Anda di halaman 1dari 6

1.

Hukum Zakat tanah yang disewakan

Kewajiban untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan didasari oleh QS. al-An’am: 141:
Artinya: “Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah buah-buah tersebut jika panen dan
keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen. Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An’am: 141)
Dalam Al-Quran objek zakat harta hanya dikenakan pada harta yang produktif saja dan tidak
dikenakan pada harta yang konsumtif, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Baqarah 267: “Wahai
orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik,
dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu…” Dalam ayat tersebut kalimat
“hasil usahamu” menunjukkan harta yang produktif
Karena zakat harta hanya pada harta produktif saja, maka harta yang konsumtif yang digunakan atau
dipakai, tidak termasuk kepada harta yang wajib ditunaikan zakatnya. seperti rumah atau tanah yang
dipakai baik oleh sendiri atau oleh orang lain, bukan untuk disewakan tetapi hanya hak guna saja.
Apabila rumah atau tanah tersebut disewakan atau dikontrakkan maka akan dikenakan zakat dan jenis
zakatnya disebut zakat investasi. Penghitungan zakat investasi dianalogikan kepada zakat hasil tani,
karena ada kemiripan antara hasil pertanian dengan rumah atau tanah yang disewakan. Zakat hasil
tani dikeluarkan bukan dari nilai area lahan sawah yang tersedia melainkan dari hasil yang ditanam
pada area atau lahan tersebut. Begitu juga yang memiliki tanah dan rumah yang disewakan, bukan
dikeluarkan dari nilai rumah atau tanah yang sudah ada, melainkan dari hasil sewa rumah atau tanah
tersebut.
Tanah yang kosong dan belum dimanfaatkan termasuk dalam idle asset yang tidak dikenakan zakat.
Namun Islam dengan adanya syariat zakat, menganjurkan agar seorang muslim tidak membiarkan
hartanya menjadi asset yang menganggur.

2. Hukum Zakat profesi


Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-mal al-mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap
pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan
orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nisab (batas
minimum untuk wajib zakat). Contohmya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter,
konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman dan sejenisnya.
Hukum zakat penghasilan berbeda pendapat antar ulama fiqih. Mayoritas ulama mazhab empat tidak
mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisab dan sudah sampai
setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh
Muhammad Abu Zahro, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qardlowi, Syekh Wahbah
Az-Zuhaili, hasil kajian majma' fiqh dan fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 menegaskan bahwa zakat
penghasilan itu hukumnya wajib.
Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat (Ibnu Abbas, Ibnu Masud dan Mu'awiyah), Tabiin
(Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul) juga pendapat Umar bin Abdul Aziz dan beberapa
ulama fiqh lainnya. (Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866)
Juga berdasarkan firman Allah SWT: "... Ambilah olehmu zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (QS. At-Taubah 9:103) dan firman Allah
SWT: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-
baik..." (QS. Al-Baqarah. 2:267)
Juga berdasarkan sebuah hadits sahih riwayat Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Keluarkanlah olehmu sekalian zakat dari harta kamu sekalian," dan hadits dari Abu Hurairah r.a.
Rasulullah SAW bersabda: "Sedekah hanyalah dikelaurkan dari kelebihan/kebutuhan. tangan atas
lebih baik daripada tangan dibawah. mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang
menjadi tanggung jawabmu." ( HR. Ahmad)

3. Hukum Zakat produktif


Para ulama berbeda pendapat di dalam memandang zakat produktif ini:

Pendapat Pertama; mengatakan bahwa zakat produktif hukumnya boleh.


Dalil-dalil mereka sebagai berikut:
1. Zakat Produktif mengandung maslahat besar yang akan kembali kepada para fakir dan miskin.
Begitu juga kepada para pembayar zakat, karena uang yang mereka bayarkan tetap utuh sedang
labanya akan terus mengalir kepada fakir dan miskin. Mereka membayar zakat dengan jumlah
tertentu yang terbatas dan dalam waktu terbatas, tetapi walaupun begitu manfaatnya terus
mengalir tanpa mengurangi harta tersebut, dengan demikian pahala mereka terus mengalir seiring
dengan mengalirnya manfaatnya.
2. Mengqiyaskan kepada perintah untuk menginvestasikan harta anak yatim.
3. Hadist-hadist yang menunjukkan bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi
wassalammengumpulkan unta sedekah dan digemukkan. Ini menunjukkan kebolehan
menginvestasikan harta zakat.

Pendapat Kedua; mengatakan bahwa zakat produktif hukumnya tidak boleh secara mutlak.
Ini adalah pendapat Majma’ al-Fiqh al-Islamy Rabithah al-Alam al-Islamy, pada pertemuannya yang
ke-15, di Mekkah pada tanggal 11 Rajab1419 / 31 Oktober 1998.
Dalil-dalil mereka :
1. Firman Allah:
4. ‫صا ِد ِه‬ َ ‫َوآتُوا َحقَّهُ َي ْو َم َح‬
” Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) di hari memetiknya”. (Qs. al-An’am: 141)
Ayat di atas menunjukkan bahwa zakat harus segera dibayarkan ketika panen. Ini menunjukkan
larangan mengundurkan pembayaran zakat kepada yang berhak, walaupun dengan alasan
diinvestasikan.
2. Perintah membayarkan zakat sifatnya segera tidak boleh diundur. Ini berdasarkan kaidah ushul
fiqh yang berbunyi:
5. ‫ص ُل فِي ْاأل َ ْم ِر َعلَى ْالفَ ْو ِر‬ ِ َ ‫األ‬
“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan pelaksanaannya harus segera.“
3. Hadist ‘Uqbah bin al-Harist radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Dari 'Uqbah berkata, "Aku pernah shalat 'Ashar di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di
kota Madinah. Setelah salam, tiba-tiba beliau berdiri dengan tergesa-gesa sambil melangkahi
leher-leher orang banyak menuju sebagian kamar isteri-isterinya. Orang-orang pun merasa heran
dengan ketergesa-gesaan beliau. Setelah itu beliau keluar kembali menemui orang banyak, dan
beliau lihat orang-orang merasa heran. Maka beliau pun bersabda: "Aku teringat dengan sebatang
emas yang ada pada kami. Aku khawatir itu dapat menggangguku, maka aku perintahkan untuk
dibagi-bagikan." (HR. Bukhori)
Hadist di atas menunjukkan bahwa zakat harus segera dibagikan kepada yang berhak, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tergesa-gesa pulang ke rumah untuk membagikan harta
kepada yang berhak, padahal beliau baru saja selesai sholat. Seandainya pembayaran zakat boleh
diundur-undur, tentunya tidak tergesa-gesa seperti itu untuk membagikan zakat.
4. Uang zakat sebenarnya milik delapan golongan yang disebut Allah di dalam al-Qur’an, oleh
karena itu jika ingin diinvesatasikan, maka dikembalikan kepada mereka, bukan kepada lembaga-
lembaga zakat.
5. Di dalam investasi uang zakat terdapat ketidakjelasan pada hasilnya, bisa untung atau rugi. Jika
mendapat kerugian, maka akan merugikan para fakir miskin dan golongan lain yang berhak
mendapatkan zakat, sehingga hak mereka menjadi hilang.
6. Zakat Produktif dibolehkan setelah kebutuhan pokok para fakir miskin dan golongan lain
terpenuhi terlebih dahulu, kemudian sisanya bisa dinvestasikan di dalam proyek-proyek yang
menguntungkan dengan hasil yang bisa segera bisa dinikmati golongan yang berhak
mendapatkan zakat.
Pendapat ini menggabungkan dua pendapat di atas. Satu sisi tidak merugikan fakir miskin karena
mereka tetap mendapatkan hak-hak mereka sesegera mungkin untuk menutupi kebutuhan pokok
mereka. Di sisi lain, sisa harta tersebut diinvestasikan pada proyek-proyek yang
menguntungkan,sehingga manfaatnya kembali kepada mereka juga.
Pada keputusan Majma al-Fiqh al-Islamy OKI, pada pertemuannya yang ketiga di Amman
Kerajaan Jordan, yang diselenggarakan pada tanggal 8-13 shofar 1407 H / 11-16 Oktober 1986
M, No 15 ( 3/3 ) menyebutkan :”
“Secara prinsip dibolehkan menginvestasikan uang zakat di dalam proyek-proyek investasi yang
berakhir kepada kepemilikan pada orang-orang yang berhak mendapatkan zakat, atau proyek-
proyek ini di bawah lembaga resmi yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan zakat dan
pembagiannya. Ini disyaratkan harus terpenuhi terlebih dahulu kebutuhan yang mendesak dan
segera bagi golongan yang berhak mendapatkan zakat, begitu juga harus ada jaminan yang cukup
agar proyek-proyek tersebut tidak mendapatkan kerugian. “
Keputusan tersebut dikuatkan pada an-Nadwah ats-Tsalitsah li Qadhaya az-Zakat al-
Mu’ashirahdi Kuwait pada tahun 1992 M.
4. Hukum Zakat untuk pembangunan masjid
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan dana zakat untuk pembangunan masjid. Perbedaan
pendapat ini bersumber dari perbedaan penafsiran tentang kata “fii sabilillah”.
Pendapat pertama: melarang penggunaan dana zakat untuk pembangunan masjid. Sebab, menurut
mereka kata fii sabilillah berarti berperang di jalan Allah swt. Di samping itu, kata “innama” para
awal ayat memiliki fungsi hashr dan itsbat (pembatasan cakupan dan penetapan), sehingga kata “fii
sabilillah” tidak bisa ditafsirkan dengan semua bentuk kebaikan. Mereka juga berhujjah bahwa
makna suatu kalimat dalam Al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan pengertian kalimat tersebut
pada waktu turunnya ayat. Pendapat yang pertama ini adalah pendapat sebagian besar ulama.
Pendapat kedua: boleh menggunakan dana zakat untuk masjid. Menurut mereka, kata fii sabilillah
mencakup semua yang memiliki nilai kebaikan. Pendapat yang kedua ini adalah pendapat Imam Ar-
Razi dan Imam Al-Kasani. Sedangkan Syaikh Rasyid Ridha dan Syaikh Mahmud Syalthut
menafsirkan kata “fiisabiilillah” dengan: segala sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan
umum umat muslim.
Pendapat ketiga: boleh menggunakan dana zakat untuk masjid ketika darurat. Hukum asalnya tidak
boleh menggunakan dana zakat untuk masjid. Hanya saja, zakat dapat digunakan untuk membangun
masjid ketika: tidak ada dana lain untuk membangun masjid selain dana zakat, belum ada masjid
sedangkan kebutuhan masjid sangat dibutuhkan, kebutuhan fakir miskin terdekat telah terpenuhi,
masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat saja tapi juga berfungsi untuk menegakkan dan
memperjuangkan agama Allah. Jadi, masjid ini harus berfungsi sebagai tempat shalat dan pusat
dakwah Islam untuk menolong dan memperjuangkan agama Allah. Ketentuan-ketentuan itu hanya
dapat terpenuhi pada daerah-daerah terpencil dan miskin atau pada negara-negara yang muslimnya
minoritas.
A. Hukum Zakat tanah yang disewakan

Kewajiban untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan didasari oleh QS. al-An’am: 141:
Artinya: “Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah buah-buah tersebut jika panen dan
keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen. Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-An’am: 141)
Dalam Al-Quran objek zakat harta hanya dikenakan pada harta yang produktif saja dan tidak
dikenakan pada harta yang konsumtif, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Baqarah 267: “Wahai
orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik,
dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu…” Dalam ayat tersebut kalimat
“hasil usahamu” menunjukkan harta yang produktif
Karena zakat harta hanya pada harta produktif saja, maka harta yang konsumtif yang digunakan atau
dipakai, tidak termasuk kepada harta yang wajib ditunaikan zakatnya. seperti rumah atau tanah yang
dipakai baik oleh sendiri atau oleh orang lain, bukan untuk disewakan tetapi hanya hak guna saja.
Apabila rumah atau tanah tersebut disewakan atau dikontrakkan maka akan dikenakan zakat dan jenis
zakatnya disebut zakat investasi. Penghitungan zakat investasi dianalogikan kepada zakat hasil tani,
karena ada kemiripan antara hasil pertanian dengan rumah atau tanah yang disewakan. Zakat hasil
tani dikeluarkan bukan dari nilai area lahan sawah yang tersedia melainkan dari hasil yang ditanam
pada area atau lahan tersebut. Begitu juga yang memiliki tanah dan rumah yang disewakan, bukan
dikeluarkan dari nilai rumah atau tanah yang sudah ada, melainkan dari hasil sewa rumah atau tanah
tersebut.
Tanah yang kosong dan belum dimanfaatkan termasuk dalam idle asset yang tidak dikenakan zakat.
Namun Islam dengan adanya syariat zakat, menganjurkan agar seorang muslim tidak membiarkan
hartanya menjadi asset yang menganggur.

B. Hukum Zakat profesi


Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-mal al-mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap
pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan
orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nisab (batas
minimum untuk wajib zakat). Contohmya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter,
konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman dan sejenisnya.
Hukum zakat penghasilan berbeda pendapat antar ulama fiqih. Mayoritas ulama mazhab empat tidak
mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisab dan sudah sampai
setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh
Muhammad Abu Zahro, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qardlowi, Syekh Wahbah
Az-Zuhaili, hasil kajian majma' fiqh dan fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 menegaskan bahwa zakat
penghasilan itu hukumnya wajib.
Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat (Ibnu Abbas, Ibnu Masud dan Mu'awiyah), Tabiin
(Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul) juga pendapat Umar bin Abdul Aziz dan beberapa
ulama fiqh lainnya. (Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866)
Juga berdasarkan firman Allah SWT: "... Ambilah olehmu zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (QS. At-Taubah 9:103) dan firman Allah
SWT: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-
baik..." (QS. Al-Baqarah. 2:267)
Juga berdasarkan sebuah hadits sahih riwayat Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Keluarkanlah olehmu sekalian zakat dari harta kamu sekalian," dan hadits dari Abu Hurairah r.a.
Rasulullah SAW bersabda: "Sedekah hanyalah dikelaurkan dari kelebihan/kebutuhan. tangan atas
lebih baik daripada tangan dibawah. mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang
menjadi tanggung jawabmu." ( HR. Ahmad)

C. Hukum Zakat produktif


Para ulama berbeda pendapat di dalam memandang zakat produktif ini:

Pendapat Pertama; mengatakan bahwa zakat produktif hukumnya boleh.


Dalil-dalil mereka sebagai berikut:
1. Zakat Produktif mengandung maslahat besar yang akan kembali kepada para fakir dan miskin.
Begitu juga kepada para pembayar zakat, karena uang yang mereka bayarkan tetap utuh sedang
labanya akan terus mengalir kepada fakir dan miskin. Mereka membayar zakat dengan jumlah
tertentu yang terbatas dan dalam waktu terbatas, tetapi walaupun begitu manfaatnya terus
mengalir tanpa mengurangi harta tersebut, dengan demikian pahala mereka terus mengalir seiring
dengan mengalirnya manfaatnya.
2. Mengqiyaskan kepada perintah untuk menginvestasikan harta anak yatim.
3. Hadist-hadist yang menunjukkan bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi
wassalammengumpulkan unta sedekah dan digemukkan. Ini menunjukkan kebolehan
menginvestasikan harta zakat.

Pendapat Kedua; mengatakan bahwa zakat produktif hukumnya tidak boleh secara mutlak.
Ini adalah pendapat Majma’ al-Fiqh al-Islamy Rabithah al-Alam al-Islamy, pada pertemuannya yang
ke-15, di Mekkah pada tanggal 11 Rajab1419 / 31 Oktober 1998.
Dalil-dalil mereka :
1. Firman Allah:
6. ‫صا ِد ِه‬ َ ‫َوآتُوا َحقَّهُ َي ْو َم َح‬
” Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) di hari memetiknya”. (Qs. al-An’am: 141)
Ayat di atas menunjukkan bahwa zakat harus segera dibayarkan ketika panen. Ini menunjukkan
larangan mengundurkan pembayaran zakat kepada yang berhak, walaupun dengan alasan
diinvestasikan.
2. Perintah membayarkan zakat sifatnya segera tidak boleh diundur. Ini berdasarkan kaidah ushul
fiqh yang berbunyi:
7. ‫ص ُل فِي ْاأل َ ْم ِر َعلَى ْالفَ ْو ِر‬ ِ َ ‫األ‬
“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan pelaksanaannya harus segera.“
3. Hadist ‘Uqbah bin al-Harist radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Dari 'Uqbah berkata, "Aku pernah shalat 'Ashar di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di
kota Madinah. Setelah salam, tiba-tiba beliau berdiri dengan tergesa-gesa sambil melangkahi
leher-leher orang banyak menuju sebagian kamar isteri-isterinya. Orang-orang pun merasa heran
dengan ketergesa-gesaan beliau. Setelah itu beliau keluar kembali menemui orang banyak, dan
beliau lihat orang-orang merasa heran. Maka beliau pun bersabda: "Aku teringat dengan sebatang
emas yang ada pada kami. Aku khawatir itu dapat menggangguku, maka aku perintahkan untuk
dibagi-bagikan." (HR. Bukhori)
Hadist di atas menunjukkan bahwa zakat harus segera dibagikan kepada yang berhak, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tergesa-gesa pulang ke rumah untuk membagikan harta
kepada yang berhak, padahal beliau baru saja selesai sholat. Seandainya pembayaran zakat boleh
diundur-undur, tentunya tidak tergesa-gesa seperti itu untuk membagikan zakat.
4. Uang zakat sebenarnya milik delapan golongan yang disebut Allah di dalam al-Qur’an, oleh
karena itu jika ingin diinvesatasikan, maka dikembalikan kepada mereka, bukan kepada lembaga-
lembaga zakat.
5. Di dalam investasi uang zakat terdapat ketidakjelasan pada hasilnya, bisa untung atau rugi. Jika
mendapat kerugian, maka akan merugikan para fakir miskin dan golongan lain yang berhak
mendapatkan zakat, sehingga hak mereka menjadi hilang.
6. Zakat Produktif dibolehkan setelah kebutuhan pokok para fakir miskin dan golongan lain
terpenuhi terlebih dahulu, kemudian sisanya bisa dinvestasikan di dalam proyek-proyek yang
menguntungkan dengan hasil yang bisa segera bisa dinikmati golongan yang berhak
mendapatkan zakat.
Pendapat ini menggabungkan dua pendapat di atas. Satu sisi tidak merugikan fakir miskin karena
mereka tetap mendapatkan hak-hak mereka sesegera mungkin untuk menutupi kebutuhan pokok
mereka. Di sisi lain, sisa harta tersebut diinvestasikan pada proyek-proyek yang
menguntungkan,sehingga manfaatnya kembali kepada mereka juga.

D. Hukum Zakat untuk pembangunan masjid


Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan dana zakat untuk pembangunan masjid. Perbedaan
pendapat ini bersumber dari perbedaan penafsiran tentang kata “fii sabilillah”.
Pendapat pertama: melarang penggunaan dana zakat untuk pembangunan masjid. Sebab, menurut
mereka kata fii sabilillah berarti berperang di jalan Allah swt. Di samping itu, kata “innama” para
awal ayat memiliki fungsi hashr dan itsbat (pembatasan cakupan dan penetapan), sehingga kata “fii
sabilillah” tidak bisa ditafsirkan dengan semua bentuk kebaikan. Mereka juga berhujjah bahwa
makna suatu kalimat dalam Al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan pengertian kalimat tersebut
pada waktu turunnya ayat. Pendapat yang pertama ini adalah pendapat sebagian besar ulama.
Pendapat kedua: boleh menggunakan dana zakat untuk masjid. Menurut mereka, kata fii sabilillah
mencakup semua yang memiliki nilai kebaikan. Pendapat yang kedua ini adalah pendapat Imam Ar-
Razi dan Imam Al-Kasani. Sedangkan Syaikh Rasyid Ridha dan Syaikh Mahmud Syalthut
menafsirkan kata “fiisabiilillah” dengan: segala sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan
umum umat muslim.
Pendapat ketiga: boleh menggunakan dana zakat untuk masjid ketika darurat. Hukum asalnya tidak
boleh menggunakan dana zakat untuk masjid. Hanya saja, zakat dapat digunakan untuk membangun
masjid ketika: tidak ada dana lain untuk membangun masjid selain dana zakat, belum ada masjid
sedangkan kebutuhan masjid sangat dibutuhkan, kebutuhan fakir miskin terdekat telah terpenuhi,
masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat saja tapi juga berfungsi untuk menegakkan dan
memperjuangkan agama Allah. Jadi, masjid ini harus berfungsi sebagai tempat shalat dan pusat
dakwah Islam untuk menolong dan memperjuangkan agama Allah. Ketentuan-ketentuan itu hanya
dapat terpenuhi pada daerah-daerah terpencil dan miskin atau pada negara-negara yang muslimnya
minoritas.

Anda mungkin juga menyukai