Oleh :
Dr.H. Abdul Majid Khon, M.Ag
Capaian pembelajaran yang diharapkan pada materi ini adalah menguasai pola pikir dan
struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan perspektif tawassuth, tawaazun, dan tasaamuh, yang
berkategori advance materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten),
“mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.
Subcapaian Pembelajaran
1.1. Menguasai dasar-dasar keislaman secara mendalam berawawasan rahmatan lil alamîn,
moderat dan seimbang
1.2. Bersikap dewasa dan tasamuh dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
1.3. Memecahkan permasalah sosial yang timbul secara bijaksana dan metodologis dengan
menggunakan kaidah-kaidah yang dapat diterima antara lain counter argument atau counter
ideologi.
Pokok-Pokok materi
1. Pengertian Islam Radikal
2. Indikator Islam Radikal; Takfîri dan al-Walâ wa al-Bara
3. Bom Bunuh Diri
Uraian Materi
A. Pengertian Islam Radikal
Islam radikal dalam dasawarsa terakhir menjadi sebuah istilah yang interchangeable
dengan kelompok teroris yang menggunakan baju Islam. Dalam literatur berbahasa Inggris Islam
radikal dijadikan istilah bagi sekelompok orang yang berusaha memperjuangkan idealisme dan
ideologi dengan cara-cara kekerasan, termasuk menggunakan cara-cara bunuh diri.
Siapa sesungguhnya kelompok radikal ini? Hal ini perlu clear. Ia bagaikan pedang bermata
dua. Mengelompokkan seseorang atau kelompok sebagai kelompok radikal sama bahayanya jika
menafikan adanya kelompok radikal itu. Setiap kelompok radikal pada setiap negara memiliki ciri
dan kecenderungannya masing-masing. Di Asia Tenggara, secara umum kelompok radikal dapat
diidentifikasi ciri-cirinya, antara lain mengharamkan sesuatu pada diri dan orang lain padahal
Allah Swt dan Rasul-Nya tidak pernah mengharamkan hal itu, misalnya menghadiri walimah atau
acara yang dilakukan di luar kelompoknya; berlebihan di dalam memaknai ayat dan hadis yang
pada hakikatnya tidak sejalan dengan tujuan umum syari’ah (maqashid al-syari’ah), seperti
melakukan perjalanan jihad dengan menelantarkan keluarganya.
Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Ia adalah
paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan.
Dalam perspektif ilmu, radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau posisi yang mendambakan
perubahan terhadap status quo dengan cara menggantinya dengan sesuatu yang sama sekali
baru dan berbeda.1 Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung
yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi,
kelembagaan, atau nilai.
Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh beberapa
hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: Pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau
menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap egois, yakni sikap yang
membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif,yakni sikap tertutup
dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner, yakni
kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.2
Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme.
Revivalisme merupakan intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward
oriented), dengan artian pengaplikasian dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri
pribadi. Adapun bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward oriented), atau
kadang dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim disebut
fundamentalisme.3
Dalam bahasa Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan beberapa istilah, antara
lain al-‘unf, at-tatha}r ruf, al-guluww, dan al-irhab>., Abdullah an-Najjar mendefiniskan al-‘unf dengan
penggunaan kekuatan secara (main hakim sendiri) untuk memaksanakan kehendak dan
pendapat.4 Sekalipun kata ini tidak digunakan dalam al-Qur’an, tetapi beberapa hadis NabiSaw.
Menyebutnya, baik kata al-‘unf maupun lawannya (ar- rifq). Dari penggunaan kata tersebut dalam
hadis-hadis, tampak jelas bahwa Islam adalah agama yang tidak menyukai kekerasan terhadap
siapa pun, termasuk penganut agama yang berbeda. Sebaliknya Islam adalah agama yang penuh
dengan kelembutan.
1
EdiSusanto,“Kemungkinan Munculnya PahamIslam Radikal diPesantren”, dalam Jurnal Tadris
(Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Pamekasan, 2007), Vol. 2, No. 1, h.3.
2
AgilAsshofie, “Radikalisme Gerakan Islam”, http://agil-asshofie. blogspot.com/ 2011/10 /radikalisme-
gerakan-politik.html,
3
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
1999), h. 46-47.
4
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama,Tafsir al-Qur’an Tematik, jilid 1 (Jakarta:
Kamil Pustaka, 2014), h. 97
Mereka meninggalkan sesuatu yang belum tentu haram dan mengharamkan kepada diri
dan orang lain dengan anggapan pilihan sikap itu paling sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Mereka tidak segan-segan menghina aliran dan mazhab yang dianut orang yang berbeda
pendapat dengannya sebagai aliran sesat. Mereka mengambil sikap berlebihan kepada orang lain
yang berbeda dengan pendapatnya, misalnya menuduh orang lain sebagai ahli bid’ah dan
mengklaim diri sebagai ahli sunnah sejati, bahkan tidak segan-segan mengkafirkan dan
menghalalkan darah orang lain.
Ciri lainnya mereka menganggap orang lain sebagai kelompok jahiliah modern, yang tak
layak diikuti. Mereka mengharamkan bermakmum kepada orang yang berada di luar
kelompoknya dan menganggap sia-sia shalat di belakang orang yang fasiq. Mereka juga menuduh
ulama yang tidak sejalan dengannya sebagai ulama sesat (ulama’ al-sû’) dan melecehkannya
secara terbuka. Mereka selalu memisahkan diri dengan umat Islam yang tidak sejalan dengannya
di dalam melakukan berbagai aktifitas, termasuk ibadah shalat berjamaah. Mereka tidak mau
berpartisipasi dalam gagasan yang dirintis atau diprakarsai oleh kelompok lain yang bukan
kelompoknya.
Mereka sering melakukan interpretasi dalil agama sesuai dengan ideologinya, tidak
peduli itu kontroversi di kalangan umat mayoritas. Mereka tidak takut dan terbiasa hidup di
dalam perbedaan dan keterasingan dengan umat mainstream. Mereka bisa saja memotong ayat
atau hadis untuk mengambil dasar pembenaran terhadap ajarannya, misalnya ayat-ayat jihad di
ambil pertengahan atau potongan yang mendukung perjuangannya, seperti firman Allah:
“…maka bunuhlah orang-orang musyrikin (non-muslim) itu di mana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka. …..” Q.S. al-Taubah [9]: 5.
Mereka juga sering mengabaikan sabab nuzul ayat dan sabab wurud hadis demi untuk
memokuskan makna ayat kepada ajarannya. Mungkin saja ayat atau hadis itu menunjuk kepada
satu kasus yang yang sangat spesifik tetapi diperlakukan secara general, contohnya firman Allah
Swt:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka….” (Q.S. al-Baqarah [2]:191).
Ayat ini turun sebagai direction dalam salah satu peperangan Nabi di Madinah, tetapi kemudian
diperlakukan secara general.
.ٍ ْﺾ
ٍ ﻀﻜُﻢ ِرﻗَﺎبَ ﺑَﻌ
ُ ﻻَ ﺗَﺮْ ﺟِ ﻌُﻮْ ا ﺑَ ْﻌﺪِيْ ُﻛﻔﱠﺎرً ا َﯾﻀ ِْﺮبُ َﺑ ْﻌ
“Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian membunuh
yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65]
Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat
tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini
halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi
(penghalalan secara hati).
Subcapaian Pembelajaran
1.1. Memahami hukum muamalat dan transaksi berbasis tenologi dan elektrik atau
online
1.2. Mengakomodir ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Pendidikan agama Islam
Pokok-Pokok Materi;
1. Pengertian Transaksi Modern
2. Jenis-jenis transaksi Modern; transaksi online, dan nikah onlie
3. Kloning
Uraian Materi
A. Pengertian Transaksi Modern
Pengertian transaksi adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dan dapat
menimbulkan perubahan terhadap harta atau keuangan, baik itu bertambah maupun
berkurang. Contoh dari melakukan transaksi diantaranya ialah membeli barang, menjual
barang, berhutang, memberi hutang, dan membayar berbagai kebutuhan hidup. Dahulu,
kegiatan transaksi dilakukan dengan tatap muka (face to face), namun pada era modern
ini transaksi tidak mengharuskan dua atau lebih orang yang bertransaksi untuk bertemu.
Hal ini juga yang menjadi ciri dari kegiatan transaksi modern yaitu transaksi yang dilakukan
secara online. Transaksi online adalah transaksi yang dilakukan penjual dan pembeli secara
online melalui media internet, tidak ada perjumpaan langsung antara pembeli dan penjual.
Era digital, perkembangan transaksi serba online; jual bei secara online seperti Lazada,
shape,dan lain-ain. Trasportasi oneline seperti grap, gojek, dana lain-lain, e- tall, e-ticket,
dan lain-lain, segala langkah masyarakat dihadang serba e- termasuk perkembanagn
transaksi perekomonian dan perdagangan.
ِ ﻋَﻦْ َﺑ ْﯿﻊِ ا ْﻟ َﺤﺼَﺎةِ وَ ﻋَﻦْ َﺑ ْﯿﻊ-ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ- ِ ﻋَﻦْ أَﺑِﻰ ھُﺮَ ﯾْﺮَ ة َ ﻗَﺎ َل َﻧﮭَﻰ رَ ﺳُﻮ ُل ﱠ
.ا ْﻟﻐَﺮَ ِر
Artinya : “Rasulullah melarang jualbeli dengan lemparan batu dan penipuan” (HR Muslim)
Berdasarkan kebiasaan, sebelum transaksi pembeli biasanya telah
melihat mabi’ (barang yang dijual) dan telah dijelaskan sifat dan jenis barang tersebut (salam)
serta memenuhi syarat dan rukunjualbeli yang lainnya oleh penjualmelalui situs online yang
dimiliknya.
Selainitu, bilasudahcocokatasbarang yang dideskripsikan oleh penjual, pembeli
mentransfer biaya yang ditentukan penjual, dan menunjukkan struk pembelian. Setelah itu,
penjual melakukan proses pembelian. Bila praktik jualbeli online seperti ini sudah dilakukan
dan tidak ada yang dirugikan, maka hokum jualbeli online menjadi sah. Hal tersebut
sebagaimana difatwakan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri dalam karyanya
syarah Al-Yaqut an-Nafis:
2. Nikah Online
Pernikahandalam Islam memilikibeberaparukun dan syarat. Rukun dan syarat nikah
memengaruhisahatautidaknyapernikahanmenurut Islam. Rukun nikah yang disepakati
oleh mayoritas ulama terdiridari lima rukun; ada mempelai pria, ada mempelai wanita,
adawali nikah, adanya dua orang saksi, dan ada ijabkabul. Seiring majunya teknologi, ada
beberapa rukun nikah yang dilaksanakan secara jarak jauh dengan bantuan teknologi.
Beberapa yang kerap ditemui adalah mempelai pria mengucapkan kabul di tempat yang
jauh dari mempelai wanita, wali, dan duasaksi. Fasilitas telepon atau video call dipakai
untuk mengucapkan akad nikah jarakjauh. Lalu, apakah akad nikah seperti ini
diperbolehkan?
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan, ulama fikih berpendapat jika ijab dan
kabul dipandang sah apabila telah memenuhi beberapa persyaratan. Ijab kabul
sendirimemilikiempatsyarat yang harusdiperhatikan;
a. ijab dan kabuldilakukandalamsatumajelis.
b. kesesuaianantaraijab dan kabul. Misalnyawalimengatakan, "Saya
nikahkanandadenganputrisaya A...", kemudiancalonsuamimenjawab, "Saya
terimanikahnya B...", makanikahnyatidaksah, karenaantaraijab dan
kabultidaksesuai.
c. yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali ijabnya sebelum kabul dari
calon suami.
d. Berlaku seketika. Maksudnya, nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang
akan datang. Jika wali mengatakan, "Saya nikahkan anda dengan putri saya
besok atau besok lusa," maka ijab dan kabul seperti ini tidak sah.
Pengertian ijab dan Kabul dalam satu majelis ini tidak semua ulama sepakat soal
penjelasannya. Ada yang mengartikan harus dalam satu tempat, ada pula yang
mengartikan tak harus dalam satu tempat. Imam Syafi'I lebih cenderung memandangnya
dalam arti fisik. Wali dan calon suami harus berada dalam satu ruangan sehingga mereka
dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan
Memahami secara jelas ijab dan kabul yang mereka ucapkan. Sehingga ijab dan Kabul
benar-benar sejalan dan bersambung.
Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi juga harus melihat secara langsung dua orang
yang berakad. Dua orang saksi tidak cukup hanya mendengar ucapan ijab dan kabul yang
diucapkan oleh mereka. Kepastian itu diperoleh saksi melalui penglihatan dan
pendengaran yang sempurna. Meskipun keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat
dipastikan dengan pendengaran yang jelas, namun kepastian itu harus diperoleh dengan
melihat secara langsung wali dan calon suami.
Apabilawaliberteriakkerasmengucapkanijabdarisatutempat, kemudiandisambut oleh
kabulcalonsuamidengansuarakeras pula daritempatlain, dan masing-masing pihak saling
mendengar ucapan yang lain, maka aka nikah seperti itu tidak sah. Karena, kedua saksi
tidak dapat melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam satu ruangan. Dengan
demikian, menurut Imam Syafi'i, akad nikah jarak jauh melalui telepon tidak dapat
dipandang sah karena syarat tersebut di atas tidak terpenuhi.
Sementara pendapat berbeda diungkapkan MajelisTarjih PP Muhammadiyah dalam
kumpulan fatwanya. Menurut Majelis Tarjih, yang dimaksud dengan ijabkabul dilakukan
dalam satu majelis adalah ijab dan kabult erjadi dalam satu waktu. Yang lebih dipentingkan
adalah kesinambungan waktu bukan tempat.
3. Kloning
Kata kloninginiberasaldari kata “clone” kata dalambahasainggris yang berarti
potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman, kloning ini pertama kali
muncul dari usulan Herbert Webber pada tahun 1903 dalam mengistilahkan
sekelompok individu makhluk hidup yang dilahirkan dari satu induk tanpa proses
seksual. Secara definisi dan pengertian, cloning adalah suatu upaya tindakan untuk
memproduksi atau menggandakan sejumlah individu yang hasilnya secara genetik
samapersis (identik) berasal dari induk yang sama, mempunyai susunan (jumlah dan
gen) yang sama. Sedangkan cloning adalah sejumlah organisme hewan maupun
tumbuhan yang terbentuk melalui hasil reproduksi seksual dan berasal dari satu induk
yang sama. Setiap bagian dari klon tersebut memiliki susunan dan jumlah gen yang
sama dan kemungkinan besar fenotipnya juga akan sama.
Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian).
Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama.
Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning
ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat
berikut:
ﻀﻐَ ٍﺔ ُﻣ َﺨﻠﱠﻘَ ٍﺔ وَ َﻏﯿ ِْﺮ ُﻣ َﺨﻠﱠﻘَ ٍﺔ
ْ ﻋﻠَﻘَ ٍﺔ ﺛ ُ ﱠﻢ ﻣِ ﻦْ ُﻣ
َ ْﻄﻔَ ٍﺔ ﺛ ُ ﱠﻢ ﻣِ ﻦ
ْ ُب ﺛ ُ ﱠﻢ ﻣِ ﻦْ ﻧ
ٍ ﻓَﺈِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ﻣِ ﻦْ ﺗ ُﺮَ ا
(5 : ِﻟﻨُﺒَﯿِّﻦَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ وَ ﻧُﻘِﺮﱡ ﻓِﻲ اْﻷ َرْ ﺣَﺎمِ ﻣَﺎ ﻧَﺸَﺎ ُء … )اﻟﺤﺞ.
“… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa
ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia
mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan
hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas
tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi
ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada AllahSwt
sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-
Qur’an bahwa AllahSwt telah menciptakan Nabi Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan
Nabi Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut:
Pokok-pokok Materi:
1. Permalasalah gender
2. Gender dalam Islam
3. Cadar bagi wanita
4. LGBT
Uraian Materi
1. Permasalahan Dalam Gender
Konsep urgen yang perlu dipahami dalam diskursus gender adalah
membedakan dua hal yang berbeda, yaitu gender dan jenis kelamin. Dengan
memisahkan makna antara gender maka setiap pendidik dan orangtua akan
mampu membedakan antara yang kodrati dengan yang bukan kodrati.
Jenis kelamin adalah suatu hal yang menunjukkan pada pembagian sifat dua
jenis kelamin manusia secara biologis. Sebagai contoh dari jenis kelamin laki-laki
yaitu memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat kelaki-lakian, seperti memiliki
penis, jakun, serta mampu menghasilkan sperma. Sementara itu, jenis kelamin
perempuan juga memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat perempuan, di
antaranya memiliki vagina, rahim, payudara, serta menghasilkan ovum. Sifat-sifat
tersebut melekat selamnaya pada manusia yang memiliki jenis kelamin laki-laki
dan perempuan. Hal ini memberikan makna bahwa secara biologis, semua organ
yang dimiliki baik oleh laki-laki tidak akan bisa ditukar pada jenis kelamin
perempuan. Begitu pula sebaliknya, seluruh organ yang dimiliki perempuan tidak
akan dibenarkan untuk ditukar dengan organ laki-laki. Hal demikian inilah yang
disebut ketentuan ilahi yang tidak dibenarkan untuk dipertukarkan dan bersifat
kodrati.
Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dibangun dari interaksi sosial dan budaya. Sebagai contoh bahwa perempuan
lebih dipahami sebagai seseorang yang feminim, lemah lembut, serta memiliki
sifat-sifat keibuan. Sementara laki-laki lebih dipahami sebagai sosok seseorang
yang maskulin, rasionalis, serta memiliki kekuatan yang lebih dari perempuan.
Namun, kedua sifat tersebut esensinya dapat dipertukarkan. Dalam kehidupan
sehari dapat ditemukan bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan
seperti lemah lembut dan keibuan. Perubahan tersebut berlangsung dari masa ke
masa dan di berbagai tempat. Hal inilah yang disebut sebagai hal yang bukan
kodrati.1 Gender juga dipahami sebagai konstruksi sosial yang terkait sikap,
peraturan, tanggungjawab, dan pola tingkah laku laki-laki dan perempuan dalam
segala kehidupannya.2
Selain itu, dalam pemahaman gender, dikenal juga dengan sifat gender, peran
gender, dan ranah gender. Sifat gender merupakan sifat dan tingkah laku yang
terdapat pada laki-laki dan perempuan. Peran gender merupakan hal-hal atau
perilaku yang wajar atau tidak dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang
berlandaskan pada value (nilai), kultur, serta norma masyarakat yang
berlangsung pada waktu tertentu. Sedangkan ranah gender yaitu ruang bagi laki-
laki dan perempuan untuk memainkan perannya masing-masing. Ranah dalam
hal ini terbagi dua yaitu ranah domestik dan publik Ranah domestik yaitu ruang
atau wilayah sekitar kehidupan rumah tangga seperti sumur, dapur dan kasur,
sementara wilayah publik yaitu ruang atau wilayah pekerjaan umum seperti
pekerjaan di kantor, pasar dan pusat-pusat perbelanjaan.3
Maggie Humm sebagaimana dikutip Nur Rohmah menganggap patriarki
sebagai suatu sistem yang mengedepankan kekuasaan laki-laki yang
1
Ana Rosilawati, Perempuan dan Pendidikan: Refleksi atas Pendidikan Berspektif Gender, Hasil
Penelitian Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak, h. 2.
2
Gouri srivastava, Gender Concerns in Education, NCERT: India, tt, h. 1.
3
Siti Azisah dkk, Buku Saku Kontekstualisasi Gender, Islam dan Budaya, Makasar : UIN Alaudin Makasar,
2016, h. 6.
mendiskreditkan perempuan melalui lembaga sosial, dan ekonomi. Humm
menambahkan bahwa dalam histori masyarakat yang menganut sistem patriarki
baik feodal, kapitalis, maupun sosialis, akan memberikan ruang yang lebih
dominan bagi kaum laki-laki daripada perempuan dan menjadi media dan
ganjaran dari susunan kekuasaan internal dan eksternal rumah.
Selanjutnya, Nikmatullah sebagaimana dikutip Rosiawati menjelaskan
contoh konkret dari pemahaman gender dapat ditemui dalam kultur budaya
masyarakat di Indonesia. Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat yang
menganut sistem garis kebapakan (patriarkhi), memposisikan laki-laki sebagai
pemimipin dan pengambil segala keputusan, sementara perempuan tidak
diberikan ruang dan posisi yang signifikan dalam segala lini kehiduapan
bermasyarakat. Kaum perempuan dianggap berada pada posisi kelas kedua (the
second class) di bawah jenis kelamin laki-laki. Realita ini dapat disaksikan pada
tradisi perempuan suku Sasak, Jawa, Makasar. Berbeda dengan patriarkhi, pada
masyarakat yang menganut sistem jalur keibuan (matriarkhi) memposisikan
perempuan di atas laki-laki. Mereka memberikan ruang yang cukup besar kepada
kaum perempuan untuk memerankan peran laki-lakiu seperti menjadi pemimpin
dan pengambil keputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Realita ini dapat
dilihat pada tradisi masyarakat Minangkabau yang memberikan kesempatan bagi
perempuan untuk lebih dominan berperan daripada laki-laki.
Praktik ketimpangan gender terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu:4
a. Marginalisasi atau proses peminggiran/pemiskinan, yang mengakibatkan
kemiskinan secara ekonomi. Seperti dalam memperoleh akses
pendidikan, seperti pandangan yang menganggap bahwa perempuan
tidak penting untuk mengenyam pendidikan yang tinggi dikarenakan
nantinya akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
b. Subordinasi, yaitu pemahaman yang meyakini salah satu jenis kelamin
dianggap lebih unggul dan urgen dibanding jenis kelamin lain.
Pemahaman in juga memposisikan perempuan lebih rendah daripada
laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada masa lampau dimana perempuan tidak
mendapatkan kesempatan dan akses yang sama seperti laki dalam
4
Iswah Adrian, Kurikulum Berbasis Gender (Membangun Pendidikan yang Berkesetaraan) Jurnal Tadris
Vol. 4 No. 1, 2009, h. 140-141..
bidang pendidikan. Pada saat yang bersamaan, ketika kondisi keuangan
keluarga pas-pasan maka yang diprioritaskan untuk mengenyam
pendidikan adalah laki-laki.
c. Stereotipe, yaitu labeling (pelabelan) terhadap seseorang atau kelompok
yang tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Kegiatan ini secara umum
akan selalu melahirkan ketidakadilan. Hal ini berimplikasi kepada
terjadinya penindasan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sebagi
contoh berkembang pemahaman di masyarakat bahwa perempuan
hanya mampu berperan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.
Sementara laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dalam hal
melakukan pekerjaan di luar rumah seperti mencari nafkah, menjalankan
bisnis, bahkan aktif dalam perpolitikan.
d. Violence yaitu suatu bentuk serangan terhadap fisik maupun psikologis
seseorang. Kekerasan terhadap seseorang tidak hanya tertuju pada fisik
saja seperti tindakan asusila dan lain sebagainya, namun juga mengarah
pada psikis seseorang.
e. Beban ganda yaitutanggung jawab yang dipikul satu jenis kelamin
tertentu secara berlebihan. Hal ini merujuk pada penelitian yang
menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh
perempuan.
Hal-hal tersebut di atas bermuara pada terjadinya diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan di lingkungan keluarga dan maupun sosial masyarakat. Membahas
tentang gender berarti memberikan ruang dan kesempatan yang sama antara
laki-laki untuk berkontribusi dalam pembangunan, ekonomi, politik dan budaya.
Dengan demikian kesetaraan gender bermakna memberikan akses yang sama
kepada laki-laki dan perempuan untuk menikmati pembangunan.
ﯾﺎ أﯾّﮭﺎ اﻟﻨّﺎس اﺗ ّﻘﻮا رﺑّﻜﻢ اﻟّﺬى ﺧﻠﻘﻜﻢ ﻣّﻦ ﻧﻔﺲ وّ اﺣﺪة وّ ﺧﻠﻖ ﻣﻨﮭﺎ زوﺟﮭﺎ وﺑﺚّ ﻣﻨﮭﻤﺎ رﺟﺎﻻ
(1 ﻛﺜﯿﺮا وّ ﻧﺴﺂء وّ اﺗ ّﻘﻮا ﷲ اﻟّﺬى ﺗﺴﺂءﻟﻮن ﺑﮫ و اﻷرﺣﺎم انّ ﷲ ﻛﺎن ﻋﻠﯿﻜﻢ رّ ﻗﯿﺒﺎ اﻟﻨّﺴﺎء
“Hai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu sekalian
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu sekalian saling meminta satu sama
lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan
mengawasi kamu sekalian (QS. al-Nisa’ 1).
ﯾﺎ اﯾّﮭﺎ اﻟﻨّﺎس إﻧّﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎﻛﻢ ﻣّﻦ ذﻛﺮ وّ أﻧﺜﻰ وﺟﻌﻠﻨﺎﻛﻢ ﺷﻌﻮﺑﺎ وّ ﻗﺒﺎءل ﻟﺘﻌﺎرﻓﻮآ إنّ أﻛﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨﺪ
(13 ﷲ أﺗﻘﺎﻛﻢ إنّ ﷲ ﻋﻠﯿﻢ ﺧﺒﯿﺮ )اﻟﺤﺠﺮات
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami telah menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).
ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺻﺎﻟﺤﺎ ﻣﻦ ذﻛﺮ أو أﻧﺜﻰ وھﻮ ﻣﺆﻣﻦ ﻓﻠﻨﺤﯿﯿﻨّﮫ ﺣﯿﻮة طﯿّﺒﺔ وّ ﻟﻨﺠﯿﻨّﮭﻢ أﺟﺮھﻢ
(97 ﺑﺄﺣﺴﻦ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﻮا ﯾﻌﻤﻠﻮن )اﻟﻨﺤﻞ
“Barang siapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki ataupun perempuan, sedangkan
dia adalah orang yang beriman, maka sungguh akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik, dan sungguh akan kami balasi mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl 97)
Cadar bagi wanita, menurut Imam Asy Syafi’i ra menegaskan dalam Al Umm
(1/109);,
وﻛﻞ اﻟﻤﺮأة ﻋﻮرة إﻻ ﻛﻔﯿﮭﺎ ووﺟﮭﮭﺎ
“Dan setiap wanita adalah aurat kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya.”
Pendapatini yang masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada.
Imam Nawawi ra dalam Al-Majmu’ (3/169) mengatakan,
ان اﻟﻤﺸﮭﻮر ﻣﻦ ﻣﺬھﺒﻨﺎ أن ﻋﻮرة اﻟﺮﺟﻞ ﻣﺎ ﺑﯿﻦ ﺳﺮﺗﮫ ورﻛﺒﺘﮫ وﻛﺬﻟﻚ اﻻﻣﺔ وﻋﻮرة اﻟﺤﺮة
ﺟﻤﯿﻊ ﺑﺪﻧﮭﺎ اﻻ اﻟﻮﺟﮫ واﻟﻜﻔﯿﻦ وﺑﮭﺬا ﻛﻠﮫ ﻗﺎل ﻣﺎﻟﻚ وطﺎﺋﻔﺔ وھﻲ رواﯾﺔ ﻋﻦ اﺣﻤﺪ
“Pendapat yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah
antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita
merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula
pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah
satu pendapat Imam Ahmad.”
Ibnul Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam Al
Awsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),
ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺮأة أن ﺗﺨﻤﺮ ﻓﻲ اﻟﺼﻼة ﺟﻤﯿﻊ ﺑﺪﻧﮭﺎ ﺳﻮى وﺟﮭﮭﺎ وﻛﻔﯿﮭﺎ
“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya”.
Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim mengatakan,“Sungguh sangat aneh sebagian
orang yang menukil dari ulama Syafi’iyah dalam masalah ini, tidak bisa membedakan
antara dua hal:
a. Melihat wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah (godaan).
Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah.
b. Hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di atas
bahwa ulama Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat.
Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini sampai akhirnya rancu. Sehingga
mereka pun mensyaratkan hal kedua di atas (hukum menyingkap wajah) selama
aman dari fitnah. Ini jelas keliru karena telah mencampur adukkan dua hukum di atas.
Seperti kita contohkan lainnya, beda antara hukum suara wanita aurat atau bukan ?
dengan hukum wanita memberi salam pada laki-laki boleh ataukah tidak ?. Suara
wanita bukanlah aurat sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih.
Sedangkan memberi salam pada laki-laki itu disyaratkan boleh selama aman dari
fitnah.” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, 192-193)
Dalam madzhab Syafi’i jika dikatakan pendapat yang masyhur berarti adalah
pendapat di kalangan ulama madzhab (bukan pendapat Imam Syafi’i) dan merupakan
pendapat yang lebih tersohor, namun ada pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang
dalilnya juga kuat. Artinya ada sebagian ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat
bahwa menutup wajah itu wajib dan dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata
Imam Nawawi, pendapat yang menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan
selain wajah dan telapak tangan merupakan pendapat yang lebih tersohor di madzhab
Syafi’iyah.
Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah terdahulu dan belakangan. ulama
Syafi’iyah membedakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan
telapak tangan, ini berlaku dalam shalat. Sedangkan aurat di luar shalat adalah
seluruh badan termasuk wajah dan telapak tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh
‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam Nawawi)
memutlakkan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan.
Jika diperhatikan beda antara hukum memandang wajah wanita dan hukum
menyingkap wajah,ini dua hal dua hal yang berbeda.
Dalam buku “ al-Niqab adah wa laisa ibadah” yang ditulis oleh Prof Dr Hamdi
Zaqzuq Menteri Perwaqafan tahun 2008 menyatakan Para ulama Mesir senior
berpendapat bahwa cadar adalah sebagai tradisi kaum wanita bukan ibadah. Lebih
rinci pada buku itu dengan mengutip pandangan Syeikh Muhammad Al-Ghazali,dalam
bukunya Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna Ahli al-Fiqh Wa al-Rakyi, bahwa Islam
telah mewajibkan bagi wanita untuk membuka wajah dalam ibadah haji, ibadah shalat
dan tidak dalil dalam Al-qur’an hadis dan akal yang menyuruh menutup wajah. Ibadah
perlu dalil yang tegas, memang diketahui bahwa sebagian kaum wanita pada msa
jahiliyah dan awal Islam mengenakan cadar tutup wajah, tetapi perbuatan ini hanya
tradisi bukan ibadah.(Al-Niqab: 8-9 )
Sumber https://rumaysho.com/1760-menutup-wajah-menurut-madzhab-syafii.html
Pokok-Pkok bahasan
1.1. Pengertian toleransi dalam Islam
1.2. Bentuk-bentuk Toleransi
1.3. Ucapan Selamat Natal
1.4. Kawin Beda Agama
Uraian Materi
A. Toleransi dalam Islam
1. Pengertian Toleransi dalam Islam
Kata toleransiberasaldari tolerandalam KBBI diartikan menenggang atau menghargai
pendirianyang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalambahasa Arab, toleran
adalah“tasâmuh”, yang berarti sikap baik dan berlapang dada terhadap perbedaan-
perbedaan dengan orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya.
Umatmanusiadiciptakandenganberbagairas, bangsa, suku, bahasa, adat, kebudayaan, dan agama
yang berbeda. Menghadapi kenyataan tersebut, setiap manusia harus bersikap toleran atautasamuh.
Dengan sikap toleransi dantasamuhyang luas dan terbuka, maka akan terbentuk suatu masyarakat
yang saling menghargai, menghormati, dan terjalinlah kehidupan yang harmonis antar anggota
masyarakat, bangsa, negara, maupun dalam kehidupan secara umum. Kemudian masyarakat yang
harmonis cenderung akan menghasilkan karya-karya yang besar yang bermanfaat bagi manusia.
Toleransi dianjurkan dalam masalah muamalah dan hubungan kemasyarakatan bukan
menyangkut masalah akidah dan ibadah. Toleransi dalam masalah ibadah dan akidah tertolak
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin
Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui
Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada
Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala
permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut
kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami
yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-
Qurtubi/14:425)
Sebagai jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun ayat
1-6 yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut akidah.AllahSwt
berfirman:“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kafirun: 6)
Sedangkan sikap toleransi dalam masalah muamalah dan kemasyarakatan dijelaskan oleh Allah
dalam Alqur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8-9,
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam
urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.”
(TQS. Al-Mumtahanah: 8-9)
Ibnu Katsir ra berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang
tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka.
Hendaklah kalian berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”
(Tafsir Alqur’a al-Azhim, surat ke 7 ayat 247)
Inilah toleransi yang diajarkan di dalam Islam. Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya
untuk bertoleransi pada orang-orang di luar Islam. Namun demikian, sikap toleransi tidak boleh
dipraktikkan dalam hal yang menyangkut akidah.Inilah ketentuan syariat yang berhubungan
dengan toleransi.
Umar bin Khattab masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada saudaranya yang non
muslim.
http://www.gresnews.com/berita/tips/113137-aturan-dan-prosedur-pendirian-rumah-
ibadah/
Kedua, karena tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan
tegas menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori
permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:
ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ
َ َﻻ ﯾُ ْﻨﻜَﺮُ ا ْﻟﻤُﺨْ ﺘَﻠَﻒُ ﻓِ ْﯿ ِﮫ وَ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾُ ْﻨﻜَﺮُ ا ْﻟﻤُﺠْ َﻤ ُﻊ
Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan
permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.
وَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ َﻻ ﯾَ ْﺸ َﮭﺪ ُونَ اﻟﺰﱡ ورَ وَ إِذَا ﻣَﺮﱡ وا ﺑِﺎﻟﻠﱠ ْﻐ ِﻮ ﻣَﺮﱡ وا ﻛِﺮَ اﻣًﺎ
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Pada ayat tersebut, AllahSwt menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat
yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan,
seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian
palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak
akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat
ِﻨﮭﻢ
ٍ ﻓﮭﻮ ﻣ
ِﻘﻮم
ﻣﻦ ﺗﺸﺒﮫ ﺑ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut."
(HR. Abu Daud, nomor 4031).
Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum
Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan
dimaksud adalah haram.
Kedua, sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh
Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom
Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan
ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:
ِِﯾﻦ
ِﻲ اﻟﺪ
ِﻠﻮﻛﻢ ﻓ
ِﯾﻦ ﻟ ﻢ ﯾﻘﺎﺗ
ﻻ ﯾﻨﮭﺎﻛﻢ ا ﻋﻦِ اﻟ ﺬ
ِﻄﻮا
ِﻛﻢ أن ﺗﺒﺮوھﻢ وﺗﻘﺴِﯾﺎرِﻦ دِﺟﻮﻛﻢ ﻣ
وﻟ ﻢ ﯾﺨﺮ
ِﻢ
ِﻟ ﯿﮭ
إ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Pada ayat di atas, AllahSaw tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada
siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan,
mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non
Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.
Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadits Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam riwayat Anas bin Malik:
َ ﻓَﻘَﻌَﺪَ ِﻋ ْﻨﺪ،ُﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَﻌُﻮدُه َ َﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ ﻲ ﻓَﺄَﺗ َﺎهُ اﻟﻨﱠﺒِ ﱡ،ض َ ِﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻤَﺮ َ َﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ﻲ ي ﯾَﺨْ ﺪُ ُم اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ
ﻏﻼَ ٌم ﯾَﮭُﻮ ِد ﱞُ َﻛَﺎن
َ ﻓَﻨَﻈَﺮ.ْ أ َ ْﺳ ِﻠﻢ:ُرَ أْ ِﺳ ِﮫ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮫ .َ ﻓَﺄ َ ْﺳﻠَﻢ.َﺳﻠﱠﻢ
َ َﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ِ أَطِ ﻊْ أ َﺑَﺎ ا ْﻟﻘَﺎﺳِﻢ:ُ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮫ،ُإِﻟَﻰ أَﺑِﯿ ِﮫ وَ ھُﻮَ ِﻋ ْﻨﺪَه
ﱠﺎر( ـ
ِ )ا ْﻟﺤَﻤْ ﺪُ ِ ﱠ ِ اﻟﱠﺬِي أ َ ْﻧﻘَﺬَهُ ﻣِ ﻦَ اﻟﻨ:ُﺳﻠﱠ َﻢ وَ ھُﻮَ ﯾَﻘُﻮلَ َﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ﻲ ﻓَﺨَﺮَ َج اﻟﻨﱠﺒِ ﱡ
“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat
kepalanya, kemudian berkata: “Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat
ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:‘Taatilah Abul
Qasim (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).” Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah
yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)
Menanggapi hadits tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menjelaskan bolehnya
menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-
Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).
Pada hadits di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-
Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu
bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan.
Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan.
Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut
keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan
menimbulkan perpecahan.
Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya
Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar
bin Khattab ra. menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’
(Quds/Palestina):
أ َ ْﻋﻄَﺎ ُھ ْﻢ أَﻣَﺎﻧًﺎ ِﻷ َ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﮭ ْﻢ: ِﻋﻤَﺮُ أ َﻣِ ﯿْﺮُ ا ْﻟﻤُﺆْ ﻣِ ِﻨﯿْﻦَ أ َ ْھ َﻞ إِ ْﯾ ِﻠﯿَﺎ َء ﻣِ ﻦَ ْاﻷَﻣَﺎن
ُ ِﻋ ْﺒﺪُ ﷲ
َ َھﺬَا ﻣَﺎ أ َ ْﻋﻄَﻰ
وَ َﻻ ﺗ ُ ْﮭﺪَ ُم،ْﺴ ُﮭﻢ
ُ ِ َﻻ ﺗ ُ ْﺴﻜَﻦُ َﻛﻨَﺎﺋ،ﺻ ْﻠﺒَﺎﻧِ ِﮭ ْﻢ وَ ﺳَﺎﺋ ِِﺮ ﻣِ ﻠﱠﺘِﮭَﺎ
َ َوَ أ َﻣْ ﻮَ ا ِﻟ ِﮭ ْﻢ وَ َﻛﻨَﺎﺋِ ِﺴ ِﮭ ْﻢ و.
“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada
penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada
mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka
tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3,
halaman 609)
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU
Malaysia.
Diketengahkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abu Hatim dan Wahidi dari Muqatil,
katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai Ibnu Abu Martsad Al-Ghunawi yang
meminta izin kepada NabiSaw.untuk mengawini seorang wanita musyrik yang
cantik dan mempunyai kedudukan tinggi. Maka turunlah ayat ini." Diketengahkan
oleh Wahidi dari jalur Suda dari Abu Malik dari Ibnu Abbas, katanya bahwa ayat
ini turun mengenai Abdullah bin Rawahah. Ia mempunyai seorang budak sahaya
hitam yang dimarahi dan dipukuli. Dalam keadaan kebingungan ia datang kepada
NabiSaw. lalu menyampaikan beritanya, seraya katanya, "Saya akan
membebaskannya dan akan mengawininya." Rencananya itu dilakukannya,
hingga orang-orang pun menyalahkannya, kata mereka, "Dia menikahi budak
wanita." Maka AllahSwt. pun menurunkan ayat ini. Hadis ini dikeluarkan pula oleh
Ibnu Jarir melalui As-Sadiy berpredikat munqathi.
.AllahSwt berfirman dalam QS Al-Maidah/5: 5
ُﺼﻨَﺎت ِ ﺼﻨَﺎتُ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻤُﺆْ ﻣِ ﻨَﺎ
َ ْت وَ ا ْﻟﻤُﺤ َ ْطﻌَﺎ ُﻣ ُﻜ ْﻢ ﺣِ ﱞﻞ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ۖ وَ ا ْﻟﻤُﺤ
َ َطﻌَﺎ ُم اﻟﱠﺬِﯾﻦَ أ ُوﺗ ُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ ﺣِ ﱞﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ و
َ َﻄﯿِّﺒَﺎتُ ۖ و
ا ْﻟﯿَﻮْ َم أ ُﺣِ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠ
ِِﺎﻹﯾﻤَﺎن
ِ ْ ﺼﻨِﯿﻦَ َﻏﯿْﺮَ ُﻣﺴَﺎﻓِﺤِ ﯿﻦَ وَ َﻻ ُﻣﺘﱠﺨِ ﺬِي أَﺧْ ﺪَانٍ ۗ وَ ﻣَﻦْ ﯾَ ْﻜﻔُﺮْ ﺑ
ِ ْﻣِ ﻦَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ أ ُوﺗ ُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ ﻣِ ﻦْ ﻗَ ْﺒ ِﻠ ُﻜ ْﻢ إِذَا آﺗَ ْﯿﺘُﻤُﻮھُﻦﱠ أُﺟُﻮرَ ھُﻦﱠ ﻣُﺤ
َﻂ َﻋ َﻤﻠُﮫُ وَ ھُﻮَ ﻓِﻲ ْاﻵﺧِ ﺮَ ةِ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﺨَﺎﺳِﺮِ ﯾﻦ
َ ِﻓَﻘَﺪْ َﺣﺒ
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".
Sebagian Sahabat Nabi juga menikahi wanita ahlul kitab (Nasrani dan Yahudi)
seperti Utsman bin Affan dan Talhah bin Ubaidillah yang menikah dengan wanita
Nasrani dan Hudzaifah yang menikahi wanita Yahudi. "Dihalalkan bagi kalian
wahai orang-orang yang beriman menikahi wanita-wanita merdeka yang beriman
dan ahlu kitab dari Yahudi dan Naṣrani baik dia żimmiyah atau harbiyah apabila
kalian telah membayarkan mahar mereka.Kehalalannya dibatasai dengan
pembayaran mahar untuk penegasan tentang wajibnya mahar, bukan sebagai
syarat di dalam kehalalannya.Pengkhususan penyebutan merdeka sebagai
anjuran bahwa wanita merdeka itu lebih utama, bukan berarti selain mereka
(wanita merdeka) tidak boleh dinikahi, karena pernikahan budak perempuan yang
Muslimah itu baik sesuai kesepakatan.Menurit Abu Hanifah hal itu adalah baik".
AllahSwt telah memperingatkan orang yang menyelisihi dan Allah senang kepada
hukum-hukum tentang kehalalan di atas, kemudian AllahSwt berfirman ( ْوَ ﻣَنْ ﯾَ ْﻛﻔُر
ُط َﻋ َﻣﻠُﮫ
َ ِِﺎﻹﯾﻣﺎنِ ﻓَﻘَ ْد َﺣﺑ
ِ ْ )ﺑ, maksudnya, barang siapa yang mengingkari syari’at-syari’at
Islam dan mengingkari pokok-pokok Iman dan cabang-cabangnya maka AllahSwt
pasti membatalkan pahala amalnya di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia
dengan sempitnya amalan dia dan tidak adanya manfaat darinya, sedangkan di
akhirat dengan kerugian dan kehancuran di Neraka Jahannam.Allah
memutlakkan kata Iman pada ayat di atas dan menghendaki orang beriman untuk
mengamalkannya, itu semua hanyalah sebagai majaz bahwa yang dikendaki
AllahSwt adalah mengimani syari’at-syari’at AllahSwt dan mengamalkan
kewajiban-kewajibannya. Ada juga yang menafsirkan: “Barang siapa yang
mengingkari Rabb yang wajib diimani, lafal itu merupakan majaz dengan
membuang kata tertentu (yaitu kata Rabb) dan maksud dari ayat ini adalah
menunjukkan besarnya perkara yang dihalalkan Allah dan yang diharamkan-Nya.
Dan ancaman bagi orang yang menyelisihinya.
Yang bisa diambil dari surat al-Maidah ayat 5 di atas di antaranya adalah:
Pensyariatan menikahi wanita yang muḥshonat baik dari kalangan Muslimah
maupun ahlu kitab, yang dimaksud al-muḥshonat adalah:
1.4.1.1. Menurut Mujahid dan jumhur adalah wanita-wanita yang merdeka
1.4.1.2. Menurut Ibnu Abbas al-muḥshonat adalah Wanita-wanita yang menjaga
dirinya dari perbuatan keji
Batalnya pahala amal apabila orang yang beramal tersebut mengingkari
hukum-hukum dan syari’at AllahSwt, kufur terhadap pokok-pokok Iman dan
cabang-cabangnya, sebagaimana firman AllahSwt ( ِِﺎﻹﯾﻣﺎن
ِ ْ )وَ ﻣَنْ ﯾَ ْﻛﻔُرْ ﺑartinya dengan
apa yang diturunkan kepada RasulullahSaw atau mengingkari Iman maka sia-
sialah amalnya maksudnya adalah batal dan sia-sialah pahala amalnya dan
amalnya tidak bermanfaat di akhirat.
Para Ulama Islam percaya agama Islam, Nasrani, dan Yahudi merupakan
agama samawi.Sehingga mereka berpendapat, selain menikahi wanita Muslim,
pria Muslim boleh menikahi wanita Kristen. Tapi wanita dari agama lain seperti
Hindu, Budha, dll haram baginya.
Mengapa pria Muslim boleh menikahi non-Muslimah? Alasanya, karena pria
dianggap sebagai pemimpin rumah tangga dan berkuasa penuh atas
isterinya.Beberapa sahabatnya juga menikahi wanita Kristen. Seperti Utsman bin
Affan dan Talhah bin Ubaidillah menikahi wanita Nasrani. Sedangkan Hudzaifah
menikahi wanita Yahudi.
Menurut Ibnu Katsir, ayat inilah yang mengharamkan wanita Muslimah untuk laki-
laki kafir yang pada masa awal Islam diperbolehkan. Imam al-Qurthubi juga
mengatakan, dalam ayat ini AllahSwt mengharamkan wanita Muslimah bagi laki-
laki kafir dan juga mengharamkan laki-laki Muslim menikahi wanita musyrik.