir lain, maka pada saat kelompok tersebut
mengasumsikan suatu “musuh”, berarti ia memiliki parameter tersendiri untuk
mendifinisikannya. (Sumbulah, 2009: 43).
2. Latar Belakang
Radikalisme Radikalisme lahir tidak pada ruang hampa, tetapi lahir karena
ada suatu alasan tertentu. Para ahli mengemukakan alasan tersebut dengan varian
penekanan. Djamhari Makruf (2007: 9) menjelaskan bahwa gerakan Islam garis
keras ini dilatar belakangi oleh faktor-faktor yang berbeda. Faktor-Faktor tersebut
di antaranya ialah, pertama, faktor politik. Adanya keterpinggiran dan
ketidakpuasan politik menjadi alasan utama pemicu lahirnya gerakan ini. Menurut
Makruf, agama pada tahap awal bukanlah pemicunya. Namun demikian ketika
kelompok sudah terbentuk, agama menjadi faktor legitimasi maupun perekan
yang sangat penting.
Kedua, isu solidaritas terhadap penderitaan umat Islam di belahan bumi lain.
Misal ialah isu Palestina-Israel. Sentimen ketidakadilan atas sikap dunia Barat
terhadap perilaku Israel terhadap Palestina yang tidak seimbang dengan sikap dan
tanggapan yang kekras terhadap Irak, menjadi faktor yang penting untuk
disuarakan umat Islam. Terlebih lagi munculnya Imam Khoeini dalam revolusi
Islam Iran yang dinilai oleh umat Islam sebagai lambang perlawanan kaum
Muslim tertindas untuk melawan penindasnya, ini kemudian menjadi dorongan
yang kuat untuk melaksanakan sikap radikal.
Selain dari yang telah disebutkan di atas tersebut, menurut Makruf (2007),
faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan Islam garis keras ialah adanya
pemahaman agama yang cenderung tekstualis, yakni memahami agama apa
adanya yang tertulis dalam teks-teks suci yang skriptual.
Sementara itu Syamsul Bahri sebagaimana dikutip oleh Gunaryo kemudian
dikemukakan oleh Hasyim Muhammad (2015: 202), mengatakan bahwa faktor-
faktor yang mendorong munculnya radikalisme atau kekerasan dalam agama
antara lain adalah: 1) pergolakan sosial politik yang melanda dunia Islam; 2)
emosi keagamaan dan fanatisme yang melahirkan sentimen keagamaan dan
solidariatas sesama kelompok agama; 3) ideologi anti Westernisasi. Westernisasi
dianggap telah menggerogoti pengamalan syariat Islam; 4) faktor budaya akibat
pengaruh kebudayaan atau tradisi lokal dan sekularisasi yang dibawa oleh Barat;
5) ketidakmampuan pemerintah Islam menyelesaikan masalah sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi masyarakat; dan 6) propaganda media massa Barat yang
cenderng memojokan Islam.
Tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan di atas, Muhammad Asfar
(2003: 62) dalam “Islam Lunak Islam Radikal” menyederhanakan bahwa ada dua
variabel penjelas utama untuk memahami munculnya gerakan-gerakan radikal di
kalangan Islam, faktor dari dalam Islam dan faktor dari luar Islam. Faktor dari
dalam ini lebih banyak berkaitan dengan penafsiran konsep jihad yang dipahami
oleh sebagian penganut Islam. Penganut gerakan-gerakan radikal Islam umumnya
didorong oleh pemahaman mereka tentang konsep jihad yang dimaknai sebagai
perang lawan non-Islam. Mereka selalu 22 melihat dunia ini dalam dua kaca mata:
dar al-harb (negeri non muslim, atau perang) dan dar al-Islam (negara Islam).
Daerah yang dianggap dar al-harb harus dipandang sebagai sasaran ekspansi dan
penundukan. Untuk melakukan ekspansi dan penundukan itu, dengan slogan
jihad, tak jarang disertai senjata seperti pedang dan bom.
Sementara gerakan radikalisme yang dipicu oleh faktor dari luar Islam, Asfar
(2003: 67) menyebutkan bahwa faktor itu ialah bentuk reaksi terhadap
modernisasi yang dilakukan oleh Barat terhadap dunia Islam. Mengutip pendapat
Daniel Lerner, Asfar menjelaskan munculnya fundamentalisme di Timur Tengah
sebagai reaksi atas modernisasi yang dikenalkan Barat yang dianggap telah
mendistorsi otoritas tradisional mereka. Karena sebagai reaksi atas modernisasi,
termasuk isme-isme lainnya, ketika isme-isme baru ini gagal menawarkan solusi
yang lebih baik maka daya tarik fundamentalisme justru semakin menguat.
Bahkan, lanjut Asfar, faktor ekonomi, alam gersang, dan semacamnya menjadi
pemicu munculnya ekspresi gerakan fundamentalisme dalam bentuk perang suci
dengan menakhlukan wilayah lain.
Lebih lanjut Asfar menjelaskan, makin maraknya berkembanggerakan
radikalisme belakangan ini karena didorong oleh kondisi sosial ekonomi yang
dianggap tidak adil bagi kaum muslimin. Radikalisme Islam dipahami sebagai
reaksi atas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, seperti
adanya 7F perangkap Yahudi yakni food, film, fashion, free thinkers, financial,
faith, and friction. Selain itu juga adanya konspirasi internasional untuk
menghambat perkembangan agama dan gerakan-gerakan Islam, yang melibatkan
kekuatan antar Negara yang disponsori oleh Amerika Serikat dan sekutu-
sekutnya, adanya ambisi Amerika Serikat untuk menguasai dunia Arab (Islam)
yang kaya minyak,mulai “menguasai” penguasa-penguasa Arab sampai dengan
menginvasi Irak dan mungkin ke negara-negara Arab lainnya dan sebagainya.
Selain adanya faktor dari dalam seperti tetang kekeliruan pemahaman agama
dan karena faktor dari luar seperti faktor sosial, ekonomi, politik, dan sejenisnya,
ada juga asumsi bahwa radikalisme di Indonesia yang berujung pada aksi teror
bom, dilakukan karena keputusasaan dari pelakunya akibat depresi dan tekanan
psikologis.
Para pelaku teror khususnya bom bunuh diri dianggap sebagai orang yang
tidak memiliki “masa depan” dan kebahagiaan duniawi, sehingga nekat memilih
mengakhiri hidupnya agar segera dapat meninggalkan dunia dan—menurutnya—
segera masuk surga. (Rahman, 2007: 56).
Firdaus Muhammad dkk (2007: 150) mengungkap bahwa ada dua tipe
gerakan yang mengemuka dalam memperjuangkan ide-ide Islam formalis.
Pertama, gerakan kelompok tersebut yang memperjuangkan melalui jalur partai
politik dan lobi-lobi partai politik formal, seperti Partai Bulan Bintang (PBB),
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan lainnya. Kedua, kelompok tersebut yang
memilih gerakan sosial terlebih dahulu untuk mensosialisasikan ide kulturalnya
dan sedikit menampilkan simbol-simbol kekuasaan, seperti Hizbut Tahrir, Majelis
Mujahidin, dan lainnya.
Mengutip pendapat Horace M. Kallen, Firdaus (2007: 151) mengemukakan,
meskipun terdapat dua tipe sebagaimana disebutkan di atas, namun keduanya
memiliki kesamaan ciri. Pertama, kelompok tersebut tampil mendakwahkan
pentingnya penerapan ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah) di tengah-tengah
zaman modern ini baik dalam bidang sosial maupun politik bahkan urusan
domestik pribadi. Kedua, kelompok tersebut mendasarkan praktek keagamaannya
pada orientasi masa lalu (salafy). Ketiga, kelompok itu sangat memusuhi Barat
dengan segala bentuk peradabannya seperti sekulerisasi dan modernisasi.
Keempat, perlawanannya dengan gerakan liberalism Islam yang tengah
berkembang di Indonesia.
3. Penyebaran Paham Radikalisme
Radikalisme tidak berkembang luas secara serta merta begitu saja, tetapi
melalui perantara (medium) yang dipandang cukup strategis dalam rangka
penyebarluaskan paham radilakisme. Muslih (2015: 88) mengatakan bahwa para
pendukung paham radikalisme menggunakan berbagai sarana dan media untuk
menyebarluaskan paham radikalisme. Adapun sarana dan media tersebut di
antaranya ialah:
a. Melalui pengkaderan organisasi. Pertama, pengkaderan internal. Ini
biasanya dilakukan dalam bentuk training calon anggota baru dan
pembinaan anggota lama. Kedua, mentoring agama Islam. Kegiatan ini
biasanya dilaksanakan di perguruan tinggi umum dan dimaksudkan
sebagai kegiatan pelengkap untuk mengatasi terbatasnya pendidikan
agama di ruang kelas. Ketiga, pembinaan Rohis SMA/Sederajat.kegiatan
siswa yang tergabung dalam Kerohanian Islam (Rohis) juga 24 bisa
menjadi sasaran empuk ideologi radikal. Kegiatan-kegiatan kesiswaan
sering disusupi oleh pihak luar yang diundang untuk mengisi kegiatan
tersebut.
b. Melalui masid-masjid yang berhasil “dikuasai”. Kelompok Islam radikal
sangat pandai memanfaatkan masjid yang kurang “diurus” oleh
masyarakat sekitar.
c. Melalui majalah, bulletin, dan booklet. Penyebaran ideologi radikalisme
juga dilakukan melalui majalah, bulletin dan booklet.
d. Melalui penerbitan buku-buku. Paham radikalisme juga disebarluaskan
melalui bukubuku, baik terjemahan bahasa Arab yang umumnya ditlis oleh
para penulis Timur Tengah, maupun tulisan mereka sendiri.
e. Melalui media internet. Selain menggunakan media kertas, kelompok
radikal juga memanfaatkan dunia maya untuk menyebarluaskan informasi
tentang jihad.
Di lain pihak, Muhammad Tholhah Hasan sebagaimana dikutip Mukodi
(2015: 93) menilai bahwa munculnya gerakan radikalisme di Indonesia terutama
setelah reformasi disebabkan variabel dan pemahaman, peranan media internet,
kondisi sosial domestik, dan kontalasi politik internasional.
B. Implementasi Radikalisme
Harus ada upaya fundamental untuk bisa mencegah penetrasi radikalisme
di dalam masyarakat saat ini, menurut Kamaruddin Amin. Saat ini, salah satu
upaya yang telah dilakukan salah satunya dengan mengelola di tingkatan
perguruan tinggi. Sebagai ilustrasi ada sekitar 58 perguruan tinggi negeri di
Indonesia ditambah 900 perguruan tinggi swasta.

Dirjen Pendidikan Islam saat ini telah membuat edaran kepada rektor-
rektor perguruan tinggi itu untuk membuat pusat kajian yang bertujuan untuk
melakukan upaya moderasi dalam beragama. Iklim keagamaan yang toleran,
moderat, damai, dan inklusif harus dikembangkan terutama untuk memahami
keberagaman atau "diversity".

Harus ada upaya untuk terus mengkampanyekan dan mempromosikan


kontra-narasi terhadap gejala radikalisme. Salah satunya adalah dengan
memproduksi kajian-kajian yang moderat dan inklusif dalam sebuah Rumah
Moderasi. Upaya ini harus dijalankan di semua perguruan tinggi yang ada di
Indonesia. Upaya ini harus berkelanjutan, berlangsung dalam jangka panjang dan
harus menyentuh seluruh civitas akademika. Momentum penerimaan mahasiswa
baru, misalnya, harus disikapi dengan kampanye-kampanye moderasi keagamaan.
Ide-ide menghormati keberagamaan yang berbeda, menghormati jalan pikiran
yang berbeda, dan menghargai perbedaan pendapat harus berkembang sebagai
semangat bersama.

Salah satu yang harus segera dibenahi adalah pengajaran agama di


sekolah-sekolah dasar dan menengah. Saat ini, menurut Kamaruddin Dirjen
Pendidikan Islam sedang menyelesaikan penulisan kembali buku pelajaran agama
di sekolah dasar dari kelas satu sampai kelas enam. Jika tak ada halangan dalam
tahun ini penulisan kembali pelajaran agama akan selesai. Buku itu memuat
program-program moderasi beragama dan tentu saja kontra-radikalisme.

Program-program yang mengajarkan tentang nasionalisme dan cinta tanah


air harus berkembang menjadi kampanye yang inklusif dan demokratis.
Pendidikan-pendidikan seperti ini yang mampu menghalau radikalisme di
lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan atau pengajaran beragama yang inklusif
harus mampu menghadirkan konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia
sebagai hal yang mempersatukan berbagai latar yang berbeda.

Kampanye ini tentu tidak mudah, lanjut Kamaruddin. Karena program


moderasi ini harus berkontestasi dengan berbagai pihak yang selama ini bersaing
di ruang publik. Jika upaya ini tidak dilakukan dengan seksama, bisa saja
kontestasi dimenangkan oleh pihak-pihak hanya menggunakan simbol-simbol
keagamaan untuk kepentingan sesaat. Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai
pemahaman yang dalam tetapi menguasai dan mendominasi dengan berbagai alat
kelengkapannya.

Kampanye untuk melakukan upaya deradikalisasi keagamaan di tingkatan


akar rumput disikapi oleh Akbar Ali, Direktur Kewaspadaan Nasional
Kementerian Dalam Negeri melalui berbagai tindakan yang terprogram untuk
mengantisipasi perkembangan radikalisme.

"Upaya deradikalisasi ini tidak hanya dilakukan oleh kementerian dan


lembaga terkait tetapi terutama harus didukung semua aparat hingga pemerintah
daerah," jelas Akbar Ali.

Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini telah menyusun rencana aksi
mendukung penanganan radikalisme yang meliputi.

1. Mendorong pemerintah daerah membuat regulasi atau peraturan daerah


seperti surat ederan yang memperintahkan aparatur sipil untuk bekerja
sampai ke desa-desa melawan radikalisme
2. Membentuk forum-forum kerukunan umat, tim kewaspadaan dini, tim
penanggulangan terorisme. Forum ini harus dipergunakan pemerintah
daerah untuk mencegah tindakan radikalisme individu atau kelompok
3. Tim terpadu penanganan konflik sosial harus melaksanakan pemantauan
terhadap pelaku aksi radikalisme dan terorisme
4. Aparat di daerah harus memonitor atau memantau keberadaan kelompok-
kelompok tertentu semisal warga negara Indonesia yang baru pulang dari
luar negeri dan berpotensi membawa paham-paham radikal
5. Pemerintah harus mendorong semua pihak hingga ormas-ormas di
masyarakat untuk bersama menangkal radikalisme

Pada saat ini, tambah Kamarudin Amin di akhir acara, Indonesia sebenarnya
memiliki infrastruktur keagamaan atau tradisi keberagamaan yang sangat kuat
dalam menangkal radikalisme. Sebagai contoh, Indonesia mempunyai Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah yang sudah lama menjadi organisasi masyarakat yang
berperan besar mengembangkan semangat keagamaan yang moderat. Ormas-
ormas keagamaan tradisional Indonesia sebenarnya merupakan organisasi arus
utama yang kuat dan tidak mudah dimasuki oleh upaya-upaya ke arah
radikalisme. Dalam istilah Kamaruddin, ormas-ormas agama yang moderat di
Indonesia adalah "Unshakeable Social Infrastruktur" yang bisa menjaga
kehidupan keagamaan yang damai di Indonesia. (Y-1)

BAB II

Pengertian dan Implementasi Terorisme

A. Pengertian Terorisme

Terorisme adalah suatu tindakan yang didasari sistem-nilai dan cara pandang
dunia, sehingga untuk memahaminya memerlukan suatu kerangka dan metodologi
pemikiran yang biasa digunakan dalam tradisi filsafat. Sekedar contoh, seringkali
mereka yang diberi label teroris; pelaku kejahatan itu justru memandang diri dan
aksi terornya sebagai tindakan suci, berguna bagi kemanusiaan. Logika dan
bahasa serta argument yang mereka bangun itu perlu dipahami untuk mencari akar
permasalahan guna mencari solusi perdamaian.

Terorisme adalah suatu fenomena sosial yang sulit untuk dimengerti, bahkan
terkadang oleh para teroris itu sendiri. Tanpa pendidikan yang memadai
sekalipun, dengan cukup berbekal latihan praktik sekadarnya, seorang teroris
dapat melakukan aksi terorisme yang mencengangkan dengan ukuran yang sangat
luas.

Sementara strategi terorisme terus berkembang, seiring dengan kemajuan ilmu


pengetahuan dan teknolgi dan menggunakan cara-cara, ungakapan-ungkapan, dan
bahasa sendiri dalam perjuangan untuk mencapai tujuannya.

Secara epistemologis tidak jarang nilai kebenaran diambil dari kaidah-kaidah


agama, yang ditafsirkan dan dimanipulasikan melalui ungkapan bahasa dengan
tindakan yang sangat radikal, revosioner, dan dramatis. Hal tersebut membuat
tetorisme secara universal merupakan suatu aksi yang tidak dapat diterima dari
perspektif apa pun. Perkembangan terorisme yang sesuai dengan kemajuan
teknologi, mengakibatkan semakin besar resiko kehancuran alam dan kehidupan
umat manusia.

B. Implementasi Terorisme
Ada dua pandangan terhadap kegiatan terorisme yang berkembang saat ini
yaitu pertama, terorisme merupakan kegiatan yang bersifat politik, baik memiliki
latar belakang politik, bertujuan politik, maupun kegiatan yang disponsori oleh
kepentingan politik. Pandangan lain adalah bahwa kegiatan criminal yang
merupakan kegiatan kriminal yang sangat merugikan dan membahayakan
kehidupan dan perdamaian bangsa. Kedua pandangan yang berbeda secara
mendasar tersebut sudah tentu, juga membawa perbedaan mengenai cara-
cara pemberantasannya.
Pandangan yang pertama sering disampaikan dengan justifikasi
bahwa untuk mencegah dan memberantas kegiatan terorisme perlu
diungkapkan akar dari masalah terorisme”. Pandangan kedua sering
disampaikan dengan justifikasi “perlindungan global umat manusia”
(global protection for humankind). Kedua pandangan tersebut akan
mempengaruhi setiap undang-undang yang akan digunakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana terorisme.
Pandangan yang pertama sudah tentu tidak setuju dengan undang-
undang yang bersifat represif karena masalah ketidakadilan yang menjadi
akar masalah terorisme tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dengan
menahan, menuntut, dan memenjarakan pelakunya, melainkan yang harus
diutamakan adalah langkah-langkah yang bersifat preventif.

a. Kebijakan Internasional

Dalam perang melawan terorisme di-perlukan upaya komprehensif


secara lintas instansi dan lintas negara. PBB melalui United Nations
Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan
merekomendasikan langkah-langkah penanggulangan secara komprehensif se-
bagai berikut: aspek politik dan peme-rintahan (political and governance);
aspek ekonomi dan sosial (economic and social); aspek psikologi, komunikasi,
pendidikan (psychology, communication, education); peradilan dan hukum
(judicial and law); aspek kepolisian dan sistem pemasya-rakatan (police
and prison system); aspek intelijen (intelligent); aspek militer (military);
aspek imigrasi (immigration).

Landasan hukum mengenai penang-gulangan terorisme secara umum,


terdapat dalam:

1. Pasal 38 ayat (1) Statuta Pengadilan Internasional tentang sikap dan


tindakan bagaimana yang dibenar-kan bila negara menetapkan tata-
cara penyelesaian sengketa melalui penggunaan kekerasan bersenjata;
2. Ketentuan tentang Penggunaan Kekerasan Bersenjata tercantum
dalam Konvensi Geneva dan The Hague, yaitu dalam suatu
sengketa bersenjata melukai dan memusnahkan anggota dan instalasi
militer lawan merupakan keharusan yang harus diambil dan dibenarkan
secara hukum internasional, sedangkan menjadikan penduduk
sipil sebagai sasaran kekerasan bersenjata jelas-jelas dilarang;
3. Konvensi dalam Bidang Terorisme,Pembajakan, Kejahatan Penyelun-
dupan yaitu Resolusi No. 6 Tahun 1984 mengenai hukum pidana in-
ternasional, isinya antara lain men-dukung kelangsungan peradilan
internasional dalam kaitannya dengan berbagai pelanggaran serta
persoalan mengenai penanggu-langgan dan penerapan hukumnya;
4. Dalam kaitannya dengan terorisme, Resolusi No. 7 Tahun 1984 cukup
signifikan mengatur fenomena terorisme, di dalamnya diatur
mengenai tindakan terorisme yang menyangkut elemen internasional,
yaitu melanggar pemerintah asing/organisasi internasional, melanggar
terhadap suatu bangsa, dilakukan oleh orang yang menyeberang
batas internasional, di suatu negara di mana ekstradisi dilaksanakan.
Dalam kasus ekstradisi, Indonesia telah pernah melakukannya
dengan pemerintah Thailand ketika pemnajakan kapal Woyla
dilakukan oleh Imam Imran, pim-pinan Komando Jihad. Hasil dari
ekstradisi itu, pengadilan negeri di Indonesia memutuskan hukuman
mati bagi Imran. Meskipun kasusImran telah menjadi yurisprudensi,
putusan hakim atas hukuman mati Imran termasuk dalam kasus
pembajakan masih dapat diper-debatkan. Namun bagaimanapun
hukuman mati bagi terorisme danpembajakan akan selalu meng-
undang kontroversi, meskipun dari segi pendidikan sosial bisa
dipandang positif;
5. Kewajiban negara untuk menahan dan menangkap para pembajak
didasarkan pada Pasal 13 Konvensi Tokyo 1963 juncto Konvensi Den
Haag 1970. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap negara peserta
di wilayah tersangka ber-ada, apabila terdapat cukup pe-tunjuk,
wajib menahan si tersangka atau mengambil tindakan lainnya, untuk
menjamin proses penuntutan atau ekstradisi. Meski bisa saja terjadi
seorang penjahat tinggal dengan aman di suatu negara yang tidak
memiliki keterikatan timbal balik dalam persoalan ekstradisi. Karena
itu dalam suatu ketentuan yang berlaku, suatu ekstradisi
diberlakukan harus memenuhi dua ketentuan. Pertama, suatu negara
memiliki wewenang hukum secara domestik atas penerapan sanksi
hukum bagi pelanggar. Karena itu, atas dasar suatu perjanjian negara
lain yang terikat menjadi wajib untuk menyerahkan penjahatnya
suatu dengan permohonan negara yang bersangkutan. Kedua, ekstra-
disi dilakukan untuk memenuhi tuntutan agar supaya penjahat
tidak terbebas dari tuntutan hukum. Dengan demikian kepedulian
negara-negara untuk mengekstra-disikan penjahat-penjahat juga
dalam rangka mencegah menjalar-nya lalu lintas penjahat ke negara-
negara tetangga lainnya;
6. cara lain yang biasa dipergunakan oleh masyarakat internasional ada-
lah dengan membuat negara-negara donor dapat memberikan sanksi
dengan cara penyetopan bantuan, baik sebagian atau seluruhnya
terhadap negara-negara yang tidak mau memperketat jaringan
pengawasan penjahat terorganisir. Sanksi ini diberlakukan atas dasar
Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB No. 1747, 24 Maret
1974.
7. 7.Di dalam konvensi tentang pence-gahan dan penghukuman terhadap
terorisme pada tanggal 16 November 1937 dimuat ketentuan mengenai
kewajiban-kewajiban negara pe-serta untuk menetapkan tindakan
terorisme sebagai suatu tindakan yang memiliki karakter internasio-
nal sehingga tindak terorisme yang dilakukan di negara lain dapat
dihukum berdasarkan hukum pi-dana negara yang berkepentingan.
Ditegaskan pula di dalam konvensi ini bahwa diperlukan adanya
kerjasama kepolisian antara negara-negara penandatangan konvensi ini.

Dalam konteks perkembangan kon-vensi-konvensi internasional


tersebut, pe-merintah Indonesia sudah menandatangani resolusi PBB Nomor
1373 Tahun 2001 tentang pembekuan aset-aset teroris pada tanggal 28
September 2001.

b. Kebijakan Nasional

Kejadian-kejadian teror yang selama ini terjadi di Indonesia


merupakan sinyal bahwa Indonesia telah merupakan salah satu target operasi
organisasi terorisme baik internasional maupun domestik.

Meningkatkan kewaspadaan secara fisik semata-mata tidaklah cukup


untuk menghadapi organisasi terorisme interna-sional karena secara
organisatoris kelompok tersebut sudah memiliki perencanaan dan persiapan
yang sangat diperhitungkan baik segi operasional, personil, maupun dukungan
infrastruktur dan pendanaan.

Aksi teror yang terjadi di wilayah Indonesia yang dimulai dengan


Bom Bali 1 kemudian disusul dengan yang paling mutakhir perampokan Bank
CIMB Niaga di Medan yang menewaskan satu orang anggota Brimob, hampir
semua negara memberikan perhatian dan dukungan konkret terhadap upaya
Indonesia dalam pengungkapan kasus bom Bali, terutama dalam proses
investigasi untuk menangkap para pelaku teror dan mengajukan mereka ke
sidang pengadilan. Dengan tertangkapnya para teroris tersebut maka telah
terungkap fakta yang jelas di mana teroris lokal telah mempunyai
hubungan erat dengan jaringan teroris global. Timbul kesadaran dan
keyakinan kita bahwa perang melawan terorisme mengharuskan kita
untuk melakukan sinergi upaya secara komprehensif dengan pendekatan
lintas sektoral dan lintas negara. Untuk itu perlu ditetapkan suatu strategi
nasional dalam rangka perang melawan terorisme.

Bagi Indonesia, pencegahan dan pemberantasan terorisme


memerlukan kecermatan pengamatan atas kultur, kondisi masyarakat,
dan stabilitas politik pemerintahan. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi
efektivitas undang-undang tersebut. Konsep barat dan negara Islam tentang
definisi terorisme sangat sulit diterima oleh Indonesia karena kondisi
politik yang terjadi di negara-negara yang berbasis Islam berbeda secara
mendasar baik sisi latar belakang dan perkembangannya dengan yang terjadi
di Indonesia. Begitu pula kultur masyarakat baik dari negara-negara
tersebut maupun dari negara barat berbeda dengan kultur masyarakat
Indonesia. Masyarakat Indonesia mengakui eksistensi multi agama dan multi
etnik dan hidup berdampingan secara damai.

Strategi penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh


Pemerintah di-implementasikan melalui upaya preventif, preemtif, dan
represif.

BAB III

Pengertian dan Bahaya Narkoba

A. Pengertian Narkoba
Pengertian Narkoba Menurut BNN. Narkoba adalah singkatan dari Narkotika
dan obat/bahan berbahaya. Dalam istilah lain yang diterangkan oleh kementrian
kesehatan Republik Indonesia adalah napza yang merupakan singkatan dari
Narkotika, Psikotropika, dan zat adiktif. Dari keduaistilah ini baik "narkoba"
"napza" semua mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki resiko
kecanduan bagi pengunanya.
Pengertian narkoba menurut para ahli;
Pengertian narkoba menurut Kurniawan (2008). Narkoba adalah Zat kimia
yang dapat mengubahpsikologi seperti perasaan, fikiran, suasana hati serta prilaku
jika masuk kedalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup,
suntik, intravena dan lain sebagainya.

Pengertian narkoba menurut Jackobus (2005). Narkoba adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman dan bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pengertian narkoba menurut Ghoodse (2002). Narkoba adalah zat kimia yang
dibutuhkan untuk merawat kesehatan, ketika zat tersebut masuk kedalam organ
tubuh maka terjadi satu atau lebih perubahan fungsi didalam tubuh. lalu
dilanjutkan lagi ketergantungan secara fisik dan psikis pada tubuh, sehingga bila
zat tersebut dihentikan pengkonsumsiannya maka akan terjadi gangguan secara
fisik dan psikis.

Pengertian narkoba menurut Wresniwiro (1999). Narkoba adalah zat atau


obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan, karena zat-zat
tersebut bekerja mempengaruhi saraf sentral.

Pengertian narkoba menurut Wartono (1999). Narkoba adalah dampak yang


ditimbulkan antaralain dapat berupa gangguan konsentrasi dan penurunan daya
ingat bagi pemakai, sedangkan dampak sosialnya dapat menimbulkan kerusuhan
di lingkunan keluarga yang menyebabkan hubungan pemakai dengan orang tua
menjadi renggang, serta menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan seperti
pencurian atau penodongan.

Pengertian narkoba menurut Ikin A.Ghani, Narkoba adalah berasal dari kata
Narkon yang berasaldari bahasa yunani yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu
kedokteran juga dikenal istilah Narcoseatau Narcicis yang berarti membiuskan.

Pengertian narkoba menurut Soerdjono Dirjosisworo, Narkoba adalah zat


yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan
memasukkan kedalam tubuh, pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan,
hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat danhalusinasi atau timbulnya
khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia
medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia
dibidang pembedahan, untuk menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.

Pengertian narkoba menurut Smith Kline dari French clinical (1968).


Narkoba adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau
pembiusan dikarenakan zat-zat tersebutbekerja mempengaruhi susunan saraf
sentral. Dalam definisi ini sudah termasuk jenis candu dan turunan candu
(morphine, codein, heroine) dan candu sintesis (Meperidinedan Metadone).

Pengertian narkoba menurut B. Simanjuntak, Narkoba berasal dari kata


"Narcissus" sejenis tumbuh-tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat
membuat orang menjadi tak sadar.

Jenis-Jenis Narkoba

1. Narkotika : Jenis dari narkotika ini terbagi lagi diantaranya:

Opium atau Opiat (Candu) : Merupakan golongan narkotika alami yang biasanya
sering digunakan dengan cara dihisap.

Morfin Merupakan zat aktif (Narkotika) yang diperoleh dari candu melalui proses
kimia yang mana cara pemakaiannya disuntik di bawah kulit , ke dalam otot atau
pembuluh darah.

Heroin atau putaw : Merupakan golongan narkotika semisintetis yang dihasilkan


dari pengolahanmorfin secara kimiawi melalui 4 tahapan sehingga diperoleh
heroin paling murni berkadar 80%-90%. Meskipun heroin ini adalah hasil
pengolahan dari morfin namun zat ini sangat mudah menembus otak dan memiliki
reaksi yang lebih kuat dari morfin itu sendiri.

Ganja kanabis : Berasal dari tanaman kanabis sativa dan kanabis indica, pada
tanaman ini terkandung 3 zat utama yaitu tetrahidrokanabinol, kanabinol, dan
kanabidiol. Cara penggunaannya dengan dihisap dipadatkan menyerupai rokok
atau menggunakan pipa rokok
2. Psikotropika : Jenis-jenis dari psikotropika ini diantaranya :

Ekstasi - Demerol - Angel Dust - Sabu-sabu - Sedatif-Hipnotok


(Benzodiazepin/BDZ) - Megadon – Nipam

3. Zat Adiktif : Zat Adiktif merupakan zat-zat yang apabila dikonsumsi secara
rutin akan mengakibatkan ketagihan diantaranya: Alkohol, Nikotin, Kafein, Zat
Desainer

B. Bahaya dan Dampak Narkoba pada Hidup dan Kesehatan


Peredaran dan dampak narkoba saat ini sudah sangat meresahkan.
Mudahnya mendapat bahan berbahaya tersebut membuat penggunanya semakin
meningkat. Tak kenal jenis kelamin dan usia, semua orang berisiko mengalami
kecanduan jika sudah mencicipi zat berbahaya ini.
Meski ada beberapa jenis yang diperbolehkan dipakai untuk keperluan
pengobatan, namun tetap saja harus mendapatkan pengawasan ketat dari dokter.
Ada banyak bahaya narkoba bagi hidup dan kesehatan, di antaranya adalah:
Dehidrasi
Penyalahgunaan zat tersebut bisa menyebabkan keseimbangan elektrolit
berkurang. Akibatnya badan kekurangan cairan. Jika efek ini terus terjadi, tubuh
akan kejang-kejang, muncul halusinasi, perilaku lebih agresif, dan rasa sesak pada
bagian dada. Jangka panjang dari dampak dehidrasi ini dapat menyebabkan
kerusakan pada otak.
Halusinasi
Halusinasi menjadi salah satu efek yang sering dialami oleh pengguna
narkoba seperti ganja. Tidak hanya itu saja, dalam dosis berlebih juga bisa
menyebabkan muntah, mual, rasa takut yang berlebih, serta gangguan kecemasan.
Apabila pemakaian berlangsung lama, bisa mengakibatkan dampak yang lebih
buruk seperti gangguan mental, depresi, serta kecemasan terus-menerus.
Menurunnya Tingkat Kesadaran
Pemakai yang menggunakan obat-obatan tersebut dalam dosis yang
berlebih, efeknya justru membuat tubuh terlalu rileks sehingga kesadaran
berkurang drastis. Beberapa kasus si pemakai tidur terus dan tidak bangun-
bangun. Hilangnya kesadaran tersebut membuat koordinasi tubuh terganggu,
sering bingung, dan terjadi perubahan perilaku. Dampak narkoba yang cukup
berisiko tinggi adalah hilangnya ingatan sehingga sulit mengenali lingkungan
sekitar.
Kematian
Dampak narkoba yang paling buruk terjadi jika si pemakai menggunakan
obat-obatan tersebut dalam dosis yang tinggi atau yang dikenal dengan overdosis.
Pemakaian sabu-sabu, opium, dan kokain bisa menyebabkan tubuh kejang-kejang
dan jika dibiarkan dapat menimbulkan kematian. Inilah akibat fatal yang harus
dihadapi jika sampai kecanduan narkotika, nyawa menjadi taruhannya.
Gangguan Kualitas Hidup
Bahaya narkoba bukan hanya berdampak buruk bagi kondisi tubuh,
penggunaan obat-obatan tersebut juga bisa mempengaruhi kualitas hidup misalnya
susah berkonsentrasi saat bekerja, mengalami masalah keuangan, hingga harus
berurusan dengan pihak kepolisian jika terbukti melanggar hukum.
Pemakaian zat-zat narkotika hanya diperbolehkan untuk kepentingan medis sesuai
dengan pengawasan dokter dan juga untuk keperluan penelitian. Selebihnya, obat-
obatan tersebut tidak memberikan dampak positif bagi tubuh. Yang ada, kualitas
hidup menjadi terganggu, relasi dengan keluarga kacau, kesehatan menurun, dan
yang paling buruk adalah menyebabkan kematian. Karena itu, jangan coba-coba
memakai barang berbahaya tersebut karena resikonya sangat tinggi bagi hidup dan
kesehatan.

Bahaya Narkoba Bagi Pelajar Dan Generasi Muda

Selain bahaya narkoba bagi kesehatan, narkoba juga berdampak langsung


terhadap lingkungan sosial terutama generasi muda yang dikenal memiliki emosi
yang labil sehingga sangat rentan dan mudah untuk terjerumus dalam
penyalahgunaan narkoba.

Banyak kasus dari pecandu narkoba adalah dari kalangan remaja dan
alasannya beragam diantaranya menggunakan narkoba untuk keluar dari
permasalahan yang dihadapi, hanya untuk coba coba, mengikuti gaya hidup dari
pergaulan dan masih banyak alasan yang sangat tidak sebanding dengan resikonya
yang tentu saja berkaitan dengan menurunnya kesehatan hingga kematian,
hilangnya kreatifitas, terganggunya proses belajar baik di lembaga pendidikan
formal maupun non formal.

Upaya Pencegahan Penggunaan Narkoba

Upaya pencegahan penggunaan narkoba dapat dimulai dari lingkungan


terdekat yaitu keluarga dan berikutnya adalah lingkungan pergaulan, lingkungan
pendidikan sampai pada lingkungan organisasi jika perlu.

Di linkungan keluarga peran aktif orang tua sangat dibutuhkan baik itu
dengan memberikan pemahaman tentang bahaya narkoba ataupun dengan
mengarahkan pada kegiatan positif, begitu juga dengan lingkungan pendidikan
hendaknya diadakan sosialisasi anti narkoba baik itu berupa tugas pembuatan
makalah, pentas seni dan budaya dengan tema anti narkoba dan masih banyak lagi
ide-ide yang bisa digunakan untuk mensosialisasikan bahaya narkoba.
Daftar Pusaka
Abdurrohman, Syamsiar, Huldiya, 2017, Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
(PAI) model Keberagamaan Inklusif Untuk Mencegah Radikalisme
Beragama Dikalangan Siswa SMA, Fenomena, Volume 9, No 1, Lombok
Timur, NTB.
https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/strategi-menangkal-
radikalisme-keagamaan (Diakses Tanggal 2 Desember 2021)
Hendropriyono, 2009, A.M, Terorisme; Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam,
PT Kompas Media Nusantara, Jakarta 10270.
Firmansyah, Hery, 2010, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di
Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
https://bnn.go.id/pengertian-narkoba-dan-bahaya-narkoba-bagi-kesehatan/
(Diakses Tanggal 2 Desember 2021)
https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba (Diakses Tanggal 2 Desember 2021)

Anda mungkin juga menyukai