Anda di halaman 1dari 8

KEGIATAN BELAJAR 1:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Capaian pembelajaran yang diharapkan pada materi ini adalah menguasai pola pikir
dan struktur keilmuan serta materi ajar PAI dengan perspektif tawassuth, tawaazun,
dan tasaamuh, yang berkategori advance materials secara bermakna yang dapat
menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana”
(penerapan) dalam kehidupan sehari-hari.

SUBCAPAIAN PEMBELAJARAN

1. Menguasai dasar-dasar keislaman secara mendalam berawawasan rahmatan


lil alamîn, moderat dan seimbang
2. Bersikap dewasa dan tasamuh dalam menyikapi perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam
3. Memecahkan permasalah sosial yang timbul secara bijaksana dan metodologis
dengan menggunakan kaidah-kaidah yang dapat diterima antara lain counter
argument atau counter ideologi.

POKOK-POKOK MATERI

1. Pengertian Islam Radikal


2. Indikator Islam Radikal; Takfîri dan al-Walâ wa al-Bara
3. Bom Bunuh Diri

URAIAN MATERI
1. Pengertian Islam Radikal
Islam radikal dalam dasawarsa terakhir menjadi sebuah istilah yang inter-
changeable dengan kelompok teroris yang menggunakan baju Islam. Dalam literatur

1
berbahasa Inggris Islam radikal dijadikan istilah bagi sekelompok orang yang berusaha
memperjuangkan idealisme dan ideologi dengan cara-cara kekerasan, termasuk
menggunakan cara-cara bunuh diri.
Siapa sesungguhnya kelompok radikal ini? Hal ini perlu clear. Ia bagaikan pedang
bermata dua. Mengelompokkan seseorang atau kelompok sebagai kelompok radikal sama
bahayanya jika menafikan adanya kelompok radikal itu. Setiap kelompok radikal pada
setiap negara memiliki ciri dan kecenderungannya masing-masing. Di Asia Tenggara,
secara umum kelompok radikal dapat diidentifikasi ciri-cirinya, antara lain mengharamkan
sesuatu pada diri dan orang lain padahal Allah Swt dan Rasul-Nya tidak pernah
mengharamkan hal itu, misalnya menghadiri walimah atau acara yang dilakukan di luar
kelompoknya; berlebihan di dalam memaknai ayat dan hadis yang pada hakikatnya tidak
sejalan dengan tujuan umum syari’ah (maqashid al-syari’ah), seperti melakukan
perjalanan jihad dengan menelantarkan keluarganya.
Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Ia
adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk
mencapai kemajuan. Dalam perspektif ilmu, radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau
posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan cara menggantinya
dengan sesuatu yang sama sekali baru dan berbeda.1 Radikalisme merupakan respons
terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan,
atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi, kelembagaan, atau nilai.
Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh
beberapa hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: Pertama, sikap tidak toleran
dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap egois, yakni
sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap
eksklusif,yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak.
Keempat, sikap revolusioner, yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam
mencapai tujuan.2
Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme.
Revivalisme merupakan intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward
oriented), dengan artian pengaplikasian dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk

1
EdiSusanto,“Kemungkinan Munculnya PahamIslam Radikal diPesantren”, dalam Jurnal Tadris
(Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Pamekasan, 2007), Vol. 2, No. 1, h.3.
2
AgilAsshofie, “Radikalisme Gerakan Islam”, http://agil-asshofie. blogspot.com/ 2011/10 /radikalisme-
gerakan-politik.html,

2
diri pribadi. Adapun bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward
oriented), atau kadang dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim
disebut fundamentalisme.3
Dalam bahasa Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan beberapa istilah,
antara lain al-‘unf, at-tatha}r ruf, al-guluww, dan al-irhab>., Abdullah an-Najjar mendefiniskan
al-‘unf dengan penggunaan kekuatan secara (main hakim sendiri) untuk memaksanakan
kehendak dan pendapat.4 Sekalipun kata ini tidak digunakan dalam al-Qur’an, tetapi
beberapa hadis NabiSaw. Menyebutnya, baik kata al-‘unf maupun lawannya (ar- rifq).
Dari penggunaan kata tersebut dalam hadis-hadis, tampak jelas bahwa Islam adalah agama
yang tidak menyukai kekerasan terhadap siapa pun, termasuk penganut agama yang
berbeda. Sebaliknya Islam adalah agama yang penuh dengan kelembutan.
Mereka meninggalkan sesuatu yang belum tentu haram dan mengharamkan kepada
diri dan orang lain dengan anggapan pilihan sikap itu paling sejalan dengan Al-Qur’an dan
sunnah. Mereka tidak segan-segan menghina aliran dan mazhab yang dianut orang yang
berbeda pendapat dengannya sebagai aliran sesat. Mereka mengambil sikap berlebihan
kepada orang lain yang berbeda dengan pendapatnya, misalnya menuduh orang lain
sebagai ahli bid’ah dan mengklaim diri sebagai ahli sunnah sejati, bahkan tidak segan-
segan mengkafirkan dan menghalalkan darah orang lain.
Ciri lainnya mereka menganggap orang lain sebagai kelompok jahiliah modern,
yang tak layak diikuti. Mereka mengharamkan bermakmum kepada orang yang berada di
luar kelompoknya dan menganggap sia-sia shalat di belakang orang yang fasiq. Mereka
juga menuduh ulama yang tidak sejalan dengannya sebagai ulama sesat (ulama’ al-sû’)
dan melecehkannya secara terbuka. Mereka selalu memisahkan diri dengan umat Islam
yang tidak sejalan dengannya di dalam melakukan berbagai aktifitas, termasuk ibadah
shalat berjamaah. Mereka tidak mau berpartisipasi dalam gagasan yang dirintis atau
diprakarsai oleh kelompok lain yang bukan kelompoknya.
Mereka sering melakukan interpretasi dalil agama sesuai dengan ideologinya, tidak
peduli itu kontroversi di kalangan umat mayoritas. Mereka tidak takut dan terbiasa hidup
di dalam perbedaan dan keterasingan dengan umat mainstream. Mereka bisa saja

3
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
1999), h. 46-47.
4
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama,Tafsir al-Qur’an Tematik, jilid 1 (Jakarta:
Kamil Pustaka, 2014), h. 97

3
memotong ayat atau hadis untuk mengambil dasar pembenaran terhadap ajarannya,
misalnya ayat-ayat jihad di ambil pertengahan atau potongan yang mendukung
perjuangannya, seperti firman Allah:
“…maka bunuhlah orang-orang musyrikin (non-muslim) itu di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. …..” Q.S. al-Taubah [9]: 5.
Mereka juga sering mengabaikan sabab nuzul ayat dan sabab wurud hadis demi
untuk memokuskan makna ayat kepada ajarannya. Mungkin saja ayat atau hadis itu
menunjuk kepada satu kasus yang yang sangat spesifik tetapi diperlakukan secara general,
contohnya firman Allah Swt:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka….” (Q.S. al-Baqarah
[2]:191). Ayat ini turun sebagai direction dalam salah satu peperangan Nabi di Madinah,
tetapi kemudian diperlakukan secara general.

2. Indikator Islam Radikal


a. Takfiri
Takfiri adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainya (atau
kadang juga mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain) sebagai kafir dan murtad.
Tuduhan itu sendiri disebut takfir, berasal dari kata kafir (kaum tidak beriman), dan disebutkan
sebagai “orang yang mengaku seorang Muslim tetapi dinyatakan tidak murni Islamnya dan
diragukan keimanannya. Tindakan menuduh Muslim lain sebagai “kafir” telah menjadi suatu
bentuk penghinaan sektarian, yaitu seorang Muslim menuduh Muslim sekte atau aliran lainnya
sebagai kafir. Tindak kekerasan yang berawal dari tuduhan mengkafirkan Muslim lain kian
marak dengan merebaknya ketegangan antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah, khususnya
setelah pecahnya Perang Saudara Suriah pada 2011.
Dalam Islam memang ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh
dikafirkan. Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori :
a. Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam
b. Kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.
Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang
disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya Ash-Shalâh. Beliau
menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis, :
1) Kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini
berlawanan dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada
seseorang yang melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya

4
mencaci Allah, memaki Nabi-Nya, menyakiti Nabi, bersujud kepada
kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau contoh-
contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama. Orang yang
terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai kafir.
2) Kufur yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam
menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan
maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.
ُ ُ‫ ِس َبابُ ْال ُم ْس ِل ِم ف‬.
‫س ْو ٌق َو ِقت َالُهُ ُك ْف ٌر‬
“Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur”
[Hadits Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64]
َ‫ف بِغَي ِْر هللاِ فَقَدْ َكفَ َر أ َ ْو أ َ ْش َرك‬
َ َ‫َم ْن َحل‬
“Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir
atau musyrik” [Hadits Riwayat Tirmidzi]
ٍ.‫ض‬ َ َ‫ض ُكم ِرق‬
ٍ ‫اب بَ ْع‬ ً َّ‫ي ُكف‬
ُ ‫ارا يَض ِْربُ َب ْع‬ ْ ‫الَ ت َْر ِجعُ ْوا َب ْع ِد‬
“Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian
membunuh yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65]
Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan
syarat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat
ini halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi
(penghalalan secara hati).

b. Akidah Al-Walâ’ dan Barâ’


Al-Walâ’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain mencintai,
ْ
menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah (ُ ‫)ال ُم َواالَة‬
ْ atau al-‘adawaah (ُ ‫)ال َعدَ َواة‬
adalah lawan kata dari al-mu’aadaah (ُ ‫)ال ُم َعادَاة‬ ْ yang berarti
ْ adalah lawan kata dari al-‘aduww (‫)العَد ُو‬
permusuhan. Dan kata al-wali (‫)ال َو ِلى‬ ْ yang berarti
musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia
merupakan kata yang mengandung arti yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Walâ’ berarti penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan
orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah
dan membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh
komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta membenci
orang yang dibenci Allah, seperti orang kafir.

5
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain
menjauhi, membersihkan diri, melepaskandiri dan memusuhi. Kata barî’ (‫ ) َب ِري َء‬berarti
membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain. Allah Swt
berfirman: “(Inilahpernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah:
1] Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan
kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang dibenci Allah
secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Walâ’ wal barâ’ merupakan salah satu di antara tuntutan syahadat yang diikrarkan oleh
seorang mukmin. Ia adalah bagian dari makna kalimat tauhid, yaitu berlepas diri dari setiap
sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bagi seorang mukmin, ikatan walâ’ wal barâ’ merupakan
ikatan iman yang paling kokoh yang dimiliki oleh dirinya. Sebagaimana yang ditegaskan oleh
Nabi Saw dalam sabdanya: “Sungguh ikatan keimanan yang paling kokoh adalah kamu
mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ahmad)
Namun sayangnya, sebagian umat Islam masih ada yang salah kaprah dalam
menerapkan konsep akidah yang satu ini. Di antara penyebabnya adalah munculnya
penyempitan makna wala’ wal bara’ oleh sebagian kelompok. Siapa pun yang berada dalam
jamaahnya maka harus didekati dan dicintai. Sebaliknya, siapa pun yang berada di luar
jamaahnya maka berhak untuk dimusuhi dan dijauhi.

c. Bom Bunuh Diri


Serangan bunuh diri adalah suatu serangan yang dilakukan (para) penyerangnya dengan
maksud untuk membunuh orang (atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam
proses serangannya, misalnya dengan sebuah ledakan bom atau tabrakan yang dilakukan oleh
si penyerang. Istilah ini kadang-kadang digunakan secara bebas untuk sebuah kejadian yang
maksud si penyerang tidak cukup jelas meskipun ia hampir pasti akan mati karena pembelaan
diri atau pembalasan dari pihak yang diserang. Di zaman modern, serangan seperti itu
seringkali dilakukan dengan bantuan kendaraan atau bahan peledak seperti bom (bom bunuh
diri) atau keduanya (misalnya kendaraan yang dimuati dengan bahan peledak). Bila semua
rencana berjalan mulus, si penyerang akan terbunuh dalam tabrakan atau peledakan.
Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha
menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29) RasulullahSaw bersabda, “Barangsiapa

6
yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan
disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal itu diberikan udzur dan pelakunya tidak
berdosa berdasarkan firman AllahSwt:
“Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian
sengaja akan tetapi (yang berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati
kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5).
Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan
mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan atau pelanggaran syari’at. Apalagi
dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi
oleh pemerintah muslimin tanpa ada alasan yang dibenarkan syari’at.
Allah berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan
kecuali dengan cara yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33)
Rasulullah Saw bersabda,
“Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada
sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah
Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: [1] nyawa dibalas nyawa
(qishash), [2]seorang lelaki beristri yang berzina, [3] dan orang yang memisahkan
agama dan meninggalkan jama’ah (murtad).” (HR. Bukhari Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar.
Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya
untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah Swt. berfirman;
“Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin lain kecuali karena
tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja
maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar
diyat yang diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu
berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92).
Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, ini
jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan
dengan alasan jihad. Ulama Ahlussunah tidak merestui aksi terorisme dalam bentuk apapun,
dan tidak ada satu pun ulama yang merestui perbuatan demikian. Adapun yang difatwakan
sebagian ulama mengenai bolehnya melakukan aksi bom bunuh diri itu dalam kondisi
peperangan atau di medan perang melawan kuffar. Bukan dalam kondisi aman atau di negeri-

7
negeri yang tidak sedang terjadi peperangan atau yang orang-orang kafir dijamin
keamanannya di sana.
Syekh Al-Qardawi mengategorikan bahwa perjuangan rakyat Palestina dengan
meledakkan dirinya sebagai tindakan pengorbanan (‘amaliyyat fida’iyyah), ketimbang bunuh
diri. Meskipun seringkali sasaran pengeboman adalah warga sipil, tetapi Al-Qardhawi
memakai kaidah hukum al-dharûrât tubîh al-mahdzûrât (keadaan darurat membolehkan yang
diharamkan) atas konsekuensi tersebut.
Pernyataan Syekh Al-Qardawi ini memicu beragam respon dari berbagai kalangan
termasuk diantaranya adalah Professor Hashim Kamali, seorang pakar hukum internasional.
Dalam bukunya yang diterjemahkan berjudul Membumikan Syariah, Ia menjelaskan bahwa
apa yang diungkapkan Al-Qardawi memang terbatas pada kasus Palestina. Akan tetapi premis
fatwa yang mengatakan bahwa sasaran pengeboman hanyalah sasaran pengalihan adalah juga
kurang tepat. Hashim Kamali meyakini bahwa pelaku bom tersebut memang menyasar warga
sipil karena tidak bisa menjangkau barak militer Israel dan ini menyalahi prinsip mubasyarah,
pihak pertama yang semestinya jadi sasaran. Oleh karenanya, Hashim Kamali menyatakan
bahwa terlalu simplistik menfatwakan tindakan bom bunuh diri warga Palestina dan juga
dimana pun daerah tinggalnya, disamakan dengan jihad dan pelakunya dihukumi sebagai mati
syahid. Hal ini karena tindakan tersebut menyalahi dua prinsip fundamental ajaran Islam:
pertama keharaman bunuh diri secara mutlak dan kedua haramnya membunuh orang-orang
sipil yang tidak bersalah.

Anda mungkin juga menyukai