Anda di halaman 1dari 28

ISU-ISU GLOBAL DUNIA ISLAM

Di susun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester pada Mata Kuliah :


Isu-Isu Global Dunia Islam
Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Dedy Irawan, M.Ag

Disusun oleh :

Finia Khairani

3920182381135

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR PUTRI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini marak sekali terjadi kasus-kasus yang mencemari nama
Islam sebagai agama yang damai. Pada khususnya dunia Internasional yang
kerap meremehkan dan menganggap Islam adalah sebuah dogma dan hanya
berisi aturan-aturan yang memaksa. Keterikatan segala keberaturan yang ada
dalam agama Islam tentunya menuai berbagai macam respon yang tidak biasa
dikalangan masyarakat luar. Khusus nya bagi mereka yang merasa enggan dan
tak sudi untuk melihat bagaimana Islam dibentuk oleh Allah SWT sebagai
penyempurna bagi agama-agama sebelumnya.
Terkait dengan Blesphemy, Isu Terorisme dan Radikalisme,
Islamophobia, bahkan masalah kepemimpinan Islam di ruang lingkup Negara
yang memiliki warga minoritas beragama Islam atau masalah kepemimpinan
bagi individu yang bulan Islam dan memimpin di Negara yang mayoritas
penduduknya adalah Islam. Masalah-masalah ini merupakan ruang lingkup
kecil dari berbagai macam aktifitas penolakan masyarakat mengenai Islam.
Yang mereka tau adalah Islam itu radikal, keras dan jahat. Mereka tidak lagi
mencari asal-usul bagaimana Islam itu ada di bumi ini dan menimbulkan
kebencian serta phobia dalam memandang Islam.
Sebagai seorang Muslim tentu kita berkewajiban untuk mengkaji lebih
lanjut terkait permasalahan sosial ini. Mengapa banyak sekali masyarakat
yang hidup di daerah yang beragam, dengan jelas membuat suatu komunitas
untuk kembali seolah-olah “menyerang” Islam dan bersatu untuk
melawannya. Tulisan ini di buat untuk memenuhi tugas Ujian Tengah
Semester pada mata Kuliah Isu-isu Global Dunia Islam. Namun tidak hanya
sampai disitu, tentunya penulis ingin menyampaikan analisa yang lebih lanjut
terkait bagaimana ulama memandang hal ini dan juga bagaimana sebagai
seorang muslim seharusnya kita bersikap.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana para ulama memandang Blasphemy?
2. Bagaimana para ulama memandang Terorisme dan Radikalisme?
3. Bagaimana para ulama memandang Islamophobia?
4. Bagaimana para ulama memandang Pemimpin Non Muslim di Negara
Mayoritas Muslim?
5. Bagaimana para ulama memandang Pemimpin Muslim di Negara
Minoritas Muslim?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana analisis ulama mengenai Blasphemy?
2. Untuk mengetahui bagaimana analisis ulama memandang Terorisme
dan Radikalisme?
3. Untuk mengetahui bagaimana analisis ulama memandang
Islamophobia?
4. Untuk mengetahui bagaimana analisis ulama memandang Pemimpin
Non Muslim di Negara Mayoritas Muslim?
5. Untuk mengetahui bagaimana analisis ulama memandang Pemimpin
Muslim di Negara Minoritas Muslim?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Blasphemy
Blasphemy merupakan suatu kata yang berasal dari blasphemein yaitu
bahasa Yunani kuno. Yang merupakan istilah Inggris zaman pertengahan. Ada
juga istilah blafemer yang merupakan istilah dari Perancis Kuno. Bahasa lain
merupakan dari bahasa Latin yaitu blasphemare yang merupakan paduan dari
kata blaptetein yang artinya merusak dan pheme yang artinya reputasi. Dapat
kita artikan bahwa Blasphemy merupakan penistaan nama Tuhan atau
penodaan diatas namanya. Dalam arti yang lebih umum dan luas hal ini dapat
kita artikan sebagai suatu hal yang berkenaan dengan penghujatan atas suatu
hal yang dianggap suci oleh keyakinan agama tertentu.
Blasphemy pada umumnya dapat berupa tulisan, perkataan atau juga
sesuatu hal yang menentang ajaran atau ketentuan-ketentuan terhadap agama.
Dalam berbagai macam tradisi keagamaan, terdapat larangan-larangan
blasphemy. Agama-agama yang sudah mapan ini kemudian menetapkan hal-
hal yang berkenaan dengan larangan dari adanya sikap penodaan terhadap
agama yang dipercayainya. Seperti contoh Islam menganggap blasphemy
merupakan sikap menghina Tuhan, Nabi Muhammad dan nabi-nabi lainnya
yang diakui didalam Al-Qur’an dan juga menghinda Al-Qur’an sebagai kitab
suci.1
Dalam The Random House Dictionary dan The American Heritage,
seseorang dapat dianggap sebagai blasphemy apabila dia mengaku bahwa
dirinya adalah Tuhan. Selain itu, menurut Merriam-Webster dalam Dictionary
of Law pada tahun 1996 blasphemy diartikan sebagai menghina sesuatu hal yang
sakral dan memiliki makna yang suci. 2

1
Rumadi, Kebebasan dan Penodaan Agama : Menimbang Proyek “Jalan Tengah”
Mahkamah Konstitusi RI, INDO-ISLAMIKA, Volume 1, Nomor 2, 2012/1433, (Jakarta : 2012), hal.
250-251
2
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, (Jakarta : INSISTS-MIUMI, 2012), hal.201
Berdasarkan pemaparan diatas mengenai pengertian blasphemy dan
juga beberapa pendapat mengenai penistaan agama ini, Allah SWT berfirman:

‫َوإِن نَّ َكثُ ٓاوْ أَ ۡي َٰمَن ُهم ِّم ۢنبَ ۡعِد َع ۡه ِد ِه مۡ َوطَ َعنُواْ يِف ِدينِ ُك مۡ َف َٰقتِلُ ٓواْ أَئِ َّمةَ ٱ ۡل ُك ۡفِر إِن َُّه مۡ ٓاَل‬

‫أَ َٰم ۡيَن هَلُ مۡ لَ َعلَّ ُه مۡ يَ َنت ُهو َن‬


“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji,
dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin
orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang
(yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.”3
Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa orang-orang kafir yang
pada hidupnya mencela atau menghina agama Islam maka mereka bukan
hanya sekedar kafir, tetapi merupakan orang kafir yang merupakan sumber
dari hal ini. Bisa disebut juga sebagai gembong atau orang yang bermulut
besar sebagai pemimpin dari orang kafir ini.
Menurut Ibnu Al-Mundzir, dibunuh adalah hukuman yang sangat
pantas apabila terdapat orang yang berasal dari suatu pihak tertentu mencaci
maki Nabi Muhammad SAW. Hal ini sudah disepakati oleh ulama-ulama
dalam menghadapi hal-hal yang terkait dengan penistaan dan penodaan
agama. Diantara pihak-pihak yang telah bersepakat mengenai hal ini adalah
Imam Malik bin Anas, Laits bin Sa’ad, Ahmad bin Hambal, dan juga Ishaq
bin Rahawaih, dan hal ini juga menjadi pendapat dari Imam As-Syafi’i.4
Adapun pendapat lainnya menurut Imam Ibnu Katsir, makna firman
Allah adalah mereka mencela atau mencerca agama kalian adalah mereka
telah melecehkan agama kalian. Maka dari firman Allah ini, dapat ditetapkan
hukuman mati atas siapa saja yang berani mencaci Rasulullah SAW atau
mencela agama Islam dan menyebutkannya dengan nada yang melecehkan.
Dan maka dari itu, dari ayat tersebut, Allah mengatakan bahwa pergilah

3
Q.S At-Taubah/9 : 12
4
Imam Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an jilid 8¸(Jakarta : Pustaka Azzam) hal. 48
pemimpin-pemimpin orang kafir itu karena mereka hanyalah orang yang tidak
menepati janji. 5
Menurut Zainal Abiding Bagir yang dimaksud dengan penodaan agama
adalah segala sesuatu yang dilakukan baik dari perbuatan atau apapun yang
memiliki tujuan untuk melukai, menghina dan juga merupakan bagian dari
perbuatan kejahatan. Dan juga menurut Jalaludin Rahmat, yang dimaksud
dengan penodaan disini adalah bukan pada perbedaan penafsiran, tetapi juga
pada penghinaan yang disengaja dan juga mampu menyakiti. 6
Pendapat lain berasal dari Ibnu Qudamah yang merupakan seorang
imam, ahli fiqih dan juga zuhud, bahwa siapa yang mencela Allah maka dia
telah kafir. Tidak ada bedanya apakah yang disampaikannya ini merupakan
gurauan atau hal yang sungguh-sungguh. Hal ini sama saja hukumnya dengan
orang-orang yang mengejek Allah dan juga ayat-ayat yang Allah turunkan
dalam Al-Qur’an atau RasulNya. 7
Dalam hal ini, Ibnu Hazm juga mengemukakan pendapatnya, beliau
berkata bahwa mencela Allah merupakan suatu kekufuran secara dzatnya. Dan
tidak ada seorang muslim yang menyelesihi mengenai hal ini. Hanya saja
terdapat pendapat lagi dari Jahmiyyah dan Asy’ariyyah bahwa pencelaan
terhadap Allah ini adalah petunjuk adanya kekufuran. Namun ini bukanlah
kekufuran.
Tentunya banyak sekali perbedaan mengenai hal yang berkaitan
dengan pendapat mengenai blasphemy atau penistaan agama ini. Akan tetapi
Ibnu Hazm membantah pendapat dari keduanya dan mengatakan bahwa suatu
kebenaran yang meyakinkan bahwa barang siapa yang mengejek sesuatu dari
ayat-ayat Allah atau mengejek seorang Rasul dari para Rasul Allah, maka dia
telah menjadi kafir dan murtad karena melakukan hal tersebut. 8

5
Ibid, hal.82
6
Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat, Penistaan Agama Dalam Perspektif
Pemuka Agama Islam (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2014), hal.3
7
Nur’aini Fauziah, SKRIPSI : Penistaan Agama Dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi Tafsir
Al-Azhar Karya Buya Hamka), (Banten : UIN Sltan Maulana Hasanuddin, 2018) hal.23
8
Ibid. 23-24
Imam At-Thabari juga mengemukakan pendapat bahwa sesungguhnya
Allah telah mengabarkan bahwa orang-orang yang membenci Rasulullah
merupakan bagian dari orang-orang yang huna, lemah dan juga telah terputus
keturunannya. Karena ini merupakan sifat bagi setiap manusia yang
membenci beliau sebagai Rasulullah penyampai wahyu yang Allah
sampaikan. 9
Menurut analisa saya kasus penistaan agama merupakan sesuatu yang
harus diwaspadai oleh umat Islam. Tentunya kasus yang sekarang ini marak
sekali terjadi adalah, umat Islam sering mengatasnamakan toleransi untuk
seolah-olah “menjaga” perasaan orang kafir. Padahal kaum mereka telah
mengatakan sesuatu hal yang telah melecehkan. Namun lagi-lagi alasan
toleransi membatasi ruang lingkup orang Islam pada umumnya untuk
menyampaikan serta menyuarakan hal ini.
Dalam Al-Qur’an saja Allah telah jelas-jelas memberikan peringatan
bahwa orang kafir adalah musuh terbesar umat Islam. Dikarenakan pastinya
agama lain menganggap agama mereka paling benar daripada Islam.
Sedangkan dalam ajaran kita, tidak ada agama yang setara atau bahkan lebih
benar dari agama Islam. Karena agama kita adalah penyempurna dari agama-
agama sebelumnya.
Maka dari itu, pentingnya merasa bahwa agama Islam adalah milik kita.
Dan harus kita pula lah yang menjadi peran andil untuk menjaga dan
memajukannya. Termasuk dalam hal antar beragama. Kasus Blasphemy atau
penistaan agama tentunya disebabkan karena mereka tidak mengenal
bagaimana Islam sehingga mencari kesalahan dan kekurangannya. Sehingga
agama kita di nistakan.
Toleransi boleh, tentu sangat dianjurkan. Bersosialisasi pun tak
mengapa. Namun jangan sampai segala sesuatu kegiatan yang bersifat
muamalah menjadi penghancur akidah dan akhlak yang kita miliki sebagai

9
AM Waskito, Tragedi Charlie Hebdo Islamophobia di Eropa, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2015) hal. 107
umat Islam. Karena hal ini adalah identitas utama yang harus kita jaga dan
benar-benar perhatikan.
B. Radikalisme dan Terorisme
Dalam hal kekerasan dan radikalisme, tentunya semua agama
menghadirkan nama Tuhan untuk mengaitkan hal ini. Meskipun istilah barat
ini diproduksi oleh Barat, namun dalam gejala dan prilaku yang kurang lebih
sama dapat ditemukan dalam tradisi dan sejarah umat Islam itu sendiri.
Kata Radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar
radix yang artinya adalah akar atau pohon. Kata ini dapat dikembangkan
menjadi kata radikal, yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami
secara kilat, bahwa orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman
secara lebih detail dan mendalam, layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam
mempertahankan kepercayaannya.
Menurut Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH Tarmidzi
Taher beliau mengartikan radikalisme sebagai makna positif yang memiliki
makna tajdid (pembaharuan) dan islah (perbaikan), suatu spirit perubahan
yang menuju kebaikan. Hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
para pemikir radikal sebagai seorang pendukung reformasi jangka panjang. 10
Syekh Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan pendapatnya dan
memberikan istilah At-Tarruf Ad-Dini. Menggunakan bahasa yang lebih lugas
dan juga tegas, beliau memaparkan bahwa radikalisme merupakan suatu
bentuk dari mempraktikkan agama dengan mengambil posisi tarf atau pinggir.
Biasanya yang dimaksudkan adalah sisi yang keras dan juga kaku serta
berlebihan dalam mengambil makna dari sesuatu hal. Atau juga mereka sering
meremehkan hal-hal secara berlebihan pula 11

10
A. Faiz Yunus, Radikalisme, Liberalisme, dan Terorisme: Pengaruhnya Terhadap Agama
Islam, Jurnal Studi Al-Qur’an : Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani, Volume 13 Nomor 1 Tahun
2017, (Depok : UI , 2017)
11
Junaidi Abdillah, Radikalisme Agama : Dekontruksi Tafsir Ayat-Ayat “Kekerasan” dalam
Al-Qur’anI, Kalam : Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
(Lampung : 2014), hal.284
Menurut Azyumardi Azra, istilah radikalisme merupakan suatu bentuk
ekstrem dari revivalisme. Dan revivalisme ini merupakan intensifikasi
keislaman yang pada akhirnya lebih berorientasi ke dalam. Dengan artian
pengamalannya lebih dari sebuah kepercayaan yang hanya diterapkan untuk
pribadi saja. Sedangkan radikalisme ini lebih cenderung berorientasi keluar
atau bahkan dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan
lazin yang disebut dengan fundamentalisme. 12
Hal-hal terkait dengan radikalisme tentunya memiliki sebab dan akar
yang terperinci terkait mencapai tujuan tertentu. Makna yang tadinya adalah
baik dan justru lebih cenderung bersifat postif kini telah merujuk kepada
kekerasan dan juga sikap kejahatan yang kerap terjadi. Kebanyakan orang
menggunakan kekerasan ini guna memaksakan kehendak mereka untuk
mencapai suatu tujuan. Sehingga implementasi dari segala sesuatu yang
mereka ingin capai adalah melakukan aksi teror yang kerap disebut dengan
terorisme.
Dalam bahasa Arab, terorisme merupakan suatu istilah yang dikenal
dengan Al-Irhab. Dan dari sini dapat kita pahami bahwa teror disini diartikan
bahwa sesuatu hal yang dapat menimbulkan rasa takut. Irhabi atau teroris
sendiri merupakan orang yang terkait dengan membuat orang lain atau pihak
lainnya ketakutan atau orang yang menakut-nakuti orang lain. 13
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah terorisme merupakan
suatu hal yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam
usaha mencapai tujuan tertentu (terutama tujuan politik). Terorisme ini
didalamnya terdapat praktik dari tindakan teror itu sendiri. 14
Secara Etimologis terorisme berasal terrere (Latin), yang berarti
menyebabkan orang lain gemetar. Dengan demikian sudah pasti bahwa

12
Dede Rodin, Islam dan Radikalisme : Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan” dalam Al-
Qur’an, ADDIN, Volume 10 Nomor 1 Februari 2016, (Semarang : UIN Walisongo, 2016), hal. 34-35
13
Muh. Barid Nizarudin Wajdi, Islam dan Radikalisme (Mengurangi makna Teoririsme),
(Nganjuk : STAI Miftahul Ula) hal. 1
14
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Versi 1.1, mengacu pada data dari KBBI Daring
(Edisi III) diambil dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi
terorisme membuat orang ketakutan. Dan juga menurut istilah, definisi
terorisme ini masih menjadi perdebatan para ahli yang berkecimpung dalam
masalah ini. Dan akibatnya tidak ada satu definisi yang diterima secara umum.
Menurut Konvensi PBB tahun 1937 terorisme merupajan segala bentuk
tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud
untuk menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok
orang atau masyarakat luas.
Muhammad Mustofa juga mengungkapkan bahwa terorisme merupakan
tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran
secara acak. Dan juga tidak ada hubungan secara langsung antara pelaku yang
mengakibatkan kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan juga
keputusan masal akibat dengan aksi teror yang telah dilakukannya.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pindana
Terorisme menyatakan bahwa Terorisme merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius
terhadap kedaulatan setiap Negara. Karena terorisme juga merupakan salah
satu kejahatan yang bersifat Internasional yang dapat menimbulkan bahaya
terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan
masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan
berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan
dijunjung tinggi. 15
Kebanyakan dari orang menggunakan istilah terorisme ini untuk
mendapatkan tujuan yang sangat mulia, yaitu mengatas namakan Jihad kepada
Allah SWT. Adanya pemikiran mengenai jihad ini yang pada akhirnya
mempengaruhi pemikiran mereka untuk melaksanakan aksi teror dan
membuat Islam dipandang menjadi sebuah agama yang menakutkan. Karena

15
Muh. Barid Nizarudin Wajdi, Islam dan Radikalisme (Mengurangi makna Teoririsme)….
hal.1-2
dari aksi teror tersebut pada akhirnya menimbulkan banyak sekali ketakutan
dan kerugian.
Menurut Ibnu Madhur, arti kata Jihad, Mujahidah dan juga Juhud
adalah memeranginya dan juga berjihad di jalan Allah. Dari aspek
kebahasaan, Jihad dapat diartikan sebagai sesuatu hal penyuruan atau dakwah
yang menyerukan kita kepada kebaikan dan juga mencegah kemungkaran.
Bisa juga diartikan sebagai Penyerangan atau Ghazwah, Pembunuhan atau
Qital, Peperangan atau Harb, Penaklukan atau Syiar dan juga menahan hawa
nafsu atau Jihad An-Nafs dan hal lain nya yang merupakan semakna dengan
hal-hal tersebut,
Menurut Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus Arab Indonesia Al-
Munawwir mengartikan lafal Jihad sebagai kegiatan mencurahkan segala
kemampuan yang kita miliki. Jika dirangkai dengan lafal fii Sabilillah berarti
berjuang, berjihad, dan berperang dijalan Allah. Jihad juga bias bermakna
perjuangan. 16
Menurut analisa saya dalam kasus penuduhan radikalisme dan terorisme
tentunya memerlukan perhatian yang cukup serius. Karena banyak sekali
kalangan masyarakat yang apabila telah mendengar kata “Islam” maka
mereka langsung berfikir dan menuduh radikal terhadap Islam itu sendiri.
Istilah radikalisme yang pada awalnya adalah ingin mencapai segala sesuatu
hingga asal nya berubah menjadi pengertian bahwa radikal adalah sesuatu
yang keras. Selain keras radikal juga berbau kejahatan yang langsung tertuju
kepada umat Islam.
Adanya oknum-oknum yang menjadikan Islam dipandang seperti ini
yang seharusnya kita kembali lihat dan pelajari seksama. Apa saja yang telah
mereka lakukan sehingga dapat menanamkan cap radikal yang mendalam bagi
umat Islam. Serta mengapa aksi teror menjadi paham yang merupakan wujud
dari radikal itu sendiri.

16
Muhammad Chirzin, Jihad dalam Al-Qur’an dan telaah Normatif, Historis, Prospektif,
(Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1997) hal.1211
Saya merasa bahwa hal ini bias saja disebabkan adanya oknum tertentu
yang menjadi pemimpin dan mengatasnamakan Jihad atas alasan nya untuk
kembali memberikan doktrin yang tidak baik terhadap umat Islam. Seperti
ISIS yang terus menerus memberikan doktrinnya terhadap terorisme bagi
orang-orang yang rata-rata memiliki kebutuhan yang lebih dalam bidang
finansial. Ataupun terdapat faktor lain yang mungkin hal ini bisa jadi dating
dari faktor eksternal umat Islam untuk menjatuhkan Islam dengan
memberikan pengaruh seperti itu.
Bagaimana bisa disebut jihad apabila kita membuat suatu kerusakan?
Membuat perasaan takut dan tidak aman. Tentunya Islam bukan agama yang
mengajarkan hal ini. Dalam Al-Qur’an Allah sudah mengatakan bahwa kita
tidak boleh menyebabkan kerusakan di bumi. Maka dari itu kita perlu
menanamkan iman yang mendalam dan juga sumber ilmu yang sangat kuat
yaitu Al-Qur’an pada diri kita masing-masing.
C. Islamophobia
Salah satu isu yang pada saat ini tengah berkembang dan terus mewabah
dikalangan masyarakat luas adalah Islamophobia. Diakui atau tidak,
islamophobia sangat berefek negatif dan juga mencoreng citra Islam dalam
masyarakat luas. Dan isu islamophobia ini membuat Islam tidak merasakan
keadilan.
Islamophobia merupakan bagian dari salah satu Isu kontemporer Islam
yang sedang gencar terjadi. Kemunculan Islamophobia ini tidak hanya berada
di media-media Barat tetapi juga tidak sedikit media Indoensia telah
meluncurkan berita mengenai hal ini. Hal ini dapat diartikan bahwa Indonesia
juga sedang memantau dan siaga dengan kemunculan Islamophobia.
Definisi Islamophobia sendiri adalah merupakan gabungan dari kata
“Islam” dan “Fobia”. Pada intinya, Islam merupakan agama yang dalam
ajarannya mengandung perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan
menyekutukanNnya. Hal-hal terkait Islam adalah dimulai dari keharusan
untuk mengamalkan rukun Islam dan juga rukun Iman. Sedangkan phobia
merupakan bahasa inggris yang berarti penyakit, ketakutan, fobi atau juga
gamang. 17
Islamophobia telah ada sejak akhir abad ke-19. Selain ketakutan akan
peradaban Islam, “Islam Fobia” muncul karena ketakutan terhadap Islam di
Negara Barat. Mereka yakin Islam susah bersatu dengan Negara komunis.
Setelah perang dingin (1947-1991) dan komunis dan Uni Soviet awal 1990-an
hancur, Barat tidak membutuhkan Islam, berakhirlah politik kerjasama dan
perjanjian damai Barat dengan Islam. Atas dalih ini, mereka memunculkan
perang peradaban dengan cara membuat propaganda seperti “Islam Fobia” 18
Demikianlah bahwa dapat kita artikan, Islamophobia merupakan sebuah
paham yang berisi sekelompok orang yang merasa takut dan juga membenci
Islam. Takut disini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya
adalah takut karena Islam terkesan sebagai agama yang ekstrim, berisi
peperangan (jihad) dan juga hal-hal negatif lainnya. 19
AM Saefuddin mengatakan terdapat beberapa efek dari Islamophobia
yang pada saat ini tengah terjadi di berbagai tempat di belahan dunia,
diantaranya adalah adanya diskriminasi dan juga perilaku tidak adil yang
dirasakan umat Islam yang berada di Barat dan hal ini bukanlah sebuah hal
yang baru lagi. Telah lama umat Islam di Negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat menjadi korban dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.20

Allah SWT Berfirman:


ۚ ِ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاس إِنَّا خلَ ۡقٰن ُكم ِّمن ذَكَ ٍر وأُنثى وجع ۡلٰن ُك مۡ ش عوبا و َقبٓائِ ل ل‬
‫َارفُ ٓو ْا إِ َّن‬
َ ‫ع‬‫ت‬َ َ َ َ ً ُ ُ َ ََ َ ٰ َ َ َ َ ُ
ِ ِ ۚ ۡ ِ َ ‫أ ۡكَرم ُك مۡ ِع‬
ٌ‫يم َخبِري‬
ٌ ‫ند ٱللَّه أَ تَقٰى ُك مۡ إ َّن ٱللَّهَ َعل‬ ََ

17
Kamus offline English-Indonesia/Indonesia-English versi 2.04
18
Muhammad Hamidi Zaqzuq, Islam Dan Tantangan Dalam Menghadapi Pemikiran Barat,
ed. Maman Abd Djaliel, 1st ed. , (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2003) hal.45
19
Abdul Aziz, Menangkal Islamofobia Melalui Re-Interpretasi Al-Qur’an, Al-A’raf : Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat Volume XIII No. 1 (Kebumen : PONPES Al-Huda, 2016), hal.70
20
Ibid, hal.68
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.21
Dalam ayat tersebut, Ahmad al-Wahidi telah memaparkan mengenai
Asbab Nuzul al-Qur’annya, dan juga melalui sanad Abu Hasan al-Muzakki
keatas hingga Abd al-Jabar Ibn al-Wardi al-Makki yang dikabarkan oleh Ibnu
Abi Mulaikah, bahwa ketika Fath al-Makkah salah satu sahabat Nabi
Muhammad SAW yang bernala Bilal naik ke atas Ka’bah dan
mengumandangkan adzan disana. Lalu terdapat seseorang yang mengatakan:
“Wahai hamba Allah, apakah pantas seorang budak hitam
mengumandangkan adzan di atas Ka`bah yang suci?”, Kemudian
sebagian orang yang lain di antara mereka pun menuturkan: “jika
Allah murka dengan orang ini, pasti lah Allah akan menggantinya.”22
Dalam hal ini, Allah telah menyampaikan secara tersurat bahwa Allah
tidak memandang manusia dari suku, bangsa dan budaya mana dia berasal.
Dalam bahasa Musa Asy’ari, tinggi atau rendahnya manusia di hadapan
Tuhan tidak akan pernah ditentukan dengan adanya realitas dari perbedaan
dan pluralitas. Tetapi oleh kadar ketaqwaannya kepada Allah. 23
Menurut analisa saya penyebab terjadinya Islamophobia tentunya
adalah orang Barat itu sendiri. Mereka memiliki ketakutan yang sangat besar
sehingga mereka mencari cara bagaimana agar Islam dipandang buruk.
Mereka merasa takut bahwa peradaban Barat akan kembali redup apabila
Islam kembali Berjaya.

21
Q.S Al-Hujarat/49 : 13
22
Abdul Aziz, Menangkal Islamofobia Melalui Re-Interpretasi Al-Qur’an… hal.72
23
Musa Asy’ari, Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual , (Yogyakarta : LESFI,
Dzurriyyah, 2010), hal.198
Karena pada saat itu ketika Islam mengalami masa dark age tentu hal
ini menjadi satu-satunya kesempatan bagi Barat untuk meredupkan Islam
dengan se redup-redupnya. Dengan membakar perpustakaan Islam dan
melenyapkan berbagai penemuan yang dimiliki umat Muslim. Maka pada
masa ini Barat berada pada masa puncaknya.
Tentunya, dengan Islamophobia mereka senantiasa mencari apa saja
yang menjadi kelemahan dan dapat membuat banyak orang fobia terhadap
agama Islam yang damai ini. Seperti kasus Radikalisme dan Terorisme tentu
ini menjadi subjek pembahasan terlezat yang mereka ingin terus menerus cari
kebenarannya. Terus mempengaruhi dan membuktikan bahwa Islam benar-
benar agama yang radikal dan memiliki aksi teror yang dapat membuat
siapapun ketakutan dan dalam kerugian.
Maka sebagai umat Muslim, tentunya kita harus kembali menjadi
pemegang tonggak terbaik dalam memajukan agama kita Islam. Tentunya
dengan memberikan bukti-bukti kepada mereka bahwa kita adalah agama
yang penuh dengan kebaikan dan bukan merupakan agama yang mengandung
banyak kekerasan.
D. Pemimpin Non Muslim di Negara Mayoritas Muslim
Pemimpin merupakan seseorang yang telah dipercaya oleh
sekelompok masyarakat dalam suatu organisasi atau komunitas tertentu. Dan
seseorang ini dapat diandalkan dalam hal kemampuannya, sikapnya serta
naluri dan kepribadiannya yang mampu menciptakan suatu keadaan sehingga
orang lain yang dipimpin saling bekerjasama untuk mencapai tujuan. 24

Sedangkan arti Non Muslim merupakan orang yang tidak beragama


Islam. Dan pengertiani ini kita dapat lihat dari pengertian Muslim sendiri yang
telah mendapatkan imbuhan non, yang berarti tidak atau bukan. Maka non
Muslim dalam hal ini adalah tidak arau bukan beragama Islam. Jadi Pemimpin

24
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2001), hal.40
non Muslim merupakan seorang pemmimpin yang bukan atau tidak beragama
atau tidak percaya dengan agama Islam. 25

Para ulama yang adalah dalam fikih klasik rata-rata sangat melarang
dan mengharamkan pemimpin non Muslim terhadap umat Islam. Diantara
para ulama yang dengan tegas mengatakan larangan terhadap pemimpin non
Muslim untuk masyarakat Muslim adalah Al-Jashshash, Al-Alusi, Ibnu Arabi,
Kiyai Al Hasari, Ibnu Katsir, Al-Shabuni, Al-Zamakhsyari, Ali Al-Sayis,
Thabathabai, Al-Qurthubi, Wahbah Al-Zuhaili, Al-Syaukani, At-Thabari,
Sayyid Qutub, Al-Maududi, dan Taqiyuddin an-Nabhani.26

Allah SWT Berfirman

‫س‬ ۡ َ ِ‫ون ٱ ۡل ُمِمنِ ۡؤني ۖ َنَو َمن يَ ۡفَع ۡل َٰذل‬ ِ ‫َّخ ِذ ٱ ۡلم ۡؤِمنُ و َن ٱ ۡل َٰك ِف ِرين أَ ۡلِويَٓاء ِمن د‬ ِ ‫الَّ يت‬
َ ‫ك َفلَ ي‬ ُ َ َ ُ َ
‫صي‬ ِ ‫ِمن ٱللَّ ِه يِف َش ۡيٍء إِٓاَّل أَن َتَّت ُقواْ ِم ۡنه مۡ ُت َقٰى ۗةً وحُي ِّذر ُكم ٱللَّه نَ ۡفسهۥۗ وإِىَل ٱللَّ ِه ٱ ۡلم‬
َ َ َُ ُ ُ ُ َ َ ُ َ
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu).”27

Dalam ayat diatas, Ibnu Katsir dalam tafsir nya mengatakan bahwa
Allah telah melarang kita sebagai hambaNya yang beriman beriman untuk
berteman akrab dengan orang-orang kafir atau bahkan menjadikan mereka
sebagai pemimpin dan meninggalkan orang-orang yang beriman. Sebab jelas
hal ini merupakan perwujudan cinta kasih umat Islam terhadap non Muslim.

25
Muhammad Galib Iqbal, SKRIPSI : Tinjauan Hukum Islam Terhdapat Pemimpin Non
Muslim dalam Masyarakat Islam, (Lampung : UIN Raden Intan, 2017), hal. 2
26
Ibid, hal.79
27
Q.S Ali Imran/3 : 28
Dan juga barang siapa diantara umat Islam yang membangkang terhadap
Allah dengan mengasihi musuh-musuhNya, dan memusuhi kekasihNya maka
dia akan mendapatkan siksaNya. 28

Dalam hal ini Al-Jashshash berpendapat bahwa sebagai orang Islam


tidak boleh memberikan sedikitpun kesempatan untuk orang kafir untuk
berkuasa diatas kita sebagai orang Islam. Dan juga jangan sampai
memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut campir dalam menangani
suatu hal sekecil apapun itu dalam ruang lingkup urusan umat Islam. Tentu
beliau mengungkapkan ini setelah bersandar pada ayat yang Allah turunkan
yaitu surah Ali-Imran ayat 28. 29

Adapun pendapat lainnya yang disampaikan oleh Al-Zamakhasyi,


bahwa logis mengenai dilarangnya orang muslim untuk mengangkat orang
non Muslim menjadi pemimpin karena mengingat orang kafir tersebut
merupakan musuh bagi umat Islam. Dan akhirnya pada prinsip ini tidak akan
pernah terjadi seseorang mengangkat musuhnya untuk menjadi pemimpinnya.
Hal ini tidak boleh terjadi. Karena jika kita meridhoi kekafiran, maka kita
telah menjadi bagian dari kekafiran tersebut. 30

Terdapat pendapat yang berbeda dari pendapat ulama sebelumnya,


Wahbah Al-Zuhaili menyatakan bahwa yang dilarang dalam konsep
pemilihan ini hanyalah menyerahkan jabatan-jabatan public yang strategis,
mulia dan juga terhormat kepada non Muslim. Sedangkan diluar jabatan
tersebut semisal menjadi sekertaris Negara ataupun jabawan-jawaban publik
yang kurang strategis lainnya dapat diserahkan kepada non Muslim. 31

28
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2006), hal. 97
29
Muhammad Ali Zaki, SKRIPSI : Pemimpin Non Muslim dala Pandangan Nahdlatul Ulama
DKI Jakarta (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI Jakarta), (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah,
2017) hal. 41
30
Ibid.
31
Ibid, hal. 42
Diantara banyaknya pendapat mengenai pemimpin non Muslim yang
diharamkan untuk memimpin kaum Muslimin, terdapat pula beberapa ulama
yang berpendapat bahwa hal ini diperbolehkan dalam agama Islam. Diantara
yang masuk kelompk ini adalah, Mahmoud Muhammad Thoha, Abdullah
Ahmad an-Na’im, Thariq al-Bishri, Asgar Ali Enginer dan juga Muhammad
Sa’id Al-Ashmawi. Kelima tokoh ini jika dilihat dari latar belakang
keilmuwannya memiliki keilmuwan dalam bidang syariah dan juga berlatar
belakang sebagai insinyur, sejarawan dan juga sarjana hukum. 32

Menurut Mahmoud Thoha, non Muslim memiliki persamaan hak dan


status sebagaimana yang dinikmati oleh umat Islam termasuk untuk menjadi
pemimpin.33 Menurutnya pandangan fikih klasik yang mendiskriminasi non
Muslim didasarkan kepada ayat-ayat Madaniyyah yang memang sarat dengan
aura diskriminatif. Bukan didasarkan kepada ayat-ayat Makiyyah yang
menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia. Dalam
berbagai macam aspek tanpa membedakannya berdasarkan jenis kelamin,
keyakinan, keagamaan, ras dan juga lain sebagainya. Untuk menghilangkan
diskriminasi ini terhadap orang non Muslim, Thaha menyatakan bahwa ayat-
ayat Madaniyyah pada masa klasik yang harusnya digunakan sebagai
argumentasi teologis untuk mendiskriminasi non Muslim sudah seharusnya
dicabut.

Thaha menganggap ayat-ayat Makiyyah adalah sentral bagi ajaran


Islam. Ayat inilah yang akan mampu memberikan kebebasan yang sebenarnya
mengenai kesetaraan yang sungguh-sungguh bagi umat manusia tanpa
memandang perbedaan jenis kelamin, agama dan juga keyakinan. Serta
tentunya mampu menjadikan toleransi sebagai suatu hal yang seharusnya
dapat dijunjung tinggi. 34

32
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim….hal.140
33
Carolyn Fluehr Lobban, Melawan Ekstrimisme Islam : Kasus Muhammad Sa’id al-
Ashmawi, Kata Pengantar dalam Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj.
Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extrimism, (Depok : Desantara, 2002) hal. 14
Pada masa kontemporer saat ini, An-Na’im mengungkapkan
pendapatnya. Bahwa ayat-ayat yang melarang umat Islam memilih pemimpin
non Muslim sudah tidak relevan lagi digunakan. Sebagai gantinya, yang perlu
ditonjolkan adalah lagi-lagi ayat Makiyyah yang mengajarkan persamaan
universal seluruh umat manusia tanpa memandang agama yang dipeluknya.
Selain menganjurkan umat Islam untuk meninggalkan ayat-ayat Madaniyyah
yang berisi pesan-pesan diskriminatif terhadap non Muslim. An Na’im juga
menyarankan agar umat Islam dimasa kontemporer sekarang ini berpegang
kepada prinsip resiprositas, yaitu prinsip timbal balik yang sama menghargai
mengenai kepercayaan yang di anut oleh orang lain.35

Menurut analisa saya, perbedaan antara pendapat ulama mengenai


boleh atau tidak pemimpin non Muslim menjadi seseorang yang berkuasa
diatas masyarakat mayoritas Muslim adalah terdapat pada perbedaan waktu
dan situasinya. Kebanyakan pihak yang menolak akan adanya pemimpin non
Muslim menjadi pemimpin bagi umat Islam di Negara mayoritas adalah
ulama-ulama salaf yang senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan
utamanya. Dan juga telah memikirkan bagaimana jika yang terjadi setelah
terpilih adalah agama kita akan dinodai atau dinistakan.

Namun untuk kelompok ulama yang memiliki pendapat bahwa


pemimpin non Muslim boleh memimpin di Negara mayoritas Islam, mereka
memiliki dalih sendiri. Menurut mereka ayat Madaniyah yang digunakan
ketika menganalisis ayat mengenai pemimpin non Muslim cenderung tidak
relevan dengan kondisi saat ini. Karena yang harusnya digunakan adalah ayat
Makiyyah yang lebih mendominasi pembahasan dalam ranah masyarakat,
sosial dan sebagainya.

Saya lebih memandang hal ini kedalam ke mutlakan Al-Qur’an yang


tidak akan pernah luput oleh zaman. Sebagaimana yang kita tahu, jika ingin
34
Muhammad Ali Zaki, SKRIPSI : Pemimpin Non Muslim dala Pandangan Nahdlatul Ulama
DKI Jakarta (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI Jakarta),… hal 44
35
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim….hal.146
memilih pemimpin tentu kita harus merujuk semuanya kepada Al-Qur’an dan
Hadits. Dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan bahwa orang non Muslim atau
kafir ini merupakan musuh terbesar kita. Dan juga jika kita mengasihi
musuhNya maka kita termasuk dalam bagian kekufuran itu. Tentu sebagai
umat Islam kita tidak ingin hal-hal seperti ini terjadi.

Maka yang paling sesuai menurut saya adalah, Islam telah memiliki
berbagai macam ketetapan yang berfungsi untuk membuat hidup umatNya
lebih teratur dan terarah. Jika kita memilih pemimpin non Muslim, banyak
sekali kemungkinan yang akan terjadi.

Jika kita mengatakan bahwa pemimpin non Muslim tersebut lebih adil,
jujur dan lain sebagainya, bagaimana kita bisa memastikan hal ini? Sedangkan
tauhid saja pun mereka tidak memilikinya. Tentu jika mereka berasal dari
golongan yang berbeda dengan kita, mereka akan mendahulukan kepentingan
dan kesejahteraan kelompoknya. Dan kita sebagai umat Islam akan
dikesampingkan dan menjadi tidak mendapatkan hak nya kembali.

Pada dasarnya kita harus kembali membuka mata. Konsep keadilan


yang orang non Muslim miliki tentunya berbeda dengan kita sebagai umat
Islam. Mereka tidak akan mengerti bagaimana sesuatu itu akan adil apabila
diberi sesuai dengan kebutuhannya. Maka dari itu, saya lebih condong
mengatakan bahwa pemimpin Muslim tentu harus perlu di utamakan daripada
pemimpin non Muslim. Karena jika kita memilih pemimpin non Muslim
sebenarnya kita berada di jurang kehancuran.

E. Pemimpin Non Muslim di Negara Minoritas Muslim


Pada dasarnya pemimpin merupakan seorang yang mampu kita jadikan
panutan dalam menjalani kehidupan. Serta mampu melindungi dan
memberikan rasa aman kepada setiap anggota yang dipimpinnya. Keberadaan
pemimpin merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam komunitas
tertinggi yaitu Negara. Sehingga kepemimpinan merupakan suatu untuk yang
tidak bisa di hindari dalam hidup ini. 36
Dalam konteks demokrasi, MUI telah memberikan fatwa terkait
dengan haramnya golput sehingga diharapkan pada setiap umat Islam
memberikan suara pada beragam calon pemimpin yang telah memiliki
kualifikasi untuk mencalonkan dirinya pada pentas demokrasi. Latar belakang
keagamaan pada calon pemimpin tentu memiliki keberagaman dan juga dalam
konteks demokrasi membuat munculnya pertanyaan mengenai bagaimana hukumnya
memilih pemimpin non Muslim. 37
Dalam konteks lain, jika kita berada dalam sebuah Negara minoritas,
maka sudah seharusnya kita mampu memilih dan juga meletakkan keputusan.
Namun dalam hal ini tentu kita harus merujuk kepada pendapat para ulama
mengenai hal ini tentunya. Sayyid Qutb mengatakan bahwa sekedar menolong
atau mengadakan perjanjian terhadap non Muslim saja tidak dibolehkan.
Menurut beliau personalan ini kerap kali disalahpahami oleh kaum Muslm.
Menurutnya Al-Qur’an mendidik pribadi Muslim untuk memiliki perasaan
yang tulus dalam memberikan loyalitas kepada Tuhannya, Rasulnya dan juga
akidahnya serta kaum muslim. Dan juga keharusan melakukan pemutusan
secara totalitas dengan kaum kafir dalam segi apapun. 38

Lain hal nya pendapat Muhammad ‘Abduh jika setiap non-Muslim


yang memusuhi dan bertindak sewenang-wenang terhadap kaum Muslim,
maka keharaman memilih mereka sebagai pemimpin adalah sesuatu yang
qath’i yang tidak dapat ditawar lagi. Selain itu, non-Muslim yang tidak boleh
dipilih adalah mereka yang selalu menyakiti kaum Muslim, baik dengan
tangannya maupun dengan lisannya.

36
Sippah Chotban, Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim, Jurnal Al-Qadau Volume 5
Nomor 1 (Makassar : UIN Alauddin, Juni 2018) hal. 60
37
Ibid.
38
Dede Rodin, Kepemimpinan Non-Muslim Dalam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Keilmuan
Tafsir Hadits, Volume 7 Nomor 1, (Semarang : UIN Walisongo, Juni 2017) hal.40
‘Abduh melihat bahwa ayat-ayat yang melarang kaum Muslim
menjadikan non-Muslim sebagai wali (pemimpin) turun sebelum peristiwa
pembebasan kota Makkah. Ketika itu, kaum musyrik sangat membenci dan
memusuhi kaum Muslim. Sekalipun demikian, ketika Fath Makkah, Nabi
melupakan semua kejahatan dan kezaliman mereka. Beliau tidak membalas
dendam, malahan memaafkan dan memberikan amnesti umum kepada mereka
yang pernah memeranginya, dengan kalimat yang terkenal, antum al-t}ulaqâ’
(kalian adalah orang-orang yang bebas).39

Musthafa al-Maraghi ketika menafsirkan QS. Ali ‘Imran/3 :118,


menyatakan bahwa kaum Muslim dilarang menjadikan non-Muslim (seperti
kaum Yahudi dan kaum munafik) sebagai wali, jika mereka memiliki sifat-
sifat seperti yang disebutkan ayat tersebut, yakni: (1) tidak segan-segan
merusak dan mencelakakan urusan kaum Muslim, (2) menginginkan urusan
kaum Muslim, baik agama maupun dunia, dalam kesulitan yang besar, (3)
menampakkan kebencian kepada kaum Muslim secara terang-terangan. Sifat-
sifat tersebut adalah persyaratan yang menyebabkan dilarangnya mengambil
teman kepercayaan yang bukan dari kalangan non-Muslim. Jika ternyata sikap
mereka berubah maka tidak dilarang menjadikan mereka sebagai pemimpin
atau teman setia.40

Muhammad Sa‘id al-Ashmawi, juga membolehkan non-Muslim


menjadi pemimpin di negara mayoritas Muslim. Alasannya karena ayatayat
Al-Quran yang melarang kaum Muslim memilih pemimpin non Muslim
bersifat temporer. Ayat-ayat tersebut hanya berlaku ketika Nabi di Madinah
yang ketika ayat tersebut turun sedang dalam suasana perang dengan non-
Muslim. Saat ini, situasi sebagaimana yang dihadapi Nabi di Madinah sudah
tidak ada lagi, sehingga larangan bagi kaum Muslim untuk memilih pemimpin
non-Muslim sudah tidak berlaku lagi. Jadi ayat tersebut tidak bersifat
permanen, dan bahkan saat ini, mereka yang menolak pemimpin non-Muslim
39
Ibid. 43
40
Ibid. 45
adalah pendapat yang anti demokrasi, salah dan tidak sesuai dengan era
modern.41

Dalam hal ini banyak sekali ulama yang berpendapat mengenai


bagaimana hukum dalam Islam mengenai memilih pemimpin non Muslim.
Menurut analisa saya, yang harus kita lakukan adalah menjalankan dengan
sebaik-baiknya tugas kita sebagai seseorang yang diharuskan memberi pilihan
kepada pemilihan umum.

Jika kita berada pada posisi menjadi muslim di Negara minoritas


Muslim, tentu kita akan mendapatkan kasus terkait hal ini. Yang keseluruhan
calon pemimpinnya adalah orang-orang non Muslim atau kafir. Dan yang
harus kita lakukan adalah tetap memilihnya dan jangan sampai tidak memilih
sama sekali. Karena yang kita hadapi tentunya berbeda dengan pihak-pihak
yang memang hidup di Negara mayoritas Muslim.

Mengapa kita harus tetap memilih diantara dua kemudharatan, tentu


karena ini akan menjaga agar Islam tidak dianggap melakukan diskriminasi
terhadap orang non Muslim itu sendiri. Dan juga kita harus tetap
membandingkan dan memilih siapa yang lebih baik diantara dua
kemudharatan ini. Sehingga yang dihasilkan adalah hidup tetap berjalan aman
damai tanpa adanya persilisihan antara kedua belah pihak.

Menurut Abu Humaid Abdullah Al-Falasi dalam kitab Mulakhos


mandhumah Fiqhiyyah karya Asy-Syeikh Muhammad Sholeh Al-Usaimim,
jika ada dua bahaya atau mudharat saling berhadapan maka diambil yang
paling ringan. Apabila seseorang tidak bisa meninggalkan dua mudharat
secara bersamaan, maka ia harus meninggalkan salah satunya yang paling
besar mudharatnya dan memilih mudharat yang sedikit.42

41
Muhammad Sa’id Al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj. Hery Haryantor
Azumi, (Depok : Desantara, cet ke-1, 2002), hal.181
42
https://www.kompasiana.com/ahmadsuparno1982/5669c4e06c7a61fd160cd310/qowaidul-
fiqhiyyah-jika-ada-dua-mudharat-bahaya-saling-berhadapan-maka-di-ambil-yang-paling-ringan?
page=all Diakses pada tanggal 17 Januari 2021 pukul 20.01 WIB
Pendapat saya ini tentunya didasari oleh pendapat ulama yaitu Ibnu
Taimiyah. Beliau mengatakan dalam syairnya :

‫س الْ َعاقِ ُل الَّ ِذي َي ْعلَ ُم اخْلَْيَر ِم ْن الشَِّّر َوإِمَّنَا الْ َعاقِ ُل الَّ ِذي َي ْعلَ ُم َخْيَر اخْلَْيَريْ ِن َو َشَّر الشََّّريْ ِن‬
َ ‫لَْي‬
“Orang yang cerdas bukanlah yang tau mana yang baik dari yang
buruk. Akan tetapi, orang yang cerdas adalah orang yang tahu mana yang
terbaik dari dua kebaikan dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan. “

Selain itu, Syaikh As Sa’di dalam syair nya di pelajaran fiqih juga
memaparkan : “Apabila bertabrakan beberapa maslahat maka maslahat yang
lebih utama itulah yang didahulukan. Lawannya, jika bertabrakan dua
mafsadar (kerusakan), maka pilihkan mafsadar yang paling ringan.”43

Dalam kaidah Fiqih juga dijelaskan bahwa :

‫إذا جتمع الضرران أسقط األكرب لألصغر‬

“Jika ada dua mudharat yang berkumpul, maka yang lebih besar harus
digugurkan, untuk melakukan yang lebih kecil”44

Maka dari itu, keberadaan fiqih yang mengatur mengenai bagaimana


kita memilih diantara dua kemudharatan dapat membuktikan bahwa Islam
adalah sebaik-baik agama yang mampu mengatur segala sesuatu sesuai
dengan yang seharusnya. Bahkan hingga hal-hal yang terjadi dalam isu
kontemporer sekarang, Allah telah memberikan petunjuknya. Wallahu a’lam
bissawab

43
https://rumaysho.com/7195-cerdas-dalam-memilih-maslahat-dan-mudarat.html diakses pada
tanggal 17 Januari 2021 pukul 20.15 WIB
44
https://almanhaj.or.id/4181-kaidah-kaidah-memilih-antara-beberapa-maslahat-dan-dua-
mudarat.html diakses pada tanggal 17 januari 2021 pukul 19.54 WIB
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sebagai seorang Muslim sudah tentu menjadi kewajiban kita untuk menjaga
dan juga memberikan yang terbaik untuk agama kita. Ditengah-tengah situasi
masyarakat yang kerap menjadikan Islam sebagai objek dari berbagai macam hal.
Beberapa hal diantaranya adalah penistaan agama, tuduhan atas Radikalisme dan
Terorisme, munculnya Islamophobia, dan juga permasalahan Pemimpin di dalam
Islam. Hal-hal terkait dengan Isu Global Dunia Islam tentu harus menjadi kaca
perbandingan dan penambahan ilmu pengetahuan untuk kita. Karena pada nyatanya
kitalah pihak-pihak yang seharusnya mengkaji lebih dalam mengenai hal-hal ini.

Seperti yang terdapat dalam tulisan ini, maka banyak sekali hal yang terkait
kritik dan juga penyampaian ulama mengenai pandangannya tentang Isu yang tengah
hagat saat ini. Dan juga banyak sekali pelajaran dan juga kebaikan yang semakin
membuat kita lebih tersadar. Bahwa Islam adalah sebaik-baik agama karena Allah
menciptakannya untuk menjadi penyempurna dari agama sebelumnya. Kedamaian,
dan kasih sayang yang terdapat didalamnya mungkin banyak sekali pihak diluar sana
yang belum dapat merasakannya. Namun tentu sebagai orang Muslim kita harus
membuktikan segala kebaikan yang terkandung didalam Islam dengan akhlaq dan
juga aqidah yang kuat yang kita miliki.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
Abdillah, Junaidi, Radikalisme Agama : Dekontruksi Tafsir Ayat-Ayat “Kekerasan”
dalam Al-Qur’anI, Kalam : Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume
8, Nomor 2, Desember 2014 (Lampung : 2014)
Al-Qurthubi, Imam, Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an jilid 8¸(Jakarta : Pustaka Azzam)
Al-Ashmawi, Muhammad Sa’id, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj. Hery
Haryantor Azumi, (Depok : Desantara, cet ke-1, 2002)
Asy’ari, Musa, Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual , (Yogyakarta :
LESFI, Dzurriyyah, 2010)
Aziz, Abdul, Menangkal Islamofobia Melalui Re-Interpretasi Al-Qur’an, Al-A’raf :
Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat Volume XIII No. 1 (Kebumen : PONPES
Al-Huda, 2016)
Chirzin, Muhammad, Jihad dalam Al-Qur’an dan telaah Normatif, Historis,
Prospektif, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1997)
Chotban, Sippah, Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim, Jurnal Al-Qadau Volume
5 Nomor 1 (Makassar : UIN Alauddin, Juni 2018)
Diklat, Kementrian Agama RI Badan Litbang dan, Penistaan Agama Dalam
Perspektif Pemuka Agama Islam (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2014)
Fauziah,Nur’aini, SKRIPSI : Penistaan Agama Dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi
Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka), (Banten : UIN Sltan Maulana
Hasanuddin, 2018)
Iqbal, Muhammad Galib, SKRIPSI : Tinjauan Hukum Islam Terhdapat Pemimpin
Non Muslim dalam Masyarakat Islam, (Lampung : UIN Raden Intan, 2017)
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Versi 1.1, mengacu pada data dari KBBI
Daring (Edisi III) diambil dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi
Kamus offline English-Indonesia/Indonesia-English versi 2.04
Lobban, Carolyn Fluehr, Melawan Ekstrimisme Islam : Kasus Muhammad Sa’id al-
Ashmawi, Kata Pengantar dalam Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jihad
Melawan Islam Ekstrim, terj. Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic
Extrimism, (Depok : Desantara, 2002)
Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2001)
Rodin, Dede, Islam dan Radikalisme : Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan” dalam
Al-Qur’an, ADDIN, Volume 10 Nomor 1 Februari 2016, (Semarang : UIN
Walisongo, 2016)
Rodin, Dede, Kepemimpinan Non-Muslim Dalam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadits, Volume 7 Nomor 1, (Semarang : UIN Walisongo,
Juni 2017)
Rumadi, Kebebasan dan Penodaan Agama : Menimbang Proyek “Jalan Tengah”
Mahkamah Konstitusi RI, INDO-ISLAMIKA, Volume 1, Nomor 2,
2012/1433, (Jakarta : 2012)
Syarif, Mujar Ibnu, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 2006)
Wajdi, Muh. Barid Nizarudin, Islam dan Radikalisme (Mengurangi makna
Teoririsme), (Nganjuk : STAI Miftahul Ula)
Waskito, AM, Tragedi Charlie Hebdo Islamophobia di Eropa, (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2015)
Yunus, A.Faiz, Radikalisme, Liberalisme, dan Terorisme: Pengaruhnya Terhadap
Agama Islam, Jurnal Studi Al-Qur’an : Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani,
Volume 13 Nomor 1 Tahun 2017, (Depok : UI , 2017)
Zaki, Muhammad Ali, SKRIPSI : Pemimpin Non Muslim dala Pandangan
Nahdlatul Ulama DKI Jakarta (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI
Jakarta), (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2017)
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat, (Jakarta : INSISTS-MIUMI, 2012)
Zaqzuq, Muhammad Hamidi, Islam Dan Tantangan Dalam Menghadapi Pemikiran
Barat, ed. Maman Abd Djaliel, 1st ed. , (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2003)
https://almanhaj.or.id/4181-kaidah-kaidah-memilih-antara-beberapa-maslahat-dan-
dua-mudarat.html diakses pada tanggal 17 januari 2021 pukul 19.54 WIB
https://www.kompasiana.com/ahmadsuparno1982/5669c4e06c7a61fd160cd310/q
owaidul-fiqhiyyah-jika-ada-dua-mudharat-bahaya-saling-berhadapan-maka-
di-ambil-yang-paling-ringan?page=all Diakses pada tanggal 17 Januari 2021
pukul 20.01 WIB
https://rumaysho.com/7195-cerdas-dalam-memilih-maslahat-dan-mudarat.html
diakses pada tanggal 17 Januari 2021 pukul 20.15 WIB

Anda mungkin juga menyukai