Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AKIDAH ILMU KALAM

ALIRAN RADIKAL MASA KLASIK: Khawarij dan Pemikirannya

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Akidah Ilmu Kalam

Dosen pengampu: Syamsul Rijal, MA, Ph.D

Disusun oleh:
Kelompok 2
Firdania Maulida Syahri 11220511000004
Rosdiana 11220511000014
Nisa Aulia Maharani 11220511000017
Ainun Ilma 11220511000023

PROGRAM STUDI JURNALISTIK


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Kami ucapkan puji serta syukur kehadirat Allah swt. karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah kami susun untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Aqidah Ilmu Kalam serta untuk memberikan wawasan mengenai salah
satu materinya yaitu “Aliran Radikal Masa Klasik”.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar kami dapat
memperbaiki makalah ini guna menjadi lebih baik.

Tangerang Selatan, September 2023

Kelompok 2

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang.................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................4
2.1 Konsep Radikalisme Islam...............................................................................4
2.2 Sejarah Radikalisme Islam............................................................................... 5
2.3 Aliran Khawarij dan Pemikirannya.................................................................. 6
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 7
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 8

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jika melihat kembali masa Islam klasik, dapat ditemukan bahwa radikalisme Islam
bukanlah fenomena baru. Gerakan Khawarij adalah salah satu contoh gerakan kalam
yang paling terkenal dengan pemahamannya yang radikal, hitam-putih, dan tanpa
kompromi. Hal ini ditunjukkan dengan tindakan kekerasan dalam mencapai tujuannya,
termasuk pembunuhan beberapa pemimpin sahabat Nabi setelah arbitrase), yang
dianggap menyimpang dari ajaran Tuhan yang sebenarnya.
Khawarij adalah salah satu kelompok radikal dalam sejarah awal Islam yang
muncul pada abad ke-7 Masehi. Kelompok tersebut memiliki pemikiran yang
konservatif dan radikal dalam beberapa aspek. Khawarij merupakan kelompok yang
sangat radikal dan dianggap sesat oleh mayoritas umat Islam. Pemikiran dan tindakan
mereka telah menimbulkan banyak konflik dalam sejarah awal Islam, dan sikap mereka
yang keras dan penolakan terhadap kompromi membuat mereka menjadi kelompok
yang dianggap sangat berbahaya dalam konteks sejarah Islam. Agar pembahasan lebih
fokus, makalah ini akan mengambil pembahasan mengenai sejarah munculnya
radikalisme Islam dan aliran khawarij beserta pemikirannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa konsep radikalisme Islam?


2. Bagaimana proses sejarah radikalisme Islam?
3. Bagaimana munculnya aliran Khawarij?
4. Bagaimana bentuk pemikiran Khawarij?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Radikalisme Islam


Pada sejarahnya, fenomena radikalisme Islam diyakini sebagai ciptaan abad
ke-20 di dunia Muslim, terutama di Timur Tengah. Hal tersebut terjadi karena
terpecahnya dunia Muslim ke berbagai negara, sebab timbulnya krisis identitas terhadap
Barat yang melebarkan kolonialisasi dunia Muslim. Umat Islam yang mulai terkikis
ikatan agama dan moral, sehingga muncul gerakan Islam radikal untuk menyerukan
ajaran Islam yang murni sebagai jalan keluar. Selain itu, gerakan tersebut melakukan
perlawanan dari rezim yang menyimpang dari agama.1
Tetapi dalam sejarah agama Islam, terdapat beberapa kelompok dari agama Islam
yang berpandangan fundamentalisme. Kelompok gerakan menjadi sebagai sebuah
respon terhadap teologis dan arus politik. Dalam bidang teologi ditemukan dalam
pemikiran khawarij, kelompok tersebut merupakan kelompok politik teologis yang
muncul akibat sikap sahabat Ali Ibn Abi Thalib dan Muawiyah dalam proses tahkim,
yang kemudian dengan radikal menuduh kelompok-kelompok yang terlibat tahkim
sebagai kelompok kafir.2
Gerakan radikalisme yang sistematis dan terorganisir baru dimulai setelah
terjadinya Perang Shiffin di masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini ditandai dengan
munculnya sebuah gerakan teologis radikal yang disebut dengan “Khawarij” yang
dimaknai sebagai golongan orang Islam atau Muslim yang keluar dari kesatuan umat
Islam. Khawarij berpedoman kepada kelompok atau aliran kalam yang berasal dari
pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisannya, karena
ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) ataupun
perjanjian damai dengan kelompok pemberontak Muawiyah bin Abi Sufyan mengenai
persengketaan kekuasaan (khilafah).3
Mengutip dari Jamhari dan Jahroni yang mendefinisikan bahwa Islam radikal
mengacu kepada “kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik
yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang
berlangsung”.

1
Anzar Abdullah, “Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis”. (Addin: Vol 10 No 1, 2016), 2
2
Ahmad Muhtadi Anshor, “Gerakan Fundamentalisme Islam Masa Klasik, Pra-Modern, dan Kontemporer”,
(Kontemplasi: Vol 8 No 2, 2020), 151
3
Anzar Abdullah, “Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis”. (Addin: Vol 10 No 1, 2016), 5
4
Di sisi lain, “Islam Fundamentalis” adalah istilah yang sering disamakan dengan
“Islam Radikal”, sebab fundamentalis dianggap lebih banyak memperlihatkan
liberalisme yang berakhir pada tindakan atau aksi anarkis karena wawasan yang sempit.
Dari sudut pandang ini, ada tiga kecenderungan umum radikalisme: pertama,
radikalisme merupakan reaksi terhadap suatu kondisi, reaksi ini muncul dalam bentuk
penghakiman, atau penolakan. Kedua, progresivisme tidak berhenti pada upaya
membantahnya namun terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk
tatanan lain.4
Ketiga, keyakinan teguh kaum progresif terhadap kebenaran program atau
ideologi yang diusungnya. Sikap ini disertai dengan pengingkaran terhadap realitas
sistem lain yang akan digantikan. Namun pendapat dari al-Asymawi menyatakan bahwa
istilah fundamentalisme, bertujuan untuk menjelaskan adanya tindakan ekstrimis
religious dalam Islam, bukan Islamnya yang fundamentalis.5
Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa radikalisme adalah suatu
bentuk tindakan manusia yang tidak mengenal kebaikan dan toleransi, seperti saling
membunuh atau bertindak secara anarkis. Sebagai umat Muslim, Islam tidak
mengajarkan adanya perbuatan keji dan kekerasan, sehingga ajaran Islam disebarkan
untuk membantu manusia keluar dan menghindari radikalismenya.
2.2 Sejarah Radikalisme Islam
Dalam mengurai akar ideologis radikalisme dalam Islam, Haidar Bagir
memberikan pendapatnya bahwa, setidaknya terdapat dua faktor penting yang menjadi
penyebab muncul dan menguatnya radikalisme dalam Islam yakni :
1. Doktrinal Historis
Doktrin takfiriyah dapat dengan mudah dilacak sebagai berakar pada cara
pandang terhadap agama yang menekankan pada aspek-aspek keras dan kaku
hukum-hukum keagamaan. Sebagai akibatnya, berkembang sikap eksklusif
dalam bentuk kecenderungan untuk mengeluarkan kelompok lain dari apa yang
diyakini sebagai umat pemeluk suatu agama. Lebih dari itu, muncul pula dengan
kuat rasa keharusan untuk menghukum orang-orang yang dianggap sebagai
membangkang terhadap ajaran Tuhan (kafir) ini, dan kalau perlu, mencabut hak
mereka untuk hidup di bumi-Nya.

4
Syamsul Rizal, “Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membandingkan Khawarij dan Hizbut Tahrir”.
(Al-Fikr: Vol 14 No 2, 2010), 217
5
Syamsul Rizal, “Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membandingkan Khawarij dan Hizbut Tahrir”.
(Al-Fikr: Vol 14 No 2, 2010), 217
5
2. Sosial-Politik
Radikalisme yang kebanyakan diiringi oleh sikap takfirisme kontemporer
ini kiranya juga dilantik oleh ketimpangan politik dan ekonomi dimana
kelompok keagamaan memiliki atau, setidak-tidaknya dianggap demikian akses
istimewa kepada pemerintahan, kekayaan, posisi penting di pemerintahan dan
kehidupan kultural. Kontestasi pengaruh di tubuh umat Islam ini dipertajam oleh
keterlibatan pemerintahan-pemerintahan asing Amerika dan Eropa yang tidak
ingin kehilangan cengkeramannya di wilayah ini dengan mendukung
rezim-rezim tertentu sejauh dapat mengamankan kepentingan politik dan
ekonomi mereka.
Faktor penyebab menguatnya Radikalisme-Ekstremisme dari ranah sosial
politik menurut Haidar ialah terjadinya musim semi Arab (Arab Spring).
Perkembangan musim-semi Arab (Arab Spring) belakangan ini merupakan
peristiwa mutakhir yang, sayangnya, justru memperparah kecenderungan
ekstremisme dan sikap takfirisme di negara-negara seperti Arab Saudi, Bahrain,
dan Suriah. Sebagaimana di Indonesia pasca-Reformasi, demokratisasi yang lahir
dari musim semi Arab ini seolah-olah seperti membuka kotak pandora’, yang
memungkinkan kelompok-kelompok ekstrim Islam termasuk yang beraspirasi
kekerasan, yang tadinya tertahan oleh otoritarianisme yang berkuasa
mendapatkan ruang untuk berkembang bebas.6
Hampir seluruh peradaban pernah tertimpa oleh radikalisme, dalam Islam
sendiri ia adalah sebuah masalah yang secara genetik sudah muncul bahkan sejak
zaman nabi Muhammad SAW masih hidup. Meski pembunuhan terhadap
khalifah telah terjadi mulai pada masa khalifah Umar, namun gerakan kekerasan
yang sistematis dan terorganisir barulah muncul setelah terjadinya perang shiffin
di masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini ditandai dengan munculnya
sebuah gerakan teologis radikal yang disebut dengan ‘Khawarij’. Radikalisme

6
Sony Amrullah, “Melacak Jejak Radikalisme dalam Islam: Akar Ideologis dan Eksistensinya dari Masa ke Masa”.
(Jurnal Dirasah: Vol 1 No 2, 2018), hal 2-3.
6
Khawarij sebagai pemberontak telah tercatat dalam lembaran sejarah.
Tidak hanya di masa Ali, Khawarij meneruskan perlawanannya terhadap
kekuasaan Islam resmi, baik di zaman Dinasti Bani Umayyah maupun
Abbasiyah. Pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu mereka anggap Kafir
dan telah menyeleweng dari islam karenanya mereka harus dilawan dan
dijatuhkan. Oleh karena itu, mereka memilih Imam dari kalangan mereka dan
membentuk pemerintahan sendiri.7
Sikap fanatisme yang berlebihan dalam pemahaman menjustifikasi
aksi-aksi kekerasan Khawarij. Mereka misalnya menganggap penentang mereka
sebagai Dar al-Harb, karenanya di daerah tersebut boleh membunuh termasuk
anak-anak, wanita dan tawanan. Karena itu tidaklah heran jika kelompok
Khawarij terkenal karena kekejamannya melalui aksi-aksi kekerasan, teror dan
pembunuhan terhadap penentang-penentangnya. Dalam kaitan ini, Azra
menyebut aksi pembunuhan Khawarij sebagai isti'dad (eksekusi keagamaan)
ketimbang jihad.
Menurut beberapa penulis, watak keras kaum Khawarij dibentuk oleh
latar belakang mereka yang pada umumnya berasal dari orang-orang Arab
Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat
sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan
bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Dengan latar belakang ini,
kaum Khawarij dikenal sebagai kelompok yang ekstrim dan puritan dalam
beragama, dan memiliki idealisme tentang persamaan hak dalam gerakannya.
Dalam bahasa Nasution, kaum ini memiliki iman yang tebal, namun
sempit pemikirannya dan fanatik buta. Akibatnya, mereka tidak bisa mentolerir
penyimpangan-penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut versi mereka,
meskipun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.8 Pada saat ini, secara
sosiologis dapat dikatakan komunitas Khawarij atau setidaknya mereka yang
menamakan dirinya kelompok Syurah telah tiada lagi di muka bumi setelah
mengalami kekalahan dari pasukan militer Bani Umayyah namun ketika
ditelusuri lebih dalam lagi ternyata akar ideologi radikal dari paham Khawarij
masih ada dan masih berkembang hingga kini.9
7
Mufaizin, “Genealogi Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer”. (Jurnal Al-Insyiroh: Vol.6 No 1, 2020), hal
118-120.
8
Syamsul Rizal, “Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membandingkan Khawarij dan Hizbut Tahrir”.
(Al-Fikr: Vol 14 No 2, 2010), hal 219.
9
Sony Amrullah, “Melacak Jejak Radikalisme dalam Islam: Akar Ideologis dan Eksistensinya dari Masa ke Masa”.
7
Berkembangnya Islam di negara-negara Islam menjadi bukti untuk
menunjukan kemampuan Islam melawan dominasi wacana dan gerakan yang
dibawa oleh masa terdahulu.10 Sebagai umat Islam, kita harus memahami bahwa
esensi sejati dari agama kita adalah kedamaian, toleransi, dan pluralisme. Nabi
Muhammad SAW telah menunjukkan kepada kita bagaimana berinteraksi dengan
masyarakat yang beragam di Madinah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
menjaga citra Islam sebagai agama yang damai dan toleran, dan tidak
membiarkan tindakan segelintir orang menciptakan stigma negatif.
2.3 Munculnya Aliran Khawarij
● Awal Radikalisme Masa Nabi Muhammad SAW
Pada tahun 8 H (629 M) ketika Rasulullah dan pasukan muslim selesai
dari Perang Hunain, maka Rasulullah segera membagikan harta rampasan perang
kepada orang-orang Islam. Namun, seseorang dari suku Tamim yang dikenal
dengan nama Dzul-Khuwaishirah mendatangi Rasulullah dan memprotes keras
terhadap pembagian rampasan perang yang dilakukan Rasulullah, dan
menganggap bahwa Rasulullah tidak adil. Maka para sahabat bersiap untuk
membunuh Dzul-Khuwaishirah, tetapi Rasulullah melarangnya.
Nama asli Dzul-Khuwaishirah adalah Hurqush bin Zuhair al-Sa‘di. Ia
disebut sebagai perintis Khawarij dalam sejarah umat Islam. Dalam
perkembangan selanjutnya, Hurqush merupakan pihak yang sangat berperan
dalam konspirasi melakukan pembunuhan terhadap Khalifah ‘Utsman, serta
dalam memimpin pemberontak dari Bashrah yang berakibat fatal bagi ‘Uthman.
Pada masa terjadinya Perang Siffin, Hurqush termasuk di antara para
pemimpin pembelotan terhadap Khalifah ‘Ali. Hurqush ikut pergi bersama
Khawarij lainnya ke Harura' dan melakukan perlawanan kepada pemerintahan
‘Ali dalam Perang Nahrawan, sampai ia menemui kematiannya di tangan
pasukan ‘Ali. Dari peristiwa Hurqush yang memprotes pembagian rampasan
Perang Hunain, dapat disimpulkan bahwa awal kemunculan radikalisme karena
adanya motif ekonomi sejak adanya Khawarij semenjak awal.11

(Jurnal Dirasah: Vol 1 No 2, 2018),


10
Khamami Zada, “Islam Radikal”. (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002)
11
Sony Amrullah, “Melacak Jejak Radikalisme dalam Islam: Akar Ideologis dan Eksistensinya dari Masa ke
Masa”. (Jurnal Dirasah: Vol 1 No 2, 2018), 4
8
● Periode Khawarij Masa Sahabat
Pasca Perang Shiffin pada tahun 37 Hijriyah, peristiwa tahkim atau
arbitrase yang mempertemukan kelompok Khalifah Ali bin Abi Thalib dan
kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan berujung pada terbentuknya aliran
Khawarij. Menurut kubu Khawarij, keputusan Ali dan Muawiyah berdamai di
acara tahkim merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah SWT. Orang yang
menerima perjanjian tahkim disebut murtad, kafir, dan keluar dari Islam. Ali bin
Abi Thalib termasuk di antara mereka yang memiliki pemikiran serupa; mereka
menyerang Muawiyah dan semua orang yang menerima putusan arbitrase.
Selain memecah belah umat Islam dalam ranah politik, perselisihan
politik antara Ali dan Muawiyah juga menimbulkan variasi penafsiran agama.
Sebagai reaksi terhadap konflik ini, salah satu kelompok di Kalam Sains
menamakan dirinya Khawarij. Aliran Khawarij merupakan kelompok yang
menafsirkan unsur ketuhanan Islam dengan caranya sendiri. Aliran Khawarij
secara kaku menafsirkan teks-teks agama. Orang yang pemikirannya
bertentangan dengan pendapat golongan Khawarij akan dianggap murtad dan
akan meninggalkan Islam.
Bahkan banyak kelompok Khawarij yang menganggap para sahabat Nabi
sebagai “kafir” karena tidak sependapat dengan mereka karena mereka sangat
radikal. Akibatnya, aliran Khawarij diyakini telah menyerah terhadap komunitas
dan pemahaman mayoritas umat Islam. Fraksi Khawarij merasa keputusan
keluarnya tim pendukung Ali bin Abi Thalib dilakukan demi menegakkan
“kebenaran”. Jumlah orang dalam kelompok ini diperkirakan sekitar 12.000
orang pada akhir pemerintahan Khalifah Ali. Kemudian mereka berangkat
menuju Kufah, Desa Harurah Irak. Karena lokasinya di Harurah, mereka juga
menggunakan nama Haruriyah. Setelah itu, mereka membentuk pemerintahan
sendiri dalam upaya menentang kerajaan Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin
Wahab terpilih.
2.4 Bentuk Pemikiran Khawarij
Khawarij secara bentuk dan gerakannya sudah lenyap, namun karakter dan pola
pikirnya masih terus mengikuti perjalanan sejarah islam. Saat ini karakter khawarij
melekat pada kelompok islam yang begitu mudahnya mengkafirkan dan menyesatkan
golongan islam lain yang punya perbedaan pendapat dan paham dengan mereka.

9
Karakter khawarij juga sering kita temukan dalam diri orang islam yang kerap
menggunakan kekerasan dan melegalkan tindakan Anarkisme dan Terorisme dengan
atas nama menegakkan agama allah. Perlu diketahui terlebih dahulu pengertian
Khawarij, secara etimologi kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang
berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi ini
pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Adapun khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan
karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim),
dalam perang siffin pada tahun 37 H/657 M, dengan kelompok bughat (pemberontak)
Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.12
Harun Nasution menyebutkan bahwa nama Khawarij berasal dari kata Kharaja
yang berarti keluar. Nama itu sendiri diberikan kepada mereka karena mereka keluar
dari barisan Ali. Tetapi ada pendapat lain mengatakan pemberian nama itu didasarkan
atas ayat Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 100 menyebutkan: Barangsiapa berhijrah di
jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan
rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke
tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa:100). Dengan demikian
kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dan
kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.13
Khawarij juga merupakan aliran sempalan dalam Islam yang muncul dan berusaha
untuk melakukan revolusi terutama terhadap pemerintahan karena pokok ajaran pertama
mereka adalah doktrin politik yakni urusan kekhilafahan saat itu yang menurut mereka
para Khalifah setelah tahun ketujuh pemerintahan Utsman Bin Affan tidak sejalan lagi
dengan Al-Qur’an.14 Pemikiran Khawarij melakukan takfir terhadap kelompok yang
menjadi melawan pemikiran mereka. Faktor inilah yang menjadikan Khawarij
disebut-sebut sebagai aliran garis keras dalam Islam.

12
Saleh, “KHAWARIJ; SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA”, El-Afkar, Vol. 7 No. 2 (2018), 26.
13
Harun Nasution, “Teologi Islam”, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978).
14
Sony Amrullah, “Melacak Jejak Radikalisme dalam Islam: Akar Ideologis dan Eksistensinya dari Masa ke
Masa”. (Jurnal Dirasah: Vol 1 No 2, 2018), 2
10
Jika dilihat pada masa kini, pemikiran Khawarij dianggap sudah tidak ada setelah
peristiwa kekalahan Bani Umayyah. Namun, jika diamati lebih dalam akar dari ideologi
radikal Khawarij masih berkembang hingga kini. Ekstrimis Khawarij yang
menggaungkan Dar Al-Islam, yaitu menginginkan kesatuan umat Islam di seluruh dunia
tanpa adanya batasan wilayah geografis dengan membentuk komunitas Islam menjadi
satu-kesatuan negara yang berlandaskan keagamaan dan tauhid kepada Allah SWT.
Dari konsep tersebut, muncul pemikiran Dar al-Kufr sebagai anti tesisnya yang
merupakan wilayah di luar Dar al-Islam dan klaim sebagai wilayah orang-orang kafir
yang halal darah dan hartanya serta harus diperangi.15
Cara berpikir Khawarij dapat dilihat dalam surat yang ditulis Ali bin Abi Thalib;
jelaskan kepada kami, alasan apa yang menyebabkan kalian menghalalkan untuk
memerangi kami dan membelot dari jamaah. Mempersenjatai bekas hamba sahaya
kalian dan menyerang orang-orang dengan memenggal kepada mereka? Sesungguhnya
perbuatan ini adalah kerugian yang sangat nyata. Demi Allah, seandainya kalian
membunuh seekor ayam atas dasar semua ini, pastilah dosanya sangat besar di sisi
Allah, maka bagaimana dengan membunuh nyawa manusia yang diharamkan oleh
Allah.16
Kutipan ini secara jelas menunjukkan bagaimana Khawarij menyebut para sahabat
Rasulullah dan umat Islam pada umumnya sebagai orang-orang kafir dan musyrik.
Selain menganggap halal membunuh para sahabat dan umat Islam, bahkan hal ini
merupakan mandat dari mazhab mereka. Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi
beberapa sekte, konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Persoalan orang berbuat
dosa inilah yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya
dalam Islam. Persoalannya adalah apakah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia
sudah menjadi kafir karena berbuat dosa itu.
Al-Shahrastān mengatakan Khawarij memiliki kelompok-kelompok terpenting
adalah: al-Muḥakimah, al-Azariqah, al-Najdiyah, al-Baihasiyah, al-Ajaridah,
al-Tsa'labah, al-Ṣufriah dan beberapa kelompok lainnya. Semua kelompok Khawarij
sependapat bahwa mereka tidak mengakui Kekhalifahan Usman maupun Ali, mereka
mendahulukan kekuatan (ibadah) dari segala-galanya. Mereka menganggap tidak sah
perkawinan terkecuali dengan kelompoknya, mereka mengkafirkan orang yang
melakukan dosa besar dan tidak wajib menaati imam yang menyalahi sunnah.

15
Sony Amrullah, “Melacak Jejak Radikalisme dalam Islam: Akar Ideologis dan Eksistensinya dari Masa ke
Masa”. (Jurnal Dirasah: Vol 1 No 2, 2018), 7
16
Ali ibn Muḥammad ibn al-Athīr, al-Kāmil fi al-Tarīk, Beirut: Dār Shādir, 1979.
11
Lebih lanjut, al-Shahrastān menjelaskan secara rinci kelompok-kelompok tersebut,
yaitu:
1. Al-Muḥakimah. Kelompok Muhakkimah adalah kelompok yang tidak menaati
Ali bin Abi Thalib setelah terjadinya taḥkīm (arbitrase).
2. Al-Azariqah, kelompok ini pendukung Abu Rasyid Nafi ibn al-Azraq yang
memberontak terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Ia melarikan diri dari
Basrah ke Ahwaz dan kemudian berhasil menguasai Ahwaz dan daerah-daerah
sekelilingnya seperti Kirman di masa Abdullah ibn Zuhair sesudah membunuh
Gubernurnya.
3. Al-Najdah adalah kelompok yang mengikuti pemikiran seseorang yang bernama
Najdah ibn Amir Al-Hanafi yang dikenal dengan nama ‘Ashim yang menetap di
Yaman. Dalam perjalanannya menemui kelompok Azariqah di tengah jalan
bertemu dengan Fudaik ‘Athiah ibn al-Aswad al-Hanafi yang tergabung dalam
kelompok yang membangkang terhadap Nafi ibn Azraq. Diberitahukan
kepadanya tentang inti perselisihan mereka dengan Nafi mengenai hukum orang
tidak ikut pertempuran, karena para pembangkang mengangkat Najdah menjadi
pemimpin dengan gelar ‘Amirul Mukminin. Namun beberapa waktu kemudian
mereka berselisih dengan Najdah. Mereka menyalahkan Najdah, dan ada orang
yang mengkafirkan Najdah.
4. Al-Baihasiyah, kelompok ini mengikuti pendapat Abu Baihas al-Haisham ibn
Jabir salah seorang dari suku Bani Sa'ad Dhuba'ah. Di masa pemerintahan
Khalifah Al-Walid dan selalu di cari-cari oleh al-Hajjaj namun dia berhasil
melarikan diri dan bersembunyi di Madinah, namun dapat ditangkap oleh Usman
ibnu Hayyan al-Muzani. Sementara menunggu keputusan Khalifah al-Walid ia
dipenjarakan kemudian dihukum dengan memotong kedua tangan dan kakinya
dan seterusnya dibunuh.
5. Al-Jaridah, kelompok ini di pimpin oleh Abd al-Karim ‘Araj yang isi ajarannya
mirip dengan al-Najdah. Menurutnya kita tidak boleh mengatakan kafir atau
Muslim terhadap anak seorang Muslim sampai ia telah diajak memeluk Islam.
Sedangkan anak orang kafir bersama orang tuanya berada di dalam neraka.
6. Al-Sa'alibah, kelompok ini dipimpin oleh Tsa’labah ibn Amir yang dahulunya
sependapat dengan Abd Karim ibn Araj, menurut pendapatnya anak tidak
bertanggung jawab semenjak kecil sampai usia menjelang dewasa.

12
7. Al-‘Ibaḍaiyyah, kelompok ini adalah pengikut ‘Abdullah bin ‘Ibadh yang
memberontak terhadap pemerintahan Khalifah Marwan ibn Muhammad.
8. Al-Ṣufriyyah, kelompok ini nama kelompok yang mengikuti pemikiran Zayad
ibn Ashfar. Pemikirannya berbeda dengan pemikiran yang berkembang di
kalangan Khawarij yang lain, seperti, al-Azariqah, an-Najdah dan al Ibadhiyah.
Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, berkata dalam kutipannya, dari Ibnu Al-‘Arabī; Khawarij
itu ada dua kelompok, pertama berkeyakinan bahwa sesungguhnya Usman, ‘Ali,
pasukan perang Jamal dan Shiffin serta setiap orang yang menerima arbitrase adalah
kafir. Kedua, berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal di neraka.
Najdah kemudian menambah akidah Khawarij bahwa orang yang tidak keluar dan
menyerang umat Islam adalah kafir walaupun seakidah. Akidah kaum Khawarij bahwa
orang yang tidak keluar dan memerangi umat Islam, maka dia kafir sekalipun seakidah
dengan Khawarij. Mereka juga mengkafirkan orang tidak menyeru kebaikan dan
mencegah kemungkaran jika mereka mampu. Jika merek tidak mampu, maka dia telah
melakukan dosa besar. Hukum bagi pelaku dosa besar adalah kafir menurut pandangan
mereka. 17
Kelompok Khawarij menggunakan doktrin al-Qur’an dan doktrin agama dalam
membangun fanatismenya. Mereka akan memanfaatkan sentiment ekstrim kepada
sebagian kaum Muslimin yang kurang berilmu dan tidak berdaya. Kemudian
menafsirkan al-Qur’an secara menyimpang. Dengan cara ini, mereka menghasut
orang-orang untuk berani untuk melakukan pembantaian. Agar motivasi mereka
terbangun dengan baik. Khawarij selalu membangun opini surga para pengikutnya, jika
mati akan mendapat balasan surga. Dengan demikian secara mental mereka
mempersiapkan para pengikutnya untuk siap membunuh atau terbunuh. Dari sepak
terjang pemahaman kaum Khawarij dari dulu hingga sekarang, maka dapat ditarik garis
lurus bahwa doktrin Khawarij dapat dikategorikan tiga, yaitu:
1. Doktrin Politik
● Khawarij memegang prinsip ketat dalam politik Islam. Mereka menolak
ide warisan (keturunan) dalam kepemimpinan dan percaya bahwa
pemimpin Muslim harus dipilih berdasarkan kualitas moral dan keadilan,
bukan keturunan dari Nabi atau suku tertentu. Mereka menuntut
kepemimpinan universal (khalifah) yang adil.

17
Sukring, “IDEOLOGI, KEYAKINAN, DOKTRIN, DAN BID'AH KHAWARIJ: Kajian Teologi Khawarij Zaman
Modern”, Jurnal THEOLOGIA, Vol. 27 No. 2 (2016), 419.
13
● Khawarij menganjurkan perlawanan aktif terhadap pemerintah yang
mereka anggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan Islam.
Mereka merasa berhak untuk memberontak jika pemimpin mereka
dianggap berdosa atau tidak mematuhi hukum Islam.
2. Doktrin Teologi
● Dalam masalah teologi, Khawarij memiliki pemahaman yang keras
tentang takfir, yaitu mendeklarasikan orang Muslim sebagai kafir jika
mereka melakukan dosa besar (khususnya dosa yang dianggap sebagai
pembangkangan terhadap ajaran Islam). Ini adalah ciri utama yang
membedakan Khawarij dari mayoritas umat Islam.
● Mereka juga berpegang pada pandangan sederhana tentang keimanan,
menolak konsep taqlid (mengikuti otoritas agama tertentu) dalam
interpretasi teks agama, dan mengklaim bahwa individu harus memiliki
pengetahuan langsung tentang ajaran Islam.
3. Doktrin Teologis Sosial
● Khawarij mengembangkan pandangan sosial yang keras tentang keadilan,
menegaskan bahwa keadilan sosial adalah prinsip fundamental dalam
Islam. Mereka menolak ketidakadilan dalam masyarakat dan
menganggapnya sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.
● Khawarij juga menganjurkan kesederhanaan dalam gaya hidup,
menentang kemewahan dan ketamakan, serta menekankan solidaritas
sosial di antara anggota komunitas mereka.
Doktrin-doktrin ini telah mempengaruhi berbagai gerakan ekstremis dalam
sejarah Islam dan masih menjadi topik perdebatan dan perhatian dalam pemikiran Islam
kontemporer. Khawarij dikenal karena ketegasan mereka dalam menerapkan
prinsip-prinsip ini, yang seringkali berujung pada konflik dan perpecahan dalam
komunitas Muslim.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Radikalisme adalah suatu bentuk tindakan manusia yang tidak mengenal kebaikan
dan toleransi, seperti saling membunuh atau bertindak secara anarkis. Sebagai umat
Muslim, Islam tidak mengajarkan adanya perbuatan keji dan kekerasan, sehingga
ajaran Islam disebarkan untuk membantu manusia keluar dan menghindari
radikalismenya. Gerakan radikalisme yang sistematis dan terorganisir baru dimulai
setelah terjadinya Perang Shiffin di masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini
ditandai dengan munculnya sebuah gerakan teologis radikal yang disebut dengan
“Khawarij” yang dimaknai sebagai golongan orang Islam atau Muslim yang keluar
dari kesatuan umat Islam.
2. Dalam mengurai akar ideologis radikalisme dalam Islam, Haidar Bagir memberikan
pendapatnya bahwa, setidaknya terdapat dua faktor penting yang menjadi penyebab
muncul dan menguatnya radikalisme dalam Islam yakni: Doktrinal Historis dan
Sosial-Politik. Gerakan kekerasan yang sistematis dan terorganisir barulah muncul
setelah terjadinya perang shiffin di masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini
ditandai dengan munculnya sebuah gerakan teologis radikal yang disebut dengan
‘Khawarij’. Pada saat ini, secara sosiologis dapat dikatakan komunitas Khawarij
atau setidaknya mereka yang menamakan dirinya kelompok Syurah telah tiada lagi
di muka bumi setelah mengalami kekalahan dari pasukan militer Bani Umayyah
namun ketika ditelusuri lebih dalam lagi ternyata akar ideologi radikal dari paham
Khawarij masih ada dan masih berkembang hingga kini.
3. Munculnya aliran khawarij atau radikalisme berawal dari dua masa, yang pertama di
masa Nabi Muhammad SAW. pada perang Hunain, karena ada salah satu seseorang
bernama Hurqush bin Zuhair al-Sa‘di yang berperan dalam konspirasi melakukan
pembunuhan terhadap Khalifah ‘Utsman, serta dalam memimpin pemberontak dari
Bashrah. Masa kedua dalam periode khawarij, yaitu di masa sahabat yang terjadi
pasca perang Shiffin pada tahun 37 Hijriyah, peristiwa tahkim atau arbitrase yang
mempertemukan kelompok Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kelompok Muawiyah
bin Abu Sufyan berujung pada terbentuknya aliran Khawarij.

15
4. Saat ini karakter khawarij melekat pada kelompok islam yang begitu mudahnya
mengkafirkan dan menyesatkan golongan islam lain yang punya perbedaan
pendapat dan paham dengan mereka. Karakter khawarij juga sering kita temukan
dalam diri orang islam yang kerap menggunakan kekerasan dan melegalkan
tindakan Anarkisme dan Terorisme dengan atas nama menegakkan agama allah.
Pemikiran Khawarij melakukan takfir terhadap kelompok yang menjadi melawan
pemikiran mereka. Faktor inilah yang menjadikan Khawarij disebut-sebut sebagai
aliran garis keras dalam Islam. Cara berpikir Khawarij dapat dilihat dalam surat
yang ditulis Ali bin Abi Thalib yang isi kutipannya secara jelas menunjukkan
bagaimana Khawarij menyebut para sahabat Rasulullah dan umat Islam pada
umumnya sebagai orang-orang kafir dan musyrik. Selain menganggap halal
membunuh para sahabat dan umat Islam, bahkan hal ini merupakan mandat dari
mazhab mereka. Kelompok Khawarij menggunakan doktrin al-Qur’an dan doktrin
agama dalam membangun fanatismenya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (2016). Gerakan Radikalisme dalam Islam: Perspektif Historis. Jurnal Addin,

Volume 10, 2.

Amrullah, S. (2018). Melacak Jejak Radikalisme dalam Islam: Akar Ideologis dan

Eksistensinya dari Masa ke Masa. Jurnal Dirasah, Volume 1, 2-3.

Anshor, A. M. (2020). Gerakan Fundamentalisme Islam Masa Klasik, Pra-Modern, dan

Kontemporer. Jurnal Kontemplasi, Volume 8, 151.

Mufaizin. (2020). Genealogi Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer. Jurnal Al-Insyiroh,

Volume 6.

Nasution, H. (1978). Teologi Islam. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Rizal, S. (2010). Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membandingkan Khawarij dan

Hizbut Tahrir. Jurnal Al-Fikr, Volume 14, 217.

Saleh. (2018, 26). Khawarij: Sejarah dan Perkembangannya. Jurnal El-Afkar, Volume 7.

Sukring. (2016). Ideologi, Keyakinan, Doktrin, dan Bid'ah Khawarij: Kajian Teologi Khawarij

Zaman Modern. Jurnal Theologia, 27.

Zada, K. (2002). Islam Radikal (1st ed.). Teraju.

17

Anda mungkin juga menyukai