Anda di halaman 1dari 52

MODUL

PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN


AGAMA ISLAM KONTEMPORER

Oleh :
Dr.H. Abdul Majid Khon, M.Ag

PPG DALAM JABATAN


KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI,
DAN PENDIDIKAN TINGGI
2019
KEGIATAN BELAJAR I
ISLAM RADIKAL

Capaian pembelajaran yang diharapkan pada materi ini adalah menguasai pola pikir dan
struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan perspektif tawassuth, tawaazun, dan tasaamuh, yang
berkategori advance materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten),
“mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.
Subcapaian Pembelajaran
1.1. Menguasai dasar-dasar keislaman secara mendalam berawawasan rahmatan lil alamîn,
moderat dan seimbang
1.2. Bersikap dewasa dan tasamuh dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
1.3. Memecahkan permasalah sosial yang timbul secara bijaksana dan metodologis dengan
menggunakan kaidah-kaidah yang dapat diterima antara lain counter argument atau counter
ideologi.
Pokok-Pokok materi
1. Pengertian Islam Radikal
2. Indikator Islam Radikal; Takfîri dan al-Walâ wa al-Bara
3. Bom Bunuh Diri
Uraian Materi
A. Pengertian Islam Radikal
Islam radikal dalam dasawarsa terakhir menjadi sebuah istilah yang interchangeable
dengan kelompok teroris yang menggunakan baju Islam. Dalam literatur berbahasa Inggris Islam
radikal dijadikan istilah bagi sekelompok orang yang berusaha memperjuangkan idealisme dan
ideologi dengan cara-cara kekerasan, termasuk menggunakan cara-cara bunuh diri.
Siapa sesungguhnya kelompok radikal ini? Hal ini perlu clear. Ia bagaikan pedang bermata
dua. Mengelompokkan seseorang atau kelompok sebagai kelompok radikal sama bahayanya jika
menafikan adanya kelompok radikal itu. Setiap kelompok radikal pada setiap negara memiliki ciri
dan kecenderungannya masing-masing. Di Asia Tenggara, secara umum kelompok radikal dapat
diidentifikasi ciri-cirinya, antara lain mengharamkan sesuatu pada diri dan orang lain padahal
Allah Swt dan Rasul-Nya tidak pernah mengharamkan hal itu, misalnya menghadiri walimah atau
acara yang dilakukan di luar kelompoknya; berlebihan di dalam memaknai ayat dan hadis yang
pada hakikatnya tidak sejalan dengan tujuan umum syari’ah (maqashid al-syari’ah), seperti
melakukan perjalanan jihad dengan menelantarkan keluarganya.
Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Ia adalah
paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan.
Dalam perspektif ilmu, radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau posisi yang mendambakan
perubahan terhadap status quo dengan cara menggantinya dengan sesuatu yang sama sekali
baru dan berbeda.1 Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung
yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi,
kelembagaan, atau nilai.
Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh beberapa
hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: Pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau
menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap egois, yakni sikap yang
membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif,yakni sikap tertutup
dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner, yakni
kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.2
Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme.
Revivalisme merupakan intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward
oriented), dengan artian pengaplikasian dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri
pribadi. Adapun bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward oriented), atau
kadang dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim disebut
fundamentalisme.3
Dalam bahasa Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan beberapa istilah, antara
lain al-‘unf, at-tatha}r ruf, al-guluww, dan al-irhab>., Abdullah an-Najjar mendefiniskan al-‘unf dengan
penggunaan kekuatan secara (main hakim sendiri) untuk memaksanakan kehendak dan
pendapat.4 Sekalipun kata ini tidak digunakan dalam al-Qur’an, tetapi beberapa hadis NabiSaw.
Menyebutnya, baik kata al-‘unf maupun lawannya (ar- rifq). Dari penggunaan kata tersebut dalam
hadis-hadis, tampak jelas bahwa Islam adalah agama yang tidak menyukai kekerasan terhadap
siapa pun, termasuk penganut agama yang berbeda. Sebaliknya Islam adalah agama yang penuh
dengan kelembutan.

1
EdiSusanto,“Kemungkinan Munculnya PahamIslam Radikal diPesantren”, dalam Jurnal Tadris
(Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Pamekasan, 2007), Vol. 2, No. 1, h.3.
2
AgilAsshofie, “Radikalisme Gerakan Islam”, http://agil-asshofie. blogspot.com/ 2011/10 /radikalisme-
gerakan-politik.html,
3
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
1999), h. 46-47.

4
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama,Tafsir al-Qur’an Tematik, jilid 1 (Jakarta:
Kamil Pustaka, 2014), h. 97
Mereka meninggalkan sesuatu yang belum tentu haram dan mengharamkan kepada diri
dan orang lain dengan anggapan pilihan sikap itu paling sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Mereka tidak segan-segan menghina aliran dan mazhab yang dianut orang yang berbeda
pendapat dengannya sebagai aliran sesat. Mereka mengambil sikap berlebihan kepada orang lain
yang berbeda dengan pendapatnya, misalnya menuduh orang lain sebagai ahli bid’ah dan
mengklaim diri sebagai ahli sunnah sejati, bahkan tidak segan-segan mengkafirkan dan
menghalalkan darah orang lain.
Ciri lainnya mereka menganggap orang lain sebagai kelompok jahiliah modern, yang tak
layak diikuti. Mereka mengharamkan bermakmum kepada orang yang berada di luar
kelompoknya dan menganggap sia-sia shalat di belakang orang yang fasiq. Mereka juga menuduh
ulama yang tidak sejalan dengannya sebagai ulama sesat (ulama’ al-sû’) dan melecehkannya
secara terbuka. Mereka selalu memisahkan diri dengan umat Islam yang tidak sejalan dengannya
di dalam melakukan berbagai aktifitas, termasuk ibadah shalat berjamaah. Mereka tidak mau
berpartisipasi dalam gagasan yang dirintis atau diprakarsai oleh kelompok lain yang bukan
kelompoknya.
Mereka sering melakukan interpretasi dalil agama sesuai dengan ideologinya, tidak
peduli itu kontroversi di kalangan umat mayoritas. Mereka tidak takut dan terbiasa hidup di
dalam perbedaan dan keterasingan dengan umat mainstream. Mereka bisa saja memotong ayat
atau hadis untuk mengambil dasar pembenaran terhadap ajarannya, misalnya ayat-ayat jihad di
ambil pertengahan atau potongan yang mendukung perjuangannya, seperti firman Allah:
“…maka bunuhlah orang-orang musyrikin (non-muslim) itu di mana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka. …..” Q.S. al-Taubah [9]: 5.
Mereka juga sering mengabaikan sabab nuzul ayat dan sabab wurud hadis demi untuk
memokuskan makna ayat kepada ajarannya. Mungkin saja ayat atau hadis itu menunjuk kepada
satu kasus yang yang sangat spesifik tetapi diperlakukan secara general, contohnya firman Allah
Swt:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka….” (Q.S. al-Baqarah [2]:191).
Ayat ini turun sebagai direction dalam salah satu peperangan Nabi di Madinah, tetapi kemudian
diperlakukan secara general.

B. Indikator Islam Radikal


1. Takfiri
Takfiri adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainya (atau
kadang juga mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain) sebagai kafir dan murtad.
Tuduhan itu sendiri disebut takfir, berasal dari kata kafir (kaum tidak beriman), dan
disebutkan sebagai “orang yang mengaku seorang Muslim tetapi dinyatakan tidak murni
Islamnya dan diragukan keimanannya. Tindakan menuduh Muslim lain sebagai “kafir” telah
menjadi suatu bentuk penghinaan sektarian, yaitu seorang Muslim menuduh Muslim sekte
atau aliran lainnya sebagai kafir. Tindak kekerasan yang berawal dari tuduhan mengkafirkan
Muslim lain kian marak dengan merebaknya ketegangan antara Sunni dan Syiah di Timur
Tengah, khususnya setelah pecahnya Perang Saudara Suriah pada 2011.
Dalam Islam memang ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh
dikafirkan. Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori :
a. Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam
b. Kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.
Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang
disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya Ash-Shalâh. Beliau menuturkan,
kufur terbagi (menjadi) dua jenis, :
1) Kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini berlawanan
dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada seseorang yang
melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya mencaci Allah, memaki Nabi-
Nya, menyakiti Nabi, bersujud kepada kuburan dan patung, melemparkan mushaf
ke tempat kotor, atau contoh-contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para
ulama. Orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai
kafir.
2) Kufur yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam
menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan
maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.

ٌ‫ ِﺳﺒَﺎبُ ا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِﻢِ ﻓُﺴُﻮْ قٌ وَ ِﻗﺘ َﺎﻟُﮫُ ُﻛﻔْﺮ‬.


“Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur” [Hadits
Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64]

َ‫ﻣَﻦْ َﺣﻠَﻒَ ِﺑﻐَﯿ ِْﺮ ﷲِ ﻓَﻘَ ْﺪ َﻛﻔَﺮَ أ َوْ أَﺷْﺮَ ك‬


“Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir atau
musyrik” [Hadits Riwayat Tirmidzi]

.ٍ ‫ْﺾ‬
ٍ ‫ﻀﻜُﻢ ِرﻗَﺎبَ ﺑَﻌ‬
ُ ‫ﻻَ ﺗَﺮْ ﺟِ ﻌُﻮْ ا ﺑَ ْﻌﺪِيْ ُﻛﻔﱠﺎرً ا َﯾﻀ ِْﺮبُ َﺑ ْﻌ‬
“Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian membunuh
yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65]
Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat
tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini
halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi
(penghalalan secara hati).

2. Akidah Al-Walâ’ dan Barâ’


Al-Walâ’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain mencintai,
menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah (ُ ‫)ا ْﻟﻤُﻮَ اﻻَة‬
adalah lawan kata dari al-mu’aadaah (ُ ‫ )ا ْﻟ ُﻤﻌَﺎدَاة‬atau al-‘adawaah (ُ ‫ )ا ْﻟﻌَﺪَوَ اة‬yang berarti
permusuhan. Dan kata al-wali (‫ )اﻟْﻮَ ﻟِﻰ‬adalah lawan kata dari al-‘aduww ( ‫ )ا ْﻟﻌَﺪُوﱡ‬yang berarti
musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia
merupakan kata yang mengandung arti yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Walâ’ berarti penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan
orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah
dan membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh
komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta
membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang kafir.
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain
menjauhi, membersihkan diri, melepaskandiri dan memusuhi. Kata barî’ (‫ )ﺑ َِﺮي َء‬berarti
membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain. Allah Swt
berfirman: “(Inilahpernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah:
1] Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan
kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang dibenci Allah
secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Walâ’ wal barâ’ merupakan salah satu di antara tuntutan syahadat yang diikrarkan
oleh seorang mukmin. Ia adalah bagian dari makna kalimat tauhid, yaitu berlepas diri dari
setiap sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bagi seorang mukmin, ikatan walâ’ wal barâ’
merupakan ikatan iman yang paling kokoh yang dimiliki oleh dirinya. Sebagaimana yang
ditegaskan oleh Nabi Saw dalam sabdanya: “Sungguh ikatan keimanan yang paling kokoh
adalah kamu mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ahmad)
Namun sayangnya, sebagian umat Islam masih ada yang salah kaprah dalam
menerapkan konsep akidah yang satu ini. Di antara penyebabnya adalah munculnya
penyempitan makna wala’ wal bara’ oleh sebagian kelompok. Siapa pun yang berada dalam
jamaahnya maka harus didekati dan dicintai. Sebaliknya, siapa pun yang berada di luar
jamaahnya maka berhak untuk dimusuhi dan dijauhi.

C. Bom Bunuh Diri


Serangan bunuh diri adalah suatu serangan yang dilakukan (para) penyerangnya
dengan maksud untuk membunuh orang (atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut
mati dalam proses serangannya, misalnya dengan sebuah ledakan bom atau tabrakan yang
dilakukan oleh si penyerang. Istilah ini kadang-kadang digunakan secara bebas untuk sebuah
kejadian yang maksud si penyerang tidak cukup jelas meskipun ia hampir pasti akan mati
karena pembelaan diri atau pembalasan dari pihak yang diserang. Di zaman modern,
serangan seperti itu seringkali dilakukan dengan bantuan kendaraan atau bahan
peledak seperti bom (bom bunuh diri) atau keduanya (misalnya kendaraan yang dimuati
dengan bahan peledak). Bila semua rencana berjalan mulus, si penyerang akan terbunuh
dalam tabrakan atau peledakan.
Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya
Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)
RasulullahSaw bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu
alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal itu diberikan udzur dan pelakunya tidak
berdosa berdasarkan firman AllahSwt:
“Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian
sengaja akan tetapi (yang berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS. Al-
Ahzab: 5).
Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan
mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan atau pelanggaran syari’at. Apalagi
dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang
dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa ada alasan yang dibenarkan syari’at.
Allah berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan
kecuali dengan cara yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33)
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang
bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku
(Muhammad) adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: [1] nyawa
dibalas nyawa (qishash), [2]seorang lelaki beristri yang berzina, [3] dan orang yang
memisahkan agama dan meninggalkan jama’ah (murtad).” (HR. Bukhari Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar.
Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya
untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah Swt. berfirman;
“Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin lain kecuali karena
tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka
wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang
diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk
bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92).
Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, ini
jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan
dengan alasan jihad. Ulama Ahlussunah tidak merestui aksi terorisme dalam bentuk
apapun, dan tidak ada satu pun ulama yang merestui perbuatan demikian. Adapun yang
difatwakan sebagian ulama mengenai bolehnya melakukan aksi bom bunuh diri itu dalam
kondisi peperangan atau di medan perang melawan kuffar. Bukan dalam kondisi aman
atau di negeri-negeri yang tidak sedang terjadi peperangan atau yang orang-orang kafir
dijamin keamanannya di sana.
Syekh Al-Qardawi mengategorikan bahwa perjuangan rakyat Palestina dengan
meledakkan dirinya sebagai tindakan pengorbanan (‘amaliyyat fida’iyyah), ketimbang bunuh
diri. Meskipun seringkali sasaran pengeboman adalah warga sipil, tetapi Al-Qardhawi
memakai kaidah hukum al-dharûrât tubîh al-mahdzûrât (keadaan darurat membolehkan yang
diharamkan) atas konsekuensi tersebut.
Pernyataan Syekh Al-Qardawi ini memicu beragam respon dari berbagai kalangan
termasuk diantaranya adalah Professor Hashim Kamali, seorang pakar hukum internasional.
Dalam bukunya yang diterjemahkan berjudul Membumikan Syariah, Ia menjelaskan bahwa
apa yang diungkapkan Al-Qardawi memang terbatas pada kasus Palestina. Akan tetapi premis
fatwa yang mengatakan bahwa sasaran pengeboman hanyalah sasaran pengalihan adalah
juga kurang tepat. Hashim Kamali meyakini bahwa pelaku bom tersebut memang menyasar
warga sipil karena tidak bisa menjangkau barak militer Israel dan ini menyalahi prinsip
mubasyarah, pihak pertama yang semestinya jadi sasaran. Oleh karenanya, Hashim Kamali
menyatakan bahwa terlalu simplistik menfatwakan tindakan bom bunuh diri warga Palestina
dan juga dimana pun daerah tinggalnya, disamakan dengan jihad dan pelakunya dihukumi
sebagai mati syahid. Hal ini karena tindakan tersebut menyalahi dua prinsip fundamental
ajaran Islam: pertama keharaman bunuh diri secara mutlak dan kedua haramnya membunuh
orang-orang sipil yang tidak bersalah.
KEGIATAN BELAJAR 2
TRANSAKSI MODERN

Capaian pembelajaran yang diharapkan pada meteri ini adalah;


Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan perspektif tawassuth,
tawaazun, dan tasaamuh, yang berkategori advance materials secara bermakna yang dapat
menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam
kehidupan sehari-hari.

Subcapaian Pembelajaran
1.1. Memahami hukum muamalat dan transaksi berbasis tenologi dan elektrik atau
online
1.2. Mengakomodir ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Pendidikan agama Islam
Pokok-Pokok Materi;
1. Pengertian Transaksi Modern
2. Jenis-jenis transaksi Modern; transaksi online, dan nikah onlie
3. Kloning

Uraian Materi
A. Pengertian Transaksi Modern
Pengertian transaksi adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dan dapat
menimbulkan perubahan terhadap harta atau keuangan, baik itu bertambah maupun
berkurang. Contoh dari melakukan transaksi diantaranya ialah membeli barang, menjual
barang, berhutang, memberi hutang, dan membayar berbagai kebutuhan hidup. Dahulu,
kegiatan transaksi dilakukan dengan tatap muka (face to face), namun pada era modern
ini transaksi tidak mengharuskan dua atau lebih orang yang bertransaksi untuk bertemu.
Hal ini juga yang menjadi ciri dari kegiatan transaksi modern yaitu transaksi yang dilakukan
secara online. Transaksi online adalah transaksi yang dilakukan penjual dan pembeli secara
online melalui media internet, tidak ada perjumpaan langsung antara pembeli dan penjual.
Era digital, perkembangan transaksi serba online; jual bei secara online seperti Lazada,
shape,dan lain-ain. Trasportasi oneline seperti grap, gojek, dana lain-lain, e- tall, e-ticket,
dan lain-lain, segala langkah masyarakat dihadang serba e- termasuk perkembanagn
transaksi perekomonian dan perdagangan.

B. Jenis-jenis Transaksi Modern


1. Jual Beli Online
Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama
manusiagunamemenuhikebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya
system penukaran barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan
kehadiran antara penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan
transaksi (ijab dan kabul). Namun dengan kemudahan fasilitas dan semakin canggihnya
teknologi, proses jualbeli yang tadinya mengharuskan cara manual biasa saja dilakukan via
internet.
Jual-beli merupakan salah satu kegiatan sosial di masyarakat, baik di desa maupun kota.
Transaksi jual-beli hamper setiap waktu dapat kita jumpai. Pertanyaannya, dengan
perkembangan zaman yang memungkinkan kita bertransaksi lewat internet, bagaimana hokum
jual beli online menurut Islam? Apakah transaksi online memenuhi syarat ijab kabul yang
ditentuka ndalam Islam?
Menurut kitab FathulMu’in, Ijab dan qabuldalamtransaksiekonomiadalah:

‫واﻟﻘﺒﻮل ھﻮ ﻣﺎ دل ﻋﻠﻲ اﻟﺘﻤﻠُﻚ ﻛﺬاﻟﻚ‬،‫اﻻﯾﺠﺎب ھﻮ ﻣﺎ دل ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻤﻠِﯿﻚ دﻻﻟﺔ ظﺎھﺮة‬


Ijab adalah bukti yang menunjukan atas penyerahan dengan bukti yang jelas (dapat
dipertanggungjawabkan), sedangkan Kabul adalah bukti yang menunjukan atas penerimaan.
AdapunpandanganmayoritasmazhabSyafiimenyarankan agar barang yang
akandijualbelikanharusterlihatterlebihdahulusecarakasatmata. Namun,
inimerupakanbentuk ihtiyath (kehati-hatian) agar tidak terjadi penipuan sebagaimana hadis
Nabi Saw.:

ِ‫ ﻋَﻦْ َﺑ ْﯿﻊِ ا ْﻟ َﺤﺼَﺎةِ وَ ﻋَﻦْ َﺑ ْﯿﻊ‬-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- ِ ‫ﻋَﻦْ أَﺑِﻰ ھُﺮَ ﯾْﺮَ ة َ ﻗَﺎ َل َﻧﮭَﻰ رَ ﺳُﻮ ُل ﱠ‬
.‫ا ْﻟﻐَﺮَ ِر‬
Artinya : “Rasulullah melarang jualbeli dengan lemparan batu dan penipuan” (HR Muslim)
Berdasarkan kebiasaan, sebelum transaksi pembeli biasanya telah
melihat mabi’ (barang yang dijual) dan telah dijelaskan sifat dan jenis barang tersebut (salam)
serta memenuhi syarat dan rukunjualbeli yang lainnya oleh penjualmelalui situs online yang
dimiliknya.
Selainitu, bilasudahcocokatasbarang yang dideskripsikan oleh penjual, pembeli
mentransfer biaya yang ditentukan penjual, dan menunjukkan struk pembelian. Setelah itu,
penjual melakukan proses pembelian. Bila praktik jualbeli online seperti ini sudah dilakukan
dan tidak ada yang dirugikan, maka hokum jualbeli online menjadi sah. Hal tersebut
sebagaimana difatwakan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri dalam karyanya
syarah Al-Yaqut an-Nafis:

‫واﻟﻌﺒﺮة ﻓﻰ اﻟﻌﻘﻮد ﻟﻤﻌﺎﻧﯿﮭﺎ ﻻ ﻟﺼﻮر اﻻﻟﻔﺎظﻮﻋﻦ اﻟﺒﯿﻊ و اﻟﺸﺮاء ﺑﻮاﺳﻄﺔ اﻟﺘﯿﻠﻔﻮن‬


‫واﻟﺘﻠﻜﺲ واﻟﺒﺮﻗﯿﺎت ﻛﻞ ھﺬه اﻟﻮﺳﺎﺋﻞ واﻣﺜﻠﮭﺎ ﻣﻌﺘﻤﺪ اﻟﯿﻮم وﻋﻠﯿﮭﺎ اﻟﻌﻤﻞ‬
Yang dipandang dalam transaksi adalah kontennya bukan bentuk lafalnya.Transaksi
jual beli dengan menggunakan alat informasi seperti telepun, tekx dan telegram
yang digunakan sekarang boleh dipakai

2. Nikah Online
Pernikahandalam Islam memilikibeberaparukun dan syarat. Rukun dan syarat nikah
memengaruhisahatautidaknyapernikahanmenurut Islam. Rukun nikah yang disepakati
oleh mayoritas ulama terdiridari lima rukun; ada mempelai pria, ada mempelai wanita,
adawali nikah, adanya dua orang saksi, dan ada ijabkabul. Seiring majunya teknologi, ada
beberapa rukun nikah yang dilaksanakan secara jarak jauh dengan bantuan teknologi.
Beberapa yang kerap ditemui adalah mempelai pria mengucapkan kabul di tempat yang
jauh dari mempelai wanita, wali, dan duasaksi. Fasilitas telepon atau video call dipakai
untuk mengucapkan akad nikah jarakjauh. Lalu, apakah akad nikah seperti ini
diperbolehkan?
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan, ulama fikih berpendapat jika ijab dan
kabul dipandang sah apabila telah memenuhi beberapa persyaratan. Ijab kabul
sendirimemilikiempatsyarat yang harusdiperhatikan;
a. ijab dan kabuldilakukandalamsatumajelis.
b. kesesuaianantaraijab dan kabul. Misalnyawalimengatakan, "Saya
nikahkanandadenganputrisaya A...", kemudiancalonsuamimenjawab, "Saya
terimanikahnya B...", makanikahnyatidaksah, karenaantaraijab dan
kabultidaksesuai.
c. yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali ijabnya sebelum kabul dari
calon suami.
d. Berlaku seketika. Maksudnya, nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang
akan datang. Jika wali mengatakan, "Saya nikahkan anda dengan putri saya
besok atau besok lusa," maka ijab dan kabul seperti ini tidak sah.
Pengertian ijab dan Kabul dalam satu majelis ini tidak semua ulama sepakat soal
penjelasannya. Ada yang mengartikan harus dalam satu tempat, ada pula yang
mengartikan tak harus dalam satu tempat. Imam Syafi'I lebih cenderung memandangnya
dalam arti fisik. Wali dan calon suami harus berada dalam satu ruangan sehingga mereka
dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan
Memahami secara jelas ijab dan kabul yang mereka ucapkan. Sehingga ijab dan Kabul
benar-benar sejalan dan bersambung.
Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi juga harus melihat secara langsung dua orang
yang berakad. Dua orang saksi tidak cukup hanya mendengar ucapan ijab dan kabul yang
diucapkan oleh mereka. Kepastian itu diperoleh saksi melalui penglihatan dan
pendengaran yang sempurna. Meskipun keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat
dipastikan dengan pendengaran yang jelas, namun kepastian itu harus diperoleh dengan
melihat secara langsung wali dan calon suami.
Apabilawaliberteriakkerasmengucapkanijabdarisatutempat, kemudiandisambut oleh
kabulcalonsuamidengansuarakeras pula daritempatlain, dan masing-masing pihak saling
mendengar ucapan yang lain, maka aka nikah seperti itu tidak sah. Karena, kedua saksi
tidak dapat melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam satu ruangan. Dengan
demikian, menurut Imam Syafi'i, akad nikah jarak jauh melalui telepon tidak dapat
dipandang sah karena syarat tersebut di atas tidak terpenuhi.
Sementara pendapat berbeda diungkapkan MajelisTarjih PP Muhammadiyah dalam
kumpulan fatwanya. Menurut Majelis Tarjih, yang dimaksud dengan ijabkabul dilakukan
dalam satu majelis adalah ijab dan kabult erjadi dalam satu waktu. Yang lebih dipentingkan
adalah kesinambungan waktu bukan tempat.

3. Kloning
Kata kloninginiberasaldari kata “clone” kata dalambahasainggris yang berarti
potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman, kloning ini pertama kali
muncul dari usulan Herbert Webber pada tahun 1903 dalam mengistilahkan
sekelompok individu makhluk hidup yang dilahirkan dari satu induk tanpa proses
seksual. Secara definisi dan pengertian, cloning adalah suatu upaya tindakan untuk
memproduksi atau menggandakan sejumlah individu yang hasilnya secara genetik
samapersis (identik) berasal dari induk yang sama, mempunyai susunan (jumlah dan
gen) yang sama. Sedangkan cloning adalah sejumlah organisme hewan maupun
tumbuhan yang terbentuk melalui hasil reproduksi seksual dan berasal dari satu induk
yang sama. Setiap bagian dari klon tersebut memiliki susunan dan jumlah gen yang
sama dan kemungkinan besar fenotipnya juga akan sama.
Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian).
Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama.
Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning
ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat
berikut:
‫ﻀﻐَ ٍﺔ ُﻣ َﺨﻠﱠﻘَ ٍﺔ وَ َﻏﯿ ِْﺮ ُﻣ َﺨﻠﱠﻘَ ٍﺔ‬
ْ ‫ﻋﻠَﻘَ ٍﺔ ﺛ ُ ﱠﻢ ﻣِ ﻦْ ُﻣ‬
َ ْ‫ﻄﻔَ ٍﺔ ﺛ ُ ﱠﻢ ﻣِ ﻦ‬
ْ ُ‫ب ﺛ ُ ﱠﻢ ﻣِ ﻦْ ﻧ‬
ٍ ‫ﻓَﺈِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ﻣِ ﻦْ ﺗ ُﺮَ ا‬
(5 :‫ ِﻟﻨُﺒَﯿِّﻦَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ وَ ﻧُﻘِﺮﱡ ﻓِﻲ اْﻷ َرْ ﺣَﺎمِ ﻣَﺎ ﻧَﺸَﺎ ُء … )اﻟﺤﺞ‬.
“… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa
ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia
mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan
hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas
tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi
ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada AllahSwt
sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-
Qur’an bahwa AllahSwt telah menciptakan Nabi Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan
Nabi Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut:

:‫ب ﺛ ُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل ﻟَﮫُ ﻛُﻦْ ﻓَﯿَﻜُﻮنُ )ال ﻋﻤﺮان‬


ٍ ‫إِنﱠ َﻣﺜ َ َﻞ ﻋِﯿﺴَﻰ ِﻋ ْﻨﺪَ ﷲِ َﻛ َﻤﺜ َ ِﻞ ءَادَ َم َﺧﻠَﻘَﮫُ ﻣِ ﻦْ ﺗ ُﺮَ ا‬
(59
“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan)
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
“Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 59).
Pada surat yang sama juga dikemukakan:

‫ﺸِﺮُ كِ ﺑِ َﻜ ِﻠ َﻤ ٍﺔ ﻣِ ْﻨﮫُ ا ْﺳ ُﻤﮫُ ا ْﻟ َﻤﺴِﯿ ُﺢ ﻋِﯿﺴَﻰ اﺑْﻦُ ﻣَﺮْ ﯾَ َﻢ وَ ﺟِ ﯿﮭًﺎ‬


ّ َ‫ﺖ ا ْﻟ َﻤﻼَﺋِ َﻜﺔُ ﯾَﺎﻣَﺮْ ﯾَ ُﻢ إِنﱠ ﷲَ ﯾُﺒ‬ ِ َ‫إِ ْذ ﻗَﺎﻟ‬
ِ ّ‫ ﻗَﺎﻟَﺖْ رَ ب‬. َ‫ﱠﺎس ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤ ْﮭ ِﺪ وَ َﻛ ْﮭﻼً وَ ﻣِ ﻦَ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِ ﯿﻦ‬َ ‫ وَ ﯾُ َﻜ ِﻠّ ُﻢ اﻟﻨ‬. َ‫ﻓِﻲ اﻟﺪﱡ ْﻧﯿَﺎ وَ ْاﻵﺧِ ﺮَ ةِ وَ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟ ُﻤﻘَﺮﱠ ﺑِﯿﻦ‬
‫ﺴ ْﺴﻨِﻲ ﺑَﺸَﺮٌ ﻗَﺎ َل َﻛﺬَﻟِﻚِ ﷲُ ﯾَﺨْ ﻠُﻖُ ﻣَﺎ ﯾَﺸَﺎ ُء إِذَا ﻗَﻀَﻰ أ َﻣْ ﺮً ا ﻓَﺈِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﻘُﻮ ُل‬ َ ْ‫أَﻧﱠﻰ ﯾَﻜُﻮنُ ﻟِﻲ وَ ﻟَﺪ ٌ وَ ﻟَ ْﻢ ﯾَﻤ‬
.(47 -45 :‫ﻟَﮫُ ﻛُﻦْ ﻓَ َﯿﻜُﻮنُ )ال ﻋﻤﺮان‬
“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah
menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan
kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya al-Masih `Isa putera Maryam, seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada
Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan
dia termasuk di antara orang-orang yang saleh. Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa
mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-
lakipun”. Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka
Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 45-
47).
Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala
sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem
sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah
menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada
kasus penciptaan Adam As. dan Isa As. Jika kloning manusia benar-benar menjadi
kenyataan, maka itu adalah atas kehendak AllahSwt. Semua itu, jika manipulasi
bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi
keimanan kita kepada AllahSwt sebagai Pencipta, karena bahan-bahan utama yang
digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda ciptaan
AllahSwt.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan
bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak
yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari
kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas.
Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis
semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-
orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh,
kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta
merusak aturan hukum Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz
Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan
mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau
mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang
Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.
M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga
berpendapat teknik kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan
institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki
untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut
evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya yang dapat hidup).
Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut
masalah hak waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning
hanya mempunyai DNA dari donor nucleus saja, sehingga walaupun nukleus berasal
dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak membawa
DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah, hanya sebagai
anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya,
terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah
kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas,
alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan. Demikian pula masalah
kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent, barangkali akan lebih
kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari suami dan yang mengandung
bukan ibunya.
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan
alasan sebagai berikut:
a. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami
agama.
b. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu
c. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum
ia ketahui (lihat QS. 96/al-‘Alaq).
d. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin
Allah (lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa
penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah
juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya.
Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip
yang diajarkan dalam Islam.
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan
ataupun membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan
di dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih
bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning
pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau
sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai
implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka
kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa
berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure
science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.
Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan Doktrin
Agama, pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan, budayawan
dan agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi
dan orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap
tidak adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang “tertipu” dan
“kecewa”. Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih
seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua sisi tersebut sekaligus.
Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah persoalan kloning
secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan
agama menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning
itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada
keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan
syara’ tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan bencana. Kesimpulan yang
diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara
jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.
Untuk menentukan apakah syari’at membenarkan pengambilan
manfaat terapeutik dari kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a
vis mudharat dari praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka
manfaat dan mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia dalam
menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang,
lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien
untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan riset
kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri
penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat disembuhkan adalah boleh, bahkan
dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini karena ada sebuah hadits
yang menyebutkan: “Untuk setiap penyakit ada obatnya”. Namun, perlu ditegaskan
bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada janin-janin hasil
kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi mengandung penyakit tesebut
dapat melanggar hak hidup manusia.
b. Infertilitas. Kloning manusia memang dapat memecahkan problem
ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E.
Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277 kali
percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning “Dolly”. Kloning manusia tentu
akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada eksperimen awal untuk
menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan terjadi banyak sekali
keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio yang dihasilkan
hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga
embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan
menimbulkan problem serius, karena nenurut syari’at pengancuran embrio adalah
sebuah kejahatan. Selain itu, teknologi kloning melanggar sunnatullah dalam
proses normal penciptaan manusia, yaitu bereproduksi tanpa pasangan seks, dan
hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan. Produksi manusia-manusia kloning
juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak negatif pada hukum
waris Islam (al-mirâts).
c. Organ-organ untuk transplantasi. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat
mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio
hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh
manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari
manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam, karena
hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia Namun, jika penumbuhan
kembali organ tubuh manusia benar-benar dapat dilakukan, maka syari’at tidak
dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali
organ yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja
di pertambangan atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul
pertanyaan mengenai kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang
yang dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.
d. Menghambat Proses Penuaan. Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat
menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning. Namun
hal ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa berikut:
Orang-orang Badui datang kepada NabiSaw, dan berkata: “Hai Rasulallah,
haruskah kita mengobati diri kita sendiri? NabiSaw menjawab: “Ya, wahai hamba-
hamba Allah, kalian harus mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya
Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu
macam penyakit”. Mereka bertanya: “Apa itu?” Nabi Saw menjawab: “Penuaan”.
e. Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan
embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini
dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbanganSeseorang
tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.
Sebuah hadits menyatakan: “Di antara orang-orang yang akan dimintai
pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka
dan memakan hasilnya”.
Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning
manusia jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan
karenanya umat Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning
manusia.
KEGIATAN BELAJAR 3
GENDER DAN PERMASALAHANNYA

Capaian pembelajaran yang diharapkan pada meteri ini adalah;


Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan perspektif tawassuth,
tawaazun, dan tasaamuh, yang berkategori advance materials secara bermakna yang dapat
menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam
kehidupan sehari-hari.

Sub Capaian pembelajaran


1.1. Menganalisis kedudukan gender dan cadar dalam Islam
1.2. Menunjukkan perilaku penyetaraan gender di masyarakat
1.3. Menunjukkan kedudukan LGBT sebgai manusia yang terhormat dan kembali
pada fitrah yang sesungguhnya

Pokok-pokok Materi:
1. Permalasalah gender
2. Gender dalam Islam
3. Cadar bagi wanita
4. LGBT

Uraian Materi
1. Permasalahan Dalam Gender
Konsep urgen yang perlu dipahami dalam diskursus gender adalah
membedakan dua hal yang berbeda, yaitu gender dan jenis kelamin. Dengan
memisahkan makna antara gender maka setiap pendidik dan orangtua akan
mampu membedakan antara yang kodrati dengan yang bukan kodrati.
Jenis kelamin adalah suatu hal yang menunjukkan pada pembagian sifat dua
jenis kelamin manusia secara biologis. Sebagai contoh dari jenis kelamin laki-laki
yaitu memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat kelaki-lakian, seperti memiliki
penis, jakun, serta mampu menghasilkan sperma. Sementara itu, jenis kelamin
perempuan juga memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat perempuan, di
antaranya memiliki vagina, rahim, payudara, serta menghasilkan ovum. Sifat-sifat
tersebut melekat selamnaya pada manusia yang memiliki jenis kelamin laki-laki
dan perempuan. Hal ini memberikan makna bahwa secara biologis, semua organ
yang dimiliki baik oleh laki-laki tidak akan bisa ditukar pada jenis kelamin
perempuan. Begitu pula sebaliknya, seluruh organ yang dimiliki perempuan tidak
akan dibenarkan untuk ditukar dengan organ laki-laki. Hal demikian inilah yang
disebut ketentuan ilahi yang tidak dibenarkan untuk dipertukarkan dan bersifat
kodrati.
Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dibangun dari interaksi sosial dan budaya. Sebagai contoh bahwa perempuan
lebih dipahami sebagai seseorang yang feminim, lemah lembut, serta memiliki
sifat-sifat keibuan. Sementara laki-laki lebih dipahami sebagai sosok seseorang
yang maskulin, rasionalis, serta memiliki kekuatan yang lebih dari perempuan.
Namun, kedua sifat tersebut esensinya dapat dipertukarkan. Dalam kehidupan
sehari dapat ditemukan bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan
seperti lemah lembut dan keibuan. Perubahan tersebut berlangsung dari masa ke
masa dan di berbagai tempat. Hal inilah yang disebut sebagai hal yang bukan
kodrati.1 Gender juga dipahami sebagai konstruksi sosial yang terkait sikap,
peraturan, tanggungjawab, dan pola tingkah laku laki-laki dan perempuan dalam
segala kehidupannya.2
Selain itu, dalam pemahaman gender, dikenal juga dengan sifat gender, peran
gender, dan ranah gender. Sifat gender merupakan sifat dan tingkah laku yang
terdapat pada laki-laki dan perempuan. Peran gender merupakan hal-hal atau
perilaku yang wajar atau tidak dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang
berlandaskan pada value (nilai), kultur, serta norma masyarakat yang
berlangsung pada waktu tertentu. Sedangkan ranah gender yaitu ruang bagi laki-
laki dan perempuan untuk memainkan perannya masing-masing. Ranah dalam
hal ini terbagi dua yaitu ranah domestik dan publik Ranah domestik yaitu ruang
atau wilayah sekitar kehidupan rumah tangga seperti sumur, dapur dan kasur,
sementara wilayah publik yaitu ruang atau wilayah pekerjaan umum seperti
pekerjaan di kantor, pasar dan pusat-pusat perbelanjaan.3
Maggie Humm sebagaimana dikutip Nur Rohmah menganggap patriarki
sebagai suatu sistem yang mengedepankan kekuasaan laki-laki yang

1
Ana Rosilawati, Perempuan dan Pendidikan: Refleksi atas Pendidikan Berspektif Gender, Hasil
Penelitian Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak, h. 2.
2
Gouri srivastava, Gender Concerns in Education, NCERT: India, tt, h. 1.
3
Siti Azisah dkk, Buku Saku Kontekstualisasi Gender, Islam dan Budaya, Makasar : UIN Alaudin Makasar,
2016, h. 6.
mendiskreditkan perempuan melalui lembaga sosial, dan ekonomi. Humm
menambahkan bahwa dalam histori masyarakat yang menganut sistem patriarki
baik feodal, kapitalis, maupun sosialis, akan memberikan ruang yang lebih
dominan bagi kaum laki-laki daripada perempuan dan menjadi media dan
ganjaran dari susunan kekuasaan internal dan eksternal rumah.
Selanjutnya, Nikmatullah sebagaimana dikutip Rosiawati menjelaskan
contoh konkret dari pemahaman gender dapat ditemui dalam kultur budaya
masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat yang
menganut sistem garis kebapakan (patriarkhi), memposisikan laki-laki sebagai
pemimipin dan pengambil segala keputusan, sementara perempuan tidak
diberikan ruang dan posisi yang signifikan dalam segala lini kehiduapan
bermasyarakat. Kaum perempuan dianggap berada pada posisi kelas kedua (the
second class) di bawah jenis kelamin laki-laki. Realita ini dapat disaksikan pada
tradisi perempuan suku Sasak, Jawa, Makasar. Berbeda dengan patriarkhi, pada
masyarakat yang menganut sistem jalur keibuan (matriarkhi) memposisikan
perempuan di atas laki-laki. Mereka memberikan ruang yang cukup besar kepada
kaum perempuan untuk memerankan peran laki-lakiu seperti menjadi pemimpin
dan pengambil keputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Realita ini dapat
dilihat pada tradisi masyarakat Minangkabau yang memberikan kesempatan bagi
perempuan untuk lebih dominan berperan daripada laki-laki.
Praktik ketimpangan gender terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu:4
a. Marginalisasi atau proses peminggiran/pemiskinan, yang mengakibatkan
kemiskinan secara ekonomi. Seperti dalam memperoleh akses
pendidikan, seperti pandangan yang menganggap bahwa perempuan
tidak penting untuk mengenyam pendidikan yang tinggi dikarenakan
nantinya akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
b. Subordinasi, yaitu pemahaman yang meyakini salah satu jenis kelamin
dianggap lebih unggul dan urgen dibanding jenis kelamin lain.
Pemahaman in juga memposisikan perempuan lebih rendah daripada
laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada masa lampau dimana perempuan tidak
mendapatkan kesempatan dan akses yang sama seperti laki dalam

4
Iswah Adrian, Kurikulum Berbasis Gender (Membangun Pendidikan yang Berkesetaraan) Jurnal Tadris
Vol. 4 No. 1, 2009, h. 140-141..
bidang pendidikan. Pada saat yang bersamaan, ketika kondisi keuangan
keluarga pas-pasan maka yang diprioritaskan untuk mengenyam
pendidikan adalah laki-laki.
c. Stereotipe, yaitu labeling (pelabelan) terhadap seseorang atau kelompok
yang tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Kegiatan ini secara umum
akan selalu melahirkan ketidakadilan. Hal ini berimplikasi kepada
terjadinya penindasan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sebagi
contoh berkembang pemahaman di masyarakat bahwa perempuan
hanya mampu berperan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.
Sementara laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dalam hal
melakukan pekerjaan di luar rumah seperti mencari nafkah, menjalankan
bisnis, bahkan aktif dalam perpolitikan.
d. Violence yaitu suatu bentuk serangan terhadap fisik maupun psikologis
seseorang. Kekerasan terhadap seseorang tidak hanya tertuju pada fisik
saja seperti tindakan asusila dan lain sebagainya, namun juga mengarah
pada psikis seseorang.
e. Beban ganda yaitutanggung jawab yang dipikul satu jenis kelamin
tertentu secara berlebihan. Hal ini merujuk pada penelitian yang
menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh
perempuan.
Hal-hal tersebut di atas bermuara pada terjadinya diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan di lingkungan keluarga dan maupun sosial masyarakat. Membahas
tentang gender berarti memberikan ruang dan kesempatan yang sama antara
laki-laki untuk berkontribusi dalam pembangunan, ekonomi, politik dan budaya.
Dengan demikian kesetaraan gender bermakna memberikan akses yang sama
kepada laki-laki dan perempuan untuk menikmati pembangunan.

2. Gender dalam Pandangan Islam


Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangaun melalui pros es
internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu pandangan gender tidak terlepas dari dominasi
budaya laki-laki, bahkan dominasi budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku
masyarakat saja, tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadits
khususnya yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari budaya laki-laki. Hal ini sering kali
mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk menolak kesetaraan gender
(Arifin, et.al: 238). Akibat lain yang tidak kalah pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan
dari pihak yang tidak menyukai Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa
bahwa dalam ajaran Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan
masalah gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat di antara manusia, baik laki-
laki atau perempuan, antar suku bangsa atau keturunan. Al-Qur’an tidak membeda-bedakan derajat
kemuliaan manusia atas dasar itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia
itu diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian terhadap
AllahSwt. Mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan
dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak pula seperti yang dituduhkan oleh orang-
orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (Al-Qur’an), sangat memuliakan dan memberikan
perhatian serta penghormatan yang besar kepada perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada
laki-laki. AllahSwt telah berfirman:

‫ﯾﺎ أﯾّﮭﺎ اﻟﻨّﺎس اﺗ ّﻘﻮا رﺑّﻜﻢ اﻟّﺬى ﺧﻠﻘﻜﻢ ﻣّﻦ ﻧﻔﺲ وّ اﺣﺪة وّ ﺧﻠﻖ ﻣﻨﮭﺎ زوﺟﮭﺎ وﺑﺚّ ﻣﻨﮭﻤﺎ رﺟﺎﻻ‬
(1 ‫ﻛﺜﯿﺮا وّ ﻧﺴﺂء وّ اﺗ ّﻘﻮا ﷲ اﻟّﺬى ﺗﺴﺂءﻟﻮن ﺑﮫ و اﻷرﺣﺎم انّ ﷲ ﻛﺎن ﻋﻠﯿﻜﻢ رّ ﻗﯿﺒﺎ اﻟﻨّﺴﺎء‬
“Hai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu sekalian
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu sekalian saling meminta satu sama
lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan
mengawasi kamu sekalian (QS. al-Nisa’ 1).
‫ﯾﺎ اﯾّﮭﺎ اﻟﻨّﺎس إﻧّﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎﻛﻢ ﻣّﻦ ذﻛﺮ وّ أﻧﺜﻰ وﺟﻌﻠﻨﺎﻛﻢ ﺷﻌﻮﺑﺎ وّ ﻗﺒﺎءل ﻟﺘﻌﺎرﻓﻮآ إنّ أﻛﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨﺪ‬
(13 ‫ﷲ أﺗﻘﺎﻛﻢ إنّ ﷲ ﻋﻠﯿﻢ ﺧﺒﯿﺮ )اﻟﺤﺠﺮات‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).

‫ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﻣﻦ ذﻛﺮ أو أﻧﺜﻰ وھﻮ ﻣﺆﻣﻦ ﻓﻠﻨﺤﯿﯿﻨّﮫ ﺣﯿﻮة طﯿّﺒﺔ وّ ﻟﻨﺠﯿﻨّﮭﻢ أﺟﺮھﻢ‬
(97 ‫ﺑﺄﺣﺴﻦ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﻮا ﯾﻌﻤﻠﻮن )اﻟﻨﺤﻞ‬
“Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki ataupun perempuan, sedangkan
dia adalah orang yang beriman, maka sungguh akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik, dan sungguh akan kami balasi mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl 97)

Ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an) menolak


pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan.Keduanya
(laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama (jenis manusia), memiliki
peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan.
Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku dan bangsa agar saling
mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling memuliakan, bukan untuk
saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa membedakan jenis kelamin, suku,
bangsa, warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan yang baik
(kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa kepadaNya. Jenis
kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan tetapi iman
dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya.
Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu pekerjaan diluar
kesanggupannya. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah
penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya
perbedaan dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam
ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan,
melainkan pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan
perempuan.
Sesuai dengan kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan
struktur anatomi tubuh dan kekuatan yang berbeda. Ada jenis pekerjaan yang
hanya dapat dilakukan oleh perempuan, ada pula yang hanya sesuai untuk
laki-laki. Pekerjaan hamil, menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa dilakukan
oleh perempuan, sementara itu pekerjaan berat yang membutuhkan kekuatan
fisik (otot) tentu tidak sesuai jika harus dibebankan kepada perempuan.
Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat dikerjakan oleh perempuan,
tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya.
Pada dasarnya, perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja
selama mereka sanggup mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga
laki-laki harus dibebani dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka
hal ini tentu melanggar prinsip keadilan. Oleh karena itu, laki-laki dan
perempuan ditakdirkan untuk berpasangan atas dasar persamaan derajat,
duduk sama rendah berdiri sama tinggi, saling melengkapi dan saling
memuliakan antara yang satu dengan yang lain yang dibangun di atas dasar
prinsip keadilan, bukan untuk saling berhadapan dan saling merendahkan.
Tidak ada kelebihan derajat laki-laki atas perempuan dan sebaliknya kecuali
karena ketakwaannya kepada AllahSwt.
Kesalahpahaman di dalam memahami ajaran Islam tentang gender
antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan masalah
gender itu dalam Islam sebagai suatu sistem, melainkan ia melihat persoalan
gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam yang terpisah dari aspek-aspek
ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak menilai ajaran Islam, seseorang harus
melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang tidak boleh menilai Islam pada
aspek tertentu saja yang terpisah dari sistemnya. Secara akademis hal
demikian tidak dapat dibenarkan (Tafsir, 2008: 147). Misalnya tentang
pembagian warisan yang dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al-Qur’an,
bahwa anak laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak
perempuan. Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran
Islam tidak adil. Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada kesalahan pada
segi epistemologi.
Demikian pula dalam masalah poligami atau masalah-masalah lain
yang terkait dengan gender maupun yang tidak. Oleh karena itu, jika ada
pernyataan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur ketidakadilan,
maka yang harus dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami
al-Qur’an secara komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga
merasa ada ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada
kesalahan persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.

3. Cadar Bagi Wanita

Cadar bagi wanita, menurut Imam Asy Syafi’i ra menegaskan dalam Al Umm
(1/109);,
‫وﻛﻞ اﻟﻤﺮأة ﻋﻮرة إﻻ ﻛﻔﯿﮭﺎ ووﺟﮭﮭﺎ‬
“Dan setiap wanita adalah aurat kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya.”
Pendapatini yang masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada.
Imam Nawawi ra dalam Al-Majmu’ (3/169) mengatakan,
‫ان اﻟﻤﺸﮭﻮر ﻣﻦ ﻣﺬھﺒﻨﺎ أن ﻋﻮرة اﻟﺮﺟﻞ ﻣﺎ ﺑﯿﻦ ﺳﺮﺗﮫ ورﻛﺒﺘﮫ وﻛﺬﻟﻚ اﻻﻣﺔ وﻋﻮرة اﻟﺤﺮة‬
‫ﺟﻤﯿﻊ ﺑﺪﻧﮭﺎ اﻻ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ وﺑﮭﺬا ﻛﻠﮫ ﻗﺎل ﻣﺎﻟﻚ وطﺎﺋﻔﺔ وھﻲ رواﯾﺔ ﻋﻦ اﺣﻤﺪ‬
“Pendapat yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah
antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita
merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula
pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah
satu pendapat Imam Ahmad.”
Ibnul Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam Al
Awsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),
‫ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺮأة أن ﺗﺨﻤﺮ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة ﺟﻤﯿﻊ ﺑﺪﻧﮭﺎ ﺳﻮى وﺟﮭﮭﺎ وﻛﻔﯿﮭﺎ‬
“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya”.
Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim mengatakan,“Sungguh sangat aneh sebagian
orang yang menukil dari ulama Syafi’iyah dalam masalah ini, tidak bisa membedakan
antara dua hal:
a. Melihat wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah (godaan).
Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah.
b. Hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di atas
bahwa ulama Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat.
Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini sampai akhirnya rancu. Sehingga
mereka pun mensyaratkan hal kedua di atas (hukum menyingkap wajah) selama
aman dari fitnah. Ini jelas keliru karena telah mencampur adukkan dua hukum di atas.
Seperti kita contohkan lainnya, beda antara hukum suara wanita aurat atau bukan ?
dengan hukum wanita memberi salam pada laki-laki boleh ataukah tidak ?. Suara
wanita bukanlah aurat sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih.
Sedangkan memberi salam pada laki-laki itu disyaratkan boleh selama aman dari
fitnah.” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, 192-193)
Dalam madzhab Syafi’i jika dikatakan pendapat yang masyhur berarti adalah
pendapat di kalangan ulama madzhab (bukan pendapat Imam Syafi’i) dan merupakan
pendapat yang lebih tersohor, namun ada pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang
dalilnya juga kuat. Artinya ada sebagian ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat
bahwa menutup wajah itu wajib dan dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata
Imam Nawawi, pendapat yang menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan
selain wajah dan telapak tangan merupakan pendapat yang lebih tersohor di madzhab
Syafi’iyah.
Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah terdahulu dan belakangan. ulama
Syafi’iyah membedakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan
telapak tangan, ini berlaku dalam shalat. Sedangkan aurat di luar shalat adalah
seluruh badan termasuk wajah dan telapak tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh
‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam Nawawi)
memutlakkan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan.
Jika diperhatikan beda antara hukum memandang wajah wanita dan hukum
menyingkap wajah,ini dua hal dua hal yang berbeda.
Dalam buku “ al-Niqab adah wa laisa ibadah” yang ditulis oleh Prof Dr Hamdi
Zaqzuq Menteri Perwaqafan tahun 2008 menyatakan Para ulama Mesir senior
berpendapat bahwa cadar adalah sebagai tradisi kaum wanita bukan ibadah. Lebih
rinci pada buku itu dengan mengutip pandangan Syeikh Muhammad Al-Ghazali,dalam
bukunya Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna Ahli al-Fiqh Wa al-Rakyi, bahwa Islam
telah mewajibkan bagi wanita untuk membuka wajah dalam ibadah haji, ibadah shalat
dan tidak dalil dalam Al-qur’an hadis dan akal yang menyuruh menutup wajah. Ibadah
perlu dalil yang tegas, memang diketahui bahwa sebagian kaum wanita pada msa
jahiliyah dan awal Islam mengenakan cadar tutup wajah, tetapi perbuatan ini hanya
tradisi bukan ibadah.(Al-Niqab: 8-9 )
Sumber https://rumaysho.com/1760-menutup-wajah-menurut-madzhab-syafii.html

4. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).


Ada 4 istilah yang terangkum dalam singkatan LBJTini yaitu: 1) Lesbianartinya wanita
yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual dengan sesama wanita. 2) Gay
adalah istilah yang digunakan bagi lelaki penyuka sesama lelaki. 3) Biseksual adalah
orang yang memiliki ketertarikan kepada lelaki sekaligus kepada perempuan, dan 4)
Transgender adalah orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang
berbeda dengan seksnya yang ditunjuk saat lahir (waria/wadam).
Secara umum, empat istilah di atas disebut homoseksual, yaitu keadaan
tertarik kepada orang lain dari jenis kelamin yang sama. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
mengidentifikasikan tiga istilah yang relevan dengan LGBT yaitu zina, liwath dan
Sihaq.Pertama, Zina yaitu hubungan kelamin antara lelaki dengan wanita yang bukan
pasangan suami istri yang sah.Kedua, Liwath (Gay) yaitu hubungan homoseksual
antara lelaki dengan lelaki.Ketiga, Sihaq (lesbi) yaitu hubungan homoseksual antara
wanita dan wanita.
Para ulama sepakat bahwa Liwath (gay) dan Sihaq (lesbi) statusnya lebih buruk
dibandingkan Zina.Allah menyebutkan perilaku homoseksual (gay dan lesbi) dalam
Al-Quran pada ayat-ayat yang mengisahkan kehidupan ummat Nabi Luth As.Dari 27
ayat yang memuat kisah Nabi Luth As. dengan kaumnya, terdapat tiga ayat yang
menyebut perilaku homoseksual (gay dan lesbi) dengan “fahisyah”.Selain pada kedua
ayat di atas (Q.S. Al-A’raf [7]: 80 dan Q.S. Al-Ankabut [29]: 28 satu ayat lagi terdapat
pada Q.S. An-Naml [27]: 54
( ‫ِ أﺗﺄﺗﻮن اﻟ ﻔﺎﺣِﺸﺔ وأﻧﺘﻢ‬
‫ِﮫ‬‫ِﻘﻮﻣ‬
‫ِذ ﻗﺎل ﻟ‬
‫وﻟ ﻮﻃﺎ إ‬
٥٤) ‫ِﺮون‬
‫ﺗﺒﺼ‬
“Dan ingatlah kisah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “mengapa kamu mengerjakan
Fâhisyah (keji) sedang kamu memperlihatkannya?”.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan: “Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus Luth, dan ingatkanlah Luth ketika ia berkata kepada kaumnya. Luth adalah
putra Haran, putra Azar, putra saudara laki-laki Nabi Ibrahim Al-Khalil As. yang telah beriman
bersama Nabi Ibrahim As. dan hijrah bersamanya ke negeri Syam.
Allah mengutus Nabi Luth As. kepada kaum Sodom dan daerah-daerah sekitarnya untuk
menyeru mereka agar menyembah Allah, memerintahkan mereka untuk mengerjakan
kebajikan, melarang mereka berbuat munkar. Saat itu kaum Sodom tenggelam dalam perbuatan
dosa. Hal-hal yang diharamkan dan perbuatan keji yang mereka ada-adakan dan belum pernah
dilakukan oleh seseorang pun keturunan Adam dan juga oleh makhluk lain, yaitu mendatangi
orang laki-laki, bukan perempuan (homoseks).
Kota Sodom (bahasa Arab: ‫ ﺳﺪوم‬/ Sadūm) inilah yang daripadanya lahir istilah sodomy.
Dalam bahasa Ibrani, sodom berarti terbakar dan Gemorah (bahasa Arab: ‫ ﻋﻤﻮرة‬ʿ/ Amūrah)
berarti terkubur. Di dalam Al-Quran kaumnnya Nabi Luth Alaihi salam disebut “Al-
Mu’tafikat” yang artinya di jungkir-balikkan (Q,S An Najm :53)
‫وَ ا ْﻟﻤُﺆْ ﺗَ ِﻔ َﻜﺔَ أَھْﻮَ ى‬
“Dan negeri-negeri kaum Luth yang telah dihancurkan Allah”.
Perbuatan tersebut merupakan suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh seorang
keturunan Adam dan belum pernah terlintas dalam hati mereka untuk melakukannya selain
kaum Sodom. Semoga laknat Allah tetap menimpa mereka”.
Sehubungan dengan firman Allah:
“Yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia) ini sebelum kalian”.( Q.S Al-
A’araf: 80).
Amr bin Dinar berkata: “Tidak seorang lelaki pun menyetubuhi lelaki kecuali kaum
Luth yang pertama melakukannya”.Al-Walid bin Abdul Malik, Khalifah Bani Umayah, pendiri
Masjid Jami’ Damaskus berkata: “Seandainya Allah tidak menceritakan kepada kita tentang
berita kaum Luth, niscaya kita tidak percaya bahwa ada lelaki yang menaiki lelaki”. Para ahli
tafsir juga mengatakan: ”Sebagaimana kaum lelaki, kaum wanitanya Nabi Luth juga
melampiaskan nafsunya dengan sesama wanita”.
Al-Quran menyebutkan perilaku homoseksual ini sebagai “fâhisyah” karena kaum gay
dalam menyalurkan nafsu seksualnya dengan cara sodomi (liwath) yang secara istilah syariat
definisinya adalah memasukan kepala penis ke dalam dubur/anus pria lainnya.Perilaku ini
sudah tentu sangat menjijikan, karena seorang laki-laki menyetubuhi dubur/anus laki-laki lain,
sedangkan di dalam dubur itu terdapat kotoran besar yang bau, kotor dan jorok, sehingga
manusia yang normal pasti menolaknya.
Al-Quran mengisyaratkan dampak negatif perilaku gay sebagai berikut:
( ‫ﺴﺒِﯿ َﻞ وَ ﺗَﺄْﺗ ُﻮنَ ﻓِﻲ ﻧَﺎدِﯾ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨﻜَﺮَ ﻓَﻤَﺎ ﻛَﺎنَ ﺟَﻮَ ابَ ﻗَﻮْ ﻣِ ِﮫ إِﻻ أ َنْ ﻗَﺎﻟُﻮا‬‫ﻄﻌُﻮنَ اﻟ ﱠ‬َ ‫اﻟﺮﺟَﺎ َل وَ ﺗ َ ْﻘ‬
ّ ِ َ‫أَﺋِﻨﱠ ُﻜ ْﻢ ﻟَﺘَﺄْﺗ ُﻮن‬
َ‫ب ﱠ ِ إِنْ ُﻛﻨْﺖَ ﻣِ ﻦَ اﻟﺼﱠﺎ ِدﻗِﯿﻦ‬ ِ ‫اﺋْﺘِﻨَﺎ ﺑِﻌَﺬَا‬
“Apakah (pantas) kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di
tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan,
“Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar”.
Q.S. Al-Ankabut (28):29).

Menurut Tafsir Jalalain, yang di maksud “Taqtha’ûnas sabîl” adalah melakukan


perbuatan keji di jalan yang dilewati manusia, sehingga manusia tidak mau lagi melewati jalan
itu.Muhammad Quraish Syihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan ayat di atas sebagai
berikut: “Sesungguhnya yang kalian lakukan (homoseksual) adalah kemungkaran yang
membinasakan, kalian melakukan perbuatan keji dengan para lelaki, kalian memutuskan jalan
untuk mengembangkan keturunan sehingga hasilnya adalah kehancuran. Kalian melakukan
kemungkaran-kemungkaran dalam masyarakat tanpa rasa takut kepada Allah dan rasa malu
di antara kalian”.
Ibnu Katsir ketika menjelaskan kalimat “fî nâdîkum al-munkar” (mengerjakan
kemungkaran di tempat-tempat pertemuan kalian) menurut Mujahid, perbuatan mungkar
tersebut adalah sebagian mereka menyetubuhi sebagian yang lain di depan mata sekumpulan
manusia.Menurut Aisyah ra dan Al Qasim, perbuatan munkar tersebut ialah mereka
berkumpul di tempat-tempat pertemuan sambil saling kentut dan tertawa-tawa.
Pendapat lain menyebutkan bahwa perbuatan munkar mereka adalah adu kambing
(domba) dan sabung ayam. Semua perbuatan itu merekalah yang mula-mula melakukannya.
Bahkan perbuatan mereka jauh lebih jahat dari pada sekadar itu.
Dari uraian di atas diketahui bahwa LGBT menimbulkan berbagai dampak negatif di
masyarakat dengan terputusnya generasi (keturunan) dan berbagai tindakan kejahatan lain.
Prof. Dr. Abdul Hamid Al-Qudah, spesialis penyakit kelamin menular dan AIDS di
Asosiasi Kedokteran Islam Dunia menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkan LGBT
sebagai berikut:
1) Dampak kesehatan
78 % pelaku homoseksual terjangkit penyakit-penyakit menular dan rentan terhadap kematian.
Rata-rata usia laki-laki yang menikah adalah 75 tahun, sedangkan rata-rata usia gay adalah 42
tahun, dan menurun menjadi 39 tahun jika menjadi korban AIDS. Rata-rata usia wanita yang
bersuami dan normal adalah 79 tahun, sedangkan rata-rata usia lesbian adalah 45 tahun.
2) Dampak sosial
Seorang gay akan sulit mendapatkan ketenangan hidup karena selalu berganti ganti pasangan.
Penelitian menyatakan: “Seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106 orang
pertahunnya. Sedangkan pasangan zina saja tidak tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya “.
Sebanyak 43 persen orang gay yang didata dan diteliti menyatakan bahwa seumur
hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang. 28 persen melakukannya dengan lebih
dari 1,000 orang. 79 persen melakukannya dengan pasangan yang tidak dikenali sama sekali
dan 70 persen hanya merupakan pasangan kencan satu malam atau beberapa menit saja.
Berdasarkan penelitian di atas, melegalkan pasangan LGBT dalam ikatan pernikahan pada
hakikatnya adalah tindakan yang sia-sia.
3) Dampak pendidikan
Penelitian membuktikan bahwa pasangan homo menghadapi permasalahan putus sekolah lima
kali lebih besar dari pada siswa normal karena mereka merasakan ketidakamanan dan 28 persen
dari mereka dipaksa meninggalkan sekolah.
4) Dampak keamanan
Kaum homoseksual menyebabkan 33 persen pelecehan seksual pada anak-anak di Amerika
Serikat (AS), padahal populasi mereka hanyalah 2 persen dari keseluruhan penduduk negara
itu.
Sementara itu, di Indonesia melalui riset dengan bantuan Google dalam kurun waktu
2014 hingga 2016, telah terjadi 25 kasus pembunuhan sadis dengan latar belakang
kehidupan pelaku dan atau korban dari kalangan pelaku homoseksual.
Mengingat buruknya dampak perilaku homoseksual ini, Allah telah menghukum
pelakunya dengan hukuman yang sangat berat. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hijr
[15]: 72-74.
‫( ﻓَ َﺠﻌَ ْﻠﻨَﺎ ﻋَﺎ ِﻟﯿَﮭَﺎ ﺳَﺎﻓِﻠَﮭَﺎ وَ أ َ ْﻣﻄَﺮْ ﻧَﺎ‬٧٣) َ‫ﺼ ْﯿ َﺤﺔُ ُﻣﺸ ِْﺮﻗِﯿﻦ‬
‫( ﻓَﺄ َ َﺧﺬَﺗْ ُﮭ ُﻢ اﻟ ﱠ‬٧٢) َ‫ﺳﻜْﺮَ ﺗِ ِﮭ ْﻢ ﯾَ ْﻌ َﻤﮭُﻮن‬
َ ‫ﻟَﻌَﻤْﺮُ كَ إِﻧﱠ ُﮭ ْﻢ ﻟَﻔِﻲ‬
٧٤) ‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ ﺣِ ﺠَﺎرَ ة ً ﻣِ ﻦْ ﺳ ِِﺠّﯿ ٍﻞ‬
َ
“Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam
kemabukan (kesesatan)(72). Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang
menggunturkan ketika matahari akan terbit(73). Maka kami jungkir-balikkan negeri itu
dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.(74)”.
Ibnul Qayyim menerangkan, karena dampak dari perilaku gay adalah
kerusakan yang besar, maka balasan yang diterima di dunia dan akhirat adalah
siksaan yang sangat berat di dunia dan di akhirat.Pada rangkaian ayat-ayat ini, Allah
menjelaskan tiga bentuk siksaan sekaligus yang ditimpakan kepada pelaku gay di
zaman Nabi Luth Alaihi Salam yaitu mereka disiksa dengan suara keras mengguntur
yang terjadi menjelang matahari terbit, bersama dengan itu, negeri mereka yang
terangkat tinggi ke udara kemudian dibalik yang semula di atas menjadi di bawah,
sambil dihujani batu yang keras yang berjatuhan secara bertubi-tubi di atas kepala
mereka.
Sebagaimana yang disebutkan di ayat lain, yaitu Q.S. Hud [11}: 82:83:
َ‫( ُﻣﺴَﻮﱠ َﻣﺔً ِﻋ ْﻨﺪَ رَ ﺑِّﻚ‬٨٢) ‫ﻋﻠَ ْﯿﮭَﺎ ﺣِ ﺠَﺎرَ ة ً ﻣِ ﻦْ ﺳ ِِﺠّﯿ ٍﻞ َﻣ ْﻨﻀُﻮ ٍد‬
َ ‫ﻓَﻠَﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء أَﻣْﺮُ ﻧَﺎ َﺟﻌَ ْﻠﻨَﺎ ﻋَﺎ ِﻟﯿَﮭَﺎ ﺳَﺎﻓِﻠَﮭَﺎ وَ أ َ ْﻣﻄَﺮْ ﻧَﺎ‬
٨٣))‫ﻲ ﻣِ ﻦَ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِ ﯿﻦَ ﺑِﺒَﻌِﯿﺪ‬
َ ‫وَ ﻣَﺎ ِھ‬
“Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami
hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar.Yang diberi tanda oleh
Tuhanmu.Dan siksaan itu tidaklah jauh dari orang yang zalim”.
Al- Bukhari menjelaskan “Sijjil” adalah batu yang keras dan besar. Ulama lain berkata:
“yaitu adalah batu tanah liat yang di bakar”.

Ketika menjelaskan kata “musawwamatan” (yang diberi tanda), Ibnu Katsir


menukilkan pendapat Qotadah dan Ikrimah (dua ahli tafsir generasi tabiin): “Bahwa kaumnya
Nabi Luth As. dihujani dengan batu yang ditandai dengan terpahat di atasnya nama-nama orang
yang akan ditimpa batu tersebut”.
Batu itu memercikkan bara dan mengenai penduduk negeri dan penduduk yang
terpencar di berbagai desa sekitarnya. Suatu saat, seorang sedang berbicara di tengah-tengah
manusia, tiba-tiba ia tertimpa batu dari langit dan jatuh di antara mereka. Batu-batu itu bertubi-
tubi menghujani mereka hingga seluruh negeri dan mereka mati semua.
Menurut para ahli tarikh (sejarah), kehancuran kaumnya Nabi Luth As yang
bergelimang maksiat itu terjadi 4,000 tahun yang lalu. Tidak ada petunjuk lokasi di mana
peristiwa itu terjadi hingga pada tahun 1924, seorang ahli purbakala bernama Wiliam Albert
berangkat menuju Laut Mati untuk melakukan penelitihan di sana. Akhirnya, dia dan tim
menemukan sisa-sisa kehancuran kaum Sodom dan Gemorah di sekitar Laut Mati tersebut.
Sodom dan Gemora terletak di atas sesar Moab dan pembinasaan dua kaumnya Nabi
Luth As ini diinterpretasikan terjadi melalui serangkaian bencana geologi dengan urutan:
1) Pergerakan sesar Moab
2) Gempa dengan magnitude 7,0 + SR yang menghancurkan kota-kota dan sekitarnya
serta likuifaksi yang menenggelamkan sebagian wilayah kota-kota.
3) Erupsi gunung garam dan gunung lumpur yang meletuskan halit, anhirdit, batu-batuan,
aspal, lumpur, bitumen dan belerang.
4) Kebakaran kota-kota di sekitarnya karena material hidrokarbon yang diletuskan
terbakar sehingga menjadi hujan api dan belerang.Bencana kotastropik ini telah
meratakan Sodom dan Gemorah dan menewaskan seluruh penduduk kecuali Nabi
Luth Alaihi salam dua puterinya dan seorang yang beriman kepadanya.

Hukuman Homoseksual dan Cara Pencegahannya


Seluruh ulama sepakat (ijma’) atas keharaman homoseksual. Ibnu Qudamah berkata:
“Ulama sepakat atas keharaman liwath (sodomi). Allah telah mencelanya dalam kitab-
Nya dan mencela pelakunya, demikian pula Rasulullah Saw juga mencelanya.
Beliau bersabda:
(َ‫ ﺛ َﻼﺛ ًﺎ ) رَ وَ اهُ ا َﺣ َﻤﺪ‬، ٍ‫ﻋ َﻤ َﻞ ﻗَﻮْ مِ ﻟُﻮط‬
َ ‫ ﻟَﻌَﻦَ ﱠ ُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِ َﻞ‬، ٍ‫ﻋ َﻤ َﻞ ﻗَﻮْ مِ ﻟُﻮط‬
َ ‫ﻟَﻌَﻦَ ﱠ ُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِ َﻞ‬
“Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.Allah
mengutus orang yang berbuat seperti perbuatan Nabi Luth.Beliau bersabda sampai
tiga kali”. (H.R Ahmad).
Beliau juga telah menetapkan hukuman bagi pelaku homoseksual ini dalam
sabdanya:
(‫ﻋ َﻤ َﻞ ﻗَﻮْ مِ ﻟُﻮطٍ ﻓَﺎ ْﻗﺘُﻠُﻮا ا ْﻟﻔَﺎ ِﻋ َﻞ وَ ا ْﻟ َﻤ ْﻔﻌُﻮ َل ﺑِ ِﮫ )رَ وَ اهُ اﻟﺘﺮﻣﺬى‬
َ ‫ﻣَﻦْ وَ َﺟ ْﺪﺗُﻤُﻮهُ ﯾَ ْﻌ َﻤ ُﻞ‬
“Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth Alaihi salam
maka bunuhlah pelaku dan pasangannya”. (H.R. At- Tirmidzi).
Beliau mengatakan perbuatan homoseksual adalah sama dengan Zina, sebagaimana
sabdanya:
(‫ﺖ ا ْﻟﻤَﺮْ أَة ُ ا ْﻟﻤَﺮْ أَة َ ﻓَ ُﮭﻤَﺎ زَ اﻧِﯿَﺘ َﺎنِ )رَ وَ اهُ اﻟﺒﯿﮭﻘﻰ‬
ِ َ ‫إِذَا أَﺗ َﻰ اﻟﺮﱠ ُﺟ ُﻞ اﻟﺮﱠ ُﺟ َﻞ ﻓَ ُﮭﻤَﺎ زَ اﻧِﯿَﺎنِ وَ إِذَا أَﺗ‬
“Apakah seorang lelaki mendatangi lelaki maka kedua-duanya telah berzina dan
apabila seorang dan apabila wanita mendatangi wanita maka maka kedua-duanya
telah berzina”. (H.R. Al-Baihaqi)
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili meriwayatkan hadist ini dari Abu Musa Al-
Asy’ari ra.Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama berbeda pendapat tentang
hukuman bagi pelaku homoseksual.Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad
mengatakan bahwa tindakan homoseksual mewajibkan hukuman Hadd karena Allah
memperberat hukuman bagi pelakunya dalam kitab-Nya sehingga pelakunya harus
mendapatkan hukuman hadd zina karena adanya makna perzinaan di dalamnya.
Menurut ulama Syafi’iyah, hukuman hadd bagi pelaku homoseksual adalah
sama dengan hukuman hadd zina. Jika pelakunya muhshan (sudah beristri atau
bersuami) wajib dirajam sampai mati. Sedangkan jika pelakunya (belum beristri atau
belum bersuami) di cambuk 100 kali dan diasingkan.ghairu muhshan
Sementara itu, menurut Prof. Dr. Amir Abdul Aziz, Guru Besar Fiqh
Perbandingan di Universitas dan Najah Al-Wathaniyah, Nablus, Palestina, pelaku
homoseksual baik muhshan maupun ghairu Muhson hukuman haddnya adalah rajam.
Pendapat ini sama dengan pendapat ulama Malikiyah dan pendapat ulama Hanafiah
dalam salah satu versi riwayat yang paling kuat dari Imam Ahmad.
Ketika menjelaskan hadist riwayat Imam At-Tirmidzi di atas, Imam Ash-
Shan’ani (1059-1182 H) dalam “Subulus salam” mengatakan ada 4 pendapat tentang
hukuman bagi pelaku homoseksual:
1) Dihukum dengan hadd zina yaitu dirajam bagi yang muhshan dan dijilid bagi
yang ghairu muhshan.
2) Dibunuh baik pelaku maupun obyeknya baik muhshan maupun ghairu
muhshan.
3) Dibakar dengan api, baik pelaku maupun obyeknya. Ini adalah pendapat para
sahabat RasulullahSaw.
4) Dilempar dari tempat yang tinggi dengan kepala di bawah kemudian dilempari
batu. ini adalah pendapat Abdulllah Bin Abbas Radhiallahu anhu.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah, pelaku homoseksual hanya dihukum ta’zir
karena tindakan homoseksual tidak sampai menyebabkan
percampuran nasab.Sedang ta’zirnya adalah dimasukkan ke penjara sampai
bertaubat atau sampai mati.
Dari uraian di atas, Islam memandang bahwa perilaku LGBT bukanlah penyakit
atau genetik tetapi merupakan tindak kejahatan. Islam menyebut pelakunya dengan
sebutan yang sangat buruk antara lain: Al-Mujrimun (para pelaku kriminal) (QS Al -
A’raf[7];84) : Al-Mufsidun (pelaku kerusakan) (Q.S. Al Ankabut [29]; 30), Az-
Zalimum(orang yang menganiyaya diri) (Q.S. Al Ankabut [29];31)
Apa yang dinyatakan Al-Quran ini adalah benar. Susan Cohran, seorang
psikolog dan ahli epidemiologi dari University of California (AS) berkata: “Tidak masuk
akal memasukkannya ke dalam buku dan berkata, “Ini adalah penyakit” jika tidak ada
bukti bahwa itu adalah penyakit”. Demikian kata Cohran menanggapi soal gay dalam
sebuah panel yang diselenggarakan Lembaga PBB untuk kesehatan, WHO (World
Health Organization).
Untuk mencegah kejahatan yang sangat membahayakan ini, Islam memberikan
beberapa ketentuan, antara lain:
1) Merendahkan pandangan/menundukan pandangan.
2) Berpakaian yang menutup aurat.
3) Memperbanyak puasa sunnah.
4) Memisahkan tempat tidur anak ketika ketika sudah berumur 10 tahun.
5) Menghindari perilaku wanita menyerupai pria dan sebaliknya. Sikap tomboy
wanita dan lemah gemulai seorang pria dilarang dalam Islam.
6) Memilih teman pergaulan dan menghindari pergaulan bebas.
7) Mewujudkan keluarga harmonis yang penuh ketenangan dan diliputi kasih
sayang.
8) Rajin dalam beribadah terutama shalat dan membaca Al-Quran. (AT/hnh/P1)
KEGIATAN BELAJAR 4
TOLERANSI DALAM ISLAM

Capaian pembelajaran yang diharapkan pada meteri ini adalah;


Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan perspektif
tawassuth, tawaazun, dan tasaamuh, yang berkategori advance materials secara
bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi), dan
“bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.
Subcapaian pemebelajaran:
1.1. Menganalisis makna toleransi dalam Islam dan batas-batas toleransi
1.2. Bersikap toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat dan madzhab

Pokok-Pkok bahasan
1.1. Pengertian toleransi dalam Islam
1.2. Bentuk-bentuk Toleransi
1.3. Ucapan Selamat Natal
1.4. Kawin Beda Agama

Uraian Materi
A. Toleransi dalam Islam
1. Pengertian Toleransi dalam Islam
Kata toleransiberasaldari tolerandalam KBBI diartikan menenggang atau menghargai
pendirianyang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalambahasa Arab, toleran
adalah“tasâmuh”, yang berarti sikap baik dan berlapang dada terhadap perbedaan-
perbedaan dengan orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya.
Umatmanusiadiciptakandenganberbagairas, bangsa, suku, bahasa, adat, kebudayaan, dan agama
yang berbeda. Menghadapi kenyataan tersebut, setiap manusia harus bersikap toleran atautasamuh.
Dengan sikap toleransi dantasamuhyang luas dan terbuka, maka akan terbentuk suatu masyarakat
yang saling menghargai, menghormati, dan terjalinlah kehidupan yang harmonis antar anggota
masyarakat, bangsa, negara, maupun dalam kehidupan secara umum. Kemudian masyarakat yang
harmonis cenderung akan menghasilkan karya-karya yang besar yang bermanfaat bagi manusia.
Toleransi dianjurkan dalam masalah muamalah dan hubungan kemasyarakatan bukan
menyangkut masalah akidah dan ibadah. Toleransi dalam masalah ibadah dan akidah tertolak
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin
Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui
Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada
Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala
permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut
kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami
yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-
Qurtubi/14:425)
Sebagai jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun ayat
1-6 yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut akidah.AllahSwt
berfirman:“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kafirun: 6)
Sedangkan sikap toleransi dalam masalah muamalah dan kemasyarakatan dijelaskan oleh Allah
dalam Alqur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8-9,
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam
urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.”
(TQS. Al-Mumtahanah: 8-9)

Ibnu Katsir ra berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang
tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka.
Hendaklah kalian berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”
(Tafsir Alqur’a al-Azhim, surat ke 7 ayat 247)
Inilah toleransi yang diajarkan di dalam Islam. Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya
untuk bertoleransi pada orang-orang di luar Islam. Namun demikian, sikap toleransi tidak boleh
dipraktikkan dalam hal yang menyangkut akidah.Inilah ketentuan syariat yang berhubungan
dengan toleransi.

2. Bentuk-bentuk Toleransi dalam Islam


Ada beberapa bentuk toleransi dalam Islam, di antaranya:
a. Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit, muslim
ata nonmuslim, bahkan terhadap binatang sekalipun.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٌ‫طﺒَ ٍﺔ أ َﺟْ ﺮ‬
ْ َ‫ﻓِﻰ ُﻛ ِّﻞ َﻛﺒِ ٍﺪ ر‬
“Dalam setiap hati yang basah( makhluk hidup yang diberi makan minum) ada pahalanya”
(HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam mengajarkan peduli sesama.
b. Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ْﺲ ﻟَﻚَ ﺑِ ِﮫ ِﻋ ْﻠ ٌﻢ ﻓَﻼ ﺗ ُﻄِ ْﻌ ُﮭﻤَﺎ وَ ﺻَﺎﺣِ ْﺒ ُﮭﻤَﺎ ﻓِﻲ اﻟﺪﱡ ْﻧﯿَﺎ َﻣﻌْﺮُ وﻓًﺎ‬
َ ‫وَ إِنْ ﺟَﺎ َھﺪَاكَ ﻋَﻠﻰ أ َنْ ﺗُﺸ ِْﺮكَ ﺑِﻲ ﻣَﺎ ﻟَﯿ‬
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Dalam ayat di atas sekalipun seorang anak dipaksa syirik oleh orang tua, namun tetap
kita disuruh berbuat baik pada orang tua.Lihat Asma’ binti Abi Bakr ra ketika ia berkata,
“Ibuku pernah mendatangiku di masa NabiSawdalam keadaan membenci Islam. Aku pun
bertanya pada Nabi untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya,
boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,
ِ‫ﻻَ ﯾَ ْﻨﮭَﺎ ُﻛ ُﻢ ﱠ ُ ﻋَﻦِ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻟَ ْﻢ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﻰ اﻟﺪِّﯾﻦ‬
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8)

c. Boleh memberi hadiah pada non muslim.


Islam memperbolehkan umat Islam memberi hadiah kepada non muslim, agar membuat mereka
tertarik pada Islam, atau ingin berdakwah dan atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum
muslimin.
Dari Ibnu ‘Umar ra. , beliau berkata,
‫ﻰ – ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ – ا ْﺑﺘ َﻊْ َھ ِﺬ ِه ا ْﻟ ُﺤﻠﱠﺔَ ﺗ َ ْﻠﺒَ ْﺴﮭَﺎ ﯾَﻮْ َم ا ْﻟ ُﺠ ُﻤﻌَ ِﺔ‬ ّ ِ ِ‫ع ﻓَﻘَﺎ َل ﻟِﻠﻨﱠﺒ‬
ُ ‫ﻋﻠَﻰ رَ ُﺟ ٍﻞ ﺗُﺒَﺎ‬ َ ً‫ﻋﻤَﺮُ ُﺣﻠﱠﺔ‬ ُ ‫رَ أ َى‬
‫ﻰ رَ ﺳُﻮ ُل ﱠ ِ – ﺻﻠﻰ ﷲ‬ َ ِ‫ ﻓَﺄُﺗ‬. « ِ‫ ﻓَﻘَﺎ َل » إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَ ْﻠﺒَﺲُ َھﺬَا ﻣَﻦْ ﻻَ َﺧﻼَقَ ﻟَﮫُ ﻓِﻰ اﻵﺧِ ﺮَ ة‬. ُ‫وَ إِذَا ﺟَﺎءَكَ اﻟْﻮَ ْﻓﺪ‬
‫ﺴﮭَﺎ وَ ﻗَ ْﺪ ﻗُﻠْﺖَ ﻓِﯿﮭَﺎ ﻣَﺎ ﻗُﻠْﺖَ ﻗَﺎ َل‬ ُ َ‫ﻋﻤَﺮُ َﻛﯿْﻒَ أ َ ْﻟﺒ‬
ُ ‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬. ‫ﻋﻤَﺮَ ﻣِ ْﻨﮭَﺎ ﺑِ ُﺤﻠﱠ ٍﺔ‬ ُ ‫ﺳ َﻞ إِﻟَﻰ‬ َ ْ‫ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ – ﻣِ ْﻨﮭَﺎ ﺑِ ُﺤﻠَ ٍﻞ ﻓَﺄ َر‬
‫ﻋ َﻤﺮُ إِﻟَﻰ أَخٍ ﻟَﮫُ ﻣِ ﻦْ أَھْﻞِ َﻣ ﱠﻜﺔَ ﻗَ ْﺒ َﻞ أ َنْ ﯾُ ْﺴ ِﻠ َﻢ‬ ُ ‫ﺳ َﻞ ﺑِﮭَﺎ‬َ ْ‫ ﻓَﺄ َر‬. « ‫ ﺗَﺒِﯿﻌُﮭَﺎ أ َوْ ﺗ َ ْﻜﺴُﻮھَﺎ‬، ‫ﺴﮭَﺎ‬ َ َ‫ﺴ َﻜﮭَﺎ ِﻟﺘ َ ْﻠﺒ‬
ُ ‫» إِﻧِّﻰ ﻟَ ْﻢ أ َ ْﻛ‬
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada
Nabi shallallahuSaw, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika
ada tamu yang mendatangimu.” NabiSaw pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan
pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian
RasulullahSaw didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada
‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi
mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?”
NabiSaw menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa
mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.”
Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah sebelum
saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619).

Umar bin Khattab masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada saudaranya yang non
muslim.

3. Toleransi Antar umat Beragama

Toleransi Antar Umat Beragama - Manusia merupakan makhluk individu


sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia
diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu / manusia lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat,
seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda
dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan / agama.Dalam
menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan
yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan
dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan
dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan
menghormati, sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan yang dapat
menimbulkan pertikaian.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan
bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya". Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya
saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi
menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar
umat beragama.
Toleransi berasal dari bahasa latin dari kata "Tolerare" yang berarti dengan
sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu
perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana
seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan
orang lain.
Toleransi juga dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial
budaya yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi
terhadap golongan-golongan yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas pada suatu masyarakat. Misalnya toleransi beragama dimana
penganut Agama mayoritas dalam sebuah masyarakat mengizinkan
keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi toleransi antar umat beragama
berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai
keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Istilah toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi
"golongan / Kelompok" yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai
politik, dan lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi serta kritik
mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum konservatif atau liberal.
Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertaqwa kepada
tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing merupakan hal yang
mutlak. Karena Semua agama menghargai manusia oleh karena itu semua
umat beragama juga harus saling menghargai. Sehingga terbina kerukunan
hidup anatar umat beragama

4. Persyaratan pendirian tempat ibadah


Dalam pendirian rumah untuk peribadatan, wajib memperoleh izin
khusus. Dalam mendirikan sebuah bangunan wajib mendapatkan izin tertulis
dari pemerintah, izin mendirikan bangunan dan lain-lain. Terlebih lagi dalam
pendirian rumah untuk peribadatan, wajib memperoleh izin khusus. Ketentuan
soal izin khusus ini dijelaskan dalam sejumlah aturan, sebagai berikut.
Dasar hukum tata cara pendirian rumah ibadah terdapat dalam Peraturan
bersama Menteri agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan
Nomor 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil
kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan
forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat. Dalam peraturan
ini yang dimaksud dengan Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-
ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk
masing-masing agama secara permanen.
Akan tetapi masing-masing daerah memiliki peraturan tersendiri, seperti
misalnya di daerah khusus ibukota atau DKI yang telah membuat aturan dalam
Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 83 tahun 2012
tentang prosedur pemberian persetujuan pembangunan rumah ibadat. Syarat
dan prosedur pendirian rumah ibadah antara lain harus memenuhi syarat
administratif (kelengkapan dokumen IMB dll), selain itu juga harus memenuhi
persyaratan khusus, meliputi:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah.
a. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa.
b. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
c. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.
Jika persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi
syarat dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah
daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah
ibadat, sehingga hak setiap warga dalam menjalankan ibadahnya dapat terjamin

http://www.gresnews.com/berita/tips/113137-aturan-dan-prosedur-pendirian-rumah-
ibadah/

B. Ucapan Selamat Natal


Selamat Natal yang diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama lain
seperti agama Kristen misalnya dianggap haram oleh sementara orang dan
dinilai sesat dan menyesatkan. Berita itu yang biasa terdengar di Indonesia,
tetapi tidak demikian di kalangan ulama di Timur Tengah.Berikut tulisan ulama
besar SuriahMustafa Az-Zarqa’ yang termuat dalam kumpulan fatwanya “Fatwa
Mustafa Az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad Makky dan
diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf al-Qardhawy. Al-Qardhawy
mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya dan merasa bangga menulis pengantar

tentang kumpulan fatwa itu.


Fatwa ini adalah jawaban Az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad ash-Shabbagh
yang bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya sebagai berikut:
“Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang diucapkan seorang
Muslim berkaitan dengan kelahiran Isa (Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka
menurut hemat saya: Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada
kenalannya yang menganut agama Nasrani termasuk dalam anjuran berbudi
baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh Islam tidak melarang kita
menyangkut harmonisasi hubungan beragama dan perlakuan baik semacam ini
terhadap mereka, apalagi yang mulia Al-Masih dalam pandangan aqidah kita
adalah salah satu Rasul Allah yang agung dan termasuk satu dari lima Nabi yang
amat diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan selamat kepada mereka
pada hari kelahiran Isa as.haram—siapa yang menduga demikian—maka dia
salah karena tidak ada hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah kaum
Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi yang
diusung di hadapan NabiSaw., maka beliau berdiri. Berdirinya beliau itu
merupakan ekspresi dari rasa agung dan dahsyat terhadap kematian—tidak ada
hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi yang mati itu.
Muslim dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam dan moderasinya
terhadap Non-Muslim. Di samping itu, keadaan kaum Muslim dewasa ini yang
sungguh lemah di antara negara-negara di dunia ini serta konspirasi dan
tuduhan bahwa kaum Muslim adalah teroris, fanatik, dan lain-lain—kesemuanya
menuntut kaum Muslim mengubah image buruk itu, apalagi pada Hari Raya Idul
Fitri dan Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-teman yang
mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia tidak membalas sikap baik
mereka itu dengan berkunjung kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari
Lebaran, maka sikap itu akan semakin mendukung tuduhan yang ditujukan
kepada kaum Muslim,” demikian antara lain Mustafa az-Zarqa’.
Saling mengucapkan selamat, bahkan kunjung-mengunjungi itulah yang
dilakukan juga oleh pimpinan al-Azhar Mesir.Apakah mereka salah dan
sesat?Saya menduga keras bahwa ulama-ulama itu jauh lebih mengerti agama
dan lebih bijaksana daripada mereka yang mengharamkan ucapan Selamat
Natal, apalagi menyesatkan siapa yang membolehkan mengucapkan Selamat
Natal itu.
Ada beberapa hadits- antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang
melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi
dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada
orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah
mereka terpaksa ke pinggir.”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut.Dalam
buku Subul as-Salâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil.IV, hlm. 155)
antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syâfi‘î tidak
memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan
menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga
pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbâs. Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain
membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan.
Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza‘i.
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena
agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi
dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari
dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi
bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata,
“Assalâmu‘alaikum,” tetapi “Assâmu‘alaikum,” yang berarti “Kematian atau
kecelakaan untuk Anda”.
Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk
mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum,”
sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau
kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan
itu).”
Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda.Dalam masyarakat
kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan
dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran
Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku,
hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam [19]:
33).
Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama
yang diucapkan oleh Nabi mulia itu.Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan
dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum
agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.Yang melarang
ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang
ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus
Kristus.Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan
“Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas.Itu
semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman.Bahkan al-Qur’an
tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan
kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak
disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian
semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki
Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu
adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad).Demikian wahyu pertama hingga
surah al-Ikhlâs.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu,
memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan
ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan
pandangan Islam.Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri
perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan
kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan
akanketuhanan al-Masîh, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan
dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram
untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan
jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu
terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat
Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya
dengan ucapan ‘Îsâ, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah.Dia memberiku al-
Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan
itu?Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang
tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain?
Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan
utusan Allah?Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk
Isa as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak
bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) ‘Îsâ as.? Bukankah NabiSaw. juga
merayakan hari keselamatan Mûsâ dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa
Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang
berpuasa,seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut
Mûsâ (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-
orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk
berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu dawud, melalui Ibnu Abbas—
lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits ke-2.981).
Untuk menjawab hukumnya, perlu dikupas ke dalam beberapa point:
Pertama, tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas
menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal,
kondisi sosial saat nabi MuhammadSaw hidup mengharuskannya mengeluarkan
fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup
berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).

Kedua, karena tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan
tegas menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori
permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:

‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
َ ‫َﻻ ﯾُ ْﻨﻜَﺮُ ا ْﻟﻤُﺨْ ﺘَﻠَﻒُ ﻓِ ْﯿ ِﮫ وَ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾُ ْﻨﻜَﺮُ ا ْﻟﻤُﺠْ َﻤ ُﻊ‬
Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan
permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.

Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya,


sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka
sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini.
Pertama, sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim
bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim
mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.
Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah subhanahu
wa ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 72:

‫وَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ َﻻ ﯾَ ْﺸ َﮭﺪ ُونَ اﻟﺰﱡ ورَ وَ إِذَا ﻣَﺮﱡ وا ﺑِﺎﻟﻠﱠ ْﻐ ِﻮ ﻣَﺮﱡ وا ﻛِﺮَ اﻣًﺎ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Pada ayat tersebut, AllahSwt menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat

yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan,

seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian

palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak

akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat

Natal hukumnya haram.


Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

‫ِﻨﮭﻢ‬
‫ٍ ﻓﮭﻮ ﻣ‬
‫ِﻘﻮم‬
‫ﻣﻦ ﺗﺸﺒﮫ ﺑ‬
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut."
(HR. Abu Daud, nomor 4031).

Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum
Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan
dimaksud adalah haram.
Kedua, sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh
Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom
Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan
ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:

ِ‫ِﯾﻦ‬
‫ِﻲ اﻟﺪ‬
‫ِﻠﻮﻛﻢ ﻓ‬
‫ِﯾﻦ ﻟ ﻢ ﯾﻘﺎﺗ‬
‫ﻻ ﯾﻨﮭﺎﻛﻢ ا ﻋﻦِ اﻟ ﺬ‬
‫ِﻄﻮا‬
‫ِﻛﻢ أن ﺗﺒﺮوھﻢ وﺗﻘﺴ‬‫ِﯾﺎر‬‫ِﻦ د‬‫ِﺟﻮﻛﻢ ﻣ‬
‫وﻟ ﻢ ﯾﺨﺮ‬
‫ِﻢ‬
‫ِﻟ ﯿﮭ‬
‫إ‬
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Pada ayat di atas, AllahSaw tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada
siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan,
mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non
Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.

Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam riwayat Anas bin Malik:

َ‫ ﻓَﻘَﻌَﺪَ ِﻋ ْﻨﺪ‬،ُ‫ﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَﻌُﻮدُه‬ َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و‬َ ‫ﻲ‬ ‫ ﻓَﺄَﺗ َﺎهُ اﻟﻨﱠﺒِ ﱡ‬،‫ض‬ َ ِ‫ﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻤَﺮ‬ َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ي ﯾَﺨْ ﺪُ ُم اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ‬
‫ﻏﻼَ ٌم ﯾَﮭُﻮ ِد ﱞ‬ُ َ‫ﻛَﺎن‬
َ‫ ﻓَﻨَﻈَﺮ‬.ْ‫ أ َ ْﺳ ِﻠﻢ‬:ُ‫رَ أْ ِﺳ ِﮫ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮫ‬ .َ‫ ﻓَﺄ َ ْﺳﻠَﻢ‬.َ‫ﺳﻠﱠﻢ‬
َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و‬ َ ِ‫ أَطِ ﻊْ أ َﺑَﺎ ا ْﻟﻘَﺎﺳِﻢ‬:ُ‫ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮫ‬،ُ‫إِﻟَﻰ أَﺑِﯿ ِﮫ وَ ھُﻮَ ِﻋ ْﻨﺪَه‬
‫ﱠﺎر( ـ‬
ِ ‫ )ا ْﻟﺤَﻤْ ﺪُ ِ ﱠ ِ اﻟﱠﺬِي أ َ ْﻧﻘَﺬَهُ ﻣِ ﻦَ اﻟﻨ‬:ُ‫ﺳﻠﱠ َﻢ وَ ھُﻮَ ﯾَﻘُﻮل‬َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻓَﺨَﺮَ َج اﻟﻨﱠﺒِ ﱡ‬
“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat
kepalanya, kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat
ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul
Qasim (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah
yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)

Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menjelaskan bolehnya
menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-
Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).
Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-
Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu
bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan.
Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan.
Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut
keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan
menimbulkan perpecahan.
Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya
Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar
bin Khattab ra. menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’
(Quds/Palestina):

‫ أ َ ْﻋﻄَﺎ ُھ ْﻢ أَﻣَﺎﻧًﺎ ِﻷ َ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﮭ ْﻢ‬: ِ‫ﻋﻤَﺮُ أ َﻣِ ﯿْﺮُ ا ْﻟﻤُﺆْ ﻣِ ِﻨﯿْﻦَ أ َ ْھ َﻞ إِ ْﯾ ِﻠﯿَﺎ َء ﻣِ ﻦَ ْاﻷَﻣَﺎن‬
ُ ِ‫ﻋ ْﺒﺪُ ﷲ‬
َ ‫َھﺬَا ﻣَﺎ أ َ ْﻋﻄَﻰ‬
‫ وَ َﻻ ﺗ ُ ْﮭﺪَ ُم‬،ْ‫ﺴ ُﮭﻢ‬
ُ ِ‫ َﻻ ﺗ ُ ْﺴﻜَﻦُ َﻛﻨَﺎﺋ‬،‫ﺻ ْﻠﺒَﺎﻧِ ِﮭ ْﻢ وَ ﺳَﺎﺋ ِِﺮ ﻣِ ﻠﱠﺘِﮭَﺎ‬
َ َ‫وَ أ َﻣْ ﻮَ ا ِﻟ ِﮭ ْﻢ وَ َﻛﻨَﺎﺋِ ِﺴ ِﮭ ْﻢ و‬.
“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada
penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada
mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka
tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3,
halaman 609)
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU
Malaysia.

C. Kawin Beda Agama


Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita non-muslim yang dimaksud dalam Hukum Islam
adalah apabila Wanita Non-muslim tersebut adalah dari golongan ahli kitab, artinya orang
yang mengimani kitab terdahulu, dalam hal ini Wanita Nasrani dan Wanita Yahudi, maka
pernikahan ini diperbolehkan (halal).
Mari melihatperbandingan ke-tiga Surat tersebut dalam peristiwa, AllahSwt berfirman
dalam QS Al-Baqarah Ayat 221:
‫ِﻨﺔ ﺧﯿﺮ‬
‫وﻷﻣﺔ ﻣﺆﻣ‬ ۚ
‫ِﻦ‬‫ِﻛﺎتِ ﺣﺘﻰ ﯾﺆﻣ‬
‫ِﺤﻮا اﻟ ﻤﺸﺮ‬
‫وﻻ ﺗﻨﻜ‬
‫ِﯿﻦ ﺣﺘﻰ‬
‫ِﻛ‬‫ِﺤﻮا اﻟ ﻤﺸﺮ‬
‫وﻻ ﺗﻨﻜ‬ ۗ
‫ٍ وﻟ ﻮ أﻋﺠﺒﺘﻜﻢ‬
‫ِﻛﺔ‬
‫ِﻦ ﻣﺸﺮ‬
‫ﻣ‬
ۗ
‫ٍ وﻟ ﻮ أﻋﺠﺒﻜﻢ‬
‫ِك‬‫ِﻦ ﻣﺸﺮ‬
‫ِﻦ ﺧﯿﺮ ﻣ‬
‫وﻟ ﻌﺒﺪ ﻣﺆﻣ‬ ‫ِﻨﻮا‬
ۚ ‫ﯾﺆﻣ‬
ِ
‫ِﻟ ﻰ اﻟ ﺠﻨﺔ‬
‫ﯾﺪﻋﻮ إ‬ ‫وا‬ ِ
ۖ
‫ِﻟ ﻰ اﻟﻨﺎر‬
‫ِﻚ ﯾﺪﻋﻮن إ‬
‫أوﻟ ﺌ‬
‫ﻟﻠﻨﺎسِ ﻟ ﻌﻠﮭﻢ‬
ِ ِ
‫ِﮫ‬‫وﯾﺒﯿِﻦ آﯾﺎﺗ‬ ِ
ۖ
‫ِﮫ‬‫ِذﻧ‬
‫ِﺈ‬
‫ِ ﺑ‬
‫ِﺮة‬
‫واﻟ ﻤﻐﻔ‬
‫ﯾﺘﺬﻛﺮون‬

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran".

Diketengahkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abu Hatim dan Wahidi dari Muqatil,
katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai Ibnu Abu Martsad Al-Ghunawi yang
meminta izin kepada NabiSaw.untuk mengawini seorang wanita musyrik yang
cantik dan mempunyai kedudukan tinggi. Maka turunlah ayat ini." Diketengahkan
oleh Wahidi dari jalur Suda dari Abu Malik dari Ibnu Abbas, katanya bahwa ayat
ini turun mengenai Abdullah bin Rawahah. Ia mempunyai seorang budak sahaya
hitam yang dimarahi dan dipukuli. Dalam keadaan kebingungan ia datang kepada
NabiSaw. lalu menyampaikan beritanya, seraya katanya, "Saya akan
membebaskannya dan akan mengawininya." Rencananya itu dilakukannya,
hingga orang-orang pun menyalahkannya, kata mereka, "Dia menikahi budak
wanita." Maka AllahSwt. pun menurunkan ayat ini. Hadis ini dikeluarkan pula oleh
Ibnu Jarir melalui As-Sadiy berpredikat munqathi.
.AllahSwt berfirman dalam QS Al-Maidah/5: 5
ُ‫ﺼﻨَﺎت‬ ِ ‫ﺼﻨَﺎتُ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻤُﺆْ ﻣِ ﻨَﺎ‬
َ ْ‫ت وَ ا ْﻟﻤُﺤ‬ َ ْ‫طﻌَﺎ ُﻣ ُﻜ ْﻢ ﺣِ ﱞﻞ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ۖ وَ ا ْﻟﻤُﺤ‬
َ َ‫طﻌَﺎ ُم اﻟﱠﺬِﯾﻦَ أ ُوﺗ ُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ ﺣِ ﱞﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ و‬
َ َ‫ﻄﯿِّﺒَﺎتُ ۖ و‬
‫ا ْﻟﯿَﻮْ َم أ ُﺣِ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠ‬
ِ‫ِﺎﻹﯾﻤَﺎن‬
ِ ْ ‫ﺼﻨِﯿﻦَ َﻏﯿْﺮَ ُﻣﺴَﺎﻓِﺤِ ﯿﻦَ وَ َﻻ ُﻣﺘﱠﺨِ ﺬِي أَﺧْ ﺪَانٍ ۗ وَ ﻣَﻦْ ﯾَ ْﻜﻔُﺮْ ﺑ‬
ِ ْ‫ﻣِ ﻦَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ أ ُوﺗ ُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ ﻣِ ﻦْ ﻗَ ْﺒ ِﻠ ُﻜ ْﻢ إِذَا آﺗَ ْﯿﺘُﻤُﻮھُﻦﱠ أُﺟُﻮرَ ھُﻦﱠ ﻣُﺤ‬
َ‫ﻂ َﻋ َﻤﻠُﮫُ وَ ھُﻮَ ﻓِﻲ ْاﻵﺧِ ﺮَ ةِ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﺨَﺎﺳِﺮِ ﯾﻦ‬
َ ِ‫ﻓَﻘَﺪْ َﺣﺒ‬
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".

Sebagian Sahabat Nabi juga menikahi wanita ahlul kitab (Nasrani dan Yahudi)
seperti Utsman bin Affan dan Talhah bin Ubaidillah yang menikah dengan wanita
Nasrani dan Hudzaifah yang menikahi wanita Yahudi. "Dihalalkan bagi kalian
wahai orang-orang yang beriman menikahi wanita-wanita merdeka yang beriman
dan ahlu kitab dari Yahudi dan Naṣrani baik dia żimmiyah atau harbiyah apabila
kalian telah membayarkan mahar mereka.Kehalalannya dibatasai dengan
pembayaran mahar untuk penegasan tentang wajibnya mahar, bukan sebagai
syarat di dalam kehalalannya.Pengkhususan penyebutan merdeka sebagai
anjuran bahwa wanita merdeka itu lebih utama, bukan berarti selain mereka
(wanita merdeka) tidak boleh dinikahi, karena pernikahan budak perempuan yang
Muslimah itu baik sesuai kesepakatan.Menurit Abu Hanifah hal itu adalah baik".

Dihalalkan bagi kalian menikahi wanita-wanita merdeka agar keadaan


kalianterbebas dari zina dengan menikahi mereka, (yaitu) wanita-wanita yang
terbebas dari perbuatan keji secara terang-terangan dan bukan pula wanita yang
senang mendatangi kekejian, artinya bahwa yang dibolehkan adalah menikahi
wanita-wanita merdeka yang terbebas dari perbuatan zina dengan syarat
membayarkan mahar mereka dengan maksud menikah dan menjaga diri bukan
dengan maksud menumpahkan air (sperma) dari jalan zina secara terbuka dan
bukan pula pada jalan zina secara sembunyi-sembunyi yaitu mengambil gundik-
gundik.

AllahSwt telah memperingatkan orang yang menyelisihi dan Allah senang kepada
hukum-hukum tentang kehalalan di atas, kemudian AllahSwt berfirman ( ْ‫وَ ﻣَنْ ﯾَ ْﻛﻔُر‬
ُ‫ط َﻋ َﻣﻠُﮫ‬
َ ِ‫ِﺎﻹﯾﻣﺎنِ ﻓَﻘَ ْد َﺣﺑ‬
ِ ْ ‫)ﺑ‬, maksudnya, barang siapa yang mengingkari syari’at-syari’at
Islam dan mengingkari pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya maka AllahSwt
pasti membatalkan pahala amalnya di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia
dengan sempitnya amalan dia dan tidak adanya manfaat darinya, sedangkan di
akhirat dengan kerugian dan kehancuran di Neraka Jahannam.Allah
memutlakkan kata Iman pada ayat di atas dan menghendaki orang beriman untuk
mengamalkannya, itu semua hanyalah sebagai majaz bahwa yang dikendaki
AllahSwt adalah mengimani syari’at-syari’at AllahSwt dan mengamalkan
kewajiban-kewajibannya. Ada juga yang menafsirkan: “Barang siapa yang
mengingkari Rabb yang wajib diimani, lafal itu merupakan majaz dengan
membuang kata tertentu (yaitu kata Rabb) dan maksud dari ayat ini adalah
menunjukkan besarnya perkara yang dihalalkan Allah dan yang diharamkan-Nya.
Dan ancaman bagi orang yang menyelisihinya.

Yang bisa diambil dari surat al-Maidah ayat 5 di atas di antaranya adalah:
Pensyariatan menikahi wanita yang muḥshonat baik dari kalangan Muslimah
maupun ahlu kitab, yang dimaksud al-muḥshonat adalah:
1.4.1.1. Menurut Mujahid dan jumhur adalah wanita-wanita yang merdeka
1.4.1.2. Menurut Ibnu Abbas al-muḥshonat adalah Wanita-wanita yang menjaga
dirinya dari perbuatan keji
Batalnya pahala amal apabila orang yang beramal tersebut mengingkari
hukum-hukum dan syari’at AllahSwt, kufur terhadap pokok-pokok Iman dan
cabang-cabangnya, sebagaimana firman AllahSwt ( ِ‫ِﺎﻹﯾﻣﺎن‬
ِ ْ ‫ )وَ ﻣَنْ ﯾَ ْﻛﻔُرْ ﺑ‬artinya dengan
apa yang diturunkan kepada RasulullahSaw atau mengingkari Iman maka sia-
sialah amalnya maksudnya adalah batal dan sia-sialah pahala amalnya dan
amalnya tidak bermanfaat di akhirat.

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munīr fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-


Manhaj

Wanita Kristen Halal Bagi Pria Muslim

Para Ulama Islam percaya agama Islam, Nasrani, dan Yahudi merupakan
agama samawi.Sehingga mereka berpendapat, selain menikahi wanita Muslim,
pria Muslim boleh menikahi wanita Kristen. Tapi wanita dari agama lain seperti
Hindu, Budha, dll haram baginya.
Mengapa pria Muslim boleh menikahi non-Muslimah? Alasanya, karena pria
dianggap sebagai pemimpin rumah tangga dan berkuasa penuh atas
isterinya.Beberapa sahabatnya juga menikahi wanita Kristen. Seperti Utsman bin
Affan dan Talhah bin Ubaidillah menikahi wanita Nasrani. Sedangkan Hudzaifah
menikahi wanita Yahudi.

Muslimah Menikah dengan Pria Non-Muslim


Perlu ditegaskan bahwa haram hukumnya seorang Muslimah menikah
dengan laki-laki non-Muslim secara mutlak, baik laki-laki itu dari golongan Ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani) ataupun dari agama musyrik lainnya.Hal ini telah
ditegaskan dalam Alquran dan merupakan ijmak (konsensus) para ulama Islam.
AllahSwt berfirman,
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS al-Baqarah [2]: 221).
Dalam tafsirnya, Imam al-Thabari menjelaskan bahwa dalam ayat ini AllahSwt
telah mengharamkan wanita Mukminah untuk menikah dengan lelaki musyrik dari
jenis mana pun, maka hendaklah laki-laki beriman (para wali wanita mukminah)
tidak menikahkan seorang wanita Mukminah dengan laki-laki kafir karena itu
adalah hal yang haram dilakukan. Sungguh, menikahkan wanita Mukminah
dengan seorang budak yang beriman dan meyakini AllahSwt dan Rasul-Nya serta
wahyu yang dibawanya lebih baik daripada menikahkannya dengan seorang laki-
laki merdeka tapi musyrik, meskipun terhormat keturunannya .
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juga mengatakan maksud ayat ini adalah
janganlah kamu menikahkan seorang wanita Muslimah dengan seorang laki-laki
musyrik. Dan umat Islam telah berijmak bahwa seorang laki-laki musyrik tidak
boleh sama sekali bercampur dengan wanita Muslimah karena itu merupakan
bentuk merendahkan Islam.
Dalam ayat lain, AllahSwt menegaskan,
“...maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka.” (QS al-Mumtahanah [66]: 10).

Menurut Ibnu Katsir, ayat inilah yang mengharamkan wanita Muslimah untuk laki-
laki kafir yang pada masa awal Islam diperbolehkan. Imam al-Qurthubi juga
mengatakan, dalam ayat ini AllahSwt mengharamkan wanita Muslimah bagi laki-
laki kafir dan juga mengharamkan laki-laki Muslim menikahi wanita musyrik.

Anda mungkin juga menyukai